pergeseran hukum waris indonesia

Upload: kurniawan-tri-wibowo

Post on 18-Jul-2015

183 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PERGESERAN HUKUM WARIS DI INDONESIA Sugiri Permana, S.Ag. MH1

Abstrak Exploring complexion of law in Indonesia one of them could be stored views of the development of inheritance law that many legal shift from conventional fiqh. Inheritance law in Indonesia is heavily influenced by the two legal systems namely customary law adat recth and the civil law, so that inheritance law can now be considered as the result of compromise of all three legal systems, Islam, customary law and Western civil law. This study wants to describe the inheritance law in Indonesia which is currently contained in the Compilation of Islamic law and jurisprudence of the Supreme Court. Compilation of Islamic Law, though not included in the structure legal system, but it is factual has been used as a source of law for judges in religious courts. Meanwhile, the Supreme Court jurisprudence has sufficient bonding power because it is a legal product which was followed by subsequent judges in their decision. To emphasize the shift of inheritance law, in addition to legal researchers alive today, also describes fiqh as heirs legih conventional wide, to look toward the transitional law of inheritance.

Key word: Islam, Fiqh, Indonesia, waris, Adat,

A. Pendahuluan Sejatinya sebuah hukum dengan corak keIslaman, mempunyai keseragaman antara satu daerah dengan daerah lainnya atau antara satu Negara dengan Negara lainnya2. Namun ternyata berbagai latar belakang telah memberikan corak hukum Islam yang berbeda antara satu Negara dengan Negara lainnya. Demikian pula

1

Hakim Pengadilan Agama Tanggamus, mahasiswa Program S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2 Ide untuk menyeragamkan sebuah hukum Islam yang berlaku bagi seluruh umat Islam pernah dilontarkan oleh Ibnu Muqoffa (w 142H/759M), sekretaris khalifah Jafar al Mansur (memerintah 754-776 M). Gagasan ini dilatarbelakangi dengan beragamnya corak hukum Islam, bahkan seringkali peradilan di satau daerah berbeda putusannya dengan peradilan di daerah lain meskipun kasusnya sama, lihat Ahmad Baso, Dekonstruksi Tafsir/Otoritas/Kebenaran Tunggal Syariat Islam sebagai Wacana Publik, dalam Formalisasi Syariat Islam di Indonesia sebuah Pergulatan yang tak pernah tuntas, Masykuri Abdillah (ed), Jakarta, Renaisance, 2005, hal. 34

1

dengan hukum waris, meskipun dengan sumber yang sama yaitu Al Quran dan Hadits, tetapi ternyata terjadi perbedaan hukum waris dari suatu Negara dengan Negara lainnya. Perbedaan hukum waris di beberapa Negara yang berpenduduk muslim, mulai terjadi setelah adanya usaha untuk pengkodifikasian3 hukum keluarga secara luas dan hukum waris secara lebih khusus. Kodifikasi hukum keluarga muslim dimulai pada tahun 1917 yang dipelopori oleh Negara Turki, kemudian menyusul Mesir pada tahun 1920, Iran pada tahun 1931, Syria pada tahun 1953, Tunisia pada tahun 1956, Pakistan Pada tahun 1961 dan Indonesia pada tahun 19744 dengan lahirnya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.5 Dengan upaya kodifikasi tersebut, maka masing-masing Negara mempunyai cara pandang yang dengan Negara lainnya. Dalam rentan waktu yang cukup lama, eksistensi hukum Islam masuk ke dalam wadah normatif adalah merupakan kebutuhan masyarakat Indonesia dan bukan lagi karena mayoritas dan minoritas. Gejala transformasi yang demikian lahir dari rasa kesadaran yang tinggi dari masyarakat Indonesia. Hukum yang timbul dari kesadaran masyarakat, berarti hukum tersebut timbul sebagai cerminan hukum rakyat/ mencerminkan hukum rakyat yang hidup dan dianut oleh rakyat setempat dalam kehidupan sehari-hari.6 Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij alAhkm f al-Nash al-Qnun) merupakan produk interaksi antar elit politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan eliteDitinjau dari segi bentuknya, hukum dapat dibedakan atas: Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan dan Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan). Kodifikasi berhubungan dengan hukum tertulis. Kodifikasi Hukum ialah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap (pengertian lama) atau dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang baru. Tujuan Kodifikasi Hukum tertulis untuk memperoleh Kepastian,Penyederhanaan dan Kesatuan hukum, http://ilmuhukum76. wordpress.com /2008/05/30/ kodifikasi-hukum/ 4 M. Atho Mudhar menyebutnya dengan pembaharuan hukum dalam bentuk undang-undang bukan kodifikasi, lihat M. Atho Muzdhor (Ed), Hukum Keluarga di Dunia Muslim Modern, studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Jakarta, Ciputat Press, 2003, hal. 1 5 Sebenarnya Indonesia sudah merintis kodifikasi hukum keluarga sejak tahun 1946 yaitu dengan Undang-Undang 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah Talak dan Rujuk, namun esensi dari undang-undang ini lebih terasa sejak lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1974. 6 Soehartono, Gejala Transformasi Hukum Islam Dalam Hukum Nasional, artikel pada Majalah Hukum Yustisia Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Edisi No. 64 tahun XVI, Januari-Maret 2004, hlm. 7533

