ipd pneumotoraks edited
Post on 01-Jan-2016
56 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pleura adalah membran tipis terdiridari 2 lapisan yaitu pleura viseralis
dan pleura parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di daerah hilus arteri dan
mengadakan penetrasi dengan cabang utama bronkus, arteri dan vena
bronkhialis, serabut saraf dan pembuluh limfe. Secara histologis kedua lapisan
ini terdiri dari sel mesotelial, jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan
pembuluh getah bening.1
Normalnya, terdapat sekitar 10-20 ml cairan yang bening yang bekerja
sebagai pelumas antara lapisan-lapisan ini. Cairan ini secara terus menerus
diserap dan digantikan, terutama melaui lapisan bagian luar dari pleura.
Tekanan didalam pleura adalah negatif (seperti dalam penghisapan) dan
menjadi bahkan lebih negatif selama proses inspirasi. Tekanan menjadi kurang
negatif selama ekspirasi. Oleh karena itu, ruang diantara dua lapisan dari
pleura selalu mempunyai tekanan negatif. Tekanan dari udara (tekanan positif)
yang meningkat ke dalam ruang paru-paru akan berakibat pada
mengembangnya paru-paru dan sebaliknya pada saat tekanan udara menurun
akan menyababkan mengempisnya paru-paru.1
Pelura seringkali mengalami patogenesis seperti terjadinya efusi
cairan, misalnya hidrotoraks dan pleuritis eksudativa karena infeksi,
hemotoraks bila bila rongga pleura berisi darah, kilotoraks (cairan limfe),
piotoraks atau empiema bila berisi nanah, pneumotoraks bila berisi udara.1
Penyebab dari kelainan patologi rongga pleura bermacam-macam,
terutama karena infeksi tuberkulosis non tuberkulosis, keganasan, trauma dan
lain-lain.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PNEUMOTORAKS
A. DEFINISI
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan adanya penimbunan udara
dalam rongga pleura, sehingga menyebabkan jaringan paru menjadi kollaps
(total atau parsial). (5)
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam
rongga pleura, dalam keadaan normal rongga pleura tidak berisi udara, supaya
paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada. (1)
Pneumotoraks adalah akumulasi udara ekstra pulmonal dalam dada.
Pneumotoraks adalah penimbunan udara/akumulasi udara atau gas ekstra
pulmonal ke dalam rongga pleura. Sedangkan rongga pleura adalah rongga
yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada.(2,7)
Gambar 1. Rongga Pleura(7)
2
Gambar 2. Pneumotoraks (7)
B. ETIOLOGI
Seringkali pada orang muda dengan keadaan umum yang masih baik
didapatkan pneumotoraks spontan tanpa tanda-tanda adanya TB paru.
Khususnya untuk indonesia (dan tentunya juga untuk negara-negara lain
dimana TB masih merupakan penyakit rakyat), keadaan ini harus dianggap
sebagai salah satu manifestasi TB paru dan penderita diberikan pengobatan
lengkap untuk TB paru (dalam hal ini biasanya akan diperoleh hasil yang
memuaskan). Diperkirakan bahwa dalam hal ini proses TB-nya begitu kecil
sehingga tak tampak pada foto paru biasa. (1)
3
Pada penderita dengan emfisema paru, secara kasar dapat dikatakan
bahwa udara tertimbun dalam paru, sehingga tekanan udara intrapulmonal
meningkat dengan akibat difragma tertekan ke bawah (diafragma letak rendah)
dan jaringan paru disamping menipis juga akan sangat teregang (tentunya juga
termasuk alveolus-alveolus maupun pleura). Akibat akhirnya ialah
kecenderungan dinding alveolus maupun pleura untuk robek. Kecenderungan
ini semakin meningkat bilamana sudah ada bula-bula yang terbentuk karena
beberapa pembatas antar alveolus pecah dan rongga beberapa alveolus
menyatu. (1,10,15)
Table 1. Clasification Of Pneumothorax According To Cause. (11)
C. EPIDEMIOLOGI
Insiden pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui, pria lebih banyak dari pada wanita dengan perbandingan 5 :
1. Pneumotoraks spontan primer sering pula dijumpai pada individu sehat,
tanpa riwayat penyakit paru sebelumnya. Seaton dkk, melaporkan bahwa
pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumotoraks sekitar 1,4
4
% dan jika ada kavitas paru komplikasi pneumotoraks meningkat lebih dari
90 %. (1)
Di Olmested Country, Minnesota, Amerika, Melton et al melakukan
penelitian selama 25 tahun (tahun 1950-1974) pada pasien yang terdiagnosis
sebagai pneumotoraks atau pneumomediastinum, didapatkan 75 % pasien
karena trauma, 102 pasien karena iatrogenik, dan sisanya 141 pasien karena
pneumotoraks spontan. Dari 141 pasien pneumotoraks spontan tersebut 77
pasien pneumotoraks spontan primer dan 64 pasien pneumotoraks spontan
sekunder. Pada pasien-pasien pneumotoraks spontsn didapatkan angka
insiden sebagai berikut : pneumotoraks spontan primer terjadi pada
7,4/100.000 per tahun untuk pria dan 1,2/100.000 per tahun untuk wanita;
sedangkan insiden pneumotoraks spontan sekunder 6,3/100.000 per tahun
untuk pria dan 2,0/100.000 per tahun untuk wanita. Penelitian epidemiologi
pada 15.204 orang yang bertempat tinggal di kota Stockholm, Swedia
mendapatkan insiden pneumotoraks spontan sebesar 18/100.000 untuk pria
dan 6/100.000 untuk wanita. Dilaporkan adanya pneumotoraks spontan
familial dalam suatu keluarga (23 anggota keluarga), 6 diantaranya
mengalami serangan pneumotoraks dan ternyata insiden tersebut
berhubungan dengan dijumpainya HLA haplotype A2, B40 dan alpha-I-
antitrypsin phenotype M1M2. Pneumotoraks familial sering menimbulkan
pneumotoraks spontan dan terbanyak didapatkan justru pada wanita dari
pada pria. (1)
D. PATOGENESIS
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang
oleh jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening.
Rongga pleura dibatasi oleh 2 lapis tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura
parietalis dan pleura visceralis. Pleura parietalis melapisi otot-otot dinding
dada, tulang, dan kartilago, diafragma, dan mediastinum, sangat sensitif
terhadap nyeri. Pleura visceralis melapisi paru dan menyusup ke dalam
semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat
5
terisi cairan (10-20 ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara kedua
lapisan pleura(1)
Jika udara masuk kedalam rongga pleura, salah satunya udara berasal
dari luar rongga dada (open pneumothorax), bisa juga berasal dari paru-paru
(closed pneumothorax). (8,11)
Patogenesis pneumotoraks spontan sampai sekarang belum jelas.
Pneumotoraks Spontan Primer (PSP)(1,12,15)
PSP terjadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura visceralis.
Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotoraks
spontan yang parunya direseksi tampak adanya satu atau dua ruang berisi
udara dalam bentuk bleb atau bulla. Bulla merupakan suatu kantong yang
dibatasi sebagian oleh pleura fibrotik yang menebal, sebagian lagi oleh
jaringan paru emfisematous. Bleb terbentuk dari suatu alveoli yang pecah
melalui jaringan interstisial kedalam lapisan fibrosa tipis pleura visceralis
yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme terjadinya bulla
atau bleb belum jelas, banyak pendapat menyatakan terjadinya kerusakan
bagian apeks paru berhubungan dengan iskemia atau peningkatan distensi
pada alveoli daerah apeks paru akibat tekanan pleura yang lebih negatif.
Apabila dilihat secara patologis dan radiologis pada pneumotoraks spontan
sering didapatkan bulla diapeks paru. Observasi klinis yang dilakukan pada
pasien PSP ternyata angka kejadian lebih banyak dijumpai pada pasien pria
yang berbadan tinggi dan kurus. Kelainan intrinsik jaringan konektif seperti
pada sindrom marfan, prolaps katub mitral, kelainan bentuk tubuh
mempunyai kecenderungan terbentuknya bleb atau bulla. Belum ada
hubungan yang jelas antara aktivitas yang berlebihan dengan pecahnya bleb
atau bulla karena pada keadaan tanpa aktivitas (istirahat) juga dapat terjadi
pneumotoraks. Pecahnya alveoli berhubungan dengan obstruksi check-valve
pada saluran napas kecil sehingga timbul distensi ruang udara dibagian
distalnya. Obstruksi jalan napas bisa diakibatkan oleh penumpukan mukus
dalam bronkioli baik oleh karena infeksi atau bukan infeksi.
6
Bayi aterm mampu menampung tekanan pleura antara -40 sampai -100
cmH20. Apabila tekanan udara melebihi nilai ambang tersebut dapat
menimbulkan pecahnya alveoli, misalnya akibat aspirasi mekonium.
Penelitian pada 11 pasien bukan perokok yang sembuah dari pneumotoraks
spontan, dengan ventilation perfusion scintigraphy ternyata didapatkan
gambaran obstruksi saluran napas.
Pneumotoraks Spontan Sekunder (PSS)(1,15)
PSS terjadi karena pecahnya bleb visceralis atau bulla subpleura dan sering
berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya. Patogenesis PSS
multifaktorial, umumnya terjadi akibat komplikasi penyakit PPOK (penyakit
paru obstruktif kronik), asma, fibrosis kistik, tuberkulosis paru, penyakit-
penyakit paru infiltratif lainnya, (misalnya pneumonia supuratif dan
termasuk pneumonia P. Carinii). PSS umumnya lebih serius keadaannya
daripada PSP, karena pada PSS terdapat penyakit paru yang mendasarinya.
Pneumotoraks katamenial (endometriosis pada pleura) adalah bentuk lain
dari PSS yang timbulnya berhubungan dengan menstruasi pada wanita dan
sering berulang. Artritis rheumatoid juga dapat menyebabkan pneumotoraks
spontan karena terbentuknya nodul rheumatoid pada paru.
Akibat utama dari pneumotoraks bagi tubuh adalah berkurangnya
kapasitas vital dan berkurangnya PaO2. Pada sebagian besar penderita
pneumotoraks terjadi penurunan PaO2 dan terjadi peningkatan tekanan
alveolus. Penurunan PaO2 disebabkan karena terjadi penurunan ventilasi-
perfusi paru yang terkena, defek pertukaran gas, hipoventilasi alveolus,
complien paru menurun, hipoksemia, dan terjadi restriksi pernafasan. (1,5)
E. PEMBAGIAN
Ada beberapa jenis pneumotoraks, sesuai dengan klasifikasi sebagai
berikut: (1,4,5,10,11)
1. Klasifikasi menurut etiologi :
Pneumotoraks spontan
7
Pneumotoraks spontan (nontrauma) dapat terjadi karena lemahnya
dinding alveolus dan pleura viseral, sementara pada suatu saat terjadi
peninggian tekanan dijalan napas oleh suatu sebab sehingga alveolus
dan pleura yang menutupnya pecah. Ini terjadi misalnya pada
penderita infeksi paru dengan batuk-batuk keras, pada penggunaan
kortikosteroid yang lama, dan pada penderita penyakit menahun.
Penyebab lain ialah bula paru yang tidak disadari karena tidak
bergejala yang dapat saja pada suatu waktu pecah.
Pneumotoraks primer
Terjadi pada orang yang sebelumnya sehat, tidak diketahui
sebabnya, tetapi biasanya terdapat bleb pada permukaan paru
(dibawah pleura visceralis). Timbul akibat ruptur bulla kecil (12
cm) subpleural atau bleb yang pecah yang kemudian membentuk
lubang terutama di bagian puncak paru.
Pneumotoraks sekunder
Sebagai komplikasi penyakit-penyakit paru yang mendasarinya.
Tersering pada pasien bronkitis dan emfisema yang mengalami
ruptur emfisema subpleura atau bulla. Penyakit dasar lain: Tb
paru, asma lanjut, pneumonia, abses paru atau Ca paru.
Pneumotoraks berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrapulmoner yang meluas sampai ke rongga udara subpleura
dan permukaan pleura karena adanya obstruksi jalan nafas,
alveoli yang besar, kista paru atau bulla.
8
Table 2. Causes Of Secondary Spontaneous pneumothorax. (11)
Pneumotoraks traumatik
A. Pneumotoraks artifisial, yaitu sengaja dibuat sebagai suatu
tindakan atau kepentingan :
Untuk tujuan diagnostik.
Untuk tujuan pengobatan (collaps therapy)
B. Pneumotoraks traumatik (tidak disengaja)
Pada kecelakaan, dan terdapat trauma dada.
9
Trauma akibat dari :
FNA (fine needle aspiration)
Transbrochial biopsy
Biopsi pleura
Sebagai akibat tindakan : CRP.
