cakradonya - unsyiah

75
cakradonya DENTAL JOURNAL Vol.10, No.2, Agustus 2018 pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720 Diterbitkan Atas Kerjasama Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Dengan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: cakradonya - Unsyiah

cakradonyaDENTAL JOURNAL Vol.10, No.2, Agustus 2018

pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720

Diterbitkan Atas KerjasamaFakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Dengan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia

Page 2: cakradonya - Unsyiah

DENTAL JOURNAL

pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720Pelindung

Dr. drg. Cut Soraya, Sp. KGDekan Fakultas Kedokteran Gigi Unsyiah

Penanggung Jawabdrg. Sri Rezeki, Sp. PM

Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran Gigi UnsyiahKetua Penyunting

Dr. drg. Munifah, MARS.Wakil Ketua Penyunting

drg. Rachmi Fanani Hakim, M.SiPenyunting Ahli

Prof. drg. Bambang Irawan, Ph.DProf. Dr. drg. Narlan Sumawinata, Sp. KG

Prof. Boy M. Bachtiar, Ph.DProf. Dr. drg. Eki S. Soemantri, Sp. Ortho

Dr. drg. Rasmi Rikmasri, Sp. Pros (K)Prof. Dr. Coen Pramono, Sp. BM

Prof. Dr. drg. Dewi Nurul, MS, Sp. Periodrg. Gus Permana Subita, Ph.D, Sp. PM

Prof. Dr. drg. Hanna H. B. Iskandar, Sp. RKGProf . Dr. drg. Retno Hayati, Sp. KGA

Penyunting Pelaksanadrg. Dewi Saputri, Sp. Perio

drg. Sartikadrg. Citra Feriana Putridrg. Meutia An Najmi

drg. Nurul HusnaDesain Grafis dan IT

Rizkan Harizan, ST

SEKRETARIAT REDAKSI:Cakradonya Dental JournalFakultas Kedokteran GigiUniversitas Syiah KualaDarussalam Banda Aceh

Aceh-Indonesia23211

TELEPHONE/ FAX:0651 7555183

EMAIL:[email protected]

WEBSITE:jurnal.unsyiah.ac.id/cdj

DENTAL JOURNAL

cakradonya

cakradonya

Page 3: cakradonya - Unsyiah

From Editor’s Desk

Cakradonya Dental Journal (CDJ) diterbitkan oleh Fakultas Kedokteran Gigi sebagai media

komunikasi ilmiah untuk pemajuan dan perkembangan intelektualitas civitas akademika antar

perguruan tinggi, peneliti dan stakeholder yang mengetengahkan tentang kesehatan gigi dan

mulut serta keilmuan lain yang terkait. CDJ terbit dalam dua versi yaitu versi cetak dan versi

online melalui Open Journal System (OJS) Unsyiah dilengkapi dengan Digital Object Identifier

(DOI) sehingga makin menarik dan mudah diakses, menyuguhkan informasi-informasi terkini

mengenai kesehatan rongga mulut dan tubuh secara sistemik.

Naskah yang tampil dalam volume 10 no 2 ini berbentuk laporan penelitian, laporan kasus dan

tinjauan pustaka mengenai pengembangan kedokteran gigi dan korelasi ilmu kesehatan integrasi

mencakup bidang; Konservasi, Kesehatan Masyarakat, Radiologi, Penyakit Mulut, Prostodonsia,

Dental Material, dan Periodonsia. Kali ini serasa makin lengkap dengan naskah dari FK Unsyiah

bagian neurologi yang dikaitkan dengan kedokteran gigi. Semoga informasi yang CDJ

ketengahkan pada edisi ini dapat menambah hasanah pengetahuan Anda.

We hope that researchers, academicians, professionals, students, faculty, colleges and

universities will extend their ongoing support for future editions. In the spirit of

continuous improvement, any constructive input on streamlining our processes is very

welcome.

With Best Wishes and Season’s Greetings,

Dr.drg Munifah Abdat, MARS

Editor In Chief

Page 4: cakradonya - Unsyiah

pISSN: 2085-546X eISSN: 2622-4720

Cakradonya Dental Journal

DAFTAR ISI

Apoptosis: Mekanisme Molekuler Kematian Sel: Tinjauan Pustaka .................................... 65-70

Liza Meutia Sari Hubungan Antara Status Periodontal Dan Status Gigi Geligi Usia Dewasa

Masyarakat Kelurahan Malino Kabupaten Gowa ......................................................................... 71-77

Ayub Iemadani Anwar, Asti Puspita Adnan, Aldy Anzhari Ayub

Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Pada Unit Radiologi

Rumah Sakit Gigi Dan Mulut Unsyiah ..................................................................................... 78-85

Kemala Hayati, Rachmi Fanani Hakim, Miftahul Jannah E

Tata laksana tetanus generalisata dengan karies gigi: Laporan Kasus ......................... 86-95

Wati Safrida, Syahrul Gambaran Scanning Electron Microscope (SEM) Mikrostruktur Permukaan Resin

Komposit Nanofiler Setelah Perendaman Dalam Kopi Arabika Gayo ....................... 96-101

Viona Diansari, Iin Sundari, Noniza Deswitri

Gambaran Tingkat Kepuasan Estetik dan Fonetik Pada Pemakai

Gigi Tiruan Lengkap Di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti ............................. 102-106

Niko Falatehan, Eddy Kusumah

Gambaran pH Saliva dari Perokok Aktif dan Pasif pada Masyarakat

Kecamatan Mesjid Raya Aceh Besar ........................................................................................ 107-112

Dewi Saputri, Diana Setya Ningsih, Ridha Rosmarna Dewi

Apeksifikasi dan Intracoronal Bleaching pada Gigi Insisivus

Sentral Kanan Maksila: Laporan Kasus .................................................................................. 113-120

Reni Nofika Perbandingan Tingkat Kebocoran Mikro Antara Resin Komposit dan

Glass Ionomer Cement Sebagai Bahan Penutupan Fisura

(Evaluasi In-Vitro Setelah Satu Bulan Aplikasi) ..................................................................... 121-128 Iin Sundari, Viona Diansari, Eka Julianti

Pengaruh Teknik Pencetakan Fisiologis Terhadap Cacat Permukaan Cetakan .................. 129-133

Putri Welda Utami Ritonga, Nafsani Fauzia

Volume 10 Agustus 2018 Nomor 2

Page 5: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70

65 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

APOPTOSIS: MEKANISME MOLEKULER KEMATIAN SEL

(Tinjauan Pustaka)

APOPTOSIS: MOLECULAR MECHANISMS OF CELLULAR DEATH

(Literature Review)

Liza Meutia Sari

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

Correspondence email to: [email protected]

Abstrak

Apoptosis merupakan proses aktif yang diatur dengan sangat baik yang ditandai oleh perubahan

morfologis dan biokimia. Signifikansi dalam memahami rangkaian mekanisme apoptosis ini mutlak

dibutuhkan karena apoptosis merupakan gabungan komponen baik dalam proses fisiologis maupun

patologis. Apoptosis dapat distimulasi oleh kondisi fisiologis dan patologis serta memegang peranan

penting dalam menjaga homeostasis normal dan patogenesis beberapa penyakit. Sinyal untuk

apoptosis terjadi melalui jalur caspase dependen dan independen yang diawali oleh kejadian yang

memicunya dari dalam sel atau dari luar sel melalui ikatan reseptor kematian. Tinjauan pustaka ini

bertujuan untuk menyediakan pandangan yang berkaitan dengan apoptosis, karakteristik morfologis

dan biokimia, serta mekanismenya.

Kata Kunci: Apoptosis, reseptor kematian, mitokondria, caspase

Abstract

Apoptosis is considered as a tighly regulated active process signified by specific morphological and

biochemical. The significance of understanding the apoptosis cascade mechanism is imperative as

apoptosis being component of both physiological and pathological process. Apoptosis can be

stimulated by both physiological and pathological conditions and hence play a role in maintenance of

normal homeostasis and in pathogenesis of several diseases. Signaling for apoptosis occurs via

caspase dependent and independent pathways that are initiated either from triggering events within

the cell or from outside the cell by ligation of death receptors. Present review aims to provide an

overview regarding apoptosis, its morphological and biochemical characteristics, and its mechanism.

Keyword: Apoptosis, death reseptor, mitochondria, caspase

Page 6: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70

66 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUAN

Kata apoptosis berasal dari bahasa Yunani

yang berarti gugurnya kelopak bunga atau daun

dari pohon.1 Istilah ini pertama kali dikenalkan

oleh Kerr, Wyllie, dan Currie tahun 1972 untuk

menggambarkan kematian sel yang terprogram

atau lebih dikenal dengan Programmed Cell

Death (PCD).2 Kematian sel, khususnya

apoptosis merupakan salah satu proses yang

penting karena apoptosis tidak hanya

menggambarkan patogenesis suatu penyakit,

namun juga dapat memberikan petunjuk cara

pengobatan penyakit.3 Penyebab apoptosis

terbagi atas dua, yakni penyebab fisiologis,

seperti pada perkembangan embrionik saat

pembentukan jaringan, involusi fisiologis seperti

luruhnya endometrium saat menstruasi,

kehancuran sel epitel normal yang diiringi

penggantian proliferasi sel kulit baru, involusi

kelenjar timus saat usia kanak-kanak.3,4

Penyebab patologis diantaranya obat anti

kanker, graft versus host disease, kematian sel

CD-4 dalam Acquired Immunodeficiency

Syndrome (AIDS), virus yang memicu kematian

sel seperti Hepatitis B atau C, radiasi, hipoksia,

degenerasi sel seperti Alzheimer dan Parkinson,

serta kematian sel akibat infark miokardium.3, 4

Perubahan Morfologis dan Kimia dalam

Apoptosis

Perubahan morfologis yang terjadi saat

apoptosis adalah kondensasi kromatin dan

fragmentasi nuklear di dalam inti sel diiringi

pengurangan volume sel (piknosis), dan retraksi

pseudopoda.5 Tahap awal apoptosis, kromatin

pecah, namun membran sel masih utuh

(karioheksis). Tahap akhir apoptosis, terjadi

penonjolan membran, modifikasi ultrastruktural

organel sitoplasma, dan integritas membran

hilang.5 Biasanya sel-sel fagosit seperti sel

epitel, makrofag, dan fibroblas akan memakan

sel apotosis sebelum badan apoptotik terbentuk.

Sel apoptosis yang tidak difagosit seperti dalam

proses kultur sel di laboratorium, maka akan

mengalami degradasi yang mirip nekrosis

sehingga disebut nekrosis sekunder.5

Tiga ciri utama perubahan biokimia dalam

apoptosis, yakni aktivasi caspase, pecahnya

DNA dan protein, dan perubahan pada membran

sehingga dapat dikenali oleh sel-sel fagosit.6

Tahap awal apoptosis ditandai ekspresi

Phosphatidylserine (PS) yang terlempar keluar

dari lapisan dalam ke lapisan luar membran sel.

Badan apoptotik yang terbentuk di akhir

apoptosis menyebabkan sel mati ini dapat

dikenali oleh makrofag tanpa dilepaskannya

komponen pro-inflamatori selular. Pemecahan

DNA membentuk 50 hingga 300 kilobasa

bagian.6 Tahap akhir apoptosis menimbulkan

pemecahan DNA internukleosomal menjadi

oligonukleosomal dari 80 hingga 200 pasangan

dasar oleh endonuklease.6 Gambaran khas

apoptosis lain adalah aktivasi caspase.6 Huruf

“c” atau Cys dari caspase menunjukkan protease

sistein, sedangkan “aspase” berarti bagian unik

enzim yang membelah pada terminal C pada

residu Asp.6 Aktivasi caspase menyebabkan

keluarnya protein vital selular dan memecah

perancah nuklear serta kerangka dinding sel.

Regulator apoptosis yang lain adalah anggota

famili Bcl-2.6 Saat ini ada 18 anggota famili Bcl-

2 yang telah diidentifikasi, dan dibagi ke dalam

dua grup berdasarkan strukturnya.7 Anggota

grup pertama diwakili oleh Bcl-2 dan Bcl-xL

yang berfungsi sebagai protein anti-apoptosis.7

Anggota grup kedua diwakili oleh subfamili Bax

dan Bcl-2 associated killer (Bak), serta subfamili

a novel BH3 domain-only death agonist (Bid)

dan the Bcl-2 associated death molecule (Bad),

sebagai protein pro-apoptosis.6, 7

Mekanisme apoptosis sangat kompleks

dan rumit. Secara garis besar apoptosis dibagi

menjadi empat tahap, yakni adanya sinyal

kematian (penginduksi apoptosis) yang bersifat

fisiologis (hormon dan sitokin), biologis (virus,

bakteri, parasit), kimia (obat), atau fisik (radiasi

dan toksin).8 Tahap kedua adalah tahap integrasi

atau pengaturan (transduksi signal, induksi gen

apoptosis yang berhubungan), selanjutnya

adalah tahap pelaksanaan apoptosis yakni terjadi

perubahan morfologi dan kimia (degradasi DNA,

pembongkaran sel, pembentukan badan

apoptotik).8 Tahap terakhir adalah tahap

fagositosis atau eliminasi oleh makrofag,

dendritik atau sel yang berdekatan dengan sel

apoptosis.8 Peristiwa apoptosis melibatkan

adanya pemadatan inti sel, pemadatan dan

pembagian sitoplasma ke dalam selaput ikat

badan apoptotis, dan kerusakan kromosom ke

dalam fragmen yang berisi berbagai nukleosom.

Page 7: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70

67 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Target protein pada umumnya melibatkan

protein lain, suatu DNA endonuklease.8 Ketika

protein target pecah, DNAase bebas untuk

berpindah tempat ke inti dan mulai pelaksanaan.

Perubahan dalam apoptosis terjadi ketika

caspase-3 membelah gelsolin, yakni suatu

protein pemelihara morfologi sel. Gelsolin akan

membelah actin filamen di dalam sel. Protein

yang lain diperlukan untuk membentuk badan

apopotik adalah p21-activated kinase 2 (PAK-2).

Kinase ini diaktifkan oleh caspase-3 dengan

proteolisis terbatas. Caspase-3 juga berfungsi

untuk membelah sitokeratin terutama

cytokeratin 18 (CK18), dimana epitop baru pada

CK18 tampak dominan saat apoptosis awal.9

Jalur Caspase Dependen (Jalur Ekstrinsik

dan Intrinsik)

Apoptosis dipicu oleh berbagai jalur

sinyal dan diatur oleh ligan ekstrinsik dan

intrinsik yang kompleks.10

Terdapat dua jalur

apoptosis utama yakni melibatkan fungsi

caspase dan tanpa caspase. Mitokondria

bertindak sebagai crosstalk organelles yakni

organel yang berperan pada kedua jalur

apoptosis yang berbeda tersebut. Jalur apoptosis

terbagi dua yaitu caspase dependen dan

independen.10

Sinyal apoptosis jalur caspase

dependen bisa terjadi secara intraseluler dan

ekstraseluler.10

Jalur ekstrinsik (ekstraseluler)

diinisiasi stimulasi reseptor kematian sedangkan

jalur intrinsik diinisiasi oleh pelepasan faktor

sinyal dari mitokondria dalam sel.10

Apoptosis jalur ekstrinsik dimulai dari

adanya pelepasan molekul sinyal disebut ligan,

oleh sel lain bukan berasal dari sel yang akan

mengalami apoptosis.10

Ligan tersebut berikatan

dengan reseptor kematian yang terletak pada

transmembran sel target yang menginduksi

apoptosis.10

Reseptor kematian yang terletak di

permukaan sel adalah famili reseptor Tumor

Necrosis Factor (TNF), yang meliputi TNF-R1,

CD 95 (Fas), dan TNF-Related apoptosis

inducing ligan (TRAIL)-R1 dan R2. Ligan yang

berikatan dengan reseptor tersebut

mengakibatkan caspase inisiator 8 membentuk

trimer dengan adaptor protein FADD.

Reseptor CD 95, TRAIL-R1 dan R2 terikat

dengan FADD, sedangkan TNF-R1 terikat secara

tidak langsung dengan molekul adaptor lain,

yaitu TNF-Reseptor Associated Death Domain

(TRADD). Kompleks yang terbentuk antara

ligan-reseptor dan reseptor kematian FADD

disebut DISC.10

Kompleks ini akan menginisiasi

pro caspase-8 yang mengaktifkan caspase

eksekutor.10

Caspase-8 bekerja dengan cara memotong

anggota famili Bcl-2 yaitu Bid.11, 12

Bid yang

terpotong pada bagian ujungnya akan

menginduksi insersi Bax ke dalam membran

mitokondria dan melepaskan molekul

proapoptotik seperti sitokrom c, Samc/Diablo,

Apoptotic Inducing Factor (AIF), dan

omi/Htr2.11

Adanya dATP akan terbentuk

kompleks antara sitokrom c, Apaf-1, dan

caspase-9 yang disebut apoptosom. Caspase-9

akan mengaktifkan aliran procaspase-3.11

Protein caspase-3 yang aktif memecah berbagai

macam substrat, diantaranya enzim perbaikan

DNA seperti poly-ADP Ribose Polymerase

(PARP), dan DNA protein kinase yaitu protein

struktural seluler dan nukleus, termasuk aparatus

mitotik inti, lamina nukleus, dan aktin serta

endonuklease, seperti Inhibitor Caspase-

Activated Deoxyribonuklease (ICAD) dan

konstituen seluler lainnya.11

Caspase-3 juga mempunyai kemampuan

untuk mengaktifkan caspase lainnya, seperti pro-

caspase-6 dan 7 yang memberikan amplifikasi

terhadap kerusakan seluler.8 Adanya stres seluler

meningkatkan ekspresi dari protein p53 yang

mengakibatkan terjadinya G1 arrest atau

apoptosis.8 Anggota dari Apoptosis Stimulating

Protein p53 (ASPP) yaitu ASPP 1 dan ASPP 2

secara spesifik menstimulasi fungsi transaktivasi

p53 pada promotor gen pro-apoptotik seperti

Bax dan p53 inducible gene 3 (PIG 3), tapi tidak

pada promotor gen yang menyebabkan

hambatan siklus sel, yaitu p21 dan mdm2.8

Stres mitokondria yang menginduksi apoptosis

jalur intrinsik disebabkan oleh senyawa kimia

atau kehilangan faktor pertumbuhan, sehingga

menyebabkan gangguan pada mitokondria dan

terjadi pelepasan sitokrom c dari intermembran

mitokondria.11

Sitokrom c adalah suatu heme

protein yang bertindak sebagai suatu pembawa

elektron dalam fosforilasi oksidasi mitokondria,

pemberhenti elektron sitokrom c oksidase,

keluar intermembran dan mengikat protein

sitoplasmik yang disebut Apaf-1. Protein ini

Page 8: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70

68 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

akan mengaktifkan inisiator caspase-9 di

sitoplasma.8 Protein ini keluar dari mitokondria

setelah terjadi perubahan potensiasi elektrokimia

di membrane yang menyebabkan terbukanya

suatu kanal yang nonspesifik dalam membran

yang permeabel, terdiri atas dua protein selaput

bagian dalam yakni Adenine Nucleotide

Translocator (ANT) dan protein bagian luar

yakni porin; Voltage Dependent Anion Channel

(VDAC). Protein ini bertindak bersama-sama,

pada sisi luar dan sisi dalam terjadi kontak.

Saluran ini dapat dilewati zat yang memiliki

bobot molekular kurang dari 1500. Perubahan

pada gradien proton menyebabkan oksidasi dan

foforilasi di mitokondria dan perubahan ion

menyebabkan pembengkakan matriks. Sisi

bagian dalam sangat kusut dan memiliki luas

permukaan jauh lebih besar dibanding selaput

yang luar, bengkak pada matriks mengarah

rusaknya sisi luar, sehingga sitokrom c dan

Apaf-1 keluar masuk sitoplasma. Jalur ini biasa

diaktifkan dalam respon stimulus letal yang lain

seperti perusakan DNA, stress oksidatif, dan

hipoksia.

Gambar 1. Jalur Caspase Dependen (Ekstrinsik dan Intrinsik). Mitokondria dan organel nukleus memegang peranan

penting dalam tipe apoptosis ini. Organel ini dpat menghubungkan sinyal yang berbeda untuk aktivase caspase

sehingga terjadi perubahan pada senyawa oksigen reaktif, sitokrom c, dan membran potensial mitokondria. Selain

jalur mitokondria, ligan eksternal juga dapat mengaktifkan ERK yang dilanjutkan dengan rangkaian aktifitas

caspase.1

Mitokondria mengandung faktor

proapoptosis seperti sitokrom c dan AIF.

Keduanya merupakan substrat yang berbahaya,

akan tetapi tersimpan aman dalam mitokondria.

Saat keduanya dilepaskan ke sitoplasma, protein

ini dapat mengaktifkan jalur aktivasi caspase.11

Pelepasan tersebut diatur oleh famili Bcl-2 yang

terikat dengan mitokondria, yaitu Bax dan Bad.

Sitokrom c berperan sebagai pembawa elektron

yang larut dalam air dalam fosforilasi oksidatif

mitokondria.11

Bila terjadi kumparan elektron

melalui sitokrom c oksidase atau kompleks IV,

adanya perubahan kekuatan ion menyebabkan

terjadinya gelombang matriks. Saat membran

dalam mitokondria memiliki permeabilitas

permukaan yang lebih luas dibanding membran

luar maka gelombang matriks menyebabkan

pori-pori permeabilitas bagian dalam membran

nonspesifik menjadi terbuka sehingga sitokrom c

keluar ke sitoplasma.110 Sitokrom c yang keluar

ke sitoplasma kemudian berikatan dengan Apaf-

1 membentuk Caspase Recruitment Domain

Page 9: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70

69 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

(CARD). Beberapa CARD bergabung

membentuk kompleks apoptosom kemudian

mengikat pro-caspase-9 dan mengaktivasinya

menjadi caspase-9 (caspase inisiator).11

Caspase-9 ini akan mengaktivasi procaspase-3

menjadi caspase-3 yang merupakan caspase

efektor yang melaksanakan apoptosis.11

Keseimbangan kerja caspase

dipertahankan dengan adanya hambatan caspase

berasal dari famili inhibitor apoptosis (IAPs)

seperti survivin, cIAP-1, cIAP-2, ILP-2, XIAP,

livin, BIRC, dan NAIP.8 Famili IAPs dapat

menghambat caspase inisiator dan eksekutor

melalui beberapa proses yang berbeda.13

Aksi

caspase-8 diatur oleh FADD-like ICE (FLICE)-

inhibitory protein (FLIPs).13, 14

Protein ini dapat

mengikat FADD dan caspase-8 melalui interaksi

sejenis sehingga dapat menghambat caspase-8

untuk membentuk DISC.14

Mekanisme jalur

ekstrinsik dan intrinsik tampak dalam Gambar 1.

Jalur Caspase Independen

Selain jalur caspase dependen, apoptosis

juga dapat dipicu tanpa melalui aktivitas

caspase, yakni jalur caspase independen. Jalur

caspase dependen diawali dengan sejumlah ligan

akan merangsang perubahan potensial membran

mitokondria yang akan meningkatkan produksi

radikal bebas. Radikal bebas akan merangsang

pengeluaran caspase sehingga terjadi apoptosis.

Jalur caspase dependen, caspase tidak berperan

banyak, namun kerusakan mitokondria

disebabkan oleh enzim dapat menghasilkan

radikal bebas.

Gambar 2. Jalur Caspase Independen.1 Tipe apoptosis ini tidak melibatkan anggota famili caspase dan tidak dapat

dihambat oleh inhibitor caspase. Beberapa komponen sel seperti AIF, spesies oksigen reaktif, Ca2+

, ATP, modifikasi

dan misfolding protein, serta kerusakan DNA dapat memicu apoptosis caspase independen.1

Literatur menyebutkan bahwa Granzyme

A (GzmA) dapat menginduksi secara langsung

peningkatan senyawa oksigen reaktif dan

kerusakan mitokondria jalur caspase

independen.15

Target khusus GzmA adalah 270–

420 kDa endoplasmic reticulum (ER)-associated

complex yang mengandung GzmA-activated

DNase NM23-H1 atau kompleks SET. Walaupun

fungsi normal kompleks SET ini belum

diketahui dengan jelas, namun kandungan

proteinnya berhubungan dengan tumorigenesis.

Kompleks SET akan berpindah ke nukleus dan

menyebabkan kerusakan DNA.16

Faktor pro-

apoptosis yang paling penting dalam jalur ini

adalah AIF, yang dilepaskan oleh mitokondria

dan menyebabkan kerusakan DNA dalam

nukleus.16

Pelepasan AIF oleh mitokondria

dipengaruhi juga oleh aktivasi PARP-1 akibat

senyawa oksigen reaktif. Ini membuktikan

senyawa oksigen reaktif berperan pada jalur

caspase dependen dan independen.16

Selain AIF,

proses glutationilasi dan nitrosilasi menghambat

beberapa grup thiol dan mempengaruhi fungsi

protein menyebabkan apoptosis. Mekanisme

Page 10: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 65-70

70 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

jalur caspase independen terlihat pada Gambar

2. Hingga kini mekanisme apoptosis caspase

independen masih belum jelas diketahui.

Beberapa peneliti telah menemukan bahwa AIF;

ROS, dan ligan lainnya mampu menstimulasi

tipe kematian sel ini, jalur sinyal ini masih tahap

fenomena dan mekanisme yang lebih terperinci

masih terus diteliti. Apapun bentuk

apoptosisnya, kematian sel jenis ini memiliki

fungsi yang penting dalam pertumbuhan sel,

proliferasi, dan kematian pada beberapa spesies.

SIMPULAN

Apoptosis merupakan fenomena yang

masih terus diteliti, memegang peranan penting

dalam homeostasis organisme multiseluler serta

dapat mengatasi penyakit, namun malfungsi

proses apoptosis akan menimbulkan penyakit

seperti kanker, neurodegeneratif, dan autoimun.

Rangkaian molekuler ini melibatkan dua jalur

yakni caspase dependen (ekstrinsik dan

intrinsik) serta caspase independen.

neurodegeneratif, dan autoimun. Hingga kini

mekanisme apoptosis dan implikasinya untuk

tujuan pengobatan penyakit masih terus diteliti.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hongmei Z. Extrinsic and Intrinsic

Apoptosis Signal Pathway in Apoptosis

And Medicine. 2012; Edited Volume:3-23

2. Lawen A. Apoptosis—An Introduction.

Bio Essays. 2003;25(9):888-96

3. Mohan H. Textbook of Pathology. 5th ed.

New Delhi: Jaypee Brothers Medical

Publishers; 2010

4. Fink SL, Cookson BT. Apoptosis,

pyroptosis, and necrosis: mechanistic

description of dead and dying eukaryotic

cells. Infect Immun. 2005;73(4):1907-16

5. Kroemer G, El-Deiry WS, Golstein P,

Peter ME, Vaux D, et al. Classification of

cell death: recommendations of the

Nomenclature Committee on Cell Death.

Cell Death Differ. 2005;12:1463-67

6. O’Brien MA, Kirby R. Apoptosis: a

review of pro-apoptotic and antiapoptotic

pathways and dysregulation in disease. J

Vet Emerg Crit Care 2008;18(6):572-85

7. Cory S, Adams JM. The Bcl2 family:

regulators of the cellular life-or-death

switch. Nat Rev Cancer 2002;2:647-56

8. Rastogi RP, Richa, dan Sinha RP.

Apoptosis: Molecular mechanism and

pathogenicity. EXCLI Journal

2009;8:155-81

9. Vermes I, Haanen C, dan

Reutelingsperger. Flowcytometry of

apoptotic cell death. J Immunol Methods

2000;243:167-90

10. Kuntz S, Wenzel U, Daniel H.

Comparative analysis of the effects of

flavonoids on proliferation, cytotoxicity,

and apoptosis in human colon cancer cell

lines. Eur J Nutr 1999;38:133-42

11. Wong R. Apoptosis in cancer: From

pathogenesis to treatment. J Exp Clin

Canc Res 2011;30(87):1-14

12. Fulda S, Meyer E, Debatin KM. Inhibition

of TRAIL-induced apoptosis by Bcl-2

overexpression. Oncogen 2000; 21:2283-

94

13. Deveraux QL, Roy N, Stennicke HR, Van

Arsdale T, Zhou Q, et al. IAPs block

apoptotic events induced by caspase-8 and

cytochrome c by direct inhibition of

distinct caspases. EMBO J 1998;17:2215-

23

14. Thome M, Schneider P, Hofmann K,

Fickenscher H, Meinl E, et al. Viral

FLICE-inhibitory proteins (FLIPs)

prevent apoptosis induced by death

receptors. Nature 1997;386:517-21

15. Denis M, Zhu P dan Judy L.

GranzymeA,Induces Caspase-Independent

Mitochondrial Damage, a Required First

Step for Apoptosis Immunity

2005;22(3):355-7

16. Dencic MS, Poljarevic J, Vilimanovich U.

Cyclohexyl Analogues of

Ethylenediamine Dipropanoic Acid

Induce Caspase-Independent

Mitochondrial Apoptosis in Human

Leukemic Cells. Chem Res Toxicol

2012;25(4):931-39.

Page 11: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77

71 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

HUBUNGAN ANTARA STATUS PERIODONTAL DAN STATUS GIGI

GELIGI USIA DEWASA MASYARAKAT KELURAHAN MALINO

KABUPATEN GOWA

RELATIONSHIP BETWEEN PERIODONTAL AND DENTAL STATUS IN

ADULT AGE COMMUNITY OF MALINO VILLAGE

REGENCY OF GOWA

Ayub Iemadani Anwar, Asti Puspita Adnan, Aldy Anzhari Ayub

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin

Correspondence email to: [email protected]

Abstrak

Kesehatan gigi dan mulut bagi sebagian orang menjadi prioritas kesekian kalinya. Hal tersebut terlihat

dari data bahwa penyakit gigi dan mulut masih diderita oleh 90% masyarakat Indonesia, sehingga

perlu mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan. Gigi dan mulut merupakan pintu gerbang

masuknya bakteri sehingga dapat mengganggu organ tubuh lainnya. Penelitian ini menggunakan

pendekatan observasional analytic dengan desain cross-sectional study. Survei ini dilakukan di

kelurahan Malino. kecamatan Tinggimoncong, kabupaten Gowa, provinsi Sulawesi Selatan dengan

jumlah subjek sebanyak 52 orang. Survei dengan data primer ini dianalisis menggunakan Uji chi-

square. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara perdarahan, poket, dan

kehilangan perlekatan gigi; dengan status karies (p>0,05). Disimpulkan bahwa tidak ada hubungan

yang signifikan antara status periodontal dan status karies pada masyarakat dewasa di kelurahan

Malino, kecamatan Tinggimoncong.

Kata Kunci: Status periodontal, Status gigi geligi

Abstract

Oral and dental health for some people is the umpteenth priority. This can be seen from the data that

dental and oral diseases are still suffered by 90% of Indonesian people, so it needs serious attention

from health workers. Dental and oral are the gates of the entry of bacteria so that they can interfere

with other organs. This study uses an analytic observational approach with a cross-sectional study

design. This survey was conducted in Malino village. Tinggimoncong sub-district, Gowa district,

South Sulawesi province with 52 subjects. Surveys with these primary data were analyzed using chi-

square test. The results showed no significant relationship between bleeding, pocket, and tooth

attachment loss; with caries status (p> 0.05). It was concluded that there was no significant

relationship between periodontal status and caries status in adult communities in Malino village

Tinggimoncong district.

Keywords: Periodontal status, Dental status

Page 12: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77

72 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUAN

Kesehatan gigi dan mulut merupakan

bagian integral dari kesehatan tubuh, artinya

tubuh yang sehat ditunjang oleh gigi dan mulut

yang sehat. Namun kesadaran masyarakat

Indonesia akan pentingnya memiliki kesehatan

gigi dan mulut masih rendah.1 Penyakit mulut

adalah salah satu penyakit kronis dan merupakan

masalah kesehatan masyarakat yang penting dari

segi prevalensi karena berdampak pada individu

dan masyarakat serta biaya perawatannya.2

Karies gigi dan penyakit periodontal adalah dua

penyakit mulut yang paling umum terjadi pada

manusia. Keduanya saling terkait satu sama lain

dalam beberapa keadaan karena keduanya

berlangsung di dalam mulut, terutama di gigi

atau di jaringan sekitar gigi.3

Berdasarkan data Riskesdas 20134,

prevalensi karies di Indonesia sebesar 76,2% dan

khususnya di propinsi Sulawesi Selatan

memiliki nilai rata-rata DMF-T yang tergolong

tinggi. Nilai kebersihan gigi dan mulut penting

untuk diketahui oleh setiap individu. Hal

tersebut penting dalam upaya pencegahan

terhadap terjadinya karies dan penyakit

periodontal. Berdasarkan suatu penelitian,

dinyatakan bahwa secara global, 621 juta anak

memiliki karies gigi yang tidak dirawat pada

gigi sulung dan 2,4 miliar orang memiliki karies

gigi yang tidak dirawat pada gigi permanen.

Periodontitis yang parah juga diderita oleh 743

juta orang di seluruh dunia. Penemuan di atas

berdampak pada kualitas hidup serta beban

penyakit pada masyarakat dalam hal biaya

perawatan kesehatan serta dampak ekonomi dan

sosial yang lebih luas.5

Karies gigi merupakan penyakit

multifaktorial. Kontribusi gaya hidup, faktor

lingkungan, dan faktor keturunan, berpengaruh

besar pada perkembangan penyakit ini. Juga

termasuk kebiasaan asupan dari macam

karbohidrat yang dapat difermentasi, kebersihan

mulut yang buruk, jumlah tinggi dari

mikroorganisme kariogenik, penggunaan

fluoride yang tidak adekuat, serta adanya

gangguan fungsi saliva. Di lain pihak, penyakit

periodontal terjadi pada gangguan jaringan

pendukung di sekitar gigi, yaitu pada jaringan

periodontium. Pada prinsipnya, gangguan ini

diperkirakan berasal dari perkembangan

inflamasi, traumatik, neoplastik, genetik,

ataupun metabolik.3

Dinyatakan ada hubungan positif antara

mikrobiologis penyebab karies dan penyakit

periodontal. Namun, spesies bakteri penyebab

spesifik untuk masing-masing penyakit ini

sangat berbeda. Kedua penyakit ini mempunyai

banyak faktor latar belakang sosial dan perilaku

yang sama, berkaitan dengan penyebab masing-

masing.6

Telah ditemukan adanya hubungan negatif

dalam spektrum bakteriologis, berkaitan dengan

proses demineralisasi dalam perkembangan

karies, sebagai lawan dari proses mineralisasi

dalam pembentukan kalkulus sebagai penyebab

penyakit periodontal. Hal ini penting untuk

mengevaluasi kebutuhan perawatan gigi dalam

arti untuk perencanaan perawatan komprehensif,

serta strategi pencegahannya, untuk mengetahui

prevalensi karies gigi dan penyakit periodontal,

serta mencari faktor yang dapat menyebabkan

penyakit umum ini terakumulasi dalam jangka

panjang pada individu yang sama.6 Berdasarkan

semua penjelasan tersebut di atas, akan

dilakukan survei mengenai hubungan

periodontitis dan karies pada masyarakat di

kelurahan Malino. Survei ini bertujuan untuk

mencari hubungan status periodontal dengan

status karies pada masyarakat di kelurahan

Malino, kecamatan Tinggimoncong kabupaten

Gowa provinsi Sulawesi Selatan.

