tugas hukum adat
DESCRIPTION
HukumTRANSCRIPT
Tugas Hukum Adat
PERSEKUTUAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
2013/2014
Kata Pengantar
Puji syukur Alhamdulillah mari sama-sama kita panjatkan kepada Allah
SWT, karena atas karunia-Nya, kami kelompok … dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya, makalah ini berjudul ‘’Persekutuan Masyarakat Hukum
Adat’’.
Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah
Hukum Adat, yang telah bersabar dan telaten dalam membina kami dan juga telah
memberi tahu kami apa yang belum kami ketahui. Dan juga terimakasih kami
ucapkan kepada sumber-sumber yang telah banyak membantu kami dalam
pembuatan makalah ini, sehingga makalah ini dapat tersusun dengan sebaik-
baiknya.
Namun, makalah ini juga belum sempurna, tentu ada point-point yang kami
tidak tahu dan tidak kami cantumkan didalam makalah ini, maka untuk itu
diharapkan kritik dan saran dari yang membaca makalah ini, dan semoga makalah
ini bermanfaat bagi kita semua, amin.
Banda Aceh, 20 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................................ i
Daftar Isi ...................................................................................................................... ii
BAB I: PENDAHULUAN............................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang......................................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...............................................................................................2
BAB II: PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
2.1. Pembahasan Tentang Masyarakat Hukum Adat...........................3
2.2. Masyarakat Hukum Adat dari Segi Susunannya........................5
2.2.1. Persekutuan Hukum Genealogis.......................................5
2.2.2. Persekutuan Hukum Territorials......................................6
2.2.3. Persekutuan Hukum Genealogis Territorials..............8
2.3. Masyarakat Hukum Adat dari Segi Bentuknya........................11
2.3.1. Masyarakat Hukum Adat Tunggal..................................11
2.3.2. Masyarakat Hukum Adat Bertingkat............................11
2.3.2. Masyarakat Hukum AdatBerangkai ....…………………11
BAB III: PENUTUP..................................................................................................... 12
3.1. Kesimpulan.........................................................................................................12
3.2. Saran ....................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya konsepsi tentang masyarakat hukum adat dilekatkan dengan penggabungan dari konsep antropologi hukum dan hukum nasional Indonesia. Dalam bukunya Hukum Adat Indonesia, Soerjono Soekanto merujuk rumusan masyarakat hukum adat dari ter Haar dan Hazairin, sebagai berikut:
“…geordende gropen van blijvend karakter met eigen bewind en eigen materieel en immaterieel vermogen (terjemahan bebas: …kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajek dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda meteril maupun immaterial)” (B ter Haar Bzn 1950:16).
“Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumatera Selatan, nagari di Minangkabau, kuria di Tapabuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya…”
Dengan mengutip Soepomo, Soerjono Soekanto kemudian membagi masyarakat-masyarakat hukum adat di Indonesia menjadi beberapa golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (geneologi) dan yang berdasar lingkungan (territorial), serta susunan yang didasarkan pada penggabungan dari kedua hal tersebut. Sementara dari bentuknya, masyarakat hukum adat dibagi menjadi tunggal, bertingkat, dan berangkai.1
1 Soerjono Soekanto, Hukum Adat di Indonesia (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1981),
hal. 93.
1.2 RUMUSAN MASALAH
a) Bagaimanakah persekutuan masyarakat hukum adat?
b) Apa saja susunan masyarakat hukum adat?
c) Apa saja bentuk masyarakat hukum adat?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembahasan Tentang Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama,yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat merupakan suatu sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial. Dengan mengutip pendapat Van Voolenhoven yang dikemukakan pada pidatonya tertanggal 2 Oktober 1901, maka soepomo menyatakan:
“bahwa untuk mengetahui hukum , maka adalah terutama perlu diselidiki buat apa waktu apabila pun dan di daerah mana pun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu adalah hidup sehari-hari.”
Sebelumnya soepomo berpendapat bahwa penjelasan bagi badan-badan persekutuan hukum tersebut, hendaknya tidak dilakukan secara dogmatis akan tetapi atas dasar kehidupan yang nyata dari masyarakat yang bersangkutan.
