ringkasan hukum adat

70
RINGKASAN MATA KULIAH HUKUM ADAT Oleh JANUARSE H. DJAMI RIWU NIM.1202011076 Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Kupang 2016

Upload: bikin-desain

Post on 07-Jul-2016

141 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Hukum Adat

TRANSCRIPT

Page 1: Ringkasan Hukum Adat

RINGKASAN

MATA KULIAH HUKUM ADAT

Oleh

JANUARSE H. DJAMI RIWU

NIM.1202011076

Bagian Hukum Acara

Fakultas Hukum

Universitas Nusa Cendana

Kupang

2016

Page 2: Ringkasan Hukum Adat

BAB I

MENGENAL ADAT DAN HUKUM ADAT

1. ADAT dan HUKUM ADAT

Adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok

masyarakat lambat laun menjadikan adat itu menjadi adat yang sehaeusnya

berlaku bagi anggota masyarakat dengan dilengkapi oleh sanksi, sehingga

menjadi hukum adat. Jadi, hukum adat adalah adat yang harus diterima dan

harus dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan. Untuk

mempertahankan pelaksanaan hukum adatitu agar tidak terjadi

penyimpangan atau pelanggaran, maka di antra anggota masyarakat ada

yang diserahi tugas untuk mengawasinya. Denan demikian lambat laun

petugas-petugas adat menjadi, kepala adat.

Adat dan hukum adat kemudian secara historis-filosofis dianggap

sebagai perwujudan atau pencerminan kepribadian suatu bangsa dan

merupakan penjelmaan dari jiwa bangsa (volkgeist) suatu masyarakat

negara yang bersangkutan dari zaman ke zaman. Oleh kkarna itu setiap

bangsa, setiap bangsa di dunia memiliki adat (kebiasaan) sendiri- sendiri

yang yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama.

2. Manfaat dari mempelajari HUKUM ADAT

Demikian yang di kemukakan oleh beberapa pakar sarjana hukum antara

lain:

Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. (1992:3) menegaskan sebagai

berikut,

Istilah PANCASILA berasal dari bagain kitab (surga) ke 53 bait

kedua dari kitab NEGARA KERTAGAMA yaitu kitab yang diubah di

masa pemerintahn Hayam Wuruk sebagai syair pujian taentang kemegahan

negara majapahit oleh MPU Prapanca pada tahun 1365 yang antara lain

menyatakan “Yatnanggewani pancasila kertasangskara

bhisekakakrama” maksudnya “(Raja) melaksanakan dengan setia

kelima pantangan. Begiyu juga uapacara ibadah dan penobatan”.

Kemudian istilah ‘’Bineka Tunggal Ika’’ berasal dari lontar Sutasoma

karya MPU Tantular yang antara lain menyatakan ‘’Bhineka Tunggal

Page 3: Ringkasan Hukum Adat

Ika, tanhana Dharma mangrwa’’ maksudnya ‘’berbeda itu satu itu,

tidak ada kebenaran (agama) mendua’’.

Ditegaskan kemudian oleh Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H,

bahwa:

“dengan mempelajari hukum adat maka kita akan memahami budaya

hukum indonesia, kita tidak menolak hukum asing sepanjag ia tidak

bertentangan dengan hukum indonesia. Begitu pula dengan mempelajari

hukum adat maka akan dapat kita ketahui hukum adat yang mana tidak

sesuai lagi dengan perkembangan zaman , dan hukum adat yang mana

mendekati keseragaman yang dapat diberlakuakan sebagai hukum inter

nasional”.

3. Istilah HUKUM ADAT

a. Istilah umum

Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah (bahasa)

Belanda “ADAT RECH” yang pertama kaliya dikemukakan oleh Prof.

Dr. Christian Snouck Hurgronje (H. Abdul Gaffar) didalam bukunya

yang berjudul “DE ATJEHERS” (dua jilid yang diterbitkan pada tahun

1893-1894). Beliau dikenal sebagai salah seorang dari “Trio penemu

hukum adat yang tekemuka” disamping George Alexander Wilken

(1847-1891) dan Frederik Albert Sir Thomas Stamford Ralffles (1718-

1618), Willliam Marsden (1754-1857), dan Crawfurd (1783-1869).

Istilah adatrech ini kemudian lebih popular lagi setelah di

perkenalkan oleh prof. dr. cornelis van vollenhoven sebagai ilmu

pengetahuan sejak 3 oktober 1901.

Kemudian secara resmi istilah adat rech dikenal sejak diatur

didalam stb. 1929 – 221 jo 487 yang mulai dibelakukan sejak tanggal 1

januari 1929. (sebagai pelaksanaan dari pasal 134 ayat 2 I.S ( indsische

staats 1924 – 447 ) ( pasal 34 ayat 2).

Menurut prof. iman sudiat, s.h. dinyatakan :

“ dasar berlakunya hukum adat yag berasal dari zaman kolonil belanda pada

masa sekarang masih berlaku ketentuan pasal 131 ayat 2 sub b I.S yang

menyatakan bagi golongan hukum (rechtsgroep) indonesia asli dan

golongan timur sig berlaku hukum adat “.

Kemudian DJAREN SARAGIH, S.H menyebutkan:

Page 4: Ringkasan Hukum Adat

“ berdasarkan ketentuan pasal 163 I.S ditentukan bahwa golongan

penduduk indonesia (hindia belanda) terdiri dari :

1) Golongn eropa ( europeanen )

2) Golongan timur asing ( oosterlingen )

3) Golongan bumi putra ( inglander’s )

b. Istilah Lain

istilah dalam perundang-undangan

1) Didalam ab (algemene bepelingen van watgeving voor nederlands

indie) (ketentuan –ketentuan umum perundang – undangan hindia

belanda) pasal 11 dipakai istilah “gods dientige wetten, folks

instellingen en gebriken” ( peraturan – perturan keagamaan,

lembaga-lembaga rakyat dan kebiasaan – kebiasan)

2) Didalam r.r. ( regelling regalement ) 1854 pasal 75 ayat 3 dipakai

istilah “gods dientige wetten, folks instellingen en gebriken” (

peraturan – perturan keagamaan, lembaga-lembaga rakyat dan

kebiasaan – kebiasan)

3) Dalam r.r ( regelling regalement ) pasal 78 ayat 2 dipakai istilah “

gods dientige wetent in oude herkonmsten” ( pereturan-peraturan

keagamaan, dan naluri – naluri.

4) Didalam I.S ( indische staatch regeling) (peraturan hukum negara

hindia belanda) (semacam undang-undang dasar bagi hindia

belanda pasal 28 ayat 4 di pakai istilah “ instellingen des volk”

(lembaga – lembaga dari rakyat)

5) Didalam I.S (indische staatch regeling ) pasal 131 ayat sub b

dipakai istilah “ med hunne gods dienten en gewoonten samen

hagende rech sregelen” ( aturan – aturan hukum yang berhubungan

dengan hukum dan kebiasaan mereka)

6) Stb.1929 nomor 221 jo 487 engan istilah adat rech, istilah

dikalangan para pakar barat diantaranya :

1. Nederburg -wetten adat

2. Joynbollg -handleiding tot de kennis van de mohammedansche

wet

3. Scheuer -het personenrechts voor de inlanders op java an

Madura

Page 5: Ringkasan Hukum Adat

c. Istilah Dikalangan Msyarakat Daerah (Suku Bangsa)

Kebanyakan para pakar menyebutkan, bahwa dikalangn

masyarakat banyak adat jarang sekali dipergunakan atau dipakaki istilah

hukum adat bahkan tiak dikenal ecara serius. Dalam hal ini yang lazim

dipergunakan adalah istilah adat saja daninipun yang berasal dari kata

bahas arab yang artinya kebiasaan.

Adah atau adat artinya kebiasaan yaitu perilaku masyarakat yag

selalu dan senantiasa terjadi didalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dengan demikian dapat dikatakan oula bahwa yang dimaksud dengan

hukum adat adalah hukum kebiasaan.

Didlam bahasa-bahasadaerah para pelbagai suku bangsa atau

golongan penduduk yang ada di indonesia dipakai berbagai ragam istilah

yaitu diantaranya :

1) Di gayo -ODOT (EUDEUT)

2) Di Jateng/Jatim -ADAT, NGADAT

3) Di Minangkabau -LEMBAGA (LEMBAGO) ( ADAT

LEMBAGA)

4) Di Minahasa-Maluku -ADAT KEBIASAAN

5) Di Batak ( karo) -BSA (BICARA)

4. PENGERTIAN HUKUM ADAT

a. Pengertian Pada Masyarakat Daerah

1) Daerah Minangkabau

a. Adat yang sebenarnya adat.

Adat yang dimaksud disini adalah adat yang tidak lekang dipanas

dan tidak lapuk dihujan, yaitu adat ciptaan TUHAN maha pencipta,

Sebagaimana dikatakan dalam peribahasa

“ ikan adatnya beradai, air adatnya membasahi, pisau adatnya melukai”.

Jad hal ini menunjukkan bahwa hukum adat itu dipengaruhi adat

keagamaan segala sesuatunya di kusai dan diatur oleh TUHAN YANG

MAHA ESA

b. Adat istiadat

Yang dimaksud adalah adat sebagai aturan ( kaidah) yag ditentukan

oleh nenek moyang luhur yang di minangkabau dikatakan berasal dari ninik

kata manggungan dan ninik arpatih nan sabatang di balai balairung

heriangan padang panjang.

Page 6: Ringkasan Hukum Adat

Sebagaimana dikatakan didalam peribahasa

“negeri berpenghulu, suku berbuah perut, kampong bertuah, rumah

bertungganai, diasak layu dibubut mati”.

Dalam hl ini adat mengandung ati sebagai kaidah- kaidah yag berlaku

tradisional sejak zaman oyang asal sampai anak cucu di masa sekarang.

c. Adat Nan Diadatkan

Yang dimaksud adalah sebagai aturan yang ditetapkan atas dasra

blat mufakat para penghulu, tua-tua adat, cerdik pandai dalam majelis

kerapatan adat atas dasar halor dan patut.

Ketentuan ini dapat berubah menurut keadaan tempat dan waktu. Oleh

karena lain nagari. Maka oleh karenya sifat adat nan diadatka itu adalah “

lain pandang lain belakang, lain lubuk lain ikannya”.

a. Adat Nan Teradat

yang dimaksud adalah kebiasan bertingkah laku yang dipakai karena hasil

tiru meniru diantara anggota masyarakat namun karena kebiasaan perilaku

itu sudah terbiasa dipakai maka dirasakan tidak bai untuk ditinggalkan.

2). Daeah bugis

Di tanah bugis, adat juga termasuk juga hukum adat disebut juga dengan

istilah ade atau adat. Antara lain misalnya sebagaimana diuraikan dalam

LONTARA SUKU NA WAJO, sebagai berikut

a) ADE’ URA OURO

Yang dimaksud adalah adat yang sudah tetap dan tidak boleh diubah karena

sudah disepakati bersama raja dan rakyat untuk dilaksanakan dan ditaati.

Apabila ketentuan tersebut diubah atau dibatalkan maka akibatnya negeri

akan rusak Karen menyalahi sesuatu yang sudah betul dan menyingkirkan

kejujuran.

b) ADE’ ASSITURUSENG

yang dimaksud adalah adat yang ditetapkan atas prsetujuan raja dan rakyat

yang dapat dirubah karena tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

c) ADE’ MARAJA RI ARUNGGO

Yang dimaksud adalah adat yang berlaku bagi raja dan para bangsawan yan

berasal dari ADE’ ASSITURUSENG karena dianggap tidak ada lagi

cacatnya, maka harus dilaksanakan raja dan bangsawan.

d) ADE’ ABIASANG RI WANUE

Page 7: Ringkasan Hukum Adat

Yang dimaksud adalah adat yang berlaku bagi seluruh rakyat atas

persetujuan bersama yang tidak cacat lagi dan harus dilaksanakan

seterusnya oleh rakyat.

e) ADE’ TARU ANANG

Yang dimaksud adalah adat yang lahir dari tua-tua desa yang intinya

dikatakan “LUKKA TARO DATU TELLIKA TARO ADE’, LUKKA

TARO ADE’ TELLUKA TARO ANANG. LLUKA TARO ANANG

TELLUKA TAMA EGA ( Batal ketetapan raja tidak batal ketetapan dewan

pemangku adat, batal ketetapan pemangku adat tidak batal ketentan tua- tua

adat, batal ketentuan-ketentuan adat tidak batal ketetapan orang banyak”.

Jadi, keputusa rakyat berarti keputusan yang kedudukannya diatas

keputusan yang lain.

b. pengertian sarjana barat

1) prof. dr. Christian snouchk hurgronje

nama muslimnya abdul al gaffar menyatakan bahwa:

“ hukum adat adalah adat yang memounyai sanksi (reaksi), sedangkan adat

yang tidak mempunyai sanksi(reaksi) adalah merupakan kebiasaan

normatif, yaitu kebiasaan yang brwujud sebagai tingkah laku yang berlaku

dalam masyarakat. pada kenyataanya antara hukum adat dan adat kebiasaan

itu batasnya tidak jelas”.

2) prof. dr. chornellis van vollenhoven

Sebagai seorang yang pertama-tama menjadikan hikum adat sebagai ilmu

pengetahuan, sehingga hukum adat menjadi sejajar kedudukannya dengan

hukum lain. Didalam ilmu hukum menyatakan sebagai berikut

“ hukum adat adalah aturan \- aturan perilaku yang berlaku bagi orang

pribumi dan orang-orang timur asing yang di satu pihak mempunyai sanksi

( maka dikatakan sebagai hukum) dan di lain pihak dikodifikasikan (maka

dikatakan adat)

3) roelof van dijk

Di dalam bukunya pengantar hukum adat indonesia menyatakan bahwa:

‘’ hukum adat itu adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak

dikodifikasikan dikalangan orang indonesi dan kalangan orang timur asing(

china, arab, Pakistan, jepang, india, dan sebagainya)”

Dengan istilah tersebut sekarang yang dimaksud dengan semua manifestasi

kesusilaan di semua lapangan hidup yakni “ semua peraturan tingkah laku

macam apapun yang biasanya dijalankan orang indonesia termasuk pula

Page 8: Ringkasan Hukum Adat

peraturan-perturan hukum yang mengatur hidup bersama orang indonesia.

Untuk membedakan peraturan-peraturan hukum kita mempunyai isilah

yang tepat untuk menyatakannya sebagai hukum rakyat indonesia. Hanya

mungkin dapat dibedakan sebagai “ adat yang mempunyai akibat hukum

dan adat yang tidak mempunyai akibat hukum”.

4) prof. dr. barend ter haar bzn

Beliau menjadi guru besar pada skolah tinggi hukum (rechts hoge school)

yang berdiri pada tahun 1924 di Batavia Jakarta melanjutkan usha prof. dr.

chornellis van vollenhoven didalam membina hukum adat.

a). didalam pidato dies RHS 1930 dengan judul peradilan landraad

bedasarkan hukum tak tertulis” menyatakan

“ hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan; keputusan

para warga masyarakat hukum terutama keputusan berwibawa dari kepala

kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum

atau hal pertentngan kepentingan keputusan para hakim yng bertugas

mengadil Sengketa sepanjang keputusan keputusan itu. Karena

kesewenangannya atau kuarang pengertian tidak bertentangan dengan

keyakinan hukum rakyat melainkan senafas seirama dengan kesedaran

tersebut, diterima atau diakui atau setdak-tidaknya di toleransikan

olehnya”.

b) di dalam orasi tahun 1937 yang berobyek “ hukum adat hindia belanda

dalam ilmu, dalam praktek dan pengajaran”, menyatakn:

“ hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagianny yanag tertulis yang

terdiri dari perturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja adalah

keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan – keputusan para

fungsionaris hukum yang mempunyai wibawa serta pengaruh yang dalam

tahap pelaksananya berlaku seta-merta dengan sepenuh hati.

Dengan melihat uraian-uraian tersebut dapat disimpulakan bahwa

: “ hkum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan –

keputusan para fungsionaris hukum serta mempunyai pengaruh dan yang

dalam pelaksanaan berlaku serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati.

Hukum adat dalam proses abadi dibentuk dan dipelihara dan dalam

keputuan pemegang kekuasaan.

Sehubungan dengan itu beliau menyatakan dengan pula: “ bahwa

tidak ada alasan untuk menyatakan sesuatu itu dengan sebutan hukum tanpa

adanya keputusan tentang hukum oleh para petugas hukum masyarakat”.

