status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama...

71
1 STATUS WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN YANG BERBEDA AGAMA DENGAN BAPAK KANDUNG MENURUT AGAMA ISLAM S K R I P S I Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam Disusun oleh : Achmad Abidin PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM JURUSAN AL AKHWAL AS SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1429 H / 2008 M

Upload: trinhnhan

Post on 28-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

1

STATUS WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN YANG BERBEDA AGAMA DENGAN BAPAK KANDUNG

MENURUT AGAMA ISLAM

S K R I P S I

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam

Disusun oleh :

Achmad Abidin

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM JURUSAN AL AKHWAL AS SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1429 H / 2008 M

Page 2: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

2

STATUS WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN

YANG BERBEDA AGAMA DENGAN BAPAK KANDUNG MENURUT AGAMA ISLAM

S K R I P S I

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam

Oleh :

Achmad Abidin 102044225073

di bawah Bimbingan

Porf. Dr. H. Hasanuddin AF, MA. NIP : 150 050 917

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM JURUSAN AL AKHWAL AS SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

1429 H / 2008 M

Page 3: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

3

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul STATUS WALI NIKAH BAGI ANAK PEREMPUAN YANG BERBEDA AGAMA DENGAN BAPAK KANDUNG MENURUT HUKUM ISLAM telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 30 Mei 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Administrasi Keperdataan Islam (Al Akhwal As Syakhsiyyah).

Jakarta, 30 Mei 2008 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 150210422 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH ( ………………… ) NIP. 150 169 102 2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, M.Hum ( ………………… ) NIP. 150 285 972 3. Pembimbing : Prof. DR. H. Hasanuddin. AF, MA ( ………………… ) NIP. 150 050 917 4. Penguji I : Drs. Mujar, M.Ag ( ………………… ) NIP. 150 275 509 5. Penguji II : Jaenal Arifin, M.Ag ( ………………… ) NIP. 150 289 202

i

Page 4: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

4

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, penulis panjatkan atas segala rahmat,

karunia, hidayah, dan inayah-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan skripsi ini. Sholawat srta salam

mudah-mudahan tetap tercurahkan dan tersanjungkan kepada Nabiyullah Muhammad

SAW, Rasul yang berjasa bear kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu

pengetahuan dan rahmat bagi sekalian alam. Serta lantunan doa untuk keluarga ,

sahabat dan seluruh ummatnya yang patuh dan setia sampai akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “STATUS WALI NIKAH BAGI ANAK

PEREMPUAN YANG BERBBEDA AGAMA DENGAN BAPAK KANDUNG

MENURUT HUKUM ISLAM”, Penulis susun dalam rangka memenuhi dan

melengkapi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S1) pada

Jurusan Al-Akhwal Al-Syakhsiyyah program studi Administrasi Keperdataan Islam

Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Setulusnya dari hati yang paling dalam penulis menyadari bahwa, suksesnya

penulisan skripsi ini tidak begitu saja dapat diselesaikan dan bukan semata-mata atau

penulis pribadi, namun juga karena banyaknya bantuan dan motivasi dari berbagai

ii

iii

Page 5: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

5

pihak. Oleh karena itu penulis ingin mempersembahkan ucapan terima kasih yang

mendalam kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MM. Selaku Dekan Fakultas

Syari’ah dan Hukum.

2. Bapak Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, selaku ketua jurusan Al-Akhwal

Al Syakhsiyyah.

3. Kamarusdiana, S.Ag, M.Hum selaku sekretaris jurusan Al Akhwal Al

Syakhsiyyah.

4. Bapak Prof. Dr. Hasanuddin AF. MA, yang telah banyak meluangkan waktu dan

pikiran, guna memberikan bimbingan dan arahannya kepada penulis dalam

penyusunan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Mujar, M.Ag dan Bapak Jaenal Aripin, M.Ag selaku penguji, yang

telah meluangkan waktu buat penulis untuk meluruskan karya tulisan ini, karena

penulis yakin bahwa karya tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan.

6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah yang telah

mengabdikan seluruh ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di

bangku kuliah.

7. Segenap pengelola perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan

Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepadsa penulis

dalam mencari data-data pustaka.

iv

Page 6: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

6

8. Ibunda tercinta, serta kakak-kakakku yang selalu penulis hormati dan sayangi dan

yang senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan

bimbingan baik moril maupun, petuah dan do’a, demi kesuksesan penulis,

mudah-mudahan Allah SWT mengampuni dosa mereka.

9. Buat kamu yang telah menemani penulis menyelesaikan tugas ini tiada waktu

yang tertinggal, selain mendampingi penulis mengerjakan karya tulis ini.

10. Teman-teman AKI angkatan 2002 yang selalu memberikan motivasi dan

supportnya dalam penyelesaian skripsi ini. Terutama kepada Yanti, Leni, Bunga,

Iin, Ina, Afandi, Mumu, Muli, juga Dewi dan UIN, tapi lebih utama lagi buat Mas

Harry yang telah membantu penulis sepenuhnya.

Akhirnya penulis dengan segala kerendahan hati berharap, semoga kebaikan

dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan

yang berlipat ganda dari Allah SWT.

Jakarta,

Penulis

ACHMAD ABIDIN

v

Page 7: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

7

DAFTAR ISI

Lembar Judul ……………………………………………………………………

Lembar Persetujuan Pembimbing …………………………………………… i

Lembar Pengesahan ………………………………………………………… ii

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… iii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………… vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………. 3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………….. 3

D. Metode dan Teknis Penulisan …………………………………… 4

E. Sistematika Penulisan …………………………………………… 6

BAB II PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PERNIKAHAN

A. Pengertian dan Hukum Melakukan Pernikahan ………………… 7

A. Rukun Pernikahan ……………………………………………….. 13

B. Larangan Pernikahan ……………………………………………. 15

C. Tujuan dan Hikmah Pernikahan ………………………………… 20

BAB III PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PERWALIAN

A. Pengertian Wali Dalam Pernikahan …………………………….. 27

B. Syarat-Syarat Wali ……………………………………………… 31

C. Macam-Macam Wali ……………………………………………. 35 vi

Page 8: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

8

BAB IV TUJUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERWALIAN

BEDA AGAMA DALAM PERKAWINAN

A. Perwalian Dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam ………….. 41

B. Fungsi dan Hikmah Wali Dalam Pernikahan …………………… 48

C. Perwalian Beda Agama Dalam Pernikahan Menurut

Hukum Islam …………………………………………………….. 50

1.1. Wanita Muslimah Sedang Wali Yang Berhak

Menikahkannya Adalah Kafir ……………………………… 50

1.2. Wanita Non-Muslim Sedang Wali Yang

Mewalikannya Adalah Muslim ……………………………. 52

D. Analisis Penulisan Tentang Perwalian Beda Agama

Dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam dan

Hukum Non-Muslim ……………………………………………. 54

BAB V PENUTUP

Kesimpulan ………………………………………………………….. 59

DAFTAR PUSTAKA

vii

Page 9: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan perjanjian yang suci dan kuat untuk hidup bersama

secara sah antara seseorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam

membentuk keluarga yang kekal, di samping itu juga santun menyantuni, kasih

mengasihi supaya tentram dan bahagia atau sakinah, mawaddah. Karena itu

pernikahan harus dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-

rukunnya.

Sebagai salah satu syarat sahnya nikah adalah adanya seorang wali, sebab

itu wali menempati kedudukan yang sangat penting dalam pernikahan. Seperti

diketahui dalam prakteknya, yang mengucapkan “Ijab” adalah pihak perempuan

dan yang mengucapkan ikrar “qobul” adalah pihak laki-laki, disinilah peranan

wali sangat menentukan sebagai wakil dari pihak calon pengantin perempuan.

Kedudukan wali nikah dalam hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun

nikah, oleh karena itu imam Syafi’i berpendapat bahwa nikah dianggap tidak sah

atau batal, apabila wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada. hal itu

berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa ali nikah

1

Page 10: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

10

tidak merupakan salah satu rukun nikah. Karena itu, nikah dipandang sah

sekalipun tanpa wali.

Perkawinan merupakan kebutuhan biologis dan psikologis manusia sejak

zaman dahulu. Pernikahan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi

kehidupan manusia, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Karena itu,

perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku

pernikahan dinyatakan sah bila terpenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya.

Diketahui bahwa masalah perwalian dalam pernikahan masih banyak

dipermasalahkan. Di satu pihak ada yang berpendapat bahwa salah satu rukun

yang menentukan keabsahan nikah adsalah wali. Dipihak lain ada pula yang

berpendapat tanpa adanya wali, pernikahan tetap sah, bila calon pengantin telah

mencapai usia dewasa. Adapun batas usia dewasa dalam undang-undang nomor 1

tahun 1974 dan BW (Burgelijk Wetboek) disebutkan bahwa batas usia dewasa

adalah 21 tahun.

Masalah perwalian dalam pernikahan menurut undang-undang nomor 1

tahun 1974 pada bagian penjelasan dinyatakan cukup jelas. Padahal

sesungguhnya hal tersebut belum begitu jelas. Masalahnya adalah siapakah yang

sebenarnya berhak menjadi wali nikah?. Menurut penulis bahwa yang dimaksud

wali dalam undang-undang tersebut adalah izin dari orang tua. Dalam prakteknya

terdapat permasalahan apakah izin dari orang tua tersebut harus secara tertulis

atau tidak.

Page 11: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

11

Dewasa ini perwalian beda agama banyak terjadi, khususnya dikecamatan

pasanggrahan, sehingga tidak jarang hal ini membuat sulit kedua pasangan untuk

melaksanakan pernikahan. Belum lagi jika seorang non-muslimah masuk ke

dalam agama Islam, sehingga saat pernikahan terjadi kesulitan khususnya tentang

kedudukan wali tersebut. Sebaliknya ketika seorang bapak non muslim masuk ke

dalam agama Islam sementara putrinya tetap pada agamanya. Maka, hal itu pun

menjadi masalah dalam perkawinan adalah batasan masalah yang penulis

tuangkan dalam skripsi ini.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan

dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana tinjauan hukum Islam tentang perwalian bagi anak perempuan

yang berbeda agama dengan bapak kandungnya ?

2. Siapa yang berhak menikahkan, di kala seorang wali berbeda agama dengan

anak yang akan dinikahkannya ?

3. Apa hikmah adanya wali dalam pernikahan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa tujuan tentang masalah perwalian beda

agama dalam pernikahan. Adapun tujuan dari penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mendapat sebuah gambaran problematika tentang perwalian beda agama

ditinjau menurut hukum Islam dalam pernikahan.

Page 12: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

12

2. Mengetahui seorang yang berhak menjadi wali anak perempuan, jika seorang

wali berbeda agama dengan anak yang akan dinikahkannya.

3. Untuk mengetahui hikmah dan fungsi wali dalam sebuah pernikahan-

pernikahan.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini adsalah sebagai berikut :

1. Dapat mengetahui lebih dalam tentang perwalian dalam pernikahan,

khususnya perwalian beda agama.

2. Menambah literature kepustakaan

D. Metode dan Teknis Penulisan

Untuk memperoleh sumber yang memadai dalam membahas permasalahan

pada skripsi ini, penulisan menempuh dua metode, yaitu metode penelitian

pustaka dan metode penelitian lapangan. Kedua metode itu secara rinci dan

diuraikan di bawah ini :

1. Metode penelitian pustaka (Library Research)

Cara untuk mendapatkan bahan-bahan melalui metode Library research

ini, penulis membawa buku-buku yang berkaitan denga pokok masalah

terutama buku-buku yang berkaitan dengan pokok masalah terutama buku-

buku dan kitab-kitab serta berbagai sumber lainnya yang menjadi dasar

metode penelitian dan juga sumber hukum Islam. Setelah mendapatkan bahan

yang memadai, penulis mengadakan analisis perbandingan tinjauan hukum

Page 13: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

13

Islam tentang perwalian beda agama dalam pernikahan, metode tersebut

merupakan langkah untuk mendapatkan data sekunder.

