tetanus

32
PEMBAHASAN Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot. Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana- mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

Upload: suci-mutiara-gunawan

Post on 24-Dec-2015

90 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tetanus

TRANSCRIPT

PEMBAHASAN

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh

tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini

ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat

luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan

kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu

berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan

tidak pada sistem saraf perifer atau otot.

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif,

bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada

salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket

tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan

pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran

hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik.

Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.

Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan

hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf

pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.

PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam

bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang

menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau

berkurangnya potensi oksigen.

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka.

Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin

serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain

ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Masa

inkubasi biasanya antara 2 sampai dengan 21 hari. Pengetahuan tentang patofisiologi

penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun

kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.

Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,

sebagai berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke

otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan

saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus

limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun

dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah

merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada

manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga

memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan

dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan

saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu

hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ

lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport

toksin ke dalam susunan saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara

retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom.

Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak

kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:

Tetanus lokal

Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibodi terhadap toksin tetanus

yang masuk ke dalam darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada

di sekitar luka.

Tetanus sefal

Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang

terkena adalah otot-otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan

medula spinalis servikalis.

Ascending Tetanus

Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai

tungkai dan kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal,

toksin disekitar luka masuk cukup banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.

Tetanus umum

Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan

kemudian masuk ke dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian

mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang

sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek adalah yang

mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai

urutan panjang saraf.

Mekanisme kerja toksin tetanus:

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin

mempunyai efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan

neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui

pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis

penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada

neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk

transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas

belum diketahui secara jelas.

Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu

toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun

tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan

dengan sel saraf.

Tetanus toxin

Normal:

Inhibitory interneuron à Glycine

à blocks excitation & acetylcholine release à muscle relaxation

Tetanus toxin:

Blocks glycine release

àno inhibition at acetylcholine release à irreversible contraction à Spastic

paralysis

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu

dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma

Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor

yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan

impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan

glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua

neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas

terhadap kalsium dan proses eksositosis.

Perubahan akibat toksin tetanus:

1. Susunan saraf pusat

Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang

terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.

Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,

sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang terkena

makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat

menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan

dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas

kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf inhibisi dipengaruhi toksin,

ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

Rasa sakit

Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan

neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa

sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel

pada kornu posterior dan interneuron.

Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya

brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek

hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer

Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai

efek neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.

Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit

karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat

pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif

terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.

Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:

1. Neuropati perifer

2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang

terbatas dan nyeri, yang dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan

setelah sembuh.

3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

3. Perubahan pada sistem saraf autonom

Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini

mungkin terjadi karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut.

Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom karena efek toksin yang berasal dari

otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior ke kornu

lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum

mengenai berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi

kendali suhu dan kendali otot bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu

organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan

Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot

diafragma terkena paling akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang

terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan pergerakan rongga dada sehingga

menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang ditandai

dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas

berlebihan dari saraf di pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.

b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya

spasme dan kekakuan otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan

menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi untuk terjadinya aspirasi yang

dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.

c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan

yang terjadi bisa berupa kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic

pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena proses iatrogenik atau infeksi

sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.

e. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat

pernafasan dapat terkena oleh toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan

otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin dosis tinggi pada hewan

percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi

terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada

penderita tetanus adalah :

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa

ditemukan adanya komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret

pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam beberapa menit sampai ½-1 jam.

Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged

respiratory arrest (henti nafas berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

Henti nafas akut dan mati mendadak.

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder

seperti hipoksia rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring,

hipokapnia setelah serangan distres pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan

asam basa.

5. Gangguan hemodinamika

Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan

gangguan sistem saraf autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada

tetanus berat masih sangat jarang dilakukan karena :

Kendala etik

Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi

paru, atelektasis, edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang

kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi

Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit

penilaian dari hasil penelitian.

6. Gangguan metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya

kejang, peningkatan tonus otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan

perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal ini pada kasus tertentu dapat

dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan

adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta

penurunan serum protein terutama fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak

dapat memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem

pernafasan maka akan terjadi hipoksia dengan segala akibatnya. Katabolisme protein

yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan menimbulkan metabolisme

anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi kemampuan

sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak

cukupnya antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa

pada penderita tetanus yang sudah sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan

terhadap toksin.