Page 9: Ringkasan Hukum Adat

Tanggapan beberapa pakar TER HAAR

a) SOEROJO WINJO DIPOERO, S.H (1991:17)

menegaskan sebagai berikut. “ jadi, untuk melihat apakah sesuatu adat

istiadat itu sudah merupajkan hkum adt maka kita wajib melihat sikap

penguasamasyarakat hukum yang bersangkuta terhadap sipelanggar

peraturan adat- istiadat yang bersangkutan. Kalau penguasa terhadap si

pelanggan menjatuhkan putusan hukuman, maa adat istiadat itu sudah

menjadi hukum adat”.

b) prof. HILMAN ADIKUSUMA, S.H (1912:14-15)

menyebutkan sebagai beriut pendapat TER HAAR tersebut telah

dipengaruhi oleh peNdapat dari JHON CHIPMAN GRAY ( inggris) yang

terkenal dengan teorinya “ all the law is judge made law “ (semua hukum

itu adalah keputusan hakim) sebagaimana berlaku di negara-negara angli

saxon ( amerika serikat-afrika selatan) yang menganut system peradilan

precident dimana para hakim wajib mengikuti yurisprudensi atau

keputusan hakim terdahulu didalam memutuskan perkara yang sama”.

c) prof. IMAN SUDIYAT, S.H. (1991:7-8)

Menyebutkan sebagai berikut.

“ bahwa dari ajaran itu terlihat pula pandangan TER HAAR yang

mendalam dan penuh perhatian dan pengetian. Hal ini terbukti dngan kata-

kata “ bahwa adat, harus menginsyafi sedalam-dalamnyatentang

system/stelsel hukum adat, kenyataan sosial serta tuntutan keadilan dan

kemanusiaan untuk dapat melakukan tugasnya dengan baik”.

Ini berarti bahwa TER HAAR tidak melupakan kenyataan-kenyataan

dalam masyarakt Indonesia dan alam pikirannya yng khas yang harus

dipakai oleh seorang Hakim yang bijaksana sebagai pangkal haluan. Alam

pikiran yang khas itu pernah ditulis beliau dalam Bukunya “Arti dari

pertentangan alam pikiran kritis dengan alam pikiran participerend

dan peradilan menurut Hukum Adat” ( Alam pikiran dari orang yang

merasa dirinya sebagai begian yang tak terpisahkan dari

kesatuan/keseluruhan, konsekuensinya selalu mencari perdamaian,

kedamaian dan harmoni).

Keputusan hakim harus menjadi, pembawa serta pemikkul nyata dari nilai-

nilai kemasyarakatan didalam kehidupan nersama suatu persekutuan atau

masyarakat hukum.

d) prof. BuS.Harmuhammad, S.H. (1994:9)

Page 10: Ringkasan Hukum Adat

menguraikan sebagai berikut.

“ sungguhpun banyak sekali hukum adat yang menentang pendapat TER

HAAR tersebut, namun tidak dapat disangkal bahwa pandangan TER

HAAR tersebut sngat mendalam serta penuh perhatian dan pengertian. Hal

ini terbukti dari kata-katanya bahwa setiap Hakim yang harus mengambil

keputusan menurut adat haruslah menginsyafi sedalam-dalamnya tentang

system atau stelsel hukum adat, kemyataan-kenyataan sosial (sociale

werkelijkeheid) dan tuntutan keadilan serta kemanusiaan untuk dapat

melakukan tugasnya dengan baik. Ini berarti bahwa TER HAAR tidak

melupakan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat Indonesia dan cara

berfikir yang khas yang harus dipakai oleh seorang hakim yang bijaksana,

sebagai pangkal haluan. Kemudian sangat penting bagi hakim itu untuk

mencari penyelesaian perkara yang dihadapinya untuk memberi

keputusanhukum, berdasarkan keyakinannya sendiri dalam pengaruh

timbal balik dengan segala sesuatu yang menjadi, keyakinan rakyat.

Keputusan hakim harus jadi, pembawa serta pemikul yang nyata dari nilai-

nilai kerohanian serta nilai-nilai kemasyarakatan dalam hidup bersama

dalam suatu persekutuan hukum.

e) Soleman B Taneko, S.H. (1987:7)dalam bukunya “Hukum Adat Suatu

Pengantar awal dan prediksi masa mendatang”, menytakan :

“ dari pernyataan TER HAAR tersebut kitamenemukan kriterium yang

dapat digunakan untuk membedakan ADAT dan HUKUM ADAT, bahwa

yang termasuk HUKUM ADAT ialah apabila ada putusan, baik yang

iberikan oleh pemegang kekuasaan maupun oleh para warga masyarakat”.

Jadi, untuk menemukan Hukum Adat perlu kita menelaah apakah ada

putusan yang pernah atau telah ditetapkan oleh para pemegang kekuasaan

dan atau dari para warga masyarakat.

f) prof. Koentjaraningrat

“ bahwa pendirian TER HAAR itu mempunyai dasar kebenaran, namun

kurang lengkap untuk membatasi dengan jelas ruang lingkup konsep

Hukum Adat karena hanya ada satu ciri saja yaitu ciri otoritas (keputusan)”.

5) Prof. Mr. FD. Hollemann

Yang juga pernah lama berada di Indonesi sepedapat dengan VAN

VOLLENHOVEN dengan memberikan pengertian kepada Hukum Adat:

Page 11: Ringkasan Hukum Adat

“Hukum itu tidak tergantung pada keputusan. Bahwa norma-norma hukum

yang hidup yang disertai dengan sanksi da yang jika perlu dapat dipaksakan

oleh masyarakat atau badan-badn yang bersangkutan agar ditaati dan

dihormati oleh para warga msyarakat. Tidak merupakan masalah apakah

terhadap norma-norma terebut teah pernah ad atau tidak pernah adanya

keputusan petugas hukum”.

6) Prof. Dr. JHA. Logemann

Cenderung sependapat dengan VAN VOLLENHOVEN dan tidak

sepenuhnya mnyetujui TER HAAR, dengan menyatakan :

“Hukum adat mutlak sebagai hukum keputusan. Norma-norma yang hidup

itu adalah norma-norma kehidupan bersama yang merupakan aturan-atuan

perilaku yang haus diikuti oleh semua warga didalam pergaulan hidu

bersama. Jiak ternyata bahwa ada Sesutu norma yang berlaku, maka norma

itu tent mempunyai sanksi ialah berupa sanksi apapun, baik dari yang

sangat ringan maupun sampai yng sangat berat. Orang dapat menganggap

bahwa semua norma yang ada sanksinya itu kesemuanya adalah norma

hukum”.

LOGEMANN tidak sependapat bahwa adat itu baru merupakan HUKUM

ADAT apabila telah dimasukkan kedalam putusan Hakim walaupun

keputusan Hakim itu adalah merupakan faktor yang sangat penting dalam

menentukan mana yang merupakan HUKUM ADAT dan mana yang

merupakan ADAT saja.

7) E. ADAMSON HOEBEL

Seorang ahli antropologi hukum Amerika Serikat mengemukakan

tentang jenis sanksi sosial. Sanksi sosial terdiri dari sanksi positif dan

sanksi negatif.

“ tidak semua kebiasaan itu bersifat hukum. Di antara ciri apakah

kebiasaan (Adat) itu bersifat hukum ialah adanya sanksi sosial baik

yang bersifat positif (pengukuhan) maupun bersifat negatif

(ancaman). Sanksi yang bersifat positif adalah penggugat atau

pengukuhan, misalnya beberapa pujian, kehormatan, tanda jasa,

medali, piagam.

Sedangkan sanksi negatif (yang bersifat ancaman) misalnya seperti

alis naik, bibir keriting, ejek cela, ditertawakan, telinga dijiwir, tidak

Page 12: Ringkasan Hukum Adat

diundang makan, disisihkan dari pergaula, diboikot sumber

pencaharian, siksa tubuh, dikurung atau dibuang. Dengan adanya

sanksi-sanksi itu maka norma sosial menjadi norma hukum”.

8) Mr. JHP. Bellefroid

Dalam bukunya INLEIDING TOT DE RECHTSWETENSCHAP IN

NEDERLAND menyatakan bahwa:

Hukum adat sebagai peraturan-perturan hidup yang meskipun tidak

diundangkan oleh penguasa tokh dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan

keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum”.

(Het gewoonterechts, ook “gewonte” genoemd, om vat de overhead, vast

gesteld, toch door het volk, worden nageleefdvin de overtuiging, dat zij als

rechtgelden).

9) L. Pospisil

Adalah ahli antroplogi dari Universitas YALE Amerika Serikat yang pada

tahun 1953-1955 melakukan penelitian di daerah suku KAPAUKU IRIAN

JAYA. Untuk membedakan ADAT dan HUKUM ADAT dengan

mengemukakan

Ada 4 (empat) ciri Hukum Adat yaitu:

a) Attribute of authority

Ciri otorita (kekuasaan) menentukan bahwa aktivitas budaya yang

dinamakan hukum itu adalah keputusan-keputusan melalui sesuatu

mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan didalam masyarakat.

Keputusan-keputusan itu memcahkan ketegangan sosial yang timbul

seperti pelanggaran-pelanggaran terhadap pribadi, pelanggaran terhadap

hak dari orang lain, pelanggaran terhadap keamanan.

b) Attribute of intention of universal application

Ciri kelanggengan berlaku. Keputusan penguasa itu mempunyai waktu

panjang berlakunya terhadap berbagai peristiwa yang sama dimas yang

akan datang.

Page 13: Ringkasan Hukum Adat

c) Attribute of obligation

Ciri hak dan kewajiban. Bahwa keputusan penguasa itu mengandung hak

dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak yang satu dengan pihak yang

satu dengan pihak yang lain yangmasih hidup. Jika keputusan itu tidak

berisikan hak dan kewajiban maka keputusan itu tidak membawa akibat

hukum.

d) Attribute of sanction

Ciri pengaut. Bahwa keputusan itu harus mempunyai sanksi dalam arti

yang seluas-luasnya baik berupa sanksi jasmaniah seperti hukuman badan,

deprivasi hak milik (penyitaan harta) maupun rasa takut, rasa malu, rasa

benci, dan sebagainya.

c. pengertian sarana indonesia

1) Prof. Dr. R. Soepomo, s.h.

Beliau adalah seorang pakar hukum indonesia dan sebagai guru

besar dalam hukum adat sejak tahun 1938 di RHS (rechts hoge school) di

Batavia (Jayakarta-Jakarta) yang sejak tahun 1941 menggantikan Prof. Dr.

Barend Ter Haar, Bzn. Banyak jasa dalam perjuangan bangsa Indonesia di

bidang hukum, bahkan beliau pula membuat rancangan penjelasan UUD

1945 yang menegaskan sebagai berikut.

a) hukum adat adalah hukum non statutair

hukum adat adalah hukum non statutair yang sebahagian besar adalah

hukum kebasaan dan sebahagian kecil adalah hukum islam. Hukum adat

inipun melingkupi hukum yng berdasarkan keputusan-keputusan hakim

yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan

perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup karena ia masih

menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat.

b) Hukum adat adalah hukum tidak tertulis

Dalam tahta hukum baru Indonesia agar dapat menghindarkan

kebingungan kirannya pengertian hukum adat dipakai sebagai sinonim

darihukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (unstatury law).

Hukum yang timbul karna putusan hakim (judge made law). Hukum yang

Page 14: Ringkasan Hukum Adat

hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan dalam pergaulan

hidup baik di kota-kota maupun di desa-desa (custommary law). Semua

inilah yang merupakan hukum adat atau hukum yang tidak tertulis

sebagaimana yang disebutkan oleh ketentuan pasal 32 UUD 1950

Jadi, yang dimaksud dengan hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis

menurut Prof. Dr. Soepomo, S.H. meliputi:

(1) Peraturan legislatif yang tidak tertulis

(2) Hukum yang hidup di dalam hukum kenegaraan

(3) Keputusan-keputusan hakim

(4) Hukum kebiasaan, termasuk pula aturan aturan pedesaan dan

aturan keagamaan

2) Prof. Dr. Soekanto

Bliau pernah mengajar hukum adat pada akadeis dinas luar negeri, didalam

bukunya yang berjudul “Meninjau hukum adat Indonesia” mengatakan:

a) Dilihat dari mata seorang ahli hukum yang memegang teguh undan-

undang (Wetboek jurist) memang hukum keseluruhan di Indonesia tidak

teratur, tidak sempurna, tidak tegas.

b) jika kita menyelidiki adat istiadat ini terdapat peraturan-peraturan yang

bersangsi, dan mereka yang melanggar akan ditutut dan kemudian

dihukum. Kompleks tersebut disebut hukum adat. Jadi, hukum adat itu

“merupakan keseluruhan adat (yang tidak tertulis dan hidup di dalam

masyarakat berupa kesusilaan , kebiasaan dan kelajiman) yang mempunyai

akibat hukum”

3) Prof. Dr. Mr. Hazairin

Beliau adalah seorang ahli hukum adat yang berasal dari Bengkulu dan

ketika hidupnya beliau adalah guru besar hukum adat pada Fakultas Hukum

Universitas Indonesia (UI) Jakarta. Berbeda dengan yang lainya beliau

lebih banyak mendekatkan hukum adat dengan hukum Islam, dan beliau

mengatakan:

a)Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat yaitu bahwa kaidah-

kaidah adat itu berupa kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah

mendapat pengakuan umum dalam masyarakat. Maka untuk memahami

bagi rakyat biasa cukup memakai istilah Adat baik dalam arti “Adat sopan

Page 15: Ringkasan Hukum Adat

santun” maupun dalam arti Hukum. Maka rakyat tidak usah memakai

istilah Hukum Adat.

b) perbedaan sifat atau Corak antara kaidah kesusilaan dengan hukum adat

dilihat dari bentuk sanksinya. Di dalam ajaran agama Islam ada lima jenis

kaidah atau hukum yang disebut sebagai Al Ahkamul Khamsah, yang

menurut bahasa ilmu fiqih terdiri dari:

(1) Fard (wajib)

(2) Haram (larangan)

(3) Sunnah mandubmustahab (anjuran)

(4) Makhruh (celaan)

(5) Jaiz atau mubah (kebolehan)

c) ada tiga macam hukum di Indonesia, yaitu:

(1) Hukum perdata (hukum Eropa)

Memberi jembatan bagi negara kita dalam hubungan keluar,

mengenal hukum Internasional, hukum dagang, dan sebagainya.

(2) Hukum Adat

Terletak pada perasaan kebangsaan kita , penghargaan bagi

kebudayaan kita yang masih tergantung jiwa kita.

(3) Hukum Agama

Keistimewaan hukum Agama bagi rakyat yang beragama Islam

sebagai bagian dari perkara imannya yang mengandung

penghargaan keberuntungan bagi hidup di dunia dan akhirat.

4) Prof. Mr. M.M. Djojodigoeno

Ketika hidupnya beliau adalah guru besar Hukum Adat pada Fakultas

Hukum Universitas Gajah Mada (UNGAMA) Yogyakarta, mengatakan:

“Hukum Adat berpangkal tolak dari konsepsi umum yang dikemukakan

oleh Prof. Mr. j. Van Kaan, bahwa hukum itu adalah rangkaian normayang

mengatur hubungan kepentingan. Bahwa dengan demikian maka sumber

hukum adat Indonesia adalah norma-norma kehidupan sehari-hari yang

langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan Indonesia asli, tegasnya

sebagai pernyataan rasa keaadilannya dalam hubungan pamrih”. Hubungan

pamrih adalah hubungan antara orang dengan sesamanya guna usaha

memenuhi kepentingan (bussines relation) (zakelijke verhoudingen).

Sehubungan dengan hal tersebut, beliau menegaskan lagi bahwa:

Page 16: Ringkasan Hukum Adat

a) sesungguhnya hukum itu bukanlah suatu fenomena yang tegar (statis)

seperti halnya rangkaian ugeran (norma) melainkan karya manusia

“sesuatu hal yang hidup” dalam arti berangkap dua ia dapat berkembang

(berevolusi)dan dapat bervariasi (plastis). Itulah yang saya maksud dengan

“hukum yang hidup atau Living Law”. Jadi hukum adat sebagai hukum

yang hidup yang pelaksanaanya tidak terkait pada “ugeran-ugeran hukum

(pepacak-pepacak perundang-undangan dan norma precedent yang telah

ada”.

b) hukum adat apabila dilawankan dengan hukum perundang-undangan

(hukum kodifikasi), maka hukum adat itu adalah hukum yang tidak

bersumber pada peraturan. Jadi hukum adat itu tidak memiliki peraturan-

peraturan desa dan peraturan-peraturan raja-raja, karna peraturan desa dan

peraturan raja-raja itu bukan hukum adat.

c) Ada dua kategori sumber hukum itu, ialah yang bersumber dari

kekuasaan negara dan bersumber dari kekuasaan rakyat.

