perlakuan akuntansi untuk aset biologis ...eprints.perbanas.ac.id/4481/1/artikel ilmiah.pdfberisi...
TRANSCRIPT
PERLAKUAN AKUNTANSI UNTUK ASET BIOLOGIS TANAMAN TEBU
BERDASARKAN PSAK 69 PADA PT PERKEBUNAN
NUSANTARA X SURABAYA
ARTIKEL ILMIAH
Oleh :
TALIA SANDRA KIRANA
NIM : 2015310698
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI PERBANAS
SURABAYA
2019
1
ACCOUNTING TREATMENT OF BIOLOGICAL ASSETS SUGARCANE BASED ON PSAK 69 AT PT PERKEBUNAN NUSANTARA X
SURABAYA
Talia Sandra Kirana STIE Perbanas Surabaya
Email : [email protected]
Jl. Nginden Semolo 34-36, Surabaya
ABSTRACT
Biological assets are plant and animal assets owned by the company as a result of past events
and undergoes biological transformation. Biological transformation consists of processes of
growth, degeneration, production and procreation which lead to qualitative and quantitative
changes in animal and plant life. This research was conducted at PT Perkebunan Nusantara X
which is engaged in the plantation industry by managing sugarcane, tobacco, and cocoa. The
purpose of this study was to determine the accounting treatment of biological assets in the form
of sugarcane between PT Perkebunan Nusantara X and PSAK 69, and to understand accretion
events arising from these biological transformations. The research conducted is a case study,
with primary and secondary data sources. The results of this study include the Company
recognizing sugarcane as annual crops and sugarcane costs as the cost of goods sold, as well as
measuring the cost of sugarcane based on the cost of sugarcane. The company also made
disclosures regarding the details of costs and their explanation on the notes to the consolidated
financial statements. But keep in mind that the author can not influence the object of research.
The results of this study contribute in addition to providing knowledge about biological assets.
Keywords: biological assets, biological transformation, accretion, accounting treatment, PSAK
69
PENDAHULUAN Tanaman tebu sebagai bahan baku
industri gula yang merupakan salah satu
komoditi perkebunan dengan peran strategis
dalam perekonomian di Indonesia. Luas
perkebunan gula di Indonesia adalah sekitar
458.000 hektar pada 2016 yang terdiri dari
240.240 hektar merupakan perkebunan
rakyat, 81.568 hektar perkebunan besar
negara, dan 136.477 hektar perkebunan besar
swasta, dengan produksi mencapai 2.332.000
ton. Sedangkan pada 2017, luas perkebunan
tebu di Indonesia berkurang menjadi 426.000
hektar, yang kemudian berbanding lurus
dengan menurunnya hasil produksi sebanyak
2.121.000 ton. Industri gula berbahan baku
tebu merupakan salah satu sumber
pendapatan bagi ribuan petani tebu dan
pekerja di industri gula. Gula juga merupakan
salah satu kebutuhan pokok bagi sebagian
besar masyarakat (www.bps.go.id, 2018).
Tanaman tebu diklasifikasikan
sebagai aset biologis di dalam PSAK 69. Aset
biologis didefinisikan dalam PSAK 69
sebagai “hewan atau tanaman hidup”.
Definisi lain menurut International
Accounting Standard Committe (IASC) dalam
International Accounting Standard (IAS) 41
menyebutkan bahwa aset biologis adalah
“kehidupan hewan-hewan dan tanaman yang
dikendalikan oleh perusahaan sebagai hasil
dari peristiwa yang lalu”. Umumnya, aset
2
biologis akan mengalami transformasi
biologis. Kemudian dari transformasi biologis
tersebut menimbulkan peristiwa yang disebut
akresi. Menurut Paton & Litteton (1990: 25)
dalam Ligia Dwi Restyani (2016),
menyatakan bahwa “akresi adalah
pertumbuhan nilai akibat pertumbuhan fisik
atau proses alamiah lainnya”. Sehingga dapat
diartikan bahwa peristiwa akresi akan
membuat aset biologis memiliki nilai tambah,
yang nantinya akan berhubungan dengan
bertambahnya nilai persediaan perusahaan
dan membuat perusahaan memperoleh
pendapatan secara berkala. Seperti pada
penelitian ini yang menggunakan objek
tanaman tebu, dari saat awal penanaman bibit
tebu sampai saat masa panen, tebu akan
memiliki nilai yang berbeda. Mampu tumbuh
secara alami memang menjadi sifat bawaan
dari semua aset biologis, namun perlu diingat
bahwa peristiwa akresi tidak terlepas dari
biaya-biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan untuk merawat aset biologis
tersebut sampai siap diperjualbelikan.
Standar akuntansi di Indonesia diatur
dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK) yang beberapa ayatnya
diadopsi dari International Financial
Reporting Standards (IFRS). Salah satu
contoh pengadopsian IFRS ke dalam PSAK
adalah dari International Accounting
Standard (IAS) 41 menjadi PSAK 69
agrikultur. Pada awal 2016 Dewan Standar
Akuntansi Keuangan (DSAK) mengesahkan
PSAK 69 agrikultur yang akan efektif
diadopsi oleh seluruh entitas agrikultur pada
januari 2018. PSAK 69 merupakan
pengapdosian penuh dari IAS 41 agriculture
(International Accounting Standard) yang
berisi tentang perlakuan akuntansi untuk
sektor agrikultur yang meliputi
pengungkapan, penyajian, pengukuran dan
pelaporan aset biologis (Wike Pratiwi, 2017).
PSAK 69 agrikultur menjadi hal yang
benar-benar baru di sektor agrikultur,
khususnya di bidang perkebunan. Sehingga,
butuh upaya dan usaha keras bagi
perusahaan-perusahaan yang bergerak di
sektor ini untuk segera menyesuaikan diri
terkait dengan penyusunan laporan keuangan
mereka agar sesuai dengan standar baru yang
sudah ditetapkan. IAS 41 memang sudah
diterapkan oleh negara-negara maju jauh
sebelum ini. Hal tersebut dikarenakan
pengaruh yang kecil atas sektor agrikultur
pada perekonomian mereka. Lain halnya
dengan negara berkembang, khususnya
Indonesia yang sebagian besar
perekonomiannya ditunjang dari sektor
agrikultur sehingga belum menerapkan
PSAK 69 agrikultur yang dianggap kurang
relevan, efektif dan kurang sempurna untuk
dapat diterapkan. Anggapan-anggapan
tersebut muncul karena digunakannya konsep
nilai wajar untuk pengukuran aset biologis,
dimana konsep ini diperoleh dari nilai wajar
aset biologis dikurangi dengan biaya untuk
menjual berdasarkan nilai pasar. Anggapan
bahwa nilai wajar kurang sesuai untuk
diterapkan tersebut sejalan dengan penelitian
Stefanus, dkk (2014), yang menyatakan
bahwa PSAK yang berbasis IAS 41 belum
akan diterapkan dalam waktu dekat ini karena
IAS 41 sendiri akan mengalami revisi yang
cukup signifikan. Saat ini BUMN perkebunan
dapat menggunakan PSAK BUMN
Perkebunan yang telah diterbitkan. Namun,
tidak sejalan dengan penelitian Anita, dkk
(2016) yang menyatakan bahwa teknik
penerapan akuntansi aset biologis tanaman
kelapa telah disesuaikan dengan IAS 41,
terbukti dari diakuinya tanaman kelapa
sebagai aset tersendiri dan pengukurannya
berdasarkan nilai wajar setelah dikurangi
dengan estimasi biaya penjualan.
