tetanus gilo

47
Latar Belakang Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.1 Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata laksana tetanus.3 Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.4 Sekitar 76 negara, termasuk didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap. Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.5 Berdasarkan data dari WHO, penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.6 Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak—misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun seiring berjalannya waktu.3,7 Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-

Upload: siscaii1

Post on 12-Aug-2015

128 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

gileee

TRANSCRIPT

Page 1: Tetanus Gilo

Latar Belakang

Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit ini ditandai

oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani.

Tetanus dapat terjadi pada orang yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi

lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan booster secara berkala.1

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh dunia. Diperkirakan angka kejadian

pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60%.2 Selama 30 tahun

terakhir, hanya terdapat sembilan penelitian RCT (randomized controlled trials) mengenai pencegahan dan tata

laksana tetanus.3 Pada tahun 2000, hanya 18.833 kasus tetanus yang dilaporkan ke WHO.4 Sekitar 76 negara, termasuk

didalamnya negara yang berisiko tinggi, tidak memiliki data serta seringkali tidak memiliki informasi yang lengkap.

Hasil survey menyatakan bahwa hanya sekitar 3% tetanus neonatorum yang dilaporkan.5 Berdasarkan data dari WHO,

penelitian yang dilakukan oleh Stanfield dan Galazka, dan data dari Vietnam diperkirakan insidens tetanus di seluruh

dunia adalah sekitar 700.000 – 1.000.000 kasus per tahun.6

Selama 20 tahun terakhir, insidens tetanus telah menurun seiring dengan peningkatan cakupan imunisasi.

Namun demikian, hampir semua negara tidak memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir

sebelum program imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk perlindungan jangka

lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak—

misalnya akibat perang dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih berisiko

mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua

masih rentan, karena vaksinasi primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun

seiring berjalannya waktu.3,7 Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan

50% kematian perinatal dan menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7/100 kelahiran hidup di

perkotaan dan 11-23/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-

40 kasus/tahun, 50% terjadi pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan

sisanya pada bayi <12 bulan.1,8

Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar penyebab kematian pada anak. 9 Meskipun

insidens tetanus saat ini sudah menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%. Selain

itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan

meskipun pencegahan dengan imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, diperlukan

kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus guna menurunkan angka kematian penderita

tetanus, khususnya pada anak.

1.2 Permasalahan Tetanus adalah suatu keadaan toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani yang ditandai dengan spasme otot yang periodik dan berat. Di seluruh dunia,

insidens tetanus cukup rendah begitu juga di Indonesia. Namun demikian, tetap saja penyakit ini belum dapat

disingkirkan dari dunia, meskipun sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Pada tetanus derajat berat,

angka kematiannya masih cukup tinggi. Hal tersebut tentu saja patut disayangkan. Saat ini, penatalaksanaan tetanus

meliputi pemberian imunoglobulin tetanus untuk menetralisir toksin, obat-obatan untuk mengontrol spasme, antibiotik

untuk mematikan kuman serta pengobatan untuk mengatasi komplikasi dan perawatan suportif yang tepat. Dengan

penatalaksanaan yang cepat, efektif dan efisien diharapkan penanganan pasien tetanus dapat menjadi lebih optimal

sehingga angka kematian dapat diturunkan. Aspek lain yang juga sangat penting adalah pencegahan. Pencegahan

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pemberian imunisasi dan perawatan luka. Saat ini imunisasi yang aman

Page 2: Tetanus Gilo

dan murah sudah tersedia di berbagai belahan dunia, sehingga diharapkan cakupan imunisasi akan semakin luas, dan

pada akhirnya akan semakin menurunkan angka kejadian tetanus.

.Definisi

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang

disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai

dampak eksotoksin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang

belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan saraf otonom.8,10

3.2. Etiologi

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman berbentuk batang dengan sifat :

Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti pemukul genderang

Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan

menggunakan flagela

Menghasilkan eksotoksin yang kuat

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi, kekeringan dan

desinfektan.

Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di

daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen.

Sebaliknya, dalam bentuk spora sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan

yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob. Spora dapat bertahan dalam

autoklaf pada suhu 249,8 °F (121°C) selama 10-15 menit. Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia

lainnya. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. 1 ,11

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka mungkin dapat tidak disadari,

dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus

dekubitus, abses dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan, persalinan, dan

pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam

yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah,

lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang

berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.1

3.3. Epidemiologi

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang

tidak kebal, tingkat pencemaran biologik lingkungan peternakan/pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa.

Tetanus pada anak tersebar diseluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DPT yang

rendah. Angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaan aktivitas fisiknya. Tetanus tidak menular

dari manusia ke manusia.10,12

Page 3: Tetanus Gilo

3.4. Patogenesis

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora)

sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port

d’entree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :10

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas.

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.

3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.

4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk

kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang

menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya

sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak

dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang

dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan

tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus

disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate

di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan

dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar

gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg. 11,14

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder

saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut

daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik.

Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses

perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial

membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi

sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada

tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan

menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar. 10

Dampak toksin antara lain : 10

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps jalur

antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.

2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri diduga menyebabkan

kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.

3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang

berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

3.5 Gejala Klinis Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari atau hingga

beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat

Page 4: Tetanus Gilo

luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP); secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi

akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.10,12

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :1,10

1. Generalized tetanus (Tetanus umum)

Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak

disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari

jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw,

diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus

terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya

meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung.

Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme

dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu.

Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized tetanus (Tetanus lokal)

Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi.

Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga

beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi

dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)

Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala

terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga

tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum

Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang

dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang

terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari.

Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat

melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi

empat (4) tingkatan.

Page 5: Tetanus Gilo

3.6 Penegakan Diagnosis Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan

laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan

terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).15,16 3.6.1. Anamnesis

Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: 10

Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan nanah atau gigitan

binatang?

Apakah pernah keluar nanah dari telinga?

Apakah pernah menderita gigi berlubang?

Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang terakhir?

Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal) dengan spasme yang

pertama (period of onset)?

3.6.2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :10,17

Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk membuka mulut. Pada

neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek.

Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.

Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak dahi mengkerut, mata agak

tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.

Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan dan

trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.

Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.

Page 6: Tetanus Gilo

Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya terjadi setelah dirangsang

misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun ―masa istirahat‖ spasme makin

pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.

Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan cenderung terus menangis.

Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya,

badan menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.

Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat spasme yang terus-menerus atau

oleh karena kekakuan otot laring yang dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom

menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan

suhu badan yang tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi retentio

alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan kompresi tulang belakang.

Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan menggunakan alat dengan ujung

yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif

berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan

bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang

tinggi (94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).18

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.1,10,10

Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus. Namun demikian, kuman C.

tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien

tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif

tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat

diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.

Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi dan bukan tetanus.

Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan pemendekan atau tidak

adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah potensial aksi.

Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

3.7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit.19 Diagnosis bandingnya adalah

sebagai berikut : 10 1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai

trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal. 2. Tetani

disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal. 3. Keracunan striknin : minum

tonikum terlalu banyak (pada anak). 4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada

anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi. 5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh

Page 7: Tetanus Gilo

mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris. 3.8. Komplikasi

Tetanus Tabel 6 menggambarkan beberapa komplikasi akibat tetanus. Tabel 7 menggambarkan komplikasi tetanus di

beberapa RS di Indonesia.

