sejengkal tanah setetes darah jilid 11 · sejengkal tanah setetes darah jilid 11 iv cerita ini...

88
SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 i

Upload: others

Post on 25-Oct-2020

58 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

i

Page 2: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

ii

Page 3: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

iii

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

JILID 12

OLEH

PanemBahan Mandaraka

Gambar sampul & Gambar dalam

Ki Adi Suta

Tahun 2018 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

Page 4: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

iv

Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa Sekar keluwih, Juli 2018

Terima kasih atas dukungan:

Istri dan anak-anak tercinta

Serta handai taulan semua

Page 5: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

1

Melihat raut wajah ayahnya menjadi sedemikian tegang, Ratri segera menceritakan kejadian di halaman belakang tadi pagi, tanpa dikurangi maupun ditambahi.

“Kakang Gatra Bumi lah yang telah berhasil melumpuhkan Ki Jagabaya,” berkata Ratri mengakhiri ceritanya, “Aku mengatas namakan ayah telah mengucapkan terima kasih atas bantuan Kakang Gatra Bumi sehingga usaha penculikan itu dapat digagalkan.”

Ki Gede Matesih menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menghela nafas panjang mendengar cerita anak perempuan satu-satunya itu. Untunglah Yang Maha Agung masih melindungi keluarganya melalui lantaran cantrik Gatra Bumi. Jika saja rencana Ki Jagabaya itu bisa terwujud, tentu perlawanan pasukan pengawal Matesih di Gunung Tidar pagi tadi dengan mudahnya akan dapat dilumpuhkan.

“Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat, jika Ki Jagabaya kemudian membawa Ratri ke Gunung Tidar sebagai sandera,” berkata Ki Gede kemudian dalam hati, “Aku benar-benar akan dihadapkan pada dua pilihan yang sangat sulit.”

Page 6: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

2

“Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian setelah sejenak mereka terdiam, “Entah sudah keberapa kalinya aku harus mengucapkan terima kasih atas bantuan Ki Ajar dan cantrik Gatra Bumi. Aku atas nama seluruh kawula Perdikan Matesih merasa berhutang budi kepada Ki Ajar berdua. Jika Ki Ajar berkenan, tinggallah di Perdikan Matesih. Akan kita bangunkan sebuah padepokan untuk Ki Ajar berdua. Sehingga ke depan, Ki Ajar dapat menjadikan padepokan itu sebagai sarana untuk menggulawentah para murid-murid Ki Ajar utamanya para pemuda yang berasal dari Perdikan Matesih.”

“Ah,” desah Ki Ajar sambil beringsut setapak ke belakang, “Itu aku kira terlalu berlebihan Ki Gede. Apa yang kami lakukan adalah sebagai kewajiban kepada sesama untuk saling membantu. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Kanjeng Sunan.”

“Ayah,” tiba-tiba Ratri menyela, “Kejadian tadi pagi telah memberikan aku sebuah pengalaman. Aku tidak boleh bergantung kepada pertolongan seseorang walaupun semua pertolongan itu sumbernya dari Yang Maha Agung semata, namun manusia diwajibkan untuk berusaha.”

Ki Gede mengerutkan keningnya mendengar ucapan putrinya itu. Sambil berpaling ke arah putrinya, ditatapnya tajam-tajam sepasang mata anak perempuan kesayangannya itu. Sementara Ki Ajar yang sudah dapat menduga arah pembicaraan Ratri telah menarik nafas dalam-dalam.

“Apa maksudmu Ratri?” bertanya Ki Gede kemudian dengan suara sedikit ragu-ragu.

“Ayah,” berkata Ratri selanjutnya sambil menggeser duduknya merapat mendekati Ki Gede, “Aku telah memutuskan untuk keluar dari kelemahan seorang perempuan. Aku telah memutuskan untuk mempelajari olah kanuragan sebagaimana kebanyakan laki-laki melakukannya.”

“He?” seru Ki Gede tertahan. Kerut merut di dahinya pun semakin dalam.

Page 7: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

3

“Apa salahnya ayah?” sergah Ratri sebelum ayahnya menanggapi ucapannya, “Aku sudah dewasa dan aku sudah berhak menentukan jalan hidupku. Namun aku tetap mohon doa restu dari ayah agar apa yang aku cita-citakan ini terwujud dan benar-benar akan bermanfaat bagi diriku sendiri dan bagi bebrayan agung.”

Untuk beberapa saat Ki Gede justru diam membeku. Berbagai pertimbangan sedang hilir mudik dalam benaknya.

Namun akhirnya Ki Gede menyadari, bahwa putri satu-satunya itu mempunyai watak yang sangat keras. Jika sudah mempunyai keinginan, akan sulit bagi siapapun untuk mencegahnya.

“Baiklah Ratri,” berkata Ki Gede kemudian, “Aku akan meluangkan waktuku untuk mengajarimu selangkah dua langkah ilmu olah kanuragan ini. Namun engkau harus menyadari, ilmu olah kanuragan ini memang pada awalnya diciptakan untuk kaum laki-laki saja. Namun dalam perkembangannya ternyata ada beberapa perempuan yang telah mempelajarinya. Tentu saja semua itu harus mengalami penyesuaian dengan kodrat perempuan yang memang berbeda dengan kaum laki-laki.”

Sejenak Ratri memandang ke arah Ki Ajar untuk meminta pertimbangan. Namun agaknya guru cantrik Gatra Bumi itu telah menyerahkan persoalan itu sepenuhnya kepada gadis yang keras hati itu.

“Ayah,” akhirnya Ratri mengambil sebuah keputusan, “Jika ayah memang akan mengajari aku ilmu olah kanuragan, aku tidak yakin jika ayah akan dapat meluangkan waktu untuk itu. Ayah terlalu sibuk untuk mengurusi Tanah Perdikan ini,” Ratri berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Disamping itu, sebagaimana yang telah ayah sampaikan tadi bahwa pada dasarnya ilmu olah kanuragan itu diciptakan untuk kaum laki-laki. Tentu ayah akan mengalami sedikit kendala jika mengajari aku secara langsung. Bukankah ayah belum mempunyai pengalaman untuk mengajarkan ilmu olah kanuragan kepada perempuan?”

Page 8: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

4

Ki Gede tidak menjawab hanya menarik nafas dalam-dalam sambil menganggukkan kepalanya.

“Nah, ayah,” berkata Ratri selanjutnya, “Aku mendengar ada beberapa perempuan yang tinggal di Menoreh mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan yang mumpuni, salah satunya adalah Nyi Sekar Mirah istri Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Istri Ki Rangga Agung Sedayu?” ulang Ki Gede terheran-heran, “Aku tidak mengira jika istri Ki Rangga ternyata juga mempelajari ilmu olah kanuragan.”

“Ya, Ki Gede,” sahut Ki Ajar dengan serta merta, “Nyi Sekar Mirah, istri Ki Rangga itu adalah murid Ki Sumangkar, saudara seperguruan Ki Patih Mantahun dari Jipang Panolan.”

“He?!” kali ini Ki Gede benar-benar terkejut. Nama Patih Mantahun sangat disegani pada masa Kerajaan Demak lama.

“Jadi, Nyi Sekar Mirah itu salah satu murid dari jalur Perguruan Kedung Jati yang terkenal itu?” bertanya Ki Gede selanjutnya.

“Ya, Ki Gede,” jawab Ki Ajar, “Bahkan pertanda khusus Perguruan Kedung Jati pun telah diwariskan kepadanya, sebuah tongkat baja putih yang berkepala tengkorak berwarna kekuning-kuningan. Sebuah senjata yang mengerikan.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata perguruan-perguruan yang terkenal di masa lalu itu sampai kini masih ada penerusnya. Sementara Ratri yang belum mengetahui seluk beluk tentang Nyi Sekar Mirah menjadi semakin bersemangat untuk menjadi muridnya.

Berkata Ratri kemudian, “Ayah, jika ayah berkenan aku ingin berguru kepada Nyi Sekar Mirah.”

Untuk beberapa saat Ki Gede termenung. Berbagai pertimbangan bergolak dalam dadanya. Ki Gede sendiri adalah anak murid dari jalur Gunung Kidul, Ki Demang Sarayuda. Namun

Page 9: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

5

sepeninggal Ki Demang Sarayuda, perkembangan Perguruan Gunung Kidul yang merupakan cabang dari Perguruan Pandan Alas itu telah menyusut dengan sedemikian pesatnya.

“Ratri,” berkata Ki Gede kemudian dengan sareh, “Memang menjadi idaman untuk menuntut ilmu kepada Nyi Sekar Mirah. Namun aku tidak yakin jika Nyi Sekar Mirah akan bersedia tinggal di Matesih ini hanya khusus untuk mengajarimu.”

“Bukan begitu ayah,” sela Ratri cepat.

Kembali kerut merut tampak di wajah Ki Gede. Bertanya Ki Gede kemudian, “Jadi apa rencanamu, Ratri?”

“Aku yang akan pergi ke Menoreh, ayah,” jawab Ratri dengan suara yang tegas dan lugas.

Jika saja ada petir yang menyambar sejengkal di atas kepala Ki Gede, Ki Gede tentu tidak akan seterkejut itu. Tidak pernah terbayangkan olehnya jika anak perempuan satu-satunya itu benar-benar akan pergi meninggalkan Matesih.

“Benarkah engkau akan pergi, nduk?” bertanya Ki Gede kemudian dengan suara yang hampir tak terdengar. Terlihat betapa wajah itu memendam kesedihan yang dalam.

Untuk beberapa saat Ratri justru bagaikan membeku mendapat pertanyaan ayahnya. Tanpa terasa di kedua belah sudut matanya yang indah itu telah menyembul setitik air yang bening.

Namun gadis Matesih itu segera mampu menguasai hatinya dan menyingkirkan segenap keragu-raguan yang sempat menyelinap di sudut hatinya. Maka jawabnya kemudian sambil sibuk menyeka air mata yang belum sempat terjatuh di kedua pipinya yang ranum merona itu, “Ayah, aku pergi ke Menoreh bukan untuk selamanya. Aku hanya pergi untuk menggapai cita-citaku. Jika ayah rindu kepadaku, ayah dapat mengunjungiku di Menoreh,” gadis itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Bukankah ayah belum sempat mengucapkan terima kasih atas

Page 10: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

6

pertolongan Ki Rangga dan kawan-kawannya? Nah, aku kira sudah sepantasnya jika sesekali ayah berkunjung ke Menoreh.”

Kata-kata putri satu-satunya itu bagaikan banyu sewindu yang mengguyur sepetak tanah gersang di sudut hatinya. Tampak wajah Ki Gede menjadi cerah lagi, secerah harapan Perdikan Matesih yang telah terbebas dari pengaruh orang-orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen.

“Baiklah Ratri,” berkata Ki Gede kemudian setelah orang tua itu terlebih dahulu memenuhi rongga dadanya dengan udara malam yang mulai dingin, “Aku mengijinkan engkau untuk pergi menuntut ilmu ke Menoreh. Namun satu pesanku, jagalah dirimu, baik tata krama, trapsila dan unggah ungguh sebagai perempuan. Terlebih engkau masih harus memohon kepada Nyi Sekar Mirah untuk berkenan menurunkan ilmu kepadamu. Selebihnya, jika karena suatu alasan tertentu sehingga Nyi Sekar Mirah berkeberatan menerimamu sebagai murid, engkau harus menyadari semuanya itu dan menerimanya dengan lapang dada.”

Sejenak kerut merut tampak di dahi gadis cantik yang beranjak dewasa itu. Sepasang alis bak wulan tumanggal itu pun hampir terpaut menjadi satu. Sementara sepasang mata yang biasanya berbinar penuh sinar kehidupan itu tampak sedikit meredup seiring dengan bibirnya yang memerah delima itu terkatup rapat-rapat.

Melihat perubahan raut wajah puteri Matesih itu, Ki Ajar Mintaraga yang duduk di hadapannya segera bergumam perlahan. Ketika ayah dan anak itu kemudian berpaling ke arahnya, dengan segera Ki Ajar berkata, “Maaf Ki Gede, memang semua keputusan itu kembali berpulang kepada Nyi Sekar Mirah. Ada beberapa pertimbangan sebelum seorang guru memutuskan untuk mengambil seorang murid. Tanggung jawab seorang guru sangatlah berat. Jadi, jika seseorang telah mengambil keputusan untuk mengangkat seorang murid, dia harus bertanggung jawab sepenuhnya atas tingkah laku muridnya itu kelak di kemudian hari. Jika terjadi penyimpangan, tidak segan-segan gurunya akan

Page 11: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

7

memperingatkan, bahkan kadang harus melenyapkan sekalipun jika dipandang keberadaan muridnya dengan ilmu yang dikuasainya itu membahayakan bebrayan agung.”

Hampir bersamaan ayah dan anak itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ki Gede yang merupakan murid Perguruan Pandan Alas dari jalur Gunung Kidul itu pun maklum, hubungan seorang guru dan muridnya bagaikan orang tua dan anaknya, bahkan bisa lebih dari itu karena ada pertautan ilmu yang turun temurun.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing telah tenggelam dalam lamunan yang hilir mudik dalam benak mereka.

“Jadi, bagaimana jika aku sudah jauh-jauh berjalan ke Menoreh tetapi ternyata Nyi Sekar Mirah berkeberatan untuk mengangkatku sebagai murid?” tiba-tiba keheningan itu telah dipecahkan oleh suara bening Ratri.

Segera saja Ki Gede berpaling ke arah Ki Ajar.

Melihat sinar mata Ki Gede yang penuh dengan tanda tanya itu, Ki Ajar pun segera maklum akan maksud Kepala Perdikan Matesih itu. Maka katanya kemudian, “Ki Gede, aku akan berusaha meyakinkan Nyi Sekar Mirah akan niat baik dari Nimas Ratri ini. Jika memang Nyi Sekar Mirah masih menyimpan keraguan untuk mengangkat Nimas Ratri sebagai murid, aku akan meminta pertolongan kepada Kanjeng Sunan agar bersedia membantu membujuk Nyi Sekar Mirah.”

“Ah,” desah Ki Gede sambil menggeser duduknya setapak kesamping. Katanya kemudian, “Aku tidak pernah berpikir jika permasalahan Ratri ini akan sampai di hadapan Kanjeng Sunan. Biarlah aku sendiri yang akan mengantar Ratri ke Menoreh sekaligus sebagai tanda ungkapan terima kasih mewakili seluruh kawula Matesih atas bantuan Ki Rangga dan kawan kawannya selama ini.”

Mendengar ucapan ayahnya itu, seketika Ratri terlonjak gembira. Sambil memeluk lengan ayahnya, gadis cantik yang beranjak dewasa itu tak henti-hentinya menguncang-guncang

Page 12: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

8

lengan ayahnya sambil berseru, “Terima kasih, ayah! Terima kasih, ayah...!”

Ki Ajar yang melihat tingkah gadis itu menjadi tersenyum. Dalam hati Ki Ajar pun maklum, jika Ki Gede sendiri yang mengantar Ratri ke Menoreh, tentu tanggapan Nyi Sekar Mirah akan lain. Setidaknya kehadiran kepala tanah Perdikan Matesih itu akan menjadi petimbangan tersendiri bagi keluarga Ki Rangga Agung Sedayu.

“Sudahlah Ratri,” berkata ayahnya kemudian sambil melepaskan lengannya dari pelukan anak perempuan satu-satunya itu, “Hari sudah cukup malam dan agaknya kita telah sepakat untuk pergi ke Menoreh. Namun perjalanan ke Menoreh cukup jauh dan memerlukan perhitungan yang cukup agar kita tidak mengalami suatu hal apapun dalam perjalanan nanti.”

“Maksud ayah?” sela Ratri dengan serta merta.

Sejenak Ki Gede menarik nafas panjang. Jawabnya kemudian, “Kita perlu mempersiapkan rencana perjalanan itu dengan sebaik-baiknya. Aku tidak bisa dengan serta merta meninggalkan tanah Perdikan yang baru saja mengalami goncangan ini. Diperlukan beberapa hari sebelum kita benar-benar siap untuk melakukan sebuah perjalanan jauh.”

Bagaikan sebuah dlupak yang kehabisan minyak, tiba-tiba saja raut wajah cantik Ratri tampak meredup seiring dengan sinar matanya yang mengandung seribu tanya ke arah ayahnya.

Kembali Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya kemudian dengan suara sesareh mungkin, “Nduk, ayahmu ini memikul tanggung jawab yang tidak ringan. Seluruh kawula di Matesih bergantung harapan kepada ayahmu. Selepas cengkeraman pengaruh orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu, aku harus menata kembali tata kehidupan di Matesih. Tidak sedikit para kawula dan perangkat tanah Perdikan yang terpengaruh dengan janji-janji kosong mereka. Semua itu memerlukan waktu yang tidak sebentar. Namun aku berjanji, secepatnya aku akan

Page 13: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

9

memulihkan keadaan Perdikan ini sehingga dapat mengantarmu ke Menoreh dengan tenang.”

Sejenak kepala Ratri tampak menunduk dalam-dalam. Kedua jari jemari tangannya yang lentik tampak memainkan ujung bajunya. Sementara kerut merut di keningnya semakin dalam.

Ki Ajar yang melihat gadis itu tidak menjawab dan hanya tertunduk dalam-dalam segera menyahut, “Nimas Ratri, menuntut sebuah ilmu diperlukan sebuah kesabaran, dan kesabaran itu sudah dimulai sejak Sekarang.”

“Ki Ajar benar,” sahut Ki Gede dengan serta merta, “Engkau harus belajar bersabar mulai sekarang, Ratri. Aku sebagai ayahmu sudah memberi ijin dan bahkan telah berjanji untuk mengantarmu sendiri ke Menoreh. Jadikanlah semua itu sebagai pegangan untuk mengapai cita-citamu. Jangan nggege mongso dan mengharap yang lebih. Apa yang sudah tergenggan di tanganmu sekarang ini pun jika Yang Maha Agung tidak mengijinkan, akan terlepas juga.”

Tampak kepala Ratri terangguk-angguk. Memang masih tersisa sebuah kekecewaan terhadap ayahnya. Dia berharap keberangkatan ke Menoreh itu dapat terlaksana secepat mungkin, bahkan kalau perlu besuk pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat ke Menoreh.

“Aku tidak boleh terlalu memaksakan kehendakku kepada ayah,” berkata Ratri kemudian dalam hati sambil tetap menundukkan kepalanya, “Aku sudah mendapat ijin dan bahkan ayah telah berjanji untuk mengantarkan aku sendiri ke Menoreh. Itu sudah lebih dari cukup. Aku harus memberi kesempatan ayah untuk membenahi tanah Perdikan ini terlebuih dahulu.”

Berpikir demikian, Ratri pun kemudian menengadahkan wajahnya sambil tersenyum kecil dan berkata, “Maafkan aku ayah. Terdorong semangat yang membara dalam hatiku untuk menuntut ilmu, aku telah membuat ayah menjadi resah.”

“Sudahlah Ratri,” sahut Ki Gede cepat sambil tangan kirinya menyentuh dagu anaknya, “Kita sudah sepakat. Sesegera mungkin

Page 14: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

10

ayah akan membenahi tanah Perdikan ini. Dalam dua tiga hari aku harap kita sudah siap untuk berangkat ke Menoreh.”