2. Metode penelitian lapangan (Field Research)

Metode ini adalah untuk menentukan dan primer dalam skripsi, yaitu

untuk mendapatkan penjelasan-penjelasan dalam praktek hukum tentang

perwalian dalam pernikahan. Penelitian antara lain dengan cara wawancara

dengan petugas di Kantor Urusan Agama (KUA).

Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan wawancara kepada petugas

pencatat nikah yang berada di kantor tersebut tentang masalah perwalian beda

agama dalam pernikahan.

Dengan menempuh kedua metode tersebut diharapkan data atau bahan

yang diperoleh menjadi lengkap, sehingga pokok masalah dalam skripsi ini

dapat dianalisa dengan jelas dan lengkap.

Teknik penulisan skripsi ini mengikuti pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi, FSH” UIN Jakarta.

3. Metode Analisis (Analysist Research)

Cara untuk mendapatkan bahan-bahan melalui analisis data yang didapat

atau diperoleh dari penjelasan-penjelasan dalam praktek hukum tentang

perwalian dalam pernikahan. Metode ini diambil dari penelitian dengan cara

wawancara kepada masyarakat setempat dalam mengetahui masalah

perwalian beda agama dalam pernikahan.

Page 14: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

14

Dengan menempuh metode tersebut diharapkan data atau bahan yang

diperoleh menjadi lengkap, sehingga pokok masalah dalam skripsi ini dapat

dianalisa dengan jelas dan lengkap.

E. Sistematika Penulisan

Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Kelima bab tersebut seara

rinci adalah sebagai berikut :

BAB I Bab ini berisi pembahasan tentang latar belakang masalah. Pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode dan

teknik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II Berisi pembatasan tentang pengertian dan hukum pernikahan, rukun

pernikahan, larangan pernikahan, tujuan dan hikmah pernikahan.

BAB III Membahas tentang pengertian wali dalam pernikahan, syarat-syarat

wali dan macam-macam wali.

BAB IV Bab ini berisi bahasan tentang perwalian dalam pernikahan menurut

hukum Islam, fungsi dan hikmah wali dalam pernikahan, perwalian

beda agama dalam pernikahan menurut hukum Islam, serta analisis

penulis tentang perwalian beda agama dalam pernikahan menurut

hukum Islam.

BAB V Bab ini membahas tentang kesimpulan dan saran.

Page 15: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

15

BAB II

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PERNIKAHAN

A. Pengertian dan Hukum Melakukan Pernikahan

Kata “nikah” atau “kawin” itu berasal dari bahasa Arab “nakaha” (⌧ )

“nikahan” ( ) “wanak hat al-mar’ati ( ) artinya mengawini

perempuan1. Mahmud Yunus dalam kitab kamusnya mengatakan bahwa nikah

berasal dari kata “nakaha” (⌧ ) “yankihu” (⌧ ) “nak han ( ),

nikahan ( ) yang artinya mengawini2. Dalam hal ini, Imam Jalaluddin Al-Mahally memberikan pengertian nikah

yaitu “Nikah menurut bahasa ialah, bergaul dan bercampur. Sedangkan menurut

syara’ yaitu. Akad yang mengandung bolehnya menggauli wanita dengan lafaz

menikahkan atau mengawinkan”.3

Menurut kamus Bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin”

yang berarti perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri.4 Dalam

1 Louis Ma’luf, Al-Munjid. (Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986), Cet. Ke-26, H. 836 2 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah

Tafsir Al-Qur’an, 1973), cet. Ke-1, h. 467. 3 Jalaluddin Al-Mahally, Minhaj Al-Thalibin, (Al-Qahirah: Ihya Kutub Al-Arabiyah, 1950).

Juz III, h. 321. 4 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum BahasaIndonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), Cet.

Ke-6, h. 453.

7

Page 16: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

16

kamus lain disebutkan bahwa nikah merupakan “perjanjian antara laki-laki dan

perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi)”.5

Lebih lanjut Mahmud Yunus Mengemukakan pengertian nikah sebagai

berikut: “Perkawinan adalah aqad antara calon suami dan calon istri untuk

memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur syari’at. “Selanjutnya dikemukakan

bahwa yang dimaksud aqad nikah ialah ijab dari pihak wali perempuan atau

wakilnya dengan qobul dari pihak calon suami atau wakilnya.6

Adapun tentang makna pernikahan secara terminology, ulama fiqih berbeda

dalam mengungkapkan pendapatnya, antara lain sebagai berikut :

a. Ulama Hanafiah, mendefiniskan pernikahan sebagai suatu akad yang berguna

untuk memiliki mu’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-laki dapat

menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk mendapatkan

kesenangan atau kepuasan.

b. Ulama Syafi’iyyah, menyebutkan bhawa pernikahan adalah suatu akad dngan

menggunakan lafaq nikah atau Zauj yang menyimpan arti memiliki “wath’i”,

artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau mendapatkan

kesenangan dari pasangannya.

c. Ulama Malikiyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang

mengandung arti untuk mencapai kepuasan dengan tidak mewajibkan adanya

harga.

5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 1989), h. 614. 6 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), h.1

Page 17: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

17

d. Ulama Hanabilah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah akad dengan

menggunakan lafaq nikah / at-taqwiij untuk mendapatkan kepuasan, artinya

seorang laki-laki dapat memperoleh kepuasan dari seseorang perempuan dan

sebaliknya.7

Apabila ditinjau dari segi adanya kepastian hak pemakaian perkataan nikah

di dalam Al-Qur’an dan Hadist, maka nikah dengan arti perjanjian atau perikatan

lebih tepat dan banyak dipakai dari pada “nikah” dengan arti al-wat’I (setubuh).8

Persoalan pernikahan adalah persoalan manusia yang mencakup kehidupan

manusia dan mudah timbul emosi dan perselisihan. Karena itu adanya kepastian

hukum bahwa telah terjadi suatu perkawinan sangat diperlukan. Demikian pula di

dalam Al-Qur’an dan Hadist-hadist Nabi, perkataan nikah pada umumnya

diartikan dengan perjanjian perikatan.9 Sebagaimana Firman Allah SWT :

Artinya : “Dan kawinkanlah (akad) orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (QS.An-Nur 24:32)

7 Abdurrachman Al-Jaziri, Kitab Fiqih ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah, (Mishr : Al-Maktabah

at-Tijariyyatul Kubra), juz. IV, h.2. 8 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang,

1974), cet. Ke-1, h.12 9 Ibid

Page 18: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

18

Dalam ayat lain Allah berfirman :

Artinya : “Diantara kamu tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantara rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir.” (QS.An-Rur 30:21)

Berdasarkan ayat tersebut dapatlah diambil suatu pengertian bahwa

perjanjian yang kuat itu berupa aqad, yaitu berupa ijab dan qobul. Perjanjian itu

dikatakan kuat karena meliputi ikatan lahir batin yang bernilai tinggi, baik

ditinjau dari segi individu maupun dari sudut sosial.10

Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974, bab 1 pasal 1 tentang

pengertian perkawinan disebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri degnan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang behagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.”11

10 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1979), h.1 11 R. Subekti. R Tjirosudibyo. Terjemah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta :

PT. Pradnya Paramita, 1999), cet. Ke-29 h. 552

Page 19: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

19

Kutipan tersebut memberikan pengertian bahwa perjanjian itu berupa

perjanjian lahir batin dan atas dasar membentuk keluarga bahagia dan kekal yang

berdasarkan syari’at Allah SWT.

Dari beberapa pengertian perkawinan di atas, penulis kemukakan bahwa

perkawinan adalah ikatan lahir batin yang sangat kuat antara suami dan istri untuk

dapat membentuk tujuan yang dicita-citakan, yaitu membentu rumah tangga

bahagia yang diridhai Allah SWT.

Dalam pada itu hukum nikah mungkin akan menjadi wajib, atau sunnah,

makruh, ataupun haram sesuai dengan keadaan orang yang akan kawin.12

1. Wajib

Orang yang diwajibkan kawin adalah orang yang mempunyai kesanggupan

untuk kawin sedang ia kawatir terhadap dirinya akan melakukan perbuatan

yang dilarang Allah. dan pernikahan adalah jalan satu-satunya untuk

mencegah dan menghindarkan dari melakukan hal tersebut. Berdasarkan

hadist Nabi S.A.W : “Dari Abdullah bin Ma’ud berkata, telah berkata kepada

kami Rasulullah: Hai sekalian pemuda. Barang siapa diantara kamu yang telah

sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka sesungguhnya kawin itu

menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh agama) dan memelihara

12 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang,

1993). Cet. Ke-3 h. 23-25

Page 20: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

20

faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup maka hendaklah ia berpuasa,

karena puasa itu adalah perisai baginya. (HR. Bukhari dan Muslim).13

2. Sunnah

Orang yang disunnahkan kawin adalah orang yang mempunyai kesanggupan

untuk kawin dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan

perbuatan yang terlarang. Sekalipun demikian adalah lebih baik baginya.

Karena Rasulullah SAW melarang hidup sendirian tanpa kawin. Sebagaimana

sabdanya : “adalah Rasulullah SAW memerintahkan kita kawin, melarang

dengan sangat hidup sendirian tanpa kawin, dan beliau bersabda : Kawinilah

wanita-wanita yang menyayangi dan sabar, maka sesungguhnya akau

berbangga hati dengan kamu di hari kiamat” (HR. Bukhori dan Ibnu Hiban).14

3. Makruh

Orang yang makruh untuk melangsungkan perkawinan adalah orang yang

tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin. Pada hakikatnya orang yang

tidak mempunyai kesanggupan untuk kawin, dibolehkan untuk melangsung-

kan perkawinan, tetapi ia tidak dapat mencapai tujuan perkawinannya, karena

13 Bahasya As-Aandiy, AlBukhary. (Tunisia : Dar Nahl, Tth0, Juz 3, h.268 14 Bahasya As-Aandiy, AlBukhary. (Tunisia : Dar Nahl, Tth0, Juz 3, h.269

Page 21: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

21

itu ia dianjurkan sebaiknya untuk tidak melangsungkan perkawinan.

Berdasarkan firman Allah :

“Hendaklah menahan diri dari orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat untuk nikah, hingga Allah mencukupkan dengan sebagian karuniaNya (QS. An-Nur 24:23)

4. Haram

Orang yang diharamkan untuk kawin ialah orang-orang yang mempunyai

kesanggupan untuk kawin, tetapi kalau ia kawin dapat menimbulkan

kemudlaratan terhadap pihak yang lain, seperti orang gila, orang yang suka

membunuh, atau mempunyai sifat-sifat yang dapat membahayakan pihak yang

lain dan sebagainya.

