sejengkal tanah setetes darah · aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan...

82

Upload: others

Post on 14-Nov-2020

44 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi
Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

ii

SEJENGKAL TANAH SETETES

DARAH

JILID 08

OLEH

paneMBAHan MANdaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Mbah Man

Tahun 2017 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

iii

Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa Sekar keluwih, Desember 2017

Terima kasih atas dukungan:

Istri dan anak-anak tercinta

Serta handai taulan semua

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

Untuk beberapa saat ketiga orang itu justru hanya diam mematung tersihir oleh kecantikan Ratri, gadis yang sedang beranjak dewasa dengan segala kelebihannya.

“Urus anak muda gila itu, Panut!” berkata Ki Jagabaya akhirnya kepada kawannya kemudian setelah dia menyadari akan tujuannya datang ke kediaman Ki Gede, “Aku akan mencoba melunakkan hati gadis itu. Siapa tahu dengan suka rela dia akan bersedia ikut dengan kita.”

Tanpa menunggu jawaban Panut, Ki Jagabaya pun dengan langkah lebar segera berjalan kembali menuju ke dapur.

Sedangkan Panut yang mendapat perintah untuk mengurus cantrik Gatra Bumi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Jika saja dia boleh memilih, tentu dia akan memilih untuk mengurus gadis cantik itu, walaupun harus dengan sedikit kekerasan sekalipun.

Dalam pada itu, cantrik Gatra Bumi yang melihat kemunculan Ratri menjadi salah tingkah. Dia sama sekali tidak mengharap bertemu dengan gadis cantik namun terlihat sedikit tinggi hati itu. Sebenarnya ada niat untuk segera meninggalkan tempat itu, akan tetapi kata-kata terakhir dari Ki Jagabaya itu telah mengusik hatinya.

“Gadis itu akan diajak ke mana?” bertanya cantrik Gatra Bumi dalam hati sambil mengawasi langkah Ki Jagabaya, “Adalah sebuah tindakan deksura mengajak seorang gadis apalagi putri Ki Gede tanpa seijin orang tuanya.”

Pertanyaan itu berputar-putar dalam benak cantrik Gatra Bumi tanpa dia mampu mencari jawabannya.

Dalam pada itu Ratri yang pada awalnya berdiri di tengah-tengah pintu dapur telah melangkah keluar begitu dilihatnya ki Jagabaya menghampirinya.

“Ratri,” berkata Ki Jagabaya kemudian sesampainya dia di hadapan gadis itu, “Aku datang membawa pesan dari Raden Mas Harya Surengpati.”

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

2

Ratri mengerutkan keningnya. Ada sedikit rasa terkejut dalam hatinya mendengar kata-kata Ki Jagabaya.

“Raden Surengpati?” ulang Ratri sambil sepasang mata yang indah itu menatap tajam Ki Jagabaya, “Apakah benar Raden Surengpati menitipkan pesan untukku?”

Ki Jagabaya cepat-cepat membuang muka. Ada desir tajam yang menggores jantungnya. Pandangan tajam dari sepasang mata gadis yang dulu semasa kanak-kanak sering digendongnya jika dia berkunjung ke rumah Ki Gede itu seakan telah menjenguk langsung ke dalam dadanya dan melihat betapa jantung itu sekarang telah ditumbuhi oleh bulu-bulu ketamakan dan keserakahan?

“Aku harus kuat dan mampu menyingkirkan segala perasaan yang cengeng dan tidak beralasan ini,” geram ki Jagabaya dalam hati sambil mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, “Perjuangan Trah Sekar Seda Lepen harus berhasil. Dengan demikian nasibku pun akan berubah, dari seorang Jagabaya yang tidak mempunyai kekuasan selain menjadi pesuruh, menjadi seorang pemimpin sebuah tanah perdikan yang luas dan subur. Tanah perdikan Matesih.”

Tiba-tiba sebuah senyum tersungging di bibir Ki Jagabaya. Seolah-olah jabatan kepala Tanah Perdikan Matesih itu sudah berada dalam genggamannya.

“Ki Jagabaya,” tiba-tiba terdengar suara Ratri membangunkan mimpi indah Ki Jagabaya, “Ki Jagabaya belum menjawab pertanyaanku.”

Sejenak wajah Ki Jagabaya menegang. Namun dengan cepat kesan itu segera hilang dari wajahnya. Katanya kemudian sambil tersenyum, “Ratri, aku sebagai orang tua yang sudah kenyang makan asam garamnya kehidupan tidak menutup mata akan hubungan kalian berdua. Raden Surengpati sering bercerita tentang dirimu. Menurut panggraitaku sebagai laki-laki, agaknya Raden Surengpati benar-benar telah mabuk kepayang dengan putri satu-satu Ki Gede Matesih yang mempunyai kecantikan luar biasa ini.”

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

3

“Ah,” desah Ratri dengan kedua pipi memerah. Dengan cepat ditundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Nah,” berkata Ki Jagabaya kemudian begitu kata-kata sanjungannya mulai merasuki hati gadis itu, “Sekarang aku telah diutus untuk menjemputmu. Keadaan di rumah ini tidak aman lagi. Menurut berita seorang telik sandi, sebentar lagi pasukan segelar sepapan Mataram akan menyerbu ke tempat ini. Untuk itulah langkah satu-satunya bagi Raden Surengpati adalah menyelamatkanmu, karena engkau adalah satu-satunya yang paling berharga dalam hidupnya.”

Kata-kata Ki Jagabaya yang terakhir itu bagaikan kidung asmarandana yang melambungkan Ratri ke awang-awang. Hatinya telah dipenuhi oleh bunga-bunga yang semerbak harum mewangi. Betapa perhatian yang dalam telah diberikan kepadanya oleh laki-laki pujaan hatinya itu. Namun berita tentang kedatangan pasukan Mataram itu sedikit meragukan hatinya.

Untuk beberapa saat telah terjadi pergolakan di dalam hati putri Matesih itu. Gadis yang sedang beranjak dewasa itu merasakan getar-getar lembut yang mengusap jantungnya. Betapa kerinduan yang hampir tak tertahankan untuk bertemu dengan pujaan hatinya itu. Namun jauh di dasar lubuk hatinya, terdengar bisikan yang mengisyaratkan untuk selalu meningkatkan kewaspadaan sehubungan dengan tingkah laku Raden Surengpati yang baru saja dialaminya beberapa saat yang lalu.

“Akan tetapi ternyata aku tidak mengalami suatu apapun?” sudut hatinya yang lain menyangkal, “Mungkin aku saja yang terlalu berprasangka buruk kepadanya sehingga ketakutanku telah mengalahkan nalarku.”

Terdengar Ratri berdesah perlahan. Hatinya benar-benar gundah gulana. Dia benar-benar tidak dapat menentukan sikap sehubungan dengan berita yang dibawa oleh Ki Jagabaya yang sudah sangat dikenalnya dengan baik itu.

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

4

“Bagaimana Ratri?” bertanya Ki Jagabaya kemudian begitu melihat putri Matesih itu hanya diam termangu sambil menundukkan wajahnya.

Tanpa sadar Ratri mengangkat wajahnya mendengar pertanyaan Ki Jagabaya. Sekilas dia melihat jauh ke depan. Tampak anak muda yang dikenalnya sebagai tamu ayahnya itu sedang berdiri termangu-mangu di dekat perigi. Kedua tangannya tampak sedang memegangi tali senggot, namun tidak ada gerakan sama sekali untuk mengambil air. Sementara beberapa langkah di hadapannya, seseorang sedang berdiri sambil bertolak pinggang.

Ki Jagabaya berpaling sekilas ke belakang mengikuti pandangan Ratri. Katanya kemudian, “Jangan hiraukan mereka berdua. Keduanya tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kita.”

Ratri tidak menjawab dan kembali menundukkan kepalanya. Sementara Ki Jagabaya agaknya tanggap. Tentu sedang terjadi pergolakan batin di dalam diri gadis itu. Maka Ki Jagabaya pun membiarkan gadis itu untuk sejenak membuat pertimbangan-pertimbangan di dalam dirinya.

Dalam pada itu cantrik Gatra Bumi yang sedikit banyak telah mempelajari dasar-dasar dari aji sapta pangrungu sedari tadi telah mencoba mencuri dengar percakapan Ki Jagabaya dengan Ratri.

Jantung anak muda murid Ki Ajar Mintaraga itu pun menjadi berdebar-debar begitu dengan sangat jelasnya mendengar apa yang sebenarnya menjadi tujuan utama Ki Jagabaya datang ke kediaman Ki Gede itu. Apalagi begitu mendengar alasan ki Jagabaya yang menyangkut-pautkan pasukan Mataram, cantrik Gatra Bumi pun segera dapat mengambil kesimpulan bahwa Ki Jagabaya telah berupa daya untuk menipu putri Matesih itu agar bersedia diajak pergi.

Berpikir sampai disitu, cantrik Gatra Bumi pun segera melangkah meninggalkan perigi dan bermaksud menuju ke tempat Ki Jagabaya. Namun kawan Ki Jagabaya yang bernama Panut itu ternyata telah menghadang jalannya.

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

5

“Ha, akan melarikan diri kemana kau?” geram Panut sambil merentangkan kedua tangannya, “Jangan harap dapat lolos dari tanganku!”

Cantrik Gatra Bumi mengerutkan kening sambil menghentikan langkahnya. Jawabnya kemudian, “Ki Sanak, aku tidak bermaksud melarikan diri. Aku hanya ingin berbicara dengan Ki Jagabaya.”

“Itu tidak perlu!” sergah Panut sambil bertolak pinggang, “Jika engkau memutuskan untuk menyerah dan meminta maaf atas kelakuanmu tadi, cukup kepadaku. Tidak usah kepada Ki Jagabaya. Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.”

Cantrik Gatra Bumi mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Panut. Namun ternyata dia tidak kurang akal untuk membalas ejekan Panut. Maka katanya kemudian, “Maaf Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak sendiri yang tadi dengan sukarela ingin masuk ke dalam perigi? Untunglah Ki Jagabaya mempunyai pikiran lain. Jika Ki Sanak ingin mandi, memang sebaiknya di pakiwan saja, bukan langsung ke dalam perigi.”

“Aku sobek mulutmu, bocah lancang!” geram Panut. Namun diam-diam di dalam hati Panut mulai menilai kekuatan lawannya. Pada benturan yang pertama tadi ternyata anak muda itu telah mampu melemparkannya.

Maka kali ini Panut tidak ingin mengulangi kegagalannya. Segera saja dia mengambil sikap. Ditekuknya salah satu lutut kakinya sedikit rendah. Sedang kaki yang lainnya membuat gerakan setengah lingkaran ke depan dan berakhir dengan tumit yang diangkat tinggi-tinggi sehingga hanya ujung ibu jari kakinya saja yang menyentuh tanah. Sementara kedua tangannya membentuk pertahanan di depan dada.

Cantrik Gatra Bumi mengerutkan keningnya. Dia tidak begitu heran dengan sikap kuda-kuda seperti itu. Setiap orang yang pernah belajar olah kanuragan pasti dikenalkan dengan berbagai macam bentuk dan ragam kuda-kuda.

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

6

“Nah, anak muda,” berkata Panut kemudian, “Aku tidak akan mengulangi kesalahanku lagi. Dan jangan samakan aku dengan kawanku yang tentu sudah engkau lumpuhkan terlebih dahulu.”

Mendengar ucapan Panut itu, cantrik Gatra Bumi pun segera teringat kepada orang tinggi kurus yang menghampirinya ketika dia sedang mengambil air di perigi beberapa saat yang lalu.

“Orang aneh,” gumam cantrik Gatra Bumi dalam hati, “Tanpa memberi peringatan apapun tiba-tiba saja dia memukul tengkukku.”

Memang kawan Ki Jagabaya yang tinggi kurus itu telah membuat sebuah kesalahan besar yang mengakibatkan kerugian pada dirinya sendiri.

Ketika Ki Jagabaya memerintahkannya untuk membungkam anak muda yang sedang mengambil air di perigi itu, dia berpikir bahwa anak muda itu hanyalah seorang anak muda kebanyakan. Maka sambil menyunggingkan senyum, kawan Ki Jagabaya yang bertubuh tinggi kurus itu segera menghampiri cantrik Gatra Bumi.

Pada awalnya cantrik Gatra Bumi sama sekali tidak menaruh curiga. Dia bahkan mengira orang itu menghampiri dirinya untuk sekedar ingin menggantikan dirinya mengambil air menilik sikapnya yang tenang dengan bibir tersenyum-senyum.

Namun yang terjadi kemudian telah membuat cantrik Gatra Bumi itu terkejut bukan alang kepalang. Sesampainya orang itu selangkah di samping kirinya, tiba-tiba saja orang itu dengan sisi telapak tangan kanannya secepat kilat menghantam tengkuk cantrik Gatra Bumi.

Untunglah cantrik Gatra Bumi telah mendapat gemblengan yang luar biasa dari Ki Ajar Mintaraga. Otot-otot di sekujur tubuhnya telah terlatih untuk mendapat serangan yang mendadak dan tak terduga seperti itu. Maka ketika sisi telapak tangan kanan orang tinggi kurus itu hampir menyentuh sasaran, dengan gerakan diluar sadar cantrik Gatra Bumi segera menundukkan kepalanya dalam-dalam sambil sedikit membungkukkan badannya.

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

7

Akibatnya adalah sangat merugikan orang tinggi kurus itu sendiri. Karena ketergesa-gesaannya, maka akibatnya yang terjadi kemudian adalah sangat diluar perhitungannya. Ketika serangannya tidak menemui sasaran, tubuhnya ikut terdorong ke depan karena pengerahan kekuatannya sendiri. Sementara cantrik Gatra Bumi yang terkejut dan marah atas serangan licik orang itu telah membalas perlakuan orang tinggi kurus itu dengan sebuah serangan pula tanpa terkendali.

Begitu tubuh orang tinggi kurus itu condong ke depan, dengan menggunakan tali senggot yang masih berada di kedua tangannya, cantrik Gatra Bumi segera mengalungkannya untuk kemudian menjerat leher orang itu dengan sekali hentakan yang sangat kuat.

Ternyata kemarahan yang menyesakkan dada cantrik Gatra Bumi telah membuat dirinya lepas kendali. Jeratan tali senggot di leher orang itu begitu cepat dan kuatnya sehingga telah membuat leher orang itu tercekik dan jalan pernafasannya tersumbat seketika. Tanpa dapat dicegah, tubuh orang itu pun terkulai dan jatuh pingsan seketika.

Melihat orang tinggi kurus itu jatuh terkulai, cantrik Gatra Bumi menjadi gugup dan bingung. Dengan cepat ditangkapnya tubuh orang tinggi kurus itu yang hampir saja terjatuh ke dalam perigi. Sejenak dia tidak tahu harus berbuat apa. Namun nalurinya segera mengatakan untuk cepat-cepat menyembunyikan tubuh orang tinggi kurus itu dari penglihatan Ki Jagabaya dan kawan yang satunya.

Demikianlah akhirnya Ki Jagabaya dan kawan yang satunya itu ternyata tidak menyadari bahwa kawan mereka telah dapat dilumpuhkan oleh cantrik Gatra Bumi dengan sangat mudahnya.

“Nah, anak muda,” berkata Panut kemudian menyadarkan lamunannya, “Bersiaplah. Jika serangan pertamaku ini langsung melumpuhkanmu, maka jangan salahkan aku. Itu karena nasibmu sendiri saja yang sangat jelek.”

Selesai berkata demikian, Panut segera mengambil ancang-ancang sambil mengerahkan kekuatannya yang bertumpu pada kedua

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

8

kakinya. Sejenak kemudian, tubuhnya telah terlontar ke depan dengan sangat cepatnya. Serangan pertamanya pun segera datang membadai menerjang lawannya.

Sebenarnyalah serangan Panut itu bagi cantrik Gatra Bumi yang telah mengalami gemblengan dari Ki Ajar Mintaraga tidak begitu membahayakan. Namun jantung cantrik Gatra Bumi menjadi semakin berdebar-debar ketika sekilas dia melihat Ki Jagabaya melangkah semakin dekat ke tempat Ratri berdiri.

“Apakah Ratri akan terbujuk oleh rayuan Ki Jagabaya?” bertanya cantrik Gatra Bumi dalam hati sambil bergeser ke samping menghindari serangan Panut, “Sebenarnya aku kurang memahami persoalan apa yang sedang mereka bicarakan. Namun bagaimana pun juga, membawa anak gadis orang tanpa seijin orang tuanya adalah sebuah tindakan yang tidak pantas. Bahkan mungkin itu dapat disamakan dengan tindak penculikan.”

Berpikir sampai disitu dada cantrik Gatra Bumi bagaikan terhimpit berbongkah-bongkah batu padas. Dadanya menjadi sesak memikirkan kemungkinan terburuk yang dapat terjadi pada anak perempuan satu-satunya Ki Gede Matesih itu.

“Ya, ini kemungkinannya adalah sebuah usaha penculikan,” berkata cantrik Gatra Bumi dalam hati selanjutnya sambil terus menghindari serangan lawan yang mulai terlihat membabi buta karena tidak ada satu pun serangan yang mampu menyentuh tubuh anak muda itu.

“Gila.! Gila..! Gilaa..!” umpat Panut berkali kali setiap serangannya hanya menyentuh angin. Dia benar-benar merasa direndahkan oleh lawannya yang tampaknya tidak begitu menanggapi serangannya dan hanya menghindar dan menghindar terus.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya yang mendengar kawannya mulai bertempur dengan cantrik Gatra Bumi menjadi gelisah. Tanpa sadar dia maju selangkah.

Sebenarnyalah Ratri yang sedang termenung itu telah dikejutkan oleh pertempuran yang telah terjadi. Begitu pandangan matanya

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

9

melihat ke depan. Jantung gadis itu pun bagaikan terlepas dari tangkainya. Wajahnya menjadi pucat dan lututnya gemetar.

“Ki Jagabaya,” desis Ratri tertahan-tahan, “Apa yang terjadi? Mengapa mereka bertempur?”

“Sekali lagi aku katakan,” jawab Ki Jagabaya tanpa berpaling, “Jangan hiraukan mereka. Mereka bukan urusan kita.”

Untuk beberapa saat Ratri tetap berdiri dengan wajah pucat dan lutut gemetar. Gadis itu memang tidak pernah diperkenalkan dengan olah kanuragan oleh ayahnya sehingga selalu ketakutan bila melihat orang bertengkar, apalagi sampai berkelahi.

“Nah, apakah engkau sudah siap, Ratri?” pertanyaan Ki Jagabaya telah mengejutkan Ratri yang sedang dalam kekalutan dan ketakutan itu.