(1) Yang bersumber dari kekuasaan negara adalah:

(a) perundang-undangan sebagai keputusan legislative

(b) keputusan pejabat seperti keputusan eksekutif maupun

yudikatif(yurisprudensi)

(c) keputusan kekuasaan tertinggi dalam negara seperti perjanjian

Internasional, pernyataan perang, perjanjian damai, dll

(2) Yang bersumber dari kekuasaan rakyat ialah:

(a) adat kebiasaan seperti berbagai perilaku masyarakat dalam

hubungan pamrih (kepentingannya)

(b) keputusan kelembagaan seperti Rukun Tetangga, Rukun Tani,

Kamar Dagang, Lembaga Asuransi, dll.

(c) pemberontakan terhadap kekuasaan pemerintahaan dan perang

saudara

Kesemuanya itu merupakan sumber hukum yang berupa pertanyaan

keadilan dan hubungan pamrih

d) Dalam rangka pembinaan Hukum Nasional menurut beliau harusnya

bahan-bahannya adalah bahan Nasional yaitu Hukum Adat. Selanjutnya

kecenderungan suka mengadakan perdamaian perlu dipertahankan dalam

Hukum Nasional.

Page 17: Ringkasan Hukum Adat

5) Prof. Mr. Soediman Kartohadiprodjo

Beliau semasa hidupnya adalah guru besar Fakultas Hukum Universitas

Indonesia (UI) Jakarta, kemudian di UNPAD dan UNPAR,

mengemukakan:

a) Perbedaan Hukum Adat dan Hukum tidak tertuli

Dunia pemrkiran (denk structuur) yang menjadi dasar hukum jauh

berlainan dari hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan sebagaimana

terdapat dalam ketentuan pasal 15 AB. Istilah hukum adat tertulis lebih luas

dari arti Hukum Adat, karena Hukum Adat adalah suatu jenis hukum tidak

tertulis yang tertentu mempunyai dasar pemikiran yang khas, yang prinsipil

berbeda dari hukum tertulis lainya.

Hukum adat bukanlah hukum adat karena bentuknya tidak tertulis

melainkan hukum adat itu tersusun dengan dasar pemikiran tertentu yang

berbeda dari dasar pemikiran barat.

b) Hukum Nasional harus berlandaskan Hukum Adat

Beliau menyatakan bahwa arti dari berdasarkan hukum adat yaitu

berlandaskan asas-asas hukum adat atau lebih tepat lagi asas-asas

pemikiran hukum adat.

c) Apa arti jika Pancasila sebagai dasar pokok Hukum Nasional

Beliau menjawab “tidak lain bahwa hukum itu seolah-olah dengan

ketentuan-ketentuan bangkitnya dari dalam dank arena pergaulan hidup

yang anggotanya berjiwa kekeluargaan”.

6) Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H.

Didalam bukunya yang berjudul “pedoman pembelajaran tahta hukum

Indonesia”,

a)Hukum Adat ada didalam UUD’S 1950

Istilah hukum adat yang disebut dalam pasal 104 ayat 1 UUDS 1950

hendaknya diartikan sebagai hukum yang tidak tertulis. Hukum adat itu

bukan merupakan lapangan tersendiri melainkan meliputi semua lapangan

hukum. Dengan demikian tata Hukum Indonesia itu terdiri dari dua macam,

Page 18: Ringkasan Hukum Adat

yaitu hukum perundang-undangan dan hukum adat sebagai sinonim dari

hukum yang tidak tertulis.

b) Adat RECHT didalam tata Hukum Hindia Belanda (Nederlands

Indie)

Istilah ADATRECHT dalam dogmatic hukum Hindia Belanda

(sebagaimana dikemukakan Snouck Hurgronje, Van Vollenhoven dan Ter

Haar) ialah hukum yang terdiri dari hukum asli dari zaman Melayu

Polinesia dan Hukum Rakyat Timur Asing Termasuk unsur-unsur agama

yang telah memengaruhi hukum asli di daerah-daerah. Hukum asli itu ada

yang tidak tertulis dan ada yang tertulis.

c) Kesamaan Hukum ADATRECHT dan Hukum Adat

Kesamaanya dikarenakan hukum ADATRECHT pada pokoknya

merupakan unsur yang tidak tertulis dan Hukum Adat yang dimaksud

adalah hukum adat yang tidak tertulis. Tetapi ADATRECHT masih juga

meliputi hukum yang tertulis asal sungguh-sungguh merupakan hukum

yang hidup.

d) Istilah ADATRECHT tidak perlu diterjemahkan

Biarlah hukum tersebut merupakan tanda peringatan dan penghormatan

bagi maha sarjana pengukirnya yg tidak dapat di hapus dari sejarah

Indonesia. Biarlah tetap ada didalam bidang kajian mata kuliah Hukum

Adat itu sendiri.

7) Prof Bus. Haar Muhamad, S.h.

a) Dalam arti sempit (pengertian sehari-hari), maka hukum adat

adalah:

Hukum asli yang tidak tertulis yang berdasarkan kebudayaan dan

pandangan hidup Bangsa Indonesia yang mamberi pedoman pada sebagian

besar orang-orang Indonesia dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungan

antara yang satu dengan yang lain baik dikota maupun di desa.

Page 19: Ringkasan Hukum Adat

b) Dengan bertitik tolak dari pendapat Soepomo dan Hzairin beliau

menyatakan sebagai berikut:

Hukum Adat terutama yang mengtur tingkah laku manusia Indonesia dalam

hubungannya satusama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelajiman,

kebiasaan dan kesusilaan yang benar-bernar hidup di masyarakat adat

karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu

maupun yang merupakan keseluruhan pengaturan mengenai sanksi atas

pelangaran dan yang ditetapkan keputusan-keputusan para penguasa adat

{mereka yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa memberi keputusan

dalam masyarakat adat itu) yaitu dalam keputusan lurah, penghulu,

pembantu Lurah, Wali tanah, kepala adat, hakim.

8) Prof. Dr Soerjono Soekanto, S.H.

“Hukum adat pada hakekatnya merupakan hukum kebiasaan, artinya

kebiasaan-kebiasaan yang mempunyai hakekat-hakekat hukum. Berbeda

dengan kbiasan belaka, kebiasaan yang merupakan hukum adat adalah

perbuatan yang diulang-ulang dalam perbuatan yang sama.

Page 20: Ringkasan Hukum Adat

9) Soerojo Wignjodipoero, S.H.

dengan menyimpulkan beberapa pendapat para pakar hukum adat

menyatakan:

“Hukum adat itu adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber

pada keadilan masyarakat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan

tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat,

sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati oleh

masyarakat karena mempunyai akibat hukum atau (sanksi)”.

10) Prof H. Hilman Hadikusuma, S.H.

“yang disebut hukum adat adalah adat yang mempunyai sanksi, sedangkan

istilah adat yang mengandung sanksi adalah kebiasaan yang normatif yaitu

kebiasaan yang berujud tingkah laku yang berlaku didalam masyarakat.

Pada kenyataannya antara hukum adat dengan adat kebiasaan itu batasnya

tidak jelas”.

11) Djaren Saragih, S.H.

“Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada

peraturan keadilan rakyat yang selalu berkembang meliputi peraturan

tingkah laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sebagian besar

tidak tertulis, mempunyai sanksi”.

D, Pengertian Hukum Adat lainya

1) Di dalam perundang-undang Hindia Belanda

Untuk pertama kalinya pemerintah Hindia Belanda menaruh perhatian dan

menetapkannya didalam perundang-undangan yaitu sejak berlakunya A.B.

(Algemene Bepalingen Van Wetgeving voor Nederland Indie) (Stb. 1847

No. 23) kemudian dilanjutkan didalam R.R (Regelling Reglement) dan I.S

(Indische Staats Regeling) sebagai berikut:

a) Di dalam pasal 11 A.B

Istilah yang mengandung arti hukum Adat didalam pasal 11A.B. ialah yang

dalam bahasa Belandanya dikenal dengan sebutan Gods dientige wetten

(aturan-aturan keagamaan), Volks Intellingen (lembaga-lembaga rakyat),

Page 21: Ringkasan Hukum Adat

en Gebruiken ( dan kebiasaan-kebiasaan). (Pada waktu itu ADATRECH

belum dekenal).

b) Di dalam pasal 75 R.R (1854)

Istilah yang mengandung dalam pasal ini sama dengan pasal 11 A.B. (pasal

ini dirubah redaksinya menjadi pasal 75 R.R. yang baru). Kemudian pada

tahun 1925 pemerintah Hindia Belanda membuat Indische Staats

Regelling, maka pada asal 75 R.R dijadikan ketentuan pasal 131 I.S, dan

istilah hukum adat tercantum di dalam ketentua pasal 131 ayat (2) Sub b

I.S.

c) Di dalam ketentuan pasal 131 ayat (2) sub b I.S

sejak berlakunya Wet Op De Staats Inrichting Van Nederland Indie yang

di singkat menjadi, I.S (Indische Staats Regelling Stb. 1925 No. 415 jo 577)

yang berlaku sejak tanggal 1-1-1926, maka terhadap orang-orang Indonesia

Asli dan Timur Asing berlaku peraturan-peratura keagamaan dan

kebiasaan-kebiasaan yang saling bertautan. Tetapi jika kebuthan sosial

mereka memerlukan, maka terhadap mereka dapat diberlakukan hukum

Eropa. Jadi di dalam ketentuan di dalam pasal 131 ayat (2) sub b. I.S yang

selanjutnya merupakan dasar hukum perundag-undangan berlakunya

hukum adat. Yang diartikan sebagai hujum adat disini adalah istilah

“Hunne gods dienten en semenhangen de rechts regelen” (peraturan

keagamaan dan kebiasaan yang saling bertautan).

d) Di dalam etentuan pasal 134 ayat (2) I.S

Istilah yang digunakan adalah ADATRECHT (Hukum Adat)

sebagaimnana antara lain dikatakan:

“Evenwel staan de burgerlijke rechtszaken tusschen mohammedaanen,

indian hun adatrecht dat medebrengt terkennisreming van den

godsdientigeen rechter voor zoover niet bij ordonnantie anders is bepaald”.

(Apabila timbul perkara perdata diantara orang-orang Islam, apabila

hukum adatnya mengkehendaki penyelesaiannya, maka diselesakan oleh

hakim agama, kecuali ordonansi menetapkan lain). Dengan kata lain, pasal

ini sudah menggunaan ADATRECHT (Hukum Adat).

Page 22: Ringkasan Hukum Adat

2) Di dalam putusa Kongres Pemuda 1928

Sbelum tahum 1928 telah berdirinya beberapa organisasi perjuangan,

antara lain:

a) Boedi Oetomo berdiri di Jakarta 20 Mei 1908

b) Sarekat Islam (berdiri dari SDI) erdiri sebelum 1912 di Surakarta

c) Moehammadiyah, berdiri di Yogya 18-11-1912

d) Persareatan Komoenis di Hindia (PKI) 23 Mei 1920

e) Nahdatoel Oelama (NOE) berdiri di Surabaya 31 Januari 1926

f) Persarekatan Nasional Indonesia (PNI) berdiri di Bandung 4 Juli 1927

Setelah para pemuda berkongres di Jakarta, kerapatan-kerapaan pemuda-

pemudi Indonesia diadakan perkumpulan-perkumpulan Indonesia yang

berdasarkan kebangsaan dengan nama Jong Java, Jong Soematra (Pemuda

Sumatara), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond,

Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemoeda kaoem Betawi dan

Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Membuka rapat pada tanggal 27

dan 28 oktober 1928 di Jakarta, sesudah menimbang segala hal tersebut,

kerapatan lalu mengambil putusan:

PERTAMA :Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah

darah jang satoe, Tanah Indonesia

KEDOEA :Kami poetra dan poetri Indonesia Mengakoe berbangsa

yang satu, bangsa Indonesia

KETIGA :Kami poetra dan poetry Indonesia menjoenjoeng tinggi

bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Setelah mendengar keputusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas

ini wajib dipakai oleh segala perkumpulan kebangsaan Indonesia.

Mengeluarkan keyakinan persatuan Indonesia diperkuat dengan

memperhatikan dasar persetujuannya,

- Kemauan

- Sedjarah

- Bahasa

- Hukum Adat

- Pendidikan dan Kepanduan

Dan mengeluarkan harapan supaya putusan ini disiarkan dalam segala surat

kabar dan dibatjikan dimuka rapat perkumpulan-perkumpulan kita.

Page 23: Ringkasan Hukum Adat

Jadi, hukum adat di dalam putusan kongres pemuda tahun 1928 adalah

Sebagai dasar persatuan bangsa, sebagai dasar persatuan hukum

perjuangan melawan penjajahan, untuk mewujudkan kemerdekaan.

3) Di dalam perundang-undangan Republik Indonesia

a) Di dalam UUD 1945

Hal-hal yang dapat dilihat antara lain:

(1) Di dalam UUD 1945 memuat unsur-unsur PANCASILA.

(2) Pasal 29 ayat (1) menyatakan “Bahwa negara berdasarkan

Ketuhanan yang Maha Esa”

(3) Pasal 33 ayat (1) menyatakan “bahwa perekonomian di susun secara

bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan

(4) Pasal 2 aturan peralihan menyatakan “bahwa segala badan negara

dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan

yang baru menurut undang-undang ini.

(5) Didalam penjelasan umum ke IV di nyatakan antara lain “Yang

sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hidupnya ialah semangat.

Meskipun di buat UUD dengan kata-katanya yg bersifat kekeluargaan,

UUD tidak tentu sempurna. Jadi yang paling penting ialah semangat”.

b) Di dalam konstitusi RIS 1949

Yang menyangkut hukum adat ditegaskan sebagai berikut:

(1) Di dalam Mukaddimah koonstitusi RIS 1949

Unsur-unsur Pancasila juga dinyatakan dengan uraian yang singkat

yaitu, “Ketuhanan yang Maha Esa,peri kemanusiaan, kebangsaan,

kerakyatan, keadilan sosial”.

(2) Pasal 4 ayat (1) menyatakan “segala kkeputusan pengadilan harus

diberi alas an-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebutkan aturan-

aturab hukum adat yang dijadikan dasar hukum itu”.

(3) Pasal 142 menyatakan “peraturan-peraturan dan ketentuan-

ketentuan tata usaha yang sudah ada sejak tanggal 17 Agustus 1950

tetap berlaku dan tidak berubah, selama peraturan peraturan dan

ketentuan-ketentuan itu tidak di cabut atau diubah oleh Undang-Undang”.

(4) Hasil dalam SEMINAR di Yogyakarta, 1975

Page 24: Ringkasan Hukum Adat

Hasil dalam Seminar yang di adakan pada tanggal 15-17 Januari 1975

oleh BHPN dengan UNGAMA:

“Hukum Inonesia asli yang tidak di tulis dalam buku perundang-

undangan Republik Indonesia yang san-sisni mengandung agama”.

Selanjutnya bahan-bahan pengambilan dari hukum adat pada dasarnya

berarti:

a) Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum dari hukum adat

untuk dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi

kebutuhan masyarakat.

b) Pengunaan lembaga-lembaga hukum adat yang di modernisir dan

disesuaikan dengan kebutuhan zaman

memasukan konsep-konsep dan asa-asas hukum adat kedalam lembaga-

lembaga hukum baru.

5. Unsur-unsur pembentuk Hukum Adat

Dalam Seminar adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta

menyatakan bahwa “terwujudnya hukum adat itu dipengaruhi agama”.

Menurut Prof. Dr. Mr. Soekanto (1985:57)bahwa unsur agama memberi

pengaruh terhadap perwujudan hukum adat bukanlah pandangan baru,

demikian pula Prof. Mr. MM. Djojodigoeno mengemukakan batasan

yang sama.

Dengan demikian kita sepakat bahwa pengaruh agama terhadap proses

terwujudnya Hukum Adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para

pakar hukum adat pada umumnya.

6. Teori Receptio In Complexo

MR. LWC. Van Den Berg dan Mr. Salomon Skeyzer (guru besar pada

Koninklijke Academic di DELFT pada tahun 1850-1868). Teorinya

dikenal sebagai teori Receptio in Complexu yang menegaskan:

“Adat istiadat dan hukum adat suatu golongan masyarakat adalah

resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat

itu” (bahwa hukum adat suatu golongan masyarakat, adalah hasil

penerimaan secara bulat-bulat hukum agama yang dianut oleh golongan

masyarakat tersebut).

Page 25: Ringkasan Hukum Adat

Inti dari teori Receptio in Complexu tersebut menurut Soerojo

Wignjopdipoero, S.H., (1990:29) di dalam bukunya pengantar dan asas

– asas hukum adat, adalah:

“ selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan menurut ajaran ini,

hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga

mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia”. (bahwa kalau dalam

suatu masyarakat memeluk agama tertentu, maka hukum adat

masyarakat yang besangkutan adalah hukum agama yang diperlukannya

itu).