3.9. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut : 11,12

1. Penanganan spasme.

2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.

3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan dengan sistem saraf.

Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang

menyatakan bahwa toksin tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan. Bahkan

pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar dalam menurunkan angka kematian masih

dipertanyakan.

4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman, untuk memusnahkan

―pabrik‖ penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.

5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.

6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya terganggu), terutama

pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang, juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum

akibat trismus yang berat, disfagia atau hidrofobia.

Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari kebutuhan cairan dan nutrisi,

menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi, mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga

seperti karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti

tetanus.9 3.9.1. Tatalaksana Umum 9

1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi

Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai

hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme

mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan

terjadinya aspirasi.

2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.

3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).

4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.

Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang

direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang

direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme

harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk

anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk

bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus

Page 8: Tetanus Gilo

tetesan tetap 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat

diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak

dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan.

Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih spasme atau mengalami spasme laring, sebaiknya

dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan

pernapasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah memberikan respons klinis

yang diharapkan, dosis dipertahankan selama 3-5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan secara bertahap

(berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari). Midazolam iv atau bolus, fenobarbital iv dan morfin dapat digunakan

sebagai terapi tambahan jika pasien dirawat di ICU karena terdapat risiko depresi pernapasan.

5. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter

gigi/THT.

3.9.2 Tatalaksana Khusus

1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) 10,11,21 Dosis ATS yang dianjurkan adalah

100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada

tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit.

Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG (3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk

bayi, dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut diberikan secara infiltrasi di tempat

sekitar luka. HTIG hanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf. Intraveneous

Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia.

Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human

immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan

kontraindikasi pemberian secara IM. Pada keadaan tetanus berat memerlukan perawatan di perawatan intensif. Selain

penatalaksanaan diatas, berikan tambahan penatalaksanaan berikut :

HTIG disuntikkan secara intratekal (meningkatkan perbaikan klinis dari 4-30%).

Trakeostomi dan ventilasi mekanik selama 3-4 minggu.

Magnesium diberikan secara infus (iv) untuk mencegah spasme otot.

Diazepam (dikenal sebagai valium) diberikan secara kontinu melalui infus iv.

Efek otonom tetanus dapat menyulitkan untuk diatasi (hiper dan hipotensi yang berganti-ganti,

hiperpireksia/hipotermia) dan mungkin memerlukan labetolol, magnesium, klonidin atau nifedipin.

Obat-obatan seperti klorpromazin atau diazepam atau pelemas otot lain dapat diberikan untuk mengontrol

spasme otot. Pada kasus yang ekstrim mungkin diperlukan untuk menimbulkan paralisis pada pasien dengan obat

kurare serta menggunakan ventilator mekanik. Rangsangan yang sangat ringan dapat memicu spasme yang berpotensi

menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit yang sudah menyebar. Karena alasan ini, semua prosedur

terapeutik harus dikoordinasi dengan baik sehingga risiko menghasilkan tetanospasmin dapat berkurang hingga

minimal. Semua prosedur paling baik dilakukan setelah pasien mendapatkan sedasi dan relaksasi yang optimal.

Karena toksin tetanus sangat kuat, penyakit tetanus tidak menimbulkan kekebalan. Imunisasi aktif dengan toksoid

tetanus harus segera dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut

sehingga relatif tidak mengganggu tumbuh kembang anak. Sedangkan pada tetanus neonatorum, dapat terjadi

gangguan tumbuh kembang akibat hipoksia yang berat. 8,11,14 Selanjutnya pasien diberikan imunisasi tetanus.

Page 9: Tetanus Gilo

2. Antibiotika 10,14

a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di

beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis

30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah

kuman C. tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari

selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk

anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin

G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada

semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap

tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA). Tabel 8 menggambarkan

perbandingan antara penisilin dan metronidazol.

b. Jika terjadi penyulit sepsis atau bronkopneumonia, diberikan antibiotik yang sesuai.

Pemberian antibiotika bertujuan untuk memusnahkan klostridium di tempat luka yang dapat memproduksi

toksin. Tabel 9 memaparkan beberapa pilihan antibiotika yang dapat digunakan pada penatalaksanaan tetanus.

4.0 Asuhan Keperawatan Asuhan keperawatan pada pasien tetanus dibagi dalam dua kelompok yaitu:

1. Asuhan Keperawatan Umum, antara lain dengan intervensi sebagai berikut :

Bersihkan jalan napas yang tidak efektif diantaranya dapat menyebabkan pneumonia aspirasi yang terjadi

akibat terkumpulnya air liur (lendir) didalam mulut karena anak sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering

dihisap, dapat menyebabkan aspirasi. Untuk menghindari pneumonia aspirasi, kepala anak harus dimiringkan jika

anak dalam keadaan telentang (untuk drainase). Anak dengan kesulitan bernapas seharusnya dirawat di ruang intensif

anak (ICU). Status pernapasan dievaluasi dengan hati-hati terhadap adanya tanda-tanda gawat napas dan peralatan

emergensi harus selalu dalam keadaan siap sedia dan mudah dijangkau.23,24,21

Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka makanan dapat diberikan per oral dalam bentuk

makanan cair dan diberikan memakai sedotan. Bila trismus makin berkurang, makanan diberikan lunak dengan lauk

cincang. Secara bertahap, bisa diberikan makanan lunak biasa. Susu diberikan paling tidak dua kali sehari.23

2. Asuhan Keperawatan Luka Perawatan luka merupakan aspek penting dalam pencegahan tetanus selain

pemberian imunisasi. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya luka pada penderita luka sangat tergantung

pada penilaian terhadap luka. Apakah lukanya bersih atau kotor, luka bernanah, luka dengan slough/slaf, luka eskar,

luka nekrotik atau luka berukuran kecil atau besar, luka permukaan atau dalam, dan sebagainya. Perawatan luka pada

tetanus yang biasanya dilakukan selama ini adalah dengan :

- Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik.

- Irigasi luka.

- Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang operasi. Tindakan

debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat

menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri. Saat ini, selain

dengan melakukan tindakan debridement luka secara pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka

tetanus dapat digunakan bahan terapi topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti

Page 10: Tetanus Gilo

hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement adalah suatu cara peluruhan

jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan

lembab. Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrotik. Pada keadaan

melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini,

diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya spasme/kejang pada anak. Perawatan luka pada

tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah sebagai berikut:

Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan cairan fisiologis (normal

saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat luka tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme,

teknik pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut. Bila menggunakan metode semprot,

gunakan jarum no. 18 dan jangan terlalu kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah resiko

perdarahan pada jaringan yang rapuh.

Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah dicapai sehingga hidrogel dapat

diolesi langsung kedalam luka.

Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak terlalu rapat (karena hidrogel

memerlukan balutan sekunder).

- Membuang benda asing dalam luka.

- Kompres dengan H2O2.

- Luka dibiarkan terbuka.

4.1 Prognosis

Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan

hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam

prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien.

Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk

prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis

tetanus juga memengaruhi prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat,

karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin

profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.10,14

4.2 Pencegahan

Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu

dilakukan:

1. Imunisasi aktif 10,11,14,23 Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat

efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi

toksoid tetanus digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang

tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan

antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis

aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada

anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis

kelamin.

Page 11: Tetanus Gilo

Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada

wanita usia subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus selalu

ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus

diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan segera pada saat WUS

kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4

minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau setiap saat pada

kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS

tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT

yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya telah

memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama,

ini akan memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.24

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan bahwa kadar antitoksin bersifat

protektif setelah diberikan toksoid tetanus yang lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang

ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap dalam waktu 10 tahun setelah dosis

terakhir. Pada beberapa orang, imunitas dapat terjadi seumur hidup atau pada sebagian besar orang memiliki kadar

antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi ulangan (booster) yang rutin dilakukan

setiap 10 tahun.11 Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting. Pada penelitian di

Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus hanya terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang

tua menolak memberikan vaksinasi.25 Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata memberikan proteksi yang baik

terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal. Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi

proteksi terhadap bayinya. 2. Perawatan luka

Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar

dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan

benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran

persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.10,11,26 Pada perawatan tali pusat,

penting diperhatikan hal-hal berikut ini :27 - Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun

ke dalam punting tali pusat - Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan

karena menyebabkan tali pusat lembab 3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis

Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus segera dilanjutkan

dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis

untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal. 10

Page 12: Tetanus Gilo

Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di

beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis

30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari.

Page 13: Tetanus Gilo

Penyakit tetanus masih sering ditemui di seluruh dunia dan merupakan penyakit endemik di 90 negara

berkembang. Bentuk yang paling sering pada anak adalah tetanus neonatorumyang menyebabkan kematian

sekitar 500.000 bayi tiap tahun karena para ibu tidak diimunisasi. Sedangkan tetanus pada anak yang lebih besar

berhubungan dengan luka, sering karena luka tusuk akibat objek yang kotor walaupun ada juga kasus tanpa

riwayat trauma tetapi sangat jarang, terutama pada tetanus dengan masa inkubasi yang lama. SporaClostridium

tetani dapat ditemukan dalam tanah dan pada lingkungan yang hangat, terutama di daerah rural dan penyakit ini

menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di negara berkembang.

Angka kejadian dan kematian karena tetanus di Indonesia masih tinggi. Indonesia merupakan negara ke-

5 diantara 10 negara berkembang yang angka kematian tetanus neonatorumnya tinggi. Pada tahun 1988 jumlah

kematian neonatus 54633 dan pada tahun 1992 berjumlah 33264 sedangkan angka kematian tetanus neonatorum

pada tahun 1988 sebesar 10,9 ‰ dan tahun 1992 sebesar 7,3 ‰. Angka tersebut cukup tinggi bila dibandingkan

dengan negara tetangga yakni Vietnam dengan jumlah kematian karena tetanus neonatorum tahun 1988 sebanyak

9598 dan tahun 1992 berjumlah 85550 dan angka kematian tahun 1988 dan 1992 adalah 4.8 ‰ dan 4,2 ‰ secara

berurutan.

Prognosis tetanus ditentukan salah satunya adalah dengan penatalaksanaan yang tepat dan dilakukan

secara intensif. Penyakit tetanus pada neonatus mempunyai case fatality rate yang tinggi (70-90%) sehingga bila

tetanus dapat didiagnosis secara dini dan ditangani dengan baik maka dapat lebih menurunkan angka kematian.

Penatalaksanaan yang baik ditentukan antara lain oleh pemahaman yang tepat mengenai patofisiologi,

manifestasi klinik, diagnosis, komplikasi, penatalaksanaan dan prognosis dari penyakit tetanus.

BAB II

TETANUS

Definisi

Page 14: Tetanus Gilo

Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu

neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan

rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta

diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu

berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf

perifer atau otot.

Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya

kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk

gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. SporaClostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan

kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran

hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini

menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya

dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung

saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang.

Gambar Mikroskopik Clostridium tetani.

PATOFISIOLOGI

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit

akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan

tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.

Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama

berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf

pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain

Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam

20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.

Penyebaran toksin

Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut :

1. Masuk ke dalam otot

Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya

dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.

2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya

melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.

3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.

Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui

sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak

menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah,

sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal

yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah

Page 15: Tetanus Gilo

karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-

otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport

toksin ke dalam susunan saraf pusat.

4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)

Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai

SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis

atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.

Hubungan antar bentuk manifestasi klinis dengan penyebaran toksin:

Tetanus lokal

Pada bentuk ini, penderita biasanya mempunyai antibosi terhadap toksin tetanus yang masuk ke dalam

darah, namun tidak cukup untuk menetralisir toksin yang berada di sekitar luka.

Tetanus sefal

Merupakan bentuk tetanus lokal yang mengikuti trauma pada kepala. Otot-otot yang terkena adalah otot-

otot yang dipersarafi oleh nukleus motorik dari batang otak dan medula spinalis servikalis.

Ascending Tetanus

Suatu bentuk penyakit tetanus yng pada awalnya berbentuk lokal biasanya mengenai tungkai dan

kemudian menyebar mengenai seluruh tubuh. Setelah terjadi tetanus lokal, toksin disekitar luka masuk cukup

banyak dengan cara asenderen masuk ke dalam SSP.

Tetanus umum

Pada keadaan ini toksin melalui peredaran darah masuk ke dalam berbagai otot dan kemudian masuk ke

dalam SSP. Penyakit ini biasanya didahului trismus kemudian mengenai otot muka, leher, badan dan terakhir

ekstremitas. Hal ini disebabkan panjang sistem persarafan setiap tempat berbeda-beda, yang paling pendek

adalah yang mengurus otot-otot rahang, kemudian secara berurutan mengenai daerah lain sesuai urutan panjang

saraf.

Mekanisme kerja toksin tetanus:

1. Jenis toksin

Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai efek hemolisin

dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik. Sampai saat ini peran tetanolisin pada

tetanus manusia belum diketahui pasti. Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai

patogenesis penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.

2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf. Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung

membran presinaptik, baik pada neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting

untuk transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas belum diketahui

secara jelas.

Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu toksin A yang kurang

mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf namun tetap mempunyai efek antigenitas dan

biotoksisitas, dan toksin B yang kuat berikatan dengan sel saraf.

Tetanus toxin

Normal:

Page 16: Tetanus Gilo

Inhibitory interneuron Glycine

blocks excitation & acetylcholine release muscle relaxation

Tetanus toxin:

Blocks glycine release

no inhibition at acetylcholine release irreversible contraction Spastic paralysis

3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter

Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu dengan jalan

mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan

noradrenalin. GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi

mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin

maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps

dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.

Perubahan akibat toksin tetanus:

1. Susunan saraf pusat

Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang terus-menerus yang

disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan

frekuensi tinggi dari SSP ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi

yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan cahaya dapat menjadi

pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti

retikulospinalis. Kadang kala ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf

inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.

Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukanneurotic pain yang berat

pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap

sel saraf ganglion posterior, sel-sel pada kornu posterior dan interneuron.

Fungsi Luhur

Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya brhubungan dengan

seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau

antikonvulsan yang diberikan.