“Siap untuk apa, Ki Jagabaya?” bertanya balik gadis itu kemudian dengan bibir pucat dan suara gemetar.

“Tentu saja bersiap untuk berangkat ke rumah yang selama ini dijadikan kediaman Raden Surengpati.” Jawab Ki Jagabaya dengan wajah yang sedikit memerah.

Sejenak wajah gadis yang pucat itu menjadi semakin pucat pasi. Dia belum pernah berpikir bahwa dia harus meninggalkan rumah yang telah dihuninya semenjak lahir itu. Apalagi alasan Ki Jagabaya mengajaknya menyingkir dari rumah itu baginya kurang masuk akal.

“Bukankah di rumah ini ada pengawal?” bertanya Ratri dalam hati dengan jantung yang berdentang semakin keras, “Ayah juga sedang nganglang bersama para pengawal. Jika akan terjadi apa-apa, ayah pasti segera pulang untuk melindungi rumah ini.”

“Marilah, Ratri,” berkata Ki Jagabaya kemudian membangunkan lamunan Ratri, “Waktu kita tidak banyak. Sebentar lagi padukuhan induk ini akan diserbu pasukan Mataram, termasuk rumah ini. Kita harus segera menyingkir secepatnya.”

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

10

Ratri benar-benar dalam keadaan kalut. Walaupun dia sudah mengenal baik Ki Jagabaya sejak kanak-kanak dan Ki Jagabaya baginya mempunyai arti tersendiri dalam perkembangan kehidupannya sampai dia beranjak remaja, namun ajakan Ki Jagabaya itu terdengar sungguh sangat aneh di telinganya. Sedangkan pertempuran yang sedang berlangsung di hadapan matanya itu saja telah hampir membuatnya jatuh pingsan.

Dalam pada itu, dua orang perempuan pembantu rumah Ki Gede yang sedang memasak di dapur telah mendengar suara ribut-ribut di halaman belakang. Hari memang masih terlalu pagi dan di dapur masih sepi, hanya mereka berdua saja yang bertugas menjerang air untuk membuat minuman panas untuk seisi rumah termasuk para pengawal yang berjaga. Sedangkan untuk tamu Ki Gede yang sekarang sedang duduk-duduk di pendapa, mereka telah menyempatkan terlebih dahulu menghidangkan minuman panas serta beberapa penganan sisa tadi malam yang masih layak.

Sejenak kedua perempuan itu hanya dapat saling berpandangan. Mereka memang sering mendengar ribut-ribut di halaman belakang. Tukang kebun Ki Gede memang sering uring-uringan sendiri jika melihat banyak sampah yang menumpuk di dekat perigi. Dia selalu mengomeli perempuan-perempuan yang bekerja di dapur agar membuang sampah di lobang-lobang yang telah digalinya di beberapa tempat. Namun pagi itu tukang kebun yang biasanya juga bertugas mengisi pakiwan itu tidak masuk kerja karena istrinya sakit. Selain mengisi pakiwan, tukang kebun itu juga mengisi tempayan dan lodong-lodong bambu yang berada di dapur.

Akhirnya dengan memberanikan diri keduanya pun mencoba melihat apa yang sebenarnya telah terjadi. Beberapa saat tadi mereka juga merasa heran telah mendengar derit suara senggot. Padahal sehari sebelumnya tukang kebun itu telah memberitahu bahwa esoknya dia minta ijin tidak masuk kerja. Biasanya jika ada salah satu pembantu rumah Ki Gede yang berhalangan masuk karena sesuatu hal, mbok Pariyem lah yang mencarikan gantinya.

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

11

Dengan sedikit bergegas keduanya pun segera berdiri dan berjalan ke arah pintu. Mereka tidak berani keluar pintu tetapi hanya melongok saja dari pintu dapur yang terbuka.

Namun alangkah terkejutnya kedua perempuan itu begitu menyadari apa sebenarnya yang sedang terjadi. Jantung keduanya pun bagaikan berhenti berdenyut.

Yang pertama kali mereka lihat adalah putri Matesih yang berdiri dengan tubuh gemetar. Beberapa langkah di hadapannya berdiri dengan gelisah orang yang sudah sangat mereka kenal, Ki Jagabaya. Namun yang membuat jantung mereka bagaikan berhenti berdenyut adalah sebuah pertempuran yang sedang terjadi dengan sengitnya di halaman belakang dekat perigi.

Mereka berdua sama sekali belum pernah mengenal kedua orang yang sedang bertempur dengan sengitnya itu. Namun bukan pengenalan mereka atas kedua orang itu yang membuat mereka terkejut. Pertempuran itulah yang telah membuat tulang-tulang sendi sekujur tubuh kedua perempuan itu bagaikan terlepas satu-persatu.

“Ada apa..?” bisik salah satu dari kedua perempuan itu kepada kawannya dengan suara serak hampir tak terdengar.

Kawannya hanya menggeleng lemah dengan nafas memburu dan dada bergelombang. Sambil memberi isyarat untuk menyingkir, dia mencoba menggerakkan salah satu kakinya. Namun yang terjadi kemudian justru tubuhnya limbung dan jatuh terduduk.

Kawannya yang melihat dia jatuh terduduk mencoba menolong, namun justru tubuhnya ikut-ikutan limbung dan jatuh menimpa kawannya yang sudah jatuh terlebih dahulu.

Demikianlah kedua perempuan pembantu Ki Gede itu sama sekali tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ketakutan yang sangat telah membuat sekujur tubuh mereka menjadi lemas tak bertenaga. Sebenarnya ada keinginan untuk melaporkan kejadian di halaman belakang itu kepada para pengawal yang berjaga di regol depan. Namun keinginan itu hanyalah tinggal keinginan saja.

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

12

Dalam pada itu Ratri yang masih berdiri dengan lutut gemetar sambil menundukkan kepala dalam-dalam menjadi semakin ketakutan ketika Ki Jagabaya sekali lagi melangkah selangkah mendekatinya. Hampir saja lututnya yang gemetar tidak mampu menyangga tubuhnya.

Namun entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Ratri teringat akan kedudukannya sebagai putri Kepala Tanah Perdikan Matesih sehingga kekuatannya muncul kembali. Dengan memperkuat hatinya, akhirnya terucap juga kata-kata dari bibir yang pucat itu, “Aku menunggu ayah pulang saja,”

Ki Jagabaya terkejut mendengar jawaban Ratri. Dengan serta merta dia segera mencegah, “Jangan! Engkau tidak perlu menunggu ayahmu. Apakah engkau tahu kemana ayahmu pergi?”

Kepala yang tunduk itu hanya menggeleng perlahan tanpa terucap sepatah kata pun.

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam untuk meredakan dadanya yang mulai terasa pepat dan panas atas perubahan sikap Ratri. Namun Ki Jagabaya benar-benar harus berpacu dengan waktu. Dia harus meyakinkan gadis itu atau sekalian membawa gadis itu pergi dengan kekerasan mumpung belum ada yang menyadari kehadiran dia dan kawannya kecuali anak muda di perigi itu.

Teringat akan cantrik Gatra Bumi, dengan cepat Ki Jagabaya segera berpaling ke belakang. Beberapa saat tadi dia memang masih mendengar gerak langkah kedua orang yang sedang bertempur itu serta sumpah serapah Panut. Namun apa yang dilihatnya sekarang benar-benar telah menghentikan detak jantungnya. Anak muda yang mengaku bernama Gatra Bumi itu tampak tegak berdiri dengan kaki renggang. Sementara selangkah di hadapannya telah terbujur tubuh Panut yang diam tak bergerak.

“Iblis..!” umpat Ki Jagabaya sambil memutar tubuhnya dan melangkah menghampiri cantrik Gatra Bumi, “Agaknya memang tidak ada pilihan bagiku kecuali melenyapkanmu dari muka bumi ini.”

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

13

Cantrik Gatra Bumi menarik nafas panjang. Panggraitanya sekarang memberitahukan kepadanya bahwa Ki Jagabaya ini memang mempunyai niat yang kurang baik.

“Maafkan aku sebelumnya Ki Jagabaya,” berkata cantrik Gatra Bumi kemudian sesampainya ki Jagabaya di hadapannya, “Sebenarnya aku tidak mempunyai sangkut paut dengan permasalahan yang dibawa Ki Jagabaya. Namun setelah mendengar bahwa Ki Jagabaya bermaksud membawa putri Ki Gede selagi Ki Gede tidak ada di rumah, itu adalah perbuatan yang tidak pada tempatnya. Ki Jagabaya seharusnya meminta ijin terlebih dahulu kepada Ki Gede jika memang ingin membawa putrinya.”

“Persetan dengan sesorahmu!” geram ki Jagabaya. Dia benar-benar gelisah menghadapi anak muda aneh itu, “Itu semua bukan urusanmu. Siapakah engkau sebenarnya sehingga berani mati mencampuri urusan rumah tangga Ki Gede?”

“Maaf Ki Jagabaya,” jawab cantrik Gatra Bumi tetap dengan suara merendah, “Aku bersama guruku adalah tamu disini. Kami memang tidak mempunyai kewenangan apapun untuk mencampuri urusan rumah tangga Ki Gede. Namun jika ada kejadian yang dapat membahayakan keselamatan keluarga Ki Gede, kami mempunyai kewajiban untuk membantu, sebagai tanda syukur dan ujud rasa terima kasih kami yang telah diberi tempat untuk sekedar berteduh.”

Untuk beberapa saat Ki Jagabaya tertegun. Dia tadi mendengar dengan jelas bahwa anak muda itu mengaku datang bersama gurunya dan sekarang sedang menjadi tamu Ki Gede. Tiba-tiba saja terasa sebuah desir yang tajam menggores jantungnya. Jika anak muda ini saja sudah mampu dengan sangat mudahnya melumpuhkan kedua kawannya, bagaimana dengan guru anak muda itu sendiri?

Namun agaknya Ki Jagabaya mempunyai perhitungan tersendiri. Jika dia dapat melumpuhkan anak muda ini dengan cepat serta menguasai Ratri apapun cara yang akan dia gunakan, kemungkinannya dia akan segera dapat lolos dari tempat itu dengan membawa hasil yang gemilang.

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

14

Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja tanpa sebuah peringatan Ki Jagabaya telah meloncat menerjang cantrik Gatra Bumi yang hanya berdiri tiga langkah saja di hadapannya.

Serangan itu memang sangat mengejutkan Cantrik Gatra Bumi. Bahkan Ratri yang menyaksikan semua kejadian itu telah terpekik kecil. Betapapun juga hati kecil gadis itu mulai terpikat oleh tutur kata cantrik Gatra Bumi yang terdengar sangat trapsila dan andap asor.

“Anak Muda itu tidak ada hubungan sanak kadang dengan keluargaku,” demikian gadis itu berkata dalam hati dengan jantung yang berdebaran, “Namun dia rela mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan keluargaku, terutama aku sendiri yang sama sekali tidak dikenalnya.”

Dalam pada itu, serangan Ki Jagabaya yang tanpa peringatan itu datang bagaikan badai angin puyuh yang menerjang cantrik Gatra Bumi. Namun dengan cepat murid Ki Ajar Mintaraga itu mampu menguasai dirinya dan menghindari serangan pertama lawannya yang langsung pada tataran tinggi tingkat ilmunya.

“Anak syetan..! Jangan lari!” bentak Ki Jagabaya yang melihat lawannya menghindar ke samping. Dengan cepat diputar tubuhnya setengah lingkaran sambil melancarkan serangan susulan.

Kali ini cantrik Gatra Bumi benar-benar harus mengerahkan segenap kemampuannya. Jika kedua lawannya yang terdahulu dengan mudah dapat dilumpuhkannya, namun kali ini lawannya adalah ki Jagabaya tanah Perdikan Matesih, orang terkuat di Matesih setelah Ki Gede Matesih sendiri.

Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit. Ki Jagabaya benar-benar telah digelisahkan oleh kemampuan lawannya yang masih muda itu. Segenap kemampuannya telah dikerahkan namun lawannya yang terlihat masih muda itu mampu mengimbanginya dengan kecepatan yang ngedab-edabi.

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

15

Ki Jagabaya berpaling sekilas ke belakang mengikuti pandangan Ratri. Katanya kemudian, “Jangan hiraukan mereka berdua. Keduanya tidak ada sangkut pautnya dengan urusan kita.”

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

16

“Syetan mana yang telah merasuki anak gila ini?” umpat ki Jagabaya dalam hati sambil terus meningkatkan kekuatan dan kecepatan serangannya. Namun lawannya masih saja mampu mengimbanginya walaupun hanya menghindar dan menghindar terus tanpa mampu membalas serangannya.

Semakin lama Ki Jagabaya menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika dengan sudut matanya Ki Jagabaya kemudian melihat Ratri dengan langkah tertatih-tatih justru telah bergeser mundur mendekati pintu dapur.

“Apa boleh buat!” geram Ki Jagabaya dalam hati kemudian, “Aku benar-benar berpacu dengan waktu. Dengan sangat terpaksa aku harus melumpuhkan anak ini dengan puncak ilmuku sebelum Ratri meninggalkan halaman ini dan justru mungkin akan memanggil para pengawal di regol depan. Dalam sekejap para pengawal itu pasti akan segera berdatangan dan kemudian beramai-ramai mengeroyokku.”

Berpikir sampai disitu, tandang Ki Jagabaya pun menjadi semakin cepat dan keras. Setiap serangannya selalu dibarengi dengan suara desir angin yang mengerikan. Semakin lama suara desir angin itu semakin keras dan mulai mengganggu pertahanan cantrik Gatra Bumi.

“Ilmu apa sebenarnya yang diterapkan oleh Ki Jagabaya ini?” bertanya cantrik Gatra Bumi dalam hati sambil terus berloncatan menghindar, “Rasa-rasanya desir angin itu terasa pedih menerpa kulitku.”

Namun murid Ki Ajar Mintaraga itu bertempur terus. Dengan mengandalkan kelincahan dan kecepatan geraknya, dia berusaha sejauh mungkin menghindari terpaan angin yang menyertai setiap serangan lawannya.

Dalam pada itu mbok Pariyem yang telah selesai membersihkan ruang dalam mencoba mencari Ratri di biliknya. Ternyata bilik itu kosong. Padahal sewaktu dia tadi melewati ruang dalam untuk membersihkan ruang pringgitan, gadis itu tampak masih berada di dalam biliknya.

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

17

“Kemana anak itu?” gumam mbok Pariyem perlahan sambil melangkahkan kakinya menuju ke dapur.

“Mungkin dia sedang bosan berada di dalam biliknya dan ingin membantu-bantu di dapur,” demikian mbok Pariyem berangan-angan.

Namun alangkah terkejutnya mbok Pariyem begitu dia membuka pintu yang menghubungkan ruang dalam dengan dapur. Dalam keremangan ruang dapur yang sama sekali belum tersentuh sinar Matahari, tampak pintu belakang dapur yang terbuka. Beberapa langkah di dekat pintu yang terbuka itu tampak bersimpuh dua orang perempuan pembantu Ki Gede dengan tubuh gemetaran.

Namun yang membuat mbok Pariyem terkejut bukan alang kepalang adalah suara bentakan-bentakan orang yang sepertinya sedang bertempur. Ketika dia kemudian melangkahkan kakinya memasuki dapur, jantungnya bagaikan berhenti berdetak ketika melihat seorang gadis cantik namun dengan wajah pucat pasi terhuyung-huyung mendekati pintu dapur yang terbuka itu.

“Ratri..!” jerit mbok Pariyem sambil dengan tergesa-gesa berlari menyongsong momongannya itu.

Ratri yang mendengar suara pemomongnya itu bagaikan mendapat sebuah kekuatan baru. Dengan menghentakkan kakinya, dia pun dengan setengah berlari memasuki dapur.

Segera saja kedua perempuan yang usianya berbeda jauh itu berpelukan dengan eratnya.

“Mbok. Aku takut!” isak gadis putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu begitu dia sudah berada dalam pelukan pemomongnya.

“Jangan takut nduk,” bisik mbok Pariyem sambil membelai lembut rambut Ratri yang tergerai indah bak kembang bakung itu, “Mbok ada di sini.”

Namun gadis itu masih saja terisak. Sambil tetap menyembunyikan wajahnya dalam pelukan mbok Pariyem, tangan kanannya menunjuk ke belakang, ke arah luar dapur.

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

18

Mbok Pariyem segera tanggap dengan apa yang dimaksud oleh momongannya itu. Dari pintu dapur yang terbuka itu dengan jelas dia dapat melihat pertempuran yang semakin sengit antara Ki Jagabaya dan cantrik Gatra Bumi.

“Ki Jagabaya?” desis mbok Pariyem keheranan, “Mengapa dia bertempur dengan anak muda itu? Bukankah anak muda itu tamu Ki Gede semalam?”

Ratri tampak menganggukkan kepalanya sambil tetap bersembunyi dalam pelukan mbok Pariyem.

“Nah, kalau begitu aku harus segera memanggil para pengawal di regol depan untuk membantu Ki Jagabaya menangkap anak muda itu,” berkata mbok Pariyem kemudian sambil mencoba melepaskan pelukan Ratri.

“Mbok, jangan..!” seru Ratri tertahan sambil sejenak melepaskan pelukannya. Kedua pasang mata perempuan yang umurnya terpaut sangat jauh itupun saling beradu. Betapa air mata tampak mengambang di pelupuk sepasang mata gadis putri satu-satunya Ki Gede itu.

“Apa sebenarnya yang sedang terjadi, Ratri?” pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir keriput mbok Pariyem.

Namun belum sempat Ratri menjawab, mereka yang berada di dalam dapur itu telah dikejutkan oleh sebuah teriakan menggelegar disusul dengan suara ledakan yang cukup dahsyat. Getaran ledakan itu telah mengguncang dinding dapur yang terbuat dari papan itu sehingga peralatan-peralatan dapur yang di gantung di dinding telah berjatuhan dan menimbulkan suara yang berkerontangan.

Tidak ada yang dapat dilakukan oleh perempuan-perempuan yang berada di dalam dapur itu selain berpelukan satu sama lainnya dengan eratnya. Kedua perempuan pembantu rumah Ki Gede itu pun bahkan telah berpelukan sambil meringkuk di atas lantai dapur.

“Mbok,” bisik Ratri tetap dalam pelukan pemomongnya sesaat setelah getaran ledakan itu mereda, “Apa yang terjadi?”

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

19

“Aku belum tahu, nduk,” jawab mbok Pariyem sambil melonggarkan pelukannya, “Marilah kita lihat. Mungkin keduanya telah mengadu puncak ilmu mereka.”

“Aku takut, mbok..!”

“Tidak ada yang perlu ditakutkan Ratri, semuanya akan baik-baik saja.”

