scanned by camscannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · makalah ini...

9

Upload: others

Post on 27-Oct-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial
Page 2: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial
Page 3: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial

Scanned by CamScanner

Page 4: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial

Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 15

731

HIPERREALITAS HOAX DALAM BERITA MEDIA SOSIAL DI INDONESIA

Tri IndrayantiPendidikan Bahasa dan Sastra IndonesiaUniversitas PGRI Adi Buana Surabaya

[email protected]

ABSTRAK/ABSTRACTMedia berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yangkompleks dan beragam. Media merupakan alat untuk menyampaikan berita, penilaian, atau gambaranumum tentang banyak hal. Ia mempunyai kemampuan untuk berperan sebagai institusi yang dapatmembentuk opini publik karena media dapat berkembang menjadi kelompok penekan atas suatu idebahkan suatu kepentingan atau citra yang direpresentasikan untuk diletakkan dalam konteks kehidupanyang lebih empiris. Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagaiperangkat dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas, namun juga bisamenentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya,media mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkandari realitas yang dikonstruksikannya. Saat ini, media sosial banyak memunculkan berita hoax karenabanyaknya kepentingan di Indonesia, lebih-lebih politik. Berita hoax tersebut memunculkan pro-kontra,dan dari sini masyarakat sebagai konsumen mengalami kebingungan apakah berita yang ada dapatdipercaya kebenarannya atau tidak. Penelitan ini bertujuan mendeskripsikan hiperrealitas hoax yangmuncul di dalam berita media sosial. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifatdeskriptif. Data penelitian ini adalah ujaran yang berisi pemberitaan tentang hoax yang ada di mediasosial. Sumber data yang digunakan adalah koran Tempo online yang terbit pada tanggal 6 dan 10 Januari2017 dan diposting pada 11 Januari 2017. Teknik pengumpulan data berupa dokumentasi dan teknikpenganalisisan data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif dengan menemukan fakta-fakta yang adaatau fenomena secara empiris. Berdasarkan hasil analisis data yang ditemukan terjadi pro dan kontratentang pemberitaan hoax di Indonesia. Dari dua data tersebut data (1) menyatakan bahwa hoax danpemberitaan hoax sudah melekat di Indonesia dan membudaya terutama oleh penguasa (bagian daridemokrasi), sedang data (2) menguraikan ketidaksepakatan dengan pernyataan data (1) karena definisihoax dan pemberitaan hoax harus dikaji lebih dalam dengan melihat fakta yang terjadi. Berdasar analisisdata tersebut, faktor yang melatarbelakangi munculnya hoax dan pemberitaanya diantaranya faktorkekuasaan, tingkat pendidikan, politik, sosial-budaya, bahasa, dan paham yang berbeda.

Kata kunci/Keywords: hiperrealitas, hoax, media sosial

PENDAHULUAN/INTRODUCTIONDi Indonesia, akhir-akhir ini dihebohkan dengan berbagai pemberitaan yang terindikasi sebagai hoax.Hoax sendiri bisa diartikan dengan banyak pengertian meski artinya satu, yaitu, tipuan, menipu, kabarburung, berita bohong, pemberitaan palsu, informasi palsu, dan lain-lain. Berdasarkan wikipedia bahasaIndonesia, hoax diartikan sebagai usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untukmempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu.Sama halnya dengan media, saat ini media menjadi sorotan publik. Melalui isi berita yang ditampilkan,media dapat dengan mudah mengubah pandangan, tingkah laku, bahasa bahkan gaya hidup seseorang.Gramsci dalam Sobur (2015:30) menyatakan media sebagai ruang di mana berbagai ideologidipresentasikan. Hal ini bisa katakan bahwa media selain menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa,alat legitimasi dan kontrol wacana publik, media juga bisa menjadi alat resistensi terhadap kekuasaan.Media bisa menjadi alat pembangun kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan,sekaligus sebagai instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk untuk membangun ideologi tandingan.Media dianggap sebagai distorsi paling menakjubkan (Baudrillard, 2013:133). Baudrillard jugamenambahkan bahwa di balik berita yang muncul masih terdapat secuil keinginan simbolis untukmemperoleh kebenaran. Oleh karena itu, media sering dituduh bias dalam memilih informasi yang akandipublikasikan atau disiarkan.Melihat fenomena yang diuraikan di atas, para “pemangku” berita di Indonesia, dalam hal ini pers danredaksi kemudian mengikuti dan menerapkan fenomena tersebut. Kalau kita melihat berita yang ada dimedia sosial saat ini, banyak postingan berita bermunculan dengan kriteria yang memiliki tujuan yang

