yulia indrawati sari hilda arum nurbayyanti

95
LAPORAN AKHIR ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PROGRAM NASIONAL PERMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti 2019

Upload: others

Post on 15-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

L A P O R A N A K H I R

A S E S M E N C E P A T I M P L E M E N T A S I P R O G R A M

N A S I O N A L P E R M B E R D A Y A A N M A S Y A R A K A T

( P N P M ) P E R K O T A A N P E R I O D E P E R P A N J A N G A N

Y u l i a I n d r a w a t i S a r i H i l d a A r u m N u r b a y y a n t i

2019

Page 2: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

ii

LAPORAN AKHIR

Asesmen Cepat Implementasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Perkotaan pada Periode Perpanjangan

Juli 2019

TIM PENELITI

KOORDINATOR PENELITI

Yulia Indrawati (Indri) Sari

ASISTEN KOORDINATOR

Hilda Arum Nurbayyanti

PENELITI LAPANGAN

DI Yogyakarta Muklas Aji Setiawan Mulyana Aprilia Ambarwati Kalimantan Selatan Faisal Setianzah

Bewanti Dahani Fadhli Ilhami

Nusa Tengggara Barat Panji Ardiansyah Nofalia Nurfitriani Hilda Arum Nurbayyanti

AKATIGA – Center for Social Analysis Jl. Tubagus Ismail II No 2 Bandung 40134 | (022) 2502302 [email protected] | www.akatiga.org

Page 3: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

iii

P E N G A N T A R

Laporan akhir ini disusun oleh tim peneliti AKATIGA. Pada proses penelitian AKATIGA

mendapatkan dukungan dan fasiitasi dari George Soraya, Evi Hermirasari, Kumala Sari, dan

Ratih Dewayanti dari tim Bank Dunia.

Laporan telah ditelaah oleh Isono Sadoko (peneliti senior AKATIGA). Laporan ini pertama kali

terbit dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Acep Muslim dan diedit oleh M. Irfan

Hidayatullah. Laporan ini juga mendapat masukan penting dari Kementerian Pekerjaan Umum

dan Perumahan Rakyat serta Bappenas pada saat tahap presentasi draft. Kami mengucapkan

terima kasih untuk masukan-masukan tersebut.

Laporan ini tidak mungkin dapat dituntaskan tanpa kerja keras para peneliti lapangan yang

bekerja di enam kelurahan di Yogyakarta, Banjarmasin, dan Bima. Sely Martini memberikan

dukungan dengan turut melakukan supervisi tim peneliti lapangan di Bima. Kami sampaikan

banyak terima kasih kepada para koordinator kota dari program PNPM Perkotaan dan semua

fasilitator kelurahan di tingkat kelurahan yang telah memberikan dukungan sepanjang proses

penelitian. Terkahir, kami kami sangat berterima kasih atas partisipasi dan kesabaran dari para

informan yang telah menyediakan waktunya bersama tim peneliti dalam proses penggalian

data.

Penelitian ini mendapatkan dukungan dana dari Bank Dunia.

Page 4: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

iv

R I N G K A S A N E K S E K U T I F

Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi hasil program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis

Komunitas (PLPBK) dalam memperbaiki kondisi kawasan kumuh di perkotaan dan mengevaluasi

program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) dalam mengurangi risiko

bencana banjir. PLPBK dan PRBBK merupakan program perpanjangan PNPM Perkotaan—

program pembangunan berbasis komunitas skala nasional (Community Driven Development,

atau CDD) di area perkotaan di Indonesia—setelah program PNPM Perkotaan selesai pada

2014. Program perpanjangan ini bertujuan untuk mendukung program pemerintah Indonesia

untuk mencapai tujuan “kota tanpa kawasan kumuh” pada tahun 2019. Program ini diharapkan

dapat meningkatkan kondisi kawasan kumuh dan menyediakan infrastruktur dan layanan dasar

bagi para penduduknya.

Studi difokuskan pada tiga aspek evaluasi, yaitu (i) hasil-hasil dari PLPBK dalam mendukung

penataan kawasan kumuh dan pengurangan risiko bencana untuk masyarakat sasaran; (ii)

efektivitas dari beberapa intervensi spesifik dari sudut pandang komunitas dan pemerintah

lokal; (ii) pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur PNPM Perkotaan yang dibangun pada

periode 2012-2014.

Studi ini menggunakan metode studi kasus kualitatif (qualitative case study). Penggalian data

lapangan dilakukan di enam kelurahan di Yogyakarta, Banjarmasin, dan Bima pada Februari

2019. Bima dipilih karena merupakan daerah yang rentan terhadap banjir dan secara khusus

dijadikan sebagai kasus untuk intervensi PRBBK. Untuk mengukur hasil dan efektivitas program,

penelitian ini menggunakan metode yang memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan

data berdasarkan sudut pandang dan pengalaman warga. Metode pengumpulan data kualitatif

(wawancara, observasi, transek, dan data sekunder) digunakan untuk mengevaluasi hasil

tangible dan intangible dari program penataan kawasan kumuh dan mitigasi bencana di area

rentan banjir serta untuk memahami faktor yang memengaruhi hasil-hasil tersebut.

Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa program penataan kawasan kumuh

perkotaan memiliki hasil yang positif. Studi ini berkesimpulan bahwa program PLPBK telah

berhasil menangani permasalahan infrastruktur di area kumuh seperti rumah tidak layak huni

(RTLH), akses buruk, serta sanitasi dan drainase minim. Pada saat yang sama program juga telah

mendorong dimensi-dimensi intangible pada warga seperti penguatan relasi sosial, terjalinnya

hubungan sosial dengan warga di luar kawasan kumuh, serta bertambahnya pilihan-pilihan

penghidupan bagi warga. Warga di area yang telah ditata melihat bahwa program telah

meningkatkan fungsi dan pemanfaatan infrastruktur dasar. Di area-area yang diteliti, genangan

air telah berkurang, akses jalan dan konektivitas meningkat, rumah-rumah direhabilitasi, dan

polusi (sampah dan udara) menurun. Warga juga bercerita bahwa program penataan kawasan

Page 5: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

v

kumuh telah meningkatkan akses mereka terhadap area-area lain di kota. Mereka juga

bercerita tentang perasaan tak lagi merasa malu tinggal di kawasan kumuh serta mengenai

meningkatnya jumlah warga luar yang datang ke daerah mereka baik untuk berkunjung

maupun hanya lewat melalui jalan yang telah diperbaiki. Selain itu, juga bercerita tentang

menurunnya jumlah tikus dan nyamuk, meningkatnya kadar kesegaran udara, naiknya peluang

untuk berusaha, serta tersedianya ruang-ruang untuk berinteraksi antarwarga.

Integrasi infrastruktur di satu kawasan telah memperluas dampak program penataan kawasan

kumuh pada aspek-aspek yang tak terlihat (intangible) dari kehidupan warga. Untuk

memaksimalkan dampak-dampak tersebut, program harus memastikan bahwa penyediaan

infrastruktur difokuskan di satu area prioritas beserta kegiatan-kegiatan yang memperindah

kawasan tersebut, serta terhubung (engaged) dengan konteks lokal. Penelitian ini

mengidentifikasi empat faktor yang memengaruhi integrasi dan implementasi integrasi

infrastruktur yang lebih baik. Keempat hal tersebut adalah (i) kebijakan PLPBK yang

memfasilitasi proses integrasi itu sendiri; (ii) kapasitas dan strategi dari aktor (pelaksana

program) dalam melakukan perencanaan dan sosialisasi program; (iii) tingkat kepercayaan dan

kolektivitas dari komunitas; (iv) lingkungan kebijakan pendukung (enabling policy environment)

yang menyediakan referensi bagi program dan kegiatan penataan kawasan kumuh.

Berbeda dengan PLPBK yang menunjukkan hasil positif dalam menangani permasalahan di

kawasan kumuh, studi ini mengungkapkan bahwa program PRBBK tidak begitu efektif dalam

mengurangi risiko banjir bandang di Bima. Di Bima, program ini memang telah berhasil dalam

mengurangi risiko banjir kecil serta dalam menangani kawasan kumuh sebagai buah dari

penyediaan infrastruktur berupa drainase dan jalan. Program ini pun telah memperkenalkan

warga pada pengetahuan baru mengenai prosedur dan rute evakuasi. Namun demikian,

program ini hanya memiliki dampak yang hanya terbatas pada penguatan kapasitas dan

resiliensi warga dalam menghadapi, beradaptasi, dan memulihkan diri dari bencana banjir. Sulit

bagi program untuk melakukan mitigasi warga dari risiko bencana banjir bandang di Bima

karena banjir tersebut disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor, yaitu tingginya curah hujan,

topografi yang berupa cekungan, berkurangnya area hutan di sisi hulu, pengelolaan drainase

yang buruk, dan permasalahan tata kelola yang malah mendukung pengembangan daerah

permukiman dan perkebunan jagung di area hulu. Dalam tahap implementasi, program PRBBK

sendiri lebih banyak fokus pada penataan kawasan kumuh daripada penggunaan berbagai

langkah dan pelatihan untuk menguatkan kapasitas warga. Manajemen bencana seharusnya

tidak hanya fokus dalam tanggap darurat, tetapi juga dalam manajemen risiko secara

keseluruhan. Untuk itu, diperlukan penguatan dalam kerangka dan institusi PRBBK sedemikian

rupa sehingga program tersebut dapat merumuskan langkah yang komprehensif dalam

meningkatkan pengelolaan drainase, pembangunan bendungan, perbaikan tata kelola, evaluasi

rencana tata guna lahan dan kebijakan gubernur.

Dengan melihat aspek institusi dari pemeliharaan infrastruktur PNPM Perkotaan 2012-2014,

penelitian ini menemukan bahwa infrastruktur konektivitas dan sanitasi telah dipelihara dengan

ragam cara yang berbeda. Sementara semua jalan dan jembatan masih berfungsi dan

digunakan, lebih dari setengah MCK dan toilet telah rusak dan tidak lagi dipakai. Hal ini

disebabkan oleh kedudukan jalan sebagai infrastruktur yang lebih popular di antara para

Page 6: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

vi

pegawai kelurahan. Karenanya, pemeliharaan jalan dan sistem drainase kerap dijadikan

prioritas dalam pendanaan. Sementara itu, pemeliharaan MCK memerlukan institusi komunitas

yang kuat. Dalam kondisi ketika tidak ada kepemimpinan dan kolektivitas warga, seperti terjadi

di Bima, konflik mengenai siapa yang bertanggung jawab atas pemeliharaan infrastruktur

sanitasi bisa terjadi. Temuan ini menunjukkan bahwa pemeliharaan masih merupakan

tantangan untuk mencapai keberlanjutan infrastruktur sanitasi.

Evaluasi ini juga menyarankan beberapa area tempat program penataan kawasan kumuh dapat

ditingkatkan untuk memastikan terjadinya integrasi infrastruktur dan memaksimalkan

dampaknya baik secara tangible maupun intangible. Beberapa di antara poin rekomendasi yang

diajukan adalah bahwa program seharusnya memperhatikan empat syarat kebijakan dalam

implementasi program yang terdiri dari, (i) integrasi infrastuktur di satu kawasan prioritas; (ii)

kemampuan dan strategi aktor pelaksana dalam menyesuaikan standar penataan kawasan

kumuh dari Kementerian PUPR dengan konteks lokal; (iii) strategi sosialisasi dan partisipasi yang

lebih baik untuk pelaksanaan proyek rehabilitasi perumahan; (iv) reformasi ketidakpastian

hukum (legal); (v) dalam kondisi di mana social capital tidak ada atau lemah, perlu adanya

fasilitasi di semua tingkatan untuk memunculkan kolektivitas di antara warga dan antara warga

setempat dengan warga luar. Studi ini juga memperingati bahwa meningkatnya harga lahan

dan akomodasi terjadi sebagai konsekuensi dari program penataan kawasan kumuh. Program

ini diharapkan menemukan solusi dengan risiko tersebut, karena peningkatan harga ini dapat

menyingkirkan rumah-rumah tangga miskin dan pendatang dari area yang sudah ditangani

(upgraded).

Pada akhirnya, laporan ini menyajikan kasus-kasus mengenai hasil positif dari keberhasilan

program pananganan kawasan kumuh di tiga kota di Indonesia. Temuan-temuan ini

mendukung solusi untuk mengatasi masalah kawasan kumuh dengan menangani kekumuhan

tersebut, bukan dengan menghancurkannya. Program penataan kawasan kumuh memberikan

kesempatan untuk warga di kawasan tersebut untuk mendapatkan akses atas infrastruktur dan

untuk dapat hidup dalam lingkungan yang layak dan ini pada gilirannya memainkan peran yang

penting dalam perekonomian dan kehidupan perkotaan secara keseluruhan.

Page 7: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

vii

D A F T A R I S I

PENGANTAR _______________________________________________________________ iii

RINGKASAN EKSEKUTIF _______________________________________________________ iv

DAFTAR ISI _______________________________________________________________ vii

DAFTAR GAMBAR ___________________________________________________________ ix

DAFTAR TABEL _____________________________________________________________ x

DAFTAR KOTAK _____________________________________________________________ x

DAFTAR SINGKATAN _________________________________________________________ xi

GLOSARIUM ______________________________________________________________ xii

BAB 1

PENDAHULUAN _____________________________________________________________ 1

1.1 Latar Belakang _________________________________________________________ 1

1.2 Tujuan dan Pertanyaan Penelitian _________________________________________ 2

1.3 Metode ______________________________________________________________ 3

1.3.1 Indikator __________________________________________________________ 3

1.3.2 Studi Kasus Kualitatif (Qualitative Case Studies) ___________________________ 5

1.4 Struktur Laporan _______________________________________________________ 9

BAB 2

EFEK PROGRAM PENATAAN KAWASAN KUMUH __________________________________ 10

2.1. Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur ____________________________________ 10

2.1.1 Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur yang Dibangun pada Program PNPM

Perkotaan Periode Perpanjangan __________________________________________ 10

2.1.2 Infrastruktur yang Berfungsi dan Digunakan oleh Warga ___________________ 12

2.1.3 Infrastruktur yang Tidak Berfungsi dan Tidak digunakan dengan Baik __________ 21

2.2 Integrasi Infrastruktur dan Hasil-Hasil yang Bersifat Intangible __________________ 25

2.2.1 Integrasi Infrastruktur ______________________________________________ 25

2.2.3 Efek Negatif Infrastruktur yang Terintegrasi terhadap Hubungan Sosial dan Harga

Akomodasi ___________________________________________________________ 32

BAB 3 PROSES DAN MEKANISME ______________________________________________ 35

3.1 Faktor yang Memengaruhi Fungsi Infrastruktur ______________________________ 35

3.2 Faktor Pendorong Integrasi Infrastruktur Lebih Baik __________________________ 37

3.2.1 Desain Penataan Kawasan Kumuh _____________________________________ 37

3.2.2 Pelaksanaan Program Penataan _______________________________________ 39

Page 8: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

viii

3.2.3 Institusi Masyarakat yang Kuat _______________________________________ 42

3.2.4 Konteks Lingkungan Kebijakan Pendukung ______________________________ 43

3.3 Hambatan dalam Mewujudkan Infrastruktur yang Terintegrasi dan Berfungsi dengan

Baik ___________________________________________________________________ 44

BAB 4

PENGARUH PROGRAM PENGURANGAN RISIKO BENCANA (PRBBK) DI BIMA _____________ 48

4.1 Permasalahan Banjir dari Perspektif Warga _________________________________ 48

4.2 Efek Program PRBBK dalam Mengurangi Risiko Bencana Banjir __________________ 50

4.3 Hambatan dalam Mewujudkan Intervensi PRBBK _____________________________ 53

BAB 5

PEMANFAATAN DAN PEMELIHARAAN INFRASTRUKTUR YANG DIBANGUN PNPM PERKOTAAN

2012-2014________________________________________________________________ 57

5.1 Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur yang Dibangun PNPM Perkotaan Periode 2012-

2014 __________________________________________________________________ 59

5.2 Institusi Pemeliharaan__________________________________________________ 64

BAB 6

SIMPULAN DAN REKOMENDASI _______________________________________________ 67

6.1. Simpulan ___________________________________________________________ 67

6.2. Rekomendasi ________________________________________________________ 70

REFERENSI ________________________________________________________________ 75

LAMPIRAN

EFEK PROGRAM PENATAAN KAWASAN KUMUH DALAM MENGUATKAN DIMENSI INTANGIBLE

KEHIDUPAN WARGA DI YOGYAKARTA __________________________________________ 77

Page 9: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

ix

D A F T A R G A M B A R

Gambar 1 Lokasi Studi Kasus __________________________________________________ 6

Gambar 2 Kondisi jalan permukiman dan gang setelah intervensi program di Yogyakarta (kiri)

dan Bima (kanan) _________________________________________________ 13

Gambar 3 Proses perbaikan jalan permukiman di Alalak Selatan, Banjarmasin ___________ 14

Gambar 4 Setelah saluran drainase ditutup, warga menggunakan bagian atas drainase untuk

menyimpan pot-pot bunga. _________________________________________ 18

Gambar 5. Kondisi jalan sebelum dan sesudah hujan _______________________________ 19

Gambar 6 Limbah air menjadi lebih bersih di Gowongan, Yogyakarta __________________ 20

Gambar 7 Kondisi toilet sebelum dan sesudah program ____________________________ 21

Gambar 8 Gerobak sampah yang tidak digunakan di Banjarmasin _____________________ 25

Gambar 9 Tong sampah yang tidak digunakan di Yogyakarta _________________________ 25

Gambar 10 Area yang belum dan sudah ditata di Kampung Suryatmajan _______________ 28

Gambar 11 Area yang belum dan sudah ditata di Kampung Alalak Selatan ______________ 28

Gambar 12 Anak-anak bermain riang di PCG _____________________________________ 30

Gambar 13 Contoh konsep penataan wilayah kumuh di satu area prioritas di Gowongan dan

Alalak Selatan ____________________________________________________ 38

Gambar 14 Salah satu bentuk adaptasi penduduk adalah untuk mengamankan semua

peralatan yang diperlukan dalam kasus banjir ___________________________ 50

Gambar 15 Jalan sebelum dan setelah intervensi PRBBK yang ditujukan untuk memperbaiki

akses dalam proses evakuasi dalam situasi bencana di kelurahan Santi________ 52

Gambar 16 MCK yang sering digunakan di Yogyakarta ______________________________ 62

Gambar 17 MCK ditutup oleh rumah tangga terdekat di Bima ________________________ 64

Gambar 18 Jalan yang telah direhabilitasi di Banjarmasin menggunakan dana Jaring Asmara 65

Page 10: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

x

D A F T A R T A B E L

Tabel 1 Lokasi Penelitian ______________________________________________________ 7

Tabel 2 Data Ringkas Mengenai Penggunaan Infrastruktur __________________________ 11

Table 3 Lokasi penelitian (area prioritas dan non area prioritas) ______________________ 27

Tabel 4 Infrastruktur PRBBK di kelurahan Pane dan Santi____________________________ 51

Tabel 5 Fungsi dan pemanfaatan infrastruktur yang dibangun pada periode PNPM 2012-2014

__________________________________________________________________ 58

Tabel 6 Kategori penggunaan infrastruktur yang dibangun pada masa PNPM 2012-2014 ___ 59

Table 7 Penggunaan MCK yang dibangun PNPM Urban 2012-2014 ____________________ 61

D A F T A R K O T A K

Kotak 1 Berjalan dengan nyaman di Suryatmajan __________________________________ 15

Kotak 2 Menjaga anak-anak juga merupakan tugas suami ___________________________ 30

Kotak 3 Efek pada Mata Pencaharian ___________________________________________ 31

Kotak 4 MCK bersih kami ____________________________________________________ 62

Kotak 5 Pemilik tanah, petugas pemeliharaan yang bertanggung jawab ________________ 65

Page 11: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

xi

D A F T A R S I N G K A T A N

ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia

APE Area Permainan Edukasi

BBWS Balai Besar Wilayah Sungai

Bappenas Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional

Bappeda Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah

BKM Badan Keswadayaan Masyarakat

BOP Biaya Operasional

BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah

CDD Community Driven Development atau Pembangunan Berbasis Pemberdayaan

Komunitas

DED Desain Rekayasa Detail

Faskel Fasilitator Kelurahan

HGB Hak Guna Bangunan

IPAL Instalasi Pengolahan Air Limbah

Jaras Jaring Aspirasi Masyarakat

Korkot Koordinator Kota

KSM Kelompok Swadaya Masyarakat

LPMK Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan

M3K Mundur, Munggah (naik), dan Madep (menghadap)

MCK Mandi, Cuci, Kakus

MIS Management Information System atau Sistem Informasi Manajeman

OPD Organisasi Perangkat Daerah

PCG Pedestrian Code Gumreget

Perkim Dinas Perumahan dan Permukiman

PLPBK Pembangunan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas

PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat

Pokja PKP Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman

PRBBK Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas

PUPR Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

RDTR Rencana Detail Tata Ruang

RPLP Rencana Penataan Lingkungan Perumahan

RAB Rencana Anggaran dan Biaya

RT Rukun Tetangga

RTP Ruang Terbuka Publik

RW Rukun Warga

SAH Saluran Air Hujan

SAL Saluran Air Limbah

SK Surat Keputusan

SOP Standar Operasional dan Prosedur

TAPP Tenaga Ahli Perencanaan Partisipatif

TIPP Tim Inti Perencanaan Partisipatif

TPS Tempat Pembuangan Sementara

TSBK Tim Siaga Bencana Kelurahan

Page 12: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

xii

G L O S A R I U M

Community Development Pengembangan komunitas

Enabling Policy Environment Lingkungan kebijakan yang mendukung

Engaged Terhubung

Exit Strategy Strategi keluar (saat program usai)

Intangible Efek lanjutan yang tidak mudah terlihat secara nyata dari infrastruktur

yang berpengaruh terhadap beragam dimensi dari kehidupan warga

penerima manfaat, seperti ekonomi dan sosial

Jimpitan Iuran swadaya

Laundry Penatu

Merchandise Barang dagangan

Online Daring

Outcome Capaian

Public Paces Ruang publik

Recovery Pemulihan

Showcase Program pengembangan permukiman tambahan yang didanai

pemerintah pusat untuk menciptakan praktik-praktik baik dari program

Site Plan Rencana tapak

Social Capital Modal sosial

Social Relations Hubungan sosial

Tangible Efek langsung dan nyata terlihat seperti yang diharapkan oleh program

seperti pengurangan genangan air, pengurangan polusi, dan

peningkatakan konektivitas

Titian Ulin Jalan di atas sungai yang terbuat dari kayu Ulin

Upgraded Ditingakatkan/ditata

Urban Planning Perencanaan kota

Page 13: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

i

Talud River bank retaining wall

Titian Ulin Road along the river made by ulin wood or similar with wooden footbridge

Tukang Construction Workers

Warung Kiosk

B A B 1

P E N D A H U L U A N

1.1 Latar Belakang

Sejak tahun 90-an, pembangunan berbasis komunitas atau Community Driven Development

(CDD) telah muncul sebagai bentuk pembangunan lokal dan partisipatif yang paling populer

(Binswanger-Mkhize et. al., 2010). CDD merupakan pendekatan partisipatif dan

terdesentralisasi dalam pengurangan kemiskinan yang bertujuan untuk memberikan akses dan

kontrol kelompok masyarakat terhadap dana-dana pembangunan. Berhubungan dengan hal

tersebut, di Indonesia, pada tahun 2007 pemerintah meluncurkan program andalan untuk

mengurangi kemiskinan dan penguatan komunitas di perkotaan dalam bentuk Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat Perkotaan (PNPM Perkotaan). PNPM Perkotaan bertujuan

untuk memastikan kelompok miskin di perkotaan, tepatnya di kelurahan-kelurahan,

memperoleh manfaat dari peningkatan kualitas tata kelola lokal dan peningkatan kualitas

kehidupan secara umum. Program penguatan masyarakat perkotaan, khususnya kelompok

miskin ini, dicapai melalui penguatan kapasitas, penyediaan sumber daya (resources) dan dana

kelurahan, serta kemitraan pembangunan antara komunitas dengan para pemangku

kepentingan. Program ini meliputi sekira 11.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.

Pada 2015, PNPM Perkotaan mengalihkan fokusnya untuk mendukung program pemerintah

dan untuk mencapai visi “kota tanpa kumuh” pada 2019. Bank Dunia mendukung

pengembangan dan impelementasi inisiatif pemerintah ini melalui program National Slum

Pembangunan Jembatan di Santi. Foto oleh Nofalia N.

Page 14: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

2

Upgrading Program (NSUP 2016-2020). Program ini menyediakan dana (block grant) untuk

meningkatkan akses kelompok miskin perkotaan atas layanan dan infrastruktur, terutama

melalui program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) di beberapa

kota yang memiliki akses yang relatif buruk atas layanan-layanan dasar. Skema ini

memungkinkan komunitas di area-area terpilih untuk memprioritaskan dana infrastruktur yang

secara langsung berhubungan dengan pengurangan kekumuhan di area tersebut. Dukungan

Bank Dunia difokuskan pada program penataan permukiman dengan menyediakan program

penguatan kapasitas (pelatihan untuk konsultan, fasilitator, dan warga penerima manfaat),

penyediaan bantuan teknis (menghubungkan dengan konsultan dan fasilitator yang telah ada

serta dengan beberapa perencana kota tambahan di level kota dan kelurahan). Program ini juga

menyediakan tambahan dana untuk beberapa kelurahan terpilih.

Pada awal 2017, Bank Dunia memperluas dukungannya dengan menyediakan dana tambahan

untuk rehabilitasi dan rekonstruksi 23 kelurahan yang terkena dampak banjir bandang di Kota

Bima. Proyek ini menggunakan skema program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis

Komunitas (PRBBK) yang memiliki kerangka pengembangan kapasitas dan institusi pengelolaan

risiko bencana. Dalam PRBBK, aspek pengurangan risiko bencana (PRB) harus disertakan ke

dalam perencanaan kelurahan (Rencana Penataan Lingkungan Permukiman [RPLP]). Selain itu,

PRBBK juga menyediakan instrumen seperti peta dan profil risiko, desain resilien, serta

memastikan meningkatnya kapasitas dan resiliensi dari warga yang tinggal di area dengan risiko

banjir bandang dalam menghadapi bencana tersebut.

Penelitian ini menelaah data-data empiris hasil program penataan kawasan kumuh dan

pengurangan risiko bencana dari sudut pandang penerima manfaat dan pemerintah lokal guna

meningkatkan kualitas desain dan implementasi program dari intervensi lanjutan program

PNPM Perkotaan periode 2015-2018. Penelitian ini juga diharapkan dapat mengevaluasi

keberlanjutan PNPM Perkotaan reguler pada periode 2012-2014.

1.2 Tujuan dan Pertanyaan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi intervensi lanjutan dari kegiatan-kegiatan

program PNPM Perkotaan. Evaluasi tersebut meliputi hasil program (apa), evaluasi mekanisme

pencapaian hasil-hasil tersebut dengan memperhatikan aspek efektivitas intervensinya

(bagaimana), dan evaluasi dimensi institusi dari intervensi-intervensi yang dilakukan dari sudut

pandang warga dan pemerintah lokal.

Terkait ini, tujuan dari studi ini meliputi beberapa poin berikut:

(a) Hasil dari intervensi lanjutan dalam mendukung pengembangan kawasan (PLPBK) dan

pengurangan risiko bencana (PRBBK) pada kelompok sasaran.

(b) Efektivitas dari intervensi-intervensi tertentu dari sudut pandang warga dan pemerintah

lokal khususnya di lokasi yang menerima program PLPBK dan PRBBK.

(c) Pemanfaatan dan pemeliharan infrastruktur yang dibangun pada periode 2012-2014.

Page 15: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

3

Secara khusus studi ini diharapkan dapat menjawab tiga pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apa hasil dari intervensi-intervensi lanjutan terhadap kelompok target dari sisi penataan

kawasan kumuh dan pengurangan risiko bencana?

2. Bagaimana intervensi-intervensi tertentu dapat memenuhi harapan kelompok target dari

sisi pengembangan kawasan (PLPBK) dan pengurangan risiko bencana (PRBBK)?

3. Bagaimana kualitas pemanfaatan dan pemeliharan infrastruktur setelah program PNPM

ditutup, khususnya pada insfrastruktur yang dibangun pada 2012-2014?

1.3 Metode

1.3.1 Indikator

Dalam menjawab pertanyaan pertama, studi ini menelisik hasil program dari segi keberfungsian

(functionality) infrastruktur dan efeknya bagi kehidupan penerima manfaat. Kami

mendefinisikan keberfungsian sebagai hasil tangible (tangible result), yaitu efek langsung dan

terlihat nyata seperti yang diharapkan oleh program seperti pengurangan genangan air,

pengurangan polusi, dan peningkatakan konektivitas. Selain itu, terdapat pula hasil yang

intangible di antaranya efek lanjutan yang tidak mudah terlihat secara nyata dari infrastruktur

yang berpengaruh terhadap beragam dimensi dari kehidupan warga penerima manfaat. Salah

satu bentuk hasil intangible tersebut adalah efek terhadap kehidupan sosial dan ekonomi dari

warga penerima manfaat.

Studi ini, dengan demikian, tidak mengevaluasi aspek kualitas teknis dari infrastruktur.

Penelitian ini juga tidak meneliti kondisi struktur fisik dari infrastruktur seperti kekuatan dari

bangunan, material yang dipakai, komponen-komponen struktur, dan kondisi bangunan secara

keseluruhan (misalnya munculnya retakan).

Hasil tangible dapat dilihat dari keberfungsian dan penggunaan infrastruktur. Keberfungsian

dalam hal ini didefinisikan sebagai evaluasi mengenai fungsi suatu infrastruktur bekerja seperti

seharusnya dan ini mungkin terjadi ketika bagian-bagian atau keseluruhan sistem bangunan

bekerja seperti diharapkan. Infrastruktur untuk pengolahan limbah rumah tangga, misalnya,

akan bekerja dengan baik jika infrastruktur tersebut berhasil mengurangi polusi sampah yang

biasanya diindikasikan dengan penurunan bau dan pengolahan limbah menjadi cairan yang

lebih aman bagi lingkungan. Infrastruktur jalan berfungsi manakala jalan tersebut aman untuk

digunakan (jalan tidak berlubang) dan tidak becek, serta membuka akses warga. Toilet

dikategorikan berfungsi ketika dapat digunakan untuk mandi dan buang hajat, tidak mampat,

ada penerangan, dan ketersediaan air.

Namun demikian, infrastruktur yang berfungsi dengan baik tidak selalu berarti digunakan oleh

warga. Karenanya, hasil tangible dari suatu infrastruktur juga diukur dari penggunaan

infrastruktur tersebut. Penggunaan ini dapat dilihat melalui asesmen terhadap akses dari

kelompok target infrastruktur yang meliputi regularitas dari warga dalam menggunakan

infrastruktur dan mengevaluasi seberapa jauh infrastruktur tersebut menyediakan akses dasar

yang diperlukan oleh warga. Evaluasi tersebut juga meliputi kesesuaian infrastruktur yang

Page 16: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

4

dibangun dengan kondisi dan kebutuhan lokal warga sekitar. Warga akan menggunakan suatu

infrastruktur jika ia sesuai dengan konteks kehidupan lokal mereka.