METODE Survei ini menggunakan pendekatan

observasional analitik dengan desain cross-

sectional study. Survei ini dilakukan di

kelurahan Malino, kecamatan Tinggimoncong,

kabupaten Gowa provinsi Sulawesi Selatan pada

tanggal 12-13 April 2018. Kriteria inklusi pada

survei ini adalah masyarakat yang berusia lebih

dari 18 tahun dan bersedia mengikuti seluruh

rangkaian survey. Sedangkan kriteria eksklusi

pada survei ini adalah masyarakat yang tidak

dapat melakukan pemeriksaan intra oral secara

lengkap saat survei berlangsung.

Survei ini menggunakan data primer dan

pengolahan datanya menggunakan program

SPSS versi 25.0. Untuk analisis data digunakan

uji chi-square. Kriteria penilaian status karies

adalah berdasarkan indeks DMF-T.

Page 13: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77

73 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Untuk pemeriksaan status periodontal

digunakan sebuah alat khusus yaitu WHO

periodontal probe. Kespesifikan probe ini adalah

sebagai berikut. Pada ujung probe ada ball

berukuran 0,5mm. Di atas bagian atas ball ada

petanda band hitam dengan jarak 3,5-5,5mm

dari ball. Kemudian ada petanda ring pada jarak

8,5-11,5mm dari ujung ball.7

Gingiva semua gigi dalam diperiksa

secara teliti dengan memasukkan ujung probe

WHO ke dalam sulkus di area interdental untuk

menilai ada atau tidaknya respons perdarahan.

Kekuatan tekanan yang diberikan tidak lebih

dari 20 gram. Perabaan dengan ujung probe

mengikuti konfigurasi anatomi akar gigi. Dua

indikator status periodontal digunakan untuk

penilaian ini yaitu perdarahan gingiva dan

kedalaman poket periodontal.7

Skor Perdarahan Gingiva (bleeding on

probing/BOP) yaitu

0= keadaan gusi sehat,

1= ada perdarahan,

9= gigi ekslusi,

x= gigi tidak ada .

Sedangkan Skor Poket Periodontal

(periodontal pocket depth/PPD) yaitu

0= Tidak ada poket,

1= Poket 4-5 mm,

2= Poket 6 mm atau lebih,

9= gigi ekslusi,

x= gigi tidak ada.

Kriteria penilaian poket periodontal

adalah tidak ada dan ada poket. Pada kategori

keberadaan poket didapatkan dari adanya

kedalaman poket 4-5 mm dan poket 6 mm atau

lebih. Kehilangan perlekatan dicatat dengan

membagi keadaan rongga mulut dalam sektan

yang didefinisikan berdasarkan regio posisi

geligi 18–14, 13-23,24–28, 38–34, 33-43, dan

44–48.7

Skor Kehilangan Perlekatan (attachment

of loss/AOL) yaitu 4= 12mm ≤ CEJ, lebih dari

band ke 4,

x= sektan tidak diperiksa

0= 0-3mm (normal),

1= 4-5mm CEJ belum melewati band hitam,

3= 9-11mm CEJ antara band hitam ke 3 & ke 4,

9= gigi tidak dicatat

Pada hasil penelitian ini dilakukan

penekanan pada kriteria penilaian kehilangan

perlekatan, dengan kategori untuk kehilangan

perlekatan terbagi atas 2 yaitu tidak ada dan ada

kehilangan. Pada kategori ada kehilangan

perlekatan didapatkan dari adanya kehilangan

perlekatan 4-5mm dan 6-8mm atau lebih.

Penilaian karies pada survei ini

berdasarkan indeks DMF-T secara numerik,

indeks DMF-T menggambarkan prevalensi

karies pada setiap individu dan hasilnya

diperoleh dengan menghitung jumlah gigi yang

ada. Penilaian ini dilakukan berdasarkan kriteria

penilaian, yaitu8

Decayed (D): 1. Gigi karies 2.

Gigi karies dan adanya restorasi pada gigi yang

sama. Missing (M): 1. Gigi yang dicabut karena

karies 2. Gigi dicabut karena penyebab lain.

Filled (F):

Gigi yang telah direstorasi secara

permanen. Setelah didapatkan nilai DMF-T

kemudian dicocokkan dengan kriteria penilaian

karies yaitu sangat rendah: 0,0–1,1, rendah: 1,2–

2,6, sedang: 2,7–4,4, tinggi: 4,5–6,5, dan sangat

tinggi: >6,6.

HASIL

Survei ini melibatkan 52 masyarakat

kelurahan Malino yang berusia lebih dari 18

tahun dan mendapatkan pemeriksaan intra oral

secara lengkap.

Tabel 1 menunjukkan distribusi subjek

survei berdasarkan karakteristik demografi

dengan status karies. Berdasarkan jenis kelamin,

jumlah subjek perempuan (21 orang) lebih

banyak dibandingkan dengan subjek laki-laki (9

orang) dengan status karies yang sangat tinggi.

Berdasarkan usia, subjek dengan usia <29 tahun

paling banyak (9 orang) dibandingkan dengan

usia lainnya dengan status karies sangat tinggi.

Berdasarkan jenis pekerjaan, subjek dengan

pekerjaan tidak bekerja (9 orang) paling banyak

dibandingkan dengan jenis pekerjaan lain

dengan status karies sangat tinggi.

Page 14: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77

74 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Tabel 1. Distribusi subjek berdasarkan karakteristik demografi dengan status karies

Karakteristik

Status karies (DMF-T)

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Jumlah

n % n % n % n % n % n %

Jenis Kelamin

Laki-laki 1 9,1 1 9,1 0 0,0 0 0,0 9 81,8 11 100

Perempuan 2 4,9 3 7,3 9 22,0 6 14,6 21 51,2 41 100

Usia

< 29 tahun 3 15,8 3 15,8 4 21,1 0 0,0 9 4 , 19 100

30-39 tahun 0 0,0 1 10,0 2 20,0 2 20,0 5 50,0 10 100

40-49 tahun 1 7,1 0 0,0 1 7,1 3 21,4 9 64,3 14 100

50-59 tahun 0 0,0 0 0,0 1 16,7 0 0,0 5 83,3 6 100

≥60 tahun 1 20,0 0 0,0 1 20,0 1 20,0 2 40,0 5 100

Pekerjaan

Buruh 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100

IRT 1 3,6 3 10,7 8 28,6 3 25,0 6 50,0 12 100

Mahasiswa 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100

Pegawai 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100

Pelajar 1 33,3 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 66,7 3 100

Petani 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 2 100 2 100

Sukarelawan 0 0,0 0 0,0 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100

Tidak bekerja 0 0,0 0 0,0 1 10,0 0 0,0 9 90,0 10 100

Wiraswasta 0 0,0 1 20,0 0 0,0 0 0,0 4 80,0 5 100

Sumber: Data primer,2018

Tabel 2. Distribusi subjek berdasarkan karakteristik demografi dengan status periodontal

Karakteristik

Status Periodontal (CPI)

Perdarahan Poket Kehilangan perlekatan Jumlah

Ada perdarahan Tidak ada Ada poket Tidak ada Ada Tidak ada

n % n % n % n % n % n % n %

Usia

< 29 tahun 11 57,9 8 42,1 18 94,7 1 5,3 13 68,4 6 31,6 19 100

30-39 tahun 5 50,0 5 50,0 7 70,0 3 30,0 4 40,0 6 60,0 10 100

40-49 tahun 5 38,5 8 61,5 9 69,2 4 30,8 7 53,8 6 46,2 13 100

50-59 tahun 2 33,3 4 66,7 4 66,7 2 33,3 3 50,0 3 50,0 6 100

≥60 tahun 1 25,0 3 75,0 1 25,0 3 75,0 1 25,0 3 75,0 4 100

Jenis kelamin

Laki-laki 5 45,5 6 54,5 9 81,8 2 18,2 5 45,5 6 54,5 11 100

Perempuan 19 46,3 22 53,7 30 73,2 11 26,8 23 56,1 18 43,9 41 100

Pekerjaan

Buruh 0 0,0 1 100 1 100 0 0,0 1 100 0 0,0 1 100

IRT 14 50,0 14 50,0 21 75,0 7 25,0 14 50,0 14 50,0 28 100

Mahasiswa 0 0,0 1 100 1 100 0 0,0 1 100 0 0,0 1 100

Pegawai 0 0,0 1 100 1 100 0 0,0 0 0,0 1 100 1 100

Pelajar 1 33,3 2 66,7 3 100 0 0,0 2 100 0 0,0 3 100

Petani 1 50,0 1 50,0 1 50,0 1 50,0 2 100 0 0,0 2 100

Sukarelawan 1 100 0 0,0 1 100 0 0,0 1 100 0 0,0 1 100

Tidak bekerja 3 30,0 7 70,0 6 60,0 4 40,0 4 40,0 6 60,0 10 100

Wiraswasta 4 80,0 1 20,0 4 80,0 1 20,0 3 60,0 2 40,0 5 100

Page 15: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77

75 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Tabel 2 menunjukkan distribusi subjek

berdasarkan karakteristik demografi dengan

status periodontal. Berdasarkan karakteristik

usia, usia subjek survei dengan status

periodontal paling banyak pada usia kurang dari

29 tahun dengan kategori ada perdarahan (11

orang), ada poket (18 orang) dan ada kehilangan

perlekatan (13 orang). Berdasarkan karakteristik

jenis kelamin, jenis kelamin perempuan dengan

status periodontal lebih banyak dibandingkan

dengan laki-laki yaitu pada kategori ada

perdarahan (19 orang), ada poket (22 orang)

dan ada kehilangan perlekatan (23orang).

Berdasarkan karakteristik pekerjaan, pekerjaan

ibu rumah tangga dengan status periodontal

paling banyak dibandingkan pekerjaan lainnya

dengan kategori ada perdarahan (14 orang), ada

poket (21 orang), dan ada kehilangan perlekatan

(14 orang). Tabel 3 menunjukkan hubungan

antara status periodontal dengan karies (DMF-

T). Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara perdarahan,

poket dan kehilangan perlekatan dengan status

karies (p>0,05).

Tabel 3. Hubungan status periodontal dengan karies pada masyarakat malino tahun 2018

Karakteristik

Status Karies (DMF-T)

Jumlah

n %

Nilai P Sangat

rendah Rendah Sedang

Tinggi

Sangat

tinggi

n % n % n % N % n %

Perdarahan

0,06** Tidak ada 1 4,2 4 16,7 6 25,0 1 4,2 12 50,0 24 100

Ada 2 7,1 0 0.0 3 10,7 5 17,9 18 64,3 28 100

Poket

0,31** Tidak ada 3 7,7 4 10,3 6 15,4 3 7,7 23 59,0 39 100

Ada 0 0,0 0 0,0 3 23,1 3 23,1 7 53,8 13 100

Kehilangan

perlekatan

0,43** Tidak ada 3 10,7 3 10,7 14,3 3 10,7 15 53,6 28 100

Ada 0 0,0 1 4,2 5 20,8 3 12,5 15 62,5 24 100

* Uji chi-square (p≤0,05, significant)

PEMBAHASAN Karies gigi dan penyakit periodontal

merupakan penyakit kompleks dengan berbagai

paparan berdampak pada risiko inisiasi suatu

penyakit (faktor risiko) atau perkembangan

penyakit yang ada (faktor prognostik). Termasuk

ke dalamnya adalah paparan yang diwariskan

(misalnya varian genetik), yang diperoleh,

seperti faktor sosial, pendidikan dan ekonomi,

lingkungan lokal (misalny biofilm), penyakit

lain (misalnya diabetes yang terkontrol secara

sub-optimal) serta faktor gaya hidup (misalnya

merokok, konsumsi gula, asupan karbohidrat).

Masing-masing faktor di atas dapat timbul

dalam kombinasi yang berbeda pada tingkat

individu yang berbeda dan memberikan

pengaruh yang berbeda.9

Kedua penyakit yaitu karies dan penyakit

periodontal, jika tidak dilakukan perawatan

akan menyebabkan kehilangan gigi, edentulous,

kehilangan fungsi pengunyahan, status gizi

buruk, hilangnya rasa percaya diri, kesulitan

sosial dan menurunnya kualitas hidup. Kavitas

lesi karies, periodontitis parah dan kehilangan

gigi menjadi beban penyakit yang diperkirakan

mencapai 12.900.000 tahun hidup yang tidak

dapat disembuhkan pada tahun 2015 atau sekitar

2% dari total beban penyakit manusia.10

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

tidak ada hubungan yang signifikan antara status

periodontal dan karies pada masyarakat Malino,

kecamatan Tinggimoncong. Hal ini sejalan

dengan suatu penelitian yang dilakukan terhadap

800 pasien dengan menggunakan pemeriksaan

radiografis gigi. Tingkat resorpsi tulang diukur

untuk menilai berat penyakit periodontal.

Jumlah geligi yang mengalami karies dan geligi

dengan bahan tumpatan dicatat. Hubungan

antara karies dan penyakit periodontal dianalisis.

Kemudian data distratifikasi untuk berbagai

Page 16: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77

76 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

kategori jenis kelamin, usia, dan jumlah gigi

yang ada. Hasilnya menunjukkan tidak ada

hubungan antara dua penyakit ini.11

Juga ada penelitian lain yang menghitung

skor rerata DMF di antara tiga kelompok yang

berbeda dari subjek tanpa gingivitis, gingivitis

moderat, hingga gingivitis berat. Penelitian

tersebut melibatkan 4.043 pria kulit putih

berusia antara 17 hingga 20 tahun dari berbagai

daerah di Amerika Serikat. Dalam penelitian

tersebut juga tidak menemukan adanya

hubungan antara karies dan gingivitis.11

Penyakit periodontal disebabkan oleh plak

bakteria sebagai biofilm yang memulai kondisi

peradangan, terutama gingivitis dan

periodontitis. Secara global ditemukan bahwa

periodontitis mengenai atau diderita oleh 45-

50% orang dewasa dalam bentuk paling ringan,

sedangkan periodontitis paling parah diderita

oleh 9-11% populasi dewasa dunia.12

Berkaitan

dengan kesehatan periodontal terdapat simbiosis

antara biofilm yang berhubungan dengan

kesehatan dan respons inflamasi imun host yang

sebanding. Periodontitis berkembang setelah

munculnya simbiosis tersebut pada individu

yang rentan terkait dengan disregulasi respons

inflamasi imun serta mengarah kepada host yang

diperantarai melalui kerusakan jaringan ikat dan

kehilangan tulang alveolar.13

Plak gigi merupakan faktor penyebab

bersama dalam perkembangan karies gigi dan

periodontitis serta dinyatakan bahwa karies dan

periodontitis adalah hal yang berbeda. Pada

kasus periodontitis agresif plak bukan sebagai

faktor penyebab utamanya. Akibatnya prevalensi

rendah lesi karies pada kasus periodontitis

agresif dapat diperbandingkan dengan pasien

periodontitis kronis. Berbagai penelitian yang

dilakukan oleh para peneliti, salah satunya oleh

Kinane dkk. (dalam Zimmerman dkk. 201513

),

juga tidak dapat menemukan hubungan antara

karies dan periodontitis.

Karies melibatkan interaksi antara struktur

gigi, biofilm yang terbentuk pada permukaan

gigi, gula dan faktor saliva, serta faktor genetik.

Karies merupakan penyakit umum yang terjadi

di semua kalangan usia. Berdasarkan suatu

penelitian ditemukan puncak kavitas karies

dentin yang tidak dirawat pada pasien berusia

6,26 dan 70 tahun.9

Penyebab bakteriologis dari kedua

penyakit di atas serta banyaknya faktor latar

belakang yang umum dapat menjelaskan temuan

ini. Kebiasaan hidup, faktor sosial dan perilaku

kesehatan gigi telah digambarkan sebagai faktor

yang memungkinkan terjadinya kedua penyakit

tersebut. Sedangkan menurut Sewon dkk. (dalam

Mattila dkk. 20106), hubungan negatif selain dari

perbedaan dalam spektrum bakteriologis, juga

berkaitan dengan proses demineralisasi yang

terlihat dalam perkembangan karies sebagai

lawan dari proses mineralisasi yang terlihat

dalam pembentukan kalkulus terkait dengan

penyebab penyakit periodontal.

SIMPULAN Hasil survei ini menunjukkan bahwa tidak

ada hubungan yang signifikan antara status

periodontal dengan status karies pada

masyarakat berusia dewasa di kelurahan Malino,

kecamatan Tinggimoncong provinsi Sulawesi

Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pitalu S. Analisis hubungan perilaku

pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut

terhadap status kesehatan gigi dan mulut

siswa SD dan SMP di Medan. Jurnal

Pendidikan dan Kebudayaan 2010; 16(4):

376-7.

2. Sanadhya S, Aapaliya P, Jain S, Sharma N,

Choudhary G, Dobaria N. Assessment and

comparison of clinical dental status and its

impact on oral health-related quality of life

among rural and urban adults of Udaipur,

India: a cross-sectional study. Journal of

Basic and Clinical Pharmacy 2015; 6(2):

50-51

3. Entezari S, Amoian B, Fereidooni M, Esmi

F, Bijani A. Correlation between caries

prevalence and chronic periodontitis.

Caspian J of Dent Res 2014;3:21-22

4. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset

Kesehatan Dasar (RISKESDAS)

2013.p.110-2.

5. Jepsen S, Blanco J, Buchalla W, Carvalho

JC, Dietrich T, Dorfer C et al. Prevention

and control of dental caries and periodontal

disease at individual and population level:

Page 17: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 71-77

77 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

consensus report of group 3 of joint the

boundaries between caries and periodontal

disease. J Clin Periodontol 2017;87

6. Mattila PT, Niskanen MC, Veskalahti MM,

Nordblad A, Knuuttila MLE. Prevalence and

simultaneous occurance of periodontitis and

dental caries. Journal of Clinical

Periodontology 2010;37:965-7.

7. WHO. Oral health surveys basic methods.

5th Ed. 2013. p.46-47

8. Marya CM. A textbook of public health

dentistry. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publisher; 2011.p.204-3.

9. Chapple L, Bouchard P, Cagetti M, Campus

G, Carra M, Cocco F, et al. Interaction of

lifestyle, behavior or systemic disease with

dental caries and periodontal; diseases:

consensus report of group 2 of the joint

efp/orca workshop on the boundaries

between caries and periodontal diseases. J

Clin of Periodontol 2017.p.44:41

10. Tonetti MS, Bottenberg P, Conrads G,

Eickholz P, Heasman P, Huysmans M, et al.

Dental caries and periodontal disease in the

ageing population: call to protect and

enhance oral health and well-being as an

essential component of healthy ageing-

consensus report of group 4 of the joint

efp/orca workshop on the boundaries

between caries and periodontal disease.

Journal of Clinical Periodontology 2017.

p.44:136

11. Ismail A, Pitts N, Tellez M, Banerjee, A,

Deery, C, Gail D, Eggertsson H, The

international caries classification and

management system (iccms) an example of

caries management pathways. BMC Oral

Health 2015;15:159

12. Zimmerman H, Hagenfeld D, Diercke K,

El-Sayed N, Fricke J, Greiser KH, et al.

Pocket depth and bleeding on probing and

their association with dental, lifestyle,

socioeconomic and blood variables: a cross-

sectional, multicenter feasibility study of the

german national cohort. BMC Oral Health

2015;15:6

Page 18: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85

78 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENGARUH KUALITAS PELAYANAN TERHADAP KEPUASAN PASIEN

PADA UNIT RADIOLOGI RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT UNSYIAH

THE INFLUENCE OF SERVICE QUALITY TOWARDS PATIENT’S

SATISFACTION AT RADIOLOGY UNIT OF RSGM UNSYIAH

Kemala Hayati, Rachmi Fanani Hakim, Miftahul Jannah E

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

Correspondence email to: [email protected]

Abstrak

Dental radiografi merupakan bagian dari radiologi kedokteran gigi yang bertujuan untuk melihat

manifestasi oral di rongga mulut yang tidak dapat dilihat secara klinis. Unit radiologi yang melayani

dental radiografi ini merupakan salah satu unit yang terdapat di Rumah Sakit Gigi dan Mulut

(RSGM) Unsyiah. Kualitas pelayanan kesehatan terkait erat dengan kepuasan pasien baik secara

medis maupun non medis. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan

terhadap kepuasan pasien pada unit radiologi di RSGM Unsyiah. Jenis penelitian ini adalah penelitian

analitik. Pengambilan subjek menggunakan metode purposive sampling dan sesuai dengan kriteria

inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan pembagian kuisioner kepada subjek penelitian yang

telah diberi informed consent. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh kualitas

pelayanan terhadap kepuasan pasien dalam bidang radiologi di RSGM Unsyiah. Subjek penelitian

sebanyak 63 orang. Kualitas pelayanan didominasi oleh kategori baik sebanyak 32 orang (50,8%), dan

kepuasan didominasi oleh kategori puas sebanyak 32 orang (50,8%). Berdasarkan hasil uji chi-square

menunjukan nilai p= 0,000 < α 0,05. Dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan memiliki pengaruh

yang signifikan terhadap kepuasan pasien.

Kata Kunci: Dental radiografi, kualitas pelayanan, kepuasan.

Abstract

Dental radiography is part of dental radiology which aims to see oral manifestation that cannot be

seen clinically. Radiology unit which serves dental radiography is one of the units that can be found at

RSGM Unsyiah. The quality of medical services is strongly related to patients' satisfaction both

medically and nonmedically. The purpose of study is to identify the influence of service quality

towards patient’s satisfaction at radiology unit of RSGM Unsyiah. This study is an analytical study.

The subject’s collection was using purposive sampling and according to the criteria of inclusion. The

data collection was through distribution of questionnaire to the subject whom was given informed

consent before. The result of study showed that service quality influences the patient’s satisfaction at

radiology unit of RSGM Unsyiah. There are 63 people as subject. The service quality was dominated

by good cathegory represented by 32 people (50,8%), and the satisfaction was dominated by satisfied

cathegory represented by 32 people (50,8%). According to chi-square test p=0,000 < α 0,05. The

concluded that service quality has a significant influence towards patient’s satisfaction

Keywords: Dental radiography, service quality, satisfaction

Page 19: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85

79 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUAN

Pembangunan di bidang kesehatan adalah

bagian dari pembangunan nasional untuk

mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan UUD 19451. Saat ini

kesehatan merupakan salah satu peluang bisnis

yang cukup baik, dibuktikan dengan semakin

banyak berdirinya rumah sakit atau klinik swasta

baik di daerah perkotaan maupun daerah

terpencil. Rumah sakit swasta maupun

pemerintah berusaha menjaring pasien

sebanyak-banyaknya dengan cara meningkatkan

pelayanan.2 Rumah sakit sebagai salah satu

lembaga pelayanan kesehatan diharapkan dapat

memberikan pelayanan bagi masyarakat yang

komprehensif, terpadu, merata, serta dapat

terjangkau oleh masyarakat.3 Rumah sakit juga

memiliki kegiatan untuk menyelenggarakan

upaya pelayanan kesehatan untuk memelihara

dan meningkatkan derajat kesehatan yang

optimal bagi masyarakat.4

Kualitas pelayanan kesehatan mempunyai

kaitan yang erat dengan hasil pelayanan

kesehatan, baik secara medis maupun non

medis.5 Kualitas pelayanan yang bermutu dan

efektif di suatu rumah sakit meliputi pelayanan

yang nyaman, petugas yang ramah, komunikasi

dokter dengan pasien yang baik, kualitas dan

kuantitas peralatan medis yang memadai,

kualitas lingkungan klinik yang baik dan biaya

perawatan yang terjangkau sehingga dapat

mempengaruhi kepuasan pasien. Pasien yang

merasa puas cenderung akan memberikan

referensi yang baik kepada orang lain atas suatu

kualitas pelayanan yang diterimanya.6

Kesehatan gigi dan mulut merupakan

salah satu kesehatan umum yang sangat penting

bagi setiap orang. Menurut Riset Kesehatan

Dasar (2013), menyebutkan bahwa prevalensi

masalah gigi dan mulut di Indonesia dijumpai

sebesar 25,9%. Hal ini disebabkan karena

kurangnya kesadaran masyarakat akan

pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan

mulut. Salah satu upaya yang dilakukan untuk

mengurangi prevalensi nasional terkait masalah

gigi dan mulut adalah meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan gigi dan mulut pada

fasilitas kesehatan baik milik pemerintah

maupun swasta.7

RSGM Unsyiah yang berdiri sejak tahun

2013 merupakan rumah sakit pendidikan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan gigi dan

mulut dan juga digunakan sebagai sarana proses

pembelajaran, pendidikan dan penelitian bagi

profesi tenaga kesehatan kedokteran gigi dan

tenaga kesehatan lainnya. RSGM ini memiliki

salah satu fasilitas ruang radiologi yang terdapat

di dalamnya alat radiograf periapikal,

panoramik, sefalometri, dan temporal

mandibular joint (TMJ). Data-data pasien yang

diperoleh dari RSGM Unsyiah pada bulan

Januari, yaitu periapikal sebanyak 542 orang,

panoramik 242 orang, dan sefalometri 14 orang.

Selanjutnya, bulan Februari, yaitu periapikal

sebanyak 862 orang, panoramik 258 orang, dan

sefalometri 37 orang. Selanjutnya, bulan Maret,

yaitu periapikal sebanyak 736 orang, panoramik

210 orang, dan sefalometri 23 orang.

Selanjutnya, bulan April, yaitu periapikal

sebanyak 680 orang, panoramik 204 orang, dan

sefalometri 14 orang. Selanjutnya, bulan Mei:

periapikal sebanyak 571 orang, panoramik 188

orang, dan sefalometri 9 orang. Berdasarkan

hasil pemeriksaan radiologi yang dilakukan pada

instalasi radiologi di RSGM Unsyiah selama

bulan Januari-Mei 2016 dapat disimpulkan

bahwa banyaknya pasien yang datang ke RSGM

Unsyiah untuk melakukan foto radiograf baik itu

rujukan dari dokter gigi yang berdomisili di

Banda Aceh maupun di luar Banda Aceh.8

Radiograf merupakan pemeriksaan penunjang

diagnosis dalam bidang kedokteran gigi,

sehingga dapat membantu menentukan rencana

perawatan selanjutnya.9

Berdasarkan masalah yang telah

dijelaskan di atas, maka penulis tertarik untuk

meneliti tentang pegaruh kualitas pelayanan

terhadap kepuasan pasien pada unit radiologi di

RSGM Unsyiah. Penelitian ini dilakukan di

RSGM Unsyiah Banda Aceh karena merupakan

rumah sakit gigi dan mulut satu-satunya yang

dimiliki oleh provinsi Aceh pada saat ini.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di RSGM

Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang

dilaksanakan dalam waktu 5 hari pada bulan

April 2018. Jenis penelitian ini merupakan jenis

penelitian yang bersifat analitik dengan metode

cross sectional.

Page 20: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85

80 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh pasien yang datang untuk melakukan

foto radiografdi RSGM selama periode

penelitian. Pemilihan subjek dalam penelitian ini

dilakukan dengan teknik purposive sampling

berdasarkan kriteria yang telah ditentukan oleh

peneliti serta bersedia dan berpartisipasi dalam

penelitian ini dengan pendekatan non-

probability (yang memenuhi kriteria inklusi).10

Setelah memperoleh surat izin dari dekan

FKG Unsyiah dan Direktur RSGM Unsyiah.

Penelitian akan dilakukan pada pasien yang

datang untuk melakukan foto radiograf di

RSGM Universitas Syiah Kuala. Selanjutnya

peneliti menunggu pasien di ruang registrasi

untuk memastikan pasien tersebut melakukan

foto radiograf. Sebelum memulai penelitian,

peneliti menyeleksi pasien yang memenuhi

kriteria inklusi terlebih dahulu. Selanjutnya

peneliti mengikuti pasien menuju ruang

radiologi dan menunggu pasien selesai

melakukan foto radiograf.

Selanjutnya peneliti memberikan

informasi kepada pasien bahwa peneliti akan

melakukan penelitian dan meminta pasien untuk

bersedia dijadikan subjek penelitian. Jika pasien

setuju untuk dijadikan subjek penelitian, maka

peneliti memberikan lembar informed consent

dan lembar persetujuan kepada responden untuk

bekerjasama dalam penelitian ini. Selanjutnya

peneliti membagikan kuisioner dan menjelaskan

tujuan dilakukannya penelitian. Kuisioner

kemudian diisi sendiri oleh responden. Lembar

kuesioner yang telah terisi langsung

dikumpulkan kepada peneliti untuk dilakukan

proses analisis data.

Analisa data dilakukan menggunakan

teknik Chi-square untuk melihat apakah terdapat

pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan

pasien pada unit radiologi di RSGM Unsyiah.

Adapun proses analisis data berdasarkan

kuesioner, yaitu kuisioner kualitas pelayanan

terdiri dari l0 pertanyaan, masing-masing

pertanyaan berisikan 4 kategori pilihan yaitu

kategori 1: sangat tidak baik, kategori 2: tidak

baik, kategori 3: cukup baik, kategori 4: baik,

kategori 5: sangat baik. Pertanyaan kuisioner

tersebut terdiri dari 2 pertanyaan tentang

tangible (penampilan). 2 pertanyaan tentang

reliability (kehandalan), 2 pertanyaan tentang

responsiveness (ketanggapan), 2 pertanyaan

tentang assurance (keyakinan), 2 pertanyaan

tentang empathy (perhatian). Kemudian

kuisioner kepuasan pasien terdiri dari 9

pertanyaan, masing-masing pertanyaan berisikan

4 kategori pilihan yaitu; kategori 1: sangat tidak

puas, kategori 2 tidak puas, kategori 3: cukup

puas, kategori 4: puas, kategori 5: sangat puas.

Data tersebut dikumpulkan dan dinilai

menggunakan kategori berikut :

Kualitas Pelayanan

Sangat tidak baik : 1-10

Tidak baik : 11-20

Cukup baik : 21-30

Baik : 31-40

Sangat baik : 41-50

Kepuasaan

Sangat tidak puas : 1-9

Tidak puas : 10-18

Cukup puas : 19-27

Puas : 28-36

Sangat puas : 37-45

HASIL

Subjek penelitian ini adalah pasien yang

datang untuk melakukan foto radiograf di

RSGM Unsyiah dan berusia 17-55 tahun

berdasarkan kriteria inklusi.11

Teknik

pengambilan subjek penelitian menggunakan

metode purposive sampling dengan pendekatan

non probability yaitu teknik sampling dimana

peneliti menentukan sampel dengan menetapkan

ciri khusus sesuai dengan tujuan penelitian.

Jumlah keseluruhan subjek mencapai 68

orang, sejumlah 63 orang yang menyatakan

bersedia menjadi subjek penelitian dan 5 orang

tidak setuju untuk menjadi subjek penelitian.

Sedangkan yang menolak untuk menjadi subjek

penelitian dikarenakan alasan memiliki

kesibukan tersendiri, sedang terburu-buru dan

sedikit acuh terhadap penelitian ini.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian

Berdasarkan Usia

Usia Jumlah (orang) Persentase

17-25 tahun 22 34,9%

26-35 tahun 18 28,6%

36-45 tahun 16 25,4%

46-55 tahun 7 11,1%

Total 63 100%

Page 21: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85

81 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian

Berdasarkan Jenis Kelamin

Pendidikan

Terakhir

Jumlah

(orang) Persentase

Perempuan 40 63,5%

Laki-laki 23 36,5%

Total 63 100%

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian

Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan

Terakhir

Jumlah

(orang) Persentase

SMP 1 1,6%

SMA 29 46,0%

S-1 33 52,4%

Total 63 100%

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian

Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah

(orang) Persentase

Pelajar/Mahasiswa 14 22,2%

Ibu Rumah Tangga

(IRT) 11 17,5%

Petani 1 1,6%

Wiraswasta 10 15,9%

Honor/Kontrak 6 9,5%

Pegawai Negeri Sipil

(PNS) 15 38,8%

Karyawan Swasta 6 9,5%

Total 63 100%

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kualitas

Pelayanan

Kualitas Pelayanan Frekuensi Presentase

Sangat tidak baik 0 0%

Tidak baik 3 4,8%

Cukup baik 5 7,9%

Baik 32 50,8%

Sangat baik 23 36,5%

Total 63 100%

Tabel 6. Distribusi frekuensi subjek penelitian

berdasarkan dimensi tampilan (tangible)

Kualitas Pelayanan Frekuensi Persentase

Sangat tidak baik 0 0%

Tidak baik 2 3,2%

Cukup baik 24 38,1%

Baik 26 41,3%

Sangat baik 11 17,5%

Total 63 100%

Tabel 7. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian

Berdasarkan dimensi kehandalan (reability)

Kualitas Pelayanan Frekuensi Persentase

Sangat tidak baik 0 0%

Tidak baik 3 4,8%

Cukup baik 12 19,0%

Baik 29 46,0%

Sangat baik 19 30,2%

Total 63 100%

Tabel 8. Distribusi frekuensi subjek penelitian

berdasarkan dimensi ketanggapan (responsiveness)

Kualitas Pelayanan Frekuensi Presentase

Sangat tidak baik 0 0%

Tidak baik 3 4,8%

Cukup baik 13 20,6%

Baik 32 50,8%

Sangat baik 15 23,8%

Total 63 100%

Tabel 9. Distribusi frekuensi subjek penelitian

berdasarkan dimensi jaminan (assurance)

Kualitas Pelayanan Frekuensi Presentase

Sangat tidak baik 0 0%

Tidak baik 2 3,2%

Cukup baik 12 19,0%

Baik 32 50,8%

Sangat baik 17 27,0%

Total 63 100%

Tabel 10. Distribusi frekuensi subjek penelitian

berdasarkan dimensi perhatian (emphathy) Kualitas Pelayanan Frekuensi Presentase

Sangat tidak baik 0 0%

Tidak baik 3 4,8%

Cukup baik 11 17,5%

Baik 34 54,0%

Sangat baik 15 23,8%

Total 63 100% Adapun kepuasan pasien terhadap

pelayanan bidang radiologi RSGM Unsyiah

terdapat pada Tabel 11 berikut: Tabel 11. Dsitribusi Frekuensi Berdasarkan Kepuasan

Pasien

Kepuasan Frekuensi Presentase

Sangat tidak puas 0 0%

Tidak puas 2 3,2%

Cukup puas 13 20,6%

Puas 32 50,8%

Sangat Puas 16 25,4%

Total 63 100%

Page 22: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85

82 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Pengaruh kualitas pelayanan terhadap

kepuasan pasien dalam bidang radiologi di

RSGM Unsyiah terdapat dalam tabel 12 berikut:

Tabel 12. Hasil Uji Pengaruh Kualitas Pelayanan

Terhadap Kepuasan Pasien Kepuasan

STP TP CP P SP Total

(%)

Kualitas

Pelayana

n

Sangat

Tidak

Baik

0

0

0

0

0

0

(0)

Tidak

Baik

0 2

0

0

1

3

(4.8)

Cukup

Baik

0

0 5 0 0 5

(7.9)

Baik 0 0 8 24 0 32

(50.8)

Sangat

Baik

0

0 0 8 15 23

(36.5)

Total

0 2 13 32 16 63

Total Persen (%) 0 3,2 20,6 50.8 25.4 100

Berdasarkan hasil uji chi-square yang

ditunjukkan pada Tabel12, didapatkan nilai

p=0.00 sehingga dapat disimpulkan bahwa

terdapat pengaruh yang signifikan antara

kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien

yang diperoleh dari nilai p<0.05.

PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan usia didominasi oleh oleh usia 17-

25 yaitu sebanyak 22 orang (34,9%). Menurut

penelitian Wijaya (2014)12

ditemukan bahwa

persentase sikap dengan kategori baik terbesar

dimiliki oleh kelompok umur 17-25. Hal ini

dapat disebabkan karena pada umur yang lebih

muda, mereka memiliki pandangan yang lebih

baik terhadap kesehatan.

Hal ini sesuai dengan

penelitian Putri (2014)13

menyatakan tingkat

usia yang lebih muda akan lebih banyak

membutuhkan motivasi dari orang tua.

Penelitian Tasya (2016)14

menyatakan bahwa

seseorang yang memasuki masa remaja akhir

berada dalam masa usia produktif sehingga

memiliki kesadaran yang tinggi untuk mencari

pelayanan ketika mereka membutuhkannya.

Semakin bertambah usia maka semakin

bertambah pula kemampuan seseorang dalam

mengambil keputusan, berfikir secara rasional,

semakin bijaksana dan mampu mengendalikan

emosi dan toleran terhadap pandangan orang

lain.

Tabel 2 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan jenis kelamin didominasi oleh

perempuan yaitu sebanyak 40 orang (63,5%).

Menurut penelitian Putri (2014)13

menyatakan

bahwa perempuan memiliki tingkat kesadaran

kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan

dengan laki-laki.

Hal ini sesuai dengan

penelitian Wijaya (2014)12

mengatakan bahwa

perempuan memiliki rasa ingin tahu yang lebih

besar karena mereka lebih merasakan

perubahan-perubahan psikologis pada diri

mereka. Penelitian Berutu (2017)15

juga

mengatakan wanita lebih peduli terhadap

perawatan, termasuk perawatan //kesehatan gigi

dan mulut. Selain itu, hal tersebut juga

didukung dengan hasil penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Made Fryanantha Yudhia A

(2014)16

mengatakan bahwa responden berjenis

kelamin perempuan lebih dominan dibandingkan

laki-laki.

Tabel 3 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan tingkat pendidikan didominasi oleh

tingkat pendidikan Strata 1 (S1) yaitu sebanyak

33 orang (52,4%). Menurut penelitian

Tanudjaya (2014)6 menyatakan pendidikan

dianggap sebagai salah satu faktor yang

berhubungan dengan kualitas hidup.

Hal ini

sesuai dengan penelitian Harmoko (2017)17

yang

menyatakan bahwa pendidikan salah satu faktor

yang mempengaruhi perilaku langsung terhadap

kesehatan. Penelitian Caresya (2016)18

juga

menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi

proses belajar, semakin tinggi pendidikan

seseorang semakin mudah menerima informasi,

baik dari luar maupun dari media massa.

Semakin banyak informasi yang didapat maka

semakin banyak pengetahuan tentang kesehatan

yang didapatkan seseorang.

Tabel 4 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan pekerjaan didominasi oleh PNS

yaitu sebanyak 15 orang (23,8%). Menurut

penelitian Nondyawati (2015)19

menyatakan

bahwa seseorang yang memiliki pekerjaan

dengan informasi lebih luas terdapat

kecenderungan mempunyai pengetahuan lebih

baik dan dengan bekerja seseorang dapat berbuat

sesuatu yang bernilai, bermanfaat dan dapat

Page 23: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85

83 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

memperoleh berbagai pengalaman yang lebih

luas sehingga informasi yang didapat lebih

banyak. Penelitian Caresya (2016)18

juga

mengatakan faktor ekonomi juga ikut berperan

penting dalam pemilihan tempat pengobatan,

semakin tinggi penghasilan seseorang maka

cenderung memilih tempat pengobatan yang

lebih baik dari segi sarana maupun prasarana.

Tabel 5 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan kualitas pelayanan didominasi oleh

kategori baik yaitu sebanyak 32 orang (50,8%).

Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan

yang diberikan oleh bidang radiologi RSGM

Unsyiah telah memenuhi kebutuhan pasien

tersebut. Kualitas pelayanan adalah suatu upaya

dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan

konsumen serta ketepatan penyampaiannya

dalam mengimbangi harapan konsumen.20

Kualitas pelayanan sangat menentukan tingkat

kepuasan konsumen. Semakin tinggi kualitas

pelayanan maka semakin tinggi pula kepuasan

yang diterima konsumen.21

Hal ini sesuai dengan

penelitian Hanif (2010)22

menyatakan bahwa

kualitas pelayanan yang baik akan menciptakan

hubungan jangka panjang dan menguntungkan

bagi penyedia jasa dan konsumen.

Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari

dimensi kualitas pelayanan sebagai berikut:23

Tabel 6 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan dimensi penampilan (tangible)

merupakan suatu kondisi yang membuat pasien

dapat merasakan kenyamanan seperti tempat

pelayanan, dan kelengkapan fasilitas didominasi

oleh kategori baik yaitu sebanyak 26 orang

(41,3%). Hal ini menunjukkan pelayanan yang

diberikan kepada pasien sudah baik.

Tabel 7 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan dimensi kehandalan (reability)

merupakan suatu kondisi dalam memberikan

pelayanan yang dijanjikan secara tepat dan

akurat didominasi oleh kategori baik yaitu

sebanyak 29 orang (46,0%). Hal ini

menunjukkan pelayanan yang diberikan kepada

pasien sudah baik. Tabel 8 menunjukkan hasil

penelitian berdasarkan dimensi ketanggapan

(responsiveness) merupakan suatu kondisi dalam

membantu pelanggan untuk memberikan

pelayanan yang cepat serta kepekaan yang tinggi

untuk membantu konsumen didominasi oleh

kategori baik yaitu sebanyak 32 orang (50,8%).

Hal ini menunjukkan pelayanan kepada pasien

sudah baik.

Tabel 9 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan dimensi jaminan (assurance)

merupakan suatu kondisi yang memberikan

kepercayaan/keyakinan kepada pelanggan

berupa jaminan bahwa tidak ada keraguan dalam

memberikan pelayanan sehingga tidak terjadi

kesalahan dalam memberi pelayanan tersebut

didominasi oleh kategori baik yaitu sebanyak 32

orang (50,8%). Hal ini menunjukkan pelayanan

yang diberikan kepada pasien sudah baik.

Tabel 10 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan dimensi perhatian (emphathy)

merupakan suatu kondisi yang memberikan

perhatian kepada pelanggan secara individu dan

berusaha untuk mengerti apa keinginan,

kemauan, serta kebutuhan konsumen didominasi

oleh kategori baik yaitu sebanyak 32 orang

(50,8%). Hal ini menunjukkan pelayanan yang

diberikan kepada pasien sudah baik.

Tabel 11 menunjukkan hasil penelitian

berdasarkan kepuasan pasien didominasi oleh

kategori puas yaitu sebanyak 32 orang (50,8%).

Kepuasan adalah suatu perasaan yang

menunjukkan kesenangan atau kekecewaan

seseorang terhadap kinerja atau produk yang

muncul setelah membandingkan antara

persepsi/kesan.24

Kepuasan dan ketidakpuasan

atas kualitas pelayanan kesehatan pada dasarnya

berpengaruh pada pola perilaku selanjutnya.

Apabila pasien merasa puas, pasien tersebut

akan menunjukkan besarnya kemungkinan untuk

kembali datang berkunjung ke pelayanan

kesehatan. Pasien yang puas cenderung

memberikan referensi yang baik terhadap

pelayanan kesehatan yang diterimanya kepada

orang lain.22

Sesuai dengan penelitian Vuuren

(2012)25

bahwa kepuasan pasien terhadap

kualitas pelayanan di rumah sakit dapat menjaga

suatu kepercayaan pasien sehingga pasien

tersebut dapat menjadi loyal atau setia terhadap

suatu rumah sakit tersebut. Penelitian Suki

(2011)26

menyatakan bahwa kepercayaan pasien

terhadap suatu rumah sakit dapat terbentuk

melalui pengalaman positif serta keinginan

pasien untuk datang dan berobat kembali.

Tabel 12 menunjukkan hasil penelitian uji

chi-square didapatkan nilai p=0.00 sehingga

dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh

Page 24: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85

84 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

yang signifikan antara kualitas pelayanan

terhadap kepuasan pasien yang diperoleh dari

nilai p<0.05. Analisis yang dilakukan terkait

pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan

pasien dalam bidang radiologi RSGM Unsyiah

dengan menggunakan uji chi-square

menunjukan nilai p= 0,000< α 0,05 artinya

terdapat pengaruh yang signifikan antara

kualitas pelayanan terhadap kepuasan pasien.

Secara keseluruhan, dari hasil penelitian

telah menunjukkan bahwa pasien telah puas

dengan pelayanan di RSGM Unsyiah.Hal ini

ditunjukkan berdasarkan kriteria jawaban

responden dari masing-masing dimensi kualitas

pelayanan termasuk kategori baik. Hasil

penelitian ini didukung dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Made Fryanantha Yudhia A

(2014)16

yaitu terdapat pengaruh kualitas

pelayanan radiologi terhadap kepuasan pasien

menurut persepsi pasien di RSGM Universitas

Mahasaraswati Denpasar telah memenuhi

kebutuhan pasien dengan memberikan

pelayanan yang sebaik-baiknya sehingga

harapan pasien untuk mendapatkan pelayanan

yang terbaik sudah terpenuhi dan pasien merasa

puas atas pelayanan yang diberikan.

SIMPULAN

Kualitas pelayanan berdasarkan dimensi

tangible (penampilan), relibiality (kehandalan),

responsiveness (ketanggapan), assurance

(jaminan), empathy (perhatian) berdasarkan hasil

penelitian didominasi oleh kategori baik.

Sedangkan kepuasan pasien telah menunjukkan

didominasi oleh kategori puas. Berdasarkan

hasil uji chi-square didapatkan nilai p= 0,000< α

0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan antara kualitas

pelayanan terhadap kepuasan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dwiatmoko S. Pengaruh Kualitas

Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien di

Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas

Jember. Indonesian Journal Of

Dentistry. 2007; 14(3):230.

2. Haryanto JO, Olivia. Pengaruh Faktor

Pelayanan Rumah Sakit, Tenaga Medis dan

Kualitas Pelayanan Rumah Sakit Terhadap

Intensi Pasien Indonesia untuk Berobat di

Singapura. Jurnal Ekonomi Bisnis 2009;

14(2):114.

3. Departemen Kesehatan. Sistem Kesehatan

Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan

RI: 1987:231.

4. Lestari MMW, Yulianthini. Analisis

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Kepuasan Pasien Rawat Inap. e-Journal

Bisma Universitas Pendidikan Ganesha

Jurusan Manajemen. 2016 (1):2.

5. Jenita. Pelayanan pada Bisnis Rumah Sakit.

Jurnal Kajian Ekonomi Islam 2016;

1(2):155.

6. Tanudjaya K. Pengaruh Kualitas Pelayanan

Klinik Gigi Terhadap Kepuasan dan

Kepercayaan Pasien Sehingga

Meningkatkan Keinginan untuk Berobat

Kembali. Jurnal Manajemen Dan

Pemasaran Jasa. 2014; 7(1):45.

7. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Departemen Kesehatan (Balitban

gkes) RI, 2013. Laporan Hasil Riset

Kesehatan Dasar.http://www.depkes.go.id/

resources/download/general/Hasil%20Risk

esdas%202013.pdf. (Diakses 15 Mei 2018)

8. RSGM Universitas Syiah Kuala

http://www.fkg.unsyiah.ac.id/profil/rsgm-

fkg-unsyiah (Diakses 26 Februari 2017)

9. Supriyadi. Pedoman Interpretasi Radiograf

Lesi-Lesi di Rongga Mulut. Jurnal

Kedokteran Gigi Universitas Jember. 2012;

9(3): 1.

10. Taunay, Edward G. Analisis Kepuasan

Konsumen Terhadap Kualitas Pelayanan

Jasa Kesehatan (Studi Kasus di RS

BhaktiWira Tamtama Semarang). Jurnal

Manajemen Dan Pemasaran Jasa. 2005;

2(1): 11-3.

11. Kurniawan A. Pengaruh Kualitas Layanan

Terhadap Kepuasan dan Kepercayaan

Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Paru dr.

Ario Wirawan Salatiga. Jurnal Kesehatan

Masyarakat. 0 4(2): 5.

12. Wijaya I. Pengetahuan, Sikap dan Aktivitas

Remaja SMA dalam Kesehatan Reproduksi

di Kecamatan Buleleng. Jurnal Kesehatan

Masyarakat. 2014; 10(1): 40.

13. Putri A. Pengaruh Kualitas Pelayanan

Kesehatan Terhadap Kepuasan Pasien BPJS

di Rumah Sakit Tingkat II Udayana. Jurnal

Page 25: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 78-85

85 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Pelayanan Kesehatan. 2014; 2(2): 4

14. Tasya N. Faktor-faktor yang Berhubungan

dengan Pemanfaatan Peayanan Kesehatan

Gigi dan Mulut di Rumah Sakit gigi dan

Mulut (RSGM) Universitas Syiah Kuala

Banda Aceh. Journal Caninus Dentistry.

2016; 1(4): 59.

15. Berutu P. Peran Motivasi Terhadap Tingkat

Kooperatif Pasien yang Berkunjung ke Gigi

dan Mulut di Rumah Sakit gigi dan Mulut

(RSGM) Unsyiah. Journal Of Syiah Kuala

Dentistry. 2017; 2(1): 75.

16. Skripsi Pengaruh Kualitas Pelayanan

Radiologi Terhadap Kepuasan Pasien

Menurut Persepsi Pasien di RSGM

Universitas Mahasaraswati Denpasar.

http://www.unmaslibrary.ac.id/wpcontent/

uploads/2014/06/pengaruh_kualitas_pelaya

nan_radiologi_terhadap_tingkat_kepuasan_

menurut_persepsi_pasien.pdf.(Diakses 26

November 2017).

17. Harmoko S. Analisi Tingkat Kepuasan

Pemustaka Terhadap Kualitas Layanan di

Perpustakaan Politeknik Kesehatan

Kementrian Kesehatan Yogyakarta. Jurnal

Ilmu Perpustakaan dan Informasi.. 2017;

3(1): 14.

18. Caresya G. Pengaruh Komunikasi

Interpersonal Dokter Gigi Pasien terhadap

Tingkat Kepuasan di Poli Gigi Puskesmas

Jember. Jurnal Pustaka Kesehatan. 2016;

3(3): 550.

19. Nondyawati K. Hubungan Pengetahuan dan

Sikap dengan Motivasi Keluarga dalam

Memberikan Dukungan pada Klien

Gangguan Jiwa. Jurnal Ilmiah. 0 5 (1):

5-7.

20. Hosang N, Tumbel A, Moniharapon S.

Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan dan

Harga Terhadap Kepuasa Pasien. Jurnal

Berkala Ilmiah Efisiensi. 2016; 16(1):161.

21. Handayani S, Iriyanto S. Pengaruh Kualitas

Pelayanan dan Tarif Terhadap Kepuasan

Serta Implikasinya Terhadap Minat Beli

Pasien Rawat Inap Pada Rumah Sakit

Roemani Muhammadiyah Semarang.

Jurnal stiedharmaputra.2010; 3(2): 1.

22. Hanif A. Factors Affecting Customer

Satisfaction. Jounal of Finance and

Economics. 0 0 4(2): 44-52.

23. Saptawan S, Negyant. Efektivitas Kualitas

Pelayanan Kesehatan Masyarakkat. Jurnal

Ilmu Administrasi Negara. 2014; 12(4):

243.

24. Dewi R. Pengaruh Kualitas Pelayanan

Terhadap Loyalitas Pasien Pengguna BPJS

dengan Kepuasan Pasien Sebaga Variabel

Intervening. Jurnal Ekonomi Manajemen

Sumber Daya. 2016; 18(2): 149.

25. Vuuren T. Customer Satisfaction, Trust and

Commitment as Predictors of Customer

Loyalty Within an Optometric Practice

Environment. Journal of Southern African

Business Review.2012; 16(3): 81.

26. Suki A. Structural Model of Customer

Satisfaction and Trust in Vendors Involved

in Mobile Commerce. Internation Journal

of Business Science and Applied

Management. 2011; 6(2): 17.

Page 26: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

86 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

TATA LAKSANA TETANUS GENERALISATA DENGAN KARIES GIGI(LAPORAN KASUS)

MANAGEMENT OF GENERALIZED TETANUS IN CARIES(CASE REPORT)

Wati Safrida*, Syahrul**

*Residen Neurologi Fakultas Kedokteran Unsyiah-RSUZA** Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Correspondence email to: [email protected]

ABSTRAKTetanus merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasasi, dimana menyebabkan kematian309.000 orang per tahunnya. Dilaporkan lebih dari satu juta kasus tiap tahunnya di negaraberkembang. Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkanoleh Clostridium tetani ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang periodik dan berat. Seoranglelaki umur 46 tahun, datang dengan kekakuan seluruh tubuh sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit.Awalnya pasien merasakan kekakuan pada rahangnya sehingga sulit untuk membuka mulut dan sulitmenelan, kemudian pasien merasakan tubuhnya seperti robot yang sulit untuk digerakan, sulitberjalan, sulit berbicara dan mengalami hambatan dalam segala aktivitas. Kejang rangsang dialamioleh pasien. Pasien memiliki riwayat demam sejak 1 minggu ini, pasien juga memiliki gigi yangberlubang sejak 2 tahun ini. Pada pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 110/70 mmhg,nadi 117 x per menit, frekuensi napas 24 kali permenit, temperatur 380C. Hasil pemeriksaan fisikdidapatkan trismus, rhisus sardonicus dan spastik seluruh tubuh. Tatalaksana awal berupa primarysurvey, atasi kejang dan spastik, netralisir toksin dan pemberian antibiotik. Pasien diisolasi untukmencegah kejang rangsang. Pasien dirawat bersama bagian Gigi Mulut dan dilakukan tindakan yangberhubungan dengan faktor resiko karies gigi pasien.Kata kunci: Tetanus, karies gigi, trismus

ABSTRACTTetanus is a vaccine preventable disease that yearly causes a total of 309,000 deaths. Reports showedup to 1 million cases annually, mostly in underdeveloped countries. Tetanus is an acute toxemiacaused neurotoxins produced by Clostridium tetani characterized periodic and severe muscle rigidityand spasme. A 46-years-old man, comes with a whole body stiffness felt since 7 days before enteringthe hospital. Initially the patient felt the stiffness in his jaw made difficult to open his mouth and hardto swallow, then patient feeling his body like a robot that was difficult to move, walking, difficultyspeaking and experiencing obstacles in all activities. Spasm excitatory experienced by the patient.Patient had a history of fever since one week, patient also had a caries dentis since 2 this year. Onexamination of vital sign, blood pressure obtained 110/70 mmhg, pulse 117 x per minute, breathfrequency 24 times permenit, temperature 380C. Results of physical examination obtained trismus,rhisus sardonicus and spastik entire body. Preliminary management of primary survey, resolveseizures and spastic, neutralize toxins and administration of antibiotics. Patients were isolated toprevent seizure. Patients treated by Dental Division and performed actions related to dental caries riskfactors of the patient.Key words: Tetanus, Caries Dentis, Trismus

Page 27: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

87 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUANTetanus adalah suatu toksemia akut

yang disebabkan oleh neurotoksin yangdihasilkan oleh Clostridium tetani ditandaidengan spasme otot yang periodik dan berat.Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkanparalitik spastik yang disebabkantetanospasmin. Tetanospamin merupakanneurotoksin yang diproduksi oleh Clostridiumtetani.1,2 Sampai saat ini tetanus masihmerupakan masalah kesehatan di negaraberkembang akibat rendahnya akses programimunisasi, juga penatalaksanaan tetanusmodern membutuhkan fasilitas intensive careunit (ICU) bagi pasien tetanus berat yangjarang tersedia. Tetanus adalah penyakit yangdapat dicegah. Implementasi imunisasitetanus global telah menjadi target WHOsejak tahun 1974. Realitanya imunitasterhadap tetanus tidak berlangsung seumurhidup dan dibutuhkan injeksi booster jikaseseorang mengalami luka yang rentanterinfeksi tetanus.

LAPORAN KASUSPasien Tn. I, seorang laki-laki umur 46

tahun, datang dengan kekakuan seluruh tubuh.Kekakuan seluruh tubuh dirasakan sejak 7 harisebelum masuk rumah sakit. Awalnya pasienmerasakan kekakuan pada rahangnya sehinggasulit untuk membuka mulut dan menelan,kemudian pasien merasakan tubuhnya sepertirobot yang sulit bergerak, sulit berjalan, sulitberbicara dan mengalami hambatan dalamsegala aktivitas.

Riwayat demam dikeluhkan pasien padasaat 1 minggu sebelum masuk rumah sakitdisertai gigi berlubang yang sering dikeluhkannyeri sejak 1 bulan terakhir. Pasien mengakuselama ini sering mengalami sakit gigi (gigiberlubang), terkadang pasien mencongkel gigiyang berlubang dengan peniti dan pentul.Pasien tidak memiliki riwayat penyakit kejangsebelumnya dan tidak pernah mengalamipenyakit ini sebelumnya.

Pasien adalah seorang nelayan yangsehari-hari bekerja di laut dan tambak. Pasientidak pernah menggunakan sandal atau sepatuketika bekerja. Pasien juga mengaku seringmengalami luka akibat terkena serpihan keongdan benda-benda tajam lainnya. Namun pasien

mengaku luka tersebut sembuh dan tidakpernah mengalami gangguan yang sepertipasien rasakan saat ini.

Pasien seorang duda tinggal bersamakakak kandung pasien, dimana pasien kurangmenjaga sanitasi dan higienitas diri sendiri.Keluarga pasien tidak ada yang pernahmenderita epilepsi dan tidak pernah menderitapenyakit seperti yang diderita pasien. Pasienberasal dari keluarga ekonomi menengah kebawah yang sehari-hari menggantungkankehidupannya dari pekerjaan sabagai nelayan.

Pada saat pemeriksaan fisik pertamakali di ruang IGD RSUZA, didapatkan pasientampak gelisah, rahang dan seluruh tubuhkaku dengan GCS E4M6V5. Tanda vital,tekanan darah 144/94 mmHg, frekuensi nadi104 kali per menit, volume cukup, regular,frekuensi napas 30 kali per menit, simetris,regular, kedalaman cukup, dan suhu 370C.

Pada status generalis, didapatkan wajahtampak kaku, rahang tampak kaku, leherkaku, perut tegang seperti papan dan anggotagerak tampak kaku. Pada pemeriksaan THTtidak tampak ada cairan telinga. Dada tampaksimetris saat statis dan dinamis, auskultasiparu vesikuler, tidak terdapat ronki maupunmengi.

Bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidakterdapat murmur maupun gallop, batasjantung tidak melebar. Abdomen tegangseperti papan, hati dan limpa sulit teraba,bising usus positif normal. Pada pemeriksaanpunggung tidak terdapat deformitas. Akralhangat, tidak ada edema.

Pemeriksaan neurologis pada pasientetanus sulit dinilai, mengingat pemeriksaanini sangat objektif pada pasien, sedangkantetanus sendiri dapat terjadi kejang jikadirangsang. Pada pemeriksaan neurologisdidapatkan GCS E4M6V5, pemeriksaan pupildan tanda rangsangan meningeal tidakdilakukan. Pada pemeriksaan nervus kranialistidak didapatkan kesan parese nervus.

Kekuatan motorik sulit dinilai, tonusotot tampak meningkat, pemeriksaan refleksfisiologis dan patologis tidak dilakukan. Padapemeriksaan otonom tampak hiperhidrosisdiseluruh tubuh pasien.

Pada pemeriksaan hasil laboratorium,didapatkan hasil sebagai berikut :

Page 28: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

88 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium PasienJenis

Pemeriksaan Hasil NilaiRujukan Satuan

HematologiHemoglobin 13,6 12,0-15,0 g/DlHemotokrit 40 37-47 %Eritrosit 3,9 4,2-5,4 103/mm3

Leukosit 5,8 4,5-10,5 103/mm3

Trombosit 263 150-450 103/mm3

MCV 85 80-100 fLMCH 26 27-31 PgMCHC 33 32-36 %RDW 13,6 11,5-14,5 %Eosinofil 1 0-6 %Basofil 0 0-2 %

Neutrofil Batang 0 2-6 %Neutrofil Segmen 75 50-70 %Limfosit 15 20-40 %Monosit 9 2-8 %Natrium (Na) 130 132-146 mmol/L

Kalium (K) 4,6 3,7-5,4 mmol/LKlorida (Cl) 107 98-106 mmol/LGDS 126 < 200 mg/dLUreum 16 13-43 mg/dLKreatinin 0,60 0,51-0,95 mg/dL

Pasien didiagnosa banding denganMeningitis, Poliomielitis, Tetany danRetropharingeal Abses. Pasien diberikantatalaksana awal berupa pembebasan jalannafas, oksigen 3 liter permenit, kemudianpemberian terapi medikamentosa berupanetralisasi Toksin Human TetanusImmunoglobulin (HTIG) dosis 500 IU/IM(ekstra), antibiotik dengan injeksiMetronidazol 500 mg/6 jam i.v selama 10 haridan Penicilin Prokain 1.200.000 iu/12 jam i.vselama 10 hari, antispasme dengan InjDiazepam 10 mg ekstra, maintanance 80 mg/8jam dengan kecepatan 62,5 cc/jam via infuspump, kemudian setiap kejang diberikandiazepam 10 mg/IV secara perlahan dapatdiulang setiap 15 menit maksimal 3 kalipemberian. Untuk terapi suportif pemasanganNGT dan Cateter Urin, nutrisi diberikanmelalui NGT-Diet Sonde 6x200 cc via NGT.Isolasi pasien ke ruang minimal rangsangancahaya dan suara, menghindaritindakan/perbuatan yang bersifat merangsang,termasuk rangsangan suara dan cahaya,

membersihkan jalan nafas secara berkala.Pasien dikonsulkan ke bagian Gigi dan

Mulut untuk dilakukan tatalaksana sesuaidengan faktor resiko pada pasien. Pasien

kemudian direncanakan pemeriksaanlanjutan setelah trismus berkurang dankeadaan umum stabil.

PEMBAHASANPada pasien yang dilaporkan diatas

terdapat kekakuan otot yang terjadi diawalidari wajah leher, faring dan seluruh ototekstremitas dan batang tubuh. Kemudianpasien juga mengalami kejang rangsang yangmerupakan gejala khas dari Tetanus. 2,3,4

Tetanus atau Lockjaw merupakanpenyakit akut yang menyerang susunan sarafpusat yang disebabkan oleh racuntetanospasmin yang dihasilkan olehClostridium tetani. Penyakit ini timbul jikakuman tetanus masuk ke dalam tubuh melaluiluka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksitelinga, bekas suntikan dan pemotongan talipusat. Kuman ini dalam tubuh berkembangbiak dan menghasilkan eksotoksin antara laintetanospasmin yang secara umummenyebabkan kekakuan, spasme dari ototbergaris.1,2,3

Tampak pada pasien bahwa kekakuanyang terjadi pada tubuh terjadi secara bertahap.Kekakuan awalnya terjadi pada otot masseter,menyebabkan kesulitan membuka muluttrismus atau low jaw. Kekakuan biasanyaterjadi pada otot leher, faring, dan juga seluruhotot ekstremitas, dan batang tubuh. Kekakuanotot wajah akan memberikan gambaran rhisussardonikus. Kekakuan pada otot lehermenyebabkan retraksi leher, kekakuan padaotot faring akan mnyebabkan disfagia dankekakuan pada otot dada dan interkostal akanmenyebabkan keterbatasan dalam gerakannapas. Otot abdomen akan berkontraksimenyebabkan rigiditas yang biasa disebutperut papan. Kekakuan yang hebat pada ototpunggung dapat memberikan gambaranepistotonus. 3,4, 6,7,9

Pada pasien diatas, spasme yang terjadimerupakan spasme berat yang dilakukandilakukan managemen awal pada jam–jampertama berupa Primary Survey. Pemberiananti spasme otot (diazepam i.v 10 mg bolusperlahan) dan mencari sumber infeksi sebagaiport d entry juga dilakukan pada pasien ini.

Page 29: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

89 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Adapun penatalaksanaan pada 24 jampertama yaitu pemberian Human TetanusImunoglobulin 500 ui, pemberian antibiotik

Metronidazol i.v 4 x 500 miligram danPenicilin Prokain 2x 1.200.000 ui i.v,diberikan dosis pemeliharaan diazepam 80 mgdalam 500 cc, Nacl per 8 jam dengankecepatan 62,5 cc perjam dan isolasi pasien keruang khusus.

Pasien memiliki riwayat sakit gigi dandicurigai sebagi port d entry kuman tetanus,selanjutnya pasien dikonsulkan ke bagian Gigidan Mulut, namun karena gejala akut masihada, terutama trismus, maka ekstraksi gigiyang mengalami karies tidak bisa dilakukan.

Selama Perawatan 15 hari di rumahsakit, pasien menunjukan perkembangan yangsangat berarti. Trismus dan spasme ototmengalami penurunan secara perlahan. Padasaat pasien direncanakan pulang berobat jalankekakuan sudah menghilang sebanyak 90persen.

EtiologiKuman tetanus yang dikenal sebagai

Clostridium tetani; kuman gram positifbasilus berukuran panjang 2–5 um dan lebar0,3–0,5 um, dan bersifat anaerob. ClostridiumTetani dapat dibedakan dari tipe lainberdasarkan flagella antigen.8,9

Gambar 1. Pewarnaan Gram pada kulturClostridium Tetani dengan Pembesaran

1000x 3

Kuman tetanus ini membentuk sporayang berbentuk lonjong dengan ujung yangbulat, khas seperti batang korek api (drumstick). Sifat spora ini tahan dalam air mendidihselama 4 jam dan obat antiseptik tetapi matidalam autoklaf bila dipanaskan selama 15–20menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena

cahaya, maka spora dapat hidup di tanahberbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Jugadapat merupakan flora usus normal dari kuda,sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayamdan manusia. Spora akan berubah menjadibentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudianberkembang biak.3,5,7

Bentuk vegetatif tidak tahan terhadappanas dan beberapa antiseptik Kumantetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalammedia kaldu daging dan media agar darah.Demikian pula dalam media bebas gula karenakuman tetanus tidak dapat memfermentasikanglukosa7,8

Kuman tetanus tidak invasif tetapi dapatmemproduksi 2 macam eksotoksin yaitutetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmismerupakan protein dengan berat molekul150.000 Dalton, larut dalam air labil padapanas dan cahaya, rusak dengan enzimproteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murnidan kering. Tetanospasmin disebut juganeurotoksin karena toksin ini melaluibeberapa jalan dapat mencapai susunansaraf pusat dan menimbulkan gejala berupakekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin menyebabkan lisis dari seldarah merah.9,10,11,12

Patogenesis Dan PatofisiologiChlostridium tetani dalam bentuk spora

masuk kedalam tubuh melalui luka yangterkontaminasi dengan debu, tanah, tinjabinatang, pupuk. Cara masuknya spora inimelalui luka yang terkontaminasi antara lainluka tusuk, luka bakar, luka lecet, otitis media,infeksi gigi, ulkus kulit yang kronis, abortus,tali pusat, terkadang luka tersebut hampir takterlihat.5,6,7 Pandi dkk (1965) melaporkanbahwa 70% pada telinga sebagai port d’entree,sedangkan beberapa peneliti melaporkanbahwa port d'entry melalui telinga hanya6,5%.2,3

Bila keadaan menguntungkan di manatempat luka tersebut menjadi hipaerob sampaianaerob disertai terdapatnya jaringan nekrosis,lekosit yang mati, benda–benda asing makaspora berubah menjadi vegetatif yangkemudian berkembang.

Kuman ini tidak invasif. Bila dinding selkuman lisis maka dilepaskan eksotoksin, yaitutetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin

Page 30: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

90 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

sangat mudah mudah diikat oleh saraf danakan mencapai saraf melalui ;.1,3, 8,9

1. Secara lokal: diabsorbsi melaluimioneural junction pada ujung–ujungsaraf perifer atau motorik melalui axissilindrik ke cornu anterior susunan sarafpusat dan susunan saraf perifer. Meskipundemikian 20% pasien tetanus tidak memiliiriwayat luka yang jelas sebagai port d’entry .

2. Dari otot yang terkena luka toksin akanmenyebar ke otot-otot yang dekatdisekitarnya sehingga daerah asal tempattoksin menyebar melalui jalur neural akanmeningkat dan terjadi peningkatan jumlahsaraf yang terlibat dalam transport toksin kesistem saraf Pusat.

3. Toksin yang berasal dari jaringan dengancepat akan menyebar melalui noduslimfatikus regional, dan segera toksintersebut akan menyebar melalui alirandarah.

4. Toksin akan diserap melalui sirkulasi darahmelalui sistem limfatik, namun juga dapatmelalui kapiler pembuluh darah di dekatdepot toksin. Semakin banyak jumlahtoksin di dalam darah maka semakinbanyak toksin yang dapat dinetralisasikarena antitoksin dapat diberikan intravena.Namun jika deposit di dalam otot lebihbanyak tetanus ascenden yang bersifat letalakan terus berkembang karena transporttoksin ke susunan saraf sepanjang jarassaraf.