B. Rukun Pernikahan

Sebuah pernikahan dapat dikatakan sah bila telah memenuhi rukun yang

telah ditentukan, adapun yang menjadi rukun nikah adalah :

1. Calon suami dan calon istri;

2. Wali;

3. Dua orang saksi;

4. Ijab dan qobul.15

15 Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dan Dirjen Pembinaan Kelembagaan

Agama Islam. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta : Depag RI, 2001) h.18

Page 22: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

22

Para ulama sepakat bahwa aqad nikah itu baru terjadi setelah terpenuhinya

rukun-rukun dengan dilengkapi syarat nikahnya, yaitu :

1. Adanya calon pengantin laki-laki disyaratkan bahwa ia tidak sedang

melakukan ihram haji atau umrah, atas kemauannya sendiri. begitu pula bagi

calon pengantin perempuan, tidak sedang menunaikan ihram, tidak bersuami

dan tidak beridah.16

2. Ditinjau dari segi kemasyarakatan, wali merupakan pelindung dari keluarga

yang melepaskan anak gadis mereka untuk dimiliki seorang laki-laki sebagai

suaminya.17

3. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa saksi asdalah syarat (rukun)

perkawinan. Aqad nikah yang tidak dihadiri oleh dua orang saksi, tidak sah.18

dan dua orang saksi itu adsalah yang adil, dan laki-laki, Islam, merdeka, sehat

akalnya dan baligh.19

4. Harus ada upacara ijab qobul, ijab adalah penyerahan dari pihak istri atau

wakilnya dan qobul penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan

besarnya mahar (maskawin) yang diberikan; setelah proses ijab dan qobul itu

resmilah terjadinya perkawinan (aqad nikah) antara seorang wanita dengan

seorang pria membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemudian sebagai tanda telah resmi

16 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), cet. Ke-1, h.74 17 Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : PT. Tintamas Indonesia, 1983),

cet. Ke-2, h.54 18 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.18 19 Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), cet. Ke-1, h.74

Page 23: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

23

terjadinya akan nikah (perkawinan) maka seyogyanya diadakan walimah

(pesta perkawinan) walaupun sekedar minum teh manis atau dengan sepotong

kaki kambing untuk bahan sup. Dan sebagai bukti otentik terjadiny

perkawinan, harus diadkan I’lanun nikah (pendaftaran nikah) kepada pejabat

nikah.20

Kutipan di atas memberikan suatu pengertian tentang hal-hal yang berkaitan

dengan syarat dan rukun nikah. Apa yang telah dikutip itu merupakan suatu yang

sudah berjalan dimasyarakat padsa umumnya.

Ditinjau dari segi undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 bahwa

perkawinan baru dikatakan ada bila dilakukan oleh seorang pria dengan seorang

wanita. Tentu juga tidak dinamakan perkawinan bila sekiranya iaktan lahir batin

itu tidak bahagia, atau perkawinan itu tidak kekal dan tidak berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. dan tetap berprinsip bahwa pernikahan atau

perkawinan itu dikatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu.21

Jadi, di negara kita disamping berlaku syarat dan rukun yang ditentukan

oleh syariat Islam juga berlaku undang-undang yang bersifat nasional. akan tetapi

masalah syarat dan rukun pernikahan telah disebutkan dalam undang-undang

tersebut pernikahan itu dinyatakan sah bila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu. sebagai umat Islam, dalam

20 M.Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Ind Hllco, 1990), h.47-48 21 M.Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Ind Hllco, 1990), h.48

Page 24: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

24

pelaksanaan pernikahan, harus tetap berprinsip pada syarat-syarat yang disepakati

oleh para ulama.

C. Larangan Pernikahan

Tidak semua perempuan boleh dikawini, adapun syarat perempuan yang

boleh dikawini hendaklah dia bukan orang yang haram bagi laki-laki yang akan

mengawininya. Baik haram untuk selamanya yang disebut larangan abadi

(muabbad) ataupun sementara yang disebut larangan dalam waktu tertentu

(muaqqat).

Yang haram selamanya yaitu perempuan yang tidak boleh dikawininya oleh

laki-laki sepanjang masa. Sedang yang haram sementara yaitu perempuan tidak

boleh dikawininya selama waktu tertentu. Bilamana keadaannya sudah berubah

haram sementaranya hilang menjadi halal.

Lebih lanjut diterangkan oleh syayid sabiq dalam figh as-sunnah, bahwa

wanita yang haram dinikahi selamanya adalah sebagai berikut :

1. Karena nasab;

2. Karena Perkawinan;

3. Karena susuan.22

Hal tersebut lebih lanjut diterangkan dalam firman Allah SWT.

22 Sayyid sabiq, Figh as-Sunnha, (Bandung : Al-Ma’arif 1981), Juz VI, h.93

Page 25: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

25

⌧ ⌧ ☺

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukanmu, saudara perempuan spersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya. Dan (diharamkam bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara keculai yang telah terjadi padsa masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa 4:23).

Khusus untuk keharaman menikahi istri ayah dijelaskan dalam firman Allah

SWT. sebagai berikut :

Page 26: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

26

Artinya : “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang elah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuata itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. (QS. An-Nisa 4:22).

Lebih lanjut larangan abadi diatur dalam pasal 39 Kompilasi Hukum Islam

di Indonesia. Isi pasal tersebut selengkapnya sebagai berikut :

1. Karena pertalian nasab :

a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau

keturunannya.

b. Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu

c. Degnan seorang wanita saudara yang melahirkannya.

2. Karena pertalian kerabat :

a. Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya.

b. Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya.

c. Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali

putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya qabla aldukhul.

d. Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.

3. Karena pertalian sesusuan :

a. Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus

ke atas.

b. Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis ke bawah.

c. Dengan seorang wanita sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah.

d. Dengan seorang wanita bibi dan nenek bibi sesusuan ke atas.

Page 27: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

27

e. Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.23

Adapun wanita yang haram dinikahi untuk sementara, dijelaskan pula oleh

sayyid sabiq sebagai berikut :

1. Memada dua orang perempuan bersaudara

2. Istri orang lain atau bekas istri orang lain yang sedang iddah

3. Perempuan yang ditalak tiga kali

4. Kawinnya orang yang sedang ihram

5. Kawin dengan budak. Padahal mampu kawin dengan perempuan merdeka

6. Kawin dengan perempuan Zina.24

Permasalahan di atas juga dijelaskan dalam pasal 40 kompilasi sebagai berikut :

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan

wanita lain.

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.

c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.25

Pasal 41 menjelaskan larangan kawin karena pertalian nasab dengan

perempuan yang telah dikawini, atau karena sesusuan.

(1) Seorang pria dilarang memadi istrinya dengan seorang wanita yang

mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya.

a. Saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya.

23 Dirjen Pembina Badan Peradilan Agama Islam dan Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama

Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta : Depag RI, 2001) h.26 24 Sayyid Sabiq, Figh as-Sunnha, (Bandung : Al-Ma’arif 1981), Juz VI, h.118-125 25 Dirjen Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam dan Dirjen Pembinaan Kelembagaan

Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta : Depag RI, 2001) h.28

Page 28: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

28

b. Wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah

ditalak raj’i tetapi masih dalam masa iddah.26

Memperhatikan penjelasan diatas dapatlah kiranya dipahami siapa saja

wanita yang dilarang untuk dinikahi. Namun yang jelas larangan-larangan

tersebut mengandung tujuan dan hikmah yang akan dibahas pada pembahasan

berikutnya.

D. Tujuan dan Hikmah Pernikahan

1. Tujuan Pernikahan

Banyak tujuan yang hendak dicapai melalui pernikahan. Islam

mensyariatkan pernikahan tentu didalamnya terdapat tujuan yang hendak

dicapai melalui pernikahan tersebut. Diantara tujuan pernikahan itu adalah :

1) Melanjutkan keturunan yang merupkana sambungan hidup dan

menyambung cita-cita. Ini dimaksudkan bila seseorang telah melakukan

pernikahan, ia akan membentuk rumah tangga atau keluarga. Dalam

rumah tangga itu akan dilahirkan anak-anak sebagai keturunan untuk

melanjutkan apa yang dicita-citakan oleh kedua orang tuanya. Dari

keluarga itulah akan terbentuk suatu ummat, yaitu umat Muhammad

SAW. Umat yang mengemban dan berpegang teguh pada ajaran Islam.27

26 Ibid. 27 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1974, Cet. Ke-1, h.21

Page 29: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

29

(Kamal Mukhtar : Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan,

(Jakarta, Bulan Bintang, 1974), cet. Ke-1, h.12) Seperti ditegakkan

dalam firman Allah :

Artinya : “Allah menciptakan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki-rizki dari yang baik-baik” (QS. An Nahl 16 : 72)

Ayat tersebut mengandung isyarat bahwa hanya dengan berkeluargalah

manusia akan dapat menjalankan risalah Nabi Muhammad SAW. Karena

apa yang terjadi adalah manusia itu pada saatnya akan meninggal dunia.

Lalu kalau tidak ada keturunan darinya, niscaya kehidupan manusia ini

akan berhenti. Apabila manusia itu tidak mempunyai keturunan, secara

jelas risalah Nabi Muhammad SAW itupun akan terputus juga. Disinilah

pentingnya tujuan pernikahan yaitu untuk melahirkan generasi penerus

dan penegak risalah Nabi Muhammad SAW dimuka bumi ini.

2) Untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat atau perbuatan dosa yang

diharamkan oleh Allah SWT.28 Pencegahan terhadap perbuatan yang

dilarang oleh Allah SWT. seperti melakukan zina, memang dapat

28 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1974, Cet. Ke-1, h.21

Page 30: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

30

dilakukan dengan cara berpuasa. Akan tetapi jika dengan berpuasa juga

tidak dapat mengurangi nafsu birahinya dan orang tersebut masih saja

kawatir berbuat zina, maka salah satu cara yang bijaksana dan telah

disyari’atkan oleh agama Islam, yaitu melaksanakan pernikahan. Dengan

pernikahan itu diharapkan manusia dapat terhindar dari perbuatan zina,

atau perbuatan maksiat lainnya. Hal ini ditegaskan dalam hadist dari

Abdurrahman bin Yazid dari Abdullah katanya Rasulullah SAW bersabda:

“Hai para pemuda siapa-siapa diantara kamu yang telah sanggup memikul

tanggung jawab berumah tangga, maka kawinlah. Karena perkawinan itu

dapat menudukkan mata dan kemaluan (dari dosa). Siapa yang belum

sanggup, hendaklah dia berpuasa, karena puasa itu dapat menundukkan

nafsu birahi”. (H.R. Muslim)29

3) Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami istri khususnya dan

menimbulkan kasih sayang untuk anggota keluarga semua pada

umumnya.30 Hal ini dimaksudkan bahwa dengan perkawinan itu

diharapkan manusia dapat saling mencintai sesamanya; sesama anggota

keluarga, masyarakat, dan lain-lainnya. Sehingga dengan muncil rasa

kasih sayang itu akan terwujud manusia yang berbahagia dan merasa

aman dan tentram dalam hidupnya. Seperti yang difirmankan oleh Allah

dalam Al-Qur’an :

29 Imam Abi Al-Husaini Muslim Ibn Al Hallaj, Sahih Muslim, (Daral-Fiqr), Juz II, h. 1019 30 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1974, Cet. Ke-1, h.22

Page 31: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

31

Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS.Ar-Rum 30:21)

4) Untuk menghormati sunnah Rasulullah.31 Beliau telah memerintahkan

kepada umatnya untuk melakukan pernikahan sesuai dengan ajaran

agama. Beliau tidak suka terhadap orang yang terus menerus berpuasa

sambil beribadah dan tidka kawin-kawin. Jadi jelas salah atu tujuan

perkawinan adsalah mengikuti jejak Rasulullah SAW.