2. Menurut letak pneumotoraks :
Pneumotoraks lateral
Pneumotoraks mediastinal
Pneumotoraks basal
Pneumotoraks bilateral
3. Menurut tingkatan kollaps paru yang terjadi :
Pneumotoraks totalis (100%)
Pneumotoraks parsial (paru yang kollaps berapa %)
derajat ringan : kurang dari 20 %
derajat sedang : 20-50 %
derajat berat : lebih dari 50 %
4. Menurut kejadian pneumotoraks :
Pneumotoraks akut
Pneumotoraks kronik (persisten)
Pneumotoraks kambuh (recurrens)
5. Menurut bentuk dan keadaan fistulanya :
a. Pneumotoraks terbuka
Terdapat hubungan antara rongga pleura dengan dunia luar atau
dengan bronkus. Udara masih leluasa masuk rongga pleura saat
inspirasi dan keluar saat ekspirasi, sehingga tekanan intrapleura sama
dengan tekanan barometrik (tekanan atmosfer). Lubang pada pleura
viseralis tetap terbuka.
b. Pneumotoraks tertutup
Dalam hal ini sudah tidak ada lagi hubungan antara rongga pleura
dengan dunia luar atau bronkus. Fistula yang menimbulkan
pneumotoraks sudah menutup.
Besarnya tekanan dalam rongga pleura :
10
Dapat lebih besar tekanan atmosfer
Dapat lebih kecil tekanan atmosfer
Sama dengan tekanan atmosfer
c. Pneumotoraks ventil (valvular)
Bila udara berasal dari paru melalui suatu robekan yang berupa
katup (ventil), maka tiap kali menarik nafas sebagian udara yang
masuk kedalam rongga pleura tidak dapat keluar lagi, kejadian ini
bila lama akan menyebabkan semakin banyak udara terkumpul
dalam rongga pleura sehingga kantong udara pleura mendesak
mediastinum dan paru yang sehat (herniasi). Keadaan ini dapat
mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang disebut
tension pneumothorax yang harus segera diatasi, kalau tidak
akan berakibat fatal. (15)
Di sini fistulanya bersifat ventil, artinya udara yang masuk
kedalam rongga pleura saat inspirasi tidak dapat keluar lagi saat
ekspirasi, sehingga jumlah udara dan tekanannya dalam rongga
pleura semakin besar, dan disebut ”tension pneumothorax”. Terjadi
peningkatan progresif tekanan intrapleural yang menimbulkan kolaps
paru yang progresif dan diikuti pendorongan mediastinal dan
kompresi paru kontralateral. Pada pneumotoraks berat terjadi
penurunan ventilasi dan AV shunt diikuti hipoksemi. Hal ini lebih
berat dan cepat terjadi pada pneumotoraks sekunder yang disertai
penyakit paru lain. (15)
6. Variasi pneumotoraks lainnya :
Yaitu pneumohidrotoraks : pneumotoraks yang disertai adanya
timbunan cairan dalam rongga pleura yang berisi udara, sehingga cairan
dan udara berada bersama dalam rongga pleura. Pada bayi baru lahir
kadang-kadang ditemukan pneumotoraks akibat teknik resusitasi yang
kurang baik.
11
F. GAMBARAN KLINIS
Pada anak besar sering didapatkan rasa nyeri yang sekonyong-konyong
disisi torak yang terkena, yang kemudian disusul oleh dispnu. Gejala ini
sering dikira suatu serangan angina pektoris. Pada sebagian penderita
kadang-kadang ditemukan faktor pencetus berupa batuk, bersin, atau latihan
jasmani yang berat. Namun, kadang-kadang pneumotorak dapat terjadi pada
waktu tidur. (2)
Gambaran klinis yang terdapat pada pneumotoraks meliputi : (1,4,5,14)
1. Keluhan
Penderita (mungkin) mengeluh berupa rasa nyeri dada, suatu nyeri
pleura :
Datang mendadak.
Rasa sakit dijalarkan kebahu atau lengan pada sisi yang terkena.
Sesak nafas.
Batuk-batuk.
Pada pneumotoraks ventil : keluhan sesak nafas yang makin lama
makin hebat, sering disertai shock.
Dapat pula keluhan timbul didahului oleh faktor-faktor pencetus,
berupa :
Batuk-batuk hebat.
Bersin-bersin hebat.
Aktivitas berat.
Kadang-kadang pada pneumotoraks spontan tidak disertai adanya
keluhan (pneumotoraks parsial) dan biasanya pneumotoraks
ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan kesehatan umum
(general check up)
2. Kelainan fisik.
Inspeksi :
Mungkin penderita tampak sesak nafas.
Pergerakan dada daerah yang terkena relatif berkurang.
Tampak penderita batuk-batuk, sianosis, atau tampak lemah.
12
Iktus cordis bergeser kedaerah yang sehat.
Kadang-kadang penderita tampak kesakitan hebat (tanda permulaan).
Hemitoraks yang terkena tampak mencembung dan sela iga melebar.
Palpasi :
Dada daerah yang terkena sela iga melebar.
Vokal fremitus melemah sampai hilang.
Trakea mengalami deviasi kearah bagian yang sehat.
Iktus cordis teraba dan bergeser letaknya kearah bagian yang sehat.
Perkusi :
Pada daerah yang terkena suara perkusi hypersonor, atau mungkin
tympani pada pneumotoraks ventil.
Apabila terdapat pneumohidrotoraks (karena ada udara dan cairan
bersama dalam suatu rongga), maka ditemui suara perkusi pekak
dibagian bawah dan sonor/hipersonor di bagian atas, dengan batas
daerah perkusi sonor/hipersonor dengan daerah perkusi pekak,
berupa garis mendatar.
Auskultasi :
Dijumpai suara nafas melemah/menghilang pada daerah yang terkena.
Dijumpai bronkofoni yang melemah/menghilang pada daerah yang
terkena.
Pada akhir inspirasi sering dijumpai suara ” metallic tinkling sound”.
Suara nafas dapat berupa suara amforik.
Bila fistulanya masih terbuka dapat terdengar ”water whistle mur-
mur”.
Bila terdapat pneumohidrotoraks akan ditemukan fenomena
”hippocratic succution”, (bila dada penderita dikocok).
3. Kelainan radiologik.(4)
Gambaran radiologik (rontgen foto toraks), merupakan penentu
diagnostik bila dibuat dengan baik.
Gambaran radiologi dari pneumotoraks :
13
Garis atau gambaran pleura visceralis tampak
dimedia terhadap pleura parietalis.
Paru (akan) mengalami retraksi ke arah medial
(kollaps).
Gambaran paru yang kollaps ke arah hilus dengan
radiolusen ke sebelah perifer.
Gambaran ini akan membesar pada posisi ekspirasi. Singkirkan
kemungkinan bulla yang besar, emfisema paru, kista paru, kaverne
yang besar.
Selain itu gambaran radiologik dapat berupa bayangan udara dalam
rongga pleura memberikan bayangan radiolusen yang tanpa struktur
jaringan paru (avascular pattern) dengan batas paru berupa garis
radioopak tipis berasal dari pleura visceralis. Jika pneumotoraks luas,
akan menekan jaringan paru ke arah hilus atau paru menjadi
kuncup/kollaps didaerah hilus dan mendorong mediastinum kearah
kontralateral. Selain itu sela iga menjadi lebih lebar.
4. Faal paru.
Terdapat defek :
Restriksi pernafasan.
Bila dilakuan pemeriksaan faal paru dengan spirometer akan
dapat dilihat adanya suatu gangguan restriksi dengan
berkurangnya kapasitas vital yang lebih dari 20 % dari yang
diprediksi, makin parah keadaan penderita tentunya kemunduran
ini akan semakin besar pula. Bila diperiksa dengan peak flow
meter maka tentunya akan ada pula kemunduran peak flow
meter. (5)
Complience paru menurun.
Defek pertukaran gas.
Pada fase akut pneumotoraks, bila pneumotoraks (paru kollaps
lebih dari 50 %), akan terjadi:
1. hipoksemia.
2. perfusi paru yang terkena menurun.
14
Pada pneumotoraks ventil, bila tekanan intrapleura lebih atau
sama dengan satu atmosfer, maka ventilasi paru kontralateral
terganggu sehingga bisa menimbulkan ”severe respiratory dystress”.
5. Pemeriksaan Penunjang(1,8,11)
Analisis gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia meskipun
pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada sebuah penelitian
didapatkan 17% dengan PO2 < 55 mmHg, 4% dengan PO2 < 45mmHg,
16% dengan PCO2 > 50 mmHg dan 4% dengan PCO2 > 60 mmHg. Pada
pasien PPOK lebih mudah terjadi pneumotoraks spontan. Dalam sebuah
penelitian 51 dari 171 pasien PPOK (30%) dengan FEV1 < 1,0 liter dan
33% dengan FEV1/FVC < 40% prediksi (Light,2003). Penelitian lain
menyebutkan bahwa gagal nafas yang berat (PO2 < 50 mmHg dan PCO2
> 50 mmHg, atau disertai dengan syok) terdapat pada 16% pasien dan
secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.
Pneumotoraks paru kiri sering menimbulkan perubahan aksis QRS dan
gelombang T prekordial pada rekaman elektrokardiografi (EKG) dan
dapat ditafsirkan sebagai infark miokard akut (IMA).
Pemeriksaan Computed Tomography (CT-scan) mungkin diperlukan
apabila dengan pemeriksaan foto dada diagnosis belum dapat ditegakkan.
Pemeriksaan ini lebih spesifik untuk membedakan emfisema bullosa
dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner serta untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
primer atau sekunder. Sensitivitas pemeriksaan CT-scan untuk
mendiagnosis emfisema subpleura yang bisa menimbulkan pneumotaks
spontan primer antara 80-90%.
Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasif,
tetapi memiliki sensitifitas yang lebih besar dibandingkan pemeriksaan
CT-scan. Menurut swierenga dan vanderschueren, berdasarkan analisa
dari 126 kasus pada 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi
menjadi 4 derajat yaitu:
Derajat I : pneumotoraks dengan gambaran paru yang mendekanormal
(40%) .
15
Derajat II : pneumotoraks dengan perlengketan disertai hemotoraks
(12%)
Derajat III : pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla < 2 cm
(31%)
Derajat IV : pneumotaraks dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2
cm (17%), (Loddenkemper, 2003)
Gambar 3. Chest X-ray of Left-sided Tension Pneumothorax(8)
16
Gambar 4. Left-sided pneumothorax (on the right side of the image) on
CT scan of the chest. A chest tube is in place--side of chest,
the lumen (black) can be seen adjacent to the pleural cavity
(black) and ribs (white). The heart can be seen in the centre.(8)
G. DIAGNOSIS. (1,5,12)
Pneumotoraks sering ditemukan secara kebetulan pada check up
kesehatan, sedang penderita tidak ada keluhan.
Diagnosis ditegakkan atas dasar :
1. Anamnesis.
Riwayat trauma.
Riwayat penyakit paru.
Perlu ditanyakan adanya penyakit paru atau pleura lain yang
mendasari pneumotoraks, dan menyingkirkan adanya penyakit
jantung.
Keluhan :
Rasa nyeri dada (pada awal penyakit).
17
Sesak nafas (pada pneumotoraks ventil, sesaknya makin
lama makin berat), disertai nyeri dada yang terkadang dirasakan
menjalar ke bahu.
Batuk-batuk, dan terkadang disertai hemoptisis.
Riwayat faktor pencetus sebelumnya :
Batuk-batuk hebat.
Bersin-bersin hebat.
Aktivitas/angkat berat.
2. Pemeriksaan fisik.
Keadaan umum : sesak nafas, sianosis, lemah, batuk-batuk, gelisah,
atau kesakitan hebat.
Tanda vital :
RR meningkat.
Takikardi.
Hipotensi, syok (gangguan hemodinamik pada pneumotoraks
ventil).
Abnormalitas pada pemeriksaan dada :
Dada daerah yang terkena lebih mencembung dibanding yang
sehat, dengan pergerakan dada yang relatif berkurang. Daerah yang
terkena sela iga melebar, vokal fremitus melemah sampai hilang.
Trakea deviasi kearah bagian yang sehat dan iktus cordis bergeser
kearah bagian dada yang sehat. Suara perkusi hipersonor atau
timpani pada daerah yang terkena. Auskultasi pada daerah yang
terkena suara nafas melemah atau menghilang. Adanya
pneumotoraks disertai timbunanan cairan dalam rongga pleura dapat
dibuktikan secara fisik dan adanya nomena succution hippocratic. (15)
18
3. Pemeriksaan penunjang.
Rontgen foto toraks PA.(1,15)
Bila ada kecurigaan komplikasi emfisema mediastinalis, perlu
dilakukan Rontgen foto toraks lateral. Apabila dari gambaran
rontgen foto toraks tampak gambaran pneumotoraks, harus
ditentukan berapa persentase kollaps paru.
Cara menentukan ukuran (persentase) pneumotoraks :
Volume paru dan hemitoraks dihitung sebagai diameter kubus.