Gambar 2. Mekanisme Toksin Tetanus 18

Toksin tencapai susunan saraf pusatmelalui transpor retrograde sepanjang jaluraksonal, setelah penyebaran toksin melaluiotot, pertama kan berikatan dengan reseptor

membran terminal presinap di dalam otot.Reseptor ini merupakan suatu gangliosidselanjutnya toksin akan berinternalisasi dannaik sepanjang akson saraf perifer di dalamotot menuju sel-sel kornu anterior segmenmedula spinalis yang menginervasi otot –ototyang terinfeksi.13

Manifestasi KlinikMasa inkubasi tetanus umumnya antara

3–21 hari, namun dapat singkat hanya 1–2 haridan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makinpendek masa inkubasi makin jelekprognosanya. Terdapat hubungan antara jaraktempat invasi Clostridium tetani dengansusunan saraf pusat dan interval antara lukadan permulaan penyakit, dimana makin jauhtempat invasi maka inkubasi makinpanjang.1,2,14

Secara klinis tetanus, dapat munculdengan berbagai tipe yaitu, tetanus umum,tetanus lokal dan tetanus cephalic. Pada pasienyang terjadi adalah tetanus umum. Tetanusumum merupakan gambaran tetanus yangpaling sering dijumpai. Terjadinya bentuk iniberhubungan dengan luas dan dalamnya lukaseperti luka bakar yang luas, luka tusuk yangdalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkusdekubitus dan suntikan hipodermis. 1,2,3,7,15

Biasanya tetanus timbul secaramendadak berupa kekakuan otot baik bersifatmenyeluruh ataupun hanya sekelompokotot. Kekakuan otot terutama pada rahang(trismus) dan leher (kaku kuduk). Limapuluh persen penderita tetanus umum akanmenunjukkan trismus. Pada 24–48 jam darikekakuan otot menjadi menyeluruh sampai keekstremitas. Kekakuan otot rahang terutamaotot masseter menyebabkan mulut sukardibuka, sehingga penyakit ini juga disebut'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter,pada muka juga terjadi kekakuan otot mukasehingga muka menyerupai muka meringiskesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus'(alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat padagigi), akibat kekakuan otot–otot leher bagianbelakang menyebabkan nyeri waktumelakukan fleksi leher dan tubuh sehinggamemberikan gejala kuduk kaku sampaiopisthotonus.12Selain kekakuan otot yang luasbiasanya diikuti kejang umum tonik baik

Page 31: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

91 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

secara spontan maupun dengan rangsanganminimal (rabaan, sinar dan bunyi). Kejangmenyebabkan lengan fleksi dan aduksi sertatangan mengepal kuat dan kaki dalam posisiekstensi. Kesadaran penderita tetap baikwalaupun nyeri yang hebat serta ketakutanyang menonjol sehingga penderita nampakgelisah dan mudah

terangsang. Spasme otot–otot laring danotot pernapasan dapat menyebabkan gangguanmenelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urinsering terjadi karena spasme sphincterkandung kemih.5,6

Kenaikan temperatur badan umumnyatidak tinggi tetapi dapat disertai panas yangtinggi sehingga harus hati–hati terhadapkomplikasi atau toksin menyebar luas danmengganggu pusat pengatur suhu.2,3,4 Padakasus yang berat mudah terjadi overaktivitassimpatis berupa takikardi, hipertensi yanglabil, berkeringat banyak, panas tinggi danaritmia jantung.2,3,15

Menurut berat ringannya tetanus umumdapat dibagi atas:.4,16 tetanus ringan: trismuslebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umumwalaupun dirangsang; tetanus sedang: trismuskurang dari 3 cm dan disertai kejang umumbila dirangsang; tetanus berat: trismus kurangdari 1 cm dan disertai kejang spontan.

Cole dan Youngman (1969) membagitetanus umum atas:2,3

Grade 1: ringan- Masa inkubasi lebih dari 14 hari- Period of onset > 6 hari- Trismus positif tetapi tidak berat- Sukar makan dan minum tetapi disfagia

tidak ada.Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupaspasme disekitar luka dan kekakuan umumterjadi beberapa jam atau hari.Grade II: sedang- Masa inkubasi 10–14 hari- Period of onset 3 hari atau kurang- Trismus ada dan disfagia ada.Kekakuan umum terjadi dalam beberapa haritetapi dispnoe dan sianosis tidak ada.Grade III: berat- Masa inkubasi < 10 hari- Period of onset 3 hari atau kurang- Trismus berat- Disfagia berat.

Diagnosis tetanus ditegakkanberdasarkan klinis dan riwayat luka infeksi.Pemeriksaan laboratorium kurang menunjangdalam diagnosis. Namun pada pemeriksaanrutin dapat dilakukan darah rutin, elektrolit,ureum, kreatinin, mioglobin Urin, AGD, EKGserial dan kultur untuk infeksi. Padapemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat normal ataudapat meningkat.1,5,10,21

Pemeriksaan mikrobiologi, bahandiambil dari luka berupa pus atau jaringannekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agardarah atau kaldu daging. Tetapi pemeriksaanmikrobiologi hanya pada 30% kasusditemukan Clostridium tetani.22 Penentuanderajat penyakit pada tetanus penting untukmenentukan prognosis dan menentukanseberapa agresif terapi yang mesti kitalakukan. Grading dilakukan denganmenggunakan kriteria Pattel Joag, yaitusebagai berikut:

Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas,disfagia dan kekakuan otot, tulang belakang.

Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensidan derajatnyaKriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurangKriteria 4 : waktu onsite 48 jam atau kurangKriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 1000Fatau aksila sampai 990F (37,60 C).Gambar 3. Kriteria Tetanus Menurut Pattel Joag

Dari kriteria diatas dibuat tingkatanderajat tetanus berdasarkan kriteria Pattel Joagsebagai berikut : 2

Derajat 1 : kasus ringan, minimal 1 kriteriaK1 atau K 2, mortalitas 0%Derajat 2 : Kasus sedang , minimal 2 kriteria(K1 + K2), biasanya inkubasi lebih dari 7 hari,onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%Derajat 3 : Kasus berat, adanya minimal 3kriteria, inkubasi kurang dari 7 hari, onsitekurang dari 2 hari, mortalitas 32%Derajat 4: Kasus sangat berat, minimal 4kriteria, mortalitas 60%Derajat 5 : bila terdapat 5 kriteria, termasuktetanus neonatorum dan tetanus puerperium,mortalitas 84 %

Kriteria beratnya tetanus dapat puladitentukan dengan klasifikasi Ablett’s sebagaiberikut:

Page 32: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

92 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Grade 1 (ringan) : Trismus ringan sampaisedang , spastisitas umum, tidak ada gangguanpernafasan, tidak ada spasme, tidak ada/sedikit ada disfagiaGrade 2(moderat): Trismus sedang, rigiditasterlihat jelas, gangguan pernafasan ringandengan Takipneu, spasme ringan sampaisedang namun singkat, disfagia ringanGrade 3 (berat) : Trismus berat, spastisitasmenyeluruh, refleks spasme dan seringdengan spasme spontan yang memanjang,gangguan pernafasan takipneu dengan apnoeicspells, disfagia berat, takikardi lebih dari 120 xGrade 4 (sangat berat) : grade 3 ditambahgangguan outonom berat yang melibatkansistem kardiovaskular

Terdapat sistem skoring untuk menilaiprognosis tetanus seperti Phillips score danDakar score. Kedua sistem skoring inimemasukkan kriteria periode inkubasi danperiode onset, begitu pula manifestasineurologis dan cardiac. Phillips score jugamemasukkan status imunisasi pasien. Phillipsscore <9, severitas ringan; 9-18, severitassedang; dan >18, severitas berat. Dakar score0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%;2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat outcometetanus tergantung berat penyakit dan fasilitaspengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati,mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggipada neonatus. Di fasilitas yang baik, angkamortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikitpenelitian jangka panjang pada pasien yangberhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderunglambat namun sering sembuh sempurna,beberapa pasien mengalami abnormalitaselektroensefalografi yang menetap dangangguan keseimbangan, berbicara, danmemori.. 1,2,3

Tabel 2. Prognostik skor tetanus , Dakar Score6

Sedangkan prognostik skor menurutPhilips score dijabarkan sebagai berikut :Tabel 3. Prognostik skor tetanus , Philips Score6

PenatalaksanaanSelama infeksi, toksin tetanus beredar

dalam 2 bentuk yakni toksin bebas dalamdarah dan toksin yang bergabung denganjaringan saraf. Toksin yang dapat dinetralisiroleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalamdarah. Sedangkan yang telah bergabungdengan jaringan saraf tidak dapat dinetralisiroleh antitoksin.

Antitoksin dapat digunakan HumanTetanus Immunoglobulin ( TIG) dengan dosis3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secaraIM tidak boleh diberikan secara intravenakarena TIG mengandung "anticomplementary aggregates of globulin", yangmana ini dapat mencetuskan reaksi alergiyang serius.

Bila TIG tidak ada, dianjurkan untukmenggunakan tetanus antitoksin, yang berawaldari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengancara pemberiannya adalah :20.000 U dariantitoksin dimasukkan kedalam 200 cccairan NaC1 fisiologis dan diberikan secaraintravena, pemberian harus sudah diselesaikandalam waktu 30-45 menit. Setengah dosisyang tersisa (20.000 U) diberikan secaraIM pada daerah sebelah luar.1,2,4

Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yangpertama bersamaan dengan pemberianantitoksin tetapi pada sisi yang berbeda denganalat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukansecara I.M. Pemberian TT dilanjutkan sampaiimunisasi dasar terhadap tetanus selesai.1,5

Page 33: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

93 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Obat–obat anti konvulsan digunakanuntuk merelaksasi otot dan mengurangikepekaan jaringan saraf terhadap rangsangan.Diazepam dilaporkan memiliki efektivitasyang baik dengan efek depresi nafas yanglebih rendah dibanding golongan barbiturat.Diazepam juga memiliki efek anti konvulsandan muscle relaction, sedatif dan anxiolytic.Efek maksimal dalam darah dicapai dalam 30-90 menit.2,3 Dosis diazepam pada saat dimulaipengobatan (setelah kejang terkontrol) adalah20 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 8 kalipemberian tiap 3 jam. Bila kejang terusberlangsung dapat diberikan diazepamsamapai dosis maksimal 40mg/kgbb/hari (600mg/hari).7,,25,26,27,28

Bila dosis optimum telah didapat, makaskedul pasti telah dapat dibuat, dan inidipertahan selama 2-3 hari, dan bila dalamevaluasi berikutnya tidak dijumpai adanyakejang, maka dosis diazepam dapat diturunkansecara bertahap, yaitu 10-15 % dari dosisoptimum tersebut. Penurunan dosis diazepamtidak boleh secara drastis, oleh karena bilaterjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dankenaikan dosis ke dosis semula yang efektifbelum tentu dapat mengontrol kejang yangterjadi. Bila dengan penurunan bertahapdijumpai kejang, dosis harus segeradinaikkan kembali ke dosis semula.Sedangkan bila tidak terjadi kejangdipertahankan selama 2-3 hari dandirurunkan lagi secara bertahap, hal inidilakukan untuk selanjutnya. Bila dalampenggunaan diazepam, kejang masih terjadi,sedang dosis maksimal telah tercapai, makapenggabungan dengan anti kejang lainnyaharus dilakukan.7,8,9, 25,29

Dosis yang danjurkan yaitu; Spasmeringan: 5-10mg p.o setiap 8 jam bila perlu;Spasme sedang : 5-10 mg i.v tidak melebihi120mg dalam 24 jam, atau dalam bentuk drip;Spasme berat 50-100mg dalam 500 ml Dektros5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15mg/jam dalam 24 jam. 1,2, 26

Klinis membaik bila tidak dijumpaispasme spontan, badan masih kaku, kesadaranmembaik (tidak koma), tidak dijumpaigangguan pernapasan. Tambahan efek sedasibisa didapat dari barbiturate khususnyaphenobarbital dan phenotiazine sepertichlorpromazine, penggunaannya dapat

menguntungkan pasien dengan gangguanotonom.1,3

Phenobarbital diberikan dengan dosis120-200 mg intravena, dan diazepam dapatditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayisampai 50-150 mg bagi dewasa.5,10 Morphinebisa memiliki efek sama dan biasanyadigunakan sebagai tambahan sedasibenzodiazepine. Jika spasme tidak cukupterkontrol dengan benzodiazepine, dapatdipilih pelumpuh otot nondepolarisasi denganintermittent positive-pressure ventilation(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus, rekomendasididapatkan dari laporan kasus. Pancuroniumharus dihindari karena efek sampingsimpatomimetik.1

Thwaites menganjurkan penggunaanantibiotik metronidazol 500 mg per oral atauintravena selama setiap 6 jam selama 7-10hari. Ahmadsyah dan Salim meneliti secaraOpen Randomized Controlled trial (RCT)bahwa metronidazol lebih unggul dibandingpenicilin.1,2 Penisilin Prokain digunakan untukmembasmi bentuk vegetatif Clostridiumtetani. Diberikan dosis: 100.000-200.000u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3 harisetelah panas turun atau tanda-tanda infeksilikal tertangani. Dosis optimal 2 mega unit i.vsetiap 6 jam selama 8 hari. 1,3,14 Tetrasiklin danEritromisin, diberikan terutama bila penderitaalergi terhadap penisilin. Tetrasiklin : 30–50mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis.Eritromisin : 50mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis selama 10 hari. 2,5

Untuk penatalakasanaan sumber Infeksiberupa karies gigi akan dilakukan di Poli Gigidan Mulut setelah keadaan umum pasienmengalami perbaikan. Pada saat pulang pasienjuga direncanakan untuk pemberian imunisasipasif di puskesmas setempat.

SIMPULANTetanus adalah suatu toksemia akut yang

disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkanoleh Clostridium tetani ditandai denganspasme otot yang periodik dan berat. Tetanusini biasanya akut dan menimbulkan paralitikspastik yang disebabkan tetanospasmin.Penegakan diagnosa tetanus didasarkan padaklinis dan riwayat infeksi sebagai port d entry.

Page 34: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

94 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Penatalaksanaan yang tepat dan cepatsangat menentukan prognosa pasien. Prognosatetanus didasarkan pada onset, masa inkubasi,umur, penatalaksanaan, adanya kejang dandemam. Tatalaksana infeksi sebagai port dentry penting dilakukan pada pasien untukmencegah berkembangnya toksin. Edukasiterhadap pasien mengenai sumber infeksi danimmunisasi tetanus penting dilakukan gunamencegah berulangnya tetanus.

DAFTAR PUSTAKA1. Adam RD, Victor M. Tetanus in

Principles Of Neurology . 7th Edition .Mc Graw-Hill international edition.Singapore. 2001 : 1030-1031

2. Dian Sofiati . Tetanus dalam : InfeksiSistem Saraf (kelompok Studi NeuroInfeksi) . PERSOSSI. 2011

3. Thwaites CL Tetanus. CurrentAnaesthesia and Critical Care. 2005:50-57

4. Farrar JJ, Yen LM, Cook T,Faierweather N, Bihn N, Parry J, et al.Neurological Aspects of TropicalDisease: Tetanus. JNNP. 2010; 69 ; 292-3001

5. Thwaites CL, Farrar JJ. Preventing andtreating tetanus : The challengecontinues in the face of neglect and lackof research. BMJ : British MedicalJournal. 2003;326(7381): 117-118.

6. Sidhartha, Peter JV, Subhash HS,Cherian M, Jeyaseelan L, Cherian AM.A proposed new scoring system fortetanus. Indian J Crit Med . 2004 ; 8(3) :168-72

7. WHO. Current recommendations fortreatment of tetanus during humanitarianemergencies. WHO Tech Note.[Internet]. 2010. Available at:http://www.whqlibdoc.who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.

8. Hassel Bjørnar . Tetanus:Pathophysiology, Treatment, and thePossibility of Using Botulinum Toxinagainst Tetanus-Induced Rigidity andSpasms. Toxins .2013

9. Feigen. R.D : Tetanus .In : BchrmlanR.E, Vaughan V C , Nelson W.E , eds.Nelson Textbook of pediatrics, ed. 13

th, Philadelphia, W.B SaundersCompany, 1987, 617-620.

10. Gilroy, John MD, et al :Tetanus in :Basic Neurology, ed.1.982, 229-230

11. Scheld, Michael W. Infection of thecentral nervous system, Raven PressLtd, New York, 2001, 603-620.

12. Srikiatkhachord Anaan, dkk ; Tetanus ,Arbor Publishing Coorp.Neurobase,2003, 1- 13.

13. Samuels, AM. Tetanus, Manual ofNeurologic Therapeutic ed.2nd, LittleBrown and Company, Boston,2008:387-90.

14. Ogunrin AO, Unuigbe EI, AzubuikeCO. Characteristics of tetanus casesseen over a tenyear period in a tertiaryhealth facility in Benin City, Nigeria.Ann Biomed Sci. 2006; 5(1&2):44-51.

15. Ogunrin OA, Unuigbe EI.Tetanus: AReview of Current ConseptManagement. Jour of Postgrad Med.2004; 34(4): 46-61

16. Scaletta, T A. Schaider, JJ. Infectionprophylaxjs, Emergent Management ofTrauma,1 th ed, McGrawhill, Toronto,2006, 437-438.

17. Simon, Roger.P.MD, et. all : Tetanus in:Clinical Neurology, ed 2009,Appletonand Lange,USA, 141-142.

18. Bleck, T.P. Clostridium tetani (Tetanus).In Principles and Practice of InfectiousDiseases, 6th ed.; Mandell, G.L.,Bennett, J.E.,Dolin, R., Eds.; Elsevier:Amsterdam, The Netherlands,2005; pp.2817–2822.

19. Blencowe, H.; Lawn, J.; Vandelaer, J.;Roper, M.; Cousens, S. Tetanus toxoidimmunization to reduce mortality fromneonatal tetanus. Int. J. Epidemiol.2010, 39, i102–i109.

20. Meyer, H.; Ransom, F. Researches ontetanus—Preliminary communication.Proc. Royal Soc.Lond. 1903, 72, 26–30.

21. Fishman, P.S.; Carrigan, D.R.Motoneuron uptake from the circulationof the binding fragment of tetanus toxin.Arch. Neurol. 1988, 45, 558–561.

22. Blum, F.C.; Chen, C.; Kroken, A.R.;Barbieri, J.T. Tetanus toxin andbotulinum toxin A utilizeunique

Page 35: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(1): 86-95

95 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

23. mechanisms to enter neurons of thecentral nervous system. Infect. Immun.2012, 80,1662–1669.

24. Schiavo, G.; Matteoli, M.; Montecucco,C. Neurotoxins affectingneuroexocytosis. Physiol. Rev.2000, 80,717–766.

25. Mayo, J.; Berciano, J. Cephalic tetanuspresenting with Bell’s palsy. J. Neurol.Neurosurg.Psychiatry 1985, 48, 290.

26. Herrman, H.; Brækhus, A.; Aaserud, O.;Aukrust, P.; Stubhaug, A.; Hassel, B.Early treatment of tetanus-inducedtrismus with botulinum toxin A. Anesth.Analg. 2008, 106, 1591.

27. Schwab, M.E.; Thoenen, H. Electronmicroscopic evidence for a transsynapticmigration of tetanus toxin in spinal cordmotoneurons: An autoradiographic andmorphometric study. Brain Res. 1976,105, 213–227.

28. González-Forero, D.; Morcuende, S.;Alvarez, F.J.; de la Cruz, R.R.; Pastor,A.M. Transynapticeffects of tetanusneurotoxin in the oculomotor system.Brain 2005, 128, 2175–2188.

29. Bergey, G.K.; Bigalke, H.; Nelson, P.G.Differential effects of tetanus toxin oninhibitory and excitatory synaptictransmission in mammalian spinal cordneurons in culture: A presynapticlocusof action for tetanus toxin. J.Neurophysiol. 1987, 57, 121–131.

30. Gonzalez-Forero, D.; de la Cruz, R.R.;Delgado-Garcia, J.M.; Alvarez, F.J.;Pastor, A.M.Functional alterations of catabducens neurons after peripheraltetanus neurotoxin injection.J.Neurophysiol. 2003, 89, 1878–1890.

Page 36: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101

96 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

GAMBARAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)

MIKROSTRUKTUR PERMUKAAN RESIN KOMPOSIT NANOFILER

SETELAH PERENDAMAN DALAM KOPI ARABIKA GAYO

GAMBARAN SCANNING ELECTRON MICROSCOPE (SEM)

MIKROSTRUKTUR PERMUKAAN RESIN KOMPOSIT NANOFILER

SETELAH PERENDAMAN DALAM KOPI ARABIKA GAYO

Viona Diansari, Iin Sundari, Noniza Deswitri

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala Correspondence email to: [email protected]

Abstrak

Resin komposit nanofiler merupakan restorasi estetik di bidang kedokteran gigi dengan kelemahan

dapat menyerap cairan di sekitar permukaannya. Kopi arabika gayo merupakan salah satu kopi

arabika unggulan di Aceh. Minuman kopi memiliki pH rendah (asam) yang dapat menyebabkan

degradasi ikatan polimer dan partikel filer. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat perubahan

mikrostruktur permukaan resin komposit nanofiler sebelum dan setelah perendaman dalam kopi

arabika gayo selama 4 dan 6 hari. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental laboratoris

dengan rancangan pretest + posttest design group. Terdapat 4 spesimen resin komposit nanofiler yang

berbentuk silinder dengan tebal 2 mm dan diameter 6 mm, dan dibagi dalam 2 kelompok yakni

kelompok A berjumlah 2 spesimen (A1&A2) yang direndam dalam minuman kopi arabika gayo

selama 4 hari dan kelompok B berjumlah 2 spesimen (B1&B2) direndam dalam kopi arabika gayo

selama 6 hari. Mikrostruktur specimen diamati perubahannya dengan menggunakan scanning

electron mcroscope (SEM) dengan perbesaran 3000x. Hasinya, terlihat area yang berwarna

gelap/porus pada gambaran SEM. Setelah dianalisis dengan paired t-test dan unpaired t-test (p<0,05)

terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok A dan kelompok B. Kesimpulan: Semakin lama

perendaman yang dilakukan semakin jelas terlihat perubahan yang terjadi.

Kata Kunci: komposit nanofiler, kopi arabika gayo, SEM

Abstract

Nanofilled composite resin is a kind of aesthetic restoration in dentistry which has a disadvantage can

absorb liquid around. Arabika gayo coffee is one of superior arabica coffee in Aceh. Coffee is an

acidic beverage (low pH) that cause degradation of polymer chain and filler particle. The aim of this

study was to view microstructural changes of nanofilled composite resin surface after immersion in

arabica gayo coffee for 4 and 6 days. This study was an experimental laboratory with Pretest+posttest

group design. There were 4 cylindrical specimens of nanofilled composite resin 2mm thickness and 6

mm in diameter, divided into 2 groups: A group A (A1&A2) was immersed in arabica gayo coffee

for 4 days and B group (B1&B2) was immersed in arabica gayo coffee for 6 days. The

microstructures of specimen were observed through scanning electron microscope (SEM) with 3000x

magnification followed by observing the number of porosity which was analyzed by paired dan

unpaired t-test (p<0,05). The results showed significant difference of the porousity number after

mm n o o w n 4 - 6 days. Conclusion: The longer the immersion is done the

more clearly visible changes occur. Keyword: nanofilled, arabica gayo coffee, SEM

Page 37: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101

97 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUAN Bahan restorasi yang saat ini banyak

digunakan dalam bidang kedokteran gigi

adalah resin komposit. Resin komposit

mempunyai banyak kelebihan dibandingkan

dengan bahan restorasi lainnya di antaranya

estetiknya lebih baik, lebih kuat, lebih keras,

penyerapan air dan penyusutannya kecil, tidak

mudah mengalami abrasi, serta mudah

dimanipulasi.1,2

Resin komposit terdiri dari

empat komponen utama, yaitu matriks resin,

filer anorganik, coupling agent dan sistem

inisiator-akselerator.3

Berdasarkan ukuran filernya resin

komposit diklasifikasikan menjadi makrofiler,

mikrofiler, hybrid dan nanofiler. Resin

komposit nanofiler merupakan perkembangan

baru di bidang kedokteran gigi. Nanofiler

memiliki partikel filer berukuran kecil dengan

ukuran partikel berkisar 0,1-100 nm yang

mengkombinasikan silika nanofiler yang

ukuran partikel utamanya adalah 20-75 nm

dengan nanocluster zirconia-silica yang

diameternya 0,6-1,4μm. P k l n

komposit nanofiler membentuk 59,5% volume

dan ini mirip dengan resin komposit hybrid

yang diindikasikan untuk restorasi gigi

posterior dengan tekanan pengunyahan yang

besar.1

Resin komposit nanofiler memiliki

keunggulan dibandingkan dengan jenis

komposit sebelumnya, berkat ukuran filernya

yang semakin kecil dan distribusinya yang

luas, sehingga derajat penyusutannya rendah

dan dapat meningkatkan sifat mekanisnya.4

Meskipun resin komposit nanofiler memiliki

keunggulan dengan ukuran filernya yang lebih

kecil namun tetap memiliki kelemahan karena

menyerap cairan di sekitarnya. Berdasarkan

penelitian Berger dkk. (2009)5 yang

mengamati kemampuan penyerapan cairan

oleh resin komposit, dengan membandingkan

masing-masing ukuran filer, Berger

menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan

yang bermakna antara resin komposit

nanofiler, hybrid dan microfiler dalam

kemampuan menyerap cairan di sekitarnya.

Beberapa penelitian yang telah

dilakukan pada resin komposit

mengungkapkan adanya perubahan struktur

dan fisik komposit akibat sifatnya yang

mampu menyerap cairan. Proses penyerapan

yang terjadi dipengaruhi oleh sifat hidrofilik

dari resin komposit.4 Sifat hidrofilik ini yang

memungkinkan resin komposit menyerap

cairan jika terjadi kontak secara langsung.

Cairan yang terserap melalui proses ini akan

mengisi ruang-ruang di antara matriks

sehingga menyebabkan perubahan struktur

resin yang diikuti perubahan fisiknya.

Penelitian terdahulu membuktikan terjadinya

perubahan struktur dan perubahan fisik akibat

kopi, teh, anggur merah, jus anggur dan

minyak sayur.6

Kopi merupakan minuman umum

masyarakat Indonesia. Kebiasaan minum kopi

di kalangan masyarakat Indonesia masih

tinggi. Berdasarkan data yang dihimpun oleh

Asosiasi Eksportir & Industri Kopi Indonesia

(AEKI) dewasa ini, tingkat kebutuhan kopi

masyarakat Indonesia meningkat hingga

mencapai 300.000.000 kg per tahun. Lebih

dari 4 trilliun cangkir kopi dikonsumsi setiap

tahunnya.7 Kopi arabika gayo (arabica gayo

coffee) merupakan salah satu jenis kopi

arabika unggulan yang ada di Aceh dan

merupakan salah satu di antara komoditi

ekspor unggulan Indonesia yang telah dikenal

di pasar domestik dan internasional.8 Kopi

merupakan minuman antioksidan; asam

klorogenat merupakan antioksidan dominan

yang ada dalam biji kopi. Antioksidan

tersebut berupa ester yang terbentuk dari asam

trans-sinamat dan asam quinat. Asam

klorogenat merupakan senyawa penting yang

memengaruhi pembentukan rasa, bau, dan

flavor saat pemanggangan kopi.9

Menurut penelitian Petracco (2005)10

kandungan asam klorogenat (C16H8O9) pada

kopi arabika adalah sebanyak 5,5-8,0%. Asam

klorogenat dapat menyebabkan degradasi

ikatan polimer sehingga beberapa monomer

dari resin komposit melepaskan diri. Selama

penyangraian kopi, asam klorogenat

terdekomposisi menjadi senyawa volatil dan di

dalam senyawa volatil terdapat senyawa fenol.

Resin komposit apabila berkontak dengan

fenol akan menunjukkan peningkatan berat

karena menyerap air dan mengalami kerusakan

kimiawi pada permukaannya.4

Penelitian De

Gouvea dkk (2011)11

kopi menunjukkan

adanya perubahan permukaan resin komposit

setelah direndam dalam kopi. Kopi

menyebabkan perubahan warna yang

signifikan dan juga dapat meningkatkan.

kekasaran permukaan suatu material karena

Page 38: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101

98 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

kopi memiliki pH asam sekitar 5,01. Minuman

dengan pH rendah (3-6) dapat menyebabkan

kerusakan permukaan resin.4

Berdasarkan penelitian yang telah

dilakukan diketahui bahwa komposit akan

mengalami perubahan struktur dan fisik

apabila direndam dalam larutan kopi secara

terus menerus. Semakin lama perendaman

yang dilakukan maka semakin dapat terlihat

perubahan struktur dan fisik yang terjadi.6

Penelitian Rini (2015)12

menunjukkan

terjadinya peningkatan kekasaran permukaan

resin komposit nanofiler setelah direndam

dalam seduhan kopi arabika gayo selama 4

hari dengan asumsi konsumsi kopi selama satu

tahun. Penelitian Chumairo dkk (2014)4 juga

menunjukkan adanya efek perubahan

kekasaran permukaan yang terjadi setelah

perendaman resin komposit nanofiler dalam

seduhan kopi selama 1,3,5 dan 7 hari.

Perubahan kekasaran permukaan resin

komposit diawali dengan perubahan struktur

permukaannya. Gambaran perubahan

mikrostruktur resin komposit dapat dilihat

dengan menggunakan scanning electron

microscope (SEM). Scanning electron

microscope merupakan jenis mikroskop

elektron yang dapat menampilkan gambaran

permukaan dan rincian suatu spesimen dengan

resolusi yang tinggi.1

Berdasarkan uraian di atas maka

dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk

melihat gambaran mikrostruktur permukaan

resin komposit nanofiler setelah perendaman

dalam kopi arabika gayo selama 4 dan 6 hari

dengan menggunakan scanning electron

microscope.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan metode

eksperimental laboratoris dengan rancangan

pretest dan posttest design group. Dilakukan

pembuatan 4 spesimen resin komposit

nanofiler dengan teknik bulk berbentuk

silinder (tebal 2 mm dan diameter 6 mm),

dibagi dalam 2 kelompok yakni kelompok A

berjumlah 2 spesimen (A1 & A2)yang

direndam dalam minuman kopi arabika gayo

selama 4 hari, dan kelompok B berjumlah 2

spesimen (B1 dan B2) direndam dalam kopi

arabika gayo selama 6 hari. Sebelum

direndam dalam minuman kopi arabika gayo.

Specimen dikondisikan dalam aquades selama

24 jam, dengan tujuan penyesuaian spesimen

seperti di dalam rongga mulut. Setelah itu

amati mikrostruktur permukaan spesimen

sebelum dan setelah perendaman dalam larutan

kopi arabika gayo merk Kiswah Gayo. Kopi

tersebut memiliki pH 5,03 dan suhu 55°C.

Penelitian dilakukan di laboratorium Rekayasa

Material Teknik Mesin Universitas Syiah

Kuala menggunakan alat scanning electron

microscope TM 3000 dengan perbesaran

3000x. Setelah diperoleh data hasil

pengamatan, data dianalisis dengan analisa

kualitatif dan kuantitatif (paired t-test untuk

melihat perubahan yang terjadi sebelum dan

setelah perendaman spesimen dan unpaired t-

test untuk melihat perbedaan gambaran

mikrostruktur yang terjadi pada spesimen yang

direndam selama 4 dan 6 hari.

HASIL

Berdasarkan hasil pengamatan SEM

sebelum (pengkondisian aquades selama 24

jam) dan setelah perendaman dalam kopi

arabika gayo (spesimen A1dan A2 (selama 4

hari) serta spesimen B1 dan B2 (selama 6 hari)

terdapat perubahan mikrostruktur pada

spesimen-spesimen tersebut. Perubahan

mikrostruktur yang terjadi berupa porus atau

rongga berwarna gelap pada permukaan

spesimen.

Tabel 1 dan 2 memperlihatkan hasil

penelitian dan analisis data dengan

menggunakan paired t-test pada kedua

kelompok spesimen. Sebelum data dianalisis,

terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data

dengan menggunakan Kolmogorov Smirnov

dan Shapiro-Wilk, dan hasilnya menunjukkan

bahwa data berdistribusi normal (p>0,05).

Tabel 1. Analisis jumlah porus pada mikrostruktur

permukaan resin komposit nanofiler sebelum dan

setelah perendaman dalam kopi gayo selama 4 hari

Spesimen Area Sebelum Setelah P

A1

1

2

3

4

3

0

11

7

5

A2

1

2

3

2

0

2

5

8

8

Rata-rata ( x ±SD) 1,8±1,6 7,3±2,2 0,001*

*perbedaan bermakna (paired t-test, p<0,05)

Page 39: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101

99 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Tabel 2. Analisis jumlah porus pada mikrostruktur

permukaan resin komposit nanofiler sebelum dan

setelah perendaman dalam kopi gayo selama 6 hari

Spesimen Area Sebelum Setelah p

B1

1

2

3

4

4

0

12

9

11

B2

1

2

3

1

1

3

10

9

15

Rata-rata( x ± SD) 2,1±1,7 11±2,2 0,000*

*perbedaan bermakna (paired t-test, p<0,05)

Berdasarkan hasil analisis data terlihat

adanya perbedaan yang bermakna pada kedua

kelompok spesimen. Pada spesimen sebelum

dan setelah perendaman dalam minuman kopi

arabika gayo selama 4 hari, diperoleh nilai

kemaknaan (p)=0,001 dan pada spesimen

sebelum dan setelah perendaman dalam

minuman kopi arabika gayo selama 6 hari,

diperoleh nilai kemaknaan (p)=0,000. Karena

nilai p<0,05 maka kedua kelompok spesimen

menunjukkan adanya perbedaan yang

bermakna sebelum dan setelah perendaman

dalam minuman kopi arabika gayo selama 4

dan 6 hari.

Tabel 3. Analisis statistik perbedaan jumlah porus

setelah perendaman dalam kopi arabika gayo

selama 4 dan 6 hari

Spesimen Jumlah Porus

( x ±SD) p

A1 dan A2

B1 dan B2

5,5±1,8

9,8±3,1

0,017*

*perbedaan bermakna (unpaired t-test, p<0,05)

Pada Tabel 3 terlihat rata-rata

peningkatan jumlah porus setelah perendaman

dalam kopi arabika gayo selama 4 dan 6 hari.

Pada spesimen A1 dan A2 yang direndam 4

hari ditemukan rata-rata peningkatan jumlah

porus sebanyak 5,5, sedangkan pada spesimen

B1 dan B2 yang direndam selama 6 hari

ditemukan peningkatan rata-rata jumlah porus

sebanyak 9,8. Dari data tersebut dapat

diketahui bahwa jumlah porus lebih banyak

ditemukan pada spesimen yang direndam

selama 6 hari dibandingkan dengan spesimen

yang direndam selama 4 hari. Berdasarkan

hasil analisis data pada Tabel 3 menggunakan

unpairedt-test menunjukkan adanya perbedaan

yang bermakna pada spesimen yang direndam

dalam minuman kopi arabika gayo selama 4

hari dan pada spesimen yang direndam dalam

minuman kopi arabika gayo selama 6 hari,

dengan nilai p=0,017.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil pengamatan SEM

sebelum perendaman dalam kopi arabika gayo

terlihat adanya perubahan mikrostruktur pada

beberapa permukaan spesimen. Adanya

perubahan mikrostruktur sebelum perendaman

kopi arabika gayo diduga karena lemahnya

ikatan antara matriks dan filer saat

polimerisasi. Umumnya kegagalan

polimerisasi pada resin komposit light cured

disebabkan karena teknik penyinarannya,

misalnya posisi dan arah sinar, ketebalan

bahan restorasi, durasi dan jarak penyinaran,

serta intensitas cahaya yang kurang. Intensitas

cahaya yang tidak tepat mengakibatkan

polimerisasi yang tidak sempurna.Menurut

Fitriyani dkk (2007)13

sumber cahaya LED

untuk mempolimerisasi resin komposit

nanofiler yang tepat adalah dengan intensitas

cahaya 800 mW/cm2 dan lama penyinaran 20

detik. Menurut spesifikasi pabrik, penyinaran

optimal light curing composite adalah antara

800-1200 mW/cm2. Dalam penelitian ini

diketahui resin komposit dipolimerisasi

dengan intensitas cahaya 375 mW/cm2 (<800

mW/cm2), sehingga resin komposit

terpolimerisasi namun tidak maksimal.

Pada Tabel 1 dan 2 terlihat bahwa tidak

semua area pada spesimen yang diamati

terdapat porus walaupun berasal dari spesimen

yang sama. Ada dan tidak adanya porus diduga

karena polimerisasi yang tidak sempurna pada

beberapa area spesimen. Selain karena

lemahnya ikatan matriks dan filer saat

polimerisasi, degradasi pada permukaan

spesimen juga didukung oleh sifat resin

komposit yang mampu menyerap cairan.