5) Untuk membersihkan keturunan.32 Disini yang dimaksud adalah agar

generasi umat ini ada yang mengurus dan ada yang bertanggung jawab,

karena anak tersebut telah jelas siapa bapaknya dan siapa ibunya. Apabila

seorang anak lahir di luar nikah jelas sulit bagi kita untuk

mempertanggung jawabkan anak tersebut. Ayahnya tidak bertanggung

jawab, dan ibunya pun tidak bertanggung jawab. Begitulah tujuan

31 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1974, Cet. Ke-1, h.22 32 Ibid

Page 32: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

32

perkawinan untuk memperjelas status anak sehingga jelas siapa yang

berhak dan bertanggung jawab kepadanya.33

2. Hikmat Pernikahan

Islam menganjurkan dan menggembirakan kawin sebagaimana tersebut

karena perkawinan memiliki pengaruh yang baik bagi dyang melakukan,

masyarakat dan umat manusia.34 Perkawinan membentuk keluarga, keluarga-

keluarga akan membentuk umat. Baik buruknya suatu umat erat hubungannya

dengan keadaan keluarga yang membentuk keluarga itu.35

Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan sehingga mereka dapat

berhubungan satu dengan yang lain. Hingga mencintai, menghasilkan

keturunan serta hidup dalam kedamaian.36

Mahmud Yunus mengemukakan beberapa hikmah melakukan

pernikahan sebagai berikut :

“Hikmahnya adalah supaya itu perpasang-pasangan hidup sejoli, membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mudah putus dan diputuskan ialah ikatan aqad nikah atau ijab qabul perkawinan. Bila aqad nikah telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersetia akan membangun suatu rumah tangga yang damai akan sehidup dan semati, sesakit dan sesenang…”.37

33 Aminullah. J, Hak dan Kewajiban Suami Istri (Nikah Talak dan Rujuk), (Bandung : Pelajar

Bandung, 1972), cet ke-8, h. 22 34 Sayyid Sabiq, Figh as-Sunnha, (Bandung : Al-Ma’arif 1981), Juz VI, h.18 35 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1974, Cet. Ke-1, h.19 36 Abdurrahman I, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakrta : PT. Rineka Cipta, 1992),

cet ke-1, h.5 37 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.7

Page 33: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

33

Hikmah lain yang perlu dikemukakan, misalnya ada seseorang yang

enggan menjalani perkawinan, dia hidup menyendiri. Namun pada hari

tuanya, orang tersebut akan menyesali kehidupannya. Penyesalan itu akan

terasa misalnya jika ia sakit tidk ada yang merawatnya, kalau sudah tua tidak

ada yang menemani, dan mungkin juga tidak ada yang memelihara atau

meneruskan segala urusan pribadinya dan sebagainya. inilah beberapa

masalah yang akan terjadi jika seseorang enggan melakukan pernikahan.

Kutipan di atas memberikan suatu pengertian bahwa hikmah melakukan

pernikahan diantaranya adalah untuk membina rumah tangga yang damai dan

teratur. Artinya, bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT berpasang-

pasangan, namun berpasangan itu ada aturanya, yaitu melalui pernikahan yang

sah. Melalui pernikahan yang sahlah, pasangan itu akan dapat hidup

berbahagia dan mendapat ridho Allah SWT.

Lain halnya jika seseorang enggan melakukan pernikahan, atau

melahirkan keturunan di luar pernikahan. Niscaya akan lahir anak-anak yang

tidak jelas statusnya, siapa bapak dan ibunya. Yang demikian itu selain

diharamkan oleh agama juga akan berdampak negatif di masyarakat.

Selanjutnya, bila anak tersebut telah dewasa dan akan melakukan pernikahan,

pasti akan menemukan kesulitan.

Selanjutnya dikatakan bahwa hikmah melakukan pernikahan adsalah

memelihara diri seseorang supaya jangan jatuh ke lembah kejahatan

(perzinahan). Karena bila istri disampingnya tentu akan terhindarlah ia dari

Page 34: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

34

pada melakukan pekerjaan yang keji itu. begitu juga wanita yang ada

disampingnya…”38 Kutipan tersebut memberikan pengertian bahwa salah satu

hikmah melakukan pernikahan adalah dapat menghindarkan diri dari

perbuatan keji yang merusak manusia yaitu perzinaan, baik bagi laki-laki

maupun perempuan. Jadi dengan melakukan perkawinan, wanita maupun pria

kiranya dapat terjauhkan dari perbuatan zina.

Hal ini seperti ditegaskan dalam firman Allah sebagai berikut :

⌧ Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah

perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra’ 17-32)

Ayat tersebut mengandung makna bahwa zina adalah perbuatan keji

yang diharamkan oleh Allah SWT. oleh karena itu perbuatan zina harus

ditinggalkan dan dijauhi oleh setiap yang beriman, baik laki-laki maupun

perempuan. Dari ayat di atas jelas kiranya bahwa salah satu hikmah

perkawinan atau pernikahan adalah dapat mencegah manusia dari perubatan

yang diharamkan oleh Allah SWT, yaitu zina.

38 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.8

Page 35: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

35

BAB III

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG PERWALIAN

A. Pengertian Wali dalam Pernikahan

Kata “wali” menurut bahasa berasal dari kata “al-wali” ( ) yang

membentuk jamaknya “auliya” ( ) yang berarti pencinta, saudara atau

penolong.1 Wali menurut istilah berarti “orang yang menurut hukum (agama,

adat) diserahi mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa, ….

Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji

nikah dengan pengantin laki-laki)”.2 Kata “perwalian” beasal dari kata “wali”

yang mendapat imbuhan “per-an”. Kata “perwalian’ mengandung arti segala

sesuatu yang berhubungan dengan wali.3. Kutipan di atas memberikan pengertian wali adalah orang atau pihak yang

menurut hukum dianggap mempunyai hak dan kewajiban untuk mengurus

seorang anak dengan segala pesoalan yang berkaitan dengannya sampai batas usia

tertentu yang telah ditentukan atau sampai dengan anak tersebut mencapai usia

dewasa. Batas tertentu yang dimaksudkan adalah bila seseorang anak telah

melakukan perkawinan sebelum dewasa, maka anak tersebut sudah dianggap

sebagai orang dewasa.

1 Louis Ma’laf, Kamus Al-Munjid, (Beirut ; Dar al-Masyrik, 1975), h.919 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai

Pustaka, 1989), h.1007 3 Ibid

27

Page 36: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

36

Dalam masalah perwalian, dikenal juga istilah lembaga perwalian. Lembaga

perwalian ini dalam situasi dan kondisi tertentu dapat juga bertindak sebagai wali.

Lembaga perwalian adalah :

Lembaga hukum yang berfungsi sebagai pengganti lembaga kekuasaan orang tua terhadap anak atau anak-anak kalau kekuasaan anak-anak yang bersangkutan telah berakhir atau dipecat, dengan maksud agar tidak terjadi kekosongan (vacum) dalam kekuasaan orang tua terhadap anak-anak yang masih membutuhkannya.4 Jadi wali merupakan wali merupakan pihak yang mengurus atau melindungi

anak dengan segala persoalannya. Apabila orang tua atau wali yang lainnya tidak

dapat melakukan fungsinya sebagai wali maka lembaga perwalianlah yang akan

menggantikan fungsi perwalian tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa setiap anak

yang menurut hukum belum dewasa harus berada di bawah naungan walinya.

Yang menjadi tujuan diadakannya lembaga perwalian ini adalah “untuk

melindungi anak atau anak-anak beserta segala kepentingannya yang sesungguh-

nya masih memerlukan bimbingan dan kekuasaan orang tuanya.5 Kutipan tersebut

memberikan suatu pengertian bahwa suatu lembaga perwalian diadakan dengan

tujuan agar seseorang anak yang belum dewasa itu tetap berada di bawah naungan

walinya. Jika diperlukan si anak, lembaga perwalianlah yang akan bertindak

sebagai wali anak tersebut.

4 A. Ridwan Halim, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1986),

h.63. 5 Ibid

Page 37: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

37

Masalah perwalian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 107

ayat 2 menyatakan bahwa “Perwalian meliputi perwalianlah yang akan bertindak

sebagai wali anak tersebut”.

Masalah perwalian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada pasal 107

ayat 2 menyatakan bahwa “Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta

kekayaannya.6 Begitu pula dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974, pasal 50

ayat 2 disebutkan bahwa “Perwalian itu mengenai pribadi anak yang

bersangkutan maupun harta bendanya”.7

Yang dimaksud pribadi anak adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

persoalan yang dihadapi oleh anak tersebut. Salah satu persoalan yang dimaksud

adalah masalah perkawinan. Masalah yang berkaitan dengan harga benda ialah

jika si anak tersebut memiliki sejumlah harta benda, maka walilah yang

berkewajiban memeliharanya. Secara garis besar perwalian dapat dibagi menjadi

beberapa bagian, diantaranya adalah :

a. Perwalian atas orang;

b. Perwalian atas barang;

c. Perwalian atas orang dalam perkawinan.8

Dalam Al-Qur’an bentuk jamak kata wali, yakni auliyah antara lain dapat,

ditemukan dalam beberapa ayt berikut ini, firman Allah SWT :

6 Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta ; Depag RI, 2001), h.53

7 R. Subekti, R. Tjirosudibyo, Terjadi Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 1999), Cet. Ke-29, h.552

8 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974, Cet. Ke-1, h.89

Page 38: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

38

Artinya : “Janganlah orang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min” (QS. Al-Imran 3:28).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman sebagai berikut

⌧ ⌧ ⌫

Artinya : “Adapun orang-orang kafir, sebagian mereka sebagai pelindung bagi

sebagian yang lain”. (QS. Al-Anfal 8:73) Dalam beberapa hadits, kata “wali” juga banyak disebutkan Rasulullah

SAW berkata : “Penguasa wali bagi yang tidak memiliki wali”. (Hadits Riwayat

Abu Daud).9 dan dari Abu Musa bahwasanya Nabi SAW telah bersabda : “tidak

sah nikah melainkan dengan wali”. (Hadits Riwayat Abu Daud).10

Dari beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW terdapat

kata “wali” yang dalam bentuk jamaknya berupa “auliya” yang berarti teman

yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong. Dalam pembahasan

skripsi ini, kata wali lebih tepat diartikan sebagai pelindung atau yang

melindungi. Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa wali

adalah orang atau pihak yang melindungi terhadap anak yang belum dewasa baik

terhadap persoalan dirinya maupun terhadap harta bendanya.

9 Imam Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Mishr : Mustafa Al-Babi Al-Halabi, 1952), Juz 1, h.481 10 Ibid

Page 39: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

39

B. Syarat-Syarat Wali

Orang yang akan menjadi wali harus memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan. Apabila wali tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh

hukum, maka perwaliannya dinyatakan tidak sah. Karena itulah persyaratan

menjadi wali harus terpenuhi.

