yulia indrawati sari hilda arum nurbayyanti
TRANSCRIPT
L A P O R A N A K H I R
A S E S M E N C E P A T I M P L E M E N T A S I P R O G R A M
N A S I O N A L P E R M B E R D A Y A A N M A S Y A R A K A T
( P N P M ) P E R K O T A A N P E R I O D E P E R P A N J A N G A N
Y u l i a I n d r a w a t i S a r i H i l d a A r u m N u r b a y y a n t i
2019
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
ii
LAPORAN AKHIR
Asesmen Cepat Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Perkotaan pada Periode Perpanjangan
Juli 2019
TIM PENELITI
KOORDINATOR PENELITI
Yulia Indrawati (Indri) Sari
ASISTEN KOORDINATOR
Hilda Arum Nurbayyanti
PENELITI LAPANGAN
DI Yogyakarta Muklas Aji Setiawan Mulyana Aprilia Ambarwati Kalimantan Selatan Faisal Setianzah
Bewanti Dahani Fadhli Ilhami
Nusa Tengggara Barat Panji Ardiansyah Nofalia Nurfitriani Hilda Arum Nurbayyanti
AKATIGA – Center for Social Analysis Jl. Tubagus Ismail II No 2 Bandung 40134 | (022) 2502302 [email protected] | www.akatiga.org
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
iii
P E N G A N T A R
Laporan akhir ini disusun oleh tim peneliti AKATIGA. Pada proses penelitian AKATIGA
mendapatkan dukungan dan fasiitasi dari George Soraya, Evi Hermirasari, Kumala Sari, dan
Ratih Dewayanti dari tim Bank Dunia.
Laporan telah ditelaah oleh Isono Sadoko (peneliti senior AKATIGA). Laporan ini pertama kali
terbit dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Acep Muslim dan diedit oleh M. Irfan
Hidayatullah. Laporan ini juga mendapat masukan penting dari Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat serta Bappenas pada saat tahap presentasi draft. Kami mengucapkan
terima kasih untuk masukan-masukan tersebut.
Laporan ini tidak mungkin dapat dituntaskan tanpa kerja keras para peneliti lapangan yang
bekerja di enam kelurahan di Yogyakarta, Banjarmasin, dan Bima. Sely Martini memberikan
dukungan dengan turut melakukan supervisi tim peneliti lapangan di Bima. Kami sampaikan
banyak terima kasih kepada para koordinator kota dari program PNPM Perkotaan dan semua
fasilitator kelurahan di tingkat kelurahan yang telah memberikan dukungan sepanjang proses
penelitian. Terkahir, kami kami sangat berterima kasih atas partisipasi dan kesabaran dari para
informan yang telah menyediakan waktunya bersama tim peneliti dalam proses penggalian
data.
Penelitian ini mendapatkan dukungan dana dari Bank Dunia.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
iv
R I N G K A S A N E K S E K U T I F
Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi hasil program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis
Komunitas (PLPBK) dalam memperbaiki kondisi kawasan kumuh di perkotaan dan mengevaluasi
program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) dalam mengurangi risiko
bencana banjir. PLPBK dan PRBBK merupakan program perpanjangan PNPM Perkotaan—
program pembangunan berbasis komunitas skala nasional (Community Driven Development,
atau CDD) di area perkotaan di Indonesia—setelah program PNPM Perkotaan selesai pada
2014. Program perpanjangan ini bertujuan untuk mendukung program pemerintah Indonesia
untuk mencapai tujuan “kota tanpa kawasan kumuh” pada tahun 2019. Program ini diharapkan
dapat meningkatkan kondisi kawasan kumuh dan menyediakan infrastruktur dan layanan dasar
bagi para penduduknya.
Studi difokuskan pada tiga aspek evaluasi, yaitu (i) hasil-hasil dari PLPBK dalam mendukung
penataan kawasan kumuh dan pengurangan risiko bencana untuk masyarakat sasaran; (ii)
efektivitas dari beberapa intervensi spesifik dari sudut pandang komunitas dan pemerintah
lokal; (ii) pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur PNPM Perkotaan yang dibangun pada
periode 2012-2014.
Studi ini menggunakan metode studi kasus kualitatif (qualitative case study). Penggalian data
lapangan dilakukan di enam kelurahan di Yogyakarta, Banjarmasin, dan Bima pada Februari
2019. Bima dipilih karena merupakan daerah yang rentan terhadap banjir dan secara khusus
dijadikan sebagai kasus untuk intervensi PRBBK. Untuk mengukur hasil dan efektivitas program,
penelitian ini menggunakan metode yang memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan
data berdasarkan sudut pandang dan pengalaman warga. Metode pengumpulan data kualitatif
(wawancara, observasi, transek, dan data sekunder) digunakan untuk mengevaluasi hasil
tangible dan intangible dari program penataan kawasan kumuh dan mitigasi bencana di area
rentan banjir serta untuk memahami faktor yang memengaruhi hasil-hasil tersebut.
Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa program penataan kawasan kumuh
perkotaan memiliki hasil yang positif. Studi ini berkesimpulan bahwa program PLPBK telah
berhasil menangani permasalahan infrastruktur di area kumuh seperti rumah tidak layak huni
(RTLH), akses buruk, serta sanitasi dan drainase minim. Pada saat yang sama program juga telah
mendorong dimensi-dimensi intangible pada warga seperti penguatan relasi sosial, terjalinnya
hubungan sosial dengan warga di luar kawasan kumuh, serta bertambahnya pilihan-pilihan
penghidupan bagi warga. Warga di area yang telah ditata melihat bahwa program telah
meningkatkan fungsi dan pemanfaatan infrastruktur dasar. Di area-area yang diteliti, genangan
air telah berkurang, akses jalan dan konektivitas meningkat, rumah-rumah direhabilitasi, dan
polusi (sampah dan udara) menurun. Warga juga bercerita bahwa program penataan kawasan
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
v
kumuh telah meningkatkan akses mereka terhadap area-area lain di kota. Mereka juga
bercerita tentang perasaan tak lagi merasa malu tinggal di kawasan kumuh serta mengenai
meningkatnya jumlah warga luar yang datang ke daerah mereka baik untuk berkunjung
maupun hanya lewat melalui jalan yang telah diperbaiki. Selain itu, juga bercerita tentang
menurunnya jumlah tikus dan nyamuk, meningkatnya kadar kesegaran udara, naiknya peluang
untuk berusaha, serta tersedianya ruang-ruang untuk berinteraksi antarwarga.
Integrasi infrastruktur di satu kawasan telah memperluas dampak program penataan kawasan
kumuh pada aspek-aspek yang tak terlihat (intangible) dari kehidupan warga. Untuk
memaksimalkan dampak-dampak tersebut, program harus memastikan bahwa penyediaan
infrastruktur difokuskan di satu area prioritas beserta kegiatan-kegiatan yang memperindah
kawasan tersebut, serta terhubung (engaged) dengan konteks lokal. Penelitian ini
mengidentifikasi empat faktor yang memengaruhi integrasi dan implementasi integrasi
infrastruktur yang lebih baik. Keempat hal tersebut adalah (i) kebijakan PLPBK yang
memfasilitasi proses integrasi itu sendiri; (ii) kapasitas dan strategi dari aktor (pelaksana
program) dalam melakukan perencanaan dan sosialisasi program; (iii) tingkat kepercayaan dan
kolektivitas dari komunitas; (iv) lingkungan kebijakan pendukung (enabling policy environment)
yang menyediakan referensi bagi program dan kegiatan penataan kawasan kumuh.
Berbeda dengan PLPBK yang menunjukkan hasil positif dalam menangani permasalahan di
kawasan kumuh, studi ini mengungkapkan bahwa program PRBBK tidak begitu efektif dalam
mengurangi risiko banjir bandang di Bima. Di Bima, program ini memang telah berhasil dalam
mengurangi risiko banjir kecil serta dalam menangani kawasan kumuh sebagai buah dari
penyediaan infrastruktur berupa drainase dan jalan. Program ini pun telah memperkenalkan
warga pada pengetahuan baru mengenai prosedur dan rute evakuasi. Namun demikian,
program ini hanya memiliki dampak yang hanya terbatas pada penguatan kapasitas dan
resiliensi warga dalam menghadapi, beradaptasi, dan memulihkan diri dari bencana banjir. Sulit
bagi program untuk melakukan mitigasi warga dari risiko bencana banjir bandang di Bima
karena banjir tersebut disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, yaitu tingginya curah hujan,
topografi yang berupa cekungan, berkurangnya area hutan di sisi hulu, pengelolaan drainase
yang buruk, dan permasalahan tata kelola yang malah mendukung pengembangan daerah
permukiman dan perkebunan jagung di area hulu. Dalam tahap implementasi, program PRBBK
sendiri lebih banyak fokus pada penataan kawasan kumuh daripada penggunaan berbagai
langkah dan pelatihan untuk menguatkan kapasitas warga. Manajemen bencana seharusnya
tidak hanya fokus dalam tanggap darurat, tetapi juga dalam manajemen risiko secara
keseluruhan. Untuk itu, diperlukan penguatan dalam kerangka dan institusi PRBBK sedemikian
rupa sehingga program tersebut dapat merumuskan langkah yang komprehensif dalam
meningkatkan pengelolaan drainase, pembangunan bendungan, perbaikan tata kelola, evaluasi
rencana tata guna lahan dan kebijakan gubernur.
Dengan melihat aspek institusi dari pemeliharaan infrastruktur PNPM Perkotaan 2012-2014,
penelitian ini menemukan bahwa infrastruktur konektivitas dan sanitasi telah dipelihara dengan
ragam cara yang berbeda. Sementara semua jalan dan jembatan masih berfungsi dan
digunakan, lebih dari setengah MCK dan toilet telah rusak dan tidak lagi dipakai. Hal ini
disebabkan oleh kedudukan jalan sebagai infrastruktur yang lebih popular di antara para
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
vi
pegawai kelurahan. Karenanya, pemeliharaan jalan dan sistem drainase kerap dijadikan
prioritas dalam pendanaan. Sementara itu, pemeliharaan MCK memerlukan institusi komunitas
yang kuat. Dalam kondisi ketika tidak ada kepemimpinan dan kolektivitas warga, seperti terjadi
di Bima, konflik mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pemeliharaan infrastruktur
sanitasi bisa terjadi. Temuan ini menunjukkan bahwa pemeliharaan masih merupakan
tantangan untuk mencapai keberlanjutan infrastruktur sanitasi.
Evaluasi ini juga menyarankan beberapa area tempat program penataan kawasan kumuh dapat
ditingkatkan untuk memastikan terjadinya integrasi infrastruktur dan memaksimalkan
dampaknya baik secara tangible maupun intangible. Beberapa di antara poin rekomendasi yang
diajukan adalah bahwa program seharusnya memperhatikan empat syarat kebijakan dalam
implementasi program yang terdiri dari, (i) integrasi infrastuktur di satu kawasan prioritas; (ii)
kemampuan dan strategi aktor pelaksana dalam menyesuaikan standar penataan kawasan
kumuh dari Kementerian PUPR dengan konteks lokal; (iii) strategi sosialisasi dan partisipasi yang
lebih baik untuk pelaksanaan proyek rehabilitasi perumahan; (iv) reformasi ketidakpastian
hukum (legal); (v) dalam kondisi di mana social capital tidak ada atau lemah, perlu adanya
fasilitasi di semua tingkatan untuk memunculkan kolektivitas di antara warga dan antara warga
setempat dengan warga luar. Studi ini juga memperingati bahwa meningkatnya harga lahan
dan akomodasi terjadi sebagai konsekuensi dari program penataan kawasan kumuh. Program
ini diharapkan menemukan solusi dengan risiko tersebut, karena peningkatan harga ini dapat
menyingkirkan rumah-rumah tangga miskin dan pendatang dari area yang sudah ditangani
(upgraded).
Pada akhirnya, laporan ini menyajikan kasus-kasus mengenai hasil positif dari keberhasilan
program pananganan kawasan kumuh di tiga kota di Indonesia. Temuan-temuan ini
mendukung solusi untuk mengatasi masalah kawasan kumuh dengan menangani kekumuhan
tersebut, bukan dengan menghancurkannya. Program penataan kawasan kumuh memberikan
kesempatan untuk warga di kawasan tersebut untuk mendapatkan akses atas infrastruktur dan
untuk dapat hidup dalam lingkungan yang layak dan ini pada gilirannya memainkan peran yang
penting dalam perekonomian dan kehidupan perkotaan secara keseluruhan.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
vii
D A F T A R I S I
PENGANTAR _______________________________________________________________ iii
RINGKASAN EKSEKUTIF _______________________________________________________ iv
DAFTAR ISI _______________________________________________________________ vii
DAFTAR GAMBAR ___________________________________________________________ ix
DAFTAR TABEL _____________________________________________________________ x
DAFTAR KOTAK _____________________________________________________________ x
DAFTAR SINGKATAN _________________________________________________________ xi
GLOSARIUM ______________________________________________________________ xii
BAB 1
PENDAHULUAN _____________________________________________________________ 1
1.1 Latar Belakang _________________________________________________________ 1
1.2 Tujuan dan Pertanyaan Penelitian _________________________________________ 2
1.3 Metode ______________________________________________________________ 3
1.3.1 Indikator __________________________________________________________ 3
1.3.2 Studi Kasus Kualitatif (Qualitative Case Studies) ___________________________ 5
1.4 Struktur Laporan _______________________________________________________ 9
BAB 2
EFEK PROGRAM PENATAAN KAWASAN KUMUH __________________________________ 10
2.1. Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur ____________________________________ 10
2.1.1 Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur yang Dibangun pada Program PNPM
Perkotaan Periode Perpanjangan __________________________________________ 10
2.1.2 Infrastruktur yang Berfungsi dan Digunakan oleh Warga ___________________ 12
2.1.3 Infrastruktur yang Tidak Berfungsi dan Tidak digunakan dengan Baik __________ 21
2.2 Integrasi Infrastruktur dan Hasil-Hasil yang Bersifat Intangible __________________ 25
2.2.1 Integrasi Infrastruktur ______________________________________________ 25
2.2.3 Efek Negatif Infrastruktur yang Terintegrasi terhadap Hubungan Sosial dan Harga
Akomodasi ___________________________________________________________ 32
BAB 3 PROSES DAN MEKANISME ______________________________________________ 35
3.1 Faktor yang Memengaruhi Fungsi Infrastruktur ______________________________ 35
3.2 Faktor Pendorong Integrasi Infrastruktur Lebih Baik __________________________ 37
3.2.1 Desain Penataan Kawasan Kumuh _____________________________________ 37
3.2.2 Pelaksanaan Program Penataan _______________________________________ 39
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
viii
3.2.3 Institusi Masyarakat yang Kuat _______________________________________ 42
3.2.4 Konteks Lingkungan Kebijakan Pendukung ______________________________ 43
3.3 Hambatan dalam Mewujudkan Infrastruktur yang Terintegrasi dan Berfungsi dengan
Baik ___________________________________________________________________ 44
BAB 4
PENGARUH PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRBBK) DI BIMA _____________ 48
4.1 Permasalahan Banjir dari Perspektif Warga _________________________________ 48
4.2 Efek Program PRBBK dalam Mengurangi Risiko Bencana Banjir __________________ 50
4.3 Hambatan dalam Mewujudkan Intervensi PRBBK _____________________________ 53
BAB 5
PEMANFAATAN DAN PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR YANG DIBANGUN PNPM PERKOTAAN
2012-2014________________________________________________________________ 57
5.1 Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur yang Dibangun PNPM Perkotaan Periode 2012-
2014 __________________________________________________________________ 59
5.2 Institusi Pemeliharaan__________________________________________________ 64
BAB 6
SIMPULAN DAN REKOMENDASI _______________________________________________ 67
6.1. Simpulan ___________________________________________________________ 67
6.2. Rekomendasi ________________________________________________________ 70
REFERENSI ________________________________________________________________ 75
LAMPIRAN
EFEK PROGRAM PENATAAN KAWASAN KUMUH DALAM MENGUATKAN DIMENSI INTANGIBLE
KEHIDUPAN WARGA DI YOGYAKARTA __________________________________________ 77
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
ix
D A F T A R G A M B A R
Gambar 1 Lokasi Studi Kasus __________________________________________________ 6
Gambar 2 Kondisi jalan permukiman dan gang setelah intervensi program di Yogyakarta (kiri)
dan Bima (kanan) _________________________________________________ 13
Gambar 3 Proses perbaikan jalan permukiman di Alalak Selatan, Banjarmasin ___________ 14
Gambar 4 Setelah saluran drainase ditutup, warga menggunakan bagian atas drainase untuk
menyimpan pot-pot bunga. _________________________________________ 18
Gambar 5. Kondisi jalan sebelum dan sesudah hujan _______________________________ 19
Gambar 6 Limbah air menjadi lebih bersih di Gowongan, Yogyakarta __________________ 20
Gambar 7 Kondisi toilet sebelum dan sesudah program ____________________________ 21
Gambar 8 Gerobak sampah yang tidak digunakan di Banjarmasin _____________________ 25
Gambar 9 Tong sampah yang tidak digunakan di Yogyakarta _________________________ 25
Gambar 10 Area yang belum dan sudah ditata di Kampung Suryatmajan _______________ 28
Gambar 11 Area yang belum dan sudah ditata di Kampung Alalak Selatan ______________ 28
Gambar 12 Anak-anak bermain riang di PCG _____________________________________ 30
Gambar 13 Contoh konsep penataan wilayah kumuh di satu area prioritas di Gowongan dan
Alalak Selatan ____________________________________________________ 38
Gambar 14 Salah satu bentuk adaptasi penduduk adalah untuk mengamankan semua
peralatan yang diperlukan dalam kasus banjir ___________________________ 50
Gambar 15 Jalan sebelum dan setelah intervensi PRBBK yang ditujukan untuk memperbaiki
akses dalam proses evakuasi dalam situasi bencana di kelurahan Santi________ 52
Gambar 16 MCK yang sering digunakan di Yogyakarta ______________________________ 62
Gambar 17 MCK ditutup oleh rumah tangga terdekat di Bima ________________________ 64
Gambar 18 Jalan yang telah direhabilitasi di Banjarmasin menggunakan dana Jaring Asmara 65
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
x
D A F T A R T A B E L
Tabel 1 Lokasi Penelitian ______________________________________________________ 7
Tabel 2 Data Ringkas Mengenai Penggunaan Infrastruktur __________________________ 11
Table 3 Lokasi penelitian (area prioritas dan non area prioritas) ______________________ 27
Tabel 4 Infrastruktur PRBBK di kelurahan Pane dan Santi____________________________ 51
Tabel 5 Fungsi dan pemanfaatan infrastruktur yang dibangun pada periode PNPM 2012-2014
__________________________________________________________________ 58
Tabel 6 Kategori penggunaan infrastruktur yang dibangun pada masa PNPM 2012-2014 ___ 59
Table 7 Penggunaan MCK yang dibangun PNPM Urban 2012-2014 ____________________ 61
D A F T A R K O T A K
Kotak 1 Berjalan dengan nyaman di Suryatmajan __________________________________ 15
Kotak 2 Menjaga anak-anak juga merupakan tugas suami ___________________________ 30
Kotak 3 Efek pada Mata Pencaharian ___________________________________________ 31
Kotak 4 MCK bersih kami ____________________________________________________ 62
Kotak 5 Pemilik tanah, petugas pemeliharaan yang bertanggung jawab ________________ 65
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
xi
D A F T A R S I N G K A T A N
ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
APE Area Permainan Edukasi
BBWS Balai Besar Wilayah Sungai
Bappenas Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
Bappeda Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
BKM Badan Keswadayaan Masyarakat
BOP Biaya Operasional
BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah
CDD Community Driven Development atau Pembangunan Berbasis Pemberdayaan
Komunitas
DED Desain Rekayasa Detail
Faskel Fasilitator Kelurahan
HGB Hak Guna Bangunan
IPAL Instalasi Pengolahan Air Limbah
Jaras Jaring Aspirasi Masyarakat
Korkot Koordinator Kota
KSM Kelompok Swadaya Masyarakat
LPMK Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan
M3K Mundur, Munggah (naik), dan Madep (menghadap)
MCK Mandi, Cuci, Kakus
MIS Management Information System atau Sistem Informasi Manajeman
OPD Organisasi Perangkat Daerah
PCG Pedestrian Code Gumreget
Perkim Dinas Perumahan dan Permukiman
PLPBK Pembangunan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas
PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Pokja PKP Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman
PRBBK Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas
PUPR Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
RDTR Rencana Detail Tata Ruang
RPLP Rencana Penataan Lingkungan Perumahan
RAB Rencana Anggaran dan Biaya
RT Rukun Tetangga
RTP Ruang Terbuka Publik
RW Rukun Warga
SAH Saluran Air Hujan
SAL Saluran Air Limbah
SK Surat Keputusan
SOP Standar Operasional dan Prosedur
TAPP Tenaga Ahli Perencanaan Partisipatif
TIPP Tim Inti Perencanaan Partisipatif
TPS Tempat Pembuangan Sementara
TSBK Tim Siaga Bencana Kelurahan
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
xii
G L O S A R I U M
Community Development Pengembangan komunitas
Enabling Policy Environment Lingkungan kebijakan yang mendukung
Engaged Terhubung
Exit Strategy Strategi keluar (saat program usai)
Intangible Efek lanjutan yang tidak mudah terlihat secara nyata dari infrastruktur
yang berpengaruh terhadap beragam dimensi dari kehidupan warga
penerima manfaat, seperti ekonomi dan sosial
Jimpitan Iuran swadaya
Laundry Penatu
Merchandise Barang dagangan
Online Daring
Outcome Capaian
Public Paces Ruang publik
Recovery Pemulihan
Showcase Program pengembangan permukiman tambahan yang didanai
pemerintah pusat untuk menciptakan praktik-praktik baik dari program
Site Plan Rencana tapak
Social Capital Modal sosial
Social Relations Hubungan sosial
Tangible Efek langsung dan nyata terlihat seperti yang diharapkan oleh program
seperti pengurangan genangan air, pengurangan polusi, dan
peningkatakan konektivitas
Titian Ulin Jalan di atas sungai yang terbuat dari kayu Ulin
Upgraded Ditingakatkan/ditata
Urban Planning Perencanaan kota
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
i
Talud River bank retaining wall
Titian Ulin Road along the river made by ulin wood or similar with wooden footbridge
Tukang Construction Workers
Warung Kiosk
B A B 1
P E N D A H U L U A N
1.1 Latar Belakang
Sejak tahun 90-an, pembangunan berbasis komunitas atau Community Driven Development
(CDD) telah muncul sebagai bentuk pembangunan lokal dan partisipatif yang paling populer
(Binswanger-Mkhize et. al., 2010). CDD merupakan pendekatan partisipatif dan
terdesentralisasi dalam pengurangan kemiskinan yang bertujuan untuk memberikan akses dan
kontrol kelompok masyarakat terhadap dana-dana pembangunan. Berhubungan dengan hal
tersebut, di Indonesia, pada tahun 2007 pemerintah meluncurkan program andalan untuk
mengurangi kemiskinan dan penguatan komunitas di perkotaan dalam bentuk Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan (PNPM Perkotaan). PNPM Perkotaan bertujuan
untuk memastikan kelompok miskin di perkotaan, tepatnya di kelurahan-kelurahan,
memperoleh manfaat dari peningkatan kualitas tata kelola lokal dan peningkatan kualitas
kehidupan secara umum. Program penguatan masyarakat perkotaan, khususnya kelompok
miskin ini, dicapai melalui penguatan kapasitas, penyediaan sumber daya (resources) dan dana
kelurahan, serta kemitraan pembangunan antara komunitas dengan para pemangku
kepentingan. Program ini meliputi sekira 11.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.
Pada 2015, PNPM Perkotaan mengalihkan fokusnya untuk mendukung program pemerintah
dan untuk mencapai visi “kota tanpa kumuh” pada 2019. Bank Dunia mendukung
pengembangan dan impelementasi inisiatif pemerintah ini melalui program National Slum
Pembangunan Jembatan di Santi. Foto oleh Nofalia N.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
2
Upgrading Program (NSUP 2016-2020). Program ini menyediakan dana (block grant) untuk
meningkatkan akses kelompok miskin perkotaan atas layanan dan infrastruktur, terutama
melalui program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) di beberapa
kota yang memiliki akses yang relatif buruk atas layanan-layanan dasar. Skema ini
memungkinkan komunitas di area-area terpilih untuk memprioritaskan dana infrastruktur yang
secara langsung berhubungan dengan pengurangan kekumuhan di area tersebut. Dukungan
Bank Dunia difokuskan pada program penataan permukiman dengan menyediakan program
penguatan kapasitas (pelatihan untuk konsultan, fasilitator, dan warga penerima manfaat),
penyediaan bantuan teknis (menghubungkan dengan konsultan dan fasilitator yang telah ada
serta dengan beberapa perencana kota tambahan di level kota dan kelurahan). Program ini juga
menyediakan tambahan dana untuk beberapa kelurahan terpilih.
Pada awal 2017, Bank Dunia memperluas dukungannya dengan menyediakan dana tambahan
untuk rehabilitasi dan rekonstruksi 23 kelurahan yang terkena dampak banjir bandang di Kota
Bima. Proyek ini menggunakan skema program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis
Komunitas (PRBBK) yang memiliki kerangka pengembangan kapasitas dan institusi pengelolaan
risiko bencana. Dalam PRBBK, aspek pengurangan risiko bencana (PRB) harus disertakan ke
dalam perencanaan kelurahan (Rencana Penataan Lingkungan Permukiman [RPLP]). Selain itu,
PRBBK juga menyediakan instrumen seperti peta dan profil risiko, desain resilien, serta
memastikan meningkatnya kapasitas dan resiliensi dari warga yang tinggal di area dengan risiko
banjir bandang dalam menghadapi bencana tersebut.
Penelitian ini menelaah data-data empiris hasil program penataan kawasan kumuh dan
pengurangan risiko bencana dari sudut pandang penerima manfaat dan pemerintah lokal guna
meningkatkan kualitas desain dan implementasi program dari intervensi lanjutan program
PNPM Perkotaan periode 2015-2018. Penelitian ini juga diharapkan dapat mengevaluasi
keberlanjutan PNPM Perkotaan reguler pada periode 2012-2014.
1.2 Tujuan dan Pertanyaan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi intervensi lanjutan dari kegiatan-kegiatan
program PNPM Perkotaan. Evaluasi tersebut meliputi hasil program (apa), evaluasi mekanisme
pencapaian hasil-hasil tersebut dengan memperhatikan aspek efektivitas intervensinya
(bagaimana), dan evaluasi dimensi institusi dari intervensi-intervensi yang dilakukan dari sudut
pandang warga dan pemerintah lokal.
Terkait ini, tujuan dari studi ini meliputi beberapa poin berikut:
(a) Hasil dari intervensi lanjutan dalam mendukung pengembangan kawasan (PLPBK) dan
pengurangan risiko bencana (PRBBK) pada kelompok sasaran.
(b) Efektivitas dari intervensi-intervensi tertentu dari sudut pandang warga dan pemerintah
lokal khususnya di lokasi yang menerima program PLPBK dan PRBBK.
(c) Pemanfaatan dan pemeliharan infrastruktur yang dibangun pada periode 2012-2014.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
3
Secara khusus studi ini diharapkan dapat menjawab tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apa hasil dari intervensi-intervensi lanjutan terhadap kelompok target dari sisi penataan
kawasan kumuh dan pengurangan risiko bencana?
2. Bagaimana intervensi-intervensi tertentu dapat memenuhi harapan kelompok target dari
sisi pengembangan kawasan (PLPBK) dan pengurangan risiko bencana (PRBBK)?
3. Bagaimana kualitas pemanfaatan dan pemeliharan infrastruktur setelah program PNPM
ditutup, khususnya pada insfrastruktur yang dibangun pada 2012-2014?
1.3 Metode
1.3.1 Indikator
Dalam menjawab pertanyaan pertama, studi ini menelisik hasil program dari segi keberfungsian
(functionality) infrastruktur dan efeknya bagi kehidupan penerima manfaat. Kami
mendefinisikan keberfungsian sebagai hasil tangible (tangible result), yaitu efek langsung dan
terlihat nyata seperti yang diharapkan oleh program seperti pengurangan genangan air,
pengurangan polusi, dan peningkatakan konektivitas. Selain itu, terdapat pula hasil yang
intangible di antaranya efek lanjutan yang tidak mudah terlihat secara nyata dari infrastruktur
yang berpengaruh terhadap beragam dimensi dari kehidupan warga penerima manfaat. Salah
satu bentuk hasil intangible tersebut adalah efek terhadap kehidupan sosial dan ekonomi dari
warga penerima manfaat.
Studi ini, dengan demikian, tidak mengevaluasi aspek kualitas teknis dari infrastruktur.
Penelitian ini juga tidak meneliti kondisi struktur fisik dari infrastruktur seperti kekuatan dari
bangunan, material yang dipakai, komponen-komponen struktur, dan kondisi bangunan secara
keseluruhan (misalnya munculnya retakan).
Hasil tangible dapat dilihat dari keberfungsian dan penggunaan infrastruktur. Keberfungsian
dalam hal ini didefinisikan sebagai evaluasi mengenai fungsi suatu infrastruktur bekerja seperti
seharusnya dan ini mungkin terjadi ketika bagian-bagian atau keseluruhan sistem bangunan
bekerja seperti diharapkan. Infrastruktur untuk pengolahan limbah rumah tangga, misalnya,
akan bekerja dengan baik jika infrastruktur tersebut berhasil mengurangi polusi sampah yang
biasanya diindikasikan dengan penurunan bau dan pengolahan limbah menjadi cairan yang
lebih aman bagi lingkungan. Infrastruktur jalan berfungsi manakala jalan tersebut aman untuk
digunakan (jalan tidak berlubang) dan tidak becek, serta membuka akses warga. Toilet
dikategorikan berfungsi ketika dapat digunakan untuk mandi dan buang hajat, tidak mampat,
ada penerangan, dan ketersediaan air.
Namun demikian, infrastruktur yang berfungsi dengan baik tidak selalu berarti digunakan oleh
warga. Karenanya, hasil tangible dari suatu infrastruktur juga diukur dari penggunaan
infrastruktur tersebut. Penggunaan ini dapat dilihat melalui asesmen terhadap akses dari
kelompok target infrastruktur yang meliputi regularitas dari warga dalam menggunakan
infrastruktur dan mengevaluasi seberapa jauh infrastruktur tersebut menyediakan akses dasar
yang diperlukan oleh warga. Evaluasi tersebut juga meliputi kesesuaian infrastruktur yang
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
4
dibangun dengan kondisi dan kebutuhan lokal warga sekitar. Warga akan menggunakan suatu
infrastruktur jika ia sesuai dengan konteks kehidupan lokal mereka.
Tidak semua infrastruktur yang dibangun dapat diukur secara jelas dari segi penggunaannya.