Page 5: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial

Unika Atma Jaya, 5−7 April 2017

732

sama, yakni membuat pembaca atau masyarakat menerima dan percaya atas berita yang dipaparkan. Bisadikatakan bahwa konstruksi media yang direpresentasikan melalui berita hoax telah menyebabkanhomogenitas pada pemikiran pembaca (masyarakat) sehingga mengubah pemikiran masyarakat menjadilebih sempit dalam menilai sesuatu. Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul diberita khususnya di media sosial yang terdapat di dalam blog indonesiana.tempo.co. Dua artikel tersebutsecara khusus memberi tanggapan tentang maraknya berita hoax di media sosial. Penulis dua artikelmemiliki latar belakang yang berbeda, namun kedua penulis memiliki pengetahuan yang baik dalammenanggapi berita hoax di Indonesia.

METODOLOGI/METHODOLOGYPenelitian ini menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitan ini bertujuanmendeskripsikan hiperrealitas hoax yang muncul di dalam berita media sosial. Data penelitian ini adalahartikel yang mengulas tentang pemberitaan hoax yang ada di media massa atau sosial. Sumber data yangdigunakan adalah dua artikel dalam koran Tempo online. Artikel pertama terbit pada tanggal 6 Januari2017 dan diposting pada 10 Januari 2017 yang berjudul “Hoax dan Demokrasi” yang selanjutnyadisingkat HdD, ditulis oleh Rocky Gerung (RG), ia adalah seorang peneliti perhimpunan pendidikandemokrasi dan artikel kedua terbit pada tanggal 10 Januari 2017 dan diposting pada 11 Januari 2017 yangberjudul “Hoax bukan Demokrasi” yang selanjutnya disingkat HbD, ditulis oleh Ignatius Haryanto (IH),ia adalah peneliti senior LSPP. Teknik pengumpulan data berupa dokumentasi, yaitu denganmenggunakan dua artikel yang sudah dipilh. Teknik penganalisisan data yang digunakan yaitu deskriptifkualitatif, yaitu teknik penganalisisan data yang diawali dengan pembacaan dua artikel, membandingkanisi dua artikel, menemukan opini dan fakta-fakta yang muncul di dalam dua artikel, mengaitkan opini danfakta dengan teori terkait sehingga ditemukan fenomena secara empiris.

