keadaan umum wilayah -...

16
KEADAAN UMUM WILAYAH | 5 5 2 KEADAAN UMUM WILAYAH General Description of The Regions I. LETAK ADMINISTRASI DAN AKSESIBILITAS real Hutan Rawa Gambut Tripa (Tripa Peat Sweamp-Forest = TPSF) merupakan suatu wilayah ekologi (ecoregion) dataran rendah yang terdapat di wilayah Pantai Barat Selatan Provinsi Aceh, Indonesia. Secara administrasi, areal TPSF ini merupakan bagian dari Kecamatan Tripa Timur (Kecamatan Darul Makmur) Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Babahrot dan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya yang luasnya sekitar 60.657,29 ha. Secara geografis areal TPSF ini terletak pada posisi 03 0 44’ - 03 0 56’ Lintang Utara dan 96 0 23’ - 96 0 46’ Bujur Timur. Luas areal yang termasuk dalam Kecamatan Tripa Timur (Darul Makmur) adalah 35.600,20 hektar, sedangkan yang masuk ke dalam Kecamatan Babahrot dan Kuala Batee seluas 25.057,09 hektar. Tinggi wilayah TPSF berada dari 3 hingga 12 meter di atas permukaan laut. Adapun batas-batas wilayah ekosistem Rawa Tripa ini adalah sebagai berikut : Sebelah Utara berbatas dengan perkampungan penduduk Kecamatan Tripa Timur (Darul Makmur) Kabupaten Nagan Raya Sebelah Selatan berbatas dengan Samudera Hindia. Sebelah Timur berbatas dengan wilayah perkampungan penduduk Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, dan Sebelah Barat berbatas dengan Sungai Lammie dan Samudera Hindia. Untuk lebih jelasnya, areal TPSF beserta batasnya dapat dilihat pada Gambar 1. Lokasi TPSF dapat diakses dengan menggunakan jalan darat yang berjarak sekitar 4 Km dari jalan raya Meulaboh – Blang Pidie. Jalan ini termasuk jalan nasional Kelas A dengan lebar jalan sekitar 8-10 meter beraspal beton hotmix. Kota terdekat dengan wilayah ini adalah Blang Pidie (ibukota Kabupaten Aceh Barat Daya) yang berjarak sekitar 50 Km arah ke Barat dari kota tersebut. Dari kota ini memerlukan waktu tempuh sekitar 2 jam perjalanan hingga mencapai areal yang dituju. Dari jalan utama menuju lokasi, tidak tersedia jalan umum, namun untuk mencapai lokasi dapat dilalui dengan kenderaan roda 4 dan roda 2 melewati jalan milik desa dan jalan milik Perusahaan HGU yang masih berupa jalan tanah (belum pengerasan). Dari ibukota Provinsi Aceh, lokasi TPSF ini berada di sebelah Barat-Selatan Provinsi Aceh dengan jarak sekitar 456 Km dari Kota Banda Aceh yang dapat ditempuh sekitar 7 jam perjalanan darat dengan kenderaan roda empat. Dengan perjalanan udara untuk menuju lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat Cessna milik maskapai penerbangan Susi Air dengan waktu tempuh sekitar 45 menit dari Bandara Sultan A

Upload: dangtu

Post on 08-Apr-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KEADAAN UMUM WILAYAH | 5

5

2 KEADAAN UMUM WILAYAH

General Description of The Regions

I. LETAK ADMINISTRASI DAN AKSESIBILITAS

real Hutan Rawa Gambut Tripa (Tripa Peat Sweamp-Forest = TPSF) merupakan suatu wilayah ekologi (ecoregion) dataran rendah yang terdapat di wilayah Pantai Barat Selatan Provinsi Aceh, Indonesia. Secara administrasi, areal TPSF ini

merupakan bagian dari Kecamatan Tripa Timur (Kecamatan Darul Makmur) Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Babahrot dan Kuala Batee Kabupaten Aceh Barat Daya yang luasnya sekitar 60.657,29 ha. Secara geografis areal TPSF ini terletak pada posisi 03044’ - 03056’ Lintang Utara dan 96023’ - 960 46’ Bujur Timur. Luas areal yang termasuk dalam Kecamatan Tripa Timur (Darul Makmur) adalah 35.600,20 hektar, sedangkan yang masuk ke dalam Kecamatan Babahrot dan Kuala Batee seluas 25.057,09 hektar. Tinggi wilayah TPSF berada dari 3 hingga 12 meter di atas permukaan laut.

Adapun batas-batas wilayah ekosistem Rawa Tripa ini adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara berbatas dengan perkampungan penduduk Kecamatan Tripa Timur (Darul Makmur) Kabupaten Nagan Raya

Sebelah Selatan berbatas dengan Samudera Hindia.

Sebelah Timur berbatas dengan wilayah perkampungan penduduk Kecamatan Babah Rot Kabupaten Aceh Barat Daya, dan

Sebelah Barat berbatas dengan Sungai Lammie dan Samudera Hindia.

