referat dbd
DESCRIPTION
koasTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Demam berdarah dengue atau yang biasa di singkat DBD adalah salah satu
penyakit yang sulit di sembuhkan hal ini di sebabkan karena Sampai saat ini belum
ditemukan obat atau vaksin untuk penanggulangan DBD ini.
Demam berdarah dengue banyak terjangkit di daerah tropis dan subtropis. Asia
menempati urutan pertama dalam jumlah penderita demam berdarah dengue tiap tahun.
Hal ini mungkin disebabkan oleh karena curah hujan di Asia yang sangat tinggi terutama
di Asia timur dan selatan ditambah dengan sanitasi lingkungan yang tidak bagus.
Penyakit DBD pertama kali di indonesia di temukan di Surabaya pada tahun
1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru di dapat pada tahun 1972. sejak itu penyakit
tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di
Indonesia kecuali Timor – Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali di
temukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah
maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun.
KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate ( IR ) = 35,19
per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10.17%, namun tahun – tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15.99 ( tahun
2000); 21.66 ( tahun 2001 ); 19.42 ( tahun 2002 ) dan 23,87 ( tahun 2003 ).
Hampir setiap tahun, di bulan-bulan tertentu, selalu saja ada berita tentang kasus
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia. Penyakit ini tiap tahun telah membawa
banyak korban jiwa, bahkan jumlah kasus serta korban jiwa meningkat tiap
tahunnya.DBD terjadi berulang-ulang setiap tahun. DBD merupakan salah satu penyakit
penting di Indonesia dan memerlukan penanganan yang menyeluruh dan integral, agar
penyakit ini tidak lagi menimbulkan banyak korban jiwa.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bandung, jumlah penderita DBD pada
Januari 2009 mencapai 783 kasus. Jumlah itu lebih besar dibandingkan dengan Januari
2008 yaitu sebanyak 545 kasus. Sementara itu, total jumlah penderita DBD di tahun 2008
sebanyak 4.432 kasus. Kecenderungannya menurun jika dibandingkan dengan tahun
2007 yang mencapai 4.717 kasus. Berdasarkan data tahunan Dinas Kesehatan Kota
Bandung, puncak penyebaran virus DBD selalu terjadi pada caturwulan pertama setiap
tahun, antara Februari-April.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1.DEMAM BERDARAH DENGUE
2.1.1. DEFINISI
Demam Berdarah Dengue atau Dengue Haemorragic Fever (DHF) ialah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
oto dan/ atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma
yang ditandai dengan hemakonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan
cairan di rongga tubuh.
2.1.2. EPIDEMIOLOGI
Di banyak negara tropis, virus dengue sangat endemik. Di Asia, penyakit ini
sering menyerang di Cina, Pakistan, India, dan semua negara di Asia Tenggara.
Secara umum, demam dengue menyebabkan angka kesakitan dan kematian lebih
besar dibanding dengan infeksi arbovirus yang lainnya pada manusia. Setiap tahun
diperkirakan terdapat 50-100 juta kejadian infeksi dengue yang mana ratusan ribu
kasus demam berdarah dengue terjadi, tergantung dari aktifitas epidemiknya (WHO,
2000). Di Indonesia kasus demam berdarah pertama kali dilaporkan terjadi di
Surabaya dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang pada tahun 1968. Tahun-
tahun selanjutnya kasus DBD berfluktuasi jumlahnya setiap tahun dan cenderung
meningkat. Demikian juga wilayah yang terjangkit bertambah luas. Insiden DBD di
indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada
tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2%
pada tahun 1999. Depkes RI melaporkan bahwa pada tahun 2010 di Indonesia
tercatat 14.875 orang terkena DBD dengan kematian 167 penderita. Daerah yang
perlu diwaspadai adalah DKI Jakarta, Bali,dan NTB.
2.1.3. ETIOLOGI
Virus Dengue
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DEN-1, DEN-2,
DEN-3, dan DEN-4. Virus tersebut termasuk dalam genus flavivirus (grup
Arbovirus B), famili Flaviviridae. Infeksi dengan salah satu serotipe akan
menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan tetapi tidak
ada perlindungan terhadap serotipe lain. Keempat jenis virus tersebut semuanya
terdapat di indonesia. Di daerah endemik DBD, seseorang dapat terkena infeksi
semua serotipe pada waktu bersamaan.