ANALISA/ANALYSISJean Budrillard, seorang teoritisi asal perancis barat berteori tentang masyarakat postmodern di manamedia, simulasi, dan cyberblitz merupakan asumsi utamanya yang telah mengkonstruksi danmengkonstitusi suatu bidang pengalaman baru, tahapan sejarah, dan tipe masyarakat yang baru.Media menggunakan medium bahasa. Bahasa memiliki kekuatan yang sangat dahsyat lebih tajam daripisau. Jika seseorang tidak memiliki etika dalam berbahasa maka bisa menjadi tiran yang sulit dilacak.Sebaliknya, jika seseorang santun dalam menggunakan bahasa maka bisa memberi manfaat kepada oranglain. Di dalam bahasa terdapat sesuatu kekuatan yang tidak tampak yang diberi nama komunikasi (Sobur,2016:16).Dalam filsafat bahasa, orang bisa mencipta realitas dan menyusunnya menggunakan bahasa. Bahasamemiliki kemampuan memunculkan sesuatu yang tersembunyi, yang tidak tampak menjadi sebuahkenyataan. Namun, sebaliknya bahasa juga dapat digunakan untuk menghancurkan realitas orang lain. Iniyang disebut bahasa sebagai tiran (Loren Bagus 1990 dalam Sobur 2016).Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan prosesor mikro, bank memori (memory bank),remote control, telecard, leser disc dan internet menurut pandangan Baudrillard, tidak saja dapatmemperpanjang badan dan sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih dari itu, yaitu mampumereproduksi realitas, masa lalu dan noslagia; menciptakan realitas baru dengan citra-citra buatan;menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas sehingga tidak lebihdari sekadar layar kaca televisi, disket ataupun internet (Piliang, 1998:197 dalam Hidayat, 2012:94).Dewasa ini, fenomena reproduksi realitas yang disampaikan Baudrillard dapat dilihat dari pemberitaanmedia sosial di Indonesia. Pemberitaan media sosial akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran tentangperubahan pandangan dan persepsi masyarakat. Media sosial selain memiliki kecepatan informasi yangbisa diakses dalam hitungan detik, juga dapat mengakumulasi keinginan atau aktualisasi diri dankebutuhan menciptakan personal branding.Maraknya pemberitaan hoax di Indonesia membuat sebagian besar masyarakat geram. Beberapa tokohmemberi tanggapan berita hoax tersebut, diantaranya Rocky Gerung (RG) dan Ignatius Haryanto (IH).Tampak pro dan kontra, serta beda pandangan di antara keduanya. RG dalam kutipan artikel HdDmenyatakan “hoax terbaik adalah versi penguasa. Sebab, mereka memiliki peralatan lengkap: statistik,intelijen, editor, panggung, media, dst...” (HdD, 2017:1). RG berpendapat seperti itu disebabkan beberapahal, diantaranya RG melihat apa yang terjadi di Indonesia bahwa penguasa memang memiliki power lebihkarena mendapat dukungan dari berbagai pihak. RG menggunakan kata “demokrasi” berarti berita hoaxsudah menjadi kebiasaan yang dilakukan penguasa. Hal ini akan membuat masyarakat semakin percayabahwa penguasa selalu berada di posisi paling kuat dan benar. Dari segi bahasa yang digunakan