Jumlah (isi) paru yang kollaps ditentukan dengan rata-rata diameter
kubus paru dan toraks sebagai nilai perbandingan (rasio). Misalnya :
diameter kubus rata-rata hemitoraks 10 cm dan diameter kubus rata-
rata paru yang kollaps 8 cm, maka rasio diameter kubus adalah 83/103
= 512/1.000, sehingga diperkirakan ukuran pneumotoraksnya 50 %.
CT scanning dada, USG (tidak rutin).
Analisa gas darah arteri memberikan gambaran hipoksemia
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan.
EKG : pneumotoraks primer paru kiri sering menimbulkan
perubahan aksis QRS dan gelombang T prekordial, dan dapat
ditafsirkan sebagai infark miokard akut (IMA).
H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pneumotoraks : (1,5,8,15)
Emfisema paru.
Kavitas paru besar.
Bulla besar.
Kista paru / kista bronkogenik.
Abses paru.
Nyeri pleuritik.
Hematotoraks.
Acute myocardial infarction
I. KOMPLIKASI
19
Komplikasi yang dapat terjadi akibat pneumotoraks: (1,4,5)
Pneumotoraks tension dengan gejala dispnu yang makin berat, sianosis,
gelisah. Pada pemeriksaan foto rontgen tampak medistinum dan jantung
terdorong kesisi yang sehat, sela iga tampak melebar, diafragma sisi
yang terkena rendah.
Pembentukan eksudat (infeksi sekunder) : pleuritis, mediastinitis, dan
lain-lain.
Timbulnya infeksi sekunder pada pungsi toraks darurat maupun sebagai
akibat pemasangan WSD sangat ditakutkan. Infeksi akan dapat berupa
empiema, suatu abses paru, pleuritis, mediastinitis, dan lain-lain.
Hemopneumotoraks. Di samping gejala dispnu dan sianosis, disertai
pula gejala akibat kehilangan darah seperti anemia, renjatan dan lain-
lain.
Emfisema kutis dan mediastinal.
Karena tekanan tinggi dirongga pleura, udara ditekan masuk ke jaringan
lunak melalui luka dan naik ke wajah. Leher dan wajah membengkak
seperti pada udem hebat. Pada perabaan terdapat krepitasi yang mungkin
meluas kejaringan subkutis toraks.
Pneumomediastinum.
Fistel bronkopleural.
Empiema (pyopneumotoraks).
Atelektasis (paru yang kollaps tidak mau mengembang).
Kegagalan pernafasan.
Recurrent pneumothorax
J. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya semua penderita pneumotaraks harus dirawat dirumah
sakit, mengingat setiap saat dapat timbul komplikasi. Penderita diberi obat
sedatif untuk mengurangi rasa nyeri dan untuk menenangkan (morfin atau
petidin). Batuk perlu dicegah (misalnya dengan kodein) dan sedapat-
dapatnya faktor etiologi dihilangkan. Anak dengan pneumotoraks spontanea
diobati secara konservatif, karena pada umumnya resorpsi udara dan
20
pengembangan kembali jaringan paru berjalan cepat. Namun bila didapatkan
pneumotoraks tension segera dilakukan pungsi rongga pleura yang
bersangkutan, dengan jarum dan kemudian dilakukan ”water sealed
drainage”. Pada pneumotoraks yang terjadi berulang-ulang dapat diberikan
suntikan larutan glukosa 50% kedalam rongga pleura untuk menimbulkan
pleuritis secara kimiawi sehingga terjadi perlekatan antara pleura visceralis
dan parietalis. (1,4,5)
Gambar 5. Primary Spontaneous Pneumothorax Summary Management
Algorithm. (13)
Gambar 6. Secondary Spontaneous Pneumothorax Summary Management
Algorithm. (13)
21
Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dapat digunakan untuk
melihat rongga pleura pada reseksi bulla dan pleurodesis (table 3).
Kompikasi yang dapat ditumbulkan karena Video-assisted thoracoscopic
surgery lebih besar terjadi pada pasien secondary pneumothorax disbanding
dengan pasien primary pneumothorax. (11).
Untuk mengidentifikasi faktor resiko operasi pembedahan pada
pneumotoraks spontan, Lund University Hospital mengadakan penelitian
pada bulan Januari 1996 dan Desember 2003. Penelitian tersebut
menggunakan metode retrospektif pada 240 pasien pneumotoraks spontan.
Pada hasil penelitian tersebut akan disusun dalam bentuk tabel dan laporan
operasi. Pada penelitian tersebut diamati tentang factor resiko selama 54
bulan. Hasilnya Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS), digunakan
pada 93% pasien pada operasi bullectomi dengan atau tanpa pleurodesis/
pleurectomi. Pada operasi anterolateral thoracotomy terdapat 6 kasus
(2,3%). Angka kematian (<30 hari) sebesar 0.8%, ( tapi jika operasi dengan
VATS sebesar 0%). (14)
22
Table 3. Tecniques Used During Video-Assisted Thoracoscopic
Surgery. (11)
Penanggulangan trauma toraks : (1,5,14)
Luka toraks harus ditutup dengan pembalut untuk menghentikan
kebocoran udara. Sebaiknya dipakai kasa besar steril yang diolesi vaselin
steril.
Pneumotoraks desak harus dipungsi sesegera mungkin. Udara harus
keluar sehingga mediastinum kembali ke tempatnya. Kemudian dipasang
penyalir sekat air. Penyalir dipasang dekat puncak rongga dada. Tindakan
darurat yang perlu dilakukan ialah, pembebasan jalan napas (A), pemberian
napas buatan dan ventilasi paru (B), dan pemantauan aktivitas jantung dan
peredaran darah (C). Selanjutnya harus dilakukan pemeriksaan Rontgen
toraks pada sikap penderita duduk dengan arah sinar mendatar agar
permukaan cairan, jika ada, tampak. Bila keadaan umum tidak
23
memungkinkan penderita duduk, ia dibaringkan pada sisi kiri atau kanan.
Antibiotik diberikan jika ada luka tembus.
Secara sistematis penanganan pneumotoraks sebagai berikut : (4,5,6,9,10,11,12)
1. Indikasi perawatan.
a. Semua bentuk pneumotoraks pada prinsipnya harus dirawat, untuk
pengawasan terhadap terjadinya keadaan bahaya (1-5 hari), terutama
pada kasus emergency : pneumotoraks ventil, komplikasi
pneumotoraks, dsb.
b. Sesak nafas, lebih-lebih yang makin hebat.
2. Pengobatan, terdiri atas :
a. Pengobatan terhadap penyakit paru yang mendasari : asma
bronkial, TB paru, kista paru, dsb.
b. Pengobatan suportif.
Bed rest.
Diet.
O2 ( pada pneumotoraks disertai sesak nafas harus segera
diberikan O2 ).
c. Penanganan terhadap pneumotoraksnya.
1. Pada pneumotoraks akut.
a. Penderita yang tidak disertai sesak nafas.
Derajat ringan (kollaps paru kurang dari 20
%).
Konservatif.
Tunggu 1-5 hari, bila keadaan baik
dipulangkan.
Derajat sedang.
Konservatif selama maksimal 2 minggu.
Sesudah konservatif 2 minggu paru tidak
mengembang lakukan tindakan WSD (saja) tanpa suction.
24
Bila kollaps paru lebih dari 20 % walaupun
tanpa sesak nafas harus dilakukan WSD, lebih baik dengan
continuous suction.
b. Penderita disertai sesak nafas.
Pada pneumotoraks terbuka (mungkin lubang
fistula lebar).
Segera berikan O2.
Segera pasang WSD sederhana atau betul-betul WSD
dengan continuous suction.
Pada pneumotoraks ventil.
Segera pasang kontraventil / WSD sederhana dan
segera konsulkan kebagian bedah.
Segera pasang WSD dengan continuous suction.
Dibantu O2 aliran tinggi.
2. Pada pneumotoraks kronik atau persisten.
Paru tidak mengembang (lebih dari 2 minggu) dilakukan
WSD dan continuous suction.
Paru tidak mengembang ini penyebabnya :
Mungkin ada penebalan pleura.
Atelektasis paru yang semula kollaps.
Lubang atau fistula besar.
Pertimbangkan tindakan pleurodesis oleh bagian bedah.
3. Pada pneumotoraks rekurens.
Lakukan atau pasang WSD.
Lakukan pleurodesis dengan bahan :
Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 50 ml NaCl 0,9 %.
Talk / talcum venetum steril.
Larutan glukosa hipertonik.
Darah penderita sedikit.
Bila cara diatas belum berhasil, pleurodesis
dilakukan oleh bagian bedah dengan membuat skarifikasi
25
permukaan pleura (parietalis dan visceralis yang berhadapan)
untuk dapat melekat, selama itu dipasang WSD.
d. Penanganan terhadap komplikasinya. (10)
Fistula bronkopleura dengan TB paru aktif.
Bila dalam 3 bulan dengan pengobatan OAT paru tidak mau
mengembang, perlu tindakan operatif.
2. Gangguan hemodinamik, pada pneumotoraks ventil segera
membuat tindakan kontraventil.
3. Emfisema kutis / mediastinal : mengeluarkan udara atau gas
dengan membuat tusukan jarum dikulit bagian tubuh tertinggi.
4. Infeksi sekunder : menggunakan antibiotik.
5. Pneumotoraks timbul penimbunan cairan dalam rongga pleura
(pneumohidrotoraks) perlu pungsi percobaan untuk mengeluarkan
seluruh cairan agar paru dapat berkembang lagi.
6. Reexpansion pulmonary edema. Pengeluaran udara dari rongga
pleura jangan dihisap terlalu kuat, agar tidak terjadi edema paru
pada paru yang mengembang dengan cepat tadi.
hemopneumotoraks: pembedahan.
Tindakan bedah hanya dilakukan bila : (2,12,14)
1. Cara
konservatif tidak berhasil mengembangkan paru kembali.
2. Pneumo
toraks spontanea terjadi berulang kali.
3. Terdapa
t kista atau bula yang terlampau besar.
4. Pneumo
toraks disebabkan trauma tembus.
Gambar.7. Pembuatan Alat Fiksasi WSD Mini. (9)
K. PROGNOSIS
Dengan terapi yang tepat, kesembuhan yang dicapai selalu sempurna,
dan kemungkinan kambuh kecil sekali, terkecuali bila penderita dikemudia
hari menjadi seorang perokok, juga bila terapi terhadap penyakit
26
dasarnya(TB) tidak sempurna. Jika pada penderita terdapat emfisema paru
dengantekanan udara intrapulmonal yang tinggi, maka pada keadaan
Gambar 8. Pemasangan WSD Mini dan Fiksasinya. (9)
K. EVALUASI
Setelah dilakukan penanganan pada pneumotoraks, kemudian
dilakukan evaluasi kesembuahan, terdiri dari : (5)
Awasi keadaan umum penderita / kelainan fisik dada.
Kontrol rntgen foto toraks serial, apakah :
Paru sudah mengembang : sempurna atau sebagian.
Paru tidak mengembang atau bertambah kollapsnya.
Timbul cairan (hidropneumotoraks), lakukan pungsi.
Evaluasi WSD, apakah :
Udara masih keluar atau tidak.
Diteliti apakah ada fistula bronkopleura.
L. EDUKASI DAN PENCEGAHAN
Pasien diberi tau cara pencegahan agar pneumotoraks tidak menjadi
rekurens, denagan cara : (5,11)
1. Hindari faktor pencetus pada penderita dengan kelainan paru.
2. Hindari merokok agar tidak timbul PPOM (faktor resiko timbulnya
pneumotoraks spontan sekunder).
27
3. Pencegahan pneumotorak rekuren, dapat dilakukan dengan
menggunakan :
Pleurodesis kimia, dengan menggunakan larutan tetrasiklin atau
bedak talk.
Pleurektomi parietal. Dilakukan pula ligasi atau reseksi bullae atau
bleb.
N. PROGNOSIS
Dengan drainase adekuat, bahkan bila ada penyakit paru, hampir selalu
bisa terjadi resolusi. Setelah pneumotoraks spontan primer, 30% pasien
mengalami episode kedua dalam waktu 5 tahun. Setelah episode kedua,
tingkat rekurensi meningkat diatas 50% dan oleh karenanya penderita
disarankan untuk menjalani pleurodesis. Setelah pleurodesis jarang terjadi
rekurensi.(6)
Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang
dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya
cukup baik, umumnya tidak dijumpai komplikasi.(5)
Jika pneumotoraks cepat ditangani dan cepat mendapat pengobatan,
prognosisnya baik. Angka kekambuahan pada pneumotoraks spontan
mencapai 30 % terjadi pada paru yang sama, dan 10 % pada paru
kontralateral. (7)
Angka kematian yang terjadi selama 30 hari mencapai 40% (95%
angka kematiannya berada pada interval 36,4-43,6). Sebanyak 35 dari 77
pasien yang terdapat udara dalam rongga yang bersifat patologis
(pneumomediastinum, pneumo pericardium, pulmonary interstitial edema,
and subcutaneous emphysema) atau yana mengalami air leaks meninggal
(45,5%; 95 % menunjukan interval 34,4-56,6), dan 253 dari 648 pasien
tanpa air leaks meninggal sebanyak (39,0%; 95% berada pada interval 35,3-
42,8; didapatkan P=0,28 yang didapat dari chi-square test). (figure. ).