Pengukuran atas penggunaan infrastruktur dapat dilakukan pada beberapa infrastruktur
seperti jalan, toilet umum, dan fasilitas umum. Infrastruktur drainase dan pengolahan limbah
rumah tangga, sebagai contoh, sulit untuk dilihat siapa saja yang benar-benar
menggunakannya. Kedua tipe infrastruktur tersebut hanya dapat diukur dari sisi fungsinya.
Adapun hasil-hasil intangible didefinisikan sebagai efek lanjutan dari pemanfaatan infrastruktur
terhadap aspek lebih luas dari kehidupan warga penerima manfaat. Penelitian ini
mengeksplorasi efek dari infrastruktur dari segi relasi sosial, strategi penghidupan, dan
perasaan warga sebagai bagian dari komunitas kota yang lebih luas. Aspek yang terakhir ini
merupakan asesmen khusus atas efek infrastruktur penataan kawasan kumuh terhadap
integrasi warga di kawasan kumuh dengan warga luar. Lora dkk. (2008) menekankan
pentingnya pelibatan aspek ini dalam melakukan evaluasi atas program-program penataan
kawasan kumuh. Hidup di kawasan kumuh dapat membuat warga merasa berbeda atau kurang
dibandingkan dengan warga lain di kota. Dalam hal ini, suatu program dapat dikatakan berhasil
bila program tersebut berpengaruh positif terhadap integrasi sosial warga setempat dengan
warga luar. Karena itu, penelitian ini juga mengevaluasi efek program terhadap relasi sosial dan
menginvestigasi efek program ini dalam peningkatan kepercayaan dan ikatan sosial di antara
warga penerima manfaat, serta antara warga penerima manfaat dengan nonpenerima
manfaat.
Dalam mengevaluasi pemanfaatan infrastruktur, penelitian ini berfokus pada distribusi akses,
mengidentifikasi pihak yang mendapatkan manfaat paling banyak dari infrastruktur yang
dibangun. Hal ini dilakukan dengan meneliti kelompok warga mana saja yang mendapatkan
manfaat paling banyak dari infrastruktur yang dibangun baik dari sisi gender, usia, dan status
sosial ekonomi.
Dalam menjawab pertanyaan kedua, kami mengevaluasi tiga faktor penting yang mendorong
munculnya hasil-hasil dari program. Ketiganya adalah desain dan implementasi program,
konteks institusi warga, dan lingkungan kebijakan pendukung/penghambat (local government).
(a) Lebih jauh, asesmen atas kualitas intervensi proyek terdiri dari evaluasi atas kualitas (i)
PLPBK dan PRBBK, yang meliputi evaluasi atas beberapa instrumen perencanaan khusus;
dan (ii) implementasi proyek yang meliputi manajemen proyek, partisipasi warga,
akuntabilitas, dan kapasitas fasilitator dan pelaksana program pada level kelurahan.
Pelaksana program pada level kelurahan terdiri dari BKM, KSM, dan TIPP1.
1 BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) sebuah entitas legal di tingkat kelurahan untuk mengelola program PNPM di area perkotaan. Anggota BKM dipilih oleh warga. Setiap kelurahan memiliki satu BKM. Setelah terbentuk, BKM kemudian membentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) untuk secara spesifik membangun beberapa tipe infrastruktur di area permukiman tertentu. Sebagai catatan, penelitian ini tidak meneliti kinerja KSM yang juga mengelola kredit mikro. TIPP (Tim Inti Perencanaan Partisipatif), sementara itu, bertanggung jawab untuk mengumpulkan data tentang profil suatu
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
5
(b) Aspek penting kedua dari mekanisme adalah konteks institusi lokal. Hal ini meliputi
kepemimpinan warga, kapasitas dalam pengorganisasian dan aksi kolektif, dan
kondisi/latar belakang sosial dan ekonomi warga.
(c) Peran pemerintah lokal (PU dan Bappeda) dan kebijakan di tingkat kota pun penting dalam
menangani masalah-masalah yang dialami warga di kawasan kumuh serta di area risiko
bencana yang secara langsung berkaitan dengan proyek dari sisi perencanaan,
pelaksanaan, dan keberlanjutan. Fokus pertanyaan dalam hal ini adalah apakah mereka
mendukung atau menghambat program intervensi secara keseluruhan?
Pertanyaan ketiga dari penelitan ini berkaitan dengan pemeliharaan dan keberlanjutan
infrastruktur yang dibangun pada periode 2012-2014. Dalam hal ini, pemeliharaan merupakan
bagian yang menantang dari program yang sangat menentukan keberlanjutan infrastruktur
yang dibangun. Dalam menjawab pertanyaan ini, penelitian ini berfokus pada dua poin utama,
yaitu pemanfaatan (utilization) infrastruktur (setelah program berakhir di 2014) dan peran
warga dalam pemeliharaan infrastruktur.
(a) Dari sisi penggunaan, penelitian ini menggunakan baseline data PNPM yang menyediakan
daftar infrastruktur. Daftar tersebut memandu para peneliti lapangan untuk melakukan
penggalian data mendalam untuk menemukan infrastruktur yang masih berfungsi dan yang
rusak dan tak lagi digunakan. Untuk infrastruktur yang masih berfungsi, observasi lebih jauh
dilakukan untuk melihat pemanfaatan, termasuk juga regularitas dalam pemanfaatan
tersebut, dan sejauh mana infrastruktur itu menyediakan kebutuhan dasar bagi warga.
(b) Pada infrastruktur yang berfungsi, penelitian ini juga mengevaluasi peran warga dalam
memelihara infrastruktur, termasuk keberlanjutan institusi warga dan kapasitas warga
untuk memanfaatkan dan memelihara infrastruktur.
1.3.2 Studi Kasus Kualitatif (Qualitative Case Studies)
Kerangka studi untuk mengevaluasi efek dari intervensi lanjutan di area perkotaan terhadap
kehidupan penerima manfaat memerlukan metode yang memungkinkan peneliti untuk
mengumpulkan data mengenai perspektif dan pengalaman dari sisi warga penerima manfaat.
Penelitian ini, karenanya, menggunakan metode studi kasus kualitatif untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas. Pendekatan ini memungkinkan kami untuk
mengembangkan deskripsi tekstual yang kaya dan mendalam tentang bukti bahwa penerima
manfaat merasakan manfaat dari program, efek yang mereka rasakan, serta pendapat mereka
tentang program tersebut.
masyarakat dan menyusun rencana spasial kelurahan atau RPLP (Rencana Penataan Lingkungan Perumahan).
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
6
1.3.2.1 Lokasi Penelitian
Sesuai dengan saran yang disampaikan dalam kerangka acuan (TOR), studi ini dilakukan di tiga
kota (dua kelurahan di tiap kota), yaitu Banjarmasin, Yogyakarta, dan Bima. Di Banjarmasin dan
Yogyakarta, kami memilih dua kelurahan berdasarkan kriteria: proporsi rumah tangga miskin,
tipe intervensi (PLPBK dan showcase)2, dan ragam infrastruktur yang dibangun. Sementara itu,
di Bima, pemilihan kelurahan didasarkan pada proporsi jumlah rumah tangga miskin dan
frekuensi terjadinya bencana.
Penelitian ini menggunakan data dari database program atau sistem informasi manajemen
(management information system, MIS) yang disediakan oleh program sebagai basis data untuk
memilih calon-calon kelurahan. Finalisasi pemilihan dua kelurahan di tiap kota dilakukan
setelah proses validasi di lapangan.
Berdasarkan kriteria dan proses, studi ini memilih enam kelurahan berikut ini: Gowongan dan
Suryatmajan di Yogyakarta, Alalak Selatan dan Melayu di Banjarmasin, serta Santi dan Pane di
Bima.
Gambar 1 Lokasi Studi Kasus
2 PLPBK merupakan skema penataan kawasan kumuh berbasis komunitas yang didanai oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat menentukan kelurahan-kelurahan yang menerima program PLPBK. Showcase adalah program pengembangan permukiman tambahan yang didanai pemerintah pusat untuk menciptakan praktik-praktik baik dari program. Lokasi dari intervensi program ini pun ditentukan oleh pemerintah pusat.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
7
Menimbang keterbatasan waktu dan anggaran, di setiap kelurahan yang dipilih, studi ini
memilih kembali area-area yang menerima tipe dan skema proyek infrastruktur yang berbeda.
Detail informasi tentang lokasi penelitian dirangkum dalam Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1 Lokasi Penelitian
No Lokasi Kelurahan Kota Skema Intervensi Tahun
1 PLPBK Gowongan Gowongan Yogyakarta Scale-up PLPBK 2015-
2016
2 Showcase Gowongan Showcase 2018
3 Suryatmajan Suryatmajan Scale-up PLPBK 2015
4 Showcase Alalak Selatan Alalak Selatan
Banjarmasin Showcase 2018
5 PLPBK Lanjutan Alalak Selatan Scale-up PLPBK 2015
6 (Anggaran Sisa) Showcase
Alalak Selatan
Showcase 2018
7 Kampung Melayu Melayu Kolaborasi 2016
8 Pane 2017 Pane Bima PRBBK 2017
9 Pane 2018 PRBBK 2018
10 Santi 2017 Santi PRBBK 2017
11 Santi 2018 PRBBK 2018
1.3.2.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pertama adalah transek. Transek (transect walk) merupakan penelurusan (jalan kaki)
sistematis di wilayah studi atau proyek yang dilakukan bersama dengan warga lokal untuk
mengeksplorasi kondisi infrastruktur-infrastruktur yang dibangun—melalui observasi,
bertanya, mendengarkan, melihat, dan membuat diagram transek. Penelitian ini menggunakan
transect walk untuk mendapatkan gambaran awal mengenai area yang diteliti. Metode ini juga
digunakan untuk mendeskripsikan dan menunjukkan lokasi dan distribusi infrastruktur. Transek
dilakukan pada fase awal pengumpulan data lapangan.
Metode kedua adalah observasi. Metode ini digunakan untuk mengalami dan mengamati secara
langsung keberfungsian dan pemanfaatan infrastruktur. Peneliti mengobservasi lokasi dan
infrastruktur yang dibangun pada waktu yang berbeda untuk melihat frekuensi akses atau
penggunaan infrastruktur dan pengguna infrastruktur tersebut.
Metode ketiga adalah wawancara. Penelitian ini menggunakan wawancara sebagai metode
utama dalam pengumpulan data. Wawancara kualitatif umumnya diartikan sebagai percakapan
dengan tujuan dan metode yang bersifat fleksibel. Wawancara memberikan kesempatan bagi
pewawancara untuk secara spontan, tetapi natural menyelidiki isu-isu yang dicari. Secara
khusus, studi ini menggunakan tiga jenis wawancara.
(a) Wawancara dengan informan kunci. Metode ini digunakan untuk menangkap informasi
awal mengenai program yang dilaksanakan. Informan kunci yang diwawancarai meliputi
pejabat pemerintah daerah, lurah, fasilitator, dan tokoh masyarakat setempat. Secara
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
8
khusus, peneliti mewawancara koodinator BKM dan fasilitator untuk menggali data
mengenai gambaran secara keseluruhan dari pelaksanaan program, untuk mendapatkan
gambaran tentang proses program tersebut menghasilkan capaian (outcome), serta
mengidentifikasi tantangan dan peluang yang dihadapi. Pada tingkat masyarakat, peneliti
mewawancara tokoh masyarakat (termasuk ketua RT/RW) untuk mendapatkan informasi
menyeluruh mengenai pemanfaatan infrastruktur, distribusi akses atas infrastruktur di
antara warga, dan kapasitas warga serta institusi yang membentuk dan mendorong
pemanfaatan (dan kemudian capaian) infrastruktur. Wawancara pada level masyarakat
juga dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai partispasi masyarakat,
transparansi, serta akuntabilitas (program) pada tingkat kelurahan.
(b) Wawancara dengan warga di area program (yang ditata) dan di luar area program.
Wawancara terutama dilakukan dengan warga di area-area yang sudah diintervensi
(upgraded) untuk mendapatkan informasi mengenai pengalaman mereka dalam
menggunakan infrastruktur, pengalaman selama proses implementasi program, dan
efeknya. Efek dari program rehabilitasi permukiman ini dijabarkan dari sisi keamanan,
hubungan sosial, dan kebanggaan (perasaan menjadi bagian dari masyarakat perkotaan
yang lebih luas dan perasaan menjadi warga yang mirip dengan warga kota lainnya) serta
untuk menggali data mengenai pengalaman mereka selama proses implementasi program
penataan kawasan kumuh. Kelompok masyarakat yang diwawancara berasal dari beragam
latar belakang termasuk (a) mereka yang memiliki/tidak memiliki akses terhadap
infrastruktur; (b) ragam akses atas ragam infrastruktur; (c) kelompok masyarakat yang
mengakses infrastruktur yang dilihat dari sisi gender, usia, dan status sosial ekonomi.
(c) Wawancara kelompok masyarakat. Metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi
mengenai program penataan kawasan kumuh dari sudut pandang warga secara kolektif.
Selain itu, metode ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi secara keseluruhan
mengenai program rehabilitasi dari sisi akses atas layanan dasar (infrastruktur) dan
kepuasan mereka sebagai masyarakat penerima manfaat program. Studi ini juga
menggunakan metode ini untuk mengklarifikasi proses perihal cara hasil-hasil tertentu
dicapai oleh program berdasarkan perspektif warga secara kolektif. Untuk menghindari
dominasi beberapa orang dalam kelompok, studi ini melakukan wawancara kelompok
secara terpisah terutama antara kelompok perempuan dan laki-laki.
Menimbang bahwa studi evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil dan efektivitas dari
program PNPM Perkotaan pada periode perpanjangan, dalam studi ini kami pun menggunakan
pendekatan sebelum dan sesudah (program) dalam mendesain pertanyaan-pertanyaan
wawancara. Lebih jauh, dalam melakukan wawancara tentang hasil dan mekanisme, penelitian
ini memisahkan hasil program periode 2015-2018 (periode perpanjangan) dan sebelum 2015
(2012-2014).
Untuk memastikan validitas metode, kami melakukan triangulasi dari sisi metode dan sumber
informasi. Para peneliti menelisik jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan
menggunakan metode yang berbeda: observasi, wawancara, dan penggalian data sekunder.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
9
Para peneliti juga mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sama pada beberapa
informan yang berbeda (warga, pejabat di pemerintah lokal, dan di antara warga itu sendiri).
Peneliti lapangan kami terdiri dari para peneliti yang memiliki pengalaman dalam melakukan
studi kualitatif dengan kombinasi gender serta latar belakang pendidikan dan pengalaman dari
sisi sosial dan perencaaan kota. Setiap tim terdiri dari tiga peneliti yang melakukan penggalian
data di dua kelurahan di satu kota. Data lapangan dikumpulkan selama 18 hari, dari 4 sampai
22 Februari 2019. Secara total, tim kami melakukan wawancara dengan 144 informan dari
berbagai latar belakang gender, kelompok (petugas/pejabat, informan kunci, warga di area
program, dan warga di luar area program). Terdapat 65 informan perempuan dan 79 informan
laki-laki yang diwawancara di enam kelurahan.
1.4 Struktur Laporan
Laporan ini dibagi ke dalam enam bab. Bab pertama mendeskripsikan latar belakang, tujuan,
dan metode penelitan.
Bab kedua menjelaskan temuan dari penelitian dalam menjawab pertanyaan penelitian
pertama. Bab ini mendiskusikan fungsi infrastruktur dan efek dari hasil program PLPBK
terhadap dimensi intangible dari kehidupan warga seperti hubungan sosial dan integrasi
mereka dengan warga di luar kawasan kumuh. Ia juga meliputi efek positif dan negatif dari
dimensi intangible ini terhadap kehidupan warga.
Bab tiga menjelaskan cara beberapa hasil dari program itu dicapai. Bab ini menjelaskan proses
dan mekanisme program PLPBK di tiga level, yaitu program, institusi warga, dan lingkungan
kebijakan pendukung (enabling policy environments).
Bab empat mendiskusikan efek dari program pengurangan risiko bencana (PRBBK) dalam
mengurangi risiko bencana banjir yang dialami warga di kota Bima. Hal ini meliputi terbatasnya
efek program dalam membangun kapasitas dan resiliensi warga di daerah terdampak banjir
dalam melakukan mitigasi bencana. Bab ini juga mendiskusikan proses mekanisme PRBBK yang
menghasilkan dampak yang hanya terbatas pada membangun kapasitas warga dalam
manajemen risiko bencana.
Bab lima fokus pada evaluasi atas pemeliharaan infrastruktur yang dibangun pada periode
2012-2014. Bagian ini juga mengidentifikasi beberapa infrastruktur yang banyak digunakan,
yang kurang digunakan, atau bahkan tidak digunakan sama sekali. Bagian ini menekankan
bagaimana institusi warga dapat berkontribusi pada pencapaian hasil yang berbeda terhadap
keberfungsian dan pemanfaatan infrastruktur.
Bab terakhir adalah review atas keseluruhan pertanyaan penelitian dan menyampaikan
kesimpulan mengenai hasil dari program dan proses pencapaian hasil tersebut. Bagian ini juga
menyajikan beberapa isu dan saran untuk meningkatkan program.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
10
B A B 2
E F E K P R O G R A M P E N A T A A N K A W A S A N
K U M U H
Bab kedua ini mendiskusikan temuan-temuan penelitian yang menjawab pertanyaan pertama
tentang fungsi dan pemanfaatan infrastruktur penataan kawasan kumuh dari perspektif warga
di area yang telah diintervensi. Bab ini juga mengelaborasi efek lebih jauh dari pemanfaatan
infrastruktur terhadap dimensi intangible dari kehidupan warga. Bagian pertama bab ini
menjelaskan temuan dari sisi fungsi dan pemanfaatan infrastruktur yang dibangun untuk
pengurangan genangan air dan polusi serta dalam peningkatan akses dan konektivitas warga
(dimensi tangible). Bagian kedua mendiskusikan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi
serta efek positif dan negatif dari pembangunan infrastruktur di satu area prioritas terhadap
dimensi intangible dari kehidupan warga di area intervensi program.
2.1. Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur
2.1.1 Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur yang Dibangun pada Program PNPM
Perkotaan Periode Perpanjangan
Di semua lokasi studi, warga menggunakan dana dari program untuk membangun infrastruktur
yang relatif sama yang terdiri dari instalasi pengolahan air limbah (IPAL), perbaikan jalan, serta
rehabilitasi drainase dan saluran limbah, penyediaan MCK, dan rehabilitasi rumah-rumah
warga. Kegiatan terakhir dapat ditemukan di Yogyakarta dan Banjarmasin.
Infrastruktur-infrastruktur tersebut ada yang dibangun secara terintegrasi di satu area prioritas,
ada pula yang dibangun tersebar di beberapa area. Infrastruktur yang dibangun di satu area
Area yang ditata di Alalak Selatan. Foto oleh Faisal S.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
11
prioritas memiliki efek lanjutan yang akan dijelaskan pada bagian 2.2. Bagian ini akan fokus
pada efek tangible dari infrastruktur baik yang dibangun secara terintegrasi maupun yang
tersebar di beberapa area.
Secara umum, penelitian ini menemukan dua kategori infrastruktur yaitu infrastruktur yang (i)
berfungsi dan digunakan dengan baik; serta (ii) infrastruktur yang tidak berfungsi dan/atau
tidak digunakan semestinya (lihat Tabel 2). Suatu infrastruktur masuk pada kategori pertama
ketika infrastruktur berfungsi dan (jika berada dalam kondisi layak) dimanfaatkan secara reguler
oleh warga. Infrastruktur pada kategori kedua adalah infrastruktur yang tidak digunakan oleh
warga karena ia tidak berfungsi atau karena alasan lain. Keberfungsian suatu infrastruktur
berkaitan dengan kerusakan sebagian atau keseluruhan dari bangunan atau sistem yang tidak
berjalan seperti yang diharapkan. Misalnya, tidak tersedianya air pada toilet yang sudah
dibangun. Isu-isu lain berkaitan dengan faktor-faktor lebih luas yang ada pada warga atau
perencanaan program yang berujung pada tidak atau kurang digunakannya infrastruktur yang
dibangun.
Studi evaluasi ini menemukan fakta bahwa program telah berhasil meningkatkan akses jalan dan
konektivitas, merehabilitasi drainase, saluran limbah, dan sanitasi. Infrastruktur-infrastruktur ini
bukan hanya berfungsi dengan baik tapi juga digunakan oleh warga. Namun, program ternyata
belum berhasil meningkatkan akses warga terhadap sistem pengelolaan sampah dan terhadap
area publik (public spaces) yang memadai. Warga tidak menggunakan area publik, taman,
gudang, dan gerobak sampah. Penjelasan lebih jauh mengenai fungsi dan penggunaan
infrastruktur, termasuk mengenai siapa saja yang mengaksesnya, akan dielaborasi pada bagian
berikutnya.
Tabel 2 Data Ringkas Mengenai Penggunaan Infrastruktur
No Infrastruktur Lokasi Infrastruktur yang Berfungsi dan Digunakan Warga
Lokasi Infrastruktur yang Tidak Berfungsi dan Tidak Digunakan
1 Jalan di permukiman (jalan di pinggir sungai, titian ulin, dan gang)
Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan Showcase 2018)
Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)
Kampung Melayu (PLPBK 2015-2016 dan kolaborasi 2016)
Alalak Selatan (PLPBK 2015-2016 dan dana sisa Showcase 2018)
Pane (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)
Santi (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)
Alalak Selatan (Showcase 2018)
2 Drainase Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan showcase 2018)
Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)
Alalak Selatan (Showcase 2018)
Pane (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)
Santi (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
12
No Infrastruktur Lokasi Infrastruktur yang Berfungsi dan Digunakan Warga
Lokasi Infrastruktur yang Tidak Berfungsi dan Tidak Digunakan
3 IPAL Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan Showcase 2018)
Pane (PRBBK 2017)
Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)
Alalak Selatan (Showcase 2018)
Pane (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)
Santi (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)
4 MCK/WC Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan Showcase 2018)
Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)
Alalak Selatan (Showcase 2018 dan dana sisa Showcase 2018)
Santi (PRBBK 2017)
5 Septic tank Alalak Selatan (dana sisa program Showcase)
Santi (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)
6 Pipa air bersih Santi (PRBBK 2017)
7 Sumber air bersih Pane (PRBBK 2017)
8 Pagar Kampung Melayu (PLPBK 2015-2016 dan Kolaborasi 2016)
9 Talud Pane (PRBBK 2017 and PRBBK 2018)
10 Gerobak sampah Alalak Selatan (PLPBK 2015-2016)
Gowongan (Showcase 2018)
11 Sumur resapan Pane (PRBBK 2017)
12 Ruang terbuka hijau Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan Showcase 2018)
13 Balai pertemuan Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)
2.1.2 Infrastruktur yang Berfungsi dan Digunakan oleh Warga
2.1.2.1 Peningkatan Fungsi dan Penggunaan Jalan Permukiman
Salah satu jenis infrastruktur yang paling populer yang dibangun oleh program PNPM reguler
adalah perluasan dan perbaikan jalan. Infrastruktur ini juga sama populernya dalam program
PNPM periode perpanjangan. Dana dari program juga digunakan untuk memelihara dan
memperbaiki jalan-jalan gang di permukiman termasuk pembangunan jalan baru, pelebaran,
dan perbaikan jalan dengan menggunakan cor, serta membangun jalan permukiman dari kayu,
dan perbaikan jalan menggunakan paving blok. Di area bantaran sungai seperti Alalak Selatan
(Banjarmasin), dan Gowongan dan Suryatmajan (Yogyakarta), Pembangunan jalan dilakukan
dengan cara memperlebar jalan yang memotong permukiman warga. Jalan-jalan di
permukiman dinaikkan sehingga lebih tinggi dari pemukaan air sungai dan diratakan baik
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
13
dengan semen (cor), kayu, aspal, maupun paving blok. Perbaikan jalan juga disertai dengan
kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan tampilan visual dari jalan tesebut melalui pembuatan
lukisan/ \gambar dan mural baik di jalan maupun di dinding dan pagar sepanjang jalan yang
dibangun (lihat Gambar 2). Kegiatan ini biasa disebut dengan mempercantik (beutifikasi).
Gambar 2 Kondisi jalan permukiman dan gang setelah intervensi program di Yogyakarta (kiri) dan Bima (kanan)
Foto oleh Yulia Indri Sari (kiri) and Nofalia N. (kanan)
Berdasarkan observasi dan wawancara dengan para pengguna jalan, kami menemukan bahwa program telah berhasil meningkatkan kondisi jalan dan membuatnya berfungsi lebih baik. Sebelum perbaikan, kondisinya sangat buruk; jalan tersebut hanya berupa jalan berlumpur, titian kayu yang sudah lapuk, jalan yang berlubang atau terkikis yang membuatnya tidak nyaman dan tidak aman untuk digunakan. Beberapa jalan memiliki posisi lebih rendah dari saluran air sehingga ketika hujan tergenang, berlumpur, dan kotor. Perbaikan jalan di Alalak Selatan, misalnya, dilakukan dengan cara memperlebar dan meratakan jalan menggunakan paving blok, sehingga membuat jalan lebih rata dan tidak berlumpur ketika hujan. Pengguna jalan mengatakan bahwa sekarang mereka merasa lebih nyaman menggunakan jalan tersebut. Contoh tahapan perbaikan kondisi jalan dapat dilhat pada Gambar 3.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
14
Gambar 3 Proses perbaikan jalan permukiman di Alalak Selatan, Banjarmasin
Foto diambil dari dokumentasi fasilitator kelurahan, Banjarmasin
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
15
Perbaikan fungsi jalan diikuti dengan penggunaan
jalan yang lebih baik. Program ini telah berhasil
membuka akses jalan untuk pengguna yang lebih
luas—terutama pengguna sepeda motor dan mobil
yang tinggal di area permukiman maupun mereka
yang berasal dari luar. Perbaikan jalan tidak hanya
menghubungkan antarsatu RT dengan RT lainnya,
tapi juga membuka akses warga ke kota. Di Santi
(Bima) dan Gowongan (Yogyakarta), pembangunan
jalan selebar 2,5-3 meter telah membuka akses baru
bagi pengguna kendaraan bermotor menuju jalan
protokol. Sebelumnya, warga mengalami kesulitan
untuk mengakses jalan tersebut dengan
menggunakan kendaraan. Sekarang, jalan tersebut
telah digunakan secara luas oleh warga (jalan kaki)
maupun pengguna kendaraan. Di Banjarmasin,
pembangunan jalan terutama ditujukan untuk
menghubungkan satu RT dan RT lain dengan
menggunakan sepeda motor.
Warga di Gowongan, Yogyakarta, secara khusus
merasakan manfaat dari perbaikan jalan dari segi
meningkatnya konektivitas tempat mereka tinggal
dengan area lain yang lebih luas. Dana PLPBK 2015-
2016 telah berhasil membuka akses bagi warga yang
tinggal di bantaran sungai menuju jalan utama (Jalan
Kleringan) yang mengarah ke pusat kota (Malioboro)
dan menuju beberapa pusat layanan publik seperti
puskemas, sekolah, serta pertokoan. Jalan tersebut
juga telah membuka akses bagi para pengguna
sepeda motor dan mobil menuju ke area bantaran
sungai. Sebelum jalan tersebut diperbaiki, warga
harus melalui jalur yang curam menuju ke pusat
kota. Becak apalagi motor tidak bisa masuk ke area
bantaran sugai karena jalur sepanjang bantaran
sungai masih sempit (lebar kurang dari satu meter).
Karenanya, pada saat itu, sangat sulit bagi warga
untuk membawa barang dagangan mereka
(merchandise) ke daerah Malioboro untuk dijual.
Program PNPM Perpanjangan, dalam hal ini, telah
membantu memenuhi kebutuhan warga atas jalan
yang lebih lebar. Sekarang, warga dapat dengan
mudah membawa barang dagangan mereka
(merchandise) ke area Malioboro, mereka pun dapat
membeli peralatan rumah tangga dengan ukuran
Kotak 1: Berjalan dengan nyaman di
Suryatmajan
Di Suryatmajan, sebelum adanya program
penataan, jalan di permukiman hanya
memiliki lebar satu sampai satu setengah
meter dengan permukaan paving blok yang
rusak. Banyak warga menggunakan jalan ini
sebagai ‘dapur’ di mana mereka mencuci dan
menyimpan peralatan dapur sehingga
membuat jalan menjadi kian sempit, kotor,
dan tidak nyaman digunakan.
Melalui program PNPM Perpanjangan, jalan di
permukiman di sepanjang pinggiran sungai
yang dikenal dengan Pedrestrian Code
Gumreget (PCG), diperlebar menjadi tiga
meter dengan memangkas beberapa rumah
yang ada di pinggir jalan. Selain itu,
permukaan jalan dinaikan setinggi sekitar 60
cm untuk menyesuaikan dengan ketinggian
talud. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki
fungsi saluran pembuatan limbah cair ke
sungai. Sebelumnya, posisi pipa pembungan
lebih tinggi dari permukaan jalan sehingga
mengakibatkan munculnya genangan air.
Permukaan PCG dibuat dari batu candi
sementara pagar pembatas setinggi 1.5 meter
dibuat dari material seperti marmer. Sisi
kanan dan kiri jalan dihias dengan pot-pot
bunga; beberapa ornament lain juga dipasang
untuk meningkatkan kesan artisitk di
sepanjang PCG. Di sana terdapat pula dua
spot untuk swafoto (selfie).
Warga sepakat untuk menggunakan PCG
hanya bagi para pejalan kaki dan tidak
memperbolehkan kendaraan bermotor untuk
lewat. Berdasarkan observasi dan interview
dengan warga, area PCG ramai digunakan
oleh warga terutama di pagi dan sore hari.
Pada pagi hari, para pamnula berjalan di area
dan di sore hari anak-anak ramai bermain di
sana. Orang-orang yang berkumpul di PCG
berasal dari area program dan luar are
program.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
16
relatif besar seperti lemari dan kulkas. Jalan yang sudah diperbaiki pun telah membuka peluang
bagi para pelaku usaha transportasi online—para penjual makanan bisa menggunakan layanan
pengiriman barang berbasis aplikasi untuk mengirimkan barang dagangan (atau barang-barang
lainnya) mereka.
Perbaikan jalan di kelurahan Suryatmajan, Yogyakarta, telah membuka akses yang lebih baik
terutama bagi para orang tua dan anak-anak. Kelompok-kelompok rentan ini mendapatkan
manfaat lebih dari perbaikan jalan. Jalan yang telah diperbaiki ditujukan hanya untuk pejalan
kaki saja dan waga pun bersepakat untuk tidak mengizinkan para pengguna sepeda motor
untuk menggunakan jalan tersebut. Manfaat jalan bagi para orang tua (manula) dan anak-anak
dapat dilihat di Kotak 1.