berbeda

2

kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU Perkawinan No.1/1974 peranan elite Islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.7 Kodifikasi hukum waris berjalan seiring dengan tiga bentuk hukum lainnya yaitu hukum perkawinan dan hukum wakaf yang ketiganya berada dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Formalisasi hukum waris di Indonesia, dilatar belakangi oleh tiga sistem hukum yaitu Hukum Islam, Hukum Perdata Barat dan Hukum Adat. Dengan adanya ketiga sistem hukum tersebut, kemudian munculah hukum waris Islam yang ada di Indonesia dengan wajah barunya yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam buku ke II. Di samping itu beberapa perkembangan telah menunjukkan adanya perubahan ataupun kemajuan dari hukum waris yang telah ada melalui beberapa yurisprudensi. Dengan latar belakang setting tiga sistem hukum tersebut, telah menimbulkan pergeseran terhadap hukum waris di Indonesia sehingga muncul pembahasan hukum kewarisan yang dianggap unik dari pembahasan hukum waris konvensional. Pergeseran hukum waris konvensional ke dalam bentuk hukum waris di Indonesia dapat terlihat pada pembahasan penghalang ahli waris, kedudukan saudara, kedudukan anak angkat dan penggantian ahli waris. Dalam penelitian ini, penulis mencoba mengekplor pembahasan hukum waris di Indonesia dengan menitik beratkan pada adanya perubahan terhadap hukum waris konvensional berkenaan penghalang ahli waris, kedudukan saudara, kedudukan anak angkat dan penggantian ahli waris. Untuk melihat peta terjadinya pergeseran hukum waris, penulis terlebih dahulu akan mendeskripsikan hukum waris dalam pandangan fiqh konvensional, selanjutkan akan dipaparkan hukum yang berlaku saat ini. Deskripsi hokum adat dan hukum Perdata Barat akan pula disajikan sebagai gambaran untuk melihat arah perubahan hukum waris tersebut.

B. Kondisi Obyektif Terhadap Perkembangan Hukum Waris di Indonesia Dalam diskursus sejarah hukum Indonesia, selalu menyertakan tiga sistem hukum yang mempengaruhi sistem hukum sekarang. Ketiga sistem hukum tersebut

7

Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Maarif. 1976). hIm. 35-48

3

adalah hukum adat, hukum Islam dan hukum warisan Belanda atau civil law yang banyak termuat dalam KUHPerdata.8 Hukum adat merupakan norma-norma yang tumbuh dan berkembang secara alamiah di dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia. Hukum tersebut merupakan refleksi dari sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat.9 Sedangkan hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum Islam yaitu dasar dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah, tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya karena manusia yang hidup di dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan10. Sistem hukum lainnya adalah sistem hukum Barat yang terdapat pada KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek (BW). Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda pernah memberlakukan KUHPerdata sebagai sumber hukum atas dasar asas concordance, di mana Negara jajahan harus menerapkan hukum sesuai dengan apa yang diterapkan di negaranya (Belanda). Pandangan hukum adat terhadap hukum kewarisan sangat ditentukan oleh persekutuan hukum adat itu sendiri. Beberapa persekutuan itu diantaranya pertama persekutuan genealogis, berdasarkan keturunan dan persekutuan territorial

berdasarkan kependudukan yakni persekutuan hukum yang dipengaruhi baik faktor geneologis maupun faktor teritorial. Dalam persekutuan yang geneologis, anggotaanggotanya merasa diri terikat satu sama lain, karena mereka berketurunan dari nenek moyang yang sama, sehingga diantara mereka terdapat hubungan keluarga. Sementara persatuan hukum territorial anggota-anggotanya merasa terikat satu sama lain,karena mereka bertempat kedudukan di suatu daerah yang sama. Persekutuan