Mendengar janji ayahnya, wajah Ratri pun menjadi berbinar-binar kembali. Dua tiga hari tidak akan lama walaupun pekerjaan menunggu itu akan sangat membosankan. Namun dia yakin, hari-hari yang tunggu itu akan segera tiba.

“Ada satu hal lagi yang perlu engkau perhatikan Ratri,” lanjut Ki Gede kemudian.

“Apakah itu, ayah?”

“Perjalanan ke Menoreh cukup jauh, kita akan berkuda.”

“Maksud ayah?”

Ki Gede menarik nafas dalam terlebih dahulu. Jawabnya kemudian, “Terakhir aku melihat engkau belajar naik kuda ketika ibumu masih ada.”

Sejenak Ratri menundukkan kepalanya dalam-dalam. Teringat akan ibunya, hati Ratri pun bagaikan teriris sembilu.

“Bagaimana, Ratri?” desak ayahnya, “Apakah engkau masih berani naik kuda?”

Ratri tersenyum sambi mengangguk. Jawabnya kemudian, “Sebelum berangkat ke Menoreh, aku akan berlatih berkuda lagi ayah. Sekedar menyesuaikan diri setelah lama tidak berkuda.”

“Dan sebaiknya Nimas Ratri berpakaian sebagaimana laki-laki,” Ki Ajar pun ikut memberikan pendapatnya, “Dengan demikian Nimas Ratri akan lebih leluasa mengendalikan kudanya dan sekaligus mengurangi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diingankan sepanjang perjalanan.”

Hampir bersamaan ayah beranak itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Segala sesuatunya bisa saja terjadi dan lebih baik mereka berusaha menghilangkan kemungkinan-kemungkinan buruk itu sekecil apapun.

Page 15: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

11

“Nah,” berkata Ki Gede kemudian, “Aku kira sudah cukup permbicaraan kita malam ini. Malam sudah cukup larut, sebaiknya kita beristirahat untuk mempersiapkan kerja esok hari yang masih banyak menunggu.”

“Baik Ki Gede,” sahut Ki Ajar kemudian, “Pada kesempatan ini, aku juga ingin mohon pamit. Dalam waktu dekat, aku dan muridku akan segera kembali ke Gunung Muria untuk menghadap Kanjeng Sunan.”

Terkejut ayah beranak itu. Untuk sejenak Ki Gede dan Ratri justru telah terdiam. Mereka berdua tidak menyangka jika Ki Ajar dan muridnya akan secepat itu meninggalkan Matesih.

“Mengapa?” tiba-tiba saja sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari bibir indah putri Matesih itu.

Ki Gede terkejut mendengar pertanyaan serta merta dari putrinya itu. Tanpa sadar dia segera menggamit lengan putrinya.

Ratri yang segera menyadari dirinya itu segera menundukkan wajahnya yang memerah jambu. Ada sedikit penyesalan telah melontarkan sebuah pertanyaan yang dapat menimbulkan berbagai tafsiran atas isi hatinya yang sebenarnya.

“Maaf Ki Ajar,” berkata Ki Gede kemudian masih dalam keadaan tidak percaya, “Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama ke Menoreh? Akan sangat menyenangkan mempunyai kawan seperjalanan dengan Ki Ajar dan cantrik Gatra Bumi.”

Ki Ajar yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu telah tersenyum sambil menggeleng lemah, “Terima kasih atas tawaran Ki Gede itu. Namun aku mendapat pesan dari Kanjeng Sunan untuk segera kembali ke Gunung Muria selepas tugasku telah selesai di Matesih ini. Jika Yang Maha Agung mengijinkan, kita akan bertemu kembali nanti di Menoreh.”

Kata-kata terakhir Ki Ajar itu terdengar di telinga Ratri bagaikan sebuah kidung indah asmarandana. Entah mengapa,

Page 16: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

12

ketika tadi dia mendengar Ki Ajar dan muridnya akan meninggalkan Matesih, hatinya terasa pedih bagaikan teriris sembilu. Namun kata-kata terakhir Ki Ajar itu telah menumbuhkan harapan baru di sudut hatinya.

“Apa peduliku!” tiba-tiba sudut hatinya yang lain menyelethuk, “Aku tidak ada sangkut pautnya dengan cantrik itu. Mau pergi ke mana, mau berbuat apa, tidak ada sangkut pautnya denganku.”

Namun di sudut hatinya yang paling dalam telah membuat sebuah pengakuan yang tak terelakkan, “Alangkah senangnya melakukan perjalanan bersama kakang Gatra Bumi. Anak muda yang aneh, pendiam namun mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan yang tinggi. Terbukti Ki Jagabaya saja dapat dilumpuhkan.”

“Ah,” tiba-tiba kedua pipinya merona merah. Gadis yang beranjak dewasa itu menjadi malu sendiri dengan pengakuan jujur di dalam lubuk hatinya.

“Baiklah Ki Ajar” berkata Ki Gede kemudian, “Jika memang Ki Ajar mempunyai tugas yang tidak dapat ditunda lagi, kami seisi tanah Perdikan Matesih hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terhingga teriring doa semoga Ki Ajar berdua sampai di Gunung Muria dengan selamat.”

“Terima kasih Ki Gede,” jawab Ki Ajar sambil mengangguk dalam-dalam dan bangkit dari duduknya. Ki Gede dan Ratri pun kemudian ikut berdiri.

Kemudian sambil melangkah bertelekan pada tongkatnya, Ki Ajar pun kemudian berkata, “Jika Ki Gede memerlukan kawan seperjalanan ke Menoreh, aku kira ketiga orang tua yang kini sedang berada di banjar padukuhan induk itu akan dapat menjadi kawan seperjalanan yang sangat menyenangkan.”

Mendengar kata-kata Ki Ajar itu, Ki Gede segera teringat kepada ketiga orang-orang tua yang sekarang sedang bermalam di banjar padukuhan induk.

Page 17: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

13

“Dalam dua tiga hari ini aku yakin mereka sudah sehat kembali dan siap kembali ke Menoreh,” berkata Ki Ajar selanjutnya sambil terus berjalan ke arah pintu ruang dalam yang menghubungkan dengan ruang pringgitan, “Mereka tentu akan sangat senang mempunyai kawan seperjalanan dengan Ki Gede dan Nimas Ratri.”

“Semoga demikian Ki Ajar,” sahut Ki Gede sambil mengiringi langkah Ki Ajar. Sedang Ratri berjalan dengan kepala tunduk selangkah di belakang ayahnya.

“Besuk pagi-pagi sekali, aku akan mengirim utusan ke banjar padukuhan induk,” berkata Ki Gede kemudian ketika mereka telah berdiri di dekat pintu pringgitan, “Biarlah orang-orang tua itu dapat beristirahat dengan tenang disini. Aku akan menyuruh perempuan-perempuan yang berada di dapur untuk memasakkan klangenan mereka, nasi putih dengan sayur keluwih dan lauk dendeng sapi serta sambal tomat yang pedas.”

“Ah,” Ki Ajar tertawa pendek. Katanya kemudian, “Semoga saja mereka semakin cepat menemukan kekuatannya kembali dengan obat khusus dari Ki Gede itu.”

Ki Gede ikut tertawa. Sahutnya kemudian, “Mereka sendirilah yang mengatakan obat khusus itu. Aku hanya berusaha menyediakan saja.”

“Nah,” berkata Ki Gede kemudian sambil membukakan pintu pringgitan, “Kapan rencana Ki Ajar berdua akan kembali ke Gunung Muria?”

“Nanti pada saat wayah pasar temawon,” sahut Ki Ajar cepat sambil memegangi daun pintu yang dibukakan oleh Ki Gede, ”Aku berharap masih dapat berjumpa dengan ketiga orang tua itu sebelum meninggalkan Matesih.”

“Sekalian ikut mencicipi obat khusus yang mungkin dapat membuat Ki Ajar semakit bugar,” sela Ki Gede sambil tersenyum.

Page 18: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

14

“Ah,” desah Ki Ajar sambil tertawa. Kemudian setelah menyalami Ki Gede dan menganggukkan kepala dalam-dalam ke arah Ratri, Ki Ajar pun kemudian berpamitan, “Aku mohon diri. Semoga apa yang telah kita sepakati bersama tadi segera dapat terujud.”

“Semoga Ki,” jawab Ki Gede. Sedangkan Ratri hanya tersenyum simpul sambil membalas anggukan kepala Ki Ajar.

Demikianlah akhirnya Ki Ajar segera meninggalkan rumah induk Ki Gede dan berjalan tertatih-tatih bertelekan pada tongkatnya menuju ke gandhok kiri.

Sepeningal Ki Ajar, Ki Gede segera melangkah lebar menuju ke ruang dalam sambil berkata, “Ratri, beristirahatlah. Engkau sudah cukup lelah hari ini, demikian juga aku. Masuklah ke bilikmu untuk beristirahat.”

Sejenak Ratri tertegun memandangi langkah ayahnya yang tergesa gesa menuju ke ruang dalam. Berbagai dugaan timbul dalam benaknya.

“Ayah akan pergi ke mana lagi?” tanpa sadar sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari bibirnya.

Ki Gede yang sudah membuka pintu ruang dalam itu hanya sekilas berpaling sambil menjawab, “Aku akan menengok bilikku sebentar. Setelah itu aku masih ada perlu sedikit dengan Ki Kamituwa. Beristirahatlah, nduk. Masih banyak permasalahan yang harus aku selesaikan di sisa malam ini.”

Ratri tertegun. Segera saja dia teringat Ki Kamituwa yang menunggu di luar pendapa. Namun ketika Ratri kemudian mencoba mengintip dari sela-sela pintu pringgitan, pendapa itu tampak kosong.

“Mungkin Ki Kamituwa pergi ke gardu depan sekedar mencari kawan berbincang,” berkata Ratri dalam hati kemudian sambil melangkah, “Apapun yang akan dikerjakan ayah dan Ki Kamituwa,

Page 19: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

15

bukan urusanku. Yang penting ayah sudah mengijinkan aku pergi ke Menoreh.”

Berpikir sampai disitu, tampak bibir memerah delima itu tersenyum puas. Sejenak kemudian Ratri pun segera melangkahkan kaki menuju ke biliknya sendiri.

“Di mana Mbok Pariyem?” tiba-tiba sebuah pertanyaan menyelinap dalam benaknya ketika dia sudah berada di dalam biliknya.

“Ah, sudahlah,” pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Mbok Pariyem pasti sudah terlampau lelah dan sekarang sedang beristirahat di dalam biliknya. Besuk pagi saja aku akan menemuinya untuk memberi tahu kabar gembira ini.”

Segera saja dibaringkan tubuhnya yang terasa penat. Beberapa saat tadi dia harus bersembunyi di dalam geledek bambu di bilik Ki Ajar. Sekarang dia baru menyadari betapa seluruh persendiannya terasa kaku dan nyeri.

Demikianlah, setelah puas berangan-angan tentang masa depan yang akan diraihnya, Ratri pun kemudian segera terbuai dalam alam mimpi yang indah.

Dalam pada itu, Ki Gede yang telah memasuki biliknya, ternyata telah keluar kembali dengan membawa sebuah bungkusan kain kecil yang disangkutkan pada ikat pinggangnya. Setelah berpaling sekilas ke arah bilik Ratri yang tertutup rapat, Ki Gede pun dengan tegesa-gesa segera mengayunkan langkahnya.

Ketika Ki Gede kemudian sudah membuka pintu pringgitan, dia tidak melihat bayangan Ki Kamituwa di pendapa. Dengan melangkahkan kakinya satu-satu, Ki Gede pun kemudian turun ke pendapa. Diedarkan pandangan matanya ke sekeliling, barangkali dia dapat menemukan keberadaan Ki Kamituwa.

Agaknya suara derit pintu pringgitan itu telah menarik perhatian orang-orang yang sedang berada di regol depan. Ki Kamituwa yang memang sedang mencari kawan berbincang itu

Page 20: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

16

pun segera melihat Ki Gede yang berjalan perlahan turun ke pendapa.

Dengan tergesa-gesa Ki Kamituwa pun segera menyongsong Ki Gede.

“Ki Gede,” sapa Ki Kamituwa kemudian ketika dia telah berada di ujung tlundak pendapa. Sementara Ki Gede yang sedang berdiri di tengah-tengah pendapa itu tampak termangu-mangu.

“O,” gumam Ki Gede perlahan sambil tersenyum dan melangkah mendekat, “Aku sudah menduga jika Ki Kamituwa pasti sedang mencari kawan berbincang di gardu depan.”

“Benar Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa sambil menaiki tlundak pendapa, “Apakah ada sesuatu yang dapat aku bantu, Ki Gede?”

“Kita kembali ke rumah Ki Kamituwa,” jawab Ki Gede singkat sambil menuruni pendapa dan kemudian berjalan menuju ke tempat kuda-kuda mereka tertambat.

Berdesir dada Ki Kamituwa. Namun perangkat Perdikan Matesih yang sudah banyak mengeyam pahit manisnya kehidupan itu pun segera maklum. Agaknya Ki Gede masih ingin menikmati kebersamaannya dengan Nyi Selasih. Maklumlah, walaupun mereka berdua sudah melaksanakan perkawinan setahun yang lalu, namun untuk sekedar menengok keberadaan istri barunya itu, Ki Gede benar-benar harus mengatur waktu dan sekaligus menjaga jangan sampai menyinggung hati anak perempuan satu-satunya, Ratri.

Ketika Ki Gede ternyata sudah melepas tali pengikat kudanya dan kemudian meloncat ke atas punggung kudanya, barulah dengan bergegas Ki Kamituwa segera menyusulnya.

Beberapa saat kemudian kedua orang itu telah memacu kuda-kuda mereka di jalan-jalan berbatu-batu yang menjelujur dalam keremangan malam. Angin yang dingin terasa mengusap tubuh-tubuh yang lelah itu sehingga menjadi sedikit segar.

Page 21: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

17

“Alangkah segarnya malam ini,” desis Ki Gede sambil memacu kudanya tidak begitu kencang, “Rasa-rasanya aku sudah lama tidak ikut nganglang di malam hari sejak pengaruh orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu mencengkeram tanah Perdikan ini.”

“Ya Ki Gede,” sahut Ki Kamituwa yang berkuda di sebelahnya, “Terakhir Ki Gede memimpin sendiri nganglang di siang hari ketika justru berpapasan dengan Raden Surengpati, adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Berdesir dada Ki Gede ketika mendengar Ki Kamituwa menyebut peristiwa yang telah terjadi beberapa hari yang lalu. Peristiwa yang telah mengubah pandangan seluruh kawula Matesih dan juga Raden Surengpati terhadap sikap diamnya selama ini.

“Untunglah aku menyempatkan diri untuk menilai kemampuanku sebelum mengambil sikap untuk membenturkan diri dengan adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu,” berkata Ki Gede dalam hati sambil pandangannya menatap jauh kegelapan yang terhampar di hadapannya, “Orang berkerudung yang menolongku itu benar-benar telah membantuku mengurai simpul-simpul saraf dalam tubuhku yang selama itu menggangu penyaluran tenaga cadanganku. Seandainya saja aku dapat bertemu kembali dengan orang itu, tentu aku akan meminta petunjuk-petunjuknya untuk menyempurnakan puncak ilmuku.”

Tiba-tiba terlintas dalam benaknya sesuatu yang belum pernah terpikirkan selama ini.

“Apakah orang aneh itu adalah salah satu murid dari Perguruan Pandan Alas?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah memenuhi benaknya.

“Ah, tidak mungkin,” sudut hatinya yang lain membantah, “Jika memang orang itu masih satu jalur Perguruan denganku, tidak mungkin dia menggunakan cara yang aneh itu untuk membantuku. Orang itu pasti akan menunjukkan jati dirinya dalam hubungannya dengan Perguruan Pandan Alas.”

Page 22: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

18

…………Namun ketika Ki Gede kemudian melemparkan pandangannya ke depan lagi, jantung pemimpin tanah Perdikan Matesih itu berdesir tajam ……..

Page 23: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

19

Berpikir sampai disitu Ki Gede justru menjadi bingung. Karena menurut pengamatannya selama ini, jalur Perguruan Pandan Alas telah terpecah menjadi dua cabang, cabang Gunung Kidul di bawah kepemimpinan Ki Demang Sarayuda yang sekaligus menjadi gurunya, dan satunya adalah cucu Ki Ageng Pandan Alas itu sendiri yang telah dipersunting oleh salah seorang perwira Demak pada masa itu.

“Apakah cucu Ki Ageng Pandan Alas itu sempat menurunkan ilmunya dari cabang Pandan Alas kepada putranya?” bertanya Ki Gede dalam hati kemudian, “Atau aliran dari Perguruan Pengging yang gemilang itu yang justru kemudian mengalir dalam diri anak itu?”

Tiba-tiba jantung Ki Gede berdesir tajam. Dia dapat membayangkan jika ternyata putra satu-satunya dari Rara Wilis dan Mahesa Jenar itu justru telah mewarisi dua jalur Perguruan sekaligus, Perguruan Pandan Alas dan Perguruan Pengging.

“Alangkah dahsyatnya,” desis Ki Gede dalam hati sambil tanpa sadar menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali, “Jika dia benar-benar mampu menguasai dan menyempurnakan kedua jalur ilmunya itu, dia akan menjadi orang yang pilih tanding di seluruh tlatah tanah ini.”

Tiba-tiba jantung Ki Gede kembali berdesir tajam. Tidak menutup kemungkinan orang berkerudung yang membantu meningkatkan ilmunya itu adalah cicit dari Ki Ageng Pandan Alas sendiri.

“Kemungkinan itu memang ada,” kembali Ki Gede berangan-angan, “Usiaku baru menginjak belasan tahun ketika aku mulai berguru kepada Ki Demang Sarayuda. Saat itu beliau sudah sangat sepuh dan pemerintahan Demak sudah bergeser ke Pajang.”

Dalam pada itu, Ki Kamituwa yang berkuda di sebelah Ki Gede tidak berani mengganggu angan-angan pemimpin tanah Perdikan Matesih itu. Hanya sesekali dia mencuri pandang dan melihat

Page 24: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

20

betapa Ki Gede tampak beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Mungkin peristiwa putrinya itu masih menyisakan persoalan di hati Ki Gede,” membatin Ki Kamituwa sambil terus berkuda menjajari pemimpinnya, “Berita hilangnya Ratri dan kemudian tiba-tiba saja Ratri dengan diantar oleh Ki Ajar ingin menghadap Ki Gede, benar-benar telah memusingkan kepalaku.”

Namun walaupun sebenarnya ada seribu pertanyaan yang bergelayut di dalam benaknya, Ki Kamituwa tidak berani bertanya.

“Nanti pada saatnya Ki Gede pasti akan memberitahu aku apa sebenarnya yang telah terjadi,” berkata Ki Kamituwa dalam hati kemudian, “Mungkin waktunya belum tepat. Tetapi setidaknya berita hilangnya Ratri dari rumah itu tidak benar dan semoga keluarga Ki Gede segera mendapat ketenangan.”

“Ki Kamituwa,” tiba-tiba Ki Gede berbisik perlahan namun cukup mengagetkan Ki Kamituwa yang sedang tenggelam dalam lamunannya, “Engkau melihat orang yang berjongkok di atas tanggul sebelah kanan membelakangi bulak di depan kita itu?”