Sanggahan para pakar terhadap teori Receptio In Complexu

a. Prof. Dr. Christian Snuck Hurgronje

“Tidak semua bagian dari hukum agama diterima, diresepsi dalam

hukum adat, hanya beberapa bageian tertentu saja yang diterima yaitu

terutama bagian-bagian hidup manusia yang sifatnya mesra yang

berhubungan erat dengan kepercayaan dan hidup batin. Bagian itu

adalah hukum keluarga, hukum perkawinan, dan hukum waris”.

b.Prof. Dr. Baren Ter Haar Bzn.

Membantah sebagian pendapat Snuck Hurgronje dengan menyatakan,

“ Hukum waris tidak dipengaruhi hukum islam melainkan asli “.

c. Prof. Dr. Cornelis Van Vollen Hoven

Memberikan ketegasan dan kterangan ang jitu atas persoalan tersebut di

dalam bukunya “ADATRECH Jilid 1” degan menjelaskan:

“ Bahwa hal itu harus diterangkan dengan meninjau sejarah, yaitu

harus diadakan tinjauan kembali sampai pada waktunya.

Kesimpulannya hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan

hukum wakaf dipengaruhi hukum Islam”.

Ditegaskan pula dimuka bahwa hukum adat mempunyai unsur-unsur

keagamaan walaupun pengaruh agama itu tidak besar dan terbatas pada

beberapa daerah saja.

Page 26: Ringkasan Hukum Adat

7. Corak Hukum Adat

Prof. Hilman Hadikusuma, S.H., menegaskan bahwa hukum adat

Indonesia yang normatif pada ummnya menunjukkan corak-corak

sebagai berikut:

a. Tradisional

Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional, artinya bersifat

turun temuun dari zaman nenek moyang sampai ke anak-cucu-cicit

sekarang dimana keadaannya masih tetap berlaku dan tetap

dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Misalnya,

1) Di dalam hukum kekerabatan adat orang Batak

Sejak dahulu sampai sekarang tetap saja mempertahankan hubungan

kekerabatan yang disebut Dalihan Na Tolu (bertungku tiga) yaitu

hubungan antara marga hula-hula, Dongan Tobu (Dongan Sebutuha)

dan Boru. Sehingga dengan adanya hubungan kekerabatan tersebut

tidak terjadi perkawinan antar pria dan wanita yang satu keturunan (satu

marga).

2) Di Lampung

Corak tradisional di Lampung ditandai dengan ketentuan bahwa dalam

hukum kewarisan berlaku “Sistem Mayorat Laki-Laki”, artinya anak

tertua laki-laki menguasai seluruh harta peninggalan (orang tuanya)

dengan kewajiban mengurus adik-adiknya sampai dewasa dan sampai

dapat hidup mandiri. Harta peninggalan itu tetap tidak terbagi-bagi,

merupakan milik keluarga bersama, yang kegunaanya untuk

kepentingan anggota keluarga/kerabat bersama dibawah pengaturan dr

anak laki-laki tertua sebagai pengganti kedudukan ayahnya.

b. Keagamaan

Hukum adat itu pada umumnya “bersifat keagamaan (MAGIS

RELIGIUS) artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumya

berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan atas berdasarkan

ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa.

Corak keagamaan didalam hukum adat ini tertuang pula dalam

pembukaan UUD 1945 alinea ke-3.

Page 27: Ringkasan Hukum Adat

c. Kebersamaan

Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (Communal),

artinya ia lebih menguatamakan kepentingan bersama dimana

kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama (satu untuk

semua, semua untuk satu). Hubungan hukum antara anggota masyarakat

antara yang satu dengan yang lainnya didasarkan oleh rasa

kebersamaan, kekeluargaan, tolung menolong dan gotong royong,

d. Konkrit dan Visual

Corak hukum adat adalah konkrit, artinya jelas, nyata, berwujud. Visual

artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jadi, sifat

hubuungan hukum yang berlaku didalam hukum adat itu adalah terang

dan tnai, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan

didengar orang lain.

e. Terbuka dan Sederhana

Corak hukum adat terbuka artinya dapat menerima masukkannya unsur-

unsur yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa

huku adat itu sendiri. Sederhana, artinya bersahaja, tidak rumit, tidak

banyakadministrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah

dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling percaya mempercayai.

f. Dapat Berubah dan Menyesuaikan

Menurut Prof. Dr. Soepomo S.H., sebagaimana yang telah ditegaskan

oleh Pof. Dr. Mr. Cornelis Van VollenHoven dinyatakan sebagai

berikut.

“ Hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan

berkembang seperti keadaan hidup itu sendiri. Hukum adat yang pada

waktu yang telah lampau agak berbed isinya. Hukum adat menunjukkan

perkembangan, dan seterusnya “. Kemudian didalam buku Soleman B.

Taneko, S.H. (1987:98-99) telah ditegaskan oleh Prof. Dr. Mr. Cornelis

Van Vallenhoven dalam “Orientatie In Adatrech Van Nederland Indie”.

Kemudian Moch Koesnoe (1993:67) menjelaskan:

“ Di Indonesia hukum adat menyesuaikan diri dengan kehidupan

bangsa yang ada di Indonesia sepanjang perjalanan sejarahnya”.

Page 28: Ringkasan Hukum Adat

Dengan demikian hukum adat dapat berubah menurut keadaan, waktu

dan tempat (dinamis). MAKA TERTINGGALLAH ADAT YANG

TAK LEKANG DI PANAS DAN TAK LAPUK DI HUJAN, karena

telah berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan pola perilaku

masyarakat sekarang.

g. Tidak Dikodifikasi

Hukum adat kebanyakan tidak ditulis walaupun ada juga diantaranya

yang dicatat di aksara daerah, bahkan ada yang dibukukan denga cara

yag tidak sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman dan buka

mutlak harus dilaksanakan oleh masyarakat, kecuali yang bersifat

perintah Tuhan.

h. Musyawarah dan Mufakat

Hukum adat mengutamakan adanya musyawara dan mufakat dalam

keluarga, didalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan baik untuk

memulai sesuatu pekerjaan maupun didalam meyelesaikna perselisihan

antara satu dengan yang lainnya.

8. Sifat Umum Hukum Adat

4 sifat hukum adat di Indonesia yaitu:

a. Sifat Relegio Magis

sehubungan denga sifat Religio Magis ini Dr. Kuntjara Ningrat dalam

thesisnya menulis bahwa alam pikira Religio Magis mempuyai unsur-

unsur sebagai berikut:

1) Kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus, roh-roh dan hantu-

hantu yang menempati seluruh alam seemesta.

2) Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh aam

semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa,

tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa, dan

suara-suara yang luar biasa.

3) Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif dipergunakan sebagai

“Magiche Krach” dalam berbagai perbuatan ilmu ghaib untuk mencapai

kemauan manusia menolak bahaya ghaib

Page 29: Ringkasan Hukum Adat

4) Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan

timbulnya berbagai macam bahaya ghaib yang hanya dapat dihindari

atau dihindari dengan berbagai macam pantangan.

b. Sifat Komun (Kemasyarakatan)

Adalah suatu corak yang khas dari masyarakat kita masih hidup sangat

bergantung kepada tanah atau alam pada umumnya.

Prof. Dr. Achmad Sanusi, S.H., M.P.A. (1991:126) ditegaskan bahwa

dalam hal sifat commun ini:

“Setiap orang merasa dirinya benar-benar selaku anggota

masarakat bukan sebagai oknum yang berdiri sendiri terlepas dari

imbangan-imbangan sesamanya, ia menerima hak serta menanggung

kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Kepentingan pribadi

seseorang selalu diimbangi dengan kepentingan umum, begitu juga

dengan hak-haknya. Hukum selalu disertai asas-asas

permusyawaratan, kerukunan, perdamaian keputusan dan

keadilan”.

Kemudian sehubung dengan masalah ini Prof. Dr. Soepomo, S.H.,

didalam pidato di Batavia (Jakarta) dengan judul “De Veerhouding Van

Individu en Gemenschap in het adatrechts” (1941) menyatakan sebagai

berikut:

“Didalam hukum adat manusia sama sekali bukan individu yang

terasing, bebas dari segala ikatan dan semata-mata hanya ingat

keuntungan sendiri, tapi terutama ialah anggota masyarakat. Menurut

tanggapan hukum adat kehidupan individu ialah kehidupan yang

terutama diuntukan buat mengabdi pada masyarakat, tetapi pengabdian

kepada masyarakat ini oleh individu tidak dirasakan sebagai beban yang

diberikan kepadanya oleh suatu kekuasaan yang berdiri di luar dirinya.

Jadi menurut cara berpikir tersebut individu adalah suatu makhluk mana

dalam masyarakat mengkhususkan dia”.

c. Sifat Kontant

Sifat Kontant atau Tunai ini mengandung arti bahwa dengan suatu

perbuatan nyata atau suatau perbuatan simbolis atau suatu pengucapan,

tindakan hukum yang dimaksud telah selesai seketika itu jugadengan

serentak bersama waktunya mengucapkan yang diharuskan oleh adat.

Page 30: Ringkasan Hukum Adat

Contoh: JUal beli lepas, perkawinan jujur, adopsi, dan lain sebagainya

d. Sifat Kontkrit

di dalam arti berpikir yang tertentu senantiasa dicoba dan diusahakan

supaya hal-hal yang dimaksud, diinginkan, dikehendaki, atau di

kerjakan, diberi tanda yang kelihatan baik langsung maupun hanya

menyerupai objek yang dikehendaki

Contoh: Panjer di dalam jual beli, paningset dalam pertunangan, barang-

barng lain lalu barang itu dimusnahkan.

9. Sistem Hukum Adat

Suatu system adalah merupakan susunan yang teratur dari berbagai

unsur, di mana unsur yang satu dengan yang lain secara fungsional

saling bertautan sehingga memberikan suatu kesatuan pengertian.

Selanjutnya berbicara mengenai system hukum adat ini Prof. Dr.

Soepomo S.H, menyebutkan sebagai berikut.

“tiap-tiap hukum merupakan suatu system yaitu peraturan-

peraturanya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam

pikiran, begitupun hukum adat. System hukum adat bersendi

atas dasar-dasar pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam

pikiran yang menguasai system hukum barat”.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka hal-hal yang mencakup

hukum adat adalah sebagai berikut:

a. Mendekati system hukum Inggris

Di Inggris dikenal adanya juru damai yang disebut Justice of The Peace.

Hal ini mirip dengan peradilan adat di Indonesia yang menyelesaikan

perkara perselisihan secara damai (di masa-masa lalu dan sekarang

sudah tidak berlaku). Namun di Inggris seseorang menuntut orang lain

di muka hakim pidana tanpa nelalui badan penuntut.

b) Tidak membedakan hukum publik dan hukum privat

Hukum publik yang menyangkut kepentingan umum seperti Hukum

Ketata Negaraan yang mengatur tugas-tugas kenegaraan dalam

hubungan antara badan-badan negara dan tugas-tugas pemerintahan dan

anggota-anggota masyarakat. Hukum perdata atau hukum sipil (privat)

Page 31: Ringkasan Hukum Adat

yang mengatur hubungan antara anggota-anggota masyarakat yang satu

dengan yang lainnya, dan anggota masyarakat terhadap badan negara

sebagai badan hukum. Pembagian Hukum Publik dan Hukum Privat ini

berasal dari Hukum Romawi.

c) Tidak membedakan HAK KEBENDAAN dan HAK

PERORANGAN

Hukum adat tidak membedakan antara hak kebendaan (zakelitjke

rechten) yaitu hak-hak atas benda yang berlaku bagi setiap

orang dan hak perseorangan (personlijke rechten) yaitu hk seseorang

untuk menuntut orang ain agar berbuat atau tidak berbuat terhadap hak-

haknya.

d) Tidak membedakan pelanggaran PERDATA dan PIDANA

Hukum Adat juga tidak membedaka antara perbuatan yang sifatnya

pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana sehingga

perkara perdata diperiksa oleh hakim perdata dan perkara pidana

diperiksa oleh hakim pidana.

Menurut peradilan adat ke-2 pelanggaran dimaksud yang dilakukan

seseorang diperiksa, dipertimbangkan dan diputuskan sekaligus dalam

suatu persidangan yang tidak terpisah.

Page 32: Ringkasan Hukum Adat

BAB III

TATA SUSUNAN MASYARAKAT DI INDONESIA

1. Persekutuan Hukum (RECHTS GEMEENSCHAP)

Menurut Prof. Dr. R. SOEPOMO, S.H., (1993:45) dijelaskan bahwa

VAN VOLLENHOVEN didalam orasinya tanggal 2 oktober 1901

menegaskan :

“Bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang terutama perlu

diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta didaerah mana sifat dan

susunan badan-badan persekutuan hukum dimana orang-orang yang

dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”.

Kemudian menurut Soepomo sendiri dikemukakan bahwa:

“penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak

didasarkan atas sesuatu yang dogmatic, melainkan harus berdasar atas

kehidupan yang nyata dri masyarkat yang bersangkutan”.

Dari apa yang dikemukkan oleh VAN VALLNHOVEN dan SOEPOMO

kelihatanlah bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum

adat itu adalah “persekutuan hukum adat” (Adatrechts

Gemeenschapen).

Di samping pimpinan dan kekayaan (benda berujud dan tidak berujud),

tiap-tiap kelompok mempunyai wilayah tertentu atas dan di dalam

batas-batas wilayah itu kelompik yang bersangkutan menjalani

kehidupannya. Kelompok yang demikian dinamakan Persekutuan

Hukum atau Masyarakat Hukum.

Jadi Persekutuan Hukum atau Masyarakat Hukum (Rechtsgemensghap)

adalah:

“sekelompok orang-orang yang terkait sebagai suatu kesatuan

dalam suatu susunan yang teratur, yang bersifat abadi dan memiliki

pimpinan serta kekayaan sendiri baik berujud maupun tidak berujud

dan mendiami atau hidup di atas wilayah tertentu”.

Menurut Soerjono Soekanto (2001:93) didalam bukunya “Beginselen

En Stelsel Van Het Adatrech”, Prof. Dr. Ter Haar Bzn (1950:16)

merumuskan masyarakat hukum adat sebagai:

“Ge ordende groepen van blijven karakter met eigen bewind en

eigen materiel en immaterial vermogen”. (kelompok-kelompok

Page 33: Ringkasan Hukum Adat

teratur yang sifatnya ajek dengan pemerintahaan sendiri yang

memiliki benda-benda materil dan imateril).

Kemudian Prof. Dr. Hazairin memberikan suatu uraian mengenai

masyarakat hukum adat:

“Masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan

kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk

sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan

penguasa, dan kesatuan lingkup hidup berdasarkan hak bersama atas

tanah dan air bagi semua anggotanya.”

Sehubungan dengan hal tersebut {rpf. Dr. Barend Ter Haar .Bzn., di

dalam bukunya “Asas-asas dan sesunan hukum adat Indonesia”

menyatakan:

“Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata

terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang

bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan batin.

Golongan ini mempunyai pengururs sendiri, harta benda sendiri, milik

keduniawian, milik ghaib. Golongan demikianlah yang bersifat

hukum”.

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa sebagaimana yang

ditegaskan oleh Prof. Buzhar Muhammad, S.H., inti dari persekutuan

hukum adalah:

a. Kesatuan manusia yang teratur

b. Menetap di daerah tertentu

c. Mempunyai penguasa-penguasa

d. Mempunyai kekayaan yang berujud dan tidak berujud.

Contoh Persekutuan Hukum atau Masyarakat Hukum

a. Fammilie di Minangkabau, memiliki:

1) Tata susunan yang tetap

2) Pengurus sendiri

3) Harta pusaka sendiri

b. Desa di Jawa, memiliki:

1) Tata susunan yang tetap

2) Pengurus sendiri

3) Harta kekayaan sensdiri

Page 34: Ringkasan Hukum Adat

2. Struktur Persekutuan Hukum

Pada dasarnya ikatan yang mengikat anggota-anggota persekutuan

dapat di bedakan menjadi dua actor utama, yaitu:

a. Faktor Genealogis (keturunan), yaitu faktor yang mendasar kepada

pertalian darah atau pertalian keturunan.

b. Faktor Territorial (wilayah), yaitu faktoryang mendasarkan

keterikatannya pada suatu daerah tertentu.

tiga tipe pokok utama persekutua hukum atau masyarakat hukum diwilayah

nusantara ini, yaitu:

a. persekutuan hukum GENEALOGIS

Persekutuan hukum atau masyarakat hukum Genealogis menitik

beratkan pada faktor keturunan atau pertalian darah. Secara sistematis

persekutuan genealogis inipun dapat dibagi menjadi:

1) masyarakat UNILATERAL, adalah masyarakat dimana anggota-

anggotanya menarik garis hanya dari salah satu pihak saja yaitu baik

dari pihak laki-laki saja ataupun dari pihak wanita saja. Macam-macam

masyarakat hukum UNITERAL:

a) Masyarakat MATRILINEAL, yaitu masyarakat dimana anggota-

anggotanya menarik garis keturunan hanya dari pihak ibu saja, terus

menerus ke atas (vertical) hingga berakhir pada suatu kepercayaan

bahwa mereka berasal dari seorang ibu asal.

b) Masyarakat PATRILINEAL, yaitu masyarakat dimana anggota-

anggotanya menarik garis keturunan dari pihak ayah saja terus keatas

(vertical) sehingga berakhir pada suatu kepercayaan bahwa mereka

semua berasal dari satu bapak asal.

c) Masyarakat DUBBEL UNILATERAL, yaitu masyarakat yang

menarik garis keturunan dari PIHAK AYAH dan PIHAK IBU yang

dilakukan bersama-sama berdasarkan hal-hal tertentu.

