prevalensi penyakit parkinson
DESCRIPTION
prevalensiTRANSCRIPT
PREVALENSI PENYAKIT PARKINSON
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikiatri
Dosen: Drs. MIF. Baihaqi, M.Si.
Disusun Oleh :
Laila Purnamasari (1106222)
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2013
CONTOH KASUS
1
Pemakaian Pestisida Sebabkan Parkinson
Penulis: Asep Candra | Minggu, 30 Maret 2008 | 17:53 WIB
PENGGUNAAN pestisida yang tidak terkendali memang dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Salah satu kekhawatiran yang mengemuka adalah pemakaian pestisida ternyata dapat meningkatkan risiko seseorang mengidap penyakit Parkinson.
Dugaan kuat akan adanya kaitan risiko penyakit syaraf dengan zat kimia pemberantas hama tersebut muncul lewat hasil penelitian yang dipublikasikan jurnal BMC Neurology belum lama ini.
Penelitian terhadap 600 partisipan di Amerika Serikat menemukan bahwa mereka yang terpapar kandungan kimia dalam pestisida berisiko 1,6 kali mengidap penyakit Parkinson ketimbang yang tidak terkena pestisida.
Para ahli mengatakan temuan ini mengindikasikan bahwa pestisida kini memegang peran penting sebagai penyebab penyakit walaupu dipengaruhi oleh kombinasi banyak faktor.
Parkinson, yang biasanya timbul pada pasien usia lanjut, dapat mempengaruhi dan mengganggu kemampua motorik serta berbicara. Faktor genetika sejak lama dipercaya memberi kontribusi penting akan timbulnya penyakit ini.
Penggunaan pestisida
Kaitan antara Parkinson dengan penggunaan pestisida belum lama ini terungkap lewat riset yang dilakukan tim ahli dari Duke University, Miami University dan Udall Parkinson Disease Research Center of Exellence.
Sekitar 319 pasien pengidap Parkinson direkrut untuk ditanyai mengenai penggunaan pestisida dan jawaban mereka dibandingkan dengan 200 orang anggota keluarga serta partisipan lain yang tidak mengalami penyakit ini.
Individu-individu yang memiliki hubungan dengan penggunaan pestisida dipilih dan dianalisis. Mereka yang terpilih menceritakan latar belakang lingkungan serta faktor genetika dengan tujuan untuk mengisolasi dampak pestisida.
Hasil analisis mengindikasikan, mereka yang terpapar pestisida berisiko hingga 1,6 kali lebih besar mengalami Parkinson. Penggunaan pestisida berlebihan atau yang diklasifikasikan lebih dari 200 hari terpapar pestisida sepanjang hidup, tercatat memiliki risiko dua kali lipat.
Dalam penelitian ini juga diungkapkan bahwa herbisida dan insektsida adalah jenis pestisida yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan risiko Parkinson
KAJIAN TEORI
ASPEK NEUROPSIKIATRI PADA PENYAKIT PARKINSON
(PARKINSON’S DISEASE)
A. Pengertian Parkinson
Penyakit Parkinson (PD) pertama kali dideskripsikan secara lengkap gejalanya oleh
seorang dokter dan geologis dari Inggris yaitu James Parkinson sekitar 2 abad yang lalu
(1817) melalui monografnya An Essay on the Shaking Palsy. Atas jasa dari Arvid Carlsson
sebagai pemenang Nobel Prize, saat ini kita mengetahui lebih dalam lagi mengenai prinsip
kelainan penyakit Parkinson yaitu hilangnya fungsi dopamine (DA) dan pengobatan
menggunakan levodopa sebagai metoda pengobatan yang dipakai, setidaknya saat ini kita
telah mencapai suatu tahap pengertian dimana kelainan yang terjadi dan bagaimana cara
memperbaikinya.