Penyerapan air telah diidentifikasi sebagai

faktor utama dalam terjadinya degradasi fisik

maupun kimia dari bahan komposit dan dapat

menurunkan kualitas resin komposit.14

Pada gambaran mikrostruktur dari penelitian

ini, terlihat beberapa porus sudah mulai

terbentuk saat pengkondisian dalam aquades,

dan bertambah banyak pada

Page 40: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101

100 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

perendaman dalam kopi arabika gayo merk

Kiswah Gayo dengan rata-rata pH 5,03. Pada

hasil analisis data dengan menggunakan paired

t-test juga menunjukkan adanya perubahan

yang bermakna pada spesimen sebelum dan

setelah perendaman dalam minuman kopi

arabika gayo. Bertambah banyaknya jumlah

porus pada perendaman dalam kopi arabika

gayo diduga karena adanya kandungan asam

yang terkandung di dalam kopi. Salah satu

unsur kimia yang terdapat dalam kopi adalah

asam klorogenat yang merupakan senyawa

polifenol dengan kelebihan ion H+. Kelebihan

ion H+ menyebabkan ikatan kimia dari rantai

ganda polimer matriks resin komposit

nanofiler menjadi tidak stabil, karena terjadi

ikatan secara crosslink dengan ion H+ tersebut,

sehingga ikatan ganda polimer matriks

terputus yang disertai dengan pelepasan

partikel filer.15

Adanya pelepasan partikel filer ini akan

menyebabkan ruang-ruang kosong di antara

matriks polimer bertambah banyak sehingga

memudahkan terjadinya proses difusi cairan

dari luar menuju ke dalam resin komposit.4

Penelitian yang dilakukan oleh Han, Okamoto,

Fukushima, dan Okiji (2008)16

membuktikan

bahwa filer dapat terlepas dari material resin

dan komponen matriks mengalami

dekomposisi ketika terpapar dengan

lingkungan yang memiliki pH asam (3-6).

Menurut Daibs et al (2012)17

mikroporus pada

permukaan spesimen akan semakin meningkat

berdasarkan frekuensi dan durasi paparan

asam. Hal ini dibuktikan pada penelitian ini

dengan bertambahnya jumlah porus pada

permukaan spesimen setelah perendaman

dalam kopi arabika gayo selama 4 dan 6 hari,

dimana jumlah porus lebih banyak didapatkan

pada resin komposit yang direndam dalam

kopi arabika gayo selama 6 hari dibandingkan

dengan perendaman selama 4 hari (Tabel 3).

Hasil analisis data menggunakan unpairedt-

test juga menunjukkan adanya perbedaan yang

bermakna pada kedua kelompok spesimen

yang direndam dalam minuman kopi arabika

gayo selama 4 hari dan selama 6 hari.

Pada hasil penelitian ini tidak ditemukan

adanya crack pada mikrostruktur permukaan

resin komposit nanofiler. Hal ini diduga karena

resin komposit nanofiler memiliki nilai

fracture toughness tinggi, hal ini didukung

oleh hasil penelitian Hamouda (2012)18

yang

menyatakan bahwa nilai fracture toughness

pada resin komposit nanofiler lebih tinggi

dibandingkan dengan komposit hibrid

konvensional. Fracture toughness yaitu

ketahanan resin komposit terhadap terjadinya

crack pada permukaan resin komposit.18

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

pada spesimen resin komposit nanofiler yang

direndam dalam kopi arabika gayo selama 4

dan 6 hari dapat diambil kesimpulan bahwa

minuman kopi arabika Gayo dapat

menyebabkan terjadinya perubahan

mikrostruktur pada permukaan resin komposit

nanofiler, yaitu semakin lama perendaman

resin komposit nanofiler dalam kopi arabika

gayo maka semakin besar perubahan yang

terjadi pada gambaran mikrostrukturnya.

Terdapat perbedaan jumlah porus yang

bermakna pada gambaran mikrostruktur resin

komposit antara perendaman dalam kopi

arabika gayo selama 4 dan 6 hari.

Disarankan elakukan uji fitokimia pada

kopi arabika gayo guna mengetahui

kandungannya. Penelitian dengan light cure

unit dengan intensitas yang cukup (800-1200

mW/cm2). Serta perlunya penelitian mengenai

pengujian dengan atomic force microscopy

(AFM) guna melihat gambaran mikroskopik

tiga dimensi dari permukaan resin komposit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamouda I, Elkader HA, Badawi MF.

Microleakage of Nanofilled Composite Resin

Restorative Material. J Biomater

Nanobiotechnol. 2011;02(03):329-334.

2. Genda DR, Leman MA. Pengaruh Jus Pepaya

(Carica papaya) terhadap Perubahan Warna

Resin Komposit. J Ilm Farm. 2016;5(1):15-19.

3. Putriyanti F, Herda E, Soufyan A. strength

micro fine hybrid resin composite yang

direndam dalam minuman isotonik J PDGI.

2012;61(1):43-48.

4. Chumairo SM, R DMC, Nugroho R, et al.

Pengaruh Kebiasaan Minum Kopi Robusta

(Coffea robusta) terhadap Perubahan Warna

pada Restorasi Resin Resin Komposit

Nanofiler (The Effect of Robusta Coffee

(Coffea robusta) Drinking Habits on Nanofiler

Composite Resin Discoloration). Artik Ilm Has

Penelit Mhs. 2014:0-4.

5. Berger SB, Palialol ARM, Cavalli V, Giannini

Page 41: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 96-101

101 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

M. Characterization of water sorption,

solubility and filer particles of light-cured

composite resins. Braz Dent J.

2009;20(4):314-318.

6. Aprilia, Rochyani L, Rahardiarto E. Pengaruh

Minuman Kopi terhadap Perubahan Warna

pada Resin Komposit. Indon J Dent.

2007;14(3):164-170.

7. Wahyudian, Surmawan U H. Analisis Faktor-

faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Kopi

dan Analisis Pemetaan Beberapa Merek Kopi

dan Implikasinya pada Pemasaran Kopi. J

Manaj Agribisnis. 2004;1(1):55-68.

8. Karim A, Basri H. Analysis of Geographical

Indication of Gayo Coffee Based on Spatial

Planning of Districts. J Agrista.

2012;16(2):46-61.

9. Kristiyanto, D., B. D. H. Pranoto dan A.

Penurunan Kadar Kafein Kopi Arabika dengan

Proses Fermentasi Menggunakan Nopkor Mz-

15. J Teknol Kim dan Ind. 2013;2(4):170-176.

10. P o M. Ou Ev Cup o Co  :

The Chemistry behind Its Magic. J Chem

Educ. 2005;82(8):1161-1167.

11. De Gouvea C V, Bedran LM, de Faria MA,

Cunha-Ferreira N. Surface Roughness and

Translucency of Resin Composites after

Immersion in Coffee and Soft Drink. Acta

Odontol Latinoam. 2011;24(1):3-7.

12. Rini C. Pengaruh Perendaman dalam Kopi

Arabika Gayo terhadap Kekasaran

Permukaan Resin Komposit Nanofiler.

In:2015:30. Skirpsi

13. Sri Fitriyani, Ellyza Herda A Haryono.

Pengaruh Intensitas Cahaya terhadap Derajat

Konversi Komposit Partikel Nano.

2007:14(2) 146-152.

14. JJ M. Basic Dental Material. N w D lh  :

Jaypee Brother Medical Publisher; 2003:146.

15. Nurmalasari A. Roughness Differences In

Surface Of Nano Composite Resin in Black

Tea and Coffee Immersion. J Wiyata.

2015;2(1):1-6.

16. Han L, Okamoto A, Fukushima M, Okiji T.

Evaluation of Flowable Resin Composite

Surfaces Eroded by Acidic and Alcoholic

Drinks. Dent Mater J. 2008;27(3):455-465.

17. Daibs BDP, da Silva JMF, da Rocha DM,

Fernandes Junior VVB, Rodrigues JR.

Microstructural Analysis of Restorative

Materials Submitted to Acid Exposure. Braz

Dent Sci. 2012;15(1):19-26.

doi:10.14295/bds.2012.v15i1.710.

18. Hamouda IM, Elkader HA. Evaluation the

Mechanical Properties of Nanofilled

Composite Resin Restorative Material.

Journal of Biomaterials and

Nanobiotechnology. 2012;3:238-242.

Page 42: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106

102 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

GAMBARAN TINGKAT KEPUASAN ESTETIK DAN FONETIK

PADA PEMAKAI GIGI TIRUAN LENGKAP

DI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS TRISAKTI

THE OVERVIEW OF THE ESTHETICS AND PHONETIC

SATISFACTION RATE OF COMPLETE DENTURE PATIENTS AT

FACULTY OF DENTISTRY TRISAKTI UNIVERSITY

Niko Falatehan, Eddy Kusumah

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti

Correspondence email to: [email protected]

ABSTRAK

Kehilangan seluruh gigi merupakan masalah kesehatan yang diderita oleh kebanyakan lansia. Jika

masalah ini tidak diperbaiki akan mengganggu kecantikan (estetik) dan gangguan bicara (fonetik)

pada pasien lansia. Untuk mengatasi masalah ini pasien dibuatkan gigi tiruan lengkap (GTL). Pasien

lansia memiliki beragam tingkat kepuasan tergantung dari hasil pelayanan yang diberikan dan GTL

yang dibuatkan. Penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kepuasan pasien dalam menggunakan

gigi tiruan lengkap dari segi estetik dan fonetik. Penelitian ini adalah penelitian non eksperimental

yang bersifat observasional deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan tekhnik pembagian

kuisioner kepada pasien lansia pengguna gigi tiruan lengkap yang berada di Rumah Sakit Gigi Mulut

(RSGM) Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Usakti Jakarta Barat yang berusia 60 tahun keatas

sebanyak 30 orang. Berdasarkan hasil analisis program SPSS menggunakan windows versi 22.0

menunjukkan bahwa pengguna gigi tiruan lengkap terhadap faktor estetik memiliki tingkat kepuasan

67% dan tidak puas 33%. Demikian juga faktor fonetik memiliki tingkat kepuasan sebesar 74% dan

tidak puas 26%. Berdasarkan data yang diperoleh penggunaan gigi tiruan lengkap lebih banyak pada

pasien perempuan yang berusia 60-74 tahun. Tingkat kepuasaan estetik penggunaan gigi tiruan

lengkap di RSGM FKG Usakti wanita lebih rendah dibandingkan pria.

Kata Kunci: Gigi tiruan lengkap, estetik, fonetik

ABSTRACT

Tooth loss entirely is one of the health problems that elderly people suffer from.This problem affect to

esthetics and phonetic functions for the elderly people. The endentulous state can be solved by using a

complete denture. Elderly patients have various degrees of satisfaction which depend on the provided

services and final result of the complete denture. The objective of this study was to determine the

degrees of patient’s satisfaction in terms of esthetics and phonetics while using complete dentures.

This was a non-experimental descriptive observational study. The collection of data was conducted by

using questionnaires that were given to 30 elderly patients (60 years old or above) of complete

dentures in Dental Hospital Trisakti, West Jakarta. Analysis test using SPSS program for windows

version 22.0 showed the satisfaction on esthetic factors by 67% and 33% dissatisfaction. To add,

phonetic factor have satisfaction rates of 74% and 26% on dissatisfaction rate. The female patients of

complete denture were mostly in the age of 60-74 years old. The level of esthetics satisfaction in

using complete dentures in RSGM FKG USAKTI for females was lower then males.

Keywords: Complete denture, esthetics, phonetic

Page 43: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106

103 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara

dengan populasi terbanyak di dunia dengan

tingkat kepadatan penduduk terbanyak pada

urutan ke empat di dunia. Dengan kepadatan

penduduk seperti ini, masalah kesehatan

menjadi beragam, beberapa masalah kesehatan

di Indonesia yang banyak dijumpai adalah: (1)

Penyakit jantung; (2) Penurunan fungsi hati;

(3) Penurunan fungsi lambung; dan (4) Sakit

gigi. Masalah kesehatan gigi dan mulut di

Indonesia dirasakan masih sangat tinggi, hal

ini terjadi karena tingkat kesadaran masyarakat

untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya

tergolong rendah. Karena masyarakat

cenderung meminta perawatan gigi untuk

menghilangkan rasa sakit saja. Padahal dokter

gigi mengharapkan agar pasiennya rutin untuk

memeriksakan dirinya, sehingga dapat

mengobati dan mencegah komplikasi-

komplikasi yang lebih lanjut.1

Buruknya keadaan gigi dan mulut

pasien bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor

yakni: (1) Pendidikan; (2) Ekonomi; (3)

Sosial; (4) Budaya; (5) Umur. Sehingga

perawatan yang akan dilakukan setiap pasien

akan berbeda-beda tergantung dari faktor-

faktor tersebut. Menurut WHO, usia lanjut

digolongkan menjadi 4, yaitu usia pertengahan

(middle age), 45-59 tahun; lanjut usia

(elderly), 60-74 tahun; lanjut usia tua (old), 75-

90 tahun; dan usia sangat tua (very old), diatas

90 tahun. Menurut data internasional dari

Bureau of the Census USA, Indonesia

memiliki angka pengingkatan lansia tertinggi

di dunia yaitu mencapai 414 persen dari tahun

1990-2025, sehingga sebagai dokter gigi kita

harus meningkatkan perawatan di bidang

lansia.1,2

Masalah kesehatan gigi yang diderita

oleh kebanyakan lansia adalah kehilangan gigi

seluruhnya. Jika masalah ini tidak diperbaiki

maka akan mengganggu estetik, fonetik, dan

mastikasi pasien.3 Untuk mengatasi masalah

tersebut pasien dibuatkan Gigi Tiruan Lengkap

(GTL). GTL merupakan suatu gigi tiruan yang

menggantikan seluruh gigi yang hilang pada

lengkung rahang.4

Selain faktor fonetik, terdapat faktor lain

yang juga penting peranannya dalam bidang

GTL yaitu estetik. Menurut Young5,6

, kualitas

utama dari estetik adalah kecantikan,

harmonis, dan alami. Maka dokter gigi harus

memperhatikan keinginan pasien untuk hasil

yang lebih baik. Faktor estetik pada GTL

merupakan peranan penting terhadap

kepercayaan diri seseorang dan berpengaruh

terhadap interaksi sosial kepada masyarakat,

hal ini dapat dilihat dari warna, bentuk, dan

posisi gigi. Jika terjadi kesalahan terhadap

pemilihan warna maka dapat menyebabkan

menurunnya kepercayaan diri pasien terhadap

penampilannya.7,8

Pemakaian GTL untuk pertama kalinya

akan membuat pasien susah untuk berbicara

atau berbicara tidak jelas, karena fonetik

jarang sekali dilakukan evaluasi dan lebih

mengevaluasi estetik, kenyaman dan

mastikasi. Sehingga kemampuan pasien untuk

berbicara terabaikan. Jenis kelamin pun juga

merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi tingkat adaptasi pemakaian

GTL, karena dalam 1 hari perempuan

mengucapkan 20,000 kata, sedangkan laki-laki

mengucapkan 7,000 kata.3 Menurut Niko

5

pasien rata-rata akan susah mengucapkan

beberapa huruf seperti “S dan Z”, dan pasien

akan terbiasa dengan GTL barunya selama 2

minggu pasca pemakaian. Warna gigi dan

fonetik pasien dapat menjadi faktor penentu

dari tingkat kepuasan pasien.

Kepuasan adalah perasaan senang atau

kecewa seseorang yang muncul akibat

membandingkan antara presepsi terhadap

kinerja atau hasil suatu produk dan harapan.

Kepuasan pasien merupakan komponen

penting dari perawatan gigi karena dapat

mempengaruhi kepercayaan pasien terhadap

dokter gigi.7

Uraian diatas selanjutnya

melatarbelakangi munculnya penelitian ini.

Penelitian ini lebih mengimplementasikan

pada distribusi tingkat kepuasan pasien dalam

pemakaian GTL dalam hal estetik dan fonetik

di RSGM FKG Usakti daerah Jakarta Barat.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui keberhasilan perawatan dan

tingkat kepuasan pasien di RSGM FKG Usakti

dalam pemakaian GTL dari segi estetik dan

fonetik, sehingga dapat meningkatkan kualitas

pelayanan di RSGM FKG Usakti.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di RSGM FKG

Usakti. Pada bulan Oktober 2016. Subjek

Penelitian diambil secara consecutive sampling

(non probability sampling) yaitu subjek yang

datang dan memenuhi kriteria inklusi diikuti

Page 44: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106

104 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

pada penelitian ini sampai jumlah subjek yang

diperlukan terpenuhi yaitu 30 subjek penelitian

dimana jumlah sampel diperolah

menggunakan rumus cross-sectional, dengan

kriteria inklusinya adalah pasien dengan usia

60 tahun keatas menggunakan GTL. Penelitian

ini diawali dengan penjelasan kepada subjek

penelitian mengenai jalannya penelitian dan

meminta persetujuan subjek penelitian

(informed consent), setelah subjek penelitian

menyetujui maka diinstruksikan untuk mengisi

lembar kuisoner yang terdiri dari 10

pertanyaan mengenai tingkat kepuasan estetik

dan fonetik pemakai GTL. Setelah

memperoleh data dari kuisioner terkumpul

dilakukan tabulasi ke dalam program

Statistical Program for Social Science (SPSS)

for windows version 22.0 (Armonk, NY: IBM

Corp.) dengan uji statistik deskriptif. Pada

pengolahan data hasil kuisioner akan

digolongkan menjadi puas atau tidak puas. Jika

pasien menjawab ya >50% maka pasien

tersebut digolongkan puas, tetapi bila pasien

menjawab tidak >50% maka digolongkan

tidak puas.

HASIL

Berdasarkan total sampel yang mengisi

kuisioner diperoleh jumlah lansia wanita lebih

banyak yaitu 18 orang, jika dibandingkan

dengan lansia pria yaitu 12 orang.(Tabel 1)

Tabel 1. Gambaran sampel lansia penggunaan gigi

tiruan lengkap berdasarkan jenis kelamin

Tabel 2. Gambaran sampel lansia pengguna gigi

tiruan lengkap berdasarkan umur (WHO)

Umur Jumlah %

45–59 tahun

(middle aged) - 0

60–74 tahun

(elderly) 21 70

75–90 tahun (old)) 9 30

90 tahun ke atas

(very old) - 0

Berdasarkan Tabel 2 mengenai

pengelompokkan umur lansia menunjukan

bahwa lansia pengguna gigi tiruan lengkap

lebih banyak pada kelompok umur 60–74

tahun ( elderly) berjumlah 21 orang (70%).

Selanjutnya kelompok 75–90 tahun (old)

dengan jumlah 9 orang atau 30%.

Tabel 3. Gambaran sampel lansia pengguna gigi

tiruan lengkap berdasarkan tingkat kepuasan

Berdasarkan Tabel 3 memperlihatkan

bahwa pasien yang puas dari segi estetik

sebanyak 20 orang atau 67% dan pasien yang

tidak puas secara estetik sebanyak 10 orang

atau 33%. Sedangkan dari segi fonetik pasien

yang merasa puas adalah sebanyak 22 orang

atau 74% dan secara fonetik pasien yang tidak

puas adalah 8 orang atau 26% serta didapatkan

hasil bahwa tingkat kepuasan estetik pada

wanita lebih rendah dibandingkan pria.

PEMBAHASAN

Berdasarkan data sampel sesuai dengan

pembagian kelompok usia menurut WHO,

kelompok usia 60–74 tahun (elderly) yang

menggunakan gigi tiruan lengkap berjumlah

21 orang dan kelompok usia 75–90 tahun (old)

yang menggunakan gigi tiruan lengkap

berjumlah 9 orang. Dengan meningkatnya

usia, jumlah sampel menjadi lebih sedikit atau

mengalami penurunan. Hal ini tejadi dengan

meningkatnya usia terjadi penurunan daya

tahan fisik atau mengalami perubahan

fisiologis, seperti mengidap suatu penyakit

yang memerlukan perawatan intensif sampai

kematian.11,12

Terjadi penurunan adaptasi dan

potensi regenerasi sel dan jaringan, jaringan

penyangga gigi, rahang, lidah, warna gigi,

dan bahkan kelenjar saliva mengalami

perubahan yang cukup signifikan, oleh karena

itu kelompok usia diatas 90 tahun (very old)

dijumpai sangat sedikit.13,14

Terlihat pula

jumlah sampel wanita yang memakai gigi

tiruan lengkap yaitu 16 orang lebih banyak

dibandingkan dengan jumah sampel pria yang

menggunakan gigi tiruan lengkap sebanyak 14

orang. Hasil ini sesuai dengan angka harapan

Jenis Kelamin Jumlah %

Pria 14 47

Wanita 16 53

Variabel Jumlah Wanita Pria %

Estetik

Puas

20

10

10

67

Tidak puas 10 6 4 33

Fonetik

Puas

22

10

12

74

Tidak puas 8 6 2 26

Page 45: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106

105 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

penduduk Indonesia, dimana angka harapan

hidup wanita 74 tahun dan pria 68 tahun.15,16

Hasil analisis menggunakan statistik deskriptif

menunjukkan gambaran bahwa lansia

pengguna gigi tiruan lengkap di RSGM FKG

Usakti Jakarta Barat, memiliki tingkat

kepuasan yang cukup (Tabel 3). Berdasarkan

data yang diperoleh dari kuisioner, dapat

diketahui bahwa pasien lansia pengguna gigi

tiruan lengkap yang puas dari segi fonetik

lebih banyak dijumpai pada pria yaitu 12 orang

jika dibandingkan dengan wanita yaitu 10

orang.

Hal ini sesuai dengan penelitian

McMillan17

yang menyatakan bahwa wanita

lebih susah untuk dipuaskan dibandingkan

dengan pria sehingga standar kepuasan wanita

lebih tinggi dibandingkan pria. Dari hasil

penelitian didapat bahwa pasien di RSGM

FKG Usakti Jakarta Barat yang menggunakan

gigi tiruan lengkap diperoleh jumlah lansia

wanita yang tidak puas dari segi fonetik yaitu

6 orang dan pria terdapat 2 orang.

Dijumpai pula pasien gigi tiruan

lengkap yang tidak puas dalam segi estetik

lebih banyak pada pasien wanita yang

berjumlah 6 orang jika dibandingkan dengan

pasien lansia pengguna gigi tiruan lengkap pria

yang berjumlah 4 orang. Dari hasil penelitian

juga dapat diketahui bahwa pasien lansia yang

memiliki tingkat kepuasan yang tinggi dalam

hal estetik berjumlah 20 orang, yang

diantaranya adalah 10 orang lansia wanita dan

10 orang lansia pria. Hal ini sejalan dengan

Vervoon18

yang menyatakan bahwa wanita

lebih mementingkan estetik dibandingkan

fungsi lainnya, sehingga wanita ingin lebih

terlihat menarik.19

Dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa berdasarkan data kuisioner pasien

lansia di RSGM FKG Usakti umumnya

memiliki tingkat kepuasan yang cukup tinggi

karena pembuatan gigi tiruan lengkap yang

cepat dan tepat waktu, dengan hasil kerja dan

pelayanan dari mahasiswa koas RSGM FKG

Usakti, namun pada lansia pengguna gigi

tiruan lengkap masih dijumpai pasien yang

merasa tidak puas dengan hasil kerja

mahasiswa koas RSGM FKG Usakti. Hal ini

terjadi karena penanganan pasien lansia

memakan waktu yang cukup lama sehingga

menyebabkan perubahan dan perbedaan dalam

jaringan mulut dengan model kerja, juga

terjadi kesalahan pertama kepada operator

dalam menentukan DVO, pemilihan warna

pada elemen atau bentuk gigi sehingga

mempengaruhi tingkat kenyamanan dan

kepuasan pasien. Kesalahan kedua kepada

laboratorium yang membuat GTL tidak sesuai

dengan instruksi.20

SIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dapat ditarik

simpulan bahwa berdasarkan hasil uji

deskriptif menunjukkan terdapat perbedaan

tingkat kepuasan pada pasien lansia yang

menggunakan gigi tiruan lengkap dimana

tingkat kepuasan wanita lebih rendah

dibandingkan pria terutama dalam hal estetik

karena standar kepuasan estetik pada wanita

lebih tinggi. Melalui data yang diambil dari

lembar kuisioner, pasien lansia pengguna gigi

tiruan lengkap di RSGM FKG Usakti memiliki

tingkat kepuasan yang tinggi.

Untuk memaksimalkan hasil

penelitian, disarankan dilakukan penelitian

lebih lanjut dengan jumlah subjek yang lebih

banyak dan merata, sehingga dapat mewakili

semua populasi untuk dapat mengetahui

tingkat kepuasan pasien terhadap gigi tiruan

lengkap dari segi estetik dan fonetik. Retensi

dan stabilitas pada pembuatan gigi tiruan

lengkap perlu diperhatikan oleh para

mahasiswa koas RSGM FKG Usakti sehingga

memperoleh tingkat kepuasan pasien yang

lebih tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Alhamdan EM. Assessing the Dental

Treatment Needs of Female Patients at

the Dental College, Riyadh, Saudi

Arabia. Oral Health and Dent Man J

2016; 15(3):172-178.

2. Vern L, Alan C, David M. Sourcebook

of Family Theory and Research. 2005.

h.414

3. Roesler DM. Complete denture success

for patients and dentists. Int Dent J

2003;53:340-5.

4. Falatehan N. Metode Baru Untuk

Menilai Adaptasi pemakai Gigi Tiruan

Penuh Rahang Atas Berdasarkan

Palatogram Konsonan Linguo-Palatal

Bahasa Indonesia. (Thesis). Jakarta:

Universitas Indonesia; 2013: h.14-21

5. Ahmed N. Ahmend M. Jafri Z.

Esthetics Considerations in the

Selection of Teeth for Complete

Page 46: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 102-106

106 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Denture Patients: A Review Annals of

Dental Specialty J 2013;1(1):4-6

6. Madhav. Esthetic Failures in Fixed

Partial Dentures. J Int Dent Med Res

2010;3(3):146

7. Biljana A, Jusuf Z. Measuring

customer satisfaction with service

quality using American Customer

Satisfaction Model (ACSI Model). Int J

Acad Res in Business and Social Scie

2011;1(3):236-258.

8. Handjani YS, Widaja NT. Gambaran

Kesehatan pada Masyarakat Lansia di

DKI Jakarta dan Hubungan dengan

Determinannya. (Thesis). Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas

Katolik Indonesia Atma Jaya; 2007:

h.146-156

9. Nugroho W. Komunikasi Dalam

Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.

2009. h. 5-11.

10. Darmojo B. Geriatri (Ilmu kesehatan

Usia Lanjut). Ed ke-5. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI: 2014. h. 46.

11. Taringan S. Pasien Prostodonti Lanjut

Usia: Beberapa Pertimbangan Dalam:

Perawatan. Medan; USU; 2005.h.8-13

12. Gunadi HA, Margo A, Burhan LK,

Suryatenggara F, Setiabudi I. Buku

Ajar Ilmu Geligi Tiruan Sebagian

Lepasan Jilid 1. Jakarta:

Hipokrates;1995: h.33-27

13. Stanley, Mickey, Beare PG. Buku Ajar

Keperawatan Gerodontik. Jakarta:

EGC. 2006. h.180-218

14. Siti MR, Mia FE, Rosidawati, Jubaedi

A, Batubara I. Mengenal Usia Lanjut

dan Perawatannya. Jakarta: Salemba

Medika. 2012. h. 2-20

15. Esan TA, Olusile AO, Akeredolu PA,

Esan AO. Socio-demographic factors

and edentulism the Nigerian

experience. BMC Oral Health. 2004;

4(3): p:1-6.

16. Pusat Data dan Informasi Kementrian

Kesehatan RI. Gambaran kesehatan

lanjut usia di Indonesia. Jakarta:

Buletin Jendela Data dan Informasi

Kesehatan. 2013. h. 1-5.

17. Allen PF, Mcmillan A.S. A review of

the functional and pyshosocial

outcomes of edentulousness treated

with complete replacement dentures. J

Can Dent Assoc 2003;69(10):662-9.

18. Vervoon, Seiffert, Spasetti VJ. Factors

Assosiated with Satisfaction with

Complete Denture Theraphy. J

Prosthodont 1996;5:84-90.

19. Boedi S. Mengenal Kelainan Dalam

Mulut yang Menyertai Diabetes

Melitus, Jurnal Ilmiah dan Teknologi

Kedokteran Gigi 2003;1(2):60-64.

20. Charles WE, Jack HR, James MT.

Synopsis of Complete Denture.

Philadelphia: Lea and Febiger.1975.

p.321-6.

Page 47: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112

107 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

GAMBARAN PH SALIVA DARI PEROKOK AKTIF DAN

PASIF PADA MASYARAKAT KECAMATAN MESJID RAYA

ACEH BESAR

THE DESCRIPTION OF SALIVARY PH FROM ACTIVE SMOKERS AND

PASSIVE SMOKERS ON THE SOCIETY AT DISTRICT MESJID RAYA

ACEH BESAR

Dewi Saputri, Diana Setya Ningsih, Ridha Rosmarna Dewi

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala

Correspondence email to: [email protected]

ABSTRAK

Saliva adalah cairan kompleks yang sangat penting untuk kesehatan rongga mulut Asap rokok

mengandung berbagai komposisi beracun yang mengakibatkan perubahan saliva secara struktural

maupun fungsional. Asap rokok mengandung nikotin yang bekerja pada reseptor kolinergik tertentu

di otak yang dapat menyebabkan aktivasi saraf sehingga terjadi perubahan sekresi dan pH saliva.

Tujuan penelitian ini untuk melihat gambaran pH saliva pada perokok aktif dan pasif. Penelitian ini

merupakan penelitian cross sectional. Metode pengambilan sampel dengan cara non probability

sampling pada 80 subjek yang terdiri dari dua kelompok, yaitu 40 subjek perokok aktif dan 40 subjek

perokok pasif. Hasil analisis univariat menunjukkan semua perokok aktif, 40 orang atau 100%,

mempunyai pH saliva bersifat asam, sedangkan pada perokok pasif hanya 13 orang (32,5%). Sisa

subjek perokok pasif yaitu sebanyak 27 orang (67,5%) mempunyai pH saliva bersifat normal. Sebagai

kesimpulan penelitian ini adalah pH saliva yang bersifat asam ditemukan pada semua perokok aktif,

sedangkan pada perokok pasif lebih banyak didapatkan pH saliva normal. Juga pH saliva perokok

aktif lebih asam (6,15) daripada pH saliva perokok pasif (6,81).

Kata Kunci: Perokok aktif, perokok pasif, pH saliva

ABSTRACT

Saliva is a complex liquid that is very important for oral health. Cigarette smoke contains various

toxic compositions that cause structural and functional changes in saliva. Cigarette smoke contains

nicotine which acts on certain cholinergic receptors in the brain which can cause nerve activation

resulting in changes in salivary secretion and pH. The purpose of this study was to see the picture of

salivary pH in active and passive smokers. This research is a cross sectional study. The sampling

method is non-probability sampling in 80 subjects consisting of two groups, namely 40 active

smokers and 40 passive smokers. The results of univariate analysis showed that all active smokers, 40

people or 100%, had salivary pH as acidic, while in passive smokers there were only 13 people

(32.5%). The remaining subjects of passive smoking, which were 27 people (67.5%) had normal

salivary pH. In conclusion, this study found that the pH of acidic saliva was found in all active

smokers, whereas in passive smokers there was more normal salivary pH. Also the saliva pH of active

smokers is more acidic (6.15) than the pH of passive smokers (6.81).

Key Words: Active smoker, passive smoker, saliva pH

Page 48: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112

108 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara

berkembang yang tercatat memiliki tingkat

konsumsi rokok tinggi.1 Prevalensi perokok di

Indonesia menurut hasil Riskesdas 2007

(34,2%), 2010 (34,7%) dan 2013 (36,3%) yang

menunjukkan peningkatan prevalensi perokok

dari tahun ke tahun.2

Perokok pada umumnya terdiri dari

perokok aktif dan pasif. Perokok aktif adalah

orang yang mengonsumsi rokok dan secara

langsung merokok serta menghisap rokok rutin

atau tidak rutin walaupun hanya 1 batang

dalam sehari.3,4

d Sedangkan perokok pasif

adalah orang yang terpapar atau menghirup

asap yang terbentuk dari pembakaran rokok

atau dari asap yang dihembuskan oleh perokok

atau orang lain.5, 6

Kedua jenis perokok ini

sama-sama terpapar oleh asap rokok. Paparan

asap rokok dapat menurunkan kualitas hidup

seseorang karena asap rokok mengandung

4.000 bahan kimia seperti nikotin, tar dan

karbon monoksida.7

Asap rokok yang mengandung bahan

kimia tersebut terhirup oleh perokok yang

dampaknya dapat bekerja pada reseptor

kolinergik tertentu di otak, yang menyebabkan

aktivasi saraf sehingga terjadi perubahan

sekresi kelenjar saliva.8 Sekresi kelenjar saliva

merupakan satu-satunya sekresi pencernaan

yang secara keseluruhan berada di bawah

kontrol saraf.9 Asap rokok juga dapat

menyebabkan kerusakan sel dan jaringan

kelenjar saliva serta memengaruhi laju aliran

dan fungsi saliva.10

Perubahan sekresi kelenjar saliva yang

dapat terjadi yaitu berupa penurunan laju

aliran saliva serta dapat menyebabkan

penurunan pH saliva. Hal ini sesuai dengan

penelitian Singh dkk. (2015)11

yang

menyatakan terdapat penurunan pH saliva

pada perokok aktif, dan belum ada penelitian

secara rinci tentang pH saliva pada perokok

pasif. Namun, hasil penelitian Ferragut

dkk.(2010)12

menyimpulkan bahwa merokok

pasif menyebabkan adanya perubahan struktur

kelenjar saliva pada tikus yang secara

signifikan dapat memengaruhi fungsi saliva.

Terjadinya perubahan sekresi kelenjar saliva

dan penurunan fungsi saliva. Salah satunya

dapat menyebabkan penurunan pH saliva.

Akibatnya dapat terjadi peningkatan

mikroorganisme asidogenik, sehingga kondisi

kesehatan gigi dan mulut menurun.10

Berdasarkan latar belakang di atas akan

dilakukan penelitian mengenai keadaan pH

saliva dari perokok aktif dan perokok pasif

pada masyarakat desa Lamreh, Kecamatan

Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Dilihat

dari letak geografis, desa tersebut berbatasan

dengan laut, dan gunung yang menyebabkan

mayoritas penduduknya bekerja sebagai

nelayan (36,06%), buruh kapal (19,47%),

bahkan petani (25,00%). Hasil wawancara

pada survei awal menyatakan hampir seluruh

masyarakat desa Lamreh memiliki kebiasaan

merokok. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Riskesdas 201313

yang menyatakan bahwa

prevalensi perokok jauh lebih tinggi di desa

pada pekerja petani, nelayan dan buruh.

BAHAN DAN METODE

Adapun kriteria inklusi sampel perokok

aktif, adalah subjek yang merokok minimal 10

batang setiap hari selama ≥ 6 bulan, perokok

berusia 26-45 tahun11

, dan bersedia menjadi

subjek penelitian.