2) Masyarakat BILATERAL,adalah masyarakat dimana anggota-

anggota persekutuan menarik garis keturunan baik melalui ayah maupun

melalui ibu. Jadi garis keluarga ditarik melalui orang tua (parental).

3) Masyarakat ALTERNEREND (berganti-ganti), adalah

masyarakat dimana garis keturunan seseorang ditarik berganti-ganti

sesuai dengan bentuk perkawinan yang dilaksanakan oleh orang

tuannya.

Page 35: Ringkasan Hukum Adat

b. Persekutuan Hukum TERRITORIAL

persekutuan-persekutuan hukum territorial adalah dimana para

warganya merasa terikat satu sama lainnya karena merasa dilahirkan dan

menjalani khidupan ditempat atau wilyah yang sama. Persekutuan-

persekutuan territorial dapat dibedakan menjadi:

1) Persekutuan desa (Dorps Gemeenschap), adalah apabila

segolongan orang terikat pada suatu tempat kediaman, yang juga apabila

didalamnya terdiri dari tempat kediaman kecil yang meliputi

perkampungan dan dimana pemimpin atau pejabat pemerintahan desa

boleh dikatakan semunya bertempat tinggal di dalam pusat kediaman

itu.

2) Persekutun DAERAH (STREK GEMEENSCHP), adalah apabila

didalam sutu daerah tertentu merupakan kesatuan beberapa tempat

kediaman yang masing-masig mempunyai pimpinan sejenis, sendiri-

sendiri dan sederajat tetapi semuanya merupakan bagin dari daerah

tersebut.

3) Perserikatan DESA-DESA (DORPENBOND) (beberapa

kampung), adalah gabungan dari beberapa persekutuan desa dimana

merek mengadakan permufakatn untuk melakukan kerja sama. Dimana

untuk memelihara keperluan bersama itu diadakan suatu badan

pengurus yang terdiri dari pengurus-pengurus desa tersebut.

c. Persekutun hukum GENEALOGIS-TERRITORIAL

Persekutuan hukum adalah persekutuan-persekutuan hukum dimana

faktor genealogis dan faktor territorial merupakan faktor yng penting.

Untuk menjadi anggota persekutuan wajib memenuhi 2 syarat sekaligus

yaitu harus masuk dalam suatu kesatuan genealogis dan harus berdiam

didalam daerah persekutuan yang bersangkutan. Sehubungan dengan

sruktur perekutuan hukum tersebut, SOEROJO WIGNJODIPOERO,

S.H., (1987:83-85) menyatakan:

“Tentang sruktur persekutan hukum ini VAN VOLLENHOVEN

dalam bukunya “Het adatrech van Nederland Indie” (jilid 1)

(halaman 136-145) menjelaskan “bahwa persekutuan-persekutuan

hukum di seluuh Indonesia ini mengingat akan strukturnya

dipisah-pisahkan kedalam 4 golongan dan besar kemungkinan

Page 36: Ringkasan Hukum Adat

tidak semuanya masih dapat dicontoh lagi di Indonesia”. Keempat

golongan hukum itu adalah:

1) Golongan 1 : persekutuan hukum berupa kesatuan genealogis.

2) Golongan 2 : persekutuan hukum berupa kesatuan territorial,

didlamnya terdapat kesatuan- kesatuan genealogis.

3) Golongan 3 : persekutuan hukum yang berupa kesatuan territorial

tanpa kesatuan genealogis didalamnya, melainkan dengan atau tidak

dengan kesatuan atau territorial yang lebih kecil.

4) Golongan 4 : persekutuan hukum yang berupa kesatuan territorial

dengan didalamnya terdapat persekutuan-persekutuan yang sengaja

didirikan warganya.

Bentk-bentuk persekutuan hukum lainnya

1) Masyarakat adat KEAGAMAAN

Didalam hal ini adalah “merupakan masyarakat adat yang khusus

bersifat keagamaan di beberapa daerah tertentu”.

2) Masyarakat adat di perantauan

Masyarakat desa adat keagamaan SADWIRAMA tersebut merupakan

suatu bentuk dari upaya bagi orang Bali di perantauan dalam upaya tetap

mempertahankan eksistensi adat dan agama hidupnya sebagaimana

kebiasaan-kebiasaan kehidupan kemasyarakatan keagamaan di daerah

asalnya yaitu pulau Bali.

3) Masyarakat Adat lainnya

Bentuk masyarakat ini kita temukan di berbagai instansi pemerintah

maupun swasta diberbagai lapangan kehidupan sosial-ekonomi yang

lain. Kesatuan masyarakat adatnya tidak lagi terikat pada hukum adat

yang lama melainkan dalam betuk hukum kebiasaan yang baru atau

katakanlah Hukum ADAT Indonesia atau hukum adat nasional.

3. Kepengurusan MASYRAKAT ADAT

Bentuk kepengurusan kesatuan masyarakat adat desa yang lama

sebagaimana diatur dalam peraturan “haminte Bumiputera”

(Inlansche gemeente ordonnantie) di zama Hindia Belanda terdapat

Page 37: Ringkasan Hukum Adat

perbedaan-perbedaan menurut stuktur kemasyarakatan adat yang

bersifat territorial dan yang bersifat territorial-genealogis.

a. kepengurusan Masyarakat Adat TERRITORIAL

susunan kepengurusan adat yag bersifat territorial menunjukkan adanya

jalina hubungan kewargaan adat yang nersifat kekeluargaan dalam

ketetanggaan.

b. kepengurusan Masyarakat TERRITORIAL-GENEALOGIS

Susunan kepengurusan dalam pemerintahan adat yang bersifat

territorial-genealogis merupkan jalinan hubungan antara kewargaan

adat yang tidak saja besifat kekeluargaan dalam hubungan ketetenggaan

tetapi juga dalam hubungan keturuan dan kekerabatan.

c. kepengurusan Masyarakat Adat Keagamaan

1) Di lingkungan MASYARAKAT KEPERCAYAAN LAMA

Masyarakat Adat di Indonesia walaupun sudah banyak yang menjadi

penganut agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha, masih banyak pula

yang menganut kepercayaan lama yang beraneka ragam. Adat yang

dianut bercampur dengan agama tanpa kesatuan anggota da nada pula

yang merupakan kesatuan-kesatuan warga sendiri dengan mempunyai

kepengursan sendiri, memelihara dan memuja tempat ata benda

keramatna sehingga mempunyai tata tertib hukum keagamaan sendiri

yang berbeda-beda atara yang satu dengan yang lainnya.

2) Di lingkungan masyarakat HINDU BALI

Masyarakat bali di masa sekarang tida saja terdapat di pulau BALI dan

LOMBOK BARAT tetapi juga di Sumatera selatan, Lampung,

Kalimantan Tengah, Sulawesi dan Nusatenggara, menempati daerah-

daerah transmigrasi. Masyarakat desa di bali buan saja merpakan

kesatuan tempat kediaman (territorial) tetapi juga merupkn kesatua

kekerabatan yang patrilineal da kesatuan adat dan keagamaan Hindu.

3) Di lingkungan MASYARAKAT KRISTEN

Page 38: Ringkasan Hukum Adat

Masyarakat Adat penganut agama Kristen di Indonesia dapat dibedakan

dalam 2 golongan besar yaitu golngan masyarakat Kristen katolik dan

golongan masyarakat Kristen protestan. Bagi umat Kristen

keanggotaannya terikat pada gereja tertentu, ummat katolik terikat pada

gereja katholik, umt protestan terikat pada gereja menurut aliran rotestan

yang dianutnya.

4) Di lingkungan MASYRAKAT ISLAM

Sebagian besar masyarakat adat di Indonesia adalah penganutagama

islam sehingga hukum islam dengan hukum adat setempatberlaku

berdampingan hukum islam yang sifanya nasional hanya Nampak dalam

pelaksanaan ibadah dan dalam pelaksanaan mua’malah ialah dalam

hukum perkawinan tentang akad nikah dengan ijab kabl dan perceraian,

sedangkan yang lainnya masih tetap berpegang pada hukum adat.

d. Kepengurusan Masyarakat Adat lainnya

1) Masyarakat adat di perantauan

Sudah sejak lama terjadi perpindahan Masyarakat adat dari daera yyang

satu kedaerah yang lain karena berbagai alas an terutama disebabkan

mata pencaharian. Perpindahan masyarakat adat dari daerah yang satu

kedaerah yang lain setelah kemerdekaan Republik Indonesia bertambah

banyak terjadi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah dalam bentuk

transmigrasi maupun yang beralih sendiri karena kebutuhan hidup.

2) Masyarakat KEORGANISASIAN UMUM

Sejak sebelum perang dunia pertama Rakyat Indonesia telah mengenal

system organisasi yang modern dengan angaran dasar dan susunan

pengurus yang teratur. Setelah kemerdekaan indonesia organisasi-

organisasi itu semakin maju perkembangannya baik yang bergerak

dilingkungan instansi-instansi pemerintah maupun swasta dan didalam

kehidupan masyarakat umum.

3) Masyarakat KETURUNAN CINA

Masyarakat adat keturunan cina di zaman Hindia Belanda

kependudkannya digolongkan kedalam golongan timur asing

Page 39: Ringkasan Hukum Adat

(VREENDE OOSTERLINGEN). Berdasarkan ketentuan pasal 131

ayat (2) B Indische Staatsregeling (I.S) terhadap mereka berlaku

hukum Adatnya masing-masing.Oleh karena itu di dalam UUD 1945

menurut pasal 26 orang Bangsa Indonesia Asli (pribumi) (Inlanders),

dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan undang-undang

sebagai warga negara.

4. LINGKARAN HUKUM ADAT (ADATRECHTSKRINGEN)

Lingkungan hukum adat atau disebut juga lingkungan hukum adat

atau juga kukuban hukum adat sangat erat kaitannya dengan

persekutuan hukum adat atau masyarakat hukum adat sebagaimana

dipaparkan dimuka.

VAN VOLLENHOVEN dalam karya terbesarnya ang berjudul Het

adatrecht van nederlandsch Indie menyebutkan bahwa seluruh daerah

Indonesia terbagi dalam 19 lingkaran hukum adat dan tiap-tiap

lingkaran huku adatpun akan terbagi lagi kedalam kukuban-kukuban

hukum. Ke-19 Lingkungan Hukum adat itu adalah sebagai berikut:

1. Aceh (Aceh besar, Pantai barat, Singkel, Simeuleu).

2. TANAH GAYO (Gayo lueus, Tanah Alas, Tanah Batak/Tapanuli).

3. TANAH MINAGKABAU (Padang, Agam, Tanah Datar, Lima puluh

kota, Tanah Kampar, Korinci) dan MENTAWAI (orang pagai)

4. SUMATERA SELATAN

5. TANAH MELAYU (Lingga riau, inderagiri, sumatera timur, orang

banjar).

6. BANGKA dan BELITUNG

7. KALIMANTAN

8. MINAHASA (menado)

9. GORONTALO

10. TANAH TORAJA

11. SULAWESI SELATAN

12. KEPULAUAN TERNATE

13. MALUKU-AMBON

14. IRIAN

15. KEPULAUAN TIMOR

16. BALI dan LOMBOK

17. JAWA TENGAH, JAWA TIMUR serta MADURA

Page 40: Ringkasan Hukum Adat

18. DAERAH SWAPRADJA

19. JAWA BARAT

5. Tata Susunan PERSEKUTUAN HUKUM

VAN VOLLENHOVEN dalam bukunya “adatrecht-1”, menguraikan

tentang keadaan tata susunan persekutuan-persekutuan hukum dari

masing-masing lingkaran hukum, sedangkan TER HAAR Bzn dalam

bukunya “Beginselen en stelsel van het adat recht” menguraikan tentang

keadaan tata susunan persekutuan-persekutuan hukum menurut macam-

macam bentuk yang didapati pada berbagai susunan rakyat diseluruh

daerah di Indonesia.

6. Sifat pimpinan kepala-kepala rakyat

Kehidupan sehari-hari didalam lingkungan badan-badan persekutuan

hukum berada di bawah pimpinan kepala-kepala Rakyat yang bertugas

memelihara jalannya hukum adat sebagaimana mestinya. Sifat pimpinan

kepala rakyat adalah sangat erat hubungannya dengan sifat, corak serta

susunan masyarakat di dalam badan-badan persekutuan hukum tersebut.

Persekutuan hukum tidak bersifat badan kekuasaan seperti kotapraja.

Persekutuan hukum bukanlah merupakan persekutuan kekuasaan. Dalam

aliran pikiran tradisional Indonesia persekutuan hukum itu adalah sebagai

suatu kolektivitas dimana tiap warga merasa dirinya satu dengan golongan

seluruhnya. Oleh karena itu maka kepala persekutuan adalah kepala rakyat

dan bapak masyarakat.

7. Suasana tradisional MASYARAKAT DESA

Persekutuan desa sebagai suatu kesatuan hidup bersama bercorak sebagai

berikut.

a. RELIGIUS

Bersifat kesatuan batin. Orang segolongan merasa satu dengan golongan

seluruhnya bahkan seorang individu dalam persekutuan itu merasa dirinya

hanya sebagai suatu bagian saja dai lingkungan alam hidupnya, tidak ada

pembatasan antara dunia lahir dan dunia ghaib, serta tidak ada pemisah

anatara berbagai macam lingkungan hidup.menurut keoercayaan

Page 41: Ringkasan Hukum Adat

tradisional Indonesia, setiap masyarakat diliputi oleh kekuatan ghaib yang

harus dipelihara agar supaya masyarakat itu tetap bahagia.

b. KEMASYARAKATAN

Hidu bersama didalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak

kemasyarakatan. Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat

kepada masyarakat tidak sama sekali bebas dalam perbuatannya, ia

terutama menurut paham tradisional hukum adat adalah warga golongan.

c. DEMOKRATIS

Suasana demokratis didalam masyarakat kesatuan hukum ini selaras

dengan sifat kommunal dan gotong royong dari pada kehidupan masyarakat

Indonesia dimana kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada hak-

hak dan kepentingan-kepentingan perseorangan.

8. perubahan-perubahan dalam suasana desa.

Tata susunan serta suasana masyrakat desa pada masa lampau yang

berdasarkan adat istiadat kemudian mengalami perubahan karena beberapa

pengaruh administrasi kerajaan dibeberapa daerah, kemudian brhubungan

dengan campur tangannya administrasi pemerintah colonial Belanda, dan

akhirnya sehubungan dengan proses modernisasi pemerintahhan negara

Republik Indonesia sejak kemerdekaan hingga kini dan akan terus berubah

sebagaimana dengan perkembangan kehidupan ketata negaraan negara kita

dewasa ini.

9. penggolongan rakyat

Penggolongan rakyat yang kita warisi dari zaman hindia belanda itu pernah

diatur dan terpampang dalam konstintusi nasonal yaitu dalam ketentuan

pasal 25 UUDS 1950, di mana pasal dimaksud menerima adanya

penggolongn rakyat sebagaimana suatu fakta sejarah, dengan tambahan

ketentuan sebagai beriku :

“ penggolongan itu tidak akan merugikan bagi mereka yang masuk

kedalam golongan manapun. Dengn kata lain golongan itu seharkat-

sederajat atau sama nilai didalam pandangan hukum”.

Menurut ketentuan pasal 163 I.S di dalam masyarakat hukum Indonesia

terdapat 3 golongan rakyat yaitu:

Page 42: Ringkasan Hukum Adat

a. Golongan Eropa

b. Golongan TIMUR ASING

c. Golongan bumi putera

Page 43: Ringkasan Hukum Adat

BAB VII

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN

(VERWANTSCHAPS RECHT)

HUKUM ADAT KEKELUARGAAN ini oleh Prof. Dr. BAREND TER

HAAR, BZn. (1991:114)disebut sebagai HUKUM

KESANAKSAUDARAAN (VERWANTSCHAPS RECHT)dan

DJAREN SARAGIH, S.H. (1984:113) menamakannya sebagai HUKUM

KELUARGA (HUKUM KESAAKSAUDARAAN), sedangkan Prof. H.