Untuk lebih jelasnya, areal TPSF beserta batasnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Lokasi TPSF dapat diakses dengan menggunakan jalan darat yang berjarak sekitar 4 Km dari jalan raya Meulaboh – Blang Pidie. Jalan ini termasuk jalan nasional Kelas A dengan lebar jalan sekitar 8-10 meter beraspal beton hotmix. Kota terdekat dengan wilayah ini adalah Blang Pidie (ibukota Kabupaten Aceh Barat Daya) yang berjarak sekitar 50 Km arah ke Barat dari kota tersebut. Dari kota ini memerlukan waktu tempuh sekitar 2 jam perjalanan hingga mencapai areal yang dituju.

Dari jalan utama menuju lokasi, tidak tersedia jalan umum, namun untuk mencapai lokasi dapat dilalui dengan kenderaan roda 4 dan roda 2 melewati jalan milik desa dan jalan milik Perusahaan HGU yang masih berupa jalan tanah (belum pengerasan). Dari ibukota Provinsi Aceh, lokasi TPSF ini berada di sebelah Barat-Selatan Provinsi Aceh dengan jarak sekitar 456 Km dari Kota Banda Aceh yang dapat ditempuh sekitar 7 jam perjalanan darat dengan kenderaan roda empat. Dengan perjalanan udara untuk menuju lokasi ini dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat Cessna milik maskapai penerbangan Susi Air dengan waktu tempuh sekitar 45 menit dari Bandara Sultan

A

6 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Iskandar Muda Aceh Besar menuju Bandara Cut Nyak Dhin, Nagan Raya. Jalur udara bisa juga ditempuh dengan pesawat jenis ATR 500 milik perusahaan penerbangan Wings Air dari Kuala Namu, Medan menuju bandara Cut Nyak Dhin. Dari bandara Cut Nyak Dhin ini, selanjutnya harus melalui jalan darat kenderaan roda empat atau roda dua menuju lokasi.

Gambar 1. Peta Letak Geografis dan Batas Administrasi Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)

II. IKLIM DAN HIDROLOGI

A. Iklim

Berdasarkan hasil analisis data curah hujan dan jumlah hari hujan selama 10 tahun (dari 2006-2010) yang disajikan pada Lampiran 1 dan Lampiran 2, areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) merupakan wilayah yang termasuk ke dalam iklim tropika basah atau wilayah dengan tipe iklim basah. Data curah hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Bandara Cut Nyak Dhin Kabupaten Nagan Raya dan data Dari Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Barat Daya menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata tahunan di wilayah studi TPSF ini cukup tinggi yaitu mencapai 3.967,54 mm per tahun dengan variasi antara 2.822-4.109 mm per tahun. Rata-rata curah hujan bulanan dan jumlah hari hujan di wilayah studi disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. menunjukkan bahwa distribusi hujan bulanan umumnya merata sepanjang tahun dengan curah hujan terendah terdapat pada bulan Februari yaitu 210,41 mm dan tertinggi pada bulan November yaitu 500,73 mm per bulan. Musim penghujan terjadi pada penghujung tahun sampai awal tahun dan musim kemarau terjadi pada pertengahan tahun yaitu mulai bulan Mei sampai Agustus. Adapun distribusi hujan rata-rata bulanan dapat dilihat pada Gambar 1.

KEADAAN UMUM WILAYAH | 7

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 1. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan di Wilayah TPSF

No Bulan Rata-rata Curah Hujan

(HH) (mm)

1. Januari 16,89 341,57 2. Februari 13,44 210,41 3. Maret 17,22 306,08 4. April 19,60 431,82 5. Mei 14,00 270,47 6. Juni 13,70 247,76 7. Juli 15,20 251,99 8. Agustus 14,90 249,84 9. September 16,50 378,82

10. Oktober 20,20 442,14 11. November 21,89 500,73 12. Desember 19,11 335,91

Jumlah 202.66 3967.54

Sumber : BMG Cut Nyak Dhin Nagan Raya dan Distan Abdya (2013)

Gambar 2. Distribusi Hujan Bulanan Rata-rata di Lokasi Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (2013)

Gambar 2. memperlihatkan bahwa hampir sepanjang tahun di wilayah TPSF ini tidak terdapat bulan kering. Berdasarkan data curah hujan terhadap rasio jumlah kering dan bulan basah, maka menurut tipe iklim Schmidt-Ferguson, maka wilayah Hutan Rawa Gambut Tripa ini tergolong ke dalam iklim tipe A (iklim basah). Dari data iklim juga diketahui bahwa temperatur udara (suhu) rata–rata wilayah Hutan Rawa Gambut Tripa

8 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

ini bervariasi dari 25-26 0C dengan suhu minimum 20 0C dan suhu maksimum 34 0C. Tingkat kelembaban udara sangat tinggi yaitu 65 sampai 87 % dan lamanya penyinaran rata-rata per hari adalah 13-14 jam. Kecepatan angin di wilayah ini bervariasi dari 5 hingga lebih 30 knot/jam. Pada musim-musim tertentu (bulan Mei hingga Agustus) biasanya terjadi tiupan angin yang agak kencang yang akibat badai tropis dari Samudera Hindia.

