sejengkal tanah setetes darah jilid 14 · 2020. 3. 14. · sejengkal tanah setetes darah jilid 14...

88
i SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

Upload: others

Post on 04-Feb-2021

60 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

  • i

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

  • ii

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

  • iii

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH

    JILID 14

    OLEH

    PanemBahan Mandaraka

    Gambar sampul & Gambar dalam

    Ki Adi Suta

    Tahun 2019 Diterbitkan hanya untuk kalangan terbatas

  • iv

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Cerita ini ditulis Atas dasar kekaguman akan karya seorang anak bangsa Yang telah menggali cerita Dari bumi yang tercinta Walaupun yang disajikan ini jauh dari sempurna Tak ada maksud untuk meniru Sang Pujangga Hanyalah kecintaan akan sebuah karya Untuk dilestarikan sepanjang masa Sekar keluwih, Juni 2019

    Terima kasih atas dukungan:

    Istri dan anak-anak tercinta

    Serta handai taulan semua

  • 1

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “TERNYATA sifat Ki Swandaru telah menurun kepada anaknya,” hampir setiap dada telah terguncang oleh pernyataan sikap Bayu Swandana itu.

    “Kasihan Nyi Pandan Wangi,” seorang pengawal yang rambutnya mulai beruban melanjutkan angan-angannya, “Semoga Ki Argapati di Menoreh lambat laun akan mampu membentuk anak ini menjadi anak yang andap asor dan berbudi luhur serta menjadi harapan bagi masa depan kedua daerah yang besar itu.”

    Sedangkan perempuan parobaya yang ternyata adalah Pandan Wangi, ibu Bayu Swandana itu justru telah terpekur di atas kudanya yang berderap perlahan. Berbagai tanggapan pun telah tumbuh di dalam hatinya.

    “Ayah Demang memang terlalu memanjakannya,” berkata Pandan Wangi dalam hati sambil terus mengendalikan kudanya agar tidak berderap terlalu kencang, “Apapun tingkah lakunya selalu dibenarkan dan didukung. Mungkin kenangan atas kakang Swandaru telah membuat ayah Demang berbuat seperti itu.”

    Demikianlah kelima kuda ekor itu berderap terus menyusuri pinggir hutan yang masih cukup lebat. Sesekali mereka melihat beberapa ekor kera bergelantungan di pepohonan di pinggir hutan. Terdengar suara mereka yang ribut dan saling bersahut-sahutan.

    “Paman,” tiba-tiba Bayu Swandana menyelethuk, “Mengapa kera-kera itu mengikuti kita?”

    Orang yang dipanggil paman itu tersenyum sebelum menjawab. Jawabnya kemudian, “Tentu saja mereka bercuriga terhadap kita. Mereka selalu bercuriga terhadap sesuatu yang mereka anggap

  • 2

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    asing dan berbahaya bagi kelompok mereka. Sebenarnyalah mereka hanya berusaha mengawal kita sampai keluar hutan untuk meyakinkan bahwa kita tidak akan mengganggu mereka.”

    Tampak kepala Bayu Swandana terangguk-angguk. Kemudian sambil sedikit berteriak dia bertanya kepada Pandan Wangi yang berkuda di depan, “Biyung, masih lamakah perjalanan ini?”

    Pandan Wangi yang kembali berkuda di depan berpaling ke belakang sekilas sambil menjawab, “Sedikit lagi, Ngger. Bersabarlah. Nanti setelah sampai di kediaman kakek Argapati, engkau dapat beristirahat sepuas-puasnya.”

    “Aku tidak akan tidur, Biyung,” sela Bayu Swandana cepat, “Aku akan mengajak kakek Argapati untuk berkuda berkeliling perdikan Menoreh.”

    Pandan Wangi tersenyum mendengar ucapan anak laki-laki satu-satunya yang terdengar penuh semangat itu. Beberapa pengawal yang ikut dalam rombongan itu pun tampak tersenyum.

    “Malam-malam engkau akan berkuda, Ngger?” tiba-tiba salah seorang pengawal yang berkuda di belakang bertanya.

    Bayu Swandana berusaha berpaling ke belakang untuk melihat pengawal yang bertanya itu. Namun pandangan matanya tertutup tubuh pengawal yang berkuda dengannya. Maka jawabnya sambil sedikit berteriak, “Apa salahnya berkuda malam-malam? Udara malam tidak sepanas siang hari sehingga kita tidak akan cepat lelah dan dapat berkuda sepuas-puasnya.”

    “Namun kuda juga perlu beristirahat,” sahut pengawal yang berkuda bersamanya, “Sebagaimana manusia, binatang juga perlu beristirahat di malam hari.”

    “Tapi kelelawar itu justru berkeliaran di malam hari,” sergah Bayu Swandana cepat, “Pohon jambu di belakang dapur itu buahnya yang sudah masak habis dimakan kelelawar. Padahal aku baru mau memetiknya keesokan harinya.”

    Orang-orang yang mendengar gerutu Bayu Swandana itu tak urung telah tersenyum geli.

  • 3

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Ngger, Tuhan Yang Maha Agung menciptakan makhlukNya berbeda-beda,” jawab pengawal yang berkuda dengannya sambil tersenyum sareh, “Ada makhluk yang memang menggunakan siang hari untuk bekerja dan malam hari untuk beristirahat, contohnya kita sebagai manusia. Namun ada juga makhluk yang menggunakan siang hari untuk beristirahat dan malam hari untuk mencari makan, salah satunya adalah kelelawar itu.”

    “Tapi manusia kadang-kadang ada yang hidupnya seperti kelelawar,” sahut Bayu Swandana cepat.

    “Apa maksudmu, Ngger?” sahut pengawal yang berkuda bersamanya dengan kerut merut di dahi.

    Bayu Swandana tertawa pendek. Jawabnya kemudian sambil tangannya kanannya menunjuk ke belakang, ke arah pengawal yang berkuda bersamanya, “Paman sendiri yang aku lihat kemarin menjadi kelelawar.”

    “He?!” hampir bersamaan para pengawal yang ikut dalam rombongan itu terlonjak kaget. Tak terkecuali Pandan Wangi yang berkuda di depan pun ikut berpaling.

    “Kapan aku menjadi kelelawar, Ngger?” bertanya pengawal yang berkuda bersamanya itu dengan serta merta dan nada penuh keheranan.

    Kembali Bayu Swandana tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Kemarin lusa aku lihat paman tidur seharian di lincak dekat longkangan. Baru menjelang Matahari terbenam paman bangun dan pergi ke pakiwan belakang dapur.”

    “Ah!” serentak para pengawal itu tertawa. Pandan Wangi pun tersenyum menanggapi ucapan anak semata wayangnya itu.

    “Itu karena paman semalaman habis meronda ke seluruh wilayah kademangan Sangkal Putung,” berkata pengawal yang berkuda bersamanya itu kemudian, “Paman sangat mengantuk dan memang hampir seharian tidur di lincak dekat longkangan itu.”

  • 4

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Nah, bukankah benar yang aku katakan,” sergah Bayu Swandana cepat, “Saat itu paman sedang menjadi kelelawar. Bekerja di malam hari dan tidur di siang hari.”

    “Memang benar, Ngger,” seorang pengawal yang berkuda di belakangnya menyahut sambil memacu kudanya menjajari kuda Bayu Swandana, “Kelak engkau akan melihat banyak manusia yang hidupnya seperti kelelawar.”

    “Ah, sudahlah,” tiba-tiba terdengar Pandan Wangi yang berkuda di depan memotong. Tanyanya kemudian mengalihkan pembicaraan, “Apakah kita akan melewati Kota Raja?”

    “Ya, ya, Biyung. Kita lewat Kota Raja!” sahut Bayu Swandana kegirangan, “Aku belum pernah melihat Kota Raja. Alangkah indahnya! Kita dapat bermalam di Kota Raja, Biyung.”

    “Sebaiknya kita menghindari Kota Raja, Nyi,” pengawal yang berkuda bersama Bayu Swandana itu lah yang menjawab, “Jika Nyi Pandan Wangi sependapat, kita sedikit ke selatan melewati kademangan Sewon yang besar. Namun aku rasa perjalanan kita tidak akan mengalami banyak hambatan. Berbeda dengan jika kita melewati Kota Raja.”

    Pandan Wangi mengerutkan keningnya sambil berpaling sekilas ke belakang. Tanyanya kemudian, “Ada apa dengan Kota Raja jika kita melewatinya?”

    “Maaf Nyi,” jawab pengawal itu, “Bukan Kota Raja itu sendiri yang menjadi masalah. Namun rombongan ini akan sangat menarik perhatian para prajurit yang menjaga pintu gerbang Kota Raja.”

    “Maksudmu, pakaian yang aku kenakan ini akan menarik perhatian mereka?”

    “Demikianlah, Nyi. Itu menurut perhitunganku.”

    “Ada apa dengan Biyung?” tiba-tiba Bayu Swandana menyelethuk dengan nada bersungut-sungut, “Biyung terlihat sangat cantik dan gagah mengenakan pakaian itu. Apalagi biyung

  • 5

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    juga membawa sepasang pedang di lambung. Para prajurit yang menjaga pintu gerbang pasti akan ketakutan.”

    Hampir semua orang dalam rombongan itu telah tersenyum mendengar ucapan Bayu Swandana.

    “Tidak, Ngger,” jawab Pandan Wangi kemudian sambil mengurangi laju kudanya dan menjajari kuda yang ditunggangi pengawal bersama anaknya, “Para prajurit Mataram tidak mengenal rasa takut. Sebaiknya kita memang menghindari Kota Raja. Bukan berarti kita takut dengan para prajurit Mataram. Mereka sangat baik. Namun lebih baik kita menghindari Kota Raja. Kota Raja sangat ramai dan kemungkinannya perjalanan kita akan sangat lambat. Berbeda jika kita melewati kademangan Sewon. Kita dapat berpacu di bulak-bulak panjang sehingga setelah Matahari terbenam kita sudah akan menyeberangi Kali Progo.”

    “Horee...!!! Kita akan berpacu lagi!” seru Bayu Swandana gembira, “Aku sudah bosan naik kuda pelan-pelan. Seperti menaiki seekor kerbau.”

    “Ah”, beberapa pengawal tertawa. Salah satu dari pengawal yang berkuda di belakang itu pun kemudian menyahut, “Tapi naik kerbau sangat menyenangkan. Kita dapat duduk dengan tenang sambil terkantuk-kantuk.”

    Kembali terdengar orang-orang dalam rombongan itu tertawa. Bayu Swandana pun tertawa karena dia sering melakukannya jika musim menggarap sawah tiba. Kakeknya Ki Demang Sangkal Putung mempunyai kerbau yang cukup banyak sehingga dia sering ikut ke sawah sambil menaiki kerbau.

    ***

    Dalam pada itu, Matahari masih terlihat bersinar dengan garangnya walaupun sudah tidak sepanas beberapa saat tadi. Di pringgitan banjar padukuhan induk perdikan Matesih, dekat

  • 6

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    sebuah jendela besar sehingga angin terasa sejuk memasuki pringgitan, tampak beberapa orang sedang berkumpul mendengarkan keterangan dari seorang prajurit sandi dari Mataram.

    “Jadi, Sinuhun Prabu telah mangkat?” hampir bersamaan pertanyaan itu meluncur dari bibir orang-orang yang berada di pringgitan itu.

    Sejenak prajurit sandi Mataram itu menarik nafas panjang sambil mengedarkan pandangan matanya ke setiap wajah yang hadir di tempat itu. Jawabnya kemudian sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Benar, Sinuhun Prabu telah mangkat di hutan Krapyak kemarin sore karena kuda tunggangan Sinuhun mengalami kecelakaan.”

    Mereka yang hadir di pringgitan itu sejenak menahan nafas. Mereka benar-benar tidak habis mengerti, bagaimana mungkin putra Panembahan Senapati yang termasyhur pandai menunggang kuda itu bisa mengalami kecelakaan ketika sedang berkuda.

    “Aneh,” tiba-tiba Ki Jayaraga menyelethuk sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.

    Serentak semua pandangan tertuju ke arah guru Glagah Putih itu.

    “Apanya yang aneh, Ki?” bertanya prajurit sandi itu dengan serta merta.