Walaupun PSAK 69 sudah disahkan,
nampaknya perusahaan perkebunan di
Indonesia masih belum menerapkan standar
ini dalam penyusunan laporan keuangan
mereka. Contohnya pada PT Perkebunan
Nusantara X sebagai tempat dimana peneliti
melakukan penelitian. Penggunaan PSAK 69
dirasa kurang efektif karena penggunaan nilai
wajar yang relatif sulit diterapkan di
3
Indonesia. Selain itu, didalam praktiknya
tanaman tebu termasuk kedalam tanaman
semusim atau sekali panen. Sehingga
umurnya pendek dan jumlahnya pun sangat
dinamis atau cepat mengalami perubahan.
Berbeda dengan aset biologis seperti tanaman
teh, karet, dan kelapa sawit yang umurnya
mudah diprediksi atau diperhitungkan.
Sehingga, dalam upaya meminimalisir
terjadinya kesalahan saji laporan keuangan,
manajemen dituntut untuk melakukan
pembaharuan data aset biologis tanaman tebu
secara tepat dan cepat. Perusahaan juga harus
melakukan pengakuan, pengukuran, dan
pengungkapan atas aset biologis tanaman
tebu mereka secara tepat pula. Bukan tanpa
sebab, perlakuan akuntansi tersebut nantinya
akan memberikan dampak bagi kewajaran
laporan keuangan perusahaan saat
dilaksanakan audit. Kewajaran laporan
keuangan tersebut juga menjadi salah satu
acuan untuk menilai kinerja manajemen
perusahaan.
Perusahaan perkebunan di Indonesia
perlu memahami fenomena akresi yang
terjadi pada aset biologis yang mereka miliki,
khususnya tanaman tebu dan selanjutnya
menetapkan perlakuan akuntansi yang sesuai
atas aset biologis tanaman tebu tersebut agar
mampu menyajikan laporan keuangan yang
wajar. PT Perkebunan Nusantara X
merupakan salah satu perusahaan perkebunan
di Indonesia yang memproduksi tanaman
tebu dan tembakau. Namun yang menjadi
fokus mereka adalah tanaman tebu karena
tembakau hanya mereka produksi ketika
terdapat pesanan. Produksi tanaman tebu PT
Perkebunan Nusantara X sebagian besar
berasal dari Tebu Rakyat (TR), dan sebagian
kecil lainnya dimilliki oleh perusahaan
sendiri (Tebu Sendiri). Baik Tebu Rakyat
(TR) maupun Tebu Sendiri (TS) nantinya
akan digunakan sebagai bahan baku dalam
produksi gula. PT Perkebunan Nusantara X
merupakan kantor pusat yang memiliki
sembilan unit usaha berupa pabrik gula yang
tersebar di wilayah Jawa Timur dan Jawa
Tengah.
Penulis menemukan fenomena dalam
penelitian ini, yaitu adanya perbedaan
penerapan standar atas perlakuan aset
biologis yang terjadi pada PT Perkebunan
Nusantara X, sehingga membuat penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Perlakuan Akuntansi untuk Aset
Biologis Tanaman Tebu Berdasarkan
PSAK 69 Pada PT Perkebunan Nusantara
X Surabaya”. Penelitian tersebut akan
dilakukan di kantor pusat PT Perkebunan
Nusantara X sebagai salah satu perusahaan di
Indonesia yang bergerak di bidang
perkebunan yang mengelola aset biologis
tanaman tebu dan tembakau dengan produksi
utama yaitu gula. Namun perlu dijelaskan,
bahwa penelitian ini hanya bertujuan untuk
mengamati perlakuan akuntansi terkait
tanaman tebu di PT Perkebunan Nusantara X
yang kemudian dikaitkan dengan PSAK 69
sebagai standar baru yang mengatur aktivitas
agrikultur. Selain itu, peneliti dalam hal ini
tidak dapat memengaruhi objek penelitian
(perlakuan akuntansi untuk tanaman tebu).
RERANGKA TEORITIS YANG
DIPAKAI DAN HIPOTESIS
Teori Akuntansi Normatif Teori akuntansi normatif disebut juga
teori perspektif, yang menganggap akuntansi
sebagai norma peraturan yang harus diikuti, baik dipraktikan sekarang atau tidak. Teori
ini berusaha untuk membenarkan tentang apa
yang seharusnya dipraktikan dan hanya menyebutkan hipotesis tentang bagaimana
akuntansi seharusnya dipraktikan tanpa menguji hipotesis tersebut. Selain itu, teori
akuntansi normatif juga berusaha menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan
oleh akuntan dalam proses penyajian informasi keuangan kepada para pemakainya.
Suwardjono berpendapat, sasaran teori
akuntansi normatif adalah memberikan penjelasan atau penalaran mengapa perlakuan
akuntansi tertentu akan lebih relevan atau
4
tidak relevan (relevant or irrelevant) atau
baik atau buruk (good or bad) daripada perlakuan akuntansi alternatif yang lain
dalam hal mencapai tujuan tertentu (Suwardjono, 2005: 26).
Aset Biologis
Aset biologis seperti hewan ternak, tanaman perkebunan, pertanian, atau
perhutanan menjadi produksi utama dari
aktivitas agrukultur, mereka mengalami transformasi biologis (proses
berkembangbiak, pertumbuhan, produksi, atau bahkan kemunduran) sehingga
menyebabkan perubahan kuantitatif dan kualitatif, yang nantinya juga akan
berpengaruh pada perusahaan. Tranformasi biologis yang dialami dapat membuat
pengakuan, pengukuran, dan
pengungkapannya harus menggunakan metode akuntansi yang tepat agar laporan
keuangan tersaji secara wajar.
Pengakuan Terdapat pernyataan terkait
pengakuan aset biologis dalam PSAK No. 1 Paragraf 65 dalam Ligia Dwi Restyani
(2016), yaitu “Perusahaan memiliki kendali
atas aktiva sebagai hasil dari peristiwa masa lalu dan dimungkinkan bahwa di masa
mendatang terdapat manfaat ekonomi yang berkaitan dengan aset tersebut yang akan
mengalir ke perusahaan”.
Pengukuran IAS 41 dan PSAK 69 membahas
pengukuran (measurement) terhadap aset biologis dan nilai wajar dijelaskan pada
paragraf 12 sebagai “Aset biologis diukur
pada saat pengakuan awal dan pada setiap akhir periode pelaporan pada nilai wajar
dikurangi biaya untuk menjual, kecuali untuk kasus yang dideskripsikan dalam paragraf 30
dimana nilai wajar tidak dapat diukur secara andal.”
Pengungkapan Pengungkapan (disclosure) untuk aset biologis dalam IAS 41 dan PSAK 69
dijelaskan melalui paragraf ke 40 sebagai berikut, “Entitas mengungkapkan keuntungan
atau kerugian gabungan yang timbul selama periode berjalan pada saat pengakuan awal
aset biologis dan produk agrikultur, dan dari perubahan nilai wajar dikurangi biaya untuk
menjual aset biologis.”
Akresi
Proses akresi secara singkat dapat diartikan sebagai proses bertambahnya nilai
dari aset biologis yang terjadi akibat adanya transformasi biologis, yaitu pertumbuhan,
degenerasi, ataupun prokreasi. Suwardjono (2005 : 372-373) mendefinisikan akresi
adalah “Pertmbahan nilai akibat pertumbuhan
fisis atau proses alamiah lainnya”.
Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang mendasari
penelitian ini adalah:
METODE
PENELITIAN
Rancangan
Penelitian
Penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif. Prof. Dr.
Lexy J. Moleong (2006 : 6) mendefinisikan
penelitian kualitatif sebagai berikut:
5
Pengukuran Aset Biologis = Nilai Wajar – Biaya untuk Menjual
Penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian misalnya
prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll.,
secara holistik dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan
dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah.