Berdesir dada Ki Kamituwa mendapat pertanyaan Ki Gede. Dengan cepat dilemparkan pandangan matanya jauh ke depan. Benar saja, dalam keremangan malam dia melihat bayangan samar-samar di atas tanggul sebelah kanan. Namun jarak itu masih cukup jauh sehingga Ki Kamituwa masih merasa sedikit kesulitan untuk mengenali ujud sebenarnya dari seonggok bayangan hitam di atas tanggul itu. Bagi orang kebanyakan tentu tidak mudah untuk melihatnya, namun ternyata pandangan Ki Kamituwa yang cukup tajam telah mampu mengenalinya.

“Aku memang melihatnya, Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa tidak kalah lirihnya, “Namun aku belum yakin jika bayangan hitam itu adalah orang yang sedang berjongkok. Mungkin seonggok batu atau bahkan sebuah gerumbul perdu yang tumbuh di atas tanggul.”

Page 25: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

21

Ki Gede tersenyum mendengar jawaban Ki Kamituwa. Ki Gede segera maklum, tentu kemampuan Ki Kamituwa berbeda dengan kemampuannya dalam melihat jarak yang cukup jauh, apalagi dalam keremangan malam.

Ketika jarak mereka berdua dengan bayangan itu semakin dekat, barulah Ki Kamituwa mampu mengenalinya.

“Mungkin seorang petani yang sedang menunggui aliran air di sawahnya, Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa mencoba menduga-duga, “Sudah menjadi kebiasaan para petani untuk menunggui sawah mereka jika mendapat giliran pembagian air di malam hari.”

Ki Gede tidak menjawab hanya tampak kepalanya yang terangguk-angguk. Namun ketika Ki Gede kemudian melemparkan pandangannya ke depan lagi, jantung pemimpin tanah Perdikan Matesih itu berdesir tajam. Dalam keremangan malam, orang yang berjongkok membelakangi bulak panjang itu kini telah berdiri dan justru telah memutar tubuhnya menghadap jalan dengan kedua tangan di pinggang. Benar-benar sebuah sikap yang mendebarkan.

“Kita harus berhati-hati Ki Kamituwa,” bisik Ki Gede kembali sambil tanpa sadar tangan kanannya menggeser kedudukan keris pusakanya yang semula terselip di punggung menjadi ke lambung.

“Ya Ki Gede,” jawab Ki Kamituwa dengan suara sedikit tergetar. Entah mengapa, jantungnya seakan-akan berdetak semakin kencang. Orang yang berdiri bertolak pinggang di atas tanggul itu terlihat sangat meyakinkan dan sepertinya memang dengan sengaja sedang menunggu kehadiran mereka berdua.

Ketika langkah-langkah kaki-kaki kuda mereka semakin dekat, Ki Gede segera memberi isyarat untuk memperlambat laju kuda mereka.

Demikianlah akhirnya kuda-kuda itu berjalan semakin lambat dan akhirnya berhenti beberapa langkah saja dari tempat orang yang berdiri di atas tanggul itu.

Page 26: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

22

Untuk sejenak Ki Gede dan Ki Kamituwa mencoba mengenali wajah orang berdiri di atas tanggul itu. Namun kedua orang itu segera mempunyai kesimpulan yang sama bahwa orang itu agaknya dengan sengaja telah menyembunyikan jati dirinya dengan memakai kerudung hitam yang hampir menutup seluruh bagian kepalanya. Sementara sehelai ikat kepala telah digunakan untuk menutupi sebagian wajahnya.

“Selamat malam Ki Sanak,” akhirnya Ki Gede membuka suara tanpa turun dari kudanya, “Maafkan aku sebelumnya. Jika aku boleh tahu, apakah Ki Sanak Sedang menunggu seseorang?”

“Apa pedulimu!” sahut orang di atas tanggul itu dengan serta merta. Suaranya terdengar berat dan dalam, mirip dengan geraman seekor beruang yang sedang lapar.

Berdesir dada kedua orang tua itu. Namun Ki Gede akhirnya memutuskan untuk menghindar dari tempat itu. Berkata Ki Gede kemudian sambil menggerakkan tali kendali kudanya, “Baiklah kalau begitu. Aku mohon maaf jika telah mengganggu waktumu. Kami berdua akan segera meneruskan perjalanan.”

“Tunggu!” tiba-tiba terdengar orang itu membentak keras. Suaranya menggelegar memecah keheningan udara malam.

Ki Gede dan Ki Kamituwa menjadi bingung sejenak. Kedua tangan mereka yang sudah menggerakkan kendali kuda segera diurungkan.

“Ada apa Ki Sanak?” Ki Gede lah yang kembali bertanya, “Aku tadi sudah bertanya baik-baik dan ternyata Ki Sanak tidak ada sangkut pautnya dengan kami berdua. Sekarang kami akan melanjutkan perjalanan kami. Mengapa Ki Sanak justru mencegah kami?”

“Kalian tidak boleh meneruskan perjalanan sebelum menjawab pertanyaanku!” geram orang itu sambil meloncat turun dari atas tanggul dan kemudian berdiri beberapa langkah saja dari kedua orang tua itu.

Page 27: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

23

Gerakannya sama sekali tidak bersuara. Ki Gede dan Ki Kamituwa seakan-akan hanya melihat sebuah bayangan yang melayang dan kemudian berdiri di hadapan mereka berdua. Tanpa suara sama sekali.

Kembali dada kedua orang tua itu berdesir tajam. Mereka maklum bahwa yang sedang mereka hadapi tentu orang yang berilmu sangat tinggi.

“Apakah sebenarnya yang sedang terjadi?” pertanyaan itu berputar-putar dalam benak Ki Kamituwa. Ki Kamituwa yang kemampuannya merasa di bawah Ki Gede menjadi sangat gelisah.

“Apakah orang ini yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen?” tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dalam benak Ki Kamituwa yang justru telah membuat tubuhnya semakin menggigil. Namun melihat pemimpinnya masih bersikap tenang, hati Ki Kamituwa yang tinggal semenir itupun perlahan mengembang kembali.

Agaknya Ki Gede mempunyai anggapan yang sama dengan Ki Kamituwa. Orang yang sekarang berdiri di hadapannya sambil bertolak pinggang itu tentu salah satu pengikut Trah Sekar Seda Lepen atau justru orang itu sendiri. Namun Ki Gede yang telah mengalami lonjakan tingkatan ilmu puncaknya itu sama sekali tidak merasa gentar.

Akhirnya kesabaran Ki Gede pun telah sampai ke batas. Betapapun juga, Ki Gede merasa wajib untuk melindungi tanah Perdikan Matesih dari gangguan orang-orang semacam ini. Maka berkata Ki Gede kemudian dengan suara sedikit membentak, “Tidak usah membuat pengeram-eram yang hanya dapat menakuti anak-anak kemarin sore. Jangan berbelit dan mencari alasan yang aneh-aneh. Katakan saja siapa sebenarnya Ki Sanak dan apa kepentingan Ki Sanak menghentikan kami!?”

Sejenak orang itu terdiam. Namun tiba-tiba terdengar suara tawanya yang melengking tinggi menyakitkan telinga memenuhi udara malam di bulak panjang itu.

Page 28: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

24

“Ki Sanak berdua,” berkata orang itu setelah tawanya reda, “Aku tahu kalian berdua adalah Ki Gede Matesih dan Ki Kamituwa yang pagi tadi telah memimpin pasukan pengawal Matesih segelar sepapan menghancurkan Padepokan Sapta Dhahana,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, sekarang kalian harus menjawab pertanyaanku, kemana perginya Ki Rangga Agung Sedayu? Kalian jangan mencoba menipu aku. Aku dapat berbuat apa saja yang dapat menjadikan kalian mengaku secara sukarela atau pun terpaksa.”

Tersirap darah kedua perangkat Perdikan Matesih itu. Segera saja keduanya maklum, bahwa kemungkinan besar orang yang menyembunyikan wajahnya itu adalah pengikut Trah Sekar Seda Lepen yang menaruh dendam kepada Ki Rangga Agung Sedayu.

Maka jawab Ki Gede kemudian sambil meloncat turun dari kudanya terlebih dahulu, “Maaf Ki Sanak. Ki Sanak tidak mempunyai hak sama sekali untuk memaksa kami menjawab pertanyaan itu. Sedikit banyak kami sudah dapat meraba, di pihak manakah Ki Sanak berdiri dan kami akan bertindak tegas terhadap orang-orang yang mencoba mengacau di tanah Perdikan ini.”

“Tutup mulutmu!” geram orang berkerudung itu menggelegar, “Kalian tikus-tikus celurut tidak berharga sama sekali di hadapanku! Lebih baik segera katakan kemana perginya Ki Rangga Agung Sedayu atau kalian akan merasakan akibat dari kemarahanku!”

Namun sekarang justru Ki Gede lah yang tertawa pendek sambil memberi isyarat Ki Kamituwa yang membeku di atas punggung kudanya untuk ikut turun. Berkata Ki Gede kemudian setelah Ki Kamituwa berdiri di sebelah kuda tunggangannya, “Ki Sanak. Ki Sanak harus menyadari bahwa kami adalah berdua, sedangkan Ki Sanak hanya sendirian. Belum terhitung para peronda yang sedang nganglang di padukuhan induk maupun padukuhan-padukuhan lainnya. Dengan sebuah isyarat, mereka akan segera berkumpul di tempat ini dan kemudian beramai-ramai menangkap Ki Sanak.”

Page 29: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

25

“Pengecut!” sergah orang itu dengan serta merta, “Kalian orang-orang Matesih memang pengecut, hanya berani main keroyokan, tidak berani beradu dada!”

“He? Apa salahnya?” seru Ki Gede dengan wajah yang keheranan, “Kami berada di rumah kami sendiri dan merasa terganggu dengan kehadiran Ki Sanak. Tentu tidak dapat dipersalahkan jika kami kemudian menangkap Ki Sanak untuk dimintai pertanggung jawaban atas keonaran yang Ki Sanak perbuat.”

“Gila! Gila! Gila!” bentak orang berkerudung itu berkali-kali dengan suara yang tidak terlalu keras, namun getarannya mampu mengguncang udara sekitarnya sehingga membuat dada kedua orang tua itu bagaikan dihimpit berbongkah-bongkah batu padas. Sementara kedua kuda itu pun telah terlonjak kaget sambil meringkik keras. Untunglah kedua kuda itu tidak sampai melonjak-lonjak tak terkendali.

Ki Gede yang pada dasarnya telah memiliki tingkat ilmu olah kanuragan yang tinggi, awalnya memang sedikit terpengaruh. Namun seiring dengan perlawanan yang muncul dengan sendirinya dari dalam tubuhnya, pengaruh serangan getaran ilmu orang berkerudung itu dengan cepat dapat dihilangkannya.

“Sejenis ilmu gelap ngampar atau senggoro macan,” berkata Ki Gede dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk menghilangkan sisa-sisa pengaruh getaran di dadanya. Sementara Ki Kamituwa tampak tubuhnya sedikit terbungkuk sambil kedua tangannya memegangi dadanya menahan sakit yang tiada taranya.

Namun Ki Kamituwa yang sedikit banyak telah mempelajari olah kanuragan itu segera mengerahkan ketahanan tubuhnya untuk mengurangi rasa sakit di dalam dadanya, dan agaknya lambat laun dia mulai berhasil.

“Gila!” geram Ki Kamituwa dalam hati sambil menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya dan kemudian menegakkan tubuhnya kembali, “Suara tertawanya saja hampir

Page 30: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

26

merontokkan dadaku. Bagaimana jika dia menggunakan ilmunya untuk menyerangku?”

Namun ketika Ki Kamituwa dengan sudut matanya melihat Ki Gede terlihat sama sekali tidak terpengaruh, semangat Ki Kamituwa yang hampir padam pun menyala kembali.

“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian setelah melihat Ki Kamituwa berdiri tegak kembali, “Sebaiknya Ki Sanak berterus terang. Di pihak manakah Ki Sanak berdiri dan ada maksud apakah Ki Sanak menanyakan keberadaan Ki Rangga?”

“Itu bukan urusan kalian!” kembali terdengar orang itu membentak, “Memang tidak ada jalan lain kecuali membuat kalian mengaku dengan caraku. Jangan salahkan aku jika keterlanjuranku nanti justru akan membuat kalian akan menderita cacat seumur hidup!”

Untuk kesekian kalinya desir tajam menggores jantung kedua perangkat Perdikan Matesih itu. Namun mereka justru telah menjadi semakin yakin bahwa orang berkerudung yang berdiri di hadapan mereka itu mempunyai maksud yang kurang baik terhadap Ki Rangga Agung Sedayu.

“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Ki Gede kemudian sambil melepaskan tali kendali kuda tunggangannya dan mundur dua langkah, “Menyerah sajalah! Ikut kami ke banjar padukuhan induk! Di sana Ki Sanak akan kami perlakukan sebagaimana paugeran yang berlaku di Perdikan ini. Kami terpaksa melakukan ini demi keamanan dan ketertiban di Perdikan Matesih.”

“Omong kosong!” sergah orang berkerudung itu sambil bergeser setapak ke samping, “Mengapa orang-orang selalu berlindung di balik sebuah paugeran untuk bertindak sewenang-wenang? Aku belum terbukti melakukan sebuah kesalahan, mengapa aku harus kalian tangkap?”

“Bukan begitu maksudku Ki Sanak,” sela Ki Gede cepat, “Aku hanya mengajak Ki Sanak untuk bersama sama dengan kami ke banjar padukuhan induk. Di sana Ki Sanak dapat menjelaskan

Page 31: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

27

secara gamblang, ada keperluan apa Ki Sanak mencari keberadaan Ki Rangga.”

“Tutup mulutmu!” kembali orang itu membentak keras, “Itu hanya salah satu cara kalian untuk menjebakku. Aku tidak akan terjebak oleh akal licik kalian. Jika aku ikut kalian ke banjar, kesempatanku akan semakin sempit bahkan mungkin tertutup sama sekali. Walaupun aku mampu menghadapi seluruh pengawal Perdikan Matesih ini, namun korban akan terlalu banyak berjatuhan, dan aku masih mempertimbangan jika hal itu yang terjadi.”

“Sombong!” tiba-tiba Ki Kamituwa yang sedari tadi hanya berdiam diri dan menjadi pendengar yang baik telah terusik kesabarannya, “Ki Sanak tidak usah banyak alasan. Menyerah sajalah atau kami terpaksa menggunakan cara kami untuk membawa Ki Sanak ke banjar padukuhan induk.”

“O”, tiba-tiba saja orang berkerudung itu berpaling ke arah Ki Kamituwa sambil jari telunjuk tangan kanannya diarahkan ke hidung Ki Kamituwa, “Ternyata Ki Kamituwa tidak kalah garang dari Ki Gede. Baiklah, kita akan bertempur. Jika kalian berdua kalah, kalian harus memberikan keterangan yang jujur kepadaku, kemana perginya Ki Rangga Agung Sedayu.”

Sejenak kedua orang tua itu saling berpandangan. Agaknya sudah tidak ada jalan lain selain mengadu liatnya kulit dan kerasnya tulang. Maka dengan sebuah isyarat ke arah Ki Kamituwa, Ki Gede segera bergeser selangkah lagi ke belakang dan berdiri tepat di samping kudanya.

Agaknya Ki Kamituwa maklum dengan apa yang dipikirkan oleh pemimpinnya itu. Segera saja dia melangkah dan menempatkan dirinya di samping kudanya. Ketika Ki Gede kemudian menjentikkan ibu jari dengan jari tengah tangan kanannya, serentak kedua orang itu segera mengerahkan tenaga dan menghentak keras punggung kuda masing-masing dengan menggunakan telapak tangan mereka yang terbuka.

Page 32: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

28

Akibatnya adalah sangat mengejutkan bagi orang berkerudung itu. Diawali dengan ringkikan yang keras, kedua kuda itu pun telah melonjak ke depan dan kemudian berlari sekencang-kencangnya bagaikan dikejar segerombolan serigala lapar.

Orang berkerudung yang berdiri sekitar enam langkah dari kedua orang tua itupun menjadi terkejut bukan alang kepalang. Dia sama sekali tidak menduga jika kuda-kuda itu dengan gerakan yang sangat cepat menerjang ke depan. Namun dengan gerak naluriah, orang berkerudung itu mampu menghindari terjangan kedua kuda yang bagaikan liar itu dengan cara meloncat ke samping.

“Setan! Iblis! Gendruwo! Tetekan!” umpat orang berkerudung itu dengan nafas memburu menahan kemarahan yang menghentak dada, “Kalian benar-benar orang-orang yang licik. Aku berubah pikiran. Aku akan membuat kalian cacat seumur hidup agar peristiwa ini menjadi pengingat bagi kalian sehingga kalian akan selalu menyesalinya setiap saat.”

Namun Ki Gede dan Ki Kamituwa sudah tidak peduli dengan segala ucapan orang berkerudung itu. Kedua orang tua yang telah kenyang makan asam garamnya kehidupan itu segera bergeser berpencar ke arah yang berbeda.

“Bagus!” geram orang berkerudung itu, “Kalian menyangka aku akan kerepotan mendapat serangan dari arah yang berbeda sekaligus? Kalian salah. Justru kalianlah yang akan menyesal telah bertempur dengan terpisah, tidak bertempur berpasangan.”

Sejenak Ki Gede mengerutkan keningnya. Apa yang dikatakan orang berkerudung itu memang ada benarnya. Jika lawan yang dihadapi memang mempunyai kelebihan dari mereka berdua, sebaiknya mereka bertempur berpasangan untuk dapat saling membantu dan mengisi serangan.

“Aku belum tahu kekuatan yang sebenarnya dari orang ini,” berkata Ki Gede dalam hati sambil mempersiapkan diri sebaik-baiknya, “Yang jelas orang ini memiliki kekuatan yang dahsyat.

Page 33: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

29

Namun dengan serangan silih berganti dari dua arah yang berbeda, aku harap dia akan mengalami kesulitan.”

Berpikir sampai di situ, Ki Gede segera memberi isyarat kepada Ki Kamituwa untuk segera memulai serangan.

Sejenak kemudian, dengan diiringi sebuah teriakan keras, Ki Kamituwa bergerak cepat ke depan sambil menjulurkan kaki kanannya mengarah lambung.

Namun ternyata orang berkerudung itu tidak berusaha bergeser dari tempatnya untuk menghindari tumit lawan yang mengarah ke lambung. Dia justru sedikit merendahkan lututnya untuk memperkokoh kuda-kudanya sambil siku tangan kirinya siap menghantam kaki Ki Kamituwa yang terjulur lurus.

Melihat lawannya tidak berusaha menghindar bahkan siap menyambut serangannya dengan siku tangan kirinya, Ki Kamituwa menjadi terkejut. Namun sebelum dia memutuskan untuk menarik kakinya, terdengar Ki Gede membentak sambil meloncat kedepan. Tangan kanan Ki Gede dengan telapak tangan terbuka meluncur deras menghantam dada.

Menurut perhitungan kedua perangkat Perdikan Matesih itu, tentu lawan akan meloncat mundur untuk menjauhkan diri dari kedua serangan tersebut. Namun yang terjadi benar-benar telah membuat jantung kedua orang itu tergetar. Dengan tenangnya sambil siku tangan kirinya menyambut serangan Ki Kamituwa, tangan kanan orang berkerudung itu disilangkan di depan dada untuk menangkis serangan Ki Gede.

