sumber-sumber kaidah fiqhiyyah
DESCRIPTION
Sumber-sumber Kaidah FiqhiyyahTRANSCRIPT
QO’IDAH DAN KEDUDUKANNYA DI DALAM SYARA’
MAKALAH
Diajukan untuk salah satu tugas mata kuliah: Aplikasi Qawa’id Fiqhiyyah Dalam
Istinbath Hukum
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Sutrisno, RS, M.Ag
Oleh:
Mujib Iriyanto (08 3911013)
Subhan (08 3911014)
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER
APRIL 2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum, yang mengelompokkan
masalah-masalah fiqih spesifik menjadi beberapa kelompok, juga merupakan
pedoman yang memudahkan penyimpulan hukum bagi suatu masalah, yaitu dengan
cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa dibawah satu kaidah.
Berhubung hukum fiqih lapangannya luas, meliputi berbagai peraturan dalam
kehidupan yang menyangkut hubungan manusia dengan khaliknya, dan hubungan
manusia dengan sesama manusia. Yang dalam pelaksanaannya juga berkaitan dengan
situasi tertentu, maka mengetahui kaidah-kaidah yang juga berfungsi sebagai
pedoman berfikir dalam menentukan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya,
adalah perlu sekali.
Jika dikaitkan dengan kaidah-kaidah ushulliyah yang merupakan pedoman
dalam mengali hukum islam yang berasal dari sumbernya, Al-Qur’an dan Hadith,
kaidah Fiqhiyah merupakan kelanjutannya, yaitu sebagai petunjuk operasional dalam
peng-istimbath-an hukum islam. Kaidah Fiqhiyah disebut juga sebaagai Kaidah
Syari’iyah
Adapun tujuannya adalah untuk memudahkan Mujtahid dalam meng-
istimbath-kan hukum yang sesuai dengan tujuan syara dan kemaslahatan manusia.
Sementara Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibnu Abbas Salam menyimpulkan bahwa
kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jalan untuk mendapat kemashalatan dan
menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal tersebut.
2
B. Rumusan Masalah
Agar supaya pada pembahasan kali ini tidak melebar dan fokus, maka penulis
merumskan sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Definisi Qaidah Fiqhiyyah?
2. Jelaskan Macam-macam dan Tingkatannya?
3. Bagaimana Sumber-sumber Qaidah Fiqhiyyah?
4. Bagaimana Kehujjahan dan Kegunaan Qaidah Fiqhiyyah?
5. Dan Bagaimana Urgeninya dalam istinbath hukum?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan Definisi Qaidah Fiqhiyyah.
2. Menjelaskan Macam-macam dan Tingkatannya.
3. Mendeskripsikan Sumber-sumber Qaidah Fiqhiyyah.
4. Mendeskripsikan Kehujjahan dan Kegunaan Qaidah Fiqhiyyah.
5. Dan mendeskripsikan Urgeninya dalam istinbath hukum.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata Qawa’id merupakan bentuk jama' dari kata Qaidah, dalam istilah bahasa
Indonesia dikenal dengan kata 'Kaidah' yang berarti aturan atau patokan. Dalam
tinjauan terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Ahmad asy-Syafi‘i dalam
bukunya ushul fiqh al-islami menyatakan bahwa kaidah adalah:
كثيرة جزئيات حكم منها واحدة كل تحت يندرج التى الكلية القضايا
"Hukum yang bersifat universal (kulli) yang diikuti oleh satuan-satuan hukum juz‘i yang banyak".1
Sedangkan bagi mayoritas ulama ushul mendefinisikan kaidah dengan:
جزئياته جميع على ينطبق كلي حكم
"Hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-bagiannya“.