Peningkatan fungsi jalan telah meningkatkan keamanan para pejalan kaki. Peningkatan yang
dimaksud terutama dirasakan oleh warga di Kampung Melayu, Banjarmasin. Setelah perbaikan
titian ulin dan pemasangan pagar di bantaran sungai, warga menjadi merasa lebih aman ketika
mereka berjalan atau mengendari sepeda motor di titian tersebut. Sebelum dilakukan
perbaikan, titian ulin telah rusak cukup parah, beberapa bagian permukaan kayunya
mengelupas, dan beberapa paku bahkan menonjol di permukaan yang kerap melukai warga
dan anak-anak yang lewat di titian tersebut. Para pejalan kaki dan pengguna sepeda motor yang
melewati jalan tersebut harus sangat berhati-hati karena bisa saja mereka terjatuh dan terluka.
Selain itu, pemasangan pagar di sepanjang titian sangat bermanfaat bagi kemanan anak-anak
ketika mereka bermain di bantaran sungai. Pagar tesebut menjadi pembatas yang mencegah
para pengguna jalan agar tidak terjatuh ke sungai.
2.1.2.2 Perbaikan Jaringan Drainase
Perbaikan jalan biasanya disertai dengan perbaikan saluran air sehingga sistem drainase pun
menjadi lebih baik lagi. Penelitian ini menemukan fakta bahwa program telah berhasil
memperbaiki jaringan drainase yang dapat dilihat dari berkurangnya genangan air ketika hujan
turun.
Sebelum perbaikan dilakukan, warga mengatakan banyak masalah pada saluran drainase
terutama ketika hujan lebat turun atau (di Banjarmasin) ketika sungai meluap. Warga biasanya
menceritakan masalah darainase ini dengan menggambarkan kondisi yang kotor dan
berlumpur di sekitar area permukiman, banyak genangan air, dan ketika hujan turun, air surut
sangat lambat. Pada saat itu, air hujan tidak bisa dibuang langsung ke sungai karena drainase
mampat atau terbendung oleh aliran sungai yang pada akhirnya menghasilkan genangan air di
area permukiman. Ketika hujan turun lebat, limpasan air dapat menggenangi area permukiman
bahkan masuk ke rumah-rumah warga. Di Banjarmasin, masalah genangan air bukan hanya
disebabkan oleh hujan, tetapi terutama disebabkan oleh air sungai yang pasang yang terjadi
setiap petang. Limpasan air biasanya membawa banyak sampah dari sungai ke jalanan.
Secara umum, setelah perbaikan dilakukan, warga di area intervensi program mengatakan
bahwa saat hujan lebat turun, jalan-jalan di permukiman tidak lagi tergenang dan berlumpur.
Jalan tetap kering, aman, dan nyaman untuk digunakan. Air hujan yang turun dapat langsung
memasuki saluran air dan mengalir lancar menuju sungai. Ketika hujan, air pun surut dengan
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
17
cepat. Efek dari rehabilitasi saluran air kerap digambarkan oleh warga dengan
membandingkannya dengan waktu sebelum dilakukan perbaikan. “Dulu ketika hujan, jalan
menjadi basah, berlumpur, dan tidak enak dilihat; tapi sekarang, air mengalir dengan lancar.
Bagus”.
Secara khusus, di Yogyakarta, program telah berhasil meningkatkan kondisi jaringan drainase
dengan memisahkan saluran air hujan (SAH) dengan saluran air limbah (SAL), mengganti pipa-
pipa dengan pipa-pipa yang lebih lebar, menata ulang kemiringan saluran air dan hubungan
antarsaluran yang melewati rumah-rumah warga. Perbaikan juga telah berhasil mengurangi
genangan air bahkan ketika hujan lebat turun selama lebih dari tiga jam.
Di Bima, dana program digunakan untuk memperlebar saluran drainase dan menutup saluran
untuk menghindari masuknya sampah ke saluran air. Perbaikan ini telah berhasil mengurangi
genangan air ketika hujan. Sebelumnya, air limbah dari rumah warga menggenang di halaman
karena saluran air yang terlalu kecil, permukaan yang terbuka (sehingga sampah masuk), serta
saluran yang mampat. Selain itu, karena rumah-rumah warga posisinya lebih rendah dari jalan,
ketika hujan turun, air hujan kerap menggenang di halaman rumah warga dan menciptakan
genangan-gengangan air yang membuat warga merasa sangat tidak nyaman. Dalam kondisi
tersebut, warga harus membersihkan drainase menggunakan tongkat kayu panjang untuk
membuat air mengalir lebih cepat. Ojek dan pedagang keliling enggan untuk masuk ke area
tersebut karena mereka sudah tahu bahwa area tersebut kotor dan berlumpur.
Lebih jauh, di Bima, program menggunakan sistem drainase tertutup dan ini berhasil
memperbaiki tampilan visual dari permukiman warga. Selain itu, pagar dan dinding sekitar
permukiman pun dicat warna-warna yang menarik. Warga pun menyimpan bunga di sekitarnya
(lihat Gambar 4).
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
18
Gambar 4 Setelah saluran drainase ditutup, warga menggunakan bagian atas drainase untuk menyimpan pot-pot bunga.
Foto oleh Panji Ardiansyah
Di Banjarmasin, genangan air bukan hanya disebabkan oleh hujan, tetapi juga oleh pasang air
sungai. Karenanya, perbaikan drainase dilakukan dengan cara menaikkan tinggi permukaan
jalan dan jembatan sekitar 20 cm di atas permukaan sungai. Berdasarkan observasi dan
wawancara dengan warga, perbaikan ini telah berhasil mengatasi masalah air pasang. Saat ini,
tidak ada lagi genangan air di jalan (Gambar 5).
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
19
Gambar 5. Kondisi jalan sebelum dan sesudah hujan
Foto oleh Bewanti Dahani
2.1.2.3 Peningkatan Fungsi dan Pemanfaatan Instalasi Pengolah Limbah dan MCK
Pada semua kasus yang diteliti, dana PNPM digunakan untuk memperbaiki sistem pengolahan
air limbah rumah tangga (dan dengan demikian membantu mengurangi polusi air) melalui
penyediaan instalasi pengolah limbah seperti biofilter septic tank dan pemasangan pipa
pembuangan. Instalasi pengolah limbah berfungsi untuk mengolah limbah rumah tangga dari
bentuk padat dan bau menjadi air yang lebih bersih dan tidak bau sehingga tidak berdampak
buruk bagi lingkungan.
Penelitian ini menemukan fakta bahwa di semua kasus yang diteliti penyediaan instalasi pengolah
limbah telah berfungsi dengan baik dalam mengurangi polusi yang disebabkan oleh limbah
rumah tangga yang berasal dari toilet. Sebelum tersedianya pengolah limbah cair, warga
biasanya membuang limbah toilet, baik dalam bentuk padat maupun cair, melalui saluran
drainase yang buruk (salurannya kecil dan terbuka) atau membuangnya langsung ke sungai.
Pada saat itu, warga mengatakan bahwa saluran pembuangan sering mampat, kondisi sungai
kotor dengan limbah padat dari toilet, dan sangat bau. Salah seorang warga misalnya
mengatakan, “Dulu di sini sangat bau (menunjuk ke arah area dekat sungai), sekarang tidak
lagi, Anda tidak mencium bau kotoran lagi”. Berdasarkan wawancara dan observasi, meskipun
bau tersebut tidak seluruhnya hilang, instalasi pengolah limbah telah mengurangi polusi di
sungai karena sebelum dibuang, limbah telah melalui proses penyaringan sehingga limbah
berbentuk air yang relatif jernih (Gambar 6).
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
20
Gambar 6 Limbah air menjadi lebih bersih di Gowongan, Yogyakarta
Foto oleh Aprilia Ambarwati
Perbaikan sistem pengolahan limbah cair juga disertai dengan penyediaan atau renovasi MCK—
baik yang semi komunal maupun milik individu—di Yogyakarta (Gowongan dan Suryatmajan)
dan Banjarmasin (Alalak Selatan). Namun, MCK tidak dibangun di semua lokasi studi, terutama
di Bima. Di Bima, hanya ada satu MCK yang diperbaiki pada 2017 berhubung fasilitas tersebut
telah rusak sebagai dampak perbaikan jalan. Kebanyakan MCK dibangun menggunakan dana
PNPM Perkotaan periode sebelumnya. Di Yogyakarta, MCK digunakan bersama-sama oleh
beberapa keluarga. Di Banjarmasin, MCK merupakan WC milik perseorangan—dengan septic
tank yang dipakai secara komunal—dan terutama digunakan untuk mandi dan toilet.
Studi ini menemukan perbedaan aspek fungsi dari MCK antara MCK di Yogyakarta dan di
Banjarmasin. Berdasarkan observasi, MCK di Yogyakarta memiliki kondisi relatif bagus dan
berfungsi dengan baik. Terdapat ruangan yang terpisah untuk mencuci dan dan untuk
mandi/toilet. Pencahayaan pun berfungsi dengan baik. Air tersedia dan dapat digunakan.
Lantainya pun tidak licin, yang menunjukkan bahwa toilet tersebut dipelihara dengan baik oleh
penggunanya. Sementara itu, toilet di Banjarmasin memilik masalah dari segi fungsinya karena
ia tidak dilengkapi dengan penyediaan air bersih. Ketika hendak menggunakan toilet, warga
harus mengambil air dari Sungai Jeruju dan membawanya ke toilet.
Studi ini juga menemukan kenyataan bahwa semua MCK komunal di Yogyakarta digunakan
secara reguler oleh para penerima manfaat. Di Yogyakarta, warga yang tinggal di sekitar MCK
secara rutin menggunakan MCK untuk mandi, mencuci, dan buang hajat. Toliet-toilet tersebut
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
21
biasanya ramai di waktu pagi dan malam. Di waktu pagi, para perempuan menggunakan MCK
untuk mencuci pakaian dan mencuci peralatan dapur. Warga di sana juga memiliki peraturan
yang jelas dalam hal pemeliharaan MCK. Beberapa pengguna memilih untuk membersihkan
MCK sendiri, setiap rumah tangga membersihkan MCK sekali dalam sepekan. Sebagian lain
memilih untuk membayar seseorang untuk membersihkan MCK. Penjelasan lebih jauh tentang
aspek pemeliharan MCK didiskusikan pada Bab 5.
Hal seperti ini juga terjadi di Banjarmasin. Meskipun air tidak tersedia, warga menggunakan
toilet berdasarkan fungsinya. Dahulu, warga hanya memiliki toilet yang dapat dikatakan
darurat. Toilet ini tidak memiliki area pembuangan khusus, bentuknya hanya berupa lubang
tepat di atas sungai. Ketika warga buang hajat, atau kencing, kotoran atau air kencing akan
langsung jatuh ke sungai dalam bentuk apa adanya. Ketika warga selesai buang hajat, lubang
kecil itu akan ditutup oleh sebuah potongan papan. Pembangunan toilet pribadi telah membuat
warga lebih nyaman. Selain itu, bentuk bangunannya pun lebih baik, permanen, dan dicat rapi
sehingga terlihat lebih cantik (Gambar 7). Keberadaan toilet seperti ini menjadi suatu
kebanggaan tersendiri bagi para penerima manfaat karena kebanyakan warga di area mereka
tinggal tidak memiliki toilet sebaik yang mereka punya (akan dijelaskan lebih jauh pada bagian
2.2.2).
Gambar 7 Kondisi toilet sebelum dan sesudah program
Foto oleh Faisal Setianzah
2.1.3 Infrastruktur yang Tidak Berfungsi dan Tidak digunakan dengan Baik
Pada bagian sebelumnya kami telah menjelaskan tipe-tipe infrastruktur—jalan, drainase, dan
sanitasi—yang berfungsi dengan baik. Infrastruktur tersebut ternyata bukan hanya berfungsi
dengan baik, tetapi juga digunakan secara rutin oleh para penerima manfaat. Bagian ini akan
menjelaskan temuan penelitian terkait dua kategori infrastruktur yang tidak digunakan dengan
baik.
Kategori pertama adalah infrastruktur yang secara umum berfungsi dan digunakan oleh warga
seperti dijelaskan di bagian 2.1.2 di atas. Namun, keberadaannya telah menciptakan efek yang
tidak diinginkan terhadap para penerima manfaat. Efek tersebut dapat dihindari seandainya pada
saat perencanaan dan desain proyek secara lebih berhati-hati memerhatikan praktik atau
kebiasan warga lokal.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
22
Dalam kategori ini, kami mengidentifikasi lima isu seperti diuraikan di bawah ini.
1. Perbaikan jalan yang membuka akses bagi pengguna sepeda motor tidak
mempertimbangkan aspek keselamatan para pengguna jalan lain, terutama orang tua dan
anak-anak. Fungsi jalan permukiman adalah untuk meningkatkan konektivitas dari area di
semua lokasi studi. Namun demikian, jalan tersebut tidak dilengkapi dengan tanda atau
marka untuk para pengendara kendaraan bermotor. Di Gowongan, Yogyakarta, motor yang
berlalu-lalang membuat banyak ibu-ibu khawatir dengan keselamatan anak-anak mereka.
Mereka cemas karena kadang-kadang para pengendar motor memacu kendaraannya
dengan kencang sehingga mengancam keselamatan anak-anak yang sedang berjalan atau
bermain di sana. Pagar di jalan inspeksi di Kelurahan Santi, Bima, juga membahayakan bagi
anak-anak (Gambar 8). Terdapat celah yang cukup lebar di antara batang pagar yang
memungkinkan balita atau anak-anak melewatinya jatuh ke sungai.
2. Infrastruktur titian ulin di Alalak Selatan telah menyebabkan masalah sampah yang,
menurut penuturan warga, bisa diatasi dengan membangun siring daripada titian ulin. Area
Alalak Selatan, terutama di RT yang dilewati oleh sungai Barito, selalu mengalami pasang
Foto oleh Nofalia Nurfitriani
Gambar 8. Jalan Inspeksi di Kelurahan Santi
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
23
dan surut air sungai. Biasanya, pasang datang di sore hari selama sekitar satu sampai dua
jam; pasang yang lebih besar datang di waktu lama selama tiga sampai empat jam.
Terdapat pula pasang tahunan di bulan Desember dengan tinggi air yang bisa mencapai
betis orang dewasa. Puncak pasang ini biasanya berlangsung lebih lama daripada pasang
yang terjadi harian. Salah satu dampak dari pasang dan surut ini adalah masalah sampah.
Ketika air surut, sampah-sampah yang terbawa dari sungai berserakan di bawah rumah-
rumah warga dan sebagian lain berserakan di jalan utama. Menurut penuturan warga,
pembangunan titian ulin telah memperparah masalah sampah ini karena pada waktu
pasang banyak sampah terbawa ke darat dan tersangkut di sana. Warga berpikir bahwa
yang mereka butuhkan adalah siring yang akan menjadi penghalang dari air sungai sehingga
ketika pasang terjadi sampah-sampah tidak akan tersangkut di rumah atau berserakan di
jalanan.
3. Titian ulin telah memunculkan beban baru bagi perempuan karena mereka menjadi
kesulitan ketika mengambil air di sungai—mereka juga harus berjalan lebih jauh untuk
mendapatkan air. Sebelumnya, di waktu pasang, warga bisa mengambil air langsung dari
belakang rumah mereka dan mengangkutnya ke tempat penampungan yang juga berada
di belakang rumah. Namun, setelah titian ulin dibangun, mengambil air dari sungai menjadi
lebih sulit dilakukan karena posisi titian lebih tinggi daripada tinggi air ketika pasang. Hanya
terdapat satu lokasi pengambilan air yang tersisa (dengan tangga) tempat warga dapat
mengambil air dari sungai.
4. Pembangunan infrastruktur sanitasi tidak disertai dengan penyediaan air bersih. Dari
semua toilet yang dibangun di Gowongan, Suryatmajan, dan Alalak Selatan, hanya toilet di
Alalak Selatan yang tidak dilengkapi dengan fasilitas air bersih. Sistem biofilter septic tank
dipilih dengan mempertimbangkan sungai sebagai tempat pembuangan akhir. Namun,
fasilitator dan BKM nampaknya tidak mempertimbangkan penyediaan air bersih untuk
toilet. Baru-baru ini, warga menggunakan air dari sungai untuk menyiram toilet.
5. Ketinggian septic tank di Alalak Selatan tidak mempertimbangkan naiknya permukaan air
sungai ketika pasang. Keberadaan septic tank dan toilet memang telah mengurangi volume
limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Namun, posisi dan konstruksinya tidak
mempertimbangkan pasang tahunan yang selalu melanda area tersebut. Akibatnya, ketika
pasang tinggi, air membanjiri septic tank dan menghasilkan bau tak sedap.
Kategori kedua adalah infrastruktur yang tidak digunakan, dan karenanya, infrastruktur tersebut
kondisinya terus memburuk. Masalah ini terjadi karena proyek tidak mempertimbangkan
kebutuhan dan kemampuan dari institusi lokal dalam menggunakan infrastruktur yang dibangun.
Salah satu contoh dari kategori infrastruktur ini adalah balai pertemuan dan ruang terbuka
publik (RTP) di Gowongan dan Suryatmajan, Yogyakarta. Di Suryatmajan, terdapat tiga fasilitas
yang tidak berfungsi dengan baik yaitu RTP dan dua balai pertemuan. RTP berlokasi di gerbang
kelurahan yang relatif jauh dari area permukiman warga. Pada awalnya, fasilitas ini ditujukan
sebagai tempat belajar anak-anak (Area Permainan Anak atau APE) yang dilengkapi dengan
sarana pendidikan terbuka seperti ayunan, seluncuran, dan panjatan untuk anak-anak.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
24
Terdapat pula meja, kursi, rak buku, dan fasilitas lainnya. Sayangnya, RTP tersebut tidak
dipelihara dengan baik. Sampah berserakan di mana-mana, buku-buku berserakan di ruangan,
dan area tesebut kini ditumbuhi oleh rerumputan. Pagarnya pun selalu tertutup. RTP ini tidak
digunakan karena lokasinya cukup jauh dari permukiman warga dan anak-anak lebih memilih
bermain dan belajar di area pedestrian. Sama halnya, balai pertemuan atau balai umum dikenal
sebagai pos monitoring dan patrol banjir, pun terlihat kumuh tak terawat. Balai ini sangat jarang
digunakan karena warga memilih untuk berkumpul di area pedestrian. Bangunan tersebut kini
beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan barang-barang RW seperti meja dan kursi.
Masalah serupa juga terjadi pada kasus fasilitas ruang terbuka hijau (RTH), yang kerap disebut
sebagai taman di Gowongan, Yogyakarta. Taman-taman kecil di Gowongan, secara berurutan
dibangun pada 2015 (PLPBK 2015-2016) dan 2018 (Showcase 2018), tidak memiliki fungsi dan
kegunaan yang jelas. Berdarasarkan observasi kami, ukuran dari dua taman tersebut begitu
kecil, hanya ditanami oleh bunga-bunga dan beberapa tanaman lain yang tidak rindang. Taman
yang dibangun pada 2015 tersebut telah ditinggalkan begitu saja tanpa pemeliharaan dan saat
ini kondisinya terlihat memprihatinkan. Dua taman tersebut nampak hanya sebagai penghias
yang ditempelkan di area program. Menurut pelaksana, taman tersebut dibangun untuk
memenuhi persyaratan tersedianya ruang publik terbuka dan untuk menurunkan indikator
kekumuhan.
Gerobak dan tong sampah tidak digunakan sama sekali. Sebagai contoh, delapan gerobak
sampah di sepuluh RT di Alalak Selatan, Banjarmasin, tidak gunakan sama sekali (Gambar 9).
KSM juga tidak mendorong pengelolaan sampah pada tingkat kelurahan. Pada akhirnya,
gerobak-gerobak tersebut dibiarkan tak terpakai. Baru-baru ini, warga meminta bantuan dari
pemulung untuk membuang sampah mereka ke tempat penampungan sampah yang berlokasi
cukup jauh dari permukiman mereka. Setiap kali pemulung mengambil sampah, warga
membayar mereka Rp2.500-Rp3.000. Selain itu, beberapa warga lain membakar sampah
mereka di belakang rumah atau bahkan melemparkannya begitu saja ke sungai.
Penyediaan tong sampah dengan tiga kategori—plastik, rongsokan, dan dedaunan—di
Gowongan, Yogyakarta, pun tidak berfungsi dengan baik. Nampak jelas bahwa tong-tong
sampah tersebut tidak pernah digunakan secara baik dan saat ini kondisinya rusak (gambar 10).
Penyediaan tong sampah yang telah terkategorisasi dapat dilihat hanya sebagai tempelan atau
formalitas semata dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan program. Penyediaan tong-
tong sampah ini tidak disertai dengan program penguatan kapasitas warga untuk memilah
sampah dan membuangnya berdasarkan tipe masing-masing. Hal ini sulit dilakukan terutama
karena pola pengelolaan sampah ini belum dilakukan bahkan pada level kota sekalipun.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
25
Gambar 8 Gerobak sampah yang tidak digunakan di Banjarmasin
Foto oleh Faisal Setianzah
Gambar 9 Tong sampah yang tidak digunakan di Yogyakarta
Foto oleh Yulia Indri Sari
2.2 Integrasi Infrastruktur dan Hasil-Hasil yang Bersifat
Intangible
Seperti telah diuraikan secara ringkas di atas, penelitian ini menemukan fakta bahwa tidak
semua infrastruktur dibangun di satu area prioritas. Beberapa infrastruktur masih dibangun
secara tersebar di beberapa lokasi. Penelitian ini juga menemukan kenyataan bahwa
infrastruktur yang dibangun di satu area prioritas yang mengindikasikan integrasi infrastruktur
yang lebih baik terbukti memiliki efek lebih jauh yang bersifat intangible bagi kehidupan warga.
Dalam hal ini, intervensi program telah meningkatkan rasa bangga warga yang tinggal di daerah
kumuh (yang telah direhabilitasi), menguatkan ikatan sosial, meningkatkan kesehatan
lingkungan, serta menyediakan tambahan pilihan penghidupan bagi warga yang tinggal di sana.
Namun demikian, penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa efek yang tak diinginkan dari
program terutama yang berkaitan dengan munculnya potensi konflik antara warga di area
program dengan warga di luar area program. Efek serius lainnya adalah potensi peningkatan
harga-harga yang dapat meminggirkan kelompok-kelompok miskin yang tinggal di area
tersebut.
Bagian ini akan dimulai dengan penjelasan tentang integrasi infrastruktur. Setelah itu, akan
diikuti dengan uraian tentang temuan-temuan positif maupun negatif dari penggunaan
infrastruktur dan efek dari keberadaan infrastruktur yang dibangun terhadap dimensi
intangible kehidupan warga.
2.2.1 Integrasi Infrastruktur
Integrasi berbagai jenis infrastruktur. Berbeda dengan PNPM Perkotaan reguler yang ditujukan
untuk menurunkan kemiskinan, PNPM Perkotaan periode perpanjangan ditujukan untuk
menata kawasan kumuh. Program perpanjangan ini menangani area kumuh melalui
pembangunan beragam infrastruktur secara terintegrasi di satu area prioritas. Melalui skema
PLPBK, beragam infrastruktur yang secara fungsi berkaitan satu sama lain dibangun di satu area
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
26
prioritas. Sementara itu, PNPM reguler, kebanyakan mengalokasikan dananya untuk
membangun beragam infrastruktur yang tersebar di beberapa RT di satu kelurahan.
Infrastruktur yang terintegrasi dibangun di tujuh di antara sebelas lokasi studi (Tabel 3). Di tujuh
lokasi tersebut, beragam pembangunan dan perbaikan infrastruktur—pengolahan limbah
rumah tangga, pelebaran dan perbaikan jalan, pembangunan pagar di bantaran sungai,
perbaikan sistem drainase, penyediaan MCK, rehabilitasi rumah dari warga terdampak, dan
pembangunan ruang terbuka publik—dibangun di satu area prioritas. Pembangunan
infrastruktur juga disertai dengan kegiatan lain dengan tujuan untuk mempercantik area
melalui pengecatan dinding di area prioritas dengan warna-warna menarik, membuat hiasan-
hiasan yang menarik para pengunjung (termasuk dari luar), dan mendekorasi jalan-jalan
permukiman.
Dibanding dengan wilayah lain, integrasi infrastruktur dilakukan paling baik di Yogyakarta. Di
kota ini, pembangunan dan pengembangan area prioritas sepanjang Kali Code dilakukan
melalui aktivitas berikut: pelebaran dan pembangunan jalan baru (jalan inspeksi) antara sungai
dan area permukiman; rehabilitasi rumah-rumah dari warga yang terdampak pembangunan
infrastruktur (misalnya karena pelebaran jalan) melalui konsep M3K (mundur, munggah,
madep kali)3; pembangunan pagar dan tanggul di bantaran sungai, pembuatan saluran terpisah
untuk saluran limbah dan saluran air hujan, pembuatan septic tank biofilter di bawah jalan
inspeksi, pembuatan taman, gudang, serta penyediaan fasilitas sanitasi. Rehabilitasi
permukiman juga dilakukan melalui pengecatan, pembuatan mural, dan pemasangan beragam
aksesoris untuk dijadikan spot untuk swafoto (selfie). Terdapat pula konsep yang jelas dari
pengembangan area ini untuk menarik para pengunjung sekaligus sebagai tempat ketika warga
bertemu satu sama lain.
Meskipun tidak sebaik di Yogyakarta, program PNPM masa perpanjangan di Alalak Selatan,
Banjarmasin, juga sudah terintegrasi. Program telah membangun dan memperbaiki
infrastruktur—sanitasi, perbaikan jalan utama, pembangunan titian ulin, jaringan drainase—di
satu RT terpilih. Program di sana pun telah dimanfaatkan untuk merehabilitasi rumah-rumah
dengan menggunakan konsep dua muka—rumah menghadap ke jalan sekaligus ke sungai.
Material utama untuk renovasi rumah dan titian ulin adalah kayu.
Di kelurahan Santi, Bima, meskipun tidak ada rehabilitasi permukiman dan integrasi
infrastruktur yang dibangun tidak sebaik di Yogyakarta, secara umum area telah direhabilitasi
melalui pembangunan dan perbaikan berbagai infrastruktur di satu area prioritas. Program
telah memperbaiki kondisi jalan permukiman, drainase, dan instalasi pengolah limbah, serta
memperbaiki saluran air bersih. Area jalanan pun diwarnai dan didekorasi dengan mural.
Namun demikian, dana PNPM masa perpanjangan di Banjarmasin dan Bima juga digunakan untuk
membangun infrastruktur di beberapa RT di luar area prioritas. Di Alalak Selatan, selain
pembangunan di di koridor prioritas, dana PNPM juga digunakan untuk pengecoran jalan
permukiman, pembangunan septic tank komunal toilet pribadi di 5 RT di luar area prioritas. Di
3 Konsep revitalisasi yang disesuaikan dengan konteks bahasa lokal mundur, munggah (naik), dan madep (menghadap)
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
27
Kelurahan Pane dan Santi di Bima, dana PNPM 2018 digunakan untuk pembangunan
infrastruktur di beberapa RT. Di kelurahan Santi, misalnya, infrastruktur dibangun di tujuh RT.
Distribusi infrastruktur di beberapa RT ditujukan untuk mencegah konflik antara warga yang
tinggal di area program (target) dan warga yang tinggal di luar area program (non target).
Penjelasan perihal ini akan disampaikan lebih rinci pada bagian 2.2.3.
Table 3 Lokasi penelitian (area prioritas dan non area prioritas)
No Kota Lokasi Penelitian
Infrastruktur
terintegrasi/tersebar
1 Yogyakarta Gowongan (PLPBK 2015-2016) Terintegrasi dengan baik
2 Gowongan (showcase 2018) Terintegrasi dengan baik
3 Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)
Terintegrasi dengan baik
4 Banjarmasin Alalak Selatan (Showcase 2018) Tidak terintegrasi maksimal
5 Kampung Melayu (PLPBK Replikasi 2015-2016
dan Kolaborasi 2016)
Tidak terintegrasi maksimal
6 Alalak Selatan (PLPBK lanjutan 2015-2016) Tersebar
7 Alalak Selatan (sisa showcase 2018) Tersebar
8 Bima Pane (PRBBK 2017) Tidak terintegrasi maksimal
9 Santi 2017 (PRBBK 2017)
Tidak terintegrasi maksimal
10 Pane 2018 (PRBBK 2017) Tersebar
11 Santi 2018 (PRBBK 2018) Tersebar
2.2.2 Efek Intangible yang Bersifat Positif dari Pembangunan Infrastruktur
Terintegrasi
Penelitian ini mengidentifikasi beberapa aspek dari kehidupan warga (efek intangible) yang
secara positif dipengaruhi oleh program.
Yang pertama adalah munculnya kebanggaan warga yang tinggal di lokasi intervensi program.
Rasa bangga ini hadir sebagai efek dari berubahnya tampilan visual area yang telah direhabilitasi.
Warga yang tinggal di area program merasa bahwa pemusatan beragam infrastruktur di satu area
prioritas menghasilkan efek signifikan terhadap perbaikan tampilan visual dari area tempat
mereka tinggal. Berdasarkan wawancara dengan warga terdampak, mereka merasakan
perubahan tampilan yang signifikan dari area tempat mereka tinggal dari sebelumnya kumuh,
kotor, dan semrawut menjadi lebih indah dilihat, cantik, bersih, dan tertata rapi. Ketika
wawancara berlangsung, misalnya, seorang warga mengekspresikan perbedaan yang ia rasakan
dengan menunjukkan kondisi dari area-area yang belum direhabilitasi “..dulu daerah kami juga
terlihat seperti itu (menunjuk ke daerah di sebrang sungai yang masih belum ditata), kotor dan
jelek. Tapi sekarang, bisa Anda lihat sendiri, sekarang bersih dan indah”.
Kami mengobservasi bahwa kondisi area yang telah ditata berubah secara signifikan dengan kondisi sebelum ditata atau dibandingkan dengan area lain yang infrastrukturnya tidak terintegrasi. Kondisi area bantaran sungai di Yogyakarta dan Banjarmasin salah satu contohnya.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
28
Sebelum program datang, permukiman penduduk sangat padat. Beberapa rumah menggantung di atas sungai. Lebar jalan di permukiman kebanyakan digunakan warga untuk menyimpan jemuran, mencuci, memasak, dan memarkikrkan sepeda motor—sehingga membuat gang-gang itu kian sempit. Salah satu contoh area yang berubah secara signifikan dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 11).