Benturan keras pun tak terelakkan lagi. Ki Kamituwa terdorong beberapa langkah surut. Betapa tulang keringnya bagaikan dipukul sebuah doran cangkul yang terbuat dari kayu mlandingan tua. Sementara tangan Ki Gede bagaikan menghantam sebongkah batu padas di gerojokan.

Dengan cepat kedua orang tua itu meloncat menjauh. Sambil sedikit terpincang Ki Kamituwa segera memperbaiki kedudukannya. Sedangkan Ki Gede mencoba menarik nafas

Page 34: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

30

dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang terasa sedikit pepat akibat benturan tadi.

Dalam pada itu, orang berkerubung itu ternyata masih berdiri tegak di tempatnya dengan tak kurang suatu apa pun. Terdengar suara tertawa tertahan-tahan yang sangat memuakkan dari balik kain yang menutupi wajahnya.

“Nah,” berkata orang itu kemudian demikian suara tawanya reda, “Sekarang akulah yang akan menangkap kalian dan kemudian menyiksa kalian dengan caraku agar kalian mengaku, di mana sekarang ini Ki Rangga Agung Sedayu bersembunyi.”

Ki Gede dan Ki Kamituwa tidak menjawab. Benturan pertama tadi memang bukan menjadi ukuran karena kedua orang tua itu memang belum mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun kedua orang tua itu mempunyai penilaian yang sama, kekuatan orang berkerudung itu memang ngedab-edabi.

“Sepertinya melawan orang ini harus menggunakan tenaga gabungan,” berpikir Ki Gede dalam hati sambil menggeser kedudukannya mendekati Ki Kamituwa, “Dengan gabungan kekuatan kami berdua, mungkin kekuatan orang ini akan dapat diatasi.”

Dalam pada itu Ki Kamituwa yang melihat pemimpinnya bergeser mendekat ke arahnya segera tanggap. Tanpa membuang waktu lagi, dia segera meloncat ke samping dan kemudian berdiri hanya selangkah saja di sebelah Ki Gede.

“Bagus!” seru orang berkerudung itu kemudian, “Kalian ternyata mengikuti saranku. Namun ketahuilah, gabungan tenaga kalian berdua tetap tidak akan mampu menandingi kedahsyatan ilmuku. Mungkin kalian hanya mampu menunda kekalahan beberapa saat, dan itu tidak akan banyak berarti bagiku.”

“Sudahlah Ki Sanak!” potong Ki Gede sambil mempersiapkan serangan berikutnya, “Aku sudah muak mendengar sesorahmu. Sekarang hadapilah kami berdua. Jika memang kemampuan kami masih selapis di bawah kemampuan Ki Sanak, kami akan berusaha

Page 35: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

31

untuk bertahan sampai para peronda yang sedang nganglang melewati tempat ini. Di saat itulah Ki Sanak baru menyadari, bahwa tidak ada seorang pun yang boleh meremehkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan para pengawal Perdikan Matesih.”

Untuk sejenak orang itu tertegun. Namun kembali terdengar suara tertawanya yang memuakkan memecah udara malam di atas bulak panjang itu.

Berkata orang itu kemudian, “Silahkan saja untuk membuat perhitungan-perhitungan menurut anggapan kalian sendiri. Aku juga mempunyai sebuah perhitungan. Jika aku mau, dengan mengungkapkan puncak ilmuku, aku jamin dengan hanya sekali sentuhan, tubuh kalian akan terkapar tak berdaya.”

Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa menggeram. Mereka berdua benar-benar merasa tersinggung dan direndahkan. Hampir bersamaan kedua orang tua itu segera meloncat sambil melancarkan serangan yang cukup berbahaya.

Namun ternyata lawannya tidak menjadi gugup. Dia hanya begeser setapak demi setapak menghadapi kedua serangan yang datang bagaikan ombak bergulung-gulung tak henti-hentinya menerjang batu karang di pantai.

Dalam pada itu, kuda-kuda tanpa penunggang itu telah berlari-larian sepanjang bulak dan mengejutkan beberapa penghuni rumah yang berada di ujung bulak.

“Kuda-kuda siapakah itu?” bertanya seorang laki-laki parobaya penghuni rumah di ujung bulak yang kebetulan belum tidur. Tanpa sadar dia telah bangkit dari pembaringannya dan meraih sebuah golok yang terselip di dinding biliknya.

“Kakang mau kemana?” bertanya istrinya dengan serta merta begitu melihat suaminya meraih senjatanya.

“Aku akan keluar sebentar,” jawab suaminya sambil menbenahi kain panjangnya dan kemudian menyelipkan senjata

Page 36: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

32

di ikat pinggang yang telah melingkar di lambungnya, “Suara derap kuda-kuda itu sangat mencurigakan. Seolah-olah kuda-kuda itu asal berlari saja, tidak ada yang mengendalikannya. Aku akan menengoknya sebentar.”

“Jangan terlalu lama kakang,” desah perempuan muda itu sambil menggeliat dan bangkit dari tidurnya. Kemudian sambil duduk berselonjor di pembaringan dia melanjutkan kata-katanya, “Bukankah ada para peronda yang nganglang setiap malam? Sudah menjadi kewajiban mereka untuk bertindak jika terjadi hal-hal yang mengganggu keamanan Perdikan ini.”

“Engkau salah, Nyi,” sahut suaminya, “Keamanan tanah Perdikan ini tidak tergantung kepada segelintir orang saja. Setiap penghuni Perdikan ini wajib membantu para pengawal jika memang diperlukan.”

Istrinya yang masih cukup muda itu sejenak mengerutkan keningnya. Sambil membetulkan dan kemudian menyanggul rambutnya dia turun dari amben. Tanyanya kemudian dengan suara perlahan, “Bukankah jika memang para pengawal membutuhkan bantuan, pasti mereka akan membunyikan isyarat? Entah itu panah sendaren atau memukul kentongan yang ada di banjar.”

“Ah sudahlah Nyi,” potong suaminya dengan suara sedikit kesal, “Kembalilah tidur. Aku hanya keluar sebentar untuk mengamati keadaan. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku hanya akan pergi ke regol depan dan melihat suasana jalan di depan rumah kita. Barangkali aku menemukan sesuatu yang dapat menjawab suara derap kuda-kuda yang beberapa saat tadi melintas di depan rumah kita.”

Selesai berkata demikian, tanpa memperdulikan istrinya lagi, laki-laki itu segera melangkah keluar bilik. Sementara istrinya hanya dapat memandangi langkahnya saja sambil duduk di bibir pembaringan.

Page 37: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

33

Demikianlah laki-laki parobaya itu segera melangkah ke ruang depan dan dengan perlahan mengangkat selarak pintu rumahnya. Namun alangkah terkejutnya laki-laki parobaya itu begitu dia membuka pintu rumahnya sejengkal, dalam keremangan malam tampak bayangan dua orang sedang berdiri di halaman rumahnya yang tidak seberapa luas.

Hampir saja dia menutup kembali pintu rumahnya jika saja dia tidak melihat salah seorang dari kedua orang itu terlihat berpaling ke arahnya sambil berdesis perlahan, namun sangat jelas terdengar di telinganya, “Maaf Ki Sanak. Kami memasuki halaman rumahmu tanpa ijin. Kemarilah! Percayalah, kami berdua bermaksud baik.”

Untuk beberapa saat laki-laki parobaya itu tidak tahu harus berbuat apa. Kedua lututnya terasa lemas serta jantungnya berdegup kencang sehingga suara gemuruh jantungnya dapat didengarnya sendiri dengan jelas.

“Jangan takut Ki Sanak,” sekarang salah satu dari kedua orang itu justru telah melangkah mendekat, “Kami memerlukan sesuatu untuk kami pinjam,” orang itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Apakah Ki Sanak mempunyai sebuah cemethi atau pun cambuk yang biasa Ki Sanak gunakan untuk menggembala kambing? Jika Ki Sanak tidak berkeberatan kami ingin meminjamnya barang sebentar.”

Laki-laki penghuni rumah itu masih berdiri di tempatnya dengan lutut gemetar. Entah mengapa, sebuah kengerian yang sangat telah mencengkam jantungnya. Dia belum mengenal kedua tamu tak diundang itu. Walaupun terdengar suara salah seorang dari mereka sangat ramah, namun hati laki-laki penghuni rumah itu benar-benar telah dilanda kecemasan.

“He? Mengapa Ki Sanak diam saja?” tiba-tiba orang yang satunya ikut melangkah mendekat, “Lihatlah! Kami berdua adalah orang-orang biasa seperti dirimu dan benar-benar hanya ingin meminjam cemeti atau mungkin cambuk yang aku yakin Ki Sanak pasti menyimpannya.”

Page 38: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

34

“Eyang Guru,” berkata Raden Wirasena kemudian, “Aku yakin Panembahan Hanyakrawati itu pasti telah menemui ajalnya. Ternyata rencana kita dapat berjalan dengan lancar dan mudah.”

Page 39: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

35

Mendengar ucapan orang kedua itu, hampir saja laki-laki penghuni rumah itu membuka mulutnya untuk bertanya, namun kawan orang itu telah menyahut terlebih dahulu, “Ya, Ki Sanak. Kami yakin engkau pasti mempunyai sebuah cambuk atau mungkin tidak hanya satu. Kami memasuki halaman rumahmu ini karena kami melihat ada sebuah kandang kambing di belakang rumahmu. Percayalah, kami hanya ingin meminjam cambuk, bukan mengambil kambing-kambingmu.”

“Walaupun sebenarnya sangatlah nikmat malam-malam yang dingin ini makan daging kambing panggang muda,” sahut orang yang satunya dengan serta merta.

“Ah,” orang yang pertama itu tertawa pendek. Tanyanya kemudian sambil berpaling ke arah kawannya, “Apa memang benar daging kambing muda itu lebih lezat dari yang tua? Jika memang demikian, bagaimana dengan kambing yang tua-tua? Siapa yang akan membutuhkannya?”

“Aku tidak menolak jika memang aku diberi yang tua sekali pun,” jawab orang kedua itu sambil tersenyum lebar.

“Ah,” kembali orang pertama itu tertawa pendek. Kemudian sambil berpaling ke arah laki-laki penghuni rumah yang masih gemetaran di sela-sela pintu, dia bertanya, “Bagaimana Ki Sanak? Maksudku cambuk itu? Bukan kambing yang muda maupun yang tua.”

“Ah,” sekarang orang yang kedua itu yang tertawa. Sedangkan laki-laki penghuni rumah itu pun tak urung ikut tersenyum mendengar gurauan mereka.

Kini laki-laki penghuni rumah itu hatinya menjadi sedikit agak tenang. Entah mengapa, mendengar kedua orang itu berkelakar tanpa ujung pangkal, hatinya menjadi sedikit tenang. Sambil membuka pintu lebar-lebar dia segera berkata, “Silahkan Ki Sanak berdua masuk. Tetapi rumah kami sangat sempit. Jika Ki Sanak berkenan, biarlah istriku memasak air untuk minum barang seteguk dua teguk.”

Page 40: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

36

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun hampir bersamaan keduanya telah menggeleng. Jawab dari salah satu mereka kemudian, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami sangat tergesa-gesa. Biarlah kami tetap di halaman ini. Kami menunggu dua helai cambuk yang mungkin dapat kami pinjam.”

Laki-laki penghuni rumah itu menarik nafas dalam. Katanya kemudian, “Baiklah Ki Sanak. Tunggulah sebentar, akan aku ambilkan barang yang kalian maksudkan itu.”

Selesai berkata demikian laki-laki penghuni rumah itu segera kembali masuk ke dalam rumahnya. Sesampainya dia di depan pintu biliknya yang terbuka lebar, tampak istrinya sedang berdiri termangu-mangu di sisi amben.

“Tidak ada apa-apa,” bisik suaminya, “Hanya ada dua orang aneh yang ingin meminjam cambuk?”

Istrinya yang tidak dapat mendengar dengan jelas percakapan mereka di luar tadi tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Bertanya perempuan muda itu kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Malam-malam begini?”

“Entahlah, aku tidak tahu,” jawab suaminya sambil melangkah ke dapur, “Aku akan ambilkan cambuk itu dan biarlah mereka segera pergi dari tempat ini.”

“Jika cambuk itu kemudian tidak dikembalikan?” bertanya istrinya kemudian sambil melangkah keluar bilik.

“Ah, aku dapat membuatnya lagi, sebanyak yang kita butuhkan,” jawab suaminya sambil berlalu dan kemudian membuka pintu dapur.

Sejenak kemudian laki-laki penghuni rumah itu sudah kembali ke hadapan istrinya dengan menjinjing dua helai cambuk yang berjuntai cukup panjang.

Istrinya tidak menanggapi lagi ketika suaminya kemudian melanjutkan langkahnya ke ruang depan.

Page 41: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

37

Sesampainya di pintu depan, laki-laki penghuni rumah itu segera mendapatkan kedua orang tamunya tampak sedang duduk-duduk di bawah sebatang pohon yang tumbuh di halaman samping.

Setelah menutup pintu terlebih dahulu, dengan langkah sedikit begegas laki-laki penghuni rumah itu pun segera turun ke halaman.

Begitu melihat laki-laki penghuni rumah itu berjalan ke arah mereka, kedua orang itu pun dengan bergegas segera bangkit berdiri dan menyongsongnya.

“Terima kasih, terima kasih,” hampir bersamaan kedua orang itu berkata sambil menerima masing-masing sehelai cambuk yang berjuntai cukup panjang.

“Kalian dapat menyimpannya,” berkata laki-laki penghuni rumah itu kemudian, “Kalian tidak usah mengembalikannya karena aku masih ada beberapa cambuk yang dapat aku gunakan untuk menggembala besuk pagi.”

“O, ternyata kami telah merepotkan Ki Sanak,” berkata salah satu dari mereka kemudian, “Jika memang demikian, sekali lagi kami ucapkan terima kasih dan selanjutnya kami mohon diri.”

“Silahkan Ki Sanak,” jawab laki-laki penghuni rumah itu sambil berpaling ke belakang karena mendengar suara derit pintu. Ternyata istrinya sedang berdiri di tengah-tengah pintu.

Ketika laki-laki penghuni rumah itu kemudian kembali memandang ke depan, tiba-tiba jantungnya bagaikan terlepas dari tangkainya. Kedua orang yang sedang berdiri di hadapananya itu sudah tidak berada di halaman rumahnya lagi. Bayangan kedua orang itu seolah-olah telah lenyap tak berbekas bagaikan asap yang tertiup angin.

“Gendruwo...!?” seru laki-laki itu tanpa sadar dengan suara bergetar sehingga istrinya telah melangkah mendekat.

Page 42: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

38

“Ada apa kakang?” bertanya istrinya kemudian sambil memegangi lengan suaminya.

Laki-laki itu sejenak mencoba mengatur nafasnya yang tiba-tiba saja memburu. Ditariknya nafas beberapa kali untuk meredakan jantungnya yang tiba-tiba saja melonjak-lonjak.

“Apakah engkau melihat kedua orang tamu kita tadi?” bertanya laki-laki itu kemudian kepada istrinya setelah gemuruh dalam dadanya sedikit mereda.

Istrinya menggeleng sambil menjawab, “Tidak kakang, aku tidak melihat apapun ketika aku membuka pintu selain kakang yang berdiri sendirian. Aku tadi memang sempat mendengar percakapan kakang dengan seseorang dari balik pintu. Namun ketika aku membuka pintu, aku hanya melihat kakang yang berdiri seorang diri di halaman.”

Berdesir jantung laki-laki penghuni rumah itu. Dengan tergesa-gesa segera ditariknya tangan istrinya dan diajak masuk ke dalam rumah.

“Sudahlah,” berkata laki-laki itu kemudian setelah dia menyelarak pintu, “Mari kita kembali tidur. Anggap saja apa yang baru saja terjadi itu adalah sebuah mimpi.”

Istrinya tidak berani bertanya lagi begitu melihat raut wajah suaminya tampak pucat pasi di bawah sinar temaram lampu dlupak.

Dalam pada itu, pertempuran di tengah bulak itu tampak sangat berat sebelah. Betapa Ki Gede dan Ki Kamituwa harus berjuang mati-matian untuk menahan gempuran lawan. Kecepatan gerak serta tenaga lawan benar-benar diluar jangkauan nalar kedua perangkat tanah Perdikan Matesih itu.

“Menyerahlah,” berkata orang berkerudung itu sambil terus melancarkan serangannya yang bertubi-tubi, “Lebih baik kalian berterus terang saja. Semuanya akan menjadi lebih mudah dari pada aku harus mematahkan tangan dan kaki kalian hanya untuk

Page 43: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

39

sekedar mendapatkan keterangan tentang Ki Rangga Agung Sedayu.”

Diam-diam Ki Kamituwa bergidik tengkuknya. Dia tidak dapat membayangkan jika kedua kaki dan tangannya berpatahan.

Namun agaknya Ki Gede berpikir lain. Perlahan tapi pasti Ki Gede mulai merambah pada puncak ilmunya. Memang Ki Gede belum mengetrapkan aji pamungkas perguruannya yang diberi nama Aji Cunda Manik. Namun tata gerak dan tenaga dari setiap serangan Ki Gede telah dilambari oleh ilmu puncak dari Perguruan Pandan Alas.

Agaknya lawannya mulai merasakan bobot serangan Ki Gede melalui sambaran angin yang menyertai serangan Ki Gede. Bahkan beberapa kali dia harus berloncatan menghindar ketika Ki Gede melancarkan serangan beruntun.

Ketika Ki Gede mulai meningkatkan serangannya, orang berkerudung itu pun ternyata juga telah meningkatkan ilmunya selapis.

“Silahkan menguras ilmumu sampai habis, Ki Gede!” berkata orang berkerudung itu sambil ganti menyerang Ki Gede dengan serangan yang semakin cepat dan keras, “Aku yakin sampai ilmu Ki Gede kering terkuras, aku masih punya sisa ilmu yang cukup untuk menghentikan Ki Gede.”

Merah padam wajah Ki Gede mendengar ejekan lawannya. Sementara Ki Kamituwa sudah tidak mampu lagi mengikuti kecepatan gerak Ki Gede maupun lawannya dan hanya berdiri di pinggir arena dengan kebingungan.

Agaknya lawan Ki Gede mulai membuktikan ucapannya. Beberapa kali sentuhan telah menyengat di bagian tubuh Ki Gede, walaupun belum membahayakan. Namun sentuhan-sentuhan itu telah membakar jantung Ki Gede.

“Ki Gede harus melihat kenyataan,” berkata orang berkerudung itu selanjutnya sambil tangan kanannya terjulur

Page 44: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

40

lurus menghantam pundak. Ki Gede masih sempat memiringkan tubuhnya untuk menghindar. Namun serangan selanjutnya tidak mampu dihindarinya lagi. Tumit lawan telah menyentuh lambungnya.

Terdengar keluhan tertahan dari mulut Ki Gede. Tubuh Ki Gede pun terdorong selangkah ke samping. Ketika Ki Gede belum sempat memperbaiki kedudukannya, tangan kiri lawannya telah menghantam dadanya.

