rencana restorasi lahan rawa -...

64
309 9 RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA Wetland Restoration Plan Hairul Basri Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unsyiah, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, Indonesia 23111, [email protected] Ahmad Reza Kasuri Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Unsyiah, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, Indonesia 23111, [email protected] I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ahan basah (wetlands) adalah salah satu ekosistem yang paling penting di bumi karena kondisi hidrologi yang unik dan perannya sebagai zona peralihan antara sistem daratan dan perairan (Mitsch dan Gosselink, 2011). Lahan basah, sebagai zona peralihan antara tanah dan air, memberikan perlindungan alami terhadap banjir ekstrim, sebagai simpanan air tawar, penyimpanan karbon jangka panjang serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, banyak lahan basah, khususnya dataran banjir sungai, delta dan muara, telah terdegradasi akibat aktivitas manusia (Verhoeven et al., 2006). Lahan rawa juga termasuk ke dalam lahan basah. Keberadaan rawa di kawasan pesisir Selatan Pulau Sumatera sangat dipengaruhi oleh faktor daratan dan Samudera Hindia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan rawa di pesisir ini diantaranya vegetasi di pesisir, iklim, debit sungai, pergerakan sedimen pantai dan litologi. Pada beberapa kawasan pesisir yang memiliki potensi kejadian banjir yang dominan dan vegetasi yang mendukung, berpotensi membentuk rawa gambut. Gambut terjadi akibat akumulasi bahan organik yang melimpah yang melebihi proses pelapukannya dalam kondisi tergenang (an-aerob) yang menghambat terjadinya dekomposisi aerob sisa tumbuhan, kemudian menumpuk menjadi gambut. Dalam konteks hidrologi, rawa gambut memiliki peran yang sangat penting sebagai pengatur hidrologi. Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya menyerap air yang sangat besar hingga 850% dari berat keringnya (Dreissen and Suhardjo, 1975). Kawasan gambut dan terutama kubah gambut berfungsi penambat (reservoir) air tawar dan melepasnya kembali secara perlahan‐lahan ke sungai. Pada musim kemarau kandungan air yang ada di bawah permukaan gambut akan terlepas secara perlahan, namun dengan debit air yang masih cukup besar dan pada saat musim hujan kawasan rawa gambut akan terendam/banjir kembali (Barkah dan Sidiq, 2009). L

Upload: vuongcong

Post on 03-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

309

9

RENCANA RESTORASI

LAHAN RAWA

Wetland Restoration Plan

Hairul Basri Program Studi Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unsyiah, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, Indonesia 23111, [email protected]

Ahmad Reza Kasuri Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Unsyiah, Universitas Syiah Kuala, Darussalam Banda Aceh, Indonesia 23111, [email protected]

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ahan basah (wetlands) adalah salah satu ekosistem yang paling penting di bumi karena kondisi hidrologi yang unik dan perannya sebagai zona peralihan antara sistem daratan dan perairan (Mitsch dan Gosselink, 2011). Lahan basah, sebagai

zona peralihan antara tanah dan air, memberikan perlindungan alami terhadap banjir ekstrim, sebagai simpanan air tawar, penyimpanan karbon jangka panjang serta memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Namun, banyak lahan basah, khususnya dataran banjir sungai, delta dan muara, telah terdegradasi akibat aktivitas manusia (Verhoeven et al., 2006).

Lahan rawa juga termasuk ke dalam lahan basah. Keberadaan rawa di kawasan pesisir Selatan Pulau Sumatera sangat dipengaruhi oleh faktor daratan dan Samudera Hindia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan rawa di pesisir ini diantaranya vegetasi di pesisir, iklim, debit sungai, pergerakan sedimen pantai dan litologi. Pada beberapa kawasan pesisir yang memiliki potensi kejadian banjir yang dominan dan vegetasi yang mendukung, berpotensi membentuk rawa gambut. Gambut terjadi akibat akumulasi bahan organik yang melimpah yang melebihi proses pelapukannya dalam kondisi tergenang (an-aerob) yang menghambat terjadinya dekomposisi aerob sisa tumbuhan, kemudian menumpuk menjadi gambut.

Dalam konteks hidrologi, rawa gambut memiliki peran yang sangat penting sebagai pengatur hidrologi. Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga mempunyai daya menyerap air yang sangat besar hingga 850% dari berat keringnya (Dreissen and Suhardjo, 1975). Kawasan gambut dan terutama kubah gambut berfungsi penambat (reservoir) air tawar dan melepasnya kembali secara perlahan‐lahan ke sungai. Pada musim kemarau kandungan air yang ada di bawah permukaan gambut akan terlepas secara perlahan, namun dengan debit air yang masih cukup besar dan pada saat musim hujan kawasan rawa gambut akan terendam/banjir kembali (Barkah dan Sidiq, 2009).

L

310 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Namun, fungsi hidrologi lahan rawa tersebut terus menurun seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan ekonomi akan lahan yang memacu alih fungsi lahan lahan rawa menjadi lahan budidaya.

Hutan Rawa Bergambut di Kawasan Rawa Tripa (Tripa Peat Swamp Forest = TPSF) terdapat di Provinsi Aceh atau tepatnya di Kecamatan Darul Makmur (Kabupaten Nagan Raya) dan Kecamatan Babahrot (Kabupaten Aceh Barat Daya).Ditinjau dari segi pengelolaan wilayah sungai, kawasan Rawa Tripa terletak di hilir Wilayah Sungai (WS)Tripa–Batee. Kondisi hidro-klimatologi Rawa Tripa sangat dipengaruhi oleh kondisi sungai-sungai yang mengalir melalui rawa dan Samudera Hindia. Imbuhan air kedalam sistem rawa sangat dipengaruhi oleh over bank flow banjir di sungai-sungai tersebut dan imbuhan akibat air hujan. Rawa gambut memiliki peran penting sebagai pengatur hidrologi karena berfungsi sebagai daerah penangkap air pada saat banjir dan kemudian melepaskannya secara perlahan pada saat musim kering.

Endapan sedimen di areal TPSF umumnya terletak pada daerah rendah yang relatif datar dengan aliran sungai-sungai melalui rawa Tripa memiliki pola meander. Mata air sungai-sungai ini sebagian besar bersumber dari daerah bukan gambut yang berada jauh di hulu. Sedangkan sumber air lainnya berasal dari kubah gambut yang mengalir melalui saluran-saluran alam atau buatan menuju sungai utama. Pola aliran alam yang ada di TPSF merupakan pola radial. Sedangkan saluran buatan yang dibangun untuk kepentingan perkebunan sawit dan memiliki kemampuan drainase yang besar.

Di samping areal TPSF merupakan ekosistem air yang sangat penting sebagai pengatur hidrologi, Rawa Tripa juga mempunyai keanekaragaman hayati yang relatif tinggi. Terdapat aneka biotik dan non-biotik yang merupakan plasma nuftah endemik kawasan ini. Beberapa hewan dan tumbuhan yang ada di kawasan ini telah lama dimanfaatkan secara lestari oleh penduduk setempat sebagai sumber pangan dan sumber ekonomi.

Alih fungsi lahan Gambut Rawa Tripa menjadi lahan budidaya pertanian untuk perkebunan kelapa sawit di satu sisi memiliki manfaat ekonomi kawasan, baik yang dilakukan oleh beberapa perkebunan yang beroperasi dan masyarakat di kawasan ini. Namun di sisi lain, aktivitas perkebunan tersebut menyebabkan fungsi lahan gambut sebagai pengatur hidrologi, sumber keanekaragaman hayati dan penyimpan karbon telah terganggu.

Aktivitas perkebunan di kawasan rawa Tripa dengan membangun parit atau kanal cenderung tidak sesuai dengan kaidah konservasi karena memiliki kemampuan drainase yang besar. Hal ini telah mempercepat proses menurunnya secara berlebihan kandungan air di areal hutan rawa gambut. Penurunan air permukaan menyebabkan lahan gambut mengalami kekeringan dan pada kondisi kekeringan yang ekstrim, gambut akan sulit menyerap air kembali karena memiliki sifat kering tak balik (irresversible drying).Drainase berlebihan menyebabkan gambut akan mengalami subsidence (penurunan permukaan tanah), kondisi ini disebabkan oleh berkurangnya kandungan air dan mempercepat proses mineralisasi gambut akibat oksidasi. Selain itu, oksidasi tersebut meningkatkan emisi gas rumah kaca ke dalam atmosfir. Selanjutnya, pengeringan lahan gambut juga menyebabkan fungsi gambut sebagai penyimpan air menjadi terganggu. Oleh karena itu, areal hutan gambut rawa Tripa perlu direstorasi agar dapat berfungsi kembali sebagaimana yang diharapkan oleh semua pihak.

Restorasi merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan dan memperbaiki kondisi ekosistem yang telah rusak (Ward, and Elliot, 1995). Restorasi dapat didefinisikan sebagai proses yang intens dalam membantu pemulihan dan pengelolaan integritas

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 311

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

ekologi suatu ekosistem yang rusak termasuk berbagai variabel keragaman hayati penting, struktur dan proses-proses ekologi konteks sejarah dan kewilayahan, dan kelestarian praktik-praktik budaya (Clewell et al., 2005, Perrow & Davy, 2002).

Tujuan utama restorasi lahan rawa adalah mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem rawa awal. Namun, tujuan utama ini tidak dapat dilakukan dengan mudah dan dalam waktu singkat. Karena realita di lapangan, pemanfaatan lahan rawa sebagai areal perkebunan kelapa sawit telah berlangsung lama dan cenderung tidak ramah lingkungan dan menyebabkan terdegradasinya areal hutan gambut rawa Tripa (TPSF). Untuk itu perlu dilakukan kajian yang mendasar dan komprehensif terhadap dinamika ekologis rawa gambut di areal TPSF untuk mendukung upaya rencana restorasi areal TPSF.

B. Tujuan

Kajian rencana restorasi lahan rawa ini memiliki beberapa tujuan yaitu :

1. Analisis hidrologi sungai di TPSF ditujukan untuk memberikan gambaran tentang kondisi sungai-sungai yang melintasi TPSF, informasi tentang berbagai komponen hidrologi, pemetaan kondisi hidrologi, hubungan hujan-aliran, banjir rencana serta lama genangan di saat banjir,hubungan komponen hidrologi dengan emisi karbon.

2. Analisa hidraulika sungai di TPSF ditujukan untuk mengetahui karakteristik hidrolika sungai, parameter hidrolis sungai kondisi normal dan banjir tahunan, karakteristik sedimen, hubungan antar berbagai parameter hidrolika sungai, pembentukan meander sungai dan perkembangan konfigurasi dasar sungai.

3. Analisa kualitas air di TPSF ditujukan untuk memberikan informasi tentang kondisi kualitas air di sungai-sungai yang melintasi Rawa Tripa;kualitas air di saluran kebun sawit dan kualitas air di lahan dan genangan di Rawa Tripa; kondisi kualitas air berdasarkan baku mutu air.

4. Manajemen restorasi lahan rawa di TPSF ditujukan untuk memberikan informasi kondisi antropogenik; rencana restorasi rawa Tripa melalui rekayasa aliran sungai pada manajemen tata air rawa, upaya konservasi DAS dan lokasi utama yang perlu dikonservasi; manajemen air rawa dengan sistem drainase terkendali;

5. Monitoring dan evaluasi TPSF ditujukan untuk memberikan informasi pentingnya pemantauan kondisi aktual Rawa Tripa pasca kajian dan mengetahui realisasi rencana implementasi beberapa rekomendasi penting di masa yang akan datang untuk memperbaiki dan menjaga agar ekosistem TPSF menjadi lebih baik, lestari, berkelanjutan serta bermanfaat.

C. Ruang Lingkup Studi

Ruang lingkup kajian rencana restorasi lahan Rawa Tripa ini adalah sebagai berikut:

1. Analisis Hidrologi DAS di TPSF meliputi pembahasan karakteristik DAS, menganalis morfologi wilayah, analisis curah hujan wilayah; Analisis hujan-aliran, analisis banjir, pola hujan badai berbagai kala ulang, distribusi hujan jam-jam;Analisis curah hujan rancangan dengan periode kala ulang tertentu menggunakan berbagai distribusi seperti Gumbel Tipe I, Normal, Log Normal 3 dan Log – Pearson Tipe III; Analisa banjir rencana menggunakan metoda HSS Gama dan Nakayasu, kemungkinan banjir maksimum (PMF) dan analisis komponen hidrologi terhadap emisi karbon.

2. Analisa Hidraulika Sungai di TPSF mencakup karakteristik hidrolika sungai; Parameter hidrolis sungai kondisi normal dan banjir tahunan; Karakteristik sedimen; hubungan antar parameter hidrolika sungai seperti hubungan kecepatan geser dan debit,

312 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

hubungan kecepatan kritis dengan debit, hubungan bilangan Froude dengan kecepatan; pembentukan meander sungai; perkembangan konfigurasi dasar sungai.

3. Analisa Kualitas Air di TPSF melalui pengujian kualitas air di sungai-sungai Rawa Tripa, Seumayam, Batee Seunaam, Tripa;pengujian kualitas air di saluran perkebunan kelapa sawit, pengujian kualitas air di lahan dan genangan di areal Rawa Tripa; Pembahasan tentang kondisi kualitas air berdasarkan baku mutu air.

4. Manajemen Restorasi Lahan Rawa di TPSF meliputi kajian antropogenik; Rencana restorasi sistem tata air rawa melalui rekayasa aliran sungai pada manajemen tata air dengan skema recharge dan discharge aktualrawa Tripa pada musim kemarau, upaya menaikkan elevasi muka air hingga mencapai lapisan gambut pada saat tertentu melalui kontruksi bendung sederhana, skema recharge dan discharge rencana rawa Tripa pada musim kemarau setelah bendung dibuat, tipikal konstruksi bendung yang direkomendasikan untuk merekayasa elevasi aliran sungai di Rawa Tripa; Konservasi DAS membahas karakteristik tanah, kedalaman bahan gambut di lokasi rawa Tripa dan lokasi utama yang perlu dikonservasi;Uraian restorasi lahan gambut melalui manajemen air dengan sistem drainase terkendali.

5. Monitoring dan Evaluasi Kondisi Rawa Tripa membahas pentingnya aktivitas monitoring dan evaluasi kondisi Rawa Tripa pasca penelitian dan mengetahui realisasi rencana implementasi beberapa rekomendasi penting di masa yang akan datang. Hal ini dilakukan agar hasil kajian menjadi bermanfaat dan ekosistem TPSF menjadi lebih baik dan berkelanjutan.

Output dari kajian restorasi lahan rawa adalah Rancangan Teknis untuk restorasi lahan rawa di areal TPSF.

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu

Kegiatan studi ini dilakukan di areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) Provinsi Aceh seluas lebih kurang 60.657,29 hektar yang mencakup wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya seluas 36.394 ha atau sekitar 60 persen, dan wilayah Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya seluas 24.263 ha atau sekitar 40 persen dari luas areal. Luas kawasan rawa gambut Tripa tersebut termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Secara geografis kawasan ini terletak pada 030 44’-030 56’ LU dan 960 23’ - 960 46’ BT. Areal yang termasuk ke dalam wilayah studi adalah bagian hilir Wilayah Sungai (WS) Tripa-Batee. Kawasan WS Tripa Batee memiliki beberapa DAS dengan tiga sungai utama yaitu :DAS Krueng Tripa, DAS Krueng Seumayam dan DAS Krueng Batee. Kegiatan studi ini dilaksanakan mulai Mei sampai dengan Agustus 2013 dengan jumlah hari kalender sekitar 120 hari.

B. Bahan dan Alat

Analisa kondisi hidrologi untuk menyusun program restorasi lahan di kawasan gambut rawa Tripa membutuhkan ketersediaan data sekunder dan data pengamatan langsung. Data sekunder yang dibutuhkan bersumber dari stasiun pengumpulan data tetap. Sedangkan kajian terdahulu yang dijadikan rujukan bersumber dari instansi teknis terkait. Data dan peralatan yang dipergunakan pada kajian ini disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. .

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 313

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 1. Kebutuhan Data

No Jenis Data Sumber Data Tahun Data 1 Data Hujan PT. Socfindo 1996 – 2003, 2006 - 2012 BPP Tadu 2010 - 2012 BPP Darul Makmur 2010 – 2012 Data Stasiun Beutong 1998, 2012-2013 Data Alu Ie Mirah 2012-2013

2 Data Debit Kanwil PU/ADU Sesuai ketersedian data lapangan

BWS I - Sumatera Sesuai ketersedian data lapangan

3 Data iklim PT Socfindo 2005 – Jan 2013 4 Data kejadian banjir WS Tripa - Batee BWS I - Sumatera 2005 – 2012 5 Pola Pengelolaan Wilayah Sungai

Tripa - Batee BWS I - Sumatera 2009

6 Study ketersediaan Air Provinsi NAD BAPPEDA Prov. Aceh 2007 7 Hidrometri Sungai Pengukuran Langsung 2013 8 Kualitas Air Sungai Pengukuran Langsung 2013 9 Hidrometri Kanal Rawa Pengukuran Langsung 2013

10 Kualitas Air Rawa Pengukuran Langsung 2013

Tabel 2. Peralatan Survai yang Digunakan

No Peralatan Unit Vol

1 Perahu untuk hidrometri/ Boats for hydrometric. 1 buah sewa 8 hari

2 Water Quality Checker (WQC) 1 unit sewa 15 hari

3 Air kemasan pembilas sensor WQC 2x18 botol air kemasan 1,5ltr

36 botol

4 Current meter 1 buah sewa 15 hari

5 Echosounder 1 buah sewa 8 hari

6 Measure tape 2 unit 2 unit

7 Tali Tambang ls 1 rol

8 Sedimen grap 1 unit sewa 15 hari

9 GPS 2 unit sewa 30 hari

10 Kontainer sampel + Analisis sedimen di laboratorium unit 18 unit

11 Kontainer sampel + Analisis kualitas air di laboratorium unit 18 unit

12 Mobil unit 15 hari

13 Motor roda 2 unit 13 hari

14 Kontainer untuk pengangkutan sampel kualitas air (sungai dan rawa)

2 unit 2 unit

C. Metodologi

Sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup pekerjaan maka metodologi yang digunakan dalam studi ini secara umum adalah metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif yaitu melalui kegiatan survai lapangan dan analisis laboratorium. Pada kegiatan analisa hidrologi, data utama yang dijadikan rujukan adalah data sekunder berupa data iklim dan karakteristik DAS. Pengumpulan data primer ditujukan untuk memverifikasi hasil analisa dan kebutuhan analisa yang lebih detail untuk hidraulika. Secara garis besar, kegiatan yang dilakukan oleh Tim Kajian Rencana Restorasi Lahan Rawa adalah sebagai berikut:

314 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Kegiatan Persiapan

Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan merumuskan masalah secara lebih spesifik berdasarkan TOR dan studi terdahulu yang telah dilakukan, menyusun hipotesa dan menyusun rencana kerja. Kegiatan persiapan meliputi : (1) penyusunan rencana kerja, (2) studi Literatur dan (3) pengumpulan data sekunder.

Penyusunan Rencana Kerja

Penyusunan rencana kerja dilakukan berdasarkan penjabaran dari scope of work dan activities yang diharapkan di dalam TOR Wetland-Restoration Plan For In The TPSF Area. Berdasarkan TOR, cakupan analisa yang diharapkan meliputi dampak kondisi hidrologi terhadap tingkat cadangan karbon, emisi karbon, dan kondisi hidrologi terhadap tata guna lahan dan fungsi lahan.

Studi Literatur.

Studi literatur dilakukan dengan mengkaji laporan terdahulu terhadap kegiatan yang telah pernah dilakukan di Rawa Tripa. Selain itu, sebagai pengayaan referensi penyusunan teori, dilakukan kajian tentang studi lain yang berkaitan dengan rawa. Literature yang dijadikan rujukan merupakan literature yang memuat teori dan aplikasi mengenai pengembangan rawa, petunjuk teknis kegiatan pembangunan rawa, hidraulika sungai, kondisi hidrologi dan hidraulika rawa, antropogenik rawa, dan teori lainnya.

Pengumpulan Data Sekunder.

Pengumpulan data sekunder dilakukan di institusi yang terletak di Kota Banda Aceh. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengidentifikasi lokasi sumber-sumber data yang terkait langsung dengan pengembangan dan pembangunan di Rawa Tripa secara langsung dan tidak. Berdasarkan kebutuhan hidrologi, data yang dibutuhkan untuk menganalisa kondisi rawa Tripa meliputi data hidroklimatologi, karakteristik DAS, karakteristik sungai, kualitas air, morfologi rawa, sistem drainase, prasarana dasar pengairan. Data yang digunakan bersumber dari instansi teknis dan perkebunan yang terdapat di rawa Tripa dan DAS-DAS yang menjadi inflow aliran air ke rawa.

Tahap Pra Survai

Tahap pra-survai yaitu melakukan survai pendahuluan ke lokasi studi yang diikuti oleh seluruh Tim Ahli dan Ketua/Koordinator Tim untuk melakukan orientasi lapangan agar mendapatkan kepastian tentang rencana titik-titik pengamatan lapangan dan prediksi jumlah sampel dan/atau responden saat pelaksanaan survai utama.