Secara garis besar di dunia ini terdapat 5 (lima) sistem hukum besar yang hidup dan berkembang, yaitu sistem Common Law yang dianut di Inggris dan bekas jajahannya yang kini pada umumnya bergabung dalam negara-negara persemakmuran, sistem Civil Law yang berasal dari hukum Romawi yang dianut di Eropa Barat Kontinental dan dibawa ke negeri-negeri jajahan atau bekas jajahannya oleh Pemerintah Kolonial Barat dahulu, Sistem Hukum Adat di negara-negara Asia dan Afrika, Sistem Hukum Islam dimanapun mereka berada dan Sistem Hukum Komunis/Sosialis yang dilaksanakan di negara-negara komunis/sosialis seperti Uni Soviet dan satelit-satelitnya dahulu. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, ctk. Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 187-188 9 Mohammad Jamin, Bahan Perkuliahan Hukum Adat Dan Sistem Hukum Nasional, 2004, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm. 13 10 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, ctk. Ketujuh, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 38

8

4

semacam ini disebut desa atau gampong di Aceh dan sebagian daerah melayu Sumatera. Sedangkan yang terkhir persekutuan hukum yang dipengaruhi territorial dan geneologis terdapat di beberapa daerah seperti Mentawai yang disebut Uma, di Nisas disebut Euri di Mingkabau disebut dengana Nagari dan di Batak disebut Kuria atau Huta. Dalam persekutuan geneologis ini terbagi pula menjadi tiga tipe tata susunan yaitu patrilineal (kebapaan), matrilineal (keibuan) dan parental (bapak-ibu). Menurut sistem patrilineal ini keturunan diambil dari garis bapak, yang merupakan pancaran dari bapak asal dan menjadi penentu dalam keturunan anak cucu. Dalam hal ini perempuan tidak menjadi saluran darah yang menghubungkan keluarga. Wanita yang kawin dengan laki-laki ikut dengan suaminya dan anaknya menjadi keluarga ayahnya. Sistem pertalian seperti ini terjadi di Nias, Gayo, Batak dan sebagian di Lampung, Bengkulu, Maluku dan Timor. Dalam hukum waris, persekutuan ini lebih mementingkan keturunan anak laki-laki daripada anak perempuan. Sementara matrilineal adalah keturunan yang berasal dari Ibu, sehingga yang menjadi ukuran hanyalah pertalian darah dari garis ibu yang menjadi ukuran dan merupakan suatu persekutuan hukum. Wanita yang kawin tetap tinggal dan termasuk dalam gabungan keluarga sendiri, sedangkan anak-anak mereka masuk dalam keturunan ibunya. Sistem matrilineal ini terdapat di Minangkabau, Kerinci, Semendo dan beberapa daerah Indonesia Timur. Sesuai dengan persekutuannya, matrilineal lebih menghargai ahli waris dari pihak perempuan daripada ahli waris dari pihak lakilaki. Selama masih ada anak perempuan, anak laki-laki tidak mendapatkan tirkah. Sedangkan yang terakhir, pertalian darah dilihat dari kedua sisi, bapak dan ibu serta nenek moyang. Kedua keturunan sama-sama penting bagi persekutan ini. Keturunan berdasarkan bapak-ibu ini menurut Nani Soewondo merupakan garis keturunan yang paling tua umurnya dan paling umum di Indonesia. Salah satu daerah yang menganut sistem ini adalah Jawa. Menurut Hazairin dalam masyarakat bila diperhatikan setiap orang berhak mengambil garis keturunannya ke atas maupun ibu atau ayahnya. Dengan demikian, bagi orang Jawa keturunan bukan saja melalui anaknya yang laki-laki atau perempuan saja, tetapi juga sampai keturunan yang lahir dari cucunya laki-laki maupun perempuan sehingga dapat dipahami bahwa saluransaluran daerah dalam masyarakat Jawa biasa menjadi penghubung keturunannya dan

5

menghasilkan keluarga bagi dirinya. Dengan sitem persekutuan ini, maka hukum waris pun tidak hanya menganggap kepada satu jenis kelamin anak saja tetapi baik anak perempuan maupun anak laki mempunyai hak atas harta warisan. Dalam hukum waris Islam, penempatan seseorang menjadi ahli waris