    “Aku hanya merasa aneh saja,” jawab Ki Jayaraga sambil menggeser duduknya setapak maju, “Sebagaimana ayahandanya, Sinuhun Prabu semasa mudanya juga sangat senang berkuda. Ketangkasannya dalam menunggang kuda juga tidak kalah dari ayahandanya, Panembahan Senapati.”

    “Ki Jayaraga benar,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu yang duduk di sebelah Ki Gede Matesih, “Sinuhun Prabu terkenal sebagai seorang penunggang kuda yang tangkas sebagaimana ayahandanya.”

  • 7

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Segera saja terdengar suara bergumam yang menandakan persetujuan dari orang-orang yang hadir di tempat itu.

    Untuk sejenak prajurit sandi itu tertegun. Tampaknya dia sedang mempertimbangkan sesuatu untuk disampaikan. Berkali-kali pandangan matanya tertuju ke arah Ki Rangga dan kemudian beralih kepada Ki Gede Matesih dan orang-orang yang hadir di ruangan itu.

    Agaknya Ki Rangga tanggap. Maka katanya kemudian, “Engkau dapat mempercayai semua orang yang hadir di tempat ini jika memang ada sebuah rahasia yang ingin engkau sampaikan. Aku sebagai jaminannya.”

    Mendengar kata-kata Ki Rangga, tampak prajurit sandi itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sekarang tidak ada lagi keraguan untuk menyampaikan berita rahasia itu kepada orang-orang yang hadir di pringgitan itu.

    “Pada awalnya aku memang ragu-ragu untuk menyampaikan berita khusus dari Ki Patih Mandaraka ini,” prajurit sandi itu mengawali ceritanya, “Memang Ki Patih tidak menyebut satu persatu orang yang harus mendengar berita ini, namun secara khusus Ki Patih telah berpesan agar berita ini sampai kepada Ki Rangga.”

    Tampak wajah-wajah yang berada di pringgitan itu menjadi tegang. Beberapa orang bahkan mulai menduga-duga berita itu walaupun hanya sebatas dalam hati.

    Setelah menarik nafas dalam-dalam untuk memenuhi rongga dadanya, barulah kemudian prajurit sandi itu menceritakan kejadian sebenarnya yang menimpa Sinuhun Prabu Hanyakrawati pada saat berburu di hutan Krapyak.

    “Paser beracun?” hampir bersamaan mereka yang hadir di tempat itu berseru tertahan ketika prajurit sandi itu menyebutkan penyebab wafatnya Sang Prabu.

    “Apakah Ki Patih dan Raden Mas Rangsang mengetahui siapa yang telah menyerang Sinuhun dengan curang?” bertanya Ki Rangga kemudian dengan jantung yang berdebaran.

  • 8

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Prajurit sandi itu menggeleng. Jawabnya kemudian, “Ki Patih dan Raden Mas Rangsang telah terlambat sekejap. Kedua priyagung Mataram itu tidak berani dengan gegabah memacu kuda mereka melewati tikungan. Ki Patih justru telah mengajak Pangeran Pati untuk turun dari kuda.”

    “Turun dari kuda? Mengapa?” Glagah Putih yang sedari tadi hanya menjadi pendengar yang baik ternyata tidak mampu menahan hatinya untuk bertanya.

    Ki Rangga berpaling sekilas ke arah adik sepupunya itu. Namun perhatiannya kembali tercurah kepada prajurit sandi Mataram itu.

    “Ki Patih mempunyai panggraita bahwa di balik tikungan itu pasti ada sesuatu yang sedang menunggu, sesuatu yang dapat mencelakakan mereka berdua,” jawab prajurit sandi itu kemudian.

    “Jadi bagaimana nasib Sinuhun? Siapakah yang menolong Sinuhun?” Sekarang giliran Ki Gede Matesih yang mengajukan pertanyaan dengan suara yang bergetar, menahan gejolak di dalam dadanya.

    Prajurit sandi itu tampak menarik nafas dalam-dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih namun sangat jelas terdengar di telinga orang-orang yang hadir di pringgitan itu.

    “Tidak ada seorang pun yang mampu menolong Sinuhun. Sinuhun telah mangkat, terkena paser beracun. Demikian juga kuda tunggangan Sinuhun,” jawab prajurit sandi itu dengan suara perlahan sambil mencoba menahan gejolak di dalam dadanya yang seakan-akan mau meledak.

    Sejenak suasana menjadi hening. Masing-masing mencoba mengurai dan mencerna berita pralaya yang baru saja mereka terima.

    “Mengapa Ki Patih justru mengajak Pangeran Pati turun dari kuda?” sebuah pertanyaan menyelinap dalam benak Ki Rangga, “Seandainya Ki Patih dan Pangeran Pati tetap berpacu mengejar Sinuhun, apakah nasib Sinuhun dapat diselamatkan?”

  • 9

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Namun panggraita pemimpin pasukan khusus Mataram yang berkedudukan di Menoreh itu segera dapat mengurai peristiwa yang terjadi di hutan Krapyak itu.

    “Agaknya sasaran yang dituju tidak hanya Sinuhun Prabu,” berkata Ki Rangga dalam hati kemudian, “Ki Patih dapat meraba bahaya yang mengintai penerus tahta Mataram itu yang bersembunyi di balik tikungan. Untuk itulah Ki Patih dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, dan agaknya Ki Patih lebih memilih menyelamatkan masa depan Mataram selagi masih dapat diusahakan. Sedangkan nasib Sinuhun Prabu agaknya memang sudah menjadi garis Yang Maha Agung.”

    Berpikir sampai disitu, hati Ki Rangga pun menjadi sedikit tenang. Maka katanya kemudian, “Kita harus bersyukur bahwa trah Mataram, Pangeran Pati masih bisa diselamatkan dari tindakan orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu. Sinuhun Prabu telah wafat dan agaknya Ki Patih telah mengambil langkah yang tepat dengan mencegah Pangeran Pati menyusul ayahandanya tanpa perhitungan sama sekali.”

    “Ya, Ngger,” sela Ki Waskita, orang tua yang sudah putus segala kawruh lahir maupun batin dan sekaligus dapat dikatakan guru kedua dari Ki Rangga itu, “Seandainya kedua priyagung itu tanpa mereka sadari telah berpacu menyusul Sinuhun Prabu, entah apa yang akan menimpa kedua priyagung itu. Mungkin Mataram akan kesulitan mencari penerusnya dan agaknya itulah yang memang dikehendaki oleh orang-orang yang mencegat Sinuhun di tikungan itu.”

    Orang-orang yang hadir di ruangan itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pada awalnya di antara mereka memang ada yang menyayangkan keputusan Ki Patih untuk mencegah Pangeran Pati menyusul ayahandanya. Namun ternyata semua itu dilakukan Ki Patih untuk menyelamatkan masa depan Mataram.

    “Apakah Ki Patih atau Raden Mas Rangsang dapat menduga pihak manakah yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang

  • 10

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    terjadi di hutan Krapyak itu?” bertanya Glagah Putih yang menjadi sangat penasaran atas terjadinya peristiwa itu.

    Prajurit sandi Mataram itu menggeleng lemah. Jawabnya kemudian, “Peristiwa itu masih diselimuti tabir gelap. Ki Patih telah memerintahkan seluruh petugas sandi untuk disebar ke seluruh pelosok Mataram untuk mencari sisik melik yang dapat dijadikan sebagai pancadan dalam merunut peristiwa itu.”

    Kembali terlihat setiap kepala yang hadir di tempat itu terangguk-angguk.

    “Mungkin peristiwa di hutan Krapyak itu ada hubungannya dengan keberadaan orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen,” tiba-tiba tanpa sadar Ki Waskita berdesis perlahan namun telah mengagetkan mereka yang hadir di tempat itu.

    “Trah Sekar Seda Lepen?” desis prajurit sandi itu sedikit keras sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sementara Ki Rangga yang mempunyai panggraita sangat tajam melebihi orang kebanyakan justru telah mencoba mengenali sebuah getaran yang tiba-tiba saja menyusup ke relung hatinya yang paling dalam.

    “Kakang,” Glagah Putih lah yang kemudian menyela dengan nada yang sedikit bergetar, “Bukankah kakang pernah mengatakan kalau orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu tidak tampak batang hidungnya ketika kita menyerbu padepokan Sapta Dhahana?”

    “Bukan begitu maksudku, Glagah Putih,” jawab Ki Rangga dengan serta merta, “Aku belum pernah mengenal orang yang menyebut dirinya sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu. Dan pada saat kita memasuki Sapta Dhahana, tidak ada orang yang menyambut kita dengan mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen,” Ki Rangga berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku tidak tahu apakah Ki Waskita dan kawan-kawan selama memasuki Sapta Dhahana telah berjumpa dengan orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu?”

  • 11

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Ki Waskita yang sedang terpekur itu mengangkat kepalanya dan menggeleng. Sedangkan Ki Jayaraga dan Ki Bango Lamatan hampir bersamaan menjawab, “Tidak Ki Rangga.”

    “Nah,” berkata Ki Rangga selanjutnya, “Aku mempunyai panggraita bahwa kemungkinannya orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen beserta orang yang dipanggil Eyang Guru itu memang sedang diluar padepokan ketika kita sedang menyerbu Sapta Dhahana.”

    Orang-orang di dalam pringgitan itu menjadi tegang. Jika dugaan peristiwa tewasnya Sinuhun Prabu Panembahan Hanyakrawati itu mengarah kepada Trah Sekar Seda Lepen, berarti keterkaitan padepokan Sapta Dhahana tidak dapat dipungkiri lagi.

    “Ngger,” Ki Waskita lah yang kemudian berkata memecah keheningan yang sempat melingkupi pringgitan itu, “Jika memang kita runut peristiwa itu ada hubungannya dengan Trah Sekar Seda Lepen, aku yakin kekuatan sebenarnya perguruan Sapta Dhahana belum habis. Matesih harus meningkatkan kewaspadaan untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi kemudian.”

    “Benar Ki Waskita,” sahut Ki Rangga cepat. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Gede Matesih yang duduk di sebelah kanannya, Ki Rangga pun melanjutkan kata-katanya, “Ki Gede, aku mohon kesiap-siagaan pengawal Matesih ditingkatkan. Jika memungkinkan, pasukan pengawal yang menjaga padepokan Sapta Dhahana ditarik saja. Kita pusatkan kekuatan di Matesih.”

    Terlihat wajah Ki Gede menjadi sangat tegang. Dengan suara bergetar karena menahan luapan perasaan, pemimpin tertinggi di perdikan Matesih itu pun kemudian berkata, “Aku mohon petunjuk Ki Rangga dan kawan-kawan untuk menyelamatkan Matesih. Tidak menutup kemungkinan para pengikut Trah Sekar Seda Lepen itu akan membalas dendam dengan menghancurkan Matesih.”

    “Jangan khawatir, Ki Gede,” sahut Ki Jayaraga dengan serta merta, “Kita akan selalu siap sedia membantu Matesih. Yang terpenting adalah meningkatkan kesiap-siagaan para pengawal

  • 12

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    tanpa menumbuhkan kecurigaan pihak lawan. Kita usahakan peningkatan kewaspadaan ini dengan diam-diam malam ini juga.”

    “Aku setuju,” Ki Bango Lamatan yang sedari tadi diam saja menyahut, “Sehabis pertemuan ini aku siap membantu Ki Gede untuk menggerakkan para pengawal.”

    “Jika diijinkan, aku juga siap membantu Ki Gede,” kali ini Glagah Putih agaknya sudah tidak dapat menahan diri lagi dan telah menyatakan kesanggupannya.

    “Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian berusaha untuk membagi tugas, “Selepas pertemuan ini, aku dan Ki Waskita akan tetap tinggal di banjar padukuhan induk. Ki Bango Lamatan dan Glagah Putih membantu Ki Gede untuk mengatur kesiap-siagaan para pengawal dengan catatan jangan sampai terlihat mencolok dan dapat menimbulkan kecurigaan lawan. Sedangkan Ki Jayaraga aku mohon beristirahat saja di bilik untuk memulihkan kesehatannya.”

    “Ah,” segera saja terdengar suara tawa Ki Jayaraga yang renyah, “Alangkah tidak bergunanya tenaga tua ini? Semua mendapat tugas untuk membantu Matesih, sedangkan aku hanya dipersilahkan tidur-tiduran saja menganyam mimpi.”

