trauma tumpul
DESCRIPTION
MataTRANSCRIPT
Referat
TRAUMA TUMPUL PADA MATA
Oleh
Dwi Srihandayani
NIM. I1A006010
Pembimbing
Dr. H. Agus F. Razak, Sp.M
BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA
FK UNLAM – RSUD ULIN
BANJARMASIN
Oktober, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
I.TRAUMA TUMPUL BOLA MATA................................................................3
II. BERBAGAI KERUSAKAN JARINGAN MATA AKIBAT TRAUMA
DAN PENANGANANNYA................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma okuli merupakan trauma atau cedera yang terjadi pada mata yang
dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan
rongga orbita, kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu
fungsi mata sebagai indra penglihat. Trauma okuli merupakan salah satu penyebab
yang sering menyebabkan kebutaan unilateral pada anak dan dewasa muda,
karena kelompok usia inilah yang sering mengalami trauma okuli yang parah.
Dewasa muda (terutama laki-laki) merupakan kelompok yang paling sering
mengalami trauma okuli. Penyebabnya dapat bermacam-macam, diantaranya
kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan lalu
lintas.1Setiap tahunnya di Amerika Serikat terdapat sekitar 2,4 juta kasus trauma
pada mata, di mana 20.000 sampai 68.0000 dengan trauma yang mengancam
penglihatan dan 40.000 orang menderita kehilangan penglihatan yang signifikan.1
(USEIR) merupakan sumber informasi epidemiologi yang digunakan
secara umum di AS. Menurut data dari USEIR (United States Eye Injury
Registry), rata-rata umur orang yang terkena trauma okuli adalah 29 tahun, dan
laki-laki lebih sering terkena dibanding dengan perempuan. Sedangkan
berdasarkan studi epidemiologi international, kebanyakan orang yang terkana
trauma okuli perforans adalah laki-laki umur 25 sampai 30 tahun, sering
mengkonsumsi alkohol, trauma terjadi di rumah. Selain itu cedera akibat olah raga
dan kekerasan merupakan keadaan yang paling sering menyebabkan trauma.2
1
Pada mata dapat terjadi trauma dalam bentuk trauma tumpul, trauma
tembus bola mata, trauma kimia, dan trauma radiasi. Trauma tumpul dapat
dibedakan menjadi dua yaitu kontusio yang merupakan kerusakan yang
disebabkan oleh kontak langsung dengan benda dari luar terhadap bola mata tanpa
menyebabkan robekan pada dinding bola mata. Kedua yaitu konkusio yang
merupakan kerusakan tidak langsung, trauma terjadi pada jaringan mata kemudian
getarannya sampai ke bola mata. Baik kontusio maupun konkusio dapat
menimbulkan kerusakan jaringan berupa kerusakan molekuler, reaksi vaskuler,
dan robekan jaringan. Kontusio dan konkusio dapat menyebabkan kerusakan dari
palpebra sampai dengan saraf optikus.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TRAUMA TUMPUL BOLA MATA
Trauma tumpul merupakan trauma pada mata yang diakibatkan benda
yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut
dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakan
pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.3,4 Trauma tumpul biasanya terjadi
karena kecelakaan di rumah, kekerasan, ledakan, cedera olahraga, dan kecelakaan
lalu lintas.5 Trauma tumpul dapat bersifat Coupe maupun Counter Coupe, yaitu
terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan pada arah horisontal di sisi yang
berseberangan sehingga jika tekanan benda mengenai bola mata akan diteruskan
sampai dengan makula.6
Gambar 2.1. Gambar anatomi bola mata
3
Trauma tumpul, meskipun dari luar tidak tampak adanya kerusakan yang
berat, tetapi transfer energi yang dihasilkan dapat memberi konsekuensi cedera
yang fatal. Kerusakan yang terjadi bergantung kekuatan dan arah gaya, sehingga
memberikan dampak bagi setiap jaringan sesuai sumbu arah trauma.