Al-Imam Taqiyudin menyatakan dalam bukunya Kifayatul Ahyar beberapa

persyaratan wali nikah sebagai berikut :

1. Islam;

2. Baligh;

3. Sehat akalnya;

4. Merdeka;

5. Laki-laki;

6. Adil. 11

Mawardi dalma bukunya Hukum Perkawinan dalam Islam mengemukakan,

wali itu harus Islam, Baligh, berakal, laki-laki dan adil (tidak fasiq).12 Selanjutnya

dalam buku lain disebutkan bahwa :

Oleh karea wali sudah ditentukan sebagai rukun nikah, maka syari’at telah

menentukan pula syarat-syarat untuk boleh seorang menjadi wali. Syarat-syarat

tersebut ialah :

11 Al-Imam Taqiyaddin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Kifayah Al-Ahyar, (Dari

Al-Fikr), Juz II, h.49 12 Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Yogyakarta : BPFE, 1984), h.13

Page 40: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

40

1. Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali);

2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali);

3. Berakal (orang gila tidak sah menjawi wali);

4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali);

5. Adil (orang fasik tidak sah menjawi wali);

6. Tidak dalam sedang ihram atau umrah.13

Pada prinsipnya pendapat-pendapat tersebut tidak terdapat perbedaan

mendasar. Dari ketiga pendapat tersebut dapatlah diambil suatu pengertian bahwa

persyaratan menjadi wali adalah :

1. Beragama Islam

Orang yang bertindak sebagai wali nikah haruslah beragama Islam. Ini

berarti orang yant tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali. Sebagaimana

disebutkan dalam firman Allah surat Ali Imran ayat 28 :

Artinya : “Janganlah orang-orang mukmin mengangkat orang-orang kafir menjadi wali-wali (mereka) dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (QS. Al-Imran 3:28)

Pada ayat lain, Allah SWT berfirman :

13 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum perkawinan Menurut Islam, Undang-

undang Perkawinan, dan Hukum Perdata, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1981), h.28

Page 41: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

41

Artinya : “Hai orang-orang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang

Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu, sebagaimana mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Maidah 5:51)

Dua ayat tersebut sebagai landasan bahwa umat Islam jika akan menikah

atau menikahkan dilarang mengangkat wali yang bukan muslim. Dengan

demikian dapatlah dikatakan bahwa beragama Islam merupakan salah satu

syarat yang harus dipenuhi oleh wali nikah.

2. Baligh

Orang yang menjadi wali nikah disyaratkan dewasa. Anak-anak tidak

sah menjadi wali nikah, bahkan dalam persolaan diri maupu harta benda

mereka membutuhkan wali. Jadi, anak-anak itu dalam perwalian orang lain,

karena itu tidak mungkin menjadi wali. Dari Ali, sesungguhnya Rasulullah

SAW bersabda : “Diangkatlah pena itu dari tiga perkara : dari orang tertidur

hingga ia bangun, dari anak-anak hingga berakal (dewasa), dari orang-orang

gila hingga sembuh.” (Hadits Riwayat At-Turmudzi).14

Berdasarkan hadits tersebut bahwa anak-anak tidak boleh atau tidak sah

menjadi wali, ia boleh menjadi wali bila mencapai usia dewasa.

14 Imam At-Turmudzi, Sunan At-Turmudzibi Syarhi Thfatil Ahwazi, (Lubnan : Dar Al-Fikr,

Tth), Juz IV, h.685

Page 42: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

42

3. Adil

Salah satu syarat lain yang harus dimiliki oleh wali nikah adalah adil.

Adil yang dimaksud adalah berbuat adil, tidak berbuat fasik. Menurut mushab

Syafi’I mensyaratkan wali itu seorang yang cerdas.15 Cerdas yang dimaksud

adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-

baiknya atau seadil-adilnya. Dari Imran Ibnu Husen, Rasulullah SAW

bersabda : “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi

yang adil.” (Hadits Riwayat Ahmad).16

Berdasarkan hadits tersebut, maka orang yang tidak cerdasr atau tidak

mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wal dalam pernikahan. Ini berarti

jika wali ingin berbuat fisik, maka wali tersebut harus digantikan oleh wali

yang lain yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

4. Laki-laki

Syarat lain yang harus dipenuhi oleh wali adalah laki-laki. Seorang

wanita tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan. Hal ini seperti yang telah

dikemukakan di atas bahwa salah satu syarat wali adalah “laki-laki”

(perempuan tidak sah menjadi wali).17 Pernyataan tersebut memberikan

pengertian bahwa wali harus laki-laki tidak boleh perempuan.

5. Berakal

15 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang, 1974), cet. Ke-1, h.92

16 Asa-Syauqi, Nailul ‘Authar Syarh Muntaqal Akhbar, (Lubnan : Dar Al-Fikr, 1973), Juz VI, h.258

17 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan, dan Hukum Perdata, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1981), h.28

Page 43: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

43

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali haruslah orang

yang berakal sehat. Jika misalnya suatu saat wali yang berakal sehat itu

ternyata sudah tidak waras lagi (gila), maka status kewaliannya tersebut telah

hilang dan dengan sendirinya menjadi batal dalam perwalian.18

Orang yang kurang sehat akalnya, atau gila atau juga orang yang

berpenyakit ayan tidk memenuhi syarat untuk menjadi wali. Jadi, salah satu

syarat menjadi wali adalah “berakal (orang gila tidak sah menjadi wali).”19

Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa syarat utama yang

harus ada pada wali adalah Islam, dewasa, dan laki-laki. Tentang persyaratan

lain seperti berakal dan adil dapat diambil pengertian baligh menunjukkan

bahwa orang itu berakal, dan muslim atau beragama Islam menunjukkan

bahwa orang tersebut pasti dapat berbuat adil. Dengan demikian tiga

persyaratan tersebut pada dasarnya juga mencakup lima persyaratan yang

banyak dibahas dalam berbagai buku fiqh atau hukum Islam.

C. Macam-Macam Wali

Orang-orang Indonesia yang menganut agama Islam terdapat suatu

ketentuan, yaitu orang-orang perempuan dan laki-laki yang belum dewasa harus

18 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan : CV. Zahri Trading: 1975), Cet.

Ke-1, h.255 19 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum perkawinan Menurut Islam, Undang-

undang Perkawinan, dan Hukum Perdata, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1981), h.28

Page 44: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

44

ada yang mengawinkan mereka. maka orang inilah yang disebut dengan wali bagi

mereka yang akan melangsungkan perkawinan.20

Secara garis besar menurut syari’at wali dapat digolongkan menjadi tiga

macam, yaitu wali nasab dan wali hakim.21 Ketiga macam wali tersebut akan

dibahas secara rinci berikut keterangan-keterangan yang diperlukan pada

pembahasan berikut ini.

1. Wali Nasab

Yang dimaksud wali nasab adalah orang laki-laki yang mempunyai

hubungan kekeluargaan dengan anak perempuan yang akan dikawinkan.22

Adapun urutan wali nasab, ditetapkan dalam komposisi hukum Islam (KHI)

pada pasal 21 ayat 1 yang membagi dalam empat kelompok, yaitu sebagai

berikut :

a. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni, ayah, kakek dari

pihak ayah dan seterusnya;

b. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah

dan keturunan laki-laki mereka;

c. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara

seayah dan keturunan laki-laki mereka;

20 Djoko Prakoso, I Ketut Murtika, Asas-asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : PT.

Bina Aksara, 1987), Cet. Ke-1, h.57 21 Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta

: Depag RI, 2001) h.21 22 Abdullah Siddiq, Harian Perkawinan Islam, (Jakarta : PT. Tintamas, 1983), Cet. Ke-2, h.59

Page 45: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

45

d. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah

kakek dan keturunan laki-laki mereka. 23

Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali itu secara berurutan terbagi

sebagai berikut :

1) Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya sampai ke atas;

2) Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak);

3) Saudara laki-laki sebapak;

4) Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung;

5) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak dan seterusnya sampai ke bawah;

6) Paman (saudara dari bapak) kandung;

7) Paman (saudara dari bapak) sebapak;

8) Anak laki-laki paman kandung;

9) Anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya sampai ke bawah. 24

Urutan tersebut harus dilaksanakan secara tertib, artinya yang berhak

menjadi wali adalah bapak. Apabila yang diutamakan menjadi wali ialah

bapak dan bapak tidak ada kakek menjadi wali, juga apabila kakek tidak ada,

maka yang menjadi wali adalah saudara laki-laki sebapak. Begitulah

23 Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia. (Jakarta : Depag RI, 2001) h.21 24 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.55

Page 46: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

46

seterusnya sampai ke bawah.25 Kalau wali yang dekat enggan mengawinkan

perempuan kepada jodohnya, maka yang menjadi wali ialah sultan atau

hakim.26

Selanjutnya wali nasab juga dapat digolongkan menjadi dua macam

yaitu wali mujbir dan wali tidak mujbir. Mahmud Yunus memberikan

pengertian wali mujbir “wali” yang boleh melaksanakan perkawinan kepada

anaknya sehingga ia boleh mengawinkan anak perempuan dengan tidak

meminta izin lebih dahulu kepada anaknya itu.27

Lebih tegas lagi Mawardi mengemukakan bahwa “Bapak/Kakek

yang dinamai mujbir, boleh mengawinkan anak perempuannya yang baligh

berakal dan perawan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada anak

perempuannya itu.28

Wali mujbir atau wali yang mempunyai hak untuk mengawinkan anak

perempuannya dengan tidak harus meminta izin terlebih dahulu kepada anak

perempuan tersebuit harus memenuhi beberapa persyaratan. Beberapa

persyaratan yang dimaksud adalah :

a. Tidak ada permasalahan antara wali mujbir dengan anak gadis tersebut;

b. Sekufu antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya;

c. Calon suami itu mampu membayar maskawin;

25 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta, Bulan Bintang,

1974), cet. Ke-1, h.97 26 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.62 27 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.64 28 Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Yogyakarta : BPFE, 1984), h.15

Page 47: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

47

d. Calon suami tidak bercacat yang membahayakan pergaulan dengan dia,

seperti orang buta. 29

e. Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa perkawinan

dinyatakan sah bila wali mempelai perempuan adalah wali mujbir, dengan

ketentuan harus dapat memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Akan

tetapi, bila salah satu persyaratan tidak terpenuhi, misalnya terjadi

permusuhan antara anak perempuan itu dengan wali mujbir, calon laki-

laki tidak sekutu, atau calon laki-laki itu terlalu tua, maka perempuan itu

dimintai izin terlebih dahulu sebelum dinikahkan.

Mengenai siapakah sebenarnya wali mujbir itu, para imam mazhab ada

sedikit perbedaan pendapat. Menurut mazhab Syafi’i wali mujbir adalah

bapak kandung, kakek (ayah dari bapak kandung) dan seterusnya sampai ke

atas. Menurut mazhab hambali wali mujbir adalah bapak, bukan kakek, washi

yang menerima wasiat dari bapak dan hakim. Menurut mazhab Maliki wali

mujbir adalah bapak (bukan kakek) dan washi bapak setelah meninggal dunia,

dan menurut mazhab Hanafi semua wali mujbir, seperti dijelaskan bahwa “arti

wali adalah orang yang berkuasa terhadap orang yang berada di bawah

perwaliannya untuk melaksanakan tugasnya, baik suka orang yang berada di

bawah perwaliannya itu atua tidak, sebab itu tidak ada wali yang tidak

mujbir.30

29 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum perkawinan Menurut Islam, Undang-

undang Perkawinan, dan Hukum Perdata, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1981), h.29 30 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990),

h.65-66

Page 48: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

48

Selanjutnya dikatakan bahwa menurut keempat mazhab tersebut bahwa

bapak atau wali mujbir boleh mengawinkan anak perempuannya yang masih

kecil (yang belum baligh) tanpa meminta izin terlebih dahulu kepadanya.31 Dengan demikian, bapak atau wal mujbir boleh mengawinkan anak

perempuannya yang masih kecil dengan ketentuan harus memperhatikan

beberapa persyaratan seperti yang telah diuraikan.

