step 7 tht lbm 3 ulil

Upload: akhmad-ulil-albab

Post on 03-Apr-2018

284 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    1/40

    Step 7

    1. Anatomi dan fisiologi hidung?disertai gambar berbagai penampang.lengkap ya!!1 Anatomi hidung luar

    Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar menonjol pada

    garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang

    paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yangsedikit dapat digerakkan ; dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.

    Bentuk hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah :

    1) pangkal hidung (bridge),

    2) batang hidung (dorsum nasi),

    3) puncak hidung (hip),

    4) ala nasi,

    5) kolumela,

    6) lubang hidung (nares anterior).

    Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,

    jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubanghidung. Kerangka tulang terdiri dari:

    1) tulang hidung (os nasal)

    2) prosesus frontalis os maksila

    3) prosesus nasalis os frontal;

    Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

    bagian bawah hidung, yaitu

    1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior

    2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (ala mayor)

    3) tepi anterior kartilago septum.(1)

    II.2 Anatomi hidung dalamBagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os. internum di sebelah

    anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Kavum nasi

    dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah

    antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara

    konka media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus

    superior.(2)

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    2/40

    Gambar 1. Anatomi Hidung Dalam

    II.2.1 Septum nasi

    Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian posterior dibentuk

    oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh kartilago septum (kuadrilateral) ,

    premaksila dan kolumela membranosa; bagian posterior dan inferior oleh os vomer, krista

    maksila , Krista palatine serta krista sfenoid.(2)

    II.2.2 Kavum nasi (3)

    Kavum nasi terdiri dari:

    1. Dasar hidungDasar hidung dibentuk oleh prosesus palatine os maksila dan prosesus horizontal os

    palatum.

    2. Atap hidungAtap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus

    frontalis os maksila, korpus os etmoid, dan korpus os sphenoid. Sebagian besar atap

    hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen n.olfaktoriusyang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian

    teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior.

    3. Dinding LateralDinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os

    lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid,

    konka inferior, lamina perpendikularis os platinum dan lamina pterigoideus medial.

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    3/40

    4. KonkaFosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka. Celah antara konka

    inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior, celah antara konka media dan

    inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut meatus

    superior. Kadang-kadang didapatkan konka keempat (konka suprema) yangteratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa

    lateralis os etmoid, sedangkan konka inferior merupakan tulang tersendiri yang

    melekat pada maksila bagian superior dan palatum.

    II.2.3 Meatus superior

    Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit antara septum dan

    massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel etmoid posterior bermuara di

    sentral meatus superior melalui satu atau beberapa ostium yang besarnya bervariasi. Di atas

    belakang konka superior dan di depan korpus os sfenoid terdapat resesus sfeno-etmoidal,

    tempat bermuaranya sinus sfenoid.

    II.2.4 Meatus media

    Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih luas

    dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan

    bagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka media yang letaknya

    menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulan sabit yang dikenal

    sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit yang

    menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris.

    Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci

    dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu

    bula etmoid yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila,

    dan sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-seletmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di

    posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-kadang duktus

    nasofrontal mempunyai ostium tersendiri di depan infundibulum.

    II.2.5 Meatus Inferior

    Meatus inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus, mempunyai muara duktus

    nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai 3,5 cm di belakang batas posterior

    nostril.

    II.2.6 Nares

    Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring,

    berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap nares posterior bagian

    bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian dalam oleh os vomer, bagian

    atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian luar oleh lamina pterigoideus.

    Perdarahan hidung

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    4/40

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    5/40

    Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang

    merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga hidung mendapat

    pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan

    a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki

    rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapatpendarahan dari cabang cabang a.fasialis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

    Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

    a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus

    Kiesselbach (Littles area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisia l dan mudah cidera oleh trauma,

    sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung) terutama pada anak. (Soetjipto D &

    Wardani RS,2007)

    Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya .

    Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan

    sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi

    untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

    II.2.7. Sinus Paranasal

    Di bagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksila,

    etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar di antara

    lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis

    dan puncaknya menghadap ke arah apeks prosesus zygomatikus os maksilla.(2)

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    6/40

    II.3 Kompleks ostiomeatal (KOM)

    Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang berupa

    celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal gambaran KOMterlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi

    penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,

    bula etmoid, agger nasi dan ressus frontal.

    Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret yang keluar dari

    ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit infundibulum sebelum masuk ke rongga

    hidung. Sedangkan pada sinus frontal sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang

    disebut sebagai serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung

    menuju ke infundibulum etmoid atau ke dalam celah di antara prosesus unsinatus dan konka

    media(4)

    .

    Gambar 2. Kompleks Ostio Meatal

    II.4 Perdarahan hidung

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    7/40

    Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan

    posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna. Bagian bawah rongga

    hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya adalah ujung

    a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama

    n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian

    depan hidung mendapat pendarahan dari cabang cabang a.fasialis.

    (5)

    Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina,

    a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Littles

    area). Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering

    menjadi sumber epistaksis (perdarahan hidung) terutama pada anak.(2,5)

    Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan

    arterinya .Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan

    dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor

    predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial(2,5)

    .

    II.5 Persarafan hidung

    Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis

    anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1). Rongga

    hidung lannya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion

    sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan

    persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut

    sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-

    serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit

    di atas ujung posterior konka media.

    Nervus olfaktorius : saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus

    olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerahsepertiga atas hidung.

    (5)

    II.6 Fisiologi hidung

    Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis

    hidung dan sinus paranasal adalah :

    1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara,

    humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal;

    2) Fungsi Penghidu. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan

    adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior, dan sepertiga bagian

    atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir

    atau bila menarik nafas dengan kuat.3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan

    mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;

    4) Fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma

    dan pelindung panas;

    5) Refleks nasal. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti.

    Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas(2)

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    8/40

    II.6.1 Sistem Mukosiliar Hidung

    Gambar 3. Sistim Mukosiliar / Mucociliary Clearance

    Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan

    dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lender ke

    arah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar

    disebut juga clearance mucosiliar atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya.(6)

    Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu gerakan silia dan

    palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan mukus dan bergerak ke arah

    posterior bersama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Alirancairan pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari

    dasar yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus alami. Kecepatan

    kerja pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan suatu partikel yang tidak

    larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana

    enzim ini dapat merusak bakteri. Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A),

    dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan

    Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia

    tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian

    menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan

    perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya

    belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat pentinguntuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang

    terperangkap oleh palut lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit. Kecepatan

    dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm / menit.(6)

    Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka gerakan mukus dalam

    hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke

    dalam celah-celah ini. Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    9/40

    yang jauh dari ostium. Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium,

    dan pada daerah ostium silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit(6)

    Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang

    berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui

    anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal darisinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui

    posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun

    kebawah oleh gerakan menelan(5)

    Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung. Pada segmen hidung

    anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm /

    menit(6)

    2. Mekanisme membau?Mekanismemembau

    Perangsangan sel-sel olfaktoria zat-zat yg menyebabkan perangsangan penciuman

    Sejumlah sel-sel olfaktoriaterpisah mengirimkan akson ke bulbus olfaktoriusuntuk berakhirpada dendrit-dendrit selmitral dalam struktur yg dinamakan glomerulus. Kira-kira 25.000

    akson dari sel olfaktoria masuk pada setiap glomerulus dan besinaps dengan sekitar 25 sel

    mitral yg selanjutnya mengirimkan isyarat ke dalam otak. Terdapata total sekitar 5000

    glomerulus. Serabut-serabut sel mitral (Glomerulus) berjalan melalui traktus olfaktorius dan

    berakhir terutama atau melalui neuron pemancar dalam dua daerah utama pada otak yg

    masing-masing dinamakan area olfaktoria medialdan area olfaktoria lateral. Area olfaktoria

    medial terdiri atas kelompokan inti yg tereletak pada bagian tengah otak superior dan

    anterior terhadap thalamus. Kelompokkan ini terdiri atas septum, pelusidum, gyrus

    subkalosus, area paraolfaktoria, trigonum olfaktoria dan bagian medial substantia perforata

    anterior.

    Area olfaktoria lateral terletak bilateral, terutama di abgian anterior inferior lobus temporalis.Ia terdiri dari area prepiriformis, unkus, bagian lateral substansia perforata anterior dan

    bagian nuklei amigdaloid.