Sebuah penelitian kualitatif akan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda-beda
pada setiap objek yang ditelitinya. Hal ini
disebabkan oleh subjektifnya objek yang
diteliti, seperti persepsi, perilaku, atau
motivasi. Sehingga diperlukan deskripsi yang
lebih detail terkait objek penelitian.
Pendekatan kualitatif dalam
penelitian ini digunakan untuk mengetahui
bagaimana perusahaan di sektor agrikultur
memerlakukan aset biologis yang mereka
miliki, baik dari segi pengakuan,
pengukuran, pengungkapan, dan kewajaran
penyajiannya dalam laporan keuangan,
khususnya pada PT Perkebunan Nusantara X
Surabaya.
DEFINISI OPERASIONAL DAN
PENGUKURAN
Aset Biologis Penerapan PSAK 69
memperkenalkan sebuah istilah baru, yaitu
aktivitas agrikultur. PSAK 69 menyebutkan
aktivitas agrikultur sebagai kegiatan seperti
peternakan, perkebunan, atau kehutanan
yang menghasilkan produk agrikultur berupa
aset biologis untuk dijual. Aset biologis
dalam PSAK 69 didefinisikan sebagai
“hewan atau tanaman hidp”.
Pengakuan
Aset biologis hanya akan diakui
apabila aset biologis terjadi sebagai akibat
dari peristiwa masa lalu, memiliki manfaat
ekonomik di masa depan yang akan
mengalir ke entitas, dan nilai wajar atau
biaya perolehan dapat diukur secara andal.
Perusahaan dapat mengakui aset biologis
sebagai aset lancar apabila jangka waktu
transformasi biologisnya < 1 tahun, atau
sebagai aset tidak lancar apabila jangka
waktu transofrmasi biologisnya > 1 tahun.
Pengukuran Pengukuran nilai wajar aset biologis
dapat didukung dengan mengelompokkan
aset biologis atau produk agrikultur sesuai
dengan atribut yang signifikan, misalnya
berdasarkan usia atau kualitas.Aset biologis
diukur pada saat pengakuan awal dan pada
setiap akhir periode pelaporan, dengan cara
sebagai berikut:
Namun, pengakuan awal aset biologis yang
harga kuotasi pasarnya tidak tersedia dan
yang alternatif pengukuran nilai wajarnya
secara jelas tidak dapat diandalkan.
Sehingga, apabila nilai wajar tidak dapat
diukur secara andal, maka aset biologis
tersebut diukur dengan cara:
Pengungkapan Entitas mengungkapkan keuntungan
atau kerugian yang timbul selama periode
berjalan pada saat pengakuan awal aset
biologis dengan cara perubahan nilai wajar
dikurangi biaya untuk menjual aset biologis.
Nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual
aset biologis dapat berubah, baik akibat
perubahan fisik maupun perubahan harga di
pasar. Pengungkapan terpisah atas
perubahan fisik dan perubahan harga sangat
dianjurkan guna menilai kinerja, terutama
ketika siklus produksi berusia lebih dari satu
tahun. Namun, informasi ini umumnya
Pengukuran Aset Biologis = Biaya Perolehannya – (Akum. Peny. + Akum. Kerugian Penurunan Nilai)
6
kurang berguna ketika siklus produksi
berusia kurang dari satu tahun.
Akresi
Akresi adalah pertambahan nilai
akibat pertumbuhan fisis atau proses alamiah
lainnya. Proses pertumbuhan dapat
meningkatkan nilai aset karena umumnya,
semakin tua umur bibit maka akan semakin
mahal harganya. Saat proses akresi terjadi,
pendapatan sudah terbentuk namun belum
terealisasi. Hal inilah yang membuat proses
akresi tidak diakui sebagai pendapatan,
namun juga bukan berarti meniadakannya.
Hanya saja, pelaporannya harus memberi
kesan bahwa akresi belum terealisasi dan
jumlahnya terpisah dari laba yang telah
terealisasi.
DATA DAN METODE PENGUMPULAN
DATA
Teknik Analisis Data
Teknik analisis dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis deskriptif
kualitatif, yang bertujuan untuk
mendeskripsikan suatu peristiwa atau
kejadian secara sistematis dan faktual.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam
teknik analisis deskriptif kualitatif ini
meliputi:
a. Mengkaji teori terkait perlakuan
akuntansi atas aset biologis tanaman
tebu, khususnya PSAK 69.
b. Mempelajari hasil wawancara yang telah
dilakukan dengan narasumber.
c. Melakukan peringkasan dan
penyimpulan atas data dan dokumen
yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan narasumber.
d. Menjelaskan bagaimana perlakuan
akuntansi untuk aset biologis tanaman
tebu pada PT Perkebunan Nusantara X
Surabaya.
e. Mengidentifikasi perbandingan antara
perlakuan akuntansi atas tanaman tebu
yang diterapkan pada PT Perkebunan
Nusantara X Surabaya dengan teori dan
standar yang berlaku, yaitu PSAK 69.
f. Menyusun informasi dan fakta yang
telah diidentifikasi.
g. Menarik kesimpulan untuk menjawab
rumusan masalah penelitian.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Proses Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan
dilakukannya survei pendahuluan ke kantor
pusat PT Perkebunan Nusantara X yang
berada di Jalan Jembatan Merah nomor 3-11
Surabaya pada 20 September 2018, yang
kemudian peneliti melakukan wawancara
singkat dan menyampaikan maksud serta
tujuannya untuk melakukan penelitian
menggunakan objek tanaman tebu milik PT
Perkebunan Nusantara X. Pihak yang dituju
dalam penelitian ini adalah Divisi Akuntansi
karena penelitian ini membahas terkait
perlakuan akuntansi untuk tanaman tebu.
Pihak Divisi Akuntansi perusahaan
menyampaikan bahwa perusahaan tidak
menerapkan PSAK 69: Agrikultur terkait
aset biologisnya, kemudian peneliti
mengutarakan bahwa tujuan penelitian ini
adalah hanya untuk mengetahui bagaimana
perlakuan akuntansi untuk aset biologis milik
perusahaan agrikultur, yang selanjutkan
dikaitkan dengan standar baru yaitu PSAK
69.
Selanjutnya peneliti melakukan studi
pustaka yang meliputi PSAK 69: Agrikultur
serta IFRS (khususnya IAS 41: Agriculture),
dimana pembahasannya meliputi pengakuan,
pengukuran, dan pengungkapan yang
kemudian dituangkan pada landasan teori
dalam bab dua. Selain itu, peneliti juga
mengkaji laporan keuangan tahunan periode
2017 milik PT Perkebunan Nusantara X
yang nantinya akan dikaitkan atau
diperbandingkan. Berbekal landasan-
landasan teori yang sudah dikaji, pada 11-12
Oktober 2018 peneliti melakukan wawancara
dengan Divisi Akuntansi PT Perkebunan
7
Nusantara X terkait perlakuan akuntansi
yang meliputi pengakuan dan pengukuran
tanaman tebu milik perusahaan, biaya-biaya
yang timbul selama proses penanaman
tanaman tebu, serta kebijakan-kebijakan
perusahaan untuk tanaman tebu.
Data-data terkait proses penanaman
tanaman tebu dari awal sampai sebelum
diproses menjadi gula diperlukan untuk
penulisan dalam bab 4. Sehingga pada 27
November 2018 peneliti kembali ke PT
Perkebunan Nusantara X untuk melakukan
wawancara terkait proses budidaya tebu.