Vektor DBD
Di Indonesia dikenal 2 jenis nyamuk Aedes sebagai vektor utama dengue
yaitu Aedes aegypti (didaerah perkantoran) dan Aedes albopictus (di daerah
pedesaan). Naymuk yang menjadi vektor penyakit dbd adalah nyamuk yang
menjadi terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia. Ciri-
ciri naymuk Aedes aegypti adalah :
Paling sering ditemukan adalah nyamuk yang hidup di daerah tropis, terutama
hidup dan berkembang biak di dalam rumah yaitu di tempat penampungan
air jernih atau tempat penampungan air disekitar rumah.
Nyamuk bewarna hitam dengan bergaris-garis putih pada bagian-bagian
badannya terutama pada kakinya.
Jarak terbang 100 meter
Naymuk betina bersiafat multiple biters
2.1.4. PATOGENESIS
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah
yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah
hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis
immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien
yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh
karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga
akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai
antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan
infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan
terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan
keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977.
Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang
pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari
mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga
dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah
banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi
(virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari
ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan
asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu, pengobatan syok
sangat penting guna mencegah kematian.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah
(gambar 2). Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD.
Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi
pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat),
sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi
intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen
degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Agregasi
trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun
jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi
trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan
memperberat syok yang terjadi.
2.1.5. GAMBARAN KLINIS
Infeksi virus dengue memperlihatkan gambaran klinis yang bervariasi, dari
derajat ringan sampai berat. Infeksi dengue yang paling ringan dapat tidak
menimbulkan gejala (silent dengue infection), atau demam tanpa penyebab yang
jelas (undifferentiated febrile illness), diikuti oleh demam dengue (DD), dan demam
berdarah dengue (DBD). Manifestasi klinis DBD dapat berupa demam akut,
perdarahan, serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa
inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.
Pada pasien DBD dapat terjadi gejala perdarahan pada hari ke-3 atau ke-5
berupa petekie, purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati
umumnya membesar dan terdapat nyeri tekan yang tidak sesuai dengan beratnya
penyakit. Pada pasien DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab
dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari-jari
tangan dan kaki, serta dijumpai penurunan tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi
pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke – 3 dan hari ke – 7
penyakit.
Kriteria klinis DBD menurut WHO (1997) :
1. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2-7 hari, biasanya bifasik
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut ini :
uji torniquet positif
petekie, ekimosis, atau purpura
perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas suntikan, atau tempat lain
hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (≤ 100.000/mm³)
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage oleh karena peningkatan
permeabilitas kapiler berikut :
Hematokrit meningkat ≥20% dibanding hematokrit rata-rata pada usia, jenis
kelamin, dan populasi yang sama
Hematokrit turun hingga ≥20% dari hematokrit awal, setelah pemberian
cairan
Terdapat tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, dan
hipoproteinemia
Klasifikasi derajat penyakit Infeksi Virus Dengue, dapat dilihat pada table
berikut:
DD/DBD Derajat Gejala Lab
DD Demam disertasi 2
atau lebih tanda :
sakit kepala, nyeri
retro-orbital,
mialgia, artralgia
Leukopenia
Trombositopenia,
tdk ada
kebocoran
plasma
Serologi
dengue (+)
DBD I Gejala diatas,
ditambah dgn uji
bendung (+)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
II Gejala diatas,
ditambah dgn
Trombositopenia
(<100.000), bukti
perdarahan spontan ada kebocoran
plasma
III Gejala diatas
ditambah dengan
kegagalan sirkulasi
(kulit dingin dan
lembab, serta
gelisah)
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
IV Syok berat disertai
dengan tekanan
darah dan nadi tidak
terukur
Trombositopenia
(<100.000), bukti
ada kebocoran
plasma
Sementara untuk diagnosis Sindrom Syok Dengue (SSD) adalah ditemukannya
semua kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi
nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤20 mmHg), hipotensi
dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.
Penatalaksanaan akan efektif jika penyakit di rekognisi awal dan memahami
manifestasi klinis pada setiap fase.