7. Gangguan Hormonal

Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi

pada penderita tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan

adanya demam tanpa ditemukan adanya infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan

awareness menimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari batang otak yang

berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang

merangsang sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi

monoamin neuron lokal. Adanya penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang

diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan balik hipofise-kelenjar

endokrin.

8. Gangguan pada sistem lain

Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara

langsung dapat mengganggu hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh

tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi mitosis hepatosit dan

kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit

ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan

abnormalitas traktus gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau

oleh karena efek sekunder dari hipovolemia, shock, gangguan elektrolit dan metabolik

yang terganggu.

Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin

dapat terjadi karena gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin

baik di tingkat batang otak, hipotalamus maupun ditingkat saraf perifer simpatis,

parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat gangguan mikrosirkulasi

dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

Manifestasi Klinis

Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai

kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan

penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:

a. Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka

kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap

disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat

berkembang menjadi tetanus umum.

b. Tetanus sefal

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang

disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa

trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang

terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.

c. Tetanus umum

Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa

trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut

(opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan

kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan

seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat,

umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak

mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah

ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan

spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan

opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas

atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari

mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan

dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,

pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :

a. Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada

atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.

b. Derajat II (sedang)

Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia

ringan

c. Derajat III (berat)

Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat,

takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi

d. Derajat IV (sangat berat)

Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler,

yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat

atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau

penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat

tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

Penilaian tetanus berdasarkan Phillip score :

Ringan : <9

Sedang : 9 – 16

Berat : > 16

Gardasi Penyakit :

1. Masa inkubasi :

- < 2 hari = 5

- 2-5 hari = 4

- 6-8 hari = 3

- 11-14 hari = 2

- > 15 hari = 1

2. Tempat infeksi :

- Umbilikus = 5

- Kepala/leher = 4

- Badan = 3

- Ektrimitas atas proksimal = 3

- Ektrimitas bawah proksimal = 3

- Ektrimitas atas distal = 2

- Ektrimitas bawah distal = 2

- Tidak diketahui = 1

3. Imunisasi :

- Belum pernah = 10

- Mungkin pernah = 8

- Pernal > 10 th yang lalu = 4

- Pernah < 10 th yang lalu = 2

- Imunisasi lengkap = 0

4. Faktor penyerta :

- Trauma yg mengancam jiwa = 10

- Trauma berat = 8

- Trauma sedang = 4

- Trauma ringan = 2

- A.S.A derajat 1 = 1

Faktor-faktor yg mempengaruhi prognosa penyakit :

5. Derajat spasme :

- Epistotonus = 5

- Reflek spasme umum = 4

- Reflek terbatas = 3

- Spastisitas umum = 2

- Trismus = 1

6. Frekuensi spasme :

- Spontan > 3 x / 15 menit = 5

- Spontan < 3 x / 15 menit = 4

- Kadsang-kadang spontan = 3

- < 6 x / 12 jam = 1

7. Suhu Badan :

- > 38,9 derajat celcius = 10

- 38,3 – 38,9 derajat celcius = 8

- 37,8 – 38,2 derajat celcius = 4

- 37,2 – 37, 7 derajat celcius = 2

- 37,7 – 37,1 derajat celcius = 0

8. Pernapasan :

- Tracheostomy = 10

- Henti napas setiap konvulsi = 8

- Henti napas kadang setelah konvulsi = 4

- Henti napas hanya selama konvulsi = 2

- Normal = 0

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.

- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut

(opisthotonus), rasa sakit serta kecemasan.

- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan

dimana kesadaran tetap baik.

Temuan laboratorium :

- Lekositosis ringan

- Trombosit sedikit meningkat

- Glukosa dan kalsium darah normal

- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

- Enzim otot serum mungkin meningkat

- EKG dan EEG biasanya normal

- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat

membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk

tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

Diagnosis banding

Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah

- Meningitis bakterialis - Rabies

- Poliomielitis - Epilepsi

- Ensefalitis - Tetani

- Keracunan striknin - Sindrom Shiffman

- Efek samping fenotiazin - Peritonsiler abses

Komplikasi

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan

sepsis. Komplikasi terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain

spasme laring atau faring yang berbahaya karena dapat menyebabkan hipoksia dan

kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi pneumonia atau

atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia,

gagal jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur

vertebra atau kifosis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli,

pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut, dehidrasi dan asidosis

metabolik.

PENATALAKSANAAN

Dasar

a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.