Tidak semua infrastruktur yang dibangun dapat diukur secara jelas dari segi penggunaannya.

Pengukuran atas penggunaan infrastruktur dapat dilakukan pada beberapa infrastruktur

seperti jalan, toilet umum, dan fasilitas umum. Infrastruktur drainase dan pengolahan limbah

rumah tangga, sebagai contoh, sulit untuk dilihat siapa saja yang benar-benar

menggunakannya. Kedua tipe infrastruktur tersebut hanya dapat diukur dari sisi fungsinya.

Adapun hasil-hasil intangible didefinisikan sebagai efek lanjutan dari pemanfaatan infrastruktur

terhadap aspek lebih luas dari kehidupan warga penerima manfaat. Penelitian ini

mengeksplorasi efek dari infrastruktur dari segi relasi sosial, strategi penghidupan, dan

perasaan warga sebagai bagian dari komunitas kota yang lebih luas. Aspek yang terakhir ini

merupakan asesmen khusus atas efek infrastruktur penataan kawasan kumuh terhadap

integrasi warga di kawasan kumuh dengan warga luar. Lora dkk. (2008) menekankan

pentingnya pelibatan aspek ini dalam melakukan evaluasi atas program-program penataan

kawasan kumuh. Hidup di kawasan kumuh dapat membuat warga merasa berbeda atau kurang

dibandingkan dengan warga lain di kota. Dalam hal ini, suatu program dapat dikatakan berhasil

bila program tersebut berpengaruh positif terhadap integrasi sosial warga setempat dengan

warga luar. Karena itu, penelitian ini juga mengevaluasi efek program terhadap relasi sosial dan

menginvestigasi efek program ini dalam peningkatan kepercayaan dan ikatan sosial di antara

warga penerima manfaat, serta antara warga penerima manfaat dengan nonpenerima

manfaat.

Dalam mengevaluasi pemanfaatan infrastruktur, penelitian ini berfokus pada distribusi akses,

mengidentifikasi pihak yang mendapatkan manfaat paling banyak dari infrastruktur yang

dibangun. Hal ini dilakukan dengan meneliti kelompok warga mana saja yang mendapatkan

manfaat paling banyak dari infrastruktur yang dibangun baik dari sisi gender, usia, dan status

sosial ekonomi.

Dalam menjawab pertanyaan kedua, kami mengevaluasi tiga faktor penting yang mendorong

munculnya hasil-hasil dari program. Ketiganya adalah desain dan implementasi program,

konteks institusi warga, dan lingkungan kebijakan pendukung/penghambat (local government).

(a) Lebih jauh, asesmen atas kualitas intervensi proyek terdiri dari evaluasi atas kualitas (i)

PLPBK dan PRBBK, yang meliputi evaluasi atas beberapa instrumen perencanaan khusus;

dan (ii) implementasi proyek yang meliputi manajemen proyek, partisipasi warga,

akuntabilitas, dan kapasitas fasilitator dan pelaksana program pada level kelurahan.

Pelaksana program pada level kelurahan terdiri dari BKM, KSM, dan TIPP1.

1 BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) sebuah entitas legal di tingkat kelurahan untuk mengelola program PNPM di area perkotaan. Anggota BKM dipilih oleh warga. Setiap kelurahan memiliki satu BKM. Setelah terbentuk, BKM kemudian membentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) untuk secara spesifik membangun beberapa tipe infrastruktur di area permukiman tertentu. Sebagai catatan, penelitian ini tidak meneliti kinerja KSM yang juga mengelola kredit mikro. TIPP (Tim Inti Perencanaan Partisipatif), sementara itu, bertanggung jawab untuk mengumpulkan data tentang profil suatu

Page 17: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

5

(b) Aspek penting kedua dari mekanisme adalah konteks institusi lokal. Hal ini meliputi

kepemimpinan warga, kapasitas dalam pengorganisasian dan aksi kolektif, dan

kondisi/latar belakang sosial dan ekonomi warga.

(c) Peran pemerintah lokal (PU dan Bappeda) dan kebijakan di tingkat kota pun penting dalam

menangani masalah-masalah yang dialami warga di kawasan kumuh serta di area risiko

bencana yang secara langsung berkaitan dengan proyek dari sisi perencanaan,

pelaksanaan, dan keberlanjutan. Fokus pertanyaan dalam hal ini adalah apakah mereka

mendukung atau menghambat program intervensi secara keseluruhan?

Pertanyaan ketiga dari penelitan ini berkaitan dengan pemeliharaan dan keberlanjutan

infrastruktur yang dibangun pada periode 2012-2014. Dalam hal ini, pemeliharaan merupakan

bagian yang menantang dari program yang sangat menentukan keberlanjutan infrastruktur

yang dibangun. Dalam menjawab pertanyaan ini, penelitian ini berfokus pada dua poin utama,

yaitu pemanfaatan (utilization) infrastruktur (setelah program berakhir di 2014) dan peran

warga dalam pemeliharaan infrastruktur.

(a) Dari sisi penggunaan, penelitian ini menggunakan baseline data PNPM yang menyediakan

daftar infrastruktur. Daftar tersebut memandu para peneliti lapangan untuk melakukan

penggalian data mendalam untuk menemukan infrastruktur yang masih berfungsi dan yang

rusak dan tak lagi digunakan. Untuk infrastruktur yang masih berfungsi, observasi lebih jauh

dilakukan untuk melihat pemanfaatan, termasuk juga regularitas dalam pemanfaatan

tersebut, dan sejauh mana infrastruktur itu menyediakan kebutuhan dasar bagi warga.

(b) Pada infrastruktur yang berfungsi, penelitian ini juga mengevaluasi peran warga dalam

memelihara infrastruktur, termasuk keberlanjutan institusi warga dan kapasitas warga

untuk memanfaatkan dan memelihara infrastruktur.

1.3.2 Studi Kasus Kualitatif (Qualitative Case Studies)

Kerangka studi untuk mengevaluasi efek dari intervensi lanjutan di area perkotaan terhadap

kehidupan penerima manfaat memerlukan metode yang memungkinkan peneliti untuk

mengumpulkan data mengenai perspektif dan pengalaman dari sisi warga penerima manfaat.

Penelitian ini, karenanya, menggunakan metode studi kasus kualitatif untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas. Pendekatan ini memungkinkan kami untuk

mengembangkan deskripsi tekstual yang kaya dan mendalam tentang bukti bahwa penerima

manfaat merasakan manfaat dari program, efek yang mereka rasakan, serta pendapat mereka

tentang program tersebut.

masyarakat dan menyusun rencana spasial kelurahan atau RPLP (Rencana Penataan Lingkungan Perumahan).

Page 18: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

6

1.3.2.1 Lokasi Penelitian

Sesuai dengan saran yang disampaikan dalam kerangka acuan (TOR), studi ini dilakukan di tiga

kota (dua kelurahan di tiap kota), yaitu Banjarmasin, Yogyakarta, dan Bima. Di Banjarmasin dan

Yogyakarta, kami memilih dua kelurahan berdasarkan kriteria: proporsi rumah tangga miskin,

tipe intervensi (PLPBK dan showcase)2, dan ragam infrastruktur yang dibangun. Sementara itu,

di Bima, pemilihan kelurahan didasarkan pada proporsi jumlah rumah tangga miskin dan

frekuensi terjadinya bencana.

Penelitian ini menggunakan data dari database program atau sistem informasi manajemen

(management information system, MIS) yang disediakan oleh program sebagai basis data untuk

memilih calon-calon kelurahan. Finalisasi pemilihan dua kelurahan di tiap kota dilakukan

setelah proses validasi di lapangan.

Berdasarkan kriteria dan proses, studi ini memilih enam kelurahan berikut ini: Gowongan dan

Suryatmajan di Yogyakarta, Alalak Selatan dan Melayu di Banjarmasin, serta Santi dan Pane di

Bima.

Gambar 1 Lokasi Studi Kasus

2 PLPBK merupakan skema penataan kawasan kumuh berbasis komunitas yang didanai oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat menentukan kelurahan-kelurahan yang menerima program PLPBK. Showcase adalah program pengembangan permukiman tambahan yang didanai pemerintah pusat untuk menciptakan praktik-praktik baik dari program. Lokasi dari intervensi program ini pun ditentukan oleh pemerintah pusat.

Page 19: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

7

Menimbang keterbatasan waktu dan anggaran, di setiap kelurahan yang dipilih, studi ini

memilih kembali area-area yang menerima tipe dan skema proyek infrastruktur yang berbeda.

Detail informasi tentang lokasi penelitian dirangkum dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Lokasi Penelitian

No Lokasi Kelurahan Kota Skema Intervensi Tahun

1 PLPBK Gowongan Gowongan Yogyakarta Scale-up PLPBK 2015-

2016

2 Showcase Gowongan Showcase 2018

3 Suryatmajan Suryatmajan Scale-up PLPBK 2015

4 Showcase Alalak Selatan Alalak Selatan

Banjarmasin Showcase 2018

5 PLPBK Lanjutan Alalak Selatan Scale-up PLPBK 2015

6 (Anggaran Sisa) Showcase

Alalak Selatan

Showcase 2018

7 Kampung Melayu Melayu Kolaborasi 2016

8 Pane 2017 Pane Bima PRBBK 2017

9 Pane 2018 PRBBK 2018

10 Santi 2017 Santi PRBBK 2017

11 Santi 2018 PRBBK 2018

1.3.2.2 Metode Pengumpulan Data

Metode pertama adalah transek. Transek (transect walk) merupakan penelurusan (jalan kaki)

sistematis di wilayah studi atau proyek yang dilakukan bersama dengan warga lokal untuk

mengeksplorasi kondisi infrastruktur-infrastruktur yang dibangun—melalui observasi,

bertanya, mendengarkan, melihat, dan membuat diagram transek. Penelitian ini menggunakan

transect walk untuk mendapatkan gambaran awal mengenai area yang diteliti. Metode ini juga

digunakan untuk mendeskripsikan dan menunjukkan lokasi dan distribusi infrastruktur. Transek

dilakukan pada fase awal pengumpulan data lapangan.

Metode kedua adalah observasi. Metode ini digunakan untuk mengalami dan mengamati secara

langsung keberfungsian dan pemanfaatan infrastruktur. Peneliti mengobservasi lokasi dan

infrastruktur yang dibangun pada waktu yang berbeda untuk melihat frekuensi akses atau

penggunaan infrastruktur dan pengguna infrastruktur tersebut.

Metode ketiga adalah wawancara. Penelitian ini menggunakan wawancara sebagai metode

utama dalam pengumpulan data. Wawancara kualitatif umumnya diartikan sebagai percakapan

dengan tujuan dan metode yang bersifat fleksibel. Wawancara memberikan kesempatan bagi

pewawancara untuk secara spontan, tetapi natural menyelidiki isu-isu yang dicari. Secara

khusus, studi ini menggunakan tiga jenis wawancara.

(a) Wawancara dengan informan kunci. Metode ini digunakan untuk menangkap informasi

awal mengenai program yang dilaksanakan. Informan kunci yang diwawancarai meliputi

pejabat pemerintah daerah, lurah, fasilitator, dan tokoh masyarakat setempat. Secara

Page 20: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

8

khusus, peneliti mewawancara koodinator BKM dan fasilitator untuk menggali data

mengenai gambaran secara keseluruhan dari pelaksanaan program, untuk mendapatkan

gambaran tentang proses program tersebut menghasilkan capaian (outcome), serta

mengidentifikasi tantangan dan peluang yang dihadapi. Pada tingkat masyarakat, peneliti

mewawancara tokoh masyarakat (termasuk ketua RT/RW) untuk mendapatkan informasi

menyeluruh mengenai pemanfaatan infrastruktur, distribusi akses atas infrastruktur di

antara warga, dan kapasitas warga serta institusi yang membentuk dan mendorong

pemanfaatan (dan kemudian capaian) infrastruktur. Wawancara pada level masyarakat

juga dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai partispasi masyarakat,

transparansi, serta akuntabilitas (program) pada tingkat kelurahan.

(b) Wawancara dengan warga di area program (yang ditata) dan di luar area program.

Wawancara terutama dilakukan dengan warga di area-area yang sudah diintervensi

(upgraded) untuk mendapatkan informasi mengenai pengalaman mereka dalam

menggunakan infrastruktur, pengalaman selama proses implementasi program, dan

efeknya. Efek dari program rehabilitasi permukiman ini dijabarkan dari sisi keamanan,

hubungan sosial, dan kebanggaan (perasaan menjadi bagian dari masyarakat perkotaan

yang lebih luas dan perasaan menjadi warga yang mirip dengan warga kota lainnya) serta

untuk menggali data mengenai pengalaman mereka selama proses implementasi program

penataan kawasan kumuh. Kelompok masyarakat yang diwawancara berasal dari beragam

latar belakang termasuk (a) mereka yang memiliki/tidak memiliki akses terhadap

infrastruktur; (b) ragam akses atas ragam infrastruktur; (c) kelompok masyarakat yang

mengakses infrastruktur yang dilihat dari sisi gender, usia, dan status sosial ekonomi.

(c) Wawancara kelompok masyarakat. Metode ini digunakan untuk mendapatkan informasi

mengenai program penataan kawasan kumuh dari sudut pandang warga secara kolektif.

Selain itu, metode ini juga digunakan untuk mendapatkan informasi secara keseluruhan

mengenai program rehabilitasi dari sisi akses atas layanan dasar (infrastruktur) dan

kepuasan mereka sebagai masyarakat penerima manfaat program. Studi ini juga

menggunakan metode ini untuk mengklarifikasi proses perihal cara hasil-hasil tertentu

dicapai oleh program berdasarkan perspektif warga secara kolektif. Untuk menghindari

dominasi beberapa orang dalam kelompok, studi ini melakukan wawancara kelompok

secara terpisah terutama antara kelompok perempuan dan laki-laki.

Menimbang bahwa studi evaluasi ini bertujuan untuk mengevaluasi hasil dan efektivitas dari

program PNPM Perkotaan pada periode perpanjangan, dalam studi ini kami pun menggunakan

pendekatan sebelum dan sesudah (program) dalam mendesain pertanyaan-pertanyaan

wawancara. Lebih jauh, dalam melakukan wawancara tentang hasil dan mekanisme, penelitian

ini memisahkan hasil program periode 2015-2018 (periode perpanjangan) dan sebelum 2015

(2012-2014).

Untuk memastikan validitas metode, kami melakukan triangulasi dari sisi metode dan sumber

informasi. Para peneliti menelisik jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sama dengan

menggunakan metode yang berbeda: observasi, wawancara, dan penggalian data sekunder.

Page 21: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

9

Para peneliti juga mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sama pada beberapa

informan yang berbeda (warga, pejabat di pemerintah lokal, dan di antara warga itu sendiri).

Peneliti lapangan kami terdiri dari para peneliti yang memiliki pengalaman dalam melakukan

studi kualitatif dengan kombinasi gender serta latar belakang pendidikan dan pengalaman dari

sisi sosial dan perencaaan kota. Setiap tim terdiri dari tiga peneliti yang melakukan penggalian

data di dua kelurahan di satu kota. Data lapangan dikumpulkan selama 18 hari, dari 4 sampai

22 Februari 2019. Secara total, tim kami melakukan wawancara dengan 144 informan dari

berbagai latar belakang gender, kelompok (petugas/pejabat, informan kunci, warga di area

program, dan warga di luar area program). Terdapat 65 informan perempuan dan 79 informan

laki-laki yang diwawancara di enam kelurahan.

1.4 Struktur Laporan

Laporan ini dibagi ke dalam enam bab. Bab pertama mendeskripsikan latar belakang, tujuan,

dan metode penelitan.

Bab kedua menjelaskan temuan dari penelitian dalam menjawab pertanyaan penelitian

pertama. Bab ini mendiskusikan fungsi infrastruktur dan efek dari hasil program PLPBK

terhadap dimensi intangible dari kehidupan warga seperti hubungan sosial dan integrasi

mereka dengan warga di luar kawasan kumuh. Ia juga meliputi efek positif dan negatif dari

dimensi intangible ini terhadap kehidupan warga.

Bab tiga menjelaskan cara beberapa hasil dari program itu dicapai. Bab ini menjelaskan proses

dan mekanisme program PLPBK di tiga level, yaitu program, institusi warga, dan lingkungan

kebijakan pendukung (enabling policy environments).

Bab empat mendiskusikan efek dari program pengurangan risiko bencana (PRBBK) dalam

mengurangi risiko bencana banjir yang dialami warga di kota Bima. Hal ini meliputi terbatasnya

efek program dalam membangun kapasitas dan resiliensi warga di daerah terdampak banjir

dalam melakukan mitigasi bencana. Bab ini juga mendiskusikan proses mekanisme PRBBK yang

menghasilkan dampak yang hanya terbatas pada membangun kapasitas warga dalam

manajemen risiko bencana.

Bab lima fokus pada evaluasi atas pemeliharaan infrastruktur yang dibangun pada periode

2012-2014. Bagian ini juga mengidentifikasi beberapa infrastruktur yang banyak digunakan,

yang kurang digunakan, atau bahkan tidak digunakan sama sekali. Bagian ini menekankan

bagaimana institusi warga dapat berkontribusi pada pencapaian hasil yang berbeda terhadap

keberfungsian dan pemanfaatan infrastruktur.

Bab terakhir adalah review atas keseluruhan pertanyaan penelitian dan menyampaikan

kesimpulan mengenai hasil dari program dan proses pencapaian hasil tersebut. Bagian ini juga

menyajikan beberapa isu dan saran untuk meningkatkan program.

Page 22: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

10

B A B 2

E F E K P R O G R A M P E N A T A A N K A W A S A N

K U M U H

Bab kedua ini mendiskusikan temuan-temuan penelitian yang menjawab pertanyaan pertama

tentang fungsi dan pemanfaatan infrastruktur penataan kawasan kumuh dari perspektif warga

di area yang telah diintervensi. Bab ini juga mengelaborasi efek lebih jauh dari pemanfaatan

infrastruktur terhadap dimensi intangible dari kehidupan warga. Bagian pertama bab ini

menjelaskan temuan dari sisi fungsi dan pemanfaatan infrastruktur yang dibangun untuk

pengurangan genangan air dan polusi serta dalam peningkatan akses dan konektivitas warga

(dimensi tangible). Bagian kedua mendiskusikan pembangunan infrastruktur yang terintegrasi

serta efek positif dan negatif dari pembangunan infrastruktur di satu area prioritas terhadap

dimensi intangible dari kehidupan warga di area intervensi program.

2.1. Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur

2.1.1 Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur yang Dibangun pada Program PNPM

Perkotaan Periode Perpanjangan

Di semua lokasi studi, warga menggunakan dana dari program untuk membangun infrastruktur

yang relatif sama yang terdiri dari instalasi pengolahan air limbah (IPAL), perbaikan jalan, serta

rehabilitasi drainase dan saluran limbah, penyediaan MCK, dan rehabilitasi rumah-rumah

warga. Kegiatan terakhir dapat ditemukan di Yogyakarta dan Banjarmasin.

Infrastruktur-infrastruktur tersebut ada yang dibangun secara terintegrasi di satu area prioritas,

ada pula yang dibangun tersebar di beberapa area. Infrastruktur yang dibangun di satu area

Area yang ditata di Alalak Selatan. Foto oleh Faisal S.

Page 23: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

11

prioritas memiliki efek lanjutan yang akan dijelaskan pada bagian 2.2. Bagian ini akan fokus

pada efek tangible dari infrastruktur baik yang dibangun secara terintegrasi maupun yang

tersebar di beberapa area.

Secara umum, penelitian ini menemukan dua kategori infrastruktur yaitu infrastruktur yang (i)

berfungsi dan digunakan dengan baik; serta (ii) infrastruktur yang tidak berfungsi dan/atau

tidak digunakan semestinya (lihat Tabel 2). Suatu infrastruktur masuk pada kategori pertama

ketika infrastruktur berfungsi dan (jika berada dalam kondisi layak) dimanfaatkan secara reguler

oleh warga. Infrastruktur pada kategori kedua adalah infrastruktur yang tidak digunakan oleh

warga karena ia tidak berfungsi atau karena alasan lain. Keberfungsian suatu infrastruktur

berkaitan dengan kerusakan sebagian atau keseluruhan dari bangunan atau sistem yang tidak

berjalan seperti yang diharapkan. Misalnya, tidak tersedianya air pada toilet yang sudah

dibangun. Isu-isu lain berkaitan dengan faktor-faktor lebih luas yang ada pada warga atau

perencanaan program yang berujung pada tidak atau kurang digunakannya infrastruktur yang

dibangun.

Studi evaluasi ini menemukan fakta bahwa program telah berhasil meningkatkan akses jalan dan

konektivitas, merehabilitasi drainase, saluran limbah, dan sanitasi. Infrastruktur-infrastruktur ini

bukan hanya berfungsi dengan baik tapi juga digunakan oleh warga. Namun, program ternyata

belum berhasil meningkatkan akses warga terhadap sistem pengelolaan sampah dan terhadap

area publik (public spaces) yang memadai. Warga tidak menggunakan area publik, taman,

gudang, dan gerobak sampah. Penjelasan lebih jauh mengenai fungsi dan penggunaan

infrastruktur, termasuk mengenai siapa saja yang mengaksesnya, akan dielaborasi pada bagian

berikutnya.

Tabel 2 Data Ringkas Mengenai Penggunaan Infrastruktur

No Infrastruktur Lokasi Infrastruktur yang Berfungsi dan Digunakan Warga

Lokasi Infrastruktur yang Tidak Berfungsi dan Tidak Digunakan

1 Jalan di permukiman (jalan di pinggir sungai, titian ulin, dan gang)

Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan Showcase 2018)

Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)

Kampung Melayu (PLPBK 2015-2016 dan kolaborasi 2016)

Alalak Selatan (PLPBK 2015-2016 dan dana sisa Showcase 2018)

Pane (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)

Santi (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)

Alalak Selatan (Showcase 2018)

2 Drainase Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan showcase 2018)

Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)

Alalak Selatan (Showcase 2018)

Pane (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)

Santi (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)

Page 24: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

12

No Infrastruktur Lokasi Infrastruktur yang Berfungsi dan Digunakan Warga

Lokasi Infrastruktur yang Tidak Berfungsi dan Tidak Digunakan

3 IPAL Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan Showcase 2018)

Pane (PRBBK 2017)

Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)

Alalak Selatan (Showcase 2018)

Pane (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)

Santi (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)

4 MCK/WC Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan Showcase 2018)

Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)

Alalak Selatan (Showcase 2018 dan dana sisa Showcase 2018)

Santi (PRBBK 2017)

5 Septic tank Alalak Selatan (dana sisa program Showcase)

Santi (PRBBK 2017 dan PRBBK 2018)

6 Pipa air bersih Santi (PRBBK 2017)

7 Sumber air bersih Pane (PRBBK 2017)

8 Pagar Kampung Melayu (PLPBK 2015-2016 dan Kolaborasi 2016)

9 Talud Pane (PRBBK 2017 and PRBBK 2018)

10 Gerobak sampah Alalak Selatan (PLPBK 2015-2016)

Gowongan (Showcase 2018)

11 Sumur resapan Pane (PRBBK 2017)

12 Ruang terbuka hijau Gowongan (PLPBK 2015-2016 dan Showcase 2018)

13 Balai pertemuan Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)

2.1.2 Infrastruktur yang Berfungsi dan Digunakan oleh Warga

2.1.2.1 Peningkatan Fungsi dan Penggunaan Jalan Permukiman

Salah satu jenis infrastruktur yang paling populer yang dibangun oleh program PNPM reguler

adalah perluasan dan perbaikan jalan. Infrastruktur ini juga sama populernya dalam program

PNPM periode perpanjangan. Dana dari program juga digunakan untuk memelihara dan

memperbaiki jalan-jalan gang di permukiman termasuk pembangunan jalan baru, pelebaran,

dan perbaikan jalan dengan menggunakan cor, serta membangun jalan permukiman dari kayu,

dan perbaikan jalan menggunakan paving blok. Di area bantaran sungai seperti Alalak Selatan

(Banjarmasin), dan Gowongan dan Suryatmajan (Yogyakarta), Pembangunan jalan dilakukan

dengan cara memperlebar jalan yang memotong permukiman warga. Jalan-jalan di

permukiman dinaikkan sehingga lebih tinggi dari pemukaan air sungai dan diratakan baik

Page 25: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

13

dengan semen (cor), kayu, aspal, maupun paving blok. Perbaikan jalan juga disertai dengan

kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan tampilan visual dari jalan tesebut melalui pembuatan

lukisan/ \gambar dan mural baik di jalan maupun di dinding dan pagar sepanjang jalan yang

dibangun (lihat Gambar 2). Kegiatan ini biasa disebut dengan mempercantik (beutifikasi).

Gambar 2 Kondisi jalan permukiman dan gang setelah intervensi program di Yogyakarta (kiri) dan Bima (kanan)

Foto oleh Yulia Indri Sari (kiri) and Nofalia N. (kanan)

Berdasarkan observasi dan wawancara dengan para pengguna jalan, kami menemukan bahwa program telah berhasil meningkatkan kondisi jalan dan membuatnya berfungsi lebih baik. Sebelum perbaikan, kondisinya sangat buruk; jalan tersebut hanya berupa jalan berlumpur, titian kayu yang sudah lapuk, jalan yang berlubang atau terkikis yang membuatnya tidak nyaman dan tidak aman untuk digunakan. Beberapa jalan memiliki posisi lebih rendah dari saluran air sehingga ketika hujan tergenang, berlumpur, dan kotor. Perbaikan jalan di Alalak Selatan, misalnya, dilakukan dengan cara memperlebar dan meratakan jalan menggunakan paving blok, sehingga membuat jalan lebih rata dan tidak berlumpur ketika hujan. Pengguna jalan mengatakan bahwa sekarang mereka merasa lebih nyaman menggunakan jalan tersebut. Contoh tahapan perbaikan kondisi jalan dapat dilhat pada Gambar 3.

Page 26: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

14

Gambar 3 Proses perbaikan jalan permukiman di Alalak Selatan, Banjarmasin

Foto diambil dari dokumentasi fasilitator kelurahan, Banjarmasin

Page 27: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

15

Perbaikan fungsi jalan diikuti dengan penggunaan

jalan yang lebih baik. Program ini telah berhasil

membuka akses jalan untuk pengguna yang lebih

luas—terutama pengguna sepeda motor dan mobil

yang tinggal di area permukiman maupun mereka

yang berasal dari luar. Perbaikan jalan tidak hanya

menghubungkan antarsatu RT dengan RT lainnya,

tapi juga membuka akses warga ke kota. Di Santi

(Bima) dan Gowongan (Yogyakarta), pembangunan

jalan selebar 2,5-3 meter telah membuka akses baru

bagi pengguna kendaraan bermotor menuju jalan

protokol. Sebelumnya, warga mengalami kesulitan

untuk mengakses jalan tersebut dengan

menggunakan kendaraan. Sekarang, jalan tersebut

telah digunakan secara luas oleh warga (jalan kaki)

maupun pengguna kendaraan. Di Banjarmasin,

pembangunan jalan terutama ditujukan untuk

menghubungkan satu RT dan RT lain dengan

menggunakan sepeda motor.

Warga di Gowongan, Yogyakarta, secara khusus

merasakan manfaat dari perbaikan jalan dari segi

meningkatnya konektivitas tempat mereka tinggal

dengan area lain yang lebih luas. Dana PLPBK 2015-

2016 telah berhasil membuka akses bagi warga yang

tinggal di bantaran sungai menuju jalan utama (Jalan

Kleringan) yang mengarah ke pusat kota (Malioboro)

dan menuju beberapa pusat layanan publik seperti

puskemas, sekolah, serta pertokoan. Jalan tersebut

juga telah membuka akses bagi para pengguna

sepeda motor dan mobil menuju ke area bantaran

sungai. Sebelum jalan tersebut diperbaiki, warga

harus melalui jalur yang curam menuju ke pusat

kota. Becak apalagi motor tidak bisa masuk ke area

bantaran sugai karena jalur sepanjang bantaran

sungai masih sempit (lebar kurang dari satu meter).

Karenanya, pada saat itu, sangat sulit bagi warga

untuk membawa barang dagangan mereka

(merchandise) ke daerah Malioboro untuk dijual.

Program PNPM Perpanjangan, dalam hal ini, telah

membantu memenuhi kebutuhan warga atas jalan

yang lebih lebar. Sekarang, warga dapat dengan

mudah membawa barang dagangan mereka

(merchandise) ke area Malioboro, mereka pun dapat

membeli peralatan rumah tangga dengan ukuran

Kotak 1: Berjalan dengan nyaman di

Suryatmajan

Di Suryatmajan, sebelum adanya program

penataan, jalan di permukiman hanya

memiliki lebar satu sampai satu setengah

meter dengan permukaan paving blok yang

rusak. Banyak warga menggunakan jalan ini

sebagai ‘dapur’ di mana mereka mencuci dan

menyimpan peralatan dapur sehingga

membuat jalan menjadi kian sempit, kotor,

dan tidak nyaman digunakan.

Melalui program PNPM Perpanjangan, jalan di

permukiman di sepanjang pinggiran sungai

yang dikenal dengan Pedrestrian Code

Gumreget (PCG), diperlebar menjadi tiga

meter dengan memangkas beberapa rumah

yang ada di pinggir jalan. Selain itu,

permukaan jalan dinaikan setinggi sekitar 60

cm untuk menyesuaikan dengan ketinggian

talud. Hal ini dilakukan untuk memperbaiki

fungsi saluran pembuatan limbah cair ke

sungai. Sebelumnya, posisi pipa pembungan

lebih tinggi dari permukaan jalan sehingga

mengakibatkan munculnya genangan air.

Permukaan PCG dibuat dari batu candi

sementara pagar pembatas setinggi 1.5 meter

dibuat dari material seperti marmer. Sisi

kanan dan kiri jalan dihias dengan pot-pot

bunga; beberapa ornament lain juga dipasang

untuk meningkatkan kesan artisitk di

sepanjang PCG. Di sana terdapat pula dua

spot untuk swafoto (selfie).

Warga sepakat untuk menggunakan PCG

hanya bagi para pejalan kaki dan tidak

memperbolehkan kendaraan bermotor untuk

lewat. Berdasarkan observasi dan interview

dengan warga, area PCG ramai digunakan

oleh warga terutama di pagi dan sore hari.

Pada pagi hari, para pamnula berjalan di area

dan di sore hari anak-anak ramai bermain di

sana. Orang-orang yang berkumpul di PCG

berasal dari area program dan luar are

program.

Page 28: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

16

relatif besar seperti lemari dan kulkas. Jalan yang sudah diperbaiki pun telah membuka peluang

bagi para pelaku usaha transportasi online—para penjual makanan bisa menggunakan layanan

pengiriman barang berbasis aplikasi untuk mengirimkan barang dagangan (atau barang-barang

lainnya) mereka.

Perbaikan jalan di kelurahan Suryatmajan, Yogyakarta, telah membuka akses yang lebih baik

terutama bagi para orang tua dan anak-anak. Kelompok-kelompok rentan ini mendapatkan

manfaat lebih dari perbaikan jalan. Jalan yang telah diperbaiki ditujukan hanya untuk pejalan

kaki saja dan waga pun bersepakat untuk tidak mengizinkan para pengguna sepeda motor

untuk menggunakan jalan tersebut. Manfaat jalan bagi para orang tua (manula) dan anak-anak

dapat dilihat di Kotak 1.