Kegiatan Pra Survai ini dilaksanakan sejak 27 April - 30 April 2013. Hasil kegiatan prasurvai ini telah didiskusikan kembali pada tanggal 3 Mei 2013 untuk perencanaan kegiatan selanjutnya terutama persiapan untuk survai utama. Survai utama dilaksanakan secara terpadu pada Minggu ke dua bulan Mei 2013. Survai lapangan dilaksanakan untuk mengumpulkan data fisik hidraulika sungai secara langsung yang akan dijadikan rujukan dalam perencanaan restorasi.Titik survai yang diidentifikasi pada tahapan pra survai disajikan pada Tabel 3.

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 315

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 3. Titik Survai Hidrometri dan Kualitas Air

No Kode Titik Koordinat Deskripsi

1 T-00 3°49'22.87"U ; 96°40'32.31"T Saluran Buatan 2 T-01 3°48'39.89"U ; 96°41'53.04"T Kolam alam 3 T-01a 3°45'13.74"U ; 96°42'11.85"T Kolam alam

4 T-02 3°46'47.97"U ; 96°40'11.55"T Saluran Buatan 5 T-02a 3°47'8.83"U ; 96°38'44.82"T Saluran buatan 6 T-02b 3°46'17.82"U ; 96°37'35.13"T Saluran buatan 7 T-03 3°45'27.06"U ; 96°39'43.92"T Saluran alam 8 T-03a 3°45'4.60"U ; 96°39'24.41"T Kolam alam 9 T-03b 3°46'4.08"U ; 96°38'1.30"T Kolam alam

10 T-04 3°49'22.62"U ; 96°37'35.35"T Kolam alam 11 T-05 3°48'10.84"U ; 96°38'0.31"T Saluran buatan 12 T-07 3°50'21.13"U ; 96°38'18.69"T Saluran buatan 13 T-10 3°51'37.92"U ; 96°37'7.53"T Saluran buatan 14 T-11 3°51'47.32"U ; 96°34'32.63"T Saluran buatan 15 T-12 3°49'56.26"U ; 96°34'16.05"T Saluran buatan 16 T-12a 3°48'29.45"U ; 96°34'31.20"T Saluran buatan 17 T-12b 3°49'16.83"U ; 96°32'15.89"T Saluran buatan 18 T-13 3°45'21.20"U ; 96°36'24.05"T Kolam alam 19 T-14 3°45'6.90"U ; 96°35'54.38"T Saluran buatan 20 T-16 3°46'14.62"U ; 96°34'28.30"T Saluran buatan 21 T-17 3°48'34.06"U ; 96°30'13.90"T Saluran alam 22 T-18 3°54'5.23"U ; 96°26'41.81"T Saluran buatan 23 T-20 3°52'20.53"U ; 96°27'27.24"T Saluran buatan 24 T-21 3°56'15.79"U ; 96°28'22.17"T Saluran buatan 25 T-22 3°51'36.21"U ; 96°29'1.95"T Saluran buatan 26 H-01 3°52'55.50"U ; 96°42'11.42"T Sungai Batee 27 H-02 3°53'15.54"U ; 96°35'57.81"T Sungai Seumanyam 28 H-03 3°47'51.86"U ; 96°36'44.74"T Sungai Seunaam 29 H-04 3°45'2.44"U ; 96°39'35.68"T Sungai Seunaam 30 H-05 3°55'7.75"U ; 96°25'24.58"T Sungai Tripa 31 H-06 3°55'53.89"U ; 96°26'6.10"T Sungai Tripa

Tahap Survai utama

(a) Analisa Hidrologi Sungai

Kegiatan ini menghasilkan gambaran tentang kondisi hidrologi di sungai-sungai yang menjadi melintasi Rawa Tripa (hulu - hilir), pemetaan kondisi hidrologi, pengaruh perubahan lahan terhadap kondisi hidrologi, tata cara pemantauan kondisi hidroklimatologi dan debit aliran. Kegiatan analisa hidrologi meliputi : pengumpulan data hujan dan iklim, analisa debit normal dan debit banjir dengan berbagai kala ulang, analisa imbangan air di rawa Tripa, dan analisa imbangan air di rawa Tripa.

Pengumpulan data hujan dan iklim dilakukan untuk data yang tidak terdapat di Banda Aceh. Analisa debit normal dilakukan dengan menggunakan data perencanaan bangunan pelindung tebing sungai yang terdapat di instansi terkait. Data ini kemudian dikompilasikan dengan data AWLR yang ada dan data hasil pengukuran pertama hidrometri sesaat. Hasil analisa berupa kondisi hidrologi dan hidraulika sungai dikalibrasi melalui pengukuran hidrometri sesaat tahap ke dua.

Analisa imbangan air dilakukan untuk melihat kondisi imbangan air di Rawa Tripa berdasarkan kondisi hidroklimatologi rawa. Kajian ini dilakukan dengan dua asumsi.

316 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Asumsi pertama adalah sungai yang terdapat di sekitar rawa member pengaruh besar terhadap imbangan air di rawa. Asumsi kedua adalah keseimbangan air di rawa bersifat independen dan tidak terkait dengan sungai yang ada. Asumsi ini dilakukan untuk menyederhanakan model yang akan dibangun mengingat keterbatasan waktu yang diberikan.

Pengukuran parameter fisik kualitas air rawa dan pengambilan sampel untuk mengetahui tingkat keasaman air akan menjadi indikator untuk melihat kondisi limpasan sungai. Secara teori, pada air permukaan rawa yang memiliki tingkat keasaman lebih tinggi dari air sungai dan air rawa dalam tanah mengindikasikan bahwa imbuhan air dari hujan lebih dominan. Sedangkan pada kondisi air permukaan rawa lebih rendah tingkat keasamannya dari air rawa dalam tanah mengindikasikan bahwa terjadi aliran air sungai yang dominan.

(b) Analisa Hidraulika Sungai

Rawa Tripa memiliki 3 sungai yang melintasi dan berhubungan langsung dengan sistem rawa. Untuk mengetahui sebesarap besar pengaruh inflow air sungai ke dalam sistem rawa, perlu dilakukan analisa kondisi hidraulika sungai. Pada analisa hidarulika sungai, parameter yang dijadikan rujukan adalah data aliran dengan periode minimal 10 tahun, tampang melintang dan memanjang sungai, kualitas air sungai dan pergerakan sedimen sungai. Data ini akan dipakai untuk menganalisa kondisi hidraulika saluran dan kemungkinan perubahan morfologi sungai. Pada kegiatan ini, tidak terdapat data dari stasiun pengamatan tetap. Untuk memenuhi kebutuhan minimal data analisa, dilakukan survai hidrometri sesaat. Tahapan pada kegiatan survai ini meliputi :Penentuan titik survai, Pengukuran hidrometri sesaat, Jenis sampel yang akan diambil dan Jenis parameter.

Penentuan titik survai. Idealnya minimal titik survai pada analisa limpasan sungai ke rawa adalah 2, yaitu di hulu dan di hilir limpasan. Survai lapangan hidrologi akan melibatkan 2 komponen, yaitu hidrometri dan kualitas air. Survai ini dilakukan untuk kebutuhan studi secara umum dan bukan untuk mendapatkan data detail.

Pengambilan titik sampel dilakukan pada setiap sungai yang melewati kawasan rawa Tripa. Terdapat 3 sungai utama yang menjadi lokasi pengamatan hidrometeri. Sedangkan untuk pengamatan di saluran, dipilih lokasi saluran induk drainase, saluran alam dan kolam alam yang masih ada. Titik survai hidrometri dan kualitas air dapat dilihat pada Tabel 3.

Pengukuran hidrometri sesaat. Kegiatan dilakukan untuk mendapatkan data hidraulika sungai minimal. Kegiatan pengukuran hidrometri sesaat dilakukan sebanyak 2 kali. Pengukuran awal merupakan pengambilan data awal, dan pengukuran kedua merupakan proses kalibrasi. Item kegiatan yang dilakukan pada ke dua pengukuran sama.

Jenis sampel yang diambil. Pada setiap titik pengamatan arus sungai, dilakukan pengambilan 1 buah sampel sedimen dasar sungai. Jadi untuk 2 kali pengukuran pada 3 sungai untuk 3 pias sehingga sampel sebanyak 18 buah sampel sedimen dasar sungai. Jumlah sampel sangat ditentukan oleh keseragaman morfologi dan tingkat kerapatan drainase. Sampel kualitas air sungai dan kualitas air rawa masing-masing sebanyak 18 sampel.

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 317

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Jenis parameter (pengukuran insitu dan eksitu). Pengukuran langsung yang dilakukan di lapangan meliputi : Kecepatan aliran, pH air, Turbidity, Conductivity, Suhu dan Oksigen terlarut.

Kegiatan Laboratorium

Kegiatan ini meliputi pengujian sampel dari lapangan di laboratorium. Analisis Laboratorium meliputi : Uji butiran, sediment content, parameter fisik dan kimia air. Penentuan baku mutu air mengacu kepada Pasal 1 PP No. 82 tahun 2001.

Rencana Restorasi Sistem Tata Air Rawa

Kajian ini menguraikan rencana restorasi sistem tata air di areal hutan gambut rawa Tripa (TPSF) melalui rekayasa aliran sungai untuk manajemen tata air, termasuk upaya rehabilitasi dan manajemen tata air melalui pengaturan drainase untuk mengatasi drainase yang berlebihan (over drainage).

Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi TPSF ditujukan untuk memberikan informasi pentingnya pemantauan kondisi aktual hidrologi Rawa Tripa pasca kajian dan mengetahui realisasi rencana implementasi beberapa rekomendasi penting di masa yang akan datang untuk memperbaiki dan menjaga agar ekosistem TPSF menjadi lebih baik, lestari, berkelanjutan serta bermanfaat. D. Tinjauan Teoritis

Untuk analisis hidrologi syarat data yang digunakan harus; konsisten dan homogen, independent, representatif, continue serta panjang data yang cukup. Sebelum digunakan, data harus disaring atau diperiksa, secara manual dan statistik, untuk melihat pemenuhannya terhadap syarat di atas. Untuk menetapkan curah hujan maksimum boleh jadi (HMB atau PMP) dan banjir maksimum boleh jadi (BMB atau PMF), agar hasil analisisnya akurat diperlukan data pengamatan jangka panjang lebih dari 30 tahun.

Data hujan yang digunakan adalah hujan harian, hujan harian maksimum tahunan. Hujan harian maksimum tahunan digunakan untuk estimasi hujan rencana. Pengujian data dilakukan untuk menghindari penggunaan data tidak valid yang disebabkan oleh : karena salah pencatatan, data dengan nilai sama terjadi berurutan, data kosong dan data pencilan (out layer). Pemeriksaan dan Penyaringan Data

Pengolahan data hujan untuk analisa hujan rancangan (design rainfall) dan analisa hidrologi memerlukan analisa data yang hilang (missing data), perbaikan data dengan analisis kepanggahan. Kemudian penyaringan data (screenning data) dilakukan untuk mengetahui mutu data yang dipakai dalam analisis, yang meliputi: (1) Penyaringan data secara manual, (2) Penyaringan data hujan secara statistik dan (3) Pengujian data hujan hasil penyaringan.

Penyaringan data secara manual dilakukan dengan menyaring data hujan dari setiap stasiun hujan, yaitu dengan metode partial series dengan menetapkan suatu batas bawah tertentu (threshold) dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, selanjutnya semua besaran hujan yang lebih besar daripada batas bawah tersebut diambil dan dijadikan bagian seri data untuk kemudian dianalisis dengan metode-metode yang telah ditentukan.

318 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Penyaringan data hujan secara statistik yang dimaksud adalah analisa sebagai berikut: (1) Analisis ketidakadaan trend pada data hujan (homogenitas), (2) Analisis kestabilan data (stationary), (3) Analisis ketidakadaan persistensi data, data bersifat acak (randomness) atau tingkat independensi data dan (4) Analisis data hujan yang jarang terjadi (outlier). Pengujian data hujan hasil penyaringan dilakukan untuk melihat tingkat kevalidan data. Metode pengujian yang digunakan adalah uji Wald-Wolflowtz, Mann Whitney, dan Grubbs & Beck dengan derajat kepercayaan 95%. Prosedur penyaringan data hujan harian maksimum tahunan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Prosedur Penyaringan Data Hujan Harian Maksimum Tahunan

Ketersediaan Data Debit

Data yang diperlukan untuk analisis ketersediaan air adalah data debit harian atau bulanan dengan periode pencatatan yang cukup panjang, minimal 10 tahun. Data yang dipakai merupakan hasil rekaman pos duga air di lokasi kajian atau dekat sebelah hulu atau hilirnya. Bila data terlalu pendek atau tidak tersedia, debit bulanan dapat disimulasi berdasarkan data hujan dan data evapotranspirasi potensial pada daerah studi dengan bantuan model matematika hubungan hujan-limpasan. Tingkat keandalan ketersediaan air di dalam rawa disimulasikan berdasarkan konsep tampungan. Besarnya volume tampungan rawa netto yang terjadi ditentukan secara simulasi neraca air sebagai fungsi inflow dan outflow dalam interval waktu tertentu (misalnya bulanan atau tahunan).

Pengumpulan data Hujan Harian Maksimum

Tahunan (HHMT)

Periksa simbol pencatatan data

Periksa panjang pencatatan data

Tidak lolos Tidak digunakan

Lolos dan meragukan

Periksa HHMT < 20 mm

Periksa HHMT H

bulannya

Periksa HHMT >400 mm H

bulannya

Periksa HHMT > 400 mmH1..H2

Pengujian statustik

Pengujian spasial

Pengujian R max, R100 Sn

Pos yang lolos dan HHMT yang lolos

Tidak digunakan

Tidak digunakan

Tidak digunakan

Tidak digunakan

Tidak digunakan

Tidak digunakan

Tidak digunakan

Tidak lolos

Tidak lolos

Tidak lolos

Tidak lolos

Tidak lolos

Tidak lolos

Tidak lolos

Lolos dan meragukan

Lolos dan meragukan

Lolos dan meragukan

Lolos dan meragukan

Lolos dan meragukan

Lolos dan meragukan

START

END

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 319

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Analisis Distribusi Hujan

Distribusi hujan per jam ditetapkan dengan cara pengamatan langsung terhadap data pencatatan hujan setiap jam pada stasiun yang paling berpengaruh pada DAS. Distribusi tersebut diperoleh dengan pengelompokkan tinggi hujan ke dalam range dengan tinggi tertentu. Dari data yang telah disusun dalam range tinggi hujan tersebut dipilih distribusi tinggi hujan rancangan dengan berdasarkan hasil analisis frekuensi kemunculan tertinggi pada distribusi hujan jam-jaman tertentu. Selanjutnya prosentase hujan tiap jam diperoleh dengan menbandingkan tinggi pada setiap jam terhadap tinggi hujan total pada distribusi hujan yang ditetapkan. Namun demikian jika tersedia data hujan otomatis (Automatic Rainfall Recorder, ARR), maka pola distribusi hujan jam-jaman dapat dibuat dengan menggunakan metode kurva massa (mass curve) untuk tiap kejadian hujan lebat dengan mengabaikan waktu kejadian.

Distribusi hujan per jam dengan interval tertentu perlu diketahui untuk menghitung hidrograf banjir rancangan dengan cara hidrograf satuan (unit hidrograf). Salah satu persamaan dari agihan hujan jam-jaman dirumuskan oleh Dr. Ishiguro yang dikenal dengan rumus Mononobe (Brook et al., 2003), yakni :

t

R 24Ro ............................................................................ 1)

3/2

T

tRoRt .................................................................... 2)

RT= t . Rt – (t - 1) R(t-1) ......................................................... 3)

Dimana, Rt = curah hujan rerata sampai jam ke-T (mm) Ro = curah hujan harian rerata (mm) T = waktu mulai hujan sampai ke-t (jam) R24 = curah hujan netto dalam 24 jam (mm) t = waktu konsentrasi (jam) RT = curah hujan sampai jam ke-T (mm)

Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan rumus Kinematik sebagai berikut:

3.04.0

6.06.0

93.0Si

nLtc

..................................................................... 4) Dimana,

tc = waktu konsentrasi (jam) L = panjang over flow n = Manning overland roughness A = luas DAS S = kemiringan lahan

Analisis Frekuensi

Analisis frekuensi adalah analisis untuk memperkirakan harga besaran hidrologi (variate) yang masa ulangnya panjang, atau digunakan untuk peramalan dalam arti menentukan peluang terjadinya suatu peristiwa bagi tujuan perencanaan di masa datang. Variate terbesar yang didapatkan dari pengamatan hujan dan banjir, biasanya tidak ada sebesar atau lebih dari pada variate yang besarnya diperkirakan sebelumnya. Karena itu perlu

320 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

dibuat suatu ekstrapolasi secara tepat, hanya mungkin jika persamaan matematis dari lengkungnya diketahui berdasarkan hasil perhitungan.

Distribusi Gumbel. Distribusi ini menghasilkan estimasi paling besar diantara distribusi peluang yang lain. Persamaan umum estimasi banjir/hujan rencana periode T tahun (Sri Harto, 2000) adalah:

xGT SKXX ................................................................. 5)

n

nTG

S

YYK

dan ))

11ln(ln(

TYT ......................... 6)

Persamaan di atas dapat disubstitusikan menjadi:

x

n

nTT S

S

YYXX

......................................................... 7)

jika: n

x

S

S

a

1 dan a

YXb n

Maka persamaan umum distribusi Gumbel menjadi :

TT Ya

bX1

.................................................................... 8)

Diamana, XT = curah hujan rancangan dengan periode ulang T tahun

X = curah hujan rerata KG = faktor frekuensi distribusi Gumbel Sx = standar deviasi T = periode ulang T tahun YT = reduced variate untuk periode ulang T tahun Yn = reduced mean untuk jumlah n data Sn = reduced standart deviation untuk jumlah n data

Distribusi Log Pearson Type III. Metode yang dianjurkan dalam pemakaian distribusi Log Pearson Type III adalah dengan mengkonversikan datanya menjadi bentuk logaritmis. Persamaan dari distribusi ini adalah(Sri Harto, 2000):

xT SGXX logloglog ..................................................... 9)

Dimana : XT = curah hujan rancangan dengan periode ulang T tahun

Xlog = rerata dari logaritma curah hujan

G = faktor frekuensi yang tergantung pada nilai koefisien Skewness Cs

XSlog = standart deviasi dari logaritma curah hujan

Koefisien skewness (kepencengan) dari logaritma curah hujan dihitung dari :

3logX

3

2)S1)(n(n

)log(logn

XXC i

s

................................................. 10)

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 321

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Distribusi Normal. Persamaan umum distribusi Normal (Sri Harto, 2000) adalah:

xNT SKXX ................................................................ 11)

Koefisien kekerapan normal KNdirumuskan seperti berikut:

32

2

001308,0189269,0432788,11

010328,0802853,0515517,2

www

wwwKN

......... 12)

Variabel w untuk kemungkinan terlampaui p = 1/T, dapat dihitung dengan:

2

1ln

pw untuk p < 0,5 dan nilai KN bertanda positif ................ 13)

2)1(

1ln

pw untuk p > 0,5 dan nilai KN bertanda negatif ........ 14)

Hujan dengan Periode Ulang

Curah hujan rancangan adalah curah hujan terbesar yang mungkin terjadi dalam suatu daerah dengan kala ulang tertentu, yang dipakai sebagai dasar perhitungan perencanaan dimensi suatu bangunan. Analisis probabilitas dilakukan untuk memperoleh curah hujan rancangan dengan periode ulang 2, 5, 10, 25, 50, 100, 200, 500 dan 1000 tahunan.

Hujan rancangan ini diestimasikan dari distribusi frekuensi yang terpilih. Pemilihan kala ulang ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan hidro ekonomis yang didasarkan terutama pada: (1) Besarnya kerugian yang diderita apabila bangunan-bangunan rusak akibat banjir dan sering tidaknya perusakan itu terjadi, (2) Umur ekonomis bangunan, (3) Biaya pembangunan. Kriteria pemilihan kala ulang curah hujan rancangan, adalah: (1) Faktor-faktor penetuan curah hujan rancangan, (2) Pentingnya bangunan dan derajat resiko yang masih dipikul, (3) Ekonomi dengan memperhatikan usia guna. Dalam menentukan curah hujan rancangan dikategorikan sebagai berikut: (a) Bila kehancuran dari bangunan tersebut mengakibatkan penderitaan penduduk dengan korban jiwa, maka inflow hujan rancangan dibuat semaksimal mungkin, (b) Bila kehancuran dari bangunan tersebut hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada penduduk tanpa menimbulkan korban jiwa, maka inflow hujan rancangan bisa berkurang dari ketentuan.

Uji Kecocokan Distribusi Frekuensi

Dalam pemilihan distribusi yang sesuai biasanya didasarkan pada uji kecocokan, uji kecocokan yang sering digunakan adalah Chi-Square dan Smirnov Kolmogorov. Dalam studi ini ditambah dengan uji Least Square dan Standard Error. Semua uji menggunakan derajat kepercayaan 95%. Uji Chi-Square. Metode ini menganggap pengamatan membentuk variable acak dan dilakukan secara statistik dengan mengikuti asimtot distribusi chi square dengan derajat kebebasan k-p-1, p adalah jumlah parameter yang diesitimasi dari data. Uji statistik ini berdasarkan pada bobot jumlah kuadrat perbedaan antara pengamatan dan teoritisnya

322 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

yang dibagi dalam kelompok kelas. Persamaan uji kecocokan ini (Sri Harto, 2000)sebagai berikut.

k

i

hEi

EiOi

1

22

.......................................................... 15)

Dimana:

h = parameter chi-kuadrat terhitung k = jumlah sub kelompok Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke I Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke i

Jika hasilnya besar menunjukkan bahwa distribusi yang dipilih tidak cocok, uji ini akan memberikan hasil yang baik jika mempunyai panjang pencatatan (n) yang besar.