    Traktus olfaktorius sekunder berjalan dari nuklei pada area olfaktoria media dan area

    olfaktoria lateral menuju ke hipothalamus, thalamus, hipokampus dan nuklei batang otak.

    Daerah sekunder ini mengatur respon otomatik tubuh trhdp rangsangan penciuman,

    (Sumber ; Buku Fisiologi Manusia dan mekanisme penyakit, Guyton)

    Zat harus mudah

    menguap, shg ia dpt

    dihirup masuk ke

    lubang hidung

    Harus larut dalam lip

    karena rambut-ramb

    olfaktoria dan ujung lu

    sel-sel olfaktoria terutam

    terdiri atas zat-zat lipid

    Zat harus sedikit larut

    dalam air, shg ia dapat

    melalui mukus utk

    mencapai sel olfaktoria

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    10/40

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    11/40

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    12/40

    Fisiologi hidung

    Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung dan

    sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaringudara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)

    fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk

    menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu

    proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik

    dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5)

    refleks nasal. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

    Mekanisme Penghidu : membau aroma waktu lama, lama kelamaan sudah tidak bau lagi.

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    13/40

    3. Mengapa hidung tersumbat makin lama makin berat sejak bekerja di meubel?

    Pada orang dewasa normal membentuk mukus sekitar 100ml dalam saluran nafas setiap

    hari. Mukus diangkut menuju faring oleh gerakan pembersihan normal dari silia yang

    membatasi saluran pernafasan. Jika terbentuk mukus yang berlebihan maka proses normal

    pembersihan tidak efektif lagi, sehingga mukus tertimbun, bila hal ini terjadi maka membran

    mukosa terangsang dan mukus di batukkan keluar sebagai sputum.

    (Patofisiologi Slyvia A.Price & Lorraine M. Wilson)

    Jika pada proses pembersihan normal dari silia yg membatasi saluran nafas terdapat mukus

    berlebihan, maka proses normal pembersihan tidak efektif lagi sehingga mukus tertimbun.

    Maka membran mukosa terangsang, dan mukus ini dibatukan keluar sebagai sputum.

    Pembentukan mukus yang berlebihan, mungkin disebabkan oleh gangguan fisik, kimiawi

    dan infeksi pada membran mukosa.

    (Patofisiologi buku 2 edisi 4, sylvia A.price tahun 1995)

    Setelah penderita bekerja di mebel dimungkinkan menghirup allergen spesifik yang

    menyebabkan suatu reaksi alergi tipe cepat maupun lambat hasil dari reaksi

    hipersensitivitas ini mengakibatkan keluarnya mediator inflamasi seperti histamine yang akan

    merangsang reseptor pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada

    hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet

    mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terbentuk rinore.

    Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.

    Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

    HIPERSENSITIVITY I

    It is exaggerated because these foreign substances are usually seen by the body as harmlessand no response occurs in non- allergic people. Allergic people's bodies recognize the foreign

    substance and one part of the immune system is turned on.

    The allergic person however, develops a specific type of antibody called immunoglobulin E,

    or IgE, in response to certain normally harmless foreign substances, such as cat dander. To

    summarize, immunoglobulins are a group of protein molecules that act as antibodies. There

    are five different types; IgA, IgM, IgG, IgD, and IgE. IgE is the allergy antibody.

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    14/40

    Why, you may ask, are some people "sensitive" to certain allergens while most are not? Why do

    allergic persons produce more IgE than those who are non-allergic? The major distinguishing

    factor appears to be heredity. For some time, it has been known that allergic conditions tend

    to cluster in families. Your own risk of developing allergies is related to your parents' allergy

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    15/40

    history. If neither parent is allergic, the chance that you will have allergies is about 15%. If one

    parent is allergic, your risk increases to 30% and if both are allergic, your risk is greater than

    60%.

    Another major piece of the allergy puzzle is the environment. It is clear that you must have a

    genetic tendency and be exposed to an allergen in order to develop an allergy. Additionally,

    the more intense and repetitive the exposure to an allergen and the earlier in life it occurs, themore likely it is that an allergy will develop.

    http://www.medicinenet.com/allergy/article.htm

    Reaksi Hipersensitivitas Tipe I (Reaksi Alergi)

    Disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis, timbul sesudah tubuh terpajan dengan

    allergen.

    Alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan

    penyakit

    alergi seperti rhinitis alergi, asma, dan dermatitis atopi. Urutan Kejadian:

    I.FASE SENSITASI

    Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifikpada permukaan sel mast.

    II.FASE AKTIVASI

    Waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen spesifik dan sel mast yang

    melepas isinya yang berisikan granul yang meniimbulkan suatu reaksi, terjadi oleh ikatan

    silang antigen-IgE

    III.FASE EFEKTOR

    Waktu terjadi respon kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas

    oleh sel mast

    Banyak sel mast yang memproduksi mediator-mediator yang dilepaskan lewat granul:1.Histamin

    Komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% isi berat granul. Merupakan mediator

    primer yang dilepas akan diikat oleh reseptornya yang ada 4 (H1,H2,H3, dan H4)

    - H1: permeabilitas vascular meningkat, vasodilatasi, kontraksi otot polos

    - H2: Sekresi mukosa gaster, Aritmia jantung

    - H3: SSP regulator

    - H4: Eosinofil

    2.PG dan LT (Prostaglandin dan Leukotrien)

    Efek biologisnya timbul lebih lambat namun lebih menonjol dan berlangsung lebih lama

    dibanding dengan histamine. LT berperan dalam bronkokontriksi, peningkatan permeabilitas

    vascular, dan produksi mucus. PG berperan pada bronkokontriksi.

    3.Sitokin

    Mengubah lingkungan mikro dan dapat mengerahkan sel inflamasi seperti neutrofil dan

    eosinofil. IL-4 dan IL-13 meningkatkan produksi IgE oleh sel B. IL-5 berperan dalam

    pengerahan dan aktivasi eosinofil. TNF-alpha berperan dalam renjatan anafilaksis.

    Source: Guyton ed. IV

    http://www.medicinenet.com/allergy/article.htmhttp://www.medicinenet.com/allergy/article.htmhttp://www.medicinenet.com/allergy/article.htm
  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    16/40

    Apa yg menyebabkan hidung tersumbat?

    Dalam patogenesis penyakit alergi termasuk rinitis alergi, dapat dibedakan ke

    dalam fase sensitisasi dan elisistasi yang dapat dibedakan atas tahap aktifasi dan tahap

    efektor.20

    Fase sensitisasi

    Semua mukosa hidung manusia terpapar oleh berbagai partikel seperti tepungsari, debu, serpih kulit binatang dan protein lain yang terhirup bersama inhalasi udara napas.

    Alergen/ antigen yang terdeposit pada mukosa hidung tersebut kemudian diproses oleh makrofag

    / sel dendrit yang berfungsi sebagai fagosit dan sel penyaji antigen (APC) menjadi peptida pendek

    yang terdiri dari atas 7-14 asam amino yang berikatan dengan tempat pengenalan antigen dari

    komplek MHC klas II. Sel APC ini akan mengalami migrasi ke adenoid, tonsil atau limfonodi.

    Pada penderita atopik, reseptor sel T (TCR) pada limposit Tho bersama molekul CD4 dapat

    mengenali peptida yang disajikan oleh sel penyaji antigen tersebut. Kontak simultan yang terjadi

    antara reseftor sel T (TCR) bersama molekul CD4 dengan MHC klas II , CD28 dan B7 serta molekul

    asesori pada sel T dengan ligand pada sel penyaji antigen memicu terjadinya rangkaian aktifitas

    pada membran sel, sitoplasma maupun nukleus sel T yang hasil akhirnya berupa produksi

    sitokin.20

    Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus pada seorang penderita yang

    mempunyai bakat alergi (atopik) dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen (APC)

    kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 memacu sel B untuk memproduksi IgE yang

    terus bertambah jumlahnya. IgE yang diproduksi berada bebas dalam sirkulasi dan sebagian

    diantaranya berikatan dengan reseptornya (FCE-RI) dengan afinitas tinggi dipermukaan sel

    basofil dan sel mast. Sel mast kemudian masuk ke venula postkapiler di mukosa yang kemudian

    keluar dari sirkulasi dan berada dalam jaringan termasuk di mukosa dan sub-mukosa hidung.