Kali ini Ki Gede telah terlempar ke belakang beberapa langkah surut. Terasa dadanya bagaikan tertimpa berbongkah-bongkah batu padas yang berguguran dari atas bukit. Namun dengan cepat Ki Gede segera meloncat beberapa langkah ke belakang untuk mengambil jarak sekaligus menghindari serangan susulan lawannya.

Namun ternyata orang berkerudung itu tidak mengejarnya dan hanya berdiri bertolak pinggang sambil tertawa berkepanjangan. Bertanya orang itu kemudian, “Nah, apakah Ki Gede masih ada sisa ilmu untuk dipamerkan di hadapanku?”

Gemetar sekujur tubuh Ki Gede menahan kemarahan yang tiada taranya. Penghinaan lawannya itu benar-benar sudah keterlaluan. Tidak ada jalan lain bagi Ki Gede selain mengungkapkan puncak ilmunya.

Dengan menggeram marah Ki Gede segera meloncat beberapa langkah ke depan. Ketika jarak dengan lawannya tinggal empat langkah, Ki Gede segera memusatkan segenap nalar dan budinya untuk mengungkapkan puncak ilmu andalannya. Sebuah ilmu yang bersumber dari perguruan Pandan Alas dari cabang Gunung Kidul.

Sejenak kemudian, wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Disalurkan segala tenaganya yang dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan

Page 45: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

41

ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik dari Perguruan Pandan Alas.

Orang berkerudung itu terkejut. Dengan cepat dia surut selangkah. Dengan sedikit merendahkan kedua lututnya, kedua tangannya kemudian disilangkan di depan dada. Siap menahan gempuran aji cunda manik.

Sejenak kemudian terdengar teriakan menggelegar dari Ki Gede. Tubuhnya melesat bagaikan tatit yang meloncat di udara. Tangan kanan yang terjulur lurus itu dengan kekuatan penuh menghantam dada orang berkerudung yang telah menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Akibatnya sangat dahsyat. Aji cunda manik yang telah mengalami peningkatan cukup pesat itu bagaikan membentur dinding baja setebal satu jengkal. Sebagian kekuatan yang tersalur pada telapak tangan kanan Ki Gede membalik membentur dadanya sendiri sehingga tubuhnya terpental ke belakang beberapa langkah namun tidak sampai membuat pemimpin perdikan Matesih itu terjatuh.

Sedangkan orang yang berkerudung itu ternyata telah tergetar dan mundur dua langkah. Walaupun kekuatan aji Cunda Manik itu tidak mampu menjatuhkannya, namun untuk beberapa saat dadanya bagaikan terhimpit sebongkah batu padas sehingga telah mempengaruhi jalan pernafasanya.

Dalam pada itu, Ki Kamituwa yang melihat pemimpinnya telempar dan kemudian terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang menjadi terkejut. Dengan bergegas dia segera berlari mendekat.

“Ki Gede?” bertanya Ki Kamituwa dengan nada cemas sesampainya dia di samping Ki Gede yang tampak sedang mengatur pernafasannya.

“Aku baik-baik saja Ki Kamituwa,” desis Ki Gede sambil menarik nafas panjang beberapa kali. Ketika Ki Gede kemudian

Page 46: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

42

mencoba mengamati keadaan lawan, tampak orang berkerudung itu sudah kembali berdiri di atas kedua kakinya yang kokoh.

“Luar biasa!” tiba-tiba terdengar suara pujian dari balik kain yang menutupi wajah orang itu, “Aku yakin, Ki Gede masih mampu meningkatkan tataran aji cunda manik ini selapis atau dua lapis lagi. Namun ketahuilah, aku sama sekali tidak gentar dengan aji cunda manikmu yang masih mentah ini. Jika yang berdiri di hadapanku sekarang ini adalah Ki Ageng Pandan Alas sendiri, tentu aku akan berpikir seribu kali untuk mencoba menahannya.”

Berdesir jantung Ki Gede mendengar ucapan orang berkerudung itu. Dia tidak pernah menduga sama sekali jika orang berkerudung itu mengenali aji cunda manik dari perguruan Pandan Alas. Ki Gede pun segera teringat kepada orang bertopeng yang pernah mencegatnya di Dukuh Klangon beberapa saat yang lalu.

Namun belum sempat Ki Gede berpikir jauh, tiba-tiba terdengar suara tawa dan tepuk tangan yang meriah dari arah belakangnya.

Terkejut Ki Gede dan Ki Kamituwa bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa. Begitu kedua orang tua itu berpaling ke belakang, tampak dua sosok bayangan sedang berdiri di atas tanggul sambil bertepuk tangan. Ketika kedua perangkat perdikan Matesih itu mencoba mengamati kedua bayangan itu, jantung kedua orang tua itu pun berdentang keras. Sebagaimana orang berkerudung yang telah bertempur dengan mereka berdua, kedua orang yang berdiri di atas tanggul itu pun juga menutupi sebagian wajah mereka dengan secarik kain.

“Permainan apa lagi ini,” desis Ki Gede dan Ki Kamituwa hampir bersamaan.

Dalam pada itu, orang berkerudung yang telah bertempur beberapa saat dengan Ki Gede dan Ki Kamituwa itu sama sekali tidak mengacuhkan kedatangan dua orang berikutnya itu. Bahkan

Page 47: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

43

tiba-tiba saja dia kemudian melangkahkan kakinya dan berusaha berlalu dari tempat itu.

“He! Tunggu Ki Sanak!” teriak kedua orang di atas tanggul itu hampir bersamaan sambil melayang turun. Dengan sekali loncatan keduanya telah berdiri menghadang orang berkerudung itu.

Untuk sejenak orang berkerudung itu menghentikan langkahnya dan hanya berdiri diam termangu-mangu. Namun kemudian dengan suara berat dan dalam dia bertanya, “Apa urusan kalian menghentikan langkahku?”

Dua orang yang datang kemudian itu sejenak saling pandang. Namun akhirnya salah satu menjawab, “Kami berdua adalah kawula Matesih yang merasa ikut bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan pemimpin kami. Kami berdua akan membantu Ki Gede untuk menangkap Ki Sanak.”

Kembali orang berkerudung itu termenung, namun hanya sekejab. Selanjutnya terdengar orang berkerudung itu mendengus keras sambil membentak, “Omong kosong! Jika kalian memang kawula Matesih, mengapa kalian harus menyembunyikan wajah kalian dari Ki Gede? Atau kalian memang punya cacat bawaan di wajah kalian sehingga kalian menjadi malu?”

“O, tidak, tidak,” jawab salah seorang yang berperawakan sedang dengan serta merta, “Justru yang terjadi adalah sebaliknya. Kami sering membaca kisah-kisah kepahlawanan dari babat-babat jaman dahulu. Kami ingin menjadi pahlawan sebagaimana jaman Kerajaan Singosari berdiri. Ada orang yang dijuluki Ksatria putih, seseorang yang selalu berpakaian putih, menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain putih dan seekor kuda berbulu putih. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu kawula alit untuk memperjuangkan dan memperbaiki nasib mereka. Untuk itulah kami telah meniru Ksatria putih dengan menyembunyikan wajah kami.”

Page 48: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

44

“Ki Rangga,” berkata Mas Santri kemudian setibanya dia di pinggir amben, “Kanjeng Rama ingin berbicara barang sebentar dengan Ki Rangga.”

Page 49: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

45

“Namun kami tidak punya baju berwarna putih. Apalagi seekor kuda berbulu putih yang tegar,” sahut orang yang di sebelahnya.

“Omong kosong!” sergah orang berkerudung itu cepat, “Aku tidak mempunyai waktu untuk melayani bualan kalian. Aku akan pergi dan tak seorang pun akan mampu menghalangiku.”

“O, jadi Ki Sanak benar-benar tidak memandang sebelah mata pun kepada kami berdua?” sahut orang satunya yang berperawakan tinggi besar, “Aku akan membuktikan ucapan Ki Sanak itu. Akulah orang pertama kali yang akan menghalangi langkah Ki Sanak.”

Dalam pada itu, Ki Gede yang sedari tadi memperhatikan percakapan yang sedang terjadi diam-diam merasa heran. Rasa-rasanya dia mengenal suara itu, terutama suara orang yang berperawakan sedang. Tampaknya kedua orang yang datang kemudian itu tidak berusaha menyamarkan suara mereka, berbeda dengan orang berkerudung yang pertama.

“Rasa-rasanya aku mengenal suara itu,” berkata Ki Gede dalam hati, “Caranya bergurau mengingatkan aku pada seseorang.”

Ketika Ki Gede sedang berusaha keras untuk mengumpulkan ingatannya, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang sangat memekakkan telinga. Ketika Ki Gede kemudian memandang ke depan, tampak di tangan orang yang berperawakan sedang itu telah tergenggam sebuah cambuk yang berjuntai panjang. Agaknya dia baru saja meledakkan cambuk di tangannya itu.

“Nah Ki Sanak, kita akan bertempur,” berkata orang yang berperawakan sedang itu kemudian, “Senjata kami berdua memang bukan senjata yang sewajarnya. Kami berdua adalah murid-murid perguruan orang bercambuk yang terkenal itu.”

“Omong kosong!” tiba-tiba dengan serta merta orang berkerudung itu membentak keras. Namun segera saja dia tampak terdiam seolah menyadari keterlanjurannya.

Page 50: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

46

“He?” orang yang tinggi besar itu terlihat terlonjak kaget, “Ki Sanak menuduh kami berdua berbohong? Apakah Ki Sanak mengenal perguruan orang bercambuk atau pun mempunyai sangkut paut dengan perguruan itu? Apakah Ki Sanak mengenal ciri-cirinya? Lihatlah, aku pun mampu menghentakkan cambukku sebagaimana yang menjadi ciri khas perguruan orang bercambuk.”

Selesai berkata demikian, orang tinggi besar itu segera meloloskan sebuah cambuk yang terlilit di pinggangnya. Dengan sigap dia segera memutar cambuknya di atas kepala dan kemudian menghentakkannya dengan gerakan sendal pancing. Segera saja suara ledakan mengguntur kembali memenuhi udara malam di bulak itu.

“Bagaimana Ki Sanak?” bertanya orang tinggi besar itu kemudian, “Apakah aku pantas disebut sebagai murid orang bercambuk?”

Tubuh orang berkerudung itu tampak menggigil keras menahan kemarahan yang tiada taranya. Namun agaknya orang berkerudung itu masih mempunyai nalar yang bening sehingga tidak terpancing lagi. Maka katanya kemudian sambil tertawa memuakkan, “O, silahkan saja kalian menjadi murid perguruan mana saja, itu tidak ada artinya sama sekali bagiku,” dia berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Nah, aku benar-benar sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan kalian. Jika kalian bersikeras akan tetap menghadang langkahku, rawe-rawe rantas malang-malang putung!”

Selesai berkata demikian, orang berkerudung itu mulai menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu. Namun baru saja dia bergeser selangkah, terdengar Ki Gede berseru, “Tunggu Ki Sanak!”

Orang berkerudung itu kembali menghentikan langkahnya dan kemudian memutar tubuhnya menghadap Ki Gede. Berkata orang berkerudung itu kemudian, “Urusan di antara kita aku anggap selesai sampai disini saja, Ki Gede. Bersyukurlah! Aku masih berbaik hati tidak sampai mencederai kalian!”

Page 51: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

47

“Bukan itu maksudku Ki Sanak,” sahut Ki Gede sambil melangkah mendekat, “Bagaimana dengan keterangan yang Ki Sanak inginkan? Tentang keberadaan Ki Rangga agung Sedayu?”

Sejenak orang berkerudung itu bagaikan membeku di tempatnya. Kedatangan kedua orang yang juga menutupi sebagian wajahnya dengan secarik kain itu ternyata telah melupakan tujuannya mencegat Ki Gede dan Ki Kamituwa. Untuk beberapa saat dia seolah-olah menjadi ragu-ragu untuk menentukan sikap.

“Sebenarnya bukan masalah keberadaan Ki Rangga itu yang perlu mendapat perhatian”, terdengar orang yang berperawakan sedang kembali berbicara, “Namun, apakah tujuan sebenarnya dari Ki Sanak ingin mengetahui keberadaan Ki Rangga?”

Terdengar orang berkerudung itu menggeram bagaikan suara geraman seekor singa. Katanya kemudian dengan suara yang datar dan dalam, “Akan aku tantang agul-agulnya Mataram itu untuk berperang tanding. Aku sudah terlalu muak mendengar setiap orang dari ujung ke ujung tanah ini selalu membicarakan kesaktiannya yang tanpa tanding.”

“He? Apa urusan Ki Sanak dengan nama besar Ki Rangga?” serta merta orang yang berperawakan sedang itu menyela.

“Tidak ada urusan pribadi memang. Namun nama besarnya yang aku perlukan!”

“Maksud Ki Sanak?”

“Dengan mengalahkan dan bahkan mungkin sekalian membunuhnya dalam perang tanding yang jujur dan disaksikan banyak orang, nama besar Ki Rangga akan berpindah kepadaku. Akulah yang kemudian akan menjadi orang tanpa tanding di seluruh tanah ini!”

“Apakah engkau yakin Ki Sanak?” sela orang yang tinggi besar itu.

“Mengapa tidak?” jawab orang itu cepat, “Berbagai aliran ilmu telah tertimbun dalam diriku. Aku yakin tidak ada seorang pun

Page 52: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

48

yang akan mampu melawanku di seluruh tlatah Mataram ini, Ki Rangga pun tidak. Apalagi Patih Mandaraka yang sudah tua itu.”

“Apakah Ki Sanak sudah pernah bertemu atau mengenal Ki Rangga sebelumnya?” tiba-tiba pertanyaan dari orang berperawakan sedang itu telah mengejutkan orang berkerudung itu.

Namun tampaknya orang berkerudung itu mampu menguasai dirinya dengan cepat dan segera membentak keras, “Apa peduliku dengan Ki Rangga? Mengenal maupun tidak mengenal, aku akan tetap membunuhnya!”

“Ki Sanak tidak akan berhasil,” orang yang berperawakan tinggi besar itulah yang kemudian menyahut, “Ki Rangga adalah orang yang rendah hati dan tidak mudah terpancing. Ki Sanak akan kesulitan memancingnya untuk berperang tanding.”

“Aku tidak peduli!” geram orang itu kembali, “Melawan ataupun tidak melawan, aku tetap akan membunuhnya.”

“Omong kosong!” sekarang orang yang berperawakan sedang itu lah yang membentak keras, “Aku yakin, Ki Sanak belum pernah bertemu bahkan mengenal pribadi Ki Rangga Agung Sedayu. Jika Ki Sanak ingin bertemu Ki Rangga saat ini, aku lah Ki Rangga yang Ki Sanak cari itu.”

“Omong kosong!” sergah orang berkerudung itu cepat, “Kalian berdua adalah pembual-pembual yang tak berujung pangkal!”

“He?!” seru kedua orang yang datang kemudian itu hampir bersamaan. Tanpa sadar kedua orang itu saling pandang sejenak. Sebuah kesimpulan pun segera memenuhi benak mereka.

“Bagaimana Ki Sanak mengetahui kalau aku bukan Ki Rangga?” bertanya orang berperawakan sedang itu selanjutnya.

Gemetar sekujur tubuh orang berkerudung itu menahan kemarahannya yang telah mencapai ubun-ubun. Agaknya dia merasa terpancing dan dipermainkan oleh kedua orang itu.

Page 53: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

49

“Persetan semuanya!” geram orang berkerudung itu pada akhirnya, “Aku tidak peduli siapa kalian berdua. Yang jelas kalian pasti bukan Ki Rangga. Kalian yang merasa mengetahui keberadaan Ki Rangga, sampaikan tantangan perang tanding ini kepadanya. Bulan depan pada saat bulan..”

“Tunggu.!” seru orang berperawakan sedang memotong ucapan orang yang berkerudung itu, “Ki Rangga tidak mungkin melayani tantangan Ki Sanak dalam waktu dekat ini. Jika Ki Sanak jantan, tunggu sampai saatnya Ki Rangga sembuh dari cederanya yang cukup parah.”

“He?!” bagaikan di sambar petir di siang bolong, orang berkerudung itu terkejut bukan alang kepalang. Untuk beberapa saat orang berkerudung itu justru telah membeku di tempatnya.

Ternyata segala gerak gerik orang berkerudung itu tidak luput dari pengamatan kedua orang yang datang kemudian itu. Maka kata orang berperawakan sedang itu kemudian, “Sudahlah Ki Sanak, kita ini sudah tua dan tidak perlu lagi bermain hantu-hantuan ataupun petak umpet. Marilah kita berterus terang siapa jati diri kita masing-masing.”

Selesai berkata demikian dia segera merenggut secarik kain yang menutupi wajahnya diikuti oleh kawannya yang tinggi besar.

“Ki Waskita! Ki Bango Lamatan!” hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa telah berseru keras.

Namun orang berkerudung itu justru tertawa masam. Katanya kemudian di sela-sela tawanya, “Aneh, apakah dengan menunjukkan wajah kalian yang sebenarnya kemudian aku akan terpancing membuka kerudungku? Sebuah tipuan kanak-kanak. Walaupun aku membuka penutup wajahku, aku yakin kalian juga tidak akan mengenaliku. Demikian juga dengan wajah-wajah kalian, sama sekali tidak menarik perhatianku.”

Untuk beberapa saat kedua orang yang ternyata Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan itu saling pandang. Ternyata permainan

Page 54: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

50

mereka untuk memancing jati diri orang berkerudung itu telah gagal.

Berkata Ki Waskita pada akhirnya, “Baiklah Ki Sanak, kami berdua terpaksa menggunakan cara kami untuk memaksa Ki Sanak menunjukkan jati diri Ki Sanak. Ki Gede dan Ki Kamituwa akan menjadi saksi bahwa apa yang akan kami lakukan ini adalah demi keamanan dan ketentraman Perdikan Matesih.”

“Omong kosong!” untuk kesekian kalinya orang berkerudung itu membentak dengan suara menggelegar, “Jangan menggunakan dalih omong kosong itu lagi. Katakan saja kalian berdua memang telah berniat menghalangi jalanku, apapun alasannya!”

“Baiklah Ki Sanak, kita akan bertempur,” berkata Ki Waskita kemudian sambil bergeser ke samping beberapa langkah dan memberi isyarat Ki Bango Lamatan untuk mempersiapkan diri, “Hati-hatilah Ki Sanak. Kami akan menyerang Ki Sanak langsung pada tataran tinggi ilmu kami. Jangan sampai Ki Sanak terperdaya hanya pada serangan kami yang pertama.”

“Persetan!” geram orang berkerudung itu, “Aku sama sekali tidak berniat melayani orang-orang tua yang bodoh dan lemah seperti kalian. Aku akan pergi dan tidak akan peduli lagi apapun sikap yang akan kalian ambil!”

Selesai berkata demikian, tanpa menunggu kedua lawannya bergerak, orang berkerudung itu bagaikan terbang telah melenting tinggi dan mendarat di atas tanggul. Hanya dalam sekejap mata, bayangannya segera hilang di balik tanggul.

Ketika Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan menyadari apa yang telah dilakukan oleh orang berkerudung itu, dengan cepat keduanya segera melenting tinggi dan kemudian mendarat di atas tanggul. Tanpa membuang waktu, kedua orang linuwih itu pun segera mengejar bayangan orang berkerudung yang telah menghilang beberapa saat yang lalu.