Penyakit Parkinson merupakan gangguan neurodegenerative progresif yang disebabkan
karena proses degenerasi spesifik neuron-neuron dopaminergik ganglia basalis terutama di
substansia nigra pars kompakta yang disertai inklusi sitoplasmik eosinofilik (badan lewy).
Penyakit Parkinson adalah tipe tersering dari suatu keadaan Parkinsonism, lebih kurang 80%
dari seluruh kasus. Selain itu penyakit Parkinson juga merupakan penyakit neurodegenerative
tersering kedua setelah demensia Alzheimer.
B. Gejala Klinis Penyakit Parkinsons : Hubungannya terhadap Psikopatologi
1. Gejala Motorik
Penyakit Parkinson dapat didiagnosis secara pasti melalui ditemukannya :
degenerasi dan hilangnya sel saraf berpigmen di substansia nigra (pars compacta) dan
badan inklusi (Badan Lewy) intraneuronal di substansia nigra. Penyakit ini dapat
ditegakkan secara klinis yang timbul berupa trias motorik : 1) tremor saat istirahat, 2)
rigiditas, dan 3) bradikinesia/akinesia (berkurang atau lambatnya suatu gerakan).
Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson berdasarkan kombinasi gejala spesifik yang
timbul, namun terdapat heterogenitas pada setiap individu dan tidak ada yang spesifik.
Salah satu klasifikasi yang dipakai untuk penegakkan diagnosis PD secara klinis yaitu
melalui kriteria dari Hughes :
2
a) Possible
Terdapat salah satu dari gejala utama : resting tremor, rigiditas, bradikinesia,
kegagalan refleks postural
b) Probable
Kombinasi dua gejala utama (termasuk kegagalan refleks postural) atau satu dari tiga
gejala pertama yang tidak simetris (dua dari empat tanda motorik)
c) Definite
Kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu gejala lain yang tidak
simetris (tiga tanda kardinal) dan responsif terhadap pengobatan levodopa.
Pada suatu seri penelitian klinis paling akhir menunjukkan bahwa gejala klasik
tremor pada pasien PD terjadi sekitar 70 % pada awal penyakit, dan sekitar 5 % nya
datang dengan depresi atau nervousness. Pada penelitian yang sama, terdapat subgroup
penelitian mengalami gejala somatik yang bervariasi, yaitu terdapatnya muka topeng
atau kelelahan, yang dapat disalah persepsikan sebagai gejala primer depresi dibanding
sebagai PD.
Gejala-gejala yang terjadi pada pasien berhubungan dengan trias motorik pada PD,
beberapa diantaranya bertumpang tindih dengan terjadinya suatu gangguan mood. PD
dapat dianggap sebagai suatu kelainan primer depresi, dan terjadinya depresi menjadi
tidak dikenali pada pasien PD. Setelah dua keadaan klinis tersebut terdeteksi akan timbul
kesulitan dalam menentukan manakah yang menjadi fenomena klinis motor primer atau
patologi primer psikiatrik. (lihat table 1). Sebagai contoh, bradikinesia juga dikenal
sebagai komponen didalam depresi, dan biasa dideskripsikan sebagai retardasi
psikomotor.
Gejala tremor yang terjadi pada sekitar 80 % pasien dengan penyakit Parkinson,
dapat menjadi suatu komponen yang signifikan pada gejala ansietas. Beberapa pasien
juga melaporkan adanya tremor anggota dalam tubuh yang juga dapat berhubungan
dengan ansietas. Tremor yang timbul pada awal dari PD menjadi sulit dikenali sebagai
suatu gejala PD bila tidak disertai gejala motorik lainnya. Rigiditas ditandai adanya
peningkatan tonus saat pergerakan pasif, dapat juga bermanifestasi dalam bentuk seperti
keram otot ataupun nyeri. Adanya rigiditas meimbulkan suatu kelainan dalam berjalan
dan mengganggu postur tubuh, refleks posisi tubuh yang menghilang, gangguan
keseimbangan bahkan kejadian jatuh pada pasien PD sering terjadi seiring dengan
progresivitas penyakit. Gejala lainnya seperti disartri, gangguan visual dan
3
genitourinarius, gangguan tidur, kulit berkeringat dan berminyak, edema, konstipasi,
parestesia, kelelahan dan penurunan rasa penciuman juga dapat terjadi pada keadaan PD
tingkat lanjut. Fenomena-fenomena tersebut dapat terjadi sebagai gangguan mood dan
terapi antidepresan.