Wali-wali nikah lainnya seperti saudara laki-laki kandung, saudara laki-

laki sebapak, dan seterusnya sesuai dengan ketentuan menjadi wali, itu

disebut wali yang tidak mujbir. Wali yang tidak mujbir ini boleh menjadi wali

nikah dengan ketentuan harus terlebih dahulu meminta izin terhadap orang

yang ada di bawah perwaliannya.32

2. Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang ditunjuk dengan kedua belah pihak yang

memiliki pengetahuan yang sama dengan qadhi.33

Apabila dalam urutan ada wali tidak ada yang menggantikan, maka

hakimlah yang akan jadi wali perempuan tersebut, yaitu dimana perempuan

itu berada dalam wilayahnya ketika perkawinan itu berlangsung.34 Begitulah

pula dalam KHI pada pasal 23, ayat 1 menyatakan bahwa : “Wali hakim dapat

bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin

31 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.68 32 Abdullah Siddiq, Harian Perkawinan Islam, (Jakarta : PT. Tintamas, 1983), Cet. Ke-2, h.60 33 Abdullah Siddiq, loc.cit, 34 Aminullah J, Hubungan dan Hak Suami-Istri dalam Islam, (Jakarta: Pelajar Bandung,

1972), Cet. Ke-8, h.31

Page 49: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

49

menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhal

atau enggan.35

35 Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI, op.cit, h.22

Page 50: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

50

BAB IV

TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PERWALIAN BEDA AGAMA

DALAM PERNIKAHAN

A. Perwalian Dalam Pernikahan Menurut Hukum Islam

Masalah wali sebagai salah satu rukun nikah sampai sekarang ini belum

terdapat kesepakatan dikalangan umat Islam. Diantara para iman mazhab terdapat

perbedaan pandangan tentang kedudukan wali nikah yang menjadi salah satu

sahnya nikah. Hal ini dimungkinkan karena dalam Al-Qur’an memang tidak

terdapat ayat secara tegas menjelaskan tentang kedudukan wali sebagai salah satu

sahnya nikah. Demikian juga dalam hadits, tidak terdapat secara khusus dan tegas

membahas wali nikah dan kedudukannya sebagai salah atu sahnya nikah.

Jika wali dikatakan sebagai sahnya nikah, maka suatu pernikahan yang tidak

ada walinya dinyatakan batal. Jika pernikahan batal, niscaya hubungan laki-laki

dan perempuan dinyatakan sebagai zina.

Sebagaimana diketahui bahwa zina itu hukumnya haram. Hal ini sesuai dengan

forman Allah yang berbunyi :

⌧ Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu perbuatan

yang kji. Dan suatu jalan yang buruk.” (Al-Isra” 17:32)

41

Page 51: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

51

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa agama Islam mengharamkan

perbuatan zina. Karena itu, agar suatu pernikahan sah perlu dipenuhi syarat-syarat

dan rukun-rukunnya.

Jika wali tidak menjadi salah satu sahnya suatu pernikahan, apakah

pernikahan itu tetap membutuhkan wali atau tidak. Kalau dikatakan pernikahan

masih membutuhkan wali, maka bagaimana kedudukan wali tersebut dalam

pernikahan dan bagaimana hukumnya menurut Islam.

Berikut ini akan dikemukakan pandangan para imam mazhab terhadap

kedudukan wali nikah

1. Menurut Imam Syafi’i

Imam Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa wali merupakan

salah satu sahnya nikah. Suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya

wali, maka hukumnya tidak sah atau batal. Imam Syafi’i berpendapat

demikian dengan sandaran hujjah pada beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits

Rasulullah SAW.

Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang berbunyi :

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.” (An-Nur 24:32)

Page 52: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

52

Imam Syafi’i berpendapat bahwa ayat tersebut ditujukan kepada wali. Para

wali diminta agar menikahkan orang-orang yang masih sendiri. Ayat tersebut

yang mengisyaratkan agar para wali membantu laki-laki yang masih sendirian

dan wanita yang belum bersuami untuk melakukan pernikahan.

Dalam ayat lain Allah berfirman :

⌧ ☺

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqoroh 2-221)

Menurut Imam Syafi’i ayat tersebut juga ditujukan kepada wali. Para

wali diberi peringatan oleh Allah untuk tidak menikahkan seseorang yang

berada dibawah perwaliannya dengan orang yang bukan muslim. Tegasnya,

para wali dilarang menikahkan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim.

“Andaikata wanita itu berhak secara langsung menikahkan dirinya dengan seorang laki-laki, tanpa wali maka tidak ada artinya ‘kitab’ ayat tersebut ditujukan keapda wali semestinya ditujukan kepada wanita itu. karena urusan nikah (perkawinan) itu adalalah urusan wali, maka perintah dan larangan untuk menikahkan wanita atau wanita menikahkan dirinya sendiri hukumnya (dilarang).’1

Kutipan di atas memberikan penjelasan bahwa kedua ayat tersebut

ditujukan kepada para wali, bukan keapda wanita. Karena itu menurut mazhab

Syafi’i dilarang seorang wanita menikahkan wanita lainnya atau menikahkan

dirinya sendiri.

1 M. Idris Ramulyo, Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Ind-Hill-Co, 1990), h.179

Page 53: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

53

Lebih lanjut Mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa wali merupakan

salah satu rukun sahnya nikah, juga bersandar pada sabda Rasulullah :

“Siapapun wanita yang kawin tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batal

(diucapkan tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya

adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh daripadanya.

Kemudian apabila mereka bertengkar, maka penguasa menjadi wali bagi

orang yang tidak mempunyai wali.” (Hadits Riwayat Abu Daud).2

Hadits di atas mengisyaratkan perlunya wali nikah. Disinilah menurut

Mazhab Syafi’i bahwa wali merupakan salah satu rukun sahnya nikah, tanpa

adsanya wali pernikahan dinyatakan batal.

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda : “Tidak ada nikah kecuali

dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (Hadits Riwayat Abu Daud).3

Hadits tersebut menurut Mazhab Syafi’i mengandung suatu makna

bahwa sahnya suatu pernikahan itu harus disertai dengan wali serta dua orang

saksi. Dengan demikian dapatlah diambil suatu pengertian bahwa wali

merupakan salah satu rukun sahnya nikah.

2. Menurut Imam Hanafi

Wali nikah menurut imam Hanafi bukanlah merupakan salah satu rukun

sahnya nikah. Menurutnya bahwa akibat ijab (penyerahan/penawaran), aqad

nikah yang diucapkan oleh wanita dewasa dan berakal (aqil baligh) adalah sah

2 Al-Imam Al-Qurtubi, Bidayatul Mujtahid, (Toha Putra Semarang, 595 H), Juz 2, h.7 3 Imam Abu Daud Sunan Abu Daud (Mesir: Mustofa Al-Babi Al-Halabi, 1952), Juz I, h.481

Page 54: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

54

secara mutlak. Dasar hujjah yang digunakan oleh mashab ini adalah ayat Al-

Qur’an dan hadits Rasulullah SAW.

Ayat yang dimaksud adalah firman Allah yang berbunyi :

⌧ ⌧

⌧ Artinya : “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua)

maka perempuan itu tidak halal baginya sehingga dia kawin dengan suami yang lain.” (Al-Baqarah 2:230)

Dalam ayat lain disebutkan sebagai berikut :

Artinya : “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka

janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” (Al Baqarah 2:232)

Dalam ayat lain disebutkan :

…… ⌧ ☺

☺ ☺

Artinya : “Kemudian apabila habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu

(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka, menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (Al-Baqarah 2:234)

Page 55: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

55

Ayat-ayat Al-Qur’an tersebut memberikan isyarat bahwa pernikahan

yang dilakukan oleh wanita dewasa tanpa wali dinyatakan sah. Hal ini seperti

dijelaskan oleh imam Hanafi sebagai berikut :

“…. Contoh dari kasus Ma’qil bin Yasar yang menikahkan saudara perempuannya kepada seorang laki-laki muslim. Beberapa lama kemudian laki-laki itu menceraikan perempuan tersebut. Setelah habis tenggang waktu menunggu (tenggang waktu iddah), maka kedua bekas suami istri itu ingin lagi bersatu sebagai suami istri dengan jalan nikah lagi tetapi Ma’qil bin Yasar tidak memperkenankan kembali menjadi suami dari saudara perempuannya laki-laki muslim tadi. Setelah berita itu disampaikan keapda Rasulullah, maka turunlah ayat 232 surat Al-Baqarah, yang mengatur dan melarang wali menghalangi mereka menikah lagi dengan bekas suaminya tadi.”4

Dengan memperhatikan kutipan tersebut tampak jelas bahwa Imam

Hanafi berpendapat bahwa perempuan itu dapat saja menikahkan dirinya

sendiri tanpa harus dengan wali, dan nikahnya dinyatakan sah secara mutlak.

Hal ini beralasan dengan surat Al-Baqarah ayat 234 yang di dalamnya tersirat

bahwa wanita dewasa itu mempunyai hak terhadap dirinya termasuk dalam

nikah tanpa wali. Hal ini dipertegas dengan sabda Rasulullah SAW yang

berbunyi : “Wanita-wanita janda itu lebih berhak atas dirinya ketimbang

walinya, dan gadis itu dimintai pendapat tentang dirinya, dan persetujuannya

adalah diamnya.” (hadits Riwayat Abu Daud).5

Pengertian yang terkandung dalam hadits tersebut adalah bahwa wanita

itu mempunyai hak atas dirinya untuk menikah. Bagi janda, nikahnya sah

tanpa harus dimintai persetujuan wali, dan bagi yang bukan janda jawabannya

4 M. Idris Ramulyo, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Hukum Islam (Jakarta: Ind

Hill-Co, 1985), h.218 5 Abu Daud, op.cit, h.484

Page 56: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

56

cukup dengan diam. Menurut Imam Abu Daud dalam memahami hadits

tersebut, kalau perempuan itu janda maka nikahnya sah tanpa harus dengan

wali, sebab adanya wali tan menjadi rukun nikah.

“….Perempuan yang baligh lagi berakal boleh mengawinkan dirinya

sendiri atau mewakilkan kepada orang lain. Tetapi jika perempuan itu berkawin dengan laki-laki yang tidak sekufu (sejodoh) dengan dia, maka walinya berhak menolak perkawinan itu (memfasaknya).”6

Jelaslah bahwa menurut mazhab Hanafi bahwa wali tidak merupakan

rukun nikah. Hal ini dikiaskan bahwa perempuan dewasa itu mempunyai hak

penuh dalam mengatur dirinya dan harta bendanya, kalau dia melakukan jual

beli hukumnya sah. Karena itulah perempuan yang baligh dan berakal itu jika

nikahnya tanpa wali sah hukumnya.

Dari kedua pendapat tersebut terdapat silang pendapat. Imam Syafi’i

dengan ulama pengikutnya menyatakan bahwa wali merupakan rukun sahnya

nikah, sedangkan Imam Hanafi bahwa wali bukan merupakan rukun sahnya

nikah. Kedua pendapat tersebut masing-masing mempunyai landasan, baik

ayat Al-Qur’an maupun hadits Rasulullan. Karena tidak ada ayat dan hadits

yang secara tegas membahas tentang kedudukan wali nikah, hasil pemikiran

kedua ulama tersebut berdasarkan pada ijtihad yang ditempuhnya.

Bagi bangsa Indonesia, yang sebagian penduduknya beragama Islam dan

mayoritas pengikut mazhab Syafi’i, maka telah dinyatakan bahwa wali

6 Muhammad Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1990),

h.22

Page 57: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

57

merupakan salah satu rukun wahnya nikah. Nikah tanpa wali dianggap batal

atau tidak sah. Menurut Imam Syafi’i kedudukan wali dalam suatu pernikahan

adalah mutlak. Karena itulah maka wali merupakan rukun yang harus

dipenuhi dalam sautu pernikahan, bila tidak dipenuhi maka nikahnya

dianggap batal atau tidak sah.