Hampir dalam setiap bahan bacaan mengenai hukum adat yang berisikan suatu pandangan menyeluruh mengenaiu hukum adat, penjelasan perihal masyarakat hukum adat (yang disebut persekutuan hukum adat oleh Soepomo dan beberapa ahli hukum adat lainnya ) hampir pasti ada. hal ini menunjukan. Bahwa suatu pengantar mengenai hukum adat, sangat diperlukan sebelum dilanjutkan mengenai hukum positif dari masyarakat yang bersangkutan.
Apa yang telah dikatakan oleh Soepomo mengenai penjelasan masyarakat hukum adat yang seharusnya tidak dogmatis, memang benar sekali.Akan tetapi hal itu bukan halangan,untuk mencoba menyusun suatu paradigma yang merupakan hasil abstraksi dari masyarakat-masyarakat hukum adat tersebut. Biar bagaimanapun juga, pasti ada ubsur-unsur masing-masing masyarakat hukum adat yang sama, disamping adanya unsur-unsur yang berbeda. Oleh sebab itu, maka didalam bagian D ini akan diusahakan untuk menjelaskan perihal masyarakat hukum adat, dengan berpegang
pada suatu paradigma tertentu. Atas dasar paradigma tersebut, akan dijelaskan perihal bentuk-bentuk masyarakat-masyarakat hukum adat, dengan mengetengahkan contoh-contoh dari keadaan nyata berdasarkan hasil-hasil kegiatan para peneliti yang telah mengungkapkan kenyataan tersebut didalam laporan-laporan penelitian atau hasil karya lainnya.
Apabila setiap masyarakat hukum adat tersebut ditelaah secara seksama maka masing-masing mempunyai dasar bentuknya. Menurut soepomo, maka masyarakat-masyarakat hukum adat diindonesia dapat dibagi atas 2 golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan yang berdasar lingkungan daerah (teritorial) ; kemudian hal itu ditambah lagi dengan susunan yang didasarkan pada kedua dasar tersebut diatas (Soepomo 1977: 51 dan seterusnya). Dari sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat. Masing-masing bentuk masyarakat hukum adat tersebut, dapat dinamakan sebagai masyarakat hukum adat yang tinggal, bertingkat dan berangkai. Ter Haar dan Soepomo, mempunyai pandangan yang berbeda ; disini akan diusahakan untuk menggabungkannya, supaya diperoleh suatu gambaran yang lebih luas.2
Dengan demikian, maka diperoleh suatu kesimpulan dari dasar dan bentuk masyarakat hukum adat, sebagai berikut :
Masyarakat hukum adat
A. Dasarnya B. Bentuknya
1. Genealogis 1. Tunggal
2. Teritorial 2. bertingkat
3. Genealogis teritorial 3. Berangkai
Secara teoretis, maka mungkin terjadi kombinasi-kombinasi, sebagai berikut :
1. Masyarakat hukum adat genealogis yang :a. Tunggalb. Bertingkatc. Berangkai
2 Soepomo, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya Paramita, 1977) hal. 96.
2. Masyarakat hukum adat teritorial yang :a. Tunggalb. Bertingkatc. Berangkai
3. Masyarakat hukum adat genealogis-teritorial (atau sebaliknya; hal itu tergantung dari faktor mana yang lebih dahulu berpengaruh) yang :a. Tunggalb. Bertingkatc. Berangkai
2.2 Masyarakat Hukum Adat dari Segi Susunannya
2.2.1 Persekutuan Hukum Genealogis
pada persekutuan hukum (masyarakat hukum) genealogis dasar pengikat utama
anggota kelompok adalah persamaan dalam keturunan, artinya anggota-anggota
kelompok itu terikat karena merasa berasal dari nenek moyang yang sama. Menurut
para ahli hukum adat dimasa Hindia Belanda masyarakat hukum genealogis ini dapat
dibedakan dalam tiga macam yaitu yang bersifat patrinial, matrinial, dan bilateral atau
parental.
a. Masyarakat yang patrilineal
Pada masyarakat yang patrilineal ini susunan masyarakatnya ditarik menurut
garis keturunan dari bapak (garis laki-laki), sedangkan garis patrilineal ibu
disingkirkan.yang termasuk kedalam masyarakat patrilineal ini misalnya
‘’marga genealogis’’ orang batak yang mudah dikenal dari nama-nama marga
(satu turunan)3 mereka seperti, Sinaga, Simatupang, Situmorang, Pandiangan,
Nainggolan, Pane, Aritonang, Siregar dan sebagainya. Masyarakat yang
patrilineal ini terdapat juga di Nusa Tenggara (Timor), Maluku dan Irian.