didasarkan pada adanya perkawinan, hubungan darah dan memerdekakan hamba (saat ini sudah tidak banyak dibahas lagi kecuali dalam fiqh konvensional). Adanya perkawinan akan menimbulkan hak waris antara suami dan istri, sedangkan hubungan darah akan menyebabkan hak mendapatkan waris bagi kedua orang tua dan anak-anak. Jika ahli waris ada maka yang menjadi ahli waris hanyalah suami atau istri, anak, ibu dan bapak. Perbedaan yang menonjol dari hukum waris lainnya, dalam hukum Islam bagian anak perempuan mendapatkan setengah dari anak lakilaki. Titik singgung antara hukum Islam dengan hukum adat terletak pada pandangan adanya keistimewaan antara anak laki-laki dan perempuan. Dalam hukum adat dengan sistem matrilineal, lebih mengedepankan anak perempuan, sementara hukum waris dalam madzhab sunny (madzhab Hanafi,Maliki, Syafi'i, dan Hambali) cenderung bersifat patrilineal. Sementara itu Hazairin yang berusaha menggagas fikih dengan corak keIndonesiaan berusaha membangun hukum waris dengan corak bilateral. Perbedaan yang cukup tajam antara hukum Islam dan KUHPerdata anak lakilaki berbanding sama dengan anak perempuan. Adapun tertib keluarga yang menjadi ahli waris dalam KUHPerdata, yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu: a. Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi; b. Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang

6

dari (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersama-sama saudara pewaris; c. Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris; d. Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam. Dari ke tiga sistem hukum tersebut tidak selamanya berjalan beriringan. Para ahli hukum seringkali memandangnya sebagai sebuah konflik baik sebagai hasil penelitian murni maupun untuk kepentingan tertentu. Cristian van den Berg pernah mengeluarkan teorinya dengan reception in complex yang menyatakan bahwa

hukum agama adalah hukum adat di mana hukum adat telah meresepsi hukum Islam.11 Teori ini kemudian dibantah dengan teori dari Christian Snouck Hurgronye dengan teori receptie12, yang menganggap bahwa hukum Islam baru diterima setelah diterima oleh hukum Adat13. Hazaririn menganggap teori ini sebagai teori iblis,14 dengan mengembangkan teori receptio exit karena dengan berlakunya UndangUndang Dasar 1945 maka teori sebelumnya menjadi hilang. Sajuti Thalib, SH, dengan teori Receptie a Contrario. Dalam memahami keyakinan tersebut menurut Sayuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.15 Terakhir teori berkenaan dengan hukum dikembangkan oleh Jaenal Arifin yakni cultural existence theory, di mana hukum yang hidup (dalam penelitiannya yang dimaksud adalah Pengadilan Agama) berkembang karena adanya kebutuhan social dan budaya.16Mohammad Daud Ali, Hukum Islam di Peradilan Agama, (kumpulan tulisan), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 225. 12 A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma, Formaolasi Syariat Is;sm Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor : Ghalia Indonesia, 2006, h. 76. 13 Teori receptie oleh Prof. Snouck Hurgronje bahwa hukum Islam baru dapat diterima setelah diakui oleh hukum adat. Dibuktikan dengan Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyai: "Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi. 14 Hazairin, Hukum Kekeluargaan Islam, (Jakarta: Tintamas, 1968), h. 5. 15 Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam, Jakarta Bina Aksara1980, h. 15 16 Jaenal Aripin, Reformasi Hukum Di Indonesia Dan Implikasinya Terhadap Peradilan Agama: Analisis Terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi (1998-2008), Disertasi UIN Jakarta, 2008.11

7

C. Pergeseran Hukum Waris di Indonesia Pengertian hukum waris terdapat pada pasal 171 ayat (a) KHI yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing." Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum kewarisan Islam seperti faraid, fikih mawaris dan hukum waris. Perbedaan dalam penamaan ini terjadi karena

perbedaan dalam arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Selain kedua istilah tersebut, kata yang lazim dipakai adalah faraid.17 Beberapa ahli hukum di Indonesia tidak mempergunakan penamaan tersebut secara seragam. Misalnya saja, Wirjono Prodjodokoro, menggunakan istilah hukum warisan. Hazairin,

mempergunakan istilah hukum kewarisan. dan Soepomo menyebutnya dengan istilah hukum waris.18 Pembahasan hukum waris di sini hanya sebatas terhadap isu-isu yang terjadi pergeseran dalam pembahasan fiqh konvensional seperti yang telah disebutkan pada latar belakang di atas yaitu berkenaan dengan penghalang ahli waris yang murtad, kedudukan saudara, kedudukan anak angkat dan penggantian ahli waris.