    Hampir bersamaan orang-orang yang hadir di pringgitan itu tertawa. Ki Gede Matesih yang mulai akrab dengan sifat-sifat kawan-kawan Ki Rangga itu pun juga tertawa. Bagi dirinya, orang tua yang bernama Ki Jayaraga itu selalu memancing canda dalam setiap keadaan.

    “Bukan begitu maksudku, Ki Jayaraga,” sela Ki Rangga cepat, “Namun kita semua mengetahui bahwa Ki Jayaraga baru saja mendapatkan luka yang cukup parah sehingga memerlukan waktu yang cukup untuk pulih kembali.”

    “Jika diijinkan, aku dapat memulihkan lukaku sambil berjalan-jalan mengelilingi perdikan Matesih malam ini,” sahut Ki Jayaraga yang membuat orang-orang tersenyum masam, “Aku hanya memerlukan satu atau dua orang kawan untuk sekedar berbincang selama dalam perjalanan meronda tanah perdikan. Aku khawatir

  • 13

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Demikianlah kelima ekor kuda itu berderap terus menyusuri pinggir hutan yang masih cukup lebat.

  • 14

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    jika tidak ada yang mengajakku berbincang selama meronda, aku akan ketiduran di atas punggung kuda.”

    Kembali terdengar suara gelak tawa di ruang pringgitan itu.

    “Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian ketika suara gelak tawa itu sudah mereda, “Silahkan jika Ki Jayaraga ingin membantu Ki Gede Matesih. Namun aku menyarankan jangan bergerak bersama-sama. Biarlah Ki Gede ditemani Ki Bango Lamatan dan Ki Jayaraga bersama Glagah Putih.”

    Tampak kepala orang-orang yang hadir di pringgitan itu terangguk-angguk. Sekilas tampak Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kesan itu segera lenyap dari wajahnya. “Baiklah,” berkata Ki Rangga kemudian setelah selesai memberikan pembagian tugas kepada kawan-kawannya, “Sekarang berita apa lagi yang engkau bawa dari Ki Patih?”

    Prajurit sandi itu menganggukkan kepalanya sambil menyahut, “Ki Rangga, berita selanjutnya jasad Sinuhun Prabu telah dikebumikan dengan upacara kerajaan siang tadi selepas Matahari tergelincir dari puncaknya,” prajurit sandi itu berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Pada saat upacara penghormatan kepada jasad Sinuhun, Ki Patih Mandaraka atas nama Mataram telah menganugerahkan gelar Panembahan Seda ing Krapyak kepada Sinuhun Prabu.”

    “Panembahan Seda ing Krapyak,” hampir setiap orang mengulang nama gelar yang diberikan kepada Sinuhun Prabu Panembahan Hanyakrawati itu.

    “Ya, Panembahan Seda ing Krapyak atau dapat disingkat Panembahan Seda Krapyak,” demikian prajurit sandi itu menegaskan.

    Kembali tampak orang-orang yang hadir di tempat itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

    “Rencananya malam ini para kerabat keraton akan bermusyawarah untuk menentukan siapa yang berhak menggantikan Sinuhun Prabu Hanyakrawati,” berkata prajurit sandi itu selanjutnya.

  • 15

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Untuk beberapa saat terlihat wajah-wajah yang hadir di pringgitan itu diliputi keheranan. Bukankah kedudukan Pangeran Pati sudah diberikan kepada Raden Mas Rangsang? Mengapa masih perlu dimusyawarahkan lagi?

    Agaknya prajurit sandi itu dapat membaca wajah-wajah yang keheranan di sekitarnya. Maka katanya kemudian, “Ratu Tulungayu telah menuntut hak atas tahta bagi putranya Raden Mas Wuryah.”

    Berdesir dada orang-orang yang hadir di tempat itu. Mereka semua maklum bahwa Raden Mas Wuryah putera Ratu Tulungayu, putri dari Panaraga itu menderita sakit tuna grahita, sehingga tidak selayaknya menduduki tahta.

    “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi?” tiba-tiba Ki Gede Matesih yang sudah tidak dapat menahan hati telah mengajukan sebuah pertanyaan.

    Prajurit sandi itu tersenyum dan menganggukkan kepalanya ke arah Ki Gede. Jawabnya kemudian, “Ketika Sinuhun Adi Prabu Panembahan Hanyakrawati masih menjadi Adipati Anom, telah berjanji kepada Ratu Tulungayu bahwa jika kelak dirinya diwisuda menjadi Raja, maka keturunan dari Ratu Tulungayu lah yang akan mewarisi tahta.”

    “Namun ternyata sampai Raden Mas Rangsang lahir dari putri Pajang itu, Ratu Tulungayu masih belum dikaruniai seorang putra,” sahut Ki Waskita kemudian.

    “Ki Waskita benar,” berkata Ki Rangga kemudian, “Barulah setelah empat tahun Sinuhun Prabu Panembahan Hanyakrawati menduduki tahta, Ratu Tulungayu melahirkan seorang putera yang diberi nama Raden Mas Wuryah.”

    “Padahal saat itu jabatan Adipati Anom telah diserahkan kepada Raden Mas Rangsang,” berkata prajurit sandi itu menambah keterangan Ki Rangga.

    Sejenak suasana menjadi hening. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan yang tak berkesudahan. Nasib Mataram di masa mendatang benar-benar sedang dipertaruhkan dan tidak

  • 16

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    menutup kemungkinan dapat menimbulkan perang saudara. Sementara ada pihak-pihak lain yang justru ingin merongrong dan sekaligus menggulingkan pemerintahan Mataram.

    “Aku yakin Ki Patih pasti sudah memikirkan jalan keluarnya,” berkata Ki Rangga dalam hati, “Sebagaimana yang telah terjadi sebelumnya, setiap permasalahan pelik sedang terjadi, Ki Patih yang semasa mudanya bernama Ki Juru Mertani itu selalu mampu menyelesaikannya, walaupun ada pihak yang merasa dirugikan. Namun pada dasarnya kelangsungan dan keutuhan di tanah ini tetap terjaga.”

    Berpikir sampai disitu Ki Rangga segera berkata, “Sudahlah, permasalahan itu pasti sudah dipikirkan oleh Ki Patih Mandaraka. Kita semua tahu, bagaimana Ki Patih yang semasa mudanya bernama Ki Juru Mertani itu mampu menyelesaikan kemelut yang terjadi antara Pajang dan Jipang Panolan pada waktu itu.”

    “Juga peristiwa di Madiun,” sahut Ki Waskita cepat, “Dan masih banyak lagi persoalan yang bagi orang kebanyakan sangat rumit dan sulit dipecahkan, namun Ki Patih Mandaraka selalu dapat mencarikan jalan keluarnya.”

    Semua kepala pun terangguk-angguk.

    “Tidak menutup kemungkinan, setelah Sinuhun Prabu Panembahan Hanyakrawati mangkat, permasalahan pewaris tahta Mataram itu pun pasti sudah dipikirkan,” berkata Ki Rangga selanjutnya.

    Kembali mereka yang hadir di ruangan itu mengangguk-angguk.

    “Nah, biarlah permasalahan pewaris tahta Mataram itu dibicarakan oleh para kadang sentana malam ini,” berkata Ki Rangga selanjutnya. Kemudian sambil berpaling ke arah prajurit sandi itu Ki Rangga meneruskan, “Mungkin masih ada berita lagi yang ingin engkau sampaikan.”

    Sekarang prajurit sandi itu tampak ragu-ragu. Beberapa kali dia memandang ke arah Ki Rangga dengan tatapan yang penuh tanda tanya.

  • 17

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Ki Rangga tersenyum melihat keraguan prajurit sandi itu. Maka tanyanya kemudian, “Apakah pesan kali ini sangat rahasia dan khusus?”

    Dengan serta merta prajurit sandi itu mengangguk.

    Kembali Ki Rangga tersenyum sambil mengedarkan pandangan matanya ke sekelilingnya untuk mendapat tanggapan dari orang-orang yang hadir. Namun yang terlihat hanyalah wajah-wajah yang tegang menunggu berita selanjutnya.

    “Apakah yang hadir di sini boleh mengetahui serba sedikit berita yang berikutnya ini?” kembali Ki Rangga bertanya.

    Sejenak prajurit sandi itu masih terlihat sedikit ragu-ragu. Namun akhirnya terlihat kepala prajurit sandi itu terangguk.

    “Nah,” sahut Ki Rangga kemudian, “Engkau tidak harus menyebutkan berita itu secara keseluruhan. Mungkin hanya pokok permasalahannya saja.”

    Kembali kepala prajurit sandi itu tampak terangguk-angguk. Sambil menegakkan tubuh bagian atasnya dan memandang ke arah Ki Rangga sekilas, prajurit sandi itupun kemudian berkata perlahan, “Berita selanjutnya adalah tentang selir kinasih Pangeran Pati.”

    Hampir bersamaan terdengar helaan nafas panjang orang-orang yang hadir di tempat itu. Jika berita itu tentang selir Pangeran Pati, tentu tidak akan sedemikian gawatnya sehingga mereka menjadi kurang menaruh perhatian.

    Beberapa orang memang tidak mengetahui hubungan yang pernah terjalin antara selir Pangeran Pati itu dengan Ki Rangga Agung Sedayu. Namun Ki Waskita yang mempunyai panggraita dan diberi kelebihan untuk dapat membaca masa depan walaupun hanya berupa isyarat, telah bergeser setapak ke depan.

    Bertanya Ki Waskita kemudian, “Jika aku boleh mengetahui kejadian yang sebenarnya, ada apakah dengan selir kinasih Pangeran Pati itu?”

  • 18

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Kini semua mata memandang ke arah ayah Rudita itu, tak terkecuali Ki Rangga Agung Sedayu. Sedangkan prajurit sandi itu justru telah memandang wajah Ki Rangga dan Ki Waskita berganti-ganti. Agaknya dia ingin mendapat ijin dari Ki Rangga untuk menyampaikan berita itu seutuhnya.

    Ketika terlihat sebuah anggukan kecil dari Ki Rangga, akhirnya terucap juga sebuah pengakuan yang membuat setiap dada yang hadir di tempat itu hampir meledak, kecuali Ki Rangga Agung Sedayu.

    “Rara Anjani, selir kinasih Pangeran Pati telah hilang dari keputren ndalem Kapangeranan,” lirih terdengar suara prajurit sandi itu hampir tak terdengar.

    “He?!” bagaikan disengat kalajengking sebesar ibu jari kaki orang dewasa, orang-orang yang hadir di pringgitan itu terlonjak kaget, kecuali Ki Rangga yang sudah mengetahui berita itu dari Kanjeng Sunan.

    “Bagaimana mungkin?” bertanya Ki Bango Lamatan yang sedari tadi hanya berdiam diri saja. Berita hilangnya Rara Anjani itu ternyata telah mengusik kenangan masa lalunya di tegal kepanasan perbukitan Menoreh.

    Mendapat pertanyaan seperti itu, prajurit sandi itu menggeleng lemah dan justru pandangan matanya ditujukan ke arah Ki Rangga.

    Mendapat tatapan mata penuh pertanyaan seperti itu, Ki Rangga menjadi gelisah. Tanyanya kemudian, “Apakah Pangeran Pati menitipkan pesan khusus sehubungan dengan hilangnya Rara Anjani?”

    Dengan serta merta prajurit sandi itu mengangguk. Jawabnya kemudian, “Aku mendapat tugas menyampaikan titah Pangeran Pati kepada Ki Rangga untuk mencari keberadaan Rara Anjani.”

    “Ah!” tanpa sadar Ki Rangga berdesah sambil matanya menatap ke arah pintu pringgitan yang tertutup rapat. Seolah olah Ki Rangga ingin menjenguk apa yang berada di balik pintu itu.

  • 19

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Pada umumnya orang-orang yang hadir di tempat itu merasa kasihan kepada Ki Rangga. Tugas menghancurkan perguruan Sapta Dhahana saja belum dapat dikatakan selesai sudah muncul persoalan yang lain. Hilangnya Rara Anjani dari keputren ndalem Kapangeranan masih diselimuti tabir gelap dan Ki Rangga harus menyingkap tabir kegelapan itu.