Sebanyak 33 dari 50 pasien dengan pneumotoraks meninggal (46,0%; 95%
berada pada interval, 32,2-59,8), dan 265 dari 675 pasien tanpa
28
pneumotoraks meninggal sebanyak (39,3%; 95% berada pada interval 35,6-
43,0, sehingga didapatkan P=0,35. (10)
Figure 9. Mortality Rate at 30 Days among 725 Patients with the Acute
Respiratory Distress Syndrome, According to the Presence or Absence of
Air Leaks. There were no significant differences among the 648 patients
with no air leaks, the 77 patients with any air leaks, and the 50 patients with
pneumothorax. The vertical bars denote 95 percent confidence intervals. (10)
Seseorang yang mengalami pneumotoraks mempunyai resiko
terjadinya rekurrensi. Bagaimanapun , orang dewasa yang mengalami
spontaneous pneumotoraks mempunyai angka rekurrensi lebih kecil (30%),
dibandingkan pada anak-anak (37%-60%). (12)
29
EFUSI PLEURA
A. DEFINISI
Efusi pleura adalah akumulasi cairan berlebihan di dalam rongga pleura
yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara pembentukan dan pengeluaran
cairan pleura sehingga menyebabkan berkumpulnya cairan dengan jumlah yang
abnormal di rongga pleura. (17,18)
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI PLEURA
Pleura terbentuk dari dua membran serosa, yakni pleura visceral yang
melapisi paru serta pleura parietal yang melapisi dinding toraks bagian dalam.
Pada hakikatnya kedua lapis membran ini saling bersambungan di dekat hilus,
yang secara anatomis disebut sebagai refleksi pleura (19,20). Pleura visceral dan
parietal saling bersinggungan setiap kali manuver pernapasan dilakukan,
sehingga dibutuhkan suatu kemampuan yang dinamis dari rongga pleura untuk
saling bergeser secara halus dan lancar. Ditinjau dari permukaan yang
bersinggungan dengannya, pleura visceral terbagi menjadi empat bagian,
yakni bagian kostal, diafragama, mediastinal, dan servikal.(22,24)
Terdapat faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kontak
antarmembran maupun yang mendukung pemisahan antarmembran. Faktor
yang mendukung kontak antarmembran adalah: (1) tekanan atmosfer di luar
dinding dada dan (2) tekanan atmosfer di dalam alveolus (yang terhubung
dengan dunia luar melalui saluran napas). Sementara itu faktor yang
mendukung terjadi pemisahan antarmembran adalah: (1) elastisitas dinding
toraks serta (2) elastisitas paru.(24) Pleura parietal memiliki persarafan,
sehingga iritasi terhadap membran ini dapat mengakibatkan rasa alih yang
timbul di regio dinding torako-abdominal (melalui n. interkostalis) serta nyeri
alih daerah bahu (melalui n. frenikus).
30
Gambar 1 – Anatomi Pleura Pada Paru Normal (Kanan) dan Paru yang Kolaps
(Kiri)
Antara kedua lapis membran serosa pleura terdapat rongga potensial, yang
terisi oleh sedikit cairan yakni cairan pleura. Rongga pleura mengandung
cairan kira-kira sebanyak 0,3 ml kg-1 dengan kandungan protein yang juga
rendah (sekitar 1 g dl-1). Secara umum, kapiler di pleura parietal menghasilkan
cairan ke dalam rongga pleura sebanyak 0,01 ml kg-1 jam-1. Drainase cairan
pleura juga ke arah pleura parietal melalui saluran limfatik yang mampu
mendrainase cairan sebanyak 0,20 ml kg-1 jam-1. Dengan demikian rongga
pleura memiliki faktor keamanan 20, yang artinya peningkatan produksi
cairan hingga 20 kali baru akan menyebabkan kegagalan aliran balik yang
menimbulkan penimbunan cairan pleura di rongga pleura sehingga muncul
efusi pleura.(21,22,24)
31
Gambar 2 – Desain Morfofungsional Rongga Pleura
(s.c : kapiler sistemik; p.c : kapiler pulmoner)
Gambar 2 adalah bentuk kompartmen pleuropulmoner yang
tersimplifikasi. Terdapat lima kompartmen, yakni mikrosirkulasi sistemik
parietal, ruang interstisial parietal, rongga pleura, intestisium paru, dan
mikrosirkulasi visceral. Membran yang memisahkan adalah kapiler
endotelium, serta mesotel parietal dan visceral. Terdapat saluran limfatik yang
selain menampung kelebihan dari interstisial juga menampung keleibhan dari
rongga pleura (terdapat bukaan dari saluran limfatik pleura parietal ke rongga
pleura yang disebut sebagai stomata limfatik. Kepdatan stomata limfatik
tergantung dari regio anatomis pleura parietal itu sendiri. Sebagai contoh
terdapat 100 stomata cm-2 di pleura parietal interkostal, sedangkan terdapat
8.000 stomata cm-2 di daerah diafragma. Ukuran stomata juga bervariasi
dengan rerata 1 m (variasi antara 1 – 40 m). (23)
Sama seperti proses transudasi cairan pada kapiler, berlaku pula hukum
Starling untuk menggambarkan aliran transudasi (Jv) antara dua kompartmen.
Hukum ini secara matematis dinyatakan sebagai berikut (24):
Jv = Kf [(PH1 – PH2) - (1 - 2)]
Kf merupakan koefisien filtrasi (yang tergantung kepada ukuran pori
membran pemisah antara dua kompartmen), PH dan berturut-turut adalah
32
tekanan hidrostatik dan koloidosmotik, serta merupakan koefisien refleksi
(=1 menggambarkan radius dari zat terlarut lebih besar dari pori sehingga zat
terlarut tak akan mampu melewati pori, sebaliknya =0 menggambarkan
seluruh zat terlarut lebih kecil ukurannya dari pori yang mengakibatkan aliran
zat terlarut dapat berlangsung secara bebas).
Gambar 3 – Gambar (a) merupakan hipotesis Neggard (1927) yang
menggambarkan hipotesis tentang pembentukan serta drainase cairan pleura.
Hipotesis ini terlalu sederhana karena mengabaikan keberadan interstisial dan
limfatik pleura; sedangkan (b) merupakan teori yang saat ini diterima
berdasarkan percobaan terhadap kelinci.
Filtrasi cairan pleura terjadi di plura parietal (bagian mikrokapiler
sistemik) ke rongga interstitium ekstrapleura. Gradien tekanan yang kecil
mendorong cairan ini ke rongga pleura.(22) Nilai antara intersitisium parietal
dengan rongga pleura relatif kecil (=0,3), sehingga pergerakan protein
terhambat dan akibatnya kandungan protein cairan pleura relatif rendah (1 g
dl-1) dibandingkan dengan interstisium parietal (2,5 g dl-1).(24,25)
33
Sementara itu drainase cairan pleura sebagian besar tidak melalui pleura
visceral (sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Neggard), sehingga pada
sebagian besar keadaan rongga pleura dan interstisium pulmoner merupakan
dua rongga yang secara fungsional terpisah dan tidak saling berhubungan.
Pada manusia pleura visceral lebih tebal dibandingkan pleura parietal,
sehingga permeabilitas terhadap air dan zat terlarutnya relatif rendah. Saluran
limfatik pleura parietal dapat menghasilkan tekanan subatmosferik -10
cmH2O.
C. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal, cairan pleura sebanyak 10-20 ml dengan kadar
protein rendah (1-2 gr/dl), jumlah sel 1500-4500 mikroliter dengan predominan
monosit, pH dan kadar glukosa sama dengan kadar dalam darah. (24)
Cairan dihasilkan oleh pleura parietalis dan cairan tersebut akan berpindah
sesuai dengan perubahan tekanan pada pembuluh darah dan cairan interstitial.
Jumlah cairan di di dalam rongga pleura dapat meningkat dengan adanya
kelebihan pembentukan atau terjadinya penurunan perpindahan cairan. (24)
Cairan pleura abnormal dibedakan atas transudat dan eksudat. Oleh karena
itu perlu diperhatikan apakah cairan dalam rongga pleura itu eksudat dan
transudat. Transudat adalah akumulasi cairan akibat transudasi plasma yang
biasanya disebabkan oleh proses noninflamasi dan terjadi akibat peningkatan
tekanan hidrostatik pada sirkulasi sistemik atau penurunan tekanan osmotic koloid
plasma. Sedangkan eksudat adalah akumulasi cairan yang disebabkan oleh proses
inflamasi sehingga permeabilitas kapiler meningkat atau terjadi gangguan aliran
limfatik sehingga pengaliran cairan pleura menuju pembuluh getah bening
terhambat. (24)
Dasar terjadinya efusi pleura adalah keadaan-keadaan yang menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik pembuluh darah, penurunan tekanan onkotik
koloid, peningkatan tekanan negative rongga pleura, gangguan drainage limphatik
di pleura visceralis, peningkatan permeabilitas kapiler serta ruptur langsung
pembuluh darah atau pembuluh getah bening. (24)
34
D. MANIFESTASI KLINIS
A. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan nyeri pleuritik pada akhir inspirasi,
yang bertambah berat pada pergerakan nafas atau bila penderita batuk, sehingga
penderita menahan nafas dan batuknya, nyeri terasa di daerah axilla dan menjalar
sepanjang n.intercostalis sisi yang sakit. (21)
Nyeri pleuritik akan hilang atau berkurang bila efusi bertambah. Penderita
juga dapat datang dengan keluhan sesak nafas atau ditambah dengan keluhan
khusus sesuai panyakit dasarnya (trauma, infeksi, keganasan, degenerasi). (21)
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pernafasan tampak pernafasan dangkal dan cepat, bentuk hemithorax
yang sakit lebih cembung dan pergerakannya lebih terlambat. Pada palpasi, vokal
fremitus melemah, pada perkusi suara dinding thorax dull atau sonor memendek.
Bila cairan cukup banyak (600 cc) batas proximal keredupan, konveks ke atas
dengan puncaknya di garis aksiler, batas tersebut disebut garis Ellis Domoiseau.
Garis ini melintasi tulang punggung dan membentuk dua segitiga yang proximal
memberi bising ketok timpani dan disebut segitiga Garland, sedangkan segitiga
lainnya redup pada perkusi dan diberi nama segitiga Groccorauchtless. Keredupan
ini disebabkan oleh mediastinum yang terdorong oleh cairan. Proksimal dan garis
Ellis Domoiseau, bising ketok tidak lagi sonor namun agak timpani karena
jaringan paru di tempat ini didorong oleh cairan dan ketegangannya berkurang
karena terjadi atelektasis karena komponen yang banyak ini juga dapat mendesak
jaringan-jaringan di sekitarnya misalnya : jantung dan mediastinum. Pada
auskultasi suara nafas menurun sampai hilang terdengar, egofoni pada daerah
atelektasisi di atas efusi. (21,25)
E. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis teliti dan pemeriksaan fisis
yang baik. Tanda dan gejala efusi pleura (25):
- Dispnea bervariasi
- Nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi sekunder akibat penyakit pleura
35
- Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami efusi
- Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)
- Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena.
- Perkusi meredup di atas efusi pleura
- Egofoni di atas paru-paru yang tertekan dekat efusi
- Suara nafas berkurang di atas efusi pleura
- Fremitus vokal dan raba berkurang
Foto dada PA dan lateral dapat membantu diagnosis, sedangkan diagnosis pasti
ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi, dan analisis cairan pleura.
Rontgen Thoraks
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk
bayangan seperti kurva, dengan permukaan lateral lebih tinggi daripada bagian
medial. Bila permukaannya horizontal dari lateral ke medial, pasti terdapat udara
dalam rongga tersebut yang dapat berasal dari luar atau dari dalam paru sendiri.