Peningkatan fungsi jalan telah meningkatkan keamanan para pejalan kaki. Peningkatan yang

dimaksud terutama dirasakan oleh warga di Kampung Melayu, Banjarmasin. Setelah perbaikan

titian ulin dan pemasangan pagar di bantaran sungai, warga menjadi merasa lebih aman ketika

mereka berjalan atau mengendari sepeda motor di titian tersebut. Sebelum dilakukan

perbaikan, titian ulin telah rusak cukup parah, beberapa bagian permukaan kayunya

mengelupas, dan beberapa paku bahkan menonjol di permukaan yang kerap melukai warga

dan anak-anak yang lewat di titian tersebut. Para pejalan kaki dan pengguna sepeda motor yang

melewati jalan tersebut harus sangat berhati-hati karena bisa saja mereka terjatuh dan terluka.

Selain itu, pemasangan pagar di sepanjang titian sangat bermanfaat bagi kemanan anak-anak

ketika mereka bermain di bantaran sungai. Pagar tesebut menjadi pembatas yang mencegah

para pengguna jalan agar tidak terjatuh ke sungai.

2.1.2.2 Perbaikan Jaringan Drainase

Perbaikan jalan biasanya disertai dengan perbaikan saluran air sehingga sistem drainase pun

menjadi lebih baik lagi. Penelitian ini menemukan fakta bahwa program telah berhasil

memperbaiki jaringan drainase yang dapat dilihat dari berkurangnya genangan air ketika hujan

turun.

Sebelum perbaikan dilakukan, warga mengatakan banyak masalah pada saluran drainase

terutama ketika hujan lebat turun atau (di Banjarmasin) ketika sungai meluap. Warga biasanya

menceritakan masalah darainase ini dengan menggambarkan kondisi yang kotor dan

berlumpur di sekitar area permukiman, banyak genangan air, dan ketika hujan turun, air surut

sangat lambat. Pada saat itu, air hujan tidak bisa dibuang langsung ke sungai karena drainase

mampat atau terbendung oleh aliran sungai yang pada akhirnya menghasilkan genangan air di

area permukiman. Ketika hujan turun lebat, limpasan air dapat menggenangi area permukiman

bahkan masuk ke rumah-rumah warga. Di Banjarmasin, masalah genangan air bukan hanya

disebabkan oleh hujan, tetapi terutama disebabkan oleh air sungai yang pasang yang terjadi

setiap petang. Limpasan air biasanya membawa banyak sampah dari sungai ke jalanan.

Secara umum, setelah perbaikan dilakukan, warga di area intervensi program mengatakan

bahwa saat hujan lebat turun, jalan-jalan di permukiman tidak lagi tergenang dan berlumpur.

Jalan tetap kering, aman, dan nyaman untuk digunakan. Air hujan yang turun dapat langsung

memasuki saluran air dan mengalir lancar menuju sungai. Ketika hujan, air pun surut dengan

Page 29: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

17

cepat. Efek dari rehabilitasi saluran air kerap digambarkan oleh warga dengan

membandingkannya dengan waktu sebelum dilakukan perbaikan. “Dulu ketika hujan, jalan

menjadi basah, berlumpur, dan tidak enak dilihat; tapi sekarang, air mengalir dengan lancar.

Bagus”.

Secara khusus, di Yogyakarta, program telah berhasil meningkatkan kondisi jaringan drainase

dengan memisahkan saluran air hujan (SAH) dengan saluran air limbah (SAL), mengganti pipa-

pipa dengan pipa-pipa yang lebih lebar, menata ulang kemiringan saluran air dan hubungan

antarsaluran yang melewati rumah-rumah warga. Perbaikan juga telah berhasil mengurangi

genangan air bahkan ketika hujan lebat turun selama lebih dari tiga jam.

Di Bima, dana program digunakan untuk memperlebar saluran drainase dan menutup saluran

untuk menghindari masuknya sampah ke saluran air. Perbaikan ini telah berhasil mengurangi

genangan air ketika hujan. Sebelumnya, air limbah dari rumah warga menggenang di halaman

karena saluran air yang terlalu kecil, permukaan yang terbuka (sehingga sampah masuk), serta

saluran yang mampat. Selain itu, karena rumah-rumah warga posisinya lebih rendah dari jalan,

ketika hujan turun, air hujan kerap menggenang di halaman rumah warga dan menciptakan

genangan-gengangan air yang membuat warga merasa sangat tidak nyaman. Dalam kondisi

tersebut, warga harus membersihkan drainase menggunakan tongkat kayu panjang untuk

membuat air mengalir lebih cepat. Ojek dan pedagang keliling enggan untuk masuk ke area

tersebut karena mereka sudah tahu bahwa area tersebut kotor dan berlumpur.

Lebih jauh, di Bima, program menggunakan sistem drainase tertutup dan ini berhasil

memperbaiki tampilan visual dari permukiman warga. Selain itu, pagar dan dinding sekitar

permukiman pun dicat warna-warna yang menarik. Warga pun menyimpan bunga di sekitarnya

(lihat Gambar 4).

Page 30: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

18

Gambar 4 Setelah saluran drainase ditutup, warga menggunakan bagian atas drainase untuk menyimpan pot-pot bunga.

Foto oleh Panji Ardiansyah

Di Banjarmasin, genangan air bukan hanya disebabkan oleh hujan, tetapi juga oleh pasang air

sungai. Karenanya, perbaikan drainase dilakukan dengan cara menaikkan tinggi permukaan

jalan dan jembatan sekitar 20 cm di atas permukaan sungai. Berdasarkan observasi dan

wawancara dengan warga, perbaikan ini telah berhasil mengatasi masalah air pasang. Saat ini,

tidak ada lagi genangan air di jalan (Gambar 5).

Page 31: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

19

Gambar 5. Kondisi jalan sebelum dan sesudah hujan

Foto oleh Bewanti Dahani

2.1.2.3 Peningkatan Fungsi dan Pemanfaatan Instalasi Pengolah Limbah dan MCK

Pada semua kasus yang diteliti, dana PNPM digunakan untuk memperbaiki sistem pengolahan

air limbah rumah tangga (dan dengan demikian membantu mengurangi polusi air) melalui

penyediaan instalasi pengolah limbah seperti biofilter septic tank dan pemasangan pipa

pembuangan. Instalasi pengolah limbah berfungsi untuk mengolah limbah rumah tangga dari

bentuk padat dan bau menjadi air yang lebih bersih dan tidak bau sehingga tidak berdampak

buruk bagi lingkungan.

Penelitian ini menemukan fakta bahwa di semua kasus yang diteliti penyediaan instalasi pengolah

limbah telah berfungsi dengan baik dalam mengurangi polusi yang disebabkan oleh limbah

rumah tangga yang berasal dari toilet. Sebelum tersedianya pengolah limbah cair, warga

biasanya membuang limbah toilet, baik dalam bentuk padat maupun cair, melalui saluran

drainase yang buruk (salurannya kecil dan terbuka) atau membuangnya langsung ke sungai.

Pada saat itu, warga mengatakan bahwa saluran pembuangan sering mampat, kondisi sungai

kotor dengan limbah padat dari toilet, dan sangat bau. Salah seorang warga misalnya

mengatakan, “Dulu di sini sangat bau (menunjuk ke arah area dekat sungai), sekarang tidak

lagi, Anda tidak mencium bau kotoran lagi”. Berdasarkan wawancara dan observasi, meskipun

bau tersebut tidak seluruhnya hilang, instalasi pengolah limbah telah mengurangi polusi di

sungai karena sebelum dibuang, limbah telah melalui proses penyaringan sehingga limbah

berbentuk air yang relatif jernih (Gambar 6).

Page 32: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

20

Gambar 6 Limbah air menjadi lebih bersih di Gowongan, Yogyakarta

Foto oleh Aprilia Ambarwati

Perbaikan sistem pengolahan limbah cair juga disertai dengan penyediaan atau renovasi MCK—

baik yang semi komunal maupun milik individu—di Yogyakarta (Gowongan dan Suryatmajan)

dan Banjarmasin (Alalak Selatan). Namun, MCK tidak dibangun di semua lokasi studi, terutama

di Bima. Di Bima, hanya ada satu MCK yang diperbaiki pada 2017 berhubung fasilitas tersebut

telah rusak sebagai dampak perbaikan jalan. Kebanyakan MCK dibangun menggunakan dana

PNPM Perkotaan periode sebelumnya. Di Yogyakarta, MCK digunakan bersama-sama oleh

beberapa keluarga. Di Banjarmasin, MCK merupakan WC milik perseorangan—dengan septic

tank yang dipakai secara komunal—dan terutama digunakan untuk mandi dan toilet.

Studi ini menemukan perbedaan aspek fungsi dari MCK antara MCK di Yogyakarta dan di

Banjarmasin. Berdasarkan observasi, MCK di Yogyakarta memiliki kondisi relatif bagus dan

berfungsi dengan baik. Terdapat ruangan yang terpisah untuk mencuci dan dan untuk

mandi/toilet. Pencahayaan pun berfungsi dengan baik. Air tersedia dan dapat digunakan.

Lantainya pun tidak licin, yang menunjukkan bahwa toilet tersebut dipelihara dengan baik oleh

penggunanya. Sementara itu, toilet di Banjarmasin memilik masalah dari segi fungsinya karena

ia tidak dilengkapi dengan penyediaan air bersih. Ketika hendak menggunakan toilet, warga

harus mengambil air dari Sungai Jeruju dan membawanya ke toilet.

Studi ini juga menemukan kenyataan bahwa semua MCK komunal di Yogyakarta digunakan

secara reguler oleh para penerima manfaat. Di Yogyakarta, warga yang tinggal di sekitar MCK

secara rutin menggunakan MCK untuk mandi, mencuci, dan buang hajat. Toliet-toilet tersebut

Page 33: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

21

biasanya ramai di waktu pagi dan malam. Di waktu pagi, para perempuan menggunakan MCK

untuk mencuci pakaian dan mencuci peralatan dapur. Warga di sana juga memiliki peraturan

yang jelas dalam hal pemeliharaan MCK. Beberapa pengguna memilih untuk membersihkan

MCK sendiri, setiap rumah tangga membersihkan MCK sekali dalam sepekan. Sebagian lain

memilih untuk membayar seseorang untuk membersihkan MCK. Penjelasan lebih jauh tentang

aspek pemeliharan MCK didiskusikan pada Bab 5.

Hal seperti ini juga terjadi di Banjarmasin. Meskipun air tidak tersedia, warga menggunakan

toilet berdasarkan fungsinya. Dahulu, warga hanya memiliki toilet yang dapat dikatakan

darurat. Toilet ini tidak memiliki area pembuangan khusus, bentuknya hanya berupa lubang

tepat di atas sungai. Ketika warga buang hajat, atau kencing, kotoran atau air kencing akan

langsung jatuh ke sungai dalam bentuk apa adanya. Ketika warga selesai buang hajat, lubang

kecil itu akan ditutup oleh sebuah potongan papan. Pembangunan toilet pribadi telah membuat

warga lebih nyaman. Selain itu, bentuk bangunannya pun lebih baik, permanen, dan dicat rapi

sehingga terlihat lebih cantik (Gambar 7). Keberadaan toilet seperti ini menjadi suatu

kebanggaan tersendiri bagi para penerima manfaat karena kebanyakan warga di area mereka

tinggal tidak memiliki toilet sebaik yang mereka punya (akan dijelaskan lebih jauh pada bagian

2.2.2).

Gambar 7 Kondisi toilet sebelum dan sesudah program

Foto oleh Faisal Setianzah

2.1.3 Infrastruktur yang Tidak Berfungsi dan Tidak digunakan dengan Baik

Pada bagian sebelumnya kami telah menjelaskan tipe-tipe infrastruktur—jalan, drainase, dan

sanitasi—yang berfungsi dengan baik. Infrastruktur tersebut ternyata bukan hanya berfungsi

dengan baik, tetapi juga digunakan secara rutin oleh para penerima manfaat. Bagian ini akan

menjelaskan temuan penelitian terkait dua kategori infrastruktur yang tidak digunakan dengan

baik.

Kategori pertama adalah infrastruktur yang secara umum berfungsi dan digunakan oleh warga

seperti dijelaskan di bagian 2.1.2 di atas. Namun, keberadaannya telah menciptakan efek yang

tidak diinginkan terhadap para penerima manfaat. Efek tersebut dapat dihindari seandainya pada

saat perencanaan dan desain proyek secara lebih berhati-hati memerhatikan praktik atau

kebiasan warga lokal.

Page 34: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

22

Dalam kategori ini, kami mengidentifikasi lima isu seperti diuraikan di bawah ini.

1. Perbaikan jalan yang membuka akses bagi pengguna sepeda motor tidak

mempertimbangkan aspek keselamatan para pengguna jalan lain, terutama orang tua dan

anak-anak. Fungsi jalan permukiman adalah untuk meningkatkan konektivitas dari area di

semua lokasi studi. Namun demikian, jalan tersebut tidak dilengkapi dengan tanda atau

marka untuk para pengendara kendaraan bermotor. Di Gowongan, Yogyakarta, motor yang

berlalu-lalang membuat banyak ibu-ibu khawatir dengan keselamatan anak-anak mereka.

Mereka cemas karena kadang-kadang para pengendar motor memacu kendaraannya

dengan kencang sehingga mengancam keselamatan anak-anak yang sedang berjalan atau

bermain di sana. Pagar di jalan inspeksi di Kelurahan Santi, Bima, juga membahayakan bagi

anak-anak (Gambar 8). Terdapat celah yang cukup lebar di antara batang pagar yang

memungkinkan balita atau anak-anak melewatinya jatuh ke sungai.

2. Infrastruktur titian ulin di Alalak Selatan telah menyebabkan masalah sampah yang,

menurut penuturan warga, bisa diatasi dengan membangun siring daripada titian ulin. Area

Alalak Selatan, terutama di RT yang dilewati oleh sungai Barito, selalu mengalami pasang

Foto oleh Nofalia Nurfitriani

Gambar 8. Jalan Inspeksi di Kelurahan Santi

Page 35: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

23

dan surut air sungai. Biasanya, pasang datang di sore hari selama sekitar satu sampai dua

jam; pasang yang lebih besar datang di waktu lama selama tiga sampai empat jam.

Terdapat pula pasang tahunan di bulan Desember dengan tinggi air yang bisa mencapai

betis orang dewasa. Puncak pasang ini biasanya berlangsung lebih lama daripada pasang

yang terjadi harian. Salah satu dampak dari pasang dan surut ini adalah masalah sampah.

Ketika air surut, sampah-sampah yang terbawa dari sungai berserakan di bawah rumah-

rumah warga dan sebagian lain berserakan di jalan utama. Menurut penuturan warga,

pembangunan titian ulin telah memperparah masalah sampah ini karena pada waktu

pasang banyak sampah terbawa ke darat dan tersangkut di sana. Warga berpikir bahwa

yang mereka butuhkan adalah siring yang akan menjadi penghalang dari air sungai sehingga

ketika pasang terjadi sampah-sampah tidak akan tersangkut di rumah atau berserakan di

jalanan.

3. Titian ulin telah memunculkan beban baru bagi perempuan karena mereka menjadi

kesulitan ketika mengambil air di sungai—mereka juga harus berjalan lebih jauh untuk

mendapatkan air. Sebelumnya, di waktu pasang, warga bisa mengambil air langsung dari

belakang rumah mereka dan mengangkutnya ke tempat penampungan yang juga berada

di belakang rumah. Namun, setelah titian ulin dibangun, mengambil air dari sungai menjadi

lebih sulit dilakukan karena posisi titian lebih tinggi daripada tinggi air ketika pasang. Hanya

terdapat satu lokasi pengambilan air yang tersisa (dengan tangga) tempat warga dapat

mengambil air dari sungai.

4. Pembangunan infrastruktur sanitasi tidak disertai dengan penyediaan air bersih. Dari

semua toilet yang dibangun di Gowongan, Suryatmajan, dan Alalak Selatan, hanya toilet di

Alalak Selatan yang tidak dilengkapi dengan fasilitas air bersih. Sistem biofilter septic tank

dipilih dengan mempertimbangkan sungai sebagai tempat pembuangan akhir. Namun,

fasilitator dan BKM nampaknya tidak mempertimbangkan penyediaan air bersih untuk

toilet. Baru-baru ini, warga menggunakan air dari sungai untuk menyiram toilet.

5. Ketinggian septic tank di Alalak Selatan tidak mempertimbangkan naiknya permukaan air

sungai ketika pasang. Keberadaan septic tank dan toilet memang telah mengurangi volume

limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Namun, posisi dan konstruksinya tidak

mempertimbangkan pasang tahunan yang selalu melanda area tersebut. Akibatnya, ketika

pasang tinggi, air membanjiri septic tank dan menghasilkan bau tak sedap.

Kategori kedua adalah infrastruktur yang tidak digunakan, dan karenanya, infrastruktur tersebut

kondisinya terus memburuk. Masalah ini terjadi karena proyek tidak mempertimbangkan

kebutuhan dan kemampuan dari institusi lokal dalam menggunakan infrastruktur yang dibangun.

Salah satu contoh dari kategori infrastruktur ini adalah balai pertemuan dan ruang terbuka

publik (RTP) di Gowongan dan Suryatmajan, Yogyakarta. Di Suryatmajan, terdapat tiga fasilitas

yang tidak berfungsi dengan baik yaitu RTP dan dua balai pertemuan. RTP berlokasi di gerbang

kelurahan yang relatif jauh dari area permukiman warga. Pada awalnya, fasilitas ini ditujukan

sebagai tempat belajar anak-anak (Area Permainan Anak atau APE) yang dilengkapi dengan

sarana pendidikan terbuka seperti ayunan, seluncuran, dan panjatan untuk anak-anak.

Page 36: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

24

Terdapat pula meja, kursi, rak buku, dan fasilitas lainnya. Sayangnya, RTP tersebut tidak

dipelihara dengan baik. Sampah berserakan di mana-mana, buku-buku berserakan di ruangan,

dan area tesebut kini ditumbuhi oleh rerumputan. Pagarnya pun selalu tertutup. RTP ini tidak

digunakan karena lokasinya cukup jauh dari permukiman warga dan anak-anak lebih memilih

bermain dan belajar di area pedestrian. Sama halnya, balai pertemuan atau balai umum dikenal

sebagai pos monitoring dan patrol banjir, pun terlihat kumuh tak terawat. Balai ini sangat jarang

digunakan karena warga memilih untuk berkumpul di area pedestrian. Bangunan tersebut kini

beralih fungsi menjadi gudang penyimpanan barang-barang RW seperti meja dan kursi.

Masalah serupa juga terjadi pada kasus fasilitas ruang terbuka hijau (RTH), yang kerap disebut

sebagai taman di Gowongan, Yogyakarta. Taman-taman kecil di Gowongan, secara berurutan

dibangun pada 2015 (PLPBK 2015-2016) dan 2018 (Showcase 2018), tidak memiliki fungsi dan

kegunaan yang jelas. Berdarasarkan observasi kami, ukuran dari dua taman tersebut begitu

kecil, hanya ditanami oleh bunga-bunga dan beberapa tanaman lain yang tidak rindang. Taman

yang dibangun pada 2015 tersebut telah ditinggalkan begitu saja tanpa pemeliharaan dan saat

ini kondisinya terlihat memprihatinkan. Dua taman tersebut nampak hanya sebagai penghias

yang ditempelkan di area program. Menurut pelaksana, taman tersebut dibangun untuk

memenuhi persyaratan tersedianya ruang publik terbuka dan untuk menurunkan indikator

kekumuhan.

Gerobak dan tong sampah tidak digunakan sama sekali. Sebagai contoh, delapan gerobak

sampah di sepuluh RT di Alalak Selatan, Banjarmasin, tidak gunakan sama sekali (Gambar 9).

KSM juga tidak mendorong pengelolaan sampah pada tingkat kelurahan. Pada akhirnya,

gerobak-gerobak tersebut dibiarkan tak terpakai. Baru-baru ini, warga meminta bantuan dari

pemulung untuk membuang sampah mereka ke tempat penampungan sampah yang berlokasi

cukup jauh dari permukiman mereka. Setiap kali pemulung mengambil sampah, warga

membayar mereka Rp2.500-Rp3.000. Selain itu, beberapa warga lain membakar sampah

mereka di belakang rumah atau bahkan melemparkannya begitu saja ke sungai.

Penyediaan tong sampah dengan tiga kategori—plastik, rongsokan, dan dedaunan—di

Gowongan, Yogyakarta, pun tidak berfungsi dengan baik. Nampak jelas bahwa tong-tong

sampah tersebut tidak pernah digunakan secara baik dan saat ini kondisinya rusak (gambar 10).

Penyediaan tong sampah yang telah terkategorisasi dapat dilihat hanya sebagai tempelan atau

formalitas semata dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan program. Penyediaan tong-

tong sampah ini tidak disertai dengan program penguatan kapasitas warga untuk memilah

sampah dan membuangnya berdasarkan tipe masing-masing. Hal ini sulit dilakukan terutama

karena pola pengelolaan sampah ini belum dilakukan bahkan pada level kota sekalipun.

Page 37: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

25

Gambar 8 Gerobak sampah yang tidak digunakan di Banjarmasin

Foto oleh Faisal Setianzah

Gambar 9 Tong sampah yang tidak digunakan di Yogyakarta

Foto oleh Yulia Indri Sari

2.2 Integrasi Infrastruktur dan Hasil-Hasil yang Bersifat

Intangible

Seperti telah diuraikan secara ringkas di atas, penelitian ini menemukan fakta bahwa tidak

semua infrastruktur dibangun di satu area prioritas. Beberapa infrastruktur masih dibangun

secara tersebar di beberapa lokasi. Penelitian ini juga menemukan kenyataan bahwa

infrastruktur yang dibangun di satu area prioritas yang mengindikasikan integrasi infrastruktur

yang lebih baik terbukti memiliki efek lebih jauh yang bersifat intangible bagi kehidupan warga.

Dalam hal ini, intervensi program telah meningkatkan rasa bangga warga yang tinggal di daerah

kumuh (yang telah direhabilitasi), menguatkan ikatan sosial, meningkatkan kesehatan

lingkungan, serta menyediakan tambahan pilihan penghidupan bagi warga yang tinggal di sana.

Namun demikian, penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa efek yang tak diinginkan dari

program terutama yang berkaitan dengan munculnya potensi konflik antara warga di area

program dengan warga di luar area program. Efek serius lainnya adalah potensi peningkatan

harga-harga yang dapat meminggirkan kelompok-kelompok miskin yang tinggal di area

tersebut.

Bagian ini akan dimulai dengan penjelasan tentang integrasi infrastruktur. Setelah itu, akan

diikuti dengan uraian tentang temuan-temuan positif maupun negatif dari penggunaan

infrastruktur dan efek dari keberadaan infrastruktur yang dibangun terhadap dimensi

intangible kehidupan warga.

2.2.1 Integrasi Infrastruktur

Integrasi berbagai jenis infrastruktur. Berbeda dengan PNPM Perkotaan reguler yang ditujukan

untuk menurunkan kemiskinan, PNPM Perkotaan periode perpanjangan ditujukan untuk

menata kawasan kumuh. Program perpanjangan ini menangani area kumuh melalui

pembangunan beragam infrastruktur secara terintegrasi di satu area prioritas. Melalui skema

PLPBK, beragam infrastruktur yang secara fungsi berkaitan satu sama lain dibangun di satu area

Page 38: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

26

prioritas. Sementara itu, PNPM reguler, kebanyakan mengalokasikan dananya untuk

membangun beragam infrastruktur yang tersebar di beberapa RT di satu kelurahan.

Infrastruktur yang terintegrasi dibangun di tujuh di antara sebelas lokasi studi (Tabel 3). Di tujuh

lokasi tersebut, beragam pembangunan dan perbaikan infrastruktur—pengolahan limbah

rumah tangga, pelebaran dan perbaikan jalan, pembangunan pagar di bantaran sungai,

perbaikan sistem drainase, penyediaan MCK, rehabilitasi rumah dari warga terdampak, dan

pembangunan ruang terbuka publik—dibangun di satu area prioritas. Pembangunan

infrastruktur juga disertai dengan kegiatan lain dengan tujuan untuk mempercantik area

melalui pengecatan dinding di area prioritas dengan warna-warna menarik, membuat hiasan-

hiasan yang menarik para pengunjung (termasuk dari luar), dan mendekorasi jalan-jalan

permukiman.

Dibanding dengan wilayah lain, integrasi infrastruktur dilakukan paling baik di Yogyakarta. Di

kota ini, pembangunan dan pengembangan area prioritas sepanjang Kali Code dilakukan

melalui aktivitas berikut: pelebaran dan pembangunan jalan baru (jalan inspeksi) antara sungai

dan area permukiman; rehabilitasi rumah-rumah dari warga yang terdampak pembangunan

infrastruktur (misalnya karena pelebaran jalan) melalui konsep M3K (mundur, munggah,

madep kali)3; pembangunan pagar dan tanggul di bantaran sungai, pembuatan saluran terpisah

untuk saluran limbah dan saluran air hujan, pembuatan septic tank biofilter di bawah jalan

inspeksi, pembuatan taman, gudang, serta penyediaan fasilitas sanitasi. Rehabilitasi

permukiman juga dilakukan melalui pengecatan, pembuatan mural, dan pemasangan beragam

aksesoris untuk dijadikan spot untuk swafoto (selfie). Terdapat pula konsep yang jelas dari

pengembangan area ini untuk menarik para pengunjung sekaligus sebagai tempat ketika warga

bertemu satu sama lain.

Meskipun tidak sebaik di Yogyakarta, program PNPM masa perpanjangan di Alalak Selatan,

Banjarmasin, juga sudah terintegrasi. Program telah membangun dan memperbaiki

infrastruktur—sanitasi, perbaikan jalan utama, pembangunan titian ulin, jaringan drainase—di

satu RT terpilih. Program di sana pun telah dimanfaatkan untuk merehabilitasi rumah-rumah

dengan menggunakan konsep dua muka—rumah menghadap ke jalan sekaligus ke sungai.

Material utama untuk renovasi rumah dan titian ulin adalah kayu.

Di kelurahan Santi, Bima, meskipun tidak ada rehabilitasi permukiman dan integrasi

infrastruktur yang dibangun tidak sebaik di Yogyakarta, secara umum area telah direhabilitasi

melalui pembangunan dan perbaikan berbagai infrastruktur di satu area prioritas. Program

telah memperbaiki kondisi jalan permukiman, drainase, dan instalasi pengolah limbah, serta

memperbaiki saluran air bersih. Area jalanan pun diwarnai dan didekorasi dengan mural.

Namun demikian, dana PNPM masa perpanjangan di Banjarmasin dan Bima juga digunakan untuk

membangun infrastruktur di beberapa RT di luar area prioritas. Di Alalak Selatan, selain

pembangunan di di koridor prioritas, dana PNPM juga digunakan untuk pengecoran jalan

permukiman, pembangunan septic tank komunal toilet pribadi di 5 RT di luar area prioritas. Di

3 Konsep revitalisasi yang disesuaikan dengan konteks bahasa lokal mundur, munggah (naik), dan madep (menghadap)

Page 39: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

27

Kelurahan Pane dan Santi di Bima, dana PNPM 2018 digunakan untuk pembangunan

infrastruktur di beberapa RT. Di kelurahan Santi, misalnya, infrastruktur dibangun di tujuh RT.

Distribusi infrastruktur di beberapa RT ditujukan untuk mencegah konflik antara warga yang

tinggal di area program (target) dan warga yang tinggal di luar area program (non target).

Penjelasan perihal ini akan disampaikan lebih rinci pada bagian 2.2.3.

Table 3 Lokasi penelitian (area prioritas dan non area prioritas)

No Kota Lokasi Penelitian

Infrastruktur

terintegrasi/tersebar

1 Yogyakarta Gowongan (PLPBK 2015-2016) Terintegrasi dengan baik

2 Gowongan (showcase 2018) Terintegrasi dengan baik

3 Suryatmajan (PLPBK 2015-2016)

Terintegrasi dengan baik

4 Banjarmasin Alalak Selatan (Showcase 2018) Tidak terintegrasi maksimal

5 Kampung Melayu (PLPBK Replikasi 2015-2016

dan Kolaborasi 2016)

Tidak terintegrasi maksimal

6 Alalak Selatan (PLPBK lanjutan 2015-2016) Tersebar

7 Alalak Selatan (sisa showcase 2018) Tersebar

8 Bima Pane (PRBBK 2017) Tidak terintegrasi maksimal

9 Santi 2017 (PRBBK 2017)

Tidak terintegrasi maksimal

10 Pane 2018 (PRBBK 2017) Tersebar

11 Santi 2018 (PRBBK 2018) Tersebar

2.2.2 Efek Intangible yang Bersifat Positif dari Pembangunan Infrastruktur

Terintegrasi

Penelitian ini mengidentifikasi beberapa aspek dari kehidupan warga (efek intangible) yang

secara positif dipengaruhi oleh program.

Yang pertama adalah munculnya kebanggaan warga yang tinggal di lokasi intervensi program.

Rasa bangga ini hadir sebagai efek dari berubahnya tampilan visual area yang telah direhabilitasi.

Warga yang tinggal di area program merasa bahwa pemusatan beragam infrastruktur di satu area

prioritas menghasilkan efek signifikan terhadap perbaikan tampilan visual dari area tempat

mereka tinggal. Berdasarkan wawancara dengan warga terdampak, mereka merasakan

perubahan tampilan yang signifikan dari area tempat mereka tinggal dari sebelumnya kumuh,

kotor, dan semrawut menjadi lebih indah dilihat, cantik, bersih, dan tertata rapi. Ketika

wawancara berlangsung, misalnya, seorang warga mengekspresikan perbedaan yang ia rasakan

dengan menunjukkan kondisi dari area-area yang belum direhabilitasi “..dulu daerah kami juga

terlihat seperti itu (menunjuk ke daerah di sebrang sungai yang masih belum ditata), kotor dan

jelek. Tapi sekarang, bisa Anda lihat sendiri, sekarang bersih dan indah”.

Kami mengobservasi bahwa kondisi area yang telah ditata berubah secara signifikan dengan kondisi sebelum ditata atau dibandingkan dengan area lain yang infrastrukturnya tidak terintegrasi. Kondisi area bantaran sungai di Yogyakarta dan Banjarmasin salah satu contohnya.

Page 40: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

28

Sebelum program datang, permukiman penduduk sangat padat. Beberapa rumah menggantung di atas sungai. Lebar jalan di permukiman kebanyakan digunakan warga untuk menyimpan jemuran, mencuci, memasak, dan memarkikrkan sepeda motor—sehingga membuat gang-gang itu kian sempit. Salah satu contoh area yang berubah secara signifikan dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Gambar 11).