Fase Febrile
Pada fase ini pasien tiba-tiba mengalami demam derajat tinggi. Fase akut
ini biasanya terjadi selama 2-7 hari dan seringkali disertai wajah memerah,
eritema kulit, nyeri pada tubuh secara umum, myalgia, athralgia, dan sakit
kepala. Beberapa pasien mungkin akan mengalami sakit tenggorokan dan
infeksi konjungtiva. Anorexia, mual, dan muntah sering ditemui. Hasil tes
tourniquet yang positif meningkatkan kemungkinan infeksi dengue.
Manifestasi-manifestasi klinik ini sulit dibedakan antara kasus dengue berat
dan tidak berat, oleh karena itu monitoring warning signs dan parameter klinis
lainnya sangat diperlukan untuk melihat perkembangan yang akan menuju fase
kritis.
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekia dan perdarahan membrane
mukosa (contohnya pada hidung) dapat terjadi. Perdarahan vagina hebat (pada
wanita dalam usia perkawinan) dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi
pada fase ini, namun jarang ditemukan. Hati seringkali membesar setelah
beberapa hari demam. Abnormalitas jumlah sel darah yang paling awal terlihat
yaitu penurunan progresif total sel darah putih, yang harus dicurigai dokter
merupakan kemungkinan besar infeksi dengue.
Critical Phase
Pada fase ini terjadi penurunan suhu tubuh menjadi 37,5-38oC atau lebih
rendah lagi, seringkali pada hari ke 3-7 dari penyakit ini. Selain itu, dapat
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang parallel dengan peningkatan
level hematokrit, yang merupakan tanda-tanda mulainya fase kritis. Periode
kebocoran plasma signifikan biasanya terjadi selama 24-48 jam.
Leucopenia progresif yang diikuti dengan penurunan cepat jumlah platelet
biasanya mendahului kebocoran plasma. Pada keadaan ini, kondisi pasien tanpa
peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik, sedangkan pasien dengan
peningkatan permeabilitas kapiler akan memburuk sebagai akibat kurangnya
volume plasma. Efusi pleura dan asites dapat terdeteksi, tergantung dari derajat
kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan USG
merupakan alat diagnosis yang baik. Peningkatan hematokrit merefleksikan
derajat keparahan dari kebocoran plasma.
Shock terjadi ketika volume plasma sangat kurang akibat kebocoran
plasma. Shock sering kali diawali oleh warning signs. Suhu tubuh dapat
ditemukan dibawah normal ketika shock terjadi. Shock yang memanjang akan
menyebabkan hipoperfusi organ yang akan menyebabkan fungsi organ yang
menurun, asidosis metabolic, dan penurunan fungsi koagulasi intravascular.
Hal-hal ini akan menyebabkan perdarahan berat yang menyebabkan penurunan
jumlah hematokrit pada shock berat. Pada fase ini juga terjadi peningkatan
jumlah sel darah putih pada pasien dengan perdarahan berat. Ditambah lagi,
penurunan fungsi organ contohnya hepatitis, encephalitis, atau myocarditis
dan/atau perdarahan hebat dapat pula terjadi tanpa kebocoran plasma atau
shock.
Recovery Phase
Jika pasien berhasil bertahan melewati fase kritis, akan terjadi reabsorpsi
cairan dari kompartemen ekstravaskular yang terjadi dalam 48-72 jam
berikutnya. Akan terjadi perbaikan keadaan umum pasien, seperti nafsu makan
yang membaik dan stabilisasi status hemodinamik. Bradikardi dan perubahan
pada EKG sering ditemukan pada fase ini. Distress pernapasan akibat efusi
pleura dan asites dapat terjadi sewaktu-waktu pada pasien yang telah diterapi
dengan cairan intravena yang berlebihan. Pada saat fase kritis dan/atau fase
recovery, terapi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan edema paru atau
gagal jantung kongestif.
2.1.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah
trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai
gambaran limfosit plasma biru.
Diangnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reverse
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit,
saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap dengue
berupa antibody total, IgM maupun IgG lebih banyak.
