kaidah fiqhiyyah adat

Upload: lubna-el-kathiri

Post on 16-Jul-2015

295 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

A. Dasar Kaidah Kelima

"Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum" Dasar kaidah adalah Hadits Mauqup: .( )

"Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula di sisi Allah". Sebagian ulama' berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah:

"Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh". (QS. Al-A'raaf:199). . "Dan bergaulah dengan mereka secara patut". Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadits yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang ta'rif dari Al-'Aadah dan Al-'Urf serta hubungannya dengan hadits. Menurut Al-Jurjany: . "Al-'Aadah ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, kareana dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang-ulanginya terus menerus".

.

.

'Al-'Urf ialah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang jiwa merasa tenang dalam mengerjakannya , karena sejalan dengan akal (sehat) dan diterima oleh tabiat (yang sejahtera)".

Al-'Urf juga merupakan hujjah, bahkan lebih cepat untuk difahami. Menurut Abdul Wahab Kholaf: . .

"Al-'Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh mereka, dari: perkataan, perbuatan atau (sesuatu) yang ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula dengan Al'Aadah". Dan dalam bahasa ahli syara' tidak ad perbedan antara Al-'Urf dengan Al-'Aadah. Dari memperhatikan ta'rif-ta'rif di atas, dan juga ta'rif yang diberikan oleh ulama'-ulama' yang lain, dapat difahami bahwa Al-'urf dan Al-'Aadah adalah searti, yang mungkin merupakan perbuatan atau perkataan. Keduanya harus betul-betul telah berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang sehat tabiat yang sejahtera. Hal yang demikian itu tentu merupakan hal yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara, sehingga merupakan apa yang dimaksud oleh hadits di atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin. Dengan sendirinya tidaklah termasuk dalam pengertian 'Aadah dan 'Urf di sini, hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya sama sekali. Misalnya: Muamalah dengan riba. Judi, saling perdaya memperdayakan, menyabung ayam dan sebagainya. Meskipung perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasa lagi keburukannya. Juga bukanlah termasuk dalam pengertian 'Urf di sini, berulang-ulangnya keadaan tau perbuatan yang bertentangandengan nash-nashj syara', ruknya dan hikmah-hikmahnya. Suatu perbuatan dalam masyarakat, apabila sudah dapat dikategorikan dalam definisi di atas, dapat ditetapkan sebagai hokum atau dapat dijadikan sebagai sumber hokum. Dan itulah maksud dari kaidah. Di antara perbuatan yang hukumnya oleh Rasulullah saw diterangkan hadits: : ( ).

"Ketika Nabi saw dating di madinah, mereka (penduduk madinah) telah (biasa) memberi uang panjar (uang muka) pada buah-buahan untuk waktu satu tahun atau dua bulan. Maka Nabi saw

bersabda: Barangsiapa memberi uang panjar pada buah-buahan, maka berikanlah uang panjar itu pada takaran yang tertentu, timbangan yang tertentu dan waktu yang tertentu". Demikanlah maka semua kebiasaan yang bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syara' dalam mu'amalat eperti dalam jual beli, sewa menyewa, kerjasamanya pemilik sawah dengan penggarap dan sebagainya, adalah merupakan dasar hokum, sehingga seandainya terjadi perselisihan pendapat di antara mereka, maka penyelesaiannya harus dikembalikan pad adat kebiasaan atau 'urf yang berlaku. Demikian pula dalam munakahah seperti tentang banyaknya mahar, atau nafakah, juga harus dikembalikan kepada adat kebiasaan yang berlawanan dengan nash-nash menyuap, disajikannya minuman keras dan sarana perjudian dalam pesta-pesta atau dalam respsi, tentu tidak boleh dianggap/dijadikan dasar hukum. Dalam hubungannya dengan kaidah ini para fuqoha mengatakan: . "Semua yang datang dari syara', secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama dan tidak ada dalam bahasa, maka dikembalikan kepada 'urf. Seperti Al-hirzu, penyimpanan barang hail curian, dalam jinayah, Al-tafarruqu, perpisahan dan Al-qobdlu, penerima, yangberlaku Ta'rif pengumuman tentang barang yang ditemukan dan lainlainnya. Semuanya ini pemahaman dan pelaksanaannya dikembalikan pada kebiasaan yang berlaku di mana kesemuanya itu terjadi. B. Anak Kaidah Kelima ( 6 sampai 11 ) Dari kaidah kelima ini dapat dikemukakan beberapa anak kaidahnya, penulis hanya membahas mulai dari anak kaidah 6 (enam) sampai anak kaidah 11 (sebelas). Anak Kaidah 6 (enam) "Menentukan dengan dasar 'urf, seperti menentukan dengan berdasarkan nash". Penetapan suatu hukum tertentu yang didasarkan pada 'urf (adat), dan telah memenuhi syaratsyarat sebagai dasar hukum, maka kedudukannya sama dengan penetapan suatu hukum yang