B. Hidrologi

Areal TPSF ini awalnya merupakan areal hutan rawa bergambut dan menjadi bagian dari Areal Ekosistem Leuser (Yayasan Ekosistem Lestari, 2008). Saat ini areal yang masih berupa hutan rawa luasnya tidak lebih dari seperempat areal TPSF (Analisis Peta Tutupan Lahan, 2013) dan tidak lagi berfungsi sebagai rawa karena telah terjadi pengeringan. Areal TPSF ini merupakan dataran aluvial yang senantiasa dipengaruhi oleh luapan air sungai. Ada 4 (empat) aliran sungai yang melewati wilayah ini yaitu (1) Sungai Krueng Tripa; (2) Sungai Krueng Lamie/Kr. Senueam; (3) Sungai Krueng Seumayam; dan (4) Sungai Krueng Babahrot/Kr. Batee. Keempat sungai ini berasal dari tiga hulu yaitu bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Tripa. Hulu sungai Krueng Tipa terdapat di Kabupaten Gayo Lues dan bermuara ke Lautan Hindia melewati Kabupaten Nagan Raya sedangkan hulu Sungai Lamie/Kr. Seneuam berada di Kabupaten Nagan Raya dan Sungai Seumayam dan Kr. Batee berada Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) Kecamatan Babahrot.

Sungai-sungai utama tersebut yang berada dalam areal TPSF ini dapat digolongkan sebagai sungai besar yang mempunyai lebar antara 20-40 meter dengan sumber air yang cukup banyak dan kontinyu, maka tidak pernah mengalami kekeringan sepanjang tahun. Meskipun sungai-sungai tersebut memiliki sumber air tetap, tetapi berdasarkan hasil observasi lapangan diketahui bahwa telah terjadi fluktuasi air yang sangat berbeda antara musim penghujan dengan musim kemarau. Hasil pemantauan lapangan dan informasi dari masyarakat setempat, pada musim penghujan, luapan air sungai dapat menimbulkan banjir besar dan genangan yang luas hingga mengenai wilayah pemukiman penduduk. Akibatnya banyak areal pertanian dan infrastruktur yang rusak serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, umumnya pada daerah pinggir-pinggir sungai yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berusahatani dengan bertanam Kelapa Sawit dan Kebun Campuran.

Pada umumnya banjir ini disebabkan oleh air kiriman dari hulu DAS yang melewati wilayah Rawa Tripa yang diperkirakan wilayah hulu tersebut telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat menyimpan air secara maksimal. Untuk lebih jelasnya debit musiman dan debit rata-rata ke tiga sungai tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nama Sungai, Luas Penampang, dan Keadaan Debit Sungai yang terdapat di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF)

Nama Sungai

Normal Asungai (m

2)

Banjir Tahunan (m

3/det)

Banjir 2 Tahunan (m

3/det)

PMF (m

3/det) Abasah (m

2) V (m/det)

Q (m

3/det)

Kr. Tripa 1.411.800 0,54 75.583 279.470 274.300 293.525 2.926.802

Kr. Seumayam 788.300 0,41 30.986 96.990 266.060 271.620 1.427.029

Kr. Batee 952.500 0,55 52.056 213.550 264.600 272.565 1.755.841

Sumber : Hasil Pengukuran dan Analisis Data (2013)

KEADAAN UMUM WILAYAH | 9

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Keadaan drainase alami di lokasi TPSF ini sangat jelek (terhambat) dan hampir seluruh areal selalu berada dalam keadaan tergenang sebagai rawa, kecuali wilayah yang berdekatan dengan sungai yang memiliki sistem drainase yang relatif agak baik. Dengan kondisi drainase yang terhambat tersebut, maka untuk menggarap areal hutan gambut di lokasi ini, masyarakat/para pemegang HGU terlebih dahulu membuat saluran drainase untuk pengeringan lahan. Kalau ditinjau dari ketinggian tempat pada umumnya areal Hutan Rawa Gambut Tripa, dapat dipastikan tidak terjadi limpasan air laut, demikian juga dengan intrusi karena merupakan areal rawa yang selalu jenuh air pada lapisan bawah, maka areal tersebut secara keseluruhan di areal tersebut tidak terdapat lapisan pirit (FeS2). Adapun pola drainase di lokasi TPSF lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Keadaan Hidrologi Sungai dan Pola Drainase di daerah TPSF

Akibat pola drainase dan bentuk wilayah yang datar dan berawa, maka manakala terjadi banjir, sebagian wilayah ini mengalami genangan dengan lama genangan bervariasi dari 1 hingga 3 hari lebih. Adapun wilayah genangan banjir dapat dilihat pada peta banjir dan peta lama genangan di Areal TPSF (Gambar 4 dan Gambar 5).