B. Fungsi dan Hikmah Wali Dalam Pernikahan

Wali nikah, terlepas dari mutlak dan tidaknya sebagai rukun sahnay nikah,

dalam praktiknya mempunyai fungsi yang sangat penting. Sebagaimana diketahui

bahwa pada umumnya pernikahan itu dilakukan setelah mencukupi syarat-syarat

dan rukun-rukunya. Rukun yang dimaksud adalah adanya calon mempelai laki-

laki dan perempuan, wali, dua orang saksi, ijab dan qobul.

Fungsi wali nikah dalam pelaksanaan pernikahan diantaranya adalah waktu

ijab dan qobul ini dilangsungkan. Seperti diketahui bahwa dalam pelaksanaan

aqad, biasanya yang melaksanakan ijab adalah pihak perempuan, bukan pihak

laki-laki. Tetapi “ijab’ sangat tidak mungkin diucapkan oleh calon penganten

perempuan. Disinilah fungsi wali sangat penting yaitu berfungsi sebagai wakil

dan pihak mempelai perempuan untuk mengucapkan ‘ijab’ penawaran, sedangkan

pihak laki-lakilah yang mengucapkan “qobul” atau penerimaan. Tanpa kehadiran

wali, aqad nikah tidak mungkin dilangsungkan.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kedudukan wali itu sangat penting

dalam suatu pernikahan. Lebih lanjut dikatakan bahwa “Wali” dalam pernikahan

Page 58: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

58

adalah penting bahkan terpenting diantara rukun-rukun pernikahan yang lain.

Tidak akan sah pernikahan kecuali dengan adanya wali.”7 dengan demikian

keberadaan wali mutlak diperlukan dalam suatu pernikahan.

Hikmah perlunya wali nikah adalah suatu bukti bahwa pernikahan itu

mendapat restu atau izin dari orang tua atau walinya, dan berdasarkan keterangan

Bapak Zainal Arifin :

“Bahwa wali berdasarkan keturunan bapak dengan urutan wali merupakan salah satu kewajiban wali pada anaknya, untuk menikahkan, melepaskannya dan dikatakan pula suatu pertemuan dua keluarga besar. Karena itulah dalam hukum Islam wali mutlak sifatnya.

Dengan kehadiran orang tua atau wal nikah dalam acara pernikahan, timbul

saling percaya antara bapak atau wali nikah dalam acara pernikahan, timbul saling

percaya antara bapak atau wal dengan caon mempelai laki-laki atau menantu.

Disamping wali nikah yang berfungsi mengucapkan ijab atau penawaran, wali

nikah juga memiliki hikmah mengetahui bahwa anaknya atau orang yang berada

di bawah perwaliannya itu telah melakukan pernikahan dan secara otomatis

kehadirannya itu memberikan isyarat persetujuan darinya. Yang paling penting

timbul rasa tanggung jawab dari seorang suami. Karena itulah keberadaan wal

dalam suatu acara pernikahan itu sangat penting dan diutamakan.”8

7 Hasil wawanara dengan Bapak Drs. Zainal Arifin, Kepala KUA Kecamatan Jagakarsa, di

KUA Kecamatan Jagakarsa, tanggal 5 Februari 2002 8 Hasil wawancara dengan Sapto Wibowo SH, dan Ibu Liana pejabat SUDIN Kependudukan

dan Catatan Sipil Jakarta Selatan, tanggal 30 April 2002

Page 59: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

59

C. Perwalian Beda Agama Dalam Perkawinan Menurut Hukum Islam

Dalam masalah perkawinan, hukum Islam sudah jelas memerintahkan

kepada siapa saja yang memang sudah layak untuk menikah. Maka dipersilahkan

untuk menjalankan sunnah Nabi Muhammad itu. tentunya sesuai dengan syarat-

syarat dan rukun-rukunnya yang telah digariskna dalam hukum Islam.

Namun demikian sebuah pernikahan tidak begitu saja mudah dilakukan,

diperlukan adanya syarat dan rukun nikah yang harus dilengkapi oleh yang

menjalankan pernikahan, seperti adanya wali dan lain-lain. Meskipun

permasalahan wali sampai saat ini masih dalam perdebatan para ulama atau

terlepas dari permasalahan harus ada atau tidaknya wal dalam sebuah pernikahan,

pada bagian tulisan ini penulis menyatakan diperlukan adanya wali. Kesimpulan

in diambil setelah melihat dan mengkaji secara seksama perlu atau tidaknya wali,

timbul permasalahan lain lagi yaitu, bagaimana jika wali yang menikahkan itu

berbeda agama ? pada bagian ini akan dibahas siapa yang berhak mewalikannya.

Bisa saja wanita muslimah sedang wali yang menikahkannya non-muslim, atau

wanita itu non-muslim sedangkan wali yang menikahkannya adsalah muslim.

Lebih jelas permasalahan itu akan dibahas sebagai berikut :

1. Wanita muslimah sedang wali yang berhak menikahkannya adalah kafir

Wali bagi perempuan muslimah itu tidak boleh orang kafir. Hal ini

relevan dengan firman Allah SWT :

Page 60: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

60

☺ ☺

Artinya : “Para laki-laki mu’min dan para wanita mukminah itu satu sama

lain saling mengisi dan saling membantu”. (At-Taubah 9:71)

Berdasarkan ayat tersebut, orang kafir tidak boleh menjadi wali wanita

muslimah sebab orang kafir tidaklah pembantu bagi wanita muslimah, karena

perbedaan agama.9 Oleh karena itu, wanita muslimah ketika akan menikah

sedangkan walinya non-muslim maka ia bisa mengangkat walinya dengan

cara memberi kuasa kepada seseorang yang adil meskipun bukan mujtahid

untuk dijadikan walinya, demikian pendapat Imam Syafi’i yang dinukil oleh

yunus.10

Dalam ayat lain, Allah berfirman :

⌧ ☺

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman”. (Al-Baqarah 2:221)

Menurut mazhab Syafi’i bahwa ayat tersebut ditujukan kepada para

wali. Para wali diberi peringatan oleh Allah untuk tidka menikahkan

seseorang yang berada di bawah perwaliannya dengan orang yang bukan

muslim. Tegasnya, para wali dilarang menikahkan laki-laki muslim dengan

9 Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al-Husaini. Kifayatul Akhyar, (Dar

Al-Fikr), Juz I, h.49 10 Ibid

Page 61: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

61

wanita non-muslim, para wali juga dilarang menikahkan seorang muslimah

dengan laki-laki non muslim.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa orang kafir tidaklah sah menjadi wali

bagi wanita muslimah yang hendak menikah. Namun ia bisa menguasakan

perwaliannya itu kepada siapa saja asalkan harus adil, setelah menari dan

berusaha menari barangkali diantara keluarganya ada yang muslim. Kalau

memang ada maka yang berhak mewalikannya adalah saudaranya yang

memang muslim berdasarkan tartibul wali yang sudah diariskna. Jika pada

akhirnya saudaranya tidak ada satupun yang muslim maka baru permasalahan

ini diserahkan kepada pemerintah, dalam hal ini adalah lembaga perkawinan

yaitu pajabat dari Kantor Urusan Agama (KUA), yang akan menjadi wali

baginya.

2. Wanita non-muslim sedang wali yang berhak mewalikannya adalah

muslim.

Maka wali yang muslim ini tidak boleh menjadi wali perempuan kafir.

Hal ini relevan dengan firman Allah SWT.

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan

orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai pembantu. Orang Yahudi dan orang Nasrani satu sama lain saling membantu.” (QS. 5: Al-Maidah : 51)

Page 62: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

62

Ayat tersebut menegaskan bahwa orang Islam tidak boleh menjadi wali

perempuan kafir. Ayat tersebut pun menyatakan : Allah memutuskan tindakan

saling membantu diantara orang-orang mukmin dan orang-orang mukmin dan

orang-orang kafir inilah pendapat yang kuat. Bahkan ditegaskan bahwa orang

kafir hanya boleh menjadi wali untuk perempuan kafir.11

Orang kafir pun yang menjadi wali perempuan kafir harus adil dalam

agamanya, tidak boleh melakukan perbuatan-perbuatan haram. Ditegaskan

oleh Rafi’I “tidaklah orang kafir yang berbuat haram menikahkan perempuan

kafir, kalau dilakukan hal tersebut, sama saja dengan seorang muslim yang

fisik menikahkan anka perempuannya.12

Dari uraian di atas jelaslah bahwa wanita kafir tidak boleh diwalikan

oleh orang muslim. Karena orang kafir bukan merupakan pembantu orang

muslim. Orang kafir hanya dapat diwalikan oleh orang kafir sendiri. secara

kebetulan dalam pernikahan menurut orang kafir wali bukanlah sesuatu yang

harus ada dalam pernikahan sehingga keberadaan wali terasa tidaklah penting,

seandainya ada maka orang kafir tersebut juga harua orang yang adil. Dari

pembahasan di atas jelaslah bahwa perwalian beda agama tidak boleh atau

haram hukumnya.

11 Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr ibn Muhammad Al-Husaini. Kifayatul Akhyar, (Dar

Al-Fikr), Juz I, h.49 12 Ibid

Page 63: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

63

D. Analisis Penulis Tentang Perwalian Beda Agama Dalam Pernikahan

Menurut Hukum Islam dan Hukum Non-Muslim

Pada pembahasan berikut ini akan dianalisis masalah perwalian dalam

pernikahan ditinjau menurut hukum Islam dan hukum non-muslim.

Menurut hukum Islam sebagaimana telah disinggung sebelumnya, wali

nikah adalah ayah atau kakek (wali mujbir) dan seterusnya ke atas, saudara laki-

laki sebapak, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung, anak laki-laki dari

saudara laki-laki sebapak dan seterusnya kebawah, paman kandung, paman

sebapak, anak laki-laki paman sebapak dan seterusnya kebawah. Semua itu

disebut dengan wali nasab. Dalam keadaan tertentu berdasarkan ketentuan yang

berlaku, seperti tidak ada wali sebagaimana tertib urut-urutan di atas, atau

walinya beda agama denga yang diwalikannya, maka boleh mengangkat wali

hakim. Tegasnya dalam hukum Islam dikenal dua jenis wali nikah yaitu wal

nasab dan wali hakim. Islam sangat melarang wali yang berbeda agama

menikahkan anaknya yang muslim.

Sedang dalam hukum perkawinan non-muslim, wali dalam pernikahan

bukanlah suatu yang mutlak harus ada, boleh dikatakan tidak perlu, yang perlu

adalah saksi dalam sebuah perkawinan. Menurut undang-undang nomor 1 tahun

1974 tentang wali nikah disebutkan pada pasal 6 bahwa bila calon mempelai

belum mencapai usia 21 tahun harus mendapatkan izin dari kedua orang tua, bila

salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak

Page 64: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

64

mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat diperoleh dari orang tua yang

masih hidup atau dari oarang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam

hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu

menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara

atau keluarga yang mempunyai hubungan darah garis ke atas selama mereka

masih hidup dan dalam keadaan mampu menyatakan kehendaknya. Dalam

keadaan berbeda pendapat antara orang-orang yang tersebut, maka izin dapat

diperoleh dari pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang kana

melangsungkan pernikahan, setelah mendengar pihak-pihak yang telah disebutkan

di atas.