didarakan pada nash. Tetapi perlu diketahui bahwa kaidah ini banyak dipakai pada 'urf-'urf khusus, misalnya 'urf yang berlaku di antara para pedagang, 'urf yang berlaku di daerah tertentu dan lain-lain. Sebagai contoh di kota Madiun upah seseorang menanam pdi adalah seperenam dari hasil tanman itu jika telah pann (dipetik). Seperti penetapan hukum di atas maka kekuatan hukumnya juga seperti kekuatan hukum yang ditetapkan oleh nash. Atau dengan kata lain bahwa suatu ketetpan hokum yang berdasarkan 'urf tersebut harus dikerjakan serbagaimana ketetapan yang didasarkan pada nash. Anak Kaidah 7 (tujuh) "Hukum yang kuat adalah menghargai yang biasa dan mendahulukan atas yang sedikit sekali terjadi". "Jadi perhatikan, ialah yang biasa terjadi". Kaidah ini merupakan kaidah yang berupa syarat bagi berlakunya suatu 'urf (adat) yang dijadikan sebagai dasar hokum. Maksudnya bila suatu perbuatan atau perkataan itu dapat dijadikan suatu dasar hokum, manakala perbuatan atau perkataan itu sering dilakukannya daripada tidaknya. Misalnya orang yang mempunyai rasa permusuhan, tidak dapat diambil saksi dalam lapangan kesaksian dengan orang yang berperkara, sebab kebanyakan saksi yang mempunyai rasa permusuhan dengan orang yang berperkara, tidak akn mungkin memberi kesaksian dengan sejujur-jujurnya. Anak Kaidah 8 (delapan) "Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum lantaran berubahnya masa". Dalam perubahan dan perkembangan zaman, menghendaki kemaslahatan yang sesuai dengan perkembangan tersebut. Hal itu disebabkan karena mempunyai pengauh yang besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan suatu hokum yang didasarkan pada kemaslahatan itu. Tetapi perlu juga diperhatikan bahwa kaidah ini tidak berlaku dalam lapangan ibadah. Dan di antara furu' (cabang) yang termasuk dalam lingkup kaidah ini ialah sebagaimana yang telah dilakukan oleh sahabat Umar bin al-Khattab ra. dengan tidak memberi bagian harta zakat kepada para

muallaf, serta tidak menjatuhkan hukum potong tangan kepada pencuri di musim paceklik dan sebagainya. Hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau, didasarkan kepada kemaslahatan pada masa itu, sedangkan masa sekarang penetapan hokum tersebut harus ditetapkan pada kemaslahatan sekarang. Sebab kemaslahatan telah berubah. Demikian pula untuk masa-masa mendatang bila kemaslahatannya telah berubah, maka berubah pula hukum yang didasarkan padanya. Memang ada ulama yang menganggap hukuman rajam bagi pezina berarti menerima nash secara ta'abbudi dan menekankan aspek jawabir. Tentunya harus kita lihat hikmahnya hukuman itu, yakni membuat kapok mereka yang bersalah tidak mengulangi pidana lagi. Sehingga dengan mengetahui illat hukumnya juga, di zaman modern, hokum rajam tentunya dengan dasar kaidah ini bias diganti hukuman lain, asalkan juga membuat kapok. Anak Kaidah 9 (sembilan) "Apa yang biasa diperbuat orang banyak, merupkan hujjah yang wajib diamalkan". Kaidah ini maksudnya bahwa segala sesuatu yang telah biasa dilaksanakan oleh masyarakat, itu bisa menjadi dasar ) patokan). Untuk itulah bagi setiap anggota masyarakat dalam melaksanakan sesuatu yang telah dibiasakan itu selalu akan menyesuaikan diri dengan patokan terebut atau tidak menyalahinya. Contoh, di dalam jual beli benda-benda yang berat menurut kebiasaan yang telah berlaku dalam masyarakat yaitu bahwa transport benda-benda tersebut sampai ke rumah pembeli adalah ditanggung oleh penjual. Oleh sebab itu setiap orang yang akan mengadakan aqad jual beli terhadap benda-benda berat harus diatur sebagaimana kebiasaan tersebut. Anak Kaidah 10 (sepuluh) "Sesungguhnya adat yang dianggap (sebagai dasar penetpan hukum) adalah apabila telah menjadi adat yang terus-menerus atau lebih banyak berlaku". Dalam masyarakat suatu perbuatan atau perkataan yang dapat diterima sebagai adat kebiasaan, apabila perbuatan atau perkataan tersebut sering berlakunya, atau dengan kata lain, sering berlakunya itu sebagai suatu syarat (salah satu syarat) bagi suatu adapt untuk dapat dijadikan dasar hokum. Oleh sebab itu apabila perbuatan atau perkataan itu hanya kadang-kadang ) jarang)