Kottegoda (1996) menyarankan sebaiknya n 50 tahun dan jumlah kelas interval 5.

Uji Smirnov – Kolmogorov. Uji kecocokan ini adalah uji kecocokan non parametrik karena tidak mengikuti distribusi tertentu. Uji ini menghitung besarnya jarak maximum secara vertical antara pengamatan dan teotitisnya dari distribusi sampelnya. Perbedaan jarak maksimum untuk Smirnov – Kolmogorov (Sri Harto, 2000) tertera pada persamaan berikut.

)()(max 0 xPxPDn ...................................................... 16)

Dimana : Dn = Jarak vertikal maximum antara pengamatan dan teoritisnya P(x) = Probability dari sample data P0(x) = Probability dari teoritisnya

Distribusi dikatakan cocok jika nilai Dn lebih kecil dari D kritisnya pada derajat kepercayaan yang diinginkan. Uji Least Square. Metode kuadrat terkecil mencocokkan distribusi yang berbeda dengan sample data dengan cara menghitung jumlah kuadrad terkecil nilai variate x hasil perhitungan dengan nilai pengamatan. Kesulitan yang dihadapi pada saat interpolasi hasil perhitungan yang mempunyai periode ulang sama dengan periode ulang pada variate x hasil pengamatan. Jenis distribusi yang terpilih adalah distribusi yang mempunyai nilai terkecil dan diformulasikan (Sri Harto, 2000) sebagai berikut.

2/1

j

iTiT

mn

YXLS

............................................................ 17)

Dimana : LS = nilai Least Square XiT = nilai pengamatan pada kejadian i periode ulang T YiT = nilai perhitungan (teoritisnya) pada kejadian i periode ulang T n = jumlah kejadian mj = jumlah parameter yang diestimasi

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 323

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Probable Maximum Precipitation (PMP)

Hujan maksimum boleh jadi atau probable maximum precipitation (PMP) diartikan sebagai besaran hujan terbesar dengan durasi tertentu yang secara hidrologis dan meteorologis dimungkinkan bagi suatu daerah pengaliran dalam suatu waktu dalam tahun, tanpa adanya kelonggaran yang dibuat untuk trend klimatologis jangka panjang. Rumus yang digunakan dan kemudian dimodifikasi oleh Herschfield dengan menggunakan data curah hujan maksimum harian, didasarkan atas persamaan frekuensi umum (Subramanya, 2009), yaitu:

nmnm SKXX ............................................................. 18) Dimana :

Xm = curah hujan rancangan dengan periode ulang T

nX = rerata (mean) curah hujan yang dikoreksi Km = faktor frekuensi Sn = standar deviasi data yang dikoreksi

Langkah-langkah perhitungan PMP adalah sebagai berikut: (1) Perhitungan parameter

statistik. Rerata nX dan standar deviasi Sn hujan maksimum harian dapat dihitung dari

data, kemudian dihitung mnX dan Sn-m dengan tidak menyertakan data curah hujan

maksimum terbesar; (2) Penyesuaian nX dan Sn untuk Maximum Observed Event.

Faktor penyesuaian nX (fx1) dan Sn(fs1) untuk maximum observed rainfall didapat dari

kurva penyesuaian Hershfield, (3) Penyesuaian nX dan Sn untuk ukuran sampel. Faktor

penyesuaian nX (fx1) dan Sn(fs1) untuk panjang pengamatan didapat dari kurva penyesuaian Hershfield (Gambar 2); (4). Faktor frekuensi KSm . Faktor frekuensi Km didapatkan dari kurva empiris (Gambar 3); (5) Penyesuaian untuk waktu pengamatan yang tertentuPengamatan hujan pada umumnya dilakukan setiap hari. Karena data hujan dihitung berdasarkan suatu waktu pengamatan yang tertentu, nilai PMP yang diperoleh harus dikalikan dengan suatu faktor penyesuaian fo; (6) Penyesuaian untuk luas daerah. Konversi dari hujan pengamatan di suatu titik ke hujan rata-rata DAS

dilakukan dengan faktor reduksiluas ; (7) Perhitungan PMP (Ayob dan Wahab ,2003).Penyesuaian terhadap rerata curah hujan maksimum harian adalah:

nxxn XffX 21

'

............................................................ 19) Penyesuaian terhadap standar deviasi curah hujan maksimum harian adalah:

nxxn SffS 21'

.............................................................. 20) PMP yang belum disesuaikan adalah:

''

nmnm SKXX ............................................................. 21) PMP yang telah disesuaikan adalah:

mo XfPMP .................................................................... 22) PMP titik disesuaikan untuk luas DAS adalah:

PMPPMP ' .................................................................. 23)

Hidrograf Satuan

Untuk memperkirakan besarnya debit banjir yang terjadi pada suatu aliran sungai sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data, apakah data debit (AWLR) atau data hujan. Jika dalam pelaksanaan pekerjaan nantinya data yang tersedia hanya berupa data hujan,

324 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

untuk memperkirakan debit banjir akan menggunakan metode empiris, metode unit hidrograf.

Gambar 2. Faktor Penyesuaian rerata (a) dan standar deviasi (b) terhadap Pengamatan Maksimum

Gambar 3. Hubungan Km dan rerata Hujan Maksimum Tahunan

Dimana : Cp = koefisien debit puncak Qp = ordinat maksimum dari unit hidrograf tp = waktu dimana Qp terjadi (jam)

t = durasi dari hujan lebih A = luas Daerah Aliran Sungai (km2) tL = waktu tenggang = Tp/5,5 untuk unit hidrograf standard.

Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu. Hidrograf dapat diartikan sebagai penyajian grafis antara salah satu unsur aliran dengan waktu. Hidrograf ini menunjukkan tanggapan menyeluruh (integral responce) DAS terhadap masukan tertentu sesuai dengan sifat dan prilaku DAS yang bersangkutan. Besarnya debit puncak hidrograf akibat hujan satuan (Sri Harto, 2000) adalah:

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 325

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

)3,0(6,3

2,1

3,0TT

RAQ

p

op

.................................................. 26)

rgp TTT 8,0 .................................................................. 27)

T0,3 adalah waktu yang diperlukan untuk penurunan debit, dari debit puncak sampai menjadi 30 % dari debit puncak.

gTT 3,0 ........................................................................ 28)

7,02,0 LTg untuk L 15 km

LTg 058,04,0 untuk L 15 km

Bagian lengkung naik (rising limb) hidrograf mempunyai persamaan: 4,2

p

paT

tQQ

............................................................................. 29) 0 < t < Tp

Bagian lengkung turun (decreasing limb) hidrograf dirumuskan :

Tp< t < (Tp + T0,3) : 3.030.0 T

Tpt

pd QQ

............................ 30)

(Tp + T0,3) < t < (Tp + T0,3 + 1,5T0,3) : 3.0

3.0

5.1

50.0

30.0 T

TTpt

pd QQ

........... 31)

t (Tp + T0,3 + 1,5T0,3) : 3.0

3.0

2

50.1

30.0 T

TTpt

pd QQ

........ 32)

Dimana : Qp= debit puncak banjir, m3/det Ro= besarnya hujan satuan, Ro = 1 mm Tp= tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir, jam Tg= waktu konsentrasi, jam Tr= waktu lamanya hujan, Tr = 1 jam L= panjang alur sungai utama, km A= luas daerah aliran sungai, km2

= koefisien sesuai kondisi daerah aliran sungai, = 1,5 ~ 3,5 Qa=debit limpasan sebelum mencapai debit puncak, m3/dt Qd=debit limpasan setelah melewati debit puncak, m3/dt

Hidrograf Satuan Sintetik Gama I. Beberapa karakteristik parameter DAS yang diperlukan adalah: (1) Luas Daerah Aliran Sungai (A), (2) Panjang sungai utama (L), (3)

Selisih ketinggian hulu dan hilir sungai (H), (4) Kemiringan sungai (S), (5) Kerapatan jaringan kuras yaitu jumlah panjang semua sungai dan anak sungainya per satuan luas DAS (D), (6) Faktor sumber yaitu jumlah panjang semua sungai tingkat satu dibandingkan dengan panjang sungai semua tingkat (SF), (7) Frekuensi sumber yaitu jumlah pangsa sungai tingkat satu dibandingkan dengan jumlah seluruh pangsa sungai (SN), (8) Faktor lebar yaitu perbandingan antara lebar DAS yang diukur di titik sungai yang berjarak 0,75 panjang sungai dari stasiun hidrometri, dengan lebar DAS yang diukur di titik di sungai yang berjarak 0,25 panjang sungai (WF), (9) Luas DAS bagian hulu yaitu luas relatif DAS

326 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

di bagian hulu garis yang ditarik melalui titik di sungai yang terdekat dengan titik berat DAS, tegak lurus garis hubung titik tersebut dengan stasiun hidrometri (RUA), (10) Faktor ` yaitu waktu yang diukur dari saat hidrograf mulai naik sampai saat terjadinya debit puncak, dinyatakan dengan persamaan (Sri Harto, 2000):

2775,10665,1100

43,0

3

SIM

SF

LTR

...................... 33)

Debit puncak hidrograf dinyatakan dengan persamaan :

4008,02381,05886,01836,0

Rp TJNAQ ......................... 34)

Waktu dasar hidrograf yaitu waktu yang diukur dari saat hidrograf mulai naik sampai berakhirnya limpasan langsung, atau debit sama dengan nol, dinyatakan dengan persamaan:

2574,07344,00986,01457,04132,27 RUASNSTT RB ......... 35)

Koefisien tampungan yang menunjukkan kemampuan DAS dalam fungsinya menampung air, dinyatakan dengan persamaan:

0452,00897,11446,01798,05617,0 DSFSAK .................. 36) III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik DAS

Wilayah sungai (WS) Tripa – Batee memiliki 3 sungai utama, yaitu sungai Krueng Tripa, sungai Krueng Batee dan sungai Krueng Seumayam. WS Tripa – Batee mempunyai hulu di koridor tengah Aceh, meliputi Kabupaten Aceh Tengah dan Gayo Lues. Profil memotong WS Tripa- Batee disajikan pada Gambar 4.

Morfologi wilayah ini berupa dataran landai di bagian Selatan, perbukitan bergelombang di bagian tengah, dan perbukitan terjal di bagian Utara (Gambar 4). Batuan-batuan lunak hasil sedimentasi material sungai dan pantai membentuk dataran landai di bagian Selatan, sedangkan batuan-batuan keras yang merupakan kerangka Pulau Sumatera terdiri dari batuan beku dan batuan metamorf membentuk perbukitan terjal di bagian Utara.

Kawasan Rawa Tripa yang menjadi wilayah studi terletak di hilir WS. Secara litologi, wilayah ini terbentuk dari sedimentasi sungai dan pembusukan bahan organik. Proses yang berlangsung dalam waktu yang lama, mengakibatkan terjadinya rawa gambut yang luas. Berdasarkan data topografi parameter hidrologis DAS Krueng Seumayam sebagai berikut :

- Catchment area (pada site AWLR) = 110,60 km2 - Elevasi hulu sungai = + 1.660,00 - Elevasi hilir sungai (pada site bendung) = + 29,00 - Slope rata-rata sungai = 0,000041 - Panjang sungai utama = 64.17 km

Kemudian ditinjau dari metode kuantitatif lain dalam jaringan sungai suatu DAS adalah penentuan kepadatan aliran (drainage density) yang dinyatakan dalam rumus (Asdak, 1995).

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 327

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

A

LDd ……………………………………………………………………….37)

Dimana : Dd = Kepadatan aliran (km/km2) L = Panjang sungai total (km) A = Luas DAS (km2)

Jika nilai kepadatan aliran lebih kecil dari 1 mile/mile2 (0,62 km/km2), DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika nilai kepadatan aliran lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10 km/km2), DAS sering mengalami kekeringan. Dalam artian lain semakin besar angka kerapatan maka makin memperpendek waktu konsentrasi, sehingga memperbesar laju aliran permukaan.

DAS Krueng Seumayam mempunyai kerapatan drainase (Dd) sebesar 1,32 km/km2 sehingga dapat dikategorikan sebagai DAS yang mempunyai kemungkinan penggenangan sedang. Secara umum, penggenangan di DAS Seumayam terjadi pada areal-areal tertentu yang mempunyai cekungan dan di hilir. Penggenangan di hilir ini kemudian disebut sebagai Kawasan Rawa Tripa.

Gambar 4. Profil Memotong WS Tripa- Batee

B. Analisa Hujan Areal

Data curah hujan yang dipakai untuk perhitungan debit banjir adalah hujan yang terjadi pada daerah aliran sungai pada waktu yang sama. Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan area dan dinyatakan dalam mm (Sri Harto, 2000). Pada studi ini, metode yang digunakan untuk menentukan hujan areal adalah dengan metode polygon Thiessen. Metode perhitungan berdasarkan rata-rata timbang (weighted average). Metode ini memberikan proporsi luasan daerah pengaruh stasiun hujan untuk mengakomodasi ketidakseragaman jarak. Daerah pengaruh dibentuk dengan menggambarkan garis-garis sumbu tegak lurus terhadap garis penghubung antara dua stasiun hujan terdekat. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa variasi hujan antara stasiun hujan yang satu dengan lainnya adalah linear dan stasiun hujannya

328 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

dianggap dapat mewakili kawasan terdekat. Peta pengaruh hujan areal disajikan pada Gambar 5.

Pada WS Tripa – Batee, terdapat beberapa stasiun hujan. Stasiun tersebut memberikan pengaruh yang besar terhadap kondisi hujan aliran di WS Tripa – Batee. Diantara stasiun tersebut, terdapat 5 stasiun yang member informasi mengenai kondisi hujan-aliran di WS tripa Batee. Lokasi dari masing-masing stasiun hujan disajikan pada Lampiran Peta Hujan Areal. Berdasarkan hasil analisa, distribusi hujan areal yang terjadi di WS Tripa – Batee disajikan pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa hujan – aliran di WS Tripa – Batee sangat dipengaruhi oleh hujan yang terjadi di hulu WS. Pada kondisi tertentu, wilayah hilir sungai-sungai di WS ini mengalami banjir walau tidak terjadi hujan di hilir. Akan tetapi, bila hujan terjadi di hulu dan tengah, maka dapat mengakibatkan banjir di sungai.

Tabel 4. Hujan Areal WS Tripa – Batee dan Rawa Tripa

No Nama Stasiun Pengaruh Terhadap WS

Pengaruh Terhadap Kawasan Rawa Tripa

1 Sta BMKG Cut Nyak Dhien 2,82% 0,00%

2 Sta Socfindo 46,86% 100,00%

3 BPP Beutong 2,95% 0,00%

4 101b (Sta Ceumpa) 41,17% 0,00%

5 97b (BPP Kota Baro) 6,21% 0,00%

Total 100,00% 100,00%

Gambar 5. Peta Pengaruh Hujan Areal di Wilayah Sungai Tripa – Batee

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 329

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

C. Hujan – Aliran

Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan dasar dari semua perencanaan hidrologi. Mengingat DAS yang besar pada dasarnya tersusun dari DAS-DAS kecil, dan DAS kecil ini juga tersusun dari DAS-DAS yang lebih kecil lagi. Secara umum DAS dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah yang dibatasi oleh batas alam seperti punggung bukit-bukit atau gunung, maupun batas buatan seperti jalan atau tanggul dimana air hujan yang turun di wilayah tersebut terdistribusi berupa aliran pengeluarannya. Batas aliran tidak ditetapkan berdasarkan air bawah tanah karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat kegiatan pemakaian.

Aliran permukaan yang terjadi di kawasan studi (Rawa Tripa) secara alamiah terjadi akibat hujan yang turun di daerah tangkapan. Pada studi ini, aliran permukaan yang terjadi dianalisa berdasarkan kejadian hujan yang menyebabkan aliran air di dalam sungai. Berdasarkan kondisi hujan areal dan debit hasil pengukuran AWLR di Krueng Seumayam, hubungan antara hujan aliran di Rawa Tripa disajikan pada Gambar 6. Banjir di kawasan Rawa Tripa terjadi pada bulan Februari, Maret, Agustus, Oktober, November dan Desember.

Analisa Banjir

Kajian banjir yang terjadi di kawasan Rawa Tripa bersumber dari banjir akibat limpasan sungai dan banjir yang terjadi akibat hujan setempat. Banjir yang terjadi akibat limpasan sungai di dominasi oleh kejadian banjir dari sungai Krueng Seumayam dan sungai-sungai kecil yang melintasi kawasan Rawa Tripa. Beberapa sungai kecil yang memberikan konstribusi dominan terhadap kejadian banjir di Rawa Tripa seperti Alue Ie Mirah, Suak Palembang, Alue Beringen, Gunoeng Samarinda. Berdasarkan kondisi ini, maka stasiun utama yang dijadikan rujukan untuk menganalisa banjir di Rawa Tripa adalah stasiun hujan PT. Socfindo.

Pola Hujan Badai di Aceh

Penentuan pola hujan badai diperlukan untuk melihat trend kejadian hujan badai di suatu kawasan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya ketersediaan data dalam waktu yang cukup panjang di Provinsi Aceh. Pola hujan badai untuk kawasan Selat Malaka pada dasarnya berbeda dengan kondisi badai di pesisir Sumatera yang berada di sisi Samudera Hindia. Curah hujan badai rancangan untuk Selat Malaka dan koridor Tengah Aceh disajikan pada Tabel 5. Selanjutnya, pola hujan badai rancangan di kawasan pesisir Barat Selatan Sumatera yang dipengaruhi oleh Samudera Hindia disajikan pada Tabel 6.

Tabel 5. Pola Perulangan Hujan Rencana berbagai Kala Ulang (mm) di Selat Malaka

No. Pos

Nama Pos Periode Ulang (Tahun)

2 5 10 20 25 50 100 200 500 1000

114 Bireuen 94 131 157 182 191 216 242 267 302 328

115 Lhokseumawe 103 142 176 212 225 264 305 348 407 453

116b Telong 70 91 106 121 126 142 158 174 195 212

116c Lampahan 63 84 96 106 109 118 127 135 144 152

116d Baleg 74 95 110 123 127 140 152 165 181 193

117 Lhoksukon 110 155 187 218 228 259 290 322 363 395

117a Panton Labu 102 130 149 166 171 187 203 218 238 253

Sumber : Dinas Sumber Daya Air NAD, 2003

330 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 6. Hubungan Hujan – aliran di Kawasan Rawa Tripa

Tabel 6. Desain Pola Hujan Badai (%) Pesisir Barat Selatan Sumatera

No Durasi (jam)

Waktu (jam ke)

persen (%)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 3 35 47 18

2 4 28 40 26 6

3 5 18 40 27 13 2

4 6 15 35 25 15 6 4

5 7 16 22 32 16 8 4 2

6 8 10 17 23 25 11 8 4 2

7 9 14 16 20 16 13 9 6 4 2

8 10 8 12 18 16 13 11 9 6 4 3

9 11 8 10 12 14 18 12 11 7 4 2 2

10 12 6 9 11 12 14 16 10 7 5 4 3 3

11 13 6 14 14 15 17 22 9 5 3 2 1.5 0.5

Hujan rancangan untuk kawasan Rawa Tripa diasumsikan selama 6 jam. Asumsi ini dilakukan berdasarkan kondisi hujan yang terjadi pada saat dilakukan survai lapangan. Distribusi hujan dianalisa dengan menggunakan metode yang dikembangkan oleh

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 331

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Mononobe. Pola distribusi hujan jam-jaman di kawasan Rawa Tripa disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 6. Berdasarkan pola distribusi tersebut, hujan di kawasan rawa Tripa mencapai puncak pada jam hujan ke – 2.