Kadang-kadang sulit membedakan antara bayangan cairan bebas dalam pleura
dengan adhesi karena radang (pleuritis). Perlu pemeriksaan foto dada dengan
posisis lateral dekubitus. Cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi. (21,25)
Cairan dalam pleura dapat juga tidak membentuk kurva, karena ia
terperangkap atau terlokalisasi, sering terdapat pada daerah bawah paru yang
berbatasan dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini dinamakan juga sebagai
efusi subpulmonik. Pada sinar tembus gambarannya sering terlihat sebagai
diafragma yang terangkat. Jika terdapat bayangan dengan udara dalam lambung,
ini cenderung menunjukkan efusi subpulmonik. Begitu juga dengan bagian kanan
dimana efusi subpulmonik sering terlihat sebagai bayangan garis tipis ( fisura)
yang berdekatan dengan diafragma kanan. Untuk jelasnya bisa dilihat dengan foto
dada latereral dekubitus, sehingga gambaran perubahan efusi tersebut menjadi
nyata. (25,26)
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru
(biasanya lobus bawah) dan terlihat dalam foto sebagai bayangan konsolidasi
parenkim lobus. Dapat juga mengumpul di daerah paramediastinal dan terlihat
dalam foto sebagai fisura interlobaris. Bisa juga terdapat secara paralel dengan sisi
36
jantung, sehingga terlihat sebagai kardiomegali. Cairan seperti empiema dapat
juga terlokalisasi. Gambaran yang terlihat adalah sebagai bayangan dengan
densitas keras di atas diafragma. Keadaan ini sulit dibedakan dengan tumor paru. (21,25,26)
Hal lain yang dapat terlihat dalam foto dada pada efusi pleura adalah
terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan, tetapi bila
terdapat atelektasis pada sisi yang bersamaan denagn cairan, mediastinum akan
tetap di tempatnya. Di samping itu gambaran foto dapat juga menerangkan asal
mula terjadinya efusi pleura yakni bisa terdapat jantung yang membesar, adanya
massa tumor, adanya densitas parenkim yang lebih keras pada pneumonia atau
abses paru. Pemeriksaan dengan ultrasonografi pleura dapat menentukan adanya
cairan dalam rongga pleura, terutama pada efusi yang terlokalisasi. Adanya
perbedaan densitas cairan denagn jaringan sekitarnya, sangat memudahkan dalam
menentukan adanya efusi pleura.Hanya saja pemeriksaan ini tidak banyak
dilakukan karena biayanya masih mahal. (26,27)
Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) berguna sebagai sarana untuk
diagnostik maupun teurapetik. Pelaksaan torakosentesis sebaiknya dilakukan pada
pasien dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga
garis aksilaris posterior dengan memakai jarum Abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melabihi 1000-1500 cc pada setiap kali
aspirasi. Lebih baik mengerjakan aspirasi berulang-ulang daripada satu kali
aspirasi sekaligus yang dapat menimbulkan pleural shock (hipotensi) atau edema
paru. Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat.
Mekanisme sebenarnya belum diketahu betul, tetapi diperkirakan karana adanya
tekanan intrapleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah
melalui permeabilitas kapiler yang abnormal. (26)
Komplikasi lain torakosentesis adalah: pneumotoraks ( ini yang paling
sering, udara masuk melalui jarum), hemotoraks ( karena trauma pada pembuluh
darah interkostalis) dan emboli udara, ini agak jarang terjadi. (21,25,26,27)
Untuk diagnostik cairan pleura dilakukan pemeriksaan (27) :
37
a. Warna cairan
Biasanya cairan pleura berwarna agak kekuning-kuingan (serous-
xanthochrome). Bila agak kemerah-merahan, dapat terjadi pada trauma,
infark paru, keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kuning
kehijauan dan agak purulen, ini menunjukkan adanya empiema. Bila
merah coklat, ini menunjukkan adanya abses karena ameba.
b. Biokimia
Secara biokimia efusi pleura terbagi atas transudatdan eksudat yang
perbedaannya dapat terlihat pada tabel di bawah ini.
Transudat Eksudat
- Kadar protein dalam efusi (g/dL) <3 >3
- Kadar protein dalam efusi
\ Kadar protein dalam serum <0.5 >0,5
- Kdar LDH dalam efusi (IU) <200 >200
- Kadar LDH dalam efusi
Kadar LDH dalam serum <0,6 >0,6
- Berat jenis cairan efusi <1,016 >1,016
- Rivalta negatif positif
Di samping pemeriksaan tersebut di atas, secara biokimia diperiksa juga
cairan pleura :
- Kadar pH dan glukosa. Menurun pada penyakit-penyakit infeksi, artritis
reumatoid dan neoplasma.
- Kadar amilase. Meningkat pada pankreatitris dan metastasis
adenokarsinoma.
Transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang jumlahnya sedikit itu adalah
transudat. Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan
kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu, sehingga
38
terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi pada
pleura lainnya. Biasanya hal ini terdapat pada :
- Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
- Meningkatnya tekanan kapiler pulmonal
- Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura.
- Menurunnya tekanan intrapleura.
Penyakit-penyakit yang menyertai transudat adalah:
- Gagal jantung kiri ( terbanyak)
- Sindrom nefrotik
- Obstruksi Vena Cava Superior
- Asiets pada sirosis hati ( asites menembus suatu defek diafragma atau
masuk melalui saluran getah bening)
- Sindrom Meig (asites dengan tumor ovarium )
- Efek tindakan dialisis peritoneal
- Ex vacuo effusion, karena absorbsi pada pneumotoraks, tekanan
intrapleura menjadi subatmosfir sehingga terdapat pembentukan dan
penumpukan transudat.
Eksudat
Eksudat merupakan cairan pleura yang terbentuk melalui membran kapiler
yang permeabilitasnya abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinnggi
dibandingkan protein transudat. Terjadinya perubahan pemeabilitas
membran adalah karena peradangan pada pleura: infeksi, infark paru atau
neoplasma. Protein yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal
dari saluran getah bening. Kegagalan aliran protein getah bening ini
(misalnya pada pleuritis tuberkulosa ) akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat.
c. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk diagnostik
penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis atau dominasi
sel-sel tertentu. (21)
39
- Sel neutrofil: menunjukkan adanya infeksi akut
- Sel limfosit: menunjukkan adanya infeksi kronik seperti pleuritis
tuberkulosa atau limfoma malignum
- Sel mesotel: biula jumlahnya meningkat ini menunjukkan adanya infrak
paru. Biasanya juga ditemukan banyak sel eritrosit.
- Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
- Sel-sel besar dengan banyak inti: pada artritis reumatoid
- Sel LE: pada lupus eritematosus sistemik
d. Bakteriologi
Biasanya cairan pleura steril, tetapi kadang-kadang dapat mengandung
mikroorganisme, apalagi bila cairannya purulen, (menunjukkan empiema).
Efusi yang purulen dapat mengandung kuman-kuman yang aerob atau
anaerob. Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah :
Pneumococcus, E. Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterobacter.
Pleuritis tuberkulosa, biakan cairan terhadap kuman tahan asam hanya
dapat menunjukkan yang positif sampai 20-30%. (21,25)
Biopsi Pleura
Pemeriksaan histologi satu atau beberapa contoh jaringan pleura dapat
menunjukkan 50-75% diagnosis kasus-kasus pleuritis tuberkulosa dan tumor
pleura. Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi,
atau tumor pada dinding dada (21,25,26,27).
Pendekatan pada efusi yang tidak terdiagnosis
Analisis terhadap cairan pleura yang dilakukan satu kali kadang-kadang tidak
dapat menegakkan diagnosis. Dalam hal ini dianjurkan aspirasi dan analisisnya
diulang kembali sampai diagnosis menjadi jelas. Efusi yang menetap dalam waktu
empat minggu dan kondisi pasien tetap stabil, siklus pemeriksaan sebaiknya
diulang kembali. Jika fasilitas memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan seperti (21,25,26,27):
40
- Bronkoskopi, pada kasus-kasus neoplasma, korpus alineum dalam paru,
abses paru dll.
- Scanning isotop, pada kasus-kasus dengan emboli paru,
- Torakoskopi ( fiber-optic pleuroscopy) pada kasus-kasus dengan
neoplasma atau tuberkulosis pleura.
Cara: Dilakukan sedikit insisis pada dinding dada (dengan risiko kecil
terjadinya pneumotoraks ). Cairan dikeluarkan denagn memakai penghisap
dan udara dimasukkan supaya dapat melihat kedua pleura. Dengan
memakai bronkoskop yang lentur dilakukan beberapa biopsi.
Pada negara-negara dengan populasi tuberkulosis yang tinggi, efusi
pleura yang tetap tidak terdiagnosis (terutama pada anak-anak dan dewasa
muda ) dianggap sebagai pleuritis tuberkulosis dan diberi terapi dengan
obat anti tuberkulosa.
F. DIAGNOSIS BANDING
Dengan gambaran efusi pleura yang bermacam-macam, harus dipikirkan
beberapa diagnosis diferensial (28) :
1. Tumor paru
Didapatkan gambaran sinus tidak terisi, permukaan sesuai dengan bentuk
tumor, dapat terjadi pendorongan jantung oleh massa tumor.
2. Pneumonia
Didapatkan gambaran : batas atas tegas dan rata sesuai dengan batas lobus
paru-paru, sinus biasanya terisi paling akhir, tidak ada pendorongan dan
tampak air bronkogram.
3. Atelektasis
Didapatkan gambaran : batasnya jelas, rata, berbentuk segitiga atau
polygonal, sinus dapat terjadi, tergantung dari segmen yang atelektasis,
bila berat dapat terjadi retraksi ke arah yang sakit, tidak tampak air
bronkogram.
41
G. PENATALAKSANAAN
Efusi yang terinfeksi perlu pula segera dikeluarkan dengan memakai pipa
intubasi melalui sela iga. Bila cairan pusnya kental sehingga sulit keluar atau bila
empiemanya multilokular, perlu tindakan operatif. Mungkin sebelumnya dapat
dibantu dengan irigasi cairan garam fisiologis atau larutan antiseptik (Betadine).
Pengobatan secara sistemik hendaknya segera diberikan, tetapi ini akan tidak
berarti bila tidak diiringi pengeluaran cairan yang adekuat (21,25,26).
Untuk mencegah terjadinya lagi efusi pleura setelah aspirasi ( pada efusi
pleura maligna ), dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketkan pleura viseralis
dan pleura perietalis. Zat-zat yang dipakai adalah tetrasiklin (terbanyak dipakai )
Bleomycin, Corynebacterium parvum, Thio-tepa, 5 Fluorouracil, dll. (21,25,27)
Prosedur pleurodesis
Pipa selang dimasukkan pada ruang antar iga dan cairan efusi dialirkan
keluar secara perlahan-lahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar, masukkan
500 mg tetrasiklin, (biasanya oksitetrasiklin) yang dilarutkan dalam 20 cc garam
fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti dengan 20 cc garam
fisiologis. Selang dikunci selam 6 jam dan selama itu pasien diubah-ubah
posisinya, sehingga tetrasiklin dapat didistribusikan ke saluran rongga pleura.
Selang antar iga kemudian dibuka dan cairan dalam rongga pleura kembali
dialirkan ke luar sampai tidak ada lagi yang tersisa. Selang kemudian dicabut. Jika
dipakai zat Corynebacterium parvum, masukkan 7 mg yang dilarutkan dalam 20
cc garam fisiologis dengan cara seperti tersebut di atas. Komplikasi tindakan
pleurodesis ini sedikit sekali, biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam. (21,25,26,27)
42
PLEURISY
A. DEFINISI
Pleuritis adalah peradangan dari lapisan sekeliling paru-paru (pleura). Ada
dua pleura: satu yang melindungi paru (diistilahkan visceral pleura) dan yang lain
melindungi dinding bagian dalam dari dada (parietal pleura). Dua lapisan-lapisan
ini dilumasi oleh cairan pleural.(1) Pleuritis seringkali dihubungkan dengan
akumulasi dari cairan ekstra dalam ruang antara dua lapisan pleura. Cairan ini
dinamakan sebagai pleural effusion. Pleuritis juga dinamakan sebagai pleurisy.
Persarafan dari paru-paru berlokasi pada pleura. Ketika jaringan ini meradang, itu
berakibat pada nyeri yang tajam pada dada yang memburuk saat proses
pernapasan, atau pleuritis. Gejala-gejala lain dari pleurisy dapat berupa batuk,
nyeri dada, dan sesak napas.(21)
B. ETIOLOGI
Pleurisy dapat disebabkan oleh apa saja dari kondisi-kondisi berikut (1,21,26):
Infeksi: bakteri, jamur, parasit, atau virus
Kimia-Kimia yang Terhisap atau Senyawa-Senyawa Beracun
Penyakit-Penyakit Vaskular Kolagen
Kanker
Tumor-Tumor dari Pleura: mesothelioma atau sarcoma
Kegagalan jantung
Pulmonary embolism
Rintangan dari Kanal-Kanal Limfa
Trauma
Obat-Obat Tertentu
Proses-proses Perut
Lung infraction
C. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan Gejala Pleurisy antara lain (1,21,26)
Nyeri pada dada yang diperburuk oleh bernapas
Sesak Napas
43
Perasaan “ditikam”
Gejala yang paling umum dari pleurisy adalah nyeri yang umumnya
diperburuk oleh penghisapan (menarik napas). Meskipun paru-paru sendiri tidak
mengandung syaraf-syaraf nyeri apa saja, pleura mengandung berlimpah-limpah
ujung-ujung syaraf. (1,21,26)
Ketika cairan ekstra berakumulasi dalam ruang antara lapisan-lapisan dari
pleura, nyeri biasanya dalam bentuk pleurisy yang kurang parah. Dengan jumlah-
jumlah akumulasi cairan yang sangat besar, ekspansi dari paru-paru dapat
dibatasi, dan sesak napas dapat memburuk. (1,21,26)
D. PATOFISIOLOGI
Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme: filtrasi partikel
di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing
melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh mukosilier, fagositosis
kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan
drainase melalui sistem limfatik. Faktor predisposisi pneumonia : aspirasi,
gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak, pertusis, penyakit jantung
bawaan, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan gangguan klirens
mucus atau sekresi seperti pada fibrosis kistik, benda asing atau disfungsi silier.
Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda
asing, transplasental atau selama persalinan pada neonatus. Umumnya pneumonia
terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui
aliran darah (hematogen). Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakteri dan
virus. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia tersering pada bayi dan
anak kecil. Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan dengan meningkatnya
umur. Pada pneumonia yang berat bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis
respiratorik, asidosis metabolik dan gagal nafas. (1,21,26)
E. DIAGNOSA PLEURITIS
Nyeri dari pleuritis adalah sangat khusus. Nyerinya di dada dan biasanya tajam
dan diperburuk oleh bernapas. Bagaimanapun, nyerinya dapat dikacaukan dengan
nyeri dari (1,21,26):
44
Peradangan sekitar jantung (pericarditis)
Serangan jantung (myocardial infarction)
Kebocoran udara didalam dada (pneumothorax)
Untuk membuat diagnosis dari pleuritis, dapat diperiksa pada dada di area
nyeri dan seringkali dapat mendengar (dengan stethoscope) friksi (gesekan) yang
dihasilkan oleh gosokan dari dua lapisan pleura yang meradang dengan setiap
pernapasan. Bunyi yang dihasilkan oleh suara ini diistilahkan sebagai pleural
friction rub. (Berlawanan dengannya, friksi dari gosokan yang terdengar dengan
pericarditis adalah serempak dengan denyut jantung dan tidak berubah dengan
pernapasan). Dengan jumlah-jumlah yang besar dari akumulasi cairan pleural,
disana mungkin ada suara-suara pernapasan yang berkurang (suara-suara
pernapasan yang kurang didengar melalui stetoscope) dan dada bunyinya tumpul
ketika dokter mengetuk diatasnya (ketumpulan atas ketukan). (1,21,26)
X-ray dada pada posisi tegak lurus dan ketika berbaring pada sisi adalah alat
yang akurat dalam mendiagnosa jumlah-jumlah yang kecil dari cairan dalam
ruang pleural. Adalah mungkin untuk memperkirakan jumlah dari cairan ynag
terkumpul dengan penemuan-penemuan pada x-ray. (Terkadang, sebanyak 4-5
liter cairan dapat berakumulasi didalam ruang pleural). (1,21,26)
Ultrasound adalah juga metode yang sensitif untuk mendeteksi kehadiran
cairan pleural. CT scan dapat sangat bermanfaat dalam mendeteksi kantong-
kantong yang terjebak dari cairan pleural serta dalam menentukan sifat dari
jaringan-jaringan yang mengelilingi area. (1,21,26)
Pengangkatan cairan pleural dengan suntikan (penyedotan) adalah penting
dalam mendiagnosa penyebab dari pleurisy. Warna, konsistensi, dan kejernihan
dari cairan dianalisa dalam laboratorium. Analisa cairan didefinisikan sebagai
“exudate” (tinggi dalam protein, rendah dalam gula, tinggi dalam enzim LDH, dan
tinggi dalam jumlah sel putih; karakteristik dari proses peradangan) atau
“transudate” (mengandung tingkat-tingkat yang normal dari kimia-kimia tubuh
ini). Penyebab-penyebab dari cairan exudate termasuk infeksi-infeksi
(seperti pneumonia), kanker, tuberculosis, dan penyakit-penyakit collagen
(seperti rheumatoid arthritis dan lupus). (1,21,26)
45
Penyebab-penyebab dari cairan transudate adalah gagal jantung kongesti dan
penyakit-penyakit hati dan ginjal. Pulmonary emboli dapat menyebabkan salah
satu dari transudates atau exudates pada ruang pleural. Cairan juga dapat diuji
untuk kehadiran dari organisme-organisme infeksius dan sel-sel kanker. Pada
beberapa kasus-kasus, potongan kecil dari pleura mungkin diangkat untuk studi
mikroskopik (dibiopsi) jika ada kecurigaan dari tuberculosis (TB) atau kanker. (1,21,26)
F. PENATALAKSANAAN
External splinting dari dinding dada dan obat nyeri dapat mengurangi
nyeri dari pleurisy. Perawatan dari penyakit yang mendasarinya, tentu saja,
akhirnya membebaskan pleurisy. Contohnya, jika kondisi jantung, paru, atau
ginjal hadir, ia dirawat. Pengangkatan cairan dari rongga dada (thoracentesis)
dapat menghilangkan nyeri dan sesak napas. Terkadang pengangkatan cairan
dapat membuat pleurisy memburuk sementara karena sekarang dua permukaan
pleural yang meradang dapat menggosok secara langsung pada satu sama lainnya
dengan setiap pernapasan. Jika cairan pleural menunjukan tanda-tanda infeksi,
perawatan yang tepat melibatkan antibiotik-antibiotik dan pengaliran dari cairan.
Jika ada nanah didalam ruang pleural, tabung pengaliran dada harus dimasukan.
Prosedur ini melibatkan penempatan tabung didalam dada dibawah
pembiusan total. Tabung kemudian disambungkan ke ruang yang disegel yang
dihubungkan ke alat pengisapan dalam rangka untuk menciptakan lingkungan
tekanan negatif. Pada kasus-kasus yang berat, dimana ada jumlah-jumlah yang
besar dari nanah dan jaringan parut (adhesions), ada keperluan untuk
“decortication”. Prosedur ini melibatkan pemeriksaan ruang pleural dibawah
pembiusan dengan scope khusus (thoracoscope). Melalui alat seperti pipa,
jaringan parut, nanah, dan puing-puing dapat diangkat. Adakalanya, prosedur
operasi terbuka (thoracotomy) diperlukan untuk kasus-kasus yang menyulitkan.
Pada kasus-kasus dari pleural effusion yang berakibat dari kanker, cairan
seringkali berakumulasi kembali. Pada tatacara ini, prosedur yang disebut
pleurodesis digunakan. Prosedur ini memerlukan menanamkan iritan, seperti
bleomycin, tetracycline, atau bedak talc, didalam ruang antara lapisan-lapisan
46
pleural dalam rangka menciptakan peradangan. Peradangan ini, pada gilirannya,
akan melekatkan dua pleura bersama ketika luka parut berkembang. Prosedur ini
dengan demikian melenyapkan ruang antara pleura dan mencegah akumulasi
kembali dari cairan. (1,21,26)
G. PENCEGAHAN PLEURISY
Pleuritis dapat dicegah, tergantung pada penyebabnya. Contohnya, intervensi dini
dalam merawat pneumonia mungkin mencegah akumulasi dari cairan pleural.
Pada kasus dari penyakit jantung, paru, atau ginjal, manajemen dari penyakit yang
mendasarinya dapat membantu mencegah akumulasi cairan (1,21,26).
47
CHYLOTHORAX
A. DEFINISI
Chylothorax adalah akumulasi cairan limphe yang berlebihan di dalam
rongga pleura karena kebocoran dari duktus torasikus atau cabang-cabang
utamanya. (1)
B. PATOFISIOLOGI
Obstruksi atau laserasi duktus torasikus yang paling sering disebabkan
oleh keganasan, trauma, tuberkulosa dan trombosis vena. Cairan "chylus" khas
putih seperti susu tidak berbau dan bersifat alkalis,pada kondisi puasa produksi
minimal dan menjadi produktif setelah makan makanan berlemak. Komposisi
terutama adalah fat 14-210 mmol/L (60%-70% lemak yang diserap usus masuk ke
dalam duktus torasikus) protein dan elektrolit. (27)
C. DIAGNOSIS
Anamnesis dijumpai keluhan sesak napas. Pemeriksaan fisik ada gerakan
asimetris sisi sakit tertinggal, sela iga melebar, keredupan sisi sakit, fremitus raba
menurun pada sisi sakit, suara napas menurun pada sisi sakit. (27)
Foto toraks tampak gambaran cairan efusi pleura. Aspirasi cairan pleura
memastikan ada efusi pleura. Bila diperlukan dapat dibantu USG toraks atau CT
scan toraks. (1,27)
D. DIAGNOSIS BANDING (28)
Konsolidasi paru karena pneumoni
Neoplasma karena kolaps paru
Fibrosis pleura
E. PENATALAKSANAAN (28,29)
1. Konservatif, dengan cara: pemberian diet dan nutrisi yang adekuat (rendah
lemak), koreksi cairan dan elektrolit dan drainase tertutup (WSD).
2. Intervensi bedah
48
Tindakan bedah dilakukan bila lebih dari 14 hari tindakan konservasif tidak
berhasil, dari kepustakaan 25% kebocoran akan menutup secara sepontan dalam
interval waktu 14 hari dan 75% butuh intervensi bedah.
Teknik bedah (29)
ligasi langsung pada duktus toraksikus.
"supra diaphragmatic mass ligaton".
Pleuroperitoneal shunting.
Pleurodesis dan pleurectomi.
Anastomosis duktus ke V azugos.
Dekortikasi.
Fibrine glue.
VATS.
- Aspirasi cairan pleura untuk mengurangi keluhan sesak napas. Dianjurkan
untuk melakukan aspirasi sedikit demi sedikit, sebanyak 500-1000 cc, unutk
mencegah edema paru akibat pengambilan cairan yang banyak dan cepat.
- Efusi pleura maligna yang cepat reakumulasi dianjurkan pleurodesis. Sebelum
bahan sklerosing dimasukkan ke rongga pleura, dipasang chest tube, lalu
tetracylin HGI dosis 20 mg/kgBB yang dilarutkan dalam 50 cc cairanfisiologis
(garam faali). Penderita diupayakan berubah posisi atau digoyang supaya
merata, dilakukan pengisapan dengan tekanan negatif kemudian chest tube
diklem selama 24 jam. Bahan pleurodesis yang lain seperti talk, dekstrosa
40%, dll.
- Selain itu dapat diberikan kemoterapi intrapleura pada proses keganasan
seperti bleomycin, 5 flurouracil, cysplatinum.
F. PENYULIT
Empiema
EMPIEMA
A. DEFINISI
49
Ada beberapa pengertian mengenai empiema, yaitu (1,21):
a. Empiema adalah keadaan terkumpulnya nanah (pus) didalam ronggga
pleura dapat setempat atau mengisi seluruh rongga pleura.
b. Empiema adalah penumpukan cairan terinfeksi atau pus pada cavitas pleura
c. Empiema adalah penumpukan materi purulen pada areal pleural
Secara garis besar, empiema adalah suatu efusi pleura eksudat yang disebabkan
oleh infeksi langsung pada rongga pleura yang menyebabkan cairan pleura
menjadi purulen atau keruh. Pada empiema terdapat cairan pleura yang mana pada
kultur dijumpai bakteri atau sel darah putih > 15.000 / mm3 dan protein > 3 gr/ dL.