Pihak Divisi Akuntansi mengarahkan peneliti
untuk langsung melakukan wawancara
dengan Divisi Budidaya yang memang
bertugas untuk mengawasi budidaya semua
aset biologis (tanaman tebu dan tembakau),
sehingga akan lebih rinci dalam memberikan
penjelasannya. Divisi Budidaya menjelaskan
terkait proses produksi mulai tahap
pengembangan bibit pada beberapa tingkatan
kebun bibit, proses penanaman,
pemeliharaan, hingga tahap tebang, muat,
angkut. Sehingga pada tahap ini, peneliti
mendapatkan gambaran mengenai proses
budidaya tanaman tebu. Wawancara terakhir
yang dilakukan pada 25 Januari 2019
dilakukan dengan Divisi Akuntansi dan
Budidaya untuk memperlengkap data terkait
penelitian, seperti penyusutan untuk tanaman
tebu beserta metodenya, adanya kerugian
atas penurunan nilai untuk tanaman tebu, dan
beberapa hal lain yang terkait dengan
pengungkapan, serta informasi terkait jumlah
bibit yang digunakan untuk budidaya
tanaman tebu.
Setelah peneliti memahami gambaran
proses budidaya tanaman tebu dan perlakuan
akuntansi untuk tanaman tebu pada PT
Perkebunan Nusantara X, maka selanjutnya
peneliti mencari gambar konkret terkait
proses budidaya tanaman tebu yang meliputi
tahap pembibitan, proses tanam, dan tebang
muat angkut. Selain itu, peneliti mengaitkan
perlakuan akuntansi untuk tanaman tebu di
PT Perkebunan Nusantara X dengan PSAK
69: Agrikultur terkait pengakuan,
pengukuran, pengungkapan, yang kemudian
akan dilakukan analisis untuk menjawab
rumusan masalah, serta menarik kesimpulan.
Produksi Tanaman Tebu
Terdapat tiga tahapan utama dalam
proses produksi tanaman tebu. tahapan
tersebut dimulai dari proses panjang
pemilihan bibit tebu, tahap pemeliharaan,
hingga tanaman tebu siap dipanen, dan
kemudian diproduksi menjadi gula. Berikut
adalah penjelasan dari tahapan-tahapan
tersebut:
1. Pembibitan
Proses pembibitan dilakukan melalui
beberapa tahap secara berkesinambungan
pada tiga tahap kebun bibit. Tahapan-tahapan
tersebut meliputi pembibitan pada Kebun
Bibit Utama (KBU), pembibitan pada Kebun
Bibit Induk (KBI), dan pembibitan pada
Kebun Bibit Datar (KBD), sebelum
pembibitan pada KBU, bibit melalui proses
seleksi yang ketat di tingkat Kebun Bibit
Pokok (KBP).
Adanya seleksi pada tahap pembibitan ini
dilakukan untuk mendapatkan bibit tebu
yang bermutu dan sesuai dengan standar
bahan baku dalam produksi gula. Sehingga
nantinya pada saat panen, bahan baku tebu
akan memiliki kualitas baik dan layak untuk
diproses lebih lanjut. Selain itu, pembibitan
berjenjang akan mampu menciptakan bibit-
bibit tebu baru dengan kualitas yang lebih
baik.
a. Kebun Bibit Pokok (KBP)
Tahap pembibitan pada Kebun Bibit
Pokok (KBP) ini adalah dilakukannya
penelitian untuk mencari bibit tebu yang
sesuai dengan standar, atau bahkan bibit
dengan kualitas lebih baik. Bibit tebu
dikembangkan pada tahap ini, menggunakan
jumlah yang kecil karena masih berada
dalam tahap penelitian varietas baru.
Selanjutnya KBP menetapkan varietas tebu
yang layak untuk dikembangkan lebih lanjut,
8
kemudian diserahkan ke Kebun Bibit Utama
(KBU) untuk dikembangkan dalam jumlah
yang lebih besar. KBP mengembangkan dua
jenis bibit, yaitu kultur jaringan dan bagal.
Pembibitan kultur jaringan berlangsung
selama 3 bulan sedangkan pembibitan bagal
berlangsung selama 6 sampai 7 bulan.
b. Kebun Bibit Utama (KBU)
Tahap pembibitan kedua dilakukan di
Kebun Bibit Utama (KBU), yang
mengembangkan hasil pembibitan varietas
tebu dari Kebun Bibit Pokok. Berbeda
dengan tahap di Kebun Bibit Pokok (KBP),
pengembangan bibit tebu pada KBU
dilakukan dalam jumlah yang lebih besar,
sehingga biaya yang ditimbulkan akan
menjadi lebih besar. KBU akan melakukan
pengembangan bibit dalam jangka waktu
tertentu. Apabila bibit yang dikembangkan di
KBU dianggap berhasil, maka
pengembangan bibit akan dilanjutkan ke
tahap ketiga, yaitu pembibitan di Kebun
Bibit Induk (KBI). Tujuannya dari
serangkaian tahap ini adalah untuk
mendapatkan bibit tebu dengan kualitas
terbaik dan meminimalisir kegagalan tanam
atas bibit tebu yang telah dikembangkan.
Sama halnya pada KBP.
c. Kebun Bibit Induk / Nenek (KBI / KBN)
Tahap ketiga dalam proses
pembibitan dilakukan di Kebun Bibit Induk
(KBI) yang mana sudah sepenuhnya
dikembangkan oleh pihak pabrik gula..
Pekerjaan yang dilakukan oleh KBI hampir
sama dengan pekerjaan pada Kebun Bibit
Utama (KBU), yaitu melakukan
pengembangan bibit dari hasil seleski di
KBU dengan skala lebih besar lagi. Hal ini
akan berdampak pada biaya pembibitan yang
lebih besar. Setelah itu, KBI akan
dikembangkan lagi ke skala yang lebih besar,
yaitu Kebun Bibit Datar (KBD) sebelum
ditanam di Kebun Tebu Giling (KTG).
d. Kebun Bibit Datar (KBD)
Kebun Bibit Datar (KBD) merupakan
tempat untuk produksi bibit tebu. KBD
bertugas untuk memperbanyak bibit tebu dari
varietas yang sudah diseleksi di Kebun Bibit
Induk (KBI). Selanjutnya KBD akan
melakukan produksi bibit tebu dalam jumlah
yang besar karena bibit tersebut akan dibuat
untuk tanaman Plant Cane (PC) oleh HGU
maupun Petani Tebu Rakyat (PTR) untuk
ditanam di lahan tebu. Jadi KBD harus
memproduksi bibit tebu sebesar kebutuhan
dari HGU dan PTR.
2. Pemeliharaan (Tahap Tebu Giling)
Proses pemeliharaan merupakan
serangkaian aktivitas di areal lahan mulai
dari tahap persiapan lahan, persiapan tanam,
tanam, sampai pemeliharaan itu sendiri.
a. Persiapan Lahan
Persiapan lahan untuk budidaya tebu
PC diawali dengan pembajakan mekanisasi
menggunakan traktor dan pembajakan secara
tradisional dengan menggunakan luku sapi.