b. Masyarakat yang matrilineal
Pada masyarakat yang matrilineal, dimana susunan masyarakat ditarik
menurut garis keturunan Ibu (garis perempuan), sedangkan garis keturunan
bapak disingkirkan. Yang termasuk kedalam masyarakat matrilineal ini adalah
3 Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia (Surabaya: Amelia, 2005), hlm. 211.
masyarakat Minangkabau. Masyarakat matrilineal ini tidak mudah dikenal
karena mereka jarang sekali menggunakan nama-nama keturunan sukunya
secara umum. Suku dalam masyarakat Minangkabau sama dengan ‘’marga’’
dalam masyarakat Batak. Oleh karena itu suku disini diartikan bukanlah dalam
arti suku bangsa, tetapi disini diartikan sebagai golongan manusia yang berasal
dari satu turunan menurut ‘’matriarchat’’ (matrilineal). Pada mulanya suku
pada masyarakat Minangkabau ada empat yaitu: Koto, Piliang, Bodi, dan
Chaniago, kemudian lagi suku Bodi dan Chaniago digabungkan menjadi ‘’lareh
Bodi Chaniago’’.
Karena penduduk bertambah terus dan banyak pula dari mereka yang
berpindah-pindah, maka diadakan cabang-cabang dari kedua suku lareh Koto
Piliang dan lareh Bodi Chaniago. Akhirnya banyak nama suku yang sekarang
tidak jelas lagi asal usulnya.
c. Masyarakat yang bilateral atau parental
Pada masyarakat yang bilateral/parental, susunan masyarakatnya ditarik dari
keturunan orang tuanya yaitu Bapak dan Ibu bersama- sama sekaligus. Jadi
hubungan kekerabatan antara pihak bapak dan ibu berjalan seimbang atau
sejajar, masing-masing anggota kelompok masuk kedalam klen Bapak dan klen
Ibu, seperti terdapat di Mollo (Timor) dan banyak lagi di Melanesia. Tetapi
kebanyakan sifatnya terbatas dalam beberapa generasi saja seperti dikalangan
masyarakat Aceh, Melayu, Kalimantan, Jawa dan Sulawesi.4
2.2.2 Persekutuan Hukum Territorials
Dasar daripada ikatan-ikatan anggota persekutuan hukum territorials
(wilayah)5 ialah terutama hubungan bersama terhadap suatu daerah yang sama atau
tertentu, contoh daripada masyarakat territorials ini dalah didesa Jawa, Sunda,
Madura dan Bali. Gampong, (menasah) di Aceh, dusun-dusun didaerah Melayu,
4 Dewi Wulansari, Hukum Adat Suatu Pengantar (Bandung: Refika Aditama, 2012), hlm. 25.5 Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 584.
Bangka Belitung, sebagian dari daerah gabungan di Sulawesi Selatan, Nagorij di
Minahasa dan Ambon.
Orang-orang yang mendiami dusun atau wilayah dalam masyarakat territorials
ini merupakan suatu golongan dan satu kesatuan, dengan kekuasaan pembelaan
keluar dan penyesusunannya kedalam. Seseorang yang merantau sementara masih
tetap menjadi anggota masyarakat tadi, walaupun diterimanya itu kadang-kadang
disuatu tempat agak mudah sedangkan ditempat lain amat sukar.
Persekutuan-persekutuan territorials ini merupakan pokok pangkal tata
susunan terpenting bagi masyarakat Indonesia. Adapun persekutuan masyarakat
territorials dapat dibagi menjadi tiga pusat yang masing-masing menjadi pusatnya
pelbagai bentuk-bentuk tetap dan bentuk peralihan, yaitu:
a. Persekutuan desa (masyarakat dusun)
Yang dinamakan dengan persekutuan desa adalah apabila suatu tempat
kediaman bersama mengikat suatu persekutuan manusia diatas daerahnya
sendiri, mungkin bersama-sama dengan beberapa dusun yang tak bebas dan
yang terletak disebelah pedalaman sedikit, sedangkan kepala dan lain-lain
pejabat persekutuan itu boleh dikatakan semua bersama-sama tinggal
ditempat kediaman pusat (desa di Jawa dan di Bali).