Gambar 10 Area yang belum dan sudah ditata di Kampung Suryatmajan

Foto oleh Mulyana

Gambar 11 Area yang belum dan sudah ditata di Kampung Alalak Selatan

Foto oleh Bewanti Dahani (kiri) and Fadhli Ilhami (kanan)

Perubahan tampilan dari permukiman menjadi lebih rapi dan indah turut memengaruhi rasa

bangga warga atas tempat tinggal mereka. Mereka tidak lagi merasa malu tinggal di area (yang

dulunya) kumuh. Mereka kini bahkan merasa bangga. Kebanggaan ini biasanya ditunjukkan

dengan narasi mengenai hubungan mereka dengan warga luar atau mereka yang tinggal di luar

area program. Warga tidak lagi malu mengundang orang lain untuk berkunjung dan melihat

tempat tinggal mereka. Orang luar yang berkunjung atau kebetulan lewat ke area permukiman

mereka bahkan ada yang membandingkan area ini dengan area tempat para kelas menengah

tinggal. Terbukanya akses dari area permukiman kumuh dengan area lain yang lebih luas

Page 41: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

29

merupakan faktor kunci dari kesuksesan program. Kesan negatif dari area kumuh kerap

menghalangi warga dari luar untuk berinteraksi dengan warga di area tersebut (Lora dkk, 2008).

Narasi tentang rasa bangga dari warga yang tinggal di kawasan yang telah ditata:

“Dulu jalannya kecil, orang masak di situ, cuci perabotan di situ jadi becek, warga juga

banyak yang nyimpan perabotan di jalan, sempit, kumuh. Sekarang orang luar enak

lewat nyaman, bersih dan jalannya lebar” (Yogyakarta)

“Dulu (orang luar) takut main, sekarang yang kerja di bank lewat-lewat sini, biar lebih

cepat (sampai)” (Yogyakarta)

“Seneng, ...sekarang banyak orang lihat-lihat daerah, banyak kunjungan”

(Banjarmasin)

“Dulu mana ada yang mau masuk kesini, sekarang (dengan bangga) menunjukkan

jalan inspeksi” (Bima)

Penelitian ini menemukan fakta bahwa setelah intervensi program, terdapat lebih banyak orang

luar yang datang dengan berbagai alasan. Di Yogyakarta, warga mengatakan bahwa turis kerap

berjalan melalui daerah tersebut. Para pekerja kelas menengah seperti pegawai bank atau

mereka yang bekerja di Malioboro yang sebelumnya enggan untuk lewat ke area tersebut, kini

menggunakan jalan yang melewati area tersebut untuk kembali ke rumah mereka. Di Santi,

warga mengatakan bahwa delman dan ojek kini tidak keberatan untuk masuk ke area tersebut.

Di Kampung Melayu, warga mengatakan bahwa area mereka kini menjadi tujuan turis dan

dilewati oleh kapal turis.

Efek kedua dari integrasi infrastruktur adalah pada hubungan sosial (social relations). Program

penataan dan pendekorasian area jalan yang padat dan terbatas telah menjadikannya pusat

aktivitas tempat orang-orang bermain, berolahraga, berkumpul, dan bersosialisasi. Pada sore

dan petang, warga berkumpul di area pedestrian untuk bertemu dan mengobrol dengan

teman. Jalan ini juga menjadi tempat bermain anak-anak, yaitu mereka bisa mengendarai

sepeda, bermain sepak bola, dan badminton. Setelah program penataan, warga lebih banyak

menghabiskan waktu untuk bertemu dan berinteraksi dengan warga lain.

Relasi sosial meningkat secara signifikan di area tempat infrastrukturnya terintegrasi dengan baik

seperti di Yogyakarta. Di Suryatmajan, misalnya, di area yang dikenal sebagai Pedestrian Code

Gumreget (PCG). Area ini secara khusus dirancang sebagai area pedestrian sehingga kendaraan

bermotor tidak diperbolehkan melewatinya. Di PCG terdapat beberapa spot untuk swafoto,

terpasang pagar yang cukup tinggi, set payung-meja-kursi, mural di dinding, dan jalur

reflexologi untuk pejalan kaki. Anak-anak bermain di sana hampir setiap hari, terutama waktu

sore (gambar 13). Pada pagi hari, para orang tua berolah raga dengan berjalan kaki, ibu-ibu

bermain dengan anak-anaknya, beberapa orang tua membawa bayi mereka di stroller atau

menggendongnya—sekaligus menjemurnya di bawah hangat sinar matahari pagi.

Lebih jauh, integrasi infrastruktur dapat memengaruhi pembagian peran laki-laki dan perempuan

dalam mengasuh anak-anak seperti yang terjadi di Yogyakarta. Penelitian ini menemukan fakta

Page 42: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

30

bahwa kondisi jalan yang lebih nyaman menyediakan ruang bagi bapak-bapak untuk bermain

sekaligus mengasuh anak-anak mereka (Kotak 2).

Gambar 12 Anak-anak bermain riang di PCG

Foto oleh Yulia Indri Sari

Dampak positif lain dari infrastruktur yang

terintegrasi adalah berubahnya kebiasaan dalam

membuang sampah. Hal ini terbukti dari cerita

warga bahwa mereka telah mengubah

kebiasaan mereka dalam membuang sampah.

Mereka tidak lagi membuang sampah ke sungai

atau ke saluran air. Sebelum program penataan,

warga memiliki kebiasaan membuang sampah ke sungai atau ke saluran air. Setelah area

permukiman mereka ditata dengan konsep menghadap ke sungai seperti di Yogyakarta dan

Banjarmasin, kebanyakan warga penerima manfaat menjadi enggan untuk membuang sampah

mereka ke sungai. Mereka memilih untuk menyimpan sampah mereka pada tong sampah yang

telah tersedia atau, mereka akan membuang sampah mereka ke tempat pembuangan sampah

sementara (TPS) terdekat. Warga bahkan enggan untuk membuang sampah mereka ke sungai

karena sungai itu kini telah bersih dan terawat. Mereka kerap mengingatkan warga lain yang

masih membuang sampah ke sungai. Beberapa warga, sayangnya, mengeluh mengenai

kebiasaan buang sampah dari warga di luar area program yang tinggal di bantaran sungai (yang

masih membuang sampah mereka ke sungai).

Selain mengubah kebiasaan membuang sampah, warga yang tinggal di area prioritas di

Yogyakarta mengatakan bahwa terdapat peningkatan kesehatan lingkungan di area yang telah

ditata. Hal ini terbukti karena sebelum penataan populasi tikus dan nyamuk sangat tinggi.

Setelah penataan, seiring dengan drainase yang lancar, jalanan tidak lagi berlumpur, sampah

Kotak 2: Menjaga anak-anak juga

merupakan tugas suami

Ketika melakukan observasi di area PCG

di sore hari, kami melilihat beberapa

ayah muda bremain dengan anak-anak

mereka. Mereka bermain badminton

atau melihat anak-anaknya bermain.

Seorang ayah membawa anaknya

dengan stroller. Berbicara dengan salah

seorang peneliti kami, Bapak A

mengatakan bahwa setelah area PCG

dibuat dan ditata menjadi lebih nyaman

dan cantik, ia menjadi lebih perhatian

pada anaknya. Ia dan anaknya rutin

bermain badminton di sore hari. Ia

berkata bahwa ia mulai menjadi dekat

dan mengenal anak lelakinya setelah

rutin bermain badminton. Ia juga

menjelaskan bahwa kini ada lebih

banyak ayah muda yang tidak malu

bahkan merasa nyaman menggendong

dan menjemur bayi-bayi mereka di PCG.

Tugas menjaga dan menemani anak-

anak bermain bukan hanya pekerjaan

istrinya saja (Bapak A, Suryatmajan,

Yogyakarta, 10 Februari 2019)

Page 43: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

31

pun berkurang sehingga populasi nyamuk dan tikus pun menurun. Rumah-rumah mereka juga

menjadi lebih terang karena rumah yang telah ditata memungkinkan sinar matahari masuk dan

sirkulasi udara lebih baik.

Namun demikian, peningkatan kesehatan lingkungan tidak terjadi di area-area tempat

infrastrukturnya tidak diintegrasikan dengan baik, misalnya di Alalak Selatan, Banjarmasin.

Meksipun terdapat perbaikan tampilan permukiman, warga mengatakan bahwa program tidak

mengurangi populasi nyamuk dan volume sampah di sungai. Hal ini disebabkan oleh jarak

antara area yang ditata dan area yang tidak ditata sangat dekat, hanya dibatasi oleh sungai.

Warga dari area yang belum ditata masih membuang limbah padat dan sampah ke sungai.

Program penataan wilayah kumuh di satu area

prioritas juga meningkatkan ketersediaan opsi-opsi

penghidupan warga. Studi ini menemukan bahwa

penataan tersebut telah membuka peluang-

peluang baru dan telah meningkatkan strategi

penghidupan dari warga di wilayah program

maupun non-program.

Pada kebanyakan kasus dari wilayah-wilayah

tempat infrastrukturnya dibangun secara

terintegrasi (Yogyakarta dan Bima), perbaikan

jalan telah membuka akses bagi para penduduk,

terutama mereka yang menggunakan sepeda

motor; hal ini pun telah membuka peluang-

peluang sumber ekonomi yang baru. Terdapat

lebih banyak orang muda yang bekerja sebagai

pengemudi ojek online. Dengan lebih banyaknya

orang yang melewati jalan (yang telah diperbaiki),

peluang-peluang usaha baru pun terbuka,

misalnya usaha warung dan cuci pakaian (laundry)

(Kotak 3). Warung-warung makanan pun buka dari

pagi hingga malam hari. Warga, yang sebelumnya

harus menjual barang dagangannya di kota,

sekarang bisa juga menjual barang dagangannya di

rumah. Beberapa pelaku usaha mikro dan rumahan seperti pembuat kaos merasakan kini lebih

mudah bagi mereka untuk membawa barang-barang dagangan menuju pasar.

Di Suryatmajan, penataan PCG dengan konsep turisme yang menarik orang-orang maupun

kelompok untuk berkunjung telah menciptakan peluang usaha baru bagi warga di area

tersebut. Para perempuan menjual makanan. Warga dari daerah non-program pun dapat

berjualan di area PCG. Seorang penjual mengatakan bahwa jumlah pembelinya meningkat.

Dulu, kebanyakan pembelinya adalah warga yang tinggal di kampung setempat, tapi sekarang

pembelinya banyak berasal dari luar kampung tersebut. Ia mengatakan bahwa jumlah

pembelinya meningkat karena kampung tersebut kini terkenal di masyarakat luas. Banyak dari

masyarakat tersebut sengaja datang ke lokasi dan membeli makanan yang dijual di sana.

Kotak 3: Efek pada Mata

Pencaharian

Salah seorang warga yang tinggal di

area yang telah ditata di kelurahan

Santi adalah Ibu E. dulu, Ibu E hanya

menjual kopi dan makanan ringan di

warung kecil miliknya. Ketika jalan di

permukiman tempat ia tinggal

diperbaiki, ia pun merenovasi

warungnya menjadi toko yang lebih

besar dan menjual beragam

kebutuhan sehari-hari. Selain itu, ia

pun membuka usaha laundry di

tokonya tersebut. Ketika ia hanya

menjual kopi dan makan ringan,

pendapatannya hanya sekitar

Rp10.000-20.000 per hari. Namun

sekarang ia bisa mendapat

Rp200.000-300.000 per hari (Ibu E,

Santi, Bima, 17 Februari 2019)

Page 44: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

32

2.2.3 Efek Negatif Infrastruktur yang Terintegrasi terhadap Hubungan Sosial dan

Harga Akomodasi

Di samping memberikan dampak positif, seperti dijelaskan pada bagian 2.2.2, studi ini

menemukan dua efek negatif dari program penataan kawasan kumuh yang difokuskan pada

pembangunan infrastruktur yang terintegrasi di satu kawasan. Efek dari fokus program tersebut

berpotensi menciptakan ketegangan sosial di antara masyarakat dan meningkatkan harga

akomodasi di daerah sekitar program.

Meskipun infrastruktur yang lebih terintegrasi telah menguatkan relasi sosial antarwarga yang

tinggal di kawasan prioritas, studi ini menemukan bahwa secara umum pembangunan

infrastruktur terintegrasi yang difokuskan di satu area prioritas telah menimbulkan kecemburuan

warga yang tinggal di sekitar (tapi di luar) area yang ditata. Mereka merasa area mereka berbeda

dari area yang telah ditata yang terlihat lebih cantik. Mereka pun merasa malu tinggal di area

yang belum ditata.

Selain itu, warga dari luar area program ini mengekspresikan kecemburuan dengan cara yang

dapat menciptakan ketegangan dengan warga dari area program. Mereka mengeluh bahwa

mereka menerima dampak negatif dari program penataan yang dilakukan di area lain. Mereka

misalnya mengeluh tentang meningkatnya jumlah tikus dan nyamuk yang menurut mereka

berasal dari area yang saat ini sudah ditata. Mereka juga berpendapat bahwa munculnya banjir

baru, walau kecil, di daerah mereka merupakan akibat lain dari penataan wilayah di daerah

sebelah. Beredar rumor di antara warga yang tinggal di luar area program bahwa merekalah

yang menerima semua dampak negatif terhadap lingkungan sebagai akibat dari program

penataan yang berdampak positif bagi warga di area penerima program.

Mereka juga mempertanyakan mengapa program penataan hanya dilakukan di satu area

khusus saja, tetapi tidak dilakukan di area mereka. Mereka menyadari bahwa telah terjadi

perubahan signifikan pada area yang ditata dan mereka paham bahwa untuk melakukan itu

semua diperlukan biaya yang besar. Dari perspektif mereka, hal tersebut tidak adil mengingat

semua area di daerah tersebut adalah area miskin—tetapi, mengapa hanya satu area saja yang

menerima dana bantuan yang begitu besar. Terdapat pula rumor bahwa proses seleksi untuk

pelaksanaan program ini dilakukan secara tidak adil dan mereka menduga bahwa bisa jadi

terjadi kolusi di antara ketua RT dari area yang ditata dengan orang-orang kelurahan. Mereka

mengeluhkan hal ini dan menyampaikannya kepada para petugas di kelurahan dan meminta

kelurahan untuk mendistribusikan dana secara merata ke semua area. Jika warga ini di

kemudian hari tidak menerima program sejenis, terdapat potensi munculnya ketegangan yang

lebih besar antara warga dari daerah luar program dengan para pekerja di kelurahan.

Di samping kecemburuan yang muncul di antara warga yang tinggal di luar area yang ditata,

penelitian ini juga mengidentifikasi dua kasus efek negatif dari program ini terhadap relasi sosial

yang sebenarnya dapat diminimalisasi dengan rancangan desain dan community engagement

yang lebih baik.

Seperti telah didiskusikan di bagian 2.2.2, program ini secara umum telah menguatkan relasi

sosial di antara warga di area program dan mereka merasa lebih senang dengan hasil dari

program penataan. Namun demikian, penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat

Page 45: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

33

kekecewaan dari sebagian warga yang rumahnya harus ditata. Mereka mengapresiasi

bahwasanya program PNPM manawarkan untuk merenovasi rumah mereka, tetapi mereka

menolak untuk membangun lantai dua di rumahnya karena mereka tidak memiiki uang untuk

membayar biaya konsumsi setiap hari untuk para pekerja4. Mereka mengatakan bahwa jika

proyek renovasi memakan waktu dua minggu dengan dua orang pekerja, dan mereka harus

menyediakan konsumsi pekerja yang jika diuangkan sebesar Rp50.000/hari, secara total

mereka hasur mengalokasikan uang sebesar Rp1.400.000 untuk dua pekerja tersebut. Mereka

juga mengatakan bahwa pada saat rumahnya direnovasi, mereka tidak bisa menjalankan

usahanya. Beberapa warga ini memiliki usaha sebagai penjual makanan dan biasanya mereka

memasak makanan tersebut di rumah. Mereka menekankan bahwa program sejauh ini tidak

memberikan solusi untuk mengurangi beban tersebut. Kekecewaan sebagian warga ini

direspon negatif oleh warga lain, dan mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak

bersyukur/berterima kasih (atas adanya program renovasi rumah).

Kasus kedua adalah menurunnya interaksi di antara warga, termasuk perempuan di Alalak

Selatan, Banjarmasin. Sebelum program penataan, para perempuan di sana secara reguler

mencuci baju mereka di bantaran sungai. Para perempuan yang mencuci pakaian di sana bukan

hanya mereka yang tinggal di bantaran sungai, tapi juga mereka yang tinggal sedikit lebih jauh

dari sungai. Kegiatan mencuci menjadi tempat interaksi sosial saat para perempuan yang

tinggal di bantaran sungai, di daerah daratan, dan di seberang sungai berinteraksi satu sama

lain. Namun, setelah dibangunnya titian ulin, kegiatan mencuci bersama ini menurun. Baru-

baru ini, para perempuan yang tinggal sedikit lebih jauh dari sungai (daratan) hanya datang ke

sungai untuk mengambil air dan kemudian mencuci pakaian di rumah masing-masing. Ini terjadi

karena hanya terdapat satu lokasi untuk mencuci yang tersisa di sungai. Satu lokasi yang tersisa

ini pun sebagiannya terhalangi oleh titian. Selain itu, titian yang telah dibangun ini telah

menciptakan jarak yang lebih jauh antara antara warga yang tinggal di seberang sungai dengan

lokasi mencuci.

Selain dampak terhadap dampak sosial, implikasi serius lain dari program penataan kawasan

kumuh adalah potensi peningkatan harga tanah dan perumahan di sekitar daerah prioritas.

Tentang hal ini sudah terlihat indikaisnya di area program di Yogyakarta dan Bima. Di

Yogyakarta, berdasarkan wawancara dengan ketua RT setempat, telah terjadi peningkatan

harga sewa kosan dari sebelumnya Rp500.000/bulan menjadi Rp800.000/bulan setelah

program penataan dilakukan. Selain itu, terdapat juga kasus ketika warga memilih untuk tidak

menyewakan rumahnya kepada para pekerja yang sehari-hari bekerja di Malioboro. Setelah

penataan, warga tersebut lebih memlih untuk menyewakan rumahnya kepada turis yang

membayar dengan harga lebih ringgi. Di Bima, seorang warga terkejut ketika mengetahui

bahwa rumahnya sekarang memiliki nilai lebih dari yang ia pikir sebagai harga pasaran yang

berlaku. Ketika ia mengajukan aplikasi kredit ke bank, ia diberitahu oleh pegawai bank—setelah

pegawai ini menyurvai rumahnya—bahwa nilai rumah dan lahan milik warga tersebut adalah

Rp35.000.000. Harga ini jauh lebih tinggi daripada harga ketika ia membelinya dulu, yang

bernilai Rp15.000.000. Pegawai bank tersebut mengatakan bahwa saat ini kawasan tempat

4 Program akan membangun rumah dengan ukuran awal rumah yang dipangkas karena pelebaran jalan. Penambahan (penggantian) area yang terpangkas ini dilakukan dengan membangun lantai dua.

Page 46: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

34

warga tadi tinggal tidak lagi dikategorikan sebagai kawasan kumuh (karenanya, nilai dari rumah

dan tanah di sana pun menjadi meningkat).

Di masa depan, tren kenaikan harga ini bisa saja mengeliminiasi kelompok-kelompok miskin

berpenghasilan rendah yang tinggal di sana karena tidak lagi mampu membayar harga sewa

akomodasi di sana. Melihat perkembangan ini, pendekatan apapun yang dilakukan untuk

menata kawasan kumuh, harus mempertimbangkan implikasi-implikasi tersebut dan

memastikan bahwa lokasi yang ditata tetap terjangkau oleh kelompok-kelompok yang kurang

beruntung.

Page 47: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

35

B A B 3

P R O S E S D A N M E K A N I S M E

Bab 2 laporan ini menjelaskan bahwa secara umum program PLPBK telah berhasil menata dan

membangun infrastruktur dasar perkotaan di kawasan-kawasan kumuh. Program pun telah

berhasil meningkatkan akses jalan dan konektivitas, jaringan drainase, serta sistem

pembuangan limbah. Secara khusus, studi ini juga menemukan bahwa pengintegrasian

infrastruktur di satu area prioritas telah menghasilkan dampak terhadap dimensi intangible dari

kehidupan warga seperti meningkatnya rasa bangga, menguatnya hubungan sosial, dan

terbangunnya koneksi dan integrasi dengan warga di luar kawasan kumuh. Melanjutkan Bab

tersebut, pada Bab 3 ini akan diidentifikasi faktor yang menjelaskan temuan-temuan terkait

hasil di atas. Termasuk di dalamnya, pengidentifikasian beragam hambatan dalam optimalisasi

pengintegrasian infrastruktur dalam rangka menghasilkan infrastruktur yang berfungsi dengan

baik.

3.1 Faktor yang Memengaruhi Fungsi Infrastruktur

Program PNPM masa perpanjangan di semua lokasi penelitian telah berhasil merehabilitasi

infrastruktur dasar di area perkotaan yang berkaitan dengan akses dan konektivitas jalan,

drainase, sistem pembuangan limbah, dan sanitasi. Tiga faktor utama yang membuat semuanya

berfungsi dengan baik adalah kemampuan (kapasitas) yang baik dari fasilitator program (Faskel)

dan tim pelaksana di tingkat kelurahan (BKM dan KSM), prosedur administrasi (bertingkat) dari

program, dan konteks perkotaan yang secara positif memengaruhi peningkatan fungsi

infrastruktur.

Berkaitan dengan faktor pertama, yaitu kemampuan (kapasitas) yang baik dari fasilitator program

(Faskel) dan tim pelaksana di tingkat kelurahan (BKM dan KSM) adalah dalam hal perencanaan,

Pertemuan PNPM di Kelurahan Gowongan. Foto oleh Muklas

A. S.

Page 48: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

36

pengelolaan, dan pembangunan infrastruktur perkotaan. Dengan kapasitas tersebut, BKM dan

KSM mampu mengelola dengan baik proyek infrastruktur yang bernilai Rp 2 miliar. Mereka

mampu memastikan bahwa semua kegiatan terlaksana dan semua infrastruktur benar-benar

dibangun. Faskel mendampingi BKM dan KSM dalam membangun dan meningkatkan fungsi

infrastruktur. Mereka juga mengawasi administrasi proyek seperti penyerapan anggaran,

memastikan ketersediaan laporan, memeriksa dokumen dan memastikan bahwa semua

kegiatan terlaksana sesuai tenggat yang telah ditetapkan.

Kemampuan-kemampuan ini terbentuk dari pengalaman mereka dalam mengelola program

PNPM Perkotaan. PNPM Perkotaan, yang pertama kali dimulai pada 2007, secara efektif telah

menguatkan kapasitas dalam peningkatan atau rehabilitasi infrastruktur perkotaan. Evaluasi

program PNPM Perkotaan menemukan bukti bahwa program tersebut telah berhasil secara

efektif menangani masalah infrastruktur di area perkotaan (Baker dkk, 2003) dengan kualitas

infrastruktur yang baik (Mulya, 2010). Anggota BKM dan KSM telah memiliki beberapa

pengalaman dan familiar dengan pengelolaan program PNPM reguler dalam membangun

infrastruktur dan dengan demikian mereka pun lebih terbiasa dan dapat menyesuaikan diri

dengan semua proses yang diperlukan dalam pembangunan infrastruktur. Sistem perencanaan

dan implementasi program PNPM Urban—termasuk sistem administrasinya—telah dibangun

melalui pengalaman bertahun-tahun dalam pembangunan infrastruktur perkotaan—drainase,

jalan, toilet, jembatan, selokan—dan ini sudah cukup untuk mendukung sistem pengelolaan

PNPM masa perpanjangan—desain, rencana anggaran, bangunan, mobilisasi pekerja, dan

persiapan dokumen—yang pada akhirnya akan menghasilkan infrastruktur yang berfungsi

dengan baik.

Faktor kedua adalah prosedur administrasi (bertingkat) dari program mulai dari BKM ke faskel,

ke koordinator tingkat kota, kemudian ke tingkat regional, dan akhirnya ke tingkat nasional.

Prosedur seperti ini memastikan faskel dalam melakukan semua kegiatan yang disyaratkan.

Mekanisme PNPM menekankan aspek pelaporan administrasi keuangan sebagai bentuk

mekanisme insentif dan disentif untuk pencairan anggaran. Mekanisme ini menjadi alat

(efektif) dalam mendisiplinkan faskel untuk memastikan bahwa program berjalan sesuai

dengan tahapan yang seharusnya dan sesuai dengan SOP (standard operating procedure) dan

untuk menyiapkan semua dokumen yang disyaratkan.

Faktor ketiga adalah konteks perkotaan yang secara positif memengaruhi perbaikan fungsi

infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh banyaknya orang yang tinggal di area perkotaan yang

memiliki pengalaman dalam pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastruktur perkotaan. Tidak

seperti di perdesaan, ada lebih banyak warga di area perkotaan yang bekerja sebagai buruh

dan pekerja bangunan (tukang). Mereka memiliki kemampuan dan pengetahuan teknis dalam

mengidentifikasi masalah dana dalam membangun infrastruktur. Anggota BKM

menggarisbawahi bahwa tidak sulit untuk menemukan anggota KSM dan tukang yang telah

memiliki pengalaman dalam membangun jalan, merehabilitasi drainase dan sistem pengolahan

limbah, serta sanitasi. Mereka memberikan contoh bahwa beberapa kesalahan dalam

pembangunan di lapangan dapat diseleseaikan oleh KSM dan tukang dan mereka tidak

memerlukan pendampingan yang intensif dari faskel. Faktor-faktor ini, sekali lagi, telah

membantu terbangunnya infrastruktur dengan kualitas yang baik.

Page 49: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

37

3.2 Faktor Pendorong Integrasi Infrastruktur Lebih Baik

Penelitian ini mengidentifikasi bahwa integrasi infrastrukur terjadi karena empat faktor yang

saling berkaitan. Keempatnya adalah:

1. Desain program yang mengacu pada konsep pembangunan permukiman berbasis

komunitas (PLPBK) yang memastikan peningkatan akses atas infrastruktur dan

permukiman yang lebih baik di daerah yang ditata;

2. Strategi fasilitator dan tim pelaksana proyek di tingkat kelurahan dalam melaksanakan

desain penataan area kumuh yang memastikan pembangunan dan perbaikan infrastruktur

di satu area prioritas;

3. Institusi warga yang kuat yang membantu memaksimalkan dampak dari pembangunan

infrastruktur; dan

4. Lingkungan pendukung (enabling environment) di tingkat kota yang menyediakan

referensi bagi program dalam hal penataan area kumuh yang sesuai dengan konteks lokal.

Infrastruktur yang terintegrasi dengan baik, seperti terlihat di Yogyakarta, memiliki empat

faktor tersebut. Rancangan dan pelaksanaan proyek didukung oleh warga yang aktif dan aturan

di tingkat lokal. Sementara itu, pembangunan infrastruktur di Banjarmasin dan Bima tidak

begitu terintegrasi seperti di Yogyakarta. Rancangan dan implementasi program, secara

khusus, kurang didukung oleh warga dan regulasi di tingkat lokal.

3.2.1 Desain Penataan Kawasan Kumuh

Penelitian ini mengidentifikasi empat faktor dalam desain program yang memastikan

terbangunnya infrastruktur secara terintegrasi di satu area prioritas.

Faktor pertama adalah peran dari site plan yang penting sebagai instrumen perencanaan untuk

memastikan tersedianya infrastruktur di satu area prioritas. Sebuah site plan merupakan

gambaran arsitektur yang rinci mengenai perbaikan dan penyediaan infrastruktur di area

spesifik, sebuah gambaran grafis tentang rencana perbaikan infrastruktur. Dalam hal ini faskel,

dengan keahlian mereka dalam urban planning (perencanaan kota), menyiapkan site plan

(rencana tapak) bersama dengan warga. Hasilnya kemudian dituliskan dalam dokumen

perenanaan (RPLP). Perencanaan ruang berisi perencanan area makro (kelurahan) dan

perencanaan area mikro (area prioritas). Yang terakhir menggambarkan konsep dan peta rinci

dari penataan area prioritas, dan menunjukkan gambaran rencana perbaikan infrastruktur;

jalan, saluran pembuangan, permukiman, dan area terbuka hijau di area yang dirancang.

Faktor kedua adalah peran faskel dengan keahlian site plan dalam mengawasi pelaksanaan

proyek penataan kawasan kumuh. Pembuatan site plan dan rencana penataan kawasan

membutuhkan dukungan ahli, biasanya mereka yang memiliki pendidikan dan pengalaman

dalam tata ruang dan arsitektur. Berdasarkan wawancara dengan faskel, baik fasilitator dari

program PNPM Perkotaan regular, fasilitator community development (latar belakang

pendidikan dalam ilmu sosial), maupun fasilitator keuangan, semuanya tidak memiliki kapasitas

dalam menyiapkan site plan. Karenanya, PNPM periode perpanjangan merekrut fasilitator

dengan latar belakang pendidikan dalam tata kota atau arsitektur untuk menyiapkan site plan.

Mereka mampu membuat site plan sebagai panduan untuk kegiatan penataan kawasan kumuh,

Page 50: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

38

seperti dapat dilihat dalam contoh site plan berikut (Gambar 14) yang dirancang oleh faskel

yang memiliki keahlian dalam pembuatan site plan.

Gambar 13 Contoh konsep penataan wilayah kumuh di satu area prioritas di Gowongan dan Alalak

Selatan

Sumber: Site Plan of Gowongan and Alalak Selatan, 2018

Faktor ketiga dalam rancangan proyek yang mendukung integrasi infrastruktur adalah jumlah

dana yang signifikan. Dana PLPBK harus cukup untuk membangun infrastruktur dasar—untuk

Page 51: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

39

menata permukiman, drainase, jalan, pengolahan limbah, dan ruang terbuka—di satu area

prioritas. Dana tersebut juga digunakan untuk merekrut ahli penataan kawasan kumuh termsuk

ahli dalam arsitektur, pembangunan, pemasaran, dan administrasi keuangan. Menurut BKM,

biasanya jumlah dana dari program-program lain ada di kisaran Rp500.000.000. Namun jumlah

dana yang disediakan program PLPBK ini jauh lebih banyak yaitu senilai Rp2.000.000.000.

Dengan dana sebanyak itu, program dapat menyediakan infrastruktur mulai dari drainase,

selokan, ruang terbuka, hingga rehabilitasi rumah.

Selain itu, program ini juga tidak mensyarakatkan dokumen administrasi apapun, seperti

sertifikat tanah atau IMB. Karenanya, ini cocok dengan konteks kawasan kumuh perkotaan.

Sebuah rumah akan diperbaiki meskipun orang atau keluarga yang tinggal di sana tidak memiliki

dokumen legal untuk membuktikan bahwa mereka adalah pemilik rumah tesebut. BKM melihat

bahwa aturan dan persyaratan untuk memilih area untuk program PLPBK lebih fleksibel

dibandingkan dengan program-program lain, dan ini membuat PLPBK cocok untuk konteks

kawasan kumuh.

Akhirnya, periode program selama dua tahun turut mendukung terlaksananya integrasi

infrastruktur yang lebih baik. Program penataan kawasan kumuh, khususnya pada 2015,

menetapkan periode dua tahun untuk penyelesaian proyek. Tahun pertama digunakan untuk

menyiapkan dan merencanakan program; tahun kedua, sementara itu, digunakan untuk

melaksanakan program dan untuk memastikan keberlanjutan program. Di Suryatmajan,

misalnya, tahap persiapan dan perencanaan berlangsung selama satu tahun dari Juni 2014

sampai dengan Juni 2015. Implementasi dan pemastian keberlanjutan program dilaksanakan

mulai Agustus 2015 sampai dengan Desember 2016. Infrastruktur yang telah dibangun secara

resmi diluncurkan pada Januari 2017.