HILMAN HADIKUSUMA, S.H. (1992:201) menyebut sebagai

HUKUM ADAT KEKERABATAN.

Pada dasarnya HUKUM ADAT KEKELUARGAAN atau

HUKUM ADAT KEKERABATAN, adalah:

‘’ Hukum Adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan

pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (Keluarga),

kedudukan anak terhadap orang tua dan sebaliknya,

kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan

masalah perwalian anak’’.

Dalam suasana Hukum dat Indonesia, perbedaan dalam hubungan-

hubungan yang ditimbulkan adalah merupakan akibat dari hubungan

hukum yang disebut dengan PERKAWINAN dan hubunga-hubungan

HUKUM KESANAK SAUDARAAN.

Di dalam masalah HUKUM ADAT KEKELUARGAAN atau

HUKUM ADAT KEKETABATAN akan dibahas secara singkat tetapi

gamblang mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. KEDUDUKAN PRIBADI

Sesungguhnya manusia secara pribadi dilahirkan ke dunia

mempunyai nilai-nilan yang sama seperti Nilai Hidup, Kemerdekaan,

Kesejahteraan, Kehormatan, dan Kebendaan. Tetapi kehidupan

masyarakat, adat budaya serta pengaruh Agama yang dianut oleh manusia

menyebabkan penilaiannya menjadi tidak sama.

Dengan adanya perbedaan pribadi seseorang di dalam kehidupan

masyarakat, maka berbeda pula hak-hak dan kewajiban serta kewenangnya

dalam kemasyarakatan hukum adatnya.

Page 44: Ringkasan Hukum Adat

2. KETURUNAN (PERTALIAN DARAH)

SOEREJO WIGNJODIPOERO, S.H, (1990:108) menyebutkan

sebagai berikut:

‘’Keturunan (kewangsaan; Prof. DJOJODIGOENO, S.H.) adalah

KETUNGGALAN LELUHUR artinya ada perhubungan darah orang yang

seorang dengan orang yang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai

hubungan darah.

Jadi yang TUNGGAL LELUHUR adalah keturunan yang seorang

dari orang lain’’.

Terdapat suatu pandangan yang sama terhadap ,asalah

KETURUNAN ini di seluruh daerah Indoneia yaitu:

‘’Bawasannya KETURUNAN adalah merupakan unsur essensiel serta

mutlak bagi sesuatu CLAN (SUKU) atau KERABAT yang

menginginkan dirinya tidak punah, ang menghendaki supaya ada

generasi penerusnya.

Oleh karena itu, maka apabiala ada sesuatu Clan atau Suku ataupun

Kerabat merasa khawatir akan menghadapi kenyataan tidak memiliki

keturunan, Clan atau Suku ataupun Kerabat ini pada umumnya akan

melakukan Pemungutan Anak (ADOPSI) untuk menghindari

kepunahannya, atau bahkan berdasarkan persetujuan isterinya

soerang suami akan diizikan menikah lagi untuk mendapatkan

ketrunannya’’.

SIFAT DAN KEDUDUKAN KETURUNAN

a. LURUS

Apabila orang yang satu itu merupakan langsung dari keturunan yang lain

.

b. MENYIMPANG atau BERCABANG

Apabila antara kedua orang atau lebuh dianggap terdapat adanya

KETUNGGALAN LELUHUR.

3. Hubungan ANAK dengan ORANGTUA-nya

ANAK KANDUNG memiliki kedudukan yang terpenting

didalam setiap SOMAH (GEZIN) Masyarakat adat. ANAK itu dilihat

sebagai generasi penerus, ANAK itu juga dipandang sebagai WADAH

(TEMPAT TUMPUAN) dimana semua harapan orang tuanya di kelak

Page 45: Ringkasan Hukum Adat

kemudian hari wajib ditumpahkan, dan ANAK itu juga dipandang sebagai

pelindung orang tuanya kelak kalau orang tua itu sudah tidak mampu lagi

secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.

Namun, sayang ternyata dalam kenyataannya dimasyarakat kita

banyak terjadi kejadian dimana kelahiran seorang anak tidak normal atau

tidak sa, diantaranya adalah:

a. ANAK lahir di luar perkawinan.

b. ANAK lahir karena hubugan ZINAH.

c. ANAK lahir setelah perceraian.

4. AKIBAT ANG TIMBUL DARI HUBUNGAN ANTARA ANAK

DAN ORANG TUA

Hubungan antara Anak dan Orang Tua menimbulkan akibat-akibat

hukum tertentu antara lain:

a. Adanya larangan perkawinan antara Orang Tua dan Anak.

b. Adanya kewajiban saling memeliharaantara Orang Tua dan

Anak (hak alimentasi).

c. Pada dasarnya setiap anak mempunyai hak waris terhadap orang

tuannya.

Di dalam Hukum Adat hubungan hukum antara anak dengan orang

tuangya khususnya dengan Ayanhnya dapat diputuskan dengan hubungan

hukum tertentu , misalnya Anak tersebut dibuang oleh Bapaknya.

5. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELUARGA

Pada umumnya hubungan anak dengan keluaga ini sangat

tergantung dari keadaan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.

6. ANAK TIRI

ANAK TIRI adalah anak kandung bawaan Isteri Janda atau

bawaan dari Suami Duda yang mengikat tali perkawinan.

7. MEMELIHARA ANAK YATIM (PIATU)

Apabila di dalam suatu keluarga salah satu dari keluarganya baik

Bapak atau Ibunya tidak ada lagi, maka apabila masih ada anak-anak yang

belum dewasa dalam susunan keluarga BAPAK-IBU (PARENTAL), maka

orang tua yang mash hiduplan yang memelihara anak-anak tersebut lebih

Page 46: Ringkasan Hukum Adat

lanjut. Dan jika kedua-duanya tidak ada lagi maka yang memelihara anak-

anak yang ditinggalkan adalah salah satu dari ke;uarga pihak BAPAK atau

pihak IBU yang terdekat.

8. MENGANKAT ANAK (ADOPSI)

Jika dari suatu perkawinan tidak didapatkan keturunan yang akan

menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat maka keluarga tersebut

dianggap PUTUS KETURUNAN. Apabila dari seorang isteri tidak

terdapat keturunan maka para anggota kerabat dapat mendesak agar si

suami mencari wanita lain atau mengangkat anak kemenakan dari anggota

kerabat untuk menjadi penerus kehidupan keluarga bersangkutan.

Menurut SOEROJO WIMGJODIPOERO, S.H., mengangkat

anak adalah sebagai berikut:

‘’Mengangkat anak atau ADOPSI (KIDS AANEMING) adalah suatu

perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam lingkungan

keluarga sendiri demikian rupa sehingga hubungan antara orang yang

mengambil anak dengan anak yang diambil timbul suatu hubungan

hukum kekeluargaan yang sama seperti hubungan yang ada diantara

orang tua dengan anak kandungnya sendiri’’.

Sedangkan menurut Prof. H. HILMAN HADIKUSUMA, S.H.,

(1995:149) menyebutkan sebagai berikut:

‘’Angkat anak adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh

orang tua anggkat dengan resmi menurut hukum adat setempat

dikarenakan tujuannya untuk melangsungan keturunan dan atua

pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga’’.

Page 47: Ringkasan Hukum Adat

BAB VIII

HUKUM ADAT PERKAWINAN

1. Ruang lingkup Hukum Adat PERKAWINAN

Manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik dan beradab

tanpa adanya suatu proses atau lembaga yang disebut PERKAWINAN

karena dengan melalui PERKAWINAN menyebabkan adanya keturunan

yang baik dan, dan KETURUNAN yang baik dan sah itu kemudian dapat

menimbulkan tercipta suatu KELUARGA yang baikm dan sah pula

kemudian berkembang mejadi KERABAT dan MASYARAKAT yang

baik dan sah pula. Dengan demikian maka ‘’PERKAWINAN merupakan

unsur tali temali yang meneruskan kehidupan manusia dan

masyarakat yang baik secara sah’’.

Sehubungan dengan pernyataan di atas Prof. Dr. SPEKANTO,

S.H., (1985:100-101) menegaskan bahwa:

‘’Perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa yangmengenai mereka

yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki yang menikah) saja,

akan tetapi juga bagi orang tuannya, saudara-saudara dan

keluarganya’’.

Sedangkan menurut Prof. Dr. R. VAN DIJK adalah sebagai

berikut:

‘’Perkawinan menurut hukum adat sangat bersangkutan dengan

urusan familie, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi. Hal ini

berbeda dengan perkawinan sepertai pada masyarakat Barat (Eropa)

yang modern bahwa perkawinan hanya merupakan urusan mereka

yang kawin itu saja’’.

Adat perkawinan telah mengalami perkembangan dan pergeseran

nilai, banhkan sering terjadi Perkawinan Campuran antar suku bangsa,

antar adat, antar orang-orang yang berbeda agama, bahkan perkawinan

antar bangsa.

Fungsi PERKAWINAN

Di kalangan masyarakat adat yang masih kuat mempertahankan

prinsip kekerabatan bedasarkan keturunan maka:

‘’Fungsi perkawinan adalah merupakan suatu nilai hidup untuk dapat

meneruskan keturunan, mempertahankan silsilah dan kedudukan

Page 48: Ringkasan Hukum Adat

keluarga yang bersangkutan. Disamping itu ada kalanya suatu

perkawinan merupakan suatu saran untuk memperbaiki hubungan

kekerabatan yang telah jauh atau retak, ia merupakan suatu sarana

pendekatan atau perdamaian antar kerabat dan begitu pula dengan

perkawinan itu bersangkut paut dengan masalah kedudukan, harta

kekayaan dan masalah pewarisan’’.

Guna mengatur tata tertib di kalangan Masyarakat Adat terdapat

kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-

undangan yang pada masing-masing lingkungan masyarakat masyarakat

adat terdapat beberapa perbedaan prinsip dan asas-asas perkawinan yang

berlaku.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur secara nasional

mengenai perkawinan-perkawinan bagi setiap warga negara Indonesia, dan

menurut sistematikanya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tersebut

terdiri dari 14 bab dan 47 pasal yang mengatur mengenai:

a. Dasar-dasar perkawinan

b. Syarat-syarat perkawinan

c. Pencegahan perkawinan

d. Batalnya perkawinan

e. Perjanjian perkawinan

f. Hak dan kewajiban suami isteri

g. Harta benda dalam perkawinan

h. Putusnya perkawinan serta akibatnya

i. Kedudukan anak

j. Perwalian

k. Ketentuan lain

l. Ketentuan peraliahan dan ketentuan penutup

Prof. Dr. HAZAIRIN,S.H., (dalam buku “tinjauan mengenai undang-

undang perkawinan”) sebagai berikut.

“Bahwa hukum adat yang terhapus dibidang perkawinan itu dapat

mengubah coraknya dengan menjadi upacara-upacara kebudayaan di

bidang kesenian dan kesusilaan, terserahlah kepada selera dan

kebijaksanaan masyarakat setempat, akan tetapi di bidang hukum negara

RI (hukum adat) sedemikian itu tidak ada lagi fungsinya berdasarkan

Page 49: Ringkasan Hukum Adat

prinsip dalam aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 bahwa undang-undang

berhak mengubah atau menghapuskan hukum adat”.

Akan tetapi pendapat Prof. Dr. HAZAIRIN, S.H., disanggah oleh

Prof. HILMAN HADIKUSUMA, S.H., (1995;26) yang menyebutkan:

“Oleh karena apabila kita dengan begitu saja lalu beranggapan

bahwa hukum adat yang terhapus oleh perundang-undangan di bidang

perkawinan dapat mengubah coraknya menjadi upacara-upacara

kebudayaan dibidang kesenian dan kesusilaan, maka seolah-olah kita

berpendapat bahwa Hukum Adat itu dapat saja diubah dan dihapus begitu

saja oleh perundang-undangan.

Kami berpendapat, bahwa hukum adat itu mengikuti masyarakatnya,

selama masyarakat tetap mempertahankan sesuatu perbuatan adat sebagai

suatu keharusan maka perbuatan itu adalah perbuatan hukum bukan hanya

perbuatan kesenian maupun perbuatan kesusilaan semata. Kemungkinan

sesuatuhukum adat itu dapat dihapus oleh hukum perundang-undangan

apabila masyarakat adat yang bersangkutan tidak lagi mempertahankannya.

Jadi tergantung pada kesadaran hukum adat pada masyarakat yang

bersangkutan”.

2. Arti Perkawinan

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang amat penting dalam

perikehidupan masyarakat kita, sebab masalah perkawinan itu

tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja

tetapi juga kedua bela pihak dari orang tua, saudara-saudaranya

bahkan keluarga mereka masing-masing.

Menurut Prof. Dr. BAREND TER HAAR, B.Zn. (1991;159)

disebutkan :

“ petkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang

menyebabkan terus berlangsungnya golangan denga tertibnya dan

merupakan suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan

baru yang meneruskan golongan itu tersebut”.

Sedangkan menurut DJAREN SARAGIH, S.H., (1992:1)

dinyatakan sebagai berikut.

“Hukum perkawinan adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang

menentukan prosedur yang harus di tempuh oleh dua orang yang

Page 50: Ringkasan Hukum Adat

bertalian kelamin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam

suatu rumah tangga dengan tujuan untuk meneruskan keturunan”.

Prof. HILMAN HADIKUSUMA, S.H., (1992:182) kemudian

menyebutkan pula bahwa :

“ Hukum adat perkawinan adalah peraturan-peraturan hukum adat

yang mengatur tenang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara

pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di

Indonesia”.

Masalah perkawinan ini mempunyai arti yang sangat demikian

pentingnya, maka dalam pelaksanaaannya pun senantiasa dimulai

dari dan seterusnya disertai dengan berbagai upacara-upacara ritual

yang lengkap denagn sesajen-sesajen, doa-doa serta jampi-jampi.

Prof. Dr. HAZAIRIN, S.H., dalam bukunya yang berjudul

“REDJANG”, mengemukakan sebagai berikut.

“Bahwa peristiwa perkawinan itu adalah sebagai tiga buah

rentetan-rentetan perbuatan magis yang bertujuan untuk

menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan”.

3. Pertunangan

Pertunangan adalah merupakan suatu stadium atau suatu keadaan

yang bersifat khusus di Indonesia yang biasanya mendahului atau

mengawali proses dilangsungkannya suatu perkawinan.

Pertunangan baru mengikat apabila dari pihak laki-laki sudah

memberikan kepada pihak perempuan suatu tanda pengikat yang

kelihatan yang desibut PANJER atau PANINGSET. Tanda

pengikat dimaksud diberikan kepada kepada pihak perempuan atau

kepada orang tua pihak perempuan atau kepada bakal perempuan

sendiri.

Prof. H. HILMAN ADIKUSUMA, S.H., (1993:40-41)

menyatakan bahwa:

Alasan pertunangan tidak dapat diteruskan ke jenjang perkawinan

antara lain dikarenakan:

a. Terjadi perselisihan diantara orang tua, anggota keluarga, atau

pria dan wanita yang bertunangan.

Page 51: Ringkasan Hukum Adat

b. Terjadinya kawin lari, baik dilakukan oleh pria atau wanita

yang bersangkutan atau wanita yang sedang bertunangan

tersebut dibawa lari oleh pria lain selama masih dalam masih

dalam ikatan pertunangan.

c. Salah satu pihak tidak mau melanjutkan pertunangannya

dikarenakan pria atau wanita yang akan dikawin tersebut

mempunyai cacat(tubuh).

4. PERKAWINAN DALA PELBAGAI SIFAT

KEKELUARGAAN

BENTUK BENTUK PERKAWINAN sebagai berikut :

a. Perkawinan dalam susunan kekeluargaan PATRILINEAL

Dinamakan perkawina jujur. Corak utama dari perkawinan

adalah perkawinan dngan jujur.

Pada PERKAWINAN JUJUR ini pihak keluarga pengantin

laki-laki harus memberikan atau menyerahkan (membayar)

sesuatu yang disebut JUJUR kepada pihak keluarga pengantin

perempuan dengan tujuan untuk melepas atau memutuskan

hubungan kekeluargaan pengantin perempuan dari hubunga

kekeluargaan dengan Orang Tuannya, Nenek Moyangnya,

Kerabatnya serta Persekutuannya. Dan setelah perkawinan si

isteri masuk sama sekali kedalam lingkungan keluarga

suaminya termasuk juga anak-anak dan keturunannya.