Penghalang Waris Dalam literatur fiqh dijelaskan mengenai penghalang untuk mendapatkan hak waris yaitu ada lima. Pertama membunuh seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan an Nasai dari Qutaibah bahwa Rasulullah bersabda, orang yang membunuh tidak mewarisi.19 Kedua adalah karena berbeda agama sebagaimana dikemukakan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim bahwa Rosulullah bersabda, tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir dan orang kafir terhadap orang muslim.20 Dalam fiqh konvensional, pembahasan mengenai perbedaan agama menjadi penghalang menerima waris, selain ditinjau dari faktor geografi dan wilayah politik yang tidak kondusif hubungan ismah dan perwalian juga menjadi alasan para ulama dalam membahas perbedaan agama. Ketiga adalah mengenai perbudakan, meskipunAmir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal. 5. Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung, 2005, hal.1 19 Wahbah Al Zuhaili, Fiqhul Islam wa adillatuhu, (Beirut, Dar al fikr, 1989), hal 256 20 Al Kahlani, Muhammad Ibn Ismail, Subulus Salam, Juz 3, Bandung: Dahlan, tt.hal 9818 17

8

pembahasannya sudah dianggap usang, namun dalam

kitab fiqh masih

membahasnya. Hal ini didasarkan pada Firman Allah dalam surat an Nahl ayat 7521. Ayat ini menegaskan bahwa seorang hamba tidak mempunyai kekuasaan apapun, sehingga kalaupun ia diberi hak waris maka pemiliknya lah yang akan menguasainya. Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak dikenal mengenai penghalang waris akibat perbedaan Negara dan perbudakaan, akan tetapi memperluas mengenai makna membunuh yang menjadi penghalang menerma waris kepada beberapa hal seperti pada Pasal 173 KHI yaitu seseorang yang telah dipersalahkan : telah membunuh mencoba membunuh menganiaya berat para pewaris; memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Dengan melihat uraian tersebut, terlihat hukum waris Indonesia menetapkan mawaniul irsi berkenaan dengan tindak pidana lebih ketat dibandingkan dengan fiqh konvensional. Namun sebaliknya, dalam mawaniul iris berkenaan dengan perbedaan agama, ternyata lebih longgar, karena beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah menetapkan bahwa ahli waris non muslim meskipun tidak mendapatkan hak waris tetapi ia mendapatkan harta melalui wasiat wajibah. Salah satu yurisprudensi tersebut adalah putusan Mahkamah Agung RI Nomor 366.K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998. Bila ditelusuri khazanah hukum Islam, Ibnu Hazm merupakan peletak pertama teori wasiat wajibah, seorang ulama besar kelahiran Spanyol yang beraliran madzhab Zhohiri.22 Salah satu pemahaman terhadap wasiat adalah berkaitan dengan ahli waris non muslim. Sekalipun ahli waris non muslim tidak dapat mewarisi muslim

Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki, yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatu pun (Departemen Agama RI, 1992:413). Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet Kelima, (Jakarta: Ichtiar Van Hoeve, 2005), hal 81.22

21

9

sebagiamana telah menjadi kesepkatan para ulama (ijma), namun ada ulama seperti Ibnu Hazm, At Thabari dan Muhammad Rasyid Ridlo yang berpendapat bahwa ahli waris non muslim akan mendapatkan harta warisan pewaris muslim dengan melalui wasiat wajibah. Di antara ketiga ulama tersebut yang lebih lengkap dan jelas uraiannya adalah pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm bahwa kedua orang tua dan kerabat yang tidak mewarisi salah satunya disebabkan tidak beragama Islam (non muslim) wajib diberi wasiat. Apabila seorang muslim sewaktu hidupnya tidak berwasiat, maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksanakan wasiat tersebut. Pemahaman tentang wasiat dalam Islam dapat dilihat dari dua pengertian yaitu dengan melihat kata khair dan kata wasiat. Pemahaman ini berdasarkan dari ketentuan wasiat dalam Islam yang terdapat dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 18023. Sebagian ulama memandang bahwa ayat tersebut telah dinasakh oleh ayat faroid (an Nisa 7). Para ulama yang berpendapat demikian dikemukakan oleh Ibnu Kasir bahwa perintah wasiat untuk ibu bapak dan kaum kerabat,hal ini menurut pendapat yang paling sahih merupakan kewajiban sebelum turunnya ayat faroid, akan tetapi setelah turunnya ayat faroid ayat wasiat tersebut dinasakh oleh ayat faroid. Sebagai konsekwensinya maka mawarits yang telah ditetapkan merupakan kewajiban dari Allah. Kelompok ini adalah mayoritas ulama terdiri dari Ibnu Abbas, Hasan Bisri, Mazhab Syafii, mayoritas Malikiah dan sekelompok ilmu. Kedua bahwa yang dinasakh adalah keseluruhan ayat wasiat dalam arti wasiat kepada kerabat yang ahli waris dan kerabat yang bukan ahli waris dihapus dengan turunnya ayat faroid..24

Pendapat kedua mengenai ayat wasiat dikemukakan oleh

Abu Muslim Al Asfahani berpendapat bahwa ayat wasiat adalah ayat muhkamah dan tidak bisa dinasakh dengan alasan tidak bertentangan dengan ayat mawarits malahan ayat wasiat mengukuhkan dan menjelaskan ayat mawarits di samping juga antara ketetapan adanya wasiat dan ketetapan adanya mirats tidak saling mempengaruhi, dalam arti ketetapan adanya ayat mawatis tidak menghapus adanya hukum wasiat.