Namun Ratri kembali mengeratkan pelukannya sambil mulai terisak. Tanpa sadar angan-angannya mulai membayangkan anak muda yang dianggapnya terlalu sombong pada saat mereka berdua bertemu pada pandangan pertama beberapa saat yang lalu.

“Bagaimana jika anak muda itu terluka? Bahkan mungkin bisa mati?” angan-angan itu menyelinap dalam benaknya sehingga membuat tubuh Ratri tiba-tiba saja menggigil seperti orang kedinginan. Tanpa sadar dia mulai membandingkan anak muda itu dengan Raden Mas Harya Surengpati.

“He? Ada apa, nduk?” bertanya mbok Pariyem kemudian dengan heran melihat perubahan dalam diri momongannya itu.

Namun Ratri tidak menjawab, hanya isak tangisnya saja yang menjadi semakin keras.

Ketika mbok Pariyem masih belum menemukan akal untuk membujuk Ratri, tiba-tiba saja terdengar langkah orang berlari-lari menerobos pintu seketeng menuju ke halaman belakang.

“He?! Ki Jagabaya?” terdengar orang pertama yang menginjak halaman belakang itu berseru.

“Ki Jagabaya?” terdengar orang yang datang kemudian ikut berseru.

“Ya, ternyata Ki Jagabaya,” orang yang datang pertama kali itu menyahut.

“Bagaimana mungkin?” sahut yang lainnya.

“Apa yang terjadi?”

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

20

“Mengapa Ki Jagabaya pingsan?”

Terdengar suara bersahut-sahutan tanpa ada yang mampu menjawabnya dengan tepat.

Ternyata para pengawal yang berjaga di regol depan telah mendengar suara ledakan serta merasakan getaran itu walaupun tidak sekeras mereka yang berada di dapur.

“Kakang,” berkata pengawal yang bertubuh gemuk kemudian, “Ada seorang lagi yang tergeletak pingsan!”

Pengawal yang dipanggil kakang itu sejenak mengamati tubuh Panut yang terbujur diam beberapa langkah dari tempatnya. Katanya kemudian, “Aku tidak mengenalinya.”

Beberapa pengawal sejenak termangu-mangu. Namun satu dua pengawal segera mendekat ke tempat Panut terbaring untuk mengenalinya lebih dekat.

Tiba-tiba mata pengawal yang dipanggil kakang itu menatap tajam ke arah cantrik Gatra Bumi yang sedang duduk bersila dengan tangan bersilang di dada tidak jauh dari tempat itu.

“Siapakah anak muda itu?” desis pengawal berbadan kekar yang dipanggil kakang itu kepada pengawal di sebelahnya.

Pengawal itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku tidak tahu namanya, kakang. Namun waktu pergantian jaga tadi aku sepertinya melihat dia sedang duduk-duduk di pendapa dengan seorang yang sudah sangat sepuh.”

“O,” desis pengawal yang bertubuh kekar itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Para pengawal yang jaga larut malam tadi memang menyebut kedua orang itu adalah tamu Ki Gede, namun kita harus tetap waspada. Biarkan dulu dia. Tampaknya dia sedang berusaha memulihkan keadaannya. Setelah itu kita tanya apa sebenarnya yang telah terjadi.”

“Baik kakang,” jawab pengawal itu.

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

21

Dalam pada itu, mbok Pariyem yang menghadap ke arah halaman belakang segera mengenali yang datang itu adalah para pengawal perdikan Matesih yang sedang bertugas jaga di regol depan. Maka dengan perlahan dilepaskannya pelukan Ratri.

“Ratri,” bisik mbok Pariyem kemudian, “Yang datang para pengawal penjaga regol depan.”

Barulah Ratri melepaskan pelukannya. Sambil mengusap air mata dengan ujung bajunya, dia pun kemudian berpaling ke belakang. Tampak dalam pandangan matanya para pengawal itu sedang berdiri berkerumun.

“Marilah kita mendekat,” ajak mbok Pariyem kemudian sambil menggandeng tangan momongannya, “Kesaksian dan keteranganmu mungkin sangat diperlukan oleh mereka.”

Ratri tidak berkata sepatah kata pun. Hanya tampak sebuah anggukan kecil.

Demikianlah akhirnya Ratri menurut saja ketika dibimbing oleh mbok Pariyem menuju pintu dapur. Sebelum melangkah keluar, mbok Pariyem masih sempat berkata kepada kedua perempuan yang masih meringkuk di lantai dapur itu.

“Teruskan pekerjaan kalian,” berkata mbok Pariyem sambil menyentuh kaki salah satu perempuan itu, “Semuanya sudah ditangani oleh para pengawal.”

Mendengar para pengawal sudah hadir di halaman belakang, barulah kedua perempuan itu bergerak bangun. Namun tubuh kedua perempuan itu masih tampak lemas dan menggigil walaupun wajah mereka sudah tidak sepucat tadi.

“Air di belanga ini hampir habis,” desis salah satu perempuan itu sambil mengambil sebuah lodong bambu yang masih berisi penuh air dan kemudian menuangkannya ke dalam belanga.

“Tidak mengapa,” sahut perempuan satunya, “Yang penting kita tetap menyiapkan minuman hangat walaupun agak terlambat.”

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

22

Kawannya mengangguk sambil memasukkan beberapa potong kayu bakar ke dalam tungku. Sejenak kemudian keduanya sudah melupakan apa yang baru saja terjadi dan asyik meneruskan pekerjaan mereka.

Dalam pada itu para pengawal yang sedang mengerumuni tubuh Ki Jabagaya yang pingsan segera mengangkat dan membawanya ke pendapa. Sementara beberapa pengawal tampak sedang meminta keterangan kepada cantrik Gatra Bumi yang sudah berdiri dari tempatnya.

“Anak muda,” berkata seorang pengawal yang bertubuh gemuk, “Kami tahu bahwa engkau adalah tamu Ki Gede bersama orang sepuh itu. Namun engkau harus dapat menjelaskan secara rinci, mengapa sekarang engkau justru berada di halaman belakang ini? Tidak di pendapa? Dan apa yang telah membuat Ki Jagabaya sampai jatuh pingsan? Demikian juga dengan orang yang satunya itu?”

Sejenak cantrik Gatra Bumi menjadi kebingungan untuk menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi itu. Bagaimana dia harus menjelaskan keadaan yang sebenarnya yang menyangkut Ki Jagabaya sebagai perangkat tanah Perdikan Matesih?

“He? Mengapa engkau diam saja, anak muda?” geram pengawal yang bertubuh tinggi kekar itu dengan tidak sabar, “Jika dugaanku benar, tentu engkau yang telah membuat persoalan dengan Ki Jagabaya. Terbukti Ki Jagabaya telah jatuh pingsan. Aku yakin hanya dengan menggunakan cara yang curang, engkau dapat melukai Ki Jagabaya. Mengaku sajalah! Jika engkau berbelit-belit, dengan kedua tanganku ini aku akan memuntir lehermu sampai patah.”

“Ya, kakang. Aku setuju,” yang lain terdengar menimpali, “Kita hajar ramai-ramai saja anak tak tahu membalas budi ini.”

Namun ternyata cantrik Gatra Bumi hanya diam membisu. Memang terbersit niat untuk memberikan keterangan, namun ketika sudut matanya menangkap bayangan seorang gadis cantik bersama seorang perempuan tua berjalan mendekat ke arah mereka, cantrik Gatra Bumi pun memilih berdiam diri.

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

23

“Kakang, bagaimana dengan orang yang satunya itu?” tiba-tiba salah satu pengawal menggamit pengawal yang berbadan kekar itu sambil menunjuk ke arah Panut yang tergeletak beberapa langkah dari mereka, “Apakah dia terlibat dalam persoalan ini?”

“Aku tidak tahu,” jawab pengawal yang bertubuh kekar itu tanpa berpaling, “Mungkin dia adalah kawan dari anak muda ini yang telah dilumpuhkan terlebih dahulu oleh Ki Jagabaya.”

“Itu semua tuduhan bohong!” tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dari arah dapur. Serentak mereka semua berpaling. Tampak Ratri putri satu-satunya Ki Gede Matesih itu sedang berjalan ke arah mereka bersama mbok Pariyem.

“Ratri,” terdengar beberapa pengawal bergumam menyebut nama putri Matesih itu. Beberapa pengawal segera menyibak memberi jalan kepada kedua perempuan itu.

Ketika kedua perempuan itu sudah berhadapan dengan cantrik Gatra Bumi, tanpa sadar sepasang mata kedua remaja itupun telah beradu.

Hampir saja cantrik Gatra Bumi membuang pandang matanya jika saja dia tidak melihat perubahan sorot mata gadis itu. Sepasang mata itu sekarang tidak lagi menyiratkan ketinggian hatinya. Bahkan sepasang mata itu menatapnya dengan ungkapan terima kasih yang tulus disertai dengan sebuah senyuman yang manis, bahkan teramat manis menurut ukuran cantrik Gatra Bumi yang seumur hidup belum pernah mendapatkan sebuah senyuman manis dari seorang gadis pun.

Jika saja mbok Pariyem tidak terbatuk-batuk kecil, tentu kedua remaja itu masih tetap saja beradu pandang dengan asyiknya.

“Ratri,” berkata mbok Pariyem kemudian begitu melihat momongannya itu menundukkan wajahnya sambil tersipu malu, “Engkau harus dapat menjelaskan kejadian yang sebenarnya.”

Ratri mengangguk kecil. Setelah menarik nafas dalam-dalam, dia segera menceritakan kejadian yang sebenarnya. Bagaimana Ki

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

24

Jagabaya membujuknya untuk meninggalkan rumah karena rumah itu sudah dianggap tidak aman lagi.

“Ki Jagabaya memberitahu aku bahwa Raden Surengpati telah mengirimnya untuk menjemput aku,” berkata Ratri kemudian sambil tetap menundukkan wajahnya.

Ketika menyebut nama Raden Surengpati, betapa gadis itu tampak memendam suatu perasaan yang hanya dia sendiri yang tahu. Sementara beberapa pengawal telah menarik nafas dalam-dalam. Sebagian besar mereka memang telah mendengar hubungan khusus yang terjadi di antara kedua orang itu.

“Sejauh pengetahuanku, Ki Jagabaya memang sering berhubungan dengan sekelompok orang-orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu,” tiba-tiba pengawal yang berbadan gemuk itu memotong.

“Apakah orang yang pingsan itu adalah salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen?” tiba-tiba salah satu pengawal menceletuk sambil menunjuk ke arah belakang mereka. Tampak Panut masih tergeletak pingsan tanpa ada seorang pun yang menaruh perhatian.

“Ya, orang itu kawan Ki Jagabaya,” cantrik Gatra Bumi lah yang menyahut sehingga membuat semua orang berpaling ke arahnya, “Namun kawan Ki Jagabaya itu tidak hanya satu, tetapi dua orang.”

“He? Dua orang katamu?” hampir setiap mulut telah berseru.

“Ya, dua orang,” jawab cantrik Gatra Bumi sambil menunjuk ke arah gerumbul perdu di dekat perigi, “Aku telah menyembunyikannya di dalam gerumbul perdu itu.”

Orang-orang yang hadir di tempat itu pun menjadi berdebar-debar. Dengan penasaran mereka berusaha mengamat-amati gerumbul perdu itu dari jauh. Namun mereka tidak melihat apapun selain daun-daun perdu yang tumbuh subur menghijau.

Namun ternyata pengawal yang bertubuh kekar itu mampu melihat sepasang telapak kaki yang tersembul di antara lebatnya daun-daun perdu.

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

25

“He? Lihatlah! Ada sepasang kaki yang tersembul di antara daun-daun perdu!” seru pengawal itu dengan serta merta sambil menunjuk ke satu arah. Beberapa pengawal yang mengikuti arah yang ditunjukkan oleh pengawal yang berbadan kekar itu pun akhirnya dapat melihatnya.

Kemudian kepada beberapa pengawal yang berdiri di sebelahnya pengawal berbadan kekar itu segera berkata, “Pergilah ke gerumbul itu. Angkat orang itu ke pendapa beserta orang yang satunya itu.”

“Baik kakang,” serentak para pengawal itu menjawab sambil melangkah ke arah gerumbul di dekat perigi. Sementara beberapa pengawal yang lain telah mengangkat tubuh Panut yang masih pingsan dan membawanya ke pendapa.

“Nah,” berkata pengawal berbadan kekar itu kemudian, “Ternyata berita yang aku dengar benar adanya. Ki Jagabaya telah memihak kepada orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu, “pengawal itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Pada awalnya aku tidak mempercayai berita itu. Namun dengan adanya kejadian ini, sekarang aku benar-benar yakin di pihak mana Ki Jagabaya berdiri.”

“Engkau benar kakang,” sahut pengawal yang bertubuh gemuk, “Kita wajib meminta maaf kepada anak muda ini dan sekaligus berterima kasih telah melindungi putri Ki Gede Matesih dari percobaan penculikan.”

Tampak semua kepala yang hadir di tempat ini mengangguk-angguk kecuali cantrik Gatra Bumi. Mukanya menjadi bersemu merah karena segannya. Sementara kepalanya hanya dapat tertunduk dalam-dalam.

Diam-diam segala tingkah laku cantrik Gatra Bumi itu tidak pernah lepas dari perhatian Ratri dan mbok Pariyem. Kedua perempuan yang berbeda usia itu masing-masing punya kesan tersendiri terhadap anak muda itu.

“Anak muda,” tiba-tiba terdengar suara Ratri sehingga mengejutkan cantrik Gatra Bumi yang sedang termenung itu, “Walaupun aku belum tahu namamu, namun atas nama pemimpin

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

26

tanah Perdikan Matesih, aku mewakili ayah mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas jasamu ini. Jika ayah nanti sudah kembali, akan melaporkan kejadian ini apa adanya, tanpa aku tambah atau aku kurangi.”

Kembali tampak kepala orang-orang yang hadir di halaman belakang itu mengangguk-angguk kecuali cantrik Gatra Bumi. Tanpa berani memandang wajah gadis itu, dia segera membungkukkan badannya dalam-dalam sambil berkata, “Maafkan tindakanku yang deksura tanpa memperkenalkan namaku terlebih dahulu. Aku cantrik Gatra Bumi bersama guruku Ki Ajar Mintaraga semalam telah diutus oleh Kanjeng Sunan Muria untuk menyampaikan berita khusus kepada Ki Gede.”

Orang-orang yang hadir di tempat itu menjadi terkejut begitu nama Kanjeng Sunan Muria disebut. Memang pengawal yang jaga pagi itu bukan pengawal yang jaga semalam sehingga mereka tidak tahu jika anak muda itu masih ada sangkut pautnya dengan Kanjeng Sunan Muria, seorang wali yang Waskita dan sangat dihormati oleh seluruh kawula Mataram.

“Apakah engkau termasuk murid Kanjeng Sunan Muria?” bertanya pengawal yang bertubuh kekar itu kemudian.

Dengan cepat cantrik Gatra Bumi menggeleng. Jawabnya kemudian, “Aku murid Ki Ajar Mintaraga. Guruku lah yang menjadi murid Kanjeng Sunan dan sekaligus menjadi sahabat beliau.”

Kembali kepala orang-orang yang hadir di tempat itu terangguk-angguk. Mereka menjadi semakin yakin bahwa anak muda itu mampu mengalahkan Ki Jagabaya dan kawan-kawannya karena anak muda itu sedikit banyak ada hubungannya dengan Kanjeng Sunan Muria.

“Baiklah,” berkata pengawal yang berbadan kekar itu kemudian, “Semuanya sudah jelas sekarang. Aku harap kita kembali ke tugas dan pekerjaan kita masing-masing. Biarlah Ki Jagabaya dan kedua kawannya itu setelah siuman kita masukkan ke bilik tahanan sambil menunggu Ki Gede kembali.”

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

27

Kemudian dengan mengangguk hormat, pengawal bertubuh kekar itu pun berkata kepada cantrik Gatra Bumi, “Aku harap cantrik Gatra Bumi berkenan kembali ke pendapa. Bukankah orang tua yang duduk terkantuk kantuk di pendapa itu adalah gurumu?”

Cantrik Gatra Bumi menjadi sedikit ewuh pakewuh mendapat perlakuan seperti itu. Namun dia pun menjawab, “Benar, orang yang sudah sangat sepuh itu adalah guruku.”

Demikianlah akhirnya pertemuan di halaman belakang itu pun segera bubar. Para pengawal telah kembali ke tempat jaga masing-masing. Sedangkan cantrik Gatra Bumi tidak lagi diperbolehkan mengisi pakiwan dan diantar ke pendapa. Sementara Ratri dan pemomongnya segera kembali ke ruang dalam.

*****

Dalam pada itu, pertempuran di Padepokan Sapta Dhahana semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Gede yang menyadari lawannya telah menggunakan gelar Gedhong Minep sebagai usaha untuk bertahan telah memutuskan untuk menggunakan gelar Dirada Meta. Gelar yang menggambarkan seekor gajah yang sedang mengamuk.

Di ujung belalai Ki Gede memimpin sendiri sekelompok pengawal pilihan, sedangkan yang menjadi sepasang gadingnya adalah Ki Kamituwa dan Ki Wiyaga. Sementara beberapa pemimpin kelompok pengawal telah memimpin di bagian kaki dan tubuh gelar Dirada Meta itu.

Ternyata yang terjadi kemudian adalah sebuah pertempuran antara hidup dan mati. Sesuai dengan namanya, gelar Gedhong Minep benar-benar seperti sebuah bangunan yang sulit ditembus. Berkali-kali Ki Gede dan sekelompok pengawal pilihan yang berada di belalai berusaha mendobrak pintu gelar Gedhong Minep itu, namun selalu saja gagal. Demikian juga sepasang gading dan kedua kaki depan gajah yang sedang mengamuk itu berusaha mendobrak dinding gelar Gedhong Minep, namun mereka selalu terpukul mudur.

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

28

“Majuu..!” teriak Ki Gede kemudian memberi aba-aba pasukannya untuk lebih memberi tekanan terhadap pasukan lawan. Pasukan pengawal Matesih yang berada di belakang pun akhirnya ikut mendesak ke depan, memberi tekanan terhadap gelar lawan.

Dalam pada itu, pasukan para cantrik Padepokan Sapta Dhahana ternyata memiliki jumlah yang cukup banyak. Melihat bala bantuan yang mengalir terus-menerus dari belakang bangunan induk, salah seorang yang berjambang lebat memberanikan diri berkata kepada salah seorang cantrik yang terlihat sudah berumur paro baya.

“Kakang Putut Talangpati,” bisiknya kemudian sambil terus bertempur, “Melihat jumlah pasukan kita yang terus bertambah, agaknya sudah waktunya kita mengubah gelar.”