TABEL 1. Gejala Umum pada Penyakit Parkinson dan Depresi Mayor
Penyakit Parkinson Depresi Mayor
Motor Bradikinesia Psikomotor
Postur terhenti +/- Postur terhenti
Muka topeng Afek terbatas/depresi
Kognitif Gangguan Memori Gangguan Memori
Gangguan konsentrasi Gangguan konsentrasi
Indecisiveness Indecisiveness
Vegetatif Energi berkurang Energi berkurang
Fatigue Fatigue
Gangguan tidur Gangguan tidur
Nafsu makan berubah Nafsu makan berubah
Somatik Gangguan fisik Gangguan fisik
2. Gangguan Kognitif
Dalam perkembangan penyakitnya, PD dapat menyebabkan gangguan kognitif yang
bervariasi tingkat keparahannya. Penyebabnya adalah multifaktorial, menyangkut di
dalam sistem dopamin di subkortikal – frontal dan sistem ekstrastriatum. Terdapatnya
gangguan mood yang terjadi, menyertai, atau mengikuti perubahan kognitif dapat
mengganggu dalam penilaian gangguan fungsi kognitif yang terjadi dan gangguan yang
terjadi seakan lebih berat daripada kenyataannya. Sekitar 25 % pasien berkembang
menjadi demensia tipe Alzheimer dengan terdapatnya afasia, apraksia, dan defisit
memori. Sementara depresi dapat terjadi bersamaan pada pasien PD dengan demensia,
keluarga dan klinisi yang melihat terjadinya kurangnya sosialisasi pada pasien
menganggapnya sebagai suatu kelainan depresi dibandingkan suatu keadaan hendaya
fungsi kognitif sehingga pasien diberikan obat-obatan antidepresan.
Pengenalan gejala demensia pada PD sangatlah penting bagi klinisi karena pada
pasien-pasien ini sangat rentan dalam pemberian obat-obatan psikoaktif yang dapat
4
mengakibatkan terjadinya delirium, dan lebih jauh lagi sebagai penyebab nursing home
pada pasien PD.
3. Komplikasi Psikiatri
Selama bertahun-tahun, diperkirakan fenomena psikiatri yang terjadi pada PD,
seperti perubahan afek, dikatakan berhubungan dengan berkurangnya dopamine dan
gangguan motorik. Setelah ditemukannya penggunaan terapi levodopa pada tahun 1960,
hampir dua pertiga pasien PD mengalami gangguan afektif yang persisten, walaupun
telah diberikan terapi antiparkinson, dan perubahan mood yang terjadi sulit diperbaiki
dengan terapi antidepresan. Jadi dapat dikatakan penyebab utama gangguan psikiatrik
pada PD disebabkan oleh kelainan neurodegeneratif, selain itu reaksi psikologis terhadap
keadaan klinis yang terjadi harus pula dipertimbangkan. Perkembangan PD menjadi
suatu tahap yang lebih lanjut didasari oleh kehilangan saraf-saraf dopaminergik di
substansia nigra dan efek sekunder pada proyeksi pada sistem yang menyangkut nucleus
kaudatus, putamen (striatum), frontal dan bagian dari girus cinguli. Berdasarkan hal
tersebut, bervariasinya gejala motorik dan non motorik pada PD dan hubungan diantara
gejala tersebut merupakan hasil dari terjadinya disfungsi sirkuit kortiko-basal ganglia-
thalamus.