Gambar 10 Area yang belum dan sudah ditata di Kampung Suryatmajan
Foto oleh Mulyana
Gambar 11 Area yang belum dan sudah ditata di Kampung Alalak Selatan
Foto oleh Bewanti Dahani (kiri) and Fadhli Ilhami (kanan)
Perubahan tampilan dari permukiman menjadi lebih rapi dan indah turut memengaruhi rasa
bangga warga atas tempat tinggal mereka. Mereka tidak lagi merasa malu tinggal di area (yang
dulunya) kumuh. Mereka kini bahkan merasa bangga. Kebanggaan ini biasanya ditunjukkan
dengan narasi mengenai hubungan mereka dengan warga luar atau mereka yang tinggal di luar
area program. Warga tidak lagi malu mengundang orang lain untuk berkunjung dan melihat
tempat tinggal mereka. Orang luar yang berkunjung atau kebetulan lewat ke area permukiman
mereka bahkan ada yang membandingkan area ini dengan area tempat para kelas menengah
tinggal. Terbukanya akses dari area permukiman kumuh dengan area lain yang lebih luas
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
29
merupakan faktor kunci dari kesuksesan program. Kesan negatif dari area kumuh kerap
menghalangi warga dari luar untuk berinteraksi dengan warga di area tersebut (Lora dkk, 2008).
Narasi tentang rasa bangga dari warga yang tinggal di kawasan yang telah ditata:
“Dulu jalannya kecil, orang masak di situ, cuci perabotan di situ jadi becek, warga juga
banyak yang nyimpan perabotan di jalan, sempit, kumuh. Sekarang orang luar enak
lewat nyaman, bersih dan jalannya lebar” (Yogyakarta)
“Dulu (orang luar) takut main, sekarang yang kerja di bank lewat-lewat sini, biar lebih
cepat (sampai)” (Yogyakarta)
“Seneng, ...sekarang banyak orang lihat-lihat daerah, banyak kunjungan”
(Banjarmasin)
“Dulu mana ada yang mau masuk kesini, sekarang (dengan bangga) menunjukkan
jalan inspeksi” (Bima)
Penelitian ini menemukan fakta bahwa setelah intervensi program, terdapat lebih banyak orang
luar yang datang dengan berbagai alasan. Di Yogyakarta, warga mengatakan bahwa turis kerap
berjalan melalui daerah tersebut. Para pekerja kelas menengah seperti pegawai bank atau
mereka yang bekerja di Malioboro yang sebelumnya enggan untuk lewat ke area tersebut, kini
menggunakan jalan yang melewati area tersebut untuk kembali ke rumah mereka. Di Santi,
warga mengatakan bahwa delman dan ojek kini tidak keberatan untuk masuk ke area tersebut.
Di Kampung Melayu, warga mengatakan bahwa area mereka kini menjadi tujuan turis dan
dilewati oleh kapal turis.
Efek kedua dari integrasi infrastruktur adalah pada hubungan sosial (social relations). Program
penataan dan pendekorasian area jalan yang padat dan terbatas telah menjadikannya pusat
aktivitas tempat orang-orang bermain, berolahraga, berkumpul, dan bersosialisasi. Pada sore
dan petang, warga berkumpul di area pedestrian untuk bertemu dan mengobrol dengan
teman. Jalan ini juga menjadi tempat bermain anak-anak, yaitu mereka bisa mengendarai
sepeda, bermain sepak bola, dan badminton. Setelah program penataan, warga lebih banyak
menghabiskan waktu untuk bertemu dan berinteraksi dengan warga lain.
Relasi sosial meningkat secara signifikan di area tempat infrastrukturnya terintegrasi dengan baik
seperti di Yogyakarta. Di Suryatmajan, misalnya, di area yang dikenal sebagai Pedestrian Code
Gumreget (PCG). Area ini secara khusus dirancang sebagai area pedestrian sehingga kendaraan
bermotor tidak diperbolehkan melewatinya. Di PCG terdapat beberapa spot untuk swafoto,
terpasang pagar yang cukup tinggi, set payung-meja-kursi, mural di dinding, dan jalur
reflexologi untuk pejalan kaki. Anak-anak bermain di sana hampir setiap hari, terutama waktu
sore (gambar 13). Pada pagi hari, para orang tua berolah raga dengan berjalan kaki, ibu-ibu
bermain dengan anak-anaknya, beberapa orang tua membawa bayi mereka di stroller atau
menggendongnya—sekaligus menjemurnya di bawah hangat sinar matahari pagi.
Lebih jauh, integrasi infrastruktur dapat memengaruhi pembagian peran laki-laki dan perempuan
dalam mengasuh anak-anak seperti yang terjadi di Yogyakarta. Penelitian ini menemukan fakta
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
30
bahwa kondisi jalan yang lebih nyaman menyediakan ruang bagi bapak-bapak untuk bermain
sekaligus mengasuh anak-anak mereka (Kotak 2).
Gambar 12 Anak-anak bermain riang di PCG
Foto oleh Yulia Indri Sari
Dampak positif lain dari infrastruktur yang
terintegrasi adalah berubahnya kebiasaan dalam
membuang sampah. Hal ini terbukti dari cerita
warga bahwa mereka telah mengubah
kebiasaan mereka dalam membuang sampah.
Mereka tidak lagi membuang sampah ke sungai
atau ke saluran air. Sebelum program penataan,
warga memiliki kebiasaan membuang sampah ke sungai atau ke saluran air. Setelah area
permukiman mereka ditata dengan konsep menghadap ke sungai seperti di Yogyakarta dan
Banjarmasin, kebanyakan warga penerima manfaat menjadi enggan untuk membuang sampah
mereka ke sungai. Mereka memilih untuk menyimpan sampah mereka pada tong sampah yang
telah tersedia atau, mereka akan membuang sampah mereka ke tempat pembuangan sampah
sementara (TPS) terdekat. Warga bahkan enggan untuk membuang sampah mereka ke sungai
karena sungai itu kini telah bersih dan terawat. Mereka kerap mengingatkan warga lain yang
masih membuang sampah ke sungai. Beberapa warga, sayangnya, mengeluh mengenai
kebiasaan buang sampah dari warga di luar area program yang tinggal di bantaran sungai (yang
masih membuang sampah mereka ke sungai).
Selain mengubah kebiasaan membuang sampah, warga yang tinggal di area prioritas di
Yogyakarta mengatakan bahwa terdapat peningkatan kesehatan lingkungan di area yang telah
ditata. Hal ini terbukti karena sebelum penataan populasi tikus dan nyamuk sangat tinggi.
Setelah penataan, seiring dengan drainase yang lancar, jalanan tidak lagi berlumpur, sampah
Kotak 2: Menjaga anak-anak juga
merupakan tugas suami
Ketika melakukan observasi di area PCG
di sore hari, kami melilihat beberapa
ayah muda bremain dengan anak-anak
mereka. Mereka bermain badminton
atau melihat anak-anaknya bermain.
Seorang ayah membawa anaknya
dengan stroller. Berbicara dengan salah
seorang peneliti kami, Bapak A
mengatakan bahwa setelah area PCG
dibuat dan ditata menjadi lebih nyaman
dan cantik, ia menjadi lebih perhatian
pada anaknya. Ia dan anaknya rutin
bermain badminton di sore hari. Ia
berkata bahwa ia mulai menjadi dekat
dan mengenal anak lelakinya setelah
rutin bermain badminton. Ia juga
menjelaskan bahwa kini ada lebih
banyak ayah muda yang tidak malu
bahkan merasa nyaman menggendong
dan menjemur bayi-bayi mereka di PCG.
Tugas menjaga dan menemani anak-
anak bermain bukan hanya pekerjaan
istrinya saja (Bapak A, Suryatmajan,
Yogyakarta, 10 Februari 2019)
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
31
pun berkurang sehingga populasi nyamuk dan tikus pun menurun. Rumah-rumah mereka juga
menjadi lebih terang karena rumah yang telah ditata memungkinkan sinar matahari masuk dan
sirkulasi udara lebih baik.
Namun demikian, peningkatan kesehatan lingkungan tidak terjadi di area-area tempat
infrastrukturnya tidak diintegrasikan dengan baik, misalnya di Alalak Selatan, Banjarmasin.
Meksipun terdapat perbaikan tampilan permukiman, warga mengatakan bahwa program tidak
mengurangi populasi nyamuk dan volume sampah di sungai. Hal ini disebabkan oleh jarak
antara area yang ditata dan area yang tidak ditata sangat dekat, hanya dibatasi oleh sungai.
Warga dari area yang belum ditata masih membuang limbah padat dan sampah ke sungai.
Program penataan wilayah kumuh di satu area
prioritas juga meningkatkan ketersediaan opsi-opsi
penghidupan warga. Studi ini menemukan bahwa
penataan tersebut telah membuka peluang-
peluang baru dan telah meningkatkan strategi
penghidupan dari warga di wilayah program
maupun non-program.
Pada kebanyakan kasus dari wilayah-wilayah
tempat infrastrukturnya dibangun secara
terintegrasi (Yogyakarta dan Bima), perbaikan
jalan telah membuka akses bagi para penduduk,
terutama mereka yang menggunakan sepeda
motor; hal ini pun telah membuka peluang-
peluang sumber ekonomi yang baru. Terdapat
lebih banyak orang muda yang bekerja sebagai
pengemudi ojek online. Dengan lebih banyaknya
orang yang melewati jalan (yang telah diperbaiki),
peluang-peluang usaha baru pun terbuka,
misalnya usaha warung dan cuci pakaian (laundry)
(Kotak 3). Warung-warung makanan pun buka dari
pagi hingga malam hari. Warga, yang sebelumnya
harus menjual barang dagangannya di kota,
sekarang bisa juga menjual barang dagangannya di
rumah. Beberapa pelaku usaha mikro dan rumahan seperti pembuat kaos merasakan kini lebih
mudah bagi mereka untuk membawa barang-barang dagangan menuju pasar.
Di Suryatmajan, penataan PCG dengan konsep turisme yang menarik orang-orang maupun
kelompok untuk berkunjung telah menciptakan peluang usaha baru bagi warga di area
tersebut. Para perempuan menjual makanan. Warga dari daerah non-program pun dapat
berjualan di area PCG. Seorang penjual mengatakan bahwa jumlah pembelinya meningkat.
Dulu, kebanyakan pembelinya adalah warga yang tinggal di kampung setempat, tapi sekarang
pembelinya banyak berasal dari luar kampung tersebut. Ia mengatakan bahwa jumlah
pembelinya meningkat karena kampung tersebut kini terkenal di masyarakat luas. Banyak dari
masyarakat tersebut sengaja datang ke lokasi dan membeli makanan yang dijual di sana.
Kotak 3: Efek pada Mata
Pencaharian
Salah seorang warga yang tinggal di
area yang telah ditata di kelurahan
Santi adalah Ibu E. dulu, Ibu E hanya
menjual kopi dan makanan ringan di
warung kecil miliknya. Ketika jalan di
permukiman tempat ia tinggal
diperbaiki, ia pun merenovasi
warungnya menjadi toko yang lebih
besar dan menjual beragam
kebutuhan sehari-hari. Selain itu, ia
pun membuka usaha laundry di
tokonya tersebut. Ketika ia hanya
menjual kopi dan makan ringan,
pendapatannya hanya sekitar
Rp10.000-20.000 per hari. Namun
sekarang ia bisa mendapat
Rp200.000-300.000 per hari (Ibu E,
Santi, Bima, 17 Februari 2019)
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
32
2.2.3 Efek Negatif Infrastruktur yang Terintegrasi terhadap Hubungan Sosial dan
Harga Akomodasi
Di samping memberikan dampak positif, seperti dijelaskan pada bagian 2.2.2, studi ini
menemukan dua efek negatif dari program penataan kawasan kumuh yang difokuskan pada
pembangunan infrastruktur yang terintegrasi di satu kawasan. Efek dari fokus program tersebut
berpotensi menciptakan ketegangan sosial di antara masyarakat dan meningkatkan harga
akomodasi di daerah sekitar program.
Meskipun infrastruktur yang lebih terintegrasi telah menguatkan relasi sosial antarwarga yang
tinggal di kawasan prioritas, studi ini menemukan bahwa secara umum pembangunan
infrastruktur terintegrasi yang difokuskan di satu area prioritas telah menimbulkan kecemburuan
warga yang tinggal di sekitar (tapi di luar) area yang ditata. Mereka merasa area mereka berbeda
dari area yang telah ditata yang terlihat lebih cantik. Mereka pun merasa malu tinggal di area
yang belum ditata.
Selain itu, warga dari luar area program ini mengekspresikan kecemburuan dengan cara yang
dapat menciptakan ketegangan dengan warga dari area program. Mereka mengeluh bahwa
mereka menerima dampak negatif dari program penataan yang dilakukan di area lain. Mereka
misalnya mengeluh tentang meningkatnya jumlah tikus dan nyamuk yang menurut mereka
berasal dari area yang saat ini sudah ditata. Mereka juga berpendapat bahwa munculnya banjir
baru, walau kecil, di daerah mereka merupakan akibat lain dari penataan wilayah di daerah
sebelah. Beredar rumor di antara warga yang tinggal di luar area program bahwa merekalah
yang menerima semua dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat dari program
penataan yang berdampak positif bagi warga di area penerima program.
Mereka juga mempertanyakan mengapa program penataan hanya dilakukan di satu area
khusus saja, tetapi tidak dilakukan di area mereka. Mereka menyadari bahwa telah terjadi
perubahan signifikan pada area yang ditata dan mereka paham bahwa untuk melakukan itu
semua diperlukan biaya yang besar. Dari perspektif mereka, hal tersebut tidak adil mengingat
semua area di daerah tersebut adalah area miskin—tetapi, mengapa hanya satu area saja yang
menerima dana bantuan yang begitu besar. Terdapat pula rumor bahwa proses seleksi untuk
pelaksanaan program ini dilakukan secara tidak adil dan mereka menduga bahwa bisa jadi
terjadi kolusi di antara ketua RT dari area yang ditata dengan orang-orang kelurahan. Mereka
mengeluhkan hal ini dan menyampaikannya kepada para petugas di kelurahan dan meminta
kelurahan untuk mendistribusikan dana secara merata ke semua area. Jika warga ini di
kemudian hari tidak menerima program sejenis, terdapat potensi munculnya ketegangan yang
lebih besar antara warga dari daerah luar program dengan para pekerja di kelurahan.
Di samping kecemburuan yang muncul di antara warga yang tinggal di luar area yang ditata,
penelitian ini juga mengidentifikasi dua kasus efek negatif dari program ini terhadap relasi sosial
yang sebenarnya dapat diminimalisasi dengan rancangan desain dan community engagement
yang lebih baik.
Seperti telah didiskusikan di bagian 2.2.2, program ini secara umum telah menguatkan relasi
sosial di antara warga di area program dan mereka merasa lebih senang dengan hasil dari
program penataan. Namun demikian, penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
33
kekecewaan dari sebagian warga yang rumahnya harus ditata. Mereka mengapresiasi
bahwasanya program PNPM manawarkan untuk merenovasi rumah mereka, tetapi mereka
menolak untuk membangun lantai dua di rumahnya karena mereka tidak memiiki uang untuk
membayar biaya konsumsi setiap hari untuk para pekerja4. Mereka mengatakan bahwa jika
proyek renovasi memakan waktu dua minggu dengan dua orang pekerja, dan mereka harus
menyediakan konsumsi pekerja yang jika diuangkan sebesar Rp50.000/hari, secara total
mereka hasur mengalokasikan uang sebesar Rp1.400.000 untuk dua pekerja tersebut. Mereka
juga mengatakan bahwa pada saat rumahnya direnovasi, mereka tidak bisa menjalankan
usahanya. Beberapa warga ini memiliki usaha sebagai penjual makanan dan biasanya mereka
memasak makanan tersebut di rumah. Mereka menekankan bahwa program sejauh ini tidak
memberikan solusi untuk mengurangi beban tersebut. Kekecewaan sebagian warga ini
direspon negatif oleh warga lain, dan mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak
bersyukur/berterima kasih (atas adanya program renovasi rumah).
Kasus kedua adalah menurunnya interaksi di antara warga, termasuk perempuan di Alalak
Selatan, Banjarmasin. Sebelum program penataan, para perempuan di sana secara reguler
mencuci baju mereka di bantaran sungai. Para perempuan yang mencuci pakaian di sana bukan
hanya mereka yang tinggal di bantaran sungai, tapi juga mereka yang tinggal sedikit lebih jauh
dari sungai. Kegiatan mencuci menjadi tempat interaksi sosial saat para perempuan yang
tinggal di bantaran sungai, di daerah daratan, dan di seberang sungai berinteraksi satu sama
lain. Namun, setelah dibangunnya titian ulin, kegiatan mencuci bersama ini menurun. Baru-
baru ini, para perempuan yang tinggal sedikit lebih jauh dari sungai (daratan) hanya datang ke
sungai untuk mengambil air dan kemudian mencuci pakaian di rumah masing-masing. Ini terjadi
karena hanya terdapat satu lokasi untuk mencuci yang tersisa di sungai. Satu lokasi yang tersisa
ini pun sebagiannya terhalangi oleh titian. Selain itu, titian yang telah dibangun ini telah
menciptakan jarak yang lebih jauh antara antara warga yang tinggal di seberang sungai dengan
lokasi mencuci.
Selain dampak terhadap dampak sosial, implikasi serius lain dari program penataan kawasan
kumuh adalah potensi peningkatan harga tanah dan perumahan di sekitar daerah prioritas.
Tentang hal ini sudah terlihat indikaisnya di area program di Yogyakarta dan Bima. Di
Yogyakarta, berdasarkan wawancara dengan ketua RT setempat, telah terjadi peningkatan
harga sewa kosan dari sebelumnya Rp500.000/bulan menjadi Rp800.000/bulan setelah
program penataan dilakukan. Selain itu, terdapat juga kasus ketika warga memilih untuk tidak
menyewakan rumahnya kepada para pekerja yang sehari-hari bekerja di Malioboro. Setelah
penataan, warga tersebut lebih memlih untuk menyewakan rumahnya kepada turis yang
membayar dengan harga lebih ringgi. Di Bima, seorang warga terkejut ketika mengetahui
bahwa rumahnya sekarang memiliki nilai lebih dari yang ia pikir sebagai harga pasaran yang
berlaku. Ketika ia mengajukan aplikasi kredit ke bank, ia diberitahu oleh pegawai bank—setelah
pegawai ini menyurvai rumahnya—bahwa nilai rumah dan lahan milik warga tersebut adalah
Rp35.000.000. Harga ini jauh lebih tinggi daripada harga ketika ia membelinya dulu, yang
bernilai Rp15.000.000. Pegawai bank tersebut mengatakan bahwa saat ini kawasan tempat
4 Program akan membangun rumah dengan ukuran awal rumah yang dipangkas karena pelebaran jalan. Penambahan (penggantian) area yang terpangkas ini dilakukan dengan membangun lantai dua.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
34
warga tadi tinggal tidak lagi dikategorikan sebagai kawasan kumuh (karenanya, nilai dari rumah
dan tanah di sana pun menjadi meningkat).
Di masa depan, tren kenaikan harga ini bisa saja mengeliminiasi kelompok-kelompok miskin
berpenghasilan rendah yang tinggal di sana karena tidak lagi mampu membayar harga sewa
akomodasi di sana. Melihat perkembangan ini, pendekatan apapun yang dilakukan untuk
menata kawasan kumuh, harus mempertimbangkan implikasi-implikasi tersebut dan
memastikan bahwa lokasi yang ditata tetap terjangkau oleh kelompok-kelompok yang kurang
beruntung.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
35
B A B 3
P R O S E S D A N M E K A N I S M E
Bab 2 laporan ini menjelaskan bahwa secara umum program PLPBK telah berhasil menata dan
membangun infrastruktur dasar perkotaan di kawasan-kawasan kumuh. Program pun telah
berhasil meningkatkan akses jalan dan konektivitas, jaringan drainase, serta sistem
pembuangan limbah. Secara khusus, studi ini juga menemukan bahwa pengintegrasian
infrastruktur di satu area prioritas telah menghasilkan dampak terhadap dimensi intangible dari
kehidupan warga seperti meningkatnya rasa bangga, menguatnya hubungan sosial, dan
terbangunnya koneksi dan integrasi dengan warga di luar kawasan kumuh. Melanjutkan Bab
tersebut, pada Bab 3 ini akan diidentifikasi faktor yang menjelaskan temuan-temuan terkait
hasil di atas. Termasuk di dalamnya, pengidentifikasian beragam hambatan dalam optimalisasi
pengintegrasian infrastruktur dalam rangka menghasilkan infrastruktur yang berfungsi dengan
baik.
3.1 Faktor yang Memengaruhi Fungsi Infrastruktur
Program PNPM masa perpanjangan di semua lokasi penelitian telah berhasil merehabilitasi
infrastruktur dasar di area perkotaan yang berkaitan dengan akses dan konektivitas jalan,
drainase, sistem pembuangan limbah, dan sanitasi. Tiga faktor utama yang membuat semuanya
berfungsi dengan baik adalah kemampuan (kapasitas) yang baik dari fasilitator program (Faskel)
dan tim pelaksana di tingkat kelurahan (BKM dan KSM), prosedur administrasi (bertingkat) dari
program, dan konteks perkotaan yang secara positif memengaruhi peningkatan fungsi
infrastruktur.
Berkaitan dengan faktor pertama, yaitu kemampuan (kapasitas) yang baik dari fasilitator program
(Faskel) dan tim pelaksana di tingkat kelurahan (BKM dan KSM) adalah dalam hal perencanaan,
Pertemuan PNPM di Kelurahan Gowongan. Foto oleh Muklas
A. S.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
36
pengelolaan, dan pembangunan infrastruktur perkotaan. Dengan kapasitas tersebut, BKM dan
KSM mampu mengelola dengan baik proyek infrastruktur yang bernilai Rp 2 miliar. Mereka
mampu memastikan bahwa semua kegiatan terlaksana dan semua infrastruktur benar-benar
dibangun. Faskel mendampingi BKM dan KSM dalam membangun dan meningkatkan fungsi
infrastruktur. Mereka juga mengawasi administrasi proyek seperti penyerapan anggaran,
memastikan ketersediaan laporan, memeriksa dokumen dan memastikan bahwa semua
kegiatan terlaksana sesuai tenggat yang telah ditetapkan.
Kemampuan-kemampuan ini terbentuk dari pengalaman mereka dalam mengelola program
PNPM Perkotaan. PNPM Perkotaan, yang pertama kali dimulai pada 2007, secara efektif telah
menguatkan kapasitas dalam peningkatan atau rehabilitasi infrastruktur perkotaan. Evaluasi
program PNPM Perkotaan menemukan bukti bahwa program tersebut telah berhasil secara
efektif menangani masalah infrastruktur di area perkotaan (Baker dkk, 2003) dengan kualitas
infrastruktur yang baik (Mulya, 2010). Anggota BKM dan KSM telah memiliki beberapa
pengalaman dan familiar dengan pengelolaan program PNPM reguler dalam membangun
infrastruktur dan dengan demikian mereka pun lebih terbiasa dan dapat menyesuaikan diri
dengan semua proses yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur. Sistem perencanaan
dan implementasi program PNPM Urban—termasuk sistem administrasinya—telah dibangun
melalui pengalaman bertahun-tahun dalam pembangunan infrastruktur perkotaan—drainase,
jalan, toilet, jembatan, selokan—dan ini sudah cukup untuk mendukung sistem pengelolaan
PNPM masa perpanjangan—desain, rencana anggaran, bangunan, mobilisasi pekerja, dan
persiapan dokumen—yang pada akhirnya akan menghasilkan infrastruktur yang berfungsi
dengan baik.
Faktor kedua adalah prosedur administrasi (bertingkat) dari program mulai dari BKM ke faskel,
ke koordinator tingkat kota, kemudian ke tingkat regional, dan akhirnya ke tingkat nasional.
Prosedur seperti ini memastikan faskel dalam melakukan semua kegiatan yang disyaratkan.
Mekanisme PNPM menekankan aspek pelaporan administrasi keuangan sebagai bentuk
mekanisme insentif dan disentif untuk pencairan anggaran. Mekanisme ini menjadi alat
(efektif) dalam mendisiplinkan faskel untuk memastikan bahwa program berjalan sesuai
dengan tahapan yang seharusnya dan sesuai dengan SOP (standard operating procedure) dan
untuk menyiapkan semua dokumen yang disyaratkan.
Faktor ketiga adalah konteks perkotaan yang secara positif memengaruhi perbaikan fungsi
infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang yang tinggal di area perkotaan yang
memiliki pengalaman dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastruktur perkotaan. Tidak
seperti di perdesaan, ada lebih banyak warga di area perkotaan yang bekerja sebagai buruh
dan pekerja bangunan (tukang). Mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan teknis dalam
mengidentifikasi masalah dana dalam membangun infrastruktur. Anggota BKM
menggarisbawahi bahwa tidak sulit untuk menemukan anggota KSM dan tukang yang telah
memiliki pengalaman dalam membangun jalan, merehabilitasi drainase dan sistem pengolahan
limbah, serta sanitasi. Mereka memberikan contoh bahwa beberapa kesalahan dalam
pembangunan di lapangan dapat diseleseaikan oleh KSM dan tukang dan mereka tidak
memerlukan pendampingan yang intensif dari faskel. Faktor-faktor ini, sekali lagi, telah
membantu terbangunnya infrastruktur dengan kualitas yang baik.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
37
3.2 Faktor Pendorong Integrasi Infrastruktur Lebih Baik
Penelitian ini mengidentifikasi bahwa integrasi infrastrukur terjadi karena empat faktor yang
saling berkaitan. Keempatnya adalah:
1. Desain program yang mengacu pada konsep pembangunan permukiman berbasis
komunitas (PLPBK) yang memastikan peningkatan akses atas infrastruktur dan
permukiman yang lebih baik di daerah yang ditata;
2. Strategi fasilitator dan tim pelaksana proyek di tingkat kelurahan dalam melaksanakan
desain penataan area kumuh yang memastikan pembangunan dan perbaikan infrastruktur
di satu area prioritas;
3. Institusi warga yang kuat yang membantu memaksimalkan dampak dari pembangunan
infrastruktur; dan
4. Lingkungan pendukung (enabling environment) di tingkat kota yang menyediakan
referensi bagi program dalam hal penataan area kumuh yang sesuai dengan konteks lokal.
Infrastruktur yang terintegrasi dengan baik, seperti terlihat di Yogyakarta, memiliki empat
faktor tersebut. Rancangan dan pelaksanaan proyek didukung oleh warga yang aktif dan aturan
di tingkat lokal. Sementara itu, pembangunan infrastruktur di Banjarmasin dan Bima tidak
begitu terintegrasi seperti di Yogyakarta. Rancangan dan implementasi program, secara
khusus, kurang didukung oleh warga dan regulasi di tingkat lokal.
3.2.1 Desain Penataan Kawasan Kumuh
Penelitian ini mengidentifikasi empat faktor dalam desain program yang memastikan
terbangunnya infrastruktur secara terintegrasi di satu area prioritas.
Faktor pertama adalah peran dari site plan yang penting sebagai instrumen perencanaan untuk
memastikan tersedianya infrastruktur di satu area prioritas. Sebuah site plan merupakan
gambaran arsitektur yang rinci mengenai perbaikan dan penyediaan infrastruktur di area
spesifik, sebuah gambaran grafis tentang rencana perbaikan infrastruktur. Dalam hal ini faskel,
dengan keahlian mereka dalam urban planning (perencanaan kota), menyiapkan site plan
(rencana tapak) bersama dengan warga. Hasilnya kemudian dituliskan dalam dokumen
perenanaan (RPLP). Perencanaan ruang berisi perencanan area makro (kelurahan) dan
perencanaan area mikro (area prioritas). Yang terakhir menggambarkan konsep dan peta rinci
dari penataan area prioritas, dan menunjukkan gambaran rencana perbaikan infrastruktur;
jalan, saluran pembuangan, permukiman, dan area terbuka hijau di area yang dirancang.
Faktor kedua adalah peran faskel dengan keahlian site plan dalam mengawasi pelaksanaan
proyek penataan kawasan kumuh. Pembuatan site plan dan rencana penataan kawasan
membutuhkan dukungan ahli, biasanya mereka yang memiliki pendidikan dan pengalaman
dalam tata ruang dan arsitektur. Berdasarkan wawancara dengan faskel, baik fasilitator dari
program PNPM Perkotaan regular, fasilitator community development (latar belakang
pendidikan dalam ilmu sosial), maupun fasilitator keuangan, semuanya tidak memiliki kapasitas
dalam menyiapkan site plan. Karenanya, PNPM periode perpanjangan merekrut fasilitator
dengan latar belakang pendidikan dalam tata kota atau arsitektur untuk menyiapkan site plan.
Mereka mampu membuat site plan sebagai panduan untuk kegiatan penataan kawasan kumuh,
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
38
seperti dapat dilihat dalam contoh site plan berikut (Gambar 14) yang dirancang oleh faskel
yang memiliki keahlian dalam pembuatan site plan.
Gambar 13 Contoh konsep penataan wilayah kumuh di satu area prioritas di Gowongan dan Alalak
Selatan
Sumber: Site Plan of Gowongan and Alalak Selatan, 2018
Faktor ketiga dalam rancangan proyek yang mendukung integrasi infrastruktur adalah jumlah
dana yang signifikan. Dana PLPBK harus cukup untuk membangun infrastruktur dasar—untuk
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
39
menata permukiman, drainase, jalan, pengolahan limbah, dan ruang terbuka—di satu area
prioritas. Dana tersebut juga digunakan untuk merekrut ahli penataan kawasan kumuh termsuk
ahli dalam arsitektur, pembangunan, pemasaran, dan administrasi keuangan. Menurut BKM,
biasanya jumlah dana dari program-program lain ada di kisaran Rp500.000.000. Namun jumlah
dana yang disediakan program PLPBK ini jauh lebih banyak yaitu senilai Rp2.000.000.000.
Dengan dana sebanyak itu, program dapat menyediakan infrastruktur mulai dari drainase,
selokan, ruang terbuka, hingga rehabilitasi rumah.
Selain itu, program ini juga tidak mensyarakatkan dokumen administrasi apapun, seperti
sertifikat tanah atau IMB. Karenanya, ini cocok dengan konteks kawasan kumuh perkotaan.
Sebuah rumah akan diperbaiki meskipun orang atau keluarga yang tinggal di sana tidak memiliki
dokumen legal untuk membuktikan bahwa mereka adalah pemilik rumah tesebut. BKM melihat
bahwa aturan dan persyaratan untuk memilih area untuk program PLPBK lebih fleksibel
dibandingkan dengan program-program lain, dan ini membuat PLPBK cocok untuk konteks
kawasan kumuh.
Akhirnya, periode program selama dua tahun turut mendukung terlaksananya integrasi
infrastruktur yang lebih baik. Program penataan kawasan kumuh, khususnya pada 2015,
menetapkan periode dua tahun untuk penyelesaian proyek. Tahun pertama digunakan untuk
menyiapkan dan merencanakan program; tahun kedua, sementara itu, digunakan untuk
melaksanakan program dan untuk memastikan keberlanjutan program. Di Suryatmajan,
misalnya, tahap persiapan dan perencanaan berlangsung selama satu tahun dari Juni 2014
sampai dengan Juni 2015. Implementasi dan pemastian keberlanjutan program dilaksanakan
mulai Agustus 2015 sampai dengan Desember 2016. Infrastruktur yang telah dibangun secara
resmi diluncurkan pada Januari 2017.