23

Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan 24 Muhammad Ali Al Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, Beirut, Darul al fikr 55-56.

10

Wasiat adalah pemberian dari orang yang akan mendekati kematian, sedangkan mirats adalah pemberian dari Allah. Kedudukan saudara Titik pembahasan mengenai kedudukan saudara dalam hukum waris di Indonesia dapat dilihat dari dua segi pertama ketika ia berada bersama-sama antara sauada sekandung, seayah dan saudara sebapak. Kedua ketika saudara-saudara tersebut berada dengan anak-anak dari pewaris. Pembahasan mengenai kedudukan saudara dalam fiqh konvesional dapat dilihat pada penjelasa Abu Zahroh: 25(122) Saudara kandung Saudara perempuan sekandung mendapatkan setengah bagian ketika tidak ada ahli waris yang lain sesuai dengan bunyi surat an Nisa ayat 176, mendapatkan 2/3 ketika saudara perempuan tersebut lebih dari seorang dan menjadi ashobah ketika bersama-sama dengan saudara kandung laki-laki dengan ketentuan saudara laki-laki mendapatkan dua kali saudara perempuan. Saudara perempuan sekandung menjadi ashobah ketika tidak bersama saudara sekandung apabila saudara perempuan tersebut bersama dengan anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan bagian, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan seperenam dan saudara perempuan sekandung mendapatkan sisa sesuai dengan hadits Ibn Masud. Dalam keadaan ini, saudara perempuan berkedudukan seperti halnya saudara laki-laki sekandung. Demikian halnya ia akan menghijab saudara sebapak baik laki-laki maupun perempuan dan keturunannya serta menghijab anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.Saudara sekandung terhijab oleh anak laki-laki dan keturunannya, ayah dan kakek, Menurut Abu Hanifah, saudara hanya mendapatkan hak waris ketika kalalah (tidak ada anak dan ayah ashli), maka demikian pula dengan kakek yang merupakan bagian dari ashli. Kedudukan saudara sebapak Saudara laki-laki sebapak akan menjadi ashobah apabila tidak ada ahli waris anak, ayah dan kakek. Saudara laki-laki sebapak menjadi ashobah bersama-sama

25

Abu Zahroh, Ahkamu Tirkah Al Mawarits, (Mesir: 1963, Darul Fikr Arobi), hal 122-128

11

dengan saudara perempuan seayah dengan ketentuan laki-laki dua kali bagian perempuan. Kedudukan saudara perempuan sebapak sama dengan saudara perempuan kandung, mendapatkan bagian apabila sendirian (tanpa ada ahli waris lain) dan mendapat 2/3 bagian bila terdiri dari 2 saudara perempuan kandung, apabila ternyata saudara perempuan tersebut bersama dengan saudara laki-laki mereka menjadi ashobah dengan ketentuan saudara perempuan mendapatkan setengah dari yang didapatkan oleh saudara laki-laki. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Malik26, dalam tradisi shahabat, bahwa ketika ada saudara kandung laki-laki, maka saudara sebapak tidak mendapatkan apapun. Menjadi ashobah maal ghoir ketika bersama anak perempuan atau anak perempuan dari anak laki-laki. Anak perempuan mendapatkan bagian, cucu perempuan dari anak laki-laki mendapatkan 1/6 bagian dan sisanya untuk saudara perempuan/laki-laki seibu. Atau apabila hanya ada salah satu dari anak perempuan/cucu perempuan dari anak laki-laki, maka saudara perempuan sebapak menjadi ashobah. Mendapatkan 1/6 bagian apabila bersama dengan seorang saudara perempuan sekandung yang mendapatkan bagian. Saudara perempuan seayah menjadi terhijab apabila ada dua orang saudara perempuan sekandung yang menghabiskan 2/3 bagian, kecuali bersama saudara perempuan seayah terdapat saudara laki-laki seibu, maka keduanya menjadi ashobah (apabila masih tersisa harta). Saudara perempuan seayah menjadi terhijab apabila terdapat :ayah, anak lakilaki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki Saudara kandung laki-laki, kedudukannya sama dengan sama dengan cucu lakilaki dari anak laki-laki. Saudara seibu Adapun saudara seibu mempunyai kedudukan sebagai ashahubl furud mempunyai bagian tertentu. Kedudukan saudara seibu laki-laki dan perempuan sama, apabila hanya seorang saja mendapatkan 1/6 (baik laki-laki atau perempuan),