Trauma okuli tumpul dapat berupa non-peroforasi, perforasi, laserasi,
maupun ruptur. Menurut Birmingham Eye Trauma Terminology definisi trauma
pada mata dapat didasarkan pada tabel berikut: 7
Tabel 2.1. Definisi trauma Okuli menurut BETT
4
Menurut BETT klasifikasi trauma okuli dapat digambarkan menurut bagan
berikut:7
Menurut klasifikasi BETT trauma okuli dibedakan menjadi closed globe
dan open globe. Closed globe adalah trauma yang hanya menembus sebagian
kornea, sedangkan open globe adalah trauma yang menembus seluruh kornea
hingga masuk lebih dalam lagi. Selanjutnya closed globe injury dibedakan
menjadi contusio dan lamellar laceration. Sedangkan open globe injury
dibedakan menjadi rupture dan laceration yang dibedakan lagi menjadi
penetrating, IOFB, dan perforating.7
Trauma tumpul dapat menimbulkan kerusakan jaringan dari palpebra
sampai dengan saraf optikus berupa:
kerusakan molekuler,
reaksi vaskuler, dan
robekan jaringan.
5
2.1.1 Anamnesis
Pada anamnesis kasus trauma mata ditanyakan mengenai proses terjadi trauma,
benda apa yang mengenai mata tersebut, bagaimana arah datangnya benda yang
mengenai mata tersebut apakah dari depan, samping atas, bawah dan bagaimana
kecepatannya waktu mengenai mata. Perlu ditanyakan pula berapa besar benda
yang mengenai mata dan bahan benda tersebut apakah terbuat dari kayu, besi atau
bahan lain. Apabila terjadi penurunan penglihatan, ditanyakan apakah
pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan. Ditanyakan
juga kapan terjadinya trauma. Apakah trauma disertai dengan keluarnya darah dan
rasa sakit dan apakah sudah dapat pertolongan sebelumnya.3
2.1.2 Pemeriksaan Fisik
Suatu anamnesis yang baik dan terarah akan membantu dokter dalam melakukan
pemeriksaan fisik yang tepat.1,3
Pada pasien yang sadar dan kooperatif, visus harus dinilai:
o Untuk menilai tajam penglihatan pada pasien yang berbaring di
tempat tidur dapat digunakan kartu baca.
o Jika terdapat ekimosis dan edema pada palpebra, dapat digunakan
spekulum namun sebelumnya diberikan anestesi topikal.
Segmen anterior idealnya diperiksa dengan menggunakan slit lamp:
o Perhatikan apabila terdapat laserasi kornea-sklera. Lokasi dan
lebar laserasi dicatat.
o Jika terdapat prolaps intraokuler melalui laserasi maka
pemeriksaan selanjutnya harus dilakukan di dalam kamar operasi.
6
o Pengukuran tekanan intraokular juga perlu dilakukan, karena
tekanan pada bola mata dapat menimbulkan keluarnya isi bola
mata.
Ukuran dan bentuk pupil harus dicatat, serta reaksi terhadap cahaya. Jika
memungkinkan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah terdapat
defek pupil aferent yang relatif.
Tes konfrontasi untuk mengetahui lapangan pandang harus dilakukan.
Mata yang sehat juga perlu diperiksa, termasuk pemeriksaan fundus
Setelah ditegakkan diagnosa laserasi kornea-sklera, maka mata dibebat
dan tidur dengan menggunakan bantal yang ditinggikan.
Gejala-gejala lain seperti nyeri, mual dan muntah harus diberikan obat-
obat simptomatik.
Gambar 2.2. Tanda dari trauma mata
7
2.2 BERBAGAI KERUSAKAN JARINGAN MATA AKIBAT TRAUMA
DAN PENANGANANNYA
2.2.1. Orbita
Trauma tumpul orbita yang kuat dapat menyebabkan bola mata terdorong
dan menimbulkan fraktur orbita. Fraktur orbita sering merupakan perluasan
fraktur dari maksila yang diklasifikasikan menurut Le Fort, dan fraktur tripod
pada zygoma yang akan mengenai dasar orbita.1
Pada soft-tissue dapat menyebabkan perdarahan disertai enoftalmus dan
paralisis otot-otot ekstraokular yang secara klinis tampak sebagai strabismus.