Keterangan tentang wali nikah tersebut tampaknya tidak tegas. Pada bagian

penjelasan undang-undang nomor 1 tahun 1974 dinyatakan cukup jelas, padahal

belum jelas. Siapakah sebenarnya orang-orang yang berhak menjadi walli nikah.

Apakah orang tua (ayah dan ibu) ataukah orang lain yang memelihara anak yang

sudah menikah itu karena orang tuanya meniggal dunia atau dalam keadaan tidak

mampu menyatakan kehendaknya. Hal ini tidak diberikan penjelasan. Karena

itulah masalah perwalian dalam pernikahan menruut undang-undng nomor 1

tahun 1974 pada bab 11 pasal 6, ayat 2, 3 dan 4 kurang jelas.

Pada pasal 51 ayat 2 undng-undang nomor 1974 disebutkan bahwa wali

sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah

dewasa, berfikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. maksud kalimat ‘orang

lain’ disini sulit untuk diterima, apakah orang lain dalam kerabat ataukah orang

Page 65: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

65

lain yang memeliharanya atau juga hakim. Dalam hal ini tidak diperoleh

penjelasan yang tegas.

Dari uraian di atas dapatlah diambil suatu pengertian bahwa wali nikah yang

dimaksud dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 adalah berupa izin dari

orang tua wali. Orang yang berhak menjadi wali adalah orang tua atau

kerabatnya, orang yang memelihara, dan pihak pengadilan atau wali hakim.

Dikarenakan perwalian bukan suatu yang mutlak, maka walli beda agama

menurut mereka tidak ada masalah. Seperti dikutip dalam wawancara dengan

pejabat kantor Catatan Sipil Jakarta Selatan sebagai berikut :

“Dalam Agama Kristen wali merupakan suatu yang tidak mutlak dalam sebuah perkawinan, yang penting adalah ‘pemberkatan’ di depan pemeluk agama, dikarenakan yang menikahkan adalah seorang pendeta. Yang harus ada adalah saksi, termasuk sanak famili dan kerabat dekat. Orang tuanya yang mewalikannya hanya dimintakan izin agar dapat mengijinkan ia untuk menikah. Sekali lagi, yang lebih mutlak sebenarnya adalah saksi dalam sebuah perkawinan bukan wali.”13

Menurut hukum Islam wali merupakan salah satu rukun nikah. Nikah yang

tanpa wali dinyatakan tidak sah atau batal. Hal ini dikemukakan oleh pejabat

KUA Kecamatan sebagai berikut :

“Wali merupakan rukun nikah, walaupun terdapat perbedaan pendapat dikalangan Imam Mazhab, namun wali tetap diperlukan sebagai salah satu rukun nikah. Disamping itu juga wali disyaratkan harus laki-laki, beragama Islam, baligh, dan adil.”14

13 Hasil wawancara dengan Sapto Wibowo, SH. dan Ibu Liana Pejabat Sudin Kependudukan

dan Catatan Sipil Jakarta. Tanggal 30 April 2002 14 Hasil wawancara dengan Drs. Zainal Afirin, Pejabat Sudin Kependudukan dan Catatan Sipil

Jakarta. Tanggal 30 April 2002

Page 66: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

66

Penjelasan tersebuit memberikan pengertian bahwa wali nikah itu bersifat

mutlak. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali dapat dinyatakan tidak sah atau

batal. Wali nikah juga harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu

harus laki-laki, beragama Islam, baligh dan adil.

Dalam prakteknya, penentuan wali dan dijadikannya wali sebagai rukun

sahnay nikah, umumnya tidak menemukan kesulitan. Hal ini seperti yang

dikemukakan oleh bapak Drs. Zainal Arifin :

“Pada umumnya tidak ada maslaah, namun terkadang yang menjadi masalah adalah ketika pernikahan berlangsung seorang wali berbohong dengan petugas pencatat nikah/petugas kua, padahal seorang wali bukan hanya seorang bapak yang melahirkan dia, akan tetapi siapa saja boleh menjadi wali dengan ketentuan berdasarkan tartibul wali. Oleh karena itu kita perlu mensosialisasikan tentang kedudukan wali. Bahwa wali bukan hanya seorang bapak, tetapi siapa saja boleh berdasarkan tartibul wali yang telah digariskan. Karena apabila wali nasab tidak ada atau karena tidak mencukupi persyaratan dan atau karena sesuatu hal, maka wali hakim berhak menjadi wali, dan pada umumnya wali hakim adlah kepala KUA setempat. Inilah suatu bukti bahwa hukum Islam memandang wali ini sangat penting keberadaannya.”15

Keterangan tersebut memberikan pengertian bahwa wali merupakan salah

satu rukun sahnya nikah secara mutlak, baik calon mempelai itu sudah mencapai

usia dewasa atau belum. Bila tidak didapati wali nasab karena satu dan lain hal,

maka wali dapat digantikan oleh wali hakim, yang pada umumnya asdalah kepala

KUA setempat, atau wilayah pernikahan itu dilaksanakan.

Menurut hukum non-muslim masalha wali nikah juga merupakah syarat sahnya nikah, namun hal itu tidak mutlak. Bila wali tidak hadir, ia harus membuat susrat persetujuan tertulis di atas kerta segel. Lebih lanjut dikatakan bahwa wali

15 Hasil wawancara dengan Drs. Zainal Afirin, Pejabat Sudin Kependudukan dan Catatan

Sipil Jakarta. Tanggal 30 April 2002

Page 67: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

67

nikah itu mempunyai kedudukan tidak mutlak karna kedudukan wali itu hanya sebagai pengawas atau pelengkap.16

Menurut penjelasan di atas dapatlah diambil suatu pengertian bahwa wali, nikah

menurut hukum non-muslim merupakan syarat sahnya nikah, namun sifatnya

tidak mutlak. Wali hanya diperlukan bila calon mempelai belum mencapai usia

dewasa, bila calon mempelai sudah mencapai usia dewasa kehadiran wali

hanyalah sebagai pengawas atau pelengkap. Apabila wali calon mempelai belum

mencapai usia dewasa tidak bisa hadir, ia harus membuat persetujuan tertulis di

atas kertas segeal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wali nikah menurut

hukum non-muslim juga menjadi syarat sahnya nikah walaupun sifatnya tidak

mutlak. Bagi calon mempelai yang sudah mencapai usia dewasa. Eksistensi wali

tidak merupakan syarat sahnya nikah. Kehadiran wali di sini hanyalah sebagai

pengawas atau pelengkap.

16 Hasil wawancara dengan Sapto Wibowo, S.H. dan Ibu Liana, Pejabat Sudin Kependudukan

dan Catatan Sipil Jakarta. Tanggal 30 April 2002.

Page 68: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

68

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Dari uraian tersebut dapatlah diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Pernikahan merupakan perjanjian yang suci dan kuat untuk hidup bersama

secara sah antara seseorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam

membentuk keluarga sakinah, mawaddah, karena itu pernikahan harus

dilaksanakan dengan memenuhi syarat-syarat. Sebagai salah satu syarat

sahnya nikah adalah adanya seorang wali.

2. Perwalian dalam pernikahan menurut Islam cukup jelas, karena wali memiliki

peranan yang sangat penting dalam pernikahan. Menurut hukum Islam wali

merupakan salah satu rukun dalam pernikahan. Baik calon itu sudah mencapai

usia dewasa atau belum. Pernikahan yang tidak dihadiri oleh wali dianggap

batal atau tidak sah. Pihak atau orang yang menjadi wali, harus sesuai dalam

urutan-urutan wali dan memenuhi syarat yang harus dimiliki oleh kedudukan

seorang wali. Wali nikah menjadi salah satu syarat sahnya nikah, yang

sifatnya mutlak.

3. Perwalian beda agama dalam pernikahan menurut Islam hukumnya haram,

karena Islam telah tegas tentang perwalian dan urut-urutan perwaliannya. Jika

terjadi perwalian beda agama, maka yang menikah itu harus mencari

saudaranya berdasarkan urutan wali yang masih muslim. Apabila saudaranya 59

Page 69: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

69

yang boleh menjadi wali tidak ada yang muslim, maka bisa mengangkat wali

hakim dari pejabat Kantor Urusan Agama.

4. Hikmah keberadaan wali nikah dalam suatu pernikahan adalah bahwa

kehadiran wali nikah itu secara langsung sebagai persetujuan terhadap

pelaksanaan pernikahan, disamping itu wali menjadi tahu bahwa anaknya atau

orang yang berada dibawah perwaliannya itu benar-benar telah menikah.

Page 70: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

70

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim Daly, Peunoh, DR, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam kalangan Ahlussunnah dan Negara-negara Islam, Jakarta: bulan Bintang, 1988, cet. Ke-1. Daud, Abu Imam, Sunan Abi Daud, Misr: Mustafa Al-Babi Al Halabi, 1952, Juz. 1 Depag I, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahnya, Jakarta: 1998 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama R.I, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991, 2001.

Hallaj, Al, Imam, Abi Al-Husaini Muslim, Ibn, Shahih Muslim, Jakarta: Pelajar

Bandung, 1972, cet. 8. Ma’luf, Luis, Al-Munjid, Beirut: Dar Al-Masrik, 1986, cet. Ke-26 Mawardi, Drs Hukum Perkawinan Dalam Islam, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi

Universitas Gajah Mada, 1975. Muchtar, Kamal, Drs, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan

Bintang, 1974, cet. Ke-1. Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,

1982, cet. Ke-6. Prasoko, Djoko, SH, Murtika, I Ketut, SH, Asas-asas Hukum Perkawinan di

Indonesia, Jakarta: PT, Bina Aksara, 1987, cet. Ke-1. Qurtubi, Al, Imam, Bidayatul Mujtahid, Semarang: Toha Putra Semarang, 595 Juz.2 Rahman, Ar, Bakri dan Sukarja, Ahmad, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam

Undang-undang perkawinan dan Hukum Perdata B/W, Jakarta: Hida Karya Agung, 1981.

Ramulyo, Idris, Modh, MH, SH. Dari segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:

IND HLLCO

Page 71: Status wali nikah bagi anak perempuan yang berbeda agama ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/11092/1/ACHMAD... · dibahas dalam skripsi ini dirumuskan dalam beberapa

71

Ridwan, Halim, A. Hukum Pedata dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.

Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1981, cet Ke-IV. Shan’ani, As, Ismail, bin, Muhammad, Imam, Subulus Salaam, Bandung: Maktabah

Dahlan, Tth, Juz.3. Siddik, Abdullah, H, Ms, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: PT. Tinta Mas, 1983,

cet.d Ke-2. Syaqolani, As, Nailul ‘Author Syarh Muntaqal Akhbar, Lubnan: Dar Al-Fikr, 1973,

Juz.6. Taqiyuddin, Umam, Abu Bakar bin Muhammad Al-Nusaini, Kifayat Al-Akhyar,

Beirut: Dar Al-Fikr, 1994, Juz Ke-2. Tjitnosudibyo, R. Subekti, R, Prof., KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

PERDATA BW, Jakarta: PT. Pradnya Paramitha 1999, cet. Ke-29. Turmudzi, At, Imam Sunan At-Turmudzi bi Syahri Tuhfatil Ahwazi, Lubhan: Dar Al-

Fikr, tth, Juz.4 Yahya Harahap, M. SH., Hukum Perkawinan Nasional, Medan: CV. Zahir Trading,

1975. Yunus, Mahmud, Prof DR, H, Hukum Perkawinan dalam Islam Jakarta: PT.

Hidakarya agung, 1979, cet. Ke-8.