saja berlakunya, maka hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Selain itu juga dalam suatu perkara seimbang, antara berlaku atau tidaknya, yang demikian inipun tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum, sebab apabila dalam satu saat dapat dijadikan dasar hukum; maka tidak melakukan pada saat yang lain dapat dianggap sebagai perbuatan melawan dasar hukum tersebut. Contoh furu'iyah yang bernaung di bawah kaidah ini di antaranya, ialah: Bagi para langganan surat kabar, pada umumnya surat kabar diantar ke tempatnya. Oleh karena itu, apabila terjadi sesuatu aqad antara seorang langganan dengan pngusaha suatu surat kabar, meskipun dalam aqad itu tidak disebutkan, bahwa surat kabar akan diantar ke tempat langganannya, maka apabila setelah aqad itu terjadi, surat kabar tidak diantar, si langganan dapat menuntut kepada pihak pengusha surat kabar tersebut. Anak Kaidah 11(sebelas) "Sesuatu yang telah terkenal di kalangan para pedagang seperti syarat yang berlaku bagi mereka". Di kalangan para pedagang ataupun yang lain yang bergerak dalam lapangan yang sejenisnya, suatu perkara yang telah terkenal dan berlaku (disitu), meskipun hal tersebut tidak dapat dibuat dan dinyatakan sebagai suatu syarat ataupun undang-undang, maka kedudukan (kekuatan) hukumnya sama dengan suatu syarat yang memang sengaja diadakan oleh mereka. Contoh apabila seorang wakil yang disuruh untuk menjual barang orang yang mewakilkan, baik dengan secara kontan atupun ditunda pembayarnnya dalam batas waktu yang telah dikenal (terkenal) di kalangan para pedagang mengenai barang itu, maka bagi si wakil tidak boleh menjualnya dengan ditunda pembayarannya melebihi daripada waktu yang telah terkenal di antara mereka atau dengan kata lain si wakil tidak boleh menjual barang menyimpang dari adat kebiasaan yang telah berlaku.

DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama. 1989. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Semarang: Toha Putera.

Djazuli, HA. 2006. Kaidah-kaidah fiqh. Jakarta: Kencana Mujib, Abdul. 1978. Al-Qawaidul Fiqhiyah. Malang: Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Rasjid, Sulaiman. 2003. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Usman, Muslih. 1999. Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Rajawali Pers.

KEDAH YANG BERKENAAN DENGAN ADAT KEBIASAAN

Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum

: ( ( : Pengertian Jumhur Ulama : Al adat dengan Urf keduanya mempunyai arti yang sama, sedangkan sebagian fuqaha mengrtikannya berbeda. Syikh al Jurjani mengartikan al adat dngan : 19 ) 199 )

Sedangkan Urf adalah :

urf adalah suatu ( perbuatan ) yang jiwa merasa tenang melakukannya, karena sejalan dengan akal sehat dan diterima oleh tabiat sejahtera . Uruf tidak hanya perkataan, tetapi juga perbuatan atau juga meninggalkan sesuatu. Misal : adat dan urf menggunakan kalender khaidl bagi wanit, setiap bulan seorng wanita mengalami menstruasi dan cara menghitungnya ada yang menggunakan methode tamziz ( yakin membedakan darah kuat dan darah lemah, dan yang kuat dianggap darah khedl ) ada juga methode adah ( yakni menganggap khaidl atas hari-hari kebiasaan keluarnya darah tiap bulan ). Bagi Imam al Hanafi mewajibkan menggunakan methode al adat sedangkan al Imam al SyafiI menggunakan methode tamziz

Syarat diterimanya al Adat atau al Urf Menurut pengertian diatas, maka al adat dapat diterima jika memenuhi syarat sebagai berikut : perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Dengan syarat ini menunjukkan bahwa, adat tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan maksiat. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik alqurn maupun al sunnah Tidak mendatangkan kemadlaratan serta sejalan dengan jiwa dan akal yng sejahtera

Kedah yang berkenaan dengan al adat

suatu yang diatur oleh syara secara mutlak namun belum ada ketentuan dalam agama serta dalam bahasa, maka semua itu dikembalikan kepada uruf Misal : Mahar yang ditentukan oleh syara tidak menyebut berapa jumlah besarnya, maka

besarnya ditentukan menurut kebiasaa Lama khaidl bagi wanita setiap bulannya adalah tergantung pada kebiasaan wanita

tersebut khaidl setiap bulannya

Sebagian ulama memasukkan kaidah

( tiada pahala tanpa niat ) sebagai

bagian dari kaidah asasiah, namun kalau diteliti lebih lanjut kaidah ini masuh pada kaidah sebab yang dimaksud dengan niat adalah tujuan melakukan sesuatu