Page 6: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial

Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 15

733

penggunaan kata “versi penguasa” menunjukkan ada versi hoax yang lain namun jika dikaitkan dengankalimat tersebut versi penguasa yang berpengaruh. Berbeda pendapat dengan kutipan tulisan IH “....hoaxbukanlah bagian dari demokrasi dan hoax adalah suatu cedera bagi demokrasi” (HbD, 2017:1). IHmenyatakan bahwa berita hoax akan menjadi bumerang dalam demokrasi di Indonesia dan akan merusakdemokrasi itu sendiri. Berita hoax lebih jauh dikaji oleh IH bahwa jika hoax merupakan bagian demokrasijika berada dalam posisi pemerintah otoriter dan ini tidak sesuai dengan yang terjadi di Indonesia. Sepertiyang kita tahu bahwa negara Indonesia merupakan negara republik yang demokratis.Kutipan artikel kedua RG yaitu “Demarkasi yang diajukan cuma satu: sumber informasi yang ‘bukanmainstream’ harus dicurigai hoax. Sikap inilah yang justru membahayakan demokrasi karena publikdiarahkan untuk hanya percaya kepada ‘media mainstream.” (HdD, 2017:2). Kemudian kutipan artikelkedua IH “...pernyataan Rocky bahwa ‘sumber informasi yang bukan mainstream’ harus dicurigai sebagaihoax’ menjadi tidak benar. Media non-mainstream pun banyak yang memuat informasi benar, tapi banyakjuga media serupa (media online dan media sosial) yang mengandung informasi yang tidak benar.” (HbD,2017:2). Terjadi ketidaksepamahan di antara kedua kutipan 2 di atas. Dalam KKBI “mainstream” berartiarus utama, kebiasaan utama, perilaku umum, hal yang sudah biasa, dianggap lumrah, dan sesuatu yangmemang sudah nampak wajar dan tidak aneh. Media yang disebut bukan mainstream harus dibatasidengan jelas. Melihat saat ini banyak media konsumsi masyarakat, yaitu media online, media sosial,media cetak, media elektronik, bahkan banyak masyarakat yang mengonsumsi informasi melalui gadgetatau telepon seluler. Kenyataan yang terjadi di Indonesia, berita hoax tidak hanya muncul melalui sumberinformasi bukan mainstraem tapi melalui sumber informasi mainstream juga. Itu yang disebut perilakumedia massa. Konsep yang dianut media massa bukan kebenaran sejati, tetapi sesuatu yang dianggapmasyarakat sebagai kebenaran (Paul Watson dalam Sobur, 2016). Hal ini mengakibatkan beratnya tugaspembaca dalam menyikapi sebuah berita. Pembaca dituntut memiliki kemampuan yang cukup untukmemfilter berita yang diperoleh agar menemukan kebenaran atau setidaknya mendekati kebenaran.Kutipan artikel RG yang ketiga berbunyi “informasi adalah mata uang demokrasi. Pers mengedarkannyasebagai opini publik. Dalam peredaran itulah informasi dapat menjadi disinformatif: informasi tibadengan pesan yang keliru” (HdD, 20176:3). Sama Halnya dengan IH dalam kutipan artikelnya “Yangperlu dibereskan memang berbagai ini; media (abal-abal) yang menjadi produsen, penulis di media sosialyang kerap tak memikirkan etika tentang apa yang mereka hendak sampaikan, mereka yang mengumbarkebencian lewat media sosial ke berbagai pihak, serta rublik yang harus diajak cerdas mengkonsumsiinformasi dan berbagai media hari ini” (HbD, 2017:3). Ungkapan RG dan IH tampaknya memilikikesepahaman, kedua kutipan di dalam artikel tersebut mencoba mencari penyebab terjadinya berita hoaxyang muncul akhir-akhir ini. Seperti yang kita tahu bahwa kenyataannya media bersifat bias. Dikatakanbias karena terkadang dengan sengaja seorang wartawan memproyeksikan pandangan pribadi merekadalam peristiwa atau pandangan yang telah ditunjukkan kepada mereka (Macnamara dalam Sobur,2016:35). Hal ini salah satu penyebab terjadinya ketidaksesuaian antara kenyataan dan berita yang ditulis.Derajat bias media menurut Al-Zastrouw dalam Sobur (2016:35) setidaknya dipengaruhi oleh tiga hal:kapasitas dan kuantitas pengelola media, kuatnya kepentingan yang sedang bermain dalam realitas sosial,serta taraf kekritisan dari masyarakat. Pernyataan tersebut jelas bahwa jika ketiga faktor bias dalam mediatersebut tinggi maka semakin tinggi pula terjadinya berita hoax karena cenderung subjektif bahkan jauhdari fakta, begitupun sebaliknya semakin rendah bias yang terjadi dalam media maka semakin rendahberita hoax yang muncul karena bersifat subjektif, melihat fakta yang ada.Kutipan artikel yang keempat yang ditulis oleh RG berbunyi “Demokrasi memiliki mekanisme koreksi.Terlalu banyak kebenaran yang dipromosikan berarti ada kebohongan yang sedang disembunyikan.Dilihat dari perspektif itu, hoax adalah fabrikasi politik. Bukan untuk merusak demokrasi, tapi justruuntuk menunda konglomerasi kebenaran.” (HdD, 2017:4). Dalam pernyataan ini tampak bahwa hoaxdikaitkan dengan politik. Seperti yang kita ketahui bahwa kehidupan politik di Indonesia sangat dahsyat,muncul isu dan desas-desus berisi politik. Tokoh politik di Indonesia pun telah banyak yang berbicaratentang hoax. Alhasil, banyak masyakarat yang merasa kebingungan dengan berita yang ada. Masyarakatyang memiliki pengetahuan minim tentang politik pasti akan langsung mempercayai berita yang ada.Sebaliknya, kutipan artikel IH keempat “Jika kita percaya pada diktum kebebasan informasi, bahwainformasi adalah oksigen bagi demokrasi, hoax adalah hawa racun yang akan merusak demokrasi itusendiri.” (HbD, 2017:4). Kutipan ini lebih menggunakan logika dalam menyampaikan pendapat. Sepertiyang diketahui bahwa hoax itu berbahaya, hoax bisa memecah demokrasi. Hoax dapat menjerumuskanmasyarakat ke pemikiran negatif. Hal ini terjadi karena konten dalam berita hoax belum terbukti bahkantidak terbukti kenyataannya. Oleh sebab itu, setiap elit penguasa selalu terus-menerus melakukan