Diplopia dapat disebabkan kerusakan neuromuskular langsung atau edema isi
orbita. Dapat pula terjadi penjepitan otot rektus inferior orbita dan jaringan di
sekitarnya. Apabila terjadi penjepitan, maka gerakan pasif mata oleh forseps
menjadi terbatas.1
Prinsip penanganan trauma tumpul bola mata adalah apabila tampak jelas
adanya ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai
pasien mendapat anestesi umum. Sebelum pembedahan, tidak boleh diberikan
sikloplegik atau antibiotik topikal karena kemungkinan toksisitas obat akan
meningkat pada jaringan intraokular yang terpajan. Antibiotik dapat diberikan
secara parenteral spektrum luas dan pakaikan pelindung fox pada mata. Analgetik,
antiemetik, dan antitoksin tetanus diberikan sesuai kebutuhan. Induksi anestesi
umum harus menghindari substansi yang dapat menghambat depolarisasi
neuromuskular, karena dapat meningkatkan secara transien tekanan bola mata,
sehingga dapat memicu terjadinya herniasi isi intraokular.1
8
Gambar 2.3. Fraktur orbita pada mata kanan
Gambar 2,4. Tanda fraktur orbita
2.2.2. Palpebra
Meskipun bergantung kekuatan trauma, trauma tumpul yang mengenai
mata dapat berdampak pada palpebra, berupa edema palpebra, perdarahan
subkutis, dan erosi palpebra.8
Hematom palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan
darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra.
Biasanya terjadi pada trauma tumpul kelopak mata. Bila perdarahan terletak
9
lebih dalam mengenai kedua kelopak dan berbentuk kaca mata hitam yg sedang
dipakai,disebut hematom kaca mata. Bisa terjadi akibat pecahnya arteri
oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Dapat diberikan kompres
dingin untuk menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah
lama, untuk memudahkan absorpsi darah dapat di lakukan kompres hangat pada
kelopak mata. 3,4
Trauma tumpul dapat pula menimbulkan luka laserasi pada palpebra. Bila
luka ini hebat dan disertai dengan edema yang hebat pula.8
Gambar 2.5. Laserasi palpebra
2.2.3. Konjungtiva
Edema Konjungtiva
Jaringan konjungtiva akan terjadi kemotik. Kemotik konjungtiva yang
berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah
rangsangan terhadap konjungtiva. Dapat diberikan dekongestan untuk mencegah
pembendungan cairan di dalam selaput lendir konjungtiva. 3,4
Hematoma Subkonjungtiva
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau dibawah
konjungtiva (arteri konjungtiva dan arteri episklera). Pecahnya pembuluh darah
10
ini akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii atau pada keadaan pembuluh
darah yang rentan dan mudah pecah misalnya pada usia lanjut, hipertensi,
arteriskerosis. Pemeriksaan Funduskopi diperlukan bila tekanan bola mata
rendah dengan pupil lonjongdisertai tajam penglihatan yang menurun dan
hematoma subkonjungtiva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk
mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli. Pengobatan dini dilakukan
kompres hangat, Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi dalam 1
– 2 minggu tanpa diobati. 3,4,6
Gambar 2.6. Hematoma Subkonjungtiva
2.2.4. Sklera
Ruptur sklera ditandai oleh adanya khemosis konjungtiva, hifema total,
bilik depan yang dalam, tekanan bola mata yang sangat rendah, dan pergerakan
bola mata terhambat terutama ke arah tempat ruptur. Ruptur sklera dapat terjadi
karena trauma langsung mengenai sklera sampai perforasi, namun dapat pula
terjadi pada trauma tak langsung.9
11
Gambar 2.7. Perdarahan subkonjungtiva disertai robekan sklera
Penanganan robekan sklera, jika robekannya kecil, sekitar robekan
didiatermi dan robekannya dijahit. Pada robekan yang besar, lebih baik dilakukan
enukleasi bulbi, untuk hindarkan oftalmia simpatika. Robekan ini biasanya
terletak dibagian atas.9
2.2.5.Koroid dan korpus vitreus
Kontusio dan konkusio bola mata menyebabkan vitreus menekan koroid
ke belakang dan dikembalikan lagi ke depan dengan cepat (contra-coup) sehingga
dapat menyebabkan edema, perdarahan, dan robekan stroma koroid. Bila
perdarahan hanya sedikit, maka tidak akan menimbulkan perdarahan vitreus.
