s kim 0611038 chapter2xa-research.upi.edu/operator/upload/s_kim_0611038_chapter... ·...
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Cair Industri Tekstil
Industri tekstil termasuk salah satu industri yang sangat banyak
mengeluarkan limbah cair, namun penanganan pengolahan limbah cair pada
industri yang termasuk berskala kecil atau menengah kurang optimal. Limbah
industri tekstil dihasilkan dari beberapa tahap proses, meliputi:
• Percucian
• Pencelupan dan system pewarnaan lainnya
• Pengolahan akhir seperti pencucian kembali
Limbah cair dari industri tekstil umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
• Berwarna
• Bersifat sangat basa
• BOD sangat tinggi
• Padatan tersuspensi tinggi
• Suhu tinggi
Pada dasarnya tekstil terbagi menjadi tiga kelompok yaitu: katun, wol dan
sintesis yang pengerjaan dan proses pewarnaannya berbeda-beda. Disamping itu
dari masing-masing kelompok dapat diproses dengan berbagi cara dengan
menggunakan bahan kimia yang berbeda-beda pula terutama pada proses
pewarnaannya. Oleh karena itu limbahnya juga berlainan sehingga mempersulit
6
proses pengelolahannya. Potensi pencemaran air buangan industri tekstil sangat
bervariasi tergantung pada proses dan kapasitas produksi serta kondisi lingkungan
tempat pembuangan, sehingga akibat pencemarannya juga berbeda-beda.
Air buangan industri tekstil yang menggunakan bahan-bahan kimia banyak
mengandung zat pencemar/racun yang dapat mengakibatkan gangguan terhadap
lingkungan, kehidupan manusia, binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Zat warna
dapat mengakibatkan penyakit kulit dan yang sangat membahayakan adalah dapat
mengakibatkan kanker kulit (Sugiharto, 1987). Dengan banyaknya zat pencemar
yang ada di dalam air limbah, akan menyebabkan kadar oksigen yang terlarut
dalam air menurun. Hal ini mengakibatkan ikan dan mikroba di dalam air akan
mati, juga dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman atau tumbuhan air,
sehingga proses self purification yang seharusnya dapat terjadi pada air limbah
menjadi terhambat (Sugiharto, 1987).
2.2 Zat warna
Molekul zat warna merupakan gabungan dari zat organik tak jenuh.
Kromofor sebagai pembawa warna dan auksokrom sebagai pengikat antara warna
dengan serat. Secara lebih luas, zat warna tersusun dari hidrokarbon tak jenuh,
kromogen, auksokrom dan zat aditif (migration, levelling, wetting, agent dan
sebagainya).
Zat warna dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan
sumber diperolehnya, zat warna dibedakan menjadi dua yaitu zat warna alam yang
berasal dari tumbuhan dan hewan (lac dye) serta zat warna buatan.
7
Berdasarkan pemakaiannya, zat warna dibedakan menjadi dua yaitu zat
warna yang dapat langsung mewarnai serat (zat warna substantif) dan zat warna
yang memerlukan zat tambahan agar dapat mewarnai serat (zat warna reaktif).
Sedangkan Hennek (http://smk3ae.wordpress.com/2009/04/19/ mengenal-
zat-warna-tekstil-zat-warna-reaktif-procion/) mengelompokkan zat warna
berdasarkan warna yang ditimbulkannya, yaitu zat warna monogenetik apabila
hanya memberikan satu warna dan zat warna poligenetik apabila dapat
memberikan beberapa jenis warna.
Pengelompokkan zat warna menurut “Color Index” volume 3, yang
terutama mengelompokkan atas dasar sistem kromofor yang berbeda. Misalnya
zat warna Azo, Antrakuinon, Ftalosia, Nitroso, Indigo, Benzodifuran, Okazin,
Polimetil, Di- dan Tri- Aril Karbonium, Poliksilik, Aromatik Karbonil,
Quionftalen, Sulfer, Nitro, Nitrosol dan lain-lain.
Penggolongan lain yang biasa digunakan terutama pada proses pencelupan
dan pencapan pada industri tekstil adalah penggolongan berdasarkan aplikasi (cara
pewarnaan). Zat warna tersebut dapat digolongkan sebagai zat warna asam, basa,
direct, dispersi, pigmen, reaktif, solven, belerang, bejana dan lain sebagainya.