Imam Muhammad Izzuddin bin Abd Salam

menyimpulkan bahwa pada dasarnya

kaidah

asasiah dalam kaidah fiqhiyyah diatas dapat dikristalkan menjadi kaidah :

Lebih lanjut ditegaskan bahwa tujuan pokok syariat islam adalah tahkikul adalah ( mewujudkan keadilan ) dan jalbul masalih ( menarik kemaslahatan )

KAIDAH GHAIRU ASASIAH

Kaedah ghairu sasiah ada dua macam, yaitu kaidah ghairu asasiah al muttafaqah ( yang tidak dipertentangkan ), dan kaidah ghairu asasiah al Mukhtalafah ( yang dipertentangkan ). Adapun kaidah ghairu asasiah yang tidak dipertentangkan banyaknya ada empatpuluh kaidah. Kaidah ini tidak asasi, tetapi keberadaannya tetap didudukkan sebagai kaidah yang penting dalam hukum islam, karena itu dalam kalangan fuqaha sepakat kehujjahan kaidah ini. Dengan berpijak pada kaidah 40 ini akan dapat menentukan berbagai macam hukum fara ( fiqh ) yang tak terhingga. Tentu saja kaidah ini tidak terlepas dari sumber hukum , baik alquran maupun al sunnah. Karena itulah kaidah ini disebut sebagai kaidah kulliah ( kaidah universal ). Sedangkan kaidah yang muhtalafah ini banyaknya ada duapuluh kaidah. Kaidah ini tidak diasumsikan dari dalil yang kuat, atau berdasarkan alternatif-lternatif dalil saja, maka keberlakuan kaidah tersebut diperselisihkan, sebab dengan begitu, seorang Mujtahid tidak selalu merujuk pada kaidah ushuliah yang sebenarnya rumusan-rumusan ulama terdahulu, tetapi kadangkala langsung merujuk pada aslinya. Kaidah yang diperselisihkan tidak dapat dikuatkan satu terhadap yang lain, masing masing mempunyai peluang yang sama dalam kebenarannya.

Kaidah al Muttafaqah 5. ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad maksud kaidah ini adalah ijtihad yang telah disepakati sebelumnya tidak dapat diganggu gugat atas ijtihad yang baru, karena kedudukan masing-masing hasil ijtihad sama, karena itu masingmasing ujtihad tidak ada yang lebih istimewa, dan masing-masing tidak bisa saling

membatalkan. Namun demikin sifatnya tidak abadi, yakni hasil ijtihad dapat dibatalkan dengan ijtihad yang lain dengan ketentun sebagai berikut : ijtihad yang kedua lebih kuat daripada ijtihad pertama, misalnya qaul jadid imam syafiI dapat mengubah qaul kadimnya. Ijtihad terdahulu tidak relevan dengan kondisi atau keadaan yang dihadapi dewasa ini, sehingga hasil ijtihad tersebut perlu direvisi, sebagaimana kaidah fiqh nyatakan :

Kerusakan keputusan ijtihad dapat diterima jika ternyata keputusan itu bertentangan dengan nash atau ijma atau qiyas jaley. Menurut al Iraqy pengguguran itu manakala bertentangan dengan kaidah kaidah kulli, sedagkan menurut ulama Hanafi menggantungkan dengan tidak berdasarkan dalil Contoh : bila seseorang ingin shalat tetapi tidak menemukan air, maka ia berijtihad untuk bertayammum, seusai shalat ia menemukan air, maka ia tidak diwajibkan mengulang shalatnya 6. Apabila terjdi suatu pertentangan terhadap hukum suatu masalah, satu menghalalkan, dan yang lain mengharamkannya, maka yang dipilih dalah hukum yang mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat Contoh : menikahi dua bersaudara, yang satu merdeka dan yang lain budak adalah dilarang berdasarkan surat al nisa ayat 22, dan berdasar surat al nisa ayat 23 membolehkannya, maka menurut khalifah utsman melarang menikahinya sesuai dengan kaidah diatas. Demikian juga pertentangn hadits Nabi SAW riwayat Abu Dawud dari Huzaim bin hakim dengan hadits riayat imam Muslim tentang bersenang senang dengan istri yang menstruasi selain diantara pusar dan lutut , sedangkan imam Muslim hanya melarang bersetubuh saja maka dimenangkan dalil yang pertama untuk berikhtiat berdasarkan kaidah diatas. Termasuk dri bagian kaidah ini dalah :

apabila aspek di rumah dengan aspek bepergian berkumpul dalam suatu ibadah, maka dimenangkan yang aspek bepergin misal : seorang yang telah berpuasa di rumah, kemudian di tengah tengah siang ia bepergian, maka diharamkan berbuka puasa. Demikian jug mengkodho shalat bepergian dilaksanakan dirumah atau sebaliknya, maka tidak boleh diqoshor. Kaidah lain nya :