Menurut BKM, durasi proyek yang panjang memungkinkan proses perencanaan yang lebih baik
terutama untuk melakukan sosialisasi mengenai program penataan rumah kumuh untuk warga
terdampak. Mereka menjelaskan bahwa proses rehabilitasi perumahan kumuh merupakan
proses yang paling penting dan memerlukan persiapan yang panjang dan hati-hati. Rumah-
rumah warga akan dipangkas dan pemiliknya akan diberi kompensasi dengan rumah yang
direnovasi dengan ukuran yang sama dengan ukuran aslinya (sebelum dipangkas). Selain itu,
mereka juga harus membayar biaya konsumsi untuk para pekerja harian sebagai bentuk dari
kontribusi mereka terhadap program. BKM menjelaskan bahwa warga kerap khawatir dengan
proses rehabilitsi rumah mereka karena mereka berpikir bahwa ini mungkin bagian dari
program penggusuran—istilah yang sangat sensitif bagi mereka yang tinggal di kawasan
kumuh.
3.2.2 Pelaksanaan Program Penataan
Pada tahap pelaksanaan program, penelitian ini mengidentifikasi strategi dari para aktor
(faskel, BKM, KSM) yang penting untuk memastikan pembangunan infrastruktur yang
terintegrasi.
Strategi pertama adalah strategi dalam memilih area prioritas. Studi ini menemukan bahwa
pemilihan area prioritas yang akan ditata tidak didasarkan pada kategori ‘area yang paling
miskin’, tetapi ditentukan berdasarkan pertimbangan ‘pragmatis’ yang akan membantu
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
40
mempermudah proses penataan5. Pertimbangan-pertimbangan tersebut meliputi kesiapan dari
ketua RT dan RW untuk menyiapkan warganya untuk pelaksanaan program serta tingkat
kompleksitas dari permukiman yang akan ditata yang sebagian besar berada di pinggiran sungai.
Pada tahap awal program, BKM dan faskel biasanya akan mengadakan pertemuan dengan
ketua RT dan RW, serta pegawai kelurahan untuk menjelaskan perihal program—terutama
mengenai penataan permukiman. Diskusi menekankan kompensasi untuk rumah yang
dipangkas dari warga terdampak yang akan dikompensasi dengan renovasi rumah menjadi dua
lantai dengan ukuran yang sama dengan ukuran aslinya. BKM dan fasilitator akan bertanya
mengenai kesiapan RW-RW, dan akan memilih RW yang ketuanya siap untuk menyiapkan
warga mereka untuk menerima konsekuensi-konsekuensi program. Contohnya di Gowongan.
Pada saat pertemuan, BKM dan faskel pada awalnya menyarankan agar pembangunan
dilaksanakan di area RW yang paling kumuh, dan saran ini disetujui oleh para RW yang hadir
dalam pertemuan. Namun, ketua RW dari area yang disarankan tesebut tidak siap karena di
areanya ada lebih banyak rumah yang harus direnovasi. Akhirnya, dana program dialokasikan
untuk RW yang ketuanya menyatakan kesiapan untuk melaksanakan program.
Pertimbangan yang hampir sama juga digunakan dalam program Showcase 2018. Setelah
melihat hasil yang bagus dari area yang ditata, warga di daerah bantaran kali lainnya juga
menginginkan agar area mereka ditata. Kebanyakan ketua RW siap untuk
mengimplementasikan program. Sayangnya, dikarenakan periode proyek yang lebih pendek,
pelaksana program pada akhirnya juga memilih untuk mengalokasikan anggarannya untuk
area-area yang lebih siap dari sisi impelementasi program. Keputusan ini dibuat dengan
mempertimbangkan kesiapan dari RW dan warga untuk mengeksekusi program dalam tempo
kurang dari satu tahun. Pertimbangan lainnya adalah tingkat kesulitan area yang akan ditata,
misalnya jumlah rumah yang harus dipangkas.
Bapak B, Gowongan, 13 Februari 2019
“Belum tentu yang paling kumuh… karena harus pangkas rumah, yang mudah
didahulukan”.
Strategi kedua adalah strategi sosialisasi. Strategi sosialisasi yang bersifat personal dan sistematik
terbukti lebih efektif untuk memastikan dukungan warga atas program pembangunan
infrastruktur di satu area prioritas, termasuk program rehabilitasi rumah. Di area dengan
infrastruktur yang terintegrasi dengan baik, sosialisasi dilakukan dengan pendekatan personal
dan sistematis. BKM mendekati warga secara personal secara informal, menyampaikan bahwa
mereka tentang rencana penataan. Ini kemudian dilanjutkan pertemuan dengan beberapa
warga, dan kemudian dalam pertemuan yang lebih besar dengan semua warga tinggal di area
yang akan dijadikan area prioritas. Pendekatan personal dipercaya lebih efektif untuk
meyakinkan warga mengenai program.
Kebanyakan anggota BKM dan KSM merupakan ketua (atau mantan ketua) RW, RT, dan ketua
atau anggota LPMK6. Mereka telah tinggal di kelurahan setempat selama bertahun-tahun dan
memiliki pengalaman dalam mengelola warga seperti melalui pengelolaan sampah, jimpitan
5 Di Bima, walaupun pertimbangan kesiapan ketua RT dan RW diperhitungkan dalam pemilihan area prioritas, pertimbangan pertama adalah kondisi daerah kumuh. Hal ini karena kondisi kekumuhan daerah tidak begitu parah dan tidak jauh berbeda antarsatu daerah dengan yang lain. 6 Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
41
(iuran swadaya di Yogyakarta), iuran RT; mereka pun memiliki pengalmaan dalam melakukan
negosiasi dengan warga dalam berbagai urusan. Posisi dan pengalaman ini membuat mudah
bagi mereka untuk mendapatkan persetujuan dari warga mengenai kegiatan penataan tempat
tinggal. Keterampilan dalam negosiasi ini merupakan hasil dari berbagai faktor termasuk
kenyataan bahwa banyak dari orang BKM merupakan tokoh masyarakat setempat. Mereka
memiliki pengalaman mengenai sejarah perkembangan kampung dan memiliki kemampuan
dalam meyakinkan warga dengan berbagai cara sehingga bersedia jika rumah mereka ditata
oleh program. Mereka juga mampu meyakinkan warga bahwa rumah baru (renovasi) yang akan
dibangun akan menjadi lebih baik dari yang aslinya. Selain itu, ketua RT dan RW pun telah
memiliki bayangan atau visi tentang daerah permukiman mereka yang dapat diintegrasikan
dengan rancangan program.
Strategi penting ketiga yang turut memastikan terjadinya integrasi infrastruktur adalah
memastikan partisipasi warga di area program dalam proses perancangan kegiatan penataan
rumah dan permukiman. Faskel di area program di Yogyakarta dan Banjarmsin biasanya
berkonsultasi dengan warga mengenai desain visual dari program penataan. Menurut seorang
arsitek yang bekerja di program penatan di Yogyakarta, ketika desain dipresentasikan melalui
komputer atau smartphone, warga akan memahami rencana rehabilitasi rumah mereka
sehingga mereka dapat memberikan saran-saran yang jelas dan relevan. Dengan demikian,
fasilitator pun paham tempat-tempat yang perlu diperbaiki dari desain tersebut dan di sisi lain
warga pun senang dengan desain tersebut. Dengan skema waktu pelaksanaan program selama
dua tahun, arsitek yang yang merancang area prioritas di Yogyakarta dapat merevisi desain
beberapa kali sampai akhirnya disetujui oleh warga.
Strategi keempat untuk memastikan terbangunnya infrastruktur yang terintegrasi adalah peran
dari faskel dalam menyusun site plan yang memerhatikan konteks lokal, termasuk kegiatan
warga. Faktor ini sangat kentara di Yogyakarta. Fasilitator-fasilitator yang bekerja di sana
memiliki keahlian dalam menyusun site plan yang sesuai dengan konteks lokal. Dalam tahap
persiapan, mereka mengumpulkan material atau referensi konsep, gambar-gambar, dan peta
satelit oleh mereka sendiri. Tahap selanjutnya, mereka harus mampu memodifikasi
konsep/referensi-referensi tadi dan menyesuaikannya dengan konteks lokal.
Wawancara yang dilakukan dengan faskel di Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat
beberapa referensi untuk kegiatan penataan kawasan kumuh di Yogyakarta—yang dimulai
ketika Romo Mangun menata area di Kali Code yang dapat memberikan insipirasi bagi faskel
dan TIPP untuk membuat site plan yang lebih baik. Faskel sendiri telah bertemu dan berdiskusi
dengan seorang arsitek komunitas di Yogyakarta yang memiliki pengalaman dalam menata area
bantaran kali. Hasil proses tersebut adalah konsep dan gambaran rencana penataan di
Yogyakarta yang relatif sesuai dan terintegrasi dengan konteks lokal.
Di area dengan infrastruktur yang tidak terintegrasi dengan baik, faskel menghadapi beberapa
kesulitan dalam menyesuaikan konsep penataan kawasan kumuh dengan kebiasaan warga
setempat. Di Alalak Selatan, misalnya, menurut faskel, mereka tidak memiliki referensi yang
cukup mengenai cara untuk operasionalisasi konsep dan standar dari area yang ditata yang
sesuai dengan konteks Alalak Selatan. Keterbatasan referensi ini pada gilirannya menjadi salah
satu penyebab terbentuknya desain titian ulin yang menyebabkan menurunnya interaksi sosial
antara para perempuan di area yang ditata.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
42
3.2.3 Institusi Masyarakat yang Kuat
Selain desain program dan strategi para aktor dalam menjalankan program, konteks institusi
warga juga turut berpengaruh terhadap terwujudnya integrasi infrastruktur yang baik.
Penelitian ini menemukan bahwa di area-area tempat infrastrukturnya dibangun secara
terintegrasi, umumnya memiliki warga dengan semangat aksi kolektif yang baik. Di Yogyakarta,
warga sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan kolektif dan terjalin hubungan yang dekat satu
sama lain. Mereka melakukan beragam aktivitas mulai dari tingkat RT sampai tingkat RW seperti
simpan pinjam, arisan, sedekah jumat, pengajian, kerja bakti, kelompok pemuda, dan kegiatan
olah raga bersama. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya kolektif seperti simpan pinjam,
arisan, dan jimpitan telah menjadi kegiatan selama berpuluh-puluh tahun. Hal ini, menunjukkan
telah terbentuknya sistem dan kepercayaan (antarwarga) di dalam komunitas. Mereka juga
bertemu secara rutin, mingguan dan bulanan, untuk melakukan kerja bakti, yang menunjukkan
adanya kebiasaan dalam melaksanakan tanggung jawab bersama.
Warga di Yogyakarta juga telah memiliki pengalaman dalam memelihara infrastruktur umum.
Mereka telah terbiasa mengelola kegiatan-kegiatan untuk kepentingan bersama seperti
pengelolaan air bersih, pengelolaan sampah, iuran sosial, dan iuran rutin untuk RT. Dalam
melaksanakan semua kegiatan tersebut, mereka sudah bisa mengorganisasikan diri untuk
mengelola beragam fasilitas umum seperti MCK dan toilet. Semua kegiatan kolektif yang telah
lama terbentuk ini turut memengaruhi cara mereka memelihara beragam infrastruktur secara
efektif seperti MCK, drainase, dan area pedestrian.
Kegiatan-kegiatan kolektif ini menjadi fondasi penting bagi terbentuknya partisipasi aktif mereka
dalam memelihara infrastruktur untuk kepentingan bersama. Di Suryatmajan, warga memiliki
peran penting dalam memastikan fungsi pedestrian sebagai tempat yang nyaman dan aman
bagi orang tua, anak-anak, dan warga secara umum. Karenanya, mereka tidak mengizinkan
sepeda motor untuk memasuki area tersebut. Warga mengikuti aturan dan memahami
keuntungan dari mengikuti aturan tersebut. Terdapat kesepakatan di antara warga untuk tidak
mengendarai sepeda motor di area PCG, tidak membuang sampah ke sungai, tidak
menggantungkan baju atau apapun di area PCG karena akan mengganggu kenyamanan area
tersebut.
Indikator lain dari tingginya tingkat partisipasi warga dapat dilihat dari peran warga dalam
membantu satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur di Yogyakarta
dan Bima. Mereka bersedia untuk dibayar lebih rendah dari yang biasanya. Mereka pun
bersedia untuk bekerja sampai malam jika dibutuhkan. Ketika kegiatan-kegiatan konstruksi
dilakukan, beberapa warga secara kolektif menyiapkan makanan ringan dan kopi. Para pemilik
warung secara sukarela menyediakan aneka makanan dan minuman untuk para pekerja
bangunan. Dengan bentuk partisipasi dan semangat voluntarisme seperti itu, tidak sulit untuk
meminta partisipasi warga di sana untuk mendukung implentasi warga. Di sisi lain, tidak ada
warga yang terabaikan dalam proses pelaksanaan program meskipun mereka tidak mampu
menyediakan makanan dan minuman untuk para pekerja (karena makanan dan minuman pun
disediakan secara kolektif oleh warga di sana).
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
43
Selain itu, kepemimpinan lokal pun memainkan peranan penting dalam memastikan
pemanfaatan infrastuktur yang telah dibangun (dan area yang ditata secara umum) dan
memastikan dijalankannya ketentuan dalam memelihara infrastruktur-infrastruktur tersebut.
Contohnya, terdapat warga-warga yang aktif yang mengajak dan mengelola kegiatan olahraga
di sore hari. Adapun, di pagi hari, kelompok perempuan menggunakan tempat tersebut untuk
kegiatan aerobic, sementara para orang tua berkumpul bersama dan berjalan-jalan di area
pedestrian. Kelompok-kelompok warga (asosiasi) menggunakan area PCG di petang dan malam
hari untuk mengadakan pertemuan. Ketua RT secara regular mengorganisasikan warga untuk
menyelenggarakan bazar makan di sepanjang area pedestrian yang sekaligus mengundang para
pengunjung dan warga yang tinggal di luar area program. Ketua RT pun memainkan peran
penting dalam merumuskan aturan untuk pemeliharaan MCK, misalnya, dan untuk memastikan
bahwa warga mengikuti aturan-aturan tersebut.
Di area prioritas ini, warga juga secara aktif juga bersosialisasi dengan warga lain yang tinggal
di sekitar atau dekat dengan area tersebut. Mereka mengajak warga sekitar untuk
melaksanakan kegiatan bersama di PGC. Bahkan mereka pun menyediakan tempat bagi warga
sekitar untuk menjual makanan pada saat acara bazar maknan. Dalam konteks ini, potensi
ketegangan antara warga yang tinggal di area program dan dari luar area program dapat
dikurangi.
3.2.4 Konteks Lingkungan Kebijakan Pendukung
Selain faktor desain program dan institusi lokal warga, integrasi infrastruktur yang baik pun
perlu dukungan lingkungan yang mendukung (enabling environment). Terkait ini, terdapat dua
aspek yang penting, yaitu tersedianya referensi yang dapat diakses terkait dengan kegiatan
penataan kawasan kumuh yang sesuai dengan konteks lokal dan dukungan dari pemerintah
lokal.
Faktor pertama adalah referensi desain dalam penataan kawasan kumuh. Integrasi infrastruktur
yang baik (Yogyakarta) didukung oleh adanya referensi yang memadai terkait kegiatan penataan
kawasan kumuh. Di Yogyakarta sendiri, terdapat gerakan penataan kawasan kumuh dan
turisme yang cukup signifikan, yang dimulai dengan proyek penataan Kali Code yang dilakukan
oleh Romo Mangun dan model yang ada di Karang Waru. Kesuksesan Karang Waru, yang telah
berhasil menarik banyak pendatang, telah menginsipirasi kawasan kampung urban lain di
Yogyakarta untuk secara kreatif mempercantik area mereka dengan, misalnya, memasang
ornamen sepeda, menyediakan spot swafoto, dan kios dengan payung seperti yang terdapat di
Suryatmajan. PCG di Suryatmajan dibangun dengan konsep turisme dengan tujuan untuk
menciptakan area pedestrian yang aman, nyaman, dan indah. Seperti telah didiskusikan di
bagian 3.2.2, faskel menggunakan template penataan kawasan kumuh dan pengalaman praktis
terkait penataan kawasan kumuh di Yogyakarta sebagai referensi dan panduan dalam
memaksimalkan desain yang akan digunakan dalam program.
Faktor kedua adalah dukungan dari pemerintah lokal. Di area integrasi infrastruktur yang berhasil
(Yogyakarta), program penataan kawasan kumuh juga didukung oleh konsep penataan kawasan
bantaran sungai yang bernama mundur, munggah, madep kali (M3K). M3K diinisiasi oleh
komunitas-komunitas peduli sungai, NGO, dan pemerintah kota sebagai bentuk gerakan kolektif,
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
44
yang juga didukung oleh Sultan Yogyakarta sebagai gubernur. Meskipun tidak ada peraturan
daerah mengenai implementasi konsep M3K, gerakan ini telah menjadi salah satu solusi bagi
penataan kawasan kumuh. Warga di area kumuh percaya bahwa gerakan tersebut menemukan
momentumnya ketika program penataan kawasan kumuh (PLBBK) hadir. Warga melihat
program ini sebagai bentuk pertukaran yang adil mengingat bahwa program ini bukan hanya
menata kawasan bantaran sungai tapi rumah-rumah mereka pun direnovasi sehingga menjadi
rumah-rumah yang lebih bagus. Kesediaan warga ini juga didorong oleh ancaman
penggusuran—“jika warga tidak setuju daerahnya ditata oleh mereka sendiri, pemerintah kota
yang akan melakukannya”. Ancaman ini berarti bahwa warga yang tinggal di kawasan kumuh
akan digusur tanpa kompensasi. Selain itu, undang-undang Keistimewaan Yogyakarta berarti
bahwa Kesultanan adalah pemilik area bantaran kali. Bagi warga, ini berarti bahwa jika mereka
mengikuti gerakan M3K, masa depan mereka lebih aman dan mereka bahkan mungkin akan
mendapat Hak Guna Bangunan untuk tanah dan tempat tinggal yang mereka tinggali saat ini.
3.3 Hambatan dalam Mewujudkan Infrastruktur yang Terintegrasi dan Berfungsi dengan Baik
Selain faktor-faktor yang mendukung di atas, penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa
kendala yang menghambat terbangunnya infrastruktur yang terintegrasi dan berfungsi dengan
baik.
Fokus dari faskel terhadap aspek-aspek adminitrasi program telah mengurangi peran mereka
sebagai fasilitator pengembangan masyarakat. Sejalan dengan SOP, BKM, dan KSM harus
melakukan sosialisasi, menentukan tim ahli, dan memastikan tim ini merancang permukiman
dan area yang akan ditata. Selain itu, BKM dan KSM juga harus membantu tim ahli untuk
berkomunikasi dengan warga untuk mendiskusikan dan mendapatkan persetujuan terkait
desain rumah warga yang akan direhabilitasi. Mereka juga harus menyiapkan beberapa
dokumen seperti RPLP, proposal dan rencana anggaran, Detailed Engineering Design (DED)7,
sekaligus memobilisasi para pekerja, memonitor proses pembangunan infrastruktur, dan pada
akhirnya melaporkan semua kegiatan-kegiatan tersebut. Selain itu, mereka pun harus
membuat laporan dan mengirimkan beberapa dokumen untuk keperluan pencairan dana di
setiap tahapan program. Ini semua tentu saja bukan proses yang mudah, belum lagi mereka
harus memastikan bahwa anggaran yang dikeluarkan sesuai degnan fasilitas yang dibangun dan
laporan administrasi secara keseluruhan.
Menurut faskel, mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan administratif. Mereka tidak memiliki waktu yang banyak untuk
mengunjungi lokasi-lokasi pembangunan, berdiskusi dengan warga dan menguatkan kapasitas
BKM dan KSM dan melakukan fasilitasi. Peran mereka sebagai administrator sangat dominan
terutama untuk program Showcase, di mana BKM dan KSM harus mengirimkan
dokumen/receipt setiap minggu sepanjang tahun. Faskel menekankan bahwa mereka tidak
memiliki waktu yang cukup untuk berdiskusi dengan warga atau untuk memfasilitasi proses
pemecahan masalah berupa efek negatif dari pembangunan infrastruktur. Kurangnya
7 DED adalah Detailed Engineering Design atau Desain Rekayasa Detail
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
45
komunikasi ini menjadi salah satu penyebab mengapa warga di Pane menyalahartikan desain
sumur resapan sebagai sarana pengolahan limbah. Waktu yang terbatas pula membuat faskel
di Banjarmasin tidak secara hati-hati memerhatikan kondisi area yang akan dibangun sehingga
mereka membangun septic tank dengan ketinggian yang lebih rendah dari permukaan sungai
ketika pasang. Beban kerja yang berat terutama dirasakan oleh fasilitator teknik karena
intervensi utama dari PLPBK berfokus hanya pada infrastruktur dan jumlah dana yang harus
dikelola pun begitu besar. Fasilitator teknis bahkan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki
waktu yang cukup untuk memberdayakan warga karena mereka fokus pada target-target
pembangunan.
Z, Asisten Kota Bidang Infrastruktur di Bima (7 Februari 2019)
“karena uang yang turun banyak dan pembangunan yang berlangsung banyak, jadi
hanya seperti mengejar target, sehingga miss di bagian pemberdayaan…”
Fokus terhadap hal-hal di atas pun mengakibatkan kurangnya kegiatan komunikasi dan fasilitasi
terhadap warga yang tinggal di luar area program. Terlepas dari semangat solidaritas antarwarga,
jumlah dana yang besar, perubahan signifikan dari area yang ditata, dan pengalaman dari PNPM
regular (yang dananya didistribusikan secara merata ke semua RT), telah memunculkan
kecemburuan dari warga yang tinggal di luar area yang ditata. Masalah ini, salah satu sebabnya
adalah kurangnya fasilitasi yang memadai dari faskel, BKM, dan KSM kepada warga-warga
tersebut. Kecemburuan ini biasanya diekspresikan dengan protes terhadap BKM dan KSM
dalam beberapa acara seperti yang terjadi di Pane (Bima) dan Alalak Selatan (Banjarmasin).
Protes ini telah memaksa BKM untuk mengalokasikan sebagian dari anggaran program untuk
membangun infrastruktur di beberapa RT di luar area prioritas.
Beban kerja administratif dari faskel juga memengaruhi aspek keberlanjutan program. Di akhir
program, faskel seharusnya memfasilitasi warga untuk menyiapkan institusi untuk
pemeliharaan infrastruktur yang telah dibangun—seperti membangun sistem untuk
pemeliharaan infrastruktur, termasuk melakukan pembagian kerja, iuran, dan pengawasan.
Karena faskel tidak menyiapkan exit strategy, keberlanjutan infrastruktur akan dikelola sendiri
oleh institusi pada level masyarakat. Jika masyarakat memiliki pengalaman dan kebiasaan
dalam memelihara fasilitas publik, infrastruktur yang baru dibangun pun dapat mereka pelihara
dengan baik. Namun jika tidak, beberapa infrastruktur tersebut mungkin tidak akan lagi
berfungsi dengan baik (karena kurang atau tiadanya pemiliharaan). Selain itu, faskel dan
koordinator kota yang seharusnya, untuk mendukung pelaksanaan PLPBK, harus berkomunikasi
dengan pemerintah kota, pada kenyataannya tidak melakukan proses komunikasi tersebut
secara optimal.
Penelitian ini juga menemukan bahwa periode waktu program selama satu tahun untuk program
Showcase 2018 dapat mengurangi dampak positif dari program. BKM dan KSM harus
mengalokasikan Rp 2 Miliar dalam waktu kurang dari satu tahun—dan harus melaksanakan
seluruh tahapan kegiatan dalam waktu kurang dari sepuluh bulan. Pada 2018, tahap
perencanaan dilakukan dari Juni hingga Juli 2018—yang terdiri dari beberapa kegiatan seperti
telaah atas RPLP, RAB8, dan DED. Tahapan ini dilakukan pada saat yang sama dengan kegiatan
8 RPLP adalah Rencana Penataan Lingkungan. RAB adalah Rancangan Anggaran Biaya.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
46
sosialisasi kepada warga. Alokasi waktu untuk tahapan perencanaan bahkan lebih pendek
karena berbarengan dengan bulan Ramadan, Lebaran, dan hari kemerdekaan (17 Agustus).
Perencanaan program harus diselesaikan pada Agustus-September dan dilaporkan pada
Desember.
Periode yang lebih pendek dari program Showcase 2018, membuat kegiatan sosialisasi kepada
warga di area program menjadi lebih terbatas. Tim ahli pun memiliki waktu yang lebih pendek
untuk merevisi desain permukiman yang akan ditata. Kegiatan sosialisasi di Gowongan dan
Alalak Selatan hanya dilakukan kepada para pengurus RW dan RT dalam pertemuan bersama
yang dilakuan dengan warga di area program (tidak dilaksanakan secara bertahap seperti
halnya program PLPBK). Di Gowongan, pertemuan dengan warga hanya dilakukan tiga kali. Di
sana bahkan tidak ada sosialisasi dengan warga di luar area program. Para ahli (arsitek) hanya
memiliki waktu yang terbatas untuk merancang desain infrastruktur, terutama desain rumah
yang sebenarnya memerlukan persetujuan dari warga pemilik rumah-rumah tersebut. Hal ini,
pada gilirannya, melahirkan kekecewaan dari warga tersebut.
Seperti telah didiskusikan di bagian sebelumnya, sangat penting untuk memastikan bahwa
desain infrastruktur yang akan dibangun sesuai dengan konteks lokal sehingga akhirnya
menghasilkan integrasi infrastuktur yang optimal. Modifikasi (penyesuaian dengan konteks
lokal) merupakan tantangan tersendiri di Banjarmasin. Tim pelaksana menghadapi kesulitan
untuk mengontekstualisasi standar infrastruktur PU dengan konteks lokal. Misalnya, di Alalak
Selatan, desain siring diubah menjadi titian ulin karena seorang ahli mengatakan bahwa
pembangunan siring akan menganggu ekosistem. Setelah titian ulin dibangun, ternyata malah
muncul masalah sampah ketika terjadi pasang. Dengan alasan yang sama ahli tersebut juga
merekomendasikan untuk membangun hanya satu tangga di sungai. Namun, ini memunculkan
masalah bagi para perempuan yang biasa mengambil air di sungai. Dampak negatif dari
perubahan desain di Alalak Selatan (dari siring ke titian ulin) menunjukkan bahwa tim program
harus memerhatikan dan mengembangkan modifikasi program yang sesuai dengan standar
infrastruktur dan pada saat yang sama tidak melahirkan dampak negatif bagi warga.
Penelitian ini menggarisbawahi bahwa peran pemerintah lokal—OPD dan Pokja PKP9-- tidak
begitu optimal. Peran pemerintah kota—Yogyakarta, Banjarmasin, Bima—di lokasi-lokasi
program pun tidak signifikan. Peran Poka PKP tidak optimal karena anggota-anggotanya
merupakan para pejabat OPD yang sangat sibuk dan secara reguler dirotasi ke bagian-bagian
lain. Sangat sulit untuk mengundang semua anggota Poka dalam satu pertemuan untuk tujuan
koordinasi.
Faskel dan BKM menekankan bahwa OPD tidak mendukung pelaksanaan program PLPBK. Dalam
skema PLPBK dan PRBBK, desain harus merujuk pada rencana detail tata ruang (RDTR), tapi
korkot tidak bisa mendapatkan data RDTR dari badan perencana. Sementara itu, Pokja tidak
banyak membantu korkot dalam mengakses dokumen-dokumen kebijakan dari OPD kota.
Misalnya, di Yogyakarta, terdapat program pembangunan paving blok dari dinas permukiman.
Dinas bersikeras bahwa jalan paving blok harus dibangun segera (meskipun tidak lama lagi akan
ada program penataan di area tersebut). Paving blok pun dibangun. Namun, ketika program
PLPBK dimulai, paving blok yang telah dibangun pun dibongkar kembali karena
9 OPD adalah Organisasi Perangkat Daerah, Pokja PKP adalah Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
47
pembangunannya tidak sesuai dengan rencana program penataan. Peran dari pemerintah
daerah dalam menyediakan tambahan anggaran untuk merehabilitasi rumah-rumah yang
terdampak program penataan pun tidak signiikan (atau tak ada dukungan sama sekali), yang
pada akhirnya turut memunculkan dampak negatif dari program rehabilitasi itu sendiri.
Penelitan ini juga mengidentifikasi bahwa Balai besar Wilayah Sungai (BBWS) tidak menyediakan
izin resmi bagi program penataan area bantaran sungai. Di Gowongan, koordinator BKM telah
menyampaikan surat resmi kepada BBWS mengenai pembangunan jalan dan talud di bantaran
sungai, tetapi tidak ada balasan dari BBWS. Koordinator pun kemudian bertemu dengan
beberapa pegawai BBWS Serayu-Opak. Mereka memang tidak memberikan izin resmi. Namun,
pejabat di BBWS mengatakan kepada koordinator BKM untuk meneruskan program penataan,
karena ia percaya bahwa ini merupakan program yang bagus.
Hal ini berarti bahwa program penataan yang dilakukan secara resmi belum mengatasi masalah
ketidakpastian hukum dari area kumuh. Legalitas tanah dan tempat tinggal di kawasan kumuh
merupakan masalah penting. Program penataan kawasan kumuh harus disertai dengan
pendekatan-pendekatan yang memperhatikan masalah status hukum (legal) dari permukiman
warga di sana.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
48
B A B 4
P E N G A R U H P R O G R A M P E N G U R A N G A N
R I S I K O B E N C A N A ( P R B B K ) D I B I M A
Seperti telah dibahas pada Bab 1, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh program
PNPM Perkotaan periode perpanjangan terhadap mitigasi bencana di Bima. Bab ini menyajikan
temuan-temuan tentang pengaruh dari intervensi program tersebut terhadap rehabilitasi
korban bencana banjir serta melihat apa saja manfaat program bagi peningkatan kapasitas dan
resiliensi warga di daerah rentan bencana. Bab ini juga membahas beragam kendala dalam
memaksimalkan dampak program pada peningkatan kapasitas warga serta terhadap
penguatan resiliensi warga di daerah dengan risiko bancana banjir yang tinggi.
4.1 Permasalahan Banjir dari Perspektif Warga
Kelurahan Pane dan kelurahan Santi pernah mengalami beberapa kali banjir dan karenanya
ketika musim hujan datang warga selalu ada dalam risiko terkena bencana. Warga di sana
mengategorikan banjir ke dalam dua jenis, yaitu ‘banjir besar’ atau banjir bandang dan ‘banjir
kecil’. Warga mengartikan banjir besar sebagai banjir yang datang tiba-tiba dengan arus air
yang cepat dan menyapu semuanya. Banjir seperti ini menyisakan trauma tersendiri bagi
warga. Banjir kategori kedua, yaitu banjir kecil, yang datang lebih sering. Air banjir ini biasanya
menggenangi jalan dan rumah dan menciptakan situasi yang tidak nyaman bagi warga.