2. Aktifitas neuromuskular perifer

Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek neuroparalitik,

namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat. Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin

terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek

neuroparalitik terlihat pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif

terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.

Efek lain toksin tetanus terhadap aktivitas neuromuskular perifer berupa:

1. Neuropati perifer

2. Kontraktur miostatik yang dapat berupa kekakuan otot, pergerakan otot yang terbatas dan nyeri, yang

dapat terjadi beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah sembuh.

3. Denervasi parsial dari otot tertentu.

Page 17: Tetanus Gilo

3. Perubahan pada sistem saraf autonom

Pada tetanus terjadi fluktuasi dari aktifitas sistem simpatis dan parasimpatis, hal ini mungkin terjadi

karena adanya ketidakseimbangan dari kedua sistem tersebut. Mekanisme terjadinya disfungsi sistem autonom

karena efek toksin yang berasal dari otot (retrograd) maupun hasil penyebaran intraspinalis (dari kornu anterior

ke kornu lateralis medula spinalis torakal). Gangguan sistem autonom bisa terjadi secara umum mengenai

berbagai organ seperti kardiovaskular, saluran cerna, kandung kemih, fungsi kendali suhu dan kendali otot

bronkus, namun dapat pula hanya mengenai salah satu organ tertentu.

4. Gangguan Sistem pernafasan

Gangguan sistem pernafasan dapat terjadi akibat :

a. Kekakuan dan hipertonus dari otot-otot interkostal, badan dan abdomen; otot diafragma terkena paling

akhir. Kekakuan dinding thorax apalagi bila kejang yang terjadi sangat sering mengakibatkan keterbatasan

pergerakan rongga dada sehingga menganggu ventilasi. Tetanus berat sering mengakibatkan gagal nafas yang

ditandai dengan hipoksia dan hiperkapnia. Namun dapat terjadi takipnea akibat aktifitas berlebihan dari saraf di

pusat persarafan yang tidak terkena efek toksin.

b. Ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekret trakea dan bronkus karena adanya spasme dan kekakuan

otot faring dan ketidakmampuan untuk dapat batuk dan menelan dengan baik. Sehingga terdapat resiko tinggi

untuk terjadinya aspirasi yang dapat menimbulkan pneumonia, bronkopneumonia dan atelektasis.

c. Kelainan paru akibat iatrogenik.

d. Gangguan mikrosirkulasi pulmonal

Kelainan pada paru bahkan dapat ditentukan pada masa inkubasi. Kelainan yang terjadi bisa berupa

kongesti pembuluh darah pulmonal, oedema hemorrhagic pulmonal dan ARDS. ARDS dapat terjadi pula karena

proses iatrogenik atau infeksi sistemik seperti sepsis yang mengikuti penyakit tetanus.

e. Gangguan pusat pernafasan

Observaasi klinis dan percobaan binatang menunjukkan bahwa pusat pernafasan dapat terkena oleh

toksin tetanus. Paralisis pernafasan tanpa kekakuan otot dan henti jantung dapat terjadi pada pemberian toksin

dosis tinggi pada hewan percobaan. Selain itu ditemukan bahwa penderita mengalami penurunan resistensi

terhadap asfiksia.

Observasi klinis yang menunjukkan kecurigaan keterlibatan pusat pernafasan pada penderita tetanus

adalah :

Adanya episode distres pernafasan akibat kesulitan bernafas yang berat tanpa ditemukan adanya

komplikasi pulmonal, bronkospasme dan peningkatan sekret pada jalan nafas. Episode ini bervariasi dalam

beberapa menit sampai ½-1 jam.

Adanya apnoeic spells, tanda ini biasanya berlanjut menjadi prolonged respiratory arrest (henti nafas

berkepanjangan) dan akhirnya meninggal.

Henti nafas akut dan mati mendadak.

Page 18: Tetanus Gilo

Sekalipun demikian gangguan pusat pernafasan disebabkan oleh penyebab sekunder seperti hipoksia

rekuren/berkepanjangan, asfiksia kaena kejang lama atau spasme laring, hipokapnia setelah serangan distres

pernafasan, dan akibat gangguan keseimbangan asam basa.

5. Gangguan hemodinamika

Ketidakstabilan sistem kardiovaskular ditemukan penderita tetanus dengan gangguan sistem saraf

autonom yang berat. Penelitian mengenai hemodinamika pada tetanus berat masih sangat jarang dilakukan

karena :

Kendala etik

Perjalanan penyakit tetanus sering diperberat oleh komplikasi seperti sepsis, infeksi paru, atelektasis,

edema paru dan gangguan keseimbangan asam-basa, yang kesemua ini mempengaruhi sistem kardio-respirasi

Pemakaian obat sedatif dosis tinggi dan pemakaian obat inotropik mempersulit penilaian dari hasil

penelitian.

6. Gangguan metabolik

Metabolik rate pada tetanus secara bermakna meningkat dikarenakan adanya kejang, peningkatan tonus

otot, aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatik dan perubahan hormonal. Konsumsi oksigen meningkat, hal

ini pada kasus tertentu dapat dikurangi dengan pemberian muscle relaxans. Berbagai percobaan memperlihatkan

adanya peningkatan ekskresi urea nitogen, katekolamin plasma dan urin, serta penurunan serum protein terutama

fraksi albumin.

Peninggian katekolamin meningkatkan metabolik rate, bila asupan oksigen tidak dapat memenuhi

kebutuhan tersebut, misalnya karena disertai masalah dalam sistem pernafasan maka akan terjadi hipoksia

dengan segala akibatnya. Katabolisme protein yang berat, ketidakcukupan protein dan hipoksia akan

menimbulkan metabolisme anaerob dan mengurangi pembentukan ATP, keadaan ini akan mengurangi

kemampuan sistem imunitas dalam mengenali toksin sebagai antigen sehingga mengakibatkan tidak cukupnya

antibodi yang dibentuk. Fenomena ini mungkin dapat menerangkan mengapa pada penderita tetanus yang sudah

sembuh tidak/kurang ditemukan kekebalan terhadap toksin.

7. Gangguan Hormonal

Gangguan terhadap hipotalamus atau jaras batang otak-hipotalamus dicurigai terjadi pada penderita

tetanus berat atas dasar ditemukannya episode hipertermia akut dan adanya demam tanpa ditemukan adanya

infeksi sekunder. Peningkatan alertness dan awarenessmenimbulkan dugaan adanya aktifitas retikular dari

batang otak yang berlebihan. Aksis hipotalamus-hipofise mengandung serabut saraf khusus yang merangsang

sekresi hormon. Aktifitas sekresi oleh serabut saraf tersebut dimodulasi monoamin neuron lokal. Adanya

penurunan kadar prolaktin, TSH, LH dan FSH yang diduga karena adanya hambatan terhadap mekanisme umpan

balik hipofise-kelenjar endokrin.

8. Gangguan pada sistem lain

Berbagai percobaan pada hewan percobaan ditemukan bahwa toksin secara langsung dapat mengganggu

hati, traktus gastro-intestinalis dan ginjal. Pengaruh tersebut dapat berupa nefrotoksik terhadap nefron, inhibisi

mitosis hepatosit dan kongesti-pendarahan-ulserasi mukosa gaster. Namun secara klinis hal tersebut sulit

ditentukan apakah kelainan klinis seperti gangguan fungsi ginjal, fungsi hati dan abnormalitas traktus

Page 19: Tetanus Gilo

gastrointestinal disebakan semata-mata karena efek toksin atau oleh karena efek sekunder dari hipovolemia,

shock, gangguan elektrolit dan metabolik yang terganggu.

Secara teoritis ileus, distonia kolon, gangguan evakuasi usus besar dan retensi urin dapat terjadi karena

gangguan keseimbangan simpatis-parasimpatis karena efek toksin baik di tingkat batang otak, hipotalamus

maupun ditingkat saraf perifer simpatis, parasimpatis. Disfungsi organ dapat pula terjadi sebagai akibat

gangguan mikrosirkulasi dan perubahan permeabilitas kapiler pada organ tertentu.

BAB III

MANIFESTASI KLINIS DAN DIAGNOSIS

1. Manifestasi Klinis

Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa

timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.

Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:

a. Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%.

Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal

luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.

b. Tetanus sefal

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka

pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi

nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya

jelek.

c. Tetanus umum

Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable,

kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi

tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan

seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

d. Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik

pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering

timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi

tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis

lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan

tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawahhiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi

Page 20: Tetanus Gilo

jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan

jantung paru.

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :

a. Derajat I (ringan)

Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak

ada gangguan respirasi.

b. Derajat II (sedang)

Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan

c. Derajat III (berat)

Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan

peningkatan aktivitas sistem otonomi

d. Derajat IV (sangat berat)

Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat

dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan

dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.

Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi

derajat III dan IV.

Page 21: Tetanus Gilo

2. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat imunisasi:

- Adanya riwayat luka yang terkontaminasi, namun 20% dapat tanpa riwayat luka.

- Riwayat tidak diimunisasi atau imunisasi tidak lengkap

- Trismus, disfagia, rhisus sardonikus, kekakuan pada leher, punggung, dan otot perut (opisthotonus),

rasa sakit serta kecemasan.

- Pada tetanus neonatorum keluhan awal berupa tidak bisa menetek

- Kejang umum episodik dicetusklan dengan rangsang minimal maupun spontan dimana kesadaran tetap

baik.

Temuan laboratorium :

- Lekositosis ringan

- Trombosit sedikit meningkat

- Glukosa dan kalsium darah normal

- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat

- Enzim otot serum mungkin meningkat

- EKG dan EEG biasanya normal

Page 22: Tetanus Gilo

- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat membantu, tetapi

Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak

ditemukan.

- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml)

BAB IV

DIAGNOSIS BANDING DAN KOMPLIKASI

1. Diagnosis banding

Penyakit-penyakit yang menyerupai gejala tetanus adalah

- Meningitis bakterialis - Rabies

- Poliomielitis - Epilepsi

- Ensefalitis - Tetani

- Keracunan striknin - Sindrom Shiffman

- Efek samping fenotiazin - Peritonsiler abses

2. Komplikasi

Komplikasi tetanus yang sering terjadi adalah pneumonia, bronkopneumonia dan sepsis. Komplikasi

terjadi karena adanya gangguan pada sistem respirasi antara lain spasme laring atau faring yang berbahaya

karena dapat menyebabkan hipoksia dan kerusakan otak. Spasme saluran nafas atas dapat menyebabkan aspirasi

pneumonia atau atelektasis. Komplikasi pada sistem kardiovaskuler berupa takikardi, bradikardia, aritmia, gagal

jantung, hipertensi, hipotensi, dan syok. Kejang dapat menyebabkan fraktur vertebra atau kifosis. Komplikasi

lain yang dapat terjadi berupa tromboemboli, pendarahan saluran cerna, infeksi saluran kemih, gagal ginjal akut,

dehidrasi dan asidosis metabolik.

BAB V

PENATALAKSANAAN

1. Dasar

a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.

1. Antibiotik

Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus bentuk vegetatif. Clostridium peka

terhadap penisilin grup beta laktam termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain. Kuman

tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol, aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.

Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin prokain 1,2 juta 1 kali sehari.

Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis 100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.

Pemakaian ampisilin 150 mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis tetanus

belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti Penisilin G.

Rauscher (1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara loading dose 15 mg/kgBB dalam 1

jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1 jam perinfus setiap 6 jam. Hal ini pemberian metronidazole secara

bermakna menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang pendek dan respon yang

baik terhadap pengobatan tetanus sedang.

Page 23: Tetanus Gilo

Pada penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin dengan dosis 25-50

mg/kg/hari, dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan diberikan secara peroral.

Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200 mg/kgBB/hari selama 10 hari atau

metisilin dengan dosis yang sama ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.

2. Perawatan luka

Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing dan luka dibiarkan terbuka.

Sebaiknya dilakukan setelah penderita mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat

dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat dilakukan omphalektomi.

b. Netralisasi toksin

Page 24: Tetanus Gilo

1. Anti tetanus serum

Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000 unit, setengah dosis diberikan secara IM

dan setengahnya lagi diberikan secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada

tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.

Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak diberikan secara intrathekal karena

dapat menyebabkan meningitis yang berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga

untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal dapat diberikan kortikosteroid IV,

adapun dosis ATS yang disarankan 250-500 IU.

2. Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)

Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada tetanus dengan dosis 3000-6000 unit

secara IM, HTIG harus diberikan sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada neonatus

sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24

jam pertama setelah timbul gejala.

Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991) menyatakan pemberian

immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat

menyebabkan kejang bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM mempunyai

efektivitas yang sama.

Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan dosis yang dapat diberikan adalah

30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr (1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU

IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.

c. Menekan efek toksin pada SSP

1. Benzodiazepin

Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan. Obat ini mempunyai aktivitas

sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi,

tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada tingkat spinal menginhibisi refleks

polisinaps. Efek samping dapat berupa depresi pernafasan, terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar.

Dosis diazepam yang diberikan pada neonatus adalah 0,3-0,5 mg/kgBB/kali pemberian. Udwadia (1994),

pemberian diazepam pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan 0,1-0,3

mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus

lain sebaiknya diberikan drip IV lambat selama 24 jam.

2. Barbiturat

Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg untuk neonatus dan 100 mg untuk

anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital

intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1 mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit

sampai otot perut relaksasi dan spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam dengan

dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.

3. Fenotiazin

Page 25: Tetanus Gilo

Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25 mg IM 4 kali sehari (anak),

12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus. Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat

menyebabkan syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.

2. Umum

Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang pada unit perawatan intensif

dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus

neonatorum, letakkan penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV glukosa 10%

dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50 ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120

kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya.

Pemberian oksigen melalui kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.

Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh spasme atau sekret yang tidak

dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum,

sebaiknya dilakukan intubasi endotrakhea.

Bantuan ventilator diberikan pada :

1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV

2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan terapi konservatif dan

PaO2 <>

3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.