apabila antara yang mencegah dan yang mengharuskan berlawanan maka didahulukan yang mencegah misal : ada orang mati sahid dalam keadaan junub yang harus mandi janabat, sedangkan mati sahid dilarang dimandikan, maka berdasar kaidah ini mayid tidak perlu dimandikan. 7. tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan kaidah ini bersumber dari perkataan Imam SyafiI bahwa kedudukan imam ( pemimpin ) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan seorang wali terhadap anak yatim. Pernyataan ini bermuara pada pernyataan Umar bin al Hattab sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti kedudukan wali terhadap anak yatim, jika aku membutuhkan maka aku mengambil dari padanya, dan apabila ada sisa akan aku kembalikan, dan ketika aku tidak membutuhkan niscaya aku menjauhinya Kaidah ini bertepatan dengan sabda Nabi : ( )

Aplikasi kaidah diatas husus dalam bidang pemerintahan, yang menyangkut kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya, karena itu setiap tindakan pemimpin harus bertujuan memberi maslahah manusia, baik menarik ebaikan maupun menolak kemadlaratan. Jika tindakan kebaikan pemimpin ditafsirkan buruk oleh rakyatnya, maka kondisi demikian itu diperlukan

memperbanyak musyawarah, karena bagaimanapun keadaannya pemerintah merupakan kristalisasi dari kehendak rakyatnya. Kemaslahatan yang ditempuh oleh pemimpin harus mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih universal mencakup totalitas masyarakat , tidak mementingkan kemaslahatan golongan atau individu. 8. keluar dari pertentangan itu diutamakan Untuk merealisasikan kaidah ini harus berpegang pada ketentuan pemeliharaan pertentangan dengan syarat-syarat sebagai berikut : Tidak boleh mendatangkan pertentangan yang lain, karena itu menghentikan shalat witir ( dengan 2 rakaat ) lebih utama dari pada meneruskannya ( dengan 3 rakaat). Ketentuan ini ditolak oleh imam Abu Hanifah Tidak boleh bertentangan dengan sunnah yang tsabitah, karena pendapat lain membatalkannya. Didasarkan atas dasar yang kuat, tidak hanya karena kebetulan. Karena itu puasa dalam bepergian bagi yang kuat lebih baik dari pada berbuka, walaupun al Dhahiri membatalkan puasa tersebut Dasar kaidah tersebut adalah sabda Nabi Muhammad : ( ) itu disunahkan

mengangkat tangan ketika shalat, karena hal itu diriwayatkan oleh 50 orang shahabat, walaupun

barang siapa yang menjaga diri dari subhat, maka ia telah mencari kebersihan untuk membersihkan bagi agama dan kehormatannya ( Buhari- Muslim ) Misalnya membaca fatihah dalam shalat, menurut pendapat al Hanafi adalah wajib, yang berarti ketika ditinggalkan syah hukum shalatnya, walaupun berdosa, akan tetapi menurut syafiI membaca fatihah adalah wajib / fardlu, yang berarti kalau ditinggalkan shalatnya batal. Dalam

hal pendapat ini, maka yang paling aman adalah mengikuti syafiI, karena cara ini sekaligus mencakup pendapat al Hanafi. Misal lain mengusap kepala dalam berwudlu, ada tiga pendapat yang sangat berbeda, yakni pendapat imam SyafiI yang mencukupkan mengusap tiga helai rambut, Imam al Hanafi mensyaratkan harus sepertiga rambut kepala terusap, sementara imam Maliki menyaratkan mengusap seluruh rambut kepala. Agar aman, maka sebaiknya mengikuti pendapat Maliki yang berarti telah mencakup pendapat syafiI dan Hanafi, lagi pula menurut pendapat kedua imam tersebut mengusap seluruh rambut kepala hukumnya sunnah. 9. suatu perkataan tidak dapat disandarkan pada orang yang diam dalam redaksi lain disebutkan :

suatu perkataan tidak dapat didasarkan pada orang yang diam akan tetapi jika diam pada tempat yang membutuhkan keterangan adalah mrupakan keterangan suatu keputusan hukum tidak dapat diambil dengan berdalil kepada diamnya seseorang, kecuali ada karinah-karinah yang dapat merajihkan. Namun diamnya seseorang yang sedang dihajatkan keterangannya dapat dijadikan daliladanya suatu keterangan. Misal, terdakwa yang dimintai keterangan oleh hakim tentang tuduhan yang dilemparkan kepadanya dan dia diam saja, maka dengan diamnya ini dapat ditetapkan, bahwa ia mengingkari tuduhan itu dan kepada penggugat diwajibkan mendatangkan bukti-bukti yang meyakinkan. Demikian juga diamnya janda waktu dimintai idzin untuk dikawinkan tidak berarti ia memberikan idzin, namun jika ia seorang gadis maka diamnya dianggap mengidzinkannya. Sabda Nabi :