Sepeninggal Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan, tampak kedua perangkat perdikan Matesih itu hanya berdiri diam dalam

Page 55: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

51

kebingungan. Mereka tidak mungkin dapat menyusul kawan-kawan Ki Rangga itu. Apalagi menyusul orang berkerudung yang ternyata ilmunya sangat ngedab-edabi.

“Ki Gede,” bertanya Ki Kamituwa sejurus kemudian, “Apa sebaiknya yang kita lakukan?”

Ki Gede yang sedang tertegun melihat kecepatan gerak yang dipertunjukkan ketiga orang beberapa saat tadi seolah tersadar oleh pertanyaan Ki Kamituwa. Maka jawabnya kemudian, “Lebih baik kita menunggu di sini, Ki Kamituwa. Jika ternyata sampai sepenginang sirih tidak ada seorang pun yang kembali ke tempat ini, kita kembali dengan berjalan kaki.”

Sejenak wajah Ki Kamituwa tampak ragu-ragu. Namun dengan memberanikan diri, akhirnya Ki Kamituwa pun bertanya, “Maksud Ki Gede, kita meneruskan perjalanan kembali ke rumahku dengan berjalan kaki?”

Ki Gede tersenyum tipis mendengar pertanyaan Ki Kamituwa. Ki Gede pun kemudian hanya menganggukkan kepalanya tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Dalam pada itu, Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengejar orang berkerudung itu. Walaupun keduanya telah tertinggal beberapa saat, namun kemampuan Ki Waskita dalam membaca isyarat serta melacak keberadaan barang-barang yang hilang kali ini telah banyak membantunya.

“Kita belok ke kiri,” desis Ki Waskita sambil terus mengerahkan kemampuannya berlari. Ki Bango Lamatan yang berlari di sebelahnya tidak menyahut, hanya mengikuti saja ke arah mana Ki Waskita berlari.

Diam-diam Ki Bango Lamatan teringat ketika harus berkejar-kejaran dengan orang yang tak dikenal beberapa saat yang lalu bersama Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Sepertinya orang berkerudung itu orang yang sama seperti yang telah terjadi beberapa saat yang lalu.

Page 56: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

52

“Kelihatannya orang ini adalah orang yang sama,” berkata Ki Bango Lamatan dalam hati sambil terus berlari, “Ada maksud apakah orang ini dengan segala permainannya selama ini?”

Ketika kedua orang itu kemudian mencapai sebuah padang perdu yang luas, hampir bersamaan keduanya telah memperlambat lari mereka dan kemudian berhenti sama sekali.

“Getarannya hilang di tempat ini,” desis Ki Waskita kemudian sambil menyilangkan kedua tangannya dan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ki Bango Lamatan pun segera berbuat serupa.

Sejenak suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara binatang-binatang malam yang bersahut-sahutan dalam irama ajeg. Di ujung padang perdu, terdengar suara burung kedasih di dahan rendah sebatang pohon randu alas yang tumbuh menjulang. Suaranya ngelangut membuat berdiri bulu roma orang-orang yang berhati kerdil.

“Gila!’ geram Ki Waskita kemudian sambil mengurai kedua tangannya dan menegakkan kepalanya kembali, “Isyarat keberadaan orang itu benar-benar lenyap bagaikan ditelan bumi.’

“Ki Waskita benar,” jawab Ki Bango Lamatan yang telah terlebih dahulu melepaskan pengamatan batinnya, “Jika Ki Waskita saja dapat dikelabuhinya, apalagi aku.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sebagai orang yang menekuni sejenis ilmu untuk menemukan barang atau pun orang yang hilang melalui isyarat-isyarat getaran yang ditangkap mata batinnya, Ki Waskita merasa penasaran dengan keberadaan orang berkerudung itu.

“Ki Waskita,” berkata Ki Bango Lamatan kemudian, “Orang berkerudung ini sepertinya sama dengan orang yang pernah kami kejar di dukuh Klangon beberapa waktu yang lalu.”

Sejenak Ki Waskita mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian, “Mungkin saja, Ki. Aku ingat cerita kalian bertiga.

Page 57: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

53

Mengejar-kejar seorang linuwih yang tidak mau mengungkapkan jati dirinya. Namun saat itu kita justru dapat menarik kesimpulan bahwa orang aneh itu sengaja membawa Ki Bango Lamatan bertiga untuk melihat sendiri kesiapan murid-murid padepokan Sapta Dhahana yang akan mengepung banjar padukuhan Klangon.”

“Ki Waskita benar,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta merta, “Karena pertolongan orang itulah kita bisa lolos dari banjar padukuhan Klangon.”

Untuk beberapa saat suasana menjadi sepi. Kedua orang tua itu tampak berusaha mengetrapkan aji Sapta pandulu untuk mempertajam penglihatan mereka.

“Tidak ada yang mencurigakan,” desis Ki Waskita perlahan mirip desah seseorang yang putus asa.

“Ya, Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil memenuhi rongga dadanya dengan udara malam yang sejuk, “Sebaiknya kita kembali. Kasihan Ki Gede dan Ki Kamituwa yang mungkin menunggu kita kembali.”

“Baiklah,” sahut Ki Waskita kemudian, “Marilah kita kembali.”

Namun baru saja langkah kedua orang tua itu terayun, pendengaran mereka yang sangat tajam telah mendengar suara gemerisik beberapa langkah tepat di belakang mereka.

Bagaikan telah berjanji sebelumnya, kedua orang tua itu pun secepat kilat segera membalikkan tubuh mereka. Sekejap mereka telah dalam keadaan siap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika kedua orang tua itu kemudian mengamati keadaan di depan mereka, hanya berjarak sekitar enam langkah di hadapan kedua orang tua itu, tampak sesosok bayangan hitam berdiri di atas kedua kakinya yang renggang. Orang yang selama ini mereka cari, berkerudung hitam dengan secarik kain menutupi sebagian wajahnya.

Page 58: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

54

Sejenak tidak ada seorang pun yang mendahului bergerak. Semuanya saling menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

Namun tiba-tiba terdengar suara yang berat dan dalam dari orang berkerudung itu, “Salah satu dari kalian, ikutlah aku!”

Selesai berkata demikian tangan kanan orang berkerudung itu menunjuk ke arah Ki Waskita.

Berdesir dada kedua orang tua itu. Tanpa sadar keduanya saling berpandangan sejenak. Agaknya kedua orang tua itu memang terlihat ragu-ragu untuk memenuhi ajakan orang berkerudung itu.

“Aku tunggu di bawah pohon Sadeng itu,” berkata orang berkerudung itu kemudian sambil berjalan menjauh.

Untuk sejenak Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan benar-benar tidak tahu harus berbuat apa atas tawaran orang berkerudung itu. Namun jika kedua orang tua itu melewatkan kesempatan itu, teki-teki yang selama ini menyelimuti jati diri orang berkerudung itu akan tetap gelap.

“Biarlah aku turuti permintaannya,” berkata Ki Waskita pada akhirnya, “Aku minta Ki Bango Lamatan ikut mengawasi dari kejauhan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.’

“Baiklah Ki,” jawab Ki Bango Lamatan sambil memandang Ki Waskita yang melangkah pergi. Sebenarnya dalam hati Ki Bango Lamatan ingin mengikuti Ki Waskita secara diam-diam, namun niat itu segera diurungkannya. Ki Bango Lamatan sadar, orang berkerudung itu pasti akan mengetahuinya.

“Semoga saja orang berkerudung itu bermaksud baik,” desis Ki Bango Lamatan kepada dirinya sendiri sepeninggal Ki Waskita, “Ki Waskita juga bukan anak kemarin sore yang akan dengan mudahnya diperdayai. Jika orang itu bermaksud buruk, Ki Waskita dapat berteriak memanggilku.”

Berpikir sampai disini Ki Bango Lamatan hatinya menjadi sedikit tenang. Ketika dilihatnya seonggok batu padas yang

Page 59: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

55

terletak tidak jauh dari tempatnya, Ki Bango Lamatan segera melangkah dan kemudian duduk di atasnya menunggu apa yang akan terjadi.

Dalam pada itu, Ki Gede dan Ki Kamituwa sedang gelisah menunggu kedatangan kembali Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan. Mereka berdua telah memanjat tanggul di sisi bulak yang cukup tinggi itu. Ketika mereka berdua kemudian telah berdiri di atas tanggul, sejauh mata memandang hanya tampak tanah persawahan yang luas. Jauh di ujung tanah persawahan itu tampak hutan yang membujur bagaikan seekor ular raksasa yang sedang tidur.

“Hem,” terdengar Ki Gede berdesah perlahan, “Belum terlihat tanda-tanda kedua orang itu akan kembali.”

Ki Kamituwa yang berdiri di sebelahnya mencoba mengamati keadaan di sekitarnya, namun yang terlihat hanya keremangan malam yang sepi.

“Apakah tidak sebaiknya kita lanjutkan saja perjalanan kita, Ki Gede?” bertanya Ki Kamituwa kemudian.

Sejenak Ki Gede ragu-ragu. Namun sebelum Ki Gede memutuskan, pandangan mata tajam Ki Gede yang melebihi orang kebanyakan telah melihat titik-titik hitam yang bergerak-gerak di atas pematang jauh di depan mereka.

“Agaknya mereka telah kembali,” desis Ki Gede dengan serta merta.

Ki Kamituwa terkejut mendengar kata-kata Ki Gede. Dengan segera Ki Kamituwa berusaha mempertajam penglihatannya. Namun karena kemampuan Ki Kamituwa memang beberapa lapis di bawah Ki Gede, Ki Kamituwa belum mampu melihat titik-titik hitam yang tampak berjalan di atas pematang itu.

Barulah beberapa saat kemudian ketika jarak itu semakin dekat, Ki Kamituwa melihat dua bayangan yang berjalan

Page 60: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

56

berurutan di atas salah satu pematang menuju ke tempat mereka berdiri menunggu.

“Ya, mereka telah kembali,” desis Ki Kamituwa pada akhirnya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Marilah kita mendekat,” berkata Ki Gede kemudian sambil melangkahkan kakinya menyusuri pematang diikuti oleh Ki Kamituwa.

Ketika jarak kedua perangkat perdikan itu telah semakin dekat, mereka segera menghentikan langkah dan menunggu.

Dalam pada itu Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan yang sedari tadi sudah melihat kedua orang itu segera melangkah menghampiri.

“Ki Gede berdua masih di sini?” bertanya Ki Waskita sasampainya dia beberapa langkah di hadapan Ki Gede.

“Ya Ki Waskita,” jawab Ki Gede, “Kami berdua sangat gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kami memutuskan untuk menunggu saja.”

Untuk beberapa saat kedua orang tua itu justru telah termangu-mangu mendengar keterangan Ki Gede. Mereka merasa kasihan kepada kedua perangkat perdikan Matesih itu yang harus menunggu dalam kegelisahan dan ketakutan.

“Apa sebenarnya yang telah terjadi, Ki Waskita?” bertanya Ki Gede kemudian begitu melihat kedua orang itu hanya berdiri termangu-mangu.

Sambil menggelengkan kepalanya Ki Waskita menjawab, “Dia telah pergi dan kami telah gagal untuk mengungkap jati diri orang itu.”

“Siapakah sebenarnya orang berkerudung itu, Ki? Setidaknya Ki Waskita dapat menduga-duga?” Ki Kamituwa pun ikut mengajukan sebuah pertanyaan.

Page 61: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

57

“Sudahlah,” jawab Ki Waskita sambil melangkah, “Kami juga masih menduga-duga, namun belum pasti. Sebaiknya kita kembali ke banjar padukuhan induk.”

Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Ki Bango Lamatan hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengikuti langkah Ki Waskita.

Demikianlah akhirnya keempat orang tua itu segera turun dari tanggul dan kembali menyusuri jalan menuju ke banjar padukuhan induk. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya Ki Gede dan Ki Kamituwa mengajukan berbagai pertanyaan.

“Pada awalnya kami bertiga mendengar para pengawal menyiapkan beberapa ekor kuda di halaman banjar. Kelihatannya mereka akan nganglang di awal malam. Maka kami pun tidak begitu menaruh perhatian,” Ki Waskita memulai ceritanya.

“Apakah Ki Waskita dan kawan-kawan juga mendengar derap kaki-kaki kuda kami melintasi banjar?” bertanya Ki Gede menyela cerita Ki Waskita.

“Tentu saja Ki Gede,” Ki Bango Lamatan lah yang menjawab, “Namun sebelum Ki Gede dan Ki Kamituwa lewat, kami bertiga mendengar sebuah desir yang sangat halus mirip desir binatang merayap yang mendekati dinding bilik kami, bahkan desir itu lebih lembut lagi sehingga kami bertiga menjadi curiga.”

“Tentu seorang yang linuwih sedang mendekati bilik kalian,” sahut Ki Kamituwa menduga-duga.

“Ki Kamituwa benar,” jawab Ki Waskita, “Kami memang menduga demikian. Namun kami tetap berpura-pura tidak mendengarnya.”

“Apakah orang itu kemudian melakukan sesuatu?” bertanya Ki Gede selanjutnya dengan nada sedikit tidak sabar.

“Itulah yang kami herankan,” jawab Ki Waskita sambil menggeleng lemah, “Ternyata orang itu telah berhasil menyerap

Page 62: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

58

segala bunyi yang ditimbulkannya akibat gesekannya dengan alam sekitar, sehingga untuk beberapa saat kami telah kehilangan jejak.”

“He?!” hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa terperanjat. Bertanya Ki Kamituwa kemudian, “Bagaimana mungkin?”

“Itu bisa saja terjadi, Ki,” sahut Ki Bango Lamatan dengan serta merta, “Dalam keadaan diam, seseorang akan mampu meningkatkan pemusatan nalar dan budinya dengan lebih baik untuk mempertajam ilmunya. Berbeda jika dia dalam keadaan bergerak.”

Tampak kepala Ki Gede dan Ki Kamituwa terangguk-angguk. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Hanya desir langkah-langkah mereka dalam irama ajeg yang terdengar memecah keheningan malam itu.

“Nah,” berkata Ki Waskita kemudian memecahkan kesepian, “Di saat kami kehilangan jejak akan keberadaan orang itu, tiba-tiba kami mendengar lamat-lamat derap dua ekor kuda menyusuri jalan mendekati banjar padukuhan induk.”

“Itu mungkin kami berdua,” sahut Ki Gede cepat.

“Sebelumnya kami tidak menduga semua itu, Ki Gede,” berkata Ki Waskita menanggapi ucapan Ki Gede, “Kami mengetahui hal itu dari para pengawal regol banjar padukuhan induk ketika kami turun ke halaman dan menanyakan perihal orang-orang berkuda yang baru saja lewat.”

“Di saat kuda-kuda itu sedang melewati jalan di depan banjar, agaknya orang yang sedang kami pantau keberadaannya itu sedikit lengah sehingga kami mengetahui keberadaannya kembali,” berkata Ki Waskita selanjutnya, “Dan yang sangat mengejutkan, menurut pantauan kami, orang itu telah meninggalkan banjar dan bergerak searah dengan kepergian orang-orang berkuda itu.”

Page 63: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

59

“Sebenarnya kami tidak begitu menaruh perhatian,” Ki Bango Lamatan lah yang melanjutkan, “Namun panggraita Ki Waskita memaksa kami turun ke halaman dan menanyakan kepada para penjaga regol banjar padukuhan induk tentang orang-orang berkuda yang baru saja lewat.”

“Ki Bango Lamatan benar,” sahut Ki Waskita, “Aku mendapat firasat yang mendebarkan begitu mengetahui bahwa yang baru saja lewat adalah Ki Gede berdua. Untuk itu aku dan Ki Bango Lamatan memutuskan untuk mengikuti arah kepergian Ki Gede berdua sekaligus ingin mengetahui jati diri orang yang telah mendekati banjar padukuhan induk dengan sesideman itu.”

Hampir bersamaan Ki Gede dan Ki Kamituwa menarik nafas panjang. Sebenarnyalah Ki Gede masih ingin bertanya, namun tiba-tiba Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan telah menghentikan langkah mereka.

“Ada beberapa orang berkuda sedang berpacu menuju ke tempat ini, Ki Gede,” berkata Ki Waskita perlahan namun cukup mengejutkan Ki Gede dan Ki Kamituwa. Kedua orang itu berusaha mengangkat kepala mereka untuk mempertajam pendengaran mereka, namun jarak itu memang masih cukup jauh.

Baru beberapa saat kemudian, lamat-lamat pendengaran Ki Gede kemudian disusul Ki Kamituwa dapat menangkap hentakan kaki-kaki kuda yang sedang dipacu di jalan berbatu-batu.

“Kita berhenti di sini saja,” berkata Ki Waskita kemudian ketika suara gemuruh itu semakin mendekat. Dengan sengaja keempat orang tua itu pun kemudian menepi dan berdiri di pinggir jalan di bawah sebatang pohon Apak yang sulur-sulurnya bergelantungan dan sebagian justru telah bersatu dengan batangnya.

Sejenak kemudian dalam keremangan malam tampak enam ekor kuda melaju di jalan berbatu-batu. Dari keenam kuda itu, hanya empat yang berpenunggang. Sedangkan dua ekor kuda yang

Page 64: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

60

lain tanpa penunggang yang kendalinya disangkutkan di pelana kuda-kuda yang lain.

Ketika rombongan berkuda itu telah semakin dekat, Ki Gede segera melangkah ke tengah jalan sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Agak orang yang berpacu di paling depan segera melihat seseorang yang berdiri di tengah jalan sambil mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Maka orang itu pun segera berseru, “Kurangi laju kuda kalian! Ada orang di depan!”

Sejenak kemudian laju kuda-kuda itu pun segera berkurang dan akhirnya berhenti beberapa langkah di hadapan Ki Gede.

“Ki Gede!” hampir bersamaan para penunggang kuda itu berseru sambil dengan tergesa-gesa meloncat turun. Tanpa memperdulikan kuda tunggangan mereka, keempat orang itu segera berlari mendapatkan Ki Gede.

Ki Gede tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hati terbersit sebuah kebanggaan akan kesiap-siagaan para pengawal Perdikan Matesih.

“Terima kasih,” berkata Ki Gede kemudian setibanya keempat pengawal itu di hadapannya. Kemudian sambil berpaling ke arah pinggir jalan dia melanjutkan kata-katanya, “Malam ini aku ditemani Ki Kamituwa, Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan.”

“He!” keempat penunggang kuda yang ternyata adalah para pengawal Matesih itu terperanjat. Sepengetahuan mereka, Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan beberapa saat tadi masih di banjar padukuhan.

“Kami berdua memang sengaja menyusul Ki Gede dan Ki Kamituwa,” sahut Ki Waskita sambil tertawa pendek dan melangkah mendekat, “Alangkah segarnya berjalan-jalan di malam hari. Walaupun sebenarnya angin malam kurang baik bagi kesehatan orang yang sudah tua seperti kita ini.”

Page 65: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

61

“Sesekali tidak mengapa Ki Waskita,” Ki Bango Lamatan yang berjalan di belakangnya menyahut. Sementara Ki Kamituwa hanya tersenyum-senyum sambil mengikuti langkah kedua orang tua itu.