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar fiqih yang
bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang berisi hukum-
hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang termasuk dalam
ruang lingkup kaidah tersebut.2
Para fuqoha pada umumnya memberikan pengertian bahwa yang dimaksud
dengan kaidah fiqhiyyah ialah hukum kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada
semua bagian-bagiannya atau cabang-cabangnya.3 Dari pengertian di atas dapat
diketahui bahwa setiap Qidah Fiqhiyyah telah mengatur dan menghimpun beberapa
banyak masalah fiqh dari berbagai bab dan juga diketahui bahwa para fuqoha’ telah
benar-benar mengembalikan masalah-masalah hukum fiqh kepada kaidah-kaidahnya.4
1 Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami (Iskandariyah Muassasah Tsaqofah Al Jamiiyah, 1983), 4.
2 Abd . Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, 133 Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia : Jakarta4 Ibid,
4
Maka, Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah sesuatu yang sangat
penting dan menjadi kebutuhan bagi kaum Muslim. Akan tetapi tidak sedikit orang
yang kurang memahami tentang hal ini, untuk itu perlu kiranya bagi kaum muslim
untuk mempelajari dan mengkaji ulang ilmu ini. Dengan menguasai kaidah-kaidah
fiqih seorang muslim akan mengetahui benang merah yang menguasai fiqih, karena
kaidah fiqih itu menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih. Selain itu juga akan
menjadi lebih arif dalam menerapkan fiqih pada waktu dan tempat yang berbeda
untuk kasus, adat kebiasaan, keadaan yang berlainan. Dengan mempelajari kaidah
fiqih, diharapkan pada akhirnya juga bisa menjadi lebih moderat dalam menyikapi
masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga kaum muslim bisa
mencari solusi terhadap problem-problem yang terus muncul dan berkembang dalam
masyarakat dengan lebih baik.5
B. Macam-Macam Qa’idah Fiqhiyyah
1. Qa’idah fiqh menurut fungsinya
Dari segi fungsi, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral dan
marginal. Kaidah fiqh yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-Kubra
al-Asasiyyat, umpamanya :
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum” kaidah ini
mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal, diantaranya : ”Sesuatu
yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan sebagai syarat”,
”Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang
cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan furu.
2. Qa’idah fiqh mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fiqh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan yang mempunyai pengecualian. Kaidah
5 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih). PT Raja Grafindo : Jakarta, 319
5
fiqh yang tidak punya pengecualian adalah sabda Nabi Muhammad SAW.
Umpamanya adalah: ”Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan
kepada tergugat”. Kaidah fiqh lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian
kaidah yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.
3. Kaidah fiqh segi kwalitasnya
- Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fiqh pada
dasarnya, dapat dikembalikan kepada satu kaidah, yaitu : ”Menolak kerusakan
(kejelekan) dan mendapatkan maslahat”. Kaidah diatas merupakan kaidah kunci,
karena pembentukan kaidah fiqh adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan
dan dengan sendirinya ia mendapatkan kemaslahatan.
- Kaidah asasi
Adalah kaidah fiqh yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran
hukum islam. Kaidah fiqh tersebut adalah : ”Perbuatan/ perkara itu bergantung pada
niatnya”, ”Kenyakinan tidak hilang dengan keraguan”. ”Kesulitan mendatangkan
kemudahan”
”Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”.6
C. Sumber-sumber dan Kehujjahan Qa’idah Fiqhiyyah
Menurut riwayat Al-ala’i al-Syafi’i, al-Suyuthi, dan ibn al-Nujaim
mengatakan bahwa Abu Thahir al-Dabbas (ulama abad 4H) telah mengumpulkan 17
kaidah penting dalam madzhab Hanafi. Dalam melestarikan kaidah tersebut, Abu
Thahir al-Dabbas menghafalnya secara berulang-ulang pada setiap malam dimasjid
setelah pengunjung masjid lainnya keluar.
Pada suatu malam, Abu Thahir al-Dabbas menutup masjid karena pengunjung
masjid telah pulang. Dan ketika itu Abu Sa’id al-Harawi bersembunyi dibawah
tumpukan tikar masjid untuk mendengar hafalan kaidah fiqh Abu Thahir al-Dabbas.