26

12

apabila lebih dari seorang mendapatkan 1/3 bagian, dengan ketentuan sama antara bagian saudara laki-laki dan saudara perempuan (seibu). Saudara seibu lebih kuat kedudukannya bila dibandingkan dengan saudara perempuan seayah. Saudara seayah (laki-laki atau perempuan) akan terhijab dengan adanya saudara sekandung, lain halnya dengan saudara seibu mereka tetap mempunyai bagian meskipun terdapat saudara sekandung (laki-laki atau perempuan) 27 Melihat uraian mengenai ketentuan saudara baik saudara sekandung, seayah maupun seibu, terlihat fiqh konvensional mempunyai perhatian yang serius terhadap perbedaan antara ketiganya. Dalam perkembangan hukum waris Indonesia, dapat ditemukan pada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah menetapkan adanya kesamaan antara saudara kandung, saudara sebapak dan saudara seibu dalam memperoleh warisan. Peraturan ini kemudian menjadi sebuah standar hukum waris yang ditetapkan dalam sebuah panduan buku.28 Di satu sisi Mahkamah Agung telah mempersamakan saudara seayah dan seibu sama kedudukannya dengan saudara sekandung dalam memperoleh harta warisan sebagai dzawil furudl maupun ashobah dengan ketentuan laki-laki mendapatkan dua kali bagian perempuan. Di sisi lain Mahkamah Agung telah mengenyampingkan adanya kesamaan hak antara saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu, karena fiqh konvensional memberikan bagian yang sama ketika mereka (berserikat) mendapatkan 1/3 bagian atau menjadi ashobah.

Kesetaraan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menghijab paman atau bibi Kedudukan anak laki-laki dan perempuan terhadap paman atau bibi berhubungan erat dengan pembahasan mengenai kalalah. kalalah dalam kewarisan, pada dasarnya adalah membicarakan tentang hak saudara (baik laki-laki maupun perempuan) dari seorang yang telah meninggal dunia. Dengan kata lain, hak saudara adakalanya mempunyai kewarisan sejajar furudiyah dengan mempertimbangkan status dan keberadaan ahli waris lainnya.Muhammad bin Sholeh bin Utsaimin, tashilul faroid, Mamlakah Arobiyah As Suudiyah, Dar al Thoyyibah, 1983, hal. 41-42 28 Tim Pokja Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, (Jakarta: MARI, 2007), hal. 7427

13

Permasalahan mengenai kalalah terdapat pada dua tempat yaitu surat an nisa ayat 1229 dan ayat 17630. Dalam analisa Amir Syarifudin31, kalalah telah menimbulkan polemik antara fiqh sunni dan fiqh Syii. Dalam pandangan ulama sunni kalalah adalah orang yang meninggal tidak meninggalkan ahli waris anak dan ayah, sementara menurut pendapat ulama Syii kalalah adalah seorang mati yang tidak meninggalkan ayah. Perbedaan awal ini telah melebar pada pembahasan kedudukan anak laki-laki dan perempuan serta dalam pembahasan hijab mahjub. Menurut ulama sunni dengan pemahaman kalalah sebagai ahli waris yang tidak meninggalkan anak dan ayah, menyebabkan saudara tidak mendapatkan hak waris ketika ada ayah karena ayah akan menjadi ashobah. Hal ini berbeda dengan pandangan ulama Syii yang menganggap saudara mempunyai hak waris meskipun ada ayah. Dalam pandangan Sunni, anak yang dimaksud dalam pembahasan kalalah adalah anak laki-laki, sehingga anak perempuan tidak dapat menghijab saudara. Ulama Syii memandang anak tersebut adalah anak laki-laki maupun perempuan, sehingga keduanya dapat menghijab saudara. Lain halnya dengan pendapat Zhahiri yang menganggap sama dengan pendapat syiah, namun anak perempuan hanya menghijab saudara perempuan saja. Perbedaan Sunni dan Syii terletak pada penjelasan dari hadits Sad bin Robi (dari Jabir bin Abdillah) yang menjelaskan tentang kedudukan saudara menjadi ashobah setelah isteri mendapat bagian 1/8 dan anak perempuan 1/2 bagian. Ibn Masud yang menjelaskan mengenai pembagian warisan terhadap seorang anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan. Anak perempuan mendapatkan , cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6 dan sisanya untuk saudara. Serta sebuah hadits Ulama Syii tidak mengakui kedua hadits tersebut karena menganggap lemah, sementara ulama sunni tidak peduli dengan adanya kecacatan dalam hadits tersebut. Ulama sunni cenderung untuk memahami kata walad pada sebagai kata yang dipakai dalam sehari-hari dan pemakaian pada masa Jahiliyah (istimalul mana), tanpa