Page 7: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial

Unika Atma Jaya, 5−7 April 2017

734

konsolidasi kekuasaan dalam segala bidang, termasuk melakukan rekayasa bahasa untuk konsolidasikekuasaan (Sobur, 2016:90).Kutipan artikel RG yang terakhir berbunyi “Politik adalah konfrontasi etik demi menghasilkan suatu‘peristiwa’. Hoax adalah konfrontasi terhadap monopoli kebenaran. Saya meninjau hoax ini dariperspektif dekonstruksi demo rekonsilidasi demokrasi yang kini merosot menjadi sekadar adu cacian danolah dendam.” (HdD, 2017:5). Pernyataan RG tersebut terlihat jelas bahwa hoax hanya dikaji melaluiperspektif dekonstruksi demo rekonsilidasi demokrasi yang semakin merosot. Maksudnya, RGmenyatakan bahwa munculnya hoax dipicu oleh kondisi demokrasi yang kurang baik di Indonesia.Demokrasi yang terlihat hanya saling caci, saling sindir, perasaan dendam, dan bermusuhan sana-sini. Halini yang menyebabkan media semakin gencar dalam pemberitaan yang masuk kategori hoax. Berbagaiupaya konsolidasi yang muncul secara umum terdapat di bidang politik yang bersifat politis, di bidangmiliter yang bersifat militeristik, di bidang mitos-magi-religi sekaligus bersifat mitis-magis-religius, dibidang budaya sekaligus secara kultur (Moedjanto, 1987:41; Suroso, 2001:9 dalam Sobur, 2016:90).Kutipan artikel terakhir IH menyatakan akibat yang ditimbulkan dari hoax, yang berbunyi “...bahwa adasejumlah pihak yang memang menjadi produsen berita palsu, bahkan memetik keuntungan dari produksiberita tersebut. Entah cara ia bergerak didasari motif ekonomi semata entah politik, yang pasti berita palsutelah mencoreng dan membuat demokrasi tak berjalan dengan baik.” (HbD, 2017:5). Pernyataan tersebutsangat tepat karena banyak kasus yang terjadi di masyarakat Indonesia ada beberapa kelompok yangmemiliki kekuasaan untuk mengendalikan makna di tengah pergaulan sosial melalui media massa. Dalammedia massa sendiri, bahasa tidak bisa lagi sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas, namunbahasa bisa menentukan gambaran (citra) yang akan muncul di benak masyarakat. Secara kasat mata bisadikatakan bahasa yang digunakan dalam media mampu memengaruhi cara melafalkan (pronounciation),tata bahasa (grammar), susunan kalimat (syntax), perluasan dan modifikasi perbendaharaan kata, sertadapat mengubah dan atau mengembangkan percakapan (speech), bahasa (language), dan makna(meaning) (DeFleur dan Ball Rokeach, 1989: 265-269 dalam Sobur, 2016:90).Menurut DeFleur dan Ball Rokeach (1989:267) dalam Sobur (2016:90), ada berbagai cara media massamemengaruhi bahasa dan makna, diantaranya: mengembangkan kata-kata baru beserta maknaasosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilahdengan makna baru; memantapkan makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa. Beberapa caratersebut secara tidak langsung akan menjadikan penggunaan bahasa tertentu mengandung implikasimunculnya makna tertentu. Selain itu, bentuk konstruksi realitas dan munculnya makna yang lain jugadisebabkan pilihan kata (diksi) dan cara mengajikan suatu realitas tersebut. Bisa dikatakan bahwa apayang seseorang lihat dan pahami mengenai realitas telah diinterprestasikan oleh media. Pada titikterekstri, pemahaman akan jati diri kita sendiri pun dipengaruhi oleh opini dominan yang dikonstruksioleh dan melalui media (Romli, 2016:124).Bahasa tidak hanya mampu memainkan realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas (Hamad, 2001:57dalam Sobur, 2016:90). Bahasa merupakan unsur utama, alat pokok untuk menceritakan realitas, alatkonseptualisasi, dan alat narasi. Mengingat betapa pentingnya bahasa maka tidak ada berita, teks, wacana,cerita, ataupun ilmu pengetahuan lain tanpa menggunakan bahasa. Informasi yang disampaikan dalammedia massa (online dan cetak) bisa berupa fakta dan non-fakta. Informasi yang belum tentukebenarannya, hanya kebohongan disebut dengan hoax (seperti yang telah diuraikan di atas). Pemberitaanhoax telah menjadi budaya di Indonesia. Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup. Bahasa,persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi, politikdan teknologi, semua itu berkaitan dengan pola budaya (Sibahudin, 2013:19). Ini yang disebut denganrealitas di atas realitas, kita sebut dengan hiperrealitas. Hubungan bahasa, realitas dan budayadigambarkan pada bagan di bawah ini.