Tabel 7. Distribusi Hujan di Rawa Tripa

JAM DISTRIBUSI

1 15,00%

2 35,00%

3 25,00%

4 15,00%

5 6,00%

6 4,00%

Jumlah 100,00%

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Analisis Curah Hujan Rencana

Curah hujan rancangan diperlukan sebagai data masukan pada analisis debit banjir rancangan. Untuk itu perlu dilakukan analisis curah hujan rancangan. Metode yang digunakan untuk melakukan analisis curah hujan rancangan dengan periode kala ulang tertentu adalah sebagai berikut : (1) Distribusi Gumbel Tipe I, (2) Distribusi Log – Normal Dua Parameter, (3) Distribusi Log – Pearson Tipe III. Hasil analisa curah hujan rencana dengan menggunakan ke tiga metode tersebut (Gambar 7) menunjukkan bahwa pola distribusi hujan di kawasan Rawa Tripa memiliki trend yang serupa. Akan tetapi, perbedaan akan semakin besar pada pengujian pola distribusi untuk kala ulang diatas 10 tahun atau lebih lama. Untuk itu perlu dilakukan uji kecocokan distribusi. Hujan Probalitas Maksimum (PMP)

Hujan maksimum boleh jadi atau probable maximum precipitation (PMP) diartikan sebagai besaran hujan terbesar dengan durasi tertentu yang secara hidrologis dan dimungkinkan bagi suatu daerah pengaliran dalam suatu waktu dalam tahun, tanpa adanya kelonggaran yang dibuat untuk trend klimatologis jangka panjang. Rumus yang

Gambar 6. Pola Distribusi Hujan di Rawa Tripa

332 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

digunakan dan kemudian dimodifikasi oleh Herschfield. Perhitungan PMP untuk kawasan Rawa Tripa disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Perhitungan PMP untuk Kawasan Rawa Tripa

No. Parameter Nilai Unit Keterangan

1 Sx = 28,339 mm 2 Sx-m = 28,339 mm 3 Xn = 125,125 4 Xn-m = 126,826 5 (Xn-m)/Xn = 1,014 6 (Sx-m)/Sx = 1,000 7 Grafik Km = 11,57 GRAFIK Faktor Adjusment: 8 Xn = 108,00 % GRAFIK 9 Sn = 119,40 % GRAFIK 10 Xn Terkoreksi = 135,132 mm 11 Sn Terkoreksi = 33,836 mm 12 Hujan Terpusat = 526,534 mm 13 Faktor Reduksi Luas DAS

110,60 km2

= 85,36 %

14 Fixed Time Internal = 101,00 % GRAFIK 15 Hujan PMP Terkoreksi = 445,020 mm 16 Hujan PMP diambil dengan

koefisien =

100 %

17 Sehingga hujan PMP adalah = 445,020 mm

Gambar 7. Grafik Distribusi Curah Hujan di Rawa Tripa

Berdasarkan pengujian distribusi untuk metode sebaran data yang ada dan PMP, maka dilakukan pendugaan curah hujan rancangan. Pengujian kecocokan distribusi sebaran dilakukan dengan menggunakan metode Smirnov – Kormonogorov. Pengujian uji kecocokan distribusi disajikan pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9, distribusi yang digunakan pada analisa hujan di Rawa Tripa adalah distribusi dengan metode Log Pearson Tipe III . Hasil perhitungan curah hujan rancangan untuk kawasan Rawa Tripa disajikan pada Tabel 10.

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 333

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 9. Pengujian kecocokan distribusi dengan metode Smirnov-Kosmonogorov pada hujan rencana Rawa Tripa

Data

Prob Empiris

Prob.Teoritis (%) Delta Probability

(%) EJ. Gumbel

Log Pearson

Pearson Log Normal

EJ. Gumbel

Log Pearson

Pearson Log Normal

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)

195 3,45 3,6367 2,631 1,982 2,673 0,188 0,817 1,466 0,775 175 6,90 7,8823 6,385 6,090 5,962 0,986 0,512 0,806 0,935 173 10,34 8,5067 6,937 6,729 6,560 1,838 3,408 3,615 3,785

165 13,79 11,5055 9,210 9,285 9,024 2,288 4,583 4,508 4,769

155 17,24 16,6372 14,223 14,926 14,035 0,604 3,019 2,316 3,207

150 20,69 19,9106 17,228 18,098 17,057 0,779 3,461 2,591 3,632

148 24,14 21,3701 18,459 19,368 18,295 2,768 5,679 4,770 5,843

135 27,59 33,1890 32,005 34,153 31,873 5,603 4,418 6,567 4,286

133 31,03 35,3842 34,390 36,511 34,286 4,350 3,355 5,477 3,251

132 34,48 36,5197 35,596 37,690 35,506 2,037 1,113 3,207 1,023

131 37,93 37,6800 36,811 38,869 36,735 0,251 1,120 0,938 1,196

129 41,38 40,0741 39,269 41,227 39,223 1,305 2,110 0,152 2,157

127 44,83 42,5629 41,766 43,586 41,749 2,265 3,062 1,242 3,079

121 48,28 50,5400 49,500 50,854 49,573 2,264 1,224 2,578 1,297

116 51,72 57,6408 57,263 58,477 57,941 5,917 5,539 6,753 6,217

111 55,17 64,9389 65,454 66,100 66,786 9,767 10,282 10,927 11,614

107 58,62 70,7389 72,277 72,198 74,154 12,118 13,656 13,578 15,533

107 62,07 70,7389 72,277 72,198 74,154 8,670 10,208 10,129 12,085

106 65,52 72,1629 74,022 73,723 76,039 6,646 8,505 8,206 10,521

106 68,97 72,1629 74,022 73,723 76,039 3,197 5,057 4,758 7,073

106 72,41 72,1629 74,022 73,723 76,039 0,251 1,609 1,309 3,625

104 75,86 74,9609 77,564 76,772 79,862 0,901 1,702 0,910 4,000

104 79,31 74,9609 77,564 76,772 79,862 4,349 1,747 2,538 0,552

101 82,76 78,9930 82,173 81,077 82,635 3,766 0,586 1,681 0,124

99 86,21 81,5400 84,861 83,517 84,479 4,667 1,346 2,690 1,728

98 89,66 82,7637 86,226 84,737 85,414 6,891 3,430 4,918 4,241

97 93,10 83,9510 87,604 85,957 86,360 9,152 5,499 7,146 6,744

86 96,55 94,1237 96,947 95,879 94,209 2,428 0,395 0,672 2,342

Delta Maksimum Empiris dan Teoritis 12,1182 13,6562 13,5777 15,5330

Delta Maksimum Kritis Empiris dan Teoritis dengan α =

0,05 25,2044

Analisa Banjir Rencana

Analisa banjir rencana dapat dilakukan dengan mengkaji pola hujan aliran atau menganalisa dengan menggunakan data AWLR yang tersedia. Pada kondisi kajian hidrologi di Rawa Tripa, ketersediaan data AWLR sangat terbatas. Data yang tersedia adalah data AWLR Krueng Seumayam dan AWLR Krueng Tripa. AWLR Krueng Seumayam terletak di Desa Alue Ie Mirah, tepatnya pada 3:58’12.9” dan 96:39’06.9”. AWLR ini mempunyai rentang data sejak bulan Januari 2013. Sedangkan AWLR lainnya terletak di sungai Krueng Tripa yaitu di kawasan Gunong Khong. AWLR ini mempunyai periode data terbatas. Oleh karena kondisi tersebut, kajian hidrologi di Rawa Tripa melakukan analisa empirik. Hasil perhitungan secara empiris ini akan dikalibrasi dengan hujan aliran. Metode yang dipakai untuk menganalisa banjir yang terjadi secara empiris adalah HSS Gama I dan metode Nakayasu (Sri Harto, 2000). Perhitungan banjir rencana dengan metode Gama I disajikan pada Tabel 11.

334 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Berdasarkan hasil analisa, terlihat bahwa jam puncak banjir dengan analisa menggunakan metode GAMA-1 dalah 3,4658 jam. Hidrograf banjir di kawasan Rawa Tripa dengan menggunakan metode GAMA-1 disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Hidrograf Satuan Sintetik metode GAMA – I untuk banjir

di Kawasan Rawa Tripa

Tabel 10. Hujan Rencana Rawa Tripa

NO KALA ULANG

METODE

GUMBEL TYPE I

NORMAL LOG NORMAL 3 LOG PEARSON 3

1 1,1 54,35 53,99 71,42 79,38

2 2 120,47 125,12 122,31 119,88

3 5 145,51 148,97 146,48 145,22

4 10 162,09 161,45 160,98 162,49

5 15 171,45 167,67 168,74 172,42

6 20 178,00 171,75 174,02 179,46

7 25 183,04 174,75 178,01 184,95

8 50 198,59 183,34 189,96 202,17

9 75 207,62 187,95 196,70 212,45

10 100 214,01 191,06 201,39 219,85

11 150 223,01 195,27 207,90 230,47

12 200 229,38 198,13 212,46 238,14

13 500 249,66 206,70 226,68 263,45

14 1000 264,99 212,71 237,21 283,57

15 PMP 445,02

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 335

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 11. Karakteristik DAS dan Parameter Banjir Metoda Satuan GAMA-1

No Karakteristik DAS

Nilai Unit Sumber data

1 Jumlah pangsa sungai tingkat 1 (N1) = 25,00 buah Peta RBI

2 Jumlah pangsa sungai semua tingkat (Nt) = 49,00 buah Peta RBI

3 Panjang pangsa sungai tingkat 1(L1) = 93,49 km Peta RBI

4 Panjang pangsa sungai semua tingkat (Lt) = 169,07 km Peta RBI

5 Jumlah pertemuan sungai (JN) = 22,00 buah Peta RBI

6 Luas DTA (A) = 122,41 km2 Peta RBI

7 Luas DTA hulu (AU) = 101,02 km2 Peta RBI

8 Panjang sungai utama (L) = 57,04 km Peta RBI

9 0.75 L = 42,78 km Peta RBI

10 0.25 L = 14,26 km Peta RBI

11 Kemiringan sungai rata-rata (S) = 0,0067

Peta RBI

12 Faktor sumber ( SF) = 0,55

L1 / Lt

13 Frekuensi sumber (SN) = 0,51

N1 / Nt

14 Kerapatan jaringan kuras (D) = 1,38 km/km2

Lt / A

15 B . 0.75 L (Wu) = 8,38 km Peta RBI

16 B . 0.25 L (Wl) = 4,30 km Peta RBI

17 Faktor lebar (WF) = 1,95

Wu / Wl

18 Perbandingan DTA hulu dan DTA (RUA) = 0,83

Au / A

19 SIM = RUA * WF = 1,61

Parameter banjir dengan metode GAMA – I:

20 TR = 0,43 (L / 100. SF)

3 + 1,0665 SIM + 1,2775 = 3,4658

21 QP = 0,1836 A

0,5886 JN

0,2381 TR

-0.4008 = 3,945

22 TB = 27,4132 TR

0,1457 S

-0,0956 SN

0,7344 RUA

0,2574 = 31,259

23 K = 0,5617 A

0.1798 S

-0.1446 SF

-1.0897 D

0.0452 = 5,323

24 Qt = Qp . e

–t / k

25 Phi indeks = 10,4903 – 3,859.10

-6 . A

2 + 1,6985 .

10-13

(A/SN)4

= 10,433

26 QB = 0,4751. A0,6444

. D0,943

= 14,270

Metode lain yang digunakan pada analisa banjir rencana adalah dengan menggunakan metode Nakayasu. Metode ini digunakan dengan anggapan bahwa metode ini dikembangkan di kawasan dengan kondisi yang serupa seperti di Indonesia (kawasan pulau). Perhitungan hidrograf satuan dengan menggunakan metode Nakayasu disajikan pada Tabel 12. Selanjutnya hidrograf satuan Nakayasu disajikan pada Gambar 9.

336 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Tabel 12. Karakteristik DAS untuk Perhitungan hidrograf Satuan Nakayasu

No. Karakteristik DAS Nilai

1 Panjang sungai ( Km ) = 57,04 2 Luas DAS ( Km2 ) = 122,41 3 tg = 0,4 + 0,058L = 3,71 4 tr = ( 0,5 – 1,0 ) tg = 1,85 5 Tp = tg + 0,8 tr = 5,19 6 T0,3 = 2tg = 7,42 7 Qp = A Ro/3,6/(0,3 Tp + T0,3) = 3,79 8 Konstanta Untuk Nilai T0,3 = 2,00

Gambar 9. Hidrograf Satuan Sintetik Metode Nakayasu untuk Banjir di Kawasan Rawa Tripa

Hasil analisa secara empirik untuk kejadian banjir tahunan di Kawasan Rawa Tripa kemudian diverifikasi berdasarkan kondisi survai. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di desa Kuala Seumayam, bila banjir terjadi di Alue Ie Mirah (lokasi AWLR Krueng Seumayam), desa mereka akan mengalami banjir dalam 2,0 – 4,0 jam. Kondisi tersebut tergantung dari besarnya banjir yang terjadi. Selain itu, debit banjir yang terjadi mendekati debit banjir puncak (berdasarkan data grafik AWLR Krueng Seumayam).

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 337

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Berdasarkan hasil perhitungan secara empiris dan kondisi lapangan, metode yang lebih mendekati dengan kondisi yang terjadi di lapangan adalah Metode Gama-1. Rekapitulasi debit banjir di kawasan Rawa Tripa berdasarkan metode Gama-1 disajikan pada Gambar 10 dan Tabel 13.

Gambar 10. Rekapitulasi hidrograf periode ulang banjir tahunan di Kawasan Rawa Tripa

338 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Tabel 13. Rekapitulasi Perhitungan Hidrograf Banjir dengan Berbagai Kala ulang

Waktu (jam)

Kala Ulang

2 Tahun

5 Tahun

10 Tahun

15 Tahun

20 Tahun

25 Tahun

50 tahun

75 Tahun

100 Tahun

0 14,27 14,27 14,27 14,27 14,27 14,27 14,27 14,27 14,27 1 29,18 34,18 37,63 39,63 41,05 42,16 45,65 47,75 49,26 2 78,89 100,56 115,52 124,17 130,32 135,12 150,26 159,34 165,89 3 160,39 209,40 243,22 262,78 276,70 287,55 321,80 342,32 357,13 4 242,30 318,79 371,57 402,09 423,81 440,76 494,20 526,22 549,34 5 271,62 357,94 417,50 451,95 476,47 495,59 555,90 592,03 618,13 6 265,47 349,73 407,87 441,49 465,42 484,09 542,96 578,23 603,70 7 237,89 312,90 364,66 394,59 415,89 432,50 484,91 516,31 538,99 8 206,78 271,36 315,91 341,68 360,02 374,32 419,44 446,47 465,99 9 173,81 227,33 264,25 285,61 300,80 312,66 350,05 372,45 388,63

10 146,49 190,84 221,44 239,13 251,73 261,55 292,54 311,10 324,51 11 123,84 160,60 185,96 200,62 211,06 219,20 244,88 260,27 271,38 12 105,08 135,53 156,55 168,71 177,36 184,10 205,38 218,13 227,34 13 89,52 114,77 132,18 142,26 149,42 155,01 172,65 183,22 190,85 14 76,63 97,55 111,99 120,34 126,28 130,91 145,53 154,28 160,61 15 65,95 83,29 95,25 102,17 107,09 110,93 123,05 130,30 135,54 16 57,10 71,47 81,38 87,12 91,20 94,38 104,42 110,43 114,77 17 49,77 61,67 69,89 74,64 78,02 80,66 88,98 93,96 97,56 18 43,69 53,55 60,36 64,30 67,10 69,29 76,18 80,31 83,30 19 38,65 46,83 52,47 55,73 58,05 59,86 65,58 69,00 71,47 20 34,47 41,25 45,93 48,63 50,55 52,06 56,79 59,63 61,68 21 31,01 36,63 40,50 42,75 44,34 45,58 49,51 51,86 53,56 22 28,15 32,80 36,01 37,87 39,19 40,22 43,47 45,42 46,83 23 25,77 29,63 32,29 33,83 34,92 35,78 38,47 40,09 41,25 24 23,80 27,00 29,20 30,48 31,39 32,09 34,33 35,66 36,63 25 22,17 24,82 26,64 27,70 28,45 29,04 30,89 32,00 32,80 26 20,82 23,01 24,53 25,40 26,02 26,51 28,04 28,96 29,63 27 19,69 21,51 22,77 23,49 24,01 24,41 25,69 26,45 27,00 28 18,77 20,27 21,31 21,91 22,34 22,68 23,73 24,36 24,82 29 18,00 19,24 20,11 20,61 20,96 21,24 22,11 22,63 23,01 30 17,36 18,39 19,11 19,52 19,81 20,04 20,77 21,20 21,51 31 16,83 17,69 18,28 18,62 18,87 19,06 19,65 20,01 20,27 32 16,39 17,10 17,59 17,88 18,08 18,24 18,73 19,03 19,25 33 16,03 16,62 17,02 17,26 17,43 17,56 17,97 18,21 18,39 34 15,73 16,21 16,55 16,75 16,89 16,99 17,33 17,54 17,69 35 15,48 15,88 16,16 16,32 16,44 16,53 16,81 16,98 17,10 36 15,27 15,61 15,84 15,97 16,07 16,14 16,38 16,52 16,62 37 15,10 15,38 15,57 15,68 15,76 15,82 16,01 16,13 16,21 38 14,96 15,19 15,35 15,44 15,50 15,55 15,72 15,81 15,88 39 14,84 15,03 15,16 15,24 15,29 15,33 15,47 15,55 15,61 40 14,74 14,90 15,01 15,07 15,12 15,15 15,26 15,33 15,38 41 14,66 14,79 14,88 14,94 14,97 15,00 15,09 15,15 15,19 42 14,59 14,70 14,78 14,82 14,85 14,88 14,95 15,00 15,03 43 14,54 14,63 14,69 14,73 14,75 14,77 14,84 14,87 14,90 44 14,49 14,57 14,62 14,65 14,67 14,69 14,74 14,77 14,79 45 14,45 14,52 14,56 14,58 14,60 14,62 14,66 14,68 14,70

Untuk memperhitungkan nilai ekstrim banjir yang terjadi di Rawa Tripa, dilakukan analisa kemungkinan banjir maksimum (PMF). Analisa secara empiris dilakukan dengan menggunakan metode Gama-1. Hasil analisa hidrograf banjir PMF dengan metode Gama-1 disajikan pada Gambar 11.

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 339

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Banjir yang terjadi di Kawasan Rawa Tripa selain berasal dari sungai Krueng Seumayam, sungai Krueng Tripa dan Krueng Batee. Rekapitulasi kejadian banjir di sungai Krueng Semayam, Krueng Tripa dan Krueng Batee disajikan pada Tabel 14.

Gambar 11. Hidrograf Kemungkinan Banjir Maksimum (PMF) dengan Metode Gama-1 di Rawa Tripa

Tabel 14. Rekapitulasi Debit Banjir Rawa Tripa dari Krueng Seumayam, Krueng Tripa dan Krueng Batee

No. Kala

Ulang (Tahun)

Debit banjir Krueng Seumayam (m

3/det)

Debit banjir Krueng Tripa

(m3/det)

Debit banjir Krueng Batee (m

3/det)

1 2 271,62 293,52 272,57

2 5 357,94 740,63 459,74

3 10 417,50 866,01 531,15

4 15 451,95 933,74 576,97

5 20 476,47 983,85 606,61

6 25 495,59 1.022,93 624,77

7 50 555,90 1.141,92 697,09

8 75 592,03 1.220,07 740,41

9 100 618,13 1.276,18 771,70

10 PMF 1.427,03 2.926,80 1.755,84

Untuk menentukan frekuensi kejadian banjir berdasarkan tampang sungai, dilakukan pengukuran lapangan tampang basah sungai. Pengukuran lapangan ini dilakukan untuk melihat kemampuan sungai terhadap debit banjir yang terjadi. Kondisi aliran sungai pada saat banjir dibahas pada analisa hidraulika sungai.

340 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

D. Analisa Hidraulika Sungai

Kajian kondisi hidrometri WS Tripa – Batee, secara garis besar merupakan kajian terhadap hidrometri di sungai dengan sedimentasi/alluvium. Pengetahuan hidrolika fluvial ini di tekankan pada transportasi sedimen sebagai dasar dalam perencanaan bangunan pengendalian sungai. Faktor-faktor yang menentukan transportasi sedimen adalah sifat-sifat aliran air (flow characteristic); sifat-sifat sedimen (sediment characteristic); dan pengaruh timbal balik (interaction). Transportasi sedimen pada sungai sangat dipengaruhi oleh debit yang masuk ke sungai tersebut, oleh sebab itu diperlukan suatu pengukuran hidrometri yang meliputi pengukuran debit sesaat dan pengambilan sampel sedimen.

Sungai adalah jalur aliran air di atas permukaan bumi yang selain mengalirkan air, juga mengangkut sedimen terkandung dalam air sungai tersebut. Besarnya material terangkut dari suatu sungai dapat ditentukan dengan pengukuran pengangkutan sedimen pada titik kontrol dan semi empiris yang ada. Beberapa faktor yang mempengaruhi laju proses sedimentasi di daerah pengaliran sungai diuraikan sebagai berikut:

Cakupan Areal Daerah. Pengaliran.Kapasitas sedimen yang dihanyutkan oleh suatu sungai biasanya berbanding lurus dengan luas daerah pengaliran.

Kondisi Geologi Daerah Pengaliran. Kondisi geologi sangat mempengaruhi intensitas proses-proses degradasi dan erosi pada batuan yang selanjutnya akan mempengaruhi intensitas sedimentasi pada sungai yang bersangkutan.

Kondisi Topografi. Elevasi suatu daerah pengaliran, kondisi perbukitan maupun pegunungan, tingkat kemiringan akan sangat mempengaruhi intensitas degradasi dari batuan yang terdapat di daerah pengaliran.

Kondisi Meteorologi. Karakteristik hujan yang jatuh pada suatu daerah pengaliran sangat mempengaruhi intensitas degredasi dan erosi dari pada batuan yang membentuk daerah pengaliran khususnya pada daerah pegunungan, dimana air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah dengan mudah mengikis lapisan atasnya serta menghanyutkannya masuk ke dalam alur sungai.

Karakteristik Hidraulika Sungai. Karakteristik yang dimaksud adalah debit sungai, kecepatan aliran, konfigurasi alur sungai, bentuk penamnpang lintang sungai, kemiringan dan kekasaran batuan pembentuk alur sungai.