“Nah kalian ternyata telah membawa kuda-kuda kami,” berkata Ki Gede kemudian sambil menunjuk ke arah dua ekor kuda yang ditambatkan di pelana kuda-kuda yang lain.

“Kami memutuskan untuk membawa kuda-kuda itu, Ki Gede,” berkata salah satu pengawal kemudian, “Kami mendengar kuda-kuda itu berlari-larian sepanjang jalan di depan banjar. Setelah kami berhasil menangkap mereka, ternyata kami mengenali sebagai kuda Ki Kamituwa.”

“Untuk itulah kami segera memutuskan menyusul Ki Gede dan Ki Kamituwa,” pengawal yang lain menimpali.

“Baiklah,” berkata Ki Gede akhirnya, “Kita segera kembali ke banjar dengan berkuda. Berikan dua kuda kalian kepada Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan. Sementara kalian berempat dapat menggunakan dua ekor kuda. Kuda-kuda itu cukup tegar sehingga kalian dapat menungganginya seekor berdua.”

“Jangan memacunya terlalu cepat,” sela Ki Kamituwa, “Kalian dapat mematahkan punggungnya. Aku lihat salah satu dari kalian terlalu gemuk.”

“Ya, Ki Kamituwa,” jawab pengawal yang berdiri di paling depan. Sambil berpaling ke belakang dia melanjutkan, “Kawan kami yang satu itu memang terlalu gemuk. Dulu sewaktu belum menikah, dia sangat kurus dan terkesan kurang terurus. Namun setelah kawin, dengan cepat badannya menjadi gemuk dan terlihat cukup rapi.”

Orang-orang yang mendengar kata-kata pengawal itu telah tertawa. Sedangkan pengawal yang bertubuh gemuk itu hanya dapat tertunduk malu-malu.

“Nah kita berangkat,” berkata Ki Gede kemudian.

Page 66: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

62

Demikianlah akhirnya, Ki Gede dan Ki Kamituwa mengendarai kuda masing-masing, sedangkan Ki Waskita dan Ki Bango Lamatan mendapat pinjaman dua ekor kuda dari para pengawal. Sementara ke empat orang pengawal itu harus menggunakan masing-masing seekor kuda untuk dua orang.

Dalam pada itu, di sebuah padukuhan kecil yang sama sekali tidak menarik perhatian, sebuah padukuhan miskin di sebelah selatan hutan Krapyak, tampak Eyang Guru dan Raden Wirasena serta Kiai Dandang Mangore sedang bercakap-cakap di sebuah rumah reyot yang lebih pantas jika disebut sebuah gubuk.

Rumah reyot itu tampak gelap, tidak ada sebuah dlupak pun yang menyala di teritisan maupun di dalam rumah. Tidak ada pendapa sama sekali, hanya sebuah teritisan yang agak luas. Disitulah ketiga orang itu berkumpul dan terlihat sedang membahas sebuah permasalahan dengan sungguh-sungguh.

“Eyang Guru,” berkata Raden Wirasena kemudian, “Aku yakin Panembahan Hanyakrawati itu pasti telah menemui ajalnya. Ternyata rencana kita dapat berjalan dengan lancar dan mudah.”

“Benar Raden,” sahut Eyang Guru cepat. Namun tampak wajahnya diliputi oleh kekecewaaan, “Aku yakin Mas Jolang telah mati, namun sasaran kita selanjutnya justru telah terlepas.”

“Orang Sela dan Mas Rangsang, maksudmu?” bertanya Kiai Dandang Mangore yang duduk di sebelah Eyang Guru.

“Ya,” jawab Eyang Guru cepat, “Terutama orang dari Sela itu. Selama orang itu masih hidup, akan sangat sulit untuk menghancurkan Mataram.”

“Bukankah kita dapat menggerakkan padepokan Sapta Dhahana?,” sela Raden Wirasena.

Hampir bersamaan kedua orang tua itu menggeleng. Eyang Guru lah yang menjawab, “Kekuatan kita belum cukup memadai Raden. Untuk itulah mengapa aku menyarankan untuk menjadikan Matesih sebagai pancadan perjuangan kita,” Eyang

Page 67: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

63

Guru berhenti sejenak untuk sekedar memenuhi rongga dadanya dengan udara malam yang sejuk. Lanjutnya kemudian, “Seandainya saja ketiga orang penting Mataram itu dapat kita lenyapkan semua.”

“Engkau benar Ghanduru,” sahut Kiai Dandang Mangore, “Dengan kematian ketiga orang penting Mataram itu, Mataram pasti akan menjadi lemah. Tidak ada calon kuat di antara keturunan Panembahan Senapati yang dipandang pantas menjadi Raja. Perebutan kekuasaan akan terjadi di antara mereka sendiri. Sementara itu kita dapat memperkuat Matesih dan menyatakan Matesih lepas dari pemerintahan Mataram dan menjadi sebuah Kerajaan baru.”

Uraian panjang lebar pemimpin perguruan Setra Gandamayit itu telah membuat Raden Wirasena termenung. Perjuangannya menggapai tahta ternyata masih sangat panjang dan berliku. Mataram masih terlalu kuat untuk dihancurkan karena Mataram masih mempunyai Putra Mahkota dan yang sangat berpengaruh adalah peran Ki Patih Mandaraka.

Dalam pada itu pendengaran Eyang Guru dan Kiai Dandang Mangore yang sangat tajam ternyata telah menangkap gemerisik langkah beberapa orang mendekati tempat mereka. Sedangkan Raden Wirasena belum mampu mendengarnya.

Ketika Raden Wirasena kemudian mengangkat wajahnya pertanda bahwa dia telah mendengar suara langkah-langkah itu, Eyang Guru pun kemudian berkata perlahan, “Agaknya Ki Lurah Wirabakti dan kawan-kawannya sedang menuju ke tempat ini.”

Kiai Dandang Mangore mengangguk-anggukkan kepalanya sementara Raden Wirasena telah menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang tiba-tiba saja menjadi sedikit pepat.

Demikianlah sejenak kemudian dalam keremangan malam, ketiga orang itu melihat beberapa orang berjalan dengan tergesa-gesa memasuki halaman rumah yang tidak seberapa luas itu.

Page 68: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

64

“Masuklah kalian semua ke dalam rumah untuk sekedar beristirahat,” berkata Raden Wirasena kemudian tanpa berdiri dari duduknya ketika orang-orang itu sudah mendekati teritisan, “Kecuali Ki Lurah Wirabakti. Silahkan Ki Lurah bergabung dengan kami di sini.”

“Terima kasih Raden,” hampir bersamaan mereka menyahut sambil melanjutkan langkah mereka memasuki rumah. Sedangkan Ki Lurah Wirabakti yang merasa namanya disebut segera mengambil tempat duduk di teritisan itu setelah menganggukkan kepalanya dalam-dalam ke arah ketiga orang yang telah terlebih dahulu berada di tempat itu.

Setelah Ki Lurah Wirabakti duduk di antara mereka, barulah Raden Wirasena membuka suara, “Ki Lurah, aku tidak melihat Ki Brengos di antara kalian tadi.”

“Hamba Raden,” jawab Ki Lurah sambil membungkukkan badannya dalam-dalam, “Ki Brengos dan beberapa murid perguruan Setra Gandamayit masih tinggal di hutan Krapyak untuk mengawasi keadaan. Hamba beserta beberapa kawan tadi sengaja menyusul ke tempat ini untuk menanyakan hasil rencana kita dan siap menerima perintah lebih lanjut.”

Untuk beberapa saat ketiga orang itu justru telah termangu-mangu dan tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada Ki Lurah Wirabakti. Namun akhirnya Raden Wirasena pun membuka suara, “Ki Lurah, ketahuilah bahwa rencana kita untuk menyingkirkan Raja Mataram itu telah berhasil.”

Sebuah senyum pun segera mengembang di bibir Ki Lurah Wirabakti. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya dia pun menyahut, “Syukurlah. Hamba ikut merasa gembira bahwa rencana yang telah disusun sedemikian rumitnya itu akhirnya membuahkan hasil yang gemilang.”

“Namun rencana kita tidak seluruhnya dapat dikatakan berhasil Ki Lurah,” sahut Eyang Guru dengan serta merta begitu melihat keceriaan di wajah Lurah prajurit itu.

Page 69: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

65

Ki Lurah segera berpaling ke arah Eyang Guru dengan kerut merut di wajahnya. Tanyanya kemudian, “Mohon sudilah kiranya Eyang Guru menjelaskan semua itu?”

Eyang Guru sejenak menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Ki Lurah, memang kita telah berhasil melenyapkan Raja Mataram itu. Namun harapan kita, setelah Raja Mataram itu memasuki perangkap, pada gilirannya Raden Mas Rangsang dan Patih tua itu yang akan memasuki perangkap kita juga,” Eyang Guru berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun ternyata panggraita Patih tua itu masih sangat tajam. Agaknya dia mampu mengendus bahaya yang menunggunya di kelokan jalan itu.”

Ki Lurah mengerutkan keningnya dalam-dalam sambil termangu-mangu. Agaknya Eyang Guru dapat membaca apa yang sedang berkecamuk dalam dada Lurah Prajurit itu. Maka berkata Eyang Guru selanjutnya, “Sebenarnya kami bertiga mampu menghancurkan Mas Rangsang dan Patih tua bangka itu. Namun suara gemuruh pasukan berkuda yang datang kemudian telah membuat kami berpikir ulang untuk menyergap kedua orang itu.”

“Gandhuru benar,” sahut Kiai Dandang Mangore cepat, “Melenyapkan Mas Rangsang dan Juru Mertani memerlukan waktu yang tidak sedikit. Selain keduanya memang pilih tanding, keduanya sudah bercuriga sejak awal dan dalam keadaan kesiap-siagaan yang tinggi sehingga kami telah mengurungkan niat kami.”

Sekarang tampak raut wajah Ki Lurah Wirabakti menjadi lesu. Harapannya yang melambung tinggi jika Raden Wirasena dapat merebut tahta menjadi sirna bagaikan asap yang tertiup badai.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Masing-masing sedang dibuai oleh angan-angan tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

Ketika di kejauhan lamat-lamat terdengar suara kenthongan ditabuh dengan nada dara muluk, tanpa sadar Ki Lurah Wirabakti pun berdesis perlahan, “Sudah tengah malam.”

Page 70: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

66

Raden Wirasena tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian sambil berpaling ke arah Eyang Guru dia bertanya, “Eyang Guru, apakah sebaiknya rencana kita selanjutnya?”

Eyang Guru yang mendapat pertanyaan itu segera tanggap. Sambil menegakkan punggungnya dia menjawab, “Raden, kita kembali ke padepokan Sapta Dhahana untuk menyusun rencana berikutnya,” dia berhenti sejenak. Kemudian sambil berpaling ke arah Kiai Dandang Mangore dia melanjutnya, “Aku sarankan sebaiknya Kiai Dandang Mangore ikut kami ke Gunung Tidar. Semua orang kita tarik dan berkumpul di Gunung Tidar.”

“Aku setuju,” sahut Kiai Dandang Mangore cepat, “Namun aku tidak akan langsung ke Gunung Tidar. Aku akan pulang dulu dan mengumpulkan seluruh anak murid Setra Gandamayit untuk bergabung dengan Sapta Dhahana.”

“Bagus!” seru Raden Wirasena dengan bersemangat, “Setelah kekuatan kita terkumpul, aku kira tidak ada alasan bagi Ki Gede Matesih untuk tidak tunduk kepada perintah kita. Seperti rencana semula, kita jadikan Perdikan Matesih sebagai pancadan perjuangan kita.”

Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di tempat itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

“Ampun Raden,” tiba-tiba Ki Lurah Wirabakti menyelutuk, “Apakah hamba harus kembali ke hutan Krapyak untuk memberitahu kawan-kawan kita yang ada di sana tentang perintah Raden yang terakhir ini.”

“Benar Ki Lurah,” jawab Raden Wirasena dengan serta merta, “Beritahu kawan-kawan kita untuk kembali ke padepokan Sapta Dhahana malam ini juga. Usahakan gerakan kalian tidak menarik perhatian. Hindari jalan-jalan dan tempat-tempat umum. Jangan bergerak dalam rombongan yang besar. Kalian dapat berjalan berpencar-pencar namun tetap dalam satu kesatuan yang dapat saling berhubungan.”

Page 71: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

67

“Sendika Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti kemudian, “Hamba akan kembali ke hutan Krapyak sekarang juga.”

“Kembalilah,” perintah Raden Wirasena kemudian, “Bawalah satu atau dua orang saja. Biarlah yang lainnya berangkat dari rumah ini menjelang ayam berkokok untuk terakhir kalinya. Sedangkan kami bertiga akan berangkat sekarang juga.”

“Sendika Raden,” jawab Ki Lurah Wirabakti sambil beringsut turun dari teritisan. Setelah terlebih dahulu membungkukkan badannya dalam-dalam, Ki Lurah Wirabakti pun kemudian memasuki rumah dari arah pintu samping.

Demikianlah sejenak kemudian, orang-orang yang berada dalam rumah itu telah berpencaran menunaikan tugas masing-masing yang telah disepakati sebelumnya. Ki Lurah Wirabakti bersama dua orang kembali ke hutan Krapyak. Sedangkan Raden Wirasena bersama kedua orang tua itu telah berangkat dengan berjalan kaki kembali ke Gunung Tidar. Sementara yang lainnya tetap tinggal di rumah itu menunggu saatnya untuk berangkat menyusul ke Gunung Tidar.

“Kita akan mencari kuda,” berkata Raden Wirasena kepada kedua orang itu ketika mereka sudah berjalan agak jauh.

“Ya Raden, itu lebih baik,” jawab Eyang Guru, “Kuda-kuda kita telah kita tinggalkan di tengah hutan. Semoga Ki Lurah dan lainnya dapat menggunakannya agar bisa cepat sampai ke Gunung Tidar.”

“Aku tidak perlu kuda,” sela Kiai Dandang Mangore, “Aku akan mengambil jalan pintas walaupun harus menembus hutan yang masih lebat dan liar. Namun perjalananku akan semakin cepat.”

“Silahkan Balebang,” jawab Eyang Guru sambil tersenyum, “Ternyata kebiasaanmu untuk bermain petak umpet sewaktu masih muda belum hilang.”

Page 72: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

68

Masih terbayang jelas dalam ingatan Ki Rangga ketika dia mendapat perintah menghadap Pangeran Pati di ndalem Kapangeranan malam itu juga.

Page 73: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

69

“Ah,” Kiai Dandang Mangore tertawa masam, “Sekarang ini aku memang sedang berusaha menghilangkan jejak. Siapa tahu keterlibatan kita dalam kejadian sore tadi sudah tercium oleh para petugas sandi Mataram.”

“Ah, tentu tidak,” sahut Raden Wirasena dengan serta merta, “Rencana kita sangat rapi dan tidak mungkin tercium oleh petugas sandi Mataram. Namun semua kemungkinan itu tetap ada jika di antara kita dengan sengaja ada yang berkhianat.”

Kata-kata terakhir Raden Wirasena itu ternyata telah mengejutkan kedua orang tua itu. Sebuah desir tajam tiba-tiba telah menggores jantung mereka.

“Siapa yang akan berkhianat?” hampir bersamaan kedua orang tua itu telah melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkan.

Tanpa sadar Raden Wirasena telah menghentikan langkahnya. Dengan sedikit ragu-ragu dia mengajukan sebuah pertanyaan, “Mungkinkah di antara kita ada yang berkhianat?”

Sejenak kedua orang tua itu saling pandang. Betapapun juga kemungkinan itu pasti ada. Apalagi rencana mereka tidak sepenuhnya berhasil. Ada kemungkinan di antara mereka akan mencari keuntungan dengan dalih apapun untuk memberi keterangan kepada pihak Mataram.

“Gila!” tiba-tiba Eyang Guru mengumpat keras. Tanyanya kemudian, “Raden, bagaimana menurut pendapa Raden tentang Lurah Prajurit itu?”

“Maksud Eyang Guru, Ki Lurah Wirabakti?” Raden Wirasena balik bertanya dengan kerut merut di dahi.

“Ya Raden,” jawab Eyang Guru dengan suara meyakinkan, “Apakah tidak menutup kemungkinan dia akan berbalik memihak Mataram begitu menyadari rencana kita tidak berhasil seluruhnya?”

Page 74: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

70

“Ya Raden,” Kiai Dandang Mangore ikut menimpali, “Kemungkinan itu ada. Menilik raut wajahnya yang sedikit ragu-ragu ketika menerima perintah dari Raden.”

“Aku tidak sempat memperhatikannya,” berkata Raden Wirasena kemudian sambil mengayunkan langkahnya kembali diikuti oleh kedua orang tua itu, “Aku masih berharap akan kesetiaannya untuk mendukung perjuangan kita.”

“Tetapi aku mempunyai keyakinan bahwa Ki Lurah tidak akan ikut ke Gunung Tidar,” berkata Eyang Guru kemudian sambil tetap melangkah mengikuti Raden Wirasena, “Bukankah selama ini dia tidak pernah meninggalkan tugas-tugasnya sebagai prajurit? Dia bekerja sama dengan kita dari dalam lingkungan keprajuritan Mataram. Jadi yang pasti dia hanya akan menyampaikan perintah Raden kepada orang-orang kita untuk kembali ke Gunung Tidar. Sedangkan dia sendiri akan kembali ke kesatuannya.”

“Dan itu tidak menutup kemungkinan bagi dia untuk berkhianat,” sahut Kiai Dandang Mangore cepat.

Raden Wirasena sejenak termenung sambil tetap mengayunkan langkahnya. Berbagai dugaan dan petimbangan hilir mudik dalam benaknya.

“Raden,” berkata Eyang Guru kemudian membuyarkan lamunan Raden Wirasena, “Lebih baik kita bertindak cepat. Jika arah angin berubah dan Ki Lurah berbalik arah, jalur itu harus segera di putus sebelum mempersulit keadaan kita.”

“Aku setuju dengan pikiranmu, Gandhuru,” justru Kiai Dandang Mangore lah yang menyahut, “Sekarang juga aku bersedia memutus jalur itu jika Raden menghendaki. Sebelum semuanya terlambat.”

Agaknya pendapat kedua orang tua itu telah mempengaruhi penalaran Raden Wirasena. Maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku minta tolong Kiai Dandang Mangore untuk mengurus Lurah Wirabakti. Aku dan Eyang Guru akan tetap melanjutkan perjalanan menuju Gunung Tidar.”

Page 75: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

71

“Sendika Raden,” jawab Kiai Dandang Mangore sambil menghentikan langkahnya, “Aku mohon diri untuk kembali ke hutan Krapyak.”

“Silahkan Kiai,” jawab Raden Wirasena sambil ikut berhenti. Eyang Guru pun kemudian ikut berhenti.

“Namun aku berpesan jangan sampai apa yang akan Kiai lakukan itu diketahui oleh kawan-kawan kita,” berkata Raden Wirasena selanjutnya.

“O, tentu tidak, Raden,” jawab Kiai Dandang Mangore sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, “Aku tidak akan melakukan di hadapan orang-orang kita. Aku akan melakukannya dalam perjalanan dia kembali ke Mataram.”

“Bagus!” hampir bersamaan Raden Wirasena dan Eyang Guru menyahut.