Wal aslu fi 'aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah Artinya : dan hukum asal dalam kebiasaan ( adat istiadat ) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal. " . }( : 29) : ". . -{ : -

Kaidah ini termasuk dalam ruang lingkup pembahasan kaidah "hal yang pasti diyakini tidak gugur dengan keraguan ( " Adapun yang dimaksud dengan kebiasaan (( ") adalah : apa saya yang dilakukan seorang jamak dari kata

hamba dalam kehidupan sehari-hari bukan untuk mendekatkan diri kepada allah dan bukan merupakan ibadah, dalam syarahnya as syeikh ubaid al jabiri dikatakan (( : adapun maknanya : apa saya yang biasa di kerjakan dan dilakukan oleh

manusia, dan setiap kaum, kabilah , masyarakat dan negara memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda, dan hukum asal dari kebiasaan adat istiadat adalah boleh selama tidak menyelisihi hukum syar'ii, ( pent.) adapun yang dimaksud dengan boleh ( mengerjakan sesuatu ataupun meninggalkannya. Adapun dalil dari kaidah ini adalah beberapa nash-nash syar'ii diantaranya Dalil dari al qur'an firman Allah SWT : { }( : 29) ) adalah : boleh

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ( QS al baqarah : 29 ) Firman allah SWT : (15) Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. ( QS al mulk : 15 )

Firman Allah SWT :

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik ( QS al a'raf: 32 ) . dari ayat ini kita dapat mengambil faedah bahwasanya hukum asal perhiasan serta apa saya yang allah anugerahkan buat hambanya adalah boleh dan halal. Dalil dari as sunnah ( : 3800 : )

" sesuatu yang halal itu adalah apa yang dihalalkan allah dan sesuatu yang haram apa-apa yang diharamkan allah , adapun sesuatu yang didiamkanNYA adakah dimaafkan ( HR abu dawud kitab " al ath'imah bab: apa saja yang tidak disebutkan pengharamanya hadist no : 3800 dan berkata as syeikh al albani : shahih sanadnya)

"

-"

Dalam kaidah ini menunjukkan tidak adanya keharaman atau larangan maka menunjukkan pula tidak adanya perintah wajib untuk melakukannya, karena semua kebiasaan manusia adalah boleh-boleh saja dilakukan, dan tidak wajib dan tidak pula haram dan ataupun dilarang, adapun yang memalingkan dari hukum asalnya ada kalanya dalil tersebut merupakan perintah untuk mengerjakan, dan ada kalanya dalil tersebut merupakan larangan untuk mengerjakannya, dan termasuk dalil dari masalah ini adalah sabda rasulullah SAW : " sesungguhnya paling besar dosanya seorang muslim adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak ada pengharamannya, kemudian dia mengharamkanya karena demi suatu masalahnya." Sebagaiaman dalam kitab shahih.

: "

"

: " .

: ".

-

.

Adapun makna sampai ada dalil yang memalingkan hukum asalnya yang mubah ( (" " adalah : jika ada suatu dalil syar'ii yang menunjukkan bahwasanya

kebiasaan tersebut adalah dilarang maka kita mengamalkan dalil tersebut, dan tidak mengamalkan kaidah tersebut " " dan ini menunjukkan bahwasanya syari'at islam ini mencakup semua

perbuatan hambanya dan perbuatan tersebut ada hukum-hukumnya, dan bukanlah syari'at islam ini hanya khusus berputar disekitar masjid dan hanya membahas masalah ibadah saja, akan tetapi syari'at islam ini mencakup semua perkara secara umum, dan mencakup semua perbuatan hambanya baik hal itu adalah adat kebiasaan ataupun masalah ibadah, dan ini merupakan keutamaan yang Allah limpahkan kepada kita dengan syari'atnya.

6. Tidak Kaku Dalam Menerapkan Fatwa Ulama'. Semua mengetahui bahwa agama Islam telah berumur lebih dari 14 abad. Dengan demikian, syari'at Islam telah dipahami dan diamalkan di berbagai tatanan masyarakat, dengan berbagai perbedaan yang ada di antara mereka. Masing-masing Ulama' menghadapi berbagai masalah yang ada di masyarakatnya. Sehingga tidak dipungkiri bahwa karya tulis dan fatwa masingmasing Ulama' sering kali terwarnai oleh tradisi dan gaya hidup yang ada di masyarakatnya.