Vegetasi Daerah Pengaliran. Vegetasi di daerah pengaliran akan sangat membantu menurunkan intensitas proses degredasi maupun erosi yang terjadi.

Kegiatan Manusia. Kegiatan manusia di atas daerah pengaliran seperti daerah perkampungan, pertanian, pembangunan jalan dan pengusahaan hutan juga akan mempengaruhi kapasitas sedimentasi pada suatu sungai.

Angkutan material (sedimen) yang mengalir pada suatu sungai terdiri dari sedimen yang berasal dari muatan dasar (bed load) dan muatan melayang (suspended load). Muatan dasar (bed load), adalah sedimen dasar yang bergerak dalam aliran sungai dengan cara bergulir, meluncur dan meloncat-loncat di atas permukaan sungai. Muatan melayang (suspended load), adalah sedimen yang terdiri dari butiran halus dengan ukuran lebih kecil dari 0.1 mm dan senantiasa melayang. Besarnya volume sedimen dasar dan sedimen melayang yang terangkut dihitung dengan persamaan Jorgen Fredsoe dan Rolf Deigaard (Fredso and Deigaard, 1992).

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 341

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Pengukuran Hidrometri Sesaat

Pengukuran debit sesaat dilakukan untuk mendapatkan debit yang terjadi persatuan waktu sehingga diperoleh kecepatan air yang mengalirkan sedimen dari hulu ke hilir. Pengukuran debit sesaat dilakukan untuk mendapatkan angka koefisien yang nantinya dapat digunakan sebagai koefisien routing aliran dari stasiun hidrometri yang ada . Debit (discharge) atau besarnya aliran sungai (stream flow) adalah volume aliran yang mengalir melalui suatu penampang melintang sungai persatuan waktu. Biasanya dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/det) atau liter per detik (l/det).

Menurut Asdak (1995), salah satu teknik pengukuran debit sesaat di lapangan adalah dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang melintang sungai. Pengukuran ini dilakukan dengan mengukur kecepatan air dan penampang melintang sungai yang diteliti. Pengukuran debit yang dilaksanakan di suatu pos duga air tujuannya adalah untuk membuat lengkung debit dari pos duga air yang bersangkutan. Lengkung debit dapat merupakan hubungan yang sederhana antara tinggi muka air dan debit, dapat pula merupakan hubungan yang komplek apabila debit di samping fungsi dari tinggi muka air juga merupakan fungsi dari kemiringan muka air, tingkat perubahan muka air dan fungsi dari faktor lainnya. Pada dasarnya pengukuran debit adalah pengukuran luas penampang basah, kecepatan aliran dan tinggi muka air.

Keadaan aliran yang terdapat pada dasar sungai berbeda-beda, kadang-kadang ada kalanya sungai tersebut berarus cepat dan ada kalanya berarus lambat, keadaan aliran tersebut sangat ditentukan oleh besarnya kecepatan aliran yang terjadi pada sungai tersebut, dimana secara formulasi dapat dirumuskan sebagai bilangan Froude (Fr) sebagai berikut (Chow, 1959).

gxh

VFr ……………………………………………………………… 38)

keterangan : V = kecepatan aliran (m/dt) g = kecepatan gravitasi (m/dt2) h = kedalaman sungai (m)

Bilangan Froude ini mempunyai batasannya, dimana jika batasan bilangan Froude < 1, maka aliran yang terjadi adalah sub kritis, jika yang terjadi bilangan Froude = 1, maka aliran yang terjadi dikatakan kritis, jika bilangan Froude > 1, maka aliran yang terjadi dikatakan superkritis, semakin kritis suatu aliran maka akan semakin besar dan kecepatan aliran (V) yang timbul begitu juga sebaliknya. Keadaan super kritis jarang terjadi hal ini terjadi pada saat-saat debit banjir atau sungai dalam keadaan tidak stabil dan aliran yang terjadi sangat deras, dalam keadaan normal biasanya aliran yang terjadi sub kritis atau kritis, dengan batasan bilangan Froude lebih kecil atau sama dengan 1.

Hasil pengukuran parameter hidrolis sungai langsung dilapangan, diperoleh data: kedalaman sungai (h), lebar sungai (b) sehingga dapat diketahui kondisi aliran pada daerah tersebut. Hasil pengukuran tampang basah sungai dan debit normal serta hubungannya dengan debit banjir disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 memberikan informasi bahwa seluruh sungai yang melintasi Rawa Tripa akan mengalami peristiwa melimpahnya air keluar dari sungai. Dengan kata lain, Rawa Tripa adalah derah yang selau digenangi banjir tahunan. Selain itu, pada kondisi normal, sungai ini mengalami proses pergerakan sedimen sungai yang dominan.

342 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Hasil perhitungan parameter hidrolis sungai dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa kondisi aliran di sungai utama dalam rawa Tripa berada pada kondisi sub kritis pada kondisi normal dan banjir.

Tabel 15. Luas Tampang Basah, Debit Normal dan Debit Banjir Tahunan

No

Lokasi

Normal

Asungai (m2)

Banjir Tahunan (m3/det)

Banjir 2 Tahunan (m3/det)

PMF (m3/det)

Keterangan Abasah (m2)

V (m/det

)

Q (m3/det)

1 Tripa 137,76 0,52 71,64 290,67 274,30 293,53 2926,80 Normal

2 Tripa 144,60 0,55 79,53 267,80 274,30 293,53 2926,80 Melimpah pada banjir tahunan

3 Seumayam 77,10 0,43 33,15 90,87 256,05 271,62 1427,03 Melimpah pada banjir tahunan

4 Seumayam 70,70 0,46 32,53 89,30 256,05 271,62 1427,03 Melimpah pada banjir tahunan

5 Seumayam 82,67 0,33 27,28 107,80 256,05 271,62 1427,03 Melimpah pada banjir tahunan

6 Batee 98,80 0,58 57,30 286,70 264,60 272,57 1755,84 Normal

7 Batee 91,70 0,51 46,77 140,40 264,60 272,57 1755,84 Melimpah pada banjir tahunan

Tabel 16. Parameter Hidrolis Sungai Kondisi Normal

No Lokasi Berat Jenis (Sg)

Parameter Hidrolis Ket.

I (%) H (m) R (m) b (m) V (m/dt) Fr

1 Tripa 2,3 0,0021 4,20 2,10 77,90 0,52 0,081 sub kritis

2 Tripa 2,8 0,0009 3,10 1,55 74,40 0,55 0,100 sub kritis

3 Seumayam 2,62 0,0027 2,10 1,05 44,00 0,43 0,095 sub kritis

4 Seumayam 2,71 0,0021 2,50 1,25 63,20 0,46 0,093 sub kritis

5 Seumayam 2,66 0,0003 2,80 1,40 50,40 0,33 0,063 sub kritis

6 Batee 2,43 0,0028 1,80 0,90 74,70 0,58 0,138 sub kritis

7 Batee 2,65 0,0008 1,70 0,85 80,70 0,51 0,125 sub kritis

Tabel 17. Parameter Hidrolis Sungai Kondisi Banjir Tahunan

No Lokasi

Berat Jenis

Parameter Hidrolis Ket.

(Sg) I (%) H (m) R (m) b (m) V (m/dt) Fr

1 Tripa 2,3 0,0021 6,60 3,30 77,90 4,617 0,574 sub kritis

2 Tripa 2,8 0,0009 5,00 2,50 74,40 2,441 0,349 sub kritis

3 Seumayam 2,62 0,0027 4,40 2,20 44,00 3,995 0,608 sub kritis

4 Seumayam 2,71 0,0021 4,50 2,25 63,20 3,594 0,541 sub kritis

5 Seumayam 2,66 0,0003 6,68 3,34 50,40 1,700 0,210 sub kritis

6 Batee 2,43 0,0028 5,58 2,79 74,70 4,768 0,644 sub kritis

7 Batee 2,65 0,0008 4,78 2,39 80,70 2,299 0,336 sub kritis

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 343

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Karakteristik Sedimen

Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai pengangkutan, melayangnya atau mengen-dapnya material fragmental oleh air. Sedimentasi merupakan akibat adanya erosi dan menimbulkan banyak dampak sebagai berikut: (1) Di sungai; pengendapan di sungai mengakibatkan naiknya dasar sungai, meningginya muka air dan mengakibatkan banjir. Hal ini dapat pula menyebabkan aliran terganggu dan mencari alur baru, 2) Di saluran;jika saluran irigasi dialiri oleh air yang banyak sedimen maka akan terjadi pengendapan sedimen di dasar saluran sehingga akan diperlukan biaya yang cukup besar untuk pengerukan tersebut, (3) Di daerah sepanjang sungai; daerah yang dilindungi oleh tanggul akan aman, selama tanggulnya selalu dipertinggi sesuai dengan kenaikan dasar sungai, dan permukaan airnya akan mempengaruhi drainase daerah sekitarnya. Lama kelamaan drainase dengan cara gravitasi tidak memungkinkan lagi.

Untuk transportasi sedimen di sungai terdiri dari 2 (dua) cara yaitu sedimen melayang (suspended load) dan sedimen dasar (bed load). Pada suspended load butir bergerak di atas dasar secara melayang. Berat butir terus menerus dipengaruhi oleh gerak turbulensi air (Brownlie, 1981). Suspended load ini dapat di ukur tetapi menimbulkan kesukaran dalam perhitungan.

Pada bed load butir bergerak di dasar secara menggelinding (rolling); menggeser (sliding); meloncat (jumping). Bed load ini dapat dihitung dengan rumus semi empirik, tetapi pada pengukuran menimbulkan kesulitan. Beban sedimen dasar (bedload) biasanya terdiri dari lempung, lanau atau pasir dengan ukuran butiran (0,06-2) mm dan kerikil dengan ukuran (2-20) mm. Ukuran, bentuk dan berat jenis sedimen berbeda-beda tergantung dari tempat sedimen tersebut berada. Keadaan besar butiran/gradasi bahan dan sifat pergerakannya berhubungan dengan sifat aliran. Pergerakan sedimen dalam air tergantung kepada kecepatan dan arah aliran, turbulensi aliran, butir dan gradasi bahan sedimen, berat jenis sedimen, bentuk butir sedimen, suhu dan sebagainya.

Perhitungan Sedimen Dasar (bed load)

Pada dasarnya butiran-butiran tidak akan bergerak jika kecepatan aliran tidak begitu kuat membuat butiran-butiran tersebut bergerak. Keadaan di mana butiran pada saat diam dan akan bergerak dinamakan kecepatan aliran kritis.

Partikel yang terbawa pada suatu daerah dapat merupakan partikel yang datang dari daerah lain atau partikel yang diam (mengendap) pada daerah itu. Pada kondisi keseimbangan dapat dikatakan bahwa; partikel yang bergerak dengan partikel yang diam mempunyai jumlah yang sama. Perhitungan analisis sedimen dasar (bed load) dilakukan dengan menggunakan 2 metode. Metode yang digunakan yaitu MPM, dan metode Frijlink, sehingga dapat dilihat perbandingan besarnya sedimen menurut masing-masing metode. Kedua metode ini di sarankan untuk di uji lebih lanjut sesuai dengan kondisi di lapangan (terutama pada Krueng Batee).

Metode Frijlink . Frijlink pada tahun 1952 mengeluarkan rumus untuk menghitung sedimen bed load dengan memperhatikan pengaruh konfigurasi dasar sungai (Leopold et al 1957 dalam Chang, 1986), dapat dirumuskan sebagai:

)9( SRIgdm

Tb

…………………………………… 39)

344 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Dimana: dm = Diameter butiran rata-rata (d50) R = Jari – jari hidrolis sungai (m) I = Kemiringan sungai (%), T’b = Berat sedimen (padat) dalam air tiap satuan lebar tiap satuan waktu (m3/m’/dt),

(S-9) = Grafik yang menghubungkan parameter intensitas aliran )( ripple dan

intensitas bed load,

= Ripple yang merupakan hubungan dari Ih

dm

.

dan dengan menggunakan grafik

(S-10) untuk parameter Niger dan Benue, maka akan didapatkan Ripple Faktor ( ) pada

sungai.

Langkah perhitungan jumlah sedimen pada pias Kr. Seumayam dengan menggunakan metode Frijlink dalah sebagai berikut:

γs = 2,666 t/m3; γw = 1 t/m3; R= H; 1

Q

Qs

w

Q

Qs R I = 0,047 (s - w ) dm + 0,25

3/1

g

w (Tb)2/3

1x1x0,484x2,600x0,010 = 0,047x1,666x0.0791x10-3+0,25x

3/1

81,9

1

x Tb2/3

Tb= 0,0035 t/m.det

Hasil perhitungan sedimentasi dengan metode Frijlink untuk Sungai Krueng Seumayam dapat dilihat pada Tabel 18.

Metode Meyer-Peter dan Mouller (MPM). Meyer Peter & Mueller mengemukakan rumus untuk menghitung total sedimen dalam bentuk bed load, dengan menggunakan prinsip kehilangan tenaga akibat bentuk dasar sungai dan akibat gesekan dengan butir di dasar sungai (Leopold et al 1957 dalam Chang, 1986), dapat dirumuskan sebagai berikut.

3/2

2/3

25,0)(047,0'

Tbxg

wxdmwsxxhxI

sK

Ksx

Q

Qswx

…….. 40)

Dimana: w = Berat jenis air (1000 kg/m3 atau 1 ton/m3)

Q

Qs = Faktor koreksi yang berhubungan dengan tampang saluran biasanya besarnya = 1

sK

Ks

'= Ripple Faktor

dm = Diameter butiran median (d50) s = Berat jenis sedimen (gravity spesifik)

T’b = Berat sedimen (padat) dalam air tiap satuan lebar tiap satuan waktu (t/m’/dt)

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 345

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 18. Perhitungan Sedimentasi dengan Metode Frijlink

untuk Sungai Krueng Seumayam

1 2 3 4 5 6 7

D50 0.0791 0.0441 0.1124 0.3625 0.0310 0.0310 0.2551

m 0.484 0.481 0.385 0.593 0.387 0.351 0.534

gw 1 1 1 1 1 1 1

Qs/Q 1 1 1 1 1 1 1

R = H 2.6000 2.1000 5.4000 5.5020 4.6820 5.5820 4.7820

gw*(Qs/Q)*m*R*I 0.0027 0.0026 0.0011 0.0013 0.0140 0.0149 0.0128

s 2.666 3.017 2.736 2.825 2.656 2.656 2.178

.047*(s-gw)*d 0.000006 0.000004 0.000009 0.000031 0.000002 0.000002 0.000014

.25*(gw/g)^(1/3) 0.1168 0.1168 0.1168 0.1168 0.1168 0.1168 0.1168

0.003 0.003 0.001 0.001 0.014 0.015 0.013

(Tb)^(2/3) 0.023 0.023 0.009 0.011 0.120 0.127 0.109

Tb 0.0035 0.0034 0.0009 0.0011 0.0417 0.0455 0.0360

Sumber : Hasil Perhitungan

Titik PengamatanParameter

Perhitungan sedimen bed load dipakai untuk pias Kr. Seumayam sebagai berikut: (1) Lebar sungai (B) = 44.35 m, (2) Kedalaman rata-rata sungai (h) = 2.10 m, (3) Jari – jari hidrolis sungai (R) = 1.30 m, (4) Kemiringan memanjang sungai (I) = 0.0392, (5) Diameter butiran; d35 = 0.118 mm, d50 = 0.132, mm, d90 = 0.184 mm, (6) s 2.666 kg/m3.

w

ws = 666,1

1000

10002666.

Langkah perhitungan untuk pias 1.2 adalah sebagai berikut:

1. Kontrol H (Tinggi) terhadap B (Lebar) sungai

100%xB

H = %100

35.44

10,2x

= 0.047 % < 0.050 % ; maka R = H = 2,10 meter

2. Kecepatan geser butiran I = 0,0392

U* = gRI = 0392,010,281,9 xx = 0.1626 m/det

3. Kecepatan geser butiran kritis Untuk dmedian = d50 = 0,079 mm ;

w

ws

= 666,1

1000

10002666

2

*crU

Δgd= 0,0034 ; dari grafik S3

U*cr = 079,081,9666,1009,0 xxx 0,0034 m/det

U*cr< U* (butiran Bergerak)

346 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

4. Menghitung ripple factor ( )

RI

UC = 33.5778

υ

RURe =

610

60,25778.33

x = 45332583

Dari grafik Sd ; R/k = 2 k = 1.300

k

12RLog18C = 18 Log

300,1

600,212x= 24,844 2

1

m /det

90

d90d

12RLog18C = 18 Log

31018,0

600,212x

x = 40,319 2

1

m /det

2/3

90

dC

C =

2/3

319,40

844,24

= 0,484

5. Menghitung volume timbunan sedimen berdasarkan Frijlink

RI

dm

=

1000

10002660x

010,060,2484,0

07912,0

xx= 0,1011

dari grafik S9 ;

gRIμd

Tb

m

= 5

Tb = 5 x 0,07912x10-3 x 010,0600,281,9484,0 xxx = 0,172 t/m.det

Dengan cara yang sama perhitungan dilakukan pada sampel pias yang lain, sehingga diperoleh Estimasi Debit Bed Load pada sungai-sungai di kawasan studi seperti terlihat pada Tabel 19. Selanjutnya, rekapitulasi perhitungan jumlah sedimentasi pada kondisi normal (m3/det) dengan menggunakan metode Frijlink dan MPM dapat dilihat pada Tabel 20.

Suspended Load

Suspended load adalah bagian dari jumlah sedimen yang bergerak tanpa kontak dengan dasar saluran dan gerakannya dipengaruhi oleh gerak turbulensi air. Secara umum, rata-rata konsentrasi sedimen melayang seluruh penampang pengukuran (Leopold et al. 1957 dalam Chang, 1986) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut ini.

C =

p

pq

q

qC …………………………………………………..……41)

Keterangan : C = konsentrasi rata-rata, (kg/m3); qp = debit di sub bagian penampang, (m3/dt); Cq = konsentrasi rata-rata di vertikal pada sub bagian penampang, (kg/m3);

Dari grafik Sd ; R/k

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 347

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 19. Perhitungan Sedimentasi Metode MPM

sampel 1 2 3 4 5 6 7

H 2.6000 2.1000 5.4000 5.5020 4.6820 5.5820 4.7820

B 71.35 71.35 44.00 44.00 88.45 88.45 88.45

<0.05 R=H 0.036 0.029 0.123 0.125 0.053 0.063 0.054

U* 0.1626 0.1611 0.1042 0.1125 0.3712 0.3821 0.3537

D50 0.07912 0.04406 0.11242 0.36251 0.03101 0.03101 0.25514

Grafik S3 0.009 0.200 0.008 0.032 0.037 0.037 0.039

s 2.666 3.017 2.736 2.825 2.656 2.656 2.178

U*cr 0.0034 0.0132 0.0039 0.0144 0.0043 0.0043 0.0107

ket bergerak bergerak bergerak bergerak bergerak bergerak bergerak

U 1.74 1.67 1.26 1.37 4.39 4.65 4.20

C 33.5778 32.4036 37.9277 38.0462 37.0364 38.1378 37.1671

Re 4533253.814 3500322.711 6816714.761 7515615.201 20551189.56 25973157.06 20070474.55

R / k 2 2 2 2 2 2 2

k 1.300 1.050 2.700 2.751 2.341 2.791 2.391

12R/k 24.00 24.00 24.00 24.00 24.00 24.00 24.00

c 24.8438 24.8438 24.8438 24.8438 24.8438 24.8438 24.8438

D90 0.180 0.142 0.160 0.732 0.142 0.112 0.458

12R/D90 173.7470 177.3610 405.6815 90.2184 395.4306 595.8317 125.2489

C 40.3185 40.4794 46.9473 35.1953 46.7473 49.9522 37.7599

m 0.484 0.481 0.385 0.593 0.387 0.351 0.534

y 0.1011 0.0699 0.4577 0.8654 0.0094 0.0098 0.0442

Grafik S9 5 4.8 4.8 4.5 4.8 4.8 4.8

Tb 0.172 0.082 0.301 1.140 0.078 0.081 0.757

Sumber : Hasil Perhitungan

Tabel 20. Rekapitulasi Perhitungan Jumlah Sedimentasi pada Kondisi Normal (m3/det)

No Lokasi pengukuran frijlink MPM Rerata

1 Tripa 0.1716 0.0035 0.0876 2 Tripa 0.0822 0.0034 0.0428 3 Seumayam 0.3010 0.0009 0.1509 4 Seumayam 1.1399 0.0011 0.5705 5 Seumayam 0.0776 0.0417 0.0596 6 Batee 0.0806 0.0455 0.0630 7 Batee 0.7568 0.0360 0.3964

Debit Sedimen Melayang Pada periode waktu-waktu tertentu debit muatan sedimen melayang dapat didefinisikan sebagai hasil perkalian konsentrasi dan debitnya yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Blench 1961 dalam Gregory, 1977).

Qsi = kCQi …………………………………………………….………… 42)

Dimana : Qsi = debit sedimen melayang; K = faktor konversi; C = konsentrasi sedimen melayang; Qi = Debit.