    “Ki Rangga,” tiba-tiba suara prajurit sandi itu terdengar memecah keheningan, “Menurut keterangan Pangeran Pati, Ki Rangga lah yang sangat berkepentingan untuk menemukan kembali Rara Anjani.”

    “Cukup!” tiba-tiba terdengar Ki Rangga berkata sedikit keras, “Aku sudah tahu maksud Pangeran Pati dan aku pasti akan menjunjung tinggi setiap titah yang dibebankan kepadaku.”

    Orang-orang yang hadir di tempat itu menjadi berdebar-debar menanggapi ucapan Ki Rangga itu. Berbagai dugaan muncul dalam hati masing-masing, namun tidak ada satu pun yang berani mengungkapkannya.

    “Apakah Pangeran Pati menjelaskan secara rinci tugas yang dibebankan kepadaku sehubungan dengan hilangnya selir kinasih Pangeran Pati?” bertanya Ki Rangga selanjutnya sambil memandang tajam penuh selidik ke arah prajurit sandi itu.

    Mendapat tatapan setajam itu, prajurit sandi itu segera menundukkan kepalanya dalam-dalam. Jawabnya kemudian, “Tidak Ki Rangga, Pangeran Pati hanya memberi titah kepada Ki Rangga untuk menemukan Rara Anjani kembali, karena menurut Pangeran Pati, Ki Rangga kemungkinan besar mengetahui kemana perginya Rara Anjani.”

    Segera saja wajah-wajah yang semula tampak tegang telah mengendur kembali. Setelah menarik nafas panjang terlebih dahulu Ki Rangga pun akhirnya berkata, “Pangeran Pati memang mengetahui bahwa Rara Anjani adalah murid Resi Mayangkara yang tinggal di gunung Kendalisada. Dengan demikian secara tidak langsung aku diperintahkan untuk pergi ke gunung Kendalisada.”

  • 20

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Tampak kepala orang-orang yang hadir di tempat itu kembali terangguk-angguk. Hanya Ki Gede Matesih yang tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam.

    Melihat raut wajah Ki Gede yang menyimpan kekhawatiran itu, Ki Rangga pun segera berkata, “Jangan khawatir Ki Gede, persoalan di perdikan Matesih ini kita selesaikan terlebih dahulu sebelum kita berangkat ke gunung Kendalisada mencari Rara Anjani.”

    Kini tampak wajah Ki Gede menjadi cerah kembali. Katanya kemudian sambil tertawa pendek, “Ah, aku mewakili seluruh kawula Matesih hanya dapat mengucapkan ribuan terima kasih atas bantuan dari Ki Rangga dan kawan-kawan dan juga perhatian Mataram terhadap keselamatan perdikan ini.”

    “Sudah menjadi tugas Mataram untuk memberikan perlindungan dan pengayoman terhadap seluruh kawula bawahan Mataram,” sela prajurit sandi itu, “Para prajurit sandi telah lama disebar di sekitar perdikan Matesih ini untuk mengamati kegiatan padepokan Sapta Dhahana yang mulai terlihat mencurigakan.”

    “Syukurlah,” sahut Ki Gede kemudian, “Aku Sekarang ini merasa tidak sendirian lagi. Ternyata yang telah membantu perdikan Matesih selama ini adalah prajurit-prajurit Mataram yang sedang dalam penyamaran.”

    “Tapi sebagian dari kami memang bukan prajurit Ki Gede,” potong Ki Jayaraga dengan serta-merta, “Aku dan Ki Waskita adalah orang-orang tua yang kurang kerjaan di hari-hari tua kami sehingga kami menyediakan diri untuk membantu Ki Rangga.”

    “Aku juga bukan prajurit yang sesungguhnya Ki Gede,” Ki Bango Lamatan ikut menyela, “Aku adalah orang kleyang kabur kanginan yang ditampung oleh Pangeran Pati di ndalem Kapangeranan sekedar untuk menjadi juru dang atau juru taman.”

    “Ah,” yang hadir di tempat itu pun tidak mampu menahan tawa mereka.

    Ki Jayaraga lah yang kemudian menyelethuk, “Ki Bango Lamatan memang pantas menjadi juru dang. Itu bisa dilihat dari

  • 21

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    badannya yang tumbuh dengan cepat melebihi orang kebanyakan karena selalu mendapat jatah nasi yang berlebih.”

    Kembali orang-orang di dalam pringgitan itu tidak mampu menahan tawa mereka.

    “Ki Rangga,” berkata prajurit sandi itu kemudian setelah suara tawa itu mereda, “Selebihnya aku juga membawa titah lagi dari Ki Patih Mandaraka untuk Ki Rangga.”

    Kembali dada orang-orang yang hadir di tempat itu berdesir tajam. Jika titah itu dari Ki Patih Mandaraka lagi, tentu ada hubungannya dengan tugas mereka menghancurkan perguruan Sapta Dhahana.

    Tampak kepala Ki Rangga terangguk-angguk. Katanya kemudian, “Silahkan, kami semua sudah siap menerima titah Ki Patih Mandaraka.”

    Prajurit sandi itu menganggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Patih Mandaraka telah mendapat laporan dari para telik sandi yang di tugaskan untuk mengamat-amati Kademangan Cepaga di lereng gunung Merapi. Tempat tinggal orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.”

    “Pangeran Ranapati,” hampir setiap dada terguncang mendengar nama itu kembali disebut, nama yang sudah lama menghilang sejak peristiwa pertempuran di lemah Cengkar beberapa saat yang lalu.

    “Ada apakah dengan Pangeran Ranapati?” bertanya Ki Rangga kemudian dengan kening yang berkerut merut.

    Prajurit sandi itu menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Ki Rangga. Jawabnya kemudian, “Menurut para telik sandi yang disebar di sekitar kademangan Cepaga, Pangeran Ranapati ternyata telah sembuh dari luka-lukanya. Bersama gurunya, dia telah turun dari lereng Merapi dan berangkat menuju ke arah timur.”

    Kembali desir tajam menggores setiap dada yang hadir di tempat itu, terutama Ki Rangga Agung Sedayu. Sejenak suasana

  • 22

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    menjadi sunyi. Kawan-kawan Ki Rangga menyadari sepenuhnya bahwa tugas menangkap hidup atau mati orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu memang masih tetap berada di pundak Ki Rangga Agung Sedayu.

    “Apakah titah Ki Patih Mandaraka?” bertanya Ki Rangga kemudian setelah sejenak mereka terdiam.

    “Titah Ki Patih adalah, setelah perguruan Sapta Dhahana dapat dihancurkan dan perdikan Matesih dapat dikatakan aman dari gangguan sisa-sisa pengikut Trah Sekar Seda Lepen, Ki Rangga dan kawan-kawan diperintahkan melanjutkan tugas melacak keberadaan Pangeran Ranapati,” jawab prajurit sandi itu tegas dan lugas.

    Berdebar setiap jantung orang yang hadir di pringgitan itu. Tugas yang dibebankan kepada Ki Rangga memang terlihat berlebihan. Namun mereka percaya Ki Rangga akan dapat memilah dan memilih, tugas manakah yang akan didahulukan.

    “Melindungi Matesih adalah tugas yang sedang berada di depan mata,” berkata Glagah Putih dalam hati, “Kakang Agung Sedayu pasti akan menyelesaikan tugas ini terlebih dahulu. Dugaan keterlibatan Trah Sekar Seda Lepen dalam peristiwa di hutan Krapyak harus diungkap dan dibuktikan sejalan dengan penghancuran padepokan Sapta Dhahana. Kemudian tugas selanjutnya baru dapat dilaksanakan.”

    Tiba-tiba sebuah desir tajam menyentuh jantung Glagah Putih. Tidak menutup kemungkinan jika dia beserta yang lainnya akan ikut terlibat dengan tugas selanjutnya yang telah dibebankan kepada Ki Rangga.

    “Apakah Ki Patih mengijinkan aku untuk membawa kawan-kawan ini melacak keberadaan Pangeran Ranapati?” tiba-tiba sebuah pertanyaan dari kakak sepupunya telah membangunkan Glagah Putih dari lamunannya.

    Prajurit sandi itu tersenyum sambil mengangguk. Jawabnya kemudian, “Ki Rangga diperkenankan membawa rombongan yang telah ada ini untuk meneruskan tugas Ki Rangga selanjutnya.”

  • 23

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Tampak Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya tidak ada keberatan sama sekali di sudut hatinya untuk melaksanakan baik titah dari Pangeran Pati maupun Ki Patih Mandaraka. Namun yang menjadi persoalan adalah Glagah Putih beserta orang-orang tua itu.

    Agaknya Ki Jayaraga dapat menyelami jalan pikiran Ki Rangga. Maka katanya kemudian dengan serta merta, “Ki Rangga, sebagaimana yang telah aku sampaikan kepada Ki Gede Matesih, aku adalah orang tua pengangguran yang kurang kerjaan. Jika Ki Rangga berkenan membawa aku sekedar sebagai juru dang, aku tidak keberatan.”

    “He! Ki Jayaraga jangan mengambil alih tugasku,” sergah Ki Bango Lamatan cepat, “Akulah juru dang yang sebenarnya, dan aku sudah siap mengikuti kemana saja Ki Rangga pergi.”

    “Jangan khawatir, Ki Bango Lamatan,” sahut Ki Jayaraga sambil tertawa pendek, “Walaupun yang menjadi juru dang sekarang adalah aku, jatah nasi Ki Bango Lamatan tetap aku beri berlebih, agar pertumbuhan badan Ki Bango Lamatan tidak terhambat.”

    “Ah, sudahlah,” Ki Rangga mencoba menengahi kedua orang tua yang berebut ingin menjadi juru dang itu, walaupun sebenarnya itu hanyalah sebuah gurauan, “Aku telah ditunjuk Ki Patih menjadi pemimpin rombongan kecil ini sejak berangkat dari Mataram. Jika memang Ki Patih telah mengijinkan untuk kembali membawa rombongan kecil ini melacak keberadaan Pangeran Ranapati, aku tidak berkeberatan,” Ki Rangga berhenti sejenak. Sambil mengedarkan pandangan matanya ke arah kawan- kawannya, Ki Rangga pun melanjutkan ucapannya, “Nah, apakah ada di antara kalian yang berkeberatan karena ada suatu urusan lain yang perlu diselesaikan?”

    Tampak kawan-kawan Ki Rangga itu saling berpandangan sejenak. Ki Waskita lah yang menjawab, “Ngger, kita berangkat berlima, kita akan menuntaskan permasalahan apapun yang menjadi tugas kita juga berlima. Semoga Tuhan Yang Maha Agung memberikan pertolongan kepada kita semua sehingga kelak

  • 24

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    setelah semua tugas ini selesai, kita akan menghadap dan melaporkan hasil tugas kita kepada Ki Patih Mandaraka juga berlima.”

    Tampak kepala orang-orang yang berkumpul di ruang pringgitan itu terangguk-angguk. Hanya Ki Gede Matesih yang terlihat mengerutkan keningnya dalam-dalam.

    “Ki Rangga,” tiba-tiba Ki Gede Matesih mengajukan sebuah pertanyaan, “Apakah Ki Rangga masih menerima tenaga yang tidak berarti ini untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang sedang menimpa Mataram? Jika memang diperkenankan, aku yang tidak berarti ini siap untuk membantu Ki Rangga.”

    Segera saja pandangan mata orang-orang yang berada di pringgitan itu tertuju kepada Ki Gede Matesih.

    “Ki Gede,” jawab Ki Rangga dengan suara tenang, “Tugas ini sudah sejak awal dibebankan kepada kami berlima. Ki Gede Matesih mempunyai tugas yang lebih besar di perdikan ini. Bangun kembali kepercayaan kawula Matesih untuk bersetia kepada Mataram setelah beberapa saat yang lalu terbuai oleh janji -janji orang yang menyebut dirinya Trah Sekar Seda Lepen itu.”