    Dalam keadaan ini maka seseorang dikatakan dalam keadaan sensitif atau sudah tersensitisasi.

    Dalam fase ini seseorang dapat belum mempunyai gejala rinitis alergi atau penyakit yang lain,

    tetapi jika dilakukan tes kulit dapat memberikan hasil yang positif.

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    17/40

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    18/40

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    19/40

    Fase elisitasi

    1. Tahap aktifasiPada seorang atopik yang sudah sensitif/ tersensitisasi jika terjadi paparan ulang dengan

    alergen yang serupa dengan paparan alergen sebelumnya pada mukosa hidung dapat

    terjadi ikatan/ bridgingantara dua molekul IgE yang berdekatan pada permukaan sel

    mast/ basofil dengan alergen yang polivalen tersebut (cross-linking) (Suprihati, 2006).

    Interaksi antara IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil dengan alergen yang sama

    tersebut memacu aktifasi guanosine triphospate (GTP) binding (G)protein yang mengaktifkan enzim

    phospolipase C untuk mengkatalisis phosphatidyl inositol biphosphat (PIP2) menjadi inositol

    triphosphate (IP3) dan diacyl glycerol (DAG) pada membran PIP2. Inositol triphosphate

    menyebabkan pelepasan ion kalsium intrasel (Ca++) dari reticulum endoplasma. Ion Ca++ dalam

    sitoplasma langsung mengaktifkan beberapa enzim seperti phospolipase-A dan komplek Ca++-

    calmodulin yang mengaktifkan enzim myosin light chain kinase. Selanjutnya Ca++ dan DAG bersama-

    sama dengan membran phospolipid mengaktifkan protein kinase C. Sebagai hasil akhir aktifasi

    ini adalah terbentuknya mediator lipid yang tergolong dalam newly formed mediators seperti

    prostaglandin D2 (PGD2), leukotrien C4 (LTC-4), platelet activating factors (PAF) dan exositosis

    granula sel mast yang berisi mediator kimia yang disebut pula sebagai preformed mediator seperti

    histamin, tryptase dan bradikinin.20

    Histamin merupakan mediator kimia penting yang dilepaskan sel mast karena

    histamin dapat menyebabkan lebih dari 50% gejala reaksi alergi hidung ( bersin,

    rinore, hidung gatal dan hidung tersumbat ). Histamin mempunyai efek langsung pada

    endotel yaitu meningkatkan permeaibilitas kapiler yang menyebabkan proses

    transudasi yang memperberat gejala rinore. Ikatan histamin pada reseptor saraf nocicetif

    tipe C pada mukosa hidungyang berasal dari N-V menyebabkan rasa gatal di hidung dan

    merangsang timbulnya serangan bersin. Efek histamin pada kelenjar karena aktifasi reflek

    parasimpatis mempunyai efek meningkatkan sekresi kelenjar yang menyebabkan

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    20/40

    gejala rinore yang serous. Selain itu histamine juga menyebabkan gejala hidung tersumbat karena

    menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah mukosa hidung terutama konka. Gejala yang segera

    timbul setelah paparan alergen disebut reaksi fase cepat atau reaksi fase segera (RFS). Histamin yang

    sudah dibebaskan dari sel mast akan dimetabolisme oleh histamine N-methyl transferase (HMT) pada

    sel epitel maupun pada endotel.20

    2. Tahap efektorApabila mediator kimia yang menyebabkan reaksi fase segera telah mengalami metabolisme

    dan bersih dari mukosa gejala-gejala klinik akan berkurang. Setelah reaksi fase segera dengan

    adanya pelepasan sitokin dan aktifasi endotel mengakibatkan terjadinya reaksi fase lambat. Reaksi

    fase lambat terjadi pada sebagian penderita (30-35%) RA yang terjadi antara 4-6 jam setelah

    paparan alergen dan menetap selama 24-48 jam. Gambaran khas RAFL adalah tertariknya berbagai

    macam sel inflamasi khususnya eosinofil ke lokasi reaksi alergi yang merupakan sel efektor mayor

    pada reaksi alergi kronik seperti RA dan asma bronkhial. Eosinofil dalam perjalanannya dari sirkulasi

    darah sampai ke jaringan/ lokasi alergi melalui beberapa tahap seperti migrasi (perpindahan)

    eosinofil dari tengah ke tepi dinding pembuluh darah dan mulai berikatan secara reversibel dengan

    endotel yang mengalami inflamasi (rolling)yang diikuti perlekatan pada dinding pembuluh darah

    yang diperantarai oleh interaksi molekul adesi endotel seperti ICAM-1 ( inter cell adhesi molecul-1) danVCAM-1 (vascular cell adhesimolekul-1) yang bersifat spesifik terhadap perlekatan sel eosinofil karena

    sel eosinophil mengekspresikan VLA-4 yang akan berikatan dengan VCAM-1. ICAM-1 juga

    diekspresikan oleh sel epitel mukosa hidung penderita RA yang mendapatkan paparan alergen

    spesifik terus-menerus dan menjadi dasar konsep adanya minimal persistent inflamation (MPI)yang

    terlihat pada rinitas alergi terhadap tungau debu rumah (TDR) dalam keadaan bebas gejala

    (Suprihati, 2006).

    Eosinofil pertama kali dilukiskan oleh Paul Erlich 1879 berdasarkan perilaku spesifik terhadap

    pengecatan. Sekarang eosinofil dengan peran pro-inflamasi dan peran pentingnya pada penyakit

    alergi kronik semakin jelas dikenal dan merupakan subyek penelitian dasar dan terapi. Eosinofil

    berasal dari sumsum tulang berupa progenitor, kemudian berada dalam darah tepi dan juga

    ditemukan di mukosa hidung penderita rhinitis alergi. Dalam darah tepi eosinofil merupakansebagian kecil sel darah (1%) dan mempunyai half-lifeyang pendek (8-18 jam). Pada mukosa hidung

    penderita RA sel eosinofil berperan penting pada perubahan patofisiologis RA karena mengandung

    berbagai mediator kimia seperti mayor basic protein (MBP), eosinophiel cationic protein (ECP),

    eosinophiel derived neurotoxin (EDN) dan eosinophiel peroxidase (EPO) yang mempunyai efek

    menyebabkan desagregasi dan deskuamasi epitel, kematian sel, inaktifasi saraf mukosa dan

    kerusakan sel karena radikal bebas.20

    Peran mediator-mediator inflamasi dalam manifestasi gejala klinis rhinitis alergi

    Reaksi alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) pada rhinitis alergi ditandai oleh

    gejala bersin, beringus, gatal hidung, dan buntu hidung. Gejala-gejala tersebut diakibatkan kinerja

    histamine dan berbagai mediator lain.15

    1. Bersin-bersin (sneezing)Histamin merupakan mediator utama terjadinya bersin. Bersin umumnya merupakan gejala RAFC,

    berlangsung selama 1-2 menit pasca terkena pacuan alergen dihubungkan dengan degranulasi

    mastosit (terlepasnya histamin), dan hanya kadang-kadang terjadi pada RAFL. Bersin disebabkan

    stimulasi reseptor H1 pada ujung saraf vidianus (C fiber nerve ending). Peptida endotelin-1 yang

    dioleskan pada mukosa hidung menyebabkan bersin.15

    2. Gatal-gatal (pruritus)

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    21/40

    Gatal-gatal merupakan kondisi yang mekanismenya tidak sepenuhnya diketahui dengan baik.