Jalan (jalur) evakuasi baru di Kelurahan Santi. Foto oleh Nofalia
N.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
49
Wawancara yang kami lakukan dengan beberapa informan kunci di Pane dan Santi
mengungkap bahwa telah terjadi beberapa banjir bandang dalam empat belas tahun terakhir.
Banjir bandang pertama terjadi pada 2004, yang dikenal dengan ‘banjir SBY’ (Susilo Bambang
Yudhoyono, presiden Republik Indonesia periode 2004-2014). Peristiwa ini dinamai demikian
karena peristiwa banjir saat itu bersamaan dengan kunjungan presiden SBY ke Bima. Adapun
pada Desember 2016, banjir bandang terjadi dua kali. Banjir bandang dengan ketinggian antara
1,3 sampai dengan 2 meter terjadi pada Rabu 21 Desember 2016. Dua hari kemudian, pada 23
Desember, banjir bandang datang lagi. Banjir yang terjadi pada 2016 tersebut terjadi karena
siklon tropis Yvette di Samudra Hindia yang menyebabkan terjadinya hujan lebat di Bima
selama sekira dua belas jam. Pada Maret 2017, banjir bandang lain terjadi di beberapa area di
Bima, termasuk di kelurahan Pane dan kelurahan Santi.
Secara khusus, warga di kedua kelurahan tersebut mengingat banjir yang terjadi pada 2016
sebagai banjir yang paling parah dan menyebabkan banyak kerusakan. Berdasarkan wawancara
dengan warga di kedua kelurahan tesebut, banyak warga kehilangan harta bendanya. Mereka
mengingat bahwa ketika banjir kedua datang, mereka tengah mengeringkan perabotan rumah
seperti kursi dan karpet. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa banjir besar akan datang lagi
dan karena tidak dalam keadaan siaga, mereka tidak memiliki waktu yang untuk
menyelamatkan harta bendanya. Mereka pun mengungsi selama sekitar satu minggu. Banjir
saat itu pun berdampak pada kerusakan berbagai infrastruktur dan fasilitas umum. Sekolah dan
jalan ditutup, rumah sakit pun rusak. Akses komunikasi, listrik, dan jaringan air bersih pun
terganggu.
Banjir bandang yang terjadi pada 2016 memberikan pelajaran berharga bagi warga dalam
menghadapi banjir bandang yang lain. Mereka, misalnya, kini menyimpan dokumen-dokumen
penting dalam tas yang dapat dibawa dengan mudah ketika bencana terjadi. Warga pun banyak
yang membangun rumahnya menjadi dua lantai sehingga ketika banjir datang, mereka dapat
menyelamatkan diri ke lantai dua—dengan demikian mereka tidak harus meninggalkan rumah
ketika banjir datang. Mereka pun telah menyiapkan pasokan makanan (pangan) di lantai kedua
(Gambar 15). Mereka telah belajar dari bencana-bencana sebelumnya bahwa dalam kondisi
bencana persediaan makanan, obat-obatan, pakaian, dan selimut yang tersedia di tempat
pengungsian akan sangat terbatas.
Selain bencana banjir bandang, jenis banjir yang lain adalah banjir kecil. Mereka mengartikan
‘banjir kecil’ sebagai limpasan air yang memasuki jalan dan rumah ketika hujan turun. Banjir
kecil ini biasanya terjadi setelah hujan turun semalaman. Tingkat ketinggian air bisa berkisar
antara setinggi mata kaki sampai selutut orang dewasa. Banjir yang setinggi lutut biasanya
terjadi pada rumah-rumah yang berada di area yang lebih rendah. Meskipun banjir kecil ini
tidak menyebabkan warga kehilangan harta benda dan tidak menyebabkan mereka harus
mengungsi, tetapi karena airnya masuk ke jalan dan rumah, ketika surut mereka harus
membersihkan rumah dari lumpur. Banjir ini pun membuat jalan dan gang berlumpur. Hal ini
tentu saja merupakan situasi yang membuat warga tidak nyaman.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
50
Gambar 14 Salah satu bentuk adaptasi penduduk adalah untuk mengamankan semua peralatan yang diperlukan dalam kasus banjir
Foto oleh Hilda Arum Nurbayyanti
Penyebab utama ‘banjir kecil’ adalah kombinasi dari air hujan dan sistem drainase yang buruk.
Berdasarkan wawancara dengan pegawai kelurahan, jaringan drainase memang tidak berfungsi
dengan baik. Limpasan air hujan biasanya tidak mengalir lancar karena saluran airnya
tersumbat, pipa pembuangan pun tidak berfungsi dengan baik karena tertutup oleh dedaunan,
lumpur, atau kotoran lain. Warga mengeluh karena mereka harus sering memeriksa drainase
ketika hujan turun untuk memastikan bahwa salurannya tidak tersumbat. Hal ini mereka
lakukan supaya limpasan air tidak memasuki rumah mereka.
4.2 Efek Program PRBBK dalam Mengurangi Risiko Bencana Banjir Seperti disampaikan di Bab 1, Bank Dunia menyediakan tambahan dana untuk proses
rehabilitasi dan rekonstruksi kelurahan-kelurahan yang terdampak bancana banjir di Bima.
Dengan menggunakan skema pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK),
anggaran ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat yang tinggal di area dengan
risiko bencana sekaligus membangun risiliensi mereka.
Untuk mengatasi masalah terkait banjir, dana digunakan untuk perbaikan infrastruktur umum
yang rusak karena banjir yang terjadi pada 2016 dan untuk memperbaiki jaringan drainase (Tabel
4). Di dua wilayah, Pane dan Santi, dana tersebut digunakan untuk memperbaiki jalan yang
rusak dan memastikan bahwa jalan-jalan yang ada dapat mempermudah proses evakuasi ketika
terjadi bencana. Dana program juga digunakan untuk memperbaiki jaringan drainase yang
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
51
sudah ada. Sistem drainase yang baik akan membantu mengurangi risiko banjir. Dengan sistem
drainase yang baik, limpasan air hujan akan mengalir dengan mudah sehingga terhindar dari
genangan air di jalan maupun rumah.
Tabel 4 Infrastruktur PRBBK di kelurahan Pane dan Santi
Infrastruktur Lokasi dan Tahun Intervensi
No Pane 2017 Pane 2018 Santi 2017 Santi 2018
1 Drainase v v v v
2 Jalan Permukiman v v v v
3 IPAL v v v
4 Septic tank v v
5 Sumur resapan v
6 Talud v
7 Rehabilitasi MCK v
8 Pipa Air v
9 Rehabilitasi Sumber Air v
Terkait dengan efek infrastruktur terhadap penurunan bencana banjir, penelitian ini menemukan
bahwa dari sudut pandang penerima manfaat program, infrastruktur yang dibangun atau
diperbaiki telah membantu mengurangi risiko ‘banjir kecil’. Menurut warga di dua kelurahan
yang diteliti, perbaikan jalan dan drainase telah mengurangi masalah saluran pembuangan air
yang mampat. Sistem drainase pun kini berfungsi dengan baik ketika hujan lebat terjadi.
Limpasan air surut dengan cepat. Warga tidak perlu khawatir lagi jika hujan lebat turun. Air
tidak akan memasuki rumah mereka karena air akan mengalir lancar melalui drainase. Mereka
pun tak perlu lagi memeriksa saluran drainase ketika hujan turun. Salah seorang warga misalnya
berkata, “kita tidak perlu memeriksa saluran air ketika hujan lebat turun karena kini saluran
tersebut berfungsi dengan baik. Sebelumnya, kami harus memeriksanya untuk mencegah agar
tidak ada limpasan air yang masuk ke rumah”.
Rehabilitasi jalan permukiman pun telah menjadikan jalan tersebut sebagai jalur evakuasi warga
ketika bencana seperti banjir, kebakaran, dan gempa terjadi. Sebelum perbaikan dilakukan,
kondisi jalan sangat buruk. Jalan hanya berukuran kecil dengan permukaan tanah dan
berlumpur ketika hujan turun. Kendaraan darurat seperti ambulan dan pemadam kebakaran
tidak bisa masuk ke lokasi ketika bencana terjadi. Perbaikan dan pelebaran jalan telah
membuka akses bagi kendaraan pada waktu evakuasi. Wawancara dengan warga juga
mengungkapkan bahwa perbaikan dan pengecoran jalan telah membuat jalan tersebut lebih
nyaman digunakan sebagai akses sehari-hari sekaligus berfungsi sebagai jalur evakuasi
manakala bencana banjir bandang atau bencana liannya terjadi (Gambar 16). Mereka
membayangkan bahwa mereka bisa menggunakan sepeda motor, atau bahkan berlari dengan
cepat dan nyaman ketika bencana banjir menerjang kembali.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
52
Gambar 15 Jalan sebelum dan setelah intervensi PRBBK yang ditujukan untuk memperbaiki akses dalam
proses evakuasi dalam situasi bencana di kelurahan Santi
Foto oleh KSM Santi and Hilda Arum Nurbayyanti
Lebih jauh, perbaikan jaringan drainase dan jalan telah memberikan rasa aman tersendiri bagi
warga manakala bencana datang. Pada 2016, banjir bandang merupakan peristiwa traumatik
bagi banyak warga. Sejak itu, tiap kali hujan lebat turun, mereka merasa cemas bahwa hujan
yang lebat akan menyebabkan terjadinya banjir bandang yang dapat merenggut harta benda
bahkan hidup mereka. Meskipun perbaikan infrastruktur belum terbukti mampu mengatasi
masalah banjir bandang, tetapi ini telah mengurangi kekhawatiran warga. Dengan perbaikan
jalan dan jaringan drainase, mereka merasa lebih aman dan berpikir bahwa hal itu akan
mengurangi risiko yang disebabkan oleh banjir bandang. Di bawah ini merupakan beberapa
narasi ekspresi warga tentang perasaan lebih aman dari bencana banjir bandang setelah
infrastruktur-infrastruktur tadi diperbaiki atau dibangun.
W, penerima manfaat, Kelurahan Pane (10 Februari 2019)
"Dengan adanya drainase bisa membantu ketika banjir, karena airnya jadi cepat
surut, ngga ada air yang tergenang masuk rumah, airnya kan menjadi lebih lancar
jadi ngurangi dampaknya. Karena daerah kita wilayah banjir, pasti akan ada banjir
lagi tapi sudah tenang karena ada drainasenya sudah berfungsi".
J, Ketua BKM Selamat Kelurahan Santi, (18 Februari 2019)
"Kalau dari pengalaman paska banjir 2016 itu kan kita betul-betul merasakan pada
saat evakuasi. Karena memang evakuasi susah, satu jalur ini aja kan… Kan dulu
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
53
sebelum dibangun jalan inspeksi ini ngga bisa dilewati, karena kondisinya agak terjal
dan becek, jadi sulit untuk evakuasi warga. Warga larinya ke jalan utama yang sudah
dilalui aliran banjir, ngga bisa dilewati lagi. Bukan kita mengharapkan banjir, tapi jika
kita lihat kemarin itu pada saat banjir 2016, kalo ada banjir jadi warga ngga terlalu
khawatir lagi karena agak mudah larinya ke sini (lingkungan RT 06 yang datarannya
lebih tinggi). "
Harapan lain dari adanya program PRBBK adalah meningkatnya kapasitas warga sekaligus
terbangunnya resilensi mereka dalam menghadapi bencana banjir. BKM dan KSM menjelaskan
bahwa intervensi PRBBK ditujukan untuk mengurangi risiko bencana, terutama dengan
memperbaiki akses (jalur) evakuasi ketika terjadi bencana. Mereka memperkenalkan
mekanisme peringatan bencana kepada warga dan melatih warga tersebut untuk selalu siap
siaga dalam menghadapi bencana.
Penelitian ini menemukan bahwa program PRBBK telah memperkenalkan warga mengenai
pengetahuan tentang evakuasi bencana. Berdasarkan wawancara dengan anggota BKM dan
KSM, mereka mengakui bahwa program PRBBK telah memperkenalkan mereka tentang
beberapa pengetahuan terkait evakuasi, menentukan titik evakuasi, dan menyampaikan
informasi tentang evakuasi kepada warga. Program ini telah membuat mereka mulai berpikir
tentang akses untuk proses evakuasi ketika bencana terjadi. Wawancara dengan warga di dua
kelurahan juga menunjukkan bahwa program yang dilaksanakan di sana telah memberikan
mereka informasi tentang jalur evakuasi yang jalas. Sebelum program ini, mereka bingung
kemana mereka harus menyelamatkan diri ketika banjir bandang menerjang.
Namun demikian, studi ini juga menemukan bahwa PRBBK baru memberikan dampak yang
terbatas terhadap penguatan kapasitas secara keseluruhan dari BKM, KSM, dan warga
mengenai bagaimana mempersiapkan diri, bersiaga, dan mengantisipasi bencana banjir
bandang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan anggota BKM dan KSM, peran
mereka dalam penguatan kapasitas warga memang tidak optimal. Mereka mengakui bahwa
tidak ada pelatihan yang cukup tentang proses evakuasi untuk mempersiapkan mereka dalam
suasana yang real (bencana). Mereka pun tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk
menguatkan institusi lokal dan kolektivitas warga untuk memastikan ketersediaan persediaan
kebutuhan dasar dalam proses evakuasi maupun di tahapan recovery setelah bancana terjadi.
4.3 Hambatan dalam Mewujudkan Intervensi PRBBK
Studi ini mengidentifikasi tiga faktor utama yang telah menghasilkan dampak positif dari
pembangunan dan perbaikan infrastruktur dalam mengurangi risiko banjir kecil. Namun,
ketiganya tidak begitu berdampak terhadap penguatan kapasitas dan resiliensi warga,
terutama dalam mengurangi risiko bencana banjir bandang.
Faktor pertama dalah kompleksitas masalah bencana banjir bandang itu sendiri. Berdasarkan
wawancara dengan pejabat dari badan penanggulangan becana di tingkat kota pada 6 dan 19
Februari 2018, Bima merupakan daerah dengan risiko bencana banjir yang tinggi di Indonesia.
Banjir bandang terjadi secara rutin, termasuk yang terjadi pada 2016 yang telah membuat lebih
dari 100.000 warga mengungsi. Bencana banjir yang relatif rutin terjadi ini disebabkan oleh
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
54
kombinasi antara curah hujan yang tinggi, topografi Bima yang berada lama cekungan,
buruknya sistem drainase, serta pembangunan perumahan dan pengurangan tutupan hutan di
daerah hulu (lihat juga Yuniartanti, 2018).
Informan kunci yang kami wawancara juga menekankan bahwa penurunan tutupan-vegetasi
juga dipicu oleh kebijakan gubernur Nusa Tenggara Barat periode 2008-2018. Gubernur kala
itu mendorong program peternakan sapi, perkebunan jagung, dan rumput laut (dikenal dengan
PIJAR), serta menyedikan insentif bagi warga untuk menanam jagung, memelihara sapi,
membudidayakan rumput laut. PIJAR merupakan program utama dari gubernur dan disebut
sebagai rencana program jangka panjang dari NTB dalam rentang 2005-2025 (Bappeda, 2014).
Sejak 2008, masyarakat mulai membuka perkebunan jagung di area hutan dan bukit. Menurut
informan yang kami wawancara, di dataran tinggi NTB dalam sepuluh tahun terakhir telah
terjadi konversi lahan yang signifikan dari sebelumnya hutan menjadi kebun-kebun jagung.
Ini berarti bahwa sulit untuk melakuan mitigasi bencana banjir bandang dengan hanya
menggunakan kerangka pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Penyebab dari banjir
bandang melibatkan aspek struktural dan tata kelola pada level regional (provinsi dan kota).
Mitigasi bencana banjir bandang, karenanya, memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan
cara peningkatan tutupan hutan di sisi hulu, meningkatkan jaringan drainase yang lebih
terintegrasi di tingkat regional/kota. Terlepas dari peningkatan fungsi infrastruktur dalam
mengurangi risiko ‘banjir kecil’, program PRBBK belum mampu mengembangkan solusi untuk
mengatasi tiga masalah tersebut, dan beberapa masalah mungkin memang berada di luar
cakupan program.
Kompleksitas masalah banjir bandang di atas berkaitan dengan faktor kedua, yaitu masalah
implementasi program PRBBK dalam mendukung pengurangan risiko bencana banjir bandang.
Seperti telah dibahas di atas, sulit bagi program ini untuk menangani masalah mitigasi bencana
banjir bandang secara efektif dan komprehensif. Namun demikian, program ini diharapkan
dapat menangani masalah mitigasi ini dari sisi penguatan kapasitas dan resiliensi warga. Hal ini
dapat dilakukan misalnya dengan menyediakan BKM dan KSM dengan alat untuk
memperkirakan dan memberikan peringatan dini tentang akan adanya banjir bandang.
Penelitian ini mengidentifikasi bahwa terdapat dua alasan yang berkaitan dengan terbatasnya
dampak dari program di atas. Pertama, adalah karena program itu sendiri tidak menyediakan tim
dengan keahlian dalam penataan bencana. Beberapa studi telah mengidentifikasi beberapa
kendala dalam mengembangkan sistem peringatan bencana banjir bandang yang akurat dan
tepat waktu, termasuk dalam menentukan alat perkiraan yang tepat dan cocok dengan konteks
bencana banjir bandang (WMO, 2012). Para ahli, jika ada, dapat berperan penting dalam
memberikan saran dan ide tentang ragam infrastruktur yang dapat dibangun maupun training
yang dibutuhkan oleh warga untuk membangun kapasitas dan resiliensi mereka.
Alasan kedua adalah tidak adanya pendidikan dan training untuk anggota BKM, KSM, dan warga.
Menurut penuturan BKM dan KSM, mereka tidak pernah mendapatkan training yang secara
khusus melatih mereka tetang cara memandu warga dalam proses evakuasi ketika bencana.
Mereka hanya mendapatkan informasi terbatas tentang hal tersebut dari faskel dan koordinator
kota. Untuk memahami sistem peringatan bencana dan cara mereka dapat merespon situasi ketika
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
55
bencana (akan) datang, dibutuhkan serial pendidikan dan training. Pengelolaan mitigasi bencana
banjir bandang juga perlu menerapkan pendekatan partisipatif untuk membuat petugas maupun
warga paham mengenai risiko dan tanggung jawab masing-masing dalam menghadapi bencana
tersebut (WMO, 2012).
Lebih lanjut, penelitian ini menemukan simpulan bahwa tidak adanya pendidikan dan pelatihan
untuk warga ini disebabkan tim pelaksana program di kelurahan lebih fokus pada kegiatan-
kegiatan penataan kawasan kumuh daripada pada pengurangan risiko bencana. Di Bima,
program didesain dengan mengombinasikan kerangka penataan kawasan kumuh dengan
pengurangan risiko bencana. Tim pelaksana program lebih fokus pada program penataan
karena mereka memiliki lebih banyak pengalaman dalam membangun infrastruktur perkotaan
di tingkat lokal. Selain itu, mereka tidak mendapatkan pendampingan dan panduan yang jelas
dari faskel tentang bagaimana persisnya menggunakan dana program untuk mencapai tujuan-
tujuan terkait pengurangan risiko bencana. Fokus dari pelaksana program ini dapat dilihat dari
hasil-hasil program penataan, misalnya dalam bentuk penyediaan atau perbaikan infrastruktur,
di Bima yang lebih banyak dirasakan oleh warga di dua kelurahan yang diteliti (lihat Bab 2).
Faktor ketiga berkaitan dengan minimnya dukungan dari sisi konteks kebijakan (policy
environment), terutama di tingkat kota dan provinsi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
kebijakan gubernur yang menyediakan insentif bagi penanaman jagung (yang kemudian
mendorong warga membuka lahan untuk menanam jagung) telah mendorong hilangnya area
hutan di daerah hulu. Karenanya, mitigasi bencana yang efektif juga memerlukan manajemen
bencana untuk merencanakan dan melaksanakan solusi mitigasi yang komprehensif, misalnya
dengan merehabilitasi dan meningkatkan kondisi sistem drainase secara keseluruhan,
mengubah perencanaan dan penggunaan lahan, dan memperbaiki struktur tatakelola yang
memberikan kewenangan dan dukungan nuntuk mengeksekusi solusi-solusi yang diperlukan.
Di Bima, badan penanggulangan bencana di Kota Bima telah membangun lima puluh sumur
resapan dan memberikan saran kepada kelurahan Santi dan Pane untuk membangun
infrastruktur yang berfungsi dengan baik dalam meminimalisasi efek banjir kecil. Selain itu,
untuk mendukung upaya-upaya dalam mengurangi bencana banjir bandang, badan tersebut
juga telah menyusun Tim Siaga Bencana Kelurahan atau TSBK. Pembentukan TSBK ditujukan
untuk membangun kesiapan dan kesiagaan dalam sistem peringatan bencana, evakuasi, dan
recovery pascabancana. Anggota TSBK, misalnya, diberikan pengetahuan tentang bagaimana
melakukan evakuasi, menentukan titik kumpul (evakuasi), mengumpulkan informasi-informasi
awal melalui aplikasi yang mengukur curah hujan dan ketinggian air sungai yang kemudian akan
ditelaah di setiap kelurahan.
Sayangnya, BPBD tidak memiliki kewenangan dan dana yang cukup untuk
mengimplementasikan solusi pencegahan bencana banjir yang efektif. Keputusan untuk
menghentikan pembangunan perumahan dan perkebunan jagung di daerah hulu, misalnya,
berada di luar kewenangan BPBD. Tidak ada sinergi antara TSBK di kelurahan dengan program
PRBBK meskipun kedua program tersebut memiliki perhatian yang sama terkait mitigasi
bencana.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
56
S, Korkot Kota Bima, (5 Februari 2019)
“Program PRBBK tidak akan berjalan maksimal apabila tidak ada komitmen bersama
dalam program pengurangan resiko bencana. Permasalahan bencana di Kota Bima
belum menangani sumber masalah yaitu perambahan hutan dan alih fungsi lahan
pertanian di kawasan perbukitan. Jika hal ini belum teratasi, implementasi program
PRB minim hasilnya, infrastruktur yang terbangun akan hilang atau rusak ketika banjir
bandang terjadi kembali”.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
57
B A B 5
P E M A N F A A T A N D A N P E M E L I H A R A A N
I N F R A S T R U K T U R Y A N G D I B A N G U N P N P M
P E R K O T A A N 2 0 1 2 - 2 0 1 4
Bab ini menjawab pertanyaan penelitian ketiga mengenai kualitas pemanfaatan infrastruktur
setelah program PNPM Perkotaan (reguler) selesai, terutama yang dibangun pada periode
2012-2014. Temuan-temuan pada bagian ini menyajikan informasi tentang infrastruktur-
infrastruktur yang dimanfaatkan dengan baik maupun yang tidak, diikuti dengan penjelasan
tentang alasan perbedaan tersebut muncul.
Secara metodologi, penelitian ini menghadapi beberapa kendala dalam mengidentifikasi
infrastruktur-infrastruktur yang dibangun pada periode tersebut. Pada mulanya, studi akan
memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada arsip program PNPM Perkotaan atau pada
Sistem Informasi Manjemen (SIM) untuk mengidentifikasi infrastruktur yang dimaksud, tetapi
data yang diperlukan hampir selalu tidak tersedia. Ada beberapa daftar yang tidak tersedia dari
beberapa tahun program yang berbeda di semua kota. Menghadapi kendala ini, kami akhirnya
mendapatkan daftar infrastruktur yang diperlukan dari beberapa informan kunci seperti ketua
RW, RT, fasilitator, dan orang tua, yang mengetahui kegiatan PNPM Perkotaan pada periode
Well-maintained MCK in Kelurahan Suryatmajan. Photo by Mulyana
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
58
2012-2014. Namun demikian, para informan kunci ini pun tidak selalu mengingat semua
infrastruktur yang dibangun pada periode tersebut.
Di tengah keterbatasan ini, kami berhasil mengidentifikasi beberapa infrastruktur yang
dibangun pada periode 2012-2014. Jenis infrastruktur yang paling umum dibangun adalah
jalan, drainase, dan rehabilitasi rumah, diikuti dengan infrastruktur sanitasi (MCK dan pompa
air), dan gerobak sampah. Di lima dari enam kelurahan, dana PNPM Perkotaan digunakan untuk
membangun jalan, drainase, termasuk jembatan dan titian. Infrastruktur populer lainnya
adalah MCK. Di lima kelurahan, warga memanfaatkan PNPM untuk membangun MCK serta
pengolahan limbah. Hanya dua kelurahan (Gowongan dan Pane) yang menggunakan dana itu
untuk meningkatkan akses pada air bersih. Selain jalan, drainase, dan sanitasi, warga di empat
kelurahan juga menggunakan dana untuk merehabilitasi rumah-rumah warga. Di Banjarmasin,
dana PNPM Perkotaan digunakan untuk membeli gerobak sampah. Daftar infrastruktur yang
dibangun pada periode 2012-2014 disajikan pada Tabel 5 di bawah ini.
Tabel 5 Fungsi dan pemanfaatan infrastruktur yang dibangun pada periode PNPM 2012-2014
Infrastruktur Jumlah
Fungsionalitas Penggunaan
Kota Berfungsi
Tidak Berfungsi
Digunakan Tidak
Digunakan
Jalan + Jembatan + titian
Tidak ada informasi
detail
Semua koridor yang diidentifikasi
- semua
koridor yang diidentifikasi
- Yogyakarta
Lebih dari dalam 3
gang
semua koridor yang diidentifikasi
- semua
koridor yang diidentifikasi
- Banjarmasin
3gang 3 - 3 - Banjarmasin
Tidak ada informasi
detail
semua koridor yang diidentifikasi
- semua
koridor yang diidentifikasi
- Bima
1 gang 1 - 1 - Bima
Drainase Tidak ada informasi
detail
semua koridor yang diidentifikasi
- semua
koridor yang diidentifikasi
- Bima,
Banjarmasin, Yogyakarta
MCK
2 2 - 2 - Yogyakarta
6 5 1 4 1 Yogyakarta
9 7 2 - 7 Bima
3 3 - - 3 Bima
Air Bersih (penyediaan pompa air)
1 1 - 1 - Yogyakarta
2 1 1 - 1 Bima
Rumah rehabilitasi
49 46 3 46 Yogyakarta
Sedikit rumah di setiap RW
- - Semua
rumah yang diidentifikasi
- Yogyakarta
3 - - 3 3 Bima
7 - - 7 7 Bima
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
59
Infrastruktur Jumlah
Fungsionalitas Penggunaan
Kota Berfungsi
Tidak Berfungsi
Digunakan Tidak
Digunakan
Tempat Sampah
10 0 10 0 0 Banjarmasin
5.1 Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur yang Dibangun PNPM Perkotaan Periode 2012-2014
Dengan keterbatasan data infrastruktur yang diperlukan, kami mengidentifikasi tiga kategori
pemanfaatan infrastruktur yang dibangun PNPM Perkotaan periode 2012-2014 (Tabel 6).
Kategori pertama adalah pemanfaatan infrastruktur yang tinggi. Infrastruktur di kategori ini
masih berfungsi dengan baik seperti seharusnya serta terpelihara dengan baik. Kategori kedua
adalah infrastruktur yang masih berfungsi namun kurang dimanfaatakan. Adapun, kategori
ketiga adalah infrastruktur yang tidak dimanfaatkan karena tidak berfungsi.
Dengan melihat kategorisasi di atas, studi ini menemukan bahwa sekitar 60% dari infrastruktur
yang dibangun PNPM Perkotaan pada periode 2012-2014 di enam kelurahan, masuk dalam
kategori pertama. Jalan, termasuk jembatan dan titian, serta drainase yang dibangun pada masa
itu masih berfungsi dan dimanfaatkan oleh para penerima manfaat. Hampir semua rumah
(yang direhabilitasi) masih ditinggali oleh warga.
Sementara itu, ada sekitar 15% infrastruktur yang dibangun yang masih berfungsi namun kurang
dimanfaatkan. Lebih dari setengah MCK di enam kelurahan pemanfaatannya menurun.
Di kategori terakhir, terdapat sekitar 25% infrastruktur yang rusak atau tidak berfungsi. Gerobak-
gerobak sampah di Banjarmasin, misalnya, tidak pernah dimanfaatkan.
Tabel 6 Kategori penggunaan infrastruktur yang dibangun pada masa PNPM 2012-2014
No Kategori Infrastruktur Jumlah Lokasi
1 Infrastruktur pemanfaatan tinggi (infrastruktur fungsional dan terpelihara dengan baik)
Jalan, jembatan, Semua koridor yang diidentifikasi (100%)
Bima (Santi & Pane), Yogyakarta (Gowongan), Banjarmasin (Alalak Selatan & Melayu)
Drainase Semua koridor yang diidentifikasi (100%)
Bima (Santi & Pane), Yogyakarta (Gowongan), Banjarmasin (Alalak Selatan & Melayu)
Rumah rehabilitasi Sebagian besar rumah (lebih dari 95 %)
Yogyakarta (Gowongan & Suryatmajan), Bima (Santi & Pane)
MCK 6 (30%) Yogyakarta (Gowongan & Suryatmajan)
Pompa air 1 (33.3%) Yogyakarta (Gowongan)
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
60
No Kategori Infrastruktur Jumlah Lokasi
2 Infrastruktur berfungsi tetapi kurang dimanfaatkan
MCK 11 (55%) Yogyakarta (Gowongan), Bima (Santi & Pane)
Pompa air 1 (33.3%) Bima (Pane)
3 Tidak ada pemanfaatan (infrastruktur yang disfungsional/ rusak)
Pompa air 1 (33.3%) Bima (Pane)
MCK 3 (15% ) Bima (Santi), Yogyakarta (Gowongan)
Rumah rehabilitasi 3 (kurang dari 5%)
Yogyakarta (Suryatmajan)
Tempat sampah 10 (100%) Banjarmasin (Melayu)
Infrastruktur jalan, termasuk jembatan dan titian, masih berfungsi seperti seharusnya.
Berdasarkan observasi, dari semua jalan yang teridentifikasi, jembatan dan titian relatif
memiliki struktur yang baik meskipun terdapat retakan-retakan kecil pada jalan beton atau
paving blok yang berlumut. Infrastruktur-infrastruktur ini masih berkondisi baik karena para
pegawai kelurahan secara rutin memperbaikinya dengan dana-dana dari program lain (akan
dijelaskan di bagian selanjutnya).