Oleh karena itu, merupakan sikap bijak, bila senantiasa mempertimbangkan perbedaan tradisi dan gaya hidup zaman kita dengan yang ada di zaman Ulama' yang menjadi rujukan, ketika mengkaji berbagai masalah kontemporer.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Mempertimbangkan adat dan tradisi yang berlaku di suatu masyarakat ketika berfatwa adalah sikap yang benar-benar cemerlang. Barang siapa berfatwa hanya berdasarkan apa yang tertera dalam suatu kitab, tanpa mempertimbangkan perbedaan tradisi, adat istiadat, waktu, dan keadaan yang ada pada masing-masing masyarakat, maka ia telah sesat dan menyesatkan. Kejahatannya terhadap ajaran agama lebih besar dibanding kejahatan seorang dokter yang berusaha mengobati masyarakat di berbagai negeri dengan segala perbedaan tradisi, masa dan tabiat mereka; hanya berdasarkan keterangan salah satu buku kedokteran saja. Dokter atau mufti bodoh ini merupakan hal yang paling berbahaya bagi keutuhan raga dan jiwa masyarakat."[10]

Sebagai contoh nyata, bahwa dalam buku-buku fiqih dan tafsr telah dinyatakan, jika seorang suami memanggil istrinya dengan panggilan wahai ibuku atau yang serupa, maka ia telah terkena hukum dhihr. Sehingga ia tidak dibenarkan untuk menggauli istrinya sampai ia membayar kafarat, yaitu memerdekakan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Hukum ini dengan tegas dijelaskan dalam surat alMujdilah ayat 2-4.

Jika kita menerapkan keterangan Ulama' di atas pada masyarakat kita, maka 90 % pasangan suami istri di negeri ini terkena kewajiban itu. Kebanyakan kaum suami di negeri kita memanggil istrinya dengan sebutan : ibu, mama, adik, atau lainnya.

Guna menjembatani penerapan hukum yang ada dalam kitab-kitab fiqih terhadap fakta yang ada di masyarakat, para Ulama menggariskan suatu kaidah yang berbuyi:

Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syari, selaras dengan perubahan adat.

atau :

"Tradisi itu memiliki kekuatan hukum."

Berdasarkan penjelasan di atas, para Ulama' menyatakan bahwa bila suatu tradisi tidak menyelisihi syari'at, maka boleh diamalkan, bahkan pada beberapa kesempatan wajib untuk diamalkan. Akan tetapi bila adat dan tradisi suatu masyarakat menyelisihi ajaran syari'at, maka haram untuk dilakukan. Sehingga hukum syari'at tetap baku dan tidak dapat berubah karena perubahan adat dan tradisi. Inilah makna kaidah fiqhiyyah (kaidah dalam ilmu fiqih) di atas[11]. Hal ini berdasarkan firman Allah kAzza wa Jalla :

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan rasulNya, maka sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata." [al-Ahzb/33:36].

Dr. Muhammad Shidqi Al-Burnu berkata: "Seluruh ulama' fiqih telah sepakat bahwa hukumhukum yang dapat berubah-rubah selaras dengan perubahan zaman dan perilaku manusia ialah hukum-hukum yang merupakan hasil ijtihad Ulama'. Yaitu hukum-hukum yang merupakan upaya Ulama' dalam merealisasikan maslahat, qiyas, atau adat. Dengan demikian, hukum-hukum yang berdasarkan dalil-dalil al-Qur'n dan Sunnah, tetap dan tidak dapat berubah, serta tidak tercakup oleh kaidah ini. Berdasarkan itulah, sebagian ulama' fiqih berpendapat bahwa teks kaidah ini yang lebih tepat ialah:

"Tidak dapat dipungkiri terjadinya perubahan hukum-hukum ijtihadiyyah berdasarkan perubahan zaman", guna menepis kerancuan semacam ini. Dan (saya berpendapat) membubuhkan tambahan semacam ini pada kaidah tersebut bagus dan tepat adanya."[12]

7. Mencarikan Solusi Jitu. Tidak dipungkiri bahwa kebanyakan dari masalah kontemporer di masyarakat adalah hasil rekayasa dan gagasan orang-orang non Muslim, yang tidak perduli dengan halal dan haram. Oleh karena itu, bila seorang ahli ijtihad telah membuktikan akan haramnya suatu masalah kontemporer di masyarakat, hendaknya ia tidak merasa puas dengan kesimpulan hukum tersebut; sampai ia berhasil menyodorkan alternatif yang halal. Dengan demikian, umat lslam dapat terhindar dari berbagai amalan haram dan dapat merealisasikan kemaslahatannya dengan caracara yang diridhai Allah Azza wa Jalla.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: Bila seorang mufti yang benar-benar berilmu dan tulus ditanya oleh seseorang tentang suatu hal yang terlarang, padahal ia benar-benar memerlukannya, niscaya mufti itu akan segera menunjukkannya alternatif yang halal. Dengan demikian, mufti tersebut berhasil menutup pintu perbuatan haram, dan membukakan solusi-solusi yang halal.