Perdarahan dapat terjadi di subretina dan suprakoroid. Akibat perdarahan dan
eksudasi di ruang suprakoriud, dapat terjadi pelepasan koroid dari sklera.8
Ruptur koroid secara oftalmoskopik terlihat sebagai garis putih berbatas
tegas, biasanya terletak anterior dari ekuator dan ruptur ini sering terjadi pada
12
membran Bruch. Kontusio juga dapat menyebabkan reaksi inflamasi, nekrosis,
dan degenerasi koroid.8
Gambar 2.8. Perdarahan vitreus
2.2.6. Kornea
Trauma tumpul dapat mengenai membran descemet yang mengakibatkan
edema kornea. Pasien merasa penglihatan kabur dan terlihat pelangi disekitar
sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh dengan uji plasido yang
positif. Edema kornea ynag berat akan dapat mengakibatkan masuknya
serbukan sel radang dan neovaskularisasi kedalam jaringan stroma kornea.
Pengobatan diberikan NaCl, glukosa dan larutan albumin. Bila terdapat
peningkatan tekanan bola mata maka diberikan asetazolamida.3,4
13
Gambar 2.9. Edem kornea
Erosi Kornea
Akibat gesekan keras kornea dapat mengalami erosi. Erosi kornea
merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh
gesekan keras. Pasien merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang
mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, blefarospasme, fotofobia dan
penglihatan akan terganggu oleh media kornea yang keruh. Pada kornea akan
terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi pewarnaan fluoresein
akan berwarna hijau. Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam
penglihatan dan menghilangkan rasa sakit, pemberiannnya harus hati – hati karena
dapat menambah kerusakan epitel. Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya
dilepas atau dikupas. Untuk mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika, akibat
rangsangan yang mengakibatkan spasmesiliar maka diberikan sikloplegik aksi
pendek seperti tropikamida. 3,4,8
14
Gambar 2.10. Erosi kornea dengan fluorescein, iluminasi lampu putih
Gambar 2.11. Erosi kornea dengan fluorescein, iluminasi lampu biru
Pada kornea juga bisa terjadi laserasi.
Gambar 2.12. Laserasi kornea
2.2.7. Uvea
Segera setelah trauma, akan terjadi miosis dan akan kembali normal bila
trauma ringan. Bila trauma cukup kuat, maka miosis akan segera diikuti dengan
15
iridoplegi dan spasme akomodasi sementara. Dilatasi pupil biasanya diikuti
dengan paralisis otot akomodasi, yang dapat menetap bila kerusakannya cukup
hebat. Penderita umumnya mengeluh kesulitan melihat dekat dan harus dibantu
dengan kacamata.8
Iridodialis adalah disinsersi dari akar iris dan badan siliar, biasanya
bersamaan dengan terjadinya hifema. Pasien akan melihat ganda dengan satu
matanya, pupil terlihat menonjol. Sebaiknya dilakukan pembedahan dengan
melakukan reposisi pangkal iris yang terlepas. 3,4
Gambar 2.13. Iridodialisis
Iridoplegia merupakan kelumpuhan otot sfingter pupil sehingga pupil
menjadi lebar atau midriasis, pasien sukar melihat dekat karena gangguan
akomodasi, silau akibat gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil. Pupil
terlihat tidak sama besar dan bentuknya ireguler, disertai lambat atau tidak adanya
refleks cahaya, dapat permanen atau sementara. Pasien sebaiknya istirahat untuk
mencegah terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roborantia.3,4
Trauma tumpul dapat merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut kamar
okuli anterior. Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler
16
okuler. Darah ini dapat bergerak dalam kamera anterior, mengotori permukaan
dalam kornea. Iris atau korpus siliaris yang mengalami inkarserasi dan terpajan
kurang dari 24 jam dapat dimasukkan ke dalam bola mata dengan viskoelastik.8
Gambar 2.14. Robekan Iris
Gambar 2.15. Prolaps Iris
Konkusio dapat pula menyebabkan perubahan vaskular berupa
vasokonstriksi yang segera diikuti dengan vasodilatasi, eksudasi, dan hiperemia.