Jalan, jembatan, dan titian tidak hanya digunakan oleh warga setempat, tapi juga oleh orang-
orang dari luar. Jalan sering dilewati oleh para pejalan kaki dan para pengguna kendaraan
bermotor, terutama sepeda motor. Berdasarkan observasi, jalan-jalan yang dibangun paling
ramai digunakan pada pagi hari ketika warga memulai kegiatan mereka.
Sistem drainase berfungsi dengan baik, air hujan yang masuk ke sana dapat mengalir lancar
menuju sungai terdekat sehingga mengurangi genangan air di jalan. Di beberapa permukiman
yang tidak menggunakan IPAL, sistem drainase juga mengalirkan limbah cair menuju sungai.
Ketika hujan turun lebat, beberapa bagian dari drainase di Yogyakarta dan Bima memang sedikit
tersumbat oleh sampah. Namun, warga dapat mengatasi masalah ini dengan membersihkan
drainase sebelum hujan deras turun.
Para penerima manfaat program rehabilitasi rumah di Gowongan, Suryatmajan, Santi, dan Pane
masih memelihara rumah mereka dengan baik. Dana PNPM kala itu digunakan untuk
memperkuat struktur rumah mereka, dan sampai saat ini rumah-rumah tersebut masih terlihat
memiliki struktur yang kokoh. Para penerima manfaat tersebut juga masih tinggal di rumah-
rumah mereka dan secara rutin memperbaikinya jika terdapat kerusakan-kerusakan kecil yang
tidak memerlukan biaya yang besar, seperti dengan mengecat rumah, mengaci dinding, serta
memperbaiki atap dan genting. Beberapa tahun setelah rumah-rumah tersebut direhab,
kebanyakan rumah-rumah tersebut masih ditinggali oleh warga. Namun demikian ada tiga
rumah di Suryatmajan yang dihancurkan karena ada pembangunan hotel.
MCK yang dibangun pada fase PNPM Perkotaan 2012-2014 digunakan secara berbeda-beda
yang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Tabel 7 menjelaskan secara detil tipe-tipe
pemanfaatan MCK yang dimaksud.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
61
Table 7 Penggunaan MCK yang dibangun PNPM Urban 2012-2014
No MCK Lokasi Jumlah Alasan
1 Infrastruktur pemanfaatan tinggi (infrastruktur fungsional dan terpelihara dengan baik)
Gowongan 4 - Terawat dengan baik Suryatmajan 2
2 Infrastruktur berfungsi tetapi kurang dimanfaatkan
Pane 3 - Konflik dalam pemeliharaan - Sebagian besar penduduk memiliki
MCK sendiri Santi 7
Gowongan 1 - Pengguna tidak nyaman menggunakan MCK karena lokasi 'sibuk'
3 Tidak ada pemanfaatan (infrastruktur yang disfungsional/rusak)
Santi 2 - Konflik dalam pemeliharaan - Dibongkar dengan konstruksi jalan Gowongan 1
Enam dari dua puluh MCK, atau sekitar 30%, masih sering digunakan oleh warga di Yogyakarta
untuk mandi. Meskipun terdapat lumut pada dinding dan lantainya, lampu di kamari-kamar
mandi tersebut masih berfungsi dengan baik. Air pun selalu tersedia untuk keperluan mandi
atau mencuci (Gambar 17).
MCK di Suryamajan dan Gowongan masih digunakan oleh warga lokal. Mereka menggunakan
MCK untuk mandi dan mencuci, terutama di pagi dan sore hari. Warga yang menggunakan MCK
komunal dan umum biasanya tidak memiliki MCK di rumah sendiri, mereka sangat bergantung
pada MCK umum ini untuk kegiatan sehari-hari.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
62
Gambar 16 MCK yang sering digunakan di Yogyakarta
Foto oleh Muklas Aji Setiawan and Mulyana
Tanda di MCK Suryatmajan
Foto oleh Mulyana
Kotak 4: MCK bersih kami
“Kami menggunakan toilet dan kamar mandi (umum). (Fasilitasi tersebut) disediakan untuk keluarga yang tidak memiliki toilet pribadi seperti kami. Saya hanya bekerja sebagai tukang parkir. Ada 20 keluarga lain seperti kami yang menggunakan MCK. Kami hanya membayar Rp10.000 (per rumah tangga) untuk biaya listrik dan kebersihan yang dikerjakan setiap minggu. In termasuk murah karena kami serumah tinggal berenam. Sebelumnya kami ikut membersihakan MCK).. tapi hasilnya tidak terlalu bersih. Lalu Pak RT mengubah sistemnya. Ia mengumpulkan uang dari kami dan menggunakannya untuk membayar tukang bersih-bersih. MCK pun sekarang menjadi bersih (gambar sebelah kanan). Pak RT pun menyediakan kotak sumbangan (gambar sebelah kiri) untuk orang luar yang menggunakan MCK” (Pak M, Suryatmajan, 19 Februari 2019).
Toilet Bersih di Suryatmajan
Foto oleh Mulyana
Sayangnya, kebanyakan dari MCK, sebelas dari dua puluh MCK (55%), tidak banyak digunakan
oleh warga. Dan sepuluh dari sebelas MCK ini berada di Bima. Satu pompa air di Pane juga
masuk dalam kategori ini. Dari segi fungsi, MCK dan pompa air di Pane masih berfungsi
meskipun beberapa bagiannya hilang. Di Bima, program PNPM Reguler membangun beberapa
MCK, tetapi tidak disertai dengan penyediaan air atau listrik. Karenanya, warga yang
menggunakan MCK harus menyediakan air dan listrik dari mereka sendiri.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
63
Kebanyakan infrastruktur basah seperti sepuluh MCK dan pompa air di Bima penggunaanya
berkurang, dari sebelumnya digunakan oleh sepuluh rumah tangga menjadi hanya empat
sampai lima rumah tangga saja. Ini di antaranya disebabkan oleh para pengguna tersebut kini
telah membangun kamar mandi di rumahnya masing-masing yang disertai dengan sumber air,
misalnya yang berasal dari sumur dan/atau pompa air. Karenanya, mereka tak lagi memerlukan
MCK umum. Tidak seperti di Yogyakarta, warga di Bima memiliki lahan di sektiar rumah yang
lebih luas untuk membangun MCK sendiri. Mereka pun memiki kondisi ekonomi yang lebih baik
daripada warga di Yogyakarta. Lepas dari itu, rumah-rumah tangga yang masih menggunakan
MCK komunal masih secara telaten membersihkan dan memelihara fasilitas tersebut.
Penurunan tangkat penggunaan MCK juga disebabkan oleh konflik dalam proses pemeliharaan.
Rumah tangga yang terdekat dengan MCK tersebut merasa telah melakukan lebih banyak hal
untuk memelihara fasilitas tersebut termasuk mengganti bola lampu. Namun, pengguna-
pengguna lainnya tidak ikut memelihara MCK komunal. Karenanya, rumah tangga tadi
memutuskan untuk mengunci MCK untuk mereka sendiri.
Para pengguna salah satu MCK di Gowongan memiliki alasan yang berbeda tentang tidak banyak
menggunakan MCK tersebut, yaitu karena lokasinya yang berada di depan jalan di bantaran
sungai yang ramai. Mereka merasa tidak nyaman menggunakan fasilitas MCK karena banyak
orang berlalu lalang, dan karenanya sebagian dari mereka memilih untuk menggunakan MCK
umum lain yang berlokasi di area permukiman. Karena jarang digunakan, kondisi MCK tersebut
pun menurun. Lantainya kotor, tidak ada listrik, dan air yang tersedia pun sangat sedikit.
Tiga MCK (15%) masuk ke dalam kategori ketiga, yaitu tidak digunakan karena dua di antaranya
(di Bima) ditutup dan satu lagi (di Yogyakarta) diruntuhkan. Dua MCK pertama ditutup oleh
rumah tangga yang tinggal didekatnya karena mereka merasa terganggu oleh kegiatan di MCK.
Banyak warga yang datang ke MCK dan melewati rumah mereka dan tidak membersihkan MCK
dengan baik. Selain itu, mereka pun terganggu dengan bau tidak sedap yang berasal dari MCK.
Mereka akhirnya memutuskan untuk mengunci MCK tersebut dan memegang kuncinya sendiri
(Gambar 18). Satu MCK yang ada di Yogyakarta diruntuhkan karena proses pembangunan jalan.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
64
Gambar 17 MCK ditutup oleh rumah tangga terdekat di Bima
Foto oleh Hilda Arum Nurbayyanti
Gerobak-gerobak sampah dan pompa air bahkan tidak digunakan sama sekali. Gerobak sampah
yang ada di Banjarmasin dan pompa air di Pane sudah tidak ada. Salah satu pompa air di Pane
dirusak oleh pemilik lahan (tempat pompa tersebut dipasang) karena terdapat konflik dalam
penggunaannya. Berdasarkan wawancara dengan ketua RT di Banjarmasin, dana dari PNPM
Perkotaan 2012-2014 digunakan untuk membeli sepuluh gerobak sampah. Namun, semuanya
tidak pernah digunakan dan keberadaannya sekarang tidak diketahui.
5.2 Institusi Pemeliharaan
Berdasarkan uraian di bagian sebelumnya, bagian ini akan menjelaskan alasan terdapatnya
infrastruktur yang masih berfungsi dan dipelihara denan baik, sementara sebagian lainnya
kurang digunakan atau bahkan tidak digunakan sama sekali, dan pada akhirnya menjadi tidak
berfungsi total.
Banyak jalan, jembatan, dan drainase berfungsi dengan baik dengan kondisi yang baik pula
karena pihak kelurahan secara rutin memperbaiki jalan dan drainase dengan menggunakan dana
dari program lain. Hal ini menunjukkan bahwa kelurahan memiliki kemampuan untuk
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
65
mengintegrasikan beberapa progam yang berbeda
untuk memastikan keberlanjutan infrastruktur yang
dianggap penting seperti jalan dan jembatan. Di
Yogyakarta, para petugas kelurahan menggunakan
dana Kotaku dan Dinas Perkim untuk memperbaiki
jalan yang dibangun pada masa PNPM Perkotaan
2012-2014. Ini juga terjadi di Melayu dan Alalak
Selatan, Banjarmasin. Kelurahan di Banjarmasin
merehabilitasi jalan menggunakan program jaring
aspirasi legistlatif (Jaring Asmara) dan menggunakan
anggaran kelurahan (Gambar 19). Karena jalan dinilai
sebagai infrastruktur yang penting untuk
masyarakat, kelurahan memiliki lebih banyak insentif
dan keinginan untuk menggunakan opsi-opsi
pendanaan lain guna memelihara dan memastikan
keberlanjutan infrastruktur jalan, bersamaan dengan
sistem drainase.
Gambar 18 Jalan yang telah direhabilitasi di Banjarmasin menggunakan dana Jaring Asmara
Foto oleh Bewanti Dahani S.
Sebaliknya, seperti dijelaskan ringkas di bab
sebelumnya, dua MCK di Bima jarang digunakan karena adanya konflik pemeliharaan. Namun,
tidak ada aturan yang jelas dan adil dalam pemeliharaan fasilitas. Terdapat keluarga yang
merasa bahwa mereka telah bekerja lebih berat dan berkontribusi lebih banyak daripada yang
lainnya untuk memelihara MCK. Mereka membayar tagihan listrik rutin, membersihkan MCK,
dan mengganti lampu bohlam. Mereka telah meminta para pengguna fasilitas lain untuk turut
Kotak 5: Pemilik tanah, petugas pemeliharaan yang bertanggung jawab
Salah satu MCK di RT 03, Kelurahan
Santi, Bima dibangun dengan
menggunakan dana dari program
PNPM reguler pada tahun 2012. MCK
tersebut berlokasi di sepetak tanah
milik Ibu R (65 tahun) yang tinggal di
sebelah kanan MCK. Sejak MCK
tersebut dibangun, Ibu R-lah yang
membersihkan MCK dan membayar
biaya listriknya. Pengguna lain—yang
tak lain adalah tetangga Ibu R—tidak
pernah ikut membersihkan MCK,
membayar biaya listrik, maupun
mengganti bohlam yang putus. Ibu R
bahkan membayar sendiri seorang
tukang untuk memperbaiki atap MCK.
Hanya jika ada kerusahakan yang
memperlukan dana besar—misalnya
untuk perbaikan septic tank—
warga/pengguna lain diminta
sumbangannya secara sukarela. Untuk
keperluan itu, Ibu R berinisiatif
mendatangi rumah para pengguna
tersebut untuk meminta sumbangan
sukarela untuk memperbaiki septik
tank tadi. Ia berkata, “…hmm kita tidak
buruh (bantuan) mereka karena kita
masih punya uang, suami saya bekerja
dan saya bisa membersihkan MCK
sendiri..”. Salah seorang pengguna
MCK, Ibu F (35), mengonfirmasi bahwa
Ibu R harus bertanggungjawab dalam
memelihara MCK karena fasilitas
tersebut berada di tanah milikinya.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
66
berkontribusi, tapi tidak ada respon. Keadaan Ini pada akhirnya menciptakan ketegangan.
Ketua RT pun tidak membantu memecahkan masalah ini. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak
ada rasa saling percaya di antara pengguna fasilitas dengan ketua RT. Pada akhirnya keluarga
yang merasa telah bekerja lebih banyak tadi memutuskan mengunci MCK untuk mereka sendiri.
Tidak seperti di Yogyakarta ketika ketua RT mengorganisasi kolektivitas warga untuk
memelihara MCK, proses pemeliharaan MCK di Bima dilakukan oleh keluarga pemilik tanah di
mana MCK tersebut dibangun. Anggota rumah tangga itu secara rutin membersihkan,
mengganti bohlam, serta membayar tagihan listrik untuk keperluan MCK (Kotak 5).
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa ketua RT memiliki peran penting dalam memastikan
keberlanjutan sebuah infrastruktur. Kedua tipe sistem yang diaplikasikan di Yogyakarta berjalan
dengan baik karena ketua RT berperan dalam mengelola dan mendisiplinkan para pengguna
fasilitas untuk mengikuti aturan yang dibuat. Ketua RT mengambil keputusan dalam
pelaksanaan sistem dan hal ini turut membangun kepercayaan para pengguna kepadanya.
Sementara itu, di Bima, para ketua RT relatif pasif dalam memastikan adanya sistem
pemeliharaan fasilitas MCK maupun dalam menyelesaikan konflik yang muncul terkait
pemeliharaan fasilitas tadi. Melihat pentingnya peran para ketua RT ini, proyek-proyek
infrastruktur harus melibatkan mereka dalam pemeliharaan infrastruktur umum.
Dalam kasus yang tidak terdapat kolektivitas dari warga, dukungan dari pemerintah kelurahan
dan kota sangat diperlukan untuk memelihara infrastruktur. Baik infrastruktur komunal maupun
infrastruktur umum memerlukan aturan dan kesepakatan yang jelas dalam hal pemeliharaan
sehingga infrastruktur tersebut bisa berfungsi dengan baik dan dimanfaatkan secara optimal.
Di Yogyakarta, masyarakat dan ketuanya telah membuat mekanisme untuk memelihara MCK.
Karenanya, sebagian besar MCK di sana masih sering digunakan bertahun-tahun setelah
program PNPM berakhir. Namun, sebaliknya, di Bima warga tidak memiliki institusi lokal yang
kuat sehingga kebanyakan MCK di sana tidak terpelihara dengan baik karena munculnya konflik
dalam hal pemeliharaan. Pemeliharaan MCK di Bima, dengan demikian, memerlukan dukungan
dari pemerintah.
Sayangnya, tidak ada dukungan dari pemerintah kota untuk memelihara atau memperbaiki
manakala fasilitas publik tadi rusak. Infrastruktur berbasis komunitas yang dibangun dengan
dana PNPM masih dianggap bukan tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab warga
itu sendiri. Ketika terdapat fasilitas yang rusak, atau ada komponen yang harus diganti,
masyarakat setempatlah yang dianggap bertanggung jawab untuk memperbaiki atau
mengganti bagian yang rusak tersebut. Padahal warga yang tinggal di permukiman kumuh
memiliki dana yang terbatas untuk memperbaiki atau mengganti komponen yang rusak.
Pemerintah kota seharusnya juga memberikan insentif bagi kelurahan untuk mendorong
mereka agar mau memelihara fasilitas-fasilitas lain, bukan hanya jalan saja.
Terakhir, penggunaan fasilitas pembuangan sampah memerlukan sistem pembuangan sampah
yang baik pada level kelurahan dan kota. Tanpa adanya dukungan lingkungan seperti itu,
tempat pembungan sampah di tengah-tengah masyarakat tidak akan digunakan sama sekali,
seperti sepuluh gerobak sampah di Banjarmasin. Saat ini tidak ada yang tahu di mana keberaan
kesepuluh gerobak tersebut. Di kelurahan Melayu, terdapat tempat pembuangan sampah
sementara (TPS) untuk mengumpulkan sampah yang dikumpulkan dalam tong-tong sampah di
permukiman warga. Petugas kelurahan, dalam hal ini tidak menyediakan sistem yang baik untuk
menghadapi masalah pembuangan sampah ini.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
67
B A B 6
S I M P U L A N D A N R E K O M E N D A S I
6.1. Simpulan
Tujuan dari studi evaluasi ini adalah untuk meneliti efek dari program penataan kawasan kumuh
(PNPM Perkotaan perpanjangan) di Yogyakarta, Banjarmasin, dan Bima. Program penataan ini
dilakukan melalui penyediaan infrastruktur dengan prioritas pada rehabilitasi rumah, jalan,
drainase, sistem pengelolaan limbah, toilet, serta penyediaan air bersih di area prioritas.
Bab 2 penelitian ini berpendapat bahwa program PLPBK telah menyajikan satu pendekatan
penataan masalah infrastruktur di kawasan kumuh seperti rumah kumuh, akses di permukiman
yang terbatas, serta sanitasi dan drainase yang buruk. Secara bersamaan program ini juga
membantu memperkuat dimensi intangible kehidupan warga.
Di semua lokasi penelitian, PLPBK telah meningkatkan fungsi dan penggunaan infrastruktur
dasar di tingkat permukiman. Warga yang tinggal di kawasan kumuh kini telah memiliki akses
yang lebih baik pada sanitasi, konektivitas jalan, jaringan drainase, selokan, serta kondisi rumah
yang lebih baik. Warga di lokasi-lokasi tersebut mengatakan bahwa perbaikan infrastruktur
telah mengatasi masalah-masalah di tempat tempat tinggal mereka seperti genangan air, akses
dan konektivitas jalan yang buruk, serta polusi. Penelitian ini menguatkan temuan-temuan
utama dari studi tentang PNPM Perkotaan yang menyimpulkan bahwa PNPM Perkotaan
Pemanfaatan jembatan yang dibangun oleh PNPM di Kelurahan Santi. Foto oleh Hilda A. N.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
68
merupakan pendekatan yang efektif untuk mengatasi permasalahan infrastruktur dasar pada
level komunitas dengan penyediaan infrastruktur yang berkualitas (Baker et. al., 2013).
Namun demikian, dalam kaitannya dengan temuan-temuan positif tersebut, studi ini pun
mengidentifikasi adanya hal yang kurang efektif dalam mengatasi masalah kurangnya area
terbuka hijau, ruang publik, dan penampungan sampah terpisah (berdasarkan kategori
sampahnya). Di samping digunakan untuk penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar, dana
program juga digunakan untuk membangun taman, balai pertemuan, dan tempat
penampungan sampah terpisah (dengan tujuan untuk proses daur ulang). Infrastruktur-
infrastruktur tersebut memang benar-benar telah dibangun dan berfungsi, tetapi semuanya
jarang atau sama sekali tidak digunakan oleh warga.
Efek lain dari program adalah naiknya harga lahan dan akomodasi. Peningkatan harga ini
berpotensi ‘memaksa’ keluarga-keluarga dengan ekonomi rendah untuk keluar dari kawasan
yang telah ditata. Risiko ini harus ditangani dengan serius mengingat kawasan kumuh biasanya
menyediakan solusi tempat tinggal bagi warga-warga dan pendatang dengan pendapatan
rendah.
Pada Bab 3, studi ini menjelaskan efek lebih jauh dari program terhadap dimensi intangible
kehidupan warga. Hal ini terjadi di area-area dengan integrasi infrastruktur yang baik. Dalam
hal ini, integrasi infrastruktur adalah kondisi ketika pembangunan infrastruktur difokuskan di
satu area prioritas disertai dengan kegiatan-kegiatan mempercantik permukiman sekitar dan
kegiatan-kegiatan pemanfaatan area yang telah ditata tersebut.
Pada Bab 3, studi ini menjelaskan efek lebih jauh dari program terhadap dimensi intangible
kehidupan warga. Hal ini terjadi di area-area dengan integrasi infrastruktur yang baik. Dalam
hal ini, integrasi infrastruktur adalah kondisi ketika pembangunan infrastruktur difokuskan di
satu area prioritas disertai dengan kegiatan-kegiatan mempercantik permukiman sekitar dan
kegiatan-kegiatan pemanfaatan area yang telah ditata tersebut.
Penelitian ini mengidentifikasi empat faktor yang memengaruhi terjadinya integrasi
infrastruktur, yaitu:
1. Kebijakan PLPBK
Dari segi kebijakan, penelitian ini menemukan beberapa persyaratan program yang
berdampak baik terhadap terjadinya integrasi. Persyaratan tersebut adalah: (i) terdapatnya
site plan sebagai instrumen perencanaan untuk memastikan terjadinya integrasi
infrastruktur di satu area prioritas; (ii) dilakukannya rekrutmen faskel dengan keahlian dalam
membuat site plan yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam tata
ruang dan arsitektur; (iii) adanya jumlah dana signifikan yang dialokasikan untuk memastikan
tersedianya infrastruktur dasar serta rehabilitasi permukiman bagi setiap area; (iv) tidak
adanya persyaratan legal-formal untuk kegiatan rehabilitasi rumah; (v) disediakannya durasi
program selama dua tahun sehingga cukup bagi para fasilitator untuk melakukan sosialisasi
kepada warga terutama mengenai kegiatan rehabilitasi permukiman (rumah-rumah).
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
69
2. Strategi dan Kapasitas para Aktor dalam Melaksanakan Program
Terkait ini, penelitian kami menemukan empat strategi dan tahapan penting yang dilakukan
para aktor untuk memastikan konsep PLPBK dilaksanakan secara maksimal sehingga
mendorong terjadinya integrasi infrastruktur yang lebih baik. Keempat strategi tersebut
adalah: (i) strategi pemililhan area prioritas berdasarkan asesmen atas kesiapan dari
pemimpin setempat (misalnya ketua RT) dan berdasarkan tingkat kompleksitas kondisi
permukiman (rumah-rumah) yang akan ditata; (ii) strategi sosialisasi yang dilakukan dengan
mengutamakan pendekatan personal dan sistematis, yang juga secara khusus memberikan
informasi kepada warga mengenai risiko dan konsekuensi dari rencana penataan
permukiman; (iii) strategi pelibatan partisipasi warga dalam proses perancangan desain
permukiman dan rumah-rumah mereka; (iv) strategi faskel dalam menyesuaikan standar dan
desain infrastruktur permukiman dengan konteks lokal tempat desain tersebut akan
dijalankan.
3. Institusi Lokal yang Kuat
Hal ini berupa kepercayaan, kepemimpinan lokal, dan aksi kolektif sebagai kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan harmoni dan integrasi antara penyediaan infrastruktur dan pemanfaatannya. Di area dengan integrasi infrastruktur yang baik (Yogyakarta), warga memiliki ikatan saling percaya dan solidaritas untuk melakukan kegiatan-kegiatan pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur di area yang telah ditata. Dalam kasus ketika kondisi-kondisi tersebut belum tercipta, untuk mewujudkannya, dapat dilakukan kegiatan fasilitasi yang baik untuk memastikan keberlanjutan program
4. Lingkungan yang Mendukung
Infrastruktur yang terintegrasi juga dimungkinkan dengan adanya referensi mengenai konsep-konsep penataan kawasan kumuh yang sesuai dengan konteks lokal. Referensi-referensi ini menyediakan ide dan panduan bagi faskel untuk mengadaptasi standar infrastruktur dari Kementerian PUPR dengan konteks lokal tempat infrastruktur tertentu akan dibangun. Proses adaptasi ini sangat penting untuk memastikan program penyediaan infrastruktur bukan hanya berhasil mengintegrasikan beragam infrastruktur, tetapi juga mengintegrasikannya dengan kegiatan-kegiatan warga setempat.
Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat efek program pengurangan risiko bencana di area
rawan banjir di Bima. Pada Bab 4, penelitian ini mengemukakan bahwa di Bima, peningkatan
akses jalan dan drainase telah berhasil mengurangi risiko banjir kecil sekaligus meningkatkan
kondisi permukiman menjadi lebih baik. Secara umum, warga mendapatkan manfaat program
terutama dari pembangunan dan perbaikan infrastruktur-infrastruktur untuk menata kawasan
kumuh seperti jalan, drainase, dan toilet.
Namun demikian, tidak seperti efek program PLPBK dalam menangani masalah-masalah di
kawasan kumuh, penelitian ini menemukan kenyataan bahwa di Bima program relatif
memberikan efek yang hanya terbatas pada hal peningkatan kesadaran dan kesiapan warga
dalam mengurangi risiko bencana banjir bandang. Program memang telah memperkenalkan
warga dengan pengetahuan teknik evakuasi dan memberikan informasi kepada mereka
tentang jalur evakuasi yang jelas. Namun, studi ini juga menemukan fakta bahwa warga tidak
diberikan kesempatan untuk melakukan latihan evakuasi. Lebih jauh, program ini pun tidak
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
70
membentuk sistem peringatan yang lengkap, pun tidak ada strategi yang jelas untuk membantu
warga dalam situasi darurat dan pada saat pemulihan (paskabencana).
Dampak yang terbatas dari kerangka program PRBBK dalam mengurangi risiko banjir bandang
di Bima ini disebabkan oleh tiga faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Ketiganya adalah
(i) sumber masalah banjir bandang di Bima berada di luar kontrol masyarakat. Banjir bandang
yang terjadi secara periodik di Bima ternyata disebabkan oleh kombinasi tingginya curah hujan,
topografi Bima di area cekungan, drainase yang buruk, berkurangnya tutupan hutan, dan
pembangunan perumahan dan perkebunan di area hulu; (iii) terbatasnya dukungan kebijakan.
Alih-alih mendukung pengurangan risiko bencana, gubernur malah turut berkontribusi
terhadap berkurangan area hutan di daerah hulu.
Penelitian ini juga diharapkan dapat mengevaluasi aspek institusi dari pemeliharaan
infrastruktur yang dibangun program PNPM Perkotaan 2012-2014. Pada Bab 5, laporan ini
menjelaskan temuan bahwa infrastruktur konektivitas—jalan, jembatan, dan drainase—masih
berfungsi dan dimanfaatkan secara reguler oleh warga. Ini terjadi diantaranya karena banyak
program di kelurahan yang juga berfokus pada infrastruktur sehingga turut mendukung
keberlanjutan dari infrastruktur-infrastruktur tersebut. Pihak kelurahan menggunakan dana
dari program-program tadi untuk memelihara jalan, jembatan, dan drainase yang dibangun
oleh program PNPM 2012-2014.
Hanya saja, beberapa infrastruktur tidak lagi berfungsi dengan baik atau terbengkalai dan tak
digunakan oleh warga karena kurang kuatnya institusi lokal dalam mendukung aspek
pemeliharaan. Infrastruktur-infrastruktur tersebut adalah MCK dan pengelolaaan sampah. Di
lokasi tempat terdapatnya institusi lokal yang kuat (Yogyakarta), infrastruktur publik seperti
MCK masih terpelihara dengan baik.
Sementara itu, di lokasi-lokasi dengan kolektivitas dan kepemimpinan lokal yang lemah (Bima),
MCK tidak lagi digunakan karena adanya konflik dalam pemeliharaan fasilitas tersebut. Hal ini
menunjukkan bukti bahwa aspek pemeliharaan masih merupakan tantangan dalam
mewujudkan infrastruktur yang berkelanjutan. Kurangnya kepercayaan dan kepemimpinan
lokal menjadi penghambat efektifnya penggunaan jenis infrastruktur tersebut.
6.2. Rekomendasi
Evaluasi studi mengidentifikasi beberapa aspek program yang dapat ditingkatkan untuk
mengoptimalkan integrasi infrastruktur dan efeknya terhadap hasil tangible dan intangible
kehidupan warga. Berdasarkan temuan-temuan studi yang dikemukakan di Bab 2, 3, 4, dan 5,
kami menyampaikan beberapa rekomendasi berikut.
Program perlu terus memastikan terwujudnya infrastruktur di satu area prioritas karena
pendekatan ini telah terbukti menghasilkan efek tangible dan intangible yang positif bagi
kehidupan warga. Kawasan kumuh merupakan manifestasi dari kemiskinan perkotaan,
kesenjangan, serta eksklusi sosial. Karenanya, efek dari penataan kawasan kumuh harus
ditujukan bukan hanya untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur dasar, tetapi juga untuk
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
71
meningkatkan dimensi intangible kehidupan warga berupa penguatan hubungan sosial dan
integrasi warga di kawasan kumuh dengan kehidupan kota secara keseluruhan.
Untuk memastikan integrasi tersebut, kebijakan program perlu melanjutkan empat ketentuan,
yaitu: (i) site planning sebagai instrumen perencanaan; (ii) durasi proyek yang tidak terbatas
hanya satu tahun anggaran; (iii) jumlah dana yang signifikan yang dialokasikan pada setiap area
yang cukup untuk membangun/merehabilitasi beragam infrastruktur dan untuk merekrut ahli-
ahli yang diperlukan; (iv) dan persyaratan yang fleksibel untuk program penataan yang cukup
dengan dokumen-dokumen administrasi sederhana.
Diperlukan modifikasi timeline untuk proyek skema Showcase (2018). Penelitian ini
memperlihatkan simpulan bahwa jumlah dana yang sama yang dialokasikan oleh program
PLPBK dan Showcase dilaksanakan dengan proses pelaksananaan dan hasil yang berbeda
terutama pada rencana penataan permukiman. Waktu proyek Showcase yang pendek
membuat fasilitator program hanya memiliki waktu yang terbatas untuk melakukan sosialisasi
program, proses perencanaan, dan pelaksanaan yang bersifat partisipatif terutama terkait
desain rehabilitasi rumah. Mereka pun tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan
sosialisasi dan diskusi dengan warga di luar area program untuk mengurangi kekecewaan atau
kecemburuan mereka. Kami menyarankan untuk program-program serupa di masa depan agar
dilaksanakan dalam rentang waktu dua tahun—tahun pertama digunakan untuk persiapan dan
perencanaan dan tahun kedua untuk pelaksanaan serta penyiapan keberlanjutan program.
Studi ini menemukan kenyataan bahwa pada tahap perencanaan, penyiapan kapasitas, dan
strategi faskel dan BKM sangat penting untuk memastikan integrasi dan pemanfaatan
infrastruktur yang efektif berdasarkan standar penataan permukiman dengan konteks lokal.