Gambar 3. Keadaan Hidrologi sungai dan pola drainse di daerah TPSF

Gambar 4. Peta Wilayah Genangan di areal TPSF

10 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 5. Peta Lama Genangan di areal TPSF

C. Geologi, Topografi, dan Jenis Tanah

Berdasarkan Peta Geologi Provinsi Aceh, ekosistem Rawa Tripa merupakan daerah depresi (cekungan) yang membentuk tiga kubah gambut (dome). Pemisah antara tiga kubah gambut ini adalah dataran Aluvial yang membentuk tebing sungai. Topografi wilayah TPSF ini merupakan daerah dengan kelas lereng tunggal yaitu memiliki bentuk wilayah yang datar/landai dengan kemiringan lahan 0-2%, namun permukaan tanah mineral bervariasi dari 3-12 meter di atas permukaan laut (dpl). Hal ini terjadi karena sebagian besar wilayah merupakan wilayah daratan yang didominasi oleh gambut, meskipun gambut yang ada sudah tercampur juga dengan bahan endapan sungai. Pola perubahan lithologi di areal TPSF berdasarkan analisis peta litologi dan sebaran gambut dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Pola Lithologi dan Sebaran Bahan Induk Tanah di Daerah TPSF

KEADAAN UMUM WILAYAH | 11

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Terbentuknya kubah gambut diperkirakan telah terjadi selama puluhan ribu tahun yaitu sejak zaman Plestocen. Menurut Driessen (1978), rawa gambut dapat terbentuk akibat adanya wilayah depresi yang menyebabkan terjadinya genangan. Genangan dalam kurun waktu yang lama menyebabkan terjadinya akumulasi bahan organik sehingga membentuk kubah gambut. Proses ini diduga terjadi pada pembentukan rawa gambut Tripa. Wilayah dengan bahan gambut ini selanjutnya tumbuh berbagai vegetasi unik yang merupakan vegetasi rawa bergambut. Selanjutnya, lahan gambut menjadi suatu ekosistem di mana di bawah kondisi jenuh air secara permanen bahan–bahan tanaman mati dan yang telah/tengah mengalami perombakan dan terakumulasi untuk membentuk sebuah lapisan tanah yang tebal organik (gambut).

Berdasarkan hasil pemetaan lapangan, areal TPSF terdapat dua ordo tanah yaitu Entisol, Inceptisol, dan Histosol (menurut system USDA, 2010), sedangkan menurut Sistem Klasifikasi Tanah Nasional (BBPSDLP, 2011), di wilayah ini terdapat dua jenis tanah yaitu tanah Aluvial dan tanah Gambut. Tanah Aluvial terdiri atas dua macam yaitu Aluvial yang terbentuk atas material endapan sungai dan Aluvial yang telah bercampur dengan gambut sehingga berkembang tiga macam tanah yaitu Aluvial Distrik (Inceptisol), Aluvial Eutrik (Entisol), dan Aluvial Gleik atau Gley Humus (Entisol) dan Tanah Gambut (Peat Soils) atau Organosol (Histosol). Tanah mineral yang dijumpai di wilayah dekat pantai atau daerah yang dipengaruhi laut umumnya terbentuk dari bahan endapan marin/laut karena proses pengendapan yang dipengaruhi oleh air laut. Sedangkan pada wilayah agak ke pedalaman dimana pengaruh arus sungai cenderung kuat, tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai yang pada kedalaman tertentu masih terdapat bahan gambut.

Distribusi jenis tanah di lokasi studi Rawa Tripa yang berdasarkan survai lapangan dan analisis data dapat dilihat pada peta jenis tanah. Dari peta tersebut menunjukkan bahwa Tanah Gambut (Histosol) merupakan ordo tanah yang paling luas dengan kedalaman pada tempat-tempat tertentu lebih dari 3 meter (sangat dalam) dengan tingkat perkembangan safrik pada lahan-lahan telah dibuka menjadi lahan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan yang memiliki HGU dan oleh masyarakat dan tingkat hemik pada wilayah-wilayah yang masih berupa hutan rawa dan lahan terbuka yang belum diusahakan. Lahan dengan jenis tanah Aluvial/Entisol umumnya terdapat di kiri kanan sungai dan daerah pesisir pantai atau di antara dua kubah gambut. Untuk lebih jelas penyebaran jenis tanah pada wilayah rawa tripa (TPSF) dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran Jenis Tanah di Wilayah Ekosistem Rawa Tripa

12 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

D. Pola Penggunaan Lahan

Kondisi terakhir di areal Hutan Rawa Gambut Tripa menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan di lokasi ini terdiri atas 4 (empat) jenis penggunaan yaitu hutan, kebun campuran, lahan perkebunan kelapa sawit, dan lahan terbuka. Pola penggunaan lahan di lokasi studi secara rinci disajikan pada Tabel 3 yang memperlihatkan bahwa areal TPSF secara umum didominasi oleh areal perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran yang luasnya mencapai lebih dari 75 % total areal. Kebun campuran di lokasi ini merupakan lahan yang telah dibuka dan telah ditanami dengan kelapa sawit, namun masih bercampur dengan pohon semak. Umumnya areal ini merupakan areal garapan masyarakat desa di sekitar lokasi ini. Lahan perkebunan merupakan luas areal kedua yang luasnya mencapai lebih dari 15 ribu hektar atau sekitar 25% dan areal ini merupakan milik beberapa perusahaan HGU yang telah mendapat izin untuk melakukan konsesi hutan rawa menjadi lahan perkebunan kelapa sawit (Gambar 8).