Selain hilangnya neuron dopaminergik pada PD juga terjadi degenerasi pada
neuron-neuron noradrenergik di lokus seruleus, neuron serotonergik di bagian dorsal
dari raphe, dan saraf kolinergik di nucleus basalis dan sistem proyeksinya. Tingkat
kehilangan saraf pada saraf-saraf tersebut diperkirakan menjadi penyebab dari
heterogennya gejala motorik, kognitif, dan psikiatri yang terjadi pada pasien PD. Hal ini
telah dibuktikan oleh Paulus dan Jellinger yang menunjukkan terjadinya perbedaan pola
neuropatologis yang terjadi pada pasien PD yang rigid-akinetik dibandingkan dengan PD
dengan dominant tremor.
4. Gangguan Mood
Pasien dengan PD idiopatik sekitar 90 % nya mengalami komplikasi psikiatri,
termasuk didalamnya gangguan mood mayor (depresi mayor, distimia, atau gangguan
bipolar), gangguan penyesuaian, gejala ansietas disabling, perubahan mood yang
dicetuskan oleh obat, rasa sedih patologis, demensia, keadaan apatis, atau delirium.
Gangguan mood yang berfluktuasi (perubahan mood dari mood depresi menjadi
hipomani yang dapat terjadi beberapa kali sehari) diperkirakan terjadi pada 7 % hingga
5
21 % pasien PD. Perubahan mood ini diasanya terjadi mengikuti fluktuasi motorik, pada
saat pasien mengalami mood yang rendah (bercampur dengan keadaan depresi-ansietas)
terjadi pada saat periode off dan mood yang normal atau meningkat (euphoria dan
hipomanik) terjadi pada periode on. Namun, fluktuasi mood ini juga dapat terjadi tanpa
disertai fluktuasi motorik pada beberapa pasien.
5. Depresi
Depresi mayor terjadi hampir 40 % pada pasien dengan PD, angka kejadian tersebut
bervariasi dari tiap studi yang ada yaitu dari 4% hingga 70 %. Depresi mayor terjadi pada
hampir setengahnya pasien dengan depresi, sedangkan lainnya disertai gangguan
penyesuaian, distimia atau kelainan bipolar. Intensitas gejala depresi mayor secara umum
terjadi dari sedang hingga berat dan sering bersamaan dengan gejala ansietas.
Terlihat dengan jelas hubungan antara mood dan fenomena motorik sangatlah
kompleks. Menariknya adalah perbaikan motorik dengan obat-obatan tidak diikuti
dengan perbaikan mood, tetapi keberhasilan pengobatan depresi berhubungan dengan
perbaikan fungsi motorik. Dalam beberapa studi menunjukkan hubungan antara
perbaikan dari suatu episode depresi dan gangguan kognitif setelah mendapatkan
pengobatan gangguan mood.
6. Apatis
Gejala apatis dapat timbul pada PD dengan gejala depresi mayor. Terdapat dua studi
yang menelaah apatis yang terjadi pada PD. Pada studi sebelumnya, depresi dan apatis
dapat timbul bersamaan pada sekitar 30 % sample, dan 12 % hingga 16 % pasien hanya
mengalami apatis saja. Dibandingkan dengan pasien PD yang eutimik, tidak terdapat
perbedaan bermakna dalam usia, jenis kelamin, lamanya menderita PD, atau beratnya
gangguan motorik tetapi pada pasien dengan sindoma apatis terjadi relatif pada usia
lanjut dibandingkan dengan PD yang disertai depresi.
Keadaan apatis merupakan analogi dari aspek PD itu sendiri, seperti keadaan
bradiphrenia dan bradikinesia, diperkirakan beberapa gejala kognitif, behavioral, dan
motorik pada PD saling berhubungan patofisiologinya. Sebagai buktinya yaitu keadaan
bradiphrenia berhubungan dengan hilangnya neuron pada lokus seruleus yang
berimplikasi terjadinya disfungsi noradrenergik.