Parameter laboratorium yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemukan limfositosis
relative (>45% dari leukosit) disertai adanya lifosit plasma biru (LPB) >
15% dari jumlah total leukosit pada fase syok akan meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan peningkatan hematokrin ≥ 20% dari
hematokrin awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan AP, APTT, Fibrinogen, D- Dimer atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoalbuminemia akibat kebocoran plasma
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan
Serelogi
Dilakukan pemeriksaan serologi IgM dan IgG terhadap dengue, yaitu:
- IgM muncul pada hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke 3,
menghilang setelah 60-90 hari
- IgG terdeteksi mulai hari ke 14 (infeksi primer), hari ke 2 (infeksi
sekunder).
NS1
Antigen NS1 dapat terdeteksi pada awal demam hari pertama sampai hari
kedelapan. Sensitivitas sama tingginya dengan spesitifitas gold standart
kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan adanya
infeksi virus dengue.
Radiologis
Pada foto rontgen dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai
pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan
dalam posisi lateral dekubitus kanan. Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan USG.
Masa inkubasi dalam tubuh mausia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbuk gejala prodormal yag tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang,
belakang dan perasaan lelah.
2.1.8. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana berdasarkan grup A-C
Grup A : Pasien yang mungkin dikirim pulang pada pasien demam berdarah.
Ini adalah pasien yang mampu mentoleransi volume cairan pada bagian
mulut dan buang air yang memadai setidaknya sekali setiap enam jam, dan
tidak memiliki tanda-tanda suatu gejala, terutama ketika demam mulai reda.
Pasien rawat jalan harus ditinjau setiap hari untuk perkembangan penyakitnya
(penurunan jumlah sel darah putih, penurunan suhu badan sampai pada batas
yang normal dan tanda-tanda suatu gejala) sampai mereka keluar dari masa
kritis. Mereka dengan hematokrit stabil dapat dikirim pulang setelah disarankan
untuk kembali ke rumah sakit segera jika mereka bila terjadi salah satu tanda-
tanda suatu gejala dan untuk mengikuti penanganan berikut ini :
Anjurkan asupan oral larutan oral rehidrasi (oralit), jus buah dan cairan
lain yang mengandung elektrolit dan gula untuk mengganti kerugian dari
demam dan muntah. Konsumsi cairan oral yang cukup mungkin dapat
mengurangi jumlah perawatan pasien pada kasus ini di rumah sakit.
Perhatian : cairan yang mengandung gula atau glukosa dapat
memperburuk hiperglikemia, stres fisiologis dari demam berdarah dan
diabetes mellitus.
Berikan parasetamol untuk demam tinggi jika pasien tidak nyaman. Pada
interval parasetamol dosis tidak boleh kurang dari enam jam. Spons
hangat jika pasien masih mengalami demam tinggi. Jangan memberikan
asam asetilsalisilat (aspirin), ibuprofen atau non-steroid anti-inflamasi
agen lainnya (NSAID) karena obat ini dapat memperburuk gastritis atau
perdarahan. Asam asetilsalisilat (aspirin) mungkin terkait dengan Sindrom
Reye.
Anjurkan pada pemberi perawatan bahwa pasien harus dibawa ke rumah
sakit segera jika salah satu terjadi hal berikut: tidak ada perbaikan klinis,
memburuknya sekitar waktu penurunan suhu badan sampai yg normal,
sakit perut yang parah, muntah terus menerus, ekstremitas dingin dan
berkeringat, lesu atau lekas marah / gelisah, perdarahan (misalnya tinja
berwarna hitam atau muntah kopi darat), tidak buang air kecil selama lebih
dari 4-6 jam.
Pasien yang dipulangkan harus dipantau setiap hari oleh petugas kesehatan
mengenai pola suhu tubuh, volume intake dan kehilangan cairan, urin (volume
dan frekuensi), tanda-tanda suatu gejala, tanda-tanda kebocoran plasma dan
perdarahan, hematokrit, dan sel darah putih dan jumlah trombosit.
Grup B : Pasien yang harus dirujuk untuk manajemen di rumah sakit.
Pasien mungkin perlu dirawat di sebuah pusat layanan kesehatan sekunder
untuk pengamatan dekat, terutama ketika mereka mendekati fase kritis. Ini
termasuk pasien dengan tanda-tanda suatu gejala demam berdarah, dimana
mereka dengan kondisi yang ada yang dapat membuat demam berdarah atau
manajemen yang lebih rumit (seperti kehamilan, bayi, usia tua, obesitas,
diabetes melitus, gagal ginjal, penyakit hemolitik kronis), dan mereka dengan
kondisi sosial tertentu (seperti hidup sendiri, atau yang tinggal jauh dari
fasilitas kesehatan tanpa sarana yang dapat diandalkan transportasi).