Orang yang dipanggil Putut Talangpati itu sejenak berpikir. Pedang di tangan kanannya berputar-putar bagaikan kitiran sehingga membuat lawan-lawannya berloncatan mundur.

Setelah melihat lawan-lawannya meloncat mundur, barulah Putut Talangpati menjawab, “Adi Jamprong, pergilah menemui kakang Putut Talangwani. Beritahu akan perubahan rencana kita ini. Demikian juga Adi Putut Talanggeni dan Talangbanyu harus mengetahui perubahan rencana kita ini.”

Cantrik yang bernama Jamprong itu mengangguk. Tanpa bertanya lagi dia segera meloncat dan menghilang dalam hiruk pikuknya pertempuran.

Sepeninggal Jamprong, untuk beberapa saat Putut Talangpati masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Pandangan matanya tak lepas dari bayangan seseorang yang usianya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Di tangan orang itu tergenggam sebuah tombak pendek yang bergerak dengan kecepatan hampir tidak kasat mata. Ujung tombak maupun landeyannya secara bergantian bergerak dengan kecepatan tinggi mengobrak-abrik sekelompok cantrik yang berusaha menahan geraknya.

“Ki Gede Matesih,” geram Putut Talangpati sambil melangkah mendekat. Walaupun tidak mengenal secara pribadi, sebagai salah

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

29

satu penghuni padepokan Sapta Dhahana yang sudah cukup lama tinggal di lereng Gunung Tidar, Putut Talangpati tentu saja mengenal pemimpin Tanah Perdikan Matesih itu.

Ketika jarak Putut Talangpati dengan lingkaran pertempuran Ki Gede tinggal beberapa langkah, dengan suara lantang dia pun segera berseru.

“Cukup Ki Gede!” seru Putut Talangpati sambil menyilangkan senjatanya di depan dada, “Tidak ada gunanya Ki Gede bermain loncat-loncatan dengan para cantrik. Marilah! Sudah saatnya Perdikan Matesih tunduk kepada Perguruan Sapta Dhahana agar jalan Raden Wirasena dalam meraih tahta segera terwujud!”

Ki Gede yang sedang asyik bertempur itu terkejut. Sebenarnyalah Ki Gede sudah mengetahui kehadiran Putut Talangpati sejak beberapa saat tadi di dekat lingkaran pertempuran itu. Namun yang mengejutkan Ki Gede adalah pengenalan orang itu atas dirinya.

Dengan segera Ki Gede segera meloncat mundur untuk mengambil jarak. Sementara para cantrik yang mengetahui kehadiran Putut Talangpati segera mengundurkan diri dan bergabung dengan kawan-kawannya bertempur melawan pasukan pengawal Matesih.

“Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengamat-amati orang seusia dirinya yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, “Ma’afkan aku jika aku belum mengenal Ki Sanak. Namun pengenalan Ki Sanak atas diriku benar-benar aku hargai.”

Untuk sejenak Putut Talangpati tidak menjawab. Pandangan matanya tajam menatap ke sekujur tubuh Ki Gede. Agaknya Putut Talangpati itu sedang mengira-ira kekuatan yang tersimpan dalam tubuh calon lawannya itu.

“Orang ini telah mampu membuat Raden Surengpati dhawah kapidara,” membatin Putut Talangpati, “Dan sekarang pun Raden Surengpati telah terluka lagi dan agaknya lukanya lebih berat dari luka sebelumnya. Apakah adik Trah Sekar Seda Lepen itu kembali berhadapan dengan orang ini?”

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

30

Pertanyaan itu melingkar-lingkar di benaknya. Beberapa saat tadi sebelum turun ke halaman, Putut Talangpati memang sempat melihat beberapa cantrik sedang menunggui Raden Surengpati di pringgitan. Tampak seorang Tabib Padepokan sedang berusaha mengobatinya.

“Apa yang terjadi dengan Raden Surengpati?” tanyanya pada saat dia melewati pringgitan.

Salah satu cantrik itu mendongakkan wajahnya. Setelah tahu yang bertanya itu adalah Putut Talangpati, dengan tergesa-gesa dia segera menjawab, “Raden Surengpati terluka parah, kakang. Tapi kami tidak ada yang tahu siapa yang telah melukainya.”

Tampak kerut merut yang dalam di dahi Putut itu. Semalam memang dia sengaja pergi ke dalam biliknya lebih awal. Demikian juga dengan para Putut lainnya kecuali Putut tertua yang dipanggil oleh guru mereka. Dia tidak menyadari bahwa menjelang tengah malam seseorang telah menebar sirep dengan sangat kuatnya sehingga mereka yang telah tertidur tidak mampu untuk melepaskan diri dari cengkeraman sirep yang kuat itu.

“Agaknya kehadiran Begawan Cipta Hening itu telah membuat guru terlalu percaya diri sehingga tidak memerintahkan padepokan ini untuk berjaga-jaga melebihi hari-hari biasa. Guru terlalu yakin cukup dengan mereka berdua saja, tidak akan ada musuh yang akan mampu menembus Sapta Dhahana.”

Teringat akan gurunya, Putut Talangpati segera mengayunkan langkahnya menuju halaman padepokan. Sementara itu suara kenthong titir tanda bahaya terdengar masih bertalu-talu.

“Ki Sanak,” tiba-tiba terdengar suara Ki Gede membangunkan mimpinya, “Engkau belum menjawab pertanyaanku.”

Putut Talangpati menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya akhirnya dia menjawab, “Baiklah Ki Gede. Walaupun secara pribadi kita tidak pernah bersinggungan, namun aku sedikit banyak telah mengetahui para pemimpin perdikan Matesih terutama kepala perdikannya,” Putut itu berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Aku adalah

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

31

salah satu Putut yang ada di padepokan ini. Aku diberi nama oleh guru sebagai Putut Talangpati. Namaku sebenarnya sebelum berguru di sini adalah Siman namun aku lebih suka dipanggil Simo.”

Ki Gede hampir saja tidak dapat menahan senyumnya mendengar keterangan Putut Talangpati. Maka tanya Ki Gede kemudian, “Mengapa Ki sanak lebih senang dipanggil Simo? Bukankah itu berarti seekor harimau? Sedangkan nama Siman lebih dekat dengan welas asih dan lembut hati?”

“Persetan!” geram Putut Talangpati kemudian, “Semenjak aku kanak-kanak, orang selalu mengaitkan namaku dengan sesuatu yang lemah, pasrah dan sama sekali tidak menunjukkan kekuatan dan kejantanan. Nah, untuk itulah aku lebih senang dipanggil Simo yang berarti seekor harimau.”

Sekarang Ki Gede lah yang menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang yang sekarang berdiri di hadapannya itu mempunyai riwayat di masa kanak-kanak yang kurang menyenangkan sehingga terbawa sampai dia dewasa.

“Baiklah Putut Talangpati,” berkata Ki Gede kemudian, “Jika engkau sudah menyadari dengan siapa engkau sekarang ini berhadapan, aku perintahkan seluruh penghuni padepokan Sapta Dhahana untuk menyerah. Padepokan Sapta Dhahana telah terbukti merencanakan pengambil-alihan kekuasaan di perdikan Matesih sebagai pancadan untuk memberontak ke Mataram.”

Sejenak kerut merut di dahi Putut itu tampak semakin dalam. Namun tiba-tiba terdengarlah suara tawanya yang menggelegar dan berderai-derai sehingga telah membuat orang-orang yang sedang bertempur di sekitarnya berpaling sekilas.

“Ki Gede,” berkata Putut Talangpati kemudian setelah suara tawanya mereda, “Bagaimana jika sebaliknya? Lebih baik Ki Gede beserta seluruh pasukan pengawal Matesih menyerah. Percayalah, kami tidak akan berbuat sewenang-wenang. Raden Wirasena pasti akan mengampuni kalian semua asalkan berjanji untuk membantu

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

32

“Cukup Ki Gede!” seru Putut Talangpati sambil menyilangkan senjatanya di depan dada……….

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

33

perjuangan Trah Sekar Seda Lepen dalam meluruskan sejarah dan menegakkan keadilan di negeri ini.”

Sekarang justru dahi Ki Gede yang tampak berkerut-merut. Pemimpin Tanah Perdikan Matesih itu segera menyadari. Agaknya pengaruh orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu telah begitu kuatnya mencengkeram sendi-sendi kehidupan di padepokan itu.

“Bagaimana, Ki Gede?” terdengar Putut Talangpati mengulangi pertanyaannya.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Diedarkan pandangan matanya ke seluruh medan pertempuran sebelum menjawab pertanyaan lawannya. Berkata Ki Gede kemudian, “Baiklah Putut Talangpati. Agaknya jalan kita memang bersilang. Tidak ada jalan lain kecuali membenturkan kekuatan kita masing-masing. Namun masih ada kesempatan untuk menghindarkan pertumpahan darah. Kami orang-orang Matesih bukanlah pendendam. Jika permasalahan kita dapat diselesaikan tanpa pertumpahan darah, kami akan sangat mendukung berdirinya kembali Perguruan Sapta Dhahana yang bersih dari pengaruh orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu.”

“Tutup mulutmu!” bentak Putut Talangpati dengan serta merta, “Jangan mencoba merayu keteguhan hati kami untuk mendukung perjuangan Raden Wirasena. Lebih baik Ki Gede segera memikirkan cara sebaik-baiknya untuk membunuh diri agar tidak merasakan kesakitan yang luar biasa di akhir hidup Ki Gede nanti!”

Kembali Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Agaknya hati orang ini terbuat dari seonggok batu hitam sehingga seakan tidak mungkin lagi untuk melunakkannya.

“Baiklah Putut Talangpati,” akhirnya Ki Gede berkata sambil mulai merundukkan tombak pendek di tangan kanannya, “Apakah ada satu permintaan terakhir sebelum ujung tombakku ini merobek dadamu?”

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

34

“Omong kosong!” bentak Putut Talangpati. Wajahnya memerah darah. Dengan tatapan mata yang liar dipandangi lawan yang hanya berjarak empat langkah di hadapannya, “Jaga mulutmu Ki Gede. Jika tidak, jangan salahkan aku jika aku terpaksa merobek mulutmu sampai telinga.”

“Terima kasih atas nasehatmu,” jawab Ki Gede sambil menggeser kedudukan kakinya selangkah ke samping, “Namun sebaiknya nasehat itu untuk dirimu sendiri saja.”

Agaknya kemarahan Putut Talangpati sudah mencapai ubun-ubun. Tanpa ancang-ancang serangan pertamanya datang membadai. Senjatanya terayun mendatar menebas leher dengan sangat cepatnya.

Diam-diam Ki Gede tersenyum dalam hati. Perhitungannya ternyata tepat. Lawannya menjadi terpancing kemarahannya sehingga tandangnya menjadi sedikit tak terkendali.

Demikianlah akhirnya Putut Talangpati telah mengambil alih Ki Gede menjadi lawannya. Lingkaran pertempuran keduanya pun semakin lama menjadi semakin dahsyat. Senjata di tangan Putut Talangpati berputar-putar mengerikan. Sesekali menukik dan mematuk bagian tubuh lawan yang berbahaya. Sementara lawannya bukanlah anak kemarin sore yang baru belajar olah kanuragan. Ki Gede mempunyai jalur perguruan yang pernah mengalami kejayaan dan disegani kawan serta ditakuti lawan semasa kerajaan Demak lama, perguruan Pandan Alas.

*****

Dalam pada itu di sebuah padukuhan kecil yang sama sekali tidak menarik perhatian. Sebuah padukuhan miskin di sebelah selatan hutan Krapyak, hutan yang cukup lebat dengan berbagai jenis satwa liar yang sangat menarik untuk dijadikan hiburan para kerabat istana untuk berburu.

Di sebuah rumah reyot yang lebih pantas jika disebut sebuah gubuk, tampak Eyang guru bersama Raden Wirasena sedang bercakap-cakap dengan beberapa orang yang berwajah garang.

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

35

Rumah reyot itu tidak mempunyai pendapa ataupun pringgitan. Hanya ada satu-satunya ruangan yang ada di dalam rumah itu. Disitulah kelima orang itu berkumpul.

“Paman Wirabakti,” berkata Raden Wirasena kemudian sambil memandang seorang tengah baya yang terlihat berwajah tenang dengan sorot mata yang tajam, “Apakah sudah ada berita dari para telik sandi kita?”

“Hamba Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti sambil menganggukkan kepalanya, “Berita terakhir yang sampai ke telinga kami adalah keberangkatan rombongan dari istana menuju hutan Krapyak pagi tadi setelah Matahari sepenggalah.”

Raden Wirasena menarik nafas panjang sambil berpaling ke arah Eyang guru. Agaknya orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu sedang meminta pertimbangan Eyang Guru.

Merasa Raden Wirasena sedang meminta pendapatnya, Eyang Guru segera bergeser setapak. Setelah terlebih dahulu membenahi kain panjangnya, Eyang Guru pun kemudian berkata, “Raden, yang perlu kita waspadai adalah Ki Patih Mandaraka. Orang-orang kita yang ikut dalam rombongan itu harus dapat memisahkan orang dari Sela itu dengan Panembahan Hanyakrawati. Bagaimana pun caranya itu harus mereka pikirkan. Karena kita akan memancing Mas Jolang itu terpisah dari rombongan atau karena sesuatu hal dia tersesat di dalam hutan Krapyak sendirian tanpa pengawalan. Pada saat itulah kita habisi Penguasa Mataram itu.”

“Ampun Raden, bagaimana dengan Mas Rangsang?” seseorang yang berkumis tebal melintang tiba-tiba saja mengajukan sebuah pertanyaan.

Serentak orang-orang yang hadir di ruangan itu berpaling ke arah Raden Wirasena

Raden Wirasena tersenyum sambil menjawab, “Mas Rangsang akan mendapat giliran setelah ayahnya kita selesaikan terlebih dahulu. Kita harus mengupayakan kematian Mas Jolang itu seperti sebuah kecelakaan sehingga pihak Mataram tidak akan bercuriga.

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

36

Dengan demikian keberadaan kita tidak akan terendus dan kita masih aman untuk bergerak dan melaksanakan rencana kita selanjutnya.”

Terlihat setiap kepala yang hadir di ruangan itu terangguk-angguk.

“Nah, Paman Wirabakti,” berkata Raden Wirasena kemudian, “Aku ingin mendengar rencanamu.”

Ki Lurah Wirabakti bergeser setapak maju. Katanya kemudian sambil menyembah terlebih dahulu, “Raden, rencana kita adalah memancing Prabu Hanyakrawati untuk melepaskan diri dari rombongan terutama dari kawalan Ki Patih Mandaraka.”

“Bagaimana caranya?” sahut Raden Wirasena kemudian.

“Kami akan menggunakan seekor kijang untuk menarik perhatian Sang Prabu,” jawab Ki Lurah Wirabakti kemudian, “Namun itu bukan binatang kijang sembarangan. Kami menyebut binatang itu adalah kidang kencana atracak waja.”

“He?” seru Raden Wirasena hampir bersamaan dengan Eyang Guru.

“Apakah seekor kidang kencana atracak waja itu memang benar-benar ada?” bertanya Raden Wirasena kemudian dengan wajah yang terheran-heran.

“Tentu saja tidak ada binatang seperti itu Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti dengan serta merta, “Namun kami telah mengusahakan agar seolah-olah binatang itu memang ada.”

Hampir bersamaan Raden Wirasena dan Eyang Guru mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Nah,” berkata Raden Wirasena selanjutnya, “Apakah kidang kencana atracak waja itu sudah disiapkan?”

Ki Lurah Wirabakti berpaling ke arah orang yang duduk di sebelahnya. Agaknya orang yang berkumis tebal di sebelah Ki Lurah itu tanggap dan segera bergeser maju setapak. Sambil menyembah dia pun kemudian menjawab, “Ampun Raden, kami sudah

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

37

menyiapkannya. Hamba adalah pemilik kidang kencana atracak waja itu. Binatang itu adalah peliharaan kami sejak kecil. Namun demi kejayaan kembali Trah Sekar Seda Lepen, kami siap mengorbankannya.”

“Bagus!” sahut Raden Wirasena cepat sambil tersenyum, “Pengurbananmu tidak akan sia-sia Ki Brengos. Setelah tahta atas tanah ini kembali ke tangan yang berhak, engkau tentu saja akan mendapat balasan yang setimpal. Jasamu sangat besar sehingga seandainya saja aku menganugerahkan sebuah tanah perdikan, itu bagiku masih belum cukup untuk membalas pengurbananmu.”

“Sendika Raden,” jawab Ki Brengos dengan dada bergemuruh sambil menyembah dalam-dalam. Angan-angannya sudah melambung tinggi mendahului penalarannya.

“Raden,” berkata Eyang guru kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Kita harus menghitung waktu dengan cermat. Jarak antara istana Raja dengan hutan Krapyak tidaklah terlalu jauh. Tidak lebih lama dari sepemakan sirih. Namun aku yakin, rombongan istana itu tidak akan langsung berburu hari ini juga.”

“Eyang guru benar,” sahut Raden Wirasena dengan serta merta, “Sang Raja dan rombongannya tentu memerlukan waktu untuk beristirahat barang semalam. Baru esok harinya mereka akan berburu.”

Namun tampak kerut merut di kening Ki Brengos. Dengan memberanikan diri, dia pun kemudian menyembah sambil berkata, “Ampun Raden. Menurut hemat hamba, hari ini adalah waktu yang tepat untuk menjebak Prabu Hanyakrawati. Di dekat pesanggrahan Krapyak itu ada sebuah padang rumput cukup luas yang biasanya digunakan untuk latihan berkuda sambil memanah sebelum mereka benar-benar pergi berburu, terutama bagi kerabat istana yang belum pernah ikut berburu.”

Sejenak Raden Wirasena termenung. Orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu agaknya belum dapat menangkap

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

38

pemikiran Ki Brengos dengan utuh. Maka tanyanya kemudian, “Apa rencanamu Ki Brengos?”

Ki Brengos menarik nafas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaan Raden Wirasena. Setelah debar di dalam dadanya berkurang, dia pun kemudian menjawab, “Ampun Raden, menjelang senja nanti kita sudah harus berada di sekitar padang rumput itu. Hamba akan melepas kidang kencana atracak waja milik hamba di ujung padang rumput sebelah barat itu untuk menarik perhatian sang Raja.”

Kembali sebuah kerut merut yang dalam tampak di kening kakak kandung Raden Surengpati itu. Apa yang disampaikan oleh Ki Brengos itu agaknya kurang berkenan di hatinya. Maka katanya kemudian, “Aku tidak yakin jika Mas Jolang akan tertarik, atau dengan kata lain bagaimana caranya membuat penguasa Mataram itu tertarik untuk melihat kidang kencana atracak waja yang engkau lepaskan itu?”