b. Persekutuan daerah (masyarakat wilayah)
Yang dikatakan persekutuan daerah (masyarakat wilayah) yaitu kalau
sekitarnya ada beberapa tempat kediaman bersama dalam suatu daerah
tertentu dan senantiasa dengan kebebasan dalam taraf yang tertentu dan
masing-masing dikepalai oleh pejabat-pejabat yang memegang kedudukan
yang sejenis. Akan tetapi tempat-tempat kediaman itu merupakan bagian dari
suatu persekutuan yang meliputi seluruhnya dan mempunyai batas-batas
pemerintahan sendiri serta hak dipertuan (hak wilayah) atas tanah belukan
yang terletak diantara dan sekitar tanah yang telah ditinggalkan, misalnya
daerah-daerah datuk kaya di Riau beserta kampong didalamnya, marga di
Sumatra Selatan dengan dusunnya.
c. Perserikatan desa (gabungan dusun)
Yang dikatakan perserikatan desa (gabungan dusun) apabila persekutuan-
persekutuan desa, masing-masing lengkap dengan pemerintahan dan daerah
sendiri dan terletak berdekatan dan mengadakan perjanjian untuk memelihara
kepentingan bersama atau suatu hubungan yang berdasarkan tradisi dan
dengan mengadakan suatu pemerintahan yang bersifat kerja sama antara
pemerintah tersebut. Sedangkan kepada desa-desa yang tergabung (bersama)
itu tidak diberikan hak wilayah sendiri (contohnya, Batak bagian tengah).
Tentu saja tidak semua persekutuan hukum teritorials dapat ditetapkan
dengan begitu saja termasuk kedalam salah satu golongan (type) tersebut,
sebab ada yang mempunyai bentuk-bentuk yang agak menyimpang dan ada
pula yang berbentuk campuran, akan tetapi kebanyakan dari padanya jelas
sesuai dengan type-type tadi.6
2.2.3 Persekutuan Hukum Genealogis Territorials
Ada lima jenis bentuk persekutuan Hukum Genealogis Territorials menurut
Soepoemo.
a. Suatu daerah atau kampong yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya
satu bagian golongan (clanded). Tidak ada golongan lain yang tinggal didalam
daerah itu. Daerah atau kampong-kampong yang berdekatan juga dipakai
sebagai tempat tinggal oleh hanya satu bagian clan. Teer Har menulis bahwa
susunan rakyat semacam itu barangkali terdapat didaerah pedalaman dipulau-
pulau Enggano, Buru, Seram dan Flores. Ditepi-tepi laut dari pulau-pulau
adalah kampong-kampong yang berbaur dengan penduduknya yang terdiri 6 Yusuf Nafi, Hukum Adat (Banda Aceh: UNSYIAH, 1987), hlm. 19.
atas beberapa family yang telah memisahkan diri dari golongan-golongan
(clan) di pedalaman pun terdapat pula pada tepi-tepi laut tersebut penduduk-
penduduk orang Indonesia yang berasal dari seberang lautan. Didaerah
pedalaman Irian Barat adalah clan-clan yang masing-masing mendiami daerah
sendiri-sendiri, akan tetapi dekat tepi laut adalah terdapat beberapa golongan
kecil, bernama keret yang berdiri sendiri dan masing-masing mendiami tanah
tertentu. Tempat-tempat kediaman para family tersebut berada dalam daerah
kampong yang dikepalai oleh seorang kepala kampong. Kepala kampong ini
hanya mempunyai sedikit kekuasaan terhadap orang-orang diluar
golongannya sendiri.
b. Di tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut. Bagian-bagian calan
(marga) masing-masing mempunyai daerah tersendiri, akan tetapi didalam
daerah tertentu dari suatu marga, didalam huta-huta yang didirikan oleh suatu
marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang masuk
menjadi anggota badan persekutuan huta didaerah itu, yang didirikan huta-
huta didaerah tersebut, disebut marga asal, marga raja, atau marga tanah, yaitu
marga-marga yang menguasai tanah-tanah didaerah itu, sedang marga-marga
yang kemudian masuk didaerah itu disebut marga rakyat. Kedudukan suatu
marga rakyat didalam suatu huta adalah kurang daripada kedudukan marga
raja. Antar marga rakyat dan marga asal ada hubungan perkawinana yang erat.