Eksudasi kadang-kadang hebat sehingga timbul iritis. Perdarahan pada jaringan
iris dapat pula terjadi dan dapat dilihat melalui deposit-deposit pigmen
hemosiderin. Kerusakan vaskular iris, akar iris, dan korpus siliaris dapat
menyebabkan terkumpulnya darah di kamera okuli anterior, yang disebut
hifema.10
Hifema adalah terkumpulnya darah dalam bilik depan bola mata (camera
oculi anterior). Hifema biasanya disebabkan trauma tumpul pada mata yang
17
merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek
pembuluh darah iris dan merusak sudut camera oculi anterior (COA). Tetapi dapat
juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler ocular. Darah ini dapat
bergerak dalam kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea. Inflamasi
yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga bisa
menyebabkan perdarahan pada bilik depan mata. Kadang-kadang pembuluh darah
baru yang terbentuk pada kornea pasca bedah katarak dapat pecah sehingga timbul
hifema.6,11
Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan
primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder
biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih
hebat daripada yang primer. Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus
dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena
resorpsi dari bekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak
mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali. 4,6
Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor
pada iris, retinoblastoma, dan kelainan darah. Hifema spontan pada anak
sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukemia dan retinoblastoma.4
Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam
bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schiem sedangkan
sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat
dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan
setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari
18
hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea
menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang
hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat
terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma.4
Rakusin membagi hifema menjadi:11
- Hifema tingkat I : perdarahan mengisi ¼ bagian bilik depan mata
- Hifema tingkat II : perdarahan mengisi ½ bagian bilik depan mata
- Hifema tingkat III : perdarahan mengisi ¾ bagian bilik depan mata
- Hifema tingkat IV : perdarahan mengisi penuh bilik depan mata
Sumber lain, membagi hifema menjadi:9,10
- Hifema tingkat I : bila perdarahan kurang dari 1/3 bilik depan mata.
- Hifema tingkat II : bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan
mata.
- Hifema Tingkat III : bila perdarahan lebih dari 1/2 bilik depan mata.
- Hifema tingkat IV : total hifema
Gambaran klinik dari penderita dengan hifema traumatik adalah:
perdarahan pada bilik depan bola mata (diperiksa dengan flashlight) kadang-
kadang ditemukan gangguan tajam penglihatan, ditemukan adanya tanda-tanda
iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, penderita mengeluh nyeri pada mata,
fotofobia (tidak tahan terhadap sinar), sering disertai blepharospasme,
kemungkinan disertai gangguan umum yaitu lethargia, disorientasi, somnolen.11
Pasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair.
Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang
19
terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk,
hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema
dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Selain itu, dapat terjadi
peningkatan tekanan intra ocular, sebuah keadaan yang harus diperhatikan untuk
menghindari terjadinya glaucoma.4
Gambar 2.16. Hifema
Pada hifema, bila telah jelas darah telah mengisis 5% kamera anterior,
maka pasien harus tirah baring dan diberikan tetes steroid dan sikloplegik pada
mata yang sakit selama 5 hari. Mata diperiksa secara berkala untuk mencari
adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat
pigmentasi hemosiderin. Penanganan trauma tumpul dengan hifema, yaitu:11
20
A. Perawatan konservatif / tanpa operasi
1. Tirah baring sempurna (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala
diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45º. Hal ini akan
mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita
mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli
mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus
dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan Darr dan Rakusin
menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna absorbsi dari hifema
dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat
kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih
pada anak-anak, sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan kakinya ke tempat
tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
2. Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat
di antara para ahli. Edward- Layden lebih condong untuk menggunakan bebat
mata pada mata yang terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan bola
mata yang sakit. Selanjutnya dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua mata
akan menyebabkan penderita gelisah, cemas dan merasa tak enak, dengan akibat
penderita (matanya) tidak istirahat Akhirnya Rakusin mengatakan bahwa dalam
pengamatannya tidak ditemukan adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian
21
bebat atau tidak terhadap absorbsi, timbuInya komplikasi maupun prognosa bagi
tajam penglihatannya
3. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah
mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat
absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas
digunakan obat-obatan seperti :
(a) Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun
parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya:
Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C.
Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik
(Dipasaran obat ini dikenal sebagai transamine/ transamic acid) sehingga bekuan
darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya
kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat timbulkan
gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio
kornea. Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.
(b) Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan
kerugian sendiri-sendiri: Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi
22
meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.
Gombos menganjurkan pemberian midriatika bila didapatkan komplikasi
iridiocyclitis. Akhirnya Rakusin membuktikan bahwa pemberian midriatika dan
miotika bersama-samadengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja. Darr
menentangnya dengan tanpa menggunakan kedua golongan obat tersebut pada
pengobatan hifema traumatik.