Ki Brengos tersenyum sambil menyembah. Namun sebelum dia menjawab, ternyata Ki Lurah Wirabakti telah mendahului.

“Ampun Raden,” berkata Ki Lurah Wirabakti kemudian, “Salah seorang emban yang ikut dalam rombongan itu adalah orang kita. Jika memang rencana Ki Brengos itu dapat disetujui, sebelum Matahari tergelincir hamba akan menghubungi emban itu di pesanggrahan Krapyak. Hamba akan menjelaskan tugas-tugasnya untuk memancing Prabu Hanyakrawati pergi ke padang rumput itu.”

Kerut merut di kening Raden Wirasena menjadi semakin dalam. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Dengan mengatakan bahwa ada kidang kencana atracak waja di padang rumput itu?”

“Sendika Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti mantap, “Seperti yang sudah kita ketahui dan sudah menjadi rahasia umum bahwa Mas Wuryah, putra Prabu Hanyakrawati dari Ratu Tulungayu itu sejak kecil telah menderita penyakit tuna grahita. Salah seorang tabib istana telah memberitahukan kepada Prabu Hanyakrawati bahwa darah dari

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

39

seekor kidang kencana atracak waja dapat menyembuhkan penyakitnya.”

Raden Wirasena terkejut. Dengan serta merta dia pun kemudian bertanya, “Apakah memang benar demikian?”

Serentak Ki Lurah Wirabakti dan dua kawannya tertawa. Jawab Ki Lurah Wirabakti kemudian, “Tentu saja tidak Raden. Tabib itu adalah orang kita sendiri. Itu semua adalah usaha kita untuk menyebarkan berita bohong itu ke keluarga kerajaan agar percaya bahwa kidang kencana atracak waja itu memang benar adanya.”

Hampir bersamaan Raden Wirasena dan Eyang guru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang yang telah menyatakan diri bergabung dengan kelompok Trah Sekar Seda Lepen itu sudah sedemikian jauh bergerak menyusup ke dalam istana. Sementara Raden Wirasena dan Eyang Guru sedang berusaha menghimpun kekuatan di lereng gunung Tidar.

“Siapakah yang mempunyai gagasan yang cemerlang ini?” bertanya Raden Wirasena kemudian setelah beberapa saat mereka terdiam.

“Kiai Dandang Mangore, Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti, “Bukankah Raden telah lama menjalin kerja sama dengan pemimpin perguruan Setra Gandamayit itu?”

“Engkau benar Ki Lurah,” jawab Raden Wirasena sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kiai Dandang Mangore mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ayahanda Harya Mataram. Kiai Dandang Mangore adalah salah satu dari guru Ayahanda Harya Mataram.”

Orang-orang yang hadir di ruangan itu tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hampir semua kawula Demak pada waktu itu mengetahui, selepas terbunuhnya Harya Penangsang, adiknya yang bernama Harya Mataram telah lolos dan tidak diketahui rimbanya. Dan sekarang telah muncul sepasang kakak beradik yang mengaku sebagai putra Harya Mataram yang akan menuntut hak atas tahta di negeri ini.

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

40

“Apakah pemimpin perguruan Setra Gandamayit itu akan melibatkan diri dalam kegiatan kita kali ini?” bertanya Raden Wirasena kemudian.

“Sendika Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti, “Kiai Dandang Mangore beberapa hari ini telah berada di sekitar hutan Krapyak. Kita telah menentukan tempat untuk berkumpul sebelum melaksanakan rencana kita ini.”

“Bagus!” sahut Raden Wirasena cepat, “Aku yakin jika Kiai Dandang Mangore sendiri turun tangan untuk melaksanakan rencana ini, kemungkinan besar rencana ini pasti akan berhasil.”

Kembali kepala orang-orang yang berada di ruangan itu tampak terangguk-angguk.

“Baiklah,” berkata Raden Wirasena kemudian, “Kita akan membagi tugas. Paman Wirabakti dan kawan-kawan dapat berangkat sekarang juga ke hutan Krapyak untuk membuat hubungan dengan kawan-kawan kita yang berada dalam rombongan istana. Aku dan Eyang guru akan beristirahat sejenak di rumah ini. Nanti setelah Matahari tergelincir ke barat, aku akan berangkat menyusul kalian.”

“Sendika Raden,” hampir bersamaan ketiga orang itu menjawab sambil menyembah.

“Sampaikan salam hormatku kepada Kiai Dandang Mangore sesampainya kalian di hutan Krapyak nanti. Beritahu dia bahwa aku dan Eyang guru akan segera menyusul,” berkata Raden Wirasena selanjutnya.

Demikianlah akhirnya orang-orang yang terlibat dalam pertemuan kecil itu pun segera membubarkan diri. Ki Lurah Wirabakti dan kedua kawannya segera berangkat ke hutan Krapyak. Sementara Raden Wirasena dan Eyang guru menyempatkan diri untuk beristirahat sejenak setelah semalaman melakukan perjalanan yang cukup jauh.

*****

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

41

Dalam pada itu Matahari telah semakin tinggi memanjat langit. Sinarnya yang garang terasa mulai menggatalkan kulit. Namun bagi orang-orang yang sedang menyabung nyawa di gunung Tidar sinar Matahari yang garang itu justru telah menambah semangat mereka.

“Hancurkan Perdikan Matesih..!”

“Hancurkan pengikut Mataram..!”

“Hidup Trah Sekar Seda Lepen..!”

Demikian terdengar teriakan bersahut-sahutan memberikan semangat pasukan cantrik padepokan Sapta Dhahana.

Ki Gede Matesih yang sedang bertempur melawan Putut Talangpati menjadi semakin heran. Kelompok kecil pasukan pengawal yang dipimpinnya rasa-rasanya seperti terhisap masuk kedalam gelar lawan yang bergerak mundur. Para pengawal di bagian belalai gelar yang dipimpinnya itu memang terlihat terlalu bersemangat mendesak lawan.

Sedangkan Ki Kamituwa dan Ki Wiyaga juga terlihat kesulitan mengendalikan pasukannya. Dengan perlahan namun pasti kepala gelar Dirada Meta itu sepertinya terhisap masuk ke dalam gelar lawan yang bergerak mundur secara teratur.

Ki Gede Matesih baru menyadari ketika gelar Dirada Meta itu sudah hampir hancur. Kepala dan tubuh gelar Dirada Meta itu hampir terpisah. Tampak pasukan lawan yang mundur teratur itu tiba-tiba saja bergerak mengembang ke kanan dan ke kiri membentuk gelar baru, gelar untuk menjebak lawan memasuki jurang kehancuran, gelar Jurang Grawah.

“Awas! Gelar Jurang Grawah!” teriak Ki Gede begitu menyadari pasukan lawan mulai berusaha memisahkan kepala gelar dengan bagian badan gelar. Sementara belalai dan gadingnya sudah hampir tak berbentuk lagi karena desakan pasukan lawan yang tak tertahankan.

Mengatasi keadaan pasukannya yang terlihat hampir tercerai berai, Ki Gede pun segera mengutus seorang penghubung.

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

42

Ketika lawannya yang bersenjatakan sebilah pedang itu mendesaknya, dengan cepat Ki Gede memutar tombak pendeknya di depan dada. Ujung tombak itu kemudian mematuk dada lawannya.

Ketika lawannya bergeser ke samping, kesempatan itu digunakan oleh Ki Gede untuk meloncat memburunya. Ujung tombaknya hampir saja berhasil menggores lengan lawannya. Untunglah Putut Talangpati masih sempat meloncat ke belakang sejauh-jauhnya. Jika tidak, bukan hanya bajunya yang akan terkoyak oleh ujung tombak Ki Gede, namun kulitnya pun akan tergores bahkan tidak menutup kemungkinan dagingnya pun akan ikut tersayat dan mengalirkan darah.

Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Ki Gede untuk memberikan pesan kepada pengawal penghubung itu.

“Perintahkan kepada pemimpin-pemimpin kelompok di bagian tubuh gelar untuk mendesak ke depan agar kepala gelar ini tersambung kembali,” pesan Ki Gede kepada pengawal penghubung itu, “Sekalian beritahu kepada para pemimpin kelompok untuk bersiap mengubah gelar. Lawan telah mengubah gelar menjadi gelar Jurang Grawah. Kita tidak mungkin mempertahankan gelar ini. Kita akan menghancurkan gelar Jurang Grawah ini dari dalam. Kita akan menyusun gelar baru, gelar Cakra Byuha.”

Perintah itu tidak perlu diulangi. Sebelum lawan Ki Gede bersiap kembali menyerang, pengawal penghubung itu telah lenyap dalam hiruk pikuknya pertempuran.

Ternyata perintah Ki Gede itu segera menyebar ke seluruh pasukan. Dengan cepat mereka menyesuaikan diri. Para pengawal yang berada di bagian badan dan kaki telah mendesak ke depan agar kepala gajah yang hampir terpisah itu dapat tersambung kembali.

Namun usaha itu ternyata mendapat perlawanan yang sengit dari pasukan padepokan Sapta Dhahana. Empat orang putut yang masih tersisa telah menempati tempat mereka masing-masing di dalam gelar Jurang Grawah untuk menjepit dan kemudian menelan gelar Dirada Meta itu.

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

43

Ki Gede Matesih benar-benar kesulitan untuk mengendalikan pasukannya. Kelihatannya lawannya dengan sengaja telah melibat Ki Gede dalam pertempuran jarak pendek yang cepat dan keras. Tidak ada kesempatan sekejap pun bagi Ki Gede untuk meloncat surut dan mengamati perubahan gelar pasukannya.

Sedangkan para pengawal penghubung mengalami kesulitan mendekati Ki Gede yang terlibat dalam pertempuran yang cepat dan keras itu. Para pengawal penghubung itu sebenarnya menunggu perintah Ki Gede untuk segera mengubah gelar Dirada Meta menjadi gelar Cakra Byuha sebelum gelar itu hancur tertelan gelar Jurang Grawah.

Ki Wiyaga yang melihat kesulitan para pengawal penghubung itu segera mengambil alih pimpinan pasukan. Dengan sebuah isyarat yang telah disepakati, para pengawal penghubung itu segera mendekati lingkaran pertempuran Ki Wiyaga.

“Sudah saatnya gelar Dirada Meta ini diubah,” demikian pesan Ki Wiyaga sambil menekan lawannya sehingga lawannya itu berloncatan mundur mengambil jarak.

“Usahakan dalam mengubah gelar tidak tampak terlalu mencolok,” kembali Ki Wiyaga menambah pesannya, “Gerakan pasukan kita harus berputar dengan cepat. Sebelum lawan menyadari gerakan pasukan kita, gelar baru sudah harus terbentuk dengan sempurna.”

“Baik Ki Wiyaga,” hampir bersamaan para pengawal penghubung itu menyahut. Sejenak kemudian para pengawal penghubung itu pun telah lenyap dalam kancah pertempuran yang hiruk pikuk.

Dalam pada itu Ki Jayaraga yang telah selesai membantu melancarkan peredaran darah serta pernafasan Ki Bango Lamatan segera bangkit berdiri. Sedangkan Ki Bango Lamatan yang telah siuman dari pingsannya segera duduk bersila untuk bersemadi mengatur pernafasannya agar peredaran darahnya menjadi semakin lancar.

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

44

Setelah sekali lagi berpaling ke arah Ki Bango Lamatan untuk meyakinkan keadaannya, Ki Jayaraga pun kemudian melangkah menerobos gerumbul serta perdu di halaman samping padepokan itu.

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

45

“Biarlah untuk sementara Ki Bango Lamatan beristirahat sambil memulihkan tenaganya,” berkata Ki Jayaraga dalam hati sambil berpaling sekilas ke arah orang kepercayaan Pangeran Pati Mataram itu, “Aku akan menengok pertempuran pasukan Matesih. Mungkin tenagaku ini masih diperlukan.”

Setelah sekali lagi berpaling ke arah Ki Bango Lamatan untuk meyakinkan keadaannya, Ki Jayaraga pun kemudian melangkah menerobos gerumbul serta perdu di halaman samping padepokan itu.

Sesampainya Ki Jayaraga di dekat pintu gerbang, kening guru Glagah Putih itu tampak berkerut merut. Orang tua yang sudah banyak makan asam garamnya pertempuran serta pahit getirnya kehidupan itu segera melihat betapa gelar Dirada Meta itu bagaikan bangkai seekor gajah yang sedang dikroyok oleh semut-semut ngangrang yang ganas dan lapar. Seolah-olah tubuh gajah itu telah tercabik-cabik di segala tempat. Kepala gajah itu pun sudah hampir terpisah dari badannya.

“Kehancuran gelar Ki Gede tinggal menunggu waktu saja,” desis orang tua itu, “Aku harus segera bertindak untuk menolong pasukan Matesih.”

Berpikir sampai disitu, guru Glagah Putih itu segera melangkah lebar menuju ke lingkaran pertempuran yang semakin kisruh.

Ki Jayaraga sengaja memilih tempat yang segaris dengan leher gelar. Tanpa menunggu waktu, tangan dan kakinya segera bergerak mengobrak-abrik para cantrik yang sedang bertempur dengan sengitnya.

Ternyata kedatangan Ki Jayaraga telah menimbulkan kekacauan yang luar biasa. Segera saja beberapa cantrik telah terhisap dalam lingkaran pertempuran Ki Jayaraga. Bahkan sepuluh orang cantrik telah dikerahkan untuk menjinakkan orang tua yang garang itu.

Dengan demikian keseimbangan pertempuran di sebelah timur itu segera berubah. Para pengawal yang telah terbebas dari lawan-lawan mereka segera mendesak maju membantu kawan-kawan mereka.

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

46

Sejenak kemudian, kepala gajah yang hampir terputus itu perlahan-lahan mulai hampir tersambung kembali.

Tiba-tiba dalam kekacauan pasukan cantrik di sebelah timur itu telah dikejutkan oleh sebuah teriakan menggelegar.

“Minggir..! Biarkan aku yang mengatasi orang tua tak tahu diri ini..!”

Serentak para cantrik yang sedang bertempur mengeroyok Ki Jayaraga segera berloncatan mundur. Sebagai gantinya muncul seorang yang berwajah garang dengan sepasang nenggala sebagai senjata di kedua belah tangannya.

“Kakang putut Talangwani!” hampir setiap mulut cantrik yang berada di tempat itu telah berseru.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam melihat kemunculan orang yang bersenjatakan sepasang nenggala itu. Dari cara berjalannya saja Ki Jayaraga segera tanggap bahwa lawannya kali ini bukanlah cantrik kebanyakan yang dapat diajaknya bermain loncat-loncatan.

“Orang tua! Sebut namamu sebelum sepasang senjataku ini menembus dadamu dan merobek jantungmu!” geram orang itu sambil melangkah mendekat.

Kembali Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Lawan barunya itu kelihatannya terlalu yakin akan kemampuannya sendiri dan cenderung meremehkan orang lain.

“Namaku Ki Jayaraga. Aku tidak tahu di mana sebenarnya rumahku, karena di manapun aku berada, aku anggap itu sebagai rumahku sendiri,” berkata Ki Jayaraga kemudian dengan nada rendah.

“Baiklah Ki Jayaraga, aku kira engkau tadi sudah mendengar namaku. Para cantrik telah meneriakkan namaku seperti mereka meneriakkan nama seorang pahlawan yang pulang dari medan perang,” putut Talangwani berhenti sebentar. Lanjutnya kemudian, “Aku kira sudah cukup perkenalan kita ini. Aku paling tidak suka

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

47

berbasa basi terlampau lama. Sudah cukup lama aku tidak membunuh. Rasa-rasanya memang menjadi rindu untuk membunuh lawan dan merupakan kesenangan tersendiri pada saat melihat lawan kesakitan meregang nyawa.”

Untuk ke sekian kalinya Ki Jayaraga kembali menarik nafas dalam-dalam. Menilik ucapan lawannya itu, Ki Jayaraga dapat menilai jika lawannya itu benar-benar manusia tak berjantung. Namun Ki Jayaraga tidak pernah mengenal takut. Masa lalu guru Glagah Putih itu adalah masa lalu yang kelam, sekelam malam yang tak berbintang.

“Nah orang tua, apakah engkau sudah siap?” tiba-tiba pertanyaan putut Talangwani mengejutkan Ki Jayaraga.

“Aku sudah siap sedari tadi,” jawab Ki Jayaraga kemudian, “Justru aku yang dibuat heran dengan tingkah laku Ki Sanak. Sedari tadi aku menunggu ungkapan ilmumu yang nggegirisi, namun yang aku dengar hanya bualanmu saja yang tak berujung pangkal.”

“Tutup mulutmu orang gila!” teriak putut Talangwani sambil meloncat menerjang. Kaki kanannya terjulur lurus mengarah dada.

Namun yang diserang adalah Ki Jayaraga. Walaupun guru Glagah Putih itu sudah berusia lanjut, namun tandangnya masih seperti anak muda. Dengan cepat dia bergeser selangkah ke samping. Begitu serangan lawan itu lewat sejengkal dari dadanya, dengan cepat Ki Jayaraga menjulurkan tangannya mencekik leher.

“Gila!” teriak putut itu sambil merunduk menghindari cengkeraman lawan. Ketika salah satu kakinya sudah menjejak tanah, kembali tubuhnya terlontar dengan kaki bergerak mendatar menebas lambung.

Ki Jayaraga sengaja tidak berusaha menghindar. Dengan salah satu siku tangannya, dipusatkan kekuatannya pada ujung sikunya untuk dibenturkan dengan tulang kering lawannya.

Akibatnya adalah sangat diluar dugaan putut Talangwani. Menurut perkiraannya tenaga orang tua itu tidak akan dapat

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

48

mengimbangi kekuatannya. Namun yang terjadi kemudian adalah diluar perhitungannya. Tulang keringnya bagaikan membentur batu padas di gerojokan sebesar kerbau.

“Iblis..!” teriak putut Talangwani sambil meloncat mundur. Sejenak langkahnya pun menjadi terpincang-pincang.

“Orang tua tak tahu diri!” geram putut itu kemudian sambil meraba tulang keringnya. Rasa-rasanya tulang kering itu telah retak.

“Aku tidak akan mengampunimu orang tua gila!” geram putut itu kemudian sambil memutar kedua senjatanya, “Kali ini senjataku yang akan berbicara, bukan kakiku. Bersiaplah untuk mati orang gila!”

Ki Jayaraga hanya diam termangu melihat segala tingkah polah lawannya. Diam-diam guru Glagah Putih itu tertawa geli dalam hati. Agaknya segala sesorah dan sumpah serapah itu hanya untuk menakut-nakuti lawannya saja.