B. ETIOLOGI
Sebelum antibiotik berkembang, pneumokokus (Streptococus
pneumoniae) dan Streptococus b hemolyticus (Sterptococus pyogenes) adalah
penyebab empiema yang terbesar di bandingkan sekarang. Basil gram negatif
seperti Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Proteus species dan Klebsiella
pneumoniae merupakan grup yang terbesar dan hampir 30 % dijumpai pada hasil
isolasi setelah berkurangnya kejadian empiema sebagai komplikasi pneumonia
pneumokokus. (1,21,30)
Staphylococcus aureus merupakan organisme penyebab infeksi yang
paling sering menyebabkan empiema pada anak-anak, terutama pada bayi sekitar
92 % empiema pada anak-anak di bawah 2 tahun. Bakteri gram negatif yang
lain Haemophilus influenzae adalah penyebab empiema pada anak-anak. (1,21,26,27)
Empiema juga dapat disebabkan organisme yang lain seperti empiema
tuberkulosis yang sekarang jarang dijumpai pada negara berkembang. Empiema
jarang disebabkan oleh jamur, terutama pada penderita yang mengalami
penurunan daya tahan tubuh (Immunocompromised).Aspergillus species dapat
menginfeksi rongga pleura dan dapat menyebabkan empiema dan ini terkadang
terjadi pada penderita yang mengalami penurunan daya tahan tubuh yang dapat
menyebabkan penyakit paru-paru dan pleura yang serius walaupun jarang. (21,26,27)
Untuk terjadinya infeksi paru-paru, kuman pathogen harus dapat melewati saluran
pernapasan bawah. Kebanyakan orang dewasa telah memiliki antibodi untuk
50
beberapa jenis virus yang umum, dan kebanyakan infeksi virus bersifat ringan. (1,21,26,27,28)
C. PATOFISIOLOGI
Infeksi paru dapat menyebabkan terjadinya empiema. Infeksi adalah
komplikasi yang paling sering terjadi. Sumber infeksi yang paling jarang
termasuk sepsis abdomen, yang mana pertama sekali dapat membentuk abses
subfrenik sebelum menyebar ke rongga pleura melalui aliran getah bening. Abses
hati yang disebabkan Entamoeba histolytica mungkin juga terlibat dan infeksi
pada faring, tulang thoraks atau dinding thoraks dapat menyebar ke pleura, baik
secara langsung maupun melalui jaringan mediastinum. (27,28)
Pleura dan rongga pleura dapat menjadi tempat sejumlah gangguan yang
dapat menghambat pengembangan paru atau alveolus atau keduanya. Reaksi ini
dapat disebabkan oleh penekanan pada paru akibat penimbunan udara, cairan,
darah atau nanah dalam rongga pleura. Penimbunan eksudat disebabkan oleh
peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan permeabelitas kapiler
atau gangguan absorbsi getah bening. Eksudat dan transudat dibedakan dari kadar
protein yang dikandungnya dan berat jenis. Transudat mempunyai berat jenis
<1,015 dan kadar proteinnya kurang dari 3%; eksudat mempunyai berat jenis dan
kadar protein lebih tinggi, karena banyak mengandung sel. Penimbunan cairan
dalam rongga pleura disebut efusi pleura. (1,27,28)
Infeksi oleh organisme-organisme patogen menyebabkan jaringan ikat
pada membran pleura menjadi edema dan menghasilkan suatu eksudasi cairan
yang mengandung protein yang mengisi rongga pleura yang dinamakan pus atau
nanah. Jika efusi mengandung nanah, keadaan ini disebut empiema. (27,30)
D. MANIFESTASI KLINIS
Sesak napas adalah gejala yang paling utama. Pada empiema gejala lain
yang timbul adalah panas, menggigil, dan penurunan berat badan. Gejala empiema
yang timbul tergantung dari terbentuknya atau tidaknya fistula ke bronkus, yakni
berupa fistula bronkopleura. Bila tidak terjadi fistula, maka gejalanya akan tetap
berat, sementara itu apabila telah terjadi fistula maka gejalanya akan lebih ringan.
51
Adapun gejala klinis yang dapat timbul adalah sebagai berikut, antara lain (28,30,31):
a. Sering dijumpai demam
b. Malaise dan kehilangan berat badan pada empiema kronis
c. Penderita sering mengeluh adanya nyeri pleura (Pleuritic pain)
d. Dispnea dapat disebabkan akibat kompresi atau penekanan pada paru-paru
oleh cairan empiema
e. Batuk sering dijumpai dan adanya fistula bronkopleural yang disertai
dengan sputum yang purulen yang dapat dibatukkan.
E. KOMPLIKASI
Secara umum, empiema bisa merupakan komplikasi dari: Pneumonia,infeksi pada
cedera di dada, pembedahan dada, pecahnya kerongkongan,dan abses di perut.
Adapun komplikasi secara khusus yang dapat timbul dari empiema adalah sebagai
berikut (30,31,32):
a. Bula yang terbesar terbentuk karena bersatunya alveoli yang pecah sehingga
dapat memperburuk fungsi dari pernapasan.
b. Pneumotoraks yang disebabkan oleh karena pecahnya bula kadang-kadang
dapat berubah menjadi ventil pneumotoraks.
c. Kagagalan pernapasan dank or pulmonale merupakan komplikasi terakhir
dari empiema. Kematian justru terjadi setelah terjadinya kegagalan pernapasan.
Pada tipe pink puffer, walaupun pasien tampak sangat sesak akan terapi O2 dan
CO2 darah masih dalam batas normal.
d. Terjadinya penurunan berat badan yang hebat, terutama pada usia muda.
e. Infeksi pleura mengarah ke sepsis, perlu diadakan evaluasi pepsis secara
menyeluruh, misalnya foto dada.
f. Sepsis, yang mana pertama sekali dapat membentuk abses subfrenik
sebelum menyebar ke rongga pleura melalui aliran getah bening
F. DIAGNOSIS
52
Pada pemeriksaan fisik, dengan bantuan stetoskop akan terdengar adanya
penurunan suara pernapasan dan suara pernapasan terdengar ronchi.Untuk
membantu memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan berikut (27,30,31,32):
a. Rontgen dada/foto thoraks
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan. Dengan
foto thoraks posisi lateral dekubitus dapat diketahui adanya cairan dalam rongga
pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan posisi AP atau PA paling
tidak cairan dalam rongga pleura sebanya 300 ml.
b. CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa
menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor.
c. USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya
sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
d. Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis
(pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke
dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
e. Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan
biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa. Pada
sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
f. Analisa cairan pleura
g. Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang
terkumpul.
53
G. PENATALAKSANAAN
Sasaran penatalaksanaan adalah mengalirkan cavitas pleura hingga mencapai
ekspansi paru yang optimal. Dicapai dengan drainase yang adekuat, antibiotika
(dosis besar ) dan atau streptokinase.
Drainase cairan pleura atau pus tergantung pada tahapan penyakit dengan (30,31,32,33):
a. Aspirasi jarum ( Thorasentesis ),jika cairan tidak terlalu kental.
b. Drainase tertutup dengan WSD (Underwater seal), indikasi bila nanah
sangat kental, pnemothoraks.
c. Drainase dada terbuka untuk mengeluarkan pus pleural yang mengental dan
debris serta mesekresi jaringan pulmonal yang mendasari penyakit.
d. Dekortikasi, jika imflamasi telah bertahan lama.
e. Pengobatan. Obat golongan antibiotik yang dipakai adalah Klindamisin
dengan dosis 3×600 mg IV, lalu 4×300 mg oral/hari. Obat injeksi diganti oral jika
kondisi klien tidak panas lagi dan merasa baikan. Atau penggunaan kombinasi
obat yang sama efektifnya dengan Klindamisin adalah Penicilin 12-18 juta
unit/hari + metronidazol 2 gram/hari selama 10 hari.
HEMATOTHORAKS
A.DEFINISI
54
Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-
paru (rongga pleura). (34)
B. ETIOLOGI
Penyebab dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh
darah intercostal atau arteri mammaria internal yang disebabkan oleh cedera tajam
atau cedera tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebrata torakal juga dapat
menyebabkan hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak
memerlukan intervensi operasi. (34,35)
Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada. Trauma misalnya (34,35) :
Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada
Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet
hemothorax oleh pembuluh internal.
Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura
Henoch-Schönlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid
malformasi kongenital kistik: malformasi ini kadang-kadang mengalami
komplikasi, seperti hemothorax. (35)
Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada. Dapat juga terjadi
pada pasien yang memiliki (35,36):
Sebuah cacat pembekuan darah
Trauma tumpul dada
Kematian jaringan paru-paru (paru-paru infark )
Kanker paru-paru atau pleura
Menusuk dada ( ketika senjata seperti pisau atau memotong peluru paru-
paru )
55
Penempatan dari kateter vena sentral
Operasi jantung
Tuberkulosis
Hematoraks masif adalah terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1500 cc
dalam rongga pleura. Penyebabnya adalah luka tembus yang merusak pembuluh
darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Selain itu juga dapat
disebabkan cedera benda tumpul. Kehilangan darah dapat menyebabkan hipoksia. (35,36,37)
C. PATOFISIOLOGI
Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paru-paru
atau arteri, menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda tajam seperti
pisau atau peluru menembus paru-paru. mengakibatkan pecahnya membran
serosa yang melapisi atau menutupi thorax dan paru-paru. Pecahnya membran ini
memungkinkan masuknya darah ke dalam rongga pleura. Setiap sisi toraks dapat
menahan 30-40% dari volume darah seseorang (34,35).
Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan Intra
Alveoler, kolaps terjadi pendarahan. arteri dan kapiler, kapiler kecil , sehingga
takanan perifer pembuluh darah paru naik, aliran darah menurun. Vs :T ,S , N. Hb
menurun, anemia, syok hipovalemik, sesak napas, tahipnea,sianosis, tahikardia. (35,36,37)
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala/ tanda klinis hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka
yang berdarah didinding dada. Luka di pleura viseralis umumnya juga tidak
menimbulkan nyeri. Kadang-kadang anemia dan syok hipovalemik merupakan
keluhan dan gejala yang pertama muncul. Secara klinis pasien menunjukan
distress pernapasan berat, agitasi, sianosis, tahipnea berat, tahikardia dan
56
peningkatan awal tekanan darah, di ikuti dengan hipotensi sesuai dengan
penurunan curah jantung (35,36,37).
D. DIAGNOSIS
Dari pemeriksaan fisik didapatkan (35,36,37):
Inspeksi : ketinggalan gerak
Perkusi : redup di bagian basal karena darah mencapai tempat yang paling
rendah
Auskultasi : vesikuler
Sumber lain menyebutkan tanda pemariksaan yang bisa ditemukan adalah (38) :
Tachypnea
Pada perkusi redup
Jika kehilangan darah sistemik substansial akan terjadi hipotensi dan
takikardia.
Gangguan pernafasan dan tanda awal syok hemoragic
Selain dari pemeriksaan fisik hemotoraks dapat ditegakkan dengan rontgen toraks
akan didapatkan gambaran sudut costophrenicus menghilang, bahkan pada
hemotoraks masif akan didapatkan gambaran pulmo hilang (38).
Pemeriksaan diagnostic (36,37,38,39)
a. a. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura,
dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung)
b. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi,
gangguan mekanik pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2
kadang-kadang meningkat. PaO2 mungkin normal atau menurun, saturasi
oksigen biasanya menurun.
57
c. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
d. Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.
E. PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan pendarahan,
dan menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura. Penanganan pada
hemotoraks adalah (35,36,39,40):
1. Resusitasi cairan.
Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah yang
dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus
cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian darah
dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat
dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotranfusi bersamaan
dengan pemberian infus dipasang pula chest tube ( WSD ).
2. Pemasangan chest tube ( WSD )
ukuran besar agar darah pada toraks tersebut dapat cepat keluar sehingga tidak
membeku didalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat
pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber besar. Chest tube
tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi resiko
terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam
memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur
diafragma traumatik. WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air.
Fungsi WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural /
cavum pleura.
Macam WSD adalah :
58
WSD aktif : continous suction, gelembung berasal dari udara sistem.
WSD pasif : gelembung udara berasal dari cavum toraks pasien.
Pemasangan WSD :
Setinggi SIC 5 – 6 sejajar dengan linea axillaris anterior pada sisi yang sakit .
1. Persiapkan kulit dengan antiseptik
2. Lakukan infiltratif kulit, otot dan pleura dengan lidokain 1 % diruang sela
iga yang sesuai, biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid axillaris.
3. Perhatikan bahwa ujung jarum harus mencapai rongga pleura
4. Hisap cairan dari rongga dada untuk memastikan diagnosis
5. Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk
menghindari melukai pembuluh darah di bagian bawah iga
6. Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi
pleura dan perlebar lubangnya
7. Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan dimasukkan
ke dalam kulit
8. Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi
dengan satu jahitan.
9. Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa
dijahit, yang berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti.
Tutup dengan selembar kasa hubungkan selang tersebut dengan sistem
drainage tertutup air
10. Tandai tinggi awal cairan dalam botol drainage.
59
3. Thoracotomy
Torakotomi dilakukan bila dalam keadaan`:
1. Jika pada awal hematotoraks sudah keluar 1500ml, kemungkinan besar penderita
tersebut membutuhkan torakotomi segera.
2. Pada beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar < 1500ml, tetapi
perdarahan tetap berlangsung terus.
3. Bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200cc / jam dalam
waktu 2 – 4 jam.
4. Luka tembus toraks di daerah anterior, medial dari garis puting susu atau luka di
daerah posterior, medial dari scapula harus dipertimbangkan kemungkinan
diperlukannya torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah
besar, struktur hilus atau jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
Tranfusi darah diperlukan selam aada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita
dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan chest tube dan
kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang
akan diberikan. Warna darah ( artery / vena ) bukan merupakan indikator yang
baik untuk di pakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi.
Torakotomi sayatan yang dapat dilakukan di samping, di bawah lengan (aksilaris
torakotomi); di bagian depan, melalui dada (rata-rata sternotomy); miring dari
belakang ke samping (posterolateral torakotomi); atau di bawah payudara
(anterolateral torakotomi) . Dalam beberapa kasus, dokter dapat membuat sayatan
antara tulang rusuk (interkostal disebut pendekatan) untuk meminimalkan
60
memotong tulang, saraf, dan otot. Sayatan dapat berkisar dari hanya di bawah
12.7 cm hingga 25 cm.
G. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat berupa (35,36,37,38,39,40):
1. Kegagalan pernafasan
2. Kematian
3. Fibrosis atau parut dari membran pleura
4. Syok
Perbedaan tekanan yang didirikan di rongga dada oleh gerakan diafragma (otot
besar di dasar toraks) memungkinkan paru-paru untuk memperluas dan kontak.