Jika pasien dengan memiliki kondisi demam berdarah dengan tanda suatu
gejala yang khusus pada demam berdarah, penatalaksanaan yang harus
dilakukan sebagai berikut :
Memperoleh suatu hematokrit acuan sebelum terapi cairan. Hanya
memberikan solusi isotonik seperti saline 0,9%, ringer laktat, atau larutan
Hartmann. Mulailah dengan 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian
berkurang menjadi 3-5 ml/kg/jam selama 2-4 jam, dan kemudian
mengurangi ke 2-3 ml/kg/jam atau kurang sesuai dengan respon klinis.
Menilai kembali status klinis dan ulangi hematokrit. Jika hematokrit tetap
sama atau meningkat hanya sedikit, lanjutkan dengan tingkat yang sama
(2-3 ml/kg/jam) selama 2-4 jam. Jika tanda-tanda vital memburuk dan
hematokrit meningkat pesat, meningkatkan tingkat 5-10 ml/kg/jam selama
1-2 jam. Menilai kembali status klinis, ulangi hematokrit dan meninjau
cairan infus sesuai tarif.
Berikan volume cairan intravena minimum yang diperlukan untuk
mempertahankan perfusi baik dan output urin sekitar 0,5 ml/kg/jam.
Cairan intravena biasanya diperlukan hanya 24-48 jam. Mengurangi cairan
intravena secara bertahap ketika tingkat kebocoran plasma menurun
menjelang akhir fase kritis. Hal ini ditunjukkan dengan produksi urin dan /
atau asupan cairan oral yang / memadai, atau hematokrit menurun di
bawah nilai awal pada pasien yang stabil.
Pasien dengan tanda-tanda khusus harus dipantau oleh petugas pelayanan
kesehatan sampai periode risiko berakhir. Sebuah keseimbangan cairan
rinci harus dipertahankan. Parameter yang harus dipantau meliputi tanda-
tanda vital dan perfusi perifer (1-4 jam sampai pasien keluar dari fase
kritis), urin (4-6 jam), hematokrit (sebelum dan sesudah penggantian
cairan, kemudian 6-12 jam), glukosa darah, dan fungsi organ lainnya
(seperti ginjal profil, profil hati, profil koagulasi, seperti yang
ditunjukkan).
Jika pasien tanpa memiliki kondisi demam berdarah dengan tanda suatu
gejala yang khusus pada demam berdarah, penatalaksanaan yang harus
dilakukan sebagai berikut :
Anjurkan cairan oral. Jika tidak ditoleransi, mulai terapi cairan intravena
salin 0,9% atau ringer laktat dengan atau tanpa dextrose pada tingkat
pemeliharaan. Untuk pasien obesitas dan kelebihan berat badan, gunakan
berat badan ideal untuk perhitungan cairan infus. Pasien mungkin dapat
mengambil cairan oral setelah beberapa jam terapi cairan intravena.
Dengan demikian, perlu untuk merevisi infus cairan yang cukup sering.
Berikan volume minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi
yang baik dan output urin. Cairan intravena biasanya diperlukan hanya
untuk 24-48 jam.
Pasien harus dipantau oleh petugas pelayanan kesehatan mengenai pola
suhu tubuh, volume intake dan kehilangan cairan, urin (volume dan
frekuensi), tanda-tanda peringatan, hematokrit, dan sel darah putih dan
trombosit. Tes laboratorium lain (seperti hati dan fungsi ginjal tes) bisa
dilakukan, tergantung pada gambaran klinis dan fasilitas rumah sakit atau
pusat kesehatan.
Grup C : Pasien yang memerlukan perawatan darurat dan rujukan mendesak
ketika mereka memiliki kondisi demam berdarah.
Pasien yang memerlukan perawatan darurat dan rujukan yang mendesak
ketika mereka berada di fase kritis penyakit, yaitu ketika mereka memiliki
gejala :
Kebocoran plasma berat yang mengakibatkan syok demam berdarah dan
atau cairan akumulasi dengan gangguan pernapasan.
Pendarahan parah.
Gangguan organ yang parah (kerusakan hati, gangguan ginjal,
kardiomiopati, ensefalopati atau ensefalitis).