(c) Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian acetazolamide (Diamox) secara
oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.
Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea,
manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan
bahwa cara ini tidak rutin.
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intra okular, berilah
diamox, glyserin, nilai selama 24 jam :
Bila tekanan intra okular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal,
lakukan parasentesa yaitu pengeluaran drah melalui sayatan di kornea
Bila tekanan intra okular turun sampai normal, diamox terus diberikan dan
dievaluasi setiap hari
Bila tetap normal tekanan intra okularnya dan darahnya masih ada sampai hari ke
5-9 lakukan juga parasentesa
(d) Kortikosteroid dan Antibiotika
23
Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi
iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika. Yasuna
menganjurkan pemberian prednison 40 mg/hari secara oral segera setelah
terjadinya hifema traumatik guna mengurangi perdarahan sekunder.
(e) Obat-obat lain
Sedativa diberikan bilamana penderita gelisah. Diberikan analgetika
bilamana timbul rasa nyeri.
B. Perawatan operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma
sekunder, tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis cornea dan tidak ada
pengurangan dari tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 - 5
hari.
Tindakan operasi yang dikerjakan adalah:
1. Paracentesa : mengeluarkan cairan/darah dari bilik depan bola mata melalui
lubang yang kecil di limbus. Parasentese dilakukan bila TIO tidak turun dengan
diamox atau jika darah masih tetap terdapat dalam bilik mata depan pada hari
5-9.
2. Melakukan irigasi bilik depan bola mata dengan larutan fisiologik,
3. Dengan cara seperti melakukan ekstraksi katarak dengan membuka corneo-
scleralnya sebesar 120°.
24
2.2.8 Lensa
Dislokasi Lensa
Dislokasi lensa terjadi karena putusnya zonula zinii yang akan
mengakibatkan kedudukan lensa terganggu. Bila zoluna ziniii putus maka lensa
akan mengalami luksasi ke depan (luksasi anterior) atau luksasi ke belakang
(luksasi posterior).3,4,13
25
Gambar 2.17. Dislokasi Lensa
Subluksasi Lensa
Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinii sehingga lensa berpindah
tempat, subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita
kelainan pada zonula zinii yang rapuh (Sindrom Marphan). Akibat pegangan
lensa pada zonula zinii tidak ada maka lensa yang elastis akan menjadi cembung,
26
dan mata akan menjadi lebih miopi. Lensa yang menjadi sangat cembung
mendorong iris kedepan sehingga sudut bilik mata tertutup, bila sudut bilik mata
menjadi sempit maka mudah terjadi glaukoma sekunder.3,4
Pada subluksasi biasanya dilakukan dengan koreksi terbaik sehingga tidak
timbul keluhan diplopia. Bila terdapat penyulit glaukoma maka dilakukan
ekstraksi lensa pada orang tua sedang pada orang muda dilakukan ekstraksi linear
atau ekstraksi lensa ekstrakapsuler.3
Luksasi lensa anterior
Bila seluruh zonula zinii disekitar ekuator putus maka lensa dapat
masuk kedalam bilik mata depan sehingga akan terjadi gangguan pengaliran
keluar cairan bilik mata yang dapat mengakibatkan glaukoma kongestif akut.
Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang
sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Pada pemeriksaan
fisik terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa didalam bilik ma t a
depan, iris terdorong kebelakang dengan pupil yang lebar, tekanan bola mata yang
tinggi.3,4
Pada luksasi lensa anterior: harus dilakukan pengeluaran lensa yang
terletak didalam bilik mata depan. Tekanan bola mata sudah harus terkontrol baik
sebelum lensa dikeluarkan. Pembedahan lensa yang telah mengalami subluksasi
atau luksasi seringkali karena sering disertai penyulit pasca bedah, karena itu
diperlukan persiapan yang baik.3
Luksasi lensa posterior
27
Akibat putusnya zonula zinii diseluruh lingkaran ekuator sehingga lensa
jatuh kedalam badan kaca dan tenggelam dibawah polus posterior fundus okuli.