Menurut BKM, durasi proyek yang panjang memungkinkan proses perencanaan yang lebih baik

terutama untuk melakukan sosialisasi mengenai program penataan rumah kumuh untuk warga

terdampak. Mereka menjelaskan bahwa proses rehabilitasi perumahan kumuh merupakan

proses yang paling penting dan memerlukan persiapan yang panjang dan hati-hati. Rumah-

rumah warga akan dipangkas dan pemiliknya akan diberi kompensasi dengan rumah yang

direnovasi dengan ukuran yang sama dengan ukuran aslinya (sebelum dipangkas). Selain itu,

mereka juga harus membayar biaya konsumsi untuk para pekerja harian sebagai bentuk dari

kontribusi mereka terhadap program. BKM menjelaskan bahwa warga kerap khawatir dengan

proses rehabilitsi rumah mereka karena mereka berpikir bahwa ini mungkin bagian dari

program penggusuran—istilah yang sangat sensitif bagi mereka yang tinggal di kawasan

kumuh.

3.2.2 Pelaksanaan Program Penataan

Pada tahap pelaksanaan program, penelitian ini mengidentifikasi strategi dari para aktor

(faskel, BKM, KSM) yang penting untuk memastikan pembangunan infrastruktur yang

terintegrasi.

Strategi pertama adalah strategi dalam memilih area prioritas. Studi ini menemukan bahwa

pemilihan area prioritas yang akan ditata tidak didasarkan pada kategori ‘area yang paling

miskin’, tetapi ditentukan berdasarkan pertimbangan ‘pragmatis’ yang akan membantu

Page 52: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

40

mempermudah proses penataan5. Pertimbangan-pertimbangan tersebut meliputi kesiapan dari

ketua RT dan RW untuk menyiapkan warganya untuk pelaksanaan program serta tingkat

kompleksitas dari permukiman yang akan ditata yang sebagian besar berada di pinggiran sungai.

Pada tahap awal program, BKM dan faskel biasanya akan mengadakan pertemuan dengan

ketua RT dan RW, serta pegawai kelurahan untuk menjelaskan perihal program—terutama

mengenai penataan permukiman. Diskusi menekankan kompensasi untuk rumah yang

dipangkas dari warga terdampak yang akan dikompensasi dengan renovasi rumah menjadi dua

lantai dengan ukuran yang sama dengan ukuran aslinya. BKM dan fasilitator akan bertanya

mengenai kesiapan RW-RW, dan akan memilih RW yang ketuanya siap untuk menyiapkan

warga mereka untuk menerima konsekuensi-konsekuensi program. Contohnya di Gowongan.

Pada saat pertemuan, BKM dan faskel pada awalnya menyarankan agar pembangunan

dilaksanakan di area RW yang paling kumuh, dan saran ini disetujui oleh para RW yang hadir

dalam pertemuan. Namun, ketua RW dari area yang disarankan tesebut tidak siap karena di

areanya ada lebih banyak rumah yang harus direnovasi. Akhirnya, dana program dialokasikan

untuk RW yang ketuanya menyatakan kesiapan untuk melaksanakan program.

Pertimbangan yang hampir sama juga digunakan dalam program Showcase 2018. Setelah

melihat hasil yang bagus dari area yang ditata, warga di daerah bantaran kali lainnya juga

menginginkan agar area mereka ditata. Kebanyakan ketua RW siap untuk

mengimplementasikan program. Sayangnya, dikarenakan periode proyek yang lebih pendek,

pelaksana program pada akhirnya juga memilih untuk mengalokasikan anggarannya untuk

area-area yang lebih siap dari sisi impelementasi program. Keputusan ini dibuat dengan

mempertimbangkan kesiapan dari RW dan warga untuk mengeksekusi program dalam tempo

kurang dari satu tahun. Pertimbangan lainnya adalah tingkat kesulitan area yang akan ditata,

misalnya jumlah rumah yang harus dipangkas.

Bapak B, Gowongan, 13 Februari 2019

“Belum tentu yang paling kumuh… karena harus pangkas rumah, yang mudah

didahulukan”.

Strategi kedua adalah strategi sosialisasi. Strategi sosialisasi yang bersifat personal dan sistematik

terbukti lebih efektif untuk memastikan dukungan warga atas program pembangunan

infrastruktur di satu area prioritas, termasuk program rehabilitasi rumah. Di area dengan

infrastruktur yang terintegrasi dengan baik, sosialisasi dilakukan dengan pendekatan personal

dan sistematis. BKM mendekati warga secara personal secara informal, menyampaikan bahwa

mereka tentang rencana penataan. Ini kemudian dilanjutkan pertemuan dengan beberapa

warga, dan kemudian dalam pertemuan yang lebih besar dengan semua warga tinggal di area

yang akan dijadikan area prioritas. Pendekatan personal dipercaya lebih efektif untuk

meyakinkan warga mengenai program.

Kebanyakan anggota BKM dan KSM merupakan ketua (atau mantan ketua) RW, RT, dan ketua

atau anggota LPMK6. Mereka telah tinggal di kelurahan setempat selama bertahun-tahun dan

memiliki pengalaman dalam mengelola warga seperti melalui pengelolaan sampah, jimpitan

5 Di Bima, walaupun pertimbangan kesiapan ketua RT dan RW diperhitungkan dalam pemilihan area prioritas, pertimbangan pertama adalah kondisi daerah kumuh. Hal ini karena kondisi kekumuhan daerah tidak begitu parah dan tidak jauh berbeda antarsatu daerah dengan yang lain. 6 Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan

Page 53: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

41

(iuran swadaya di Yogyakarta), iuran RT; mereka pun memiliki pengalmaan dalam melakukan

negosiasi dengan warga dalam berbagai urusan. Posisi dan pengalaman ini membuat mudah

bagi mereka untuk mendapatkan persetujuan dari warga mengenai kegiatan penataan tempat

tinggal. Keterampilan dalam negosiasi ini merupakan hasil dari berbagai faktor termasuk

kenyataan bahwa banyak dari orang BKM merupakan tokoh masyarakat setempat. Mereka

memiliki pengalaman mengenai sejarah perkembangan kampung dan memiliki kemampuan

dalam meyakinkan warga dengan berbagai cara sehingga bersedia jika rumah mereka ditata

oleh program. Mereka juga mampu meyakinkan warga bahwa rumah baru (renovasi) yang akan

dibangun akan menjadi lebih baik dari yang aslinya. Selain itu, ketua RT dan RW pun telah

memiliki bayangan atau visi tentang daerah permukiman mereka yang dapat diintegrasikan

dengan rancangan program.

Strategi penting ketiga yang turut memastikan terjadinya integrasi infrastruktur adalah

memastikan partisipasi warga di area program dalam proses perancangan kegiatan penataan

rumah dan permukiman. Faskel di area program di Yogyakarta dan Banjarmsin biasanya

berkonsultasi dengan warga mengenai desain visual dari program penataan. Menurut seorang

arsitek yang bekerja di program penatan di Yogyakarta, ketika desain dipresentasikan melalui

komputer atau smartphone, warga akan memahami rencana rehabilitasi rumah mereka

sehingga mereka dapat memberikan saran-saran yang jelas dan relevan. Dengan demikian,

fasilitator pun paham tempat-tempat yang perlu diperbaiki dari desain tersebut dan di sisi lain

warga pun senang dengan desain tersebut. Dengan skema waktu pelaksanaan program selama

dua tahun, arsitek yang yang merancang area prioritas di Yogyakarta dapat merevisi desain

beberapa kali sampai akhirnya disetujui oleh warga.

Strategi keempat untuk memastikan terbangunnya infrastruktur yang terintegrasi adalah peran

dari faskel dalam menyusun site plan yang memerhatikan konteks lokal, termasuk kegiatan

warga. Faktor ini sangat kentara di Yogyakarta. Fasilitator-fasilitator yang bekerja di sana

memiliki keahlian dalam menyusun site plan yang sesuai dengan konteks lokal. Dalam tahap

persiapan, mereka mengumpulkan material atau referensi konsep, gambar-gambar, dan peta

satelit oleh mereka sendiri. Tahap selanjutnya, mereka harus mampu memodifikasi

konsep/referensi-referensi tadi dan menyesuaikannya dengan konteks lokal.

Wawancara yang dilakukan dengan faskel di Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat

beberapa referensi untuk kegiatan penataan kawasan kumuh di Yogyakarta—yang dimulai

ketika Romo Mangun menata area di Kali Code yang dapat memberikan insipirasi bagi faskel

dan TIPP untuk membuat site plan yang lebih baik. Faskel sendiri telah bertemu dan berdiskusi

dengan seorang arsitek komunitas di Yogyakarta yang memiliki pengalaman dalam menata area

bantaran kali. Hasil proses tersebut adalah konsep dan gambaran rencana penataan di

Yogyakarta yang relatif sesuai dan terintegrasi dengan konteks lokal.

Di area dengan infrastruktur yang tidak terintegrasi dengan baik, faskel menghadapi beberapa

kesulitan dalam menyesuaikan konsep penataan kawasan kumuh dengan kebiasaan warga

setempat. Di Alalak Selatan, misalnya, menurut faskel, mereka tidak memiliki referensi yang

cukup mengenai cara untuk operasionalisasi konsep dan standar dari area yang ditata yang

sesuai dengan konteks Alalak Selatan. Keterbatasan referensi ini pada gilirannya menjadi salah

satu penyebab terbentuknya desain titian ulin yang menyebabkan menurunnya interaksi sosial

antara para perempuan di area yang ditata.

Page 54: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

42

3.2.3 Institusi Masyarakat yang Kuat

Selain desain program dan strategi para aktor dalam menjalankan program, konteks institusi

warga juga turut berpengaruh terhadap terwujudnya integrasi infrastruktur yang baik.

Penelitian ini menemukan bahwa di area-area tempat infrastrukturnya dibangun secara

terintegrasi, umumnya memiliki warga dengan semangat aksi kolektif yang baik. Di Yogyakarta,

warga sudah terbiasa dengan kegiatan-kegiatan kolektif dan terjalin hubungan yang dekat satu

sama lain. Mereka melakukan beragam aktivitas mulai dari tingkat RT sampai tingkat RW seperti

simpan pinjam, arisan, sedekah jumat, pengajian, kerja bakti, kelompok pemuda, dan kegiatan

olah raga bersama. Kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya kolektif seperti simpan pinjam,

arisan, dan jimpitan telah menjadi kegiatan selama berpuluh-puluh tahun. Hal ini, menunjukkan

telah terbentuknya sistem dan kepercayaan (antarwarga) di dalam komunitas. Mereka juga

bertemu secara rutin, mingguan dan bulanan, untuk melakukan kerja bakti, yang menunjukkan

adanya kebiasaan dalam melaksanakan tanggung jawab bersama.

Warga di Yogyakarta juga telah memiliki pengalaman dalam memelihara infrastruktur umum.

Mereka telah terbiasa mengelola kegiatan-kegiatan untuk kepentingan bersama seperti

pengelolaan air bersih, pengelolaan sampah, iuran sosial, dan iuran rutin untuk RT. Dalam

melaksanakan semua kegiatan tersebut, mereka sudah bisa mengorganisasikan diri untuk

mengelola beragam fasilitas umum seperti MCK dan toilet. Semua kegiatan kolektif yang telah

lama terbentuk ini turut memengaruhi cara mereka memelihara beragam infrastruktur secara

efektif seperti MCK, drainase, dan area pedestrian.

Kegiatan-kegiatan kolektif ini menjadi fondasi penting bagi terbentuknya partisipasi aktif mereka

dalam memelihara infrastruktur untuk kepentingan bersama. Di Suryatmajan, warga memiliki

peran penting dalam memastikan fungsi pedestrian sebagai tempat yang nyaman dan aman

bagi orang tua, anak-anak, dan warga secara umum. Karenanya, mereka tidak mengizinkan

sepeda motor untuk memasuki area tersebut. Warga mengikuti aturan dan memahami

keuntungan dari mengikuti aturan tersebut. Terdapat kesepakatan di antara warga untuk tidak

mengendarai sepeda motor di area PCG, tidak membuang sampah ke sungai, tidak

menggantungkan baju atau apapun di area PCG karena akan mengganggu kenyamanan area

tersebut.

Indikator lain dari tingginya tingkat partisipasi warga dapat dilihat dari peran warga dalam

membantu satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan pembangunan infrastruktur di Yogyakarta

dan Bima. Mereka bersedia untuk dibayar lebih rendah dari yang biasanya. Mereka pun

bersedia untuk bekerja sampai malam jika dibutuhkan. Ketika kegiatan-kegiatan konstruksi

dilakukan, beberapa warga secara kolektif menyiapkan makanan ringan dan kopi. Para pemilik

warung secara sukarela menyediakan aneka makanan dan minuman untuk para pekerja

bangunan. Dengan bentuk partisipasi dan semangat voluntarisme seperti itu, tidak sulit untuk

meminta partisipasi warga di sana untuk mendukung implentasi warga. Di sisi lain, tidak ada

warga yang terabaikan dalam proses pelaksanaan program meskipun mereka tidak mampu

menyediakan makanan dan minuman untuk para pekerja (karena makanan dan minuman pun

disediakan secara kolektif oleh warga di sana).

Page 55: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

43

Selain itu, kepemimpinan lokal pun memainkan peranan penting dalam memastikan

pemanfaatan infrastuktur yang telah dibangun (dan area yang ditata secara umum) dan

memastikan dijalankannya ketentuan dalam memelihara infrastruktur-infrastruktur tersebut.

Contohnya, terdapat warga-warga yang aktif yang mengajak dan mengelola kegiatan olahraga

di sore hari. Adapun, di pagi hari, kelompok perempuan menggunakan tempat tersebut untuk

kegiatan aerobic, sementara para orang tua berkumpul bersama dan berjalan-jalan di area

pedestrian. Kelompok-kelompok warga (asosiasi) menggunakan area PCG di petang dan malam

hari untuk mengadakan pertemuan. Ketua RT secara regular mengorganisasikan warga untuk

menyelenggarakan bazar makan di sepanjang area pedestrian yang sekaligus mengundang para

pengunjung dan warga yang tinggal di luar area program. Ketua RT pun memainkan peran

penting dalam merumuskan aturan untuk pemeliharaan MCK, misalnya, dan untuk memastikan

bahwa warga mengikuti aturan-aturan tersebut.

Di area prioritas ini, warga juga secara aktif juga bersosialisasi dengan warga lain yang tinggal

di sekitar atau dekat dengan area tersebut. Mereka mengajak warga sekitar untuk

melaksanakan kegiatan bersama di PGC. Bahkan mereka pun menyediakan tempat bagi warga

sekitar untuk menjual makanan pada saat acara bazar maknan. Dalam konteks ini, potensi

ketegangan antara warga yang tinggal di area program dan dari luar area program dapat

dikurangi.

3.2.4 Konteks Lingkungan Kebijakan Pendukung

Selain faktor desain program dan institusi lokal warga, integrasi infrastruktur yang baik pun

perlu dukungan lingkungan yang mendukung (enabling environment). Terkait ini, terdapat dua

aspek yang penting, yaitu tersedianya referensi yang dapat diakses terkait dengan kegiatan

penataan kawasan kumuh yang sesuai dengan konteks lokal dan dukungan dari pemerintah

lokal.

Faktor pertama adalah referensi desain dalam penataan kawasan kumuh. Integrasi infrastruktur

yang baik (Yogyakarta) didukung oleh adanya referensi yang memadai terkait kegiatan penataan

kawasan kumuh. Di Yogyakarta sendiri, terdapat gerakan penataan kawasan kumuh dan

turisme yang cukup signifikan, yang dimulai dengan proyek penataan Kali Code yang dilakukan

oleh Romo Mangun dan model yang ada di Karang Waru. Kesuksesan Karang Waru, yang telah

berhasil menarik banyak pendatang, telah menginsipirasi kawasan kampung urban lain di

Yogyakarta untuk secara kreatif mempercantik area mereka dengan, misalnya, memasang

ornamen sepeda, menyediakan spot swafoto, dan kios dengan payung seperti yang terdapat di

Suryatmajan. PCG di Suryatmajan dibangun dengan konsep turisme dengan tujuan untuk

menciptakan area pedestrian yang aman, nyaman, dan indah. Seperti telah didiskusikan di

bagian 3.2.2, faskel menggunakan template penataan kawasan kumuh dan pengalaman praktis

terkait penataan kawasan kumuh di Yogyakarta sebagai referensi dan panduan dalam

memaksimalkan desain yang akan digunakan dalam program.

Faktor kedua adalah dukungan dari pemerintah lokal. Di area integrasi infrastruktur yang berhasil

(Yogyakarta), program penataan kawasan kumuh juga didukung oleh konsep penataan kawasan

bantaran sungai yang bernama mundur, munggah, madep kali (M3K). M3K diinisiasi oleh

komunitas-komunitas peduli sungai, NGO, dan pemerintah kota sebagai bentuk gerakan kolektif,

Page 56: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

44

yang juga didukung oleh Sultan Yogyakarta sebagai gubernur. Meskipun tidak ada peraturan

daerah mengenai implementasi konsep M3K, gerakan ini telah menjadi salah satu solusi bagi

penataan kawasan kumuh. Warga di area kumuh percaya bahwa gerakan tersebut menemukan

momentumnya ketika program penataan kawasan kumuh (PLBBK) hadir. Warga melihat

program ini sebagai bentuk pertukaran yang adil mengingat bahwa program ini bukan hanya

menata kawasan bantaran sungai tapi rumah-rumah mereka pun direnovasi sehingga menjadi

rumah-rumah yang lebih bagus. Kesediaan warga ini juga didorong oleh ancaman

penggusuran—“jika warga tidak setuju daerahnya ditata oleh mereka sendiri, pemerintah kota

yang akan melakukannya”. Ancaman ini berarti bahwa warga yang tinggal di kawasan kumuh

akan digusur tanpa kompensasi. Selain itu, undang-undang Keistimewaan Yogyakarta berarti

bahwa Kesultanan adalah pemilik area bantaran kali. Bagi warga, ini berarti bahwa jika mereka

mengikuti gerakan M3K, masa depan mereka lebih aman dan mereka bahkan mungkin akan

mendapat Hak Guna Bangunan untuk tanah dan tempat tinggal yang mereka tinggali saat ini.

3.3 Hambatan dalam Mewujudkan Infrastruktur yang Terintegrasi dan Berfungsi dengan Baik

Selain faktor-faktor yang mendukung di atas, penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa

kendala yang menghambat terbangunnya infrastruktur yang terintegrasi dan berfungsi dengan

baik.

Fokus dari faskel terhadap aspek-aspek adminitrasi program telah mengurangi peran mereka

sebagai fasilitator pengembangan masyarakat. Sejalan dengan SOP, BKM, dan KSM harus

melakukan sosialisasi, menentukan tim ahli, dan memastikan tim ini merancang permukiman

dan area yang akan ditata. Selain itu, BKM dan KSM juga harus membantu tim ahli untuk

berkomunikasi dengan warga untuk mendiskusikan dan mendapatkan persetujuan terkait

desain rumah warga yang akan direhabilitasi. Mereka juga harus menyiapkan beberapa

dokumen seperti RPLP, proposal dan rencana anggaran, Detailed Engineering Design (DED)7,

sekaligus memobilisasi para pekerja, memonitor proses pembangunan infrastruktur, dan pada

akhirnya melaporkan semua kegiatan-kegiatan tersebut. Selain itu, mereka pun harus

membuat laporan dan mengirimkan beberapa dokumen untuk keperluan pencairan dana di

setiap tahapan program. Ini semua tentu saja bukan proses yang mudah, belum lagi mereka

harus memastikan bahwa anggaran yang dikeluarkan sesuai degnan fasilitas yang dibangun dan

laporan administrasi secara keseluruhan.

Menurut faskel, mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk melakukan

pekerjaan-pekerjaan administratif. Mereka tidak memiliki waktu yang banyak untuk

mengunjungi lokasi-lokasi pembangunan, berdiskusi dengan warga dan menguatkan kapasitas

BKM dan KSM dan melakukan fasilitasi. Peran mereka sebagai administrator sangat dominan

terutama untuk program Showcase, di mana BKM dan KSM harus mengirimkan

dokumen/receipt setiap minggu sepanjang tahun. Faskel menekankan bahwa mereka tidak

memiliki waktu yang cukup untuk berdiskusi dengan warga atau untuk memfasilitasi proses

pemecahan masalah berupa efek negatif dari pembangunan infrastruktur. Kurangnya

7 DED adalah Detailed Engineering Design atau Desain Rekayasa Detail

Page 57: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

45

komunikasi ini menjadi salah satu penyebab mengapa warga di Pane menyalahartikan desain

sumur resapan sebagai sarana pengolahan limbah. Waktu yang terbatas pula membuat faskel

di Banjarmasin tidak secara hati-hati memerhatikan kondisi area yang akan dibangun sehingga

mereka membangun septic tank dengan ketinggian yang lebih rendah dari permukaan sungai

ketika pasang. Beban kerja yang berat terutama dirasakan oleh fasilitator teknik karena

intervensi utama dari PLPBK berfokus hanya pada infrastruktur dan jumlah dana yang harus

dikelola pun begitu besar. Fasilitator teknis bahkan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki

waktu yang cukup untuk memberdayakan warga karena mereka fokus pada target-target

pembangunan.

Z, Asisten Kota Bidang Infrastruktur di Bima (7 Februari 2019)

“karena uang yang turun banyak dan pembangunan yang berlangsung banyak, jadi

hanya seperti mengejar target, sehingga miss di bagian pemberdayaan…”

Fokus terhadap hal-hal di atas pun mengakibatkan kurangnya kegiatan komunikasi dan fasilitasi

terhadap warga yang tinggal di luar area program. Terlepas dari semangat solidaritas antarwarga,

jumlah dana yang besar, perubahan signifikan dari area yang ditata, dan pengalaman dari PNPM

regular (yang dananya didistribusikan secara merata ke semua RT), telah memunculkan

kecemburuan dari warga yang tinggal di luar area yang ditata. Masalah ini, salah satu sebabnya

adalah kurangnya fasilitasi yang memadai dari faskel, BKM, dan KSM kepada warga-warga

tersebut. Kecemburuan ini biasanya diekspresikan dengan protes terhadap BKM dan KSM

dalam beberapa acara seperti yang terjadi di Pane (Bima) dan Alalak Selatan (Banjarmasin).

Protes ini telah memaksa BKM untuk mengalokasikan sebagian dari anggaran program untuk

membangun infrastruktur di beberapa RT di luar area prioritas.

Beban kerja administratif dari faskel juga memengaruhi aspek keberlanjutan program. Di akhir

program, faskel seharusnya memfasilitasi warga untuk menyiapkan institusi untuk

pemeliharaan infrastruktur yang telah dibangun—seperti membangun sistem untuk

pemeliharaan infrastruktur, termasuk melakukan pembagian kerja, iuran, dan pengawasan.

Karena faskel tidak menyiapkan exit strategy, keberlanjutan infrastruktur akan dikelola sendiri

oleh institusi pada level masyarakat. Jika masyarakat memiliki pengalaman dan kebiasaan

dalam memelihara fasilitas publik, infrastruktur yang baru dibangun pun dapat mereka pelihara

dengan baik. Namun jika tidak, beberapa infrastruktur tersebut mungkin tidak akan lagi

berfungsi dengan baik (karena kurang atau tiadanya pemiliharaan). Selain itu, faskel dan

koordinator kota yang seharusnya, untuk mendukung pelaksanaan PLPBK, harus berkomunikasi

dengan pemerintah kota, pada kenyataannya tidak melakukan proses komunikasi tersebut

secara optimal.

Penelitian ini juga menemukan bahwa periode waktu program selama satu tahun untuk program

Showcase 2018 dapat mengurangi dampak positif dari program. BKM dan KSM harus

mengalokasikan Rp 2 Miliar dalam waktu kurang dari satu tahun—dan harus melaksanakan

seluruh tahapan kegiatan dalam waktu kurang dari sepuluh bulan. Pada 2018, tahap

perencanaan dilakukan dari Juni hingga Juli 2018—yang terdiri dari beberapa kegiatan seperti

telaah atas RPLP, RAB8, dan DED. Tahapan ini dilakukan pada saat yang sama dengan kegiatan

8 RPLP adalah Rencana Penataan Lingkungan. RAB adalah Rancangan Anggaran Biaya.

Page 58: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

46

sosialisasi kepada warga. Alokasi waktu untuk tahapan perencanaan bahkan lebih pendek

karena berbarengan dengan bulan Ramadan, Lebaran, dan hari kemerdekaan (17 Agustus).

Perencanaan program harus diselesaikan pada Agustus-September dan dilaporkan pada

Desember.

Periode yang lebih pendek dari program Showcase 2018, membuat kegiatan sosialisasi kepada

warga di area program menjadi lebih terbatas. Tim ahli pun memiliki waktu yang lebih pendek

untuk merevisi desain permukiman yang akan ditata. Kegiatan sosialisasi di Gowongan dan

Alalak Selatan hanya dilakukan kepada para pengurus RW dan RT dalam pertemuan bersama

yang dilakuan dengan warga di area program (tidak dilaksanakan secara bertahap seperti

halnya program PLPBK). Di Gowongan, pertemuan dengan warga hanya dilakukan tiga kali. Di

sana bahkan tidak ada sosialisasi dengan warga di luar area program. Para ahli (arsitek) hanya

memiliki waktu yang terbatas untuk merancang desain infrastruktur, terutama desain rumah

yang sebenarnya memerlukan persetujuan dari warga pemilik rumah-rumah tersebut. Hal ini,

pada gilirannya, melahirkan kekecewaan dari warga tersebut.

Seperti telah didiskusikan di bagian sebelumnya, sangat penting untuk memastikan bahwa

desain infrastruktur yang akan dibangun sesuai dengan konteks lokal sehingga akhirnya

menghasilkan integrasi infrastuktur yang optimal. Modifikasi (penyesuaian dengan konteks

lokal) merupakan tantangan tersendiri di Banjarmasin. Tim pelaksana menghadapi kesulitan

untuk mengontekstualisasi standar infrastruktur PU dengan konteks lokal. Misalnya, di Alalak

Selatan, desain siring diubah menjadi titian ulin karena seorang ahli mengatakan bahwa

pembangunan siring akan menganggu ekosistem. Setelah titian ulin dibangun, ternyata malah

muncul masalah sampah ketika terjadi pasang. Dengan alasan yang sama ahli tersebut juga

merekomendasikan untuk membangun hanya satu tangga di sungai. Namun, ini memunculkan

masalah bagi para perempuan yang biasa mengambil air di sungai. Dampak negatif dari

perubahan desain di Alalak Selatan (dari siring ke titian ulin) menunjukkan bahwa tim program

harus memerhatikan dan mengembangkan modifikasi program yang sesuai dengan standar

infrastruktur dan pada saat yang sama tidak melahirkan dampak negatif bagi warga.

Penelitian ini menggarisbawahi bahwa peran pemerintah lokal—OPD dan Pokja PKP9-- tidak

begitu optimal. Peran pemerintah kota—Yogyakarta, Banjarmasin, Bima—di lokasi-lokasi

program pun tidak signifikan. Peran Poka PKP tidak optimal karena anggota-anggotanya

merupakan para pejabat OPD yang sangat sibuk dan secara reguler dirotasi ke bagian-bagian

lain. Sangat sulit untuk mengundang semua anggota Poka dalam satu pertemuan untuk tujuan

koordinasi.

Faskel dan BKM menekankan bahwa OPD tidak mendukung pelaksanaan program PLPBK. Dalam

skema PLPBK dan PRBBK, desain harus merujuk pada rencana detail tata ruang (RDTR), tapi

korkot tidak bisa mendapatkan data RDTR dari badan perencana. Sementara itu, Pokja tidak

banyak membantu korkot dalam mengakses dokumen-dokumen kebijakan dari OPD kota.

Misalnya, di Yogyakarta, terdapat program pembangunan paving blok dari dinas permukiman.

Dinas bersikeras bahwa jalan paving blok harus dibangun segera (meskipun tidak lama lagi akan

ada program penataan di area tersebut). Paving blok pun dibangun. Namun, ketika program

PLPBK dimulai, paving blok yang telah dibangun pun dibongkar kembali karena

9 OPD adalah Organisasi Perangkat Daerah, Pokja PKP adalah Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman

Page 59: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

47

pembangunannya tidak sesuai dengan rencana program penataan. Peran dari pemerintah

daerah dalam menyediakan tambahan anggaran untuk merehabilitasi rumah-rumah yang

terdampak program penataan pun tidak signiikan (atau tak ada dukungan sama sekali), yang

pada akhirnya turut memunculkan dampak negatif dari program rehabilitasi itu sendiri.

Penelitan ini juga mengidentifikasi bahwa Balai besar Wilayah Sungai (BBWS) tidak menyediakan

izin resmi bagi program penataan area bantaran sungai. Di Gowongan, koordinator BKM telah

menyampaikan surat resmi kepada BBWS mengenai pembangunan jalan dan talud di bantaran

sungai, tetapi tidak ada balasan dari BBWS. Koordinator pun kemudian bertemu dengan

beberapa pegawai BBWS Serayu-Opak. Mereka memang tidak memberikan izin resmi. Namun,

pejabat di BBWS mengatakan kepada koordinator BKM untuk meneruskan program penataan,

karena ia percaya bahwa ini merupakan program yang bagus.

Hal ini berarti bahwa program penataan yang dilakukan secara resmi belum mengatasi masalah

ketidakpastian hukum dari area kumuh. Legalitas tanah dan tempat tinggal di kawasan kumuh

merupakan masalah penting. Program penataan kawasan kumuh harus disertai dengan

pendekatan-pendekatan yang memperhatikan masalah status hukum (legal) dari permukiman

warga di sana.

Page 60: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

48

B A B 4

P E N G A R U H P R O G R A M P E N G U R A N G A N

R I S I K O B E N C A N A ( P R B B K ) D I B I M A

Seperti telah dibahas pada Bab 1, penelitian ini juga bertujuan untuk melihat pengaruh program

PNPM Perkotaan periode perpanjangan terhadap mitigasi bencana di Bima. Bab ini menyajikan

temuan-temuan tentang pengaruh dari intervensi program tersebut terhadap rehabilitasi

korban bencana banjir serta melihat apa saja manfaat program bagi peningkatan kapasitas dan

resiliensi warga di daerah rentan bencana. Bab ini juga membahas beragam kendala dalam

memaksimalkan dampak program pada peningkatan kapasitas warga serta terhadap

penguatan resiliensi warga di daerah dengan risiko bancana banjir yang tinggi.