348 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Umumnya untuk perhitungan debit sedimen melayang pengukuran, ditulis sebagai berikut:

Qs = 0,0864 x C x Q ……………………………………… 43)

Dimana : Qs=debit sedimen melayang (ton/hari); C=konsentrasi sedimen melayang (mg/l atau g/m3); Q=debit (m3/dt). Apabila didalam periode 1 hari dilaksanakan pengukuran debit, maka debit rata-rata pada hari itu dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

n

itQiQ124

1…………………………………….....… 44)

Dimana : Q = debit rata-rata harian, (m3/dt);

Qi = debit yang diukur pada saat it , (m3/dt);

it = interval waktu pengukuran debit, (jam);

n = banyaknya waktu pengukuran debit. Konsentrasi sedimen rata-rata harian dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

n

itCiC124

1………………………………….......…. 45)

Dimana : C = konsentrasi sedimen melayang rerata harian, (mg/l);

Ci = konsentrasi sedimen pada saat it , (mg/l);

it = interval waktu pengukuran debit, (jam);

n = banyaknya waktu pengukuran debit; Oleh karena Qi dan Ci kedua-duanya tidak tetap selama periode waktu 24 jam, maka besarnya debit sedimen rata-rata hariannya dihitung dengan persamaan sebagai berikut(Blench, 1961 dalam Gregory , 1977):

Qs = n

itQiCi

1 24

0864,0…………………………..… 46)

Keterangan : Qs = debit sedimen melayang rata-rata harian, (ton/hari);

Ci = konsentrasi sedimen pada saat it , (mg/l);

Qi = debit yang diukur pada saat it , (m3/dt);

it = interval waktu pengukuran debit, (jam);

n = banyaknya waktu pengukuran debit. Hasil akhir dari persamaan di atas tidak sama dengan nilai debit sedimen rata-rata harian yang dihitung dengan persamaan berikut (Blench, 1961 dalam Gregory, 1977). Selanjutnya, hasil perhitungan suspended load dapat dilihat pada Tabel 21.

Qs = 0,0864 C Qw …………………………………………. 47)

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 349

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Keterangan : Qs = debit sedimen melayang rata-rata harian, (ton/hari); C = konsentrasi rata-rata harian, (mg/l); Qw = debit rata-rata, (m3/dt).

Tabel 21. Perhitungan Suspended Load (m3/det)

1 Tripa 257.40 0.927 80,061.70

2 Tripa 242.50 0.873 75,427.20

3 Seumayam 236.00 0.850 73,405.44

4 Seumayam 230.70 0.831 71,756.93

5 Seumayam 271.10 0.976 84,322.94

6 Batee 253.50 0.913 78,848.64

7 Batee 204.30 0.735 63,545.47

Sumber : Hasil Perhitungan

No.Lokasi

Pengukuran

Turb

(mg/ltr)

Ts

(m3/det)

Ts

(m3/hari)

Sedimen Total

Beban sedimen total merupakan gabungan dari bedload dan suspended load sehingga dapat dituliskan (Blench 1961 dalam Gregory, 1977):

Tt= Tb + Ts ………………………………………………………….. 48)

Dimana:

Tb = jumlah sedimen bed load (m3/dt) Ts = jumlah sedimen suspended load (m3/dt) Tt = jumlah sedimen bed load dan sedimen suspended load (m3/dt)

Jumlah sedimen yang terangkut pada setiap lokasi adalah kumulasi antara jumlah sedimen suspended dan bed load. Besarnya jumlah sedimen pada setiap pias pengamatan dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Sedimen Total (m3/det)

No Lokasi Pengukuran Bed Load Suspended Load Jumlah

1 Tripa 3.741 0.927 4.668 2 Tripa 1.829 0.873 2.702 3 Seumayam 3.977 0.850 4.826 4 Seumayam 15.032 0.831 15.862 5 Seumayam 3.158 0.976 4.134 6 Batee 3.338 0.913 4.251

Parameter Hidrolika Sungai

Parameter hidraulis sungai di WS Tripa – Batee ditentukan berdasarkan parameter yang didapat pada pengukuran/survey hidrometri sesaat. Parameter ini meliputi kecepatan geser dan debit dan faktor pembentuk meandering sungai.

350 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Hubungan Kecepatan Geser dan Debit

Secara alamiah, debit sungai tidaklah tetap, melainkan selalu berubah dengan kecepatan gesernya. Intensitas transpor sedimen juga akan berubah dengan perubahan debitnya. Grafik hubungan kecepatan geser dengan debit dapat dilihat pada Gambar 12.

Hubungan Kecepatan Kritis dengan Debit

0

500

1000

1500

2000

2500

0.0034 0.0132 0.0039 0.0144 0.0043 0.0043 0.0107

Kecepatan Kritis

Debit

Gambar 12. Grafik Hubungan Kecepatan Kritis dengan Debit

Dari hasil analisa data dan perhitungan yang telah didapatkan, maka dapat juga diperoleh hubungan antara beberapa parameter yang dijelaskan dalam bentuk grafik yaitu : (1) grafik hubungan antara debit aliran (Q) dengan kecepatan aliran (V), (2) grafik hubungan antara debit aliran (Q)dengan sedimen bedload (Tb) dan (3) grafik hubungan antara kecepatan aliran (V) dengan bilangan Froude (Fr). Grafik hubungan Kecepatan dengan Debit (V-Q) disajikan pada Gambar 13. Dari grafik Q-V biasanya terlihat bahwa hubungan antara debit aliran dan kecepatan aliran berbanding lurus, yaitu semakin besar kecepatan aliran (V) maka debit (Q) yang dihasilkan akan semakin besar juga begitu juga sebaliknya. Selanjutnya, hubungan bilangan Froude dengan kecepatan dapat dilihat pada Gambar 14. Pada grafik V-Fr biasanya terlihat bahwa hubungan antara kecepatan aliran (V) dengan bilangan Froude (Fr) berbanding lurus, yaitu semakin besar kecepatan aliran (V) maka bilangan Froude (Fr) yang dihasilkan akan semakin besar, begitu juga sebaliknya. GRAFIK HUBUNGAN KECEPATAN DENGAN DEBIT

y = 115.79e0.6364x

R2 = 0.9751

0

500

1000

1500

2000

2500

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00

KECEPATAN (m/det)

DEB

IT (

m^3

/det

)

Gambar 13. Grafik Hubungan Kecepatan dengan Debit

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 351

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Gambar 14. Hubungan Bilangan Froude dengan Kecepatan

Pembentukan Meander Sungai

Pada analisa debit sesaat ada analisa tentang gerak turbulensi air yang dapat menjelaskan pembagian kecepatan dan nilai rata-rata kecepatan. Dalam keadaan ini keadaan batas (boundary) yang sangat menentukan adalah dasar/dinding saluran. Dalam hidraulika sedimen diketahui bahwa boundary tersebut terdiri atas sedimen granuler sehingga terjadi pengaruh timbal balik antara dasar dan aliran yang tampak dari perubahan kekasaran dasar. Gerak longitudinal dari sungai seiring dengan gerakan yang membujur, dan ini dinyatakan sebagai pola penting bagi saluran yang dapat memberi pengaruh secara langsung.

Leopotd et al (1964 dalam Gregory, 1977) menginformasikan tiga macam bentuk saluran yaitu meandering, jalinan (braided), dan berliku-liku (sinuous). Bentuk saluran ini dapat diidentifikasi dengan melihat ciri dari pola penting yakni perbandingan antara panjangnya saluran dengan panjangnya lembah. Jika perbandingan ini sama dengan atau lebih besar dari 1,5 maka sungai ini disebut sungai dengan pola aliran meander, jika lebih kecil dari 1,5 maka disebut sebagai sungai dengan pola aliran berliku. Untuk debit yang terjadi pada sungai yang berliku-liku dengan slope yang lebih kecil berpotensi menyebabkan pengendapan yang lebih besar, sedangkan pada slope besar akan terjadi transpor sedimen yang tinggi. Kondisi slope sungai di Rawa Tripa cenderung kecil. Kondisi ini menyebabkan proses pengendapan yang dominan, terutama di sungai Tripa, Seumayam dan Batee. Kondisi pengendapan ini semakin berpengaruh pada pias sungai yang berdekatan dengan muara. Selanjutnya, konsep morfologi sungai dapat dilihat pada Gambar 15.

Kondisi yang berbeda terjadi bila kita meninjau pada zona peralihan pegunungan ke kawasan yang lebih datar di DAS-DAS yang ada di Rawa Tripa. Pada zona ini, slope sungai yang besar menyebabkan sedimen transport yang terjadi lebih dominan disebabkan oleh erosi di badan sungai. Pias sungai yang berada di hilir dan lembah DAS-DAS Tripa – Batee mempunyai badan sungai yang lebih lebar jika dibandingkan dengan sungai-sungai yang terdapat di hulu. Hal ini disebabkan oleh pengangkutan sedimen yang tinggi, sungai akan mengalami pelebaran yang besar dan kedalaman menjadi sangat dangkal.

Pembentukan meander akibat dari proses pengikisan dan pengendapan oleh arus sungai. Meander biasanya terbentuk di daerah lembah yang memiliki kelerengan yang tidak terlalu tajam. Proses pengerjaan sungai ini dimulai dari arah hulu dengan arus yang deras kemudian ketika memasuki bagian tengah, relief lembah semakin datar dan

352 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

kecepatan aliran sungai mulai menurun. Aliran sungai ini membentuk alur di lekukan dalam dan lekukan luar sungai. Lekukan luar memiliki kecepatan aliran yang lebih besar dibanding lekukan dalam, sehingga di bagian lekukan dalam sering terjadi erosi.

Gambar 15. Konsep Morfologi Sungai

Perkembangan Konfigurasi Dasar Sungai

Pada kondisi awal diketahui diperoleh informasi bahwa air bersih/tawar, dasar rata, bed material granuler/non kohesif dan butir material seragam. Klasifikasi tahapan kejadian konfigurasi dasar sungai diuraikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Klasifikasi Tahapan Kejadian Konfigurasi Dasar Sungai

No Flow Regime/Tahapan Keterangan 1 Lower Flow Regime (< 0.4-0.1)

- Tahap 1: plane bed(dasar rata) Gerak butir masing-masing secara menggelinding, menggeser atau meloncat, at random pada sembarang tempat. Frekuensi gerak butir bertambah. Untuk bahan yang sangat halus dapat terjadi saltasi (saltation) – awan (clouds) – suspended load. Dasar belum mengalami deformasi.

- Tahap 2 : Ripple (dasar bergelombang)

Jika 0 bertambah, di beberapa tempat secara random dan simultan terjadi gundukan kecil. Lama-lama dasar bergelombang teratur dengan amplitudo relatif kecil terhadap panjang gelombang Hr<<Lr; Ripple kekasaran bertambah k>> d; Makin lama makin tak teratur dan berdimensi 3.

- Tahap 3: Dunes Sisi sebelah hulu lebih landai dan sisi sebelah hilir lebih curam. Bentuk kurang teratur dan a-simentrik. Kekasaran bertambah, Hr membesar, Lr memanjang. Terjadi erosi di sisi sebelah hulu dan endapan di bagian bawah sisi sebelah hilir, terlihat dari Gambar 16.

2 Upper Flow Regime (>0.4-1) Terjadi di Hilir WS Tripa – Bateeterutama pada deskripsi geologi aluvium.

- Tahap 4: Sheet Flow

Bila 0 bertambah besar maka dasar yang bergelombang menjadi rata lagi dengan Tb sangat besar. Kekasaran sangat berkurang. Dapat dianggap k mendekati d. Tahap ini disebut transisi. Fr mendekati 1.

- Tahap 5 : Anti dunes

Jika kecepatan bertambah besar lagi, hingga Fr > 1 maka aliran menjadi tak stabil. Interaksi antara gelombang air dan dasar menghasilkan anti dunes dengan bentuk gelombang pasir agak simetrik. Endapan terjadi pada sisi hulu dan erosi perlu sisi hilir sehingga seolah-olah gelombang pasir merambat ke arah hulu. Pada muka air dapat terjadi standing wave atau breaking wave.

- Tahap 6: Chute and Pool Bentuk pool dapat dilihat pada Gambar 17.

Tebing sungai

Erosi tebing sungai

Pengendapan

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 353

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Gambar 16. Bentuk Dunes

Gambar 17. Bentuk Pool

E. Analisa Kualitas Air

Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diperlukan untuk perlindungan pemanfaatan air dan ekosistem sumber daya air. Kegiatan pemantauan kualitas air untuk mendukung pengambilan kebijakan pengelolaan Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya. Berdasarkan pasal 4 ayat 3 PP Nomor 81 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air berbunyi “ Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada : (1) sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung; (1) mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan (3) akuifer air tanah dalam”.

354 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Pengaturan yang terkait dengan kualitas air meliputi zoning, regulasi, peraturan-peraturan spesifik tentang air dan tanah, pengendalian, perizinan, larangan dan lisensi. Pengaturan ini menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pencemaran air baik dari polusi sumber titik (point source pollution) maupun polusi bukan sumber titik (non-point source pollution. Pengertian sumber titik adalah titik-titik dimana limbah cair dikeluarkan, misalnya limbah cair yang dialirkan melalui pipa-pipa dan dibuang ke sungai. Sedangkan polusi bukan sumber titik adalah polusi yang dihasilkan dari suatu kawasan tertentu.

Zat pencemar atau kontaminan dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori. Zat pencemar yang ditinjau disini adalah zat pencemar yang berbentuk cair atau dapat larut dalam air, yang dapat dibagi menjadi : (1) Kontaminan anorganik;(2) Kontaminan organik; (3) Material radioaktif, dan (4) Mikroorganisme. Selanjutnya, penentuan baku mutu pemanfaatan air mengacu kepada Pasal 1 PP No. 82 tahun 2001.

Berdasarkan hasil pengujian di lapangan, kualitas air di sungai-sungai utama Rawa Tripa berada dalam kondisi baik sampai tercemar ringan. Pada umumnya parameter pH untuk titik pemantauan ini masih memenuhi baku mutu kualitas air sungai dengan PPRI Nomor 82 Tahun 2001. Terjadi peningkatan jumlah padatan tersuspensi (TSS) yang signifikan pada kondisi sesaat sebelum sampai dengan sesaat setelah banjir. Kondisi ini seiring dengan peningkatan jumlah erosi lahan di hulu yang masuk ke badan sungai. Kondisi sebaliknya terjadi pada jumlah padatan terlarut (TDS).

Jumlah padatan terlarut di Sungai Krueng Tripa lebih besar dari sungai-sungai lain di kawasan ini. Hal ini disebabkan pemanfaatan lahan di hulu DAS yang yang sangat dominan untuk pertanian semusim atau pengelolaan tanah yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi lahan. Untuk mendukung program pemantauan lanjutan secara lengkap, dilakukan pengambilan sampel yang di uji di Laboratorium Kesehatan Provinsi Aceh. Hasil pengujian selengkapnya disajikan pada Tabel 24, Lmpiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3.

Tabel 24. Hasil Rerata Pengujian Sampel Air Kondisi Normal

Parameter Nama Sungai

Satuan Tripa Seumayam Batee

Suhu 27.8 27.7 27.8 oC

PH 5,80 6.2 6.43

TSS 28 44 51 mg/l TDS 255 130 149 mg/l Pb 0.001 0.011 0.0012 mg/l Cu - 0.004 0.0042 mg/l Minyak Lemak 0.0156 0.18 2 ug/l NH3-N 0.23 0.32 0.325 mg/l DO 6.9 6.5 6.9 mg/l COD 7.6 7.3 7.3 mg/l BOD 4.4 4.7 4.5 mg/l

F. Rencana Restorasi Lahan Rawa di TPSF

Kajian Antropogenik

Penjelasan sebelumnya memberikan informasi bahwa rawa tripa merupakan hilir dari 3 (tiga) DAS utama yakni DAS Krueng Tripa, Krueng Batee dan Krueng Seumayam. Selanjutnya, beberapa DAS lain yang berukuran lebih kecil seperti DAS Krueng Seunaam

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 355

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

dan DAS Alu Ie Mirah juga melintasi Rawa Tripa. Kawasan Rawa Tripa yang secara administratif berlokasi di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Bahbarot, Kabupaten Abdya.

Desa-desa yang berada di kawasan Rawa Tripa secara umum berlokasi di hilir sungai-sungai yang melintasi Rawa Tripa. Hasil dari wawancara dengan penduduk memberikan informasi bahwa beberapa desa yang berlokasi dihilir berdekatan dengan bantaran sungai sering mengalami banjir. Frekuensi banjir yang terjadi setiap tahun pada curah hujan cukup tinggi yang menyebabkan badan sungai tidak mampu lagi mengalirkan limpasan permukaan. Dari konteks hidrologi, kawasan Rawa Tripa dikatagorikan sebagai daerah banjir. Hal ini disebabkan oleh lokasinya yang berada di hilir beberapa sungai yang melintasi Rawa Tripa.

Hasil wawancara dan observasi lapangan memberikan informasi bahwa sejumlah desa di Kecamatan Darul Makmur seperti Desa Kuta Trieng dan Desa Seunaam sering mengalami banjir dan tinggi air mencapai 1-2 meter. Frekuensi banjir yang terjadi lebih dari satu kali dalam setahun. Banjir tersebut menyebabkan warga mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

Selanjutnya, banjir yang melanda Kecamatan Darul Makmur dan sebagian Kecamatan Bahbarot akibat meluapnya Krueng Ie Mirah menyebabkan penduduk mengungsi. Hasil pemetaan banjir seperti yang dijelaskan sebelumnya memberikan informasi bahwa periode (lamanya) banjir 1-5 hari. Informasi yang diperoleh dari penduduk bahwa lamanya banjir tersebut cenderung lebih panjang di bandingkan dengan lamanya banjir 20 (dua puluh) tahun yang lalu, yang pada umumnya lamanya banjir 1-2 hari. Dengan kata lain, banjir telah surut pada hari ke dua. Jika terjadi banjir, sumber air untuk minum penduduk adalah menggunakan air gallon (aqua) dan air sumur yang ada di lokasi pengungsian. Lama genangan di Kawasan Rawa Tripa disajikan pada Gambar 18.

Dari konteks sanitasi lingkungan, sebagian besar penduduk tidak memiliki WC/kakus dan sumur di dalam rumah. Penduduk menggunakan sungai sebagai tempat untuk MCK (mandi, cuci dan kakus). Hal ini menyebabkan kondisi sungai terkontaminasi dengan limbah rumah tangga. Namun, belum diperoleh informasi bahwa kondisi ini menyebabkan terjadinya wabah penyakit seperti disentri dan penyakit kulit yang dialami penduduk.

Dalam periode 5 (lima) tahun terakhir, pada musim kemarau sumur penduduk di kawasan Rawa Tripa seperti Desa Alue Bili Kecamatan Bahbarot yang memiliki topografi yang lebih tinggi mengalami penurunan muka air sumur 1-2 meter. Sementara itu, sumur penduduk yang berada di desa yang memiliki topografi yang lebih rendah mengalami penurunan muka air sumur sekitar 20 cm. Penurunan muka sumur pada musim kemarau tersebut belum menjadi permasalahan serius bagi penduduk pada saat ini. Dengan kata lain, air sumur masih dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air untuk MCK.

Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah petani dan nelayan. Tanaman utama yang dibudidayakan oleh petani antara lain kelapa sawit, kakao, padi, palawija, pisang dan jagung. Namun, fenomena yang terjadi lima tahun terakhir menunjukkan bahwa tanaman kelapa sawit menjadi tanaman yang paling digemari oleh penduduk. Kelapa sawit tersebut pada umumnya dibudidayakan di bantaran sungai-sungai di Kawasan Rawa Tripa. Hasil oberservasi lapangan menunjukkan bahwa bantaran sungai bagian hilir Krueng Tripa, Krueng Batee dan Krueng Seumayam yang digunakan sebagai

356 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

lahan budidaya kelapa sawit telah mengalami erosi tebing (stream bank erosion) yang menyebabkan tanaman kelapa sawit jatuh ke badan sungai.

Gambar 18. Peta Lama Genangan Banjir di Kawasan Rawa Tripa

G. Rencana Restorasi Sistem Tata Air Rawa

Manajemen Air Rawa

Untuk merestorasi lahan gambut yang sudah rusak akibat kekeringan dan kebakaran, manajemen air rawa merupakan strategi kunci untuk mengembalikan fungsi‐fungsi ekologi dan hidrologi. Selanjutnya, restorasi lahan gambut Tripa melalui manajemen air rawa tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : (1) Mendesain dan memodifikasi kanal dan bangunan air agar kelebihan air dapat dibuang ke dalam keadaan air sungai/laut; (2) Mengatur keseimbangan air di lahan sesuai dengan kebutuhan; dan (3) Penempatan dan pembangunan bangunan air yang berfungsi untuk mengatur keseimbangan air di lahan sesuai dengan kebutuhan .

Manajemen air yang diterapkan untuk pengelolaan air di lahan gambut adalah sistem drainase terkendali. Pengontrolan tinggi muka air (water table control) diperlukan untuk menjaga agar supaya tidak terjadi over drainage dan tinggi air tetap konstan sesuai dengan kebutuhan tanaman kelapa sawit. Tinggi muka air yang harus dipertahankan untuk kelapa sawit pada lahan gambut 60 cm (Hasil Kajian 5).