Integrasi infrastruktur yang baik seperti yang ada di Yogyakarta menunjukkan desain yang baik
yang sesuai dengan konteks lokal. Sementara itu, di Banjarmasin dan Bima, terdapat kasus
ketika infrastruktur memunculkan efek negatif. Misalnya, efek negatif dari peningkatan
infrastruktur di Alalak Selatan (dari siring ke titian ulin) yang memberikan pembelajaran bahwa
tim program harus mempertimbangkan dan mengembangkan desain sesuai standar sehingga
tidak menimbulkan efek negatif bagi warga. Dalam membangun infrastruktur di pinggir sungai,
misalnya, tim teknis harus melakukan observasi kondisi pinggiran sungai pada waktu pasang
sehingga mereka bisa mendesain infrastruktur yang tetap berfungsi dengan baik saat sungai
pasang.
Penelitian ini mengajukan dua solusi untuk membantu adaptasi konsep penataan kawasan
kumuh dengan konteks lokal tempat konsep tersebut akan diaplikasikan. Pertama, program
harus memfasilitasi diskusi dan konsultasi dengan ahli-ahli lain yang memiliki pengalaman dan
berhasil melaksanakan proyek-proyek penataan kawasan kumuh. Kedua, program perlu
meningkatkan partisipasi warga dalam proses penataan. Terkait ini, kami berkesimpulan bahwa
presentasi desain rencana penataan dalam bentuk gambar (visual) sangat membantu warga
untuk membayangkan dampak pembangunan infrastruktur terhadap rumah dan
lingkungannya. Potensi-potensi dampak ini kemudian dapat ditindaklanjuti oleh faskel. Solusi
ini diharapkan dapat menghindari efek-efek negatif pembangunan infrastruktur dan
memastikan agar infrastruktur yang telah dibangun dimanfaatkan secara optimal oleh warga.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
72
Pada tahap perencanaan, kami juga menyarankan perbaikan strategi dalam melakukan
sosialisasi mengenai proyek penataan rumah. Dalam hal ini, kami menyarankan BKM dan RT
untuk menggunakan pendekatan personal sistematik kepada warga. Pendekatan yang
dimaksud termasuk dalam menyampaikan informasi kepada warga tentang semua
konsekuensi, keuntungan, dan risiko yang mungkin muncul dari program penataan tersebut.
Sosialisasi juga perlu dilakukan terhadap warga di sekitar dan di luar area program.
Dalam proses konstruksi permukiman, kami menyarankan solusi-solusi untuk membantu warga
yang tinggal di area program dan tidak mampu membayar biaya sewa (selama rumah mereka
direhab) atau untuk biaya konsumsi pekerja. Selama proses pembangunan tempat tinggal, para
pemilik rumah-rumah tersebut harus mengeluarkan uang untuk pindah ke tempat sewaan
sementara. Dalam skema program, uang ini merupakan bentuk dari kontribusi warga (swadaya)
terhadap program. Kebanyakan warga setuju dengan ketentuan ini. Namun, sebagian warga
menghadapi kesulitan untuk membayar semua pengeluaran ini karena kondisi ekonomi yang
sangat terbatas. Dalam situasi seperti ini, program dapat melakukan intervensi untuk
membantu mengurangi beban warga tersebut dengan, misalnya, menyediakan dukungan dana
atau melalui aksi kolektif warga. Faskel dan BKM juga dapat membantu dengan memfasilitasi
warga setempat untuk menemukan jalan dalam menghadapi masalah tersebut dengan,
misalnya, menyediakan dapur umum selama proses pembangunan. Sumber dana untuk dapur
umum ini dapat dikumpulkan dari iuran warga, atau diambil dari dana yang dialokasikan untuk
membangun infrastruktur yang tidak terlalu penting seperti pembangunan balai pertemuan
dan ruang publik.
Hal tersebut mengarahkan kita untuk memikirkan ulang pendekatan dalam penyediaan
beberapa jenis infrastruktur. Studi ini menemukan hasil bahwa program ini telah secara efektif
menangani masalah-masalah infrastruktur dasar—drainase, jalan, dan selokan—, tetapi belum
memadai dalam menangani masalah terbatasnya ruang publik, ruang terbuka hijau, dan sistem
pengelolaan sampah. Berangkat dari ini, program perlu secara serius merancang solusi
penataan ruang publik dan ruang terbuka hijau yang efektif. Untuk melakukan hal tersebut,
diperlukan asesmen yang lebih baik untuk menentukan apakah infrastruktur yang dimaksud
benar-benar diperlukan. Selain itu, juga diperlukan asesmen yang lebih baik terhadap desain
infrastruktur sehingga infrastruktur tersebut dapat menarik lebih banyak pengguna karena
dikhawatirkan tanpa rencana dan tujuan yang jelas, infrastruktur tidak akan digunakan.
Sistem pengumpulan sampah secara terpisah tidak akan berjalan dan digunakan jika program
tidak menangani masalah manajemen pengelolaan sampah di tingkat kota. Sistem
pengumpulan sampah yang dirancang sebelumnya terkesan sebagai tempelan atau hanya
untuk memenuhi ceklis dari indikator-indikator kekumuhan. Program ke depan dapat
menangani masalah ini jika ia bisa bekerjasama dengan aktor lain seperti NGO10 di tingkat kota
yang bekerja dalam program-program pengelolaan sampah.
Hal itu kembali mengingatkan kita tentang pentingnya peningkatan strategi keberlanjutan
program. Implementasi program penataan kawasan kumuh yang berhasil berkaitan dengan
pemastian komunitas warga di lokasi program memililki kapasitas untuk bekerja secara kolektif.
10 Organisasasi non pemerintah atau organisasi masyarakat
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
73
Aksi kolektif yang kuat mendukung terjadinya integrasi infrastruktur yang efektif seperti yang
terjadi dalam kasus di Yogyakarta. Namun, banyak daerah yang tidak memiliki modal sosial yang
diperlukan ini. Program, dalam hal ini, perlu memulai dengan asesmen atas modal sosial yang
ada di masyarakat. Ketika modal sosial yang diperlukan itu tidak ada, program perlu
menyertakan proyek kolektif skala kecil di tingkat masyarakat bersamaan dengan program
penyediaan infrastruktur. Terkait ini, program harus memfasilitasi proyek-proyek tersebut
dengan mendukung kegiatan-kegiatan aksi kolektif di antara warga di semua tingkatan, dan
dengan warga di luar area program. Upaya-upaya tersebut dimungkinkan jika mekanisme
program menyediakan waktu yang cukup dan insentif yang cukup juga bagi faskel dan BKM
untuk memfasilitasi kegiatan warga dalam memastikan keberfungsian dan keberlanjutan
infrastruktur yang dibangun.
Untuk memastikan agar fasilitator melakukan lebih banyak kerja-kerja fasilitasi, program perlu
menyederhanakan sistem administrasi dari manajemen proyek. Setelah itu, dilakukan
pengembangan sistem insentif-disinsentif agar faskel dan BKM melakukan proses fasilitasi yang
cukup terutama pada tahap perencanaan dan pemastian keberlanjutan program. Program juga
harus mengurangi beban administrasi, termasuk menyederhanakan dokumen laporan dan
administrasi, serta mengaplikasikan sistem insentif dan disinsentif untuk mengapresiasi
pencapaian faskel dan korkot dalam memfasilitasi warga dan dalam mendukung keberlanjutan
program.
Dengan tujuan keberlanjutan, program perlu menangani masalah legalitas tanah atau
membantu meningkatkan kepastian status tanah yang warga tinggali di area program.
Penataan isu legalitas tanah dan tempat tinggal tersebut adalah salah satu cara untuk
memberikan kepastian kepada warga dalam mendukung program penataan termasuk dalam
merehabilitasi rumah mereka.
Program pun perlu menyinergikan Kementerian PUPR di tingkat nasional dengan BBWS. Seperti
dijelaskan pada Bab 3 (bagian 3.3), BBWS tidak memberikan izin untuk pembangunan di
pinggiran sungai. Masalah ini berada di luar kontrol pelaksana program di tingkat kota, seperti
BKM, faskel, dan korkot. BBWS bekerja di bawah koordinasi Kementrian PUPR. Dengan
demikian, sinergi perlu dilakukan pada tingkat nasional di antara direktorat di PUPR dengan
dukungan Bank Dunia.
Meningkatnya harga akomodasi merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari program penataan
kawasan kumuh. Meski begitu, program harus menemukan solusi untuk mengurangi efek dari
peningkatan harga yang dapat ‘memaksa’ keluarga-keluarga paling miskin meninggalkan area yang
telah ditata. Tanpa adanya strategi yang jelas untuk mendorong akses warga miskin dan pendatang
atas tanah dan tempat tinggal, mereka kemungkinan akan pindah untuk (membuat) tempat tinggal
yang lebih informal, dan orang-orang miskin akan ‘dikeluarkan’ dari permukiman-permukiman
yang layak.
Dalam kaitannya dengan peningkatakan kerangka program PRB, kerangka program ke depan
bukan hanya menekankan respon terhadap kondisi darurat, tapi juga perlu untuk menekankan
pada aspek manajemen risiko secara luas. Mitigasi bencana yang efektif memerlukan
manajemen bencana yang kuat. Hal ini dilakukan untuk merencanakan dan melaksanakan
solusi mitigasi yang komprehensif, seperti meningkatkan sistem drainase secara menyeluruh,
membangun bendungan, mengubah rencana tataruang dan tataguna lahan, dan meningkatkan
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
74
struktur tata kelola yang memberikan wewenang dan dukungan untuk melaksanakan solusi-
solusi yang diperlukan. Dengan ini peran dan tanggung jawab manajemen risiko bencana banjir
bandang juga harus ada pada tingkat kota dan provinsi. Sangat sulit untuk menangani masalah
banjir bandang hanya dengan pendekatan berbasis komunitas.
Jika ditujukan untuk mengurangi masalah banjir bandang seperti di Bima, program perlu secara
serius menggunakan pendekatan komprehensif. Program perlu merumuskan manajemen
fasilitator yang fokus pada bencana bukan hanya pada penataan kawasan kumuh. Program juga
perlu merekrut ahli-ahli dalam menangani bencana-bencana lokal. Program perlu melengkapi
pendekatan PRB berbasis komunitas dengan pendekatan yang melibatkan level-level
pemerintah yang lebih tinggi sehingga dapat terumuskan pendekatan lebih baik dalam
menangani inti masalah banjir bandang. Hal ini juga meliputi evaluasi atas kebijakan gubernur
terkait pembukaan lahan untuk perkebunan jagung dan penyediaan infrastuktur yang efektif
untuk menangani masalah banjir bandang.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
75
R E F E R E N S I
AKATIGA. (2011). Evaluation study of PNPM-Rural, AKATIGA, Bandung.
_______. (2012). Evaluation study of PNPM-Rural, AKATIGA, Bandung.
_______. (2012). Local Level Institution Study 3: Laporan Provinsi, AKATIGA, Bandung.
_______. (2015). Technical Evaluation of National Community Empowerment Program/
Village Development Strategic Plan Barefoot Engineers Training Program in Papua
and West Papua, AKATIGA, Bandung .
Baker, J.L., Burger, N., Glick, P., Perez-Arce, F., Rabinovich, L., Yoong, J., Sikoki, B., Suriastini,
W., Alfah, D., Schuler, N., Dwiyani, R., Hermissari, E., Sari, K., Shah, F., Soraya, G.,
Trohanis, Z., Weetjens, J. (2013). Indonesia - Evaluation of the urban community
driven development program : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perkotaan (PNPM-Urban) (English). Indonesia policy note. Washington, DC ; World
Bank Group.
Bank Dunia. (2015). (Draft Report) Rapid Assesment of the Neighborhood Development
Program.
Bappenas. (2013). Evaluasi PNPM Mandiri, Bappenas, Jakarta.
Bappeda of NTB Province. (2014). Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2005 – 2025, Bappeda, Mataram.
Becker, J. S.-S. (2011). Building COmmunity Resilience to Disasters: A Practical Guide for the
Emergency Management Sector. GNS Science Report.
Binswanger-Mkhize, HP, de Regt, JP & Spector, S 2010, Local and community driven
development: moving scale in theory and practice, The World Bank, Washington, DC.
Davis, M. (2006). Planet of Slums. Verso, London & New York.
Jaitman, L., & Brakarz, J. (2013). Evaluation of Slum Upgrading Programs: Literature Review
and Methodological Approaches, Technical Note, Inter-American Development Bank.
Kementerian PUPR. (2013). Pedoman Teknis PRBBK.
Kementerian PUPR. (2013). Petunjuk Teknis PRBBK.
Kementerian PUPR. (2015). Petunjuk Teknis Kotaku.
Kementerian PUPR. (2016). Quantitative Evaluation of PNPM Urban 2012-2015.
Lora E, Powell A & Sanguinetti P. (2008). Urban Quality of Life: More Than Bricks and Mortar.
Inter-American Development Bank.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
76
Mulya, S.S. (2010). PNPM-P2KP “Community-Driven Infrastructure Development Activities.”
Thematic Studies on P2KP Implementation Performance: “Infrastructure.” Synopses
Series (2).
Prior T & Hagmann J. (2013). "Measuring resilience: methodological and political challenges of
a trend security concept", Journal of Risk Research, vol. 17, no.3, pp.281-298.
PSF, PNPM Support Facility
___, (2013). Indonesia: Ealuasi Program Pembangunan Berbasis Masyarakat Perkotaan,
Jakarta.
___, (2012). PNPM Mandiri Ruralinfrastructure Technical Evaluation report: findings and
recommendations. Jakarta.
____, (2012). Rapid Appraisal of PNPM Neighborhood Development and Poverty Alleviation
Partnership Grant Mechanism . Jakarta.
PUPR, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
____. (2013). Pedoman Teknis PNPM Perkotaan.
Rand. (2011). Evaluasi Proses dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)-
Perkotaan. RAND, Jakarta.
Sari, Y. I. (2018). The Building of ‘Monuments’: Power, Accountability, and Community Driven
Development in Papua Province, Indonesia. PhD Thesis, Crawford School of Public
Policy, The Australian National University, Canberra.
Sari YI, Rahman H & Manaf DRS. (2011). Independent Evaluation of PNPM RESPEK: Rural
Infrastructure and Community Capacity Building, AKATIGA, Bandung.
WMO, World Metereological Organization
_____, (2012), Management of Flash Flood, Integrated Flood Management Tools Series
No.16.
Yuniartanti, R.K., (2018). "Rekomendasi adaptasi dan mitigasi bencana banjir di kawasan
rawan bencana (KRB) banjir Kota Bima (Recommendations for adaptation and
mitigation of flood disaster in disaster prone areas of Bima City)". Journal of Regional
and Rural Development Planning, Vol.2, no.2, pp. 118-132
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
77
L A M P I R A N
E F E K P R O G R A M P E N A T A A N K A W A S A N
K U M U H D A L A M M E N G U A T K A N D I M E N S I
I N T ANG I B L E K E H I D U P A N W A R G A D I
Y O G Y A K A R T A
Pusat kegiatan baru di kelurahan Suryatmajan
Kelurahan Suryatmajan berlokasi di antara jalan Malioboro dan Kali Code, di pusat kota
Yogyakarta. Kelurahan ini terdiri dari 15 RW, 45 RT, dan 6 kampung yang meliputi kampong
Cokrodirjan, Sosrokusuman, Suryatmajan, Ledok Macanan, Gemblakan Atas, dan Gemblakan
Bawah. Banyak kantor pemerintah provinsi Yogyakarta dan hotel-hotel yang berlokasi di
Suryatmajan. Meskipun banyak gedung-gedung penting di ke Suryatmajan, hampir setengah
area kelarahan ini merupakan area permukiman padat. Area bisnis terdapat di sisi barat jalan
Malioboro. Sementara area permukiman berada di bagian kiri dari kelurahan, dekat Kali Code
dan bisa diakses dengan berjalan kaki atau sepeda motor melalui jalan-jalan kecil. 29% area di
Suryatmajan dapat dikategorikan sebagai kawasan kumuh ringan dan ditinggali oleh 2,279
warga. Sebagian besar kawasan kumuh berada di sepanjang sungai yang meliputi kampung
Cokrodiningrat, Gemblakan Bawah, dan Ledok Macanan.
Program PLPBK sendiri diimplementasikan di Kampung Gemblakan Bawah. Kampung ini padat
dengan rumah-rumah yang saling menempel. Kebanyakan orang yang tinggal di sana
merupakan pendatang yang mengontrak rumah, ngindung (membangun rumah di tanah orang
lain atau tanah sultan), atau membeli rumah di sana. Malioboro telah menarik orang-orang
dari berbagai daerah untuk berbisnis atau bekerja di sektor-sektor jasa yang ada di sana,
terutama turisme.
Sebelum adanya proyek penataan, jalan gang di antara permukiman memiliki lebar antara satu
sampai satu setengah meter, dengan permukaan berupa paving blok yang menurun. Banyak
warga yang menggunakan jalan kecil itu sebagai ‘dapur’. Warga mencuci dan menyimpan
perabotan rumah tangga di sana sehingga membuat gang semakin sempit, kotor, dan tidak
nyaman digunakan. Dulu, posisi pipa pembuangan lebih rendah dari jalan sehingga
menyebabkan munculnya genangan air. Selain itu, sebelum adanya program, beberapa rumah
di pinggiran sungai merupakan rumah-rumah semi permanen dan satu lantai. Beberapa di
antaranya tidak memiliki kamar tidur, meskipun terdapat MCK dan dapur. Atap rumah-rumah
tersebut pendek dan pengap. Banyak tikus-tikus berkeliaran karena daerah sekitarnya begitu
kumuh. Beberapa gang utama bisa dilalui oleh sepeda motor, tapi sangat sulit jika ada dua
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
78
sepeda motor yang berpapasan, karena begitu kecilnya gang. Banyak sepeda motor diparkir
di sepanjang jalan tersebut. Para pemiliknya memarkirkan sepeda motor di sana karena rumah
mereka terlalu kecil untuk memarkirkan sepeda motor. Kegiatan perjudian dan minum-minum
bisa ditemukan di pinggiran sungai. Seperti dikatakan salah seorang informan, di masa itu area
bantaran sungai merupakan area ‘gelap dan tersembunyi’
Melalui program PNPM masa perpanjangan, jalan permukiman sepanjang PCG dilebarkan
menjadi 3 meter dengan cara memangkas beberapa rumah yang berada di pinggiran jalan.
Enam rumah di sana dipangkas selebar satu sampai satu setengah meter, kemudian dibangun
kembali dengan mengikuti prinsip Mundur, Munggah, dan Madep Kali (M3K). Selain itu,
ketinggian jalan dinaikan sekitar 60 cm untuk menyesuaikan dengan ketinggian talud. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembuangan limbah cair ke sungai.
Pedestrian Code Gumreget (PCG)
PCG dibangun dengan menggunakan konsep turisme yang ditujukan untuk menciptakan area
pedestrian yang aman, nyaman, dan indah. PCG dibangun di sepanjang 250 meter are
permukiman di pinggir sungai. Permukaan PCG dibuat dari batu candi sementara pagar
pembatas setinggi 1.5 meter dibuat dari material seperti marmer. Sisi kanan dan kiri jalan dihias
dengan pot-pot bunga; beberapa ornament lain juga dipasang untuk meningkatkan kesan
artisitk di sepanjang PCG. Di sana terdapat pula dua spot untuk swafoto.
Beberapa rumah dekat PCG telah dibangun menjadi rumah-rumah dua lantai. Beberapa
lainnya, hanya direnovasi bagian dinding dan atapnya dan tetap berupa rumah satu lantai.
Rumah-rumah yang telah direnovasi atau dibangun ulang sebagai rumah satu atau dua lantai
Foto oleh Yulia Indri Sari
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
79
kini memiliki dapur, kamar mandi, dan MCK sendiri. Rumah-rumah baru ini telah membuat para
pemiliknya merasa lebih aman karena bangunan barunya menjadi lebih baik daripada yang
lama. Kegiatan memask mereka kini tak lagi terganggu hujan. Jika ada saudara yang
berkunjung, ia adapat tidur di kamar tidur tambahan yang telah dibangun. Untuk mandi pun
kini mereka tak lagi perlu pergi ke MCK umum, karena kamar mandi tersedia di rumah masing-
masing.
Keberadaan PCG yang cukup bersih dan lebar di area permukiman padat telah menarik orang-
orang untuk datang, berinteraksi satu sama lain, bermain, bahkan berolahraga bersama.
Berdasarkan observasi dan interview dengan warga, area PCG dipenuhi warga yang
menggunakan jalan terutama di waktu pagi dan petang. Di pagi hari, para manula berjalan kaki
di sana; di waktu petang, area ini dipenuhi anak-anak yang bermain. Orang-orang yang
berkumpul di PCG berasal dari area program maupun luar area program. Anak-anak dan orang
tua secara rutin datang ke PCG karena area tersebut aman (dibatasi oleh pembatas yang tinggi)
dan tidak dilewati oleh sepeda motor). Di pagi dan sore hari, anak-anak bermain sepeda atau
badminton; para orang tua datang ke PCG untuk menjemur bayi-bayi mereka sambal
bercengkrama dengan para pengunjung lain. Para manula datang di pagi dan sore hari untuk
berolah raga (jalan kaki) di area tersebut.
Selain itu, orang-orang juga menggunakan PCG untuk melakukan beberapa kegiatan kolektif
sepreti arisan, pengajian, tahlilan, rapat, atau kegiatan-kegiatan bersama lainnya. Area ini telah
menjadi ruang alternative untuk kegiatan-kegiatan tersebut karena hanya sedikit rumah di
sana yang mampu menampung kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang karena
umumnya rumah-rumah tersebut berukuran kecil. Orang-orang luar banyak datang ke are PCG
dan hal ini membuat warga lokal merasa bahwa orang-orang tua pun mengakui kemampuan
mereka yang secara kolektif telah membangun area tersebut.
Keberhasilan dalam membangun dan menata area PCG di Suryatmajan dihasilkan dari
kombinasi antara keberhasilan implementasi program, peran faskel dalam menyesuaikan site
plan dengan konteks lokal, serta dukungan konteks lingkungan yang menyediakan banyak
referensi tentang penataan kawasan kumuh di spenjang pinggiran sungai. Pembangunan PCG
sebagai ruang publik laternatif juga dimungkinkan dengan kuatnya institusi lokal di
Surtyamajan. Dengan didukung oleh warga, ketua RT atau RW telah membuat aturan yang
melarang penggunaan sepeda motor di area tersebut. Warga memiliki keguyuban yang
memudahkan mereka untuk bukan hanya membangun tapi juga memelihara fasilitas publik.
Peningkatan akses ke kelurahan Gowongan
Kelurahan Gowongan merupakan salah satu pusat kegiatan di Yogyakarta, seperti kegiatan
bisnis, jual-beli, jasa, turisme, dan transportasi. Di Gowongan terdapat area-area populer
seperti Malioboro, pasar Kragan, Stasiun kereta api Tugu, dan kampung Core. Kelurahan
Gowongan terdiri dari tiga kampun termasuk kampung Penumping, Gowongan, dan
Jogoyudan. Beberapa hotel dan pertokoan berdiri menjulang di sepanjang jalan utama di tiga
kampung tersebut. Area-area permukiman padat berada di belakang gedung-gedung tersebut.
Dan area-area ini terhubung dengan jalan utama oleh gang-gang dengan lebar 1-2 meter.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
80
Program PLPBK pada 2015 dan Showcase 2018 berlokasi di kampung Jogoyudan. Menurut
Perda No 1 2015 tentang RDTR dan aturan zonasi Yogyakarta 2015-2035, Jogoyudan
dikategorikan sebagai area permukiman dengan kepadatan tinggi. Topografi area tersebut
miring dan berundak. Untuk melalui topografi seperti ini, warga secara kreatif membangun
rumah yang berdekatan satu sama lain, bertingkat, di atas terowongan aair, dan menjorok ke
gang-gang kampung.
Sebelulum intervensi program, satu-satunya akses bagi warga Jogoyudan menuju jalang
Kleringan masih berupa gang sempit dan curam. Mobil maupun beca tidak bisa melaui jalan
gang ini. Meskipun sepeda motor bisa lewat, namun pengendaranya harus sangat berhati-hati
karena kontur jalan yang curam. Anak-anak dan para manula pun harus sangat berhati-hati
ketika melalui jalan tersebut. Gang ini bahkan menjadi kian sempat karena beberapa warga
menggunakannya untuk memasak, mencuci, dan memarkirkan sepeda motor. Jalan yang
sempit dan curam pun menjadi kendala ketika sekali waktu warga-warga membawa keranda
jenazah ketika salah satu warga di sana meninggal dunia. Di pinggiran sungai di area
permukiman dibangun benteng berupa tumpukan batu yang melindungi area permukiman dari
banjir. Namun, ini membuat area pinggiran sungat menjadi lebih kotor karena banyak sampah
dari sungai yang tersangkut di kawa-kawat benteng tersebut. Pembatas berupa tumpukan batu
ini pun telah menjadi sarang tikus.
Pembangunan infrastruktur terintegrasi oleh program PLPBK (2015-2016) ditujuka untuk
memperbaiki tampilan area permukiman di pinggiran sungai. Program ini meliputi
pembangunan jalan inspeksi dengan lebar 3 meter dan panjang 250-meter yang memanjang
menuju jalan kelirangan, membanguna dinding pembatas (dengan pagar dan tanggul),
pembangunan SAL dan SAH, dan penyediaan tank biofilm di bawah jalan inspeksi, taman,
gudang, ddan MCK serta pembangunan post gardu di area hijau dan terbuka. Jalan inspeksi
ditujukan untuk meningkatkan akses dan konektivitas menuju jalan kleringan bagi orang-orang
yang tinggal di area pinggiran sungai.
Program PLPBK juga membangun paga-pagar pembatas sepanjang pinggiran sungai.
Permukaan pinggiran sugnai pun dinaikan sekitar 60-80 centimeter dan gabion diganti dengan
talud. Sistem drainase yang terpisah dibangun untuk air hujan dan limbah rumah tangga.
Limbah rumah tangga kini mengalur melalui biofilter yang dipasang di bawah jalan.
Pembanguan jalan inspeksi dilakukan dengan memangkas 16 rumah dan satu balai RT. Rumah-
rumah yang dipangkas ini kemudian direhabilitasi dengan menambahkan kedua sehingga
rumah-rumah itu kini memiliki dua lantai.
Dana sebesar 2 miliar dialokasikan untuk program showcase dan setiap lokasi diberikan waktu
enam bulan (Juli-Desember 2018) untuk menyelesaikan program: Juli untuk perencanaan, 6
Agustus sampai dengan 21 Desember untuk implementasi. Waktu yang pendek ini membuat
proyek memerlukan tenaga kerja lebih banyak untuk memastikan bahwa semua pekerjaan
selesai tepat waktu sesuai jadwal.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
81
Ilustrasi kondisi akses sebelum dan sesudah program di Gowongan
Program PLPBK di Jogoyudan telah membuka akses menuju jalan Kleringan bagi orang-orang
yang tinggal di pinggiran sungai. Selain digunakan sehari-hari, warga menggunakan jalan
tersebut sebagai jalur mitigasi bancana atau untuk tujuan-tujuan darurat lainnya. Ketika kami
mengunjungi lokasi itu (dua tahun setelah jalan dibangun) kami bisa dengan mudah menuju
lokasi menggunakan jalan itu.
Pembangunan jalan telah meningkatkan akses bukan hanya untuk warga lokal di Jogoyudan,
tapi juga warga dari RT lain. Sekarang mereka mereka tak lagi perlu melalui jalan berputar untuk
menuju ke jalan Kleringan.
Jalan baru ini pun telah membuat Jogoyudan lebih hidup. Rumah-rumah yang telah ditata
membuat kampung terlihat lebih rapi dan indah dilihat. Anak-anak menggunakan jalan tersebut
untuk bersepeda dan para manula menggunakannya untuk berolahraga (berjalan kaki). Jalan
ini memiliki pagar pembatas yang dilengkapi dengan pegangan besi yang membuatnya aman
dan mudah untuk dilewati oleh para manula.
Namun demikian, penting dicatat bahwa banyaknya mobil dan sepeda motor yang melewati
jalan tersebut dapat membahayakan anak-anak. Jalan inspeksi perlu dilengkapi dengan tanda
dan marka jalan untuk membuat para pengendara kendaraan bermotor lebih berhati-hati dan
pelan dalam menjalankan kendaraanya di area tersebut.
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
82
Jalan yang baru ini pun telah meningkatkan kegiatan ekonomi di sekitarnya. Para pemilik
warung mendapatkan lebih banyak pembeli. Para penjual makanan bisa menjual dagangannya
kepada para pembeli yang berasal dari luar are tersebut karena kini mereka dapat mengirimkan
makanan mereka dengan layanan pengiriman makanan berbasis aplikasi online (misalnya go-
food). Sebelum jalan ini dibangun, para penjual pecel biasanya menjual dagangan mereka
dengan berjalan kaki mengitari Malioboro; kini mereka bisa berjualan di rumah masing-masing.
Meskipun keuntungan yang didapat sedikit lebih kecil (dari sebelumnya Rp100.000 menjadi
Rp75.000), berjualan di rumah jauh lebih tidak melelahkan. Di samping itu, kini mereka memiliki
waktu lebih banyak untuk melakukan kegiatan lain seperti bermain dengan cucu, menyeterika,
dan berkumpul dengan para tetangga. Salah seorang warga yang memiliki usaha konveksi
mengatakan bahwa dulu sebelum program PLPBK ia harus membawa bahan pakian dari
Kleringan. Kini, ia bisa mengontrak rumah di pinggiran sungai untuk dijadikan gudang. Selain
itu, ia pun kini bisa mengontrak tiga rumah lain untuk melakukan usahanya. Bagi para
pengumpul pasir di Kali Code, jalan baru ini membuat mereka lebih mudah membawa pasir dari
sungai menuju jalan utama. Kendaraan pick up kini bisa masuk lebih dekat ke area pinggiran
sungai untuk mengangkut pasir.
Sementara konsep penataan kawasan kumuh di Suryatmajan fokus pada aspek turisme dan
dirancang untuk menciptakan area pedestrian yang aman dan nyaman untuk warga, program
penataan kawasan kumuh di Gowongan ditujukan untuk meningkatkan akses bagi warga dan
mengintegrasikan kawasan tersebut dengan kawasan yang lebih luas di perkotaan. Lebih jauh,
peningkatkan akses dan koneknitivitas telah meningkatkan opsi-opsi penghidupan bagi warga
yang tinggal di sana.
Foto oleh Yulia Indri Sari
Jalan baru menghubungkan Gowongan dengan Malioboro
ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN
83
AKATIGA – Center for Social Analysis Jl. Tubagus Ismail II No 2 Bandung
40134 | (022) 2502302 [email protected] | www.akatiga.org