Jika tekanan dalam rongga dadaberubah tiba-tiba, paru-paru bisa kolaps. Setiap
cairan yang mengumpul di rongga menempatkan pasien pada risiko infeksi dan
mengurangi fungsi paru-paru, atau bahkan kehancuran (disebut pneumotoraks ).
61
BAB III
PENUTUP
A. RINGKASAN
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan adanya penimbunan udara
dalam rongga pleura, sehingga menyebabkan jaringan paru menjadi kollaps
(total atau parsial). (5)
Pneumotoraks terjadi akibat kombinasi peninggian tekanan
intrabronkus dan intraalveolus pada suatu tempat lemah dalam jaringan paru
yang pecah, sehingga udara dapat masuk kedalam rongga pleura. (2)
Ada beberapa jenis pneumotoraks, sesuai dengan klasifikasi sebagai
berikut: (1,2,3,4,5,6,7,10)
1. Klasifikasi menurut etiologi.
a. Pneumotoraks spontan.
b. Pneumotoraks traumatik.
2. Menurut letak pneumotoraks.
a. Pneumotoraks lateral.
b. Pneumotoraks mediastinal.
c. Pneumotoraks basal.
d. Pneumotoraks bilateral.
3. Menurut tingkatan kollaps paru yang terjadi.
a. Pneumotoraks totalis (100 %)
b. Pneumotoraks partialis.
c. Pneumotoraks bilateral.
4. Menurut kejadian pneumotoraks.
a.Pneumotoraks akut.
b. Pneumotoraks kronik.
c.Pneumotoraks kambuh.
5. Menurut bentuk atau keadaan fistulanya.
62
a. Pneumotoraks terbuka.
b. Pneumotoraks tertutup.
c. Pneumotoraks ventil (valvular).
6. Variasi pneumotoraks lainnya.
Gambaran klinis yang terdapat pada pneumotoraks meliputi : (5,7,10,11,12)
1. Keluhan
2. Kelainan fisik.
3. Kelainan radiologik.
4. Faal paru.
Penetalaksanaan pneumotoraks terdiri dari :
1. Indikasi perawatan.
a. Semua bentuk pneumotoraks pada prinsipnya harus dirawat,
untuk pengawasan terhadap terjadinya keadaan bahaya (1-5 hari).
b. Sesak nafas, lebih-lebih yang makin hebat.
2. Pengobatan, terdiri atas :
a. Pengobatan terhadap penyakit paru yang mendasari.
b. Pengobatan suportif.
c. Penanganan terhadap pneumotoraksnya.
Dengan terapi yang tepat, kesembuhan yang dicapai selalu sempurna,
dan kemungkinan kambuh kecil sekali, terkecuali bila penderita dikemudian
hari menjadi seorang perokok, juga bila terapi terhadap penyakit dasarnya
(TB) tidak sempurna. Jika pada penderita terdapat emfisema paru dengan
tekanan udara intrapulmonal yang tinggi, maka pada keadaan sedemikian
kesembuhan dapat disusul dengan suatu kekambuhan yang bahkan dapat
sampai berkali-kali. (1)
B. SARAN
Jika menemui kasus pneumotoraks sebaiknya harus cepat didiagnosa
secara benar dan tepat, sehingga cepat mendapat penanganan karena
dapat mengancam jiwa.
Penatalaksanaan pneumotoraks sebaiknya dilakukan sesuai dengan jenis
pneumotoraks, serta faktor penyebabnya agar tidak timbul komplikasi.
63
Dengan terapi yang tepat, kesembuhan yang dicapai selalu sempurna,
dan kemungkinan kambuh kecil sekali, terkecuali bila penderita
dikemudian hari menjadi seorang perokok, juga bila terapi terhadap
penyakit dasarnya (TB) tidak sempurna.
Pneumotoraks artifisial atau pneumotoraks yang sengaja dibuat untuk
tujuan diagnosis dan terapi penyakit-penyakit tertentu sebaiknya jangan
dilakukan lagi, karena komplikasi yang bisa ditimbulkan sangat
merugikan.
64
DAFTAR PUSTAKA
1. Halim Hadi, Penyakit- Penyakit Pleura dalam: Suyono S. Waspadji S.
Lesmana L. Et Al. (Editor), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi
III, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2009 : hal 2329-2336
2. Hisyam B. Agoestono H. Pneumotoraks Spontan, dalam: Suyono S.
Waspadji S. Lesmana L. Et Al. (Editor), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid II, Edisi III, Balai Penerbit FK UI, Jakarta 2001 : hal 939-945.
3. Karnadiharja W. Djojosugito AM. Tindakan Bedah Organ Dan Sistem
Organ, dalam: De Jong W. Sjamsuhidajat R. (Editor), Buku Ajar Ilmu
Bedah, Edisi Revisi, Cetakan I, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
1997 : hal 517-526.
4. Ahmad I. Penyakit Pleura, dalam: Rachmatullah P. (Editor), Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru (Pulmonologi), Buku II, Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UNDIP, Semarang 1997 : hal 17-25.
5. Sutarto SA. Abdullah AA. Boer A. Et Al. Toraks, dalam: Rasad S.
Kartoleksono S. Ekayuda I. (editor), Radiologi Diagnostik, Cetakan II,
Bagian Radiologi FKUI, Jakarta 1992 : hal 118-119.
6. Light WR. Kelainan Pada Pleura, Mediastinum Dan Diafragma, dalam
Isselbacher JK. Braunwald E. Martin BJ. Et Al. (Editor), dalam Harrison
Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Vol 3, Edisi 13, EGC, Jakarta 2000 :
hal 1385-1390.
7. Davey P. (Editor), Pneumotoraks, dalam: At A Glance Medicine,
Erlangga, Jakarta 2006 : hal 26-27.
8. Shiel W. Lee D. Marks WJ. Et Al. (Editor), Pneumothorax (Collapsed
Lung) http:// www.file:///G:/Pneumothorax%20 (Collapsed%20Lung)%20
Causes,% 20 Symptoms ,% 20 Diagnosis,%20 an20 Treatment%20by%20
MedicineNet_com.htm Last Editorial Review: 12/19/2006 .
65
9. Kong A. Chang KA. McCormack FX. Et All. (Editor), Pneumothorax,
The American Stedman’s Medical Dictionary, http://en.wikipedia.org
/wiki/Image:Pneumothorax_CT.jpg Last modified 12:30, 11 November
2007.
10. Leman MM. Thabrany Z. Amrie Y. (Editor), Water Sealed Drainage Mini
Dengan Catheter Intravena Dan Modifikasi Fiksasi Pada Kasus
Hidropneumotoraks Spontan Sekunder, RS Paru Dr. M. Goenawan
Partowidigdo, Cisarua, Bogor, http://www.file:slide-poster%20 WSD%
mini- Martin%20Leman.pdf , Last Update 11 November 2007.
11. Weg GJ. Anzueto A. Balk AR. Et Al. (Editor), The Relation Of
Pneumothorax And Other Air Leaks To Mortality In The Acute
Respiratory Distress Syndrome, dalam The New England Journal of
Medicine, Number 6, Volume 388, Massachusetts Medical Society, USA
2000 : hal 341-346, http://content.nejm.org/cgi/reprint/338/6/341.pdf,
Updated November 18, 2007.
12. Sahn AS. Heffner EJ. (E ditor), Spontaneous Pneumothorax, dalam The
New England Journal of Medicine, Number 12, Volume 342,
Massachusetts Medical Society, USA 2000 : hal 868-874,
http://www.nejm.org , Updated November 18, 2007.
13. Shaw KS. Prasil P. Nguyen LT. Et Al. (Editor), Pneumothorax Fact Sheet
nu" mo – tho' raks, California Thorasic Society – American Lung
Association, USA, 2003 : hal 1-2, http://www.thoracic.org/sections/
chapters/ ca/ ublications/ esources/ respiratory – disease-pediatric/ pneumo
fs. pdf, Updated November 18, 2007.
14. Consensus Statements, Consensus Panel on the Management
of Spontaneous Pneumothorax, American College of Chest Physicians,
USA 2007, http://www. chestnet. org/ education/ cs/ pneumothorax/ inter
active/toc.php, Updated November 18, 2007.
15. Ingolfsson I. Gyllstedt E. Lillo R. Et Al. (Editor), Reoperations are
common following VATS for spontaneous pneumothorax: study of risk
factors, dalam Interactive Cardio Vasculer and Thorasic surgery- European
Association Of Cardio Thorasic Surgery, Department of Cardiothoracic
66
Surgery, Lund University Hospital, Lund, Sweden 2006: hal 602-607,
http://www . file:///F:/Reoperations%20are%20common%20following
%20VATS%20for%20spontaneous%20pneumothorax%20study%20of
%20risk%20factors%20--%20Ingolfsson%20et%20al_
%205%20(5)%20602%20--%20Interactive%20CardioVascular%20and
%20Thoracic%20Surgery.htm ,
Updated November 18, 2007.
16. Forti JR. (Editor), Pneumothorax, Albert Einstein College of Medicine and
Children's Hospital at Montefior, Montefior 2006, http://www.file:///F:/
pneumothorax.htm, Last Updated: September 13, 2006.
17. Khairani A, Syahruddin E, Partakusuma LG. Karakteristik Efusi Pleura di
Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo. 2012; 32:155-60
18. Bahar A. Penyakit-Penyakit Pleura. Dalam: Soeparman, Sukaton U,
Waspadji S, et al. Editor. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta 1998; 785-97.
19. Fraser and Pare’s. Diagnosis of Disease of the Chest 4th Edition Vol.IV,
W.B. Saunds Company. USA. 1999. p2739-2769
20. Light, W Richard. Disorder of the Pleura, Mediastinum, Diaphragm, and
Chest Wall in: Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition
Vol.II. McGraw-Hill. USA. 2005. p1565-1569
21. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam PAPDI, Jilid III Edisi 3. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.1996.
22. Witmer LM. Clinical anatomy of the pleural cavity & mediastinum.
[Internet]. Cited: 2012 Nov 10. Available from:
http://www.oucom.ohiou.edu/dbms-witmer/Downloads/Witmer-thorax.pdf
23. O’Rahilly R, Muller F, Carpenter S, Swenson R. Basic human anatomy: A
regional study of human strucutre. [Internet]. Cited: 2012 Nov 10.
Available from: http://www.dartmouth.edu/~humananatomy/index.html
24. Miserocchi G. Physiology and pathophysiology of pleural fulid turnover.
Eur Respir J, 1991; 10:219-25
25. Porcel JM, Light RW. Diagnostic approach to pleural effusion. Am Fam
Physician. 2006; 73(7):1211-20
67
26. Chesnutt MS, Prendergast TJ. 2003. In : Current medical diagnosis &
treatment 2003. Editors: Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA. 42 th. Ed.
New York; McGraw-Hill, 216-311.
27. Light R W. 2001. Clinical manifestations and useful tests. In: Pleural
diseases. 4th. Ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins, 42-86.
28. Rosenbluth DB. 2002. Pleural effusions: Nonmalignant and malignant. In:
Fishman’s Manual of pulmonary diseases and disorders. 3rd ed. Editors:
Fishman AP, Fishman JA, et al. McGraw-Hill Companies, 487-506.
Baue .A.E, Geha, A..S, Hammond G.L, Laks. H, Naunheius K.S, Glenn's
Thorac and Cardhovascular Surgery 6th ed, Prantile Hall International inc,
London 1996.
29. Chon L.W, Doty D.B, Mc Elvein R.B,. Decision Making in Cardiothoracic
SurgeryBC Decker inc, Toronto 1987.
30. Ismid D.I. Busroh. Pembedahan Pada Empiema Tuberkulosis,
Empiema Toraks penanganan bedah terkini 2002 ; 41 - 46
31. Kukuh B. Rachmad. Dasar Pembedahan Pada Empiema Toraks, Empiema
Toraks Penanganan bedah terkini 2002 ; 35 - 40.
32. Pearson F.G, Cooper. J.D, Deslauriers J., Gingberg R.J., Hiebert C.A,
Petterson G.A., Urschek HC, Thoracic Surgery, 2nd ed, Churchill
Livingstone, Philadelphia 2002.
33. Sabiston DC., Spencer F.C,. Surgery of The Chest 5th ed, WB Saunders.
Philadelphia .1991
34. ADAM, Inc, Hemothorax,
http://www.healthscout.com/ency/1/000126.html, April 2009
35. Denise Serebrisky, MD, hemotoraks,
pendahuluan, http://emedicine.medscape.com/article/1002107-
overview, maret 2009
36. American college of surgeons, ATLS, hemotoraks, IKABI, 2004
37. Robert A. Cowles, MD, Hemothorax –
Overview, http://www.umm.edu/ency/article/000126.htm, oktober
2008
68
38. Misthos, P, dkk, Hemothorax,
http://en.wikipedia.org/wiki/Hemothorax, februari 2010.
39. Maryland medical center,http://www.umm.edu/ency/article/000126.htm,
2009
40. Sari, Dina kartika, dkk, massive hematotoraks, chirurgica, Tosca
enterprise, 2005
69
top related