Prinsip utama dalam penyekatan parit atau saluran di lahan gambut dapat di lihat pada Gambar 19. Melalui penyekatan ini diharapkan muka air tanah di lahan gambut meningkat dan gambut tidak mengalami kekeringan. Barkah dan Sidiq (2009)

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 357

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

menyatakan bahwa ukuran bangunan pengendali terutama lebar saluran tergantung komoditas yang diusahakan, untuk tanaman padi memerlukan kondisi lahan tetap tergenang sehingga relatif sempit agar aliran muka air relatif terkendali, dan untuk tanaman perkebunan yang memerlukan kedalaman muka air tanah relatif dalam sehingga perlu dikendalikan sesuai dengan kedalaman zone perakarannya. Ilustrasi manajemen air dengan sistem terkendali dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 19. Prinsip Utama dalam Penyekatan Parit atau Saluran di Lahan Gambut

Gambar 20. Manajemen Air dengan Sistem Drainase Terkendali

Rekayasa Aliran Sungai pada Manajemen Air di Rawa Tripa

Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa manajemen air di Rawa Tipa pada prinsipnya ditujukan untuk mengatur keseimbangan air. Melalui pengaturan keseimbangan air ini diharapkan tidak terjadi over drainage dan tinggi air tetap konstan sesuai dengan kebutuhan tanaman kelapa sawit. Tinggi jagaan air maksimum di saluran tidak melebihi 60 cm. Selanjutnya, pengaturan keseimbangan air ini bukan hanya memerlukan modifikasi desain kanal untuk pengendalian drainase, tetapi juga memerlukan suatu

Dasar saluran

Elevasi lahan

Elevasi muka air

Tanggul

Sungai

Bangunan kontrol

Sumber : Barkah dan Sidiq, 2009

358 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

rekayasa aliran air yang dapat mengatur pemasukan air (recharge water) dan pengeluaran air (discharge water) secara seimbang dan terkendali pada lahan rawa gambut. Dengan kata lain, pada saat air di lahan rawa gambut dalam kondisi berlebihan di musim penghujan maka air harus dikeluarkan (discharge). Di sisi lain, pada musim kemarau dimana air telah berkurang drastis di lahan rawa gambut dan tidak dapat memenuhi kebutuhan air minimal yang dapat dipertahankan setinggi 60 cm, maka diperlukan pemasukan air (recharge water) dari sungai yang dapat dialirkan ke areal lahan rawa gambut tersebut.

Sumber air alternatif untuk menjaga keseimbangan di lahan rawa gambut Tripa adalah sungai yang melintasi lahan rawa gambut. Sungai Krueng Seumayam merupakan sungai yang memiliki pengaruh besar terhadap keseimbangan air di lahan rawa gambut. Oleh karena itu, rekayasa aliran Sungai Krueng Seumayam menjadi alternatif untuk pembuatan bendung.

Rekayasa aliran sungai pada manajemen air di Rawa Tripa yang berkaitan dengan deskripsi pola aliran dan tipikal konstruksi bangunan air (bendung) serta penentuan elevasi mercu bendung untuk menaikkan elevasi muka air air sungai agar dapat dialirkan ke lahan rawa gambut diuraikan berikut ini.

Deskripsi Pola Aliran. Sistem tata air rawa merupakan bentuk sistem yang terintegrasi antara banjir, topografi dan geologi permukaan. Pada kondisi rawa Tripa, pembentukan rawa akibat banjir sangat dipengaruhi oleh struktur geologi pembentukan dataran banjir (aluvial) yang terlapisi oleh struktur organik (gambut). Satuan endapan aluvium sungai dan pantai di sepadan antara Krueng Tripa sampai Krueng Batee, terdiri dari lempung, pasir, dan kerakal. Deskripsi sayatan geologi di Rawa Tripa dideskripsikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Sayatan Geologi Permukaan Rawa Tripa

Gambar 21 menunjukkan bahwa formasi gambut selalu berada di atas formasi aluvial. Pada titik-titik tertentu, ketinggian air di sungai mencapai lapisan gambut. Pada titik yang lain, aliran sungai berada pada formasi aluvial. Pada kondisi alamiah, terjadi aliran secara lateral dan diagonal di dalam gambut. Proses aliran ini sangat mudah diamati pada musim kemarau. Pada puncak musim kemarau, kemungkinan elevasi aliran air sungai berada di bawah formasi gambut sangat besar. Untuk menaikkan ketinggian air sungai sehingga mencapai lapisan gambut, perlu dilakukan suatu rekayasa terhadap elevasi sungai. Rekayasa aliran sungai bertujuan untuk menaikkan elevasi muka air hingga mencapai lapisan gambut pada saat tertentu. Skematisasi aliran terhadap sistem air rawa pada musim kemarau disajikan pada Gambar 22.

Gambut

Aluvial

Batua

nindu

k

Sungai

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 359

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Gambar 22. Skema Recharge Water dan Discharge Water Rawa Tripa Aktual pada Musim Kemarau

Rekayasa aliran tersebut harus tetap memperhatikan kondisi banjir dan dampak terhadap lingkungan. Pada rawa yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan, rekayasa aliran sungai tidak dilakukan. Pada kegiatan yang bersifat merehabilitasi lahan dan mengendalikan over drainage, rekayasa aliran berfungsi untuk menjaga muka air tanah dan muka air di saluran transpor utama.

Secara alamiah, suplai air ke dalam Rawa Tripa diperoleh melalui hujan dan aliran saluran alamiah. Sedangkan aliran air yang keluar dari sistem rawa terjadi akibat adanya saluran drainase lahan. Saluran drainase lahan yang terdapat di Rawa Tripa terdiri atas saluran drainase alami dan saluran drainase buatan. Permasalahan akan terjadi bila air yang dikeluarkan dari Rawa Tripa lebih besar daripada air yang masuk kedalam sistem rawa.

Tipikal Konstruksi. Konstruksi yang direkomendasikan sebagai bangunan untuk merekayasa elevasi aliran sungai di Rawa Tripa adalah bangunan pelimpah sederhana berbentuk bendung. Jenis bangunan yang direkomendasikan berupa bendung tetap atau bendung gerak. Kedua tipe bangunan ini nantinya dapat dipilih salah satu setelah dilakukan perencanaan teknis detail serta dampak bangunan terhadap lingkungan. Pemilihan lokasi bendung untuk keperluan pengendalian recharge ke dalam Rawa Tripa adalah di Sungai Krueng Seumayam. Berdasarkan data topografi parameter hidrologis DAS Krueng Seumayam dapat dilihat pada Tabel 25.

Sungai Krueng Seumayam

Sungai Krueng Batee

Rawa Tripa

Sungai Krueng Tripa

Saluran

drainase

Sam

ud

era

Hin

dia

Saluran alami

salura

n alami

Rawa Tripa

Saluran

drainase

Saluran alami

360 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Tabel 25. Parameter Hidrologis DAS Krueng Seumayam

No Parameter Hidrologis Keterangan 1 Catchment area (pada site AWLR) = 110,60 km

2

2 Elevasi hulu sungai = + 1.660,00 m 3 Elevasi hilir sungai (pada site bendung) = + 13,00 m 4 Slope rata-rata sungai = 0,000041 5 Panjang sungai utama = 64.17 km

Selain kondisi tersebut di atas, sungai Krueng Seumayam dipilih sebagai lokasi bendung karena : (1) merupakan sungai utama yang membelah Rawa Tripa; (2) memiliki tampang sungai yang lebih stabil bila dibandingkan dengan sungai Krueng Tripa dan sungai Krueng Batee; (3) memiliki pengaruh banjir lebih dominan bila dibandingkan dengan sungai Krueng Tripa dan sungai Krueng Batee terhadap kejadian banjir di Rawa Tripa; (4) areal sepadan sungai merupakan kawasan perkebunan yang memiliki ketebalan gambut berkisar antara 0,50 m sampai >2,00 m; (5) merupakan outlet utama bagi 64% areal gambut yang drain sehingga akan memudahkan untuk dilakukan pengawasan dan pengendalian; (6) memiliki stasiun pemantauan debit dan hujan.

Penentuan Elevasi Mercu Bendung. Elevasi mercu bending ditentukan berdasarkan: (1) elevasi rawa tertinggi, dan (2) faktor tinggi tekan untuk pembilasan. Uraian masing-masing faktor yang diperhitungkan dapat dilihat pada Tabel 26 dan 27.

Dari dua metode perhitungan ditetapkan bahwa elevasi mercu bendung adalah yang tertinggi, yaitu pada elevasi +11,50 m. Selanjutnya, penentuan panjang mercu bendung, lebar lubang dan pilar pembilas, panjang mercu bendung efektif tinggi muka air di udik bendung, nilai jari-jari mercu bendung dan resume perhitungan hidraulik bendung dapat dilihat pada Tabel 28.

Tabel 26. Penentuan Elevasi Mercu Bendung berdasarkan Elevasi Rawa Tertinggi

No Faktor yang diperhitungkan Satuan (m)

1 Elevasi rawa yang akan diairi 10,00

2 Tinggi air di rawa 0,10 3 Kehilangan tinggi tekanan dari rawa ke saluran tersier 0,10 4 Kehilangan tinggi tekanan dari saluran tersier ke saluran sekunder 0,10 5 Kehilangan tinggi tekanan dari saluran sekunder ke saluran induk 0,10 6 Kehilangan tinggi tekanan dari slope saluran induk ke sedimen

trap 0,15

7 Kehilangan tinggi tekanan akibat bangunan ukur 0,40 8 Kehilangan tinggi tekanan dari sedimen trap ke intake 0,25 9 Kehilangan tinggi tekanan pada intake 0,20

10 Kehilangan tinggi tekan akibat eksploitasi 0,10

Ketinggian elevasi mercu bendung 11,50

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 361

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 27. Penentuan Elevasi Bendung berdasarkan Faktor Tinggi Tekan untuk Pembilasan

No Faktor yang diperhitungkan Keterangan

1 Penangkap sedimen - Panjang = 50,0 m; - Panjang saluran pengantar = 20,0 m; - Pemiringan permukaan sedimen di penangkap sedimen =

0,00015; - Elevasi hilir penangkap sedimen + 8,50 m; - Elevasi muka air penangkap sedimen bagian hilir + 11,0 m.

2 Cara perhitungan - Elevasi muka air dikantong sedimen bagian udik: + 11,0 + (50x0,00015) = +11,005 m.

- Elevasi muka air di udik saluran pengantar/tepat di hilir intake bendung: + 11,0 + (50+20)x0,00015 = +11,0105 m.

- Kehilangan tinggi tekan di intake diambil = 0,20 m. - Elevasi muka air di udik intake : + 11,0105+0,20 = +11,2105 m. - Kehilangan tinggi tekan akibat eksploitasi diambil = 0,10 m.

Ketinggian elevasi mercu bendung

+11,2105 + 0,10 = +11,3105 m

Tabel 28. Penentuan Hidraulika Bendung

No Hidraulika Bendung

Keterangan

1 Penentuan Panjang Mercu Bendung

- Panjang mercu bendung ditentukan 120% lebar sungai rata-rata yang lebarnya bervariasi antara 35 – 40 m, sehingga dipilih lebar sungai = 37,50 m.

- Jadi panjang mercu bendung: 1,2 x 37,50 m = 45,0 m.

2 Penentuan Lebar Lubang Dan Pilar Pembilas

- Lebar bangunan pembilas diambil 10% dari lebar sungai = 0,1x37,5 = 3,75 m.

- Pembilas dibuat dua buah masing-masing lebarnya 1,90 m. - Lebar pilar pembilas ditetapkan masing-masing 1,50 m.

3 Perhitungan Panjang Mercu Bendung Efektif

- Panjang efektif mercu bendung dihitung dengan rumus: Be = Bb – 2 (n kp + ka) He, dengan :

- Be = panjang efektif mercu bendung (m); - Bb = panjang bruto mercu bendung (45 m); - k = jumlah pilar pembilas (k = 2); - kp = koefisien kontraksi pilas (kp = 0,01); - ka = koefisien kontraksi pangkal bendung (ka = 0,10); - He = tinggi energi (m).

- Perhitungannya menjadi: - Be = Bb – 2 (n kp + ka) - He = 45 – 2 (0,01 + 0,1) - He = 45 – 0,24 He

4 Perhitungan Tinggi Muka Air di Udik Bendung

- Elevasi muka air banjir di udik bendung dapat diketahui dengan menghitung tinggi energi dengan persamaan berikut ini.

- Qd = C.Be.He 3/2

, dengan - Qd = debit banjir rencana - C = koefisien pelimpah debit. - Be = panjang efektif mercu bendung, m. - He = tinggi energi, m.

5 Koefisien debit pelimpah (C)

- C = 3,97 (He/Hd)0,12, dimana He = Ha, dari persamaan tersebut diperoleh nilai C = 2,19;

- Tinggi energi dihitung dengan:

362 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

-He3/2

= BeC

Qd

. = 2,73 m (perhitungan ‘trial and error’ )

- Be = 45 – 0,24 (2.73) = 44.35 m.

- Tinggi tekanan (desain head), Ha dihitung dengan: - Hd = He – V

2/2 g dan dianggap V2/2g = 0, maka Ha = He = 2.73 m.

- Jadi tinggi muka air di udik bendung Ha = 2.73 m - Elevasi muka air banjir = Elevasi Mercu + Ha = 11,50 + 2.73 = +14,23 m.

6 Penentuan Nilai Jari-Jari Mercu Bendung

- Jari-jari mercu bendung ditentukan berdasarkan ha = Ha = 2,73 m; - q = 439,5/44,35 = 9,8 m3/det/m’ diperoleh R = 2,25 m.

7 Resume Perhitungan Hidraulik Bendung

- Lebar pembilas 2 x 1,90 = 3.80 m. - Lebar pilar pembilas 2 x 1,50 = 3,00 m. - Tinggi muka air diudik bending =73 m. - Elevasi muka air banjir = + 14.23 m. - Tinggi pembendungan = 4.0 m. - Kemiringan tubuh bending = 1:1

Pemilihan tipe peredam energi. Jenis sungai merupakan sungai aluvial dengan angkutan sedimen dominan dari fraksi pasir dan kerikil. Dengan sungai yang demikian maka bangunan energi yang dipilih adalah tipe lantai datar dengan ujung berkotak-kotak (MDO). Setelah dilakukan rekayasa terhadap aliran di Seumayam, maka sistem tata air di Rawa Tripa pada puncak musim kemarau mengalami perubahan. Perubahan tersebut adalah terjadinya recharge kedalam sistem rawa dan pengendalian atau penutupan drainase keluar dari rawa. Skema di Rawa Tripa akibat adanya pengaturan recharge dan discharge disajikan pada Gambar 23 yang menunjukkan bahwa seluruh saluran drainase dilakukan pengurangan volume drain. Tindakan ini dilakukan dengan merekayasa saluran yang terdapat di dalam areal perkebunan secara sistem jaringan, pembuatan bangunan pelengkap, rekayasa pelindung tebing atau lainnya. Tujuan dari rekayasa di saluran adalah untuk mempertahankan water table dari atas permukaan tanah tidak kurang dari 60 cm. Konservasi DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) memiliki keterkaitan secara menyeluruh antara bagian hulu, tengah dan hilir DAS. Kawasan Rawa Tripa yang merupakan bagian hilir dari DAS-DAS yang melintasinya merupakan daerah dimana tempat terkonsentrasi air sebelum mencapai laut. Kawasan Rawa Tripa didominasi oleh tanah Histosol seluas 34.551 Ha (56,96 %), Entisol seluas 19.458 Ha (32,08 %) dan Inceptisol seluas 6.648 Ha ( 10,96 %), secara rinci disajikan pada Tabel 28.

Tabel 28 memberikan informasi bahwa jenis tanah histosol merupakan jenis tanah yang mendominasi di kawasan Rawa Tripa jika dibandingkan dengan dari jenis tanah lainnya. Pembentukan jenis tanah histosol atau dikenal dengan peat soil akibat dari proses pelapukan bahan organik (flora dan fauna) pada kondisi an-aerob yang pernah hidup di Kawasan Tripa pada masa lalu. Selanjutnya, pembentukan tanah Entisol dan Inceptisol pada kawasan Rawa Tripa yang disebut juga sebagai jenis tanah alluvial terbentuk dari bahan alluvium (sedimen) yang mengendap akibat banjir. Secara perlahan, proses endapan sedimen pada kawasan Rawa Tripa membentuk tanah alluvial. Hal ini dapat dilihat dari lapisan tanah alluvial tersebut masih bercampur dengan tanah histosol pada lapisan dasar tanahnya. Sehingga, hal ini mengindikasikan bahwa ratusan tahun yang

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 363

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

lalu seluruh jenis tanah di kawasan Rawa Tripa pada awalnya adalah termasuk ke dalam jenis tanah Histosol.

Gambar 23. Skema Recharge dan Discharge Rencana Rawa Tripa pada musim kemarau setelah dibangun bendung

Tabel 28. Karakteristik Tanah di Kawasan Rawa Tripa

No

Sistem Klasifikasi Tanah Luas

Soil Taxanomi USDA Nasional Ordo Great Group Indonesia 2013 (Ha) (%)

1 Histosol Typic haplo fibrist Organosol fibrik 4.931 8,13 Typic haplo hemist Organosol hemik 3.679 6,07 Typic haplo saprist Organosol saprik 25.941 42,77 Sub total 34.551 56,96

2 Entisol Typic tropopluvent Alluvial eutrik 15.698 25,88 Typic tropaquent Alluvial gleik 3.760 6,20 Sub total 19.458 32,08

3 Inceptisol Typic distropepts Alluvial distrik 6.648 10,96

Total 60.657 100,0 Sumber : Laporan kajian 5 (2013)

Perubahan dari penggunaan lahan dari rawa menjadi lahan budidaya yang memerlukan drainase (pembuangan air gambut) menyebabkan terjadi perubahan kondisi an-aerob menjadi aerob yang memacu terjadinya pelapukan bahan organik pada tanah gambut. Proses pelapukan bahan organik ini menyebabkan hilangnya bahan organik dan menyebabkan terjadinya subsidance (penurunan muka tanah gambut) dan berkurangnya kemampuan gambut untuk menyerap air. Hasil dari observasi lapangan tentang berbagai ke dalaman tanah di Rawa Tripa disajikan pada Tabel 29.

Bendung

salur

an alami

RawaTripa

Saluran

drainase

Sungai Krueng Seumayam

Sungai Krueng Batee

Saluran

drainase

salur

an alami

Rawa Tripa

Saluran

drainase

Sungai Krueng Tripa

Saluran

drainase

Sam

ud

era

Hin

dia

Hujan dan saluran alami

Hujan dan saluran alami

364 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Tabel 29. Kedalaman Bahan Gambut di Lokasi Rawa Tripa

No Kedalaman Luas Areal

1 Gambut (cm) (Ha) (%)

a < 200 2.844, 46 4,69 b 200-300 19.411,40 32,00 c >300 12.296,22 20,27

2 Tanah mineral 26.105,20 43,04

Total 60.657,29 100,00 Sumber : Laporan kajian 5 (2013)

Gambut yang memiliki kedalaman > 3 m harus menjadi daerah konservasi, sementara gambut yang < 3 m dapat dipertimbangkan menjadi areal budidaya. Demikian juga daerah bantaran sungai (sisi kiri dan kanan) sungai juga termasuk areal konservasi. Arahan alokasi ruang di areal TPSF dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24. Arahan Alokasi Ruang di Lahan TPSF

Upaya mitigasi banjir dilakukan merelokasi perumahan penduduk yang yang berada di bantaran sungai bagian hilir di Kawasan Rawa Tripa atau menyesuaikan konstruksi bangunan rumah seperti rumah panggung yang lebih tinggi dari tinggi ancaman banjir yang terjadi. Selanjutnya, lokasi yang perlu dikonservasi khususnya untuk areal sempadan sungai dan sempandan pantai dapat dilihat pada Gambar 25.

Analisis Komponen Hidrologi terhadap Emisi Karbon

Emisi CO2 yang terjadi di Kawasan Gambut Rawa Tripa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: kedalaman muka air gambut, kadar air gambut, temperatur gambut dan electrical conductivity gambut. Secara umum, hubungan berbagai komponen hidrologi menunjukkan bahwa hujan (rainfall) meningkatkan water table dan volumetric water contents (VWC) tanah gambut di areal TPSF, demikian sebaliknya pada kondisi tidak ada hujan maka water table dan VWC tanah gambut mengalami penurunan. Namun, hubungan antara water table dengan CO2 flux masih belum dapat dijelaskan dengan baik karena memiliki nilai koefisien korelasi yang tidak significant (Kajian 9, 2013). Hal ini perlu dikaji lebih dalam karena peneliti lain berpendapat bahwa penurunan water table mempunyai korelasi positif dengan laju emisi karbon (Hooijer et al., 2006)

H1

H2

Tanah gambut> 3 m

Tanah mineral

Sungai

Areal Konservasi (AK) Budidaya Budidaya

AK AK AK AK

Sungai

Kubah gambut

Bantaran Sungai Bantaran Sungai

< 3 m < 3 m

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 365

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Gambar 25. Lokasi Rawa Tripa yang harus Dikonservasi

Dari konteks hidrologi, faktor utama yang menyebabkan tingginya emisi CO2 yang terjadi adalah kedalaman drainase karena berkaitan langsung dengan kedalaman air tanah (water table). Gambar 26 memperlihatkan adanya korelasi antara jumlah emisi CO2 (ton/ha/tahun) dengan tinggi muka air tanah gambut pada 3 wilayah geografi berbeda. Dari gambar tersebut terlihat bahwa, semakin dalam air tanah gambut diturunkan dari permukaan, maka semakin besar emisi CO2 yang ditimbulkan. Kondisi demikian dampaknya semakin besar di negara tropis dibandingkan di wilayah boreal dan temperate (Hooijer et al., 2006).