Ketika Abu Thahir al-Dabbas telah menghafal sebagian kaidah fiqh yang
6 Tri Winarsih, Kaidah-kaidah Fiqhiyyah, (http://annajma92.blogspot.com/2012/04/kedudukan-kaidah-fiqhiyah-sebagai.html), diakses tanggal 05 April 2013
6
dikuasainya. Kemudian Abu Sa’id al-Harawi batuk dan Abu Thahir al-Dabbas
mendengarnya. Akhirnya Abu Sa’id al-Harawi dipukul dan dikeluarkan dari masjid
oleh Abu Thahir al-Dabbas dan setelah kejadian itu Abu Thahir al-Dabbas tidak
pernah mengulangi hafalannya tersebut.
Adapun kaidah-kaidah fiqh Abu Thahir al-Dabbas yang berhasil dihafal Abu
Sa’id al-Harawi adalah lima kaidah pokok, yaitu:7
1) Kaidah yang Berkaitan Dengan Fungsi Tujuan
a) Teks kaidahnya:
,م*ق*اِص,د,َه*ا ِب /م/ْو0ر/ اُاْل0
“Setiap perkara tergantung pada tujuannya.”
b) Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT:
*َف*اَء* ن ح/ الد6يَن* *ه/ ل ل,ِص,يَن* م/ْخ0 9ه* الل /د/وا *ْع0ب ,ي ل ,ُاْل9 ِإ وا م,ر// ُأ و*م*ا
Artinya : “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus (jauh dari syirik dan jauh dari kesesatan)”. (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan dalam Sabda Nabi Muhammad SAW:
مانْوي امرئ لكل وِإنما ِبالنيات األعمال ِإنما
Artinya:“(Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati).”
c) Eksistensi niat
Para fuqaha” berbeda pendapat dalam mendudukkan niat. Imam Abu Hanifah
dan imam ahmad bin hambal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang
imam syafi’I mendudukkan niat sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan
yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan, sedangkan rukun
adalah ketentuan yang harus dilakukan bersama dengan perbuatan.
7 Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 64
7
Jalaludin abdurrahman as syuyuti menyatakan bahwa waktu niat adalah
dipermulaan ibadah. sedangkan tempatnya didalam qolb (Amaliyah Qolbiyah) yang
bersamaan dengan perbuatan (Amaliyah Fi’liyah).
Pada dasarnya ibadah itu ada yang membutuhkan niat adapula yang tidak
membutuhkannya. Ibadah yang membutuhkan niat adalah ibadah yang amaliyah yang
memerlukan penjelasan secara khusus, misalnya niat shalat, apakah shalat wajib atau
sunah. Dan ibadah yang tidak membutuhkan niat, karena bukan ibadah amaliyah yang
diperintahkan secara adat, misalnya iman kepada Allah cukup dilakukan dengan
bacaan syahadatain, sedang setiap hari tidak perlu melakukan niat bila beriman
kepada Allah SWT.8
2) Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan
a) Teks kaidahnya:
0َن/ *ق,ي 0ي *ل ال/ ُاْل ا /ز* ,ا ي ِّك6 ِب لَّش9
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.”
Yang dimaksud yakin adalah
0َن/ *ق,ي 0ي *ل *اَن* َه/ْو* ا Eا م*اك ,ت *اِب ,ا َث 9ْظ0ر, ِب 0ل/ لن ,ي و*الد9ل
“Sesuatu yang tetap , baik dengan penganalisaan maupun dengan dalil”.