3. Berdasarkan tingkat penyakit tetanus

a. Tetanus ringan

Penderita diberikan penaganan dasar dan umum, meliputi pemberian antibiotik, HTIG/anti toksin,

diazepam, membersihkan luka dan perawatan suportif seperti diatas.

b. Tetanus sedang

Penanganan umum seperti diatas. Bila diperlukan dilakukan intubasi atau trakeostomi dan pemasangan

selang nasogastrik delam anestesia umum. Pemberian cairan parenteral, bila perlu diberikan nutrisi secara

parenteral.

c. Tetanus berat

Penanganan umum tetanus seperti diatas. Perawatan pada ruang perawatan intensif, trakeostomi atau

intubasi dan pemakaian ventilator sangat dibutuhkan serta pemberikan cairan yang adekuat. Bila spasme sangat

hebat dapat diberikan pankuronium bromid 0,02 mg/kgBB IV diikuti 0,05 mg/kg/dosis diberikan setiap 2-3 jam.

Bila terjadi aktivitas simpatis yang berlebihan dapat diberikan beta bloker seperti propanolo atau alfa dan beta

bloker labetolol.

BAB VI

PROGNOSIS

Page 26: Tetanus Gilo

Tetanus neonatorum mempunyai angka kematian 66%, pada usia 10-19 tahun, angka kematiannya antara

10-20% sedangkan penderita dengan usia > 50 tahun angka kematiannya mencapai 70%. Penderita dengan

undernutrisi mempunyai prognosis 2 kali lebih jelek dari yang mempunyai gizi baik. Tetanus lokal mempunyai

prognosis yang lebih baik dari tetanus umum.

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI DAN ETIOLOGI1,5

Tetanus berasal dari bahasa Yunani yaitu Tetanos dari Teinein yang berarti kontraksi/regangan. Tetanus

pertama kali di gambarkan/ungkapkan di Mesir lebih dari 3000 tahun yang lalu .

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri

batang gram positif anaerob (Clostridium tetani) yaitu tetanospasmin yang dapat ditandai dengan spasme

otot yang periodik dan berat. Tetanus biasanya terjadi akibat kontaminasi luka tetapi dapat juga terjadi

menyertai otitis media yang kronis, luka bakar, infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, pembedahan elektif,

kehamilan atau aborsi, atau tempat injeksi yang terinfeksi pada pengguna obat intravena yang ilegal.

II. EPIDEMIOLOGI4,11

Tetanus terjadi secara sporadis dan bisa mengenai orang yang tidak imun, memliki imunitas parsial maupun

imunitas penuh dengan dosis vaksin ulangan yang adekuat. Dari data WHO pada tahun 2002, jumlah kematian akibat

tetanus pada semua kelompok umur adalah 213.000 dimana yang terbanyak adalah tetanus neonatal yang berjumlah

180.000 (85%)

Dinas Kesehatan Jawa Barat pada tahun 2004 mencatat kejadian tetanus sebanyak 68 kasus dengan

angka kematian mencapai 45%.

III. PATOFISIOLOGI1,5,6,7

Clostridium tetani adalah kuman gram positif yang bersifat anaerob berbentuk batang. Kuman tersebar luas

di lingkungan kotoran hewan seperti kuda, ayam,tikus, anjing, babi, kucing dan manusia. Spora Clostridium tetani

dapat masuk kedalam tubuh melalui infeksi luka, tusukan dari benda yang kotor, infeksi post partum dan post abortus,

suntikan intramuskuler yang tidak steril, fraktur terbuka, karies, radang telinga, ulkus dekubitus, tindik, tato. Namun

demikian terdapat 20% kasus tanpa adanya riwayat luka.

Kuman pada suasana anaerob akan berubah menjadi endospora dan menghasilkan toksin bila bakteri tersebut

lisis. Toksin yang dihasilkan adalah tetanospasmin dan tetanolisin, yang memiliki afinitas tinggi pada jaringan saraf.

Tetanospasmin yang dihasilkan dalam luka disebarkan keseluruh tubuh melalui aliran darah. Diperkirakan dosis letal

untuk manusia adalah 2,5 nanogram per kg BB atau 175 nanogram untuk berat 70 kg. Semua toksin akan diserap oleh

ujung neuron saraf perifer motorik, sensorik dan otonom. Toksin kemudian berjalan sepanjang saraf melalui

intraaxonal berjalan retrograde menuju sistem saraf pusat sepanjang jalur aksonal. Selanjutnya toksin akan naik

sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu anterior segmen spinalis yang menginervasi otot

Page 27: Tetanus Gilo

yang terinfeksi. Toksin mempengaruhi pelepasan substansi transmitter inhibisi Gama Amino Butiric Acid( GABA) dari

interneuron spinal inhibisi. Pada sistem motorik, inhibisi pada motor neuron alpha dan gamma akan menyebabkan

peningkatan tonus otot, hilangnya koordinasi, dan kontraksi spontan simultan dari otot agonis dan antagonis. Hal ini

dapat menyebabkan disfagi, aspirasi pneumoni, laryngospasme, asfiksia, dan atau fraktur vertebra thorakal.

Pada sistem saraf otonom, hal ini akan mempengaruhi sistem simpatik dan atau parasimpatik.Aktivitas

berlebihan sistem simpatik akan menghasilkan hipertensi, takikardia, aritmia, keringat berlebihan, panas, peningkatan

produksi karbondioksida, kerusakan otot jantung dan ileus. Aktivitas parasimpatik berlebihan akan menyebabkan

salivasi, peningkatan sekresi bronkus, bradikardia atau henti jantung.

IV. GEJALA DAN TANDA2,3,9

Gejala klinis tetanus biasanya diawali dengan kekakuan atau kontraksi otot yang terjadi 1-2 minggu setelah

terinfeksi. Kekakuan otot akan bertambah secara progresif dalam beberapa hari sehingga muncul spasme otot dan

mencapai maksimal pada minggu kedua. Secara umum terdapat beberapa gejala klinis yang khas pada tetanus, yaitu

sebagai berikut :

1. Kekakuan otot dan rigiditas

Kekakuan awalnya terjadi pada otot maseter, menyebabkan kesulitan membuka mulut (trismus atau

locked jaw). Kekakuan biasanya terjadi pada otot wajah, leher, faring dan juga seluruh otot ekstremitas dan

batang tubuh. Sehingga memberikan gambaran risus sardonikus, retraksi leher, disfagia, keterbatasan dalam

gerakan napas, perut papan dan opistotonus. Arus disinhibisi tidak terkontrol dari saraf motorik eferen di

medula dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang menyerupai kejang. Tonus otot

meningkat diselingi dengan spasme otot secara episodik.

2. Spasme otot

Spasme ditandai dengan kontraksi otot-otot yang bersifat tonik pada otot yang telah mengalami

kekakuan. Terjadi kontraksi yang simultan dan berlebihan pada otot-otot agonis dan antagonisnya sehingga

terjadi gerakan seperti bangkitan tonik. Spasme dapat ditimbulkan dengan rangsang raba juga oleh rangsang

auditori, visual atau emosional. Frekuensi dan beratnya spasme sangat bervariasi, biasanya spasme terjadi

dalam beberapa detik, secara tiba-tiba dan menimbulkan rasa nyeri yang hebat.

3. Gangguan saraf otonom

Gangguan otonom lebih menggambarkan beratnya tetanus yang terjadi dan bukan merupakan

komplikasi. Gangguan otonom melibatkan baik komponen simpatis maupun parasimpatis. Pasien dapat

mengalami takikardi, hiperhidrosis, peningkatan tekanan darah, artimia, hipersalivasi serta peningkatan

refleks vagal yang berakibat buruk pada sistem kardiovaskuler. Gejala dan gambaran EKG dapat menyerupai

infark miokarditis dengan ST elevasi. Penyembuhan biasanya terjadi akibat pertumbuhan kembali akson

terminal dan proses kerusakan toksin.