Setelah itu dilakukan penanaman benih
Rabuk Hijau (RH), yang fungsinya adalah
untuk menggemburkan tanah yang akan
ditanami bibit tanaman tebu. Setiap hektar
lahan membutuhkan benih RH sejumlah 30
kg.
b. Persiapan Tanam
Persiapan tanam merupakan aktivitas
berupa kegiatan pembajakan yang dilakukan
sebanyak dua kali dan penyiapan bibit tebu
dari Kebun Bibit Datar (KBD). Aktivitas
tersebut hanya berlaku untuk budidaya Plant
Cane, pada budidaya Ratoon tidak
diperlukan aktivitas tersebut. Namun perlu
dilakukan arak brondol dan mengeluarkan
brondol bekas tebangan tebu tersebut, serta
mempersiapkan bibit tebu yang akan
digunakan untuk melakukan proses sulam,
yaitu mengganti bekas tebangan tebu yang
mati dengan bibit tebu.
c. Tanam
Setelah melakukan tahap persiapan
lahan dan persiapan tanam, tahap berikutnya
adalah aktivitas tanam. Proses tanam pada
budidaya PC dan RT tentu berbeda, pada
budidaya PC penanaman dilakukan dengan
9
bantuan tenaga mesin. Bibit yang
sebelumnya sudah disiapkan akan ditanam
dengan menggunakan bantuan traktor. Dalam
budidaya tebu giling RT, tidak ada
penanaman tebu secara langsung karena
budidaya RT memanfaatkan bekas tebangan
tanaman tebu yang sebelumnya sudah
dipanen dan hanya disulami (penggantian
keprasan tebu yang mati dengan bibit tebu)
saja, namun penyulaman tersebut termasuk
dalam tahap pemeliharaan.
d. Pemeliharaan
Tahap pemeliharaan merupakan
aktivitas yang dilakukan untuk menjaga
kualitas tanaman tebu sehingga nantinya
dapat menciptakan hasil panen yang sesuai
dengan standar bahan baku yang dibutuhkan
dalam produksi gula. Aktivitas-aktivitas yang
dimaksud adalah aktivitas pengomposan,
herbisida dan pemupukan yang dilakukan
sebanyak dua kali, subsoiler
(pendalaman/penambahan tanah), serta
klentek yang dilakukan sebanyak tiga kali.
3. Pengangkutan
Proses panen tebu terdiri dari tiga
aktivitas utama, yaitu tebang, muat, dan
angkut. Sesuai dengan namanya, tahap
tebang muat angkut merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan saat pemanenan
(tebang), muat, sampai dengan
pengangkutam tebu ke pabrik. Proses panen
tebu dilakukan kurang lebih 12 bulan dari
penanaman tebu tersebut. Umur tebu tersebut
tergantung dari jenis varietas tanaman tebu.
Aktivitas tebang akan dilakukan untuk
tanaman tebu yang dinilai sudah siap, dengan
meilhat beberapa kriteria antara lain manis,
bersihm dan segar. Setelah ditebang, tebu
selanjutnya dimuat kedalam truk untuk
diangkut menuju pabrik dan kemudian
dijadikan sebagai bahan baku untuk
memproduksi gula.
PEMBAHASAN
Pengakuan atas Tanaman Tebu
Pengakuan aset biologis (dalam hal
ini tanaman tebu) pada laporan keuangan
berdasarkan PSAK 69 adalah sebagai aset
lancar dan aset tidak lancar. Aset biologis
akan diakui sebagai aset lancar apabila
memiliki masa manfaat kurang dari satu
tahun, sedangkan aset biologis dengan masa
manfaat lebih dari satu tahun akan diakui
sebagai aset tidak lancar. Aset biologis
berupa tanaman tebu yang dimiliki oleh PT
Perkebunan Nusantara X diakui sebagai akun
Tanaman Semusim dalam pos Aset Tidak
Lancar pada Laporan Posisi Keuangan
Konsolidasian. Hal ini menunjukkan adanya
kesusuaian antara perlakuan akuntansi atas
aset biologis di PT Perkebunan Nusantara X
dan perlakuan akuntansi berdasarkan PSAK
69: Agrikultur. Berikut adalah tabel analisis
perbandingan perlakuan akuntansi aset
biologis berupa tanaman tebu pada PSAK
69: Agrikultur dan PT Perkebunan Nusantara
X terkait pengakuannya.
Tabel Perbandingan Pengakuan Aset
Biologis Tanaman Tebu
Indikator PSAK 69 PTPN X Kesimpulan
Pengakuan
tanaman
tebu
Tanaman
tebu
diakui
sebagai
Aset
Tidak
Lancar.
Tanaman
tebu diakui
sebagai
Tanaman
Semusim
dalam pos
Aset Tidak
Lancar
(lampiran 1
dan 5).
PTPN X
melakukan
pengakuan
tanaman
tebu sesuai
dengan
PSAK 69.
10
Indikator PSAK 69 PTPN X Kesimpulan
Pengakua
n selama
tahap
pembibita
n
Tidak
mengatur
tentang
pengakua
n biaya
pembibita
n
Diakui
sebagai
biaya
pembibitan
dalam pos
Beban
Pokok
Pendapatan
PTPN X
melakukan
pengakuan
pada tahap
pembibitan
menggunak
an
kebijakanny
a sendiri.
Pengakua
n selama
tahap
pemelihar
aan
Tidak
mengatur
tentang
pengakua
n biaya
pemelihar
aan
Diakui
sebagai
biaya
pemelihara
an dalam
pos Beban
Pokok
Pendapatan
PTPN X
melakukan
pengakuan
pada tahap
pemeliharaan
menggunaka
n
kebijakannya
sendiri.
Pengakua
n selama
tahap
pengangk
utan
Tidak
mengatur
tentang
pengakua
n biaya
pengangk
utan
Diakui
sebagai
biaya
pengangkut
an dalam
pos Beban
Pokok
Pendapatan
PTPN X
melakukan
pengakuan
pada tahap
pengangkut
an
menggunak
an
kebijakanny
a sendiri.
Tabel di atas menjelaskan beberapa hal,
anatara lain:
1. PT Perkebunan Nusantara X melakukan
pengakuan atas tanaman tebu sesuai
dengan PSAK 69 paragraf 15 yang tertulis
pada halaman 34, yaitu diakui sebagai
Tanaman Semusim dalam pos Aset Tidak
Lancar (lampiran 1 dan 5).
2. PT Perkebunan Nusantara X melakukan
pengakuan pada tahap pembibitan,
pemeliharaan, dan pengangkutan
menggunakan kebijakannya sendiri,
karena PSAK 69 tidak mengatur
pengakuan terkait biaya pada taha-tahap
tersebut.
Pengukuran atas Tanaman Tebu
Aset biologis tanaman tebu, baik bibit
tebu beserta batang tebu pada PT Perkebunan
Nusantara X tidak diukur menggunakan nilai
wajar karena perusahaan mengklasifikasikan
tanaman tebu sebagai beban produksi,
sehingga pada akhirnya bibit tebu maupun
tanaman tebu tersebut akan menjadi
komponen dari Harga Pokok Penjualan
(HPP) gula dan tetes, atau dengan kata lain,
tanaman tebu tidak untuk dijual. Pengukuran
nilai wajar atas tanaman tebu di Indonesia
sulit untuk dilakukan secara andal sehingga
konsep biaya perolehan lebih mungkin untuk
diterapkan. Namun, dalam pengukurannya
perusahaan tidak mengurangkan biaya
perolehan tebu dengan kerugian atas tanaman
tebu karena perusahaan tidak melakukan
pencatatan kerugian atas tanaman tebu.
Berikut adalah analisis perbandingan
perlakuan akuntansi aset biologis berupa
tanaman tebu pada PSAK 69: Agrikultur dan
PT Perkebunan Nusantara X terkait
pengukurannya.
Tabel Perbandingan Pengukuran Aset
Biologis Tanaman Tebu
Indikator PSAK 69 PTPN X Kesimpulan
Pengukur
an aset
biologis
Diukur
berdasark
an nilai
wajar
(fair
value).
Diukur
berdasarka
n harga
perolehan.
PTPN X
melakukan
pengukuran
aset biologis
sesuai
kebijakannya
sendiri
berdasarkan
anjuran PSAK
69.