Perkebunan kelapa sawit di areal TPSF membangun dua jenis saluran yaitu saluran kolektor dan saluran transport. Fungsi saluran kolektor adalah untuk pengeringan lahan sedangkan saluran transport menerima air dari saluran kolektor untuk dibuang atau dialirkan ke sungai. Saluran kolektor dibuat pada sisi kiri dan kanan jalan blok dengan lebar 2,0 m dan dalam 1,5 m berdinding tanah (non lining) dengan kemiringan talud relatif terjal, yaitu 1H:5V. Kemiringan dasar saluran relatif kecil mendekati datar sehingga aliran air terjadi diakibatkan oleh adanya beda potensial muka air. Saluran transport dibuat sama dengan saluran kolektor hanya lebarnya yang lebih lebar yaitu sekitar 5.0 m (Kajian 6, 2013). Secara umum dapat dikatakan bahwa ke dua jenis saluran drainase tersebut memiliki kemampuan drainase yang besar jika tidak dikendalikan. Hooijer et al. (2006) menyatakaan bahwa pada setiap penambahan kedalaman drainase satu centimeter berpotensi meningkatkan emisi sebesar 0,91 ton CO2/ha/tahun (Gambar 26). Sehubungan dengan hal tersebut, upaya restorasi untuk pengendalian drainase dan rekayasa aliran air untuk mempertahankan tinggi jagaan muka air konstan sangat diperlukan.

366 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 26. Hubungan antara emisi CO2 dengan Kedalaman Air Tanah Gambut

Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi kondisi lahan rawa gambut Tripa perlu dilakukan dengan tujuan antara lain: (1) memonitor apakah rekomendasi kajian ini ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait, (2) mengevaluasi secara lebih mendalam tentang kondisi kekinian areal TPSF pasca kajian setelah rekomendasi rencana restorasi dilaksanakan termasuk kajian dampak positif dan negatifnya terhadap lingkungan di TPSF.

Tabel 30. Jadwal Rencana Kegiatan dan Monev Restorasi Areal TPSF

No Aktvitas Restorasi Lahan

Jadwal Kegiatan/Monev (Tahun ke- )

1 2 3 4 5

A Perencanaan : 1 Pengaturan Alokasi Ruang Detil di TPSF 2 DED Konservasl DAS 3 Kajian terhadap water yield 4 DED pengendalian drainase (canal blocking) 5 DED pembangunan bendung 6 AMDAL Konservasi DAS 7 AMDAL Pengendalian drainase dan pembangunan

bendung

B Pelaksanaan: 1 Konservasi DAS 2 Pembangunan pengendali drainase (canal blocking) 3 Pembangunan bendung C Monitoring dan Evaluasi: 1 Monev terhadap implementasi UPL dan UKL

Pembangunan bendung dan pengendalian drainase

2 Monev terhadap implementasi UPL dan UKL Pembangunan bendung dan pengendalian drainase

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 367

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Beberapa rekomendasi untuk restorasi areal TPSF seperti meredesain kembali alokasi ruang di TPSF, sistem tata air untuk pengendalian drainase, rekayasa aliran melalui pembuatan bendung, upaya konservasi DAS serta dampak postif dan negatif terhadap lingkungan muncul akibat pelaksanaaan kegiatan tersebut penting ditindaklanjuti serta dimonitor secara konprehensif. Demikian juga dengan keterlibatan masyarakat dan perusahaaan perkebunan di TPSF dalam upaya restorasi areal TPSF perlu dimonitor dan dievaluasi secara periodik. Bagaimana pun juga, restorasi areal TPSF tidak hanya mempertimbangkan aspek lingkungan, tetapi juga aspek ekonomi, khususnya masyarakat yang berada di sekitar TPSF. Selanjutnya, rekomendasi kegiatan monitoring dan evaluasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 30.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

1. Kawasan Rawa Tripa pada dasarnya merupakan kawasan banjir yang terletak di hilir dari WS Woyla – Tripa. Banjir yang terjadi di kawasan ini merupakan banjir tahunan dengan lama genangan berkisar antara 1 sampai 5 hari;

2. Terdapat 3 sungai utama pada Kawasan Rawa Tripa. Sungai terbesar di kawasan ini adalah sungai Krueng Tripa. Sedangkan 2 sungai besar lainnya adalah sungai Krueng Batee dan sungai Krueng Seumayam. Sungai Krueng Seumayam ini terletak tepat di tengah-tengah Rawa Tripa;

3. Dari sungai-sungai yang terdapat di Rawa Tripa, sungai Krueng Seumayam memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap banjir di Rawa Tripa. Limpasan banjir dari sungai ini sangat mempengaruhi sistem imbangan air rawa dan kualitas air rawa. Perubahan terhadap kualitas air rawa memberikan pengaruh yang sangat besar pada tingkat keasaman lahan di Kawasan Rawa Tripa;

4. Limpasan banjir yang terjadi dari Krueng Tripa mempengaruhi bahagian Barat dari kawasan Rawa Tripa. Kawasan yang dipengaruhi meliputi areal perkebunan PT. GSM, perkebunan campuran milik rakyat dan kawasan sepadan sungai. Banjir dari sungai Tripa membawa sedimen dalam jumlah besar dan memberi suplai tanah mineral ke dalam sistem rawa Tripa;

5. Banjir yang terjadi dari sungai Krueng Batee mempengaruhi sistem rawa yang terletak di sebelah Timur kawasan. Banjir dari Krueng Batee memberi pengaruh sangat dominan pada kawasan gambut di PT. Cemerlang Abadi dan PT. Patriot GSA. Banjir dari sungai Krueng Batee mempengaruhi secara langsung kondisi kolam-kolam rawa yang terletak di sepadan pantai dari kawasan Timur Rawa Tripa;

6. Berdasarkan kondisi imbangan air, alih fungsi penggunaan lahan di rawa Tripa memberi dampak yang sangat ekstrim. Perubahan penggunaan lahan dari kawasan hutan rawa menjadi perkebunan sawit menyebabkan terjadinya pengeringan air dari Rawa Tripa ke sungai-sungai yang ada di kawasan rawa. Proses ini menyebabkan terjadinya penurunan muka tanah akibat berkurangnya air di rawa yang mengakibatkan meningkatnya emisi karbon yang berasal dari TPSF.

7. Rencana restorasi lahan rawa di TPSF dapat diimplementasikan melalui manajemen air yang terkendali, rekayasa aliran sungai pada manajemen tata air, dan konservasi DAS. Manajemen air terkendali dilakukan dengan medesain kembali pola aliran, ukuran dan bentuk kanal.

8. Untuk menjaga keseimbangan air di lahan rawa TPSF dapat dilakukan dengan rekayasa aliran air Sungai Krueng Seumayam dengan pembuatan bendung sederhana yang dapat mengendalikan recharge water dan discharge water di areal TPSF.

368 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

9. Konservasi DAS di aeral TPSF dapat dilakukan dengan mengatur alokasi ruang gambut sesuai dengan yang direkomendasikan, perbaikan sistem pembuang air rawa, perlindungan sepadan sungai dan pantai.

B. Rekomendasi

1. Rencana restorasi lahan di TPSF perlu ditindaklanjuti melalui penyiapan dokumen untuk pengaturan alokasi ruang TPSF skala detil, DED pengendalian drainase, DED pembangunan bendung dan DED konservasi DAS, pelaksanaan kegiatan restorasi serta pelaksanaan monitoring dan evaluasi kegiatan restorasi.

2. Perlu segera dilakukan kajian mengenai hasil air (water yield) terhadap pola penggunaan lahan di TPSF untuk mendukung program monitoring dan evaluasi kegiatan restorasi.

3. Pembukaan lahan baru di TPSF perlu dihentikan dan rehabilitasi lahan yang telah rusak di luar konsesi perkebunan kelapa sawit seperti bantaran sungai dan sempadan pantai serta areal terlantar lainnya perlu segera dilakukan.

4. Kerjasama semua pihak yang melibatkan pihak pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah Aceh, pemerintah Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya), perusahaan kelapa sawit, masyarakat di sekitar areal TPSF, perguruan tinggi serta pihak terkait lainnya sangat diperlukan agar area Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) dapat bermanfaat secara adil dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Asdak, C (1995). Hidrologi dan pengelolaan DAS, Gadjah Mada University Press, Yokyakarta.

Ayob, K dan Wahab, A.K.A (2003). Hydrological Analysis of A Drained Peat Basin Using Time Series Correlation and Cross-correlation Fungtions,Jurnal Teknologi p63-74, Universiti Teknologi Malaysia, Malaysia.

Barkah, B.S dan Sidiq, M (1999). Panduan Penyekatan Parit/Kanal dan Pengelolaannya Bersama Masyarakat Di areal Hutan Rawa Gambut MRPP Kabupaten Musi Banyuasin, Dinas Kehutanan Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Blench (1961 dalam Gregory, K. J, 1977). River Channel Change. A Wiley Interscience, Publication, New York, USA.

Brooks, K.N., Ffolliott. P.F., Gregersen, H.M., and DeBano, L.F (2003). Hydrology and the management of watersheds. Iowa State. Blackwell Publishing Company, USA.

Brownlie, W. R. (1981). Prediction of flow depth and sediment discharge in open channels, Report No. KH-R-43A, W. M. Keck Laboratory of Hydraulics and Water Resources, California Institute of Technology, Pasadena, California, USA.

Chow, V.T (1959). Open Channel Hydraulic. McGraw-Hill, International Edition, New York, USA.

Chow, V.T., Maidment, D.R., and Mays, L.W (1988). Applied hydrology. McGraw-Hill, International Edition, New York, USA.

Clewell, A., Rieger, J., Munro, J (2005). Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects. 2nd Edition. Society for Ecological Restoration International.

Driessen, P.M and Suhardjo, H (1976). On The Defective Grain Formation of Sawah Rice on Peat, Bulletin 3. Soil Research Insitute, Bogor.

Fredsoe, J. and Deigaard, R (1992). Mechanics of Coastal Sediment Transport. Advanced Series on Ocean Engineerjng - Volume 3. World Scientific Publishing Co. Pe. Ltd, UK office, London.

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 369

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Hooijer, A., Silvius, M., Wösten, H. and Page, S (2006). PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943.

Leopod, et al. (1957 dalam Chang H.H. 1986). River Channel Change. A Justment of Equilibirium. J. Hydraulic Engineering. Vol. 112 (1), p 43-45.

Leopod, et al. (1964 dalam Gregory, K. J. 1977). River Channel Change. A Wiley Interscience, Publication, New York, USA.

Natural Resources Conservation Service. (1986). Conservation engineering division. Technical Release 55 . Urban Hidrology for Small Watershed, US Departement of Agriculture, Washington.

Mitsch, W.J., and Gosselink, J. G. (2011). Wetlands. Ecological Studies, Vol. 190, John Wiley & Sons.

Perrow, M.R., and Davy, A.J. 2002. Handbook of Ecological Restoration. Volume 1. Principles of restoration. Cambridge: Cambridge University Press.

Sri Harto (2000). Hidrologi ; Teori Masalah Penyelesaian, Nafiri, Yokyakarta.

Subramanya, K. (2009), Engineering Hydrology, Mc Graw Hill, Singapore.

Verhoeven, J.T.A., Beltman, B., Bobbink, R., and Whigham, D.F. (2006) Wetlands and Natural Resource Management, Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Ward, A.D., and Elliot, W.I. (1995). Environmental hydrology. Lewis Publishers, CRC Press Inc., New York.

370 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Lampiran 1. Hasil Pengujian Kualitas Air di Sungai-Sungai Rawa Tripa

NO PARAMETER SATUAN BAKU MUTU METODE ANALISA HASIL ANALISA (KODE LOKASI)

SM 1 A SM 2 A SS 01 STR 4 A STR 2 A SB A

A FISIKA

1 Bau - Tidak Berbau Organoleptik Tidak Berbau

2 Rasa - Tidak Berasa Organoleptik Tidak Berasa 3 Warna TCU 50 Spektofotometri 13,12 0,625 5 10,16 15,31 2,187 4 Kekeruhan/turbidity NTU 25 Termometri 41,2 2,65 5,57 19,02 15,32 4,65 5 Suhu :C Suhu udara ±3 :C Termometri 27,3 27,3 27,6 27,2 27,5 27,4 6 Zat Padatan Terlarut mg/l 1500 Gravimeter 25,6 42,8 34,3 82 66,7 32,3 B KIMIA 7 Air Raksa (Hg) mg/l 0,001 SSA TT TT TT TT TT TT 8 Arsen (As) mg/l 0,05 SSA TT TT TT TT TT TT 9 Besi (Fe) mg/l 1 SSA 0,0708 0,01 0,0502 0,065 0,0687 0,0099 10 Flourida (F) mg/l 1,5 Photometri 1,03 1,23 1,53 0,74 0,49 0,65 11 Kadmium (Cd) mg/l 0,005 SSA 0,0009 0,0003 0,0001 0,0003 0,0012 0,0006 12 Kesadahan (CaCO3) mg/l 500 Trimetri 44 52 26 76 76 44 13 Klorida (Cl

-) mg/l 600 Argentometri 5,68 5,68 9,23 8,52 11,36 6,39

14 Kromium (Cr total) mg/l 0,05 SSA 0,001 0,0016 0,0008 0,0022 0,0025 0,0012 15 Mangan (Mn) mg/l 0,5 SSA 0,0741 0,1174 0,1242 0,1068 0,1121 0,0991 16 Nitrat (NO3) mg/l 10 Brucin 0,061 0,003 0,006 0,168 0,213 0,012 17 Nitrit (NO2) mg/l 1 Spektrofotometri 0,021 0,008 0,023 0,03 0,062 0,004 18 pH - 6,5 – 9 Elektrometri 6,56 7,06 5,96 6,85 6,72 6,8 19 Seng (Zn) mg/l 15 SSA 0,0011 0,0016 0,0012 0,0031 0,0051 0,0009 20 Sianida (Cn) mg/l 0,1 Photometri 0,006 0,004 0,011 0,043 0,03 0,007 21 Sulfat (SO4) mg/l 400 Turbidimetri 6,544 2,279 0,172 19,78 6,709 0,441 22 Timbal (Pb) mg/l 0,05 SSA 0,0014 0,0003 0,0006 0,0004 0,0008 TT 23 Selenium (Se) mg/l 0,01 SSA TT TT TT TT TT TT 24 Zat Organik mg/l 10 Trimetri 0,217 0,821 0,236 0,304 0,623 0,405

Catatan :

SM = Sungai Krueng Seumayam, SB = Sungai Krueng Batee, SS = Sungai Krueng Seunaam, STR = Sungai Krueng Tripa

RENCANA RESTORASI LAHAN RAWA | 371

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Lampiran 2. Hasil Pengujian Kualitas Air di Saluran Kebun Sawit Rawa Tripa

NO PARAMETER SATUAN BAKU MUTU METODE ANALISA HASIL ANALISA (KODE LOKASI)

RO 2 A RO 2 C RO 3 RO 6 A RO 7 A RO 12 A RO 13

A FISIKA 1 Bau - Tidak Berbau Organoleptik Tidak Berbau 2 Rasa - Tidak Berasa Organoleptik Tidak Berasa 3 Warna TCU 50 Spektofotometri 28,906 35,469 135,14 21,875 6,094 11,72 22,34 4 Kekeruhan/turbidity NTU 25 Termometri 3,18 2,8 3,34 3,73 2,75 7,33 8,23 5 Suhu :C Suhu udara ±3 :C Termometri 27,9 28,1 27,7 27,7 27,9 27,3 27,5 6 Zat Padatan Terlarut mg/l 1500 Gravimeter 83,6 24,9 33,6 33,6 24,9 43,2 61,7 B KIMIA 7 Air Raksa (Hg) mg/l 0,001 SSA TT TT TT TT TT TT TT 8 Arsen (As) mg/l 0,05 SSA TT TT TT TT TT TT TT 9 Besi (Fe) mg/l 1 SSA 0,0988 0,1371 0,1986 0,0877 0,021 0,1104 0,1518 10 Flourida (F) mg/l 1,5 Photometri 0,77 0,69 0,39 0,83 1,95 1 2,28 11 Kadmium (Cd) mg/l 0,005 SSA 0,0011 0,0017 0,0027 0,0017 0,0016 0,0012 0,0009 12 Kesadahan (CaCO3) mg/l 500 Trimetri 110 60 100 26 44 50 56 13 Klorida (Cl

-) mg/l 600 Argentometri 9,23 7,1 7,1 9,94 8,52 7,81 7,81

14 Kromium (Cr total) mg/l 0,05 SSA 0,0023 0,0039 0,004 0,0038 0,0041 0,0037 0,0035 15 Mangan (Mn) mg/l 0,5 SSA 0,1397 0,1654 0,1243 0,1134 0,1261 0,1267 0,002 16 Nitrat (NO3) mg/l 10 Brucin 2,332 1,141 0,855 0,523 0,003 0,614 1,404 17 Nitrit (NO2) mg/l 1 Spektrofotometri 0,072 0,018 0,024 0,005 0,001 0,118 1,966 18 pH - 6,5 – 9 Elektrometri 6,46 5,93 5,63 5,8 6,08 6,23 6,39 19 Seng (Zn) mg/l 15 SSA 0,0014 0,0032 0,0031 0,0023 0,0008 0,0051 0,015 20 Sianida (Cn) mg/l 0,1 Photometri 0,004 0,003 0,007 0,005 0,003 0,006 0,012 21 Sulfat (SO4) mg/l 400 Turbidimetri 14,14 6,299 18,43 12,55 7,525 14,26 4,093 22 Timbal (Pb) mg/l 0,05 SSA 0,0005 0,0004 0,0011 0,0099 0,0002 0,0003 0,0006 23 Selenium (Se) mg/l 0,01 SSA TT TT TT TT TT TT TT 24 Zat Organik mg/l 10 Trimetri 0,724 0,186 0,245 0,512 0,167 1,186 10,97

Catatan : RO 2, RO 3 dan RO 6 berada di antara sungai Krueng Tripa dan sungai Krueng Seumayam RO 7, RO 12 dan RO 13 berada di antara sungai Krueng Seumayam dan Krueng Batee

372 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Lampiran 3. Hasil Pengujian Kualitas Air di lahan dan Genangan di lahan Rawa Tripa

NO PARAMETER SATUAN BAKU MUTU METODE ANALISA HASIL ANALISA (KODE LOKASI)

4 A 3 A 2 A 1 A 5 A

A FISIKA 1 Bau - Tidak Berbau Organoleptik Tidak Berbau 2 Rasa - Tidak Berasa Organoleptik Tidak Berasa 3 Warna TCU 50 Spektofotometri 233,44 418,59 468,75 173,75 182,5 4 Kekeruhan/turbidity NTU 25 Termometri 136 263 323 170,3 61,8 5 Suhu :C Suhu udara ±3 :C Termometri 27,4 27,7 28 28,1 27,6 6 Zat Padatan Terlarut mg/l 1500 Gravimeter 20,7 32,4 34,1 21,2 33,9 B KIMIA 7 Air Raksa (Hg) mg/l 0,001 SSA TT TT TT TT TT 8 Arsen (As) mg/l 0,05 SSA TT TT TT TT TT 9 Besi (Fe) mg/l 1 SSA 0,0686 0,2793 0,3312 0,0491 0,0964 10 Flourida (F) mg/l 1,5 Photometri 2,49 2,88 3,36 0,95 1,28 11 Kadmium (Cd) mg/l 0,005 SSA 0,0013 0,0018 0,0016 0,0013 0,0008 12 Kesadahan (CaCO3) mg/l 500 Trimetri 560 540 560 400 720 13 Klorida (Cl

-) mg/l 600 Argentometri 71 8,52 78,1 78,1 71

14 Kromium (Cr total) mg/l 0,05 SSA 0,0023 0,0022 0,0016 0,0011 0,002 15 Mangan (Mn) mg/l 0,5 SSA 0,0964 0,1158 0,0676 0,122 0,0028 16 Nitrat (NO3) mg/l 10 Brucin 3,832 7,255 12,82 2,961 2,675 17 Nitrit (NO2) mg/l 1 Spektrofotometri 0,114 0,589 0,812 0,278 0,187 18 pH - 6,5 – 9 Elektrometri 4,86 5,29 5,27 5,05 4,36 19 Seng (Zn) mg/l 15 SSA 0,0116 0,0111 0,0137 0,012 0,0179 20 Sianida (Cn) mg/l 0,1 Photometri 0,122 0,211 0,255 0,087 0,063 21 Sulfat (SO4) mg/l 400 Turbidimetri 89,39 162,4 208,5 95,88 87,79 22 Timbal (Pb) mg/l 0,05 SSA 0,0004 0,0014 0,0006 0,0001 0,0001 23 Selenium (Se) mg/l 0,01 SSA TT TT TT TT TT 24 Zat Organik mg/l 10 Trimetri 1,149 5,892 8,123 2,781 1,873