Semua pasien dengan demam berdarah yang parah harus dirawat di rumah
sakit dengan akses ke fasilitas perawatan intensif dan transfusi darah. Bijaksana
resusitasi cairan intravena adalah intervensi penting dan biasanya satu-satunya
yang diperlukan. Solusi kristaloid harus isotonik dan volume hanya cukup
untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif selama periode kebocoran
plasma. Kehilangan plasma harus segera dan cepat diganti dengan cairan
kristaloid isotonik atau dalam kasus syok hipotensi dan larutan koloid. Jika
mungkin, mendapatkan kadar hematokrit sebelum dan sesudah resusitasi
cairan.
Di sana harus terus dilanjutkan penggantian kehilangan plasma lebih lanjut
untuk mempertahankan sirkulasi yang efektif selama 24-48 jam. Untuk pasien
kelebihan berat badan atau obesitas, berat badan yang ideal harus digunakan
untuk menghitung tingkat infus cairan. Sebuah kelompok dan crossmatch harus
dilakukan untuk semua pasien syok. Transfusi darah harus diberikan hanya
dalam kasus-kasus yang dicurigai atau parah pendarahan.
Resusitasi cairan harus dipisahkan secara jelas dari pemberian cairan
sederhana. Ini adalah strategi di mana volume yang lebih besar dari cairan
(misalnya 10-20 ml bolus) diberikan untuk jangka waktu terbatas di bawah
pengawasan dekat untuk mengevaluasi respon pasien dan untuk menghindari
perkembangan edema paru. Tingkat Defisit volume intravaskular syok demam
berdarah bervariasi. Input biasanya jauh lebih besar dari output, dan rasio input
atau output tidak ada utilitas untuk menilai kebutuhan resusitasi cairan selama
periode ini.
Tujuan dari resusitasi cairan termasuk meningkatkan sirkulasi pusat dan
perifer (penurunan takikardia, peningkatan tekanan darah, volume nadi,
ekstremitas hangat dan merah muda, dan waktu pengisian kapiler <2 detik) dan
meningkatkan perfusi organ akhir yaitu tingkat kesadaran yang stabil (lebih
waspada atau kurang gelisah), output urin ≥ 0,5 ml / kg / jam, penurunan
asidosis metabolik.
Kriteria untuk memulangkan pasien :
Tidak ada demam selama sedikitnya 24 jam tanpa penggunaan terapi
antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan secara klinis
Output urine yang cukup
Melewati sedikitnya 2 hari setelah pemulihan dari syok
Tidak ada distress pernapasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asites)
Jumlah trombosit ≥ 50.000/mm³. Jika tidak, pasien dapat dianjurkan untuk
menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu untuk trombosit
menjadi normal. Dalam kebanyakan kasus rumit, trombosit meningkat normal
dalam waktu 3-5 hari.
PROGNOSIS
Mortalitas pada penyakit DBD cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di
Surabaya, Semarang dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan
penyakit umumnya lebih ringan daripada anak-anak.
BAB III
KESIMPULAN
DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan hemakonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Patogenesis
DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang
heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Manifestasi klinis DBD dapat berupa demam akut, perdarahan, serta
kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa inkubasi dengue
antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari.
Pada pasien DBD dapat terjadi gejala perdarahan pada hari ke-3 atau ke-5
berupa petekie, purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati
umumnya membesar dan terdapat nyeri tekan yang tidak sesuai dengan beratnya
penyakit. Pada pasien DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa
lembab dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak pada ujung hidung,
jari-jari tangan dan kaki, serta dijumpai penurunan tekanan darah. Renjatan
biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke – 3 dan
hari ke – 7 penyakit. Mortalitas pada penyakit DBD cukup tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Widoyono. 2011. PENYAKIT TROPIS Epidemiologi, Penularan, Pencegahan &
Pemberantasanya. Jakarta : Erlangga Medical Series
Sudoyo W, Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat
Penerbit FKUI.
Rani A, Soegando S, Uyainah A, Prasetya I, Mansjoer A. 2009. PANDUAN
PELAYANAN MEDIK. Jakarta : Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam
World Health Organization. Dengue guidelines for diagnosis, treatment, prevention
and control.Geneva: WHO, 2009.