Melihat lawannya sama sekali tidak menanggapi ancamannya, putut Talangwani pun menjadi semakin marah. Sepasang nenggala itu berputaran mengerikan siap mematuk dan melubangi dada lawannya.

Ketika lawannya kemudian meloncat menerjang kembali, Ki Jayaraga ternyata telah melihat keadaan medan sekilas walaupun tidak secara keseluruhan. Betapa sepeninggal Ki Jayaraga melayani tandang lawannya itu keadaan pasukan pengawal Matesih kembali kocar kacir karena tekanan yang diberikan oleh pasukan lawan. Melihat keadaan itu Ki Jayaraga segera bertindak.

“Aku harus menarik para cantrik itu sebanyak banyaknya untuk memasuki lingkaran pertempuran ini” berkata Ki Jayaraga sambil menghindari serangan lawannya yang mulai terasa berbahaya.

Namun Ki Jayaraga adalah orang yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin. Dunia hitam dan dunia putih sudah sama-sama pernah dijelajahinya. Sehingga menghadapi seorang putut dari Perguruan Sapta Dhahana ini guru Glagah Putih itu tidak menjadi kehilangan akal.

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

49

Ketika lawannya kemudian meningkatkan serangannya, Ki Jayaraga pun dengan dahsyatnya telah menyapu kedua kaki lawannya yang tegak dengan kokohnya di atas bumi. Sengaja Ki Jayaraga tidak menggunakan kekuatan seluruhnya. Hanya kekuatan angin saja yang ditrapkan. Sehingga yang terjadi kemudian benar-benar telah mengejutkan lawannya.

“Gila!” teriak putut itu sambil meloncat mundur. Namun Ki Jayaraga sengaja tidak membiarkan lawannya lolos. Dengan sangat cepatnya Ki Jayaraga mengetrapkan angin yang berputar deras bercampur debu.

Kali ini putut Talangwani itu tidak mendapat kesempatan untuk menghindar lagi. Kedua kakinya bagaikan ditelikung dan tubuhnya di dorong ke belakang. Sejenak kemudian tubuh putut Talangwani itu pun jatuh terjerembab.

Namun dengan cepat putut itu segera melenting berdiri. Sejenak kemudian tiba-tiba dari mulutnya terdengar suitan nyaring dua kali berturut turut.

Ki Jayaraga tertegun sejenak. Panggraitanya yang tajam segera menangkap sesuatu yang tidak wajar. Agaknya lawan sedang memanggil bala bantuan untuk bersama sama mengeroyoknya.

Ternyata panggraita guru Glagah Putih itu benar. Sesaat kemudian dari hiruk pikuknya pertempuran, muncul dua orang yang memiliki bentuk tubuh yang jauh berbeda. Senjata yang dijinjing oleh kedua orang itu pun mempunyai sifat yang berbeda.

Yang pertama muncul adalah seorang yang berperawakan tinggi besar dengan memanggul sepasang bindinya yang terbuat dari kayu berlian. Sepasang bindi besar dengan duri-duri tajam yang terbuat dari baja di sekujur permukaannya.

Sedang yang muncul kemudian adalah seorang yang berperawakan kecil kurus dengan menjinjing sepasang trisula. Antara kedua trisula itu dihubungkan dengan seutas rantai baja.

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

50

Sekilas saja Ki Jayaraga segera dapat menilai kedua calon lawannya. Yang berperawakan tinggi besar dan bersenjatakan sepasang bindi itu tentu mengandalkan kekuatan dan akan bertempur dengan jarak pendek. Sementara yang berbadan kecil kurus bersenjatakan sepasang trisula yang dihubungkan dengan seutas rantai panjang itu tentu mengandalkan kelincahan serta akan selalu menjaga jarak sesuai dengan sifat senjatanya.

Pada dasarnya Ki Jayaraga memang jarang menggunakan senjata pada saat bertempur. Guru Glagah Putih itu mengandalkan ilmunya yang dapat menjangkau lawan sebagaimana sebuah senjata yang mempunyai jangkauan jarak. Namun kali ini yang akan dihadapinya adalah dua orang yang mempunyai sifat bertempur yang berbeda.

“Nah, kakang,” berkata orang yang bersenjatakan sepasang bindi itu sesampainya dia di hadapan putut Talangwani, “Apakah engkau kesulitan untuk mencabut nyawa orang tua ini? Mengapa kakang tidak membiarkan saja dia mati kelelahan sendiri, sehingga kakang tidak perlu bersusah payah memanggil kami berdua?”

“Jangan terlalu meremehkan dengan penampilan iblis tua ini, adi Talanggeni,” berkata putut Talangwani kemudian, “Iblis tua ini mempunyai ilmu syetan yang nggegirisi. Namun aku juga sependapat dengan apa yang engkau pikirkan. Kalian berdua dapat menguras tenaganya sehingga dia akan mati lemas dengan sendirinya.”

Tiba-tiba orang yang berperawakan kecil kurus itu tertawa pendek. Katanya kemudian, “Itu akan terlalu lama kakang. Aku sudah tidak sabar lagi untuk menghunjamkan sepasang trisulaku ini di dada yang kurus dan kudisan itu. Lebih cepat lebih baik karena masih banyak persoalan yang harus kita selesaikan.”

“Baiklah, iblis tua ini aku serahkan kepada kalian berdua,” berkata Talangwani kemudian, “Mudah-mudahan kalian tidak terkejut dan kebingungan menghadapi ilmu syetannya.”

Serentak kedua orang itu tertawa pendek. Talanggeni lah yang menjawab sambil memutar-mutar kedua bindinya, “Aku kira

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

51

sepasang bindiku ini cukup keras untuk meremukkan kepala yang sudah ubanan itu.”

“Terserah kalian berdua,” berkata Talangwani kemudian sambil melangkah pergi, “Sekali lagi aku peringatkan, jangan terkecoh dengan penampilan orang tua itu. Dia benar-benar memiliki ilmu syetan.”

“Jangan khawatir kakang,” jawab Talangbanyu, “Kami berdua sudah terbiasa menghadapi lawan seberat apapun di segala medan. Percayakan kepada kami. Kami akan menyelesaikan orang tua bangka ini tidak akan lebih lama dari sepenginang sirih.”

Talangwani hanya tersenyum tipis. Tanpa berkata-kata lagi dia kemudian melangkah memasuki hiruk pikuknya pertempuran.

“Nah, orang tua,” berkata Talanggeni kemudian sepeninggal Talangwani, “Bagian tubuhmu yang manakah yang paling keras? Aku sanggup meremukkannya!”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian dengan nada yang datar, “Semua bagian tubuhku sangat lunak, Ki Sanak. Tapi aku berharap senjata kalian berdua itu jangan sampai menyentuh tubuhku.”

“Kami tidak bisa menjamin permintaanmu itu, orang tua,” berkata Talangbanyu sambil memutar trisula di tangan kanannya, “Dengan sekali ayunan, aku justru berharap ujung trisulaku ini dapat menembus jantungmu!”

Kembali Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dia sudah tidak mau berpanjang lebar lagi dengan kedua lawannya itu. Ki Jayaraga pun segera mempersiapkan diri menghadapi pertempuran yang mungkin lebih dahsyat dari sebelumnya.

“Apakah engkau tidak bersenjata orang tua?” bertanya Talangbanyu kemudian sambil bergeser mengambil jarak. Dia sengaja mengambil tempat berseberangan dengan kawannya Talanggeni.

Ki Jayaraga yang melihat lawannya yang bertubuh kecil itu bergeser menjauh berseberangan dengan lawan yang satunya segera

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

52

menyadari. Agaknya kedua lawannya akan menggunakan jarak sebagai salah satu cara untuk menggempur pertahanannya serta menguras tenaganya.

“Aku tidak terbiasa menggunakan senjata,” jawab Ki Jayaraga sambil menempatkan diri sejajar dengan kedudukan kedua lawannya, “Bagiku senjata hanya akan merepotkan saja. Aku sudah terbiasa membunuh lawan-lawanku hanya dengan kedua tanganku ini.”

“Sombong!” sergah Talanggeni sambil mulai memutar sepasang bindinya, “Jangan salahkan kami jika engkau mati terlalu cepat, orang tua!”

Selesai berkata demikian dengan teriakan mengguntur, bindi di tangan kanan Talanggeni dengan derasnya menebas kepala lawannya.

Ki Jayaraga yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan itu tidak menjadi terkejut dengan serangan pertama lawannya. Dengan menarik satu kakinya surut selangkah, bindi itu lewat sejengkal dari kepalanya.

Namun yang justru membuat Ki Jayaraga terkejut adalah trisula di tangan Talangbanyu. Ki Jayaraga hampir-hampir tidak mengenali desir luncuran trisula itu. Tiba-tiba saja ujung trisula itu sudah hampir mematuk pundaknya.

“Gila!” geram Ki Jayaraga sambil merendahkan tubuhnya. Namun baru saja dia bernafas lega, bindi di tangan kiri lawan yang satunya dengan deras menyambar kedua kakinya.

Tidak ada jalan lain bagi Ki Jayaraga kecuali meloncat mundur sejauh-jauhnya.

Ketika kedua lawannya telah bersiap memburunya, tiba-tiba Ki Jayaraga telah mengangkat salah satu tangannya.

“Tunggu Ki Sanak berdua!” teriak Ki Jayaraga sehingga kedua lawannya itu telah menghentikan langkah mereka.

“Apakah engkau menyerah orang tua?” bertanya Talanggeni kemudian sambil memutar-mutar kedua bindinya.

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

53

“O, tentu tidak,” jawab Ki Jayaraga dengan serta merta, “Aku mempunyai sebuah pertanyaan untuk kalian sebelum kita melanjutkan pertempuran.”

“Agaknya engkau mencoba mengulur waktu atau berusaha mengambil nafas agar kematianmu sedikit tertunda,” sahut Talangbanyu sambil maju selangkah, “Tapi kali ini kami memang sengaja berbaik hati hanya sekedar sebagai tanda hormat kami terhadap lawan yang sudah sangat tua renta.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam untuk mengurai getar-getar di dalam dadanya. Betapapun juga ucapan kedua lawannya itu sempat menyesakkan dadanya.

Berkata Ki Jayaraga kemudian, “Ki Sanak berdua, siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua ini? Aku yakin kalian berdua bukan murid-murid Perguruan Sapta Dhahana. Ilmu kalian yang mumpuni tidak berlandaskan pada kekuatan api sebagaimana yang menjadi ciri khas Perguruan Sapta Dhahana.”

Sejenak kedua orang itu saling pandang. Tiba-tiba terdengar suara tertawa mereka yang menggelegar memenuhi udara di medan pertempuran itu.

“Engkau cukup jeli, kakek tua,” berkata Talanggeni kemudian setelah suara tawanya mereda, “Kami berdua memang bukan anak murid Sapta Dhahana. Kami berdua adalah tamu yang diundang oleh Kiai Damar Sasangka pemimpin perguruan ini. Kami adalah sahabat baik Kiai Damar Sasangka dan diajak untuk ikut serta mendukung usaha orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu untuk meluruskan sejarah. Mengembalikan tahta negeri ini kepada yang berhak.”

Berdesir dada Ki Jayaraga. Ternyata di perguruan itu diam-diam telah berkumpul kekuatan yang cukup nggegirisi. Jika saja Mataram tidak cepat bertindak, tentu kekuatan itu akan sangat membahayakan bagi tegaknya Mataram.

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

54

“Apakah Ki Sanak berdua mendukung usaha orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu?” bertanya Ki Jayaraga kemudian.

“Persetan! Itu bukan urusanmu!” geram Talanggeni, “Sekarang lebih baik engkau menyerah saja, kakek tua! Jangan mencoba menipu kami dengan mengulur-ulur waktu. Mungkin engkau sedang menunggu bala bantuan. Tapi itu percuma saja. Siapapun yang kami hadapi, akan kami bunuh dengan sangat kejam. Kecuali jika mereka mau menyerah dengan baik-baik, tentu kami akan memperlakukan mereka dengan sedikit welas asih pada saat mereka menghadapi sakaratul maut.”

“Memang sebaiknya engkau menyerah saja, orang tua,” sahut Talangbanyu, “Percuma engkau mengadakan perlawanan, tenagamu akan terbuang sia-sia. Lebih baik tenagamu engkau simpan untuk menghadapi sakaratul maut serta perjalananmu di alam kelanggengan nanti.”

“Ya, aku setuju,” Talanggeni menimpali, “Engkau masih memerlukan tenaga untuk perjalananmu nanti di alam kelanggengan. Siapa tahu engkau masih harus bertempur menghadapi anak buah iblis atau bahkan iblis itu sendiri di alam kubur nanti.”

“He, kalian berdua berbicara ngoyoworo seolah-olah kalian memang sudah pernah berkunjung ke sana,” sahut Ki Jayaraga kemudian sambil tertawa pendek, “Aku mempunyai pemikiran yang lebih baik dari kalian berdua.”

Sejenak kedua lawan Ki Jayaraga itu saling pandang. Bentak salah satu dari keduanya kemudian, “Apa maksudmu, he?!”

Ki Jayaraga tersenyum terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan kedua lawannya. Jawab Ki Jayaraga kemudian sambil tetap menyungging senyum, “Untuk membuktikan ucapan kalian tadi, aku dengan suka rela akan mengantar kalian untuk mengunjungi alam kelanggengan.”

“Tutup mulutmu!” hampir bersamaan kedua orang itu membentak sambil meluncurkan serangannya kembali.

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

55

Demikianlah pertempuran ketiga orang itu semakin lama semakin sengit. Ki Jayaraga benar-benar harus memeras keringat dan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan kedua orang yang mempunyai sifat ilmu yang berbeda itu. Semakin lama bertempur, Ki Jayaraga pun maklum bahwa kedua lawannya itu agaknya dengan sengaja memancing gerakan-gerakan yang dapat menguras tenaga. Ki Jayaraga dipaksa berloncatan menghindari serangan kedua lawannya dari arah yang berbeda.

“Gila!” geram guru Glagah Putih itu dalam hati, “Agaknya mereka sengaja memancing aku untuk berloncat-loncatan. Aku tidak boleh terpancing. Aku harus mengurangi tekanan ini sejauh mungkin dapat aku lakukan.”

Berpikir sampai disitu, Ki Jayaraga mulai mengetrapkan ilmu andalannya. Ilmu yang berlandaskan pada kekuatan api, air dan angin. Ilmu yang dapat membuat tanah meledak dan menyemburkan uap air yang mendidih.

Maka ketika serangan kedua lawannya semakin lama semakin tak tertahankan, Ki Jayaraga pun mulai mengungkapkan ilmunya. Demikian salah satu lawannya menjejak tanah, tanah tempatnya berpijak pun bagaikan meledak dan menyemburkan uap air yang panas.

“Iblis!” teriak Talanggeni sambil meloncat mundur, untunglah dia masih sempat melihat pancaran ilmu dari kedua tangan lawannya itu sehingga dia masih sempat meloncat menghindar.

Melihat kawannya terdesak surut, dengan secepat kilat Talangbanyu memutar rantai berujung trisula itu. Sekejap trisula itu pun meluncur mematuk punggung Ki Jayaraga.

Tentu saja Ki Jayaraga tidak membiarkan senjata lawannya akan melukai punggungnya. Namun ternyata Ki Jayaraga tidak meloncat menghindar. Dia benar-benar berusaha menghemat tenaganya sejauh mungkin dapat dilakukan.

Maka ketika ujung trisula itu meluncur dengan deras ke arahnya, Ki Jayaraga justru menghentakkan kekuatan yang bersumber pada

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

56

kekuatan angin sehingga trisula itu bagaikan terpelintir dan kemudian berbelok arah menghunjam ke tanah.

“Gila, orang tua gila!” geram Talangbanyu. Tangannya bagaikan tersedot oleh kekuatan raksasa sehingga tidak mampu menguasai arah senjatanya. Akibatnya trisula itu pun menancap ke tanah sampai hanya terlihat gagangnya saja.

Dalam pada itu Talanggeni yang sudah mampu menguasai dirinya segera menyambar kepala lawannya dengan sebuah sabetan bindi yang deras. Terdengar angin yang menderu bersamaan dengan ayunan bindi tersebut.

Ki Jayaraga terkejut mendengar angin yang menderu itu. Dari desir angin yang mendahului senjata itu sendiri, dia sudah dapat mengukur kekuatan tenaga lawannya.

“Luar biasa,” desis Ki Jayaraga dalam hati, “Mungkin kekuatannya menyamai kekuatan seekor gajah.”

Namun Ki Jayaraga tidak sempat berangan-angan terlampau jauh. Ketika dia berhasil menghindari bindi yang pertama, bindi berikutnya pun menyambar perutnya. Demikian seterusnya tanpa memberi ruang Ki Jayaraga untuk mengambil jarak.

Sedangkan lawan yang satunya ternyata tak kalah garangnya. Setelah mengalami sendiri ilmu orang tua itu yang mampu membelokkan arah serangannya, Talangbanyu semakin berhati hati. Secara bergantian trisulanya meluncur mematuk-matuk ke segala bagian yang berbahaya dari tubuh lawannya.

Memang Ki Jayaraga telah mencoba kembali untuk menyerang lawannya dengan ilmu yang berlandaskan pada kekuatan api air dan angin. Namun ternyata lawannya sangat cerdik. Kedua orang itu seakan sudah dapat menduga kapan Ki Jayaraga akan melontarkan serangannya.

Ki Jayaraga sendiri menjadi heran, bagaimana kedua lawannya itu dengan cepat dapat menghindari setiap serangan jarak jauhnya? Ternyata kedua lawannya itu selalu dapat membaca serangan Ki

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

57

Jayaraga terlebih dahulu. Setiap kali Ki Jayaraga terlihat mengangkat tangannya, mereka sudah terlebih dahulu meloncat menghindar. Agaknya dengan cerdik mereka selalu memperhatikan gerakan tangan Ki Jayaraga.

Diam-diam Ki Jayaraga mengumpat dalam hati. Serangan jarak jauh memang memiliki kelemahan tersendiri. Secepat apapun serangan yang dilontarkan, jika lawan sudah dapat menduganya, dengan cepat lawan akan dapat segera menghindar.

“Aku harus mencari cara untuk mengetahui kelemahan mereka berdua,” berkata Ki Jayaraga kemudian dalam hati.

Demikianlah pertempuran di sisi sebelah barat itu semakin sengit. Karena Ki Jayaraga telah terikat oleh kedua lawannya, para pengawal yang bertempur di sisi sebelah barat itu pun kembali mendapat tekanan yang luar biasa.