LanguageReality creates Creates Creates Reality

Culture

Bagan 1. Hubungan antara bahasa, realitas dan budaya(Christian and Christian, 1966 dalam Badara 2013)

Sistem informasi yang besar memungkinkan media massa untuk “sementara” meletakkan tanggungjawabnya untuk mengetahui, memahami, diberitahu, dan berpijak pada keadaan. Teknologi memilikiperan penting dalam penyebaran informasi. Televisi dan media massa misalnya, realitas buatan (citra-citra) seolah lebih riil dibanding realitas aslinya. Realitas buatan (citra-citra) kini tidak lagi memiliki asal

Page 8: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial

Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 15

735

usul, referensi ataupun kedalaman makna. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta danobjektivitas kehilangan eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983:183dalam Hidayat, 2012:96).Pada hakikatnya, media merupakan hasil rekonstruksi realitas dengan bahasa sebagai mediumnya. Bahasatidak saja sebagai alat representasi namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang akan diciptakanoleh bahasa mengenai realitas tersebut. Setiap usaha “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, bendaatau apapun, pada hakikatnya usaha mengkontruksikan realitas. Manakala konstruk realitas mediaberbeda dengan realitas yang ada di masyarakat, maka bisa dikatakan telah terjadi kekerasan simbolik.Bentuk kekerasan simbolik bisa berwujud penggunaan bahasa penghalusan, pengaburan, atau bahkanpengasaran fakta. Lebih singkatnya, kekerasan simbolik tidak hanya beroperasi melalui bahasa, namunjuda dalam isi bahasa (language content) itu sendiri, yaitu apa yang diucapkan, disampaikan ataudiekspresikan (Anto, 2001:26 dalam Sobur, 2016:89).Realitas yang dihasilkan teknologi telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya dan bahkan menjadimodel acuan yang baru bagi masyarakat. Inilah yang disebut dengan dunia hiperrealitas: realitas yanglebih nyata dari yang nyata, semu dan meledak-ledak. Dalam dunia hiperrealitas, objek-objek asli yangmerupakan hasil produksi bergumul menjadi satu dengan objek-objek hipereal yang merupakan hasilreproduksi. Realitas-realitas hiper, seperti media massa, disneyland, shopping mall dan televisi nampaklebih riil daripada kenyataan yang sebenarnya, di mana model, citra-citra dan kode hiperrealitasbermetamoforsis sebagai pengontrol pikiran dan tindak-tanduk manusia (Kellner, 1994: 8 dalam Hidayat,2012: 95).