4.1 Permasalahan Banjir dari Perspektif Warga

Kelurahan Pane dan kelurahan Santi pernah mengalami beberapa kali banjir dan karenanya

ketika musim hujan datang warga selalu ada dalam risiko terkena bencana. Warga di sana

mengategorikan banjir ke dalam dua jenis, yaitu ‘banjir besar’ atau banjir bandang dan ‘banjir

kecil’. Warga mengartikan banjir besar sebagai banjir yang datang tiba-tiba dengan arus air

yang cepat dan menyapu semuanya. Banjir seperti ini menyisakan trauma tersendiri bagi

warga. Banjir kategori kedua, yaitu banjir kecil, yang datang lebih sering. Air banjir ini biasanya

menggenangi jalan dan rumah dan menciptakan situasi yang tidak nyaman bagi warga.

Jalan (jalur) evakuasi baru di Kelurahan Santi. Foto oleh Nofalia

N.

Page 61: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

49

Wawancara yang kami lakukan dengan beberapa informan kunci di Pane dan Santi

mengungkap bahwa telah terjadi beberapa banjir bandang dalam empat belas tahun terakhir.

Banjir bandang pertama terjadi pada 2004, yang dikenal dengan ‘banjir SBY’ (Susilo Bambang

Yudhoyono, presiden Republik Indonesia periode 2004-2014). Peristiwa ini dinamai demikian

karena peristiwa banjir saat itu bersamaan dengan kunjungan presiden SBY ke Bima. Adapun

pada Desember 2016, banjir bandang terjadi dua kali. Banjir bandang dengan ketinggian antara

1,3 sampai dengan 2 meter terjadi pada Rabu 21 Desember 2016. Dua hari kemudian, pada 23

Desember, banjir bandang datang lagi. Banjir yang terjadi pada 2016 tersebut terjadi karena

siklon tropis Yvette di Samudra Hindia yang menyebabkan terjadinya hujan lebat di Bima

selama sekira dua belas jam. Pada Maret 2017, banjir bandang lain terjadi di beberapa area di

Bima, termasuk di kelurahan Pane dan kelurahan Santi.

Secara khusus, warga di kedua kelurahan tersebut mengingat banjir yang terjadi pada 2016

sebagai banjir yang paling parah dan menyebabkan banyak kerusakan. Berdasarkan wawancara

dengan warga di kedua kelurahan tesebut, banyak warga kehilangan harta bendanya. Mereka

mengingat bahwa ketika banjir kedua datang, mereka tengah mengeringkan perabotan rumah

seperti kursi dan karpet. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa banjir besar akan datang lagi

dan karena tidak dalam keadaan siaga, mereka tidak memiliki waktu yang untuk

menyelamatkan harta bendanya. Mereka pun mengungsi selama sekitar satu minggu. Banjir

saat itu pun berdampak pada kerusakan berbagai infrastruktur dan fasilitas umum. Sekolah dan

jalan ditutup, rumah sakit pun rusak. Akses komunikasi, listrik, dan jaringan air bersih pun

terganggu.

Banjir bandang yang terjadi pada 2016 memberikan pelajaran berharga bagi warga dalam

menghadapi banjir bandang yang lain. Mereka, misalnya, kini menyimpan dokumen-dokumen

penting dalam tas yang dapat dibawa dengan mudah ketika bencana terjadi. Warga pun banyak

yang membangun rumahnya menjadi dua lantai sehingga ketika banjir datang, mereka dapat

menyelamatkan diri ke lantai dua—dengan demikian mereka tidak harus meninggalkan rumah

ketika banjir datang. Mereka pun telah menyiapkan pasokan makanan (pangan) di lantai kedua

(Gambar 15). Mereka telah belajar dari bencana-bencana sebelumnya bahwa dalam kondisi

bencana persediaan makanan, obat-obatan, pakaian, dan selimut yang tersedia di tempat

pengungsian akan sangat terbatas.

Selain bencana banjir bandang, jenis banjir yang lain adalah banjir kecil. Mereka mengartikan

‘banjir kecil’ sebagai limpasan air yang memasuki jalan dan rumah ketika hujan turun. Banjir

kecil ini biasanya terjadi setelah hujan turun semalaman. Tingkat ketinggian air bisa berkisar

antara setinggi mata kaki sampai selutut orang dewasa. Banjir yang setinggi lutut biasanya

terjadi pada rumah-rumah yang berada di area yang lebih rendah. Meskipun banjir kecil ini

tidak menyebabkan warga kehilangan harta benda dan tidak menyebabkan mereka harus

mengungsi, tetapi karena airnya masuk ke jalan dan rumah, ketika surut mereka harus

membersihkan rumah dari lumpur. Banjir ini pun membuat jalan dan gang berlumpur. Hal ini

tentu saja merupakan situasi yang membuat warga tidak nyaman.

Page 62: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

50

Gambar 14 Salah satu bentuk adaptasi penduduk adalah untuk mengamankan semua peralatan yang diperlukan dalam kasus banjir

Foto oleh Hilda Arum Nurbayyanti

Penyebab utama ‘banjir kecil’ adalah kombinasi dari air hujan dan sistem drainase yang buruk.

Berdasarkan wawancara dengan pegawai kelurahan, jaringan drainase memang tidak berfungsi

dengan baik. Limpasan air hujan biasanya tidak mengalir lancar karena saluran airnya

tersumbat, pipa pembuangan pun tidak berfungsi dengan baik karena tertutup oleh dedaunan,

lumpur, atau kotoran lain. Warga mengeluh karena mereka harus sering memeriksa drainase

ketika hujan turun untuk memastikan bahwa salurannya tidak tersumbat. Hal ini mereka

lakukan supaya limpasan air tidak memasuki rumah mereka.

4.2 Efek Program PRBBK dalam Mengurangi Risiko Bencana Banjir Seperti disampaikan di Bab 1, Bank Dunia menyediakan tambahan dana untuk proses

rehabilitasi dan rekonstruksi kelurahan-kelurahan yang terdampak bancana banjir di Bima.

Dengan menggunakan skema pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK),

anggaran ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat yang tinggal di area dengan

risiko bencana sekaligus membangun risiliensi mereka.

Untuk mengatasi masalah terkait banjir, dana digunakan untuk perbaikan infrastruktur umum

yang rusak karena banjir yang terjadi pada 2016 dan untuk memperbaiki jaringan drainase (Tabel

4). Di dua wilayah, Pane dan Santi, dana tersebut digunakan untuk memperbaiki jalan yang

rusak dan memastikan bahwa jalan-jalan yang ada dapat mempermudah proses evakuasi ketika

terjadi bencana. Dana program juga digunakan untuk memperbaiki jaringan drainase yang

Page 63: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

51

sudah ada. Sistem drainase yang baik akan membantu mengurangi risiko banjir. Dengan sistem

drainase yang baik, limpasan air hujan akan mengalir dengan mudah sehingga terhindar dari

genangan air di jalan maupun rumah.

Tabel 4 Infrastruktur PRBBK di kelurahan Pane dan Santi

Infrastruktur Lokasi dan Tahun Intervensi

No Pane 2017 Pane 2018 Santi 2017 Santi 2018

1 Drainase v v v v

2 Jalan Permukiman v v v v

3 IPAL v v v

4 Septic tank v v

5 Sumur resapan v

6 Talud v

7 Rehabilitasi MCK v

8 Pipa Air v

9 Rehabilitasi Sumber Air v

Terkait dengan efek infrastruktur terhadap penurunan bencana banjir, penelitian ini menemukan

bahwa dari sudut pandang penerima manfaat program, infrastruktur yang dibangun atau

diperbaiki telah membantu mengurangi risiko ‘banjir kecil’. Menurut warga di dua kelurahan

yang diteliti, perbaikan jalan dan drainase telah mengurangi masalah saluran pembuangan air

yang mampat. Sistem drainase pun kini berfungsi dengan baik ketika hujan lebat terjadi.

Limpasan air surut dengan cepat. Warga tidak perlu khawatir lagi jika hujan lebat turun. Air

tidak akan memasuki rumah mereka karena air akan mengalir lancar melalui drainase. Mereka

pun tak perlu lagi memeriksa saluran drainase ketika hujan turun. Salah seorang warga misalnya

berkata, “kita tidak perlu memeriksa saluran air ketika hujan lebat turun karena kini saluran

tersebut berfungsi dengan baik. Sebelumnya, kami harus memeriksanya untuk mencegah agar

tidak ada limpasan air yang masuk ke rumah”.

Rehabilitasi jalan permukiman pun telah menjadikan jalan tersebut sebagai jalur evakuasi warga

ketika bencana seperti banjir, kebakaran, dan gempa terjadi. Sebelum perbaikan dilakukan,

kondisi jalan sangat buruk. Jalan hanya berukuran kecil dengan permukaan tanah dan

berlumpur ketika hujan turun. Kendaraan darurat seperti ambulan dan pemadam kebakaran

tidak bisa masuk ke lokasi ketika bencana terjadi. Perbaikan dan pelebaran jalan telah

membuka akses bagi kendaraan pada waktu evakuasi. Wawancara dengan warga juga

mengungkapkan bahwa perbaikan dan pengecoran jalan telah membuat jalan tersebut lebih

nyaman digunakan sebagai akses sehari-hari sekaligus berfungsi sebagai jalur evakuasi

manakala bencana banjir bandang atau bencana liannya terjadi (Gambar 16). Mereka

membayangkan bahwa mereka bisa menggunakan sepeda motor, atau bahkan berlari dengan

cepat dan nyaman ketika bencana banjir menerjang kembali.

Page 64: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

52

Gambar 15 Jalan sebelum dan setelah intervensi PRBBK yang ditujukan untuk memperbaiki akses dalam

proses evakuasi dalam situasi bencana di kelurahan Santi

Foto oleh KSM Santi and Hilda Arum Nurbayyanti

Lebih jauh, perbaikan jaringan drainase dan jalan telah memberikan rasa aman tersendiri bagi

warga manakala bencana datang. Pada 2016, banjir bandang merupakan peristiwa traumatik

bagi banyak warga. Sejak itu, tiap kali hujan lebat turun, mereka merasa cemas bahwa hujan

yang lebat akan menyebabkan terjadinya banjir bandang yang dapat merenggut harta benda

bahkan hidup mereka. Meskipun perbaikan infrastruktur belum terbukti mampu mengatasi

masalah banjir bandang, tetapi ini telah mengurangi kekhawatiran warga. Dengan perbaikan

jalan dan jaringan drainase, mereka merasa lebih aman dan berpikir bahwa hal itu akan

mengurangi risiko yang disebabkan oleh banjir bandang. Di bawah ini merupakan beberapa

narasi ekspresi warga tentang perasaan lebih aman dari bencana banjir bandang setelah

infrastruktur-infrastruktur tadi diperbaiki atau dibangun.

W, penerima manfaat, Kelurahan Pane (10 Februari 2019)

"Dengan adanya drainase bisa membantu ketika banjir, karena airnya jadi cepat

surut, ngga ada air yang tergenang masuk rumah, airnya kan menjadi lebih lancar

jadi ngurangi dampaknya. Karena daerah kita wilayah banjir, pasti akan ada banjir

lagi tapi sudah tenang karena ada drainasenya sudah berfungsi".

J, Ketua BKM Selamat Kelurahan Santi, (18 Februari 2019)

"Kalau dari pengalaman paska banjir 2016 itu kan kita betul-betul merasakan pada

saat evakuasi. Karena memang evakuasi susah, satu jalur ini aja kan… Kan dulu

Page 65: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

53

sebelum dibangun jalan inspeksi ini ngga bisa dilewati, karena kondisinya agak terjal

dan becek, jadi sulit untuk evakuasi warga. Warga larinya ke jalan utama yang sudah

dilalui aliran banjir, ngga bisa dilewati lagi. Bukan kita mengharapkan banjir, tapi jika

kita lihat kemarin itu pada saat banjir 2016, kalo ada banjir jadi warga ngga terlalu

khawatir lagi karena agak mudah larinya ke sini (lingkungan RT 06 yang datarannya

lebih tinggi). "

Harapan lain dari adanya program PRBBK adalah meningkatnya kapasitas warga sekaligus

terbangunnya resilensi mereka dalam menghadapi bencana banjir. BKM dan KSM menjelaskan

bahwa intervensi PRBBK ditujukan untuk mengurangi risiko bencana, terutama dengan

memperbaiki akses (jalur) evakuasi ketika terjadi bencana. Mereka memperkenalkan

mekanisme peringatan bencana kepada warga dan melatih warga tersebut untuk selalu siap

siaga dalam menghadapi bencana.

Penelitian ini menemukan bahwa program PRBBK telah memperkenalkan warga mengenai

pengetahuan tentang evakuasi bencana. Berdasarkan wawancara dengan anggota BKM dan

KSM, mereka mengakui bahwa program PRBBK telah memperkenalkan mereka tentang

beberapa pengetahuan terkait evakuasi, menentukan titik evakuasi, dan menyampaikan

informasi tentang evakuasi kepada warga. Program ini telah membuat mereka mulai berpikir

tentang akses untuk proses evakuasi ketika bencana terjadi. Wawancara dengan warga di dua

kelurahan juga menunjukkan bahwa program yang dilaksanakan di sana telah memberikan

mereka informasi tentang jalur evakuasi yang jalas. Sebelum program ini, mereka bingung

kemana mereka harus menyelamatkan diri ketika banjir bandang menerjang.

Namun demikian, studi ini juga menemukan bahwa PRBBK baru memberikan dampak yang

terbatas terhadap penguatan kapasitas secara keseluruhan dari BKM, KSM, dan warga

mengenai bagaimana mempersiapkan diri, bersiaga, dan mengantisipasi bencana banjir

bandang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan anggota BKM dan KSM, peran

mereka dalam penguatan kapasitas warga memang tidak optimal. Mereka mengakui bahwa

tidak ada pelatihan yang cukup tentang proses evakuasi untuk mempersiapkan mereka dalam

suasana yang real (bencana). Mereka pun tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk

menguatkan institusi lokal dan kolektivitas warga untuk memastikan ketersediaan persediaan

kebutuhan dasar dalam proses evakuasi maupun di tahapan recovery setelah bancana terjadi.

4.3 Hambatan dalam Mewujudkan Intervensi PRBBK

Studi ini mengidentifikasi tiga faktor utama yang telah menghasilkan dampak positif dari

pembangunan dan perbaikan infrastruktur dalam mengurangi risiko banjir kecil. Namun,

ketiganya tidak begitu berdampak terhadap penguatan kapasitas dan resiliensi warga,

terutama dalam mengurangi risiko bencana banjir bandang.

Faktor pertama dalah kompleksitas masalah bencana banjir bandang itu sendiri. Berdasarkan

wawancara dengan pejabat dari badan penanggulangan becana di tingkat kota pada 6 dan 19

Februari 2018, Bima merupakan daerah dengan risiko bencana banjir yang tinggi di Indonesia.

Banjir bandang terjadi secara rutin, termasuk yang terjadi pada 2016 yang telah membuat lebih

dari 100.000 warga mengungsi. Bencana banjir yang relatif rutin terjadi ini disebabkan oleh

Page 66: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

54

kombinasi antara curah hujan yang tinggi, topografi Bima yang berada lama cekungan,

buruknya sistem drainase, serta pembangunan perumahan dan pengurangan tutupan hutan di

daerah hulu (lihat juga Yuniartanti, 2018).

Informan kunci yang kami wawancara juga menekankan bahwa penurunan tutupan-vegetasi

juga dipicu oleh kebijakan gubernur Nusa Tenggara Barat periode 2008-2018. Gubernur kala

itu mendorong program peternakan sapi, perkebunan jagung, dan rumput laut (dikenal dengan

PIJAR), serta menyedikan insentif bagi warga untuk menanam jagung, memelihara sapi,

membudidayakan rumput laut. PIJAR merupakan program utama dari gubernur dan disebut

sebagai rencana program jangka panjang dari NTB dalam rentang 2005-2025 (Bappeda, 2014).

Sejak 2008, masyarakat mulai membuka perkebunan jagung di area hutan dan bukit. Menurut

informan yang kami wawancara, di dataran tinggi NTB dalam sepuluh tahun terakhir telah

terjadi konversi lahan yang signifikan dari sebelumnya hutan menjadi kebun-kebun jagung.

Ini berarti bahwa sulit untuk melakuan mitigasi bencana banjir bandang dengan hanya

menggunakan kerangka pengurangan risiko bencana berbasis komunitas. Penyebab dari banjir

bandang melibatkan aspek struktural dan tata kelola pada level regional (provinsi dan kota).

Mitigasi bencana banjir bandang, karenanya, memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan

cara peningkatan tutupan hutan di sisi hulu, meningkatkan jaringan drainase yang lebih

terintegrasi di tingkat regional/kota. Terlepas dari peningkatan fungsi infrastruktur dalam

mengurangi risiko ‘banjir kecil’, program PRBBK belum mampu mengembangkan solusi untuk

mengatasi tiga masalah tersebut, dan beberapa masalah mungkin memang berada di luar

cakupan program.

Kompleksitas masalah banjir bandang di atas berkaitan dengan faktor kedua, yaitu masalah

implementasi program PRBBK dalam mendukung pengurangan risiko bencana banjir bandang.

Seperti telah dibahas di atas, sulit bagi program ini untuk menangani masalah mitigasi bencana

banjir bandang secara efektif dan komprehensif. Namun demikian, program ini diharapkan

dapat menangani masalah mitigasi ini dari sisi penguatan kapasitas dan resiliensi warga. Hal ini

dapat dilakukan misalnya dengan menyediakan BKM dan KSM dengan alat untuk

memperkirakan dan memberikan peringatan dini tentang akan adanya banjir bandang.

Penelitian ini mengidentifikasi bahwa terdapat dua alasan yang berkaitan dengan terbatasnya

dampak dari program di atas. Pertama, adalah karena program itu sendiri tidak menyediakan tim

dengan keahlian dalam penataan bencana. Beberapa studi telah mengidentifikasi beberapa

kendala dalam mengembangkan sistem peringatan bencana banjir bandang yang akurat dan

tepat waktu, termasuk dalam menentukan alat perkiraan yang tepat dan cocok dengan konteks

bencana banjir bandang (WMO, 2012). Para ahli, jika ada, dapat berperan penting dalam

memberikan saran dan ide tentang ragam infrastruktur yang dapat dibangun maupun training

yang dibutuhkan oleh warga untuk membangun kapasitas dan resiliensi mereka.

Alasan kedua adalah tidak adanya pendidikan dan training untuk anggota BKM, KSM, dan warga.

Menurut penuturan BKM dan KSM, mereka tidak pernah mendapatkan training yang secara

khusus melatih mereka tetang cara memandu warga dalam proses evakuasi ketika bencana.

Mereka hanya mendapatkan informasi terbatas tentang hal tersebut dari faskel dan koordinator

kota. Untuk memahami sistem peringatan bencana dan cara mereka dapat merespon situasi ketika

Page 67: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

55

bencana (akan) datang, dibutuhkan serial pendidikan dan training. Pengelolaan mitigasi bencana

banjir bandang juga perlu menerapkan pendekatan partisipatif untuk membuat petugas maupun

warga paham mengenai risiko dan tanggung jawab masing-masing dalam menghadapi bencana

tersebut (WMO, 2012).

Lebih lanjut, penelitian ini menemukan simpulan bahwa tidak adanya pendidikan dan pelatihan

untuk warga ini disebabkan tim pelaksana program di kelurahan lebih fokus pada kegiatan-

kegiatan penataan kawasan kumuh daripada pada pengurangan risiko bencana. Di Bima,

program didesain dengan mengombinasikan kerangka penataan kawasan kumuh dengan

pengurangan risiko bencana. Tim pelaksana program lebih fokus pada program penataan

karena mereka memiliki lebih banyak pengalaman dalam membangun infrastruktur perkotaan

di tingkat lokal. Selain itu, mereka tidak mendapatkan pendampingan dan panduan yang jelas

dari faskel tentang bagaimana persisnya menggunakan dana program untuk mencapai tujuan-

tujuan terkait pengurangan risiko bencana. Fokus dari pelaksana program ini dapat dilihat dari

hasil-hasil program penataan, misalnya dalam bentuk penyediaan atau perbaikan infrastruktur,

di Bima yang lebih banyak dirasakan oleh warga di dua kelurahan yang diteliti (lihat Bab 2).

Faktor ketiga berkaitan dengan minimnya dukungan dari sisi konteks kebijakan (policy

environment), terutama di tingkat kota dan provinsi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya,

kebijakan gubernur yang menyediakan insentif bagi penanaman jagung (yang kemudian

mendorong warga membuka lahan untuk menanam jagung) telah mendorong hilangnya area

hutan di daerah hulu. Karenanya, mitigasi bencana yang efektif juga memerlukan manajemen

bencana untuk merencanakan dan melaksanakan solusi mitigasi yang komprehensif, misalnya

dengan merehabilitasi dan meningkatkan kondisi sistem drainase secara keseluruhan,

mengubah perencanaan dan penggunaan lahan, dan memperbaiki struktur tatakelola yang

memberikan kewenangan dan dukungan nuntuk mengeksekusi solusi-solusi yang diperlukan.

Di Bima, badan penanggulangan bencana di Kota Bima telah membangun lima puluh sumur

resapan dan memberikan saran kepada kelurahan Santi dan Pane untuk membangun

infrastruktur yang berfungsi dengan baik dalam meminimalisasi efek banjir kecil. Selain itu,

untuk mendukung upaya-upaya dalam mengurangi bencana banjir bandang, badan tersebut

juga telah menyusun Tim Siaga Bencana Kelurahan atau TSBK. Pembentukan TSBK ditujukan

untuk membangun kesiapan dan kesiagaan dalam sistem peringatan bencana, evakuasi, dan

recovery pascabancana. Anggota TSBK, misalnya, diberikan pengetahuan tentang bagaimana

melakukan evakuasi, menentukan titik kumpul (evakuasi), mengumpulkan informasi-informasi

awal melalui aplikasi yang mengukur curah hujan dan ketinggian air sungai yang kemudian akan

ditelaah di setiap kelurahan.

Sayangnya, BPBD tidak memiliki kewenangan dan dana yang cukup untuk

mengimplementasikan solusi pencegahan bencana banjir yang efektif. Keputusan untuk

menghentikan pembangunan perumahan dan perkebunan jagung di daerah hulu, misalnya,

berada di luar kewenangan BPBD. Tidak ada sinergi antara TSBK di kelurahan dengan program

PRBBK meskipun kedua program tersebut memiliki perhatian yang sama terkait mitigasi

bencana.

Page 68: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

56

S, Korkot Kota Bima, (5 Februari 2019)

“Program PRBBK tidak akan berjalan maksimal apabila tidak ada komitmen bersama

dalam program pengurangan resiko bencana. Permasalahan bencana di Kota Bima

belum menangani sumber masalah yaitu perambahan hutan dan alih fungsi lahan

pertanian di kawasan perbukitan. Jika hal ini belum teratasi, implementasi program

PRB minim hasilnya, infrastruktur yang terbangun akan hilang atau rusak ketika banjir

bandang terjadi kembali”.

Page 69: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

57

B A B 5

P E M A N F A A T A N D A N P E M E L I H A R A A N

I N F R A S T R U K T U R Y A N G D I B A N G U N P N P M

P E R K O T A A N 2 0 1 2 - 2 0 1 4

Bab ini menjawab pertanyaan penelitian ketiga mengenai kualitas pemanfaatan infrastruktur

setelah program PNPM Perkotaan (reguler) selesai, terutama yang dibangun pada periode

2012-2014. Temuan-temuan pada bagian ini menyajikan informasi tentang infrastruktur-

infrastruktur yang dimanfaatkan dengan baik maupun yang tidak, diikuti dengan penjelasan

tentang alasan perbedaan tersebut muncul.

Secara metodologi, penelitian ini menghadapi beberapa kendala dalam mengidentifikasi

infrastruktur-infrastruktur yang dibangun pada periode tersebut. Pada mulanya, studi akan

memanfaatkan data sekunder yang tersedia pada arsip program PNPM Perkotaan atau pada

Sistem Informasi Manjemen (SIM) untuk mengidentifikasi infrastruktur yang dimaksud, tetapi

data yang diperlukan hampir selalu tidak tersedia. Ada beberapa daftar yang tidak tersedia dari

beberapa tahun program yang berbeda di semua kota. Menghadapi kendala ini, kami akhirnya

mendapatkan daftar infrastruktur yang diperlukan dari beberapa informan kunci seperti ketua

RW, RT, fasilitator, dan orang tua, yang mengetahui kegiatan PNPM Perkotaan pada periode

Well-maintained MCK in Kelurahan Suryatmajan. Photo by Mulyana

Page 70: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

58

2012-2014. Namun demikian, para informan kunci ini pun tidak selalu mengingat semua

infrastruktur yang dibangun pada periode tersebut.

Di tengah keterbatasan ini, kami berhasil mengidentifikasi beberapa infrastruktur yang

dibangun pada periode 2012-2014. Jenis infrastruktur yang paling umum dibangun adalah

jalan, drainase, dan rehabilitasi rumah, diikuti dengan infrastruktur sanitasi (MCK dan pompa

air), dan gerobak sampah. Di lima dari enam kelurahan, dana PNPM Perkotaan digunakan untuk

membangun jalan, drainase, termasuk jembatan dan titian. Infrastruktur populer lainnya

adalah MCK. Di lima kelurahan, warga memanfaatkan PNPM untuk membangun MCK serta

pengolahan limbah. Hanya dua kelurahan (Gowongan dan Pane) yang menggunakan dana itu

untuk meningkatkan akses pada air bersih. Selain jalan, drainase, dan sanitasi, warga di empat

kelurahan juga menggunakan dana untuk merehabilitasi rumah-rumah warga. Di Banjarmasin,

dana PNPM Perkotaan digunakan untuk membeli gerobak sampah. Daftar infrastruktur yang

dibangun pada periode 2012-2014 disajikan pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5 Fungsi dan pemanfaatan infrastruktur yang dibangun pada periode PNPM 2012-2014

Infrastruktur Jumlah

Fungsionalitas Penggunaan

Kota Berfungsi

Tidak Berfungsi

Digunakan Tidak

Digunakan

Jalan + Jembatan + titian

Tidak ada informasi

detail

Semua koridor yang diidentifikasi

- semua

koridor yang diidentifikasi

- Yogyakarta

Lebih dari dalam 3

gang

semua koridor yang diidentifikasi

- semua

koridor yang diidentifikasi

- Banjarmasin

3gang 3 - 3 - Banjarmasin

Tidak ada informasi

detail

semua koridor yang diidentifikasi

- semua

koridor yang diidentifikasi

- Bima

1 gang 1 - 1 - Bima

Drainase Tidak ada informasi

detail

semua koridor yang diidentifikasi

- semua

koridor yang diidentifikasi

- Bima,

Banjarmasin, Yogyakarta

MCK

2 2 - 2 - Yogyakarta

6 5 1 4 1 Yogyakarta

9 7 2 - 7 Bima

3 3 - - 3 Bima

Air Bersih (penyediaan pompa air)

1 1 - 1 - Yogyakarta

2 1 1 - 1 Bima

Rumah rehabilitasi

49 46 3 46 Yogyakarta

Sedikit rumah di setiap RW

- - Semua

rumah yang diidentifikasi

- Yogyakarta

3 - - 3 3 Bima

7 - - 7 7 Bima

Page 71: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

59

Infrastruktur Jumlah

Fungsionalitas Penggunaan

Kota Berfungsi

Tidak Berfungsi

Digunakan Tidak

Digunakan

Tempat Sampah

10 0 10 0 0 Banjarmasin

5.1 Fungsi dan Pemanfaatan Infrastruktur yang Dibangun PNPM Perkotaan Periode 2012-2014

Dengan keterbatasan data infrastruktur yang diperlukan, kami mengidentifikasi tiga kategori

pemanfaatan infrastruktur yang dibangun PNPM Perkotaan periode 2012-2014 (Tabel 6).

Kategori pertama adalah pemanfaatan infrastruktur yang tinggi. Infrastruktur di kategori ini

masih berfungsi dengan baik seperti seharusnya serta terpelihara dengan baik. Kategori kedua

adalah infrastruktur yang masih berfungsi namun kurang dimanfaatakan. Adapun, kategori

ketiga adalah infrastruktur yang tidak dimanfaatkan karena tidak berfungsi.

Dengan melihat kategorisasi di atas, studi ini menemukan bahwa sekitar 60% dari infrastruktur

yang dibangun PNPM Perkotaan pada periode 2012-2014 di enam kelurahan, masuk dalam

kategori pertama. Jalan, termasuk jembatan dan titian, serta drainase yang dibangun pada masa

itu masih berfungsi dan dimanfaatkan oleh para penerima manfaat. Hampir semua rumah

(yang direhabilitasi) masih ditinggali oleh warga.

Sementara itu, ada sekitar 15% infrastruktur yang dibangun yang masih berfungsi namun kurang

dimanfaatkan. Lebih dari setengah MCK di enam kelurahan pemanfaatannya menurun.

Di kategori terakhir, terdapat sekitar 25% infrastruktur yang rusak atau tidak berfungsi. Gerobak-

gerobak sampah di Banjarmasin, misalnya, tidak pernah dimanfaatkan.

Tabel 6 Kategori penggunaan infrastruktur yang dibangun pada masa PNPM 2012-2014

No Kategori Infrastruktur Jumlah Lokasi

1 Infrastruktur pemanfaatan tinggi (infrastruktur fungsional dan terpelihara dengan baik)

Jalan, jembatan, Semua koridor yang diidentifikasi (100%)

Bima (Santi & Pane), Yogyakarta (Gowongan), Banjarmasin (Alalak Selatan & Melayu)

Drainase Semua koridor yang diidentifikasi (100%)

Bima (Santi & Pane), Yogyakarta (Gowongan), Banjarmasin (Alalak Selatan & Melayu)

Rumah rehabilitasi Sebagian besar rumah (lebih dari 95 %)

Yogyakarta (Gowongan & Suryatmajan), Bima (Santi & Pane)

MCK 6 (30%) Yogyakarta (Gowongan & Suryatmajan)

Pompa air 1 (33.3%) Yogyakarta (Gowongan)

Page 72: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

60

No Kategori Infrastruktur Jumlah Lokasi

2 Infrastruktur berfungsi tetapi kurang dimanfaatkan

MCK 11 (55%) Yogyakarta (Gowongan), Bima (Santi & Pane)

Pompa air 1 (33.3%) Bima (Pane)

3 Tidak ada pemanfaatan (infrastruktur yang disfungsional/ rusak)

Pompa air 1 (33.3%) Bima (Pane)

MCK 3 (15% ) Bima (Santi), Yogyakarta (Gowongan)

Rumah rehabilitasi 3 (kurang dari 5%)

Yogyakarta (Suryatmajan)

Tempat sampah 10 (100%) Banjarmasin (Melayu)

Infrastruktur jalan, termasuk jembatan dan titian, masih berfungsi seperti seharusnya.

Berdasarkan observasi, dari semua jalan yang teridentifikasi, jembatan dan titian relatif

memiliki struktur yang baik meskipun terdapat retakan-retakan kecil pada jalan beton atau

paving blok yang berlumut. Infrastruktur-infrastruktur ini masih berkondisi baik karena para

pegawai kelurahan secara rutin memperbaikinya dengan dana-dana dari program lain (akan

dijelaskan di bagian selanjutnya).

Jalan, jembatan, dan titian tidak hanya digunakan oleh warga setempat, tapi juga oleh orang-

orang dari luar. Jalan sering dilewati oleh para pejalan kaki dan para pengguna kendaraan

bermotor, terutama sepeda motor. Berdasarkan observasi, jalan-jalan yang dibangun paling

ramai digunakan pada pagi hari ketika warga memulai kegiatan mereka.