Adapun kriteria inklusi perokok pasif

adalah terpapar asap rokok orang lain setiap

hari selama ≥ 10 tahun14

, berusia 26-45 tahun,

dan bersedia menjadi subjek penelitian

Subjek diwawancarai sesuai dengan

borang seleksi subjek untuk mendapatkan data

identitas meliputi nama, usia, jenis kelamin,

serta informasi lainnya yang diperlukan untuk

melengkapi data sesuai kriteria inklusi.

Kepada subjek yang memenuhi kriteria inklusi

selanjutnya diberikan informed consent.

Subjek penelitian diminta untuk tidak

makan, minum, menyikat gigi dan merokok 1

jam sebelum dilakukan pengambilan saliva.

Subjek diminta untuk duduk dengan sandaran

tegak, kepala ditundukkan dan tangan kanan

memegang gelas ukur.8

Pengumpulan saliva dilakukan pukul 09.00-

12.00 menggunakan metode spitting yaitu

saliva dikumpulkan dalam mulut dengan posisi

bibir tertutup, kemudian dikeluarkan ke dalam

gelas ukur sehingga tercapai volume

yang dibutuhkan. Selanjutnya dilakukan

pengukuran pH saliva dengan cara

memasukkan elektroda pH meter.

Sebelum dilakukan pengukuran pH

saliva, penutup plastik elektroda dibuka, lalu

dibilas dengan air deionisasi (air bebas ion)

dan dikeringkan dengan tisu. Nyalakan pH

meter digital dengan menekan tombol

ON/OFF.

Page 49: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112

109 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Elektroda dimasukkan ke dalam larutan

buffer pH 7, putar elektroda agar larutan buffer

homogen. Biarkan beberapa saat sampai nilai

yang tertera pada display tidak berubah. Tekan

tombol CAL pada layar. Tekan tombol

hold/ent untuk menyempurnakan kalibrasi.

Pada bagian layar akan muncul angka 7 yang

menunjukkan pH meter tersebut telah

dikalibrasi dengan buffer pH 7. Angkat

elektroda dari larutan buffer 7, kemudian bilas

dengan air deionisasi beberapa kali dan

keringkan dengan kertas tisu, pH meter telah

siap digunakan.

Kemudian pH meter digital dihidupkan

dengan menekan tombol ON/OFF. Elektroda

dimasukkan ke dalam sampel dan diputar agar

larutan homogen. Dibiarkan sampai angka

pada layar berganti dengan nilai saliva yang

diukur pHnya. Lalu pH meter digital dimatikan

dengan menekan tombol ON/OFF. Lihat angka

yang tertera pada pH meter. Data yang didapat

langsung dicatat pada lembar data yang telah

disediakan.

HASIL

Subjek penelitian adalah masyarakat

desa Lamreh kecamatan Mesjid Raya, Aceh

Besar. Penelitian ini dilakukan untuk melihat

gambaran pH saliva pada perokok aktif dan

pasif. Subjek penelitian sesuai dengan kriteria

inklusi berjumlah 80 orang yang terdiri dari 40

perokok aktif pada laki-laki dan 40 orang

perokok pasif pada perempuan.

Gambar 1. Frekuensi pH saliva pada perokok aktif

dan pasif

Seluruh perokok aktif memiliki pH

saliva asam dan hanya 1/3 subjek perokok

pasif yang mempunyai pH saliva asam

Sebanyak 2/3 subjek perokok pasif sisanya

memiliki pH saliva normal (Gambar 1).

Gambar 2. Rata-rata pH saliva perokok aktif

berdasarkan jenis rokok

Dari kelompok perokok aktif dilihat dan

dipisahkan menurut jenis rokok yang dihisap.

Gambar 2 menunjukkan rerata pH saliva pada

perokok filter sebesar 6,4. Sedangkan rerata

pH saliva perokok kretek sebesar 6,0.

Gambar 3. Rerata pH Saliva pada perokok aktif dan

pasif

Gambar 3 menunjukkan rerata pH saliva

perokok aktif 6,15 (asam). Sedangkan rerata

pH saliva perokok pasif 6,81 (normal).

Gambar 4. Tabulasi pH saliva perokok aktif dan

pasif berdasarkan usia

Page 50: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112

110 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Gambar 4 menunjukkan pada kelompok

usia 26-35 terdapat pH saliva bersifat asam

pada jumlah subjek yang hampir sama dengan

subjek yang mempunyai pH saliva bersifat

normal (13 vs 16). Sedangkan pada kelompok

usia 36-45 tahun subjek dengan pH saliva

bersifat asam jauh lebih banyak, yaitu sekitar

3,6 kali lebih banyak daripada subjek dengan

pH saliva bersifat normal (40 vs11).

PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat

keadaan saliva, khususnya pH saliva. Kadar

pH saliva (potensial of Hydrogen) adalah

ukuran konsentrasi ion hydrogen dengan

keasaman dan kebasaan yang relatif dalam

saliva.15

Saliva merupakan cairan kompleks

yang diproduksi oleh kelenjar saliva, serta

berperan penting untuk mempertahankan

keseimbangan ekosistem dalam rongga mulut.8

Saliva adalah cairan biologis pertama dari

tubuh yang terpapar oleh asap rokok sehingga

dapat mengakibatkan perubahan saliva baik

secara struktural maupun fungsional. Asap

rokok mengandung berbagai zat kimia yang

berbahaya, salah satunya adalah nikotin.

Nikotin telah terbukti dapat bekerja pada

reseptor kolinergik tertentu di otak dan organ

lain serta menyebabkan aktivasi saraf, salah

satunya untuk sekresi dan pH saliva.7

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa

pH saliva perokok aktif masyarakat desa

Lamreh keseluruhannya bersifat asam,

sedangkan pH saliva perokok pasif yang

memiliki pH saliva bersifat asam hanya 32,5%

(13 subjek) (Gambar 1). Penurunan pH saliva

pada perokok aktif mungkin disebabkan oleh

kebiasaan masyarakat desa Lamreh yang

mengonsumsi rokok minimal 10 batang dalam

sehari dan telah dikonsumsi lebih dari 6 bulan.

Sedangkan penurunan pH saliva perokok pasif

mungkin disebabkan oleh paparan asap rokok

yang terhirup selama sedikitnya 10 tahun.

Sebagaimana diketahui bahwa frekuensi dan

lama paparan asap rokok sangat berpengaruh

terhadap pH saliva, karena semakin banyak

seseorang mengonsumsi rokok atau menghirup

asap rokok maka semakin banyak pula zat

berbahaya seperti nikotin yang terhirup oleh

perokok aktif maupun pasif.

Kandungan nikotin berbeda dalam

setiap jenis rokok. Kadar nikotin pada rokok

filter lebih sedikit dibandingkan pada rokok

kretek. Diduga jenis rokok juga dapat

mempengaruhi pH saliva, karena pengaruh

ujung rokok yang menggunakan filter dan

tidak menggunakan filter. Filter pada rokok

digunakan untuk menyaring zat endapan yang

dihasilkan dari pembakaran rokok. Hal inilah

yang membedakan kandungan kimiawi asap

rokok antara rokok filter dan kretek.16,17

Pada

penelitian ini didapatkan rerata kadar pH

saliva perokok kretek sebesar 6,0 sedangkan

erata pH saliva perokok filter sebesar 6,4

(Gambar 2). Dari hasil rerata pH saliva

perokok berdasarkan jenis rokok yang

dikonsumsi ini terlihat bahwa ada perbedaan

pH saliva pada kedua jenis rokok tersebut.

Selain beberapa faktor yang telah

diuraikan di atas, terdapat beberapa faktor lain

yang dapat memengaruhi pH saliva, salah

satunya yaitu jenis makanan yang dikonsumsi

seseorang. Jenis makanan yang dikonsumsi

sangat berpengaruh terhadap pH saliva. Jenis

makanan yang mengandung karbohidrat dapat

menyebabkan pH saliva menurun, karena

kandungan karbohidrat di dalam makanan

tersebut dapat difermentasi oleh bakteri

asidogenik, dan hasil fermentasi bakteri

tersebut berupa asam yang dapat menyebabkan

keadaan rongga mulut menjadi asam.

Diketahui bahwa masyarakat Lamreh memiliki

kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi

karbohidrat, yaitu nasi sebagai makanan

pokok. Selain faktor tersebut hipertensi secara

teoritis juga dapat mempengaruhi pH saliva.

Sebagaimana hasil penelitian Herponi (2012)18

yang menyatakan adanya penurunan pH saliva

secara signifikan pada pasien hipertensi.

Sejalan dengan hasil penelitian Setyanda

(2015) yang menyatakan ada hubungan erat

antara merokok dengan terjadinya hipertensi.3

Dari hasil penelitian ini didapatkan rerata pH

saliva perokok aktif sebesar 6,15 sedangkan

rerata pH saliva perokok pasif 6,81 (Gambar

3). Data tersebut menunjukkan bahwa pH

saliva perokok aktif lebih rendah dan memiliki

pH saliva yang bersifat asam jika

diperbandingkan dengan perokok pasif yang

memiliki pH saliva normal. Hal ini mungkin

disebabkan oleh perokok aktif yang menghirup

dua jenis asap rokok sekaligus yaitu asap

utama dan asap samping dari rokok. Artinya

perokok aktif lebih banyak menghirup nikotin

dibandingkan dengan perokok pasif yang

hanya menghirup asap samping dari perokok

aktif. Absorbsi nikotin yang terhirup masuk ke

dalam darah melalui paru-paru dengan cepat

Page 51: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112

111 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

dan efisien. Setelah masuk ke dalam paru-

paru, nikotin mengikuti proses sirkulasi darah

melalui bilik kiri jantung, kemudian nikotin

dipompa secara langsung ke otak dan bagian

tubuh lainnya. Konsentrasi nikotin yang tinggi

di pembuluh arteri diperoleh melalui inhalasi

asap rokok dan keseimbangan nikotin di antara

darah dan otak menghasilkan jumlah nikotin

yang tinggi di otak, dipengaruhi oleh otak dan

ganglion yang aktif mengumpulkan nikotin.19

Nikotin merupakan zat kimia yang dapat

meracuni saraf. Jika sistem kerja saraf

terganggu maka akan menyebabkan berbagai

perubahan, salah satunya perubahan saliva,

karena saliva merupakan salah satu cairan

yang disekresikan di bawah kontrol saraf.

Perubahan saliva yang terjadi dapat

mengurangi kuantitas dan kualitas dari

saliva.20

Berdasarkan usia, didapatkan 13 subjek

berusia 26-35 tahun memiliki pH saliva

bersifat asam sedangkan pada usia 36-45 tahun

terdapat 40 subjek memiliki pH saliva bersifat

asam (Gambar 4). Dari hasil data tersebut

dapat diperkirakan bahwa perubahan pH saliva

menjadi bersifat asam berdasarkan usia lebih

banyak terjadi pada usia 35-45 tahun

dibandingkan dengan usia 26-35 tahun.

Penemuan ini sesuai dengan hasil penelitian

Marasabessy (2012)21

yang meneliti perubahan

pH saliva berdasarkan usia, dan hasil

penelitiannya juga menyatakan terdapat

perubahan pH saliva, yaitu pH saliva menurun

seiring dengan bertambahnya usia.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa

pH saliva perokok aktif dan pasif bersifat

asam. Hal ini dapat berpengaruh buruk

terhadap kesehatan gigi dan mulut seperti

terjadinya karies akibat peningkatan

mikroorganisme asidogenik, akumulasi plak

yang lebih cepat akibat penurunan fungsi

saliva, serta jika keadaan ini berlanjut, akan

menimbulkan berbagai penyakit lainnya

seperti penyakit periodontal berupa gingivitis,

periodontitis, dan kehilangan gigi.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian pada

masyarakat desa Lamreh kecamatan Mesjid

Raya, Aceh Besar, disimpulkan bahwa pH

saliva yang bersifat asam ditemukan pada

semua perokok aktif, sedangkan pada perokok

pasif hanya 32,5% subjek yang memiliki pH

saliva bersifat asam.Kadar pH saliva normal

lebih banyak ditemukan pada perokok pasif,

sedangkan pada perokok aktif pH salivanya

tidak ada yang normal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djokja RM, Lampus BS, Mintjelungan C.

Gambaran perokok dan angka kejadian

lesi mukosa mulut di Desa Monsongan

Kecamatan Banggai Tengah. jurnal e-

GiGi (eG) 2013;1:38-44.

2. Ali Ghufron Mukti. Upaya Pengendalian

Tembakau di Indonesia. Dalam:

KomNasHAM dpWRH (ed). 2013

3. Setyanda YOG, Sulastri D, Lestari Y.

Hubungan merokok dengan kejadian

hipertensi pada laki-laki usia 35-65 tahun

di kota Padang. Jurnal Kesehatan

Andalas 2015; 4(2):434-440

4. Proverawati A, Rahmawati E. Perilaku

Hidup Bersih dan Sehat. Yogyakarta:

Nuha Medika; 2012.

5. Perdana DA, Waspada AEB. Kampanye

pencegahan perokok pasif pada anak-

anak. jurnal Tingkat Seni Rupa dan

Desain. 2014; 3(1):1-10.

6. Romli MI, Sukarya WS. Hubungan antara

perempuan perokok pasif dengang

gambaran hasil pemeriksaan pap smear di

Yayasan Kanker Indonesia Jawa Barat.

2011; 2(1):33-40.

7. Kusuma ARP. Pengaruh merokok

terhadap kesehatan gigi dan mulut.

Majalah Sultan Agung: World Class

Islamic Cyber University UNISULA;

2014.

8. Kanwar A, Sah K, Grover N, Chandra S,

Singh RR. Long-term effect of tobacco on

resting whole mouth salivary flow rate

and pH: An institutional based

comparative study. European Journal of

General Dentistry 2013; 2(1):296-299.

9. Tortora GJ. Principles of Anatomy and

Physiology.13th ed. Roesch B, editor:

John Wiley and Sons, United States of

Amerika; 2011.

10. Mubeen K, Chandrasherkar H, Kavitha

M, Nagarathna S. Effect of tobacco on

oral health an overview. Journal of

Evolution of Medical and Dental Sciences

2013; 2(20):3523-3534.

11. Singh M, Ingle Na, Kaur N, Yadav P, Indle

Ekta. Effect of Long-term Smoking on

Page 52: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 107-112

112 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Salivary Flow Rate and Salivary pH.

2015;13(1):11-13.

12. Ferragut JM, Cunha MR, Carvalho CA,

Ricardo, Isayama N, Caldeira EJ.

Epithelial-stroma interactions in salivary

glands of rats exposed to chronic passive

smoking. Journal Homepage. Brazil:

Elsevier Ltd.; 2010.

13. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kesehatan Kementrian RI. Riskesdas

2013.h.132

14. Ueno M, Ohara S, Sawada N, Inoe M,

Tsugane S, Kawaghuci Y. The association

of active and secondhand smoking with

oral health in adults: Japan Public Health

Center-based study. Journal Tobacco

Induced Diseases. 2015;13(1):1-9

15. Soesilo D, Santoso RE, Diyatri I. Peran

sorbitol dalam mempertahankan

kestabilan pH saliva pada proses

pencegahan karies. Maj Ked Gigi (Dental

J) 2005;38(1):25-8.

16. Cordry HV. Tobacco : a Reference

Handbook. Santa Barbara: ABC-CLIO

Inc., 2001.p.10.

17. Susanna D, Hartono B, Fauzan H.

Penentuan Kadar Nikotin dalam Asap

Rokok. Makara Kesehatan 2003;7(2):38-

41.

18. Herponi A. Perbedaan pH saliva antara

pasien hipertensi dan normotensi di

RSUD Simo Boyolali.(Skripsi).

Surakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Surakarta;

2012.

19. Mangan P. Applied Oral Physiology. 2nd

ed. BristoL: Butterworth and Co.; 1998.

20. Petrusic N, Posavac M, Sabol I, Stipetic

MM. The Effect of Tobacco Smoking On

Salivation, 2015.49(4):309-315.

21. Marasabessy FA. Hubungan volume dan

pH saliva pada lansia.Skripsi. Makassar:

Fakultas Kedokteran Gigi UNHAS; 2012.

Page 53: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120

113 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

APEKSIFIKASI DAN INTRACORONAL BLEACHING PADA GIGI

INSISIVUS SENTRAL KANAN MAKSILA

(Laporan Kasus)

APEXIFICATION AND INTRACORONAL BLEACHING ON

MAXILLARY RIGHT CENTRAL INCISOR

(Case Report)

Reni Nofika

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Andalas

Correspondence email to: [email protected]

Abstrak Trauma pada gigi permanen imatur akan mengganggu apeksogenesis sehingga apeks tetap terbuka

dan bisa terjadi diskolorasi jika gigi telah nekrosis. Kasus ini melaporkan perawatan pada gigi

nekrosis dengan apeks masih terbuka dan mengalami diskolorasi. Pasien laki-laki usia 22 tahun

datang ke klinik konservasi gigi RSGM Prof Soedomo FKG UGM karena gigi 1.1 atasnya patah di

usia 12 tahun akibat jatuh dan merasa gigi tersebut berubah warna. Pada pemeriksaan klinis gigi 1.1

fraktur pada sepertiga insisal distal melibatkan dentin dan mengalami diskolorasi. Tes perkusi dan

palpasi positif, tes termal negatif, dan tidak ada kegoyangan gigi. Pada radiograf periapeks terlihat

apeks terbuka dan radiolusensi di periapeks dengan batas difus. Diagnosisnya adalah nekrosis pulpa

dengan abses apikalis kronis disertai apeks terbuka dan diskolorasi intrinsik. Rencana perawatan

adalah apeksifikasi dilakukan dengan menempatkan bahan MTA pada ujung akar, dilanjutkan

prosedur intracoronal bleaching (walking bleach) dan direstorasi dengan resin komposit kelas IV

diperkuat dengan pasak fiber siap pakai. Evaluasi pasca restorasi menunjukkan tidak ada keluhan

sakit dan kondisi klinis baik. Kesimpulannya penutupan apeks menggunakan MTA dilanjutkan

dengan intracoronal bleaching pada kasus nekrosis pulpa dengan abses apikalis kronis disertai apeks

terbuka dan diskolorasi intrinsik menunjukkan kesuksesan.

Kata kunci: apeksifikasi, intracoronal bleaching, pasak fiber

Abstract Trauma to the immature permanent tooth can disturb process of apexogenesis which results in open

apex and tooth discoloration if the pulp is non vital. This case reported treatment of a non vital

discoloured tooth witth open apex. The 22 years old male patient came to clinic of conservative

denstistry RSGM Prof Soedomo FKG UGM because his 1.1 tooth was broken at the age of 12 years

due to fall and the tooth was change in color. Clinical examination showed that 1.1 was fractured on

incisal distal third involving the dentin and the toorh was discolourred. Percussion and palpation tests

were positive, thermal test was negative, and no tooth mobility. Radiograf showed open apex and

radiolucency with diffuse borders on the periapical tissue. The diagnosis was pulp necrosis with

chronic apical abscess with open apex and intrinsic discoloration. The treatment was root canal

treatment and apexification with MTA, followed by intracoronal bleaching (walking bleach) and

finally fiber reinforced resin composite restoration. Post-restoration evaluation showed no pain

complaints and good clinical conditions. In conclusion, apex closure using MTA was continued with

intracoronal bleaching in cases of pulp necrosis with chronic apical abscesses with open apex and

intrinsic discoloration suggesting success.

Keywords: apexification, fiber post, intracoronal bleaching

Page 54: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120

114 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUAN

Frekuensi pasien yang datang ke dokter

gigi dengan trauma pada gigi cukup tinggi

dengan insiden 1,5% sampai 2,8%. Trauma

tersebut biasanya terjadi karena jatuh,

kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan saat

berolahraga. Trauma pada gigi lebih sering

terjadi pada anak-anak usia 8 sampai 15 tahun.

Mayoritas trauma gigi mengenai gigi anterior.

Penyembuhan bergantung pada tahap

perkembangan akar, perluasan kerusakan

jaringan periodontium, dan efek kontaminasi

bakteri dari rongga mulut.1 Trauma dapat

menyebabkan nekrosis pulpa, pembentukan

akar tidak sempurna, atau resorpsi eksternal

sehingga menghasilkan akar yang pendek atau

tumpul dengan apeks terbuka.2 Pada apeks

yang terbuka tidak ada barrier yang menahan

material pengisi di ujung apeks saluran akar

sehingga material tersebut dapat masuk ke

dalam jaringan periapeks dan menyebabkan

trauma pada jaringan tersebut. Selain itu, tidak

adanya apical stop juga dapat menyebabkan

saluran tidak terisi penuh dan rentan terjadi

kebocoran.3

Penutupan apeks dapat dilakukan

dengan prosedur apeksifikasi agar terbentuk

barrier jaringan keras.

Penempatan apical

barrier menggunakan MTA merupakan

alternatif penggunaan kalsium hidroksida yang

memerlukan waktu lama, sehingga dapat

mengurangi waktu perawatan. Kerugian utama

prosedur apeksifikasi menggunakan kalsium

hidroksida adalah dinding akar yang tipis

dapat fraktur dan pembentukan barrier

terkalsifikasi biasanya porus dan bisa

mengandung sejumlah kecil jaringan lunak.

MTA mengandung partikel hidrofilik yang

terdiri dari tricalcium silicate, silicate oxide,

dan tricalcium oxide. Ketika serbuk MTA

dicampur dengan air steril maka akan

membentuk gel koloidal dan memiliki setting

time 3 sampai 4 jam pada keadaan lembap.

MTA memiliki tingkat kebocoran yang

rendah, sifat antibakteri yang lebih bagus,

adaptasi marginal tinggi, setting time yang

pendek (sekitar 4 jam), pH 12,5 dan lebih

biokompatibel.2

Trauma pada gigi juga dapat

menyebabkan terjadinya diskolorasi intrinsik.

Diskolorasi intrinsik dapat dirawat dengan

intracoronal bleaching.4

Bleaching merupakan prosedur untuk

pencerahan warna gigi melalui aplikasi bahan

kimia untuk mengoksidasi pigmen organik

pada gigi. Tujuan bleaching adalah

mengembalikan warna normal gigi dengan

deskolorisasi stain menggunakan bahan

oksidasi yang kuat.4,5

Bahan bleaching yang

sering digunakan pada intracoronal bleaching

adalah natrium perborat.3,4

Natrium perborat

lebih mudah dikontrol dan lebih aman

daripada larutan hidrogen peroksida.3,6

LAPORAN KASUS

Pasien laki-laki berusia 22 tahun datang

ke klinik Konservasi Gigi RSGM Prof.

Soedomo FKG UGM karena gigi depan kanan

atasnya (1.1) patah sejak kelas VI SD (sekitar

usia 12 tahun) akibat jatuh. Saat jatuh gigi

terasa sakit dan berubah posisi, lalu pasien

menggesernya sendiri. Sekitar 1 minggu

sebelum datang ke RSGM gigi terasa ngilu

kalau ditekan. Pasien juga merasa gigi tersebut

warnanya berbeda dengan gigi sebelahnya.

Hasil pemeriksaan klinis pada gigi ini

mengungkapkan adanya fraktur pada sepertiga

insisal distal melibatkan dentin dan terlihat

berubah warna. Tes perkusi dan palpasi positif,

tes vitalitas negatif, dan tidak ada kegoyangan

gigi. Pada radiograf periapeks gigi ini terlihat

fraktur pada 1/3 mahkota gigi, saluran akar

yang relatif lebar dan radiolusensi dengan

batas difus di daerah periapeks Gambaran

radiograf panoramik pasien menunjukkan gigi

geligi lengkap, gambaran radiopak pada

mahkota gigi 46, dan impaksi gigi 38.

G

ambar 1. A. Gambaran klinis gigi 11 sebelum

perawatan, B. Radiograf periapeks praoperatif, C.

Radiograf panoramik.

Berdasarkan pemeriksaan klinis dan

hasil radiografis, diagnosis pada gigi 11 adalah

B A

C

Page 55: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120

115 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

fraktur Ellis kelas 4 dengan apeks terbuka dan

lesi periapeks disertai diskolorasi intrinsik.

Rencana perawatan adalah apeksifikasi dan

intracoronal bleaching dilanjutkan dengan

restorasi resin komposit kelas IV disertai pasak

fiber siap pakai (prefabricated).

Pada kunjungan pertama setelah

dilakukan pengukuran panjang kerja estimasi

menggunakan radiograf, gigi diisolasi dengan

isolator karet (rubber dam) (Osung). Akses

kavitas dimulai dengan menggunakan bur

metal bulat (MI stainless bur, Mani) sampai

menembus atap pulpa, kemudian dilanjutkan

dengan non end cutting fissure bur

(Diamendo, Denstply) untuk mengangkat

semua atap pulpa. Kemudian, dilakukan

eksplorasi menggunakan pathfinder

(SybronEndo) dan debridement menggunakan

barbed broach (Denstply), dilanjutkan dengan

irigasi saluran akar menggunakan NaOCl 2,5%

dan salin. Panjang kerja ditentukan dengan

menggunakan apex locator (Dentaport ZX,

Morita) dan dikonfirmasi dengan radiograf

periapeks dengan K-file #20 (Dentsply

Maillefer, Switzerland) dalam saluran akar,

diperoleh 21 mm. Preparasi saluran akar

dilakukan dengan teknik konvensional dengan

irigasi setiap pergantian file menggunakan

NaOCl dan salin. Setelah preparasi selesai,

saluran akar diirigasi dengan larutan NaOCl,

salin, dan EDTA 17% (Smear Clear, Sybron

Endo). Saluran akar dikeringkan kemudian

kalsium hidroksida digunakan sebagai

medikamen intrakanal. Kavitas ditumpat

dengan tumpatan sementara (Caviton, GC).

Gambar 2. Radiograf periapeks pengukuran

panjang kerja gigi 11.

Pada kunjungan kedua, yaitu dua

minggu setelah kunjungan pertama, pasien

tidak mengeluhkan sakit. Pada pemeriksaan

klinis terlihat tumpatan sementara masih baik,

perkusi positif, palpasi negatif, dan tidak ada

kegoyangan gigi. Gigi diisolasi dengan isolator

karet, tumpatan sementara dibongkar,

dilanjutkan dengan irigasi yang berulang-ulang

menggunakan NaOCl untuk mengeluarkan dan

membersihkan kalsium hidroksida yang

terdapat di dalam saluran akar. Digunakan juga

endoactivator (Dentsply, Maillefer) untuk

membantu menghilangkan sisa kalsium

hidroksida. Saluran akar dikeringkan dengan

paper point. Mineral trioxide agregate

(ProRoot MTA, Dentsply) diaplikasikan

sebagai bahan apeksifikasi dengan panjang

sekitar 4 mm pada bagian apeks saluran akar.

MTA yang sudah dimasukkan ditekan secara

ringan dengan menggunakan hand plugger

yang diberi rubber stoper. Kemudian kapas

lembap diletakkan di atas MTA, dan

ditinggalkan minimal 4-6 jam agar membantu

proses setting MTA sempurna. Kavitas

ditumpat dengan tumpatan sementara

(Caviton, GC), kemudian dibuat radiograf

periapeks. untuk konfirmasi panjang MTA

pada apeks saluran akar.

Gambar 3.A. Foto klinis yang menunjukkan

pemasangan isolator karet sebelum aplikasi MTA,

3B. Radiograf periapeks gigi 11 menunjukkan

gambaran radiopak (MTA) ujung saluran akar.

Pada kunjungan ketiga, yaitu dua hari

setelah kunjungan kedua, dilakukan obturasi

saluran akar dengan teknik kondensasi lateral

menggunakan gutapercca dan siler resin

(TopSeal, Dentsply), dilanjutkan dengan

aplikasi resin modified glass ionomer cement

(GC) sebagai basis dan ditumpat sementara

menggunakan Caviton. Hasil obturasi dicek

menggunakan radiograf periapeks.

Gambar 4. Radiograf periapeks gigi pasca obturasi.

A B

Page 56: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120

116 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Kontrol pasca obturasi saluran akar

dilakukan pada kunjungan keempat. Pasien

tidak mengeluhkan adanya rasa sakit. Pada

pemeriksaan klinis terlihat tumpatan sementara

masih baik, perkusi dan palpasi negatif, dan

tidak ada kegoyangan gigi. Pada radiograf

periapeks terlihat saluran akar telah diobturasi

dengan hermetis dan terlihat perbaikan pada

lesi periapeks. Pada kunjungan ini dilakukan

aplikasi bahan bleaching berupa natrium

perborat pada kavitas di mahkota, kemudian di

atas pasta bleaching diletakkan kapas kecil dan

ditumpat sementara dengan Caviton.

Gambar 5. Radiograf periapeks gigi 11 saat kontrol

pasca obturasi.

Pada kunjungan kelima, yaitu 5 hari

setelah kunjungan keempat, warna gigi masih

belum sama dengan gigi kontralateral,

sehingga dilakukan aplikasi ulang bahan

bleaching. Pada kunjungan keenam yaitu 6

hari setelah kunjungan kelima warna gigi

sudah sama dengan gigi kontralateral.

Tindakan selanjutnya adalah area kerja

diisolasi menggunakan isolator karet,

tumpatan sementara dibongkar, dan kapas

serta pasta bleaching dikeluarkan. Setelah itu,

kavitas dibersihkan dari sisa pasta bleaching

dengan irigasi menggunakan air hangat secara

berulang-ulang, kemudian dikeringkan dengan

pelet kapas Akhirnya, kavitas ditutup dengan

kapas kecil dan ditumpat sementara. Pasien

diinstruksikan datang kembali dua minggu

kemudian untuk melanjutkan perawatan.

Gambar 6. Foto klinis gigi 11. A. Sebelum

prosedur bleaching B. Setelah prosedur

bleaching.

Pada kunjungan ketujuh dilakukan

restorasi resin komposit disertai sementasi

pasak fiber siap pakai. Setelah tumpatan

sementara dibongkar, tentukan warna gigi dengan

menggunakan shade guide (Vitapan Classic).

Selanjutnya dilakukan preparasi pada kavitas di

palatal dan pada bagian fraktur 1/3 insisal.

Setelah panjang kerja pasak diperoleh,

gutaperca diambil dengan menggunakan gates

glidden, peeso reamer dan terakhir dengan

precision drill untuk pasak fiber (Fiberpost,

Dentsply) cincin hijau (nomor 4). Sisa siler

yang terdapat di dinding saluran akar

dibersihkan dengan Hedstrom file (Denstply).

Kemudian saluran akar diirigasi dengan salin.

Hasil preparasi saluran pasak dikonfirmasi

dengan radiograf periapeks.

Gambar 7. Radiograf periapeks pengambilan guta

perca pada gigi 11.

Pasak fiber disemenkan ke dalam

saluran pasak menggunakan semen resin.

Pasak tersebut diolesi silane (Ceramic primer,

3M ESPE) dan dibiarkan mengering.

Permukaan yang telah dipreparasi serta saluran

pasak dietsa dengan asam fosfat 37% (Denfil

Etchant-37) kemudian dilanjutkan dengan

aplikasi bahan bonding. Semen resin (Build IT-

FR, Pentron) dimasukkan ke dalam saluran

pasak menggunakan lentulo (Denstply).

Selanjutnya pasak fiber dioles dengan semen

resin dan segera dimasukkan ke dalam saluran

pasak, kemudian ditahan sampai semen resin

mulai mengeras dilanjutkan dengan

penyinaran dengan light curing unit. Restorasi

gigi diselesaikan dengan menggunakan resin

komposit packable. Pengambilan radiograf

dilakukan pasca sementasi pasak fiber dan

restorasi resin komposit. Satu minggu

setelahnya pasien datang untuk kontrol. Tidak

ada keluhan pada pasien dan tidak ada

kelainan pada pemeriksaan klinis. Selanjutnya

pasien diintruksikan untuk kontrol 1 bulan

kemudian dan pasien diberikan edukasi untuk

A B

Page 57: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120

117 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

selalu menjaga kebersihan rongga mulut dan

kontrol rutin ke dokter gigi.

Gambar 8. Setelah sementasi pasak fiber siap

pakaidan restorasi resin komposit kelas IV pada

gigi 11, A dan B. Foto klinis, C. Radiograf

periapeks

PEMBAHASAN

Apeks terbuka terjadi pada proses

perkembangan akar gigi imatur sampai

penutupan apeks selesai, yaitu sekitar 3 tahun

setelah gigi erupsi. Jika tidak terdapat penyakit

pulpa dan penyakit periapeks maka apeks

terbuka tersebut adalah normal, namun jika

pulpa menjadi nekrosis sebelum pertumbuhan

akar selesai, maka pembentukan dentin dan

perkembangan akar berhenti sehingga apeks

tetap terbuka. Hal ini menyebabkan akar

menjadi pendek dan tipis sehingga dinding

dentin saluran akar lemah. Apeks terbuka juga

bisa terjadi karena hasil resopsi ekstensif pada

apeks yang matur setelah perawatan ortodonsia

atau inflamasi periapeks yang parah.6 Pada

apeks yang terbuka tidak ada barrier yang

menahan material pengisi di ujung apeks

saluran akar sehingga material pengisi dapat

masuk ke dalam jaringan periapeks dan

menyebabkan trauma pada jaringan tersebut.

Tidak adanya apical stop juga dapat

menyebabkan saluran tidak terisi penuh dan

rentan terjadi kebocoran.3

Bergantung pada

vitalitas pulpa, dua pendekatan perawatan

yang dapat dilakukan pada kasus apeks

terbuka adalah apeksogenesis (terapi pulpa

vital) atau apeksifikasi (penutupan ujung

apeks).6 Pada kasus ini gigi permanen

mengalami nekrosis dengan apeks terbuka

pasca trauma, sehingga dilakukan perawatan

apeksifikasi menggunakan MTA. Apeksifikasi

merupakan suatu proses pembentukan barrier

jaringan keras pada ujung akar. Kalsium

hidroksida telah lama digunakan untuk proses

ini, dengan durasi waktu yang terlalu lama

yaitu 12 bulan sampai 24 bulan.2 Waktu yang

lama ini menyebabkan pasien memerlukan

waktu yang cukup lama dengan beberapa kali

kunjungan perawatan dan gigi bisa mengalami

fraktur selama perawatan.6 Barrier yang

terbentuk pada apeksifikasi dengan kalsium

hidroksida tidak sempurna, mempunyai

tampilan swiss cheese dan dapat menyebabkan

kebocoran mikro di apeks sehingga terjadi

reinfeksi. Untuk mengatasi kerugian

penggunaan kalsium hidroksida sebagai

material sealing, maka diperkenalkan dan

digunakanlah MTA sebagai one visit

apexification.2 MTA telah digunakan untuk

membuat barrier jaringan keras dengan cepat

setelah prosedur disinfeksi saluran akar pada

kasus dengan apeks terbuka.3

Material ini

memiliki biokompatibilitas yang bagus dan

kemampuan penutupan yang baik, serta

memiliki pH yang tinggi yang memberikan

sifat antimikroba.6

MTA merupakan salah satu material

yang efektif untuk menutup hubungan

iatrogenik dan patologik antara ruang

endodonsia dan ruang periodontium. Ketika

berkontak dengan jaringan periradikular, MTA

mempunyai kemampuan menginduksi

sementum. MTA menstimulasi produksi

interleukim dan sitokin, sehingga

menghasilkan pembentukan jaringan keras.