Pengukur
an biaya
perolehan
Diukur
dengan
cara biaya
perolehan
nya
Diukur
dengan
cara biaya
perolehann
ya
PTPN X
melakukan
pengukuran
terhadap biaya
perolehan
11
Indikator PSAK 69 PTPN X Kesimpulan
dikurangi
dengan
akumulas
i
penyusuta
n dan
akumulas
i kerugian
penuruna
n nilai.
dikurangi
dengan
akumulasi
penyusutan
.
menggunakan
kebijakannya
sendiri,
karena tidak
mencatat
akumulasi
kerugian
penurunan
nilai tanaman
tebu.
Pengukur
an biaya
pembibita
n
Tidak
mengatur
terkait
pengukur
an selama
tahap
pembibita
n.
Diukur
sebesar
jumlah
biaya yang
timbul
selama
proses
produksi
pada tahap
pembibitan
.
PTPN X
melakukan
pengukuran
terhadap biaya
pembibitan
menggunakan
kebijakannya
sendiri.
Pengukur
an biaya
pemelihar
aan
Tidak
mengatur
terkait
pengukur
an selama
tahap
pemelihar
aan.
Diukur
sebesar
jumlah
biaya yang
timbul
selama
proses
produksi
pada tahap
pemelihara
an.
PTPN X
melakukan
pengukuran
terhadap biaya
pemeliharaan
menggunakan
kebijakannya
sendiri.
Pengukur
an biaya
pengangk
utan
Tidak
mengatur
terkait
pengukur
an selama
tahap
pengangk
utan
Diukur
sebesar
jumlah
biaya
yang
timbul
selama
proses
pengangkut
an.
PTPN X
melakukan
pengukuran
terhadap
biaya
pengangkutan
menggunakan
kebijakannya
sendiri.
Tabel di atas menjelaskan beberapa hal,
antara lain:
1. PT Perkebunan Nusantara X melakukan
pengukuran aset biologis sesuai
kebijakannya sendiri berdasarkan anjuran
PSAK 69 paragraf 30 yang tertulis pada
halaman 35.
2. PT Perkebunan Nusantara X melakukan
pengukuran terhadap biaya perolehan
menggunakan kebijakannya sendiri,
karena tidak mencatat akumulasi kerugian
penurunan nilai tanaman tebu.
3. PT Perkebunan Nusantara X melakukan
pengukuran terhadap biaya pembibitan,
pemeliharaan, dan pengangkutan
menggunakan kebijakannya sendiri,
dikarenakan PSAK 69 tidak mengatur
pengukuran selama tahap-tahap tersebut.
Pengungkapan atas Tanaman Tebu
Paragraf 54 sampai 56 PSAK 69
menyebutkan bahwa perusahaan harus
memberikan pengungkapan tambahan atas
aset biologis ketika nilai wajar tidak dapat
diukur secara andal. Pengungkapan
tambahan tersebut meliputi penjelasan
tentang mengapa alasan nilai wajar tidak
dapat diukur secara andal, metode
penyusutan yang digunakan, dan keuntungan
atau kerugian yang diakui atas pelepasan aset
biologis. PT Perkebunan Nusantara X tidak
mengukur nilai wajarnya karena kebijakan
yang ditetapkan adalah menggunakan konsep
biaya perolehan. Sehingga perusahaan harus
memberikan pengungkapkan-pengungkapan
tambahan tersebut. Perusahaan sudah
memberikan deskripsi atas aset biologis yang
dimiliki dalam suatu naratif atau deskripsi,
namun mereka tidak menjelaskan penjelasan
tentang mengapa alasan nilai wajar tidak
dapat diukur secara andal. Perusahaan hanya
mengungkapkan bahwa dalam
pengukurannya menggunakan konsep biaya
perolehan dan mengungkapkan bahwa nilai
tanaman semusim merupakan beban
produksi tanaman tebu giling dan tembakau
12
pada 2 sampai dengan 4 tahun yang akan
datang. Perusahaan tidak mengungkapkan
keuntungan atau kerugian atas tanaman tebu
karena perusahaan tidak melakukan
pencatatan atas keuntungan atau kerugian
tanaman tebu, serta tidak melakukan
penyusutan terhadap tanaman tebu sehingga
tidak mengungkapkannya. Berikut adalah
analisis perbandingan perlakuan akuntansi
aset biologis berupa tanaman tebu pada
PSAK 69: Agrikultur dan PT Perkebunan
Nusantara X terkait pengakuannya.
Perbandingan Pengungkapan Aset
Biologis Tanaman Tebu
Indikator PSAK 69 PTPN X Kesimpulan
Pengungk
apan
deskripsi
aset
biologis
Diungkapk
an dalam
bentuk
deskripsi
naratif atau
kuantitatif.
Diungkap
kan
dalam
CALK
poin 2.m
tentang
Tanaman
Perkebun
an secara
deskriptif,
dan poin
14 secara
kuantitati
f.
PTPN X
melakukan
pengungkap
an deskripsi
aset biologis
berdasarkan
anjuran
PSAK 69.
Pengungk
apan
keuntunga
n /
kerugian
penurunan
nilai
Keuntunga
n atau
kerugian
gabungan
yang
timbul
selama
periode
berjalan
pada saat
pengakuan
awal aset
biologis
dan produk
agrikultur,
Tidak
diungkap
kan
dalam
CALK.
PTPN X
belum
mengikuti
PSAK 69,
karena tidak
mencatat
pengungkap
an atas
keuntungan/
kerugian
penurunan
nilai.
Indikator PSAK 69 PTPN X Kesimpulan
dan dari
perubahan
nilai wajar
dikurangi
biaya
Untuk
menjual
aset
biologis
Pengungk
apan
pengguna
an biaya
perolehan
Diungkapk
an alasan
penggunaa
n biaya
perolehan.
Tidak
diungkap
kan
dalam
CALK.
PTPN X
belum
mengikuti
PSAK 69
terkait
pengungkap
an alasan
menggunaka
n biaya
perolehan.
Pengungk
apan
penyusuta
n
Diungkapk
an
penggunaa
n metode
penysutann
ya.
Tidak
melakuka
n
penyusuta
n untuk
tanaman
tebu.
PTPN X
belum
mengikuti
PSAK 69,
karena tidak
melakukan
penyusutan
terhadap
tanaman
tebu.
Pengungk
apan
biaya
pembibita
n
Tidak
mengatur
pengungka
pan biaya
pembibitan
.
Diungkap
kan
dalam
CALK
poin 32
secara
kuantitati
f.
PTPN X
melakukan
pengungkap
an biaya
pembibitan
berdasarkan
kebijakanny
a senidri.
Pengungk
apan
biaya
pemelihar
aan
Tidak
mengatur
pengungka
pan biaya
pemelihara
an.
Diungkap
kan
dalam
CALK
poin 32
secara
kuantitati
f.
PTPN X
melakukan
pengungkap
an biaya
pemeliharaa
n
berdasarkan
13
Indikator PSAK 69 PTPN X Kesimpulan
Kebijakanny
a sedniri
Pengungk
apan
biaya
Tidak
mengatur
pengungka
pan biaya
Diungkap
kan
dalam
CALK
PTPN X
melakukan
pengungkap
an biaya
pengangk
utan
pengangkut
an.
Poin 32
secara
kuantitati
f.
Pengungkap
an
berdasarkan
kebijakanny
a sendiri.
Tabel di atas menjelaskan beberapa hal,
antara lain:
1. PT Perkebunan Nusantara X telah
mendeskripsikan aset biologis dalam
CALK pada poin 2.m tentang Tanaman
Perkebunan secara deskriptif, dan poin 14
secara kuantitatif (lampiran 5)
berdasarkan anjuran PSAK 69 paragraf
41-43 yang tertulis pada halaman 37.