6
7. Emosionalisme
Keadaan emosi yang timbul pada PD merupakan suatu keadaan sentimental yang
tinggi dan berlebihan yang tidak sesuai, tidak dimotivasi dan tidak disadari. Biasanya
berlangsung singkat, tetapi sering mereka sampai timbul air mata. Keadaan menangis
yang berlebihan pada PD dapat terjadi sebagai tanda depresi mayor, inkontinensia
emosional (dikenal sebagai tertawa atau menangis patologis), delirium, atau dengan
penggunaan benzodiazepine. Pasien sering mendeskripsikan keadaan emosional yang
berlebihan dan tidak terkontrol biasanya dicetuskan melalui berbagai stimulus positif
ataupun negatif, sebagai contoh adegan di televisi yang membuat sedih, hal-hal
pengkhawatiran tentang masa depan, atau melihat orang sedang berbuat kebaikan. Pada
beberapa pasien, emosionalitas ini membuat suatu keadaan yang sangat memalukan
secara sosial, yang menimbulkan fobia bagi pasien. Dari segi pasien sendiri dan atau
keluarganya menyimpulkan bahwa menangis ini berarti mereka “mengalami depresi”
dan hal ini harus disadari keadaan ini sering terjadi pada PD, bahkan tanpa disertai
sindroma depresi sekalipun. Pemeriksaan yang seksama mengenai keadaan emosional
pasien PD menunjukkan hampir 40 % pasien mengalami peningkatan keadaan menangis
sejak onset PD, dan 11 % nya keadaan emosionalnya lebih pervasif. Tidak ada hubungan
yang pasti antara emosionalitas dan gangguan kognitif atau sindroma depresi mayor.
8. Ansietas
Keadaan ansietas merupakan masalah umum terjadi pada pasien PD, tetapi sering
kurang diperhatikan mengenai fenomena ini. Ansietas ini dapat terjadi ‘berdiri sendiri’
atau merupakan suatu gejala depresi, secara klinis keadaan ansietas terjadi pada sekitar
40 % pasien PD. Secara umum gejala yang timbul dapat berupa kelainan umum ansietas,
fobia sosial, dan kelainan panik, yang prevalensinya rata-rata sekitar 25 % pada beberapa
studi. Sindroma tersebut dapat terjadi sebelum atau menyertai sindroma depresi mayor,
dan dapat terjadi setelah keadaan depresi diterapi. Disamping itu semua, kita sebagai
klinisi haruslah memilah apakah keadaan ansietas yang terjadi akibat respon psikologis
yang masih bias ditolerir karena akibat gejala motorik yang timbul atau apakah suatu
keadaan yang lebih personal. Sindroma ini juga dapat terjadi secara independent akibat
kadar levodopa yang berfluktuasi. Disfungsi otonom yang merupakan komplikasi yang
umum pada pasien PD disamping suatu keadaan status psikiatri, juga dapat berhubungan
dengan keadaan ansietas atau depresi. Berdasarkan hal tersebut, keluhan somatik
(flusing, dizziness, sering berkemih, atau perubahan dari denyut jantung) harus dievaluasi
7
lebih hati-hati karena dapat terjadi kesalahan diagnosis (dan salah terapi), bila hal
tersebut mewakili dari sindroma afektif.
9. Psikosis
Halusinasi dan delusi terjadi pada 40 % pasien PD dan merupakan penyebab utama
penempatan pasien di tempat perawatan. Gejala halusinasi yang sering timbul berupa
halusinasi visual pada sekitar 15 % hingga 40 % pada suatu studi cross-sectionally.
Prevalensi pada suatu studi komunitas kejadian halusinasi sekitar 9,8% dengan insight
yang baik dan 6% mengalami halusinasi berat atau delusi. Delusi sangat jarang terjadi
biasanya terjadi disertai dengan halusinasi dengan prevalensi yang bervariasi yaitu
sekitar 3 % hingga 30%. Halusinasi auditorik dilaporkan terjadi pada 8 % hingga 13 %
pasien dan dapat tidak terdiagnosis.
Gejala psikosis yang timbul secara umum dapat dibagi menjadi tiga kategori.
Kategori pertama terdiri dari gejala halusinasi visual berupa gambaran ‘binatang’ atau
‘orang’ yang terjadi dengan rasa sensasi yang jelas dan disertai insight. Tipe yang kedua
halusinasi atau delusi yang terjadi menjadi persisten tetapi dengan hilangnya insight.
Pada grup yang ketiga, halusinasi atau delusi terjadi pada keadaan delirium.
Halusinasi dan delusi juga terjadi sebagai gejala dari depresif mayor atau gejala
manik, hal ini merupakan diagnosis yang harus diperhatikan pada saat pasien dalam
keadaan agitasi. Pada suatu studi pada populasi tentang psikosis menunjukkan adanya
hubungan antara gejala psikotik dan umur, tahap perkembangan, dan subgrup diagnostik
dari PD, beratnya depresi, dan gangguan kognitif, dimana pengobatan antiparkinson
tidak dibedakan diantara pasien PD dengan atau tanpa psikosis. Penemuan ini
menunjukkan patologi pada otak yang dipengaruhi sangatlah luas pada pasien dengan
keadaan psikosis dan menyangkal adanya pendapat mengenai perkembangan psikosis
akibat pengobatan antiparkinson. Adanya defisit kolinergik pada psikosis pasien PD telah
menjadi wacana.
Patofisiologi psikosis pada PD tidak diketahui secara pasti (table 2). Laporan
terjadinya psikosis pada pasien PD sering timbul pada penggunaan terapi levodopa.
Semua agen, termasuk agonis dopamine, amantadin, dan levodopa dapat menyebabkan
psikosis dan mengalami perbaikan dengan penurunan dosis. Hal inilah yang menjadi
pemikiran bahwa psikosis yang terjadi akibat sekunder hipersensitifitas reseptor
dopamine di regio mesokortikal dan mesolimbik yang diakibatkan stimulasi berlebihan
dari pengobatan dopaminergik. Teori lain mengatakan, adanya ketidakseimbangan antara
8
sistem dopaminergik dan serotonergik akibat pengobatan dengan dopaminergik yang
menurunkan kadar serotonin atau stimulasi yang berlebihan dari reseptor serotonergik
karena terapi dopaminergik. Teori lainnya yaitu psikosis yang berkaitan dengan
defisiensi kolinergik yang biasanya terjadi pada pasien PD dengan gangguan kognitif,
dikatakan defisiensi kolinergik memegang peranan terjadinya psikosis.
Tabel 2
Faktor Resiko terjadinya Psikosis pada PD
Faktor Primer
Terapi Dopaminergik
Dopamin agonis (pergolid, bromokriptin, rapinirole, pramipexole), L-dopa Catechol-O-
methyltransferase inhibitor (entacapone, tolcapone)
Faktor Tambahan
Pengobatan Psikoaktif
o Agen antiparkinson : antikolinergik, selegeline, amantadin
o Agen lain : benzodiazepine, antikolinergik lain, antihistamin, steroid, opiate
Kelainan Medis lain
Kondisi sistemik, dehidrasi, nyero, trauma intracranial yang tidak terdeteksi atau fraktur,
infeksi akut atau subakut (ISK, pneumonia, konstipasi, selulitis)
Kondisi Komorbiditas Neuropsikiatrik
Gejala depresi, sindroma depresi, demensia, penyalahgunaan L-dopa
Gangguan tidur
C. Penyebab Penyakit Parkinson
Penyebab pasti Penyakit Parkinson masih belum diketahui, meskipun penelitian
mengarah pada kombinasi faktor genetik dan lingkungan.Jauh di dalam otak ada sebuah
daerah yang disebut ganglia basalis. Jika otak memerintahkan suatu aktivitas (misalnya
mengangkat lengan), maka sel-sel saraf di dalam ganglia basalis akan membantu
menghaluskan gerakan tersebut dan mengatur perubahan sikap tubuh. Ganglia basalis
mengolah sinyal dan mengantarkan pesan ke talamus, yang akan menyampaikan informasi
yang telah diolah kembali ke korteks serebri. Keseluruhan sinyal tersebut diantarkan oleh
bahan kimia neurotransmiter sebagai impuls listrik di sepanjang jalur saraf dan diantara
saraf-saraf. Neurotransmiter yang utama pada ganglia basalis adalah dopamin.
9
Pada Penyakit Parkinson, sel-sel saraf pada ganglia basalis mengalami kemunduran
sehingga pembentukan dopamin berkurang dan hubungan dengan sel saraf dan otot lainnya
juga lebih sedikit. Penyebab dari kemunduran sel saraf dan berkurangnya dopamin biasanya
tidak diketahui. Tampaknya faktor genetik tidak memegang peran utama, meskipun penyakit
ini cenderung diturunkan. Neurodegenerative disorders lainnya termasuk Penyakit
Alzheimer’s, penyakit Huntington’s, dan amyotrophic lateral sclerosis, atau penyakit Lou
Gehrig’s serta banyak penyakit mental lainnya.
Akan tetapi ada beberapa faktor risiko (multifaktorial) yang telah dikenalpasti dan
mungkin menjadi penyebab penyakit parkinson yakni :
1. Usia, karena Penyakit Parkinson umumnya dijumpai pada usia lanjut dan jarang
timbul pada usia di bawah 30 tahun.
2. Ras, di mana orang kulit putih lebih sering mendapat penyakit Parkinson daripada
orang Asia dan Afrika.
3. Genetik, factor genetik amat penting dengan penemuan pelbagai kecacatan pada gen
tertentu yang terdapat pada penderita Penyakit Parkinson, khususnya penderita
Parkinson pada usia muda.
4. Toksin (seperti 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-trihidroxypyridine (MPTP), CO, Mn, Mg,
CS2, methanol, etanol dan sianida), penggunaan herbisida dan pestisida, serta
jangkitan.
5. Cedera kranio serebral, meski peranannya masih belum jelas, dan
6. Tekanan emosional, yang juga dipercayai menjadi faktor risiko.
D. Prevalensi Penyakit Parkinson
Penyakit parkinson sangat sulit didiagnosis karena gejalanya mirip dengan gejala
penyakit lain dan kecil kemungkinannya dua pasien memiliki gejala atau prognosis yang
sama. Di Amerika ada 1,5 juta penyandang parkinson, sementara di Indonesia data
lengkapnya belum ada.
”Yang saya tahu di poliklinik saraf RSCM, tahun 2005, ada 219 penyandang parkinson
yang berobat,” kata dr Banon Sukoandri SpS, Ketua Yayasan Penyandang Parkinson
Indonesia, di Jakarta, Sabtu (4/4).
Menurut dr Banon, Indonesia pada 1990-2025 akan mengalami kenaikan jumlah
penduduk usia lanjut sebesar 414 persen. Ini disebabkan angka harapan hidup orang
Indonesia mencapai 70 tahun atau lebih pada 2015-2020. Dengan kondisi tersebut, prevalensi
10
penyakit-penyakit yang ditemukan pada golongan usia lanjut mengalami kenaikan, termasuk
di dalamnya penyakit degenerasi otak.
Penyakit Parkinson diperkirakan menyerang 876.665 orang Indonesia dari total jumlah
penduduk sebesar 238.452.952. Total kasus kematian akibat penyakit Parkinson di Indonesia
menempati peringkat ke-12 di dunia atau peringkat ke-5 di Asia, dengan prevalensi mencapai
1100 kematian pada tahun 2002 (Noviani dkk, 2010). Penelitian terhadap prevalensi
parkinson di Indonesia belum pernah ada, tetapi diperkirakan sekitar 1-3% dari jumlah orang
berusia di atas 65 tahun. Namun demikian terdapat pula data penderita parkinson yang baru
berusia 30-40 tahun (Suryamiharja, dalam Mulyadin dkk., 2012).
Penyakit parkinson, yang merupakan salah satu penyakit degeneratif otak tersering kedua
setelah demensia Alzheimer, prevalensinya diperkirakan 1-3 persen pada orang berusia di
atas 65 tahun. ”Pada dekade terakhir, parkinson semakin banyak menyerang usia lebih muda,
yaitu golongan usia produktif, awal 40 tahun,” kata dr Banon.
Insidensi dan prevalensi yang pasti dari penyakit Parkinson tidak diketahui. Namun,
prevalensi tinggi terdapat pada penduduk Kaukasia di Eropa dan Amerika Utara, selanjutnya
penduduk Asia di Jepang, dan paling rendah adalah penduduk kulit hitam di Afrika. Pada
umumnya PD muncul pada usia 40-70 tahun, rata-rata diatas usia 55 tahun, lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan rasio 3:2. Suatu kepustakaan
menyebutkan prevalensi tertinggi penyakit Parkinson terjadi pada ras Kaukasian di Amerika
Utara dan ras Eropa (0,98 % hingga 1,94%); menengah terdapat pada ras Asia (0,018 %) dan
prevalensi terendah terdapat pada ras kulit hitam di Afrika (0,01 %).
Prevalensi penyakit Parkinson secara keseluruhan diperkirakan 0,2% akan tetapi
meningkat sesuai dengan peningkatan umur yaitu 0,5-2% pada orang diatas 70 tahun.
Prevalensinya diperkirakan 25-50 kasus per 100.000 populasi pada orang yang berumur
dibawah 50 tahun seperti pada 100.000 pasien di Amerika Serikat dan diperkirakan 5 kasus
per 100.000 pada orang yang berumur 40 tahun.
Sementara sebuah sumber menyatakan bahwa Penyakit Parkinson menyerang sekitar 1
diantara 250 orang yang berusia diatas 40 tahun dan sekitar 1 dari 100 orang yang berusia
diatas 65 tahun. Beberapa orang ternama yang mengidap Penyakit Parkinson diantaranya
adalah Bajin (sasterawan terkenal China), Chen Jingrun (ahli matematik terkenal China),
Muhammad Ali (mantan peninju terkenal A.S.).
11
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Parkinson Sulit Didiagnosis. [Online] tersedia di:
http://otomotif.kompas.com/read/2009/04/06/21295765/direktori.html
Asep, Chandra. 2008. Pemakaian Pestisida Sebabkan Parkinson. [Online] tersedia di:
http://health.kompas.com/read/2008/03/30/17533523/Pemakaian.Pestisida.Sebabkan.Pa
rkinson
Mulyadin, dkk. 2012. Parkinson Desease. Referat Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran. Tidak diterbitkan.
Nasution, Mukri. 2010. Penyakit Parkinson Pada Dewasa Muda. [Online] tersedia di:
http://mukrinasution.blogspot.com/2010/07/penyakit-parkinson-pada-dewasa-
muda.html
Niesha. 2010. Contoh Penanggulangan Kasus Parkinson. [Online] tersedia di:
http://dephinies.blogspot.com/2010/06/contoh-penanganan-kasus-parkinson.html
Sarifuddin. 2011. Parkinson. [Online] tersedia di:
http://doctorjflazz.blogspot.com/p/parkinson.html
12