Page 28: Tetanus Gilo

Tetanus dapat muncul dalam beberapa tipe, yaitu sebagai berikut :

1. Tetanus Umum

Sedikitnya 80% kasus tetanus adalah tetanus umum. Pada orang dewasa, ditandai dengan trismus karena

spasme otot masseter, kaku kuduk, susah mengunyah, kaku otot perut, spasme otot wajah (risus sardonikus), spasme

otot somatik menyeluruh (pistotonus), spasme yang timbul ireguler dan intermiten serta tak teramalkan dan

berlangsung beberapa detik sampai menit. Spasme bisa timbul spontan atau karena rangsangan internal dan/atau

eksternal ( air dingin, suara berisik, cahaya, gerakan pasien). Gangguan saraf otonom seperti perubahan tekanan

darah, takikardi, aritmia, berkeringat, hipertermi, cardiac arrest.

2. Tetanus Lokal.

Penderita tetanus lokal ditandai dengan spasme dan peningkatan tonus otot yang dekat tempat luka tanpa ada

gejala sistemik. Kontraksi ini akan berlangsung selama beberapa minggu sebelum berangsur-angsur sembuh. Bisa

juga tetanus lokal mengawali terjadinya tetanus umum, tetapi biasanya lebih ringan dan tidak teralalu fatal,

mortalitasnya sekitar 1%.

3. Tetanus Sefalik

Tetanus ini tipe yang jarang, biasanya timbul dengan otitis media atau adanya luka di kepala. Gangguan satu

atau beberapa saraf kranial bisa terjadi, tetapi umumnya terkena saraf kranial ke VII. Tetanus kepala mungkin bisa

berkembang menjadi tetanus umum atau tetap menjadi lokal.

V. DERAJAT TETANUS1

Beberapa klinikus membuat skoring untuk menegakan prognosa dan perawatan. Antara lain Phillips score,

kriteria Pattel Joag dan Ablett’s.

Philips Score

A. Masa inkubasi

a. < 48 jam : 5

b. 2-5 hari : 4

c. 6-10 hari : 3

d. 11-14 hari : 2

e. >14 hari : 1

B. Lokasi infeksi

a. Internal/umbilikal : 5

b. Kepala,leher,dinding tubuh : 4

c. Ekstremitas proksimal : 3

d. Ekstremitas distal : 2

e. Tidak diketahui : 1

C. Imunisasi

a. Tidak : 10

b. Mungkin ada /ibu dapat : 8

c. > 10 tahun yang lalu : 4

Page 29: Tetanus Gilo

d. < 10 tahun yang lalu : 2

e. Proteksi lengkap : 0

D. Faktor yang memberatkan

a. Penyakit atau trauma yang membahayakan jiwa : 10

b. Keadaan langsung yang tidak membahayakan jiwa : 8

c. Keadaan yang tidak membahayakan jiwa : 4

d. Trauma/penyakit ringan : 2

e. ASA derajat 1 : 0

NILAI :

Ringan : 1-8 (sembuh sendiri)

Sedang : 9-16 (dengan pengobatan baku )

Berat : >16 (dirawat di ICU )

Kriteria Pattel Joag

Grading

Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia dan kekakuan otot tulang belakang

Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya

Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang

Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang

Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100oF atau aksila 99oF (37,6oC)

Dari kriteria di atas dibuat tingkatan derajat sebagai berikut :

Derajat 1 : kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%

Derajat 2 : kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1+K2) biasanya inkubasi lebih dari 2

hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%

Derajat 3 : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari 7 hari,

onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%

Derajat 4 : kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%

Derajat 5 : bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus

puerpurium, mortalitas 84%

Page 30: Tetanus Gilo

Klasifikasi Ablett’s

Grade I (ringan): trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada

gangguan pernafasan, tidak ada spasme, tidak ada/ sedikit ada disfagia.

Grade II (moderat) : trismus sedang, rigiditas terlihat jelas, spasme ringan

sampai sedang namun singkat, gangguan respirasi ringan dengan takipnu.

Grade III (berat) : trismus berat, spastisitas menyeluruh, reflek spasme dan

seringkali spasme spontan yang memanjang, gangguan napas dengan sesak dan terengah-

engah (apnoeic spells), disfagia berat, bradikardia, peningkatan aktivitas saraf otonom

sedang.

Grade IV (sangat berat): seperti grade III ditambah gangguan otonom hebat yang

sering menyebabkan apa yang disebut sebagai badai

otonom.

VI. DIAGNOSIS5

Diagnosa tetanus ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan klinik.

- Dari anamnesa didapatkan adanya riwayat luka terbuka, gigi berlubang, otitis media,dll.

- Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya trismus, kaku kuduk, perut papan, opistotonus,

hipertonus otot, peningkatan refleks tendon, kesadaran baik, sedikit demam, tidak ada gangguan sensoris,

spasme lokal atau umum.

- Untuk pemeriksaan klinik dapat dilakukan spatula test yang dapat digunakan untuk mengetes

tetanus . Caranya dengan menyentuh oropharynx dengan sebuah spatula ( spatel tongue ) yang biasanya

menimbulkan suatu reflek muntah ( gag reflex ). Tes ini positif bila penderita terjadi reflek masseter dan

menggigit spatel .Tes ini mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas 100% dan tidak ada efek samping.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tidak ada pemeriksaan penunjang yang benar- benar spesifik untuk menegakkan tetanus. Penyakit ini cukup

ditegakkan dari pemeriksaan klinis. Namun untuk pemeriksaan rutin dapat dilakukan pemeriksaan darah rutin,

elektrolit, ureum, kreatinin, mioglobin urin, AGD, EKG serial, dan kultur untuk infeksi. Pemeriksaan tersebut lebih

berperan sebagai tambahan akibat adanya beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat gejala klinis utama pada

pasien.

VIII. DIAGNOSIS BANDING

Page 31: Tetanus Gilo

Termasuk sejumlah keadaan yang dapat memicu satu atau lebih tanda klinik dari tetanus dan kadang-kadang

dikatakan pseudotetanus.

- Keracunan striknin, gejala awal tetanus dapat mirip dengan keracunan striknin (trismus

timbul belakangan, gejala dan tanda lain timbul lebih cepat ada riwayat bunuh diri )

- Reaksi distonia dari phenothiazine ( trismus, tremor, etetosis torticalis).

- Abses alveolar

- Meningitis purulenta, ensefalitis ( LP , kesadaran menurun)

- Rabies ( tidak ada trismus )

- Hipokalsemia (tidak ada trismus )

IX. PENATALAKSANAAN1,3,8,10

Thwaites (2002) merangkum penatalaksanaan tetanus sebagai berikut ;

1. Eradikasi bakteri kausatif

2. Netralisasi antitioksin yang belum terikat.

3. Terapi suportif selama fase akut

4. Rehabilitasi

5. Imunisasi

Ad.1 Eradikasi bakteri kausatif

Penggunaan penisilin (10-12 juta unit IV yang diberikan setiap hari selama 10 hari) telah

direkomendasikan, tetapi metronidazol (500mg setiap 6 jam atau 1 gram setiap 12 jam selama 7-10 hari)

dipilih oleh beberapa orang ahli berdasar pada aktivitas antimikroba yang sangat baik dan ketiadaan aktivitas

antagonis GABA seperti yang terlihat pada penggunaan penisilin.