Dengan demikian si isteri disini berubah statusnya dari

anggota clan-nya sendiri selagi gadis menjadi anggota clan

suaminya.

b. Perkawinan dalam susunan kekeluargaan MATRILINEAL

Perkawinan didalam susunan kekeluargaan MATRILINEAL

ini dikenal denga sebutan PERKAWINAN SEMENDO, yaitu

bentuk perkawinan yang bertujuan secara konsekuen

melanjutkan atau mempertahankan garis keturunan dari pihak

ibu.dikatakan SEMENDO artinya, adalah bahwa pihak laki-

laki dari luar yang didatangkan tempat perempuan.”Ia adalah

orang luar”.

Page 52: Ringkasan Hukum Adat

Macam – macam perkawinan SEMENDO

1) Menurut Prof. H. Hilman hadikusuma, S.H., (1995:83

dan seterusnya):

a) SEMENDA RAJA-RAJA, dikarenakan keseimbangan

martabat kedudukan antara dua kerabat yang

bersangkutan, adakalanya dikarenakan si pria maupun

si wanita mengingini rumah tangga yang berdiri

sendiri atau karena suami tidak dapat melepaskan

kedudukannya sebagai waris dari orang tuanya dan

begitu pula dengan isterinya.

b) SEMANDA LEPAS, dalam arti setelah terjadi

perkawinan maka suami melepaskan hak dan

kedudukannya dipihak kerabatnaya dan masuk

kedalam kekerabatan isteri.

c) SEMENDA NUNGGU, adalah bentuk perkawinan

SEMENDA yang sifatnya sementara dimana setelah

perkawinan suami bertempat keddukan di pihak

kerabat isteri dengan ketentuan menunggu sampai

tugas pertanggungjawabannya terhadap keluarga

mertua selesai diurusnya.

d) SEMANDA ANAK DAGANG, adalah bentuk

perkawinan SEMENDA yang didaerah REJANG

tergolong dalam bentuk SEMENDA yang TIDAK

BERADAT.

e) SEMENDA NGANGKIT, berlakunya perkawinan ini

biasanya dikalangan masyarakat adat yang menganut

adat penguasaan atas harta kekayaan dipegang oleh

anak wanita.

2) Djaren Saragih, S. H., (1984:126-129)

Menyatakan bahwa kawin SEMENDO adalah bentuk

perkawinan yang bertujuan untuk secara konsekuen

melanjutkan garis keturunan dari pihak ibu, dilihat dari

jenisnya terdapat beberapa macam:

a) KAWIN SEMENDO sebagai keharusan,hal ini

diberlakukan didalam kehidupan masyarakat yang

bersifat keIbu-an.

Page 53: Ringkasan Hukum Adat

b) KAWIN SEMENDO sebagai penyimpangan,

merupakan penyimpangan pada masyarakat

PATRILINEAL yang pada dasarnya bahwa

masyarakat PATRILINEAL harus menjalankan

PERKAWINAN JUJUR akan tetapi hal ini

dimungkinkan karena didalam suatu masyarakat

PATRILINEAL terdapat keluarga yang tidak

mempunyai anak laki-laki.

c. PERKAWINAN dalam susunan KEKELUARGAAN

PARENTAL

Oleh Prof. H. HILMAN HADIKUSUMA. S.H., dinamakan

perkawinan bebas.

5. PERKAWINAN TANPA LAMARAN DAN TANPA

PERTUNANGAN

Di kenal dengan sebutan KAWIN LARI dimana corak

perkawinan yang demikian ini ditemukan kebanyakan dalam

persekutua yang bersifat PATRILINEAL walaupun dalam bentuk

persekutuan lain dalam praktenya ada juga.

Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk dari suatu

perkawinan melainkan merupakan SISTEM PELAMARAN oleh

karena dalam kejadian perkawinan lari ini dapat berlaku bentuk

atau dapat dilanjutkan baik ke bentuk PERKAWINAN JUJUR,

PERKAWINAN SAMENDO, atau bahkan kedalam bentuk

PERKAWINAN BEBAS maupun PERKAWINAN MENTAS,

tergantung pada keadaan dan perundingan kedua belah pihak.

6. PERKAWINAN ANAK-ANAK

PERKAWINAN ANAK-ANAK ini baru dilaksanakan

apabila anak telah mencapai umur yang pantas yaitu 15 atau 16

tahun bagi perempuan dan 18 atau 19 tahun bagi laki-laki. Apabila

terjadi perkawinan dimana anak perempuan kurang dari 15 tahun

dan pria kurang dari 18 tahun maka setelah menikah, hidup

bersama antara mereka keduanya ditangguhkan sampai mencapai

Page 54: Ringkasan Hukum Adat

usia yang telah ditentukan. Perkawinan semacam ini dinamakan

KAWIN GANTUNG atau GANTUNG NIKAH-JAWA.

Alasan melaksanakan gantung nikah adalah untuk segera

merealisasikan ikatan hubunga kekeluargaan antara kerabat

mempelai laki-laki dengan kerabat mempelai perempuan yang

memang diinginkan oleh mereka.

7. KAWIN BERMADU

Hampir disemua lingkungan masyarakat ada terdapat

PERKAWINAN BERMADU dimana seorang suami didala suatu

masa mempunyai beberapa isteri.

8. PERKAWINAN CAMPURAN

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran menurut

Prof. H. Hilman Kusuma, S.H (1995:96):

“Adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang

berbeda keanggotaan masyarakat hukum adatnya, misalnya

terjadi perkawinan antara pria dari masyarakat adat Lampung

beradat perpaduan dan wanita dari masyarakat adat peminngin

atau perkawinan antara pria dari masyarakat adat adat Batak

dengan wanita adat Jawa, atau juga terjadi perkawinan antara

orang Jawa dengan orang Cina Warga Negara Indonesia, dan

sebagainya”.

Jadi PERKAWINAN CAMPUARAN menurut hukum

adat berbeda dari perkawinan menurut ketentuan UU Nomor 1

Tahun 1974 sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pasal 57

yang berbunyi sebagai berikut.

“ Yang dimaksud perkawinan campuran dalam UU ini adalah

perkawinan dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang

berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu

pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Selanjutnya menurut ketentuan pasal 58 Undang-undang

nomor 1 tahun 1974 dinyatakan:

‘’bahwa perkawinan campuran dapat berakibat memperoleh atau

kehilangan kewarganegaraan’’.

Page 55: Ringkasan Hukum Adat

Dalam hal ini hampir sama dengan kaidah Hukum Adat di

mana perkawinan campuran antara warga adat dan bukan warga

adat dapat berakibat meemperoleh atau kehilangan kewargaan adat

yang bersangkutan.

9. Sistem PERKAWINAN

Kita mengenal adanya 3 macam SISTEM PERKAWINAN

yaitu:

a. SISTEM ENDOGAMIE

Seorang hanya boleh kawin dengan seorang dari suatu

suku keluarganya sendiri (satu Clan).

b. SISTEM EKSOGAMIE

Dalam sistem ini seorang diharuskan kawin dengan

seorang di luar suku keluarganya (keluarga Clan).

c. SISTEM ELEUTHEROGAMIE

Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau

keharusan-keharusan seperti halnya dalam SISTEM

ENDOGAME dan SISTEM EKSOGAMIE. Larangan-

larangannya yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan-

larangan yang bertalian dengan ikatan kekluargaan.

Page 56: Ringkasan Hukum Adat

10. Pengaruh Agama ISLAM dan Agama KRISTEN dalam

PERKAWINAN ADAT

Pengaruh agama-agama yang ada terhadap perkawinan-

pun ternyata sangat berpengaruh sehingga dapat digambarkan

sebagai berikut:

a. Bagi yang beragama ISLAM, Nikah itu menjadi suatu bagian

dari Acara Perkawinan Adat keseluruhannya.

b. Bagi yang beragama KRISTEN hanya unsur-unsur dalam

perkawinan adat yang betul-betulsecara positif dapat

digabungkan dengan agama KRISTEN saja yang masih dapat

diturut.

Perkawinan merupakan juga hal yang amat penting, baik

bagi yang bersangkutan yaitu suami-isteri maupun bagi

masyarakan pada umumnya yaitu merupakan penentuan mulai

saat manakah dapat dan harus dikatakan bahwa ada suatu

perkawinan sealku kejadian hukum dengan segala akibat-

akibat hukumnya.

11. UPACARA-UPACARA PERKAWINAN ADAT

Upacara-upacara adat ini berakar pada adat istiadat serta

kepercayaan yang sejak dahulu sebelum masuknya agama ISLAM

ke Indonesia

a. Perkawinan di daerah PASUNDAN

Setelah pembicaraan yang pertama kali (NEUNDEUN

OMONG) kemudian dilaksanakan upacara pemberian

PANYANGCANG dari pihak laki-laki kepada pihak

perempuan dan biasanya juga dalam upacara tersebut

ditetapkan hari dan waktu pernikahan yang akan dilaksanakan

kemudian.

Pertunangan baru mengikat apa bila pihak laki-laki sudah

memberikan TANDA PENGIKAT yang kelihatan yang

dinamakan PANJER atau PANINGSET-Jawa.

b. Perkawinan di JAWA TENGAH

Pada dasarnya tidak terlalu berberda dengan Upacara

sebagaimana yang biasa di lakukan di daerah PASUNDAN

hanya mungkin istilah dan pelaksanaannya saja yang berbeda.

Page 57: Ringkasan Hukum Adat

12. Larangan PERKAWINAN

Segala sesuatu yang dapat menjadi sebab perkawinan tidak

dapat dilakukan atau jika dilakukan maka keseimbangan

masyarakat menjadi terganggu, hal ini disebut LARANGAN

PERKAWINAN.

a. Larangan Menurut HUKUM ADAT

1) Karena HUBUNGAN KEKERABATAN

2) Karena perbadaan KEDUDUKAN

b. Larangan HUKUM AGAMA

1) Karena Pertalian Darah

2) Karena Pertalian Perkawinan

3) Karena Perlainan Sepersusuan

13. PERCERAIAN

a. Pengertian

Percaraian menurut Hukum Adat adalah merupakan

peristiwa yang luar biasa, merupakan problem sosial dan

yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah di Indonesia.

Putusnya Perkawinan dikarenakan PERCERAIAN baik

menurut Hukum Adat maupun Hukum Agama adalah

perbuatan tercela.

Menurut pasal 39 Undang-ndang Nomor 1 Tahun 1974

mengatakan:

‘’Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan

setelah pengadiian yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah piha,dan untuk melakukan

perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami-isteri

tidak dapat hidup rukun’’.

b. Sebab-sebab PERCERAIAN

1) PERZINAHAN

2) Kemandulan Isteri

3) Suami meninggalkan isteri sangat lama

4) Isteri belaku tidak sopan

5) Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak atau

adanya persetujuan suami-isteri untuk bercerai

6) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun

lebih

Page 58: Ringkasan Hukum Adat

c. Perceraian menurut AGAMA ISLAM

Nikah menurut ISLAM adalh sudah menjelma menjadi suatu

bagian dari keseluruhan acara dan upacara YANG AKRAB

masih nampak adanya pengaruh Hukum Adat lama terutama

dikalangan masyarakat PARTILINEAL dan MARTILINEAL

juga barangkali masyarakan yang bersifat BILATERAL atau

juga yang ALTERNEREND.

Page 59: Ringkasan Hukum Adat

BAB XIII

HUKUM ADAT DELIK

Hukum Adat Delik (ADATRECH DELICTEN) atau Hukum

Pidana Adat atau Hukum Pelanggaran Adat ialah aturan-aturan hukum adat

yang mengatur peristiwa atau perbuatan kesalahan yang berakibat

terganggunya keseimbangan masyarakat sehingga perlu diselesaikan

(dihukum) agar kesesimbangan masyarakat tidak terganggu.

1. Pengertian dan unsur-unsur HUKUM ADAT DELIK

a. Pengertian DELIK ADAT

Prof. Dr. Mr.Cornellis Van Vollenhoven

‘’Yang dimaksud dengan DELI ADAT adalah perbuatan yang

tdak boleh dilakukan, walaupun pada kenyataannya peristiwa atau

perbuatan itu hanya sumbang (kesalahan) kecil saja’’.

Prof. Dr. Mr. Barend Ter Haar. B.Zn

‘’Delik (pelanggaran) itu juga adalah setiap gangguan dari suatu

pihak terhadap keseimbangan dimana setiap pelanggaran itu dari

suatu pihak atau sokelompok orang berwujud atau tidak berwujud

berakibat menimbulkan reaksi (yang besar kecilnya menurut

ketentuan adat) suatu reaksi adat, dikarenakan adanya reaksi adat

itu maka keseimbangan harus dapat dipulihan kembali (dengan

pembayaran uang atau barang).

Prof. Bus. Har Muhamad, S.H.

‘’Delik adat adalah suatu perbuatan sepihak darisesorang atau

kumpulan perseorangan ,engancam atau menyinggung atau

mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat

material atau immaterial terhadap orang seorang atau

masyarakatberupa kesatuan’’.

Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H.

‘’Yang dimaksud dengan delik adat adalah peristiwa atau

perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat dan

dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan

itu harus dipulihkan kembali’’.

Page 60: Ringkasan Hukum Adat

Prof. I Made Widnyana, S.H.

‘’Yang dimaksud dengan DELIK ADAT adalah hukum yang

hidup (LIVING LAW) yang diikuti dan ditaati oleh masyarakat

adat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi

berikutnya’’.

LESQUILLIER

‘’Pada dasarnya suatu DAT DELIK itu merupakan suatu tindakan

atau perbuatan atau peristiwa yang melanggar perasaan keadilan

dan kepatutan yang hidup di dalam masyarakat sehingga

menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan

masyarakat yang bersangkutan’’.

b. Unsur-unsur DELIK ADAT (HUKUM PIDANA ADAT)

1) Ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok

atau pengurus (Pimpinan/Pejabat) Adat sendiri.

2) Perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat.

3) Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan

karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat.

4) Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa

sanksi adat.

c. Sifat HUKUM ADAT DELIK (HUKUM PIDANA ADAT)

Hukum Adat tidak mengadakna pemisahan antara pelanggaran

hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum

di dalam lapangan hukum pidana dan lapangan hukum perdata,

oleh karena maka Sistem Hukm Adat hanya mengenal suatu

prosedur dalam hal penuntutan yaitu baik untuk penuntutan secara

perdata maupun penuntutan secara pidana (kriminal).

Berbicara mengenai Sifat Hukum Adat Delik ini penulis

akan mengentengkan beberapa pendapat para pakar yaitu

diantaranya:

Prof. I Made Widnyana, S.H.

Di dalam bukunya berjudul KAPITA SELEKTA HUKUM

PIDANA ADAT (1993:3-4) menyebutkan sebagai berikut.

Hukum Pidana Adat mempunyai sifat sebagai berikut.

1) Menyeluruh dan menyatukan

2) Ketentuan yang terbuka

Page 61: Ringkasan Hukum Adat

3) Membeda-bedakan permasalahan

4) Peradilan dengan pemerintahan

5) Tindakan reaksi atau koreksi

Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H.

Di dalam bukunya PENGANTAR ILMU HUKUM ADAT

(1992:231-237) menyatakan sebagai berikut.

Aturan-aturan hukum mengenai pelanggaran ada

pada umumnya bersifat

1) Tradisional Magis Relegius

Artinya perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan perbuatan

mana yang mengganggu masyarakat itu bersufat turun

temurun dan dikaitan dengan keagamaan.

2) Menyeluruh dan menyatukan

Artinya sebagaimana telah ditegaskan oleh Soerojo

Wignjodipoero, S.H., bahwa ‘’Hukum Adat Delik tidak

memisahkan antara delik yang bersifat pidana atau delik yang

bersifat perdata begitu pula tidak dibedakan antara kejahatan

sebagai delik dan pelanggaran sebagai delik undang-undang’’.

3) Tidak PRAE EXISTENCE

Artinya tidak seperti Hukum Pidana Barat sebagaimana

dinyatakan dalam Ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP (Stb

1915-732) yang menganut ADAGIUM dari

MONTESQUIEU dan PAUL ANSELM VON

FEUERBACH (1775-1883).

4) Tidak menyamaratakan

Apabila terjadi Delik Adat maka yang terutama diperhatikan

adalah reakasi atau koreksidan terganggunya keseimbangan

masyarakat serta siapa pelaku perbuatan delik itu dan apa latar

belakangnya.

5) Terbuka dan lentur

Aturan Hukum Adat Delik bersifat terbuka dan lentur

(flexsible) terhadap unsur-unsur yang baru yang berubahbaik

yang datang dari luar maupun karena perubahan dan

perkembangan masyarakat dan lingkungannya.

Page 62: Ringkasan Hukum Adat

6) Terjadinya DELIK ADAT

Tejadi atau lahirnya delik adat tidak berbeda dengan lahirnya

peraturan-peraturan yang tidak tertulis. Suatu peraturan

mengenai tingkah laku manusia pada suatu waktu mendapat

sifat hukum apabila pada suatu ketika Petugas Hukum yang

bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang

melanggar peraturan itu atau suatu ketika Petugas Huku yang

bersangkutan bertindak untuk mencegah pelanggaran itu.