    Diduga berbagai mediator bekerja pada serabut saraf halus C tak bermyelin

    (unmyelinated) dekat bagian basal, epidermis,atau mukosa, yang Dapat menimbulkan rasa

    gatal khusus, yang disalurkan secara lambat sepanjang neuron sensoris yang kecil

    didalam nervus spinalis ke thalamus dan korteks sensoris . Gatal-gatal berlangsung terutama

    sepanjang RAFC dan pada rhinitis alergi secara khas menimbulkan gatal palatum. Gatal-gatalterjadi pada saat histamin berikatan dengan reseptor-H1, pada ujung serabut saraf trigeminal dan

    dapat terjadi langsung pasca provokasi histamine. Mungkin juga prostatglandin berperan namun

    hanya kecil saja disalurkan secara lamba.15

    3. Beringus (rhinorrhea)

    Beringus didefinisikan sebagai pengeluaran sekresi kelenjar membrane mukosa hidung yang

    berlebihan, dimulai dalam tiga menit pasca acuan allergen dan berakhir pada sekitar 20-30 menit

    kemudian. Beringus merupakan gejala dominan sepanjang RAFC tetapi juga dapat sepanjang

    RAFL. Sekresi kelenjar tersebut merupakan akibat terangsangnya saraf parasimpatis

    dan mengalirnya cairan plasma dan molekul-molekul protein besar melewati dinding

    kapiler pembuluh darah hidung. Histamin yang dilepas mastosit penyebab utama beringus,

    yang diduga karena histamin meningkatkan permeabilitas vaskuler melalui reaksi langsung pada

    reseptor H1. Dalam berespon terhadap pacuan alergen, beringus dapat terjadi pada hidung

    kontralateral. Hal ini disebabkan terjadinya refleks nasonasal dan sepertinya diperantarai asetilkholin

    karena dapat dihambat oleh atrophin pretreatment. Jadi, beringus hasil induksi alergen merupakan

    akibat kombinasi proses penurunan permeabilitas vaskuler, hipersekresi kelenjar mukosa hidung

    ipsilateral, dan akibat refleks kelenjar mukosa hidung kontralateral.

    Pacuan hidung dengan leukotriene dan bradikinin juga menyebabkan beringus melalui

    mekanisme peningkatan permeabilitas vaskuler dan hipersekresi kelenjar . Mediator lain

    yang juga berperan pada proses beringus(ECP,PAF,LTC4,Substance P dan VIP).15

    4. Buntu hidung (nasal congestion)

    Buntu hidung pada rinitis alergi merupakan kemacetan aliran udara yang tidak menetap, tetapiterjadi temporer akibat kongesti sementara yang bersifat vasodilatasi vaskuler. Mekanisme

    vasodilatasi ini diperantarai reseptor-H1, yang berakibat pelebaran cavernous venous

    sinusoid dalam mukosa konka, sehingga terjadi peningkatan tahanan udara dalam

    hidung. Timbunan sekret dalam hidung juga menambah sumbatan hidung.

    Peningkatan aktivitas parasimpatis juga menyebabkan vasodilatasi dengan akibat buntu

    hidung, namun pengaruhnya kecil saja. Vasodilatasi vaskuler hidung lebih dipengaruhi oleh sejumlah

    mediator antara lain histamin,bradikinin, PGD2, LTC4, LTD4, PAF. Buntu hidung akibat histamin

    sepanjang RAFC berlangsung singkat saja,tidak lebih dari 30 menit setelah bersin-bersin. Sepanjang

    RAFL, peran histamine terhadap vasodilatasi vaskuler juga kecil saja, namun peran leukotrien (LTC4,

    LTD4) pada vasodilatasi adalah sepuluh kali lebih kuat dibanding histamin. Provokasi hidung dengan

    LTD4 menyebabkan peningkatan tahanan udara hidung, tanpa rasa gatal, tanpa bersin-bersin dan

    tanpa beringus. PGD2 dan bradikinin juga jauh lebih kuat dalam menimbulkan buntu hidung.

    Demikian juga neuropeptida substance P dan calcitonin-gene related dapat menimbulkan

    vasodilatasi dan karenanya turut dalam terjadinya buntu hidung (Sumarman,2001).

    Peran sitokin pada rinitis alergi

    Peran sitokin pada penyakit alergi mendapat perhatian para ahli setelah ditemukan oleh Mosmann

    et al (1986). Dilaporkan bahwa sel Th (CD4+) cenderung memproduksi dua jenis sitokin yang berbeda.

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    22/40

    Berdasarkan jenis produk sitokinnya, pada awalnya sel Th dibedakan menjadi sel Th1 dan sel Th2.

    Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi oleh jenis antigen yang

    merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji antigen yang terlibat,

    lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal kostimulator yang diterima sel T serta faktor genetik.

    Pada infeksi intrasel dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain

    oleh sel Th1 yaitu IFN- dan IL-2. Penelitian lebih lanjut ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4,IL-5, IL-9 dan IL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin IFN- dianggap sebagai prototipe sitokin Th1

    sedangkan IL-4 merupakan protipe sitokin Th2.

    Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan mengalami polarisasi menjadi

    sel Th2 yang akan melepaskan kombinasi khas berbagai sitokin yang disebut pula sebagai sitokin tipe

    2 antara lain antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan GM CF yang sifatnya mempertahankan

    lingkungan proatopik yaitu menginduksi sellimfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-sel

    dihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang diproduksi antara lain yang diproduksi oleh

    sel Th1, yaitu:IFN- dan IL-2.

    Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang diproduksi oleh sel Th2, sel

    mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transien, dapat dideteksi dalam w aktu 1-5 jam

    dan ekspresinya hilang setelah 24-48 jam. Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan Th2 adalahmengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan IgG4. Seperti diketahui IgE merupakan kunci untuk

    terjadinya penyakit atopi.

    Sitokin IFN- selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh sel NK dan sel T cytotoxic

    karena itu sering disebut sitokin tipe 1. Dilaporkan bahwa sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah

    reaksi silang kompleks reseptor sel T, sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah sitokin yang

    dihasilkan oleh makrofag berupa TNF-a dan IL-12 dan IFN- sendiri. Dalam respon primernya

    terhadap rangsangan antigen, aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruh lingkungan mikrositokin

    yang ada. Secara bersamaan IFN- dan IL-12 terlibat dalam menentukan diferensiasi sel Th0 untuk

    menjadi fenotipe Th1.

    Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh monosit-makrofag yang

    teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC) yang lain. Yang merupakan sumber utamanya adalahsel-sel dendrit yang memproses dan menyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T. Sel dendrit

    merupakan sel penyaji antigen kunci yang mengaktifkan sel T naivedan dapat dikatakan sel dendrit

    merupakan pengatur diferensiasi sel Th1. Peran tersebut terutama setelah dendrit mengalami

    maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat yang lain . Sel dendrit yang sudah matur

    berkurang kemampuan endositosisnya, sedangkan kemampuan presentasi antigennya meningkat

    dengan mengubah ekspresi reseptor, berada di limfonodi regional dan meningkatkan produksi sitokin

    imunoregulator termasuk IL-12. Sinyal bahaya ditransduksikan oleh tool like receptor (TLR) yang

    diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal bahaya ini cenderung memacu respon

    imun Th1 dengan memacu sel dendrit untuk memproduksi sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan

    sitokin tipe 1 yang lain.

    Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin lingkungan yang terdapat selamaberlangsungnya respon imun. Mediator yang meningkatkan produksi IL-12 adalah IFN- dan TNF-,

    sedangkan yang menghambat produksinya adalah IL-4, IL-13, TGF-B dan IL-10. Di antara mediator-

    mediator tersebut IFN- merupakan stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementara itu

    diketahui IL-12 mempunyai efek memicu produksi IFN-, meskipun secara invitro untuk

    mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-. Produksi IL-12 oleh makrofag dan neutrofil

    dapat dipicu secara langsung oleh lipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari mikroorganisme

    patogen. Dengan demikian sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    23/40

    seluler yang mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama untuk diferensiasi sel

    Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN- oleh sel Th1 dan sel NK. Sementara itu

    IL-12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan monosit oleh IFN- sehingga respon Th1 distabilkan

    oleh suatu jalur feedbackpositif. Gangguan kerja sitokin IL-12 mengakibatkan tidak ada respon Th1

    yang persisten, sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-

    4 dan IL-10 yang merupakan produksi sel Th2.Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan antara sitokin Th2 dengan IL-

    12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya IL-4 dan IL-13 akan menekan produksi IL-12 bila kedua

    sitokin tersebut ditambahkan saat stimulasi monosit tetapi preinkubasi yang lama dengan kedua

    sitokin tersebut (IL-4 dan IL-13) akan memicu produksi IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang penting

    pada penyakit alergi, yaitu PGE2 dan histamin, ternyata juga mempunyai efek menekan produksi IL-

    12.

    Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara luas karena perbedaan

    tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas yaitu hubungan timbal balik antara imunitas humoral

    dan seluler dan menjelaskan terjadinya penyakit alergi sebagai akibat produksi berlebihan oleh sel

    Th2. Sementara itu diketahui bahwa sitokin Th1 (IFN- ) dapat menghambat produksi sitokin Th2 (IL-

    4) dan sebaliknya, sitokin Th2 (IL-4) dapat menghambat produksi sitokin Th1 (IFN-). Dilaporkanbahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah mengalami diferensiasi penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2

    akan memproduksi sitokin yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami

    polarisasi. Akan tetapi sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil

    sitokinnya

    dapat diubah sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan demikian sel memori Th2

    menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-12 yang merupakan pemicu IFN-

    yang poten. Suatu penemuan yang menunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi sel memori relatif

    fleksibel dan dapat dirubah (reprogrammed) merupakan suatu konsep penting dan mempunyai arti

    yang bermakna untuk pengobatan penyakit alergi.

    Kemampuan sitokin IL-12 untuk merubah kembali respon imun Th2 menjadi respon imun TH1

    telah disemonstrasikan baik secara invitro maupun invivo. Secara in vitro diperlihatkan bahwa IL-12mengahambat produksi IL-4 dalam suatu kultur darah tepi penderita alergi dan menekan produksi

    IgE oleh monosit darah tepi. Penelitian lain menunju bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4 dan IL-10

    secara spesifik dan meningkatkan produksi IFN- pada sel T CD4+ pada penderita rinitis alergi.

    Kenapa kalau pilek, posisi tidur mempengaruhi sumbatan dihidung? Cari ya

    4. Mengapa penderita mengeluh rhinore, bersin2, dan hidung gatal?Rhinore : turbulensi

    Yg mempersarafi sel goblet?

    Syarat alergen?

    Apakah bersin2 pd cuaca dingin itu alergi dingin?Beda Mekanisme rhinore akibat virus dan

    Mekanisme pertahanan: ada alergen tersensitisasi mengeluarkan mukus dikeluarkan

    mekanisme bersin, ditelan (kapan ditelan kapan lewat depan?)

    Histologi hidung dan fungsinya?persarafannya?

    5. Mengapa penderita kurang bisa membau parfum bila aromanya tidak tajam?HIPOSMIA

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    24/40

    A. Defek konduktif:

    1. Proses inflamasi/peradangan dapat mengakibatkan hiposmia. Kelainannya meliputirhinitis (radang hidung) dari berbagai macam tipe, termasuk rhinitis alergika, akut, atau

    toksik (misalnya pada pemakaian kokain). Penyakit sinus kronik menyebabkan penyakit

    mukosa yang progresif dan seringkali diikuti dengan hiposmia meski telah dilakukan

    intervensi medis, alergis dan pembedahan secara agresif.

    B.

    Defek sentral/sensorineuralC. Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa olfaktorius pada ataprongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.

    Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila

    nafas dengan kuat. Mukosa olfaktorius terdapat pada atap rongga hidung, konka superior

    dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa ini dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak

    bersilia (pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga

    macam sel yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu

    berwarna coklat kekuningan. Di antara sel-sel reseptor (neuron) terdapat banyak kelenjar

    Bowman penghasil mukus (air, mukopolisakarida, enzim, antibodi, garam-garam dan protein

    pengikat bau). Sejumlah besar kelenjar Bowman terdapat dalam lamina propria pada region

    olfaktorius. Sel-sel reseptor bau merupakan satu-satunya sistem saraf pusat yang dapatberganti secara regular (4-8 minggu)

    3,7,8. Sel reseptor bau adalah sel saraf bipolar yang

    terdapat di daerah yang terbentang di atas dari konka media sampai ke atap, dan daerah

    septum yang berhadapan. Pada mukosa olfaktoria terdapat seratus juta sel olfaktoria dan sel-

    sel ini dikelilingi oleh sel penyokong yang mensekresi lapisan mucus yang terus menerus

    melapisi epitel dan mengirimkan banyak mikrovili rambut silia ke dalam mucus ini. Akson dari

    sel saraf bipolar akan dikumpulkan menjadi satu dalam bentuk serat saraf yang melalui

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    25/40

    lamina kribrosa ke dalam bulbus olfaktorius. Akson dari sel-sel ini membentuk traktus

    olfaktorius yang menuju ke otak2,5,6

    .

    D. Ketika ada inflamasi pada mucosa olfaktorimengganggu sel olfaktoriusKelainan pembauan:

    Pada gangguan penghidu ada beberapa macam terminology diantaranya :

    hiposmia bila daya menghidu berkurang,

    anosmia bila daya menghidu hilang disosmia bila terjadi perubahan persepsi penghidu.

    o Disosmia terbagi lagi menjadi phantosmia : persepsi adanya bau tanpa ada stimuluso parosmia atau troposmia : perubahan persepsi terhadap bau dengan adanya

    stimulus

    o Agnosia : tidak bisa menyebutkan atau membedakan bau, walaupun penderitadapat mendeteksi bau.

    Gangguan pembauan dapat bersifat total (seluruh bau), parsial (hanya sejumlah

    bau), atau spesifik (hanya satu atau sejumlah kecil bau)3,4,5,6

    .

    6. Mengapa penderita sering mengeluh keluar ingus kental dan berwarna kuning yg terasamengalir ditenggorok dan disertai demam?

    Warna kuning : respon dr reaksi hipersensitivitas meningkat brlanjut meningkatkan jumlah

    sel radangmeningkatkan jumlah sitokin sekret banyak, kental, warna kuning.

    Serouse : perkembang biak bakteri > purulen

    Asal cairan dr sel goblet,

    7. Apa hubungan pernah di diagnosa polip dg keluhannya sekarang?8. Apa hub. Penderita riwayat hipertensi dan epistaksis dg keluhan?

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    26/40

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    27/40

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    28/40

    Prinsip pengobatan :a) Perbaiki keadaan umum ( nadi , pernapasan, tekanan darah ) Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu pasang infuse, jika perlu tranfusi darah Jalan napas tersumbat karena bekuan darah / darah bersihkan / diisap

    b) Cari sumber perdarahan ( anterior atau posterior ) Bersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap Pasang tampon sementara yaitu kapas yang diberi adrenalin 1/5000 1/10.000

    dan pantocain atau lidokain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung ( selama

    10 15 menit ) untuk menghentikan perdarahan, mengurangi rasa nyeri pada

    saat dilakukan tindakan selanjutnya setelah vasokonstriksi dapat dilihat asal

    perdarahan dari anterior atau posterior

    c) Hentikan perdarahan Perdarahan anterior

    Menekan hidung dari luar selama 10 15 menit Tempat perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti ( AgNO3 ) 25

    30%

    9. Mengapa keluhan hidung tersumbt dan bersin2 pagi hari?

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    29/40

    Soalnya waktu tidur fungsi tubuh menurun gerakan silia lambat partikel dihidung tdk

    bsa dkeluarkan cepat.

    kalo pagi sudah kembali normal sehingga berusaha mengeluarkan partikel yg menyumbat

    jadinya bersin2.

    10. Bagaimana proses terbentuknya polip dan apa saja keluhan yg bisa ditimbulkan polip?Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosahidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum diketahui dengan pasti tetapi ada

    keragu-raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan

    dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau

    sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak

    mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung

    saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak

    anak. Pada anak anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis.

    Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain :

    1. Alergi terutama rinitis alergi.2. Sinusitis kronik.3.

    Iritasi.

    4. Sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konkaGambar 11: gambaran polip nasi

    (Sumber: Nasal polyps: Article by Bechara Y Ghorayeb, www.otolaryngologyHouston.htm)

    Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada terjadinya polip, yaitu :

    1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung.

    Fenomena Bernoulli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui tempat yang sempit akan

    mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya. Jaringan yang lemah akan terhisap oleh

    tekanan negatif ini sehingga mengakibatkan edema mukosa dan pembentukan polip. Fenomena ini

    menjelaskan mengapa polip kebanyakan berasal dari daerah yang sempit di kompleks ostiomeatal(KOM) di meatus medius. Walaupun demikian polip juga dapat timbul dari tiap bagian mukosa

    hidung atau sinus paranasal dan seringkali bilateral dan multipel.

    Selain dari fenomena Bernouli terdapat beberapa hipotesa lainnya.