“Nah, aku mohon diri Raden,” berkata Kiai Dandang Mangore kemudian.

“Silahkan Kiai, “jawab Raden Wirasena, “Sampai bertemu di Gunung Tidar.”

Demikianlah akhirnya, Kiai Dandang Mangore segera memisahkan diri dan berjalan kembali menuju hutan Krapyak. Sementara Eyang Guru dan Raden Wirasena melanjutkan perjalanan mereka.

Dalam pada itu, malam telah melewati puncaknya. Di pesantren Gunung Muria, Glagah Putih dengan setia masih menunggui kakak sepupunya yang terbaring lemah di atas amben.

Sore tadi sepeninggal Mas Santri, Glagah Putih segera bercerita tentang pertempuran yang telah terjadi di Sapta Dhahana pagi tadi.

“Aku mendengar suara benturan dahsyat dari balik dinding,” berkata Glagah Putih kemudian sambil menggeser dingklik kayu itu mendekat, “Tidak ada pilihan lain bagiku selain mengakhiri

Page 76: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

72

perlawanan Raden Surengpati. Aku belum tahu bagaimana nasib adik orang yang mengaku Trah Sekar Seda Lepen itu.”

Ki Rangga yang terbaring lemah itu mengerutkan keningnya. Tanyanya kemudian, “Glagah Putih mengapa engkau meninggalkan Sapta Dhahana? Bagaimana dengan kawan-kawan kita? Dan terlebih lagi saat itu Matahari hampir terbit. Pengaruh sirep akan hilang dan para cantrik yang tersadar dari pengaruh sirep akan beramai-ramai mengeroyok orang-orang tua itu sebagaimana anjing-anjing pemburu mengeroyok mangsanya.”

“O, tidak kakang,” sela Glagah Putih cepat, “Aku masih mendengar pasukan pengawal Matesih yang berusaha menggempur pintu gerbang. Agaknya pasukan pengawal Matesih telah menyerbu padepokan Sapta Dhahana tepat saat Matahari terbit.”

“Syukurlah,” desis Ki Rangga sambil menyeringai menahan sakit di dadanya ketika dia mencoba bergeser. Benturan itu memang begitu dahsyatnya sehingga tubuh bagian dalam Ki Rangga telah terluka berat.

Melihat kakak sepupunya menyeringai menahan sakit, Glagah Putih segera menggeser tempat duduknya semakin dekat. Tanyanya kemudian, “Apakah kakang memerlukan bantuan?”

Ki Rangga tersenyum sambil menggeleng lemah. Jawabnya kemudian, “Tidak Glagah Putih, aku tidak apa-apa, hanya perlu istirahat yang cukup. Sebaiknya engkau juga beristirahat. Malam sudah cukup larut.”

“Kakang juga belum beristirahat,” sergah Glagah Putih cepat.

Ki Rangga tersenyum. Namun baru saja dia akan membuka mulut, terdengar kethukan perlahan di pintu bilik.

Ketika kedua orang itu kemudian berpaling ke arah pintu, tampak kepala Mas Santri tersembul di antara daun pintu bilik yang terbuka beberapa jengkal.

Page 77: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

73

“Masuklah Mas Santri,” berkata Glagah Putih sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya.

Dengan langkah satu-satu Mas Santri pun kemudian melangkah mendekat setelah sebelumnya menutup pintu bilik terlebih dahulu.

“Ki Rangga,” berkata Mas Santri kemudian setibanya dia di pinggir amben, “Kanjeng Rama ingin berbicara barang sebentar dengan Ki Rangga.”

Glagah Putih yang kini duduk di ujung pembaringan Ki Rangga terkejut. Dipandanginya wajah kakak sepupunya yang pucat pasi. Tanyanya kemudian dengan nada sedikit ragu-ragu, “Kakang, apakah kakang sudah cukup kuat untuk menghadap Kanjeng Sunan sekarang ini?”

Namun ternyata Mas Santri yang berdiri di belakang Glagah Putih yang menjawab, “Kakang Glagah Putih, bukan Ki Rangga yang harus menghadap Kanjeng Sunan, namun aku diperintah oleh Kanjeng Sunan untuk memberitahu Ki Rangga bahwa Kanjeng Rama akan menjenguk Ki Rangga dan sekaligus ada hal penting yang ingin disampaikannya.”

“O,” desis Glagah Putih sambil tersenyum dan kemudian berdiri, “Sebaiknya aku keluar bilik terlebih dahulu sebelum Kanjeng Sunan hadir di tempat ini.”

Hampir bersamaan Ki Rangga dan Mas Santri tersenyum.

Demikianlah akhirnya Glagah Putih dan Mas Santri mohon diri meninggalkan Ki Rangga sendirian di dalam bilik.

Dalam pada itu sepeninggal Glagah Putih dan Mas Santri, Ki Rangga menjadi gelisah. Berbagai dugaan hilir mudik dalam benaknya. Kira-kira hal penting apakah yang akan disampaikan Kanjeng Sunan kepada dirinya?

Pertanyaan itu berputar-putar dalam benaknya, namun Ki Rangga tidak mampu menjawabnya.

Page 78: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

74

Di saat kegelisahannya memuncak itulah tiba-tiba terasa ada sebuah getaran yang memasuki alam bawah sadar Ki Rangga. Sudah sering Ki Rangga mengalami hal itu. Bahkan Ki Rangga sudah pernah menyampaikan permasalahannya itu kepada Ki Waskita, orang yang dianggap sebagai gurunya yang kedua setelah Kiai Gringsing.

“Ada apakah ini?” desis Ki Rangga sangat perlahan, “Isyarat-isyarat ini muncul tanpa dapat aku kendalikan. Jika dengan sengaja aku memusatkan nalar dan budiku untuk meraba isyarat itu, justru isyarat itu akan menghilang.”

Menyadari hal seperti itu, Ki Rangga membiarkan saja kesadarannya yang perlahan-lahan menurun. Pendengaran Ki Rangga pun mulai mendengar suara aneh, seperti sebuah siulan yang bernada tinggi dan tak putus-putusnya. Namun lambat laun suara siulan itu melemah dan akhirnya menghilang seiring dengan masuknya kesadaran Ki Rangga ke dalam alam sonyaruri.

Tiba-tiba dalam mata batin Ki Rangga, terhampar sebuah pemandangan yang mengejutkan. Tampak dirinya sedang berdiri tegak di antara kabut tebal yang bergulung-gulung mengelilinginya. Ketika kabut tebal itu perlahan-lahan menghilang, muncullah seraut wajah yang sangat dikenalnya, bahkan yang akhir-akhir ini selalu menghantui mimpi-mimpinya, Rara Anjani.

“Anjani,” desah Ki Rangga dalam alam bawah sadarnya. Namun sekejap bayangan seraut wajah cantik itu menghilang seiring dengan datangnya serombongan orang berkuda yang berpacu dengan kencang di tengah padang.

Kuda-kuda itu berpacu sedemikian cepatnya bagaikan anak-anak panah yang terlepas dari busurnya menuju ke arah dirinya. Belum sempat Ki Rangga berbuat sesuatu, kuda-kuda itu dengan garang telah menerjangnya.

Begitu terkejutnya Ki Rangga sehingga telah membuatnya terjaga dari alam bawah sadarnya.

Page 79: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

75

“Ah,” desah Ki Rangga kemudian perlahan sambil mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Peluh telah membasahi sekujur tubuhnya.

“Isyarat apa lagi yang aku terima ini?” berkata Ki Rangga kemudian dalam hati, “Seandainya ada Ki Waskita, aku dapat meminta pertimbangannya tentang makna isyarat ini.”

Namun tiba-tiba terlintas dalam benaknya seseorang yang mungkin dapat dijadikannya tempat bertanya, Kanjeng Sunan.

“Aku dapat meminta petunjuk Kanjeng Sunan,” gumam Ki Rangga perlahan dengan nada penuh harapan.

Berpikir sampai disitu hati Ki Rangga menjadi sedikit tenang, walaupun tidak sepenuhnya. Dicobanya untuk menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan debar jantungnya. Namun semakin dalam dia menarik nafas, terasa rasa nyeri semakin menghantam dadanya.

Di saat Ki Rangga Sedang terbaring dengan gelisah itu, tiba-tiba terdengar desir langkah menuju ke biliknya. Sejenak kemudian terdengar kethukan perlahan dan derit pintu bilik yang terbuka. Ketika Ki Rangga kemudian berpaling, Kanjeng Sunan sedang berdiri di tengah-tengah pintu bilik yang terbuka lebar.

“Kanjeng Sunan,” desis Ki Rangga perlahan sambil berusaha bangkit.

“Berbaring sajalah Ki Rangga,” terdengar Kanjeng Sunan mencegah Ki Rangga. Setelah menutup pintu bilik, Kanjeng Sunan pun kemudian melangkah mendekat ke pembaringan.

“Mohon ampun Kanjeng Sunan, hamba masih belum mampu untuk duduk,” berkata Ki Rangga kemudian dengan tetap berbaring, “Tulang-tulang sekujur tubuh hamba rasanya berpatahan serta sendi-sendi bagaikan terlepas dari tempatnya.”

Kanjeng Sunan yang sudah mengambil dingklik kayu dan kemudian duduk di samping amben bambu itu tersenyum. Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku maklum Ki Rangga. Benturan

Page 80: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

76

ilmu yang terjadi antara Ki Rangga dengan pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu memang sudah diluar batas kewajaran. Agaknya Kiai Damar Sasangka benar-benar sudah tidak mampu mengekang diri lagi. Puncak ilmunya yang bersumber dari alam kegelapan itu memang ngedab-edabi.”

Diam-diam Ki Rangga bersyukur dalam hati. Jika bukan karena kemurahan dan perlindungan Yang Maha Agung, tentu tubuhnya sudah lumat menjadi abu.

“Ampun Kanjeng Sunan,” berkata Ki Rangga kemudian, “Jika hamba diperkenankan mengetahui, siapakah yang telah membangunkan samadi hamba di saat yang genting itu?”

Kanjeng Sunan tersenyum sareh. Jawabnya kemudian, “Akulah yang membangunkan samadimu, Ki Rangga. Aku tidak rela melihat engkau lumat menjadi abu. Namun aku sama sekali tidak membantumu mengatasi gempuran lawanmu saat itu. Engkau sendirilah yang telah berusaha mengatasi serangan lawanmu itu, dan selebihnya, tentu saja pertolongan Yang Maha Agung lah yang telah menyelamatkanmu dari kehancuran.”

Untuk beberapa saat Ki Rangga tampak masih bimbang menerima keterangan Kanjeng Sunan itu. Pandangan matanya yang kosong tampak menerawang ke langit-langit bilik.

“Engkau tidak percaya, Ki Rangga?” bertanya Kanjeng Sunan kemudian begitu melihat sinar mata Ki Rangga yang penuh keraguan, “Apa yang membuat engkau menjadi ragu-ragu Ki Rangga?”

Sejenak Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan dadanya yang sesak. Namun Ki Rangga justru merasakan dadanya bertambah sakit.

Melihat keadaan Ki Rangga, Kanjeng Sunan tersenyum. Bertanya Kanjeng Sunan kemudian, “Ki Rangga, apakah Ki Rangga sudah meminum obat yang aku titipkan kepada Mas Santri?”

Page 81: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

77

“Hamba Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga hampir tak terdengar.

Kanjeng Sunan kembali tersenyum. Bertanya Kanjeng Sunan selanjutnya, “Apakah ada perubahan dalam tubuhmu setelah meminum air yang aku titipkan Mas Santri itu?”

Sejenak Ki Rangga ragu-ragu. Namun dia akhirnya menjawab, “Hamba Kanjeng Sunan. Namun perubahan itu hampir tidak tampak. Sekujur tubuh hamba masih terasa sakit tiada taranya.”

Kanjeng Sunan kali ini tertawa pendek sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Bertanya kembali Kanjeng Sunan, “Apa pendapatmu tentang obat yang aku berikan lewat Mas Santri itu?”

Kembali terlihat Ki Rangga ragu-ragu untuk menjawab. Namun akhirnya dia berkata juga, “Mohon ampun Kanjeng Sunan, obat yang dibawa Mas Santri itu hanya semangkuk air putih, tidak lebih dan tidak kurang.”

Kali ini Kanjeng Sunan benar-benar tidak mampu menahan tawanya. Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Aku menyadari keraguanmu mengenai obat yang aku berikan itu. Tentu yang terbayang dalam benakmu adalah obat sebagaimana kebanyakan ramuan obat yang engkau kenal selama ini. Aku tahu gurumu adalah salah seorang ahli pengobatan yang mumpuni. Kiai Gringsing adalah orang yang ahli dalam pengobatan selain ilmu olah kanuragan dari jalur perguruan Windujati yang diwarisinya. Aku maklum, sebagai muridnya, Ki Rangga pasti sedikit banyak telah mempelajari ilmu pengobatan.”

“Hamba, Kanjeng Sunan,” jawab Ki Rangga, “Dulu semasa guru masih hidup, hamba sering diajak mencari bahan obat-obatan yang berupa daun-daunan, kulit kayu dan batang pohon-pohon perdu serta berjenis-jenis empon-empon. Bahkan tak jarang guru juga menyadap sejenis getah pohon yang beracun. Semua itu diramu dalam sebuah takaran tertentu untuk jenis luka luar maupun dalam, dan juga jenis penyakit tertentu.”

Page 82: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

78

Tampak Kanjeng Sunan mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar uraian Ki Rangga. Berkata Kanjeng Sunan kemudian, “Ki Rangga, aku tidak mempelajari ilmu pengobatan seperti gurumu. Aku tahu itu adalah sebuah ilmu yang cukup rumit dan perlu pengalaman serta ketelitian dalam menentukan obat sesuai sakitnya. Yang aku pelajari selama ini memang berbeda.”

Sejenak Ki Rangga memandang ke arah Kanjeng Sunan dengan sinar mata penuh pertanyaan. Namun ketika Kanjeng Sunan balas memandangnya, dengan cepat Ki Rangga segera melemparkan pandangan matanya ke langit-langit bilik.

“Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya, “Sesuai apa yang aku pelajari selama ini, apa yang gumelar di seluruh jagad raya ini, apa yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi adalah kuasa penuh dari Yang Maha Agung. Sekecil apapun cita-cita yang ingin kita raih, kita wajib melakukan usaha, doa dan berpasrah diri kepadaNya. Ketiga hal tersebut; usaha, doa, dan berpasrah diri dalam kenyataannya seringkali tak berjalan beriringan. Padahal, jika ketiganya digabungkan, akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam meraih ridhaNya.”

Untuk beberapa saat Ki Rangga termangu-mangu. Berbagai permasalahan hilir mudik dalam benaknya. Namun akhirnya Ki Rangga pun mengungkapkan apa yang masih mengganjal dalam hatinya.

Berkata Ki Rangga kemudian, “Ampun Kanjeng Sunan, mohon kiranya Kanjeng Sunan berkenan menjelaskan kepada hamba tentang usaha, doa dan berpasrah diri itu.”

Kanjeng Sunan menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Sejenak kemudian Kanjeng Sunan pun berkata, “Usaha adalah jalan agar Yang Maha Agung melihat seberapa gigih kita mengharapkan yang terbaik dari-Nya, maka dari itu saat kita mengharapkan sesuatu dalam kehidupan, senjata yang paling ampuh selain doa adalah usaha, karena melalui usaha tersebut Yang Maha Agung akan mengubah takdir kita,” Kanjeng Sunan berhenti sejenak. Lanjutnya

Page 83: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

79

kemudian, “Sebab, takdir seseorang tidak akan berubah menjadi lebih baik kecuali jika berusaha dengan segenap jiwa raganya untuk sungguh-sungguh mengubahnya. Tujuan dalam hidup takkan pernah tercapai dengan sempurna jika usaha kita tak pernah meyakinkan Yang Maha Agung. Oleh karena itu, jangan pernah merasa letih untuk berusaha, apalagi sampai berputus asa.”

Sejenak suasana di dalam bilik itu menjadi sunyi. Ki Rangga dengan sungguh-sungguh mencoba mendalami dan mencerna apa yang telah disampaikan oleh Kanjeng Sunan.

“Teruslah berusaha,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya, “Sebab kita tak pernah tahu akan kehendak dari Yang Maha Agung dalam meridhoi usaha kita. Tetap berusaha dengan segigih mungkin, karena takkan pernah ada usaha yang berakhir sia-sia. Karena jika usahanya itu benar-benar dilandasi dengan niat mengharap ridhoNya, usahanya akan dicatat sebagai amal ibadah.”

Sampai disini Ki Rangga teringat akan dirinya ketika masih muda. Betapa usaha yang sungguh-sungguh telah dilaksanakannya dalam usaha meningkatkan ilmunya. Pada dasarnya dia dan adik seperguruannya bersama-sama menimba ilmu kepada Kiai Gringsing. Ilmu yang disadapnya pun sama. Guru mereka tidak pernah membedakan, tidak pernah emban cindhe emban silatan. Namun kesungguhannya dalam menekuni apa yang telah dipelajarinya ternyata telah membuahkan hasil.

“Ketahuilah Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan selanjutnya membangunkan Ki Rangga dari lamunannya, “Jika usaha kita membuahkan hasil, maka kita setidaknya akan mendapat dua keuntungan. Pertama, kita akan memperoleh pahala dari Yang Maha Agung. Kedua, kita akan mendapat keberhasilan atau manfaat dari apa yang telah kita usahakan. Tetapi jika usaha kita itu belum berhasil karena memang Yang Maha Agung belum meridhoinya atau memang kita sedang dalam ujianNya, maka setidaknya kita akan mendapat pahala dariNya karena usaha kita

Page 84: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

80

itu. Bahkan jika kita sabar dalam keadaan apapun yang menimpa kita, maka kita akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda.”

Kembali suasana di dalam bilik itu menjadi sunyi. Tampaknya Ki Rangga sedang mencerna dan meresapi apa yang telah disampaikan oleh Kanjeng Sunan.

“Berdoa adalah merupakan sebuah pertanda bahwa seorang hamba membutuhkan Tuhan-Nya,” Kanjeng Sunan melanjutkan penjelasannya setelah sejenak mereka terdiam, “Bahkan, doa disebut sebagai senjata orang yang beriman, karena memang hanya doa yang tak pernah ditolak oleh Yang Maha Agung. Setiap doa yang kita panjatkan kepada-Nya akan selalu diterima, hanya saja terkadang Yang Maha Agung menunda permohonan itu atau bahkan menggantinya dengan yang lebih baik. Karena Yang Maha Pemberi lebih mengetahui apa yang terbaik bagi kita. Boleh saja kita memohon segala sesuatu menurut kebutuhan yang ada dalam dada kita, namun percayalah, Yang Maha Mengetahui akan memberikan yang terbaik bagi kita.”

Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Tanpa sadar dia memandang ke arah Kanjeng Sunan. Dalam sorot matanya tampak mengandung sebuah pertanyaan.

‘Ki Rangga,” berkata Kanjeng Sunan kemudian dengan sebuah senyum di bibir, “Apakah Ki Rangga masih meragukan akan kemurahan dari Yang Maha Pemberi?”

-----------------0O0-----------------

Bersambung ke jilid 12

Page 85: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

81

Page 86: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

82

Page 87: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

83

Page 88: SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 · SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11 iv Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita

SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 11

84