Sistem drainase berfungsi dengan baik, air hujan yang masuk ke sana dapat mengalir lancar

menuju sungai terdekat sehingga mengurangi genangan air di jalan. Di beberapa permukiman

yang tidak menggunakan IPAL, sistem drainase juga mengalirkan limbah cair menuju sungai.

Ketika hujan turun lebat, beberapa bagian dari drainase di Yogyakarta dan Bima memang sedikit

tersumbat oleh sampah. Namun, warga dapat mengatasi masalah ini dengan membersihkan

drainase sebelum hujan deras turun.

Para penerima manfaat program rehabilitasi rumah di Gowongan, Suryatmajan, Santi, dan Pane

masih memelihara rumah mereka dengan baik. Dana PNPM kala itu digunakan untuk

memperkuat struktur rumah mereka, dan sampai saat ini rumah-rumah tersebut masih terlihat

memiliki struktur yang kokoh. Para penerima manfaat tersebut juga masih tinggal di rumah-

rumah mereka dan secara rutin memperbaikinya jika terdapat kerusakan-kerusakan kecil yang

tidak memerlukan biaya yang besar, seperti dengan mengecat rumah, mengaci dinding, serta

memperbaiki atap dan genting. Beberapa tahun setelah rumah-rumah tersebut direhab,

kebanyakan rumah-rumah tersebut masih ditinggali oleh warga. Namun demikian ada tiga

rumah di Suryatmajan yang dihancurkan karena ada pembangunan hotel.

MCK yang dibangun pada fase PNPM Perkotaan 2012-2014 digunakan secara berbeda-beda

yang dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Tabel 7 menjelaskan secara detil tipe-tipe

pemanfaatan MCK yang dimaksud.

Page 73: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

61

Table 7 Penggunaan MCK yang dibangun PNPM Urban 2012-2014

No MCK Lokasi Jumlah Alasan

1 Infrastruktur pemanfaatan tinggi (infrastruktur fungsional dan terpelihara dengan baik)

Gowongan 4 - Terawat dengan baik Suryatmajan 2

2 Infrastruktur berfungsi tetapi kurang dimanfaatkan

Pane 3 - Konflik dalam pemeliharaan - Sebagian besar penduduk memiliki

MCK sendiri Santi 7

Gowongan 1 - Pengguna tidak nyaman menggunakan MCK karena lokasi 'sibuk'

3 Tidak ada pemanfaatan (infrastruktur yang disfungsional/rusak)

Santi 2 - Konflik dalam pemeliharaan - Dibongkar dengan konstruksi jalan Gowongan 1

Enam dari dua puluh MCK, atau sekitar 30%, masih sering digunakan oleh warga di Yogyakarta

untuk mandi. Meskipun terdapat lumut pada dinding dan lantainya, lampu di kamari-kamar

mandi tersebut masih berfungsi dengan baik. Air pun selalu tersedia untuk keperluan mandi

atau mencuci (Gambar 17).

MCK di Suryamajan dan Gowongan masih digunakan oleh warga lokal. Mereka menggunakan

MCK untuk mandi dan mencuci, terutama di pagi dan sore hari. Warga yang menggunakan MCK

komunal dan umum biasanya tidak memiliki MCK di rumah sendiri, mereka sangat bergantung

pada MCK umum ini untuk kegiatan sehari-hari.

Page 74: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

62

Gambar 16 MCK yang sering digunakan di Yogyakarta

Foto oleh Muklas Aji Setiawan and Mulyana

Tanda di MCK Suryatmajan

Foto oleh Mulyana

Kotak 4: MCK bersih kami

“Kami menggunakan toilet dan kamar mandi (umum). (Fasilitasi tersebut) disediakan untuk keluarga yang tidak memiliki toilet pribadi seperti kami. Saya hanya bekerja sebagai tukang parkir. Ada 20 keluarga lain seperti kami yang menggunakan MCK. Kami hanya membayar Rp10.000 (per rumah tangga) untuk biaya listrik dan kebersihan yang dikerjakan setiap minggu. In termasuk murah karena kami serumah tinggal berenam. Sebelumnya kami ikut membersihakan MCK).. tapi hasilnya tidak terlalu bersih. Lalu Pak RT mengubah sistemnya. Ia mengumpulkan uang dari kami dan menggunakannya untuk membayar tukang bersih-bersih. MCK pun sekarang menjadi bersih (gambar sebelah kanan). Pak RT pun menyediakan kotak sumbangan (gambar sebelah kiri) untuk orang luar yang menggunakan MCK” (Pak M, Suryatmajan, 19 Februari 2019).

Toilet Bersih di Suryatmajan

Foto oleh Mulyana

Sayangnya, kebanyakan dari MCK, sebelas dari dua puluh MCK (55%), tidak banyak digunakan

oleh warga. Dan sepuluh dari sebelas MCK ini berada di Bima. Satu pompa air di Pane juga

masuk dalam kategori ini. Dari segi fungsi, MCK dan pompa air di Pane masih berfungsi

meskipun beberapa bagiannya hilang. Di Bima, program PNPM Reguler membangun beberapa

MCK, tetapi tidak disertai dengan penyediaan air atau listrik. Karenanya, warga yang

menggunakan MCK harus menyediakan air dan listrik dari mereka sendiri.

Page 75: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

63

Kebanyakan infrastruktur basah seperti sepuluh MCK dan pompa air di Bima penggunaanya

berkurang, dari sebelumnya digunakan oleh sepuluh rumah tangga menjadi hanya empat

sampai lima rumah tangga saja. Ini di antaranya disebabkan oleh para pengguna tersebut kini

telah membangun kamar mandi di rumahnya masing-masing yang disertai dengan sumber air,

misalnya yang berasal dari sumur dan/atau pompa air. Karenanya, mereka tak lagi memerlukan

MCK umum. Tidak seperti di Yogyakarta, warga di Bima memiliki lahan di sektiar rumah yang

lebih luas untuk membangun MCK sendiri. Mereka pun memiki kondisi ekonomi yang lebih baik

daripada warga di Yogyakarta. Lepas dari itu, rumah-rumah tangga yang masih menggunakan

MCK komunal masih secara telaten membersihkan dan memelihara fasilitas tersebut.

Penurunan tangkat penggunaan MCK juga disebabkan oleh konflik dalam proses pemeliharaan.

Rumah tangga yang terdekat dengan MCK tersebut merasa telah melakukan lebih banyak hal

untuk memelihara fasilitas tersebut termasuk mengganti bola lampu. Namun, pengguna-

pengguna lainnya tidak ikut memelihara MCK komunal. Karenanya, rumah tangga tadi

memutuskan untuk mengunci MCK untuk mereka sendiri.

Para pengguna salah satu MCK di Gowongan memiliki alasan yang berbeda tentang tidak banyak

menggunakan MCK tersebut, yaitu karena lokasinya yang berada di depan jalan di bantaran

sungai yang ramai. Mereka merasa tidak nyaman menggunakan fasilitas MCK karena banyak

orang berlalu lalang, dan karenanya sebagian dari mereka memilih untuk menggunakan MCK

umum lain yang berlokasi di area permukiman. Karena jarang digunakan, kondisi MCK tersebut

pun menurun. Lantainya kotor, tidak ada listrik, dan air yang tersedia pun sangat sedikit.

Tiga MCK (15%) masuk ke dalam kategori ketiga, yaitu tidak digunakan karena dua di antaranya

(di Bima) ditutup dan satu lagi (di Yogyakarta) diruntuhkan. Dua MCK pertama ditutup oleh

rumah tangga yang tinggal didekatnya karena mereka merasa terganggu oleh kegiatan di MCK.

Banyak warga yang datang ke MCK dan melewati rumah mereka dan tidak membersihkan MCK

dengan baik. Selain itu, mereka pun terganggu dengan bau tidak sedap yang berasal dari MCK.

Mereka akhirnya memutuskan untuk mengunci MCK tersebut dan memegang kuncinya sendiri

(Gambar 18). Satu MCK yang ada di Yogyakarta diruntuhkan karena proses pembangunan jalan.

Page 76: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

64

Gambar 17 MCK ditutup oleh rumah tangga terdekat di Bima

Foto oleh Hilda Arum Nurbayyanti

Gerobak-gerobak sampah dan pompa air bahkan tidak digunakan sama sekali. Gerobak sampah

yang ada di Banjarmasin dan pompa air di Pane sudah tidak ada. Salah satu pompa air di Pane

dirusak oleh pemilik lahan (tempat pompa tersebut dipasang) karena terdapat konflik dalam

penggunaannya. Berdasarkan wawancara dengan ketua RT di Banjarmasin, dana dari PNPM

Perkotaan 2012-2014 digunakan untuk membeli sepuluh gerobak sampah. Namun, semuanya

tidak pernah digunakan dan keberadaannya sekarang tidak diketahui.

5.2 Institusi Pemeliharaan

Berdasarkan uraian di bagian sebelumnya, bagian ini akan menjelaskan alasan terdapatnya

infrastruktur yang masih berfungsi dan dipelihara denan baik, sementara sebagian lainnya

kurang digunakan atau bahkan tidak digunakan sama sekali, dan pada akhirnya menjadi tidak

berfungsi total.

Banyak jalan, jembatan, dan drainase berfungsi dengan baik dengan kondisi yang baik pula

karena pihak kelurahan secara rutin memperbaiki jalan dan drainase dengan menggunakan dana

dari program lain. Hal ini menunjukkan bahwa kelurahan memiliki kemampuan untuk

Page 77: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

65

mengintegrasikan beberapa progam yang berbeda

untuk memastikan keberlanjutan infrastruktur yang

dianggap penting seperti jalan dan jembatan. Di

Yogyakarta, para petugas kelurahan menggunakan

dana Kotaku dan Dinas Perkim untuk memperbaiki

jalan yang dibangun pada masa PNPM Perkotaan

2012-2014. Ini juga terjadi di Melayu dan Alalak

Selatan, Banjarmasin. Kelurahan di Banjarmasin

merehabilitasi jalan menggunakan program jaring

aspirasi legistlatif (Jaring Asmara) dan menggunakan

anggaran kelurahan (Gambar 19). Karena jalan dinilai

sebagai infrastruktur yang penting untuk

masyarakat, kelurahan memiliki lebih banyak insentif

dan keinginan untuk menggunakan opsi-opsi

pendanaan lain guna memelihara dan memastikan

keberlanjutan infrastruktur jalan, bersamaan dengan

sistem drainase.

Gambar 18 Jalan yang telah direhabilitasi di Banjarmasin menggunakan dana Jaring Asmara

Foto oleh Bewanti Dahani S.

Sebaliknya, seperti dijelaskan ringkas di bab

sebelumnya, dua MCK di Bima jarang digunakan karena adanya konflik pemeliharaan. Namun,

tidak ada aturan yang jelas dan adil dalam pemeliharaan fasilitas. Terdapat keluarga yang

merasa bahwa mereka telah bekerja lebih berat dan berkontribusi lebih banyak daripada yang

lainnya untuk memelihara MCK. Mereka membayar tagihan listrik rutin, membersihkan MCK,

dan mengganti lampu bohlam. Mereka telah meminta para pengguna fasilitas lain untuk turut

Kotak 5: Pemilik tanah, petugas pemeliharaan yang bertanggung jawab

Salah satu MCK di RT 03, Kelurahan

Santi, Bima dibangun dengan

menggunakan dana dari program

PNPM reguler pada tahun 2012. MCK

tersebut berlokasi di sepetak tanah

milik Ibu R (65 tahun) yang tinggal di

sebelah kanan MCK. Sejak MCK

tersebut dibangun, Ibu R-lah yang

membersihkan MCK dan membayar

biaya listriknya. Pengguna lain—yang

tak lain adalah tetangga Ibu R—tidak

pernah ikut membersihkan MCK,

membayar biaya listrik, maupun

mengganti bohlam yang putus. Ibu R

bahkan membayar sendiri seorang

tukang untuk memperbaiki atap MCK.

Hanya jika ada kerusahakan yang

memperlukan dana besar—misalnya

untuk perbaikan septic tank—

warga/pengguna lain diminta

sumbangannya secara sukarela. Untuk

keperluan itu, Ibu R berinisiatif

mendatangi rumah para pengguna

tersebut untuk meminta sumbangan

sukarela untuk memperbaiki septik

tank tadi. Ia berkata, “…hmm kita tidak

buruh (bantuan) mereka karena kita

masih punya uang, suami saya bekerja

dan saya bisa membersihkan MCK

sendiri..”. Salah seorang pengguna

MCK, Ibu F (35), mengonfirmasi bahwa

Ibu R harus bertanggungjawab dalam

memelihara MCK karena fasilitas

tersebut berada di tanah milikinya.

Page 78: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

66

berkontribusi, tapi tidak ada respon. Keadaan Ini pada akhirnya menciptakan ketegangan.

Ketua RT pun tidak membantu memecahkan masalah ini. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak

ada rasa saling percaya di antara pengguna fasilitas dengan ketua RT. Pada akhirnya keluarga

yang merasa telah bekerja lebih banyak tadi memutuskan mengunci MCK untuk mereka sendiri.

Tidak seperti di Yogyakarta ketika ketua RT mengorganisasi kolektivitas warga untuk

memelihara MCK, proses pemeliharaan MCK di Bima dilakukan oleh keluarga pemilik tanah di

mana MCK tersebut dibangun. Anggota rumah tangga itu secara rutin membersihkan,

mengganti bohlam, serta membayar tagihan listrik untuk keperluan MCK (Kotak 5).

Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa ketua RT memiliki peran penting dalam memastikan

keberlanjutan sebuah infrastruktur. Kedua tipe sistem yang diaplikasikan di Yogyakarta berjalan

dengan baik karena ketua RT berperan dalam mengelola dan mendisiplinkan para pengguna

fasilitas untuk mengikuti aturan yang dibuat. Ketua RT mengambil keputusan dalam

pelaksanaan sistem dan hal ini turut membangun kepercayaan para pengguna kepadanya.

Sementara itu, di Bima, para ketua RT relatif pasif dalam memastikan adanya sistem

pemeliharaan fasilitas MCK maupun dalam menyelesaikan konflik yang muncul terkait

pemeliharaan fasilitas tadi. Melihat pentingnya peran para ketua RT ini, proyek-proyek

infrastruktur harus melibatkan mereka dalam pemeliharaan infrastruktur umum.

Dalam kasus yang tidak terdapat kolektivitas dari warga, dukungan dari pemerintah kelurahan

dan kota sangat diperlukan untuk memelihara infrastruktur. Baik infrastruktur komunal maupun

infrastruktur umum memerlukan aturan dan kesepakatan yang jelas dalam hal pemeliharaan

sehingga infrastruktur tersebut bisa berfungsi dengan baik dan dimanfaatkan secara optimal.

Di Yogyakarta, masyarakat dan ketuanya telah membuat mekanisme untuk memelihara MCK.

Karenanya, sebagian besar MCK di sana masih sering digunakan bertahun-tahun setelah

program PNPM berakhir. Namun, sebaliknya, di Bima warga tidak memiliki institusi lokal yang

kuat sehingga kebanyakan MCK di sana tidak terpelihara dengan baik karena munculnya konflik

dalam hal pemeliharaan. Pemeliharaan MCK di Bima, dengan demikian, memerlukan dukungan

dari pemerintah.

Sayangnya, tidak ada dukungan dari pemerintah kota untuk memelihara atau memperbaiki

manakala fasilitas publik tadi rusak. Infrastruktur berbasis komunitas yang dibangun dengan

dana PNPM masih dianggap bukan tanggung jawab pemerintah, tetapi tanggung jawab warga

itu sendiri. Ketika terdapat fasilitas yang rusak, atau ada komponen yang harus diganti,

masyarakat setempatlah yang dianggap bertanggung jawab untuk memperbaiki atau

mengganti bagian yang rusak tersebut. Padahal warga yang tinggal di permukiman kumuh

memiliki dana yang terbatas untuk memperbaiki atau mengganti komponen yang rusak.

Pemerintah kota seharusnya juga memberikan insentif bagi kelurahan untuk mendorong

mereka agar mau memelihara fasilitas-fasilitas lain, bukan hanya jalan saja.

Terakhir, penggunaan fasilitas pembuangan sampah memerlukan sistem pembuangan sampah

yang baik pada level kelurahan dan kota. Tanpa adanya dukungan lingkungan seperti itu,

tempat pembungan sampah di tengah-tengah masyarakat tidak akan digunakan sama sekali,

seperti sepuluh gerobak sampah di Banjarmasin. Saat ini tidak ada yang tahu di mana keberaan

kesepuluh gerobak tersebut. Di kelurahan Melayu, terdapat tempat pembuangan sampah

sementara (TPS) untuk mengumpulkan sampah yang dikumpulkan dalam tong-tong sampah di

permukiman warga. Petugas kelurahan, dalam hal ini tidak menyediakan sistem yang baik untuk

menghadapi masalah pembuangan sampah ini.

Page 79: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

67

B A B 6

S I M P U L A N D A N R E K O M E N D A S I

6.1. Simpulan

Tujuan dari studi evaluasi ini adalah untuk meneliti efek dari program penataan kawasan kumuh

(PNPM Perkotaan perpanjangan) di Yogyakarta, Banjarmasin, dan Bima. Program penataan ini

dilakukan melalui penyediaan infrastruktur dengan prioritas pada rehabilitasi rumah, jalan,

drainase, sistem pengelolaan limbah, toilet, serta penyediaan air bersih di area prioritas.

Bab 2 penelitian ini berpendapat bahwa program PLPBK telah menyajikan satu pendekatan

penataan masalah infrastruktur di kawasan kumuh seperti rumah kumuh, akses di permukiman

yang terbatas, serta sanitasi dan drainase yang buruk. Secara bersamaan program ini juga

membantu memperkuat dimensi intangible kehidupan warga.

Di semua lokasi penelitian, PLPBK telah meningkatkan fungsi dan penggunaan infrastruktur

dasar di tingkat permukiman. Warga yang tinggal di kawasan kumuh kini telah memiliki akses

yang lebih baik pada sanitasi, konektivitas jalan, jaringan drainase, selokan, serta kondisi rumah

yang lebih baik. Warga di lokasi-lokasi tersebut mengatakan bahwa perbaikan infrastruktur

telah mengatasi masalah-masalah di tempat tempat tinggal mereka seperti genangan air, akses

dan konektivitas jalan yang buruk, serta polusi. Penelitian ini menguatkan temuan-temuan

utama dari studi tentang PNPM Perkotaan yang menyimpulkan bahwa PNPM Perkotaan

Pemanfaatan jembatan yang dibangun oleh PNPM di Kelurahan Santi. Foto oleh Hilda A. N.

Page 80: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

68

merupakan pendekatan yang efektif untuk mengatasi permasalahan infrastruktur dasar pada

level komunitas dengan penyediaan infrastruktur yang berkualitas (Baker et. al., 2013).

Namun demikian, dalam kaitannya dengan temuan-temuan positif tersebut, studi ini pun

mengidentifikasi adanya hal yang kurang efektif dalam mengatasi masalah kurangnya area

terbuka hijau, ruang publik, dan penampungan sampah terpisah (berdasarkan kategori

sampahnya). Di samping digunakan untuk penyediaan dan perbaikan infrastruktur dasar, dana

program juga digunakan untuk membangun taman, balai pertemuan, dan tempat

penampungan sampah terpisah (dengan tujuan untuk proses daur ulang). Infrastruktur-

infrastruktur tersebut memang benar-benar telah dibangun dan berfungsi, tetapi semuanya

jarang atau sama sekali tidak digunakan oleh warga.

Efek lain dari program adalah naiknya harga lahan dan akomodasi. Peningkatan harga ini

berpotensi ‘memaksa’ keluarga-keluarga dengan ekonomi rendah untuk keluar dari kawasan

yang telah ditata. Risiko ini harus ditangani dengan serius mengingat kawasan kumuh biasanya

menyediakan solusi tempat tinggal bagi warga-warga dan pendatang dengan pendapatan

rendah.

Pada Bab 3, studi ini menjelaskan efek lebih jauh dari program terhadap dimensi intangible

kehidupan warga. Hal ini terjadi di area-area dengan integrasi infrastruktur yang baik. Dalam

hal ini, integrasi infrastruktur adalah kondisi ketika pembangunan infrastruktur difokuskan di

satu area prioritas disertai dengan kegiatan-kegiatan mempercantik permukiman sekitar dan

kegiatan-kegiatan pemanfaatan area yang telah ditata tersebut.

Pada Bab 3, studi ini menjelaskan efek lebih jauh dari program terhadap dimensi intangible

kehidupan warga. Hal ini terjadi di area-area dengan integrasi infrastruktur yang baik. Dalam

hal ini, integrasi infrastruktur adalah kondisi ketika pembangunan infrastruktur difokuskan di

satu area prioritas disertai dengan kegiatan-kegiatan mempercantik permukiman sekitar dan

kegiatan-kegiatan pemanfaatan area yang telah ditata tersebut.

Penelitian ini mengidentifikasi empat faktor yang memengaruhi terjadinya integrasi

infrastruktur, yaitu:

1. Kebijakan PLPBK

Dari segi kebijakan, penelitian ini menemukan beberapa persyaratan program yang

berdampak baik terhadap terjadinya integrasi. Persyaratan tersebut adalah: (i) terdapatnya

site plan sebagai instrumen perencanaan untuk memastikan terjadinya integrasi

infrastruktur di satu area prioritas; (ii) dilakukannya rekrutmen faskel dengan keahlian dalam

membuat site plan yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam tata

ruang dan arsitektur; (iii) adanya jumlah dana signifikan yang dialokasikan untuk memastikan

tersedianya infrastruktur dasar serta rehabilitasi permukiman bagi setiap area; (iv) tidak

adanya persyaratan legal-formal untuk kegiatan rehabilitasi rumah; (v) disediakannya durasi

program selama dua tahun sehingga cukup bagi para fasilitator untuk melakukan sosialisasi

kepada warga terutama mengenai kegiatan rehabilitasi permukiman (rumah-rumah).

Page 81: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

69

2. Strategi dan Kapasitas para Aktor dalam Melaksanakan Program

Terkait ini, penelitian kami menemukan empat strategi dan tahapan penting yang dilakukan

para aktor untuk memastikan konsep PLPBK dilaksanakan secara maksimal sehingga

mendorong terjadinya integrasi infrastruktur yang lebih baik. Keempat strategi tersebut

adalah: (i) strategi pemililhan area prioritas berdasarkan asesmen atas kesiapan dari

pemimpin setempat (misalnya ketua RT) dan berdasarkan tingkat kompleksitas kondisi

permukiman (rumah-rumah) yang akan ditata; (ii) strategi sosialisasi yang dilakukan dengan

mengutamakan pendekatan personal dan sistematis, yang juga secara khusus memberikan

informasi kepada warga mengenai risiko dan konsekuensi dari rencana penataan

permukiman; (iii) strategi pelibatan partisipasi warga dalam proses perancangan desain

permukiman dan rumah-rumah mereka; (iv) strategi faskel dalam menyesuaikan standar dan

desain infrastruktur permukiman dengan konteks lokal tempat desain tersebut akan

dijalankan.

3. Institusi Lokal yang Kuat

Hal ini berupa kepercayaan, kepemimpinan lokal, dan aksi kolektif sebagai kondisi yang diperlukan untuk mewujudkan harmoni dan integrasi antara penyediaan infrastruktur dan pemanfaatannya. Di area dengan integrasi infrastruktur yang baik (Yogyakarta), warga memiliki ikatan saling percaya dan solidaritas untuk melakukan kegiatan-kegiatan pemanfaatan dan pemeliharaan infrastruktur di area yang telah ditata. Dalam kasus ketika kondisi-kondisi tersebut belum tercipta, untuk mewujudkannya, dapat dilakukan kegiatan fasilitasi yang baik untuk memastikan keberlanjutan program

4. Lingkungan yang Mendukung

Infrastruktur yang terintegrasi juga dimungkinkan dengan adanya referensi mengenai konsep-konsep penataan kawasan kumuh yang sesuai dengan konteks lokal. Referensi-referensi ini menyediakan ide dan panduan bagi faskel untuk mengadaptasi standar infrastruktur dari Kementerian PUPR dengan konteks lokal tempat infrastruktur tertentu akan dibangun. Proses adaptasi ini sangat penting untuk memastikan program penyediaan infrastruktur bukan hanya berhasil mengintegrasikan beragam infrastruktur, tetapi juga mengintegrasikannya dengan kegiatan-kegiatan warga setempat.

Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat efek program pengurangan risiko bencana di area

rawan banjir di Bima. Pada Bab 4, penelitian ini mengemukakan bahwa di Bima, peningkatan

akses jalan dan drainase telah berhasil mengurangi risiko banjir kecil sekaligus meningkatkan

kondisi permukiman menjadi lebih baik. Secara umum, warga mendapatkan manfaat program

terutama dari pembangunan dan perbaikan infrastruktur-infrastruktur untuk menata kawasan

kumuh seperti jalan, drainase, dan toilet.

Namun demikian, tidak seperti efek program PLPBK dalam menangani masalah-masalah di

kawasan kumuh, penelitian ini menemukan kenyataan bahwa di Bima program relatif

memberikan efek yang hanya terbatas pada hal peningkatan kesadaran dan kesiapan warga

dalam mengurangi risiko bencana banjir bandang. Program memang telah memperkenalkan

warga dengan pengetahuan teknik evakuasi dan memberikan informasi kepada mereka

tentang jalur evakuasi yang jelas. Namun, studi ini juga menemukan fakta bahwa warga tidak

diberikan kesempatan untuk melakukan latihan evakuasi. Lebih jauh, program ini pun tidak

Page 82: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

70

membentuk sistem peringatan yang lengkap, pun tidak ada strategi yang jelas untuk membantu

warga dalam situasi darurat dan pada saat pemulihan (paskabencana).

Dampak yang terbatas dari kerangka program PRBBK dalam mengurangi risiko banjir bandang

di Bima ini disebabkan oleh tiga faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Ketiganya adalah

(i) sumber masalah banjir bandang di Bima berada di luar kontrol masyarakat. Banjir bandang

yang terjadi secara periodik di Bima ternyata disebabkan oleh kombinasi tingginya curah hujan,

topografi Bima di area cekungan, drainase yang buruk, berkurangnya tutupan hutan, dan

pembangunan perumahan dan perkebunan di area hulu; (iii) terbatasnya dukungan kebijakan.

Alih-alih mendukung pengurangan risiko bencana, gubernur malah turut berkontribusi

terhadap berkurangan area hutan di daerah hulu.

Penelitian ini juga diharapkan dapat mengevaluasi aspek institusi dari pemeliharaan

infrastruktur yang dibangun program PNPM Perkotaan 2012-2014. Pada Bab 5, laporan ini

menjelaskan temuan bahwa infrastruktur konektivitas—jalan, jembatan, dan drainase—masih

berfungsi dan dimanfaatkan secara reguler oleh warga. Ini terjadi diantaranya karena banyak

program di kelurahan yang juga berfokus pada infrastruktur sehingga turut mendukung

keberlanjutan dari infrastruktur-infrastruktur tersebut. Pihak kelurahan menggunakan dana

dari program-program tadi untuk memelihara jalan, jembatan, dan drainase yang dibangun

oleh program PNPM 2012-2014.

Hanya saja, beberapa infrastruktur tidak lagi berfungsi dengan baik atau terbengkalai dan tak

digunakan oleh warga karena kurang kuatnya institusi lokal dalam mendukung aspek

pemeliharaan. Infrastruktur-infrastruktur tersebut adalah MCK dan pengelolaaan sampah. Di

lokasi tempat terdapatnya institusi lokal yang kuat (Yogyakarta), infrastruktur publik seperti

MCK masih terpelihara dengan baik.

Sementara itu, di lokasi-lokasi dengan kolektivitas dan kepemimpinan lokal yang lemah (Bima),

MCK tidak lagi digunakan karena adanya konflik dalam pemeliharaan fasilitas tersebut. Hal ini

menunjukkan bukti bahwa aspek pemeliharaan masih merupakan tantangan dalam

mewujudkan infrastruktur yang berkelanjutan. Kurangnya kepercayaan dan kepemimpinan

lokal menjadi penghambat efektifnya penggunaan jenis infrastruktur tersebut.

6.2. Rekomendasi

Evaluasi studi mengidentifikasi beberapa aspek program yang dapat ditingkatkan untuk

mengoptimalkan integrasi infrastruktur dan efeknya terhadap hasil tangible dan intangible

kehidupan warga. Berdasarkan temuan-temuan studi yang dikemukakan di Bab 2, 3, 4, dan 5,

kami menyampaikan beberapa rekomendasi berikut.

Program perlu terus memastikan terwujudnya infrastruktur di satu area prioritas karena

pendekatan ini telah terbukti menghasilkan efek tangible dan intangible yang positif bagi

kehidupan warga. Kawasan kumuh merupakan manifestasi dari kemiskinan perkotaan,

kesenjangan, serta eksklusi sosial. Karenanya, efek dari penataan kawasan kumuh harus

ditujukan bukan hanya untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur dasar, tetapi juga untuk

Page 83: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

71

meningkatkan dimensi intangible kehidupan warga berupa penguatan hubungan sosial dan

integrasi warga di kawasan kumuh dengan kehidupan kota secara keseluruhan.

Untuk memastikan integrasi tersebut, kebijakan program perlu melanjutkan empat ketentuan,

yaitu: (i) site planning sebagai instrumen perencanaan; (ii) durasi proyek yang tidak terbatas

hanya satu tahun anggaran; (iii) jumlah dana yang signifikan yang dialokasikan pada setiap area

yang cukup untuk membangun/merehabilitasi beragam infrastruktur dan untuk merekrut ahli-

ahli yang diperlukan; (iv) dan persyaratan yang fleksibel untuk program penataan yang cukup

dengan dokumen-dokumen administrasi sederhana.

Diperlukan modifikasi timeline untuk proyek skema Showcase (2018). Penelitian ini

memperlihatkan simpulan bahwa jumlah dana yang sama yang dialokasikan oleh program

PLPBK dan Showcase dilaksanakan dengan proses pelaksananaan dan hasil yang berbeda

terutama pada rencana penataan permukiman. Waktu proyek Showcase yang pendek

membuat fasilitator program hanya memiliki waktu yang terbatas untuk melakukan sosialisasi

program, proses perencanaan, dan pelaksanaan yang bersifat partisipatif terutama terkait

desain rehabilitasi rumah. Mereka pun tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan

sosialisasi dan diskusi dengan warga di luar area program untuk mengurangi kekecewaan atau

kecemburuan mereka. Kami menyarankan untuk program-program serupa di masa depan agar

dilaksanakan dalam rentang waktu dua tahun—tahun pertama digunakan untuk persiapan dan

perencanaan dan tahun kedua untuk pelaksanaan serta penyiapan keberlanjutan program.

Studi ini menemukan kenyataan bahwa pada tahap perencanaan, penyiapan kapasitas, dan

strategi faskel dan BKM sangat penting untuk memastikan integrasi dan pemanfaatan

infrastruktur yang efektif berdasarkan standar penataan permukiman dengan konteks lokal.