c. Jenis ketiga dari suatu persekutuan masyarakat hukum adat genealogis
territorial ialah yang kita dapati di Sumba Tengah dan Sumba Timur. Disitu
terdapat suatu clan yang mula-mula mendiami suatu daerah yang tertentu dan
berkuasa didaerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudian berpindah kepada
clan lain, yang masuk kedaerah tersebut dan merebut kekuasaan pemerintah
dari clan yang asli itu. Kedua clan itu kemudian berdamai dan bersama-sama
merupakan kesatuan badan persekutuan daerah kekuasaan pemerintah
dipegang oleh clan yang datang kemudian, sedangkan clan yang asli tetap
menguasai tanah-tanah didaerah itu sebagai wali tanah.
d. Jenis keempat dari suatu persekutuan masyarakat hukum adat genealogis
territorial ialah ini kita dapati dibeberapa nagari Minangkabau dan dibeberapa
marga di Bengkulu. Disitu tidak ada golongan yang menumpang atau
menguasai tanah, melainkan segala golongan suku yang bertempat didaerah
nagari yang berkedudukan sama (setingkat) dan bersama-sama merupakan
suatu badan persekutuan territorial (nagari) sedang daerah nagari itu terbagi
dalam daerah-daerah golongan (daerah suku) dimana tiap-tiap golongan
mempunyai daerah sendiri-sendiri.
e. Jenis kelima dari suatu persekutuan masyarakat hukum adat genealogis
territorial ialah terdapat dinagari-nagari lain di Minangkabau dan pada dusun
didaerah Rejang (Bengkulen), dimana dalam satu nagari atau dusun berdiam
beberpa bagian clan, yang satu sama lain tidak bertalian family. Seluruh
daerah-daerah nagari atau dusun menjadi daerah bersama (yang tidak dibagi-
bagi) dan segala bagian clan pada badan persekutuan nagari (dusun) itu.7
2.3 Masyarakat Hukum Adat dari Segi Bentuknya
2.3.1 Masyarakat Hukum Adat Tunggal
7Soepomo, Hukum Adat Indonesia Suatu, hal. 96.
Masyarakat Hukum Adat dengan bentuk tunggal, adalah suatu masyarakat
hukum adat atasan dan tidak ada masyarakat hukum adat bawahan. Dengan demikian
masyarakat hukum adat ini merupakan suatu kesatuan yang tunggal.
2.3.2 Masyarakat Hukum Adat Bertingkat
Masyrakat Hukum Adat dengan bentuk bertingkat adalah suatu masyarakat
hukum adat, dimana didalamnya terdapat masyarakat hukum adat atasan dan
beberapa masyarakat hukum adat bawahan, yang tunduk pada hukum adat atasan
tersebut.
2.3.3 Masyarakat Hukum Adat Berangkai
Masyarakat Hukum Adat berangkai, terdiri dari gabungan atas federasi dari
masyarakat-masyarakat hukum adat yang setara. Gabungan atau federasi tersebut
dibentuk untuk melakukan pekerjaan tertentu, seperti misalnya menanggulangi
kejahatan, pengaturan penggunaan air untuk kepentingan pertanian seperti di Subak
Bali.8
BAB III
PENUTUP
8 Saragih, Djares, Pengantar Hukum Adat Indonesia (Bandung: Tarsito, 1984), hlm. 55.
3.1Kesimpulan
1. Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama,yang warga-
warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga
menghasilkan kebudayaan.
2. Dari segi susunannya masyarakat hukum adat dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
a. Persekutuan genealogis
b. Persekutuan territorial
c. Persekutuan genealogis-teritorial
3. Dari segi bentuknya masyarakat hukum adat dapat dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu:
a. Masyarakat hukum adat tunggal
b. Masyarakat hukum adat bertingkat
c. Masyarakat hukum adat berangkai.
3.2 Saran
Untuk melengkapi makalah ini, ditambahkan beberapa saran berdasarkan
paparan makalah, yaitu:
a. Makalah ini masih memerlukan lebih banyak referensi, agar hasil
pembahasan benar-benar tersajikan dengan akurat.
b. Penyusun mengharapkan komentar dari pembaca
DAFTAR PUSTAKA
Soerjono Soekanto, Hukum Adat di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1981.
Soepomo, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977.
Dessy Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amelia, 2005.
Dewi Wulansari, Hukum Adat Suatu Pengantar, Bandung: Refika Aditama, 2012.
Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2003.
Yusuf Nafi, Hukum Adat, Banda Aceh: UNSYIAH, 1987.