MTA plug pada bagian apeks akar mendukung

perbaikan apeks dan mencegah overfilling

saluran akar dan meningkatkan resistensi

fraktur pada gigi imatur.2 MTA mengandung

tricalcium silicate, dicalcium alumino ferrite,

calcium sulphate dan bismuth oxide. Secara

kimia MTA identik dengan semen Portland

kecuali adanya kandungan bismuth oxide yang

meningkatkan radiopasitas dan memodifikasi

reaksi setting MTA. MTA merupakan material

alkali yang mengeras ketika terpajan pada air.

Reaksi setting melibatkan fase hidrasi awal

dengan kelembapan permukaan partikel

dengan larutan dari kalsium sulfat. Kristal dari

calcium aluminium sulphate hydroxide yang

terhidrasi (ettringite) terbentuk pada

permukaan partikel clinker melalu interaksi

dengan tricalcium aluminate. Fase akhir dari

setting ditandai dengan pembentukan kristal

calcium silicate hydrate sepanjang kristal

Page 58: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120

118 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

ettringite yang membentuk massa yang padat.7

Serbuk MTA dicampur dengan air steril dan

ditempatkan 3 sampai 4 mm pada ujung

apeks.3 Pelet kapas lembap ditempatkan di atas

MTA dan ditinggal minimal 6 jam untuk

membantu proses pengerasan, kemudian

ditutup dengan tumpatan sementara.3,6

Radiograf dibuat untuk mengkorfirmasi bahwa

ujung akar telah terisi dengan MTA.6 Setelah

MTA mengeras, keseluruhan saluran akar

dapat diisi dengan material pengisi.3 Pasien

diinstruksikan untuk datang kembali ketika

MTA telah mengeras untuk obturasi dan

pembuatan restorasi permanen.6 Prosedur

aplikasi MTA tersebut adalah prosedur yang

telah dilakukan pada kasus ini.

Pada kasus ini juga terjadi diskolorasi

gigi. Diskolorasi gigi merupakan perubahan

pada warna atau translusensi gigi yang terjadi

karena suatu penyebab.3 Diskolorasi gigi bisa

bermacam-macam sesuai dengan etiologi,

warna, lokasi, keparahan, dan pelekatan pada

struktur gigi. Diskolorasi gigi diklasifikan

menjadi diskolorasi ekstrinsik dan intrinsik.4,8

Diskolorasi intrinsik terjadi karena adanya

material kromogenik pada email atau dentin

yang masuk baik selama odontogenesis

ataupun setelah erupsi gigi. Diskolorasi

intrinsik yang terjadi setelah erupsi gigi

disebabkan oleh nekrosis pulpa, trauma,

hiperkalsifikasi dentin, karies gigi, material

tumpatan dan prosedur perawatan gigi,

penuaan, serta perubahan fungsional dan

parafungsional.4,5

Pada kasus ini, diskolorasi

terjadi karena nekrosis pulpa atau karena

trauma pada gigi saat pasien jatuh. Nekrosis

pulpa biasanya terjadi karena bakteri, iritasi

mekanis atau iritasi kimia pada pulpa. Produk

nekrosis pulpa ini masuk ke tubulus dentin dan

menyebabkan diskolorasi. Sedangkan pada

kasus trauma gigi, trauma tersebut

menyebabkan perubahan degeneratif pada

pulpa dan email yang dapat mengubah warna

gigi tersebut. Pendarahan pulpa menghasilkan

diskolorasi keabu-abuan. Trauma pada gigi

menyebabkan lisis sel darah merah dan

melepaskan feri sulfida yang masuk ke dalam

tubulus dentin dan mengubah warna gigi.4

Diskolorasi gigi dapat dirawat dengan

pembuatan restorasi vinir, mahkota penuh,

mikroabrasi, makroabrasi, serta bleaching.

Bleaching sering menjadi pilihan perawatan

karena bersifat lebih konservatif, sederhana,

murah dan menghasilkan estetis yang baik jika

mengikuti petunjuk pabrik.6,9,10

Bleaching

merupakan prosedur pencerahan warna gigi

melalui aplikasi bahan kimia untuk

mengoksidasi pigmen organik pada gigi.

Tujuan bleaching adalah mengembalikan

warna normal gigi dengan deskolorisasi stain

menggunakan bahan oksidasi yang sangat

kuat.4,5

Mekanisme bleaching terutama

dihubungkan dengan degradasi molekul

organik kompleks yang mempunyai berat

molekul tinggi, memantulkan cahaya dengan

panjang gelombang spesifik, yang berperan

terhadap warna stain yang terjadi. Degradasi

tersebut menghasilkan molekul dengan berat

molekul rendah dan tersusun dari molekul

yang kurang kompleks, merefleksikan sedikit

cahaya, sehingga mengurangi atau

menghilangkan diskolorasi.4

Teknik bleaching yang digunakan pada

kasus diskolorasi intrinsik adalah intracoronal

bleaching (bleaching pada gigi nonvital).4

Metode yang digunakan pada intracoronal

bleaching adalah teknik termokatalitik dan

teknik walking bleach.6 Teknik walking bleach

merupakan salah satu metode yang biasa

digunakan untuk memutihkan gigi nonvital

atau yang sudah dilakukan perawatan saluran

akar.6 Teknik ini dilakukan dengan cara

aplikasi bahan bleaching pada kamar pulpa

selama beberapa hari.11

Teknik walking bleach

lebih sering digunakan karena lebih nyaman,

dan lebih aman untuk pasien daripada teknik

termokatalitik.6

Natrium perborat (NaBO3)

merupakan bahan bleaching yang banyak

digunakan untuk bleaching intrakoronal.3,4

Natrium perborat tersedia dalam bentuk

bubuk kering yang stabil atau dalam bentuk

gel.3 Natrium perborat masih baru

mengandung perborat 95% dan oksigen

9,9%.3,6

Bahan ini terutama terdiri dari tiga

tipe yaitu natrium perborat monohidrat,

trihidrat, dan tetrahidrat. Ketiga tipe tersebut

mempunyai kandungan oksigen berbeda yang

menentukan kemampuan pemutihannya.3,4,6

Asam, air, dan udara hangat akan memulai

dekomposisi natrium perborat menjadi natrium

metaborat, hidrogen peroksida, dan oksigen

nascent.3 Natrium perborat lebih mudah

dikontrol dan lebih aman daripada larutan

hidrogen peroksida.3,6

Pada kasus ini dengan

intracoronal bleaching teknik bleach

menggunakan bahan natrium perborat.

Page 59: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120

119 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Restorasi permanen harus dilakukan

setelah bleaching untuk mencegah kebocoran

mikro.9 Restorasi permanen yang baik

merupakan salah satu dasar kesuksesan jangka

panjang karena dapat mencegah kebocoran

mikro koronal dari kavitas akses dan

mencegah risiko diskolorasi terulang kembali

melalui tubulus dentin yang terbuka.

Umumnya resin komposit dapat menjadi

pilihan material tumpatan yang hasilnya

memuaskan.3 Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa diperlukan waktu 24 jam,

1 minggu, 2 minggu atau bahkan 3 minggu

sebelum prosedur adesif dilakukan.9,12

Jika

prosedur bleaching segera diikuti dengan

restorasi adhesif (seperti restorasi dengan resin

komposit) maka hubungan pelekatan pada

struktur gigi dapat terganggu sehingga

menghasilkan kebocoran atau menyebabkan

pembentukan resin tag yang lebih sedikit,

lebih pendek, dan bentuk yang tidak bagus,

karena terhambatnya polimerisasi resin.13

Pada

kasus ini, restorasi resin komposit dilakukan 2

minggu pasca bleaching, agar pelekatan resin

komposit ke struktur gigi tidak terganggu

karena adanya sisa bahan bleaching.

Restorasi permanen yang segera

dilakukan pada gigi pasca perawatan saluran

akar dapat meningkatkan prognosis karena

lebih dapat melindungi gigi dari kemungkinan

fraktur atau kebocoran mahkota.6

Gigi pasca

perawatan saluran akar perlu direstorasi untuk

memberikan coronal seal, mengembalikan

fungsi gigi, dan melindungi sisa gigi dari

fraktur.14

Banyak metode yang sedang

dikembangkan terhadap restorasi pada gigi

pasca perawatan saluran akar yang

dihubungkan dengan teknik adesif.15

Pada

kasus ini gigi direstorasi dengan resin

komposit yang diperkuat dengan pasak fiber.

Pasak fiber bersifat fleksibel di bawah tekanan

dan dapat mendistribusikan tekanan tersebut

dengan baik di antara pasak dan dentin. Selain

itu, pasak fiber silika bersifat tranlusen

sehingga menghasilkan estetik yang baik.16

SIMPULAN

Trauma dapat menyebabkan nekrosis

pulpa, abses apikalis, apeks terbuka dan

diskolorasi intrinsik. Rencana perawatan

disusun dengan tepat agar gigi dapat kembali

berfungsi dan tidak mengganggu estetik

pasien. Penutupan apeks menggunakan MTA

dilanjutkan dengan intracoronal bleaching

menunjukkan kesuksesan pada kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Soares AJ, Souza GA, Pereira AC, Neto

JV, Zaia AA at al. Frequency of root

resorption following trauma to permanent

teeth. Journal of Oral Science 2015; 57

(2): 73-78.

2. Kakani AK, Chandrasekhar V, Muralidhar

T, Chandrakanth M, Rakesh D. Mineral

Trioxide Aggregate as an Apical Plug

Material in Tooth with Open Apex: A

Case Report. International Journal of

Scientific Study 2015; 2 (11): 218-221.

3. Lin LM, Huang GTJ. Pathobiology of

Apical Periodontitis. Dalam: Hargreaves

KM, Berman LH (Eds). Cohen’s Pathways

of the Pulp, 11th ed. St. Louis: Elsevier.

2011: 630-632

4. Garg N, Garg A. Textbook of Endodontics,

3rd

ed. New Delhi: Jaypee Brothers

Medical Publishers. 2014: 492-497.

5. Chandra BS, Krishna V.G. Grossman’s

Endodontic Practice, 12th ed. New Delhi:

Lippincott. 2010: 342-348.

6. Torabinejad M, Walton RE. Endodontics

Principles and Practice, 4th ed. St. Louis:

Sauders. 2009: 22, 29-32, 391-398.

7. McCabe JF, Walls AWG. Applied Dental

Material, 9th ed. Oxford: Blackwell

Publishing Ltd. 2011: 293-294.

8. Perchyonok VT, Grobler SR. Tooth-

bleaching: Mechanism, Biological Aspects

and Antioxidants. International Journal of

Dentistry and Oral Health 2015; 1-5.

9. Freire A, Durski MT, Ingberman M,

Nakao LS, Souza EM, Vieira S. Assessing

the use of 35 percent sodium ascorbate for

removal of residual hydrogen peroxide

after in-office tooth bleaching. J Am Dent

Assoc 2011; 142 (7): 836-842.

10. Solomon AV, Byragoni C, Jain A, Juvvadi

Y, Babu R. An In Vitro Evaluation of

Microhardness of Different Direct Resin-

Based Restorative Materials on Using 10%

Carbamide Peroxide Gel as a Bleaching

Agent. Journal of Oral Research and

Review 2016; 8(2): 59-64.

11. Rokaya ME, Beshr K, Mahram AH, Pedir

SS, Baroudi K. Evaluation of

Extraradicular Diffusion of Hydrogen

Peroxide during Intracoronal Bleaching

Page 60: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 113-120

120 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Using Different Bleaching Agents.

International Journal of Dentistry 2015: 1-

7

12. Murad CG, de Andrade SN, Disconzi LR,

Munchow EA, Piva E, at al. Influence of

10% Sodium Ascorbate Gel Application

Time on Composite Bond Strength to

Bleached Bnamel. Acta Biomaterialia

Odontologica Scandinavica 2016; 2:49-54

13. Briso ALF, Toseto RM, Rahal V, Santos

PH, Ambrosano GMB. Effect of Sodium

Ascorbate on Tag Formation in Bleached

Enamel. J Adhes Dent. 2012; 14: 19-23.

14. Qualtrough AJE, Satterthwaite JD,

Morrow LA, Brunton PA. Principles of

Operative Dentistry. Munksgaard:

Blackwell. 2005; 93.

15. Chong BS. Harty’s Endodontics in

Clinical Practice, 6th ed. Edinburg,

London, New York, Oxford: Churchill

Livingstone Elsevier. 2010; 269-270.

16. Bateman G, Ricketts DNJ, Sauders WP.

Fibre-based Post Systems: a Review. Br

Dent J 2003; 195 (1): 43-48.

Page 61: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128

121 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PERBANDINGAN TINGKAT KEBOCORAN MIKRO ANTARA RESIN

KOMPOSIT DAN GLASS IONOMER CEMENT SEBAGAI BAHAN

PENUTUPAN FISURA

(EVALUASI IN-VITRO SETELAH SATU BULAN APLIKASI)

COMPARISON OF MICROLEAKAGE BETWEEN COMPOSITE RESIN

AND GLASS IONOMER CEMENT (GIC) AS FISSURE SEALANT

MATERIAL THROUGH IN VITRO

(IN-VITRO EVALUATION AFTER ONE MONTH APPLICATION)

Iin Sundari, Viona Diansari, Eka Julianti

Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Correspondence email to: [email protected]

ABSTRAK

Penutupan fisura merupakan metode pencegahan non-invasif yang efektif pada permukaaan gigi

dengan pit dan fisura yang dalam dan sempit untuk mencegah terjadinya karies. Bahan penutupan

fisura yang sering digunakan adalah resin komposit dan Glass Ionomer Cement (GIC). Penelitian ini

bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang perbandingan tingkat kebocoran mikro antara resin

komposit dan GIC sebagai bahan penutupan fisura melalui evaluasi in vitro setelah satu bulan

aplikasi. Spesimen penelitian berjumlah 16 gigi premolar rahang atas dengan pit dan fisura yang

dalam dan sempit. Spesimen ini dikelompokkan menjadi 2 kelompok perlakuan. Kelompok pertama

menggunakan resin komposit (3M ESPE Clinpro) dan kelompok kedua menggunakan GIC (Fuji VII).

Spesimen dilakukan pengkondisian selama satu bulan didalam inkubator dan direndam dalam larutan

methilene blue 5% selama 24 jam. Spesimen kemudian diamati dengan menggunakan stereo

mikroskop dan diukur tingkat kebocorannya. Skor kebocoran mikro menggunakan penetrasi dye

dengan tiga kriteria skor yaitu 0, 1, dan 2. Data dianalisis menggunakan statistik nonparametrik (uji

Mann Whitney). Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan skor kebocoran mikro yang

signifikan antara bahan penutupan fisura resin komposit dan GIC (p<0,05). Kelompok penutupan

fisura dengan resin komposit memiliki rerata skor kebocoran mikro lebih kecil (0,25) dibandingkan

kelompok penutupan fisura dengan GIC (1,875) setelah penutupan fisura satu bulan.

Kata Kunci : Penutupan fisura, resin komposit, GIC.

ABSTRACT

Fissure sealant is non-invasive method of prevention which effective of a tooth that has pits and

fissures of teeth deep and narrow to prevent dental caries. Fissure sealant materials used are

composite resin material and GIC. Purpose of this study was to obtain information about comparison

of microleakage between composite resin and glass ionomer cement (GIC) as fissure sealant material

through in vitro evaluation after one month application. Specimens were 16 maxillary premolars with

deep and narrow pits and fissures. Specimens divided into two treatment groups. First group uses

composite resin (3M ESPE Clinpro) and second group uses GIC (Fuji VII). Specimens were

conditioning for one month in incubator and immersed in 5% methylene blue solution for 24 hours.

Specimens research observed using stereo microscope and measured levels of microleakage. Scores

microleakage using dye penetration with three criteria score was 0, 1, and 2. Data analyzed using

nonparametric statistics (Mann Whitney test). Analysis results showed that significant difference

scores between the microleakage of fissure sealant material composite resin and GIC (p <0.05). Group

fissure sealant with composite resin had a smaller mean score of microleakage (0.25) compared with

group fissure sealant with GIC (1.875) after sealant fissure for one month.

Keywords: fissures sealant, composite resin, GIC.

Page 62: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128

122 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

LATAR BELAKANG

Penelitian Kristina G (2015)

menyatakan bahwa karies pada permukaan

oklusal mencapai 90%.1 Karies permukaan

oklusal yang tinggi dihubungkan dengan

morfologi pit dan fisura gigi yang dalam dan

sempit karena dapat menjadi tempat retensi

sisa makanan dan bakteri serta sulit untuk

dilakukan tindakan pemeliharaan kebersihan.2,3

Bentuk dan morfologi pit dan fisura gigi yang

dalam dan sempit juga dapat menyebabkan

menurunnya akses saliva ke dalam pit dan

fisura sehingga proses remineralisasi pada pit

dan fisura menurun.4,5

Menurunnya akses

saliva ke dalam pit dan fisura dapat menjadi

faktor predisposisi karies pada area tersebut

sehingga membutuhkan tindakan pencegahan.5

Tindakan pencegahan karies pada area

pit dan fisura adalah penutupan fisura.2

Penutupan fisura sangat direkomendasikan

karena mempunyai kemampuan untuk

membentuk lapisan pelindung fisik dan dapat

mencegah terjadinya akumulasi plak pada pit

dan fisura gigi serta menghambat pertumbuhan

mikroorganisme kariogenik.5,6

Bahan yang ideal untuk penutupan

fisura harus memiliki kemampuan retensi dan

resistensi yang baik pada permukaan gigi,

biokompatibilitas yang baik, metode aplikasi

yang sederhana dan viskositas yang rendah

untuk mendapatkan penetrasi lebih baik pada

pit dan fisura gigi yang dalam dan sempit serta

tingkat kelarutan yang rendah dalam rongga

mulut.7-8

Bahan penutupan fisura yang paling

sering digunakan adalah sealant berbasis resin

dengan komposisi utama bisphenol A-glycidyl

methacrylate (bis-GMA) dan Glass Ionomer

Cement (GIC).7

Keberhasilan teknik penutupan fisura

tergantung pada cara mendapatkan dan

mempertahankan adaptasi bahan penutupan

fisura terhadap permukaan gigi seperti

penutupan bagian tepi.9

Penutupan yang

kurang baik dapat menyebabkan kebocoran

mikro melalui permukaan di antara bahan

penutup fisura dan gigi sehingga dapat

menyebabkan terjadinya karies di bawah

restorasi dan terjadi kegagalan perawatan.8,9

Penelitian sebelumnya yang dilakukan

Jayadi (2015) mengenai evaluasi in-vitro

kebocoran mikro pada bahan penutupan fisura

berbasis resin komposit dan GIC,

menunjukkan bahwa skor kebocoran mikro

bahan penutupan fisura GIC lebih tinggi

dibandingkan dengan resin komposit setelah

aplikasi selama 24 jam, resin komposit

memiliki rerata skor kebocoran mikro lebih

kecil yaitu 0,13 sedangkan kelompok

penutupan fisura dengan GIC memiliki rerata

skor kebocoran mikro lebih besar yaitu 1,63.10

Proses maturasi GIC terjadi setelah 24 jam,

namun peningkatan kekuatan ikatan dan

modulus young’s berlanjut selama beberapa

bulan karena terjadi difusi kation menuju

lokasi asam. Peningkatan nilai kekuatan ikatan

GIC setelah satu bulan diperkirakan dapat

menurunkan nilai kebocoran mikro.11

Penelitian Baygin dkk, (2011) menyatakan

bahwa terdapat hasil kebocoran mikro yang

signifikan pada resin komposit dengan

menggunakan berbagai surface treatment

setelah satu bulan.12

Berdasarkan uraian di atas, maka

penulis tertarik untuk meneliti perbandingan

tingkat kebocoran mikro antara resin komposit

dan GIC sebagai bahan penutupan fisura

setelah satu bulan pengkondisian di dalam

inkubator pada temperatur 370C.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat eksperimental

laboratoris dengan metode Post-test Only

Design yang dilakukan di ruang Skill’s

Laboratorium Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Syiah Kuala dan Laboratorium

FKIP Biologi Universitas Syiah Kuala pada

bulan September 2016. Spesimen yang

digunakan adalah gigi premolar rahang atas

yang memenuhi kriteria yaitu gigi premolar

rahang atas yang memiliki pit dan fisura

dalam dan sempit serta tidak terdapat karies.13

Gigi kemudian direndam dalam larutan saline

sampai saat dilakukan penelitian. Jumlah

spesimen penelitian dihitung dengan

menggunakan rumus Eksperimental

Laboratoris menurut Federer. Spesimen

berjumlah 16 gigi yang dibagi menjadi dua

kelompok yaitu kelompok 1 (resin komposit)

dan kelompok 2 (GIC) dengan masing-masing

kelompok terdiri dari 8 gigi.

Gigi premolar rahang atas dibersihkan

dengan air dan direndam dalam larutan saline.

Gigi kemudian diperiksa dengan menggunakan

sonde untuk menentukan kedalaman pit dan

fisuranya. Gigi yang memiliki pit dan fisura

yang dangkal dan lebar tidak akan menyangkut

Page 63: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128

123 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

apabila sonde dijalankan disepanjang pit dan

fisura gigi, namun pada gigi yang memiliki pit

dan fisura gigi yang dalam dan sempit sonde

akan menyangkut saat dijalankan.

Gigi kemudian dibersihkan dengan

polishing brush low speed. Gigi dibagi

menjadi dua kelompok dengan 8 gigi pada tiap

kelompoknya. Kelompok 1 diaplikasikan

bahan penutupan fisura resin komposit. Gigi

dietsa dengan menggunakan asam phosphat

37% selama 20 detik.1,14

Gigi yang telah dietsa

selanjutnya dibersihkan dengan menggunakan

semprotan air dan dikeringkan dengan

menggunakan semprotan angin selama 10

detik.28

Gigi yang telah bersih kemudian

diaplikasikan resin komposit dan disinari

selama 20 detik dengan alat curing.1,15

Kelompok 2 diaplikasikan bahan

penutupan fisura GIC. Gigi diberi aplikasi

dentin conditioner (polyacrilic acid 10%) dan

dibiarkan selama 20 detik.1,16

Gigi yang telah

diaplikasikan dentin conditioner dibersihkan

dengan semprotan air dan dikeringkan dengan

kapas selama 20 detik.17

Bahan GIC dengan

merek Fuji VII dimanipulasi pada paper pad

yang diletakkan diatas mixing slab dengan

komposisi pengadukan powder dan liquid 1:1

selama 25 detik, waktu kerja selama 2 menit

10 detik dan waktu pengerasan selama 3

menit. Bahan GIC diaplikasikan menggunakan

semen spatula plastik, lalu dioleskan selapis

tipis GC Fuji varnish.12,16

Gigi yang telah diaplikasikan bahan

penutupan fisura diletakkan dalam wadah

plastik diatas kapas basah dan disimpan dalam

inkubator selama satu bulan pada suhu 37oC

dipertahankan kelembabannya agar tetap

seperti keadaan dalam rongga mulut.

Kelembaban dapat dijaga dengan

mempertahankan keadaan kapas agar tetap

dalam keadaan basah. Kapas basah diganti

pada hari ke-15. Isolasi daerah kerja dilakukan

setelah satu bulan pengkondisian spesimen

dalam inkubator pada suhu 370C. Gigi diisolasi

dengan cara diolesi varnish kuku diseluruh

permukaan gigi kecuali pada bahan penutupan

fisura lebih kurang 1 mm disekelilingnya.2,18

Gigi selanjutnya direndam dalam larutan

methylene blue 5% selama 24 jam.1Gigi

kemudian dicuci dan dikeringkan. Gigi dibelah

menggunakan carborundum disc dengan arah

buko-lingual melewati penutupan fisura

menjadi dua bagian.18

Pemeriksaan spesimen dilakukan dengan

melihat tingkat kebocoran mikro pada kedua

sisi gigi yang telah dibelah menggunakan

stereo mikroskop.19

Hasil pengujian diukur

berdasarkan penetrasi dye menurut Hevinga

dkk. sit Christiono S. (2011) skor penetrasi dye

dikriteriakan menjadi tiga yaitu; 18

skor 0 : Tidak ada penetrasi dari larutan

pewarna, skor 1 : Penetrasi larutan pada bagian

setengah dari bagian permukaan antara

penutupan fisura dan struktur gigi, dan skor 2 :

Penetrasi larutan pewarna lebih dari setengah

dari seluruh permukaan penutupan fisura.

Hasil pengujian tingkat kebocoran

mikro pada bahan penutupan fisura dianalisis

menggunakan Statistical Package for Social

Sciences (SPSS) dengan uji Mann-Whitney.

HASIL

Hasil pengukuran rerata skor kebocoran

mikro pada kelompok 1 yaitu penutupan fisura

dengan bahan resin komposit (3M ESPE

Clinpro) dan kelompok 2 yaitu penutupan

fisura dengan bahan GIC (Fuji VII). (Tabel 1)

Tabel 1. Hasil pengukuran skor kebocoran mikro

tiap spesimen setelah satu bulan pengkondisian di

dalam inkubator pada temperatur 370C

No Spesimen Kelompok 1

( Resin Komposit)

Kelompok 2

(GIC)

1A 0 2

1B 0 2

2A 0 2

2B 0 2

3A 0 2

3B 0 2

4A 0 2

4B 0 2

5A 0 2

5B 2 2

6A 0 2

6B 0 2

7A 0 2

7B 2 2

8A 0 1

8B 0 1

Hasil analisis uji Mann-Whitney

menunjukkan bahwa adanya perbedaan skor

kebocoran mikro yang signifikan antara

penutupan fisura dengan bahan resin komposit

dan bahan GIC dengan nilai p=0,000 (p<0,05).

Page 64: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128

124 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Kelompok penutupan fisura dengan resin

komposit memiliki rerata skor kebocoran

mikro lebih kecil yaitu 0,25 sedangkan

kelompok penutupan fisura dengan GIC

memiliki rerata skor kebocoran mikro lebih

besar yaitu 1,875 (Tabel 2). Data tersebut

menunjukkan bahwa skor kebocoran mikro

pada kelompok penutupan fisura dengan resin

komposit lebih kecil daripada kelompok

penutupan fisura dengan GIC.

Tabel 2.Persentase dan rerata skor kebocoran

mikro pada kelompok 1 Resin Komposit dan 2

GIC setelah satu bulan pengkondisian di dalam

inkubator pada temperatur 370C.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil uji statistik non

parametrik Mann-Whitney untuk melihat

perbandingan tingkat kebocoran mikro antara

bahan penutupan fisura berbasis resin dan GIC

setelah satu bulan aplikasi bahan penutupan

fisura melalui evaluasi in vitro didapatkan

hasil yang menunjukkan adanya perbedaan

kebocoran mikro yang signifikan antara

kelompok 1 yang menggunakan bahan

penutupan fisura resin komposit dan kelompok

2 yang menggunakan GIC sebagai bahan

penutupan fisura dengan p<0,05.

Penutupan fisura dengan bahan resin

komposit memiliki tingkat kebocoran mikro

yang lebih rendah dibandingkan GIC setelah

satu bulan pengkondisian. Rerata kebocoran

mikro resin komposit yaitu 0,25 dan rerata

kebocoran mikro GIC yaitu 1,875. Perbedaan

rerata skor kebocoran mikro yang signifikan

diduga karena perbedaan sifat kedua bahan

penutupan fisura tersebut. Penelitian

sebelumnya telah dilakukan Jayadi (2015)

mengenai evaluasi in-vitro kebocoran mikro

pada bahan penutupan fisura berbasis resin

komposit dan GIC setelah aplikasi selama 24

jam, menunjukkan bahwa skor kebocoran

mikro bahan penutupan fisura resin komposit

yaitu 0,13 sedangkan GIC yaitu

1,63.10

Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat

bahwa nilai kebocoran mikro bahan penutupan

fisura resin komposit dan GIC mengalami

peningkatan setelah satu bulan. Bahan

penutupan fisura resin komposit mengalami

peningkatan hampir dua kali lipat sebesar 0,12

sedangkan bahan penutupan fisura GIC

mengalami sedikit peningkatan sebesar 0,245.

Peningkatan nilai kebocoran mikro GIC

yang kecil diduga karena GIC terus menerus

melepaskan fluor dan proses maturasi GIC

yang terus berlanjut hingga beberapa bulan.

Pertukaran ion bahan penutupan fisura GIC

yang terus berlanjut selama satu bulan

menyebabkan terjadinya difusi ion secara terus

menerus antara permukaan gigi dengan bahan

penutupan fisura GIC sehingga peningkatan

kekuatan ikatan setelah satu bulan aplikasi

bahan penutupan fisura lebih baik

dibandingkan setelah 24 jam.

Peningkatan ikatan antara struktur gigi

dengan bahan penutupan fisura GIC tidak

dapat dilihat menggunakan stereomikroskop.

Berdasarkan hasil penelitian ini peningkatan

kekuatan ikatan GIC dengan struktur gigi

diduga tidak begitu berperan menurunkan nilai

kebocoran mikro GIC. Hal ini menyebabkan

skor kebocoran mikro GIC lebih besar

dibandingkan dengan resin komposit.

Peningkatan nilai kebocoran mikro resin

komposit lebih besar dibandingkan kebocoran

mikro setelah 24 jam, disebabkan karena resin

komposit 3M ESPE Clinpro mengalami

penurunan retensi setelah satu bulan. Hal ini

diduga dapat meningkatkan nilai kebocoran

mikro bahan penutupan fisura resin komposit.

Nilai kebocoran mikro resin komposit tersebut

tetap memiliki nilai yang lebih kecil

dibandingkan dengan nilai kebocoran mikro

GIC. Persentase skor kebocoran mikro bahan

penutupan fisura setelah satu bulan aplikasi

fisura dapat dilihat pada bar diagram. Skor

kebocoran mikro resin komposit (3M ESPE

Clinpro) yaitu skor 0 sebesar 87,5% dan skor 2

sebesar 12,5%. Skor kebocoran mikro GIC

(Fuji VII) yaitu skor 1 sebesar 12,5% dan skor

2 sebesar 87,5%.

Kelompok Skor Kebocoran Mikro

n

Rerata

skor

kebocoran

mikro

0 1 2 x ± SD

Kelompok 1

RK (%) 87,5 0 12,5 16

0,25 ±

0,68313

Kelompok 2

GIC (%) 0 12,5 87,5 16

1,875 ±

0,34157

Total 87,5 12,5 100 32

Page 65: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128

125 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Gambar 1. Diagram Persentase Skor Kebocoran

Mikro Resin Komposit dan Glass Ionomer Cement

(GIC)

Bahan penutupan fisura resin komposit

(3M ESPE Clinpro) bersifat lebih flowable

atau mudah mengalir dibandingkan dengan

bahan penutupan fisura GIC (Fuji VII).

Perbedaan sifat ini jelas menyebabkan tingkat

kebocoran mikro bahan penutupan fisura resin

komposit (3M ESPE Clinpro) lebih rendah

dibandingkan dengan GIC (Fuji VII). Hal ini

menyebabkan resin komposit memiliki retensi

dan resistensi yang baik karena dapat mengalir

dengan mudah ke pit dan fisura yang dalam

dan sempit. Resin komposit (3M ESPE

Clinpro) berisi Bis-GMA (Bisphenol A

Diglycidyl methacrylate) dan TEGDMA

(Triethylene glycol dimethacrylate) serta tanpa

bahan pengisi. Kandungan TEGDMA

(Triethylene glycol dimethacrylate) yang lebih

banyak menyebabkan resin komposit ini

bersifat lebih encer dan mudah mengalir.5

Retensi dan resistensi bahan penutupan fisura

resin komposit membuat resin komposit

memiliki ketahanan untuk tetap berada di

permukaan pit dan fisura gigi dengan

membentuk perlekatan di antara bahan

penutupan fisura dan permukaan gigi, di sisi

lain morfologi pit dan fisura gigi yang dalam

dan sempit memungkinkan resin komposit

tetap berada di permukaan pit dan fisura gigi

walaupun terkena beban kunyah. Penelitian

Joshi K (2013) mengatakan bahwa bahan

penutupan fisura berbasis resin komposit

(Helioseal) yang tidak memiliki bahan pengisi

merupakan material paling baik sebagai bahan

penutupan fisura dibandingkan dengan yang

lainnya yaitu compomer (Compoglass flow)

yang mengandung bahan pengisi dan GIC.5

Resin komposit (3M ESPE Clinpro)

berikatan secara kimia dan mikromekanik

dengan struktur gigi. Baik atau tidaknya ikatan

yang dibentuk oleh bahan penutupan fisura

terhadap struktur gigi menentukan efisiensi

penutupan pit dan fisura. Resin komposit (3M

ESPE Clinpro) yang digunakan pada penelitian

ini telah mengandung molekul sodium

monofluoro phosphate (Na2P03F). Menurut

Veiga dkk., (2014) kandungan sodium

monofluoro phosphate (Na2P03F) pada resin

komposit menyebabkan ikatan kimia resin

komposit lebih baik dibandingkan resin

komposit yang tidak mengandung fluor.1

Kandungan sodium monofluoro

phosphate (Na2P03F) pada polimer matriks

resin komposit diduga dapat meningkatkan

ikatan kimia antara resin komposit dan

permukaan gigi karena dapat melepaskan ion

fluor (F-). Ion fluor yang dilepaskan akan

berikatan dengan hidroksi apatit

(Ca10(PO4)6(OH)2) pada permukaan gigi

dengan cara ion F- yang dilepaskan dari

sodium monofluoro phosphate membentuk

ikatan ionik dengan (Ca10(PO4)6(OH)2) yang

telah melepaskan molekul (OH)2 sehingga

terbentuk molekul baru yang disebut fluoro

apatit (Ca10(PO4)6F2).5

Resin komposit yang digunakan pada

penelitian ini diduga berikatan secara

mikromekanik. Ikatan mikromekanik

diperoleh setelah pengaplikasian etsa asam

pada permukaan email gigi. Etsa asam dengan

menggunakan asam phosphate 37% akan

menyebabkan hidroksiapatit larut. Hal tersebut

berpengaruh terhadap hilangnya prisma email

dibagian tepi, inti prisma dan menghasilkan

bentuk yang tidak spesifik dari struktur prisma.

Kondisi tersebut menghasilkan pori-pori kecil

pada permukaan email yaitu tempat resin

komposit akan mengalir bila ditempatkan pada

permukaan gigi. Resin komposit akan mengisi

mikroporositas yang terbentuk setelah

pengaplikasian etsa asam membentuk resin tag

sehingga membuat resin komposit memiliki

retensi dan ikatan sangat kuat pada permukaan

gigi yang dalam dan sempit.5Resin komposit

(3M ESPE Clinpro) dipolimerisasi dengan alat

visible light cure (VLC) dengan sinar LED.

Proses polimerisasi resin komposit

dengan aktivasi cahaya terjadi selama

penyinaran (light reaction) dan setelah

penyinaran (dark reaction). Light reaction

terjadi ketika unit penyinaran berpenetrasi

pada permukaan resin komposit sedangkan

dark reaction atau post-polimerization dimulai

Page 66: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128

126 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

segera setelah penyinaran dan terus berlanjut

hingga 24 jam. Dark reaction sebagian besar

terjadi selama 10-15 menit setelah penyinaran.