    Ki Gede menarik nafas dalam sejenak mendengar jawaban dari Ki Rangga. Namun dia segera menyadari kedudukannya sebagai kepala sebuah perdikan. Maka katanya kemudian, “Terima kasih Ki Rangga. Aku terpancing untuk mengenang masa-masa muda dahulu. Ingin rasanya berkelana kembali mendaki bukit dan menuruni lembah dan ngarai serta mengunjungi tempat-tempat yang hampir tidak pernah dikunjungi oleh manusia,” Ki Gede berhenti sejenak untuk sekedar mengambil nafas. Lanjutnya kemudian, “Namun apa yang disampaikan Ki Rangga telah mengingatkan aku kembali tentang tugas yang dibebankan kepadaku selaku kepala sebuah tanah perdikan.”

    “Ki Gede ada benarnya,” sahut Ki Jayaraga sambil tersenyum, “Sebenarnya kami yang tua-tua ini pun hanya rindu petualangan semasa masih muda dahulu. Bahkan jika tidak disibukkan oleh urusan di Kota Raja, Ki Patih Mandaraka pun pada awalnya menyatakan keinginannya untuk ikut dalam rombongan ini.”

  • 25

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Ah!” Ki Gede Matesih tertawa pendek. Ternyata tidak hanya dirinya saja yang telah rindu akan petualangan di masa-masa muda dahulu.

    “Nah,” berkata Ki Rangga selanjutnya kepada prajurit sandi itu, “Aku masih menunggu jika memang ada perintah selanjutnya.”

    “Tidak ada Ki Rangga,” sahut prajurit sandi itu, “Aku akan segera mohon diri. Aku harus kembali ke tempat tugasku. Jika sewaktu-waktu ada berita yang dikirim, baik melalui seorang caraka maupun isyarat-isyarat yang telah disepakati, aku sudah berada di tempat tugasku kembali.”

    “Bukankah biasanya kalian tidak sendirian?” bertanya Glagah Putih menyela. Sebagai prajurit sandi bersama Rara Wulan, Glagah Putih sangat paham dengan seluk beluk tugas prajurit sandi yudha.

    “Engkau benar Glagah Putih,” jawab prajurit sandi itu sambil berpaling ke arah adik sepupu Ki Rangga itu, “Kami selalu berdua bahkan kadang bertiga menunggu di tempat yang telah disepakati. Jika memungkinkan salah satu dari kami akan nganglang mencari berita dan menyadap keterangan dari tempat-tempat yang memang sedang kita pantau. Sedangkan yang lainnya menunggu berita di tempat persembunyian kita.”

    Sedangkan Ki Gede Matesih yang tidak begitu paham akan seluk beluk tugas prajurit sandi yudha itu pun bertanya, “Jadi Ki Sanak ini tidak berasal dari prajurit yang berada di Kota Raja Mataram?”

    Prajurit sandi itu tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya kemudian, “Tidak Ki Gede. Sudah berbulan-bulan aku bertugas di sekitar perdikan Matesih ini. Kawan-kawanku sebagian ada yang di tempatkan di dukuh Salam, kemudian di seberang Kali Krasak. Demikian itu sampai ke Kota Raja. Jika ada berita yang sangat penting, berita itu akan disampaikan secara berantai sehingga sampai kepada petugas sandi yang terdekat.”

    “Bagaimana caranya berita itu bisa disampaikan?” bertanya Ki Gede kemudian dengan nada sedikit penasaran.

  • 26

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Kembali prajurit sandi itu tersenyum. Jawabnya kemudian, “Dengan banyak cara Ki Gede. Dengan isyarat panah sendaren, panah berapi, burung merpati yang telah terlatih dan tentu saja juga dengan seorang caraka yang bertugas membawa sebuah nawala.”

    Kali ini tampak Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya. Walaupun di dalam hatinya masih tersisa sebuah pertanyaan, namun Ki Gede merasa sudah terlalu banyak bertanya.

    “Baiklah aku segera mohon diri,” berkata prajurit sandi itu kemudian, “Jika ingin menghubungi kawan-kawan, Ki Rangga tentu sudah tahu harus pergi ke mana.”

    “Terima kasih,” berkata Ki Rangga kemudian sambil bangkit berdiri ketika dilihatnya prajurit sandi itu bangkit berdiri.

    “Maafkan kami,” sahut Ki Gede Matesih mengikuti Ki Rangga berdiri, “Begitu tegangnya kami mengikuti berita yang Ki Sanak bawa, sehingga aku telah lupa memerintahkan orang-orang di dapur banjar untuk menghidangkan minuman dan makanan sekedarnya.”

    “Ah sudahlah Ki Gede,” jawab prajurit sandi itu sambil tertawa pendek, “Kami yang bertugas di lapangan sudah terbiasa dengan keadaan ini. Kami dapat makan di mana saja dan juga seadanya saja. Memang kami kadang harus menjauhi keramaian untuk mengurangi kecurigaan.”

    “Sesekali bergabunglah dengan kami,” sahut Ki Jayaraga dengan serta merta sambil bangkit dan mengikuti langkah mereka yang keluar pringgitan, “Setiap hari orang-orang dapur itu menyembelih ayam dan memasak sayur lodeh keluwih.”

    “Dengan nasi putih yang masih hangat dan sambal tomat yang pedas,” timpal Ki Bango Lamatan yang segera disambut dengan gelak tawa.

    Demikianlah akhirnya, prajurit sandi itu pun segera minta diri untuk kembali ke tempat tugasnya.

  • 27

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Setelah prajurit sandi itu hilang di balik pintu gerbang banjar padukuhan induk yang segera ditutup rapat-rapat, Ki Gede Matesih pun juga segera minta diri untuk mempersiapkan para pengawal Matesih.

    “Ki Rangga,” berkata Ki Gede kemudian sambil menghentikan langkah tepat di bawah tlundak pendapa, “Lebih baik sekarang juga aku mohon diri, selagi hari masih terang. Aku akan mampir ke rumah terlebih dahulu.”

    “Silahkan Ki Gede. Usahakan pengerahan pasukan pengawal itu tidak terlalu mencolok,” pesan Ki Rangga sambil menaiki tlundak pendapa, “Ki Bango Lamatan akan membantu Ki Gede.”

    “Terima kasih,” berkata Ki Gede kemudian sambil mengangguk dalam-dalam, “Aku mohon diri.”

    Ki Rangga mengangguk. Kemudian katanya kepada Ki Bango Lamatan, “Ikutlah Ki Gede, Ki Bango Lamatan. Bantu Ki Gede mengatur pertahanan para pengawal di tempat-tempat yang sekiranya akan dijadikan pintu masuk bagi pasukan lawan.”

    “Baik Ki Rangga,” jawab Ki Bango Lamatan kemudian sambil bergeser mendekat kepada Ki Gede Matesih.

    Setelah mengucapkan salam perpisahan, kedua orang itu pun segera meninggalkan banjar padukuhan induk.

    Sepeninggal Ki Gede dan Ki Bango Lamatan, Ki Rangga segera memberi pesan-pesan kepada Ki Jayaraga dan muridnya, Glagah Putih.

    “Untuk Ki Jayaraga dan Glagah Putih, aku mohon untuk mengadakan hubungan dengan pasukan pengawal yang berada di padepokan gunung Tidar. Jika memungkinkan pasukan pengawal itu ditarik saja ke perdikan Matesih untuk menambah kekuatan kita,” berkata Ki Rangga selanjutnya.

    “Baiklah kakang,” Glagah Putih lah yang menyahut, “Namun kami akan berangkat selepas Matahari terbenam agar memudahkan kami dalam melakukan pergerakan.”

  • 28

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Silahkan,” berkata Ki Rangga. Kemudian sambil berpaling ke arah Ki Jayaraga Ki Rangga pun melanjutkan ucapannya, “Namun jika Ki Jayaraga sebenarnya belum terlalu sehat, sebaiknya jangan terlalu memaksakan diri.”

    Ki Jayaraga tersenyum. Jawabnya kemudian, “Masih ada waktu sedikit sebelum Matahari benar-benar terbenam. Aku terpaksa mengetrapkan aji sulih raga kembul bojana agar kekuatan dan kesehatanku benar-benar malam ini pulih dalam sekejap seperti sedia kala.”

    Glagah Putih yang mendengar menjadi berdebar- debar. Sebagai murid Ki Jayaraga, rasa-rasanya dia belum pernah mendengar aji sejenis itu, sebuah aji untuk memulihkan kekuatan dan kesehatan dalam sekejap.

    Namun Ki Rangga justru tertawa sambil bertanya, “Apakah untuk mengetrapkan aji itu diperlukan sebuah persyaratan khusus? Nasi putih yang hangat, ayam bakar dan sayur lodeh keluwih serta sambal tomat yang pedas?”

    Segera saja gelak tawa terdengar kembali. Ki Jayaraga pun ikut tertawa walaupun terdengar hambar.

    “Agaknya Kiai Gringsing guru Ki Rangga juga telah mengajarkan aji itu kepada murid-muridnya,” menyela Ki Jayaraga kemudian di antara tawa yang berderai-derai.

    Demikianlah akhirnya, Ki Jayaraga dan Glagah Putih ternyata telah kembali ke bilik. Waktu yang sedikit itu akan digunakan oleh Ki Jayaraga untuk benar-benar memulihkan kekuatannya sebelum berangkat untuk mengadakan hubungan dengan pasukan pengawal Matesih yang bertahan di gunung Tidar selepas Matahari terbenam nanti.

    Sedangkan Ki Rangga dan Ki Waskita ternyata telah memilih kembali ke pringgitan untuk membicarakan hal-hal yang dirasa sangat penting untuk peningkatan ilmu Ki Rangga.

    “Ngger, aji pengangen-angen yang telah engkau kuasai itu memerlukan pendalaman,” berkata Ki Waskita begitu kedua orang itu duduk kembali di pringgitan, “Kedua bentuk semu itu

  • 29

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    sebenarnya adalah ujud dari pancaran ilmumu. Jarak akan sangat menentukan kekuatan dari bentuk semu itu sejalan dengan kekuatan pancaran ilmumu.”

    Tampak kepala Ki Rangga terangguk-angguk. Setelah menarik nafas dalam-dalam, Ki Rangga pun kemudian bertanya, “Ki Waskita, bagaimanakah caranya untuk menghindari benturan ilmu secara langsung dengan lawan? Pada saat aku mengetrapkan pancaran ilmuku melalui kedua bayangan semu itu, benturan secara langsung dengan ilmu lawan akan berpengaruh terhadap wadagku yang sedang dalam puncak samadi. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah, dengan benturan ilmu itu, lawan akan dapat melacak keberadaan wadagku yang sedang dalam puncak samadi. Jika itu terjadi, lawan akan dengan mudah menghancurkan wadagku sebelum aku terbangun dari samadi.”

    “Ya, Ngger,” jawab Ki Waskita sambil tersenyum maklum, “Angger hampir saja lumat menjadi debu pada saat Kiai Damar Sasangka menemukan persembunyian wadagmu. Kuat dugaanku, ayah anak muda yang mengaku bernama Mas Santri itulah yang telah membangunkanmu dari alam sonyaruri.”

    “Ki Waskita benar,” jawab Ki Rangga kemudian, “Ayah anak muda yang bernama Mas Santri itu adalah Kanjeng Sunan. Aku sangat bersyukur bahwa Yang Maha Agung masih berkenan menyelamatkan aku melalui pertolongan Kanjeng Sunan.”

    Untuk sejenak keduanya terdiam. Terbawa arus kenangan beberapa saat yang lalu ketika terjadi pertempuran dahsyat antara Ki Rangga Agung Sedayu melawan pemimpin perguruan Sapta Dhahana itu.

    “Ki Waskita,” tiba-tiba Ki Rangga teringat akan sesuatu yang selama ini masih membingungkannya, “Pada saat Kiai Damar Sasangka menyerangku dengan seluruh kekuatannya, aku benar-benar tidak mempunyai pilihan lain selain mengangkat tanganku dengan sepenuh kekuatan agar tubuhku tidak hancur menjadi debu. Yang kemudian mengherankan bagiku adalah, seolah-olah semua ilmu jaya kawijayan guna kasantikan yang aku pelajari selama ini secara langsung bergerak sendiri dan bergabung

  • 30

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    menjadi satu membentengi diriku tanpa aku harus memilih ilmu dari aliran Ki Sadewa, atau Windujati, bahkan ilmu dari kitab Ki Waskita. Semuanya menjadi satu tanpa perlu digerakkan dan diperintahkan.”

    Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam mendapat pertanyaan itu. Jawabnya kemudian sambil membenahi tempat duduknya, “Ngger, pada dasarnya ilmu yang kita pelajari semuanya itu untuk membetengi diri kita apabila mendapat ancaman. Kebanyakan orang masih mengkotak-kotakkan ilmu itu dalam sekat-sekat yang terpisah. Jika ingin menggunakan salah satu ilmu, maka kita harus memilih kotak yang mana yang akan kita pakai. Padahal ilmu itu tidak seperti itu. Jika semua ilmu yang kita pelajari telah lebur menjadi satu tanpa terpisahkan oleh sekat-sekat itu, maka setiap gerak, setiap langkah dan setiap ayunan tangan kita adalah pancaran dari semua ilmu yang telah kita pelajari.”

    Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya dalam-dalam. Dengan segenap perhatian dia berusaha mencerna keterangan ayah Rudita itu.

    Berkata Ki Rangga kemudian, “Maafkan aku, Ki Waskita. Sejauh pengetahuanku, belum ada orang yang mampu melebur sekat-sekat pada ilmu yang berbeda itu, karena setiap ilmu pasti mempunyai sifat yang berbeda dengan laku yang berbeda sehingga perlakuan dan penggunaannya pun berbeda.”

    “Engkau benar, Ngger,” sahut Ki Waskita cepat, “Namun jika tingkatan itu sudah dapat kita capai, kita tidak usah bersusah payah mengingat atau mengetrapkan sebuah ilmu jika kita menghendakinya. Ilmu yang kita perlukan dalam keadaan yang khusus akan muncul dengan sendirinya dan akan melindungi kita selama diperlukan.”

    Kembali Ki Rangga termenung. Namun kemudian tanpa sadar dia berdesis perlahan, “Pada saat serangan pamungkas pemimpin Sapta Dhahana itu menerjang, aku memang tidak ada waktu untuk berpikir menggunakan ilmu kebalku, atau ilmu yang lain untuk melindungi diriku. Yang ada hanyalah kepasrahan kepada

  • 31

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Agaknya prajurit sandi itu dapat membaca wajah-wajah yang keheranan di sekitarnya. Maka katanya kemudian, “Ratu Tulungayu telah menuntut hak atas tahta bagi putranya Raden Mas Wuryah.”

  • 32

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Yang Maha Memberi Hidup agar mendapatkan perlindungan-Nya.”

    “Itulah Ngger, pada saat keadaan sangat terdesak, segala ilmu yang kita pelajari akan terungkap dengan sendirinya. Kuncinya adalah kepasrahan diri kita sepenuhnya kepada Yang Memberi Hidup,” sahut Ki Waskita kemudian.

    “Alangkah dahsyatnya jika seseorang dalam keadaan sadar mampu mengetrapkan ilmu seperti itu,” berkata Ki Rangga kemudian perlahan seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Ilmunya benar-benar menjadi sempurna.”

    Untuk beberapa saat Ki Waskita termenung mendengar kata-kata Ki Rangga. Tampak kerut merut di dahi ayah Rudita itu semakin dalam. Jawabnya kemudian setelah menarik nafas dalam-dalam terlebih dahulu, “Ngger, ketahuilah tidak ada ilmu yang sempurna di dunia ini. Hanya ilmu Yang Maha Perkasa yang sempurna. Setiap ilmu yang kita kuasai pasti mempunyai kelemahan. Namun dengan mengetahui dan mempelajari kelemahan itulah sebenarnya ilmu kita akan semakin mendekati sempurna. Aku katakan sekali lagi, hanya mendekati sempurna dan tidak akan pernah menjadi sempurna.”

    Kembali kepala Ki Rangga terangguk-angguk. Bagaimanapun juga terbersit perasaan syukur yang tak terhingga sehingga dia telah dikaruniai segala ilmu yang sekarang tertimbun dalam dirinya.

    “Khusus untuk aji pengangen-angen,” berkata Ki Waskita selanjutnya, “Hindarilah benturan secara langsung dengan ilmu lawan. Aku sarankan sebaiknya engkau selalu menggunakan cambuk dalam mengetrapkan ilmu semu itu, sehingga lawan akan kesulitan mendekati ujud bayangan semu itu dan akan tertahan oleh ujung cambukmu.”

    “Maaf Ki Waskita,” sela Ki Rangga kemudian, “Bagaimana jika lawan menggunakan ilmu jarak jauh untuk menyerang ujud semu itu? Apakah benturan itu akan tetap berpengaruh sebagaimana jika lawan membenturkan ilmunya secara langsung kepada ujud semu itu?”

  • 33

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Ya, Ngger. Itulah yang aku maksud dengan kelemahan aji pengangen-angen ini,” jawab Ki Waskita perlahan sambil tersenyum sareh, “Namun sekali lagi aku katakan, dengan mengetahui kelemahan aji pengangen-angen ini, engkau akan dapat semakin menyempurnakan ilmu itu.”

    Sejenak Ki Rangga mengerutkan keningnya. Namun Ki Rangga pada dasarnya adalah seseorang yang dikaruniai kelebihan dalam olah pikir dan daya ingat yang luar biasa. Maka katanya kemudian, “Aku harus menghindari setiap usaha serangan jarak jauh atau sekalian meniadakan pancaran ilmuku pada ujud semu itu sehingga serangan sedahsyat apapun tidak akan berpengaruh.”

    “Benar, Ngger,” sahut Ki Waskita dengan serta merta, “Agaknya angger sudah mulai mengenal sifat dari aji pengangen-angen. Berusahalah bertempur dengan mengambil jarak yang cukup, cukup untuk mengenali serangan jarak jauh lawan, ataupun menghindari benturan langsung pada ujud semu itu sendiri. Angger dapat menggunakan bayangan semu itu sebagai pancaran ilmu atau hanya bayangan semu belaka. Itu tergantung dari keinginan angger. Namun ingatlah, seorang lawan yang sangat tajam mata batinnya akan mampu dengan cepat mengenali bayangan semu itu sebagai bentuk pancaran ilmu ataukah hanya sebuah bayangan kosong saja.”

    Kali ini Ki Rangga tampak menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk- angguk. Sejenak suasana menjadi sepi. Angin sore yang lembut bertiup menggoyangkan dedaunan pohon-pohon yang tumbuh di halaman banjar padukuhan induk. Seekor induk ayam bersama beberapa anak-anaknya tampak melintas di dekat tlundak pendapa sebelah kanan. Sinar Matahari yang mulai melemah menggapai pucuk-pucuk dedaunan menimbulkan warna keemasan yang mempesona.

    “Bagaimana dengan ilmu yang lain, Ki?” bertanya Ki Rangga kemudian setelah sejenak keduanya terdiam, “Ilmu kebal misalnya. Apakah juga akan berpengaruh terhadap ujud semu itu jika ditrapkan?”

  • 34

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Tentu saja, Ngger,” jawab Ki Waskita dengan serta merta, “Ujud semu itu adalah pancaran ilmumu secara utuh. Ilmu apapun yang engkau kuasai, dapat engkau trapkan pada ujud semu itu. Dengan demikian untuk menahan gempuran ilmu lawan, engkau dapat menggunakan ilmu kebal itu.”

    Kembali kepala Ki Rangga terangguk-angguk. Perasaan syukur dan bangga bercampur aduk dalam dada Ki Rangga. Dengan demikian dia dapat tampil secara utuh sebagaimana dirinya sendiri dalam ujud semu itu.

    Demikianlah kedua orang yang mempunyai hubungan khusus bagaikan guru dan murid itu masih meneruskan perbincangan mereka sampai Matahari hampir terbenam.

    Dalam pada itu, di tengah hutan sebelah barat lereng gunung Tidar, tampak Raden Wirasena sedang menerima para telik sandi yang dikirim untuk mengadakan penyelidikan.

    “Bagaimana keadaan padepokan Sapta Dhahana? Apakah pasukan pengawal Matesih masih bertahan di sana?” bertanya Raden Wirasena kemudian kepada dua orang telik sandi yang dikirim ke perguruan Sapta Dhahana.

    “Hamba Raden,” jawab salah satu telik sandi itu sambil menyembah dan menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Kami berdua berhasil mendekati padepokan dari arah depan. Masih tampak beberapa pengawal Matesih yang berjaga-jaga. Kemudian kami memutar ke belakang padepokan. Dengan memanjat pohon nangka yang ada di dekat dinding padepokan, kami sempat mengintip ke dalam padepokan dan ternyata memang masih banyak pengawal Matesih yang bertahan di sana.”

    Tampak kepala Raden Wirasena terangguk-angguk. Kemudian sambil berpaling ke arah telik sandi yang bertugas menyelidiki perdikan Matesih dia bertanya, “Bagaimana dengan perdikan Matesih?”

    Untuk sejenak kedua telik sandi itu saling berpandangan. Namun telik sandi yang berbadan tegap itu segera menjawab,

  • 35

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Ampun Raden, kami membawa berita yang mungkin kurang menguntungkan bagi pasukan kita.”

    “He?!” bentak Raden Wirasena dengan muka memerah darah, “Katakan saja apa yang engkau lihat! Tidak usah berbelit-belit!”

    Bergetar dada kedua telik sandi itu. Dengan cepat mereka segera menghaturkan sembah. Sedangkan telik sandi yang berbadan tegap itu segera melanjutkan laporannya.

    “Ampun Raden, menurut berita yang berhasil kami sadap, Ki Rangga Agung Sedayu dan saudara sepupunya yang bernama Glagah Putih itu telah hadir di banjar padukuhan induk Matesih.”

    “He?!” hampir bersamaan orang-orang yang ada di sekitar Raden Wirasena itu terperanjat. Kehadiran Ki Rangga Agung Sedayu bagi mereka adalah kedatangan maut itu sendiri.

    Raden Surengpati yang duduk di sebelah kanan Raden Wirasena hampir saja bangkit berdiri jika saja kakandanya tidak mencegahnya.

    “Ada apa adimas?” bertanya Raden Wirasena kemudian sambil berpaling ke arah adindanya.

    Betapa wajah Raden Surengpati memendam dendam setinggi gunung sedalam lautan. Jawabnya kemudian sambil menggeretakkan giginya, “Kakangmas, anak muda yang bernama Glagah Putih itulah yang telah mencederai aku.”

    “He?!” kembali terdengar seruan terkejut dari beberapa orang yang ada di tempat itu.

    Eyang Guru yang duduk agak jauh segera bergeser merapat. Katanya kemudian, “Jika Glagah Putih mampu mengalahkan Raden Surengpati, berarti tingkat ilmu kanuragannya tidak dapat diremehkan.”

    Sedangkan Kiai Dandang Mangore yang sedari tadi sudah duduk di sebelah kiri Raden Wirasena segera berdehem keras-keras untuk menarik perhatian mereka.

  • 36

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Ketika seruan-seruan itu telah mereda, Kiai Dandang Mangore pun segera berkata, “Raden, aku tidak bermaksud meremehkan atau merendahkan tingkat ilmu kanuragan Ki Rangga, namun aku menyayangkan berita kesaktian Ki Rangga yang terlalu dilebih lebihkan sehingga telah mengecilkan kekuatan kita sendiri.”

    Untuk sejenak Raden Wirasena tampak mengerutkan keningnya dalam-dalam. Sedangkan Eyang Guru yang telah duduk di sebelahnya segera menyahut, “Engkau benar Balebang. Kedahsyatan Ki Rangga memang masih perlu dibuktikan. Memang aku telah mengalami sendiri. Namun saat itu aku menemui kesulitan untuk mendekati tempat samadinya. Tapi aku yakin, jika aku mendapat kesempatan lagi, nama besar Ki Rangga aku jamin akan hilang sebagaimana hilangnya jasad Ki Rangga yang akan terkubur dalam-dalam.”

    Kiai Dandang Mangore tertawa mendengar sesumbar Eyang Guru. Katanya kemudian, “Kesempatanmu untuk bertempur dengan Ki Rangga sudah tertutup, Gandhuru. Biarlah kali ini aku akan membuktikan, siapa di antara kita yang terbaik.”

    “He? Engkau masih saja mengajakku berlomba, Balebang?” sahut Eyang Guru sambil tertawa, “Baiklah kali ini kesempatan itu aku berikan kepadamu. Nanti malam lewat sepi uwong, kita berdua membuktikan berita yang dibawa telik sandi itu.”