2. PT Perkebunan Nusantara X belum
mengikuti PSAK 69, karena tidak
mencatat pengungkapan atas keuntungan/
kerugian penurunan nilai. Sehingga, ada
baiknya apabila perusahaan melakukan
penyesuaian terkait hal tersebut, seperti
yang telah disebutkan dalam PSAK 69
paragraf 40 pada halaman 37.
3. PT Perkebunan Nusantara X belum
mengikuti PSAK 69 terkait pengungkapan
alasan menggunakan biaya perolehan.
Sehingga, ada baiknya apabila perusahaan
melakukan penyesuaian terkait hal
tersebut, seperti yang telah disebutkan
dalam PSAK 69 paragraf 54 pada
halaman 39.
4. PT Perkebunan Nusantara X belum
mengikuti PSAK 69 terkait pengungkapan
alasan penggunaan metode
penyusutannya, karena tidak melakukan
penyusutan terhadap tanaman tebu.
Sehingga, ada baiknya apabila perusahaan
melakukan penyesuaian terkait hal
tersebut, seperti yang telah disebutkan
dalam PSAK 69 paragraf 54 pada
halaman 39.
5. PT Perkebunan Nusantara X melakukan
pengungkapan terhadap biaya pembibitan,
pemeliharaan, dan pengangkutannya
berdasarkan kebijakannya senidri, yang
terdapat dalam CALK poin 32 secara
kuantitatif (lampiran 6).
Akresi Aset Biologis Tanaman Tebu
Akresi yang terjadi pada tanaman
tebu memang memenuhi pengertian sebagai
pendapatan. Hal ini disebabkan oleh aset
yang jelas bertambah dan banyaknya
tambahan fisis tersebut dapat diukur secara
objektif. Namun, jumlah pertambahan fisis
tersebut belum bisa diakui, karena hal yang
sebenarnya terjadi adalah sudah terbentuknya
pendapatan namun belum terealisasi. Agar
dapat terealisasikan, maka masih diperlukan
sebuah proses produksi yang diikuti dengan
dengan perubahan bentuk aset menjadi aset
lancar baru (kas atau piutang). Sehingga, dari
penjelasan tersebut, akresi tidak layak diakui
sebagai pendapatan, karena tidak ada aliran
sumber ekonomik baru yang masuk ke unit
usaha.
Berikut akan disajikan tabel yang
menunjukkan nilai akresi tanaman tebu jika
diasumsikan nilai batang tebu (panenan tebu)
adalah sebesar Rp 250/kg jauh dibawah
harga bibit.
Asumsi Nilai Akresi Tanaman Tebu per
Hektar
Jen
is B
ud
ida
ya
Bib
it T
eb
u (
Ku
)
Ha
rga
Bib
it (
Rp
00
0)
To
tal
Bib
it (
Rp
00
0)
Ha
sil
Pa
nen
(K
u)
Ha
rga
Ba
tan
g (
Rp
00
0)
To
tal
Ba
tan
g (
Rp
00
0)
Ak
resi
(R
p 0
00
)
PC 100 550/
kg 5.500 900
250/
kg 22.500 17.000
RT 10 550/
kg 550 700
250/
kg 17.500 16.950
14
Berdasarkan data di atas, akresi tanaman
budidaya PC sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan budidaya RT pada tingkat harga Rp
250/kg (jauh dibawah harga bibit). Namun
sebenarnya yang mengalami akresi paling
signifikan adalah pada budidaya RT, karena
dengan 10 kuintal bibit tebu, mampu
menghasilkan nilai akresi sebesar Rp 16.950.000.
Sedangkan pada budidaya PC hanya
menghasilkan nilai akresi sebesar Rp 17.000.000
dengan kebutuhan mencapai 100 kuintal. Hal ini
disebabkan karena bibit yang digunakan pada
budidaya RT 90% berasal dari sisa tebangan
(keprasan) dari tanaman PC sebelumnya.
Pertumbuhan nilai ini disebabkan oleh
transformasi biologis yang dialami tanaman tebu.
Jadi walaupun harga jual batang tebu berada di
bawah harga bibit tebu, perusahaan tidak
mengalami kerugian nilai akresi karena tanaman
tebu tersebut mengalami peningkatan jumlah
yang signifikan.
KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN
SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang
sudah didapat dan pembahasan yang sudah
dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:.
1. PT Perkebunan Nusantara X sudah
melakukan pencatatan atau perlakuan
akuntansi atas aset biologis yang meliputi
pengakuan, pengukuran, dan
pengungkapan untuk tanaman tebu.
Pencatatan laporan keuangan PT
Perkebunan Nusantara X mengacu pada
Standar Akuntansi Keuangan (SAK),
bukan PSAK 69: Agrikultur yang
memang mengatur tentang aset biologis
atau aktivitas agrikultur. Hal ini
disebabkan karena standar tersebut baru
diterapkan pada awal tahun 2018. PSAK
69: Agrikultur direncanakan untuk
diterapkan pada pencatatan untuk laporan
keuangan tahun berikutnya, sesuai dengan
yang diungkapkan pada Laporan
Keuangan Tahunan dalam Catatan atas
Laporan Keuangan (CALK)
Konsolidasian pada poin 44. Walaupun
belum menerapkan PSAK 69: Agrikultur
sebagai acuan untuk pencatatan aset
biologis tanaman tebu, PT Perkebunan
Nusantara X sudah menerapkan kriteria
yang sama dengan PSAK 69: Agrikultur.
2. Tanaman tebu milik PT Perkebunan
Nusantara X diakui bukan sebagai aset
biologis, melainkan sebagai Tanaman
Semusim dalam pos Tanaman
Perkebunan. Walaupun sebenarnya
tanaman tebu tersebut sudah memenuhi
kriteria aset biologis. Perusahaan
mengakui biaya-biaya yang timbul selama
proses pembibitan, pemupukan,
pemeliharaan, serta pengangkutan sebagai
Beban Pokok Pendapatan. Hal tersebut
tidak sesuai dengan PSAK 69: Agrikultur
yang mengharuskan pengakuan kerugian
atau keuntungan atas tanaman tebu.
3. PT Perkebunan Nusantara X sudah
melakukan pengukuran atas aset
biologisnya sesuai dengan PSAK 69:
Agrikultur, yaitu menggunakan konsep
biaya perolehan. Sebenarnya PSAK 69:
Agrikltur mengharuskan pengukuran
dengan nilai wajar, namun PSAK 69
memberikan pernyataan untuk beberapa
kondisi yang membuat perusahaan dapat
menggunakan konsep biaya perolehan
dalam pengukurannya. Kondisi tersebut
antara lain tidak adanya pasar aktif untuk
aset yang diperjualbelikan. Hal inilah
yang terjadi pada tanaman tebu milik PT
Perkebunan Nusantara X, dimana tanaman
tebu yang dimiliki perusahaan akan diolah
lagi dan dijadikan sebagai bahan baku
gula, bukan untuk dijual, serta tidak ada
standar yang mengharuskan penggunaan
nilai wajar untuk pengukuran aset
biologis, khususnya di Indonesia.
4. Pengungkapan yang dilakukan oleh PT
Perkebunan Nusantara X sudah sesuai
dengan PSAK 69: Agrikultur. PT
Perkebunan Nusantara X mengungkapkan
semua aset biologisnya dalam Catatan atas
15
Laporan Keuangan (CALK)
Konsolidasian, baik untuk tanaman tebu,
tembakau, dan kakao yang diungkapkan
secara deskriptif naratif (penjelasan
definisi atas aset biologis) maupun
kuantitatif (rincian biaya-biaya atas aset
biologis tersebut).