Tentu tidak ada orang yang mampu melakukan hal ini selain orang-orang yang benar-benar berilmu lagi tulus, yang benar-benar ikhlas karena Allah k dengan mengamalkan ilmunya. Mufti semacam ini bak seorang dokter yang handal lagi tulus, ia berusaha melindungi pasiennya dari mara bahaya, dan memberikan resep manjur baginya. Demikianlah semestinya perilaku para dokter rohani dan jasmani.

Diriwayatkan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi pun melainkan wajib atas Nabi itu untuk menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan yang ia ketahui, dan memperingatkan mereka dari setiap kejelekan yang ia ketahui". Demikianlah perangai para Rasul dan para ahli waris mereka sepeninggalnya" [13]

Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit metode Ulama' ahli ijtihad yang dapat dirangkumkan dari beberapa referensi. Semoga, paparan singkat ini bermanfaat bagi semuanya.

Wal aslu fi aadaatinal ibaahatu hatta yajii a sooriful ibahati

Artinya : dan hukum asal dalam kebiasaan ( adat istiadat ) adalah boleh saja sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal

. { }( : : 29)

. .

:

Kaidah ini termasuk dalam ruang lingkup pembahasan kaidah hal yang pasti diyakini tidak gugur dengan keraguan ( )

Adapun yang dimaksud dengan kebiasaan ((

adalah: apa saya yang dilakukan seorang jamak dari kata:

hamba dalam kehidupan sehari-hari bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan bukan merupakan ibadah, dalam syarahnya as syeikh ubaid al jabiri dikatakan (( adapun maknanya : apa saja yang biasa di kerjakan dan dilakukan oleh

manusia, dan setiap kaum, kabilah, masyarakat dan negara memiliki adat dan kebiasaan yang berbeda, dan hukum asal dari kebiasaan adat istiadat adalah boleh selama tidak menyelisihi hukum syarii, (pent.) adapun yang dimaksud dengan boleh ( mengerjakannya ataupun meninggalkannya. ) adalah: boleh

Adapun dalil dari kaidah ini adalah beberapa nash-nash syarii diantaranya

Dalil Dari Al Quran

firman Allah :

{

}(

: 29)

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.(QS Al-Baqarah : 29 )

Firman Allah azza wa jalla :

(15)

Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. (QS Al-Mulk : 15)

Firman Allah azza wa jalla :

Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik (QS Al-Araf : 32).

dari ayat ini kita dapat mengambil faedah bahwasanya hukum asal perhiasan serta apa saya yang Allah anugerahkan buat hambanya adalah boleh dan halal.

Dalil dari As Ssunnah

( : 3800 : )

Sesuatu yang halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dan sesuatu yang haram apa-apa yang diharamkan Allah, adapun sesuatu yang didiamkan-Nya adakah dimaafkan (HR Abu Dawud kitab Al Athimah bab: Apa Saja yang Tidak Disebutkan Pengharamanya hadist no : 3800 dan berkata As-Syeikh Al-Albani: shahih sanadnya)

Dalam kaidah ini menunjukkan tidak adanya keharaman atau larangan maka menunjukkan pula tidak adanya perintah wajib untuk melakukannya, karena semua kebiasaan manusia adalah boleh-boleh saja dilakukan, dan tidak wajib dan tidak pula haram dan ataupun dilarang, adapun yang memalingkan dari hukum asalnya ada kalanya dalil tersebut merupakan perintah untuk mengerjakan, dan ada kalanya dalil tersebut merupakan larangan untuk mengerjakannya, dan termasuk dalil dari masalah ini adalah sabda rasulullah shallallahu alaihi wasallam:

Sesungguhnya paling besar dosanya seorang muslim adalah orang yang bertanya sesuatu yang tidak ada pengharamannya, kemudian dia mengharamkanya karena demi suatu masalahnya. Sebagaiaman dalam kitab shahih.

:

:

:

.

. .

Adapun makna sampai ada dalil yang memalingkan hukum asalnya yang mubah

( ( mengamalkan kaidah ini.

adalah : jika ada suatu dalil syarii yang menunjukkan

bahwasanya kebiasaan tersebut adalah dilarang maka kita mengamalkan dalil tersebut, dan tidak

dan ini menunjukkan bahwasanya syariat islam ini mencakup semua perbuatan hambanya dan perbuatan tersebut ada hukum-hukumnya, dan bukanlah syariat islam ini hanya khusus berputar disekitar masjid dan hanya membahas masalah ibadah saja, akan tetapi syariat islam ini mencakup semua perkara secara umum, dan mencakup semua perbuatan hambanya baik hal itu adalah adat kebiasaan ataupun masalah ibadah, dan ini merupakan keutamaan yang Allah limpahkan kepada kita dengan syariatnya. Wallahu alam