Hasil penelitian Lange dkk., (1980)

menyatakan bahwa dark reaction dapat

meningkatkan kekerasan resin komposit yang

diaktivasi oleh cahaya antara waktu 1 dan 24

jam. Kekerasan maksimum resin komposit

didapat dalam waktu 24 jam karena

polimerisasi maksimum resin komposit terjadi

selama 24 jam menurut Lange dkk Cit.

Mohammad dkk (2007).19

Polimerisasi cahaya

resin komposit (3M ESPE Clinpro) memiliki

keuntungan yaitu proses pengerasan yang

cepat dan dapat dikontrol sehingga dapat

menyebabkan peningkatan sifat fisik dan

mekanik resin komposit dibandingkan GIC.

Hal ini diduga dapat menyebabkan kebocoran

mikro resin komposit lebih rendah

dibandingkan GIC yang mengalami maturasi

sempurna setelah beberapa bulan. Polimerisasi

cahaya resin komposit dapat menyebabkan

pengkerutan (shrinkage) yang dapat memicu

kebocoran mikro pada penutupan fisura

menurut Santos dkk (2006), namun

berdasarkan penelitian ini hanya sedikit yang

mengalami kebocoran mikro.20

Resin komposit 3M ESPE Clinpro

merupakan resin komposit yang tidak

mengandung bahan pengisi (unfilled). Bahan

pengisi pada resin komposit berfungsi untuk

menurunkan penyerapan air dan koefisien

termal ekspansi resin komposit. Tidak adanya

bahan pengisi pada resin komposit ini

menyebabkan penyerapan air dan koefisien

termal ekspansi resin komposit lebih tinggi

sehingga kemungkinan terjadinya kebocoran

mikro, namun berdasarkan hasil penelitian ini

kebocoran mikro bahan penutupan fisura resin

komposit 3M ESPE Clinpro hanya sedikit.

GIC juga dapat digunakan sebagai

bahan penutupan fisura walaupun pada uji

kebocoran mikro GIC memperoleh nilai

kebocoran mikro lebih tinggi.

Bahan penutupan fisura GIC dapat

melepaskan fluor secara terus menerus

sehingga memiliki sifat biokompatibilitas

sangat baik dibandingkan dengan bahan

penutupan fisura resin komposit. Fluor yang

dilepaskan bahan penutupan fisura GIC

menyebabkan bahan penutupan fisura GIC

sangat baik dalam mencegah terjadinya karies

gigi. Bahan penutupan fisura GIC juga dapat

membentuk ikatan kimia dengan struktur gigi

seperti resin komposit. Hal tersebut karena

GIC juga memiliki kandungan fluor-oalumino

silicateglass sehingga GIC juga dapat

melepaskan ion fluor yang akan berikatan

dengan hidroksi apatit (Ca10(PO4)6(OH)2) pada

permukaan gigi. Ion fluor (F-) yang dilepaskan

dari fluoro-alumino silicateglass membentuk

ikatan ionik dengan (Ca10(PO4)6(OH)2) yang

telah melepaskan molekul (OH)2 sehingga

terbentuk molekul baru yang disebut fluor-

apatit (Ca10(PO4)6F2).

Ikatan antara struktur gigi dan GIC

dikondisikan dengan bantuan dentin

conditioner. Komposisi dentin conditioner

yang digunakan pada penelitian ini adalah

polyacriylc acid 10%. Dentin conditioner

diaplikasikan selama 20 detik sesuai petunjuk

penggunaan dan kemudian dibilas dengan air.

Hal itu diduga dapat membantu meningkatkan

kekuatan ikatan GIC pada gigi. Dentin

conditioner berperan menghilangkan smear

layer dan kontaminasi permukaan (kotoran)

tanpa membuka tubulus dentin sehingga dapat

meningkatkan ikatan atau adhesi ke

permukaan gigi, terutama permukaan dentin

berdasarkan penelitian Mazaheri dkk (2015).21

Bahan penutupan fisura juga dilindungi dari

kontaminasi cairan rongga mulut dengan

aplikasi varnish setelah ditumpatkan pada pit

dan fisura gigi. Varnish juga berperan menjaga

GIC agar tidak mengalami dehidrasi selama

proses pengerasan sehingga GIC tetap

memiliki sifat fisik yang baik.

GIC Fuji VII yang digunakan pada

penelitian ini secara fisik terlihat lebih kental

jika dibandingkan dengan resin komposit.

Bahan penutupan fisura GIC yang kental sulit

mengalir pada pit dan fisura gigi yang dalam

dan sempit karena semakin kental suatu bahan

maka semakin sulit untuk mengalir.

Kemampuan mengalir bahan penutupan fisura

GIC pada permukaan pit dan fisura gigi yang

dalam dan sempit menjadi kurang baik karena

sifatnya yang lebih kental. Hal ini dapat

mempengaruhi perlekatan GIC dengan

permukaan gigi. Semakin kental bahan

penutupan fisura semakin tidak baik

perlekatannya.

SIMPULAN

Terdapat perbedaan tingkat kebocoran

mikro yang signifikan antara resin komposit

Page 67: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128

127 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

dan GIC sebagai bahan penutupan fisura yaitu

rerata skor kebocoran mikro pada resin

komposit lebih rendah dan GIC memiliki

rerata skor kebocoran mikro yang lebih tinggi

setelah dilakukan aplikasi bahan penutupan

fisura selama satu bulan. Pada penelitian ini

bahan penutupan fisura berbasis resin

menunjukkan retensi lebih baik dibandingkan

dengan bahan penutupan fisura GIC.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kristina G. Fissure Sealing In Occlusal

Caries Preventionin. INTECH. 2015.

p.1-28.

2. Markovic D, dkk. Mikroleakage,

adaptation ability and clinical efficacy

of two fluoride releasing fissure

sealants. Vojnosanit Pregl

Journal.2012;69(4):320-5.

3. Khodadadi E, Esmaeili B, Karimian N,

Khafri S. Evaluation of microleakage of

ionoseal filling material as a fissure

sealant agent. Caspian J of Dent

Res.2014;3:39-45.

4. Fernandes KS, Chalakkal P, Ataide I N,

Pavaskar R, Fernandes PP, and Soni H.

A comparison between three different

pit and fissure sealants with regard to

marginal integrity.J Conserv

Dent.2012;15(2):146–50.

5. Ninawe N, Ullal NA, and Khandelwal

V. A 1-year clinical evaluation of

fissure sealant on permanent first

molars.ContempClin Dent J.

2012;3(1):54–9.

6. Deshpande, A, Urvashi S, Seema B,

Poonacha KS, Manoj K, Neelam J. Six

months clinical performance of self

etch-self adhesiveflowable composite

and conventional pit-and-fissure

sealants in 7 to 10 year old children. J of

Advance Mel and Dent Sci Res.

2016;4(2):96-101.

7. El-Yazeed AM., Zeid AW, Zaazou M.

Effect of different enamel pretreatment

techniques for pit and fissure sealing in

primary and permanent teeth. Aust J of

Basic and Applied Sci. 2013;7(2):895-9.

8. Veiga NJ, Ferreira PC, Correia PI,

Carlos M. Fissure sealants:a review of

their importance in preventive dentistry.

Health Sciences Department

Universidade Católica Portuguesa J.

2014;13(4):987-93.

9. El- Din MK, El Motayam, Fouad WA,

and Youssef R. Assessment and

comparison of nanoleakage and resin

tag length of three different pit and

fissure sealants: an in-vitro scanning

electron microscope study. J of

American Sci. 2013;9(5):329-37.

10. Jayadi D. Perbandingan tingkat

kebocoran mikro antara resin komposit

dan glass ionomer cement sebagai bahan

penutupan fisura. Banda Aceh: Unsyiah,

2015. 21-2. Skripsi.

11. Khoroushi M dan Fateme K. A review

of glass-ionomers: from conventional

glass-ionomer to bioactive glass-

ionomer. Dent res J. 2013;10(4):411-20.

12. Baygin O, Fatih MK, Tamer T,

Mehmet T. The effect of different

enamel surface treatments on the

microleakage of fissure

sealants.Springer. 2011;27(1):153-60.

13. Mehran M, Hojjati ST, Bahal NS.

Comparative evaluation of microleakage

of resin sealant after conventional acid-

etch tehnique, two component self-etch

and one-component total-etch adhesives

an in-vitro study. Int. Dent. Clin J.

2014;7(2):1-3

14. Mount, GJ; Hume,WR. Preservation

and Restoration of Tooth Structure. 2nd

Ed. Queensland : Knowledge Books and

Software; 2005. p. 164-6, 184-8.

15. Sakaguchi RD, Power JM. Craig's

Restorative Dental Material. 13stEd.

United State: Mosby Elsevier; 2012. p.

148-52,162-80,259,340.

16. Cabe JFM, Walls AWG. Applied Dental

Material. 9thEd. UK: Blackwell

Munksgaard; 2008.p197-8,200,206-

9,212,248-52,285,303.

17. Spiller, Martin S. Dental Composites: A

Comprehensive Review Updated 2015.

Academy-Dental Learning & OSHA

Training is an ADA CERP Recognized

provider; 2015. p. 19-22.

18. Christiono S. Efektivitas resin bis-

gmasebegaibahan fissure sealant pada

perubahan suhu dalam mengurangi

kebocoran tepi. Unissula Sultan Agung

J. 2011;49(124):1-9.

19. D, Mohamad, Young RJ, Mann AB,

Watts DC. Original article post-

polymerization of dental resin

composite evaluated with

Page 68: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 121-128

128 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

nanoindentation and micro-raman

spectroscopy. Archives of Orofacial Sci.

2007;2: 26-31.

20. Santos GO, Poskus LT, Jose GAG,

Eduaro MS. Influence of light-curing

mode on the sealing of resin composite

restorations. Revista de odontologia da

USEP. 2006:35(4):269-73.

21. Mazaheri R, Leila P, Ava VS, Sanas G.

Original article: effect of different

cavity conditioners on microleakage of

glass ionomer cement with a high

viscosity in primary teeth. Dent Res J.

2015;12(4):337-41.

Page 69: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133

129 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENGARUH TEKNIK PENCETAKAN FISIOLOGIS TERHADAP

CACAT PERMUKAAN CETAKAN

THE EFFECT OF PHYSIOLOGICAL IMPRESSION TECHNIQUES

ON SURFACE DEFECT OF IMPRESSION

Putri Welda Utami Ritonga, Nafsani Fauzia

Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

Correspondence email to: [email protected]

Abstrak

Prosedur penting yang harus dilakukan untuk mendapatkan cetakan dan membuat model kerja yang

akurat adalah pemilihan dan penggunaan teknik pencetakan dan bahan cetak yang tepat. Pada

pembuatan model kerja gigi tiruan cekat perlu diperhatikan kualitas permukaannya untuk

mendapatkan model yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknik pencetakan

fisiologis terhadap cacat permukaan cetakan. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental

laboratoris. Sampel pada penelitian ini adalah hasil pencetakan model induk dengan bahan elastomer,

model induk berukuran 6,33 mm untuk ukuran mesiodistal, 8,02 mm untuk ukuran oklusogingival dan

28,25 mm untuk ukuran interabutment berjumlah 30 buah pada masing-masing teknik dan diperiksa

cacat permukaan cetakannya dengan menggunakan kaca pembesar. Setelah itu, hasil dari cacat

permukaan diuji menggunakan chi-square. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan antara

teknik pencetakan putty wash one-step dan two-step terhadap cacat permukaan. Dapat disimpulkan,

kedua teknik pencetakan putty wash one-step dan two-step dapat digunakan untuk mendapatkan

cetakan yang baik.

Kata kunci: Pencetakan fisiologis, gigi tiruan cekat

Abstract

Critical procedures which must be followed to obtain an impression and to make accurate dental stone

cast are correct choice and use of impression techniques and materials. In order to make a fixed

denture cast, surface quality of impression must be evaluated to obtain a good cast. The aim of this

study was to find the effect of physiological impression techniques on surface defect of impression.

The design of this study was a laboratory experimental. The samples of this research were the

impressions from master model using elastomer material which measurement of mesiodistal was 6.02

mm, occlusogingival was 8.02 mm and interabutment was 28.25 mm with each technique consist of

30 samples and are examined for its’ surface defect using magnifying glass. The result of the

examined samples were tested using chi-square test. The result of the study showed that there was no

difference of the putty wash one-step and two-step impression techniques on surface defect. In

conclusion, both techniques can be applied to obtain a good impression’s quality.

Keywords: Physiological impressions, fixed denture

Page 70: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133

130 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

PENDAHULUAN

Kehilangan gigi sebagian adalah

hilangnya satu atau beberapa gigi dalam satu

lengkung rahang.1 Penggantian gigi yang

hilang dapat dilakukan dengan pembuatan gigi

tiruan lepasan atau gigi tiruan cekat.2 Faktor

utama keberhasilan perawatan jangka panjang

prostodonsia adalah keakuratan dari gigi

tiruan, untuk menghindari kegagalan maka

seluruh prosedur klinis maupun laboratoris

harus diikuti, diantaranya dalam pemilihan dan

penggunaan teknik pencetakan dan bahan

cetak yang tepat.3

Bahan cetak elastomer dapat mencetak

jaringan keras dan lunak rongga mulut dengan

akurat, termasuk undercut dan daerah

interproksimal. Secara kimiawi, ada tiga jenis

elastomer yang digunakan sebagai bahan cetak

yaitu polisulfid, polieter, dan silikon

(kondensasi dan adisi).4

Bahan cetak silikon

tersedia dalam beberapa viskositas, membuat

bahan tersebut dapat digunakan dalam

beberapa teknik pencetakan yang adekuat

untuk meningkatkan akurasi pencetakan,

seperti teknik putty wash one-step, putty wash

two-step.3

Teknik pencetakan putty wash one-step

adalah pencetakan dengan bahan cetak putty

dan bahan wash diaduk secara bersamaan.5-8

Bahan putty dimasukkan ke dalam sendok

cetak dan bahan wash secara bersamaan juga

diletakkan di gigi penyangga. Keuntungan dari

teknik ini adalah waktu kerja dapat dikurangi

dan menghemat bahan cetak.6 Kerugiannya

adalah ketebalan bahan wash cenderung tidak

terkontrol yang dapat menghasilkan perubahan

dimensi.7 Teknik pencetakan putty wash two-

step adalah pencetakan dengan bahan putty

dibuat terlebih dahulu dan dibiarkan setting

kemudian bahan wash ditambahkan dan

cetakan dimasukkan kembali.5 Keuntungan

teknik ini adalah dapat memberikan akurasi

yang baik. Kerugian dari teknik ini adalah

lebih banyak waktu kerja yang dibutuhkan dan

lebih banyak bahan cetak yang digunakan.6

Tujuan pencetakan adalah mendapatkan

cetakan yang bebas dari cacat sehingga

menghasilkan cetakan yang akurat dari gigi

yang dipreparasi dan daerah sekitarnya.7

Pada

hasil penelitian Saifudin dkk9

ditemukan

banyaknya kesalahan pada hasil cetakan sepeti

detail yang buruk pada gigi yang dipreparasi

dan adanya lubang pada daerah gigi yang

dipreparasi, sehingga kualitas cetakan yang

dikirim ke laboratorium tidak dapat diterima.

Kualitas cetakan dapat dievaluasi

dengan kriteria seperti merekam detail penting,

daya alir dari bahan cetak, ada atau tidaknya

robek pada akhiran servikal, ada atau tidaknya

gelembung udara. Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi masuknya gelembung udara di

hasil cetakan, khususnya teknik klinis dan

keahlian dari operator. Hasil cetakan yang

bebas dari lubang dapat berpengaruh penting

pada pembuatan restorasi yang akurat. 5,7,10

Cacat permukaan dapat dievaluasi

dengan menghitung jumlah gelembung udara

yang terlihat dengan mata pada jarak kerja

sekitar 150 mm dan hanya gelembung udara

pada permukaan abutment yang dihitung.7,10

Beberapa teknik sudah dideskripsikan di

literatur tetapi jumlah penelitian klinis yang

mengevaluasi keberhasilan klinis dalam

pencetakan cukup terbatas.11

Penelitian yang

melaporkan kualitas dari pencetakan yang

dibuat secara klinis hanya ada sedikit.9

Penelitian Millar dkk10

menyatakan tidak ada

perbedaan yang signifikan antara teknik

monophase dan teknik two-phase, namun

lubang pada teknik two-phase lebih sedikit

dibandingkan dengan monophase. Pada

penelitian Caputi dkk7

diperoleh hasil cacat

permukaan pada teknik putty wash one-step

dan two-step tidak memiliki perbedaaan yang

signifikan secara statistik. Penelitian Shresta

dkk11

menunjukkan pada teknik putty wash

one-step terdapat cacat yang lebih sedikit

dibandingkan dengan teknik putty wash two-

step. Hasil penelitian yang berbeda-beda

mengenai ada atau tidaknya pengaruh teknik

pencetakan terhadap cacat permukaan cetakan

merupakan alasan peneliti merasa perlu

melakukan penelitian tentang hal tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengaruh teknik pencetakan

fisiologis terhadap cacat permukaan cetakan.

Manfaat penelitian adalah memberikan

informasi mengenai pengaruh teknik

pencetakan putty wash one-step dan two-step

terhadap cacat permukaan cetakan sehingga

dapat membantu dalam memilih teknik

pencetakan yang tepat.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimental laboratoris. Pembuatan sampel

Page 71: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133

131 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

hasil cetakan dilakukan dengan mencetak

model induk stainless steel berbentuk 2

mahkota yang telah dipreparasi dengan ukuran

mesiodistal 6,33 mm, oklusogingival 8,02 mm,

dan interabutment 28,25 mm dengan dua

teknik pencetakan, yaitu putty wash one-step

dan putty wash two-step. Jumlah sampel pada

masing-masing teknik adalah 30 buah

sehingga total sampel adalah 60 buah.

Pada teknik putty wash one-step, bahan

cetak putty dan wash diaduk secara bersamaan

dan diletakkan di gigi penyangga secara

bersamaan. Kedua bahan tersebut kemudian

dicetakkan ke model induk. Setelah bahan

cetak setting, model induk dilepaskan dari

cetakan dan cacat permukaan hasil cetakan

diperiksa dengan kaca pembesar dengan jarak

150 mm. Pada teknik putty wash two-step,

bahan cetak putty diaduk terlebih dahulu dan

dicetakkan pada model induk dengan selapis

spacer polietilen sebagai spacer untuk bahan

wash. Setelah bahan cetak putty setting, spacer

dan model induk dilepaskan. Bahan wash lalu

diaduk memakai spatula dan diletakkan diatas

bahan cetak putty dan kembali dicetakkan ke

model induk. Setelah setting, model induk

dilepaskan dari cetakan dan cacat permukaan

hasil cetakan diperiksa dengan kaca pembesar

dengan jarak 150 mm. Hasil dari pemeriksaan

cacat permukaan digolongkan sesuai tipe cacat

yakni7 Tipe 0, tidak ada cacat; Tipe 1, 1-2

gelembung udara; Tipe 2, >2 gelembung

udara; Tipe 3, adanya lubang.

Uji chi-square digunakan untuk

menganalisis pengaruh teknik pencetakan

terhadap cacat permukaan cetakan.

HASIL

Pada teknik putty wash one-step, jumlah

tipe cacat yang paling banyak adalah tipe 0

dengan jumlah 14 dan jumlah tipe yang paling

sedikit adalah tipe 3 dengan jumlah 3; pada

teknik putty wash two-step, jumlah tipe cacat

yang paling banyak adalah tipe 0 dengan

jumlah 17 dan jumlah tipe yang paling sedikit

adalah tipe 3 dengan jumlah 2.

Uji Chi-Square digunakan untuk

menganalisis pengaruh teknik pencetakan

terhadap cacat permukaan. Hasil statistik uji

Chi-Square menunjukkan p=0,804 (p>0,05).

Hal ini berarti tidak ada pengaruh antara kedua

teknik pencetakan putty wash one-step dan

putty wash two-step terhadap cacat permukaan

cetakan (Tabel 3).

Tabel 3. Pengaruh Teknik Pencetakan dengan

Teknik putty wash one-step dan Teknik Pencetakan

Putty wash two-step terhadap Cacat Permukaan

Teknik

Pencetakan

Tipe Cacat Jumlah

(n)

Persen

tase

p

Putty wash

One-Step

0 14 46,7%

0,804

1 8 26,7%

2 5 16,7%

3 3 10%

Putty wash

Two-Step

0 17 56,7%

1 8 26,7%

2 3 10,0%

3 2 6,7%

Pada Tabel 3 terlihat persentase dari

jumlah tipe cacat dari masing-masing teknik

pencetakan. Pada teknik putty wash two-step,

didapati hasil cetakan dengan tipe cacat 0

(tidak ada cacat) berjumlah 17 lebih banyak

dibandingkan teknik putty wash one-step.

PEMBAHASAN

Hasil pemeriksaan permukaan cetakan

engan teknik putty wash one-step didapatkan

jumlah tipe cacat yang paling banyak adalah

tipe 0 dengan jumlah 14 dan jumlah tipe yang

paling sedikit adalah tipe 3 dengan jumlah 3;

pada teknik putty wash two-step, jumlah tipe

cacat yang paling banyak adalah tipe 0 dengan

jumlah 17 dan jumlah tipe yang paling sedikit

adalah tipe 3 dengan jumlah 2. Hasil ini sesuai

dengan hasil penelitian Caputi dkk7 yang

menunjukkan pada teknik putty wash one-step

dan two-step, jumlah tipe cacat yang paling

banyak adalah tipe 0 dan paling sedikit tipe 3.

Hasil penelitian Samet12

menunjukkan bahwa

dari 193 sampel dengan teknik pencetakan dan

bahan cetak yang berbeda menunjukkan

beberapa kesalahan banyak terjadi pada hasil

cetakan, yakni adanya lubang atau robekan

pada akhiran servikal sebanyak 50,7% dan

adanya gelembung udara pada akhiran servikal

sebanyak 40,4%. Kemungkinan terjadinya

gelembung udara pada penelitian ini karena

digunakannya pengadukan elastomer secara

manual yaitu pada saat operator mengaduk

bahan wash, jika gerakan yang dilakukan

kurang tepat maka udara yang seharusnya

tidak ada dapat terjebak sehingga membentuk

gelembung udara atau bahkan lubang pada

hasil cetakan.

Page 72: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133

132 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

Kemungkinan lain yang dapat terjadi

adalah saat peletakan bahan wash, udara dapat

terjebak pada abutment gigi yang akan dicetak,

menyebabkan terbentuknya gelembung udara

atau lubang pada hasil cetakan. Penelitian

Shresta dkk11

menyatakan bahwa lubang dan

gelembung udara adalah cacat yang sering

terjadi (59% dan 30% untuk masing-masing

kategori cacat) pada pengadukan elastomer

manual.

Penggunaan alat automixing dapat

meminimalisir terbentuknya gelembung udara

daripada pengadukan secara manual.

Gelembung udara juga dapat terbentuk karena

tekanan yang berlebihan saat mencetak.3 Cacat

permukaan pada hasil cetakan juga dapat

disebabkan karena kesalahan manipulasi

pencetakan saat meletakkannya pada gigi yang

dipreparasi atau terlalu cepat mengangkat

cetakan dari mulut.12

Hasil statistik uji Chi-Square (Tabel 3)

yang menunjukkan p=0,804 (p>0,05), artinya

tidak ada perbedaan antara kedua teknik

pencetakan putty wash one-step dan putty

wash two-step terhadap cacat permukaan hasil

cetakan. Hasil ini sesuai dengan penelitian

Caputi dkk7 yang menunjukkan bahwa tidak

ada perbedaan yang ditemukan antara kedua

teknik putty wash one-step dan putty wash

two-step pada jumlah cacat pada hasil cetakan.

Sesuai dengan literatur, kedua teknik yaitu

putty wash one-step dan putty wash two-step,

menunjukkan insidensi yang rendah terjadinya

lubang dan gelembung udara. Hal ini

dihubungkan dengan tekanan yang

diaplikasikan oleh bahan cetak dengan

viskositas mayor (putty) pada bahan cetak

dengan viskositas minor (wash), yang

meningkatkan laju alir dan membantu dalam

menghasilkan cetakan dengan detail yang lebih

tepat. Tidak terdapatnya perbedaan antara

kedua teknik ini kemungkinan karena bahan

cetak yang digunakan pada kedua teknik

adalah sama-sama bahan putty dan bahan

wash. Pada bahan cetak yang memiliki

viskositas yang tinggi dan daya alir yang

rendah seperti monophase mengakibatkan

injeksi ke gigi yang dipreparasi akan lebih sulit

dikontrol dan pengisian bahan monophase

dalam jumlah besar akan mengakibatkan

peletakan dari bahan cetak kurang tepat dan

udara dapat terjebak.10,12

Kemungkinan hal-hal

diatas tidak terjadi pada penelitian ini karena

pada penelitian ini kedua teknik pencetakan

putty wash yang diteliti menggunakan dua

jenis bahan yang sama yaitu putty dan wash,

dan bahan wash memiliki daya alir yang lebih

tinggi sehingga memiliki kemungkinan untuk

mereproduksi permukaan cetakan dengan lebih

baik.7 Menurut hasil penelitian Samet dkk

12

menyatakan bahwa ada korelasi yang

signifikan antara tipe bahan cetak dengan

lubang dan robekan pada akhiran servikal,

sehingga cacat permukaan cetakan mungkin

lebih dipengaruhi dari bahan cetak daripada

teknik pencetakan.

Hasil ini tidak sesuai

dengan hasil penelitian Shresta11

yang

menyatakan bahwa teknik putty wash one-step

memiliki jumlah cacat permukaan lebih sedikit

dari teknik putty wash two-step.11

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh antara

kedua teknik pencetakan dalam hal cacat

permukaan cetakan sehingga kedua teknik

pencetakan putty wash one-step dan putty

wash two-step dapat digunakan untuk

mendapatkan cetakan yang baik.

Penelitian lebih lanjut diperlukan

dengan menggunakan alat yang lebih baik

seperti pistol pengaduk (mixing gun) ataupun

mesin pengaduk agar bahan cetak elastomer

dapat diaduk dengan lebih baik untuk

mencegah terjadinya kesalahan operator.

DAFTAR PUSTAKA

1. Jeyapalan V, Krishnan CS. Partial

edentulism and its correlation to age,

gender, socio-economic status and

incidence of various Kennedy’s classes–A

Literature Review. J Clin Diag Res.

2015;9(6):ZE14.

2. Rahmayani L, Herwanda H, Idawani M.

Perilaku pemakai gigi tiruan terhadap

pemeliharaan kebersihan gigi tiruan

lepasan. Jurnal PDGI. 2013;6(3):83-88.

3. Vitti RP, Silva MABd, Consani RLX,

Sinhoreti MAC. Dimensional accuracy of

stone casts made from silicone-based

impression materials and three impression

techniques. Braz Dent J. 2013;24(5):498-

502.

4. Anusavice KJ. Phillips' science of dental

materials: 12th ed. Missouri: Saunder

Elsevier, 2013.h. 55, 154-169, 186-187.

5. Caputi S, Varvara G. Dimensional

accuracy of resultant casts made by a

monophase, one-step and two-step, and a

Page 73: cakradonya - Unsyiah

Cakradonya Dent J; 10(2): 129-133

133 Cakradonya Dental Journal p-ISSN: 2085-546X; e-ISSN: 2622-4720.

Available at http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/CDJ

novel two-step putty/light-body

impression technique: an in vitro study.

The J Prost Dent. 2008;99(4):274-81.

6. Franco EB, da Cunha LF, Herrera FS,

Benetti AR. Accuracy of single-step

versus 2-step double-mix impression

technique. ISRN Dentistry. 2011;1-5.

7. Varvara G, Murmura G, Sinjari B,

Cardelli P, Caputi S. Evaluation of

defects in surface detail for monophase,

2-phase, and 3-phase impression

techniques: An in vitro study. J Prosthet

Dent. 2015;113(2):108-13.

8. Nissan J, Laufer B-Z, Brosh T, Assif D,

Maurice T. Accuracy of three polyvinyl

siloxane putty-wash impression

techniques. J Prosthet Dent.

2000;83(2):161-5.

9. Zu Saifudin ASA, Kamaruddin F, Ab

Ghani SM. The quality of working

impressions for the fabrication of fixed

prosthodontics prostheses (crown and

bridgework). Eur J of Gen Dent.

2014;3(2):100.

10. Millar BJ, Dunne SM, Robinson PB. In

vitro study of the number of surface

defects in monophase and two-phase

addition silicone impressions. J Prosthet

Dent. 1998;80(1):32-5.

11. Shrestha P, Poudel S, Shrestha K. A

clinical comparison of polyvinyl siloxane

impressions for fixed partial dentures

using three different techniques. J of Adv

Med and Dent Scie Res. 2015;3(2):6.

12. Samet N, Shohat M, Livny A, Weiss EI.

A clinical evaluation of fixed partial

denture impressions. J Prosthet Dent.

2005;94(2):112-7.

Page 74: cakradonya - Unsyiah

pISSN: 2085-546X eISSN: 2622-4720

Petunjuk Bagi Penulis

Cakradonya Dental Journal (CDJ) adalah jurnal ilmiah yang

terbit dua kali setahun, Februari dan Agustus. Artikel yang

diterima CDJ akan dibahas para pakar dalam bidang keilmuan

yang sesuai (peer-review) bersama redaksi. Sekiranya peer-

review menyarankan adanya perubahan, maka penulis diberi

kesempatan untuk memperbaikinya.

CDJ menerima artikel konseptual dari hasil penelitian original

yang relevan dengan bidang kesehatan, kedokteran gigi dan

kedokteran. CDJ juga menerima literature review, dan

laporan kasus.

Artikel yang dikirim adalah artikel yang belum pernah

dipublikasi, untuk menghindari duplikasi CDJ tidak menerima

artikel yang juga dikirim pada jurnal lain pada waktu

bersamaan untuk publikasi. Penulis memastikan bahwa seluruh

penulis pembantu telah membaca dan menyetujui isi artikel.

1. Artikel Penelitian

Tatacara penulisan:

Judul dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

Abstrak dibuat dalam bahasa Indonesia & Inggris,

dalam bentuk tidak terstruktur dengan jumlah

maksimal 200 kata, harus mencerminkan isi artikel,

ringkas dan jelas, sehingga memungkinkan pembaca

memahami tentang aspek baru atau penting tanpa

harus membaca seluruh isi artikel. Diketik dengan

spasi tunggal satu kolom.

Kata Kunci dicantumkan pada halaman yang sama

dengan abstrak. Pilih 3-5 buah kata yang dapat

membantu penyusunan indeks.

Artikel utama ditulis dengan huruf jenis Times New

Roman ukuran 11 poin, spasi satu.

Artikel termasuk tabel, daftar pustaka, dan gambar

harus diketik 1 spasi pada kertas dengan ukuran 21,5

x 28 cm (kertas A4) dengan jarak dari tepi 2,5 cm,

jumlah halaman maksimum 12. Setiap halaman diberi

nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul

sampai halaman terakhir.

Laporan tentang penelitian pada manusia/hewan coba

harus memperoleh persetujuan tertulis (signed

informed consent) dan lolos etik (Ethical clearance)

Sistematika penulisan artikel hasil penelitian, adalah

sebagai berikut:

Judul

Nama dan alamat penulis disertai pas photo

Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris

Kata kunci

Pendahuluan (tanpa subjudul, memuat latar

belakang masalah dan sedikit tinjauan pustaka, dan

masalah/tujuan penelitian).

Bahan dan Metode

Hasil

Pembahasan

Kesimpulan dan Saran

Daftar Pustaka.

2. Tinjauan pustaka/artikel konseptual (setara hasil

penelitian) merupakan artikel review dari jurnal dan atau

buku mengenai ilmu kedokteran gigi, kedokteran dan

kesehatan mutakhir memuat:

Judul

Nama penulis

Abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris

Pendahuluan (tanpa subjudul)

Subjudul-subjudul sesuai kebutuhan

Penutup (kesimpulan dan saran)

Daftar pustaka

3. Laporan Kasus. Berisi artikel tentang kasus di klinik yang

cukup menarik, dan baik untuk disebarluaskan di kalangan

sejawat lainnya. Formatnya terdiri atas: Pendahuluan,

Laporan kasus, Pembahasan dan Daftar pustaka.

4. Gambar dan tabel. Kirimkan gambar yang dibutuhkan

bersama makalah. Tabel harus diketik 1 spasi.

5. Metode statistik. Jelaskan tentang metode statistik secara

rinci pada bagian “metode”. Metode yang tidak lazim,

ditulis secara rinci berikut rujukan metode tersebut.

6. Judul ditulis dengan huruf besar 11 point, baik judul

singkat dengan jumlah maksimal 40 karakter termasuk

huruf dan spasi. Diletakkan di bagian tengah atas dari

halaman pertama. Subjudul dengan huruf 11 point dengan

huruf kapital.

7. Nama dan alamat penulis disertai pas photo. Nama penulis

tanpa gelar dan alamat atau lembaga tempat bekerja ditulis

lengkap dan jelas. Alamat korespondensi, nomor telepon,

nomor facsimile, dan alamat e-mail. Pas photo terbaru

ukuran 3x4.

8. Ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih hanya untuk

para profesional yang membantu penyusunan naskah,

termasuk pemberi dukungan teknis, dana dan dukungan

umum dari suatu institusi.

9. Daftar pustaka. Daftar pustaka ditulis sesuai dengan

aturan penulisan Vancouver, yaitu diberi nomor urut

sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks dan

ditulis secara super script. Jumlah refernsi dalam Daftar

pustaka minimal 10 referensi. Disebutkan 6 nama

pengarang kemudian at al.

Contoh

- Jurnal: Hendarto H, Gray S. Surgical and non surgical

intervation for speech rehabilitation in Parkinson

disease. Med J Indonesia 2000; 9 (3): 168-74.

- Buku: Lavelle CLB. Dental placque In Applied Oral

Physiology,2nd

ed. London: Wright. 1988:93-5.

- Book Section: Shklar G, Carranza FA. The Historical

Background of Periodontology. In: Carranza's Clinical

Periodontology (Newman MG, Takei HH, Klokkevold

PR, Carranza FA, (Eds), 10th

ed. St. Louis: Saunders

Elsevier, 2006: 1-32.

- Website : Almas K. The antimicrobial effects of seven

different types of Asian chewing sticks. Available in

http://www.santetropicale.com/resume/49604.pdf

Accessed on April, 2004.

10. Artikel dikirim sebanyak 1 (satu) eksemplar, dalam

bentuk hard dan soft copy, tuliskan nama file dan program

yang digunakan, kirimkan paling lambat 2 (dua) bulan

sebelum bulan penerbitan kepada:

Ketua Dewan Penyunting

Cakradonya Dental Journal (CDJ)

Fakultas Kedokteran Gigi-Unsyiah

Darussalam Banda Aceh 23211

Telp/fax. 0651-7551843

11. Kepastian pemuatan atau penolakan artikel akan

diberitahukan secara tertulis. Penulis yang artikelnya

dimuat mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan

sebanyak 1 (satu) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat

tidak akan dikembalikan kecuali atas permintaan penulis.

Page 75: cakradonya - Unsyiah

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh

Aceh-IndonesiaTelp.Fax/0651 7555183

E-mail: [email protected]

pISSN 2085.546X eISSN 2622-4720