Dalam pada itu pasukan pengawal Matesih di sisi sebelah timur ternyata keadaannya juga tidak lebih baik dari pasukan di sisi sebelah barat. Para cantrik yang jumlahnya melebihi pasukan pengawal Matesih itu terus menekan sehingga rencana Ki Gede untuk mengubah gelar menjadi berantakan. Perlahan tapi pasti kepala gelar Dirada Meta itu hampir terpisah dari induknya.

Tiba-tiba dalam keadaan yang sangat mendebarkan itu, terlihat seseorang sedang berdiri di atas dinding padepokan sebelah timur. Sejenak orang itu termangu-mangu mengawasi jalannya pertempuran. Sambil menarik nafas dalam-dalam, orang itu pun tampak mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Pasukan Ki Gede agaknya sedang mengalami tekanan yang luar biasa,” desis orang itu perlahan sambil meloncat turun dari atas dinding padepokan, “Ki Gede agaknya telah mengalami tekanan yang luar biasa dari lawannya sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk mengamati keadaan medan pertempuran.”

Dengan langkah tergesa-gesa orang itu pun kemudian segera mendekati medan pertempuran itu dari sisi sebelah timur.

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

58

Agaknya para cantrik yang sedang bertempur dengan garangnya itu telah melihat seseorang yang berjalan dengan tergesa-gesa menuju ke arah mereka. Segera saja dua orang cantrik meloncat keluar dari lingkaran pertempuran dan menyongsongnya.

Tanpa membuang waktu lagi kedua cantrik itu segera mengayunkan senjata mereka menebas orang yang baru saja datang itu. Namun alangkah terkejutnya kedua cantrik itu. Ternyata senjata mereka telah membentur sebuah lengan yang hanya dibalut dengan selembar kain ikat kepala. Namun benturan itu begitu keras dan kuatnya sehingga telah melemparkan senjata mereka dari genggaman.

“Ambillah!” berkata orang tua itu yang terlihat sangat tenang sambil tangan kanannya menggenggam sebuah senjata yang tidak biasa dipergunakan, sebuah ikat pinggang bertimang baja. Sedangkan di lengan kirinya tampak sebuah ikat kepala membalut lengannya.

Kedua cantrik itu bagaikan membeku mendapati senjata mereka dengan begitu mudahnya terlepas dari genggaman. Dan yang lebih membuat mereka tidak habis mengerti adalah sikap lawan mereka itu. Orang tua itu tidak membunuh mereka namun justru telah menyuruh mereka untuk mengambil kembali senjata-senjata mereka.

“Ambillah!” kali ini terdengar orang tua itu menggeram, “Jika kalian tidak bersenjata di tengah medan perang yang garang ini, kalian bagaikan kelinci-kelinci di kandang serigala!”

Akhirnya dengan tangan gemetar mereka memungut senjata yang tergeletak selangkah di samping mereka. Ketika senjata-senjata itu kemudian telah tergenggam, kedua cantrik itu tetap berdiri termangu-mangu. Mereka seolah-olah sudah tidak bernafsu lagi untuk bertempur. Ada kesan tersendiri terhadap orang tua itu yang ternyata justru tidak membunuh mereka di saat mereka berdua sudah tidak berdaya.

“Mengapa kalian hanya berdiam diri saja!” kembali terdengar orang tua itu menggeram, “Cepat bersikaplah sebagaimana seorang jantan di medan perang. Angkat senjata kalian dan lawanlah aku. Atau

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

59

aku akan mencincang kalian seperti mencincang tikus-tikus busuk yang tak berguna!”

Berdesir dada kedua cantrik itu. Mereka menyadari betapa harga diri mereka telah begitu direndahkan. Namun entah mengapa, mereka merasa tidak ada gunanya lagi untuk bertempur.

“Apakah kalian sudah tidak bernafsu lagi untuk bertempur?” bertanya orang tua itu kemudian setelah melihat kedua cantrik itu hanya berdiri membeku di tempat mereka berdiri.

Sejenak kedua cantrik itu menjadi bingung bagaimana untuk menjawab pertanyaan itu. Mereka seolah-olah telah kehilangan kata-kata dan juga keberanian.

“Nah,” berkata orang tua itu kemudian begitu melihat kedua cantrik itu tetap berdiam diri, “Lebih baik kalian segera pergi ke sebelah timur dinding padepokan itu. Lihatlah keadaan guru kalian dan juga putut Sambernyawa yang tentu kalian sudah sangat mengenalnya.”

Kata-kata orang tua itu bagaikan bunyi halilintar yang menyambar tepat di atas kepala kedua cantrik itu. Selama ini memang para cantrik padepokan Sapta Dhahana belum mengetahui keadaan guru mereka. Maka kata-kata orang tua itu benar-benar telah menarik perhatian mereka.

“Kakek tua,” berkata salah satu cantrik itu kemudian, “Siapakah kakek ini? Dan apakah kakek berkata yang sesungguhnya?”

Tiba-tiba wajah orang tua itu menjadi sangat sareh. Sambil mengangguk dia menjawab, “Aku bernama Ki Waskita. Seumur hidupku aku selalu berusaha untuk berkata jujur. Lihatlah keadaan gurumu. Kalian dapat mencari tangga yang tinggi untuk memanjat dinding. Di balik dinding itu guru dan saudara tuamu putut Sambernyawa berada.”

Tanpa membuang waktu lagi kedua orang cantrik itu segera meloncat berlari menuju ke arah dinding padepokan sebelah timur.

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

60

Sepeninggal kedua cantrik itu Ki Waskita masih termangu-mangu di tempatnya. Dipandanginya pertempuran yang semakin sengit di hadapannya. Namun akhirnya Ki Waskita pun kembali melangkah.

Beberapa cantrik yang sedang bertempur di sekitar tempat itu memang sekilas sempat melihat kedua kawannya itu berlari menuju ke arah timur. Namun mereka tidak tahu untuk tujuan apa kedua kawannya itu pergi ke arah timur.

“Hadang orang tua itu!” tiba-tiba seorang cantrik yang menjadi pimpinan kelompok di tempat itu telah berteriak. Segera saja lima orang cantrik berloncatan melepaskan diri dari lingkaran pertempuran dan berlari menyongsong kedatangan Ki Waskita.

Setibanya mereka di hadapan Ki Waskita, mereka segera mengepung orang tua itu.

“Menyerahlah, kakek tua!” geram salah satu cantrik, “Engkau pasti telah menipu atau mempengaruhi kedua kawan kami tadi sehingga mereka pergi meninggalkanmu.”

Sejenak Ki Waskita memandang satu-persatu cantrik yang mengepungnya. Katanya kemudian dengan suara berat dan dalam, “Apakah kalian pikir aku ini adalah seorang penipu?”

Lima orang cantrik itu sejenak saling berpandangan. Jawab seorang yang terlihat berwajah garang, “Jangan mencoba mempengaruhi kami. Kami tidak akan terpengaruh dengan tipu dayamu.”

“Aku tidak sedang mencoba menipu kalian,” berkata Ki Waskita kemudian, “Namun sebaiknya kalian mengetahui apa yang aku katakan kepada kedua kawanmu tadi.”

Kembali para cantrik itu saling berpandangan. Akhirnya seorang cantrik yang berkumis tipis menyahut, “Apa yang engkau katakan kepada kawan-kawan kami tadi, kakek tua?”

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

61

Sesampainya cantrik itu di hadapan Ki Waskita, sejenak dia tertegun. Di kejauhan tampak olehnya beberapa cantrik sedang …

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

62

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sejenak sebelum menjawab. Kemudian kepada cantrik yang berkumis tipis itu Ki Waskita berkata perlahan namun sangat jelas, “Aku hanya memberitahu kepada kedua kawanmu tadi bahwa sekarang ini guru kalian dan saudara tua kalian putut Sambernyawa sedang berada di sebelah timur dinding padepokan itu.”

Selesai berkata demikian Ki Waskita segera menunjuk dinding sebelah timur padepokan yang cukup tinggi.

Bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari orang dewasa, kelima cantrik itu telah terlonjak kaget. Berbagai dugaan timbul dalam benak mereka, antara percaya dan tidak percaya.

“Bagaimana engkau bisa tahu keadaan guru kami, kakek tua?” akhirnya salah seorang cantrik mengajukan sebuah pertanyaan.

“Aku baru saja dari sana,” jawab Ki Waskita tenang, “Aku melihat gurumu dan saudara tuamu itu tergeletak di atas tanah tak berdaya.”

“He?!” hampir bersamaan cantrik-cantrik itu berseru. Namun belum sempat mereka menentukan sikap atas berita yang disampaikan oleh Ki Waskita itu, dari tempat mereka berdiri tampak kedua kawan mereka sedang berlarian dari arah samping padepokan sambil memikul tangga yang panjang menuju ke dinding sebelah timur.

Bagaikan sudah berjanji sebelumnya, serentak kelima cantrik itu segera berlari meninggalkan Ki Waskita mengejar kedua kawan mereka yang telah mencapai dinding sebelah timur terlebih dahulu.

Kembali Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil tersenyum. Secara tidak langsung Ki Waskita telah mengurangi jumlah lawan yang berada di sisi timur itu.

Dalam pada itu cantrik yang menjadi pemimpin kelompok di medan pertempuran sebelah timur itu menjadi heran. Kelima orang cantrik yang diperintahkannya untuk mencegat orang tua itu ternyata juga telah meninggalkan medan dan menuju ke dinding padepokan sebelah timur.

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

63

“Apa sebenarnya yang telah terjadi?” geram cantrik pemimpin kelompok itu sambil terus bertempur dengan kelompoknya, “Agaknya memang harus aku sendiri yang menyelesaikan orang tua bangka itu.”

Berpikir demikian cantrik pemimpin kelompok itu segera meninggalkan lawannya dan berlari menuju ke tempat Ki Waskita.

Sesampainya cantrik itu di hadapan Ki Waskita, sejenak dia tertegun. Di kejauhan tampak olehnya beberapa cantrik sedang bergantian memanjat dinding yang tinggi itu menggunakan sebuah tangga.

“Gila!” geram cantrik pemimpin kelompok itu, “Apa saja kerja mereka itu?!”

Agaknya ucapannya itu telah terdengar oleh Ki Waskita. Maka berkata Ki Waskita kemudian, “Ki Sanak, apakah engkau tidak ingin mengikuti kawan-kawanmu itu?”

Mendapat pertanyaan seperti itu, sejenak cantrik pemimpin kelompok itu tertegun. Dipandanginya Ki Waskita dari ujung rambut sampai ke kaki. Ketika pemimpin kelompok itu sempat memperhatikan lengan kiri Ki Waskita yang dibebat kain ikat kepala serta tangan kanannya yang menggenggam sebuah ikat pinggang, cantrik itu menjadi heran. Seumur hidup dia belum pernah melihat orang bertempur dengan menggunakan senjata yang aneh seperti itu.

“Kakek tua,” bertanya cantrik itu kemudian, “Apa yang dapat engkau perbuat dengan kedua senjatamu yang aneh itu? Apakah engkau sengaja ingin membunuh diri dengan memasuki medan pertempuran menggunakan senjata yang tidak lumrah itu?”

Ki Waskita baru saja akan menjawab. Namun ternyata salah satu cantrik yang telah berada di atas dinding telah berteriak dengan kerasnya.

“Guru..! Aku melihat guru..!” teriak cantrik itu sekeras kerasnya.

“He?! Engkau melihat guru..?” teriak cantrik yang masih berada di bawah dinding.

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

64

“Ya..! Aku telah melihat guru dan juga kakang Sambernyawa..! Keduanya kelihatannya telah jatuh pingsan!” jawab cantrik yang berada di atas dinding itu kembali dengan suara lebih keras lagi, sambil mengamati keadaan di bawah. Diam-diam bulu kuduk cantrik itu merinding melihat semak dan perdu serta pepohonan yang hangus terbakar.

“He?!” serentak para cantrik yang masih berada di bawah itu berseru tidak percaya, “Pingsan katamu?”

“Ya, keduanya terlihat seperti sedang pingsan!” jawab cantrik yang berada di atas dinding itu, “Aku akan turun ke bawah, tapi dinding ini terlalu tinggi!”

Beberapa cantrik mulai tidak sabar. Mereka segera berebut untuk memanjat tangga yang cukup tinggi itu.

“Hati-hati! Jangan berebut! Tangga ini bisa patah jika kalian naik bersama-sama!” teriak seorang cantrik memperingatkan.

Dalam pada itu cantrik pemimpin kelompok yang sedang berhadapan dengan Ki Waskita dengan jelas dapat mendengar teriakan cantrik yang berada di atas dinding itu.

“Tidak mungkin!” geram cantrik itu dengan wajah merah padam, “Tidak ada seorang pun yang mampu mengalahkan guru di seluruh tlatah Mataram ini!”

“Jangan terlalu berbangga dengan kesaktian gurumu, Ki Sanak,” sahut Ki Waskita perlahan, “Di atas langit masih ada langit, dan gurumu memang telah kalah dalam perang tanding yang jujur. Sebaiknya engkau segera merawat jasad gurumu dan saudara tua seperguruanmu itu.”

“He?!” hampir terlonjak cantrik itu mendengar kata-kata Ki Waskita. Betapa jantungnya terasa berdentangan sehingga tampak nafasnya ikut memburu.

“Apa katamu, orang tua?” geram cantrik itu sambil melangkah setapak maju, “Jaga mulutmu! Jangan mencoba mempengaruhi

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

65

ketabahan perjuangan kami. Guru mungkin hanya jatuh pingsan, tapi tidak mungkin sampai mati.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian dengan nada yang berat dan dalam, “Ki Sanak, tidak ada satu pun makhluk di dunia ini yang akan luput dari kematian, dan gurumu serta saudara seperguruanmu itu telah menjalani takdir Nya. Engkau harus menerima kenyataan ini.”

“Persetan!” bentak cantrik itu sambil mulai merundukkan senjatanya, “Engkau adalah manusia laknat yang telah menyebar fitnah. Engkau harus mati di tanganku agar mulutmu yang penuh fitnah itu tidak semakin merajalela.”

Namun ketika cantrik itu sudah bersiap untuk melancarkan serangan pertamanya, dari arah dinding padepokan sebelah timur terdengar teriakan bersahut-sahutan. Walaupun teriakan itu berasal dari para cantrik yang sudah berhasil turun ke bawah, namun para cantrik yang masih di atas dinding telah menyambung teriakan itu sehingga terdengar jelas dari medan pertempuran.

“Guru telah tewas!”

“Kakang putut Sambernyawa juga telah tewas!”

“Kita balas satu nyawa dengan seribu nyawa!”

“Jangan ampuni pasukan Matesih!”

“Tumpes kelor! Jangan ada yang tersisa!”

Teriakan-teriakan itu telah membuat pertempuran menjadi kisruh. Beberapa orang cantrik memang tidak langsung percaya dengan berita itu. Namun yang lain justru telah patah semangat. Bagaimana mungkin mereka dapat melanjutkan pertempuran jika Kiai Damar Sasangka yang mereka agul-agulkan itu ternyata telah menemui ajalnya? Demikian juga orang kedua dalam perguruan mereka, putut Sambernyawa.

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

66

“Nah, apa kataku,” berkata Ki Waskita kemudian begitu melihat wajah cantrik di hadapannya itu sebentar merah sebentar pucat menahan gejolak di dalam dadanya yang tak tertahankan.

“Aku akan membalas dendam!” geram cantrik itu kemudian, “Satu nyawa harus dibalas dengan seribu nyawa, dan engkau akan menjadi orang pertama dari korbanku.”

Ki Waskita tersenyum mendengar ancaman cantrik itu. Bertanya Ki Waskita kemudian sambil tetap tersenyum, “Apakah engkau sudah mengetahui siapa yang telah berhasil mengalahkan gurumu yang sakti mandraguna itu?”

Sejenak wajah yang merah padam itu tertegun. Ketika Ki Waskita melihat cantrik itu tampak kebingungan, dengan las-lasan Ki Waskita pun kemudian menyebut sebuah nama.

“Ki Rangga Agung Sedayu. Ya, Ki Rangga Agung Sedayu lah yang telah mengalahkan gurumu,” Ki Waskita berhenti sejenak untuk melihat wajah cantrik itu yang tiba-tiba saja menjadi sangat pucat. Berkata Ki Waskita selanjutnya, “Nah, jika engkau mau membalas dendam, apa katamu tentang Ki Rangga Agung Sedayu? Senapati agul-agulnya Mataram? Jika gurumu saja dapat dikalahkan, bagaimana dengan engkau sendiri serta seluruh penghuni padepokan ini?”

Gemetar sekujur tubuh cantrik itu. Nama Ki Rangga Agung Sedayu memang sudah mereka dengar beberapa hari yang lalu. Bahkan mereka telah mengepung padukuhan Klangon karena mendapat berita dari telik sandi bahwa Ki Rangga dan kawan-kawannya sedang bermalam di banjar dukuh Klangon. Namun ternyata mereka hanya mendapati banjar yang telah kosong.

“Nah, lebih baik engkau segera mengajak kawan-kawanmu untuk menyelenggarakan jasad mereka berdua,” berkata Ki Waskita kemudian.

Tiba-tiba pandangan mata cantrik itu nanar menatap Ki Waskita. Bertanya cantrik itu kemudian dengan suara yang bergetar menahan

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

67

ketakutan yang sangat, “Apakah tuan adalah Ki Rangga Agung Sedayu?”

Ki Waskita tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Bukan. Namaku Ki Waskita dan aku adalah sahabat Ki Rangga dan sekaligus dapat dikatakan sebagai saudara seperguruan karena kami pernah menimba ilmu pada sumber yang sama.”

Menggigil sekujur tubuh cantrik itu begitu mendengar penjelasan Ki Waskita. Jantungnya pun bagaikan terlepas dari tangkainya.

“Sudahlah,” berkata Ki Waskita kemudian, “Ikuti kawan-kawanmu. Sebaiknya kalian membawa kedua jasad itu melalui pintu gerbang.”

Selesai berkata demikian tanpa memperdulikan cantrik itu lagi, Ki Waskita justru telah melangkah semakin dalam menembus pertempuran yang menjadi semakin kisruh.

Sepeninggal Ki Waskita, agaknya cantrik itu tidak ada pilihan lain. Dengan memperkuat dirinya, dia segera berlari menuju ke dinding sebelah timur padepokan.

Dalam pada itu teriakan para cantrik yang berada di atas dinding padepokan sebelah timur ternyata telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Mendengar berita tewasnya guru mereka yang sangat dikagumi itu ternyata telah mematahkan semangat mereka. Beberapa cantrik justru telah melepaskan diri dari ikatan pertempuran dan berlari-larian menuju ke arah timur.