7) DELIK ADUAN

Apabila terjadi Delik Adat yang akibatnya mengganggu

keseimbangan keluarga maka untuk menyelesaikannya

tuntutan atau gugatan dari pihak yang bersangkutan harus ada

pengaduan, harus ada pemberitahuan dan permintaan untuk

diselesaikan kepada Kepala Adat.

8) REAKSI dan KOREKSI

Tujuan adanya tindakan reaksi dan koreksi terhadap peristiwa

atau perbuatan delik adalah untuk dapat memulihkan kembali

keseimbangan masyarakat yang terganggu.

9) PERTANGGUNG JAWABAN KESALAHAN

Apabila terjadi peristiwa atau perbuatan delik, menurut

Hukum Pidana Barat yang dipermasalahkan apabila perbuatan

itu terbukti kesalahannya dan dapat dihukum dan apakah

pelakunya dapat dipermasalahkan.

10) TEMPAT BERLAKUNYA HUKUM PIDANA ADAT

Tempat berlakunya Hukum Adat Delik tidak bersifan nasional

tetapi terbatas pada lingkungan masyarakat adat tertentu atau

bahkan pedesahan.

2. Beberapa macam DELIK ADAT

Di dalam buku VAN VOLLENHOVEN Jilid II dalaman 750 dst.

Yang kemudian diikuti oleh Prof. Dr. Mr. R. Seopomo, ada

beberapa jenis delik tertentu:

a. JENIS DELIK YANG PALING BERAT

Yaitu pelanggaran atas keseimbangan antara dunia lahir dan

dunia ghaib yang diantaranya adalah:

Page 63: Ringkasan Hukum Adat

1) Perbuatan PENGHINAAN

Contohnya memperkosa keselamatan masyarakat dalam arti

yang sebenarnya dan sekaligus dinilai sebagai perbuatan

menentang kehidupan bersama.

2) Membuka rahasia Masyarakat

Contohnya bersekongkol dengan golongan musuh termasuk

delik penghinaan atau delik yang sangat berat.

3) Perbuatan mengadakan PEMBAKARAN

Sehingga memusnahkan rumah-rumah adalah menentang

keselamatan masyarakat dan merusak keseimbangan tiada

tara.

4) Perbuatan menghina secara pribadi kepada Kepala Adat

Penghinaan terhadap Kepala Adat atau Kepala Suku atau Raja

dianggap melibatkan atau merusak keseimbangan masyarakat

oleh karena Kepala Adat atau Kepala Suku atau Raja adalah

simbol penjelmaan dari masyarakat itu sendiri.

5) Perbuatan SIHIR atau TENUNG

Di dalam Sistem Hukum Adat digolongkan dalam delik yang

berat karena merupakan perbuatan yang mencelakakan

seluruh masyarakat.

6) Perbuatan INCEST

Inipun termasuk delik yang paling berat dan hukumannya

hampir selalu hukuman mati. Dan yang paling ringan adalah

diasingkan dari masyarakat.

b. Jenis delik yang menentang Kepentingan Hukum Masyarakat

dan Famili yaitu berupa:

1) Hamil di luar Perkawinan

Bila tidak dilakukan bentuk perkawinan untuk menanggulangi

keadaan maka pada suku Bugis perempuan itu harus dibunuh

oleh keluarganya sendiri dan bila dia sempat melarikan diri ke

kediaman Raja atau Kepala Adat diusahakan supaya kawin

dengan orang-orang tertentu agar anak yang akan lahir berada

dalam status perkawinan.

Page 64: Ringkasan Hukum Adat

2) Melarikan seorang perempuan

Delik inipun dapat meimbulkan delik lain yaitu sebagai

akibat dilarikan seorang perempuan itu. Antara keluarga yang

saling berbunuhan.

3) Perbuatan ZINAH

Di dalam hal khusus bila tertangkap laki-laki yang

melakukan Zinah dapat segera dibunuh keluarga yang dihina.

c. Jenis Delik Adat yang umum terjadi

1) PEMBUNUHAN

Dapat diberikan reaksi adat yang seberat-beratnya kemudian

membayar denda berupa hewan besar sebagai PEMBASUH

DUDUN karena tanpa ini kutukan yang dialami masyarakat

akan terus terjadi berupa bala bencana pada masa yang akan

datang.

d. Jenis delik dianggap delik tapi pada suku lain dianggap biasa

1) Jual beli manusia (budak belian) dan pemenggalan kepala

Pada orang DAYAK hal ini tidak merupakan suatu delik tetapi

bagi orang BUGIS, MAKASAR dan SUMATERA

SELATAN, MINANGKABAU merupakan delik berat.

e. Jenis Delik terhadap Harta Benda

1) PENCURIAN

Pada umumnya di seluruh Nusantara menurut Hukum Adat

Tradisional orang yang mencuri dihukum membayar kembali

barang-barang atu nilai barang-barang yang dicurinya serta

membayar denda kepada orang yang dicuri barangnya.

Selain dari apa yang diuraikan VAN

VOLLENHOVEN tentang beberapa jenis delik tertentu,

maka penulis mencoba menguraikan mengenai beberapa

Delik Adat dari KITAB SIMBUR TJAHAJA dan KITAB

KUNTJARA RADJA NITI. Hal ini mencakup:

a. RINCIAN DELIK ADAT

1) Kesalahan mengganggu keamanann

2) Kesalahan mengganggu ketertiban

a) Kesalahan tata tertib masyarakat

Page 65: Ringkasan Hukum Adat

b) Kesalahan tata tertib pemerintah

3) Kesalahan kesopanan dan kesususilaan

4) Kesalahan dalam perjanjian

5) Kesalahan menyangkut tanah

6) Kesalahan menyangkut hewan, ternak dan perikanan

b. Contoh KAEDAH-KAEDAH KESALAHAN

1) Kesa;ahan mengganggu keamanan

2) Kesalahan mengganggun ketertiban

3) Kesalahan kesopanan dan kesusilaan

4) Kasalahan dalam perjanjian

5) Kesalahan menyangkut tanah

6) Kesalahan menyangkut hewan, ternak dan perikanan

7)

3. Cara penyelesaian DELIK ADAT

a. Penyelesaian antara pribadi, keluarga, tetangga

Jika terjadi suatu peristiwa atau perbuatan delik adat dikampung,

didusun, ditempat pekerjaan dan dilainnya maka untuk

memulihkan gangguan keseimbangan keluarga atau masyarakat

bersangkutan daselesaikan langsung ditempat kejadian antara

pribadi yang bersangkutan yang bersangkutan atau diselesaikan

dirumah keluarga salah satu pihak antara keluarga yang

bersangkutan ditempat pekerjaan oleh pihak yang bersangkutan

dan teman-teman sekerja atau antar tetangga dalam kesatuan

Rukun Tetangga dan sebagainya.

b. Penyelesaian keapala Kerabat atau kepala Adat

Adakalanya pertemuan yang diselenggarakan pribadi, keluarga

atau tetangga tersebut tidak mencapai kesepakatan atau karena

salah satu dan lain hal sehingga tidak berkelanjutan sehingga

perkaranya perlu dilanjutkan kepada Kepala Kerabat atau Kepala

Adat.

c. Penyelesaian Kepala Desa

Apabila penyelesaian delik adat dilakukan oleh Kepala Kerabat

atau Kepala Adat menyangkut perselisihan khusus dikalangan

masyarakat adat kekerabatan yang tidak termasuk kewenangan

Kepala Desa atau juga yang masih berlaku dikalangan masyarakat

yang susunannya dengan kelompok-kelompok suku-suku maka

Page 66: Ringkasan Hukum Adat

penyelesaian delik adat dari masyarakat yang bersifat ketentangan

atau pendudukunya campuran dilaksanakan oleh Kepala Desa.

d. Penyelesaian Keorganisasian

Di kota-kota kecil atau di kota-kota besar didaerah-daerah dimana

penduduknya heterogen serta terdapat berbagai perkumpulan atau

organisasi kemasyarakatan yang mempunyai susunan pengurus

dan keanggotaan seperti halnya perkumpulan-perkumpulan

kekeluargaan masyarakat adat di perantauan, perkumpulan

kepemudaan dan kewanitaan, perkumpulan keagamaan dan

lainnya.

4. HUKUM ADAT PERADILAN

Hukum adat peradilan adalah aturan-aturan hukum yang mengatur

tentang bagaimana cara berbuat untuk menyelesaikan suatu perkara

dan atau untuk menetapkan keputusan hukum suatu perkara menurut

hukum adat.

a. Luas lingkup PERADILAN ADAT

Istilah PERADILAN (RECHTSPRAAK) pada dasarnya berarti

pembicaraan tentang hukum dan keadilan yang dilakukan dengan

sistem persidangan (permusyawaratan) untuk menyelesaikan

perkara diluar pengadilan atau dimuka pengadilan.

Peradilan adat dapat dilaksanakan oleh anggota masyarakat secara

perorangan, oleh keluarga atau oleh tetangga, Kepala Kerabat atau

Kepala Adat (Hakim Adat), Kepala Desa (Hakim Desa) atau oleh

pengurus perkumpulan organisasi.

b. Penyelesaian perkara secara damai

Menyelesaikan perkara secara damai sudah merupakan budaya

hukum (adat) bangsa Indonesia yang Tradisional. Termasuk dalam

usaha penyelesaian perkara secara damai ini adalah yang dijamah

Hindia Belanda disebut PERADILAN DESA.

c. Penyelesaian perkara dimuka sidang

Dasar hukum perundang-undangan yang lama tentang pelaksanaan

peradilan adat dimuka pengadilan negara adalah ketentuan pasal

75 RR lama yang dinyatakan:

Page 67: Ringkasan Hukum Adat

‘’Bahwa apabila Gubernur Jendral tida memperlakukan

perundang-undangan Golongan Eropa bagi Golongan Bumi Putera

dan Golongan Bumi Putera tidak menyatakan dengan sukarela

untuk tunduk pada Hukum Perdata Eropa maka untuk Golongan

Bumi Putera Hakim harus memberlakukan hukum (perdata) adat

apabila hukum adat itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar

keadilan yang umum dipakai. Tetapi jika aturan hukum adat itu

bertentangan dengan dasar-dasar keadilan atau jika terhadap

perkara yang bersangkutan tidak ada aturan hukum adatnya maka

Hakim harus memakai dasar-dasar umum hukumperdata dan hkum

dagang Eropa sebagai pedoman’’.

d. Pertimbangan dalam pemeriksaan perkara

Fungsi hakim dalam memeriksa dan mempertimbangkan perkara

menurut hukum adat tidak dibatasi undang-undang.

Bagi hakim yang penting adalah memperhatikan apakah hukum

adat itu masih hidup dan dipertahankan masyarakat adat yang

bersangkutan dan apakah hukum adat itu masih patut untuk dipakai

sebagai bahan pertimbangan ataukah hukum adat itu sudah tidak

sesuai lagi dengan perasaan dan kesadaran hukum masyarakat

yang umum.

e. Penetapan keputusan

Setelah perkara diperiksa di Pengadilan Negara dengan

menggunakan Hukum Adat maka Hakim dapat mengambil

keputusan sebagai berikut:

1) Putusan menyamakan

2) Putusan menyesuaikan

3) Putusan menyimpang

4) Putusan yang mengenyampingkan

5) Putusan jalan tengah

6) Putusan mengubah

7) Purusan baru

8) Putusan menolak

Page 68: Ringkasan Hukum Adat

5. Perbedaan pokok antara SISTEM HUKUM PIDANA menurut

KUHP dengan SISTEM HUKUM ADAT DELIK

Sebagaimana diuraikan oleh VAN VOLLENHOVEN dalam

bukunya ‘’HET ADATRECH VAN INDONESIERES’’ (halaman

145 dst) menyatakan terdapat beberapa perbedaan-perbedaan

pokok antara Sistem Hukum Pidana menurut KUHP dan Sistem

Hukum Adat Delik, yaitu:

a. Suatu pokok dasar hukum pidana adalah bahwa yang dapat

dipidana hanyalah seseorang (manusia) saja.

b. Pokok prinsip yang kedua dari KUHP, bahwa seorang hanya

dapat dihukum apabila perbuatannya dilakukan dengan sengaja

ataupun dengan kelalaian.

c. Sistem KUHP mengenal dan membeda-bedakan masalah

membantu perbuatan delik (medeplichtigheid, membujuk

(uitlokking) dan ikut serta melakukan (mededaderschap)

sebagaimana diatur di dalam pasal 55 dan 56 KUHP.

d. Sistem KUHP menetapkan percobaan sebagai tindak pidana

sebagaimana diatur di dalam ketentuan pasal 53 KUHP.

6. Alasan-alasan yang dapat ,emutup kemungkinan untuk dipidana

dapat meringankan dan dapat memberatkan pidana

Didalam KUHP Titel III (dimulai dari ketentuan pasal 44)

ditetapkan alasan-alasan untuk menutup kemungkinan seseorang

dapat dipidana, alasan-alasan yang memberatkan pidana. Apabila

untuk keperluan-keperluan tersebut orang terpaksa mengambil buah-

buahan atau tanaman (mencuri) maka sipencuri itu tidak akan

mendapat reaksi adat dan tidak akan dihukum. Ini berarti bahwa dalam

alam pikiran adat bahwa perbuatan yang dimaksud tidak dianggap

mengganggu perimbangan hukum.

Alasan-alasan untuk memberatkan pidana adalah misalnya seorang

yang berkedudukan dan bermartabat di dalam persekutuan, makin

tinggi kedudukan dan martabat seorang di dalam persekutuan maka

semakin berat sifat delik yang dilakukan terhadapnya. Jadi akan

semakin berat juga hukuman yang akan dijatuhka kepadanya.

Page 69: Ringkasan Hukum Adat

7. Kewajiban PETUGAS HUKUM ADAT

Para petugas hukum di dalam masyarakat adat melahirkan di dalam

penetapan-penetapannya apa yang hidup sebagai rasa keadilan di

dalam masyarakat. Dengan penetapan itu rasa keadilan tersebut

dituangkan dalam bentuk yang konkrit.

Menurut TER HAAR

‘’memang ada ikatan batin antara penetapan petugas hukum adat

dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hakim

Pengadilan Negeri yang harus mengadili menurut hukum adat

harus sadar akan struktur kerokhanian masyaraka agar supaya

putusan-putusannya benar-benar selaras dengan hubungan-

hubungan, lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan tingkah

laku yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan’’.

Kemudian VAN VOLLENHOVEN menegaskan bahwa:

‘’Hakim tidak boleh mengadilimelulu menurut perasaa, ia adalah

terikat pada nilai-nilai yang berlakusecara obyektif di dalam

masyarakat’’.

Hakim terikat pada sistem hukuman yang telah terbentuk

dan yang berkembang didalam masyarakat. Dengan tiap

keputusannya hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan

norma hukum yang tidak tertulis. Hakim juga terikat dalam

keputusannya sendiri, artinya dalamhal-hal yang serupa ia harus

memberikan keputusan yang sama pula. Ini berarti ia

berkewajiban untuk meninjau secara mendalamapakah

penetapan-oenetapan yang diambil pada waktu lampau masih

dapat dan harus ia pertahankan berhubung dengan adanya

perubahan-perubahan di dalam masyarakat dan berhubung

dengan pertumbuhan perasaan-perasaan keadilan yang baru.

Menurut Prof. Dr. Mr. R. Soepomo menegaskan bahwa:

‘’Masyarakat adalah hidup, selalu bergerak. Berhubungan

dengan itu maka rasa keadilan rakyat bergerak pula sehingga

pada suatu waktu hakim tertentu akan memberikan putusan yang

menyimpang dari putusan-putusan yang diambil pada waktu

lampau dalam hal-hal yang serupa sebab kenyataan sosial dalam

masyarakat yang bersangkutan berubah oleh karena situasi baru

di dalam masyarakat menghendaki penetapan yang baru’’.

Page 70: Ringkasan Hukum Adat

Kemudian Prof. Dr. Mr. CORNELLIS VAN

VOLLENHOVEN menegaskan bahwa:

‘’Hakim adalah berwenang bahkan berkewajiban untuk

menambah hukum adatberdasarkan atas pertimbangan bahwa

perubahan yang cukup besar di dalam situasi rakyat

mengkhendaki dibentuknya peraturan hukum yang baru’’.

Di dalam rangka Sistem Hukum Adat Hakim berwenang

malahan berkewajiban jikalau terhadap suatu soal belum ada

peraturan hukum yang positif memberikan putusan yang

mencerminkan rasa keadilan rakyat yang bertumbuh baru, wajib

memberi konkretisasi, wajib menuangkan menjadi konkrit di

dalam keputusannya apa yang menurut keyakinannya sesuai

dengan aliran masyarakat.