Manajemen luka juga merupakan hal yang amat penting dalam penatalaksanaan pasien tetanus

dengan luka. Rekomendasi manajemen luka traumatik adalah sebagai berikut :

a. Semua luka harus dibersihkan dan debridement bila perlu

b. Dapatkan riwayat imunisasi tetanus pasien jika mungkin

c. Tetanus toksoid (TT) harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun. Jika

riwayat imunisasi tidak diketahui, TT tetap diberikan

d. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka Tetanus Imuno Globulin

(TIG) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIG.

Ad.2 Netralisasi antitoksin

Tetanospasmin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan, dan hanya toksin yang tidak terikat

sajalah yang dapat dinetralisasi. Pemberian ATS 100.000 IU terbagi dalam 5 hari. Imunisasi pasif dengan

Human Tetanus Immuno Globulin (HTIG) akan meningkatkan angka keselamatan (survival rate). Cook et al

menyarankan HTIG 3000-6000 IU IM. Dosis tambahan tidak diperlukan karena waktu paruh antitoksin ini

panjang.

Page 32: Tetanus Gilo

Ad.3 Terapi suportif selama fase akut

- Pasien direkomendasikan untuk menghindari rangsangan yang tidak perlu untuk menghindari

nyeri

- Terapi utama untuk kekakuan dan rigiditas otot adalah benzodiazepine (untuk memperbesar

GABA agonis dengan cara menghambat inhibitor eksogen di reseptor GABA). Dosis yang dianjurkan

adalah sebagai berikut : spasme ringan (5-20mg per oral setiap 8jam), spasme sedang (5-10mg IV, tidak

melebihi 80-120 mg dalam 24jam), spasme berat (50-100mg dalam 500 ml dekstrose 5% dan diinfuskan

dengan kecepatan 10-15mg/jam diberikan dalam 24 jam). Pada sebuah studi yang dilakukan oleh

Okoromah dalam Cochrane Collaboration menyebutkan keunggulan diazepam dalam mengurangi angka

kematian dibanding fenobarbital dan klorpromazin, dan kematian juga lebih rendah pada kelompok

dengan diazepam saja dibandingkan diazepam dan fenobarbital atau klorpromazin.

- Baklofen intratekal dilaporkan dapat memiliki efek yang baik. Dosis yang dianjurkan adalah

500-2000ug sehari.

- Magnesium sulfat dapat digunakan sebagai antispasme dengan dosis 70mg/kgBB dalam

larutan dekstrose 5% 100 ml secara IV selama 30 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2

gram/jam (<60tahun) dan 1 gram/jam (>60tahun) dalam larutan dekstrose 5% 500mL, diberikan selama 6

jam.

- Kontrol disfungsi otonom bisa menggunakan β-adrenergic blocking agents seperti propanolol

(5-20 mg tiga kali sehari)

- Komplikasi respirasi juga perlu diperhatikan. Penggunaan ventilator dan perawatan ICU

sangat membantu menurunkan angka kematian. Trakeostomi disarankan pada pasien dengan derajat Patel

Joag 3 ke atas.

`Ad.5 Imunisasi .

Status Imunisasi Vaksinasi Pemberian

Status Imunisasi DPT

primer dan pengulangan TT

dalam 10 tahun terakhir

Tidak perlu vaksinasi HTIG diberikan

250IU dalam 1mL i.m pada

deltoid atau glutea

Jika lebih dari 24 jam

terpapar setelah luka atau ada

resiko kontaminasi berat atau

pasca luka bakar dosis

rekomendasi 500IU

Status imunisasi

primer dan dosis terakhir

diberikan lebih dari 10 tahun

Dosis TT tunggal

diberikan 0.5mL s.c/i.m pada

otot deltoid atau glutea

Dosis tunggal TT +

HTIG (lihat dosis di atas). TT

dan HTIG harus diberikan

Page 33: Tetanus Gilo

dengan spuit yang berbeda

pada lokasi yang berbeda

Tidak diimunisasi

atau status imunisasi tidak

diketahui pasti

Vaksin Tetanus

Toksoid diberikan secara

penuh (5 dosis) 0.5mL

dengan interval > 4 minggu

Vaksin TT + HTIG

diberikan secara penuh (lihat

dosis di atas)

X. PROGNOSIS

Dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat memperburuk keadaan, yaitu:

a. Masa inkubasi yang pendek (kurang dari 7 hari).

b. Neonatus dan usia tua (lebih dari 55 tahun).

c. Frekuensi spasme yang sering.

d. Kenaikan suhu tubuh yang tinggi.

e. Pengobatan terlambat.

f. Adanya penyulit spasme otot pernafasan dan obstruksi jalan nafas.

XI. PENCEGAHAN

1. Imunisasi aktif toksoid tetanus, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin

DPT (difteri, pertusis, tetanus) yang diberikan pada usia 3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun

kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun.

2. Bila mendapatkan luka, maka harus mendapatkan manajemen luka yang adekuat

beserta vaksinasi jika perlu.

DISKUSI

Penderita didiagnosis dengan tetanus yang ditegakkan berdasarkan anamnesa riwayat perjalanan penyakit dan tanda

serta gejala pada pemeriksaan fisik. Adanya riwayat tertusuk besi berkarat pada jempol tangan kiri 15 hari yang lalu

dan dibersihkan hanya dengan air dan betadine disusul dengan perjalanan penyakit yang berkembang menjadi tetanus

umum dengan adanya trismus, perut papan dan opisotonus ringan tanpa adanya disfagi atau kesulitan bernafas.

Diagnosa banding sudah dapat disingkirkan sejak awal dari anamnesa serta dan pemeriksaan fisik. Tidak dilakukan

pemeriksaan kultur bakteri karena pemeriksaan hanya positif pada 1/3 kasus tetanus dan pemeriksaan bisa menjadi

positif pada orang yang tidak mengalami tetanus.

Pengobatan sesuai dengan derajat philip score , nilai 16 dirawat dengan pengobatan baku, di ruang isolasi. Diberikan

ATS 100.000 IU dalam dosis terbagi 5 hari. Diazepam diberikan 10 mg iv dilanjutkan pemberian secara bolus

intravena setiap 3 jam. Antibiotika metronidazole diberikan 4 x 500 mg infus selama 10 hari. Berdasarkan penelitian

terbaru, pengobatan tetanus sebenarnya cukup dengan metronidazol saja. Pemberian penicilin justru akan bekerja

menghambat GABA sehingga menambah dosis pemakaian diazepam dan memperpanjang masa perawatan. Pada

penderita ini ditambahkan antibiotik ceftriaxon untuk profilaksis terhadap infeksi sekunder yang mungkin terjadi

sebagai komplikasi respirasi pada tetanus seperti aspirasi pneumonia dan bronkopneumonia.

Page 34: Tetanus Gilo

Penyembuhan terjadi berangsur-angsur dan pasien sudah bisa mulai berjalan sendiri setelah perawatan 11 hari.