Dengan demikian tekanan yang dialami pasukan Matesih menjadi jauh berkurang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh para pemimpin kelompok. Dengan aba-aba yang saling bersahut-sahutan, gelar Dirada Meta yang sudah hampir terpisah kepalanya itu berputar dengan cepat membentuk gelar baru, Cakra Byuha.

Gelar baru itu ternyata telah memberi keleluasan para pengawal untuk bergerak. Pasukan Matesih pun bergerak terus bagaikan sebuah cakra yang berputar cepat dan menggilas apa saja yang berada di hadapannya. Sementara gelar Jurang Grawah lawan yang mulai

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

68

melemah dinding-dindingnya karena sebagian cantrik lebih tertarik untuk melihat keadaan guru mereka itu menjadi semakin lemah.

Dalam keadaan yang demikian itu, tiba-tiba terdengar teriakan menggelegar di antara bunyi riuh denting senjata beradu, “He, jangan terpancing! Tetap bertempur di tempat kalian masing-masing! Pertahankan gelar kita!”

Namun tiba-tiba terdengar suara yang tak kalah dahsyatnya, “Menyerahlah! Guru kalian telah tewas di tangan Ki Rangga Agung Sedayu! Sekali lagi menyerahlah! Jika kalian membangkang dan tidak mau menerima kenyataan, sebentar lagi Ki Rangga Agung Sedayu akan hadir dan menyapu kalian semua menjadi debu!”

Teriakan yang menggelegar itu memang telah mempengaruhi ketahanan batin para cantrik. Namun para pemimpinnya masih tetap bertahan dengan keputusan semula. Bertempur terus sampai titik darah penghabisan.

Dalam pada itu para pasukan pengawal Matesih pun telah bersorak-sorai membahana mendengar berita kematian pemimpin Perguruan Sapta Dhahana itu.

“Hancurkan Sapta Dhahana!”

“Kiai Damar Sasangka telah tewas!”

“Menyerahlah kalian dan tunduk di bawah panji-panji kebesaran Mataram!”

“Hidup Ki Rangga Agung Sedayu!”

“Hidup Mataram!”

“Jayalah Mataram selamanya!”

Suara teriakan itu bersahut-sahutan membahana memenuhi udara di atas padepokan Sapta Dhahana.

“Gila!” geram putut Talangwani yang kebetulan berada tidak jauh dari suara teriakan seseorang yang terdengar membahana tadi, “Siapa yang telah menebar fitnah ini?”

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

69

Sambil terus berjalan dan menyusup di antara riuhnya pertempuran, akhirnya putut itu mengetahui siapa sumber semua keonaran itu. Ternyata seorang yang sudah sepuh terlihat sedang berjalan dengan tenangnya diantara riuhnya pertempuran sambil berteriak memerintahkan pasukan cantrik padepokan Sapta Dhahana untuk menyerah.

Ketika dilihatnya orang tua itu akan membuka mulutnya dan berteriak sekali lagi, putut Talangwani segera meloncat tepat di hadapannya sambil membentak, “Tutup mulutmu kakek tua! Apakah tidak ada pekerjaan lain selain berteriak-teriak tidak ada ujung pangkalnya dalam riuhnya pertempuran ini?!”

Orang yang dipanggil kakek tua itu sejenak tertegun. Kemudian sambil tersenyum dia menjawab, “Aku memang sengaja memilih pekerjaan ini. Sebuah pekerjaan yang aku anggap cukup mulia untuk menghindari bertambahnya korban yang tidak berarti.”

“Omong kosong!” geram putut Talangwani, “Siapa bilang pertempuran ini tidak ada artinya? Justru perjuangan ini sarat dengan makna yang menyangkut kehidupan kawula di masa mendatang. Kehidupan yang terbebas dari rasa takut, rasa kelaparan dan menjunjung rasa kebersamaan dalam keberagaman dalam bingkai sebuah negeri yang dipimpin oleh mereka yang berhak memimpin negeri ini, Trah Sekar Seda Lepen.”

Orang yang dipanggil kakek itu menarik nafas panjang sambil berkali-kali menggelengkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sebuah mimpi yang terlampau manis. Lebih baik Ki Sanak segera bangun dari mimpi indah itu dan pergilah ke balik dinding padepokan sebelah timur. Di sana ada dua jasad yang harus segera engkau selenggarakan.”

“Tutup mulutmu!” bentak putut Talangwani, “Sedari tadi engkau selalu menyebar fitnah tentang kematian guru. Guru tidak bisa dibunuh oleh siapapun. Guru sudah mencapai tingkatan kena lara tan kena ing pati. Ilmu guru sudah sedemikian sempurnanya sehingga tidak ada yang mampu mengalahkannya apalagi membunuhnya. Guru hanya dapat mengalami kematian oleh

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

70

keinginannya sendiri. Jika guru sudah bosan hidup dan ingin meninggalkan dunia ini, barulah guru akan mengalami kematian atas kehendaknya sendiri.”

Orang tua itu tersenyum. Katanya kemudian, “Aku percaya dengan keteranganmu tentang kesempurnaan ilmu gurumu itu. Namun engkau juga harus mempercayai keteranganku.”

Putut itu mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Apa maksudmu kakek tua?”

Orang tua itu tersenyum kembali sambil berkata, “Gurumu tadi telah bertempur dengan Ki Rangga Agung Sedayu, agul-agulnya Mataram. Dan di akhir pertempuran tadi gurumu telah menghendaki kematiannya sendiri, sehingga percaya atau tidak percaya, gurumu telah tewas dalam perang tanding itu.”

“Omong kosong!” teriak putut Talangwani tanpa dapat mengendalikan diri lagi. Sepasang nenggala di kedua belah tangannya pun bergerak menyerang orang tua itu dengan dahsyatnya.

Dalam pada itu Ki Gede Matesih yang sedang bertempur melawan putut Talangpati telah menarik nafas dalam-dalam. Berita itu walaupun belum pasti namun sudah sedikit banyak telah mempengaruhi semangat juang pasukannya. Berita tewasnya pemimpin Perguruan Sapta Dhahana itu oleh Ki Rangga Agung Sedayu telah membanggakan setiap dada.

“Hanya orang-orang gila saja yang percaya dengan berita bohong ini,” geram putut Talangpati sambil memutar pedangnya semakin cepat dan kuat, “Tentu ada segolongan orang-orang licik yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong ini!”

“Ki Sanak,” berkata Ki Gede sambil terus bertempur, “Aku tidak menyandarkan perjuangan pasukanku atas berita tersebut. Dapat saja berita itu benar atau salah. Namun yang pasti, dengan adanya berita itu, aku dapat mengambil manfaat dari padanya. Pasukan Matesih semakin mantap dan yakin akan perjuangan menghancurkan golongan-golongan yang mulai merongrong kewibawaan Mataram.”

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

71

“Tutup mulutmu!” bentak putut Talangpati sambil meloncat menebas leher lawannya. Gerakannya sangat cepat bagaikan tatit yang meloncat di udara. Jika orang kebanyakan yang menghadapi serangan itu, tentu dia tidak akan mempunyai waktu sekejap pun untuk menghindar.

Namun yang dihadapi adalah Ki Gede Matesih yang pernah menjadi anak murid perguruan Pandan Alas, perguruan yang pernah berjaya di jaman Demak lama.

Dengan melangkah surut setapak sambil merendahkan tubuhnya, tebasan lawan itu lewat di atas kepalanya. Namun putut Talangpati ternyata tidak berhenti sampai disitu saja. Ketika merasa serangannya hanya mengenai tempat kosong, putut tertua setelah putut Sambernyawa itu segera menarik senjatanya, sebagai gantinya, kaki kanannya terjulur lurus mengancam lambung.

Ki Gede segera menggeser tubuhnya ke samping. Pada saat itulah justru ujung landeyan tombak pendeknya menyambar perut.

Tidak ada kesempatan bagi putut Talangpati untuk meloncat menghindar. Yang dilakukannya kemudian adalah memukul landeyan tombak pendek itu dengan pedangnya.

Benturan keras pun segera terjadi. Bunga api berhamburan memercik ke udara. Sementara kedua orang itu segera meloncat ke belakang untuk memeriksa senjata masing-masing. Ternyata senjata-senjata itu masih tetap utuh tak kurang suatu apapun.

“Ki Gede,” berkata putut itu kemudian sambil menyilangkan senjatanya di depan dada, “Aku harus segera pergi ke dinding padepokan sebelah timur untuk melihat keadaan guru. Aku sudah tidak ada waktu lagi untuk bermain-main dengan Ki Gede. Aku harus membuktikan kebenaran berita itu,” putut itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bersiaplah.! Aku akan segera mengetrapkan aji pamungkasku. Semoga Ki Gede masih sempat melihat matahari terbenam di senja hari nanti.”

Selesai berkata demikian tanpa menunggu jawaban lawannya, putut Talangpati segera menarik senjatanya dan mengangkatnya

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

72

tinggi-tinggi seolah-olah ingin menusuk langit. Tangan kirinya terbuka rapat sejajar dengan ulu hati. Sementara kaki kanannya diangkat. Dengan bertumpu pada kaki kirinya, putut Talangpati siap untuk melontarkan puncak ilmunya.

Sejenak Ki Gede tertegun melihat sikap lawannya itu. Dalam pandangan Ki Gede, tampak bilah pedang di tangan kanan lawannya itu perlahan-lahan mengepulkan asap keputih-putihan. Sejenak kemudian bilah senjata lawannya itupun bagaikan membara.

Ki Gede segera maklum bahwa lawannya itu tentu telah mengetrapkan ilmunya yang berlandaskan pada kekuatan api, sebagai ciri khas Perguruan Sapta Dhahana.

Menyadari lawan sudah sampai pada puncak ilmunya, Ki Gede segera mundur dua langkah ke belakang. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Disalurkan segala tenaganya yang dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan tangan kirinya yang memegang landeyan tombak di depan dada, sedangkan tangan kanannya yang memegang tangkai tombak tepat di tengah-tengahnya itu menjulur ke depan lurus-lurus dengan ujung tombak mengarah dada lawan. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik dari perguruan gunung Kidul yang merupakan cabang dari perguruan Pandan Alas.

Sejenak kemudian didahului oleh teriakan menggelegar, kedua orang itu telah meloncat ke depan sambil mengayunkan senjatanya masing-masing.

Yang terdengar kemudian adalah sebuah benturan yang dahsyat. Udara di seputar lingkaran pertempuran itupun telah tergetar dengan hebatnya. Sebatang pohon yang tumbuh tak jauh dari lingkaran pertempuran itu daun-daunnya bagaikan diguncang badai dan berguguran di atas tanah. Sementara debu telah berhamburan ke udara bercampur dengan daun-daun kering.

Orang-orang yang sedang bertempur di seputar arena pertempuran itu pun menjadi gelisah. Mereka belum dapat

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

73

mengetahui dengan pasti apa yang terjadi setelah kedua orang itu membenturkan puncak ilmu masing-masing. Debu masih berhamburan di udara sehingga mengganggu pandangan mata.

Ketika debu yang berhamburan itu sudah mulai mereda, orang-orang di seputar arena itu segera melihat seseorang yang bersenjatakan tombak pendek sedang berdiri dengan kedua kaki renggang di atas tanah. Sementara beberapa langkah di hadapannya tampak seseorang yang tergeletak di atas tanah diam tak bergerak.

“Hidup Ki Gede Matesih..!”

“Hidup Ki Gede..!”

“Jayalah pasukan pengawal Matesih!”

“Hidup Mataram..!”

Segera saja terdengar teriakan membahana memenuhi udara di padepokan Sapta Dhahana itu.

Dalam pada itu Ki Wiyaga dan Ki Kamituwa yang sedang bertempur tidak jauh dari tempat Ki Gede telah menarik nafas dalam-dalam disertai dengan ungkapan rasa syukur bahwa Yang Maha Agung telah berkenan melindungi pemimpin mereka.

Ternyata kematian putut Talangpati itu telah menyurutkan nyali para cantrik padepokan Sapta Dhahana. Berita tentang tewasnya guru mereka saja masih menimbulkan tanda tanya besar dalam benak mereka. Sekarang mereka sudah tidak dapat mengingkari atas kematian salah satu pemimpin mereka, putut Talangpati.

Tiba-tiba Ki Gede yang masih berdiri termangu-mangu di tempatnya itu telah mengangkat tombaknya tinggi-tinggi sambil berteriak lantang, “Cantrik-cantrik padepokan Sapta Dhahana! Menyerahlah! Para pemimpin kalian telah terbunuh! Tidak ada gunanya lagi meneruskan pertempuran ini! Lebih baik kalian menyerah!”

Teriakan Ki Gede itu telah disambut dengan sorak-sorai yang membahana dari para pengawal Matesih. Sedangkan para cantrik

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

74

padepokan Sapta Dhahana tidak henti-hentinya mengumpat-umpat karena mereka merasa telah kehilangan para pemimpin mereka dan tidak tahu harus berbuat apa.

Namun di tengah-tengah suasana yang kisruh dan membingungkan itu, tiba-tiba terdengar suara suitan panjang membelah udara tiga kali berturut-turut. Sejenak kemudian para cantrik itu pun segera bertempur dengan menghentakkan segenap kemampuan mereka sambil berteriak-teriak bagaikan para pemburu yang sedang mengejar buruannya. Mereka bertempur bagaikan banteng ketaton dan seakan-akan sudah tidak memperdulikan keselamatan mereka sendiri.

Tentu saja perubahan sikap bertempur para cantrik itu telah membuat pasukan pengawal Matesih terdesak mundur. Para pengawal berusaha menyesuaikan diri dengan cara bertempur lawan yang terlihat semakin kasar dan liar.

Ketika para pengawal Matesih masih sedang berusaha mengatasi cara bertempur lawannya yang kasar dan liar itu, tiba-tiba sekali lagi terdengar suitan panjang tiga kali beturut-turut membelah angkasa.

Begitu suara suitan itu hilang dari pendengaran, tiba-tiba para cantrik yang sedang bertempur itu telah melakukan gerakan yang aneh. Mereka bertempur sambil berlari-larian dalam medan pertempuran itu. Mereka menyerang siapa saja yang berada di dekat mereka. Gerakan cantrik yang berseliweran dan simpang siur kesana kemari itu telah membuat para pemimpin kelompok pengawal Matesih memerintahkan kelompoknya untuk mundur sejenak sambil mempelajari keadaan.

Ternyata gerakan para cantrik itu hanyalah sebagai siasat untuk mengacaukan dan mengelabuhi perhatian lawan. Di saat lawan melangkah surut itulah, kembali udara di atas padepokan Sapta Dhahana itu digetarkan oleh suara suitan panjang dua kali berturut-turut. Bersamaan dengan hilangnya suara suitan itu, tiba-tiba saja pasukan cantrik padepokan Sapta Dhahana dengan cepat menarik diri. Mereka berlari-larian meninggalkan halaman padepokan yang luas yang telah dijadikan sebagai medan pertempuran itu. Dengan

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

75

cepat mereka memasuki bangunan induk melalui pintu pringgitan. Sebagian lagi segera menyusuri lorong-lorong samping kanan dan kiri bangunan induk lewat pintu seketeng. Dan sebagian lainnya berlarian melalui halaman samping kiri dan kanan.

Para pengawal yang menyadari bahwa lawan ternyata telah meninggalkan medan segera berusaha untuk mengejar. Selangkah dua langkah memang ada sebagian yang berhasil menghentikan lawan-lawan mereka. Namun sebagian besar para cantrik itu telah berhasil lolos dan hilang di balik bangunan induk padepokan.

“Jangan dikejar!” teriak Ki Gede memperingatkan para pengawal yang dengan penuh semangat telah naik ke pendapa. Agaknya mereka bermaksud memasuki bangunan induk untuk mencari lawan-lawan yang telah melarikan diri itu.

“Jangan dikejar!” kembali Ki Gede berteriak untuk mencegah pasukannya melakukan pengejaran, “Akan sangat berbahaya mengejar mereka di tempat yang sangat mereka kenal sedang kalian tidak mengenalnya. Mereka dapat bersembunyi di sudut-sudut yang tak terlihat atau lorong-lorong sempit serta di balik pintu-pintu yang tertutup rapat. Begitu kalian memasukinya atau membukanya, mereka akan menyergap tanpa kalian dapat berbuat banyak.”

Para pengawal yang sudah menaiki tlundak pendapa itu segera mengurungkan niat mereka. Ketika Ki Gede kemudian memerintahkan para pengawal itu untuk berkumpul, mereka pun kemudian segera berkumpul untuk menghitung sisa kekuatan mereka.

Berkata Ki Gede kemudian setelah para pengawal berkumpul berdasarkan kelompok-kelompok mereka, “Hitung kekuatan kita yang tersisa sebelum mengadakan pembersihan di seluruh sudut padepokan ini. Kita harus bergerak bersama dan terencana sehingga tidak mudah untuk dijebak,” Ki Gede berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Sebagian pengawal menolong yang terluka atau mungkin yang telah gugur. Bawa mereka menepi dan beri pertolongan sebaik mungkin.”

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

76

Beberapa pengawal segera bergerak dengan sigap. Sebagian pengawal yang telah dibekali dengan ilmu pengobatan segera memberi pertolongan kepada kawan-kawan mereka yang terluka. Demikian juga para cantrik yang terluka dan masih memungkinkan untuk ditolong segera mereka rawat. Sedangkan yang telah gugur telah dibawa menepi dan untuk sementara ditempatkan di dalam gardu depan.

Dalam pada itu ternyata masih ada satu lingkaran pertempuran yang masih berlangsung di sisi barat halaman padepokan Sapta Dhahana. Dari kejauhan Ki Gede dan para pengawalnya itu masih melihat debu berhamburan serta sesekali mendengar teriakan dan umpatan.

“Siapakah mereka Ki Gede?” bertanya Ki Kamituwa kemudian sambil melangkah mendekat ke arah pemimpinnya itu.

Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil mengerahkan ketajaman penglihatannya. Namun sebelum Ki Gede mampu mengenali mereka yang sedang bertempur itu, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh suara langkah yang tergesa-gesa dari arah regol depan.

Ketika Ki Gede dan para pengawal kemudian berpaling ke arah regol, tampak seseorang muncul dari balik dinding sebelah kiri padepokan. Dengan langkah lebar orang itu pun kemudian memasuki regol dan berjalan menuju ke tempat Ki Gede dan para pengawal berkumpul.

Bersambung ke

jilid 09

--------------00O00--------------

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

77

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

78

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH · Aku bersedia memaafkanmu namun dengan satu syarat, engkau dengan sukarela harus menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam perigi.” Cantrik Gatra Bumi

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH – JILID 8

79