Tabel 3. Pola Penggunaan Lahan dan Vegetasi Dominan di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa

Penggunaan Lahan

Vegetasi Dominan Luas Areal

ha %

Hutan Kayu-kayu hutan diameter 5-20 cm dengan kepadatan sedang.

12.196,29 20,11

Kebun campuran

Kelapa sawit, kayu semak, dan jenis tanaman pertanian lainnya

30.338,15 50,02

Lahan perkebunan

Kelapa sawit 15.278,38 25,09

Lahan terbuka

Rumput dan alang-alang 2.905,77 4,79

Total 60.657,29 100,00

Sumber : Hasil Survai dan Analisis Peta (2013)

Karakteristik vegetasi yang terdapat di lokasi studi terdiri atas tanaman budidaya dan vegetasi alami. Tanaman budidaya yang paling dominan adalah kelapa sawit hanya sebagian kecil tanaman budidaya lainnya, sedangkan non-budidaya adalah vegetasi hutan rawa dan semak belukar serta rumput/alang-alang. Hutan pohon yang ada densitasnya relatif tidak terlalu lebat dan rata-rata mempunyai ukuran diameter kayu 5-11 cm. Jenis tumbuhan hutan yang terdapat di lokasi antara lain, kayu hutan rawa, kayu bukan hutan, pakis, dan lain-lain, namun tanaman-tanaman ini sebagian merupakan sisa tebang dan sebagian yang tumbuh sebagai hutan sekunder. Contoh perkembangan beberapa tipe vegetasi di wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 9.

KEADAAN UMUM WILAYAH | 13

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Gambar 8. Peta Penutupan Lahan di Areal Rawa Tripa (Keadaan Tahun 2013)

Gambar 9. Hasil Pemotretan Beberapa Tipe Penggunaan Lahan di Lokasi Studi Rawa Tripa

14 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Areal yang masih berupa hutan asli/hutan rawa diperkirakan hanya tinggal 12.196 hektar atau sekitar 20%. Areal ini merupakan daerah yang dianggap habitatnya belum begitu terganggu dan terdapat di bagian kubah gambut tengah dari areal TPSF yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Penggunaan lahan lainnya adalah lahan terbuka yaitu sekitar 4,79%. Lahan ini adalah lahan yang baru dibuka tetapi belum ditanami dengan tanaman.

Lahan dalam areal Rawa Tripa didominasi oleh dua ordo tanah utama, yakni Entisol dan Histosol, namun ada juga sedikit tanah entisol yang telah berkembang menjadi Inseptisol. Semula lahan ini berupa hutan rawa gambut yang ditutupi oleh vegetasi karakteristik rawa. Sejak tahun 1990 lahan rawa ini telah berubah fungsi dengan adanya pembukaan kebun oleh Perusahaan Perkebunan Besar dan perkebunan rakyat, sehingga sekarang ini penggunaan lahannya dapat dibedakan atas Perkebunan Besar, Perkebunan Rakyat (dengan jenis vegetasi tanaman kelapa sawit), dan hutan rawa. Untuk lebih jelasnya luas penggunaan lahan masing – masing disajikan pada Tabel 4.

Hutan Rawa

Pada awalnya kondisi hutan rawa gambut bercirikan akumulasi bahan organik (gambut) dengan ketebalan yang lebih dari 50 cm dan tergenang sepanjang tahun dengan kedalaman yang bervariasi (tergantung demand dan suplai air dari curah hujan dan aliran permukaan). Akan tetapi keadaan hutan dalam areal rawa tripa sekarang ini sudah berubah sangat jauh akibat pengeringan lahan yang dilakukan dalam areal perkebunannya. Jenis vegetasi rawa sudah mati dan sebagian sudah digantikan oleh vegetasi darat yang terjadi secara alami. Kematian vegetasi asli ini terjadi karena berubahnya ekologi tanaman dari kondisi rawa menjadi lahan kering akibat pengeringan lahan yang berlebihan untuk pembukaan lahan perkebunan.