2.3 Proses Penghilangan Warna
Warna dalam limbah cair industri tekstil sangat beragam tergantung pada
pewarna yang digunakan. Secara sederhana, proses penghilangan warna
merupakan proses hilangnya warna tanpa pemutusan bagian dari molekul
kompleks zat warna yang sebenarnya. Reduksi sederhana senyawa zat warna akan
menghasilkan senyawa tak berwarna. Hilangnya warna tidak berarti terjadi
8
degradasi molekul zat warna. Biasanya penghilangan warna terjadi ketika ikatan
kromofor terputus, tetapi dengan fragmen utama molekul asli tetap utuh (Fuad,
2008).
Proses penghilangan warna dengan metode fisikokimia, meliputi filtrasi
membran, adsorpsi, pertukaran ion, koagulasi, flokulasi, presipitasi dan floatasi.
Sedangkan metode biologi meliputi biosorpsi bakteri dan jamur serta biodegradasi
dengan proses aerob, anaerob, anoxik atau kombinasi antara proses anaerob/aerob.
Filtrasi membran dapat memisahkan dua atau lebih komponen dari cairan
berdasarkan ukuran molekuler. Metode ini merupakan metode yang cepat dengan
sedikit persyaratan dan permeat (hasil resapan) dapat digunakan kembali.
Kerugian dari filtrasi membran adalah penurunan fluks dan pengotoran membran,
diperlukan pengolahan lebih lanjut untuk konsentrat yang dihasilkan serta biaya
yang besar.
Adsorpsi dan pertukaran ion dapat digunakan untuk menghilangkan zat
warna dengan menggunakan karbon teraktivasi. Secara umum, adsorpsi karbon
tidak efisien dan ekonomis bila digunakan secara mandiri. Akan lebih baik bila
adsoprsi karbon digunakan bersamaan dengan flokulasi polimer, reduksi kimia
atau biodegradasi. Karbon teraktivasi dapat dibuat dari lignit dan batubara
bituminous, kayu, residu pabrik pulp dan kulit kelapa. Banyak jenis material
penyerapan yang dapat digunakan, seperti tandan buah palem, sekam dan lain-
lain. Keuntungan dari metode ini adalah banyaknya alternatif material penyerapan
yang dapat dipilih. Akan tetapi, pengolahan dengan metode ini menghasilkan
lumpur yang harus diolah lebih lanjut.
9
Penghilangan warna dapat pula dilakukan dengan metode flokulasi dan
koagulasi. Metode ini memerlukan penambahan koagulan yang akan bergabung
dengan polutan, kemudian dihilangkan dalam bentuk flok. Contoh koagulan kimia
adalah alum (Al2(SO4)3.8H2O), Fe2(SO4)3 dan FeCl3. Untuk flokulasi dapat
digunakan polimer kationik atau non-ionik, (misal: poliakrilik, poliakrilamida).
Kerugian dari metode ini adalah dihasilkannya lumpur beracun yang harus diolah
dengan tepat (Nur Syahlinda, 2005).
Proses penghilangan warna dengan menggunakan metode biologi
berdasarkan biotransformasi mikroba terhadap molekul zat warna. Biasanya zat
warna mempunyai sifat tahan terhadap degradasi biologi (recalcitrance).
Penggunaan bakteri dalam pengolahan limbah dengan metode biologi lebih murah
dibandingkan pengolahan dengan metode kimia. Namun demikian, pengolahan
limbah cair secara anaerob lebih banyak digunakan dibandingkan secara aerob.
2.4 Metode Elektrokoagulasi
Elektrokoagulasi merupakan metode pengolahan air secara elektrokimia
dimana pada anoda terjadi pelepasan koagulan aktif berupa ion logam (biasanya
aluminium atau besi) ke dalam larutan, sedangkan pada katoda terjadi reaksi
elektrolisis berupa pelepasan gas hidrogen (Holt, et al., 2004). Sedangkan
menurut Mollah (2004), elektrokoagulasi adalah proses kompleks yang
melibatkan fenomena kimia dan fisika dengan menggunakan elektroda untuk
menghasilkan ion yang digunakan untuk mengolah air limbah.
Saat ini penggunaan teknologi elektrokoagulasi dikembangkan untuk
meningkatkan kualitas efluen air limbah. Elektrokoagulasi digunakan untuk
10
mengolah efluen dari beberapa air limbah yang berasal dari industri makanan,
limbah tekstil, limbah rumah makan, limbah yang mengandung senyawa arsenik,
air yang mengandung fluorida dan air yang mengandung partikel yang sangat
halus, bentonit dan kaolinit.