Sedangkan yang dimaksud dengan syak adalah
Hِّك *اَن* َه/ْو* ال0َّش9 ًد6ًدEا م*اك *ر* 0َن* م/ت *ي /ْو0ت, ِب Hب او,ى م*ع* و*ع*د*م,ه, الث *َس* َف*ى0 ت 0ْخ*ط*اَء, َط*ر* ,ْو*ال 0ِح, ًد/و0َن* الِص9ْو*اِب ي ج, *ر0 ت
*ح*د,َه,م*ا َخ*ر, ع*ل*ى ا* األ
“Sesuatu yang tidak menentu antara ada dan tiadanya, dan dalam ketidaktentuan itu sama antara batas kebenaran dan kesalahan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.”
b) Dasar-dasar nash kaidah
Sabda Nabi SAW:
د* ,َذ*او*ج* /م0 ِإ *ح*د/ك ,ه, َف,ى ا *ط0ن Eا ِب 0ًئ ي *ل* َش* ك *َش0 0ه, َف*َأ *ي ج* ع*ل *َخ*ر* 0ه/ ا 0ٌئT م,ن ي *ْم0 َش* ج*َن9 ُاْل ا *ْخ0ر/ د, م,َن* َف*الي ِج, 0م*َس0 ال
م*ع* ح*ت9ى *َس0 Eا ي د* ِص*ْو0ت *ِج, *و0ي ا. ا E0ح (مَسلم رواه) ر,ي
8 Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), cet. 3, 105
8
“Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluar dari masjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.”( HR. Muslim)
,َذ*ا ِّك9 ِإ د/ َش* *ح* /م0 ا ,ه, َف,ى ك *م0 ِص*الت *د0ر, َف*ل *م0 ي Eا ُأ ِص*لZى ك *الَث *و0 َث *اعEا ا ِب *ر0 ِّكH ا ح,الَّش9 *ط0ر* 0ي 0َن, َف*ل *ب 0ي م*ا ع*ل*ى و*ل
0ق*َن* *ي ت (الترمذى رواه )ْس0
“Apabila salah seorang diantara kalian ragu dalam mengerjakan shalat, tidak tahu berapa rakaat yang telah dikerjakan tiga ataukah empat rakaat, maka buanglah keragu-raguan itu dan berpeganglah kepada apa yang diyakini (yang paling sedikit.”( HR. Thurmudhi).
Pada kedua dalil itu disebutkan bahwa keyakinan tidak dapat dihilangkan
dengan keraguaan. Misalnya seseorang ragu-ragu berapa raka’at yang ia lakukan
dalam shalatnya, maka yang yakin adalah rakaat yang paling sedikit, karena yang
paling sedikit itu yang yakin sedang yang paling banyak merupakan yang diragu-
ragukan.9
c) Pembagian syak
Abu hamid al-Asfiroyini menyebutkan bahwa syak (keraguan) itu terdapat 3
macam, yaitu:
- Keragu-raguan yang berpangkal dari yang haram.
Macam keraguan ini dicontohkan khusus penyembelihan binatang dinegara
yang penduduknya islam dan majusi, maka sembelihan itu haram dimakan, karena
pada dasarnya hal tersebut haram, sehingga diketahui benar-benar bahwa yang
menyembelih adalah seorang muslim, atau diketahui bahwa umumnya yang
menyembelih binatang disitu adalah orang muslim.
- Keragu-raguan yang berpangkal dari yang mubah.
Contoh keraguan ini adalah kasus seseorang yang menemukan air yang telah
berubah, perubahan itu ada 2 kemungkinan, bisa karena najis dan bisa juga karena
sudah lama, maka air dapat dibuat bersuci sebab pada dasarnya air itu suci.
- Keragu-raguan yang tidak diketahui pangkal asalnya.
9 Ibid, 114-115
9
Contoh keraguan ini adalah kasus bekerja dengan orang yang modalnya
sebagian besar haram. Dan tidak dapat dibedakan antara modal yang haram dan yang
halal. Kondisi semacam ini diperbolehkan jual beli karena dimungkinkan modalnya
halal dan belum jelas keharaman modal tersebut, namun dikhawatirkan karena itu
hukumnya makruh.
3) Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan
a) Teks kaidahnya:
ق9ة/ 0م*َّش* ل,ُب/ ال *ِج0 ر/ ت 0َس, 9ي الت
“Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”.
b) Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah:
/م0…. َه*د*اك م*ا *̂ى ع*ل 9ه* الل وا 6ر/ *ب /ك ,ت و*ل 0ْع,د9ة* ال /ْوا 0م,ل /ك ,ت و*ل ر* 0ْع/َس0 ال /م/ ,ك ِب /ر,يد/ ي و*ُاْل* ر* /َس0 0ي ال /م/ ,ك ِب 9ه/ الل /ر,يد/ ي
وَن* /ر/ ك *َّش0 ت /م0 9ك *ْع*ل و*ل
Artinya: “….Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur. (QS. Al-Baqarah:185)
Dan dalam Sabda nabi SAW:
( البْخارى ( رواه م0ح*ة/ الَس9 0َف*ة/ ,ي ن 0ح* ال الله, ,ل*ى ا 0َن, الد6ي Hح*ُب* ا Tر /َس0 ي 0َن/ الد6ي
“Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar
dan mudah”. (HR Bukhori)
c) Rasionalisasi kemudahan dalam islam
Allah SWT sebagai musyari’ memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan
kekuasaannya-Nya itu dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi
kepadanya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka dia
membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagai syari’ah demi kemashlahatan itu
sendiri. Tentunya syari’ah itu disesyuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi
10
yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ah itu bukan untuk
kepentingan tuhan melainkan untuk kepentingan manusia sendiri.10
d) Klasifikasi kesulitan
Wahbah Az- Zuhaili mengklasifikasikan kesulitan dalam 2 kategori:
- Kesulitan Mu’tadah adalah kesulitan yang alami, dimana manusia mampu
mencari jalan keluarnya sehingga ia belum masuk pada keterpaksaan.
- Kesulitan Ghoiru Mu’tadah adalah kesulitan yang tidak pada kebiasaan ,
dimana manusia tidak mampu memikul kesulitan itu, karena jika ia
melakukannya niscaya akan merusak diri dan memberatkan kehidupannya.
e) Bentuk-bentuk keringanan dalam kesulitan
Syekh Izzudin bin Abdis Salam menyatakan bahwa bentuk-bentuk keringanan
dalam kesulitan itu ada enam macam, yaitu:
- Tahfitul isqoth (meringankan dengan menggugurkan) misal menggugurkan
kewajiban shalat jum’at jika ada udzur.
- Tahfitul tanqish (meringankan dengan mengurangi) misal bolehnya
mengqoshor shalat dari 4 raka’at menjadi 2 raka’at.
- Tahfitul ibdal (meringankan dengan mengganti) misal mengganti wudhu
dengan tayamum.
- Tahfitul taqdim (meringankan dengan mendahulukan waktunya) misalnya
kebolehan melakukan jama’ taqdim ketika shalat.
- Tahfitul ta’khir ( meringankan dengan mengakhirkan waktu) misal bolehnya
melakukan jama’ ta’khir dalam shalat.
- Tahfitul tarkhis (meringankan dengan kemurahan) misal bolehnya
menggunakan benda najis atau khomr untuk keperluan berobat.11
4) Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan
a) Teks kaidahnya:
ار/ ال/ الض9ر* /ز* ي
10 Ibid, 122-12411 Ibid, 130-131
11
“Kemadharatan harus dihilangkan”
Kaidah ini adalah suatu kaidah pokok yang dari kaidah tersebut merujuklah
sebagian besar masalah-masalah fiqh dan diistinbathkannya berbagai hukum.12
b) Dasar-dasar nash kaidah
Firman Allah SWT :
د,يَن* 0م/َف0َس, ال Hح,ُب/ ي ُاْل* 9ه* الل ,َن9 ِإ
Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat
kerusakan.”(QS. Al Qoshosh: 77)
Dan Sabda nabi SAW:
ار* *ِض,ر* و*ُاْل ر* *ِض*ر* ُاْل
“Tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat kerusakan pada
orang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
c) Perbedaan antara masyaqot (kesulitan) dengan darurat
Masyaqqot adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan
(hajat) tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi
manusia. Sedangkan darurat adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi
manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab,
harta serta kehormatan manusia.
Contoh kaidah diatas yaitu bahwa darah para pejuang islam ketika perang
dianggap suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis.
5) Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan
a) Teks kaidahnya:
0ْع*اًد* *ل *م*ةT ة/ ا م/ح0ك
“Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum.”
b) Dasar-dasar Nash Kaidah
Firman Allah SWT:
,يَن* اَه,ل 0ِج* ال ع*َن, ع0ر,ْض0* و*ُأ 0ْع/ر0ِف, ,ال ِب م/ر0
0 و*ُأ 0ْع*َف0ْو* ال َخ/ذ,
12 Teungku Muhammad Hasby As Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997), 364
12
Artinya:“Dan serulah orang-orang yang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah dari orang yang bodoh.” (QS. Al A’raf: 199)
Sabda Nabi SAW:
/َخ0ر*ى ا *ْع0د* ِب Eة م*ر9 0ه, *ي ,ل و*ع*اًد/و0اا 0م*ْع0ق/ْو0ل, ال , 0م ح/ك ع*ل*ى 0ه, *ي ع*ل 9اُس/ الن *م*ر9 ت اْس0 م*ا 0ْع*اًد*ة/ ال
“apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah.” (HR.
Ahmad)
c) Pengertian adah dan ‘uruf
Jumhur ulama’ mengidentikkan ‘adah dengan ‘uruf keduanya mempunyai arti
yang sama. Namun sebagian fuqoha’ membedakannya. Al Jurjani misalnya
mendefinisikan ‘adah yaitu suatu perbuatan yang terus-menerus dilakukan manusia,
karena logis dan dilakukan secara terus-menerus. Sedangkan ‘urufyaitu suatu
perbuatan yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan akal sehat
dan diterima oleh banyak orang.
Misal ‘uruf/’adah yaitu menggunakan kalender haid bagi wanita, setiap bulan
seorang wanita mengalami menstruasi dan cara perhitunganya ada yang
menggunakan metode tamyiz (yakni membedakan darah kuat dan darah lemah, dan
yang kuat dianggap darah haid) dan ada juga metode ‘adah ( yakni menganggap haid
atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan). Bagi Imam Hanafi mewajibkan
penggunaan metode ‘adah sedang imam Syafi’I menguatkan metode tamyiz.13
D. Kegunaan Qa’idah Fiqhiyyah
Imam Abu Muhammad Izzuddin Ibn Abbas Salam menyatakan bahwa Kaidah
Fiqhiyah mempunyai kegunaan sebagai suatu jalan untuk mendapat suatu
kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana cara mensikapi kedua hal
tersebut. Sedangkan Al-Qarafi dalam al-Furu’nya menulis bahwa seorang fiqh tidak
akan besar pengaruhnya tanpa berpegang kepada kaidah fiqhiyah, karena jika tidak
berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak bertentangan dan berbeda
antara furu-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya mudah
menguasai furu’-furu’nya.
13 Mukhlis Usman, Op.Cit., 140-142
13
Lebih lanjut berbicara tentang kegunaan Kaidah Fiqhiyah ini adalah
sebagaimana disebutkan oleh Ali Ahmad al-Nadwi sebagai berikut:
1) Mempermudah dalam menguasai materi hukum karena kaidah telah dijadikan
patokan yang mencakup banyak persoalan.
2) Kaidah membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak
diperdebatkan, karena kaidah dapat mengelompokkan persoalan-persoalan
berdasarkan illat yang dikandungnya.
3) Mendidik orang yang berbakat fiqih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk mengetahui hukum permasalahan-permasalahan baru.
4) Mempermudah orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami)
bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari thema yang berbeda-
beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
5) Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukkan bahwa hukum
dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau
menegakkan maslahat yang lebih besar.
6) Pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian karena kaidah
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.
Demikian kegunaan kaidah yang disampaikan oleh Ali Ahmad al-Nadwi.
Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqh adalah sebagai pengikat (ringkasan) terhadap
beberapa persoalan fiqh. Menguasai suatu kaidah berarti menguasai sekian bab fiqh.