    1. Perubahan Polisakarida

    di postulatkan pada 1971 oleh Jackson dan Arihood.

    2. Infeksi

    Infeksi berulang pada sinus predisposisi pada mukosa menjadi perubahan polipoid.

    3. Alergi

    alergi telah di implikasikan sebagai penyebab, sejak sekresi hidung mengandung eosinofil dan pasien

    mempunyai gejala alergi, sering dikaitkan dengan asma dan atopi.

    4. Teori vasomotorGangguan keseimbangan otonomik di duga mungkin sebagai penyebab pada individu non atopi.

    Juga di kaitkan dengan mediator inflamasi, faktor anatomi lokal, dan tumor. Predisposisi genetik

    diketahui sebagai penyebab polipoid pada fibrosis kistik.

    VI. Patofisiologi

    Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang timbul karena suatu peradangan kronik yang

    berulang, kebanyakan terjadi di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan

    http://www.otolaryngology/http://www.otolaryngology/
  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    30/40

    interseluler sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses ini berlanjut, mukosa yang

    sembab makin membesar dan kemudian turun kedalam rongga hidung sambil membentuk tangkai,

    sehingga terjadilah polip.

    Banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan polip nasi. Kerusakan epitel merupakan

    patogenesa dari polip. Sel-sel epitel teraktivasi oleh alergen, polutan dan agen infeksius. Sel

    melepaskan berbagai faktor yang berperan dalam respon inflamasi dan perbaikan. Epitel polipmenunjukan hiperplasia sel goblet dan hipersekresi mukus yang berperan dalam obstruksi hidung dan

    rinorea.

    Polip dapat timbul pada hidung yang tidak terinfeksi kemudian menyebabkan sumbatan yang

    mengakibatkan sinusitis, tetapi polip dapat juga timbul akibat iritasi kronis yang disebabkan oleh

    infeksi hidung dan sinus.

    Dalam teori Bernstein, perubahan inflamasi pertama terjadi pada dinding lateral mukosa hidung

    atau sinus sebagai akibat interaksi virus-host bakteri atau sekunder untuk aliran turbulen. Dalam

    kebanyakan kasus, polip berasal dari daerah meatus tengah kontak, terutama celah sempit di

    kawasan ethmoid anterior yang menciptakan aliran turbulen, dan terutama bila dipersempit oleh

    peradangan mukosa. Ulserasi atau prolaps dari submucosa dapat terjadi, dengan reepithelialization

    dan pembentukan kelenjar baru. Selama proses ini, polip dapat dibentuk dari mukosa akibat prosesinflamasi tinggi sel epitel, sel endotel pembuluh darah, dan fibroblas mempengaruhi integritas

    bioelectric saluran natrium di permukaan luminal sel epitel pernafasan dalam mukosa hidung. Respon

    untuk meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air dan pembentukan polip

    Teori lain melibatkan ketidakseimbangan vasomotor atau epitel rusak. Teori ketidakseimbangan

    vasomotor mendalilkan bahwa peningkatan permeabilitas vaskuler dan peraturan produk

    menyebabkan detoksifikasi vaskular mast-sel (misalnya, histamin). dampak jangka panjang produk

    dalam stroma polip ditandai edema (terutama dalam polip gagang bunga) yang diperburuk oleh

    terhalangnya drainase vena. Teori ini didasarkan pada sel stroma miskin dari polip, yang buruk dan

    tidak memiliki saraf vasokonstriktor vascularized.

    Teori pecah epitel menunjukkan bahwa pecahnya epitel mukosa hidung yang disebabkan oleh

    peningkatan jaringan turgor pada penyakit (misalnya, alergi, infeksi). pecah menyebabkan mukosalamina propria prolaps, membentuk polip. Cacat yang mungkin diperbesar oleh efek gravitasi atau

    obstruksi drainase vena, menyebabkan polip. Teori ini, meskipun mirip dengan Bernstein,

    memberikan penjelasan yang kurang meyakinkan untuk pembesaran polip teori natrium fluks

    didukung oleh data Bernstein. Baik teori benar-benar mendefinisikan memicu peradangan.

    Gambar 12: Fifteen year-old adolescent boy with allergic fungal sinusitis causing right proptosis,

    telecanthus, and malar flattening; position of his eyes is asymmetrical, and his nasal ala on the right is

    pushed inferiorly compared to the left.

    Sumber: Nasal Polyps Article by John E McClay GOOD.htm

    Gambar 13: gambaran endoskopi polip nasi

    (Sumber: Nasal polyps: Article by Bechara Y Ghorayeb, www.otolaryngologyHouston.htm)

    VII. Gejala KlinisGejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan ini

    tidak hilang timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat

    dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka

    sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri kepala dan rinore.

    Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung. Pasien

    dengan polip yang masif biasanya mengalami sumbatan hidung yang meningkat, hiposmia sampai

    anosmia, perubahan pengecapan, dan drainase post nasal persisten. Sakit kepala dan nyeri pada

    http://www.otolaryngology/http://www.otolaryngology/
  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    31/40

    muka jarang ditemukan dan biasanya pada daerah periorbita dan sinus maksila. Pasien polip

    dengan sumbatan total rongga hidung atau polip tunggal yang besar memperlihatkan gejala sleep

    apneaobstruktif dan pernafasan lewat mulut yang kronik.

    Pasien dengan polip soliter seringkali hanya memperlihatkan gejala obstruktif hidung yang dapat

    berubah dengan perubahan posisi. Walaupun satu atau lebih polip yang muncul, pasien mungkin

    memperlihatkan gejala akut, rekuren, atau rinosinusitis bila polip menyumbat ostium sinus. Beberapapolip dapat timbul berdekatan dengan muara sinus, sehingga aliran udara tidak terganggu, tetapi

    mukus bisa terperangkap dalam sinus. Dalam hal ini dapat timbul perasaan penuh di kepala,

    penurunan penciuman, dan mungkin sakit kepala. Mukus yang terperangkap tadi cenderung

    terinfeksi, sehingga menimbulkan nyeri, demam, dan mungkin perdarahan pada hidung.

    Manifestasi polip nasi tergantung pada ukuran polip. Polip yang kecil mungkin tidak menimbulkan

    gejala dan mungkin teridentifikasi sewaktu pemeriksaan rutin. Polip yang terletak posterior biasanya

    tidak teridenfikasi pada waktu pemeriksaan rutin rinoskopi posterior. Polip yang kecil pada daerah

    dimana polip biasanya tumbuh dapat menimbulkan gejala dan menghambat aliran saluran sinus,

    menyebabkan gejala-gejala sinusitis akut atau rekuren.

    Gejala Subjektif:

    v Hidung terasa tersumbatv Hiposmia atau Anosmia (gangguan penciuman)

    v Nyeri kepala

    v Rhinore

    v Bersin

    v Iritasi di hidung (terasa gatal)

    v Post nasal drip

    v Nyeri muka

    v Suara bindeng

    v Telinga terasa penuh

    v Mendengkur

    v Gangguan tidurv Penurunan kualitas hidup

    Gejala Objektif:

    v Oedema mukosa hidung

    v Submukosa hipertropi dan tampak sembab

    v Terlihat masa lunak yang berwarna putih atau kebiruan

    v Bertangkai

    .

    Fisiologi pengaliran mukus? Kandungannya?

    Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini diproduksi oleh kelenjar

    mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai PH 7

    atau sedikit asam, dan lebih kurang komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%.Mukus ini juga mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus,

    telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini, bersamaan dengan

    materi-materi asing yang terperangkap olehnya, secara berkesinambungan ke arah faring dan

    esophagus untuk kemudian ditelan atau dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar,

    yang menyelimuti batang sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya

    adalah lapisan superfisial, Lapisan kedua terdapat diatasnya (superfisialis) terdapat lendir yang lebih

    kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya. Lapisan superfisial ini

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    32/40

    merupakan gumpalan lendir yang tidak berkesinambungan yang menumpang keseluruhan kedua

    lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia,

    karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini

    dinamakan palut lendir. (Ballenger JJ,1994 ; Lindberg, 1997 ; Sakakura, 1997 ; Waguespack R,1995)

    Transportasi mukosiliar atau TMS adalah suatu mekanisme mukosa hidung untuk membersihkan

    dirinya dengan cara mengangkut partikel-partikel asing yang terperangkap pada palut lender kearah nasofaring. Merupakan fungsi pertahanan local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar

    disebut juga clearance mucosiliar atau sistem pembersih mukosiliar sesungguhnya. (Ballenger JJ,1994 ;

    Waguespack R.1995 ; Sakakura, 1997 ; Huang HM. 2000)

    Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu gerakan silia dan palut

    lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan mukus dan bergerak ke arah posterior

    bersama dengan materi asing yang terperangkap di dalamnya ke arah nasofaring. Aliran cairan

    pada sinus mengikuti pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar

    yang kemudian menyebar ke seluruh dinding dan keluar ke ostium sinus alami. Kecepatan kerja

    pembersihan oleh mukosiliar dapat diukur dengan menggunakan suatu partikel yang tidak larut

    dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana

    enzim ini dapat merusak bakteri . Enzim tersebut sangat mirip dengan immunoglobulin A (Ig A) ,dengan ditambah beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan

    Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi virus. Ujung silia

    tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan mukus kemudian

    menggerakkannya ke arah posterior bersama materi asing yang terperangkap ke arah faring. Cairan

    perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kearah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya

    belum diketahui secara pasti. Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting

    untuk kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang

    terperangkap oleh palut lender akan menembus mukosa dan menimbulkan penyakit.

    Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1 sampai 20 mm /

    menit. (Ballenger JJ,1994 ; Sakakura, 1997 ;Nizar, 2000 ; Cohen ; 2006) Karena pergerakan silia lebih

    aktif pada meatus inferior dan media maka gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang,silia cenderung akan menarik lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini.

    Sedangkan arah gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.

    Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan pada daerah ostium

    silia tersebut berputar dengan kecepatan 15 hingga 20 mm/menit (Ballenger JJ,1994 ; Higler, 1997).

    Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret yang

    berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid, kemudian melalui

    anteroinferior orifisium tuba eustachius akan dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari

    sinus etmoid posterior dan sfenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melalui

    posteroinferior orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun

    kebawah oleh gerakan menelan (Soetjipto D & Wardani RS,2007 ) Kecepatan gerakan mukus oleh

    kerja silia berbeda pada setiap bagian hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakansilianya mungkin hanya 1/6 segmen posterior, sekitar 1 hingga 20 mm / menit (Heilger PA , 1997)

    11. Mengapa pasien sering minum obat pilek tapi keluhannya masih? Kandungan,farmakodinamik dan farmakokinetiknya!!

    12. DD?DIFERENTIAL DIAGNOSA

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    33/40

    RINITIS

    definisi

    Menurut WHO 2001 merupakan kelainan pada hidung dengan gejal bersin-bersin, rinore, rasa gatal,

    hidung tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh IgE

    Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

    etiologi dan klasifikasi

    Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

    a. Alergen InhalanYang masuk bersama dengan udara pernafasan misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel,

    dan bulu binatang serta jamur.

    b. Alergen IngestanYang masuk ke saluran cerna berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat, ikan, udang.

    c. Alergen InjektanYang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin dan sengatan lebah.

    d. Alergen KontaktanYang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik, perhiasan.

    Dengan adanya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

    a. Respons primerTerjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non

    spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan reaksi

    berlanjut menjadi respon sekunder.

    b. Respons sekunder

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    34/40

    Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan ialah

    system imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi

    pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau memang sudah ada defek dari system

    imunologik maka reaksi berlanjut dengan respon tertier.

    c. Respons tertierReaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifatsementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

    Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenam

    patofisiologi

    Tahap sensitisasi

    Makrofag / monosit berperan sebagai APC (Antigen Presenting Cell) menangkap allergendi mukosa hidung

    Antigen membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA IImembentuk kompleks peptide MHC kelas II, kemudian dipresentasikan pd sel T helper(Th

    0) Aktivasi sitokin seperti IL 1 oleh APC, untuk aktivasi Th0 menjadi Th 1 dan Th 2 Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL13 IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga limfosit B

    aktif dan memproduksi IgE

    Ig E di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaansel mastosit atau basofil (sel mediator) proses sensitisasi

    Bila mukosa tersensitasi, terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig Eakan mengikat allergen spesifikdegranulasi mastosit basofilprediators mediator

    terlepas, terutama histamine dan lainnya (PGD2, Lt D4, PAF, bradikinin)reaksi alergi

    fase cepat

    Histamin merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga gatal dan bersin2 Histamin menyebabkan sel goblet dan mukosa hipersekresi dan permeabilitas kapiler

    meningkatrinorrhea

    Vasodilatasi sinusoidhidung tersumbat Histamine merangsang mukosa hidung ICAM 1 Pada IPAR, sel mastoid akan melepas molekul kemotaktikakumulasi eosinofil dan

    neutrofil di jaringan target (berlanjut 6-8 jam pasca paparan). Pd fase ini, factor non

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    35/40

    spesifik dpt memperberat gejala seperti asap rokok, bau yg merangsang, perubahan

    cuaca, kelembaban yang tinggi

    Tahap provokasi/ reaksi alergi

    Immediate Phase Allergic Reactionsejak kontak allergen sampai 1 jam

    Late phase allergic reaction, berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase

    hiperreaktivitas) setelah pemaparan dapat berlangsung sampai 24-48 jam

    Gejala klinik

    Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar

    ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal yang kadang-

    kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).

    Gejala spesifik terdapat bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena

    sekunder akibat obstruksi hidung (gejala ini disebut allergic shiner). Sering tampak anak menggosok-

    gosok hidung (disebut allergic salute). Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan

    mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah (disebut allergic

    crease)

    Sumber : buku ajar ilmu kesehatan THT dan KL FKUI edisi keenampenatalaksanaan

    a. Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya.b. Simtomatis- Medikamentosa

    Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja secara inhibitor

    kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang

    paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat

    dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

    Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (kiasik)

    dan generasi-2 (non sedatif).

    Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak(mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk

    kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin se-

    dangkan yang dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.

    Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak.

    Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek antikolinergik,

    antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral

    dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respons fase cepat

    seperti rinore, bersin, gataf, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung

    pada fase lambat.

    Antihistamin non sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.

    Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan

    dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak.

    Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin dan fexofenadin.

    Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan

    hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topikal. Namun

    pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari

    terjadinya rinitis medikamentosa.

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    36/40

    Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase

    lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid

    topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat dan triamsinolon).

    Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,

    mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,

    mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsifterhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat

    sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion

    kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini

    juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan

    monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

    Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk

    mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.

    Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi di masa yang akan datang adalah anti

    leukotrien, anti IgE, DNA rekombinan.

    - OperatifTindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konkainferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi

    memakai AgN03 25% atau triklor asetat.

    c. ImunoterapiSINUSITIS

    Rinosinusitis

    Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus

    paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut sebagai rinosinusitis. Bila

    mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal

    disebut pansinusitis. (Soetjipto D & Wardani RS,2007)

    Menurut Konsensus International tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan

    batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3 bulan atau 12 minggu dan

    kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Soetjipto D & Wardani RS,2007) Rinosinusitis kronis

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    37/40

    adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau

    4 kali serangan akut berulang pertahun yang masing-masing serangan lebih dari 10 hari.

    Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2

    gejala minor. Pemeriksaan fisik THT dengan menggunakan nasoendoskopi dan foto polos hidung dan

    sinus paranasal atau SPN. (Busquets JM ,2000 ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)

    Gejala Mayor :Hidung tersumbat

    Sekret pada hidung / sekret belakang hidung / PND

    Sakit kepala

    Nyeri / rasa tekan pada wajah

    Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

    Gejala Minor :

    Demam, halitosis

    Pada anak ; batuk, iritabilitas

    Sakit gigi

    Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.

    Kriteria lain dalam menegakkan rinosinusitis adalah berdasarkan European PositionPaper On Rhinosinusitis And Nasal Polyps (EPOS), 2007, maka panduan untuk

    penatalaksanaan rhinosinusitis kronispada orang dewasa bagi para dokter spesialis THT adalah

    sebagai berikut :

    Gejala dan tanda

    Gejala yang timbul lebih dari 12 minggu.

    Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung tersumbat /

    pembengkakan / keluarnya cairan dari hidung ( cairan hidung yang menetes keluar bisa melalui

    anteriormaupun posterior) :

    disertai rasa sakit pada wajah / rasa tertekan pada wajah

    berkurang / hilangnya penciuman

    Berdasarkan anamnesis ada tanda-tanda alergi seperti : bersin , ingus yang cair, hidung gatal dan

    mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi tersebut maka dilakukan tes alergi.

    (Fokkens W.2007)

    2.8 Kekerapan

    Kaszuba, 2006, mencatat bahwa penyakit sinusitis akut ataupun kronik telah dapat

    diperkirakan meningkat hingga mencapai 31 juta orang setiap tahunnya dengan perkiraan rata-rata

    4 hari tidak bekerja setiap tahunnya akibat menderita penyakit tersebut. Sebagian besar pasien

    dengan rinosinusitis mencari pengobatan langsung dengan dokternya, dengan lebih dari 18 juta yang

    berkunjung ke praktik dokter setiap tahunnya yang terdiagnosis penyakit rinosinusitis. (Kaszuba,

    2006)Pada tahun 1996, di Amerika Serikat , seluruh pelayanan kesehatan mencatat bahwa

    pelayanan yang dikeluarkan hingga berakhir dengan tegaknya diagnosis sinusitis diperkirakan lebih

    dari 5,8 miliar dolar Amerika dan termasuk dalam 10 besar diagnosis penyakit pada seluruh

    kunjungan praktik dokter di Amerika Serikat. (Kaszuba,2006)

    Sedangkan Chen Bei, 2006, memperkirakan bahwa rinosinusitis adalah salah satu keluhan

    medis yang terbanyak dijumpai, hingga mencapai 16% populasi, dan diperkirakan 13 juta setiap

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    38/40

    tahunnya yang berkunjung ke praktik dokter di Amerika Serikat dan diperkirakan menghabiskan

    biaya sekitar 6 milliar dolar Amerika setiap tahunnya. (Chen B, 2006)

    Di RSUP.H.Adam Malik Medan jumlah penderita rinosinusitis dari bulan Januari 2006

    Desember 2008 adalah 1967 orang.

    2.9 PatofisiologiFungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus agar tetap normal.

    Hal ini berhubungan erat dengan keadaan KOM penderita. Apabila KOM terganggu dapat

    menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi yang menurunkan kandungan oksigen, peningkatan

    PCO2, menurunkan pH, mengurangi

    aliran darah mukosa. Pembengkakan mukosa juga dapat menyempitkan ostium dan

    menurunkan fungsi pembersihan mukosiliar. (Ballenger JJ, 1994 ; Busquets JM, 2006 ; Wilma T, 2007)

    Sakakura, 1997, menerangkan bahwa patofisiologi dari rinosinusitis kronik berawal dari

    adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoaktif

    amin, proteases, arachidonic acidmetabolit, imun kompleks, lipopolisakarida dan lain-lain. Hal- hal

    tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan dari mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan

    disfungsi mukosiliar. Adanya disfungsi mukosiliar menyebabkan terjadinya stagnasi mukus. Akibatnya

    bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan proses inflamasi akan kembali terjadi.

    (Katsuhisa K, 2001 ; Sakakura, 1997)

    2.10 Gejala Klinis Dan Diagnosa

    Rinosinusitis didiagnosis apabila dijumpai 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejalaminor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang dijumpai, maka diperkirakan

    sebagai persangkaan rinosinusitis yang harus termasuk sebagai diagnosis banding. (Busquets JM ,2000

    ; Draft , 1995 ; Stankiewicz, 2001)

    Gejala Mayor :

    Obstruksi hidung

    Sekret pada hidung / sekret belakang hidung

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    39/40

    Sakit kepala

    Nyeri / rasa tekan pada wajah

    Kelainan penciuman (hiposmia / anosmia)

    Gejala Minor :

    Demam, halitosis

    Pada anak ; batuk, iritabilitasSakit gigi

    Sakit telinga/ nyeri tekan pada telinga/rasa penuh pada telinga

    Tx.

    Cairan Salin

    Cairan Salin sebagai adjuvan terapi pada sinusitis dapat mencegah sekresi krusta pada

    rongga hidung, khususnya di KOM. Hal ini difasilitasi oleh gerak mekanik silia dalam mendorong

    gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin

    kemungkinan dapat mengurangi edema mukosa secara difusi berdasarkan kandungan

    osmolaritasnya. Hal ini dapat meningkatkan daya pembersihan mukosiliar dan secara sekunder

    dapat memperbaiki patensi dari ostium sinus. Penelitian dari Mayers et al, menunjukkan bahwa

    terjadi peningkatan sebesar 12 kali dalam peningkatan pembersihan mukosiliar yang dibuktikandengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan cairan yang sama dengan cairan buffer

    hipertonik salin. (Talbot AR, 1997 ; Raymond GS,2005, Shoseyov D, 2005)

    Bagaimana cara hipertonik salin dapat memperbaiki Sinusitis Kronis (SK) masih belum dimengerti.

    Perubahan morfologi dari mukosa respirasi pada SK menunjukkan adanya disorientasi siliar,

    hilangnya sel-sel silia dan peningkatan jumlah sel non silia, metaplasia, ekstrasi dari sel-sel epitel dan

    silia-silia yang pendek yang kesemua hal tersebut mengindikasikan sebagai suatu siliogenesis.

    Hiperosmolaritas dari cairan terhadap jalan napas dapat meningkatkan jumlah pengeluaran Ca2+

    dari dalam sel (intraseluler) dan peningkatan Ca2+

    ini mungkin

    dapat merangsang peningkatan dari frekuensi gerak silia dan hal ini kemungkinan juga

    dipengaruhi oleh adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat(ATP) oleh axon-axon silia. Efekantibakterial topikal dari hipertonik salin dikenal baik dapat memperbaiki luka dan mencuci luka

    yang terbuka. (Shoseyov D, 2005)

    Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF)

    Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan tehnik terbaik untuk penatalaksanaan

    rinosinusitis kronik sampai dengan saat ini. BSEF lebih konservatif dengan morbiditas yang rendah

    apabila dibandingkan dengan tehnik operasi yang lain, (Kennedy DW,2006).

    Tehnik bedah ini pertama kali diperkenalkan oleh Messerklinger dan dipopulerkan oleh Stamberger

    di Eropa dan Kennedy di Amerika dengan sebutan functional endoscopik sinus surgery(FESS). Tehnik

    operasi ini dilakukan secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi sampai

    etmoidektomi total (Ahmed, 2003; Kennedy DW, 2006).Konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel pada fungsi

    mukosiliar dan patologi mukosa dengan cara memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di

    daerah komplek osteomeatal / KOM dan untuk memulihkan fisiologi dari ventilasi serta drainase sinus

    paranasal di daerah KOM ke jalan alamiah, karena meskipun kelainan di KOM sangat minimal

    dapat mengganggu ventilasi sinus dan mucociliary clearance (Busquets JM,2006 ; Katsuhisa I.1996 ;

    Kennedy DW,2006)

  • 7/28/2019 Step 7 Tht Lbm 3 Ulil

    40/40

    Setelah penelitian Messerklingerpada tahun 1950-1960 an telah banyak peneliti lain yang

    mengkaji ulang serta berusaha membuktikan kevaliditasan teori beliau baik secara simptomatik,

    radiologi, dan mengevaluasi secara patologi pada

    sebelum dan sesudah operasi dan salah satunya adalah Katsuhisa. Menurut beliau konsep

    dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel pada fungsi mukosiliar dan

    patologi mukosa hidung dengan cara memperbaiki patologi penyakit sinusitis kronis di daerah KOM,memperbaiki mukosa sinus yang telah rusak dengan cara membuka ostium sinus sealamiah mungkin

    dan bersamaan itu juga memulihkan fisiologi dari ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga

    daya pembersihan mukosiliar meningkat. (Katsuhisa I. 1996 : Bassiouny. 2003 : Wilma T.2007)

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf

    Klasifikasi Sinusitis

    Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai delapan

    minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

    Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat minggu,

    subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan atau

    berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectiousatau non-infectious(Mangunkusomo dan

    Soetjipto,2007; Sobol, 2011).

    Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997).

    Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe

    dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala

    sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe

    dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah

    infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007).

    http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdfhttp://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf