perubahan framework menuju itf mklh bi.doc

30
PERUBAHAN FRAMEWORK KEBIJAKAN MONETER MENUJU INFLATION TARGETING, SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA Nuning Trihadmini * ABSTRAKSI UU No. 23 Th. 1999 mengamanatkan Bank Indonesia mempunyai satu tujuan yaitu “Mencapai dan memelihara Kestabilan Nilai Rupiah.” Tujuan tunggal tersebut didukung oleh berkembangnya paradigma kebijakan moneter yang bergeser dari kebijakan yang aktif mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi kebijakan yang berorientasi pada kestabilan harga. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan framework kebijakan moneter dari base money targeting ke inflation targeting melalui pendekatan Vector Autoregression (VAR). Diperoleh kesimpulan bahwa base money targeting tidak efektif diterapkan karena terdapat super neutrality of money, sehingga inflation targeting adalah pilihan yang relevan untuk saat ini. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah “Sometimes the relationship is supposed to be that economic development causes inflation. Sometimes the relationship is supposed to be that inflation promotes development.” Friedman (1973) Tujuan kebijakan ekonomi makro pada dasarnya adalah untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, financial stability, serta meminimumkan defisit perdagangan. Pembangunan ekonomi suatu negara bertujuan untuk mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta distribusi pendapatan yang merata. Namun perkembangan perekonomian pada beberapa tahun terakhir mengindikasikan hal- hal yang tidak menggembirakan, yang diawali pada masa krisis ekonomi dimana nilai tukar merosot tajam, kemudian diikuti dengan tingkat inflasi tinggi dan meningkatnya tingkat pengangguran, pada akhirnya membawa bangsa Indonesia ke dalam pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, bahkan mencapai angka negatif. * Staf Pengajar Tetap pada Fakultas Ekonomi Unika Atmajaya Jakarta 1

Upload: nuning-trihadmini

Post on 21-Dec-2015

52 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

PERUBAHAN FRAMEWORK KEBIJAKAN MONETER MENUJU INFLATION TARGETING, SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP

KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA

Nuning Trihadmini*

ABSTRAKSIUU No. 23 Th. 1999 mengamanatkan Bank Indonesia mempunyai satu tujuan yaitu

“Mencapai dan memelihara Kestabilan Nilai Rupiah.” Tujuan tunggal tersebut didukung oleh berkembangnya paradigma kebijakan moneter yang bergeser dari kebijakan yang aktif mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi kebijakan yang berorientasi pada kestabilan harga.

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan framework kebijakan moneter dari base money targeting ke inflation targeting melalui pendekatan Vector Autoregression (VAR). Diperoleh kesimpulan bahwa base money targeting tidak efektif diterapkan karena terdapat super neutrality of money, sehingga inflation targeting adalah pilihan yang relevan untuk saat ini.

I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Masalah

“Sometimes the relationship is supposed to be that economic development causes inflation. Sometimes the relationship is supposed to be that inflation promotes development.”

Friedman (1973)

Tujuan kebijakan ekonomi makro pada dasarnya adalah untuk mencapai tingkat inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, financial stability, serta meminimumkan defisit perdagangan. Pembangunan ekonomi suatu negara bertujuan untuk mencapai kemakmuran masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta distribusi pendapatan yang merata. Namun perkembangan perekonomian pada beberapa tahun terakhir mengindikasikan hal-hal yang tidak menggembirakan, yang diawali pada masa krisis ekonomi dimana nilai tukar merosot tajam, kemudian diikuti dengan tingkat inflasi tinggi dan meningkatnya tingkat pengangguran, pada akhirnya membawa bangsa Indonesia ke dalam pertumbuhan ekonomi yang sangat rendah, bahkan mencapai angka negatif.

Adanya fakta ini dan ditunjang oleh berkembangnya teori-teori ekonomi moneter yang baru, telah mengubah paradigma kebijakan moneter yang aktif mendorong pertumbuhan ekonomi menjadi kebijakan moneter yang lebih diorientasikan pada pencapaian kestabilan harga. Penerapan single objective kestabilan harga didasarkan pada pandangan adanya trade-off antara inflasi di satu pihak dengan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja di pihak yang lain. Jika ingin menikmati pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja, maka kepentingan inflasi harus sedikit dikorbankan, dan demikian sebaliknya. Dalam pandangan ini, kebijakan moneter yang hanya perduli pada pencapaian sasaran inflasi dikhawatirkan akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Atas pandangan tersebut, pendukung sasaran tunggal inflasi cenderung menyimpulkan bahwa trade-off yang mungkin terjadi hanya bersifat jangka pendek. Dalam jangka panjang, pencapaian kestabilan harga justru akan mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Pemilihan kestabilan harga sebagai sasaran akhir ini sejalan pula dengan kecenderungan perkembangan terakhir bank-bank sentral di dunia, dimana banyak bank sentral yang beralih untuk lebih memfokuskan diri pada upaya pengendalian harga atau laju inflasi. Paling tidak ada empat landasan yang mendasari perubahan paradigma tersebut.

* Staf Pengajar Tetap pada Fakultas Ekonomi Unika Atmajaya Jakarta

1

Page 2: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

Pertama, secara teoritis maupun empiris, dalam jangka panjang kebijakan moneter hanya berpengaruh pada inflasi. Kebijakan moneter tidak dapat mempengaruhi variabel riil, seperti pertumbuhan output ataupun tingkat pengangguran. Hal itu sejalan dengan apa yang pernah diutarakan oleh James Tobin, yang menyatakan bahwa :

“Money is said to be neutral, if changes in money have no impact on any real variables, such as output, or the level of capital stock,etc.”

James Tobin (1965) Dalam jangka pendek, kebijakan moneter yang ekspansif memang dapat digunakan

untuk memberikan stimulus pada perekonomian, terutama jika kebijakan moneter tidak diantisipasi oleh pelaku pasar. Namun dalam jangka panjang, ketika kebijakan moneter tersebut telah dirasakan oleh masyarakat melalui kenaikan inflasi, yang terjadi adalah ekspektasi inflasi masyarakat semakin meningkat dan pertumbuhan ekonomi bahkan mengalami penurunan. Dalam istilah Friedman, “There is no long run trade-off between inflation and unemployment.”

Kedua, kebijakan moneter yang secara aktif digunakan untuk mendorong pertumbuhan seringkali justru berdampak pada ketidakstabilan. Argumen ini didasarkan pada kenyataan bahwa dampak kebijakan moneter kepada perekonomian riil memerlukan waktu yang cukup lama (adanya time lag), dan time lag ini selalu berubah dari waktu ke waktu dengan ketidakpastian yang tinggi (long and variable lag). Ketidakstabilan ini semakin meningkat terutama ketika bank sentral tidak independen dari pengaruh politisi yang seringkali kurang sabar melihat hasil dari suatu kebijakan. Bank sentral yang tidak independen seringkali diintervensi untuk melakukan kebijakan yang lebih popular melalui penurunan suku bunga untuk mengatasi pengangguran. Jika hal ini dilakukan pada saat inflasi ke depan sedang menunjukkan kecenderungan meningkat, yang terjadi kemudian adalah ekonomi menjadi overheating sehingga menyebabkan akselerasi inflasi. Dampaknya akan terjadi policy reversal dengan menaikkan kembali suku bunga yang justru menambah ketidakstabilan makroekonomi.

Ketiga, kebijakan moneter tanpa tujuan yang jelas pada kestabilan harga seringkali menjadi tidak kredibel. Tanpa tujuan yang jelas, bank sentral yang semula mempunyai komitmen untuk mengendalikan inflasi pada tingkat tertentu, seringkali tergoda untuk melakukan kebijakan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, tetapi berdampak inflasi di atas level yang sudah ditentukan oleh bank sentral dan ekspektasi masyarakat. Time inconsistent policy ini mengakibatkan bank sentral tidak kredibel di mata masyarakat sebagai pengendali inflasi. Hilangnya kredibilitas ini mendorong masyarakat membuat ekspektasi inflasi sendiri yang lebih tinggi dari yang sudah ditargetkan oleh bank sentral. Jika hal ini terjadi, sulit bagi bank sentral untuk mengendalikan inflasi.

Keempat, pencapaian inflasi rendah merupakan prasyarat bagi tercapainya sasaran makroekonomi lainnya, seperti pertumbuhan pada tingkat kapasitas penuh (full employment) dan penyediaan lapangan kerja yang seluas-luasnya. Dan yang tidak kalah pentingnya, penetapan tingkat inflasi rendah sebagai tujuan akhir kebijakan moneter akan menjadi nominal anchor bagi kegiatan ekonomi.

Oleh karena itu pemerintah melalui UU No. 23 Th. 1999 tentang Bank Indonesia, mengamanatkan bahwa Bank Indonesia mempunyai satu tujuan yaitu “Mencapai dan memelihara Kestabilan Nilai Rupiah.” Apabila dikaitkan dengan kestabilan nilai secara internal, maka kaitannya adalah dengan kestabilan harga yang tercermin pada laju inflasi, tetapi apabila dikaitkan secara eksternal, maka kestabilan tersebut adalah kestabilan nilai tukar rupiah.

Mengapa kestabilan harga diperlukan dalam pembangunan? Jawabannya, secara umum inflasi menyebabkan timbulnya sejumlah biaya sosial yang harus ditanggung masyarakat. Pertama, inflasi menimbulkan dampak negatif pada distribusi pendapatan. Masyarakat golongan bawah dan berpendapatan tetap akan menanggung beban inflasi dengan turunnya daya beli mereka. Sebaliknya, masyarakat menengah dan atas yang memiliki asset-aset finansial seperti tabungan dan deposito dapat melindungi kekayaannya dari inflasi, sehingga daya beli mereka

2

Page 3: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

relatif tetap. Kedua, inflasi yang tinggi berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Tingkat inflasi yang tinggi sering diikuti dengan inflasi yang berfluktuasi, sehingga ketidakpastian inflasi menyebabkan investor cenderung melakukan investasi finansial jangka pendek yang cenderung bersifat spekulatif daripada melakukan investasi pada proyek yang bersifat produktif. Disamping itu, tingginya inflasi juga merupakan cermin dari ketidakpastian nilai uang yang menyebabkan tingginya premi resiko (risk premium) di pasar keuangan, yang menyebabkan pasar keuangan tidak efisien dan tingginya biaya pendanaan investasi yang kemudian berdampak negatif pada pertumbuhan. Apalagi dalam perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka (small open economy) dengan mobilitas modal luar negeri yang bebas, mengharuskan kita menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Dalam kondisi demikian, inflasi yang tinggi dan berfluktuatif merupakan faktor yang secara signifikan menyebabkan ketidakstabilan perekonomian, seperti yang tercermin dari tingginya volatilitas nilai tukar, tidak stabilnya pasar keuangan serta tingginya sensitivitas aliran modal.

Selain alasan di atas, bank sentral sebagai otoritas moneter tentu bertanggung jawab atas kemantapan dan kestabilan situasi moneter. Pengertian ini baik dalam arti pencapaian sasaran laju inflasi yang rendah ataupun kestabilan nilai tukar serta perkembangan makro ekonomi yang sehat. Salah satu konsensus yang ada dewasa ini adalah bahwa inflasi yang rendah dan stabil berperan penting dalam pertumbuhan perekonomian dan mekanisme pasar.

Sebagaimana diketahui, banyak faktor yang mempengaruhi laju inflasi sehingga laju inflasi tidak seluruhnya berada dalam kendali bank sentral. Secara teori, inflasi merupakan resultan interaksi permintaan dan penawaran aggregate perekonomian. Sementara itu, kebijakan moneter pada dasarnya lebih efektif untuk mengendalikan tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan agregat. Adapun perkembangan sisi penawaran agregat lebih banyak dipengaruhi oleh kebijakan di sektor riil, perdagangan, dan kebijakan lain.

Untuk kasus Indonesia, upaya pengendalian inflasi merupakan persoalan yang cukup berat untuk dilaksanakan secara optimal. Hal ini terutama terkait dengan belum normalnya kondisi sektor perbankan sebagai channel utama yang menghubungkan sektor moneter dengan sektor riil. Keadaan ini menyebabkan masih tingginya tingkat ketidakpastian yang melingkupi transmisi kebijakan moneter di Indonesia.

Dalam upaya mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, maka strategi yang dapat digunakan diantaranya adalah mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter, menentukan sasaran akhir kebijakan moneter, mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi, serta memformulasikan respon kebijakan moneter.1.2. Perumusan Masalah

a. mengapa terjadi pergeseran kerangka kerja kebijakan moneter, dari base money targeting ke inflation targeting?

b. seberapa besar peran inflasi dalam mempengaruhi variabel makro?c. seberapa besar kontribusi masing-masing variabel makro terhadap variabel lainnya pada

masa base money targeting dan inflation targeting?d. variabel-variabel apa saja yang berpengaruh terhadap inflasi?

1.3. Tujuan PenelitianTulisan ini diharapkan dapat menjelaskan mengapa terjadi perubahan framework

kebijakan moneter, dari Base Money Targeting ke Inflation Targeting, pengaruh perubahan framework tersebut terhadap kontribusi masing-masing variabel makro terhadap variabel lainnya, serta menjelaskan determinan inflasi di Indonesia.1.4 Manfaat Penelitian

a. Bagi penulis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan atas peran kebijakan moneter dalam perekenomian, sehingga dapat membantu pelaksanaan tugas penulis sebagai akademisi, dalam menjelaskan kebijakan moneter bank sentral kepada anak didik khususnya.

3

Page 4: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

b. Bagi masyarakat tulisan ini diharapkan dapat sedikit banyak memberikan penjelasan tentang keterkaitan antara variabel moneter dengan variabel-variabel ekonomi lainnya seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi, sehingga dapat memberikan masukan kepada masyarakat dalam menilai efektifitas kebijakan moneter setiap tahunnya.

c. Bagi Bank Sentral, tulisan ini diharapkan memberikan evaluasi dan umpanbalik bagi pelaksanaan kebijakan moneter.

II. TINJAUAN LITERATURDalam pelaksanaan kebijakan moneter terdapat diskusi menarik tentang quantity

targeting (uang beredar) serta price targeting (suku bunga), manakah yang lebih efektif mempengaruhi perekonomian. Boediono, Sarwono dan Warjiyo (1998) menyatakan berbagai perubahan mendasar yang terjadi dalam perekonomian telah menyebabkan efektifitas kebijakan moneter yang selama ini ditempuh menjadi kurang efektif. Paradigma lama yang mengatakan bahwa otoritas moneter dapat mempengaruhi permintaan agregat melalui pengendalian uang beredar (M1 dan M2) sebagai sasaran antara dan uang primer (M0) sebagai sasaran operasional perlu dikaji ulang.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara uang beredar, laju inflasi, dan laju pertumbuhan ekonomi menjadi semakin melemah sejak reformasi keuangan di Indonesia. Bahkan yang terjadi sebaliknya, jumlah uang beredar baik M1 maupun M2 sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, sehingga seakan-akan merupakan arus balik yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan uang primer. Dengan demikian paradigma lama yang menyatakan bahwa jumlah atau kuantitas uang beredar dapat dikendalikan sepenuhnya oleh otoritas moneter menjadi tidak berlaku. Karena itu menajemen moneter melalui sasaran kuatitas nampaknya semakin kurang dapat dipertahankan lagi.

Burhanudin Abdullah (2003) dalam tulisan Ferry Irawan (2004), mengatakan bahwa terdapat dua opsi yang dapat dipakai oleh Bank Indonesia dalam melaksanakan kebijakan moneternya, yaitu suku bunga dan base money.

Berkaitan dengan determinan inflasi di Indonesia, terdapat beberapa penelitian terdahulu, diantaranya Ahmed dan Kapur (1990) yang hasilnya bahwa inflasi di Indonesia hanyalah bagian dari fenomena moneter. Kesimpulannya adalah pertumbuhan uang yang rendah dapat mengurangi inflasi, sementara di sisi lain transmisi dari inflasi internasional juga akan mempunyai pengaruh yang besar.

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi juga dilakukan oleh McLeod (1997), yang mengusulkan base money targeting sebagai pilihan terbaik untuk mengatasi inflasi di Indonesia. Begitu juga Ramakrishnan dan Vamvakidis (2002) menyimpulkan bahwa nilai tukar dan inflasi luar negeri merupakan kontributor utama terhadap inflasi di Indonesia, sedangkan pertumbuhan base money walaupun signifikan secara statistik, tetapi pengaruhnya relatif kecil.

III. METODE PENELITIAN

3.1. DataData yang digunakan adalah data runtun waktu bulanan, periode 1990:1- 2006:06, yang

meliputi data:- Nilai tukar rupiah / USD - Suku bunga SBI periode 1 bulan- Suku bunga over night (ON) - Jumlah uang beredar M0 - Jumlah uang beredar M1 - Jumlah uang beredar M2 - Indeks Harga Konsumen (IHK) - PDB riil - Konsumsi - Investasi- Pengeluaran Pemerintah

4

Page 5: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

Sumber data diperoleh dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, IFS (International Financial Statistic) serta beberapa data dari BPS dan Departeman Keuangan.

3.2. PENGUJIAN PRA-ESTIMASI3.2.1 Pengujian Unit-Root (Stasioneritas Data)

Sebelum menganalisa hubungan antar variabel, langkah awal yang perlu dilakukan adalah melakukan pengujian stasioneritas, yang diperlukan untuk mengetahui sifat dan kecenderungan data yang digunakan, apakah mempunyai pola yang stabil, normal, stasioner atau tidak. Suatu series dikatakan stasioner apabila series tersebut mempunyai konstan mean, konstan varian dan konstan kovarian untuk masing-masing lag yang berbeda, seperti dinyatakan dalam kutipan berikut:

Shock yang terjadi pada suatu series yang stasioner dampaknya lambat laun akan hilang, sehingga efek shock pada periode t dampaknya akan lebih kecil pada periode t +1, t + 2, dst. Sementara pada series yang tidak stasioner, efek suatu shock cenderung akan persisten sehingga dampak shock yang terjadi pada periode t, tidak akan lebih kecil pada periode t + 1, t + 2, dst.

Penggunaan data yang tidak stationer cenderung akan menghasilkan Spurious Regression, yaitu regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang nampaknya signifikan secara statistik padahal kenyataannya tidak sesuai dengan hasil estimasi tersebut, serta meningkatkan kecenderungan untuk menerima hipotesis alternatif (H1) atau dengan kata lain cenderung untuk memberikan kesimpulan bahwa regresi yang dihasilkan signifikan secara statistik.

3.2.2 Pengujian StabilitasMempertimbangkan rentang data yang cukup panjang yaitu 1990:1 sampai dengan

2006:06, perlu dilakukan pengujian stabilitas untuk mengetahui apakah terdapat structural break pada rentang periode observasi. Untuk itu dilakukan pengujian stabilitas dengan menggunakan Chow Break-Point test.

3.2.3. Penentuan Selang Optimal (Lag Optimal) Sebelum melakukan estimasi data dengan VAR, terlebih dulu harus ditentukan selang

optimalnya. Untuk memperoleh panjang selang yang tepat, dilakukan 3 bentuk pengujian secara bertahap.

Pertama, akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil jika seluruh roots-nya memiliki modulus yang lebih kecil dari satu.

Tahap kedua, panjang selang optimal dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SIC), dan Hannan-quin Criterion (HQ). Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang, maka kandidat tersebut yang optimal. Tetapi apabila diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga.

Pada tahap ketiga, nilai Adjusted R2 variabel VAR dari masing-masing kandidat selang diperbandingkan, dengan penekanan variabel-variabel terpenting dari sistem VAR tersebut. Selang optimal akan dipilih dari sistem VAR yang menghasilkan nilai Adjusted R2 terbesar pada variabel-variabel terpenting.

5

Page 6: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

3.3 Granger Causality TestHubungan kaualitas adalah hubungan jangka pendek antara variabel dengan

menggunakan pendekatan ekonometrik, yang mencakup hubungan timbal balik. Dari pandangan ekonometrik, kerangka kausalitas adalah sebagai berikut:

Pertama, jika X mempengaruhi Y, berarti informasi masa lalu X dapat membantu memprediksi nilai Y. Dengan kata lain, dengan menambah data masa lalu X ke regresi Y dengan data Y masa lalu maka dapat meningkatkan kekuatan penjelas (explanatory power) dari regresi.

Kedua, data masa lalu Y tidak dapat membantu dalam memprediksi X, karena jika X dapat membantu dalam memprediksi Y, dan Y dapat membantu memprediksi X, maka kemungkinan besar terdapat variabel lain misalnya Z, yang mempengaruhi X dan Y. Prinsip kerja Granger Causality didasarkan atas Vector Autoregression (VAR).

...............................................(3.1)

X mempengaruhi Y atau hubungan kausalitas satu arah dari X ke Y apabila koefisien β 1 tidak sama dengan nol. Hal yang sama juga Y mempengaruhi X atau terdapat hubungan kausalitas satu arah dari Y ke X jika koefisien γ1 tidak sama dengan nol. Sementara apabila keduanya terjadi maka dikatakan terdapat hubungan timbal balik antara X dan Y, atau terdapat hubungan biderectional causality antara X dan Y.

Y X ; Y Granger cause X, H0 = Y does not Granger cause XX Y ; X Granger cause Y, H0 = X does not Granger cause Y

Kelemahan dari Granger-Kausalitas Test adalah penentuan jumlah lag yang digunakan dari variabel X dan Y, dimana tidak terdapat prosedur untuk menentukan jangka waktu lag. Sebagai akibatnya setiap variabel diperkenankan mempengaruhi variabel lain dengan distribusi lag yang sama. Dengan tanpa pembatasan berarti, jumlah parameter akan bertambah sebesar kuadrat dari jumlah variabel dan akan mengurangi derajad kebebasan (degree of freedom) secara cepat.3.4. Estimasi Data dengan Vector Auto Reggression (VAR)

Dalam mempelajari dinamika inflasi, penulis menggunakan model Vector Autoregressions (VAR) yang terdiri atas beberapa persamaan, yang menggambarkan bagaimana variabel-variabel depresiasi nilai tukar, suku bunga SBI, uang beredar, output, output gap, mempengaruhi inflasi, serta bagaimana inflasi mempengaruhi variabel makro lainnya. Dalam model ini, setiap kelompok variabel dinyatakan dalam fungsi linier dari nilai masa lampau variabel itu sendiri, serta nilai masa lampau dari variabel lainnya, nilai konstanta atau fungsi dari waktu.

Vector Autoregression(VAR) merupakan model struktur dinamis yang memiliki karakteristik: teori ekonomi yang ada tidak mungkin cukup untuk menentukan spesifikasi yang benar yang disebabkan oleh teorinya yang mungkin terlalu rumit sehingga sulit untuk menurunkan spesifikasi secara persis, atau terdapat perbedaan antar teori yang mendasari model tersebut, sehingga adakalanya hal yang seharusnya dilakukan adalah membiarkan data itu “berbicara” sendiri (Fery Irawan, 2004).

Dengan VAR, kebutuhan teoritis untuk struktur model menjadi minimal. Yang harus dilakukan adalah melakukan spesifikasi peubah-peubah endogen dan eksogen yang diyakini berinteraksi, dan karenanya harus dimasukkan sebagai bagian dari sistem ekonomi yang ingin dibuat modelnya. Kedua; jumlah selang terbanyak yang diperlukan untuk merekam pengaruh-pengaruh yang dimiliki masing-masing peubah terhadap peubah yang lain.

6

Page 7: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

3.4.1 Model VAR yang digunakanPenggunaan variabel yang relatif banyak dan lag yang cukup panjang, memungkinkan

untuk dapat menangkap sepenuhnya dinamika sistem yang dimodelkan. Namun semakin panjang lag dan semakin banyak variabel, semakin banyak pula jumlah parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat kebebasannya. Jadi akan dihadapi trade off antara mempunyai cukup selang yang memadai dan mempunyai derajat kebebasan yang cukup. Jika lag terlalu sedikit maka model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak maka akan menyedot degrees of freedom.

Model VAR yang akan diestimasi dalam penelitian ini dibangun berdasarkan kerangka inflasi Phillips-Curve.

…………………..…...(3.2)

dimana:d(e t ) = perubahan nilai tukar rupiah / USDd(r t ) = perubahan suku bunga SBId(mt ) = perubahan jumlah uang beredar M1d(yt) = perubahan pendapatan nasionald(pt) = perubahan hargaApabila semua data stasioner dalam level maka penggunaan data untuk masing-masing variabel dalam VAR adalah pada level data. Tetapi apabila tidak semua data stasioner dalam level data, kemungkinannya data pada defferencing pertama I(1). Pada persamaan tersebut dapat dilihat bahwa persamaan VAR dinyatakan dengan nilai lag dari lima variabel penelitian yaitu nilai lag dari nilai tukar, SBI, M1,GDP, serta CPI. Ordering yang digunakan dalam model VAR 1 ini adalah:

yang artinya, depresiasi nilai tukar akan direspon oleh suku bunga jangka pendek, kemudian perubahan suku bunga jangka pendek akan berpengaruh pada uang beredar melalui money demand yang pada giliran berikutnya akan berpengaruh pada output, dan terakhir output gap. Output gap adalah faktor yang menentukan apakah perekonomian berada dalam kondisi inflationary ataupun deflationary.

Sementara untuk mengetahui shock inflasi terhadap pengeluaran konsumsi, investasi serta pengeluaran pemerintah, digunakan model VAR dengan ordering variable:

yang artinya inflasi akan mempengaruhi pengeluaran konsumsi masyarakat, kemudian tahap berikutnya akan mempengaruhi investasi, pengeluaran pemerintah, dan akhirnya akan berpengaruh terhadap output.3.4.2. Variance Decomposition

Untuk mendapatkan ukuran tentang besarnya kontribusi dari masing-masing variabel dalam mempengaruhi variabel lainnya digunakan analisis variance decomposition.3.4.3. Impuls Response Function

Pada impuls Responses, shock yang terjadi pada variabel yang ke-i, pengaruhnya tidak hanya terjadi pada variabel tersebut, tetapi efek dari shock tersebut ditransmisikan pada semua

7

Page 8: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

variabel endogen yang lain melalui dynamic (lag) structure dari VAR. IRF menelusuri efek dari satu kali shock pada perubahan nilai variabel endogen, pada saat sekarang dan yang akan datang.

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PENGUJIAN PRA-ESTIMASI4.1.1. UNIT-ROOT TEST

Unit-root test digunakan untuk mengetahui kecenderungan data, apakah mempunyai kecenderungan yang stabil atau tidak. Data yang stasioner atau stabil ditandai dengan pergerakan data mendekati nilai mean-nya. Pengujian unit-root dilakukan menggunakan Aughmented Dickey-Fuller (ADF) test serta Phillips-Peron Test. Adapun hasil selengkapnya adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Pengujian Unit-Root

VARIABEL ADF-TEST PHILLIPS-PERON TESTLevel Data 1st-

Difference2nd-difference

Level Data 1st-

Difference

2nd-difference

NT -2.088675 -5.374725* -5.044946* -2.316591 -2.594161*** -5.965179*Depresiasi -4.256560* -5.954862* -8.820922* -3.428904*** -3.542767* -5.878301*SBI -2.192312 -4.379661* -6.017701* -2.674868 -3.759815* -3.412020**M0 -13.73409 -10.81174* -10.01945* -13.73511* -135.0490* -274.0894*M1 0.532215 -1.855958 -5.044946* 0.549434 -3.613931* -5.412478*M2 -1.732044 -18.88026* -11.89974* -1.775794 -19.12419* -142.2406*PDB -2.161857 -2.729826** -4.172390* -1.909475 -2.776962*** -5.547444*EG -2.328002 -7.940083* -10.82192* -2.711276 -3.872404* -5.514756*OGAP -2.817407 -3.228502** -4.254997* -1.867982 -3.420632** -5.559496*CPI -1.835358 -4.134542* -5.363268* -1.538031 -2.548346 -5.310984*Inflasi -3.091875 -6.096740* -7.574441* -3.350340** -3.289735** -5.432501*Critical-value 1% 5% 10%

-4.008987 -3.466176 -3.466580 -4.006824 -3.464827 -3.465014-3.434569 -2.877186 -2.877363 -3.433525 -2.876595 -2.876677-3.141237 -2.575189 -2.575284 -3.140623 -2.574874 -2.574917

Berdasarkan Tabel 1. diketahui bahwa berdasarkan ADF-test hampir semua variabel stasioner pada differencing pertama, depresiasi nilai tukar stasioner pada level data, serta uang beredar M1 baru stasioner pada differencing kedua. Sementara berdasarkan Phillips-Perron test diketahui semua data kecuali CPI stasioner pada differencing pertama, inflasi, M0 dan depresiasi stasioner pada level data.

Berdasarkan hasil ini maka pengujian dan analisis dapat dilanjutkan pada tahap berikutnya. Kemudian terkait dengan model VAR yang akan digunakan, karena sebagian besar variabel stasioner pada differencing pertama I(1), maka pemakaian variabel dalam model VAR menggunakan data first-difference.

4.1.2. PENGUJIAN STABILITAS

Pengujian ini dilakukan karena periode observasi cukup panjang yaitu tahun 1990:01 s/d 2006:06, maka perlu dilihat apakah periode tersebut mengandung structural break atau tidak. Pengujian dilakukan dengan menggunakan Chow Break-Point Test. Hipotesis yang akan diuji adalah:

H0 : Tidak terdapat structural breakH1 : Terdapat structural break

Adapun hasil pengujian Chow test dengan equation specification INFLASI = C(1) + C(2)*DEPR + C(3)*SBI + C(4)*M1 + C(5)*PDB adalah sebagai berikut:

8

Page 9: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

Tabel 2. Hasil Pengujian Chow Break-Point testChow Breakpoint Test: 1997:01 2000:01 F-statistic 12.71435 Probability 0.000000Log likelihood ratio 120.8824 Probability 0.000000

Berdasarkan Tabel 2. diketahui bahwa terdapat structural break yang terjadi antara periode 1997:01- 2000:0. Sehingga hasil estimasi ini memperkuat praduga terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997. Oleh karena itu dalam melakukan estimasi dengan VAR, maka periode observasi dipisahkan menjadi dua periode, yaitu sebelum krisis dan setelah krisis ekonomi.

4.1.3 PENENTUAN LAG OPTIMUMTabel 3. Lag Optimal Periode Prakrisis

VAR Lag Order Selection CriteriaEndogenous variables: D(DEPR) D(SBI) D(M1) D(PDB) D(CPI) Exogenous variables: C Sample: 1990:01 1997:08Included observations: 84

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -1180.593 NA 1250466. 28.22841 28.37310 28.286571 -916.6741 490.1353* 4237.345* 22.53986* 23.40801* 22.88885*

* indicates lag order selected by the criterion

Lag maksimum dan optimum periode prakrisis adalah lag 1. Tabel 4. Lag Optimal Periode Setelah Krisis

VAR Lag Order Selection CriteriaEndogenous variables: D(DEPR) D(SBI) D(M1) D(PDB) D(CPI) Exogenous variables: C Sample: 1997:09 2006:06Included observations: 106

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -2287.836 NA 4.22E+12 43.26106 43.38669 43.311981 -1962.468 613.9030 1.46E+10 37.59373 38.34753 37.899252 -1623.248 608.0344 39013896 31.66506 33.04704 32.225193 -1499.098 210.8210 6055908. 29.79431 31.80445 30.609034 -1459.818 62.99667 4695100. 29.52487 32.16318 30.594195 -1372.581 131.6782 1486969. 28.35059 31.61707* 29.674516 -1320.854 73.19924* 931776.3* 27.84630* 31.74095 29.42482*

* indicates lag order selected by the criterion

Dari Tabel 4. diketahui lag maksumum dan optimum periode setelah krisis adalah lag 6.Tabel 5. Lag Optimal Periode Keseluruhan

VAR Lag Order Selection CriteriaEndogenous variables: D(DEPR) D(SBI) D(M1) D(PDB) D(INFLASI) Included observations: 182

Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -2823.645 NA 21739215 31.08401 31.17204 31.119701 -2282.624 1046.371 74920.31 25.41345 25.94158 25.627542 -1738.904 1021.715 250.7815 19.71323 20.68147 20.105743 -1477.066 477.6385 18.60639 17.11061 18.51897 17.681544 -1431.891 79.92576 14.94959 16.88891 18.73737 17.638255 -1316.242 198.2541 5.546827 15.89277 18.18135 16.820536 -1246.430 115.8417 3.413417 15.40033 18.12902 16.506507 -1170.199 122.3061 1.962818 14.83735 18.00614 16.121938 -1075.069 147.3987 0.919999 14.06669 17.67560 15.529699 -1001.225 110.3597* 0.546918* 13.52995* 17.57897* 15.17136*

* indicates lag order selected by the criterion

Berdasarkan Tabel 5. diketahui lag maksimum dan optimum keseluruhan periode adalah lag 9.4.2 GRANGER CAUSALITY TEST

9

Page 10: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

Pengujian Granger Causality ditujukan untuk menjawab dua pertanyaan besar, yaitu:(i) Mengapa terjadi perubahan Framework dari Monetary Targeting ke Inflation Targeting ?(ii) Mengapa diperlukan kestabilan harga? Kedua pertanyaan tersebut akan dijawab melalui hasil pengujian berikut ini untuk keseluruhan periode.

4.2.1 Kausalitas antara Uang Beredar dengan OutputEstimasi hubungan kausalitas dengan Granger Causality dilakukan untuk keseluruhan

periode, untuk mengetahui kausalitas antara uang beredar dengan PDB ataupun pertumbuhan ekonomi, serta antara uang beredar dengan tingkat harga dan inflasi. Hipotesis yang akan diuji adalah:

H0: Variabel pertama tidak mempengaruhi variabel ke duaH1: Variabel pertama mempengaruhi variabel kedua

Hasil selengkapnya ditampilkan dalam tabel berikut:

Tabel 6. Granger Causality Uang Beredar dengan PDB dan Pertumbuhan Ekonomi

Pairwise Granger Causality TestsDate: 11/01/06 Time: 00:40Sample: 1990:01 2006:06Lags: 9

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

PDB does not Granger Cause MO 187 1.08294 0.37789 MO does not Granger Cause PDB 1.08883 0.37357

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

EG does not Granger Cause MO 183 0.38476 0.94118 MO does not Granger Cause EG 0.38536 0.94089

Berdasarkan Tabel 6. diketahui bahwa base money yang merupakan uang beredar M0, tidak mempunyai pengaruh terhadap output, yaitu PDB ataupun pertumbuhan ekonomi. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa super neutrality of money, secara empiris memang terjadi di Indonesia. Secara teoretis netralitas uang terjadi apabila perubahan di dalam uang beredar, hanya berdampak pada tingkat harga, upah serta nilai tukar. Sementara dampak uang beredar terhadap output tidak terjadi.

Money Neutrality mengimplikasikan bahwa bank sentral tidak dapat mempengaruhi real economy seperti kesempatan kerja, GDP, investasi dan lain sebagainya dengan mencetak uang. Kenaikan di dalam money supply akan diikuti dengan kenaikan harga dan upah.

Beberapa ahli ekonomi mengemukakan bahwa super netralitas uang ada kecenderungan untuk terjadi dalam periode jangka panjang, karena dalam jangka pendek, uang beredar mempunyai kemungkinan untuk berpengaruh terhadap output. Salah satu argumennya adalah tingkat harga, khususnya upah yang cenderung kaku / sticky, sehingga tidak dapat segera disesuaikan apabila ada perubahan yang tidak terduga dari uang beredar.

Tidak adanya hubungan positif antara base money dengan output dapat dijelaskan juga bahwa pada periode sebelum 14 Agustus 1997, sistem nilai tukar yang dianut Indonesia adalah mengambang terkendali atau Managed Floating Rate, dimana dalam sistem tersebut nilai rupiah dibuat “cenderung tetap” tetapi dilakukan perubahan secara periodik sehingga nilai mata uang akan bergerak sedikit demi sedikit (Crawling Peg).

Dalam kondisi nilai tukar yang cenderung fixed tersebut, berdasarkan pendekatan Mundell-Fleming Model, apabila kebijakan moneter digunakan untuk menangani internal ekuilibrium (pendapatan nasional, pertumbuhan ekonomi, employment, dll) maka akan “menghasilkan instabilitas”. Hal ini didukung oleh kondisi sektor keuangan yang cenderung low capital mobility (elastisitas suku bunga terhadap capital in-flow relatif kecil, yang salah satunya disebabkan oleh country risk), sehingga apabila ada penambahan jumlah uang beredar,

10

Page 11: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

yang akan terjadi adalah Balance of Payment (BOP) menjadi defisit. Semakin besar penambahan jumlah uang beredar, maka defisit yang diciptakan juga akan semakin besar. Defisit ini biasanya ditanggulangi dengan kebijakan yang bersifat kontraktif, sehingga dampaknya aggregate demand akan turun, unemployment naik, dan kebijakan moneter tidak efektif.

Grafik 4.1Hubungan antara Pertumbuhan Real Money Balance denganPertumbuhan Ekonomi

-0.4

-0.2

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

88 90 92 94 96 98 00 02

DREALBLN EG

4.2.2 Kausalitas antara Uang Beredar dengan Tingkat Harga dan Inflasi

Tabel 7. Granger Causality Uang Beredar dengan Tingkat Harga dan InflasiPairwise Granger Causality TestsDate: 11/01/06 Time: 00:46Sample: 1990:01 2006:06Lags: 9

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

CPI does not Granger Cause MO 187 2.26360 0.02038 MO does not Granger Cause CPI 0.53331 0.84884

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

CPI does not Granger Cause M1 187 4.16166 7.3E-05 M1 does not Granger Cause CPI 4.65244 1.6E-05

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

CPI does not Granger Cause M2 187 2.25616 0.02081 M2 does not Granger Cause CPI 3.07379 0.00194

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

CPI does not Granger Cause M2 187 2.25616 0.02081 M2 does not Granger Cause CPI 3.07379 0.00194

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

INFLASI does not Granger Cause MO 183 0.14696 0.99814 MO does not Granger Cause INFLASI 0.26615 0.98275

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

INFLASI does not Granger Cause M1 183 1.78663 0.07428 M1 does not Granger Cause INFLASI 2.03892 0.03806

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

INFLASI does not Granger Cause M2 183 3.47314 0.00060 M2 does not Granger Cause INFLASI 3.28456 0.00105

Berdasarkan Tabel 7. dapat dicermati bahwa uang beredar M0 tidak berpengaruh terhadap tingkat harga dan inflasi, tetapi pengaruhnya ke harga dan inflasi lebih nyata dari uang beredar M1 dan M2.

Hal ini sejalan dengan alasan perubahan kerangka kerja kebijakan moneter, dari Base Money Targeting menjadi Inflation Targeting, dimana kebijakan moneter dalam jangka panjang cenderung tidak berpengaruh terhadap output, tetapi pengaruhnya lebih nyata terhadap tingkat harga dan inflasi. Base money targeting mendasarkan kerangka kerjanya pada teori kuantitas uang (quantity theory of money) yaitu MV=PY, dimana efektivitas kerangka ini sangat

11

Page 12: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

tergantung pada stabilitas velocity uang beredar, baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.

Selain itu, frame work ini akan berjalan baik apabila (i) hubungan antara base money dengan inflasi stabil, serta (ii) bank sentral dapat mengendalikan uang beredar. Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia menghadapi permasalahan dalam menggunakan framework Base Money Targeting, karena untuk kondisi Indonesia hubungan antara M0 dengan tingkat harga dan output tidak stabil. Hal ini sesuai dengan hasil Chow stability test dengan equation specification: MO = C(1) + C(2)*INFLASI Hipotesis yang diuji: H0 : tidak terdapat structural break model stabilH1 : terdapat structural break model tidak stabil

Tabel 8. Stability Test Hubungan antara M0 dengan Inflasi

Chow Breakpoint Test: 1993:01 1998:12

F-statistic 19.44692 Probability 0.000000Log likelihood ratio 67.08440 Probability 0.000000

Berdasarkan Chow Break-point test pada Tabel 6. diketahui bahwa model yang diestimasi dalam rentang periode 1993:01 sampai dengan 1998:12 menunjukkan hasil tidak stabil, yang mengkonfirmasikan bahwa hubungan antara uang beredar dengan inflasi tidak stabil.

4.2.3. Kausalitas antara Uang Beredar dengan Risk-PremiaPengujian kausalitas antara uang beredar dengan risk-premia ditujukan untuk mengetahui

bahwa kebijakan moneter yang aktif, akan berdampak pada ketidakstabilan makroekonomi yang tercermin dari tingginya risk-premia. Sebenarnya dampak uang beredar terhadap risk-premia cenderung bersifat indirect effect, dimana perubahan atau bertambahnya uang beredar akan direspon dengan penurunan suku bunga jangka pendek. Apabila hal ini terjadi dalam kondisi inflasi sedang meningkat / tinggi, yang akan terjadi adalah ekonomi overheating, dimana biasanya akan ditanggapi oleh kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga jangka pendek kembali. Dampaknya kondisi makro menjadi tidak stabil, serta tingginya ketidakpastian usaha (uncertainty) yang dapat terekam dari tingginya risk-premia. Dalam analisis ini risk-premia merupakan selisih antara suku bunga berisiko tinggi (suku bunga Over-Night) dibandingkan dengan suku bunga bebas risiko(SBI 3 bulan). Adapun hasil selengkapnya disajikan dalam tabel berikut: Tabel 9. Kausalitas antara Uang Beredar dengan Risk-Premia

Pairwise Granger Causality TestsSample: 1996:01 2006:06 Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

RISKPR does not Granger Cause MO 122 0.06278 0.93918 MO does not Granger Cause RISKPR 3.00564 0.05335

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

RISKPR does not Granger Cause M1 122 0.42087 0.65747 M1 does not Granger Cause RISKPR 3.86981 0.02358

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

RISKPR does not Granger Cause M2 122 2.10028 0.12701 M2 does not Granger Cause RISKPR 7.06190 0.00127

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 9. diketahui bahwa uang beredar baik M0, M1, ataupun M2, kesemuanya mempunyai hubungan kausalitas satu arah dengan risk-premia. Hubungan satu arah ini mengindikasikan bahwa kebijakan moneter yang berbasiskan uang beredar, cenderung mengakibatkan tingginya ketidakpastian usaha (uncertainty) sebagai dampak

12

Page 13: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

efek transmisi uang beredar ke inflasi. Inflasi yang tinggi sering diikuti oleh inflasi yang berfluktuasi, sehingga ketidakpastian nilai uang menyebabkan tingginya premi resiko (risk premium) di pasar keuangan. Hal ini menyebabkan pasar keuangan tidak efisien dengan tingginya biaya pendanaan investasi yang kemudian berdampak negatif pada pertumbuhan.

Dari hasil pengujian pada Tabel 6, 7, 8, dan 9, dapat diambil benang merah bahwa:a. base money tidak mempunyai kausalitas dengan pendapatan nasional ataupun

pertumbuhan ekonomi,b. uang beredar M1& M2 (base money ada pada M1&M2) mempunyai kausalitas dengan

tingkat harga dan inflasi,c. hubungan antara base money dengan inflasi tidak stabil,d. uang beredar (M0, M1, M2) sebagai kausal tingginya risk premia di Indonesia dengan

hubungan kausalitas satu arah.Keempat kesimpulan diatas mengindikasikan bahwa penerapan base money targeting tidak dapat dilanjutkan, sehingga analisis ini menjawab mengapa terjadi perubahan framework dari base money targeting ke inflation targeting.

4.2.4. Kausalitas antara Inflasi dengan Variabel MakroekonomiTingginya inflasi disinyalir dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam melakukan

kegiatan ekonomi, misalnya investasi dan konsumsi, karena secara teoretis kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh perubahan harga baik pengaruhnya secara langsung dari inflasi, ataupun pengaruh tidak langsung dari suku bunga.

Tabel 10. Kausalitas Inflasi dengan Investasi, Konsumsi dan Pengeluaran Pemerintah

Pairwise Granger Causality TestsSample: 1990:01 2006:06Lags: 6

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

INVESTASI does not Granger Cause INFLASI 120 2.30870 0.03901 INFLASI does not Granger Cause INVESTASI 7.00886 2.6E-06

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

KONSUMSI does not Granger Cause DCPI 127 3.26694 0.04148 DCPI does not Granger Cause KONSUMSI 7.15081 0.00116

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

DG does not Granger Cause INFLASI 124 3.16256 0.04590 INFLASI does not Granger Cause DG 2.67621 0.07297

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 10. diketahui bahwa antara inflasi dengan investasi terjadi hubungan kausalitas dua arah, dimana pengeluaran investasi akan menyebabkan inflasi, serta inflasi itu sendiri akan mempengaruhi investasi. Bi-derectional ini dapat dijelaskan apabila investasi meningkat, permintaan masyarakat ikut meningkat dan tingkat harga cenderung naik, sehingga arah hubungan investasi ke inflasi positif. Di sisi lain apabila harga naik, permintaan masyarakat turun sehingga investasi menurun juga, sehingga arah hubungan inflasi ke investasi negatif. Perubahan harga dengan pengeluaran konsumsi juga mempunyai hubungan kausalitas dua arah, dimana perubahan pengeluaran konsumsi akan menyebabkan perubahan aggregate demand, sehingga harga berubah dengan arah hubungan positif, serta perubahan harga juga akan mempengaruhi pengeluaran konsumsi dengan arah hubungan negatif. Begitu pula inflasi dengan pengeluaran pemerintah juga mempunyai hubungan kausalitas dua arah.

Dari ketiga variabel makro tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi hubungan dua arah antara inflasi dengan konsumsi, investasi ataupun pengeluaran pemerintah. Tabel 11. Kausalitas antara Inflasi dengan Suku Bunga SBI dan Depresiasi

13

Page 14: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

Pairwise Granger Causality TestsSample: 1990:01 2006:06Lags: 9

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

SBI does not Granger Cause INFLASI 183 1.06979 0.38781 INFLASI does not Granger Cause SBI 11.0274 2.3E-13

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

DEPR does not Granger Cause INFLASI 183 7.23310 8.0E-09 INFLASI does not Granger Cause DEPR 4.07948 9.6E-05

Tabel 11. menunjukkan bahwa terdapat hubungan satu arah antara inflasi dengan suku bunga SBI, serta hubungan dua arah antara inflasi dengan depresiasi nilai tukar.

Hasil estimasi pada Tabel 10. dan 11 menunjukkan bahwa inflasi mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi variabel makro, sehingga kestabilan harga ataupun inflasi yang stabil dan sehat sangat diperlukan untuk membawa perekonomian menjadi berkembang, sehingga kesejahteraan masyarakat, nyata.

4.3. ESTIMASI DATA DENGAN VAR

Estimasi data dengan Vector Autoregression (VAR) dimaksudkan untuk mengetahui:(i) respon variabel makroekonomi (output, suku bunga SBI, konsumsi masyarakat, investasi,

pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi) apabila terjadi shock inflasi, (ii) variance decomposition dari masing-masing variabel makroekonomi, untuk mengetahui

seberapa besar pengaruh perubahan framework kebijakan moneter dari base money targeting ke inflation targeting,

(iii) variance decomposition dari inflasi, untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh kuat terhadap inflasi, pada periode base money targeting dan inflation targeting.

Untuk mengetahui hal-hal tersebut, dilakukan serangkaian pengujian berikut ini.

4.3.1 Respon Variabel Makro terhadap Inflasi Observasi dilakukan untuk menjelaskan respon output, suku bunga, depresiasi nilai tukar,

uang beredar, pengeluaran konsumsi, investasi serta pengeluaran pemerintah, apabila ada shock perubahan harga.

Grafik 4.2. Respon Output dan Suku Bunga SBI terhadap Inflasi

-.4

-.3

-.2

-.1

.0

.1

.2

.3

.4

5 10 15 20 25 30

Response of D(SBI) to D(INFLASI)

-200

-100

0

100

200

5 10 15 20 25 30

Response of D(PDB) to D(INFLASI)

Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.

Grafik 4.2 menunjukkan impuls response dari shock inflasi yang direspon oleh kenaikan PDB dalam jangka pendek, yaitu satu-dua bulan pertama, setelah itu menurun secara tajam, kemudian mengalami fluktuasi dalam periode yang relatif lama, dan mendekati ekuilibrium mulai periode ke-26 dengan kisaran dibawah ekuilibrium awal. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa dalam jangka pendek, shock inflasi yang disebabkan oleh kenaikan permintaan masyarakat bisa meningkatkan output, tetapi dalam jangka panjang output cenderung instabil dan berada di bawah ekuilibrium.

Sementara di sisi lain, respon suku bunga SBI tidak secara contemporaneous, tetapi baru pada bulan ketiga menunjukkan respon mengalami kenaikan sampai bulan ketujuh, kemudian bergerak di sekitar ekuilibrium antara bulan ke-12 sampai bulan ke-20. Setelah periode tersebut

14

Page 15: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

masih belum stabil dan tidak kembali ke ekuilibrium semula. Kenaikan suku bunga SBI dalam merespon inflasi dapat dijelaskan bahwa apabila inflasi meningkat, bank sentral cenderung mengantisipasinya dengan kebijakan moneter yang kontraktif yaitu dengan menaikkan suku bunga, sehingga dampaknya investasi menurun, konsumsi masyarakat menurun, karena diasumsikan ekspektasi masyarakat cenderung adaptif dan rasional, sehingga condong menanamkan dananya ke perbankan dibandingkan untuk pengeluaran konsumsi. Dampak berikutnya aggregate demand menurun. Penurunan ini diharapkan akan membawa tingkat harga kembali ke ekuilibrium semula.

Apabila dibandingkan dengan penurunan output, maka speed of adjustment dari suku bunga relatif lebih cepat, walaupun setelah mencapai ekuilibrium suku bunga masih cenderung menurun. Hal ini relevan dengan kebijakan moneter Bank Indonesia, dimana Bank Indonesia tidak dapat selamanya bertahan pada suku bunga yang tinggi untuk mengendalikan inflasi, karena dampaknya pada sektor riil akan negatif, sehingga suku bunga harus diturunkan.

Grafik 4.3. Respon Depresiasi dan Uang Beredar M1 terhadap Inflasi

.

-.02

-.01

.00

.01

5 10 15 20 25 30

Response of D(DEPR) to D(INFLASI)

-800

-400

0

400

800

5 10 15 20 25 30

Response of D(M1) to D(INFLASI)

Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.

Dari Grafik 4.3 dapat dicermati bahwa apabila terjadi shock inflasi, uang beredar M1 cenderung menurun sampai dengan bulan ketujuh, kemudian setelah itu berfluktuasi dan menuju ekuilibrium pada bulan ke-30. Penurunan M1 dapat dijelaskan bahwa apabila inflasi naik, pergerakan suku bunga bersifat discretion sehingga cenderung naik. Kenaikan suku bunga akan menyerap likuiditas masyarakat ke sektor perbankan, sehingga M1 menurun.

Nilai tukar rupiah sedikit mengalami depresiasi pada bulan pertama terjadinya shock inflasi sebagai respon atas kenaikan harga, kemudian periode ke dua sampai dengan ke empat mengalami apresiasi sebagai dampak kenaikan suku bunga SBI, tetapi setelah periode tersebut perubahan kurs cenderung berfluktuasi, dan mengarah ke ekuilibrium sekitar periode ke-25.

Grafik 4.4 Respon Pengeluaran Konsumsi dan Investasi terhadap Inflasi

-1500

-1000

-500

0

500

1000

1500

5 10 15 20 25 30

Response of KONSUMSI to INFLASI

-1000

-500

0

500

1000

5 10 15 20 25 30

Response of INVESTASI to INFLASI

Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.

Grafik 4.4 menunjukkan impuls respon konsumsi dan investasi terhadap shock inflasi. Pengeluaran konsumsi menurun dari bulan pertama sampai dengan bulan ke 5, setelah itu mengalami kenaikan. Apabila dikaitkan dengan respon output yang menurun, maka kenaikan konsumsi di sini lebih disebabkan oleh meningkatnya pengeluaran nominal untuk mengejar kenaikan harga, sehingga tidak mengakibatkan kenaikan output. Pengeluaran konsumsi ini memerlukan speed of adjustment yang relatif lama untuk kembali ke ekuilibrium.

15

Page 16: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

Sementara respon investasi terhadap shock inflasi cenderung menunjukkan pola yang lebih fluktuatif, dimana mula-mula investasi akan menurun, kemudian setelah itu mengalami kenaikan dan penurunan, dan sampai dengan periode 30 bulan tidak juga kembali ke ekuilibrium. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa sensitivitas investasi terhadap perubahan harga relatif tinggi, yang mencerminkan tingginya ketidakpastian usaha dan risiko investasi.Grafik 4.5. Respon Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Inflasi

-150

-100

-50

0

50

100

150

5 10 15 20

Response of DG to INFLASI

-.012

-.008

-.004

.000

.004

.008

.012

5 10 15 20

Response of EG to INFLASI

Response to Cholesky One S.D. Innovations ± 2 S.E.

Dari Grafik 4.5. diketahui bahwa pemerintah merespon inflasi dengan menaikkan pengeluarannya sampai dengan bulan ke 7, kemudian setelah itu mengalami kenaikan dan penurunan, dan tidak kembali pada ekuilibrium semula. Kenaikan pengeluaran pemerintah ini diperlukan untuk dapat meng-cover kenaikan harga. Sementara itu pertumbuhan ekonomi tidak segera merespon shock inflasi, sehingga sampai dengan bulan ke-tiga masih berada pada ekuilibrium semula. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa pengaruh inflasi ke pertumbuhan ekonomi tidak terjadi secara contemporaneous, tetapi diperlukan time lag untuk mentransmisikannya. Diperlukan waktu yang relatif lama bagi pertumbuhan ekonomi untuk kembali pada ekuilibrium semula.

4.3.2 Variance Decomposition Variabel Makroekonomi Periode Prakrisis dan Setelah KrisisHasil analisis variance decomposition depresiasi, suku bunga (SBI), uang beredar (M1),

output (PDB) serta harga (CPI) selama periode prakrisis diketahui bahwa setelah 12 bulan, secara umum variabilitas masing-masing variabel dipengaruhi oleh own shock. Berikut ini disarikan analisis variance decomposition masing-masing variabel makro dengan horison peramalan 12 bulan. Tabel 12. Kontribusi Masing-Masing Variabel Makro terhadap Variabel Lainnya Periode

PrakrisisVariabel Dependent

Kontribusi Variabel Independent (%) TotalDepresiasi SBI M1 PDB Inflasi

Depresiasi 42.12 2.14 45.19 0.47 10.08 100 %SBI 15.97 66.36 10.29 3.23 4.15 100 %M1 41.64 2.57 47.52 0.76 7.51 100 %PDB 9.25 4.17 8.92 4.63 33.03 100 %Inflasi 14.51 13.61 37.04 1.38 33.46 100 %Total 123.49 88.85 148.96 50.47 88.23

Tabel 13. Kontribusi Masing-Masing Variabel Makro terhadap Variabel Lainnya Periode Setelah Krisis

Variabel Dependent

Kontribusi Variabel Independent (%) TotalDepresiasi SBI M1 PDB Inflasi

Depresiasi 58.59 12.43 14.62 3.87 10.49 100 %SBI 53.18 32.60 10.27 0.79 3.16 100 %M1 2.9 8.37 71.72 5.96 11.05 100 %

16

Page 17: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

PDB 24.39 28.48 21.73 19.76 5.64 100 %Inflasi 38.78 11.88 5.8 21.08 22.46 100 %Total 177.84 93.76 124.14 51.46 52.8

Dari Tabel 12. dapat dicermati bahwa untuk periode prakrisis, uang beredar mendominasi pengaruhnya terhadap variabel makro lainnya, secara khusus pengaruhnya terhadap depresiasi nilai tukar dan inflasi. Depresiasi sebagai variabel kedua yang mendominasi, khususnya terhadap uang beredar dan suku bunga SBI. Pengaruh inflasi nampak nyata terhadap output, sementara suku bunga SBI cukup memegang peranan juga walaupun tidak dominan.

Tingginya peran uang beredar terhadap perkonomian dapat dipahami karena kebijakan bank sentral masih cenderung base money targeting untuk mengendalikan variabel lainnya. Sementara relatif kurang berperannya suku bunga SBI merefleksikan bahwa pada periode prakrisis atau sampai dengan pertengahan tahun 1997, suku bunga di Indonesia cenderung ditetapkan oleh pemerintah, dimana penetapannya “not necessarily based on economic criteria”, dan fluktuasi suku bunga cenderung dalam interval yang sempit, di dalam mendukung nilai tukar yang cenderung di-peg-kan, serta untuk memelihara stabilitas sektor keuangan.

Berdasarkan Tabel 13. dapat dicermati bahwa terjadi pergeseran mendasar terhadap peta kontribusi masing-masing variabel makro dalam mempengaruhi variabel lainnya. Perubahan besar tersebut terlihat dari peran depresiasi nilai tukar yang meningkat sehingga pengaruhnya dominan, kemudian peran uang beredar menurun, walaupun pengaruhnya masih relatif besar. Suku bunga SBI juga menunjukkan peningkatan peran yang signifikan.

Pergeseran peran ini dapat dianalisis bahwa sejak 14 Agustus 1997, terjadi perubahan rezim nilai tukar di Indonesia, dari Managed Floating ke Free Floating yang ditandai dengan dilepaskannya band interval pergerakan nilai tukar, sehingga Indonesia semakin mengakomodir dan semakin terbuka terhadap setiap perubahan global, yang terekam dalam pergerakan nilai tukar. Setelah periode tersebut kita ketahui bahwa pergerakan nilai tukar cenderung over-shooting, dan cenderung diikuti olah variabel lain seperti suku bunga dan inflasi dengan arah hubungan positif, serta dengan output dengan arah hubungan negatif. Pada periode ini, nilai tukar memegang peran utama dalam perekonomian.

Meningkatnya peran suku bunga SBI tidak terlepas dari pola kebijakan bank sentral yang berubah dari base money targeting ke inflation targeting, dimana semenjak krisis melanda, bank sentral condong pada penggunaan suku bunga sebagai variabel operasional untuk mengendalikan perekonomian dibandingkan uang beredar, sehingga hal ini berpengaruh pada semakin besarnya peranan suku bunga SBI, dan di sisi lain peran uang beredar menurun.

4.3.3. Determinan Inflasi Periode Prakrisis dan Setelah Krisis Ekonomi

Sejalan dengan kebijakan Inflation Targeting, bank sentral yang kredibel adalah yang bisa mencapai dan mempertahankan inflasi yang rendah dan sehat. Untuk mendukung hal tersebut, perlu diketahui variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi inflasi, baik periode prakrisis maupun periode setelah krisis, agar pergerakan variabel tersebut dapat di-managed, sehingga inflasi yang sehat bisa tercapai. Berikut hasil estimasi variance decomposition inflasi, dengan horison peramalan 12 bulan.

Tabel 14. Determinan Inflasi Periode Prakrisis dan Setelah Krisis

Variabel Dependent Periode Prakrisis Periode Setelah KrisisVar. Makro Kontribusi Var. Makro Kontribusi

Inflasi M1 37,04% Depresiasi 38,77%Inflasi 33,46% Inflasi 22,45%Depresiasi 14,51% PDB 21,07%

17

Page 18: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

SBI 13,61% SBI 11,88%PDB 1,38% M1 5,83%

Total 100% 100%

Teori inflasi dari Phillips-Curve dapat disarikan bahwa inflasi dipengaruhi oleh dua hal utama yaitu output gap dan expected inflation. Output gap berasal dari interaksi demand dan supply, sementara expected inflation dapat berasal dari inflasi inersia, exchange rate serta imported inflation.

Hasil estimasi pada Tabel 14. menunjukkan bahwa inflasi periode prakrisis lebih banyak dipengaruhi oleh sisi permintaan masyarakat, ditunjukkan oleh besarnya peran uang beredar atau real money balance, yang merupakan keseimbangan antara permintaan dan penawaran uang. Real money balance tersebut merupakan komponen pembentuk aggregate demand dari sektor moneter (LM). Keseimbangan uang beredar mempunyai arah hubungan positif dengan aggregate demand dan inflasi. Apabila real money balance meningkat, suku bunga akan menurun. Penurunan suku bunga akan direspon peningkatan investasi sehingga permintaan masyarakat meningkat. Kenaikan permintaan masyarakat akan menaikkan tingkat harga dan inflasi. Dominannya pengaruh real money balance ini sejalan dengan kebijakan moneter bank sentral yang masih base money targeting.

Sementara itu, pada periode setelah krisis, inflasi lebih banyak dipengaruhi oleh depresiasi nilai tukar, yang merupakan komponen expected inflation. Perilaku ekspektasi inflasi dapat berpola ke depan (forward expectation) dan ke belakang (backward expectation). Depresiasi nilai tukar adalah backward expectation. Ekspektasi itu sendiri sebenarnya adalah hal yang tidak bisa diobservasi, tetapi pewujudannya merupakan psychological variable yang bisa dijelaskan sebagai rata-rata tertimbang nilai masa lalu variabel tersebut, dengan catatan semakin jauh masa lalu akan semakin kecil bobotnya karena semakin tidak relevan. Besarnya kontribusi depresiasi nilai tukar terhadap inflasi mengkonfirmasikan adanya exchange rate pass-through, yaitu setiap perubahan 1% dari nilai tukar, akan berdampak langsung terhadap perubahan inflasi.

Cukup besarnya pengaruh inflasi terhadap dirinya sendiri (own-shock yang bisa berupa inflasi inertia) serta suku bunga SBI terhadap inflasi, mencerminkan pengaruh backward expectation masih besar. Hal ini mengkonfirmasikan bahwa respon masyarakat cenderung adaptive, sehingga informasi masa lalu dari inflasi serta suku bunga SBI, mempengaruhi preferensi masyarakat dalam melakukan tindakan ekonomi.

V. KESIMPULAN & SARAN5.1. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:1. Super Neutrality of Money secara empiris terjadi di Indonesia, karena antara base money

dengan output tidak terjadi kausalitas, sementara antara uang beredar M1 dan M2 dengan tingkat harga dan inflasi, terjadi hubungan kausalitas.

2. Penggunaan kebijakan moneter (uang beredar) yang aktif, akan berdampak pada ketidakstabilan makroekonomi yang tercermin dari tingginya risk-premia.

3. Dari pengujian kausalitas antara inflasi dengan variabel makro diketahui bahwa inflasi mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi variabel makro, sehingga kestabilan harga ataupun inflasi yang stabil dan sehat sangat diperlukan untuk membawa perekonomian menjadi berkembang.

4. Berdasarkan kesimpulan pada butir (1), (2), dan (3), dapat dipahami bahwa perubahan framework kebijakan moneter dari base money targeting ke inflation targeting adalah sesuatu yang sangat relevan.

18

Page 19: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

5. Terjadi pergeseran yang mendasar terhadap variabel yang mendominasi perekonomian, dimana pada masa prakrisis (base money targeting) uang beredar M1 sangat dominan mempengaruhi variabel makro lainnya. Sedangkan pada periode setelah krisis (inflation targeting) peran perubahan nilai tukar menjadi lebih dominan.

6. Shock yang terjadi pada inflasi, pada tahap awal menimbulkan kenaikan pada beberapa variabel seperti pengeluaran pemerintah, suku bunga SBI serta output. Di sisi lain menimbulkan penurunan pada uang beredar, pengeluaran konsumsi, investasi serta pertumbuhan ekonomi.

6. Determinan inflasi di Indonesia pada periode prakrisis lebih banyak dipengaruhi oleh uang beredar, sedangkan pada periode setelah krisis lebih banyak dipengaruhi oleh depresiasi nilai tukar. Peran expected inflation cukup besar baik pada periode prakrisis ataupun pasca krisis.

5.2. SARANHasil penelitian menunjukkan bahwa Inflation Targeting adalah pilihan yang relevan untuk kondisi perekonomian saat ini. Oleh karena itu diperlukan konsistensi dari Bank Sentral untuk pelaksanaan kerangka kerja tersebut. Dominannya peranan nilai tukar menuntut kebijakan moneter harus diarahkan untuk menjaga stabilitasnya, sehingga berdampak positif bagi perekonomian. Di sisi lain, pengelolaan uang beredar secara cermat tidak boleh diabaikan, mengingat masih tingginya pengaruh uang beredar terhadap perekonomian.

DAFTAR RUJUKAN

Ahmed, S and B.K. Kapur. “How Indonesia’s Monetary policy Affects key Variables.” World Bank Policy, Research, and external Affairs Working Paper, 1990.

Bernanke, Ben S. at all. Inflation Targeting; Lesson From The International Experience. Princeton University Press, 1999.

Bank Indonesia. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Beberapa terbitanBlanchard, Oliver. Macroeconomics, Second Edition. Massachusetts Institute of Technology,

Prentice Hall International, Inc, 1999.Boediono. “Merenungkan Kembali Mekanisme Transmisi Moneter di Indonesia”. Buletin

Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998.Boediono. “Penggunaan Suku Bunga Sebagai sasaran Operasional Kebijakan Moneter di

Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998.Dornbusch, Rudiger, at all. Macroeconomic, McGraw-Hill, 2001.Enders, Walter. Applied econometric Time Series. Iowa State University, John Wiley & Son, Inc.

1995.Frisch, Helmut. Theories of Inflasi. Cambridge University Press, 1983.Haryono, Erwin; Nugroho, Wahyu Agung dan Pratomo, Wahyu. “Mekanisme Pengendalian

Moneter Dengan Inflasi sebagai Sasaran Tunggal”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret 2000.

Joseph, Charles, dan Anton H. Gunawan. “Monetary Policy and Inflation Targeting in Emerging Economies.” Jakarta, 2002

Madjardi, Fadjar. “The Inflation Forecasting Model,” dalam Appendix-3, Monetary Policy and Inflation Targeting in Emerging Economies. Jakarta, 2000

McLeod,R.H. “Explaining Chronic Inflation in Indonesia,”Journal of Development Studies, vol.33 no.3 1997.

19

Page 20: PERUBAHAN FRAMEWORK MENUJU ITF MKLH BI.DOC

Ramakrishnan, Uma. and Athanasios Vamvakidis. ”Forecasting Inflation in Indonesia.” IMF Working Paper, 2002.

Sarwono, Hartadi A dan Warjiyo, Perry. “Mencari Paradigma Baru Manajemen Moneter Dalam Sistem Nilai Tukar Fleksible: Suatu Pemikiran untuk Penerapannya di Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998.

Warjiyo, Perry dan Zulverdi, Doddy. “Penggunaan Suku Bunga sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia”. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 1998.

Walsh, Carl E. Monetery Theory and Policy. Massachusetts: The Massachusett Institute of Technology Press, 2001.

20