Pasien mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa yang
mengganggu kampus. Mata akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa , pasien
akan melihat normal dengan lensa + 12,0 dioptri untuk jauh , bilik mata
depan dalam dan iris tremulans.3,4
2.2.9 Retina
Edema retina terutama makula sering terjadi pada kontusio dan konkusio
okuli. Bila hebat dapat meninggalkan bekas yang permanen. Edem retina bisa
terjadi pada tempat kontusio, tetapi yang paling sering terjadi mengenai sekeliling
diskus dan makula. Dapat pula terjadi nekrosis dan perdarahan retina yang pada
proses penyembuhan akan meninggalkan atrofi dan sikatrik.1
Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula
atau edema berlin. Pada edem makula, tampak retina di sekeliling makula
berwarna putih ke abu-abuan dengan bintik merah di tengahnya, menyerupai
gambaran oklusi arteri retina sentralis. Edema dapat berkembang menjadi kistik
atau macular hole. Bila edema tidak hebat, hanya akan meninggalkan pigmentasi
dan atrofi. Segera setelah trauma, terjadi vasokonstriksi yang diikuti oleh
vasodilatasi, menyebabkan edema dan perdarahan. Perdarahan dapat terjadi di
retina, subhyaloid, atau bahkan dapat ke vitreus, sehingga pada penyembuhannya
menyebabkan retinopati proliferatif.3,4
28
Gambar 2.18. Edem Berlin
Robekan retina jarang terjadi pada mata sehat. Biasanya robekan retina
terjadi pada mata yang memang telah mengalami degenerasi sebelumnya,
sehingga trauma yang ringan sekalipun dapat memicu robekan. Ruptur retina
sering disertai dengan ruptur koroid. Dialisis ora serata sering terjadi pada
kuadran inferotemporal atau nasal atas, berbentuk segitiga atau tapal kuda, disertai
dengan ablasio retina. Ablasio retina pada kontusio dan konkusio dapat terjadi
akibat: 8
- Kolaps bola mata yang tiba-tiba akibat ruptur
- Perdarahan koroid dan eksudasi
- Robekan retina dan koroid
- Traksi fibrosis vitreus akibat perdarahan retina atau vitreus.
- Adanya degenerasi retina sebelumnya, trauma hanya sebagai pencetus.
Prognosis pelepasan retina akibat trauma adalah buruk, karena adanya
cedera makula, robekan besar di retina, dan pembentukan membran fibrovaskular
29
intravitreus. Vitrektomi merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah kondisi
tersebut
DAFTAR PUSTAKA
1. Vaughan D, Asbury T. Oftalmologi Umum. Jilid 2. Edisi II. Yogyakarta, Widya Medika, 2000
2. Aronson AA. Corneal Laceration. http://emedicine.medscape.com/article/798005 diakses tanggal 14 Oktober 2012.
3. Ilyas S, dkk. 2002. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran, Edisi Kedua. Jakarta: CV. Sagung Seto.
4. Ilyas, Sidarta. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
5. Eye Injuries: Recent Data and Trends in the United States http://www.aao.org/newsroom/guide/upload/Eye-Injuries - BkgrnderLongVersFinal-l.pdf diakses tanggal 14 Oktober 2012
6. Rappon J. Primary Care Ocular Trauma Management. Pacific University, Forest Grove, Oregon, USA. http://www.pacificu.edu/optometry/ce/courses/21042/primarycaretraumapg1.cfm diakses tanggal 14 Oktober 2012
7. Kuhn F. BEET: The Terminology of Ocular Trauma. http://www.thieme.de/detailseiten/inh/9783131257710.pdf diakses tanggal 14 Oktober 2012
30
8. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. Injury to the eye. BMJ 2004;328:36-8
9. Lekuona K. Editorial : Assessing and managing eye injuries. Community eye Health Journal 2005; 18(55): 101-16
10. Berke SJ. Post traumatic glaucoma in ophtalmology. Edisi II: Yanoff M, Duker JS, Augsburger, Mosby, 2004.
11. Soerosa A. Perdarahan Bilik Depan Bola Mata Akibat Rudapaksa. CDK 1980; 19: 44-6
12. Blanch RJ and Scott RAH. Military ocular injury: presentation, assessment, and management. JR Army Med Corps 155(4): 279-84.
13. Kuhn F, Zlatko S. Damage control surgery in ocular traumatology. Int. J. Care Injured 2004; 35: 690-6.
31