    “Aku setuju!” seru Kiai Dandang Mangore bersemangat, “Kalau perlu Ki Rangga akan aku tantang untuk berperang tanding sampai salah satu diantara kita menjadi mayat.”

    “Tunggu dulu, Balebang!” sergah Eyang Guru, “Engkau belum tahu sifat agul-agulnya Mataram itu. Menantang perang tanding kepada Ki Rangga tanpa alasan yang jelas tidak mungkin akan dilayani. Ki Rangga hanya mau bertempur untuk suatu alasan yang diyakininya.”

    “Kalau begitu aku akan membunuhnya, dengan atau pun tanpa alasan,” potong pemimpin perguruan Setra Gandamayit itu.

  • 37

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Dan kita berdua akan menjadi pengewan-ewan seluruh pengawal Matesih dibantu oleh orang-orang tua yang ada di banjar itu,” sahut Eyang Guru cepat.

    “Sudahlah!” akhirnya Raden Wirasena yang sedari tadi hanya mendengarkan kedua sahabat lama itu berdebat segera menengahi, “Aku setuju dengan Eyang Guru. Kalian berdua malam ini selepas sepi uwong dapat mengadakan penyelidikan ke Matesih, tepatnya banjar padukuhan Matesih. Apakah benar berita yang didapat telik sandi itu. Ingat, hanya mengadakan penyelidikan dan tidak bertindak sebagai duta pamungkas.”

    Kedua orang tua itu tampak terdiam mendengar ucapan orang yang mengaku sebagai Trah Sekar Seda Lepen itu. Dalam hati sebenarnya Kiai Dandang Mangore kurang setuju dengan perintah itu. Seharusnya mereka berdua diijinkan sebagai duta pamungkas, duta ngrampungi yang sekaligus akan mengurangi kekuatan perdikan Matesih.

    “Jika aku mampu membunuh Ki Rangga, apa salahnya? Kekuatan Matesih akan susut dan menghancurkan perdikan itu hanya suwe mijet wohing ranti,” berkata Kiai Dandang Mangore dalam hati. Namun kepala orang tua itu tampak tetap terangguk-angguk walaupun hatinya tidak setuju.

    “Baiklah Raden,” Eyang Guru lah yang akhirnya memberikan tanggapan ketika dilihat sahabatnya itu hanya mengangguk-angguk saja, “Malam nanti selepas sepi uwong kami akan turun ke perdikan Matesih. Memang banyak kemungkinan yang dapat terjadi di sana nantinya. Namun kami akan tetap berusaha agar keberadaan pasukan kita di sini tetap terjaga kerahasiaannya.”

    Orang-orang yang berada di tempat itu pun tampak mengangguk-anggukkan kepala mereka. Pada dasarnya mereka yakin akan kemampuan kedua orang tua itu. Jika salah satu dari keduanya sudah menyediakan diri untuk langsung berhadapan dengan Ki Rangga, tentu akhir perjuangan Trah Sekar Seda Lepen sudah mendekati kenyataan.

    “Baiklah Eyang Guru,” berkata Raden Wirasena selanjutnya, “Apapun hasil penyelidikan itu nantinya, pasukan akan tetap

  • 38

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    bersiaga untuk digerakkan sewaktu-waktu. Kami disini menunggu isyarat dari Eyang Guru berdua.”

    “Baik Raden,” jawab Eyang Guru kemudian, “Aku harap pasukan jangan bergerak dulu sebelum ada isyarat dari kami.”

    Demikianlah pertemuan itu akhirnya selesai. Matahari masih tampak bersinar di langit barat, namun sinarnya telah menjadi semakin lemah seiring bergesernya Matahari turun mendekati cakrawala langit sebelah barat.

    Dalam pada itu, menjelang Matahari terbenam tampak dua bayangan sedang bergerak dengan sangat hati-hati di antara lebatnya gerumbul dan pepatnya pohon-pohon yang tumbuh berjajar-jajar di dalam hutan. Kawasan hutan itu masih termasuk lereng gunung Tidar sebelah barat. Kedua bayangan itu tampak dengan sangat hati-hati menuruni lereng sambil berlindung dari pohon satu ke pohon yang lain.

    “Ki Wiyaga,” bisik salah satu bayangan itu perlahan, “Apakah keterangan orang aneh tadi dapat dipercaya?”

    Ki Wiyaga berpaling sekilas. Namun dengan cepat pandangan matanya tertuju ke depan kembali. Jawabnya kemudian tak kalah lirihnya, “Aku percaya walaupun aku belum mengenal orang itu. Namun menilik dari sorot matanya aku yakin orang itu berkata jujur.”

    Kawan Ki Wiyaga itu terdiam sejenak. Dengan perlahan keduanya pun kembali bergerak menuruni lereng gunung Tidar sebelah barat.

    Sesekali kedua orang itu harus berhenti sejenak untuk meyakinkan bahwa di sekitar mereka berdua tidak ada orang yang sedang mengawasi. Keduanya menyadari betapa berbahayanya tugas yang sedang mereka emban.

    “Menurut keterangan orang aneh yang datang di padepokan menjelang tunggang gunung tadi, sisa-sisa murid Sapta Dhahana telah berkumpul dan bergabung dengan murid-murid dari padepokan Setra Gandamayit,” tiba-tiba kawan Ki Wiyaga itu kembali berdesis perlahan.

  • 39

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Ki Wiyaga menganggukkan kepalanya. Katanya kemudian menimpali, “Aku pernah mendengar nama padepokan itu. Namun menurut berita yang aku pernah dengar, padepokan itu sangat tertutup dan hampir tidak pernah bersinggungan dengan penghuni padukuhan di sekitarnya. Untuk itulah aku sendiri menyempatkan untuk mengamati keberadaan mereka di hutan ini. Jika memang demikian adanya, kita benar-benar sedang dalam bahaya, baik yang sedang berada di padepokan maupun perdikan Matesih sendiri.”

    Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya jantungnya semakin cepat berdetak. Keterangan orang aneh yang memaksa minta bertemu dengan Ki Wiyaga sore tadi benar-benar telah mendebarkan jantung.

    “Sisa-sisa cantrik Sapta Dhahana aku rasa masih cukup banyak,” berkata kawan Ki Wiyaga itu dalam hati sambil terus bergerak ke depan dengan sangat hati-hati, “Apalagi jika keterangan orang aneh itu benar bahwa mereka telah bergabung dengan cantrik-cantrik dari perguruan Setra Gandamayit, tentu kekuatan mereka sekarang telah menjadi semakin besar.”

    Ketika kedua orang itu kemudian sudah sampai di kaki gunung Tidar, mereka pun menjadi semakin hati-hati dan tidak pernah sekejap mata pun meninggalkan kewaspadaan.

    “Ki Wiyaga,” kembali kawannya berdesis perlahan, “Mengapa Ki Wiyaga memilih waktu menjelang Matahari terbenam untuk mengadakan penyelidikan? Bukankah malam hari akan lebih baik karena kemungkinan untuk terlihat oleh mereka sangat kecil.”

    “Itu menurut perhitunganmu,” sahut Ki Wiyaga dengan serta merta, “Namun menurut perhitunganku tidak. Menjelang sore kita masih dapat melihat keadaan hutan dengan cukup baik walaupun sedikit remang. Di malam hari, kita akan kesulitan untuk bergerak walaupun kemungkinan untuk diketahui oleh lawan juga sangat kecil.”

    Kawannya mengerutkan keningnya. Bertanya kawannya itu kembali, “Tetapi bukankah di siang hari kita akan dapat dikenali dengan mudah?”

  • 40

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Belum tentu,” jawab Ki Wiyaga sambil bergeser maju beberapa langkah lagi menyelinap di antara pepohonan, “Untuk itulah aku sengaja mengambil waktu menjelang Matahari terbenam. Sebagaimana kebiasaan manusia pada umumnya, mereka cenderung lengah di saat-saat seperti ini. Para pengawas yang sengaja dipasang untuk mengawasi keadaan tentu sudah sedemikian lelahnya sepanjang hari dan menunggu giliran digantikan oleh yang lain. Di saat inilah aku yakin mereka sedang lengah.”

    Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa terasa mereka telah bergeser semakin jauh dari kaki gunung Tidar dan menerobos hutan sebelah barat yang cukup lebat. Sementara Matahari di langit barat sudah sedemikian rendahnya namun masih menyisakan sinarnya untuk sekedar menerangi bumi.

    Tiba-tiba kedua orang itu dikejutkan oleh suara sorak sorai yang terdengar sayup-sayup dari tempat mereka bersembunyi, namun suara itu terdengar sangat jelas.

    “Kita berhenti di sini,” desis Ki Wiyaga sambil memberi isyarat kawannya untuk berhenti dan berlindung di balik sebatang pohon yang besar, “Itulah mereka. Tentu mereka sedang mendengarkan sesorah pemimpin mereka untuk membakar semangat perjuangan agar tidak sampai padam.”

    “Ya,” sahut kawannya sambil berusaha mempertajam pendengarannya, namun suara sorak sorai itu telah berhenti.

    “Suara itu sudah tidak terdengar lagi, Ki,” berkata kawan Ki Wiyaga itu kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam untuk mengendorkan ketegangan yang menghimpit dadanya.

    Ki Wiyaga tidak menjawab, hanya tampak kepalanya saja yang terangguk-angguk. Sejenak kemudian suasana hutan itu kembali sunyi seiring dengan kegelapan yang mulai meliputi tempat itu.

    “Kita kembali,” desis Ki Wiyaga kemudian.

    “Kembali?” bertanya kawannya dengan wajah penuh keheranan.

  • 41

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Ya, kembali.”

    “Tapi kita belum melihat pasukan lawan itu?”

    “Tidak perlu,” sahut Ki Wiyaga cepat, “Adalah sangat berbahaya mendekati tempat mereka menjelang gelap. Kita tidak tahu di mana mereka menempatkan para pengawas. Bagiku sudah cukup bukti dengan mendengar suara sorak sorai mereka.”

    Kawannya hanya mengangguk-anggukkan kepala tanpa berkata sepatah kata pun. Diikuti saja langkah-langkah Ki Wiyaga yang tergesa-gesa meninggalkan tempat itu.

    Sepanjang jalan kembali ke padepokan, keduanya tampak tidak banyak bicara. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angan tentang kekuatan lawan yang harus dihadapi.

    “Aku harus mengambil keputusan yang tepat,” berkata Ki Wiyaga dalam hati sambil terus mengayunkan langkahnya, “Jika malam ini mereka berencana mengambil alih padepokan kembali, tentu pasukan pengawal yang ada di padepokan tidak akan mampu untuk melawan. Ibarat timun mungsuh duren. Pasukan pengawal yang ada di padepokan akan di tumpes tapis warata bumi.”

    Berpikir sampai disitu Ki Wiyaga menjadi gelisah. Sesekali dia mencuri pandang ke arah kawannya yang berjalan di sebelahnya. Tampak kawannya itu berjalan menunduk sambil mengerutkan keningnya dalam-dalam.

    “Mungkin dia mempunyai pemikiran yang sama seperti aku,” kembali Ki Wiyaga berangan-angan, “Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan pasukan pengawal Matesih, jangan sampai jatuh korban yang sia-sia. Padepokan tidak perlu di pertahankan jika memang lawan terlalu kuat. Lebih baik menyingkir dan kembali ke Matesih.”

    Namun keragu-raguan tampak di wajah pemimpin pengawal perdikan Matesih itu. Membawa pasukan pengawal yang cukup besar kembali ke Matesih tentu bukan pekerjaan mudah. Jika pergerakan pasukannya telah terpantau oleh lawan, tidak menutup kemungkinan justru mereka akan dicegat di perjalanan dan sekaligus dihancurkan.

  • 42

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Para pengawal dapat bergerak dalam kelompok-kelompok kecil,” tiba-tiba sebuah gagasan muncul begitu saja dalam benaknya, “Dengan membagi pasukan pengawal dalam kelompok-kelompok kecil, tentu pergerakan kita tidak akan mudah terpantau oleh lawan.”