Mollah (2001) dalam Aldilani (2008) telah memberikan gambaran tentang
keuntungan dan kerugian dari penggunaan elektrokoagulasi. Beberapa keuntungan
dari proses elektrokoagulasi adalah sebagai berikut:
a) Peralatan yang dibutuhkan sederhana dan mudah dioperasikan.
b) Air limbah yang diolah dengan elektrokoagulasi menghasilkan efluen yang
jernih, tidak berwarna dan tidak berbau.
c) Lumpur yang dihasilkan elektrokoagulasi relatif stabil dan mudah
dipisahkan karena sebagian besar berasal dari oksida logam. Selain itu,
jumlah lumpur yang dihasilkan sedikit.
d) Flok yang terbentuk pada elektrokoagulasi memiliki kesamaan dengan flok
yang berasal dari koagulasi kimia. Perbedaannya adalah flok dari
elektrokoagulasi berukuran lebih besar dengan kandungan air yang sedikit,
lebih stabil dan mudah dipisahkan secara cepat dengan filtrasi.
e) Elektrokoagulasi menghasilkan efluen dengan kandungan TDS (Total
Dissolved Solid) lebih sedikit, sehingga mengurangi biaya recovery bila air
hasil pengolahan digunakan kembali.
f) Elektrokoagulasi dapat mengolah partikel koloid yang sangat kecil karena
penggunaan arus listrik menyebabkan proses koagulasi lebih mudah terjadi
dan lebih cepat.
11
g) Proses elektrokoagulasi tidak memerlukan penambahan bahan kimia,
sehingga tidak bermasalah dengan netralisasi kelebihan bahan kimia dan
kemungkinan tidak membutuhkan pengolahan lebih lanjut bila terjadi
penambahan senyawa kimia yang terlalu tinggi seperti pada penggunaan
bahan kimia (koagulasi kimia).
h) Gelembung gas yang dihasilkan selama proses elektrolisis dan membawa
polutan yang diolah untuk naik ke permukaan (floatasi) tersebut mudah
terkonsentrasi, dikumpulkan dan dipisahkan.
i) Perawatan reaktor elektrokoagulasi lebih mudah karena proses elektrolisis
yang terjadi cukup dikendalikan dari penggunaan listrik tanpa perlu
memindahkan bagian di dalamnya.
Sedangkan kerugian dari penggunaan elektrokoagulasi adalah:
a) Elektroda yang digunakan dalam metode ini harus diganti secara teratur.
b) Penggunaan listrik terkadang lebih mahal pada beberapa daerah.
c) Terbentuknya lapisan pada elektroda dapat mengurangi efisiensi
pengolahan.
d) Proses elektrokoagulasi membutuhkan konduktivitas yang tinggi pada air
limbah yang diolah.
e) Hidroksida seperti gelatin cenderung solubilize pada beberapa kasus.
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses elektrokoagulasi antara lain:
a. Kerapatan arus listrik
b. Waktu
c. Tegangan
12
d. Kadar keasaman ( pH )
e. Ketebalan plat
f. Jarak antar elektroda (Purwaningsih, 2008).
2.4.1 Mekanisme Penghilangan Partikel Kontaminan dalam
Elektrokoagulasi
Reaktor elektrokoagulasi merupakan suatu sel elektrokimia. Anoda yang
berupa logam (biasanya aluminium, terkadang besi) melepas ion-ionnya yang
akan berfungsi sebagai agen koagulan dan secara bersamaan terbentuk gelembung
gas hidrogen pada katoda.
Elektrokoagulasi mampu mengolah berbagai polutan termasuk padatan
tersuspensi, logam berat, tinta, bahan organik (seperti limbah domestik), minyak
dan lemak, ion dan radionuklida. Karakteristik polutan mempengaruhi mekanisme
pengolahan, misalnya polutan berbentuk ion akan diturunkan melalui proses
presipitasi sedangkan padatan tersuspensi yang bermuatan akan diabsorbsi ke
koagulan yang bermuatan.
Gambar 2.1 menunjukkan proses elektrokoagulasi yang sangat kompleks.