Tabel 4. Pola Penggunaan Lahan dalam Areal Hutan Rawa Tripa

Jenis Penggunaan Lahan

Umur Pembu-

kaan (th)

Luas Keterangan

Ha (ha) (%)

Hutan Rawa 0 11.809,54 19,47 Hutan rawa yang sudah kering

Lahan Terbuka < 1 3.216,83 5,30 Baru dibuka utk.kebun Kebun Campuran 1 – 3 8.964,46 14,78 Vegetasi dominan

kelapasawit Kebun campuran > 3 20.109,73 33,15 Vegetasi dominan

kelapasawit Perkebunan Kelapa sawit

< 3 928,62 1,53 Areal HGU Perkebunan

Perkebunan Kelapa sawit

3 – 9 8.096,51 13,35 Areal HGU Perkebunan

Perkebunan Kelapa sawit

> 9 7.531,59 12,42 Areal HGU Perkebunan

Jumlah 60.657,29 100,00

Sumber: Hasil survai diolah (2013)

KEADAAN UMUM WILAYAH | 15

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Hanya pada beberapa tempat tertentu saja yang jaringan drainasenya belum memadai, kondisi hutannya masih bercirikan rawa gambut. Tidak banyak lagi sisa hutan dalam areal Rawa Tripa ini yang sebagian berupa areal konservasi yang dicadangkan oleh PT. Perkebunan Surya Panen Subur seluas 5.000 ha. Selain itu berupa lahan yang disengketakan antara PT. Perkebunan Kalista Alam dengan pemerintah daerah seluas 1.600 ha. Lahan bebas lainnya sudah digarap oleh masyarakat setempat sebagai perkebunan kelapa sawit.

Lahan Terbuka

Lahan terbuka disini dimaksudkan dengan Lahan yang sudah dibuka untuk penanaman kelapa sawit namun penanamannya belum dilakukan. Pembukaan lahan ini sebagian dilakukan oleh Perusahaan PT. Perkebunan Kelapa sawit yang lahannya termasuk dalam areal konsesi mereka, dan sebagian lainnya dilakukan oleh masyarakat setempat. Luas lahan terbuka ini sekitar 3.216,83 hektar yang tersebar secara sporadis oleh masyarakat untuk areal rencana pembukaan lahan baru. Lahan terbuka ini di beberapa tempat ada yang telah ditumbuhi dengan rumput/ilalang dan semak belukar.

Kebun Campuran

Pada hakekatnya areal ini berupa perkebunan kelapa sawit milik masyarakat setempat, namun dalam pengelolaannya mereka juga menanami lahan tersebut dengan jenis tanaman lainnya, seperti pisang, jabon, kelapa, pinang, jeruk dan lainnya, sehingga terkesan sebagai kebun campuran sekalipun tanaman utamanya kelapa sawit. Sebagian besar lahan ini merupakan lahan yang telah ditanami dengan kelapa sawit yang umumnya berusia antara 3-8 tahun. Oleh karena itu, lahan ini masih dapat dibedakan atas kebun campuran usia 1-3 tahun seluas 8.964,46 ha, kebun campuran usia 4-8 tahun (> 3 tahun) seluas 20.109,73 ha. Jika dibandingkan dengan luas areal Areal Rawa Tripa, maka pemanfaatan lahan dalam bentuk kebun campuran ini mencapai luas hampir separuh dari luas areal TPSF.

Perkebunan Kelapa Sawit

Areal HGU PT. Perkebunan Kelapa Sawit dibedakan atas tiga tingkatan umur tanaman, yakni < 3 tahun, 3 sampai 9 tahun, dan > 9 tahun. Pembagian kelompok umur ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang kematangan gambut dan tingkat degradasi lahan gambut dalam kaitannya dengan lama masa pembukaan/pengeringan lahan. Sesungguhnya areal perkebunan kelapa sawit ini bukan hanya HGU PT. Perkebunan saja, akan tetapi sebagian besar dari areal perkebunan kelapa sawit ini di bawah penguasaan masyarakat setempat, yakni mencapai 32%, sementara yang dikuasai oleh PT. Perkebunan sekitar 68%. Di lihat dari usia pemakaian lahan, maka kebun sawit milik perusahaan HGU ini juga dapat dibagi atas tiga kategori yaitu yang berusia < 3 tahun seluas 928,62 ha, berusia 3-9 tahun seluas 8.096,51, dan yang telah berusia > 9 tahun yaitu seluas 7.531,59 ha. Sebaran pola pemanfatan lahan di areal TPSF dapat dilihat pada Gambar 10.

16 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

Gambar 10. Pola Pemanfaatan Lahan di Areal Rawa Tripa (Keadaan Tahun 2013)

E. Status Lahan

Status lahan secara keseluruhan termasuk dalam Areal Penggunaan Lain (APL) yang pada saat ini sebagian besar telah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) untuk 5 (lima) perusahaan besar perkebunan kelapa yang beroperasi di areal ekosistem Rawa Tripa ini (Tim Survai PIU SERT Unsyiah, 2013). Laporan tersebut menyebutkan bahwa luas total HGU kelima perusahaan tersebut adalah 38.150 Hektar dan ada juga sejumlah areal yang telah dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya dalam bentuk Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Selain lahan milik perusahaan perkebunan yang memiliki HGU juga terdapat lahan perkebunan milik masyarakat yang pada umumnya telah ditanami kelapa sawit dengan umur tanaman sekitar 4 (empat) tahun di samping tanaman lainnya yang berbentuk kebun campuran, tetapi lahan-lahan yang termasuk dalam penguasaan masyarakat pada umumnya tidak memiliki izin seperti HGU akan tetapi petani hanya memiliki surat keterangan hak garap dari Kepala Desa (Gampong) dan ada juga yang telah mendapatkan Sertifikat Prona (Hasil Data Sekunder, 2013).