SIMPULAN/CONCLUSIONMaraknya berita hoax sangat meresahkan masyarakat Indonesia. Berita hoax yang muncul diidentikkandilakukan oleh penguasa. Berita disampaikan menggunakan medium bahasa. Mengembangkan kata-katabaru beserta makna asosiatifnya, memperluas makna dari istilah-istilah yang ada, mengganti makna lamasebuah istilah dengan makna baru, memantapkan makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasamerupakan cara media memainkan bahasa di dalam media. Media merupakan hasil rekonstruksi realitasdan bahasa sebagai mediumnya. Artikel berjudul “hoax dan demokrasi” karya Rocky Gerung dan “hoaxbukan demokrasi” adalah dua artikel yang berisi pro dan kontra maraknya berita hoax. Hoax merupakanwujud hiperrealitas. Sebagai wujud hiperrealitas berita hoax menawarakan berita yang seolah-oleh nyatatetapi tidak sesuai dengan yang ada. Oleh karena itu, masyarakat sebagai pengonsumsi informasi haruscerdas dalam memilah dan memilih mana berita yang benar atau tidak.

REFERENSI/REFERENCESBadara, Aris. 2013. Analisis Wacana: teori, metode, dan penerapannya pada wacana media. Jakarta:

Prenada Media Group.Baudrillard, Jean. 2013. Lupakan Postmodernisme. Terjemahan oleh Jimmy Firdaus. Bantul, Yogyakarta:

Kreasi Wacana.______________ . 2015. Masyarakat Konsumsi. Terjemahan oleh Wahyunto. Bantul, Yogyakarta: Kreasi

Wacana.Djatmika. 2014. Pernik Kajian Wacana. Yogyakarta: Graha Ilmu.Gerung, Rocky. 2017. Hoax dan Demokrasi.

https://indonesiana.tempo.co/read/106833/2017/01/11/rockygerung/hoax-dan-demokrasi-rocky-gerung. Diunduh pada 15 Januari 2017.

Habermas, Jurgen. 2015. Ruang Publik: sebuah kajian tentang kategori masyarakat borjuis. Terjemahanoleh Yudi Santoso. Bantul, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Haryanto, Ignatius. 2017. Hoax Bukan Demokrasi.https://indonesiana.tempo.co/read/106841/2017/01/11/Hoax-Bukan-Demokrasi-~-Ignatius-Haryanto. Diunduh pada 15 Januari 2017.

Hidayat, Medhy Aginta. 2012. Menggugat Modernisme: mengenali rentang pemikiran prostmodernismeJean Baudrilard. Yogyakarta: Jalasutra.

O’donnell, Kevin. 2009. Postmodernisme. Terjemahan oleh Jan Riberu. Yogyakarta: Kanisius.Romli, Khomsahrial. 2016. Komunikasi Massa. Jakarta: Grasindo.Sibahudin, Ahmad. 2013. Komunikasi Antarbudaya; satu persepktiif multidimensi. Jakarta: PT Bumi

Aksara.Sour, Alex. 2015. Analisis Teks Media. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Page 9: Scanned by CamScannerkaryailmiah.unipasby.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/full.pdf · Makalah ini mencoba memaparkan fenomena hoax yang muncul di berita khususnya di media sosial

Unika Atma Jaya, 5−7 April 2017

736

RIWAYAT HIDUP/CURRICULUM VITAENama Lengkap/Complete Name : Tri Indrayanti, S.Pd., M.Pd.Institusi/Institution : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.Pendidikan/Education Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UNY

Yogyakarta. Magister Pendidikan Bahasa Indonesia, UNS Surakarta.

Minat Penelitian/ResearchInterests

Linguistik, Analisis Wacana, Pragmatik, Sastra