Koagulan dan produk hidrolisis saling berinteraksi dengan polutan atau dengan
ion lain atau dengan gas hidrogen. Menurut Mollah (2004) dalam Aldilani (2008),
mekanisme penyisihan yang umum terjadi dalam elektrokoagulasi terbagi dalam
tiga faktor utama, yaitu (a) terbentuknya koagulan akibat proses oksidasi
elektrolisis pada elektroda, (b) destabilisasi kontaminan, partikel tersuspensi dan
13
pemecahan emulsi dan (c) agregatisasi dari hasil destabilisasi untuk membentuk
flok.
Gambar 2.1 Interaksi dalam Proses Elektrokoagulasi (Holt, 2002)
Sedangkan proses destabilisasi kontaminan, partikel tersuspensi dan
pemecahan emulsi terjadi melalui tahapan berikut:
• Kompresi lapisan ganda (double layer) yang terjadi di sekeliling spesi
bermuatan yang disebabkan interaksi dengan ion yang terbentuk dari
oksidasi di elektroda.
• Netralisasi ion kontaminan dalam air limbah dengan menggunakan ion
berlawanan yang dihasilkan dari elektroda. Adanya ion tersebut
menyebabkan berkurangnya gaya tolak-menolak antar partikel dalam air
limbah, sehingga gaya van der Waals menonjol dan proses koagulasi dapat
berlangsung.
14
• Pembentukan flok akibat proses koagulasi sehingga terbentuk sludge
blanket yang mampu menjebak dan menjembatani partikel koloid yang
masih ada di air limbah.
2.4.2 Reaksi yang Terjadi pada Elektroda
Bila digunakan aluminium sebagai elektroda, beberapa kemungkinan
reaksi yang dapat terjadi dalam sistem elektrokimia adalah sebagai berikut:
• Reaksi pada katoda
Bila larutan mengandung ion-ion logam alkali, ion-ion alkali tanah, ion
Al 3+ dan ion Mg2+, maka ion-ion logam tersebut tidak dapat direduksi dari
larutan. Yang akan mengalami reduksi adalah pelarut (air) dan terbentuk
gas hidrogen pada katoda.
2H2O (�) + 2e−
→ 2OH−
(� ) + H2(�)
Dari daftar potensial elektroda diketahui bahwa reduksi terhadap air lebih
mudah berlangsung daripada reduksi terhadap ion-ion tersebut.
Bila larutan bersifat asam, maka ion H+ dari asam akan direduksi menjadi
gas hidrogen pada katoda.
2H+
(� ) + 2e−
→ H2(�)
Bila larutan mengandung ion-ion logam lain, maka ion-ion logam ini akan
direduksi menjadi masing-masing logamnya dan logam yang terbentuk itu
diendapkan pada permukaan katoda.
Fe2+(� ) + 2e−
→ Fe(�)
Mn2+(� ) + 2e−
→ Mn(�)
15
• Reaksi pada anoda
Elektroda pada anoda dioksidasi (bereaksi) berubah menjadi ion-ionnya.
Al(�) → Al��(� ) + 3e�
Zn(�) → Zn��(� ) + 2e�
Dalam sistem elektrokimia dengan elektroda terbuat dari aluminium,
kemungkinan reaksi elektroda yang dapat terjadi adalah:
Anoda : Al(�) → Al��(� ) + 3e� E0 = + 1,66
Katoda : 2H2O(�) + 2e−
→ H2(�) + 2OH−
(� ) E0 = - 0,8277
2H+
(� ) + 2e−
→ H�(�) E0 = 0,00
O2(�) + 4H+(� ) + 4e− → 2H2O(�) E0 = + 0,682
Berdasarkan harga E0, disusun suatu deret unsur-unsur yang disebut deret
potensial logam (deret Volta) mulai dari unsur yang memiliki E0 terkecil hingga
unsur yang memiliki E0 terbesar.
Secara umum, bila potensial suatu elektroda bergerak melewati titik
keseimbangannya (arus nol) ke potensial yang lebih negatif, zat yang akan
direduksi pertama adalah oksidator dengan E0 paling positif. Sedangkan bila
potensial elektroda bergerak dari arus nol ke potensial yang lebih positif, zat yang
akan dioksidasi pertama adalah reduktor dengan E0 paling negatif.
2.4.3 Penggunaan Aluminium Sebagai Elektroda Sacrificial
Aluminium merupakan logam yang sering digunakan sebagai elektroda
dalam proses elektrokoagulasi. Kation aluminium yang terlepas (tergantung pada
kondisi polutan, pH dan konsentrasi larutan) secara langsung akan berinteraksi
dengan polutan dan akan terjadi hidrolisis membentuk kompleks hidro-aluminium
16
atau juga terjadi presipitasi. Proses pembentukan kation ini sangat penting untuk
memahami mekanisme elektrokoagulasi.