Adapun nama-nama perusahaan pemegang HGU yang mengelola perkebunan kelapa sawit di wilayah Hutan Rawa Gambut Tripa antara lain PT Kalista Alam (KA), PT Gelora Sawita Makmur (GSM), PT Astra Prima Lestari atau PT Surya Panen Subur (SPS), PT Cemerlang Abadi (CA), dan Proyek PIR Pemda Aceh Barat Daya. Adapun luas areal masing-masing perusahaan tersebut dapat dilihat Tabel 5.

KEADAAN UMUM WILAYAH | 17

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Tabel 5. Nama Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan Luas Areal Yang Dimiliki yang

Terdapat dalam Areal Hutan Rawa Gambut Tripa.

Nama Perusahaan

Lokasi Areal Luas Areal Tanam (Hektar) Luas

HGU (Ha) TBM TM TR Total

PT. Kalista Alam (KA)

Pulo Ie dan Suak Bakung, Nagan Raya

149 3.400 100 3.649 6.888

PT. Gelora Sawita Makmur (GSM)

Alue Bili, Nagan Raya - 5.630 410 6.040 8.605

PT. Astra Prima Lestari/PT SPS*

Seuneuam, Nagan Raya

- 870 330 1.200 7.877

PT.Cemerlang Abadi

Babah Rot, Aceh Barat Daya

150 2,700 402 3.252 8.170

Proyek PIR Pemkab Abdya**

Babah Rot, Aceh Barat Daya

- - - - 6.610

Total 299 12.600 1.242 14.141 38.150

Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya (2013). ( TBM :Tanaman Belum Menghasilkan; TM : Tanaman Menghasilkan; TR : Tanaman Renta/Tua)

Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit telah dimulai lebih dari 20 tahun, sehingga tanaman kelapa sawit usianya ada yang telah tua dan tidak lagi produktif. Namun pada sebagian besar areal TPSF usia umur kelapa sawit bervariasi dari 5-10 tahun dan bahkan ada lahan yang baru saja dilakukan pembukaan namun belum dilakukan penanaman. Di luar kebun perusahaan, adalah kebun masyarakat yang merupakan kebun campuran yang luas total arealnya hampir sebanding dengan luas keseluruhan areal perusahaan HGU. Di dalam areal kebun campuran, masyarakat menanam kelapa sawit dan tanaman lainnya dengan rata-rata usia kebun adalah 3-8 tahun.

E. Keadaan Sosial Ekonomi

Hutan Rawa Gambut Tripa sangat kaya akan berbagai kekayaan nabati maupun hewani yang dapat dimanfaatkan bagi kelangsungan sumber ekonomi masyarakat. Di areal Rawa Tripa terdapat berbagai jenis ikan air tawar yang bernilai ekonomi tinggi seperti ikan jurong (Tor sp), lele, belut, paitan, dan kerang. Sedangkan hasil komoditi non kayu juga banyak terdapat disana, yang meliputi rotan dan madu alam (Informasi Sekunder, 2013).

Dengan telah berubahnya sebagian areal hutan menjadi areal perkebunan, maka sumber ekonomi pada areal Hutan Rawa Gambut Tripa saat ini adalah komoditi kelapa sawit. Tanaman ini menjadi andalan perusahaan perkebunan dan juga masyarakat yang memanfaatkan lahan di areal ini. Sumber hasil dari hutan sudah sangat kecil karena areal hutan sudah hampir hilang dan yang tersisa hanya 20 persen saja. Produksi kelapa sawit dijual yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan adalah dalam bentuk CPO (Crude Palm Oil) dan Tandan Buah Segar (TBS). Produksi dari usaha kebun sawit

18 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF

THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

masyarakat adalah TBS yang dijual kepada perusahaan yang ada di areal Tripa ini atau di luar areal Tripa.

Mata pencaharian lain masyarakat di sekitar ini adalah menjadi tenaga kerja tetap dan/atau tenaga buruh atau pekerja pada perusahaan perkebunan. Namun berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa petani/pekerja, penduduk lokal saat ini banyak yang beralih usaha untuk membuat kebun sendiri karena pendapatannya lebih tinggi dibandingkan dengan menjadi buruh kebun. Sumber mata pencaharian lainnya adalah usaha peternakan atau pemeliharaan hewan ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing. Usaha ini umumnya dilakukan di areal yang berdekatan dengan desa/gampong yang ada di pinggiran areal TPSF.

Uraian tersebut menyiratkan bahwa areal TPSF ini sebenarnya bisa menjadi lahan usaha bagi masyarakat baik dengan memanfaatkan potensi alam yang ada maupun menggarap potensi alam dalam berbagai bentuk usaha khususnya usaha pertanian, perkebunan, dan perikanan.