Oleh karena itu, mempelajari kaidah dapat memudahkan orang yang berbakat fiqh
dalam menguasai persoalan-persoalan yang menjadi cakupan fiqh.14
E. Urgensi Qa’idah Fiqhiyyah
Qa’idah Fiqhiyyah dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan media bagi peminat fiqh Islam untuk
memahami dan menguasai muqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami
14 Ahmad Supardi Hasibuan, Kaidah-kaidah Hukum Islam, (http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=10117), diakses tanggal 05 April 2013
14
beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan;
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fiqh mencakup beberapa persoalan yang
sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fiqh dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fiqhnya bertkata bahwa hash-nash tasyrik
telah mensyariatkan hokum terhadap berbagai macam undang-undang, baik mengenai
perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telh sempurna dengan adanya
nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun tasyrik yang
kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.15
Karena cakupan dari lapangan fiqh begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi
berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’
menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para
mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah,
yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah adalah sebagai suatu jlan untuk
mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana menyikapi
kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis bahwa seorang
fiqh tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah fiqhiyah, karena jika
tidak berpegang paa kaidah itu maka hasil ijtihatnya banyak pertentangan dan
berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah fiqhiyah tentunya
mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.
15 Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit.
15
BAB III
PENUTUP
Dari penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa qawaid fiqhiyah
ialah hukum yang biasa berlaku yang bersesuaian dengan sebagian besar bagian-
bagiannya. Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan dhawabit fiqhiyah ialah cakupan
dhabith fiqhiyah lebih sempit dari cakupan qawaidh fiqhiyah dan pembahasan qawaid
fiqhiyah tidak dikhususkan pada satu bab tertentu, lain halnya dengan dhabith
fiqhiyah.
Perbedaan qawaid fiqhiyah dengan ushul fiqh ialah , qawaid ushuliyyah
adalah himpunan sejumlah persoalan yang meliputi tentang dalil-dalil yang dapat
dipakai untuk menetapkan hukum. Sedangkan qawaid fiqhiyah merupakan himpunan
sejumlah masalah yang meliputi hukum-hukum fiqh yang berada di bawah
cakupannya semata. Penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan,
tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian
hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk pelaksana
dari kaidah ushuliyah tersebut.
Pentingnya qawaid fiqhiyah karna kaidah fiqh ini merupakan media bagi
peminat fiqh Islam dalam menguasai Maqashid Syariah, dan juga merupakan cakupan
persoalan yang sudah maupun belum terjadi. Tujuan mempelajari kaidah fiqh itu
untuk mempermudah dalam mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan sebagainya.
Dasar pengambilan qawaid fiqhiyah terbagi pada dua yakni: dasar formil dan dasar
materiil.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abd . Rahman Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta, 13Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih (al-Qowaidul al-Fiqhiyyah), Kalam Mulia :
JakartaAbdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqih). PT Raja
Grafindo : Jakarta, 319Ahmad Muhammad Asy-Syafii, Ushul Fiqh Al-Islami (Iskandariyah Muassasah
Tsaqofah Al Jamiiyah, 1983), 4.Ahmad Supardi Hasibuan, Kaidah-kaidah Hukum Islam,
(http://riau.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=10117), diakses tanggal 05 April 2013
Arifin, Miftahul, Ushul Fiqh : Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997
Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.Kementerian Agama RI, Alquran dan Terjemahannya, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002), 64Mubarok, Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah-kaidah Asasi, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002Mubarok, Jaih, Sejarah dan Kaidah-Kaidah asasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002.Muhammad Hasby As Shidieqy, Teungku, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT
PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997Mukhlis Usman, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1999), cet. 3, 105Teungku Muhammad Hasby As Shidieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra, 1997), 364Tri Winarsih, Kaidah-kaidah Fiqhiyyah,
(http://annajma92.blogspot.com/2012/04/kedudukan-kaidah-fiqhiyah-sebagai.html), diakses tanggal 05 April 2013
Usman, Mukhlis, Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, cet. 3