1. Antibiotik

Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk

vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G,

ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman tersebut juga peka terhadap

klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.

Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1

kali sehari.

Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-

14 hari.

Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila

diagnosis tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan

diganti Penisilin G.

Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose

15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6

jam. Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna menunjukkan angka

kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang baik

terhadap pengobatan tetanus sedang.

Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin

dengan dosis 25-50 mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan

secara peroral.

Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama

10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5

mg/kgBB/hari.

2. Perawatan luka

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka

dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan

sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat dibersihkan dengan betadine dan

hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

b. Netralisasi toksin

1. Anti tetanus serum

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit,

setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan secara IV,

sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada tetanus

neonatorum diberikan 10.000 unit IV.

Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak

diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang berat

karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga untuk

mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan

kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.

2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus

dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin.

Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus sebanyak 500 IU IV dan

800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam

24 jam pertama setelah timbul gejala.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan

pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena

kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang bila diberikan secara

intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai efektivitas yang sama.

Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang

dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan

HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU IM untuk meningkatkan kadar

antitoksin darah sebelum debridemen luka.

c. Menekan efek toksin pada SSP

1. Benzodiazepin

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat

ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat.

Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi, tidur, mengurangi ketakutan dan

ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks

polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila

diberikan dalam dosis besar. Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah

0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994), pemberian diazepam pada

anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3

mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan

per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.

2. Barbiturat

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus

dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat

menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital intravena dapat diberikan

segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit

sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan

bersama-sama diazepam dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui

selang nasogastrik.

3. Fenotiazin

Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4

kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak

dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan syok terlebih pada

penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.

Umum

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit

perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta

nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan penderita di bawah

penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10% dan elektrolit 100-

125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120

kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat

tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan

mulut harus dikerjakan.

Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh

spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan

pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya dilakukan intubasi

endotrakhea.

Bantuan ventilator diberikan pada :

1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV

2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi

konservatif dan PaO2 < 55mmHg pada pemberian 6-8 liter oksigen/menit

3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

Berdasarkan tingkat penyakit tetanus

a. Tetanus ringan

Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik,

HTIG/anti toksin, diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti

diatas.

b. Tetanus sedang

Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau

trakeostomi dan pemasangan selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian

cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara parenteral.

c. Tetanus berat

Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan

intensif, trakeostomi atau intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan

serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat hebat dapat diberikan

pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3

jam. Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker

seperti propanolo atau alfa dan beta bloker labetolol.

PROGNOSIS

Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun,

angka kematiannya antara 10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka

kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali

lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai prognosis yang lebih

baik dari tetanus umum.

Sistem Skoring

Skor 1 Skor 0

Masa inkubasi < 7 hari > 7 hari

Awitan penyakit < 48 jam > 48 jam

Tempat masuk Tali pusat, uterus, fraktur

terbuka, postoperatif,

bekas suntikan IM

Selain tempat tersebut

Spasme (+) (-)

Panas badan (per rektal) > 38,4 0C (> 40 0C) < 38,4 0C ( < 40 0C)

Takikardia dewasa > 120 x/menit < 120 x/menit

neonatus > 150 x/menit < 150 x/menit

Dikutip dari Habermann, 1978, Bleck, 1991

Tabel klasifikasi untuk prognosis Tetanus

Tingkat Skor Prognosis

Ringan 0-1 < 10

Sedang 2-3 10 – 20

Berat 4 20 – 40

Sangat berat 5-6 > 50

Dikutip dari Bleck, 1991

Catatan : Tetanus sefalik selalu dinilai berat atau sangat berat

Tetanus neonatorum selalu dinilai sangat berat

DAFTAR PUSTAKA

1. Azhali MS, Herry Garna, Aleh Ch, Djatnika S. Penyakit Infeksi dan Tropis. Dalam :

Herry Garna, Heda Melinda, Sri Endah Rahayuningsih. Pedoman Diagnosis dan Terapi

Ilmu Kesehatan Anak, edisi 3. FKUP/RSHS, Bandung, 2005 ; 209-213.

2. Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology.

Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871

3. Behrman, Richard E., MD; Kliegman, Robert M.,MD ; Jenson Hal. B.,MD, Nelson

Textbook of Pediatrics Vol 1” 17th edition W.B. Saunders Company. 2004

4. WHO News and activities. The Global Eliination of neonatal tetanus : progress to

date, Bull WHO 1994; 72 : 155-157

5. www.emidicine.com/ped/topic3038.htm