F. Prasarana dan Sarana

Keadaan prasarana dan sarana yang ada dalam areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) sangat minim. Untuk mengakses ke areal hutan yang terletak di bagian paling Selatan dari areal ini ternyata tidak ada jalan yang memadai. Untuk sampai ke lokasi ini harus melalui jalan yang milik perusahaan/HGU yang dijaga ketat oleh petugas perusahaan, sehingga tidak mudah menjangkau areal ini. Hasil survai lapangan menunjukkan bahwa sarana jalan menuju areal hingga mencakup seluruh areal, hanya ada jalan perkebunan sedangkan jalan umum atau jalan desa belum ada.

Untuk menjangkau areal ini sebagian besar masyarakat menerobos sungai atau meminta ijin dari perusahaan untuk bisa melewati jalan milik perusahaan atau jalan-jalan yang dibuat untuk panen atau pengangkutan TBS. Dengan tidak adanya jalan untuk mengakses ke wilayah ini, maka lahan-lahan yang berdekatan dengan tepi sungai menjadi incaran pertama dari masyarakat untuk membuka areal perkebunan atau pertanian, sehingga jalur sempadan sungai yang seharusnya tidak boleh dijadikan lahan pertanian telah dibuka dan mengalami degradasi.

Sarana listrik, air bersih dan telekomunikasi juga sangat terbatas, sehingga jika areal TPSF ini ingin dikembangkan sebagai areal konservasi atau areal pemberdayaan masyarakat maka prasarana dan sarana menjadi suatu kendala dalam pengembangan wilayah ini dan sarana yang telah ada saat ini, sebagian besar adalah milik perusahaan perkebunan.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2011. Sistem Klasifikasi Tanah Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian RI., Jakarta.

Driessen, P.M. 1978. Peat Soils. p763-779. In IRRI. Soils and Rice. Los Banos, Philippines.

USDA (United State of Department of Agriculture). 2010. Keys to Soil Taxonomy. Soil Survey Staff, Washington DC. Amerika.

Yayasan Ekosistem Lestari. 2008. Value of Tripa Peat Swamp Forest, Aceh. Sumatera Indonesia. www.yelweb.org.

KEADAAN UMUM WILAYAH | 19

Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala

Lampiran 1. Data Curah Hujan Bulanan di Areal TPSF selama 10 tahun terakhir (2001-2010)

Bulan Tahun

Rerata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Januari 176.8 515.2 179.6 453.8 - 295.7 289.7 429.8 203.7 529.8 341.57

Februari 169.3 161.6 380.5 207.5 - 135.7 254.3 194.3 99 291.5 210.41

Maret 306.5 200.8 187 315.2 - 351.2 241 612.7 218 322.3 306.08

April 407.5 516.6 356.4 518.8 358.4 401 561.5 369 248 581 431.82

Mei 144.5 492.1 147.1 491.8 240.6 171.6 218.5 116.5 312 370 270.47

Juni 186.5 206.7 258.9 305.9 297.1 181 377.4 285.5 106.7 271.9 247.76

Juli 378.4 458.6 104.5 309.7 290.6 94.1 229.7 139.5 229 285.8 251.99

Agustus 144.1 247.1 368.4 244.2 246.2 179.7 173.7 371 398.2 125.8 249.84

September 219.6 426.7 262.8 645 265.4 466.4 337.2 126 327.6 711.5 378.82

Oktober 524.2 467.7 338.5 389.2 398.8 473.7 606.7 431 97.6 694 442.14

November 291.3 704.5 539.8 - 486.1 405.1 452.4 448 644.5 534.9 500.73

Desember 350.6 410.3 283.4 - 238.7 548.9 366.6 407.9 332 84.8 335.91

Jumlah 3299.3 4807.9 3406.9 3881.1 2821.9 3704.1 4108.7 3931.2 3216.3 4803.3 3967.54

Rata-rata 274.94 400.66 283.91 388.11 313.54 308.68 342.39 327.60 268.03 400.28 330.63

20 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST

LAPORAN UTAMA

20

Lampiran 2. Data Jumlah Hari Hujan bulanan di areal TPSF selama 10 tahun terakhir (2001-2010)

Bulan Tahun

Rerata 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Januari 17 21 17 19 - 14 12 18 16 18 16.89

Februari 11 14 17 16 - 17 8 11 7 20 13.44

Maret 14 15 19 19 - 13 16 23 15 21 17.22

April 22 22 21 20 20 17 23 20 12 19 19.60

Mei 10 12 16 17 15 14 12 13 14 17 14.00

Juni 16 9 8 10 16 13 19 17 7 22 13.70

Juli 15 22 11 22 14 12 17 11 12 16 15.20

Agustus 13 17 19 16 17 11 13 11 16 16 14.90

September 21 16 16 23 12 19 14 12 16 16 16.50

Oktober 23 26 21 20 23 20 20 17 18 14 20.20

November 20 23 27 - 21 24 17 20 22 23 21.89

Desember 19 27 21 - 19 21 15 19 18 13 19.11

Jumlah 201 224 213 182 157 195 186 192 173 215 202.66

Rata-rata 16.75 18.67 17.75 18.20 17.44 16.25 15.50 16.00 14.42 17.92 16.89