Reaksi yang terjadi pada aluminium ketika terlepas ke dalam larutan
adalah sebagai berikut:
Al3+
(� ) + H2O (�) → AlOH2+
(� ) + H+(� ) (2-1)
AlOH2+
(� ) + H2O(�) → Al(OH)2
+ (� ) + H+(� ) (2-2)
Al(OH)2
+ (� ) + H2O(�) → Al(OH)3
0 (�) + H+(� ) (2-3)
Al(OH)3
0 (�) + H2O(�) → Al(OH)
4
− (� ) + H+(� ) (2-4)
Reaksi tersebut menggambarkan reaksi yang sederhana dari ion aluminium
dalam air karena setelah itu terjadi reaksi spontan yang menghasilkan dimeric,
trimeric dan polinuklir (Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Reaksi Hidrolisis Ion Aluminium (Letterman, 1999)
17
Pada awalnya, ion logam aluminium di dalam air akan mengikat enam
atom oksigen dari air di sekelilingnya. Namun, ikatan atom oksigen dan hidrogen
pada air yang relatif lemah menyebabkan ion H+ terlepas atau mengalami
deprotonasi (Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Deprotonasi Ion Aqua Aluminium (Letterman, 1999)
Kemudian pada reaksi hidrolisis, ion Al3+ akan menghasilkan Al(H2O)6
3+,
Al(H2O)5OH2+, Al(H2O)4(OH)2+ dan selanjutnya produk hidrolisis menghasilkan
berbagai bentuk spesi monomer dan polimer, seperti Al(OH)2+, Al(OH)2+,
Al 2(OH)24+, Al(OH)4
-, Al6(OH)153+, Al7(OH)17
4+, Al8(OH)204+, Al13O4(OH)24
7+,
Al 13(OH)345+ dimana spesi yang terbentuk tergantung pada nilai pH.
Gambar 2.4 Diagram Distribusi Al-H2O untuk Mononuklir (Holt, 2002)
18
Dengan hanya memperhatikan pembentukan mononuklir, jumlah
aluminium dalam larutan (α) dengan nilai pH pada larutan dapat digambarkan
dengan grafik pada Gambar 2.4. Pada diagram tersebut, distribusi yang ada
menggambarkan proses hidrolisis yang tergantung pada konsentrasi total dari
logam dan pH larutan.
Sedangkan untuk kelarutan dari aluminium hidroksida, Al(OH)3(s) dapat
dilihat pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Diagram Kelarutan dari Aluminium hidroksida (Holt, 2002)
Batas kelarutan ditentukan oleh kesetimbangan termodinamika yang
terjadi antara kandungan aluminium yang dominan dalam larutan pada pH tertentu
dengan padatan aluminium hidroksida. Kelarutan minimum (0,03 mg Al/L) terjadi
pada nilai pH 6,3 dan nilai kelarutan bertambah ketika larutan menjadi semakin
asam atau basa.
19
Kation logam aktif yang dihasilkan pada anoda akan bereaksi dengan ion
hidroksida yang dihasilkan di katoda untuk membentuk logam hidroksida yang
akan berfungsi sebagai agen koagulan. Ketika berinteraksi dengan partikel
polutan, logam hidroksida akan membentuk agregat yang memungkinkan untuk
mengalami pengendapan atau juga dapat terbawa oleh gelembung gas hidrogen
(yang dihasilkan di katoda) ke permukaan.
Gambar 2.6 Proses Sweep Coagulation (Duan, 2003)
Pada penambahan koagulan, setiap presipitasi logam dari aluminium hidroksida
menyebabkan penghilangan polutan melalui mekanisme sweep coagulation
(Gambar 2.6).
2.4.5 Reaktor Elektrokoagulasi
Dalam bentuk yang sederhana, reaktor elektrokoagulasi merupakan reaktor
elektrokimia dengan sebuah anoda dan sebuah katoda. Ketika dihubungkan
20
dengan sumber listrik, material anoda mengalami korosi akibat oksidasi
sedangkan katoda menjadi subyek yang pasif seperti yang disajikan pada gambar
di bawah ini.
Gambar 2.7 Reaktor Elektrokoagulasi (Ni’am, M.F. et al. 2007)