Integrasi infrastruktur yang baik seperti yang ada di Yogyakarta menunjukkan desain yang baik

yang sesuai dengan konteks lokal. Sementara itu, di Banjarmasin dan Bima, terdapat kasus

ketika infrastruktur memunculkan efek negatif. Misalnya, efek negatif dari peningkatan

infrastruktur di Alalak Selatan (dari siring ke titian ulin) yang memberikan pembelajaran bahwa

tim program harus mempertimbangkan dan mengembangkan desain sesuai standar sehingga

tidak menimbulkan efek negatif bagi warga. Dalam membangun infrastruktur di pinggir sungai,

misalnya, tim teknis harus melakukan observasi kondisi pinggiran sungai pada waktu pasang

sehingga mereka bisa mendesain infrastruktur yang tetap berfungsi dengan baik saat sungai

pasang.

Penelitian ini mengajukan dua solusi untuk membantu adaptasi konsep penataan kawasan

kumuh dengan konteks lokal tempat konsep tersebut akan diaplikasikan. Pertama, program

harus memfasilitasi diskusi dan konsultasi dengan ahli-ahli lain yang memiliki pengalaman dan

berhasil melaksanakan proyek-proyek penataan kawasan kumuh. Kedua, program perlu

meningkatkan partisipasi warga dalam proses penataan. Terkait ini, kami berkesimpulan bahwa

presentasi desain rencana penataan dalam bentuk gambar (visual) sangat membantu warga

untuk membayangkan dampak pembangunan infrastruktur terhadap rumah dan

lingkungannya. Potensi-potensi dampak ini kemudian dapat ditindaklanjuti oleh faskel. Solusi

ini diharapkan dapat menghindari efek-efek negatif pembangunan infrastruktur dan

memastikan agar infrastruktur yang telah dibangun dimanfaatkan secara optimal oleh warga.

Page 84: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

72

Pada tahap perencanaan, kami juga menyarankan perbaikan strategi dalam melakukan

sosialisasi mengenai proyek penataan rumah. Dalam hal ini, kami menyarankan BKM dan RT

untuk menggunakan pendekatan personal sistematik kepada warga. Pendekatan yang

dimaksud termasuk dalam menyampaikan informasi kepada warga tentang semua

konsekuensi, keuntungan, dan risiko yang mungkin muncul dari program penataan tersebut.

Sosialisasi juga perlu dilakukan terhadap warga di sekitar dan di luar area program.

Dalam proses konstruksi permukiman, kami menyarankan solusi-solusi untuk membantu warga

yang tinggal di area program dan tidak mampu membayar biaya sewa (selama rumah mereka

direhab) atau untuk biaya konsumsi pekerja. Selama proses pembangunan tempat tinggal, para

pemilik rumah-rumah tersebut harus mengeluarkan uang untuk pindah ke tempat sewaan

sementara. Dalam skema program, uang ini merupakan bentuk dari kontribusi warga (swadaya)

terhadap program. Kebanyakan warga setuju dengan ketentuan ini. Namun, sebagian warga

menghadapi kesulitan untuk membayar semua pengeluaran ini karena kondisi ekonomi yang

sangat terbatas. Dalam situasi seperti ini, program dapat melakukan intervensi untuk

membantu mengurangi beban warga tersebut dengan, misalnya, menyediakan dukungan dana

atau melalui aksi kolektif warga. Faskel dan BKM juga dapat membantu dengan memfasilitasi

warga setempat untuk menemukan jalan dalam menghadapi masalah tersebut dengan,

misalnya, menyediakan dapur umum selama proses pembangunan. Sumber dana untuk dapur

umum ini dapat dikumpulkan dari iuran warga, atau diambil dari dana yang dialokasikan untuk

membangun infrastruktur yang tidak terlalu penting seperti pembangunan balai pertemuan

dan ruang publik.

Hal tersebut mengarahkan kita untuk memikirkan ulang pendekatan dalam penyediaan

beberapa jenis infrastruktur. Studi ini menemukan hasil bahwa program ini telah secara efektif

menangani masalah-masalah infrastruktur dasar—drainase, jalan, dan selokan—, tetapi belum

memadai dalam menangani masalah terbatasnya ruang publik, ruang terbuka hijau, dan sistem

pengelolaan sampah. Berangkat dari ini, program perlu secara serius merancang solusi

penataan ruang publik dan ruang terbuka hijau yang efektif. Untuk melakukan hal tersebut,

diperlukan asesmen yang lebih baik untuk menentukan apakah infrastruktur yang dimaksud

benar-benar diperlukan. Selain itu, juga diperlukan asesmen yang lebih baik terhadap desain

infrastruktur sehingga infrastruktur tersebut dapat menarik lebih banyak pengguna karena

dikhawatirkan tanpa rencana dan tujuan yang jelas, infrastruktur tidak akan digunakan.

Sistem pengumpulan sampah secara terpisah tidak akan berjalan dan digunakan jika program

tidak menangani masalah manajemen pengelolaan sampah di tingkat kota. Sistem

pengumpulan sampah yang dirancang sebelumnya terkesan sebagai tempelan atau hanya

untuk memenuhi ceklis dari indikator-indikator kekumuhan. Program ke depan dapat

menangani masalah ini jika ia bisa bekerjasama dengan aktor lain seperti NGO10 di tingkat kota

yang bekerja dalam program-program pengelolaan sampah.

Hal itu kembali mengingatkan kita tentang pentingnya peningkatan strategi keberlanjutan

program. Implementasi program penataan kawasan kumuh yang berhasil berkaitan dengan

pemastian komunitas warga di lokasi program memililki kapasitas untuk bekerja secara kolektif.

10 Organisasasi non pemerintah atau organisasi masyarakat

Page 85: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

73

Aksi kolektif yang kuat mendukung terjadinya integrasi infrastruktur yang efektif seperti yang

terjadi dalam kasus di Yogyakarta. Namun, banyak daerah yang tidak memiliki modal sosial yang

diperlukan ini. Program, dalam hal ini, perlu memulai dengan asesmen atas modal sosial yang

ada di masyarakat. Ketika modal sosial yang diperlukan itu tidak ada, program perlu

menyertakan proyek kolektif skala kecil di tingkat masyarakat bersamaan dengan program

penyediaan infrastruktur. Terkait ini, program harus memfasilitasi proyek-proyek tersebut

dengan mendukung kegiatan-kegiatan aksi kolektif di antara warga di semua tingkatan, dan

dengan warga di luar area program. Upaya-upaya tersebut dimungkinkan jika mekanisme

program menyediakan waktu yang cukup dan insentif yang cukup juga bagi faskel dan BKM

untuk memfasilitasi kegiatan warga dalam memastikan keberfungsian dan keberlanjutan

infrastruktur yang dibangun.

Untuk memastikan agar fasilitator melakukan lebih banyak kerja-kerja fasilitasi, program perlu

menyederhanakan sistem administrasi dari manajemen proyek. Setelah itu, dilakukan

pengembangan sistem insentif-disinsentif agar faskel dan BKM melakukan proses fasilitasi yang

cukup terutama pada tahap perencanaan dan pemastian keberlanjutan program. Program juga

harus mengurangi beban administrasi, termasuk menyederhanakan dokumen laporan dan

administrasi, serta mengaplikasikan sistem insentif dan disinsentif untuk mengapresiasi

pencapaian faskel dan korkot dalam memfasilitasi warga dan dalam mendukung keberlanjutan

program.

Dengan tujuan keberlanjutan, program perlu menangani masalah legalitas tanah atau

membantu meningkatkan kepastian status tanah yang warga tinggali di area program.

Penataan isu legalitas tanah dan tempat tinggal tersebut adalah salah satu cara untuk

memberikan kepastian kepada warga dalam mendukung program penataan termasuk dalam

merehabilitasi rumah mereka.

Program pun perlu menyinergikan Kementerian PUPR di tingkat nasional dengan BBWS. Seperti

dijelaskan pada Bab 3 (bagian 3.3), BBWS tidak memberikan izin untuk pembangunan di

pinggiran sungai. Masalah ini berada di luar kontrol pelaksana program di tingkat kota, seperti

BKM, faskel, dan korkot. BBWS bekerja di bawah koordinasi Kementrian PUPR. Dengan

demikian, sinergi perlu dilakukan pada tingkat nasional di antara direktorat di PUPR dengan

dukungan Bank Dunia.

Meningkatnya harga akomodasi merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari program penataan

kawasan kumuh. Meski begitu, program harus menemukan solusi untuk mengurangi efek dari

peningkatan harga yang dapat ‘memaksa’ keluarga-keluarga paling miskin meninggalkan area yang

telah ditata. Tanpa adanya strategi yang jelas untuk mendorong akses warga miskin dan pendatang

atas tanah dan tempat tinggal, mereka kemungkinan akan pindah untuk (membuat) tempat tinggal

yang lebih informal, dan orang-orang miskin akan ‘dikeluarkan’ dari permukiman-permukiman

yang layak.

Dalam kaitannya dengan peningkatakan kerangka program PRB, kerangka program ke depan

bukan hanya menekankan respon terhadap kondisi darurat, tapi juga perlu untuk menekankan

pada aspek manajemen risiko secara luas. Mitigasi bencana yang efektif memerlukan

manajemen bencana yang kuat. Hal ini dilakukan untuk merencanakan dan melaksanakan

solusi mitigasi yang komprehensif, seperti meningkatkan sistem drainase secara menyeluruh,

membangun bendungan, mengubah rencana tataruang dan tataguna lahan, dan meningkatkan

Page 86: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

74

struktur tata kelola yang memberikan wewenang dan dukungan untuk melaksanakan solusi-

solusi yang diperlukan. Dengan ini peran dan tanggung jawab manajemen risiko bencana banjir

bandang juga harus ada pada tingkat kota dan provinsi. Sangat sulit untuk menangani masalah

banjir bandang hanya dengan pendekatan berbasis komunitas.

Jika ditujukan untuk mengurangi masalah banjir bandang seperti di Bima, program perlu secara

serius menggunakan pendekatan komprehensif. Program perlu merumuskan manajemen

fasilitator yang fokus pada bencana bukan hanya pada penataan kawasan kumuh. Program juga

perlu merekrut ahli-ahli dalam menangani bencana-bencana lokal. Program perlu melengkapi

pendekatan PRB berbasis komunitas dengan pendekatan yang melibatkan level-level

pemerintah yang lebih tinggi sehingga dapat terumuskan pendekatan lebih baik dalam

menangani inti masalah banjir bandang. Hal ini juga meliputi evaluasi atas kebijakan gubernur

terkait pembukaan lahan untuk perkebunan jagung dan penyediaan infrastuktur yang efektif

untuk menangani masalah banjir bandang.

Page 87: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

75

R E F E R E N S I

AKATIGA. (2011). Evaluation study of PNPM-Rural, AKATIGA, Bandung.

_______. (2012). Evaluation study of PNPM-Rural, AKATIGA, Bandung.

_______. (2012). Local Level Institution Study 3: Laporan Provinsi, AKATIGA, Bandung.

_______. (2015). Technical Evaluation of National Community Empowerment Program/

Village Development Strategic Plan Barefoot Engineers Training Program in Papua

and West Papua, AKATIGA, Bandung .

Baker, J.L., Burger, N., Glick, P., Perez-Arce, F., Rabinovich, L., Yoong, J., Sikoki, B., Suriastini,

W., Alfah, D., Schuler, N., Dwiyani, R., Hermissari, E., Sari, K., Shah, F., Soraya, G.,

Trohanis, Z., Weetjens, J. (2013). Indonesia - Evaluation of the urban community

driven development program : Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri

Perkotaan (PNPM-Urban) (English). Indonesia policy note. Washington, DC ; World

Bank Group.

Bank Dunia. (2015). (Draft Report) Rapid Assesment of the Neighborhood Development

Program.

Bappenas. (2013). Evaluasi PNPM Mandiri, Bappenas, Jakarta.

Bappeda of NTB Province. (2014). Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 1

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun

2005 – 2025, Bappeda, Mataram.

Becker, J. S.-S. (2011). Building COmmunity Resilience to Disasters: A Practical Guide for the

Emergency Management Sector. GNS Science Report.

Binswanger-Mkhize, HP, de Regt, JP & Spector, S 2010, Local and community driven

development: moving scale in theory and practice, The World Bank, Washington, DC.

Davis, M. (2006). Planet of Slums. Verso, London & New York.

Jaitman, L., & Brakarz, J. (2013). Evaluation of Slum Upgrading Programs: Literature Review

and Methodological Approaches, Technical Note, Inter-American Development Bank.

Kementerian PUPR. (2013). Pedoman Teknis PRBBK.

Kementerian PUPR. (2013). Petunjuk Teknis PRBBK.

Kementerian PUPR. (2015). Petunjuk Teknis Kotaku.

Kementerian PUPR. (2016). Quantitative Evaluation of PNPM Urban 2012-2015.

Lora E, Powell A & Sanguinetti P. (2008). Urban Quality of Life: More Than Bricks and Mortar.

Inter-American Development Bank.

Page 88: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

76

Mulya, S.S. (2010). PNPM-P2KP “Community-Driven Infrastructure Development Activities.”

Thematic Studies on P2KP Implementation Performance: “Infrastructure.” Synopses

Series (2).

Prior T & Hagmann J. (2013). "Measuring resilience: methodological and political challenges of

a trend security concept", Journal of Risk Research, vol. 17, no.3, pp.281-298.

PSF, PNPM Support Facility

___, (2013). Indonesia: Ealuasi Program Pembangunan Berbasis Masyarakat Perkotaan,

Jakarta.

___, (2012). PNPM Mandiri Ruralinfrastructure Technical Evaluation report: findings and

recommendations. Jakarta.

____, (2012). Rapid Appraisal of PNPM Neighborhood Development and Poverty Alleviation

Partnership Grant Mechanism . Jakarta.

PUPR, Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

____. (2013). Pedoman Teknis PNPM Perkotaan.

Rand. (2011). Evaluasi Proses dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)-

Perkotaan. RAND, Jakarta.

Sari, Y. I. (2018). The Building of ‘Monuments’: Power, Accountability, and Community Driven

Development in Papua Province, Indonesia. PhD Thesis, Crawford School of Public

Policy, The Australian National University, Canberra.

Sari YI, Rahman H & Manaf DRS. (2011). Independent Evaluation of PNPM RESPEK: Rural

Infrastructure and Community Capacity Building, AKATIGA, Bandung.

WMO, World Metereological Organization

_____, (2012), Management of Flash Flood, Integrated Flood Management Tools Series

No.16.

Yuniartanti, R.K., (2018). "Rekomendasi adaptasi dan mitigasi bencana banjir di kawasan

rawan bencana (KRB) banjir Kota Bima (Recommendations for adaptation and

mitigation of flood disaster in disaster prone areas of Bima City)". Journal of Regional

and Rural Development Planning, Vol.2, no.2, pp. 118-132

Page 89: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

77

L A M P I R A N

E F E K P R O G R A M P E N A T A A N K A W A S A N

K U M U H D A L A M M E N G U A T K A N D I M E N S I

I N T ANG I B L E K E H I D U P A N W A R G A D I

Y O G Y A K A R T A

Pusat kegiatan baru di kelurahan Suryatmajan

Kelurahan Suryatmajan berlokasi di antara jalan Malioboro dan Kali Code, di pusat kota

Yogyakarta. Kelurahan ini terdiri dari 15 RW, 45 RT, dan 6 kampung yang meliputi kampong

Cokrodirjan, Sosrokusuman, Suryatmajan, Ledok Macanan, Gemblakan Atas, dan Gemblakan

Bawah. Banyak kantor pemerintah provinsi Yogyakarta dan hotel-hotel yang berlokasi di

Suryatmajan. Meskipun banyak gedung-gedung penting di ke Suryatmajan, hampir setengah

area kelarahan ini merupakan area permukiman padat. Area bisnis terdapat di sisi barat jalan

Malioboro. Sementara area permukiman berada di bagian kiri dari kelurahan, dekat Kali Code

dan bisa diakses dengan berjalan kaki atau sepeda motor melalui jalan-jalan kecil. 29% area di

Suryatmajan dapat dikategorikan sebagai kawasan kumuh ringan dan ditinggali oleh 2,279

warga. Sebagian besar kawasan kumuh berada di sepanjang sungai yang meliputi kampung

Cokrodiningrat, Gemblakan Bawah, dan Ledok Macanan.

Program PLPBK sendiri diimplementasikan di Kampung Gemblakan Bawah. Kampung ini padat

dengan rumah-rumah yang saling menempel. Kebanyakan orang yang tinggal di sana

merupakan pendatang yang mengontrak rumah, ngindung (membangun rumah di tanah orang

lain atau tanah sultan), atau membeli rumah di sana. Malioboro telah menarik orang-orang

dari berbagai daerah untuk berbisnis atau bekerja di sektor-sektor jasa yang ada di sana,

terutama turisme.

Sebelum adanya proyek penataan, jalan gang di antara permukiman memiliki lebar antara satu

sampai satu setengah meter, dengan permukaan berupa paving blok yang menurun. Banyak

warga yang menggunakan jalan kecil itu sebagai ‘dapur’. Warga mencuci dan menyimpan

perabotan rumah tangga di sana sehingga membuat gang semakin sempit, kotor, dan tidak

nyaman digunakan. Dulu, posisi pipa pembuangan lebih rendah dari jalan sehingga

menyebabkan munculnya genangan air. Selain itu, sebelum adanya program, beberapa rumah

di pinggiran sungai merupakan rumah-rumah semi permanen dan satu lantai. Beberapa di

antaranya tidak memiliki kamar tidur, meskipun terdapat MCK dan dapur. Atap rumah-rumah

tersebut pendek dan pengap. Banyak tikus-tikus berkeliaran karena daerah sekitarnya begitu

kumuh. Beberapa gang utama bisa dilalui oleh sepeda motor, tapi sangat sulit jika ada dua

Page 90: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

78

sepeda motor yang berpapasan, karena begitu kecilnya gang. Banyak sepeda motor diparkir

di sepanjang jalan tersebut. Para pemiliknya memarkirkan sepeda motor di sana karena rumah

mereka terlalu kecil untuk memarkirkan sepeda motor. Kegiatan perjudian dan minum-minum

bisa ditemukan di pinggiran sungai. Seperti dikatakan salah seorang informan, di masa itu area

bantaran sungai merupakan area ‘gelap dan tersembunyi’

Melalui program PNPM masa perpanjangan, jalan permukiman sepanjang PCG dilebarkan

menjadi 3 meter dengan cara memangkas beberapa rumah yang berada di pinggiran jalan.

Enam rumah di sana dipangkas selebar satu sampai satu setengah meter, kemudian dibangun

kembali dengan mengikuti prinsip Mundur, Munggah, dan Madep Kali (M3K). Selain itu,

ketinggian jalan dinaikan sekitar 60 cm untuk menyesuaikan dengan ketinggian talud. Hal ini

dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki proses pembuangan limbah cair ke sungai.

Pedestrian Code Gumreget (PCG)

PCG dibangun dengan menggunakan konsep turisme yang ditujukan untuk menciptakan area

pedestrian yang aman, nyaman, dan indah. PCG dibangun di sepanjang 250 meter are

permukiman di pinggir sungai. Permukaan PCG dibuat dari batu candi sementara pagar

pembatas setinggi 1.5 meter dibuat dari material seperti marmer. Sisi kanan dan kiri jalan dihias

dengan pot-pot bunga; beberapa ornament lain juga dipasang untuk meningkatkan kesan

artisitk di sepanjang PCG. Di sana terdapat pula dua spot untuk swafoto.

Beberapa rumah dekat PCG telah dibangun menjadi rumah-rumah dua lantai. Beberapa

lainnya, hanya direnovasi bagian dinding dan atapnya dan tetap berupa rumah satu lantai.

Rumah-rumah yang telah direnovasi atau dibangun ulang sebagai rumah satu atau dua lantai

Foto oleh Yulia Indri Sari

Page 91: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

79

kini memiliki dapur, kamar mandi, dan MCK sendiri. Rumah-rumah baru ini telah membuat para

pemiliknya merasa lebih aman karena bangunan barunya menjadi lebih baik daripada yang

lama. Kegiatan memask mereka kini tak lagi terganggu hujan. Jika ada saudara yang

berkunjung, ia adapat tidur di kamar tidur tambahan yang telah dibangun. Untuk mandi pun

kini mereka tak lagi perlu pergi ke MCK umum, karena kamar mandi tersedia di rumah masing-

masing.

Keberadaan PCG yang cukup bersih dan lebar di area permukiman padat telah menarik orang-

orang untuk datang, berinteraksi satu sama lain, bermain, bahkan berolahraga bersama.

Berdasarkan observasi dan interview dengan warga, area PCG dipenuhi warga yang

menggunakan jalan terutama di waktu pagi dan petang. Di pagi hari, para manula berjalan kaki

di sana; di waktu petang, area ini dipenuhi anak-anak yang bermain. Orang-orang yang

berkumpul di PCG berasal dari area program maupun luar area program. Anak-anak dan orang

tua secara rutin datang ke PCG karena area tersebut aman (dibatasi oleh pembatas yang tinggi)

dan tidak dilewati oleh sepeda motor). Di pagi dan sore hari, anak-anak bermain sepeda atau

badminton; para orang tua datang ke PCG untuk menjemur bayi-bayi mereka sambal

bercengkrama dengan para pengunjung lain. Para manula datang di pagi dan sore hari untuk

berolah raga (jalan kaki) di area tersebut.

Selain itu, orang-orang juga menggunakan PCG untuk melakukan beberapa kegiatan kolektif

sepreti arisan, pengajian, tahlilan, rapat, atau kegiatan-kegiatan bersama lainnya. Area ini telah

menjadi ruang alternative untuk kegiatan-kegiatan tersebut karena hanya sedikit rumah di

sana yang mampu menampung kegiatan-kegiatan yang melibatkan banyak orang karena

umumnya rumah-rumah tersebut berukuran kecil. Orang-orang luar banyak datang ke are PCG

dan hal ini membuat warga lokal merasa bahwa orang-orang tua pun mengakui kemampuan

mereka yang secara kolektif telah membangun area tersebut.

Keberhasilan dalam membangun dan menata area PCG di Suryatmajan dihasilkan dari

kombinasi antara keberhasilan implementasi program, peran faskel dalam menyesuaikan site

plan dengan konteks lokal, serta dukungan konteks lingkungan yang menyediakan banyak

referensi tentang penataan kawasan kumuh di spenjang pinggiran sungai. Pembangunan PCG

sebagai ruang publik laternatif juga dimungkinkan dengan kuatnya institusi lokal di

Surtyamajan. Dengan didukung oleh warga, ketua RT atau RW telah membuat aturan yang

melarang penggunaan sepeda motor di area tersebut. Warga memiliki keguyuban yang

memudahkan mereka untuk bukan hanya membangun tapi juga memelihara fasilitas publik.

Peningkatan akses ke kelurahan Gowongan

Kelurahan Gowongan merupakan salah satu pusat kegiatan di Yogyakarta, seperti kegiatan

bisnis, jual-beli, jasa, turisme, dan transportasi. Di Gowongan terdapat area-area populer

seperti Malioboro, pasar Kragan, Stasiun kereta api Tugu, dan kampung Core. Kelurahan

Gowongan terdiri dari tiga kampun termasuk kampung Penumping, Gowongan, dan

Jogoyudan. Beberapa hotel dan pertokoan berdiri menjulang di sepanjang jalan utama di tiga

kampung tersebut. Area-area permukiman padat berada di belakang gedung-gedung tersebut.

Dan area-area ini terhubung dengan jalan utama oleh gang-gang dengan lebar 1-2 meter.

Page 92: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

80

Program PLPBK pada 2015 dan Showcase 2018 berlokasi di kampung Jogoyudan. Menurut

Perda No 1 2015 tentang RDTR dan aturan zonasi Yogyakarta 2015-2035, Jogoyudan

dikategorikan sebagai area permukiman dengan kepadatan tinggi. Topografi area tersebut

miring dan berundak. Untuk melalui topografi seperti ini, warga secara kreatif membangun

rumah yang berdekatan satu sama lain, bertingkat, di atas terowongan aair, dan menjorok ke

gang-gang kampung.

Sebelulum intervensi program, satu-satunya akses bagi warga Jogoyudan menuju jalang

Kleringan masih berupa gang sempit dan curam. Mobil maupun beca tidak bisa melaui jalan

gang ini. Meskipun sepeda motor bisa lewat, namun pengendaranya harus sangat berhati-hati

karena kontur jalan yang curam. Anak-anak dan para manula pun harus sangat berhati-hati

ketika melalui jalan tersebut. Gang ini bahkan menjadi kian sempat karena beberapa warga

menggunakannya untuk memasak, mencuci, dan memarkirkan sepeda motor. Jalan yang

sempit dan curam pun menjadi kendala ketika sekali waktu warga-warga membawa keranda

jenazah ketika salah satu warga di sana meninggal dunia. Di pinggiran sungai di area

permukiman dibangun benteng berupa tumpukan batu yang melindungi area permukiman dari

banjir. Namun, ini membuat area pinggiran sungat menjadi lebih kotor karena banyak sampah

dari sungai yang tersangkut di kawa-kawat benteng tersebut. Pembatas berupa tumpukan batu

ini pun telah menjadi sarang tikus.

Pembangunan infrastruktur terintegrasi oleh program PLPBK (2015-2016) ditujuka untuk

memperbaiki tampilan area permukiman di pinggiran sungai. Program ini meliputi

pembangunan jalan inspeksi dengan lebar 3 meter dan panjang 250-meter yang memanjang

menuju jalan kelirangan, membanguna dinding pembatas (dengan pagar dan tanggul),

pembangunan SAL dan SAH, dan penyediaan tank biofilm di bawah jalan inspeksi, taman,

gudang, ddan MCK serta pembangunan post gardu di area hijau dan terbuka. Jalan inspeksi

ditujukan untuk meningkatkan akses dan konektivitas menuju jalan kleringan bagi orang-orang

yang tinggal di area pinggiran sungai.

Program PLPBK juga membangun paga-pagar pembatas sepanjang pinggiran sungai.

Permukaan pinggiran sugnai pun dinaikan sekitar 60-80 centimeter dan gabion diganti dengan

talud. Sistem drainase yang terpisah dibangun untuk air hujan dan limbah rumah tangga.

Limbah rumah tangga kini mengalur melalui biofilter yang dipasang di bawah jalan.

Pembanguan jalan inspeksi dilakukan dengan memangkas 16 rumah dan satu balai RT. Rumah-

rumah yang dipangkas ini kemudian direhabilitasi dengan menambahkan kedua sehingga

rumah-rumah itu kini memiliki dua lantai.

Dana sebesar 2 miliar dialokasikan untuk program showcase dan setiap lokasi diberikan waktu

enam bulan (Juli-Desember 2018) untuk menyelesaikan program: Juli untuk perencanaan, 6

Agustus sampai dengan 21 Desember untuk implementasi. Waktu yang pendek ini membuat

proyek memerlukan tenaga kerja lebih banyak untuk memastikan bahwa semua pekerjaan

selesai tepat waktu sesuai jadwal.

Page 93: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

81

Ilustrasi kondisi akses sebelum dan sesudah program di Gowongan

Program PLPBK di Jogoyudan telah membuka akses menuju jalan Kleringan bagi orang-orang

yang tinggal di pinggiran sungai. Selain digunakan sehari-hari, warga menggunakan jalan

tersebut sebagai jalur mitigasi bancana atau untuk tujuan-tujuan darurat lainnya. Ketika kami

mengunjungi lokasi itu (dua tahun setelah jalan dibangun) kami bisa dengan mudah menuju

lokasi menggunakan jalan itu.

Pembangunan jalan telah meningkatkan akses bukan hanya untuk warga lokal di Jogoyudan,

tapi juga warga dari RT lain. Sekarang mereka mereka tak lagi perlu melalui jalan berputar untuk

menuju ke jalan Kleringan.

Jalan baru ini pun telah membuat Jogoyudan lebih hidup. Rumah-rumah yang telah ditata

membuat kampung terlihat lebih rapi dan indah dilihat. Anak-anak menggunakan jalan tersebut

untuk bersepeda dan para manula menggunakannya untuk berolahraga (berjalan kaki). Jalan

ini memiliki pagar pembatas yang dilengkapi dengan pegangan besi yang membuatnya aman

dan mudah untuk dilewati oleh para manula.

Namun demikian, penting dicatat bahwa banyaknya mobil dan sepeda motor yang melewati

jalan tersebut dapat membahayakan anak-anak. Jalan inspeksi perlu dilengkapi dengan tanda

dan marka jalan untuk membuat para pengendara kendaraan bermotor lebih berhati-hati dan

pelan dalam menjalankan kendaraanya di area tersebut.

Page 94: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

82

Jalan yang baru ini pun telah meningkatkan kegiatan ekonomi di sekitarnya. Para pemilik

warung mendapatkan lebih banyak pembeli. Para penjual makanan bisa menjual dagangannya

kepada para pembeli yang berasal dari luar are tersebut karena kini mereka dapat mengirimkan

makanan mereka dengan layanan pengiriman makanan berbasis aplikasi online (misalnya go-

food). Sebelum jalan ini dibangun, para penjual pecel biasanya menjual dagangan mereka

dengan berjalan kaki mengitari Malioboro; kini mereka bisa berjualan di rumah masing-masing.

Meskipun keuntungan yang didapat sedikit lebih kecil (dari sebelumnya Rp100.000 menjadi

Rp75.000), berjualan di rumah jauh lebih tidak melelahkan. Di samping itu, kini mereka memiliki

waktu lebih banyak untuk melakukan kegiatan lain seperti bermain dengan cucu, menyeterika,

dan berkumpul dengan para tetangga. Salah seorang warga yang memiliki usaha konveksi

mengatakan bahwa dulu sebelum program PLPBK ia harus membawa bahan pakian dari

Kleringan. Kini, ia bisa mengontrak rumah di pinggiran sungai untuk dijadikan gudang. Selain

itu, ia pun kini bisa mengontrak tiga rumah lain untuk melakukan usahanya. Bagi para

pengumpul pasir di Kali Code, jalan baru ini membuat mereka lebih mudah membawa pasir dari

sungai menuju jalan utama. Kendaraan pick up kini bisa masuk lebih dekat ke area pinggiran

sungai untuk mengangkut pasir.

Sementara konsep penataan kawasan kumuh di Suryatmajan fokus pada aspek turisme dan

dirancang untuk menciptakan area pedestrian yang aman dan nyaman untuk warga, program

penataan kawasan kumuh di Gowongan ditujukan untuk meningkatkan akses bagi warga dan

mengintegrasikan kawasan tersebut dengan kawasan yang lebih luas di perkotaan. Lebih jauh,

peningkatkan akses dan koneknitivitas telah meningkatkan opsi-opsi penghidupan bagi warga

yang tinggal di sana.

Foto oleh Yulia Indri Sari

Jalan baru menghubungkan Gowongan dengan Malioboro

Page 95: Yulia Indrawati Sari Hilda Arum Nurbayyanti

ASESMEN CEPAT IMPLEMENTASI PNPM PERKOTAAN PERIODE PERPANJANGAN

83

AKATIGA – Center for Social Analysis Jl. Tubagus Ismail II No 2 Bandung

40134 | (022) 2502302 [email protected] | www.akatiga.org