5. Manajemen PT Perkebunan Nusantara X
tidak melakukan perhitungan jumlah
rupiah atas akresi yang terjadi, tidak
mengakui akresi sebagai pendapatan, juga
tidak melaporkan nilai akresi tersebut
dalam laporan laba rugi. Namun
perusahaan tetap melakukan pemeliharaan
untuk mendapatkan akresi tanaman tebu
semaksimal mungkin. Perusahaan juga
melakukan penelitian dan pengembangan
agar mampu menghasilkan varietas bibit
tebu berkualitas baik dan mendapatkan
nilai akresi yang tinggi. Akresi atas
perkembangan jumlah tebu (kuintal)
menjadi salah satu indikator dalam
menilai keberhasilan produksi tanaman
tebu, serta menjadi bahan evaluasi untuk
pihak internal.
Keterbatasan
Penelitian ini tentunya tidak terlepas
dari banyaknya kekurangan serta kendala
yang dihadapi, sehingga hal tersebut menjadi
keterbatasan dalam penelitian yang
dilakukan. Berikut merupakan beberapa
keterbatasan pada penelitian ini:
1. Peneliti tidak memeroleh data atas laporan
keuangan dari masing-masing pabrik gula
dikarenakan laporan keuangan tersebut
sudah diolah oleh pihak kantor pusat (PT
Perkebunan Nusantara X), sehingga hasil
penelitian kurang maksimal.
2. Adanya keterbatasan terkait kemampuan
menganalisa dari peneliti, sehingga
menyebabkan kemungkinan terjadinya
perbedaan asumsi antara peneliti satu
dengan yang lainnya.
Saran Berdasarkan kesimpulan dan
keterbatas yang ada dalam penelitian ini,
maka peneliti memberikan beberapa saran
berikut:
1. Bagi Perusahaan
a. Perusahaan sebaiknya melakukan
penggantian/penyesuaian nama akun
untuk memperjelas pengakuan pada setiap
tahap-tahap selama proses pembudidayaan
tanaman tebu. Seperti contohnya,
perusahaan dapat menggunakan akun Aset
Tanaman Semusim-Pembibitan untuk
mengakui tanaman tebu selama proses
pembibitan dan akun Aset Tanaman
Semusim-Tebu Giling untuk mengakui
tanaman tebu selama tahap tebu giling
(prses penanaman hingga pemeliharaan
atau pemupukan).
b. Perusahaan sebaiknya mengungkapkan
keuntungan atau kerugian atas aset
biologis tanaman tebu, sesuai dengan
PSAK 69 paragraf 26 sampai 29 yang
menyatakan bahwa ketika perusahaan
mengakui tanaman tebu sebagai aset
biologis maka perusahaan harus mencatat
keuntungan atau kerugian atas aset
biologis tanaman tebu. Perusahaan dapat
mencatat nilai tersebut berdasarkan biaya
atas varietas bibit tebu yang gagal dan
tanaman tebu giling yang mati sebagai
kerugian atas aset biologis tanaman tebu,
yang kemudian disajikan dalam laporan
laba rugi komprehensif.
c. PSAK 69 paragraf 12 mengharuskan
perusahaan melakukan pengukuran
berdasarkan nilai wajarnya, namun
pengukuran berdasarkan biaya perolehan
diperbolehkan dalam pargraf 30. Sehingga
perusahaan tidak perlu memaksakan untuk
menggunakan pengukuran berdasarkan
nilai wajar, namun sebaiknya perusahaan
mengungkapkan alasan mengapa nilai
wajar tidak dapat diukur secara andal,
sesuai yang dijelaskan dalam PSAK 69
pargraf 54.
16
d. Walaupun sudah disebutkan dalam
Catatan atas Laporan Keuangan (CALK)
Konsolidasian poin 44 (lampiran 7)
bahwa PSAK 69: Agrikultur akan efektif
diterapkan 1 Januari 2018, berdasarkan
hasil wawancara yang telah dilakukan,
laporan keuangan tahun 2018 belum
menerapkan PSAK 69: Agrikultur.
Perusahaan sebaiknya segera
menyesuaikan diri untuk menerapkan
PSAK 69: Agrikultur terkait perlakuan
akuntansi aset biologis tanaman tebu,
yang meliputi pengakuan, pengukuran,
dan pengungkapannya. Standar ini harus
diterapkan secepatnya agar perusahaan
dapat menyajikan laporan keuangan yang
wajar.
2. Bagi penelitian berikutnya diharapkan
dapat menggunakan data keuangan tidak
hanya dari kantor pusat (PT Perkebunan
Nusantara X), melainkan juga
menggunakan data dari masing-masing
pabrik gula yang dikelola oleh PT
Perkebunan Nusantara X, agar penelitian
menjadi lebih mendetail.
DAFTAR RUJUKAN
Adita Kiswara. 2012. Analisis Penerapan
International Accounting Standard (IAS)
41 Pada PT. Sampoerna Agro, Tbk.
Diponegoro Journal Of Accounting Vol. 1
No. 2, Pp 01-14.
Anita, L.V.,Jeffry Rangku, dan Joseph, N.T,
2016 Akuntansi Aset Biologis Tanaman
Kelapa Berbasis International Accounting
Standards (IAS) 41. sProsiding Vol. 01,
394-399.
Arief Nurhandika. 2018. Implementasi
Akuntansi Biologis Pada Perusahaan
Perkebunan Indonesia . Jurnal Ekonomi,
Bisnis, dan Akuntansi (JEBA) Vol. 20 No.
02.
Ikatan Akuntansi Indonesia. 2018. Standar
Akuntansi Keuangan Efektif per Januari
2018. Jakarta: Ikatan Akuntansi
Indonesia.
Ligia Dwi Restyani. 2016. Perlakuan
Akuntansi Atas Aset Biologis Tanaman
Teh serta Penyajiannya dalam Laporan
Keuangan PT Perkebunan Nusantara XII.
Skripsi Sarjana tak diterbitkan,
Universitas Airlangga Surabaya.
Feleagă, L., Niculae Feleagă and Vasile
Răileanu. 2014. Theoritical
Considerations About Implementation Of
IAS 41 in Romania. Theoritical and
Applied Economics Vol. XIX No. 2(567),
31-38.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosda Karya.
Riyanto Utomo, dan Nur, L.K. 2014.
Perlakuan Akuntansi Aset Biologis
(Tanaman Kopi) Pada PT. Wahana Graha
Makmur - Surabaya. Jurnal Fakultas
Ekonomi Gema Ekonomi Vol. 03 No. 01,
85-95.
Saur Maruli, dan Aria, F.M. 2010. Analisis
Pendekatan Nilai Wajar Dan Nilai
Historis Dalam Penliaian Aset Biologis
Pada Perusahaan Agrikultur : Tinjauan
Kritis Rencana Adopsi IAS 41.
Simposium Nasional Akuntansi XIII
Purwokerto.
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi:
Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi
Ketiga. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Stefanus Ariyanto, Heri Sukendar, dan Heny
Kurniawati. 2014. Penerapan PSAK
Adopsi IAS 41 Agriculture . Binus
Business Riview Vol. 05 No. 01, 186-193.
17
Wike Pratiwi. 2017. Analisis Perlakuan
Akuntansi Aset Biologis berbasis PSAK -
69 Agrikultur Pada PT. Perkebunan
Nusantara XII Kalisanen Kabupaten
Jember. Prosiding Seminar Nasional dan
Call For Paper Ekonomi dan Bisnis , 140-
150.
(http://ec.europa/accounting/ias41.pdf)
Diakses 19 September 2018.
(https://www.bps.go.id) Diakses 02 Oktober
2018. Pukul 11.00 WIB.
(https://www.puslitgula10.com) Diakses 15
Februari 2019. Pukul 19.00 WIB.