    Namun kembali Ki Wiyaga dihinggapi keragu-raguan. Tidak menutup kemungkinan sepanjang jalan dari padepokan sampai kaki gunung Tidar sebelah selatan telah dipenuhi oleh telik sandi lawan.

    Dalam keadaan yang tidak menentu untuk mengambil langkah bagi keselamatan pasukannya, kewaspadaan Ki Wiyaga pun menjadi berkurang. Dia tidak menyadari jika beberapa tombak di depan, dalam keremangan senja tampak seseorang dalam balutan pakaian yang aneh sedang berdiri di tengah jalan setapak menunggu mereka berdua.

    Kawan Ki Wiyaga itu harus menggamit pemimpin pengawal perdikan Matesih itu untuk membangunkannya dari lamunan. Ki Wiyaga benar-benar terkejut ketika mendapati orang yang pernah menemuinya di padepokan itu kini hanya beberapa langkah saja berdiri dihadapannya.

    “Selamat sore Ki Wiyaga,” sapa orang aneh itu dengan suara renyah bersahabat, “Apakah kalian berdua sudah membuktikan ucapanku?”

    “Selamat sore Kiai,” balas Ki Wiyaga dengan cepat sambil berusaha menguasai jantungnya yang melonjak-lonjak karena kemunculan orang aneh itu.

    “Bagaimana? Apakah yang aku katakan benar adanya?” orang aneh itu mengulangi pertanyaannya.

    “Benar, Kiai. Apa yang Kiai katakan memang benar,” jawab Ki Wiyaga cepat sambil menganggukkan kepalanya.

    “Nah, engkau harus segera mengatur orang-orangmu,” berkata orang itu kemudian, “Masih cukup waktu sebelum orang-orang yang berada di hutan itu memutuskan untuk bergerak. Entah

  • 43

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    bergerak ke perdikan Matesih atau merebut kembali padepokan mereka.”

    Terasa sebuah desir tajam menggores dada Ki Wiyaga. Ada keinginan mengirim salah satu pengawal untuk memberitahukan hal ini kepada Ki Gede Matesih, namun akibat yang harus dihadapi sangatlah berat, dan juga waktunya sudah sangat mendesak.

    Agaknya orang tua yang berpakaian aneh itu dapat meraba pikiran Ki Wiyaga, maka katanya kemudian, “Ki Wiyaga tidak usah mengirim petugas sandi ke Matesih. Sepanjang jalan dari Tidar ke Matesih sudah diawasi oleh mereka. Sekarang yang paling penting adalah bagaimana menyelamatkan pasukanmu. Jika mereka lebih memilih mengambil alih padepokan Sapta Dhahana kembali, kalian akan benar-benar dalam kesulitan.”

    Untuk sejenak kepala pengawal perdikan Matesih itu termenung.

    Berbagai pertimbangan sedang bergolak dalam dadanya.

    “Mereka menyerang padepokan ataupun tidak, sebaiknya Ki Wiyaga dan pasukan pengawal Matesih segera meninggalkan padepokan,” berkata orang tua itu tiba-tiba membuyarkan lamunan Ki Wiyaga, “Aku khawatir kalian akan menjadi ajang balas dendam cantrik-cantrik yang merasa terusir dari padepokannya.”

    “Kiai benar,” sahut Ki Wiyaga tanpa pikir panjang, “Jumlah kita benar-benar tidak seimbang walaupun aku tadi hanya mendengar suara sorak sorai mereka tanpa melihat jumlah yang ada. Namun menilik suara yang membahana itu, aku yakin jumlah mereka berlipat ganda dari jumlah pasukan pengawal Matesih yang berada di padepokan.”

    “Itulah sebabnya aku menyarankan kalian segera menyingkir,” sahut orang tua aneh itu dengan serta merta, “Kalian tidak harus kembali ke perdikan Matesih, cukup menyingkir ke tempat yang tidak mereka ketahui sambil mengamati keadaaan. Jika keadaan sudah memungkinkan, kalian segera bergabung kembali di perdikan Matesih.”

  • 44

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    “Pesan yang manakah, Mirah?” Pandan Wangi pun kemudian justru balik bertanya sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam.

  • 45

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Ki Wiyaga dan kawannya tampak mengangguk- anggukkan kepala. Namun masih ada satu sisa pertanyaan yang memenuhi benak mereka. Kemanakah sebaiknya pasukan pengawal Matesih itu menyingkir?

    Melihat Ki Wiyaga dan kawannya itu tampak termangu-mangu, orang tua berpakaian aneh itu pun tertawa pendek. Katanya kemudian, “Sebaiknya kalian berpencar menjadi beberapa kelompok dan kemudian bersembunyi di hutan sebelah utara gunung Tidar. Tidak jauh dari padepokan, di sana ada makam seorang suci yang dipercaya telah menaklukkan makhluk penunggu gunung Tidar di jaman dahulu kala. Di sanalah kalian dapat bersembunyi. Aku yakin mereka akan menghindari tempat itu jika memang ingin menguasai kembali padepokan Sapta Dhahana.”

    Hampir bersamaan Ki Wiyaga dan kawannya saling berpandangan sejenak. Mereka mengerti tempat yang disebutkan oleh orang tua aneh itu. Namun berbagai pertimbangan segera hilir mudik dalam benak mereka. Makam itu sangat dikeramatkan dan jarang ada orang yang berani pergi ke sana.

    Melihat keragu-raguan yang terpancar dari kedua orang itu, orang tua aneh itu pun segera tersenyum sambil berkata, “Tidak ada kekuasaan yang melebihi kuasa Yang Maha Agung. Di mana pun kalian berada, serahkan keselamatan kalian kepadaNya. Semoga kalian akan baik-baik saja.”

    Mendengar perkataan orang tua aneh itu, hati Ki Wiyaga dan kawannya agak sedikit terhibur. Apalagi ketika orang tua itu kemudian melanjutkan, “Sedahsyat dan sesakti apapun seseorang, jika sudah mati tidak akan mempunyai pengaruh apapun terhadap kita yang masih hidup. Kekerdilan jiwa kita lah yang membuat seakan-akan mereka yang sudah mati itu dapat menguasai dan menentukan nasib kita.”

    Tampak kepala Ki Wiyaga dan kawannya terangguk-angguk.

    “Nah, aku mohon diri,” berkata orang tua itu kemudian, “Masih cukup waktu bagi kalian untuk berkemas. Semoga Yang Maha

  • 46

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Agung senantiasa melindungi hambaNya yang selalu berjalan dalam paugeran dan petunjukNya.”

    “Akan kemanakah Kiai?” tiba-tiba saja Ki Wiyaga bertanya begitu melihat orang tua itu sudah melangkahkan kakinya.

    Sejenak langkah orang tua itu terhenti. Jawabnya kemudian, “Aku akan pergi menuruti krentege ati lampahe suku.”

    “Apakah Kiai tidak ada niat untuk pergi ke perdikan Matesih?” bertanya Ki Wiyaga selanjutnya.

    Tampak orang tua itu mengerutkan kening. Namun hanya sekejap dan segera saja orang tua itu tertawa pendek. Jawabnya kemudian, “Agaknya Ki Wiyaga akan meminta aku untuk memberitahu keadaan ini kepada Ki Gede Matesih,” orang tua itu berhenti sejenak. Lanjutnya kemudian, “Aku yakin perdikan Matesih tidak perlu diberi tahu. Di sana sudah berkumpul orang-orang linuwih yang akan membuat orang-orang yang berkumpul di hutan sebelah barat gunung Tidar itu berpikir seribu kali untuk menyerbu Matesih.”

    Berdebar jantung Ki Wiyaga dan kawannya. Namun mereka belum mengerti siapa saja kah yang dimaksud dengan orang-orang linuwih itu. Maka bertanya Ki Wiyaga kemudian, “Maafkan aku Kiai. Siapakah yang Kiai maksud dengan orang-orang linuwih itu?”

    “Ah, sudahlah,” jawab orang tua itu sambil tersenyum dan kembali melangkah, “Tugasmu adalah menyingkir dari kemungkinan kehancuran yang lebih besar. Biarlah Matesih diurus oleh orang-orang linuwih itu.”

    Kemudian tanpa berpaling lagi, orang tua itu pun segera menghilang di balik semak belukar dan pepohonan yang banyak tumbuh di sepanjang jalan setapak itu.

    “Marilah,” berkata Ki Wiyaga pada akhirnya kepada kawannya, “Kita segera kembali ke padepokan dan mengikuti saran orang tua itu.”

  • 47

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    Kawannya tidak menyahut, namun dia segera melangkah mengikuti langkah pemimpinnya kembali ke padepokan.

    Dalam pada itu, Matahari telah benar-benar terbenam di langit sebelah barat. Perlahan tapi pasti kegelapan segera melingkupi langit di atas tanah perdikan Menoreh.

    Kedatangan rombongan berkuda dari Sangkal Putung itu memang sangat mengejutkan penghuni tanah perdikan Menoreh. Pengawal yang menjaga regol kediaman Ki Gede ternyata tidak mampu menahan diri sehingga telah berteriak sekeras-kerasnya.

    “Nyi Pandan Wangi, puteri Ki Gede Menoreh datang berkunjung...!” seru seorang pengawal dengan nada kegembiraan yang luar biasa.

    “Nyi Pandan Wangi dan putranya telah datang di Menoreh...!” yang lain ikut berteriak.

    Beberapa pembantu laki-laki Ki Gede yang sedang memasang lampu dlupak di pendapa dan halaman pun telah mendengar teriakan itu dan akhirnya ikut berteriak.

    “Nyi Pandan Wangi pulang...!”

    “Ya, Nyi Pandan Wangi pulang...!”

    “Pulang dengan putranya...!”

    Teriakan itu ternyata telah terdengar sampai di dalam rumah Ki Gede. Para perempuan pembantu Ki Gede yang sedang bekerja di dapur pun telah berhamburan menuju ke halaman depan.

    Demikian juga Sekar Mirah dan Damarpati yang berada di gandhok kanan telah terkejut mendengar teriakan bersahut sahutan dari para pengawal itu.

    “Mbokayu Pandan Wangi pulang...?” desis Sekar Mirah dengan wajah sedikit tegang bercampur gembira.

    Damarpati yang sedang menggendong Bagus Sadewa pun ikut melongokkan kepalanya keluar gandhok. Tampak dalam keremangan cahaya obor yang dipasang di halaman dan lampu

  • 48

    SEJENGKAL TANAH SETETES DARAH JILID 14

    dlupak di pendapa, beberapa ekor kuda memasuki halaman rumah Ki Gede Menoreh.

    “Kita ke pendapa,” berkata Sekar Mirah kemudian sambil membenahi baju dan rambutnya. Dengan bergegas keduanya pun kemudian melangkah keluar gandhok menuju ke pendapa.

    Dalam pada itu Pandan Wangi dan Bayu Swandana yang telah turun dari kuda segera menaiki pendapa. Beberapa orang yang sudah berapa di pendapa tampak menyambutnya dengan suka cita. Sementara dari arah samping kanan pendapa tampak Sekar Mirah dan Damarpati yang menggendong Bagus Sadewa melangkah cepat menaiki tlundak pendapa.

    Di antara orang-orang yang telah berada di pendapa itu tampak Ki Argapati. Walaupun tampak kelelahan di wajahnya, namun orang tua itu terlihat sangat gembira menyambut anak dan cucu laki-laki satu-satunya.

    “O, alangkah bahagianya orang tua ini!” seru Ki Argapati sambil mengembangkan kedua tangannya menyambut cucunya yang baru saja menaiki tlundak pendapa, “Aku ternyata telah mempunyai seorang cucu sebesar ini!”

    Bayu Swandana yang sedang menaiki tlundak pendapa dengan langkah satu-satu tampak sedikit ragu-ragu. Dipandanginya saja Ki Argapati yang setengah berlari mendapatkannya sambil mengembangkan kedua tangannya.

    Pandan Wangi segera mendekati anak laki-laki satunya. Sambil membimbing Bayu Swandana, Pandan Wangi pun segera berbisik di telinganya, “Inilah kakek Argapati yang sering aku ceritakan itu. Ketika terakhir kali kakek Argapati berkunjung ke Sangkal Putung, engkau masih baru belajar berjalan.”

    Mendengar bisikan ibunya, Bayu Swandana segera melepaskan diri dari pegangan ibun