29 30

31

Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005, hal 58-58

14

memperhatikan maksud dari kata walad sebenarnya yang mencakup pada makna anak laki-laki dan perempuan. Analisa terhadap beberapa hadits tersebut pernah dilakukan oleh Jumni Nelli, yang menjelaskan kedudukan hadits yang menjadi pegangan ulama sunni32. Hadits Ibn Masud diriwayatkan oleh Abu Dawud, at Turmuzi dan ibnu Majah. Dalam beberapa periwayatan, hadits ini terdapat kecacatan dari sudut pandang perawinya. Tumpuan pembahasan pada rawi tersebut ditujukan kepada Abdullah Ibn Muhammad Ibn Aqil yang oleh Ibn Katsir dianggap sebagai Majhul (tidak diketahui kualitas pribadinya). Meskipun menurut Abu Dawud, ia dianggap orang jujur tetapi para ulama mempersoalkan hafalannya, sehingga Ibn Saad memberikan penilaian hadits tersebut sebagai hadits munkar. Melihat penilaian penilaian di atas, agaknya layak untuk dikatakan bahwa sanad hadits tersebut adalah lemah artinya kualitas hasan sahih yang diberikan oleh at-Turmuzi terlalu tinggi untuk dikenakan pada sanad hadits tersebut. Namun demikian, hadits tersebut sangat dikenal sebagai dalil bahwa ayat 12 mengatur tentang hak saudara laki-laki sebagai ashobah , ketika bersama dengan anak ??? Hadits yang kedua adalah yang dikenal dengan hadits Ibnu Masud. Penulisan matan hadits di atas berdasarkan pada matan yang diriwayatkan oleh al-Bukhari. Hadits ini selain diriwayatkan oleh al-Bukhari, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, at-Turmuzi dan Ibn Majah, at-Turmuzi menilai hadits tersebut dengan kriteria hadits Shohih. Jumni Nelli mengambil analisa Ibu Qoyim33, Ibnu Abbas dalam hadits ini sepertinya tidak mengetahui apa yang telah ditetapkan oleh Nabi saw yang diungkapkan oleh Ibn Masud. Namun ternyata baik Ibnu Abbas maupun Ibn Masud sepakat mengenai kedudukan saudara perempuan menjadi ashobah maal ghoir dengan anak perempuan. Adapun alasan Ibn Abbas, bahwa hadits tersebut telah dinasakh oleh surat an Nisa ayat 176 sehingga tidak mungkin mentakhsish ayat tersebut apabila pelaksanaan hadits tersebut bersifat kasuistis. Dalam Kompilasi Hukum Islam, ternyata baik anak perempuan maupun anak laki-laki keduanya menghijab paman. Hal ini tidak dijelasakan secara tegas tetapiJumni Nelli, Kedudukan Kalalah Dalam Kewarisan (Analisis Tafsir, Hadis Dan Fikih), Hukum Islam. Vol. IV No. 2 Desember 2005 search by google. 33 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Ilam al-Muwaqqi in an Rabb al-Alami, (Kairo: Maktabah Abd asSalam ,1968), h. 26732

15

dapat dipahami secara a contrario/mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) berdasarkan pasal 181 yang menyebutkan bahwa bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat seperti bagian. Pemahaman sebaliknya dari pasal tersebut adalah apabila ternyata ada anak, baik laki-laki perempuan atau lakilaki atau meninggalkan ayah, maka saudara laki-laki maupun saudara perempuan tidak mendapatkan bagian harta warisan. Dalam praktek peradilan ketentuan ini telah menjadi yurisprudensi tetap

tercatat dalam tiga putusan Mahkamah Agung yaitu : 1. Putusan Mahkamah Agung nomor 86K/AG/1994 tanggal 20 Juli 1995 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 184K/AG/1995 tanggal 30 September 1996 3. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 327K/AG/1997 tanggal 26 Februari 1998. Dengan demikian, hukum waris di Indonesia berkenaan dengan kedudukan anak terhadap pamannya cenderung memilih pendapat Ibnu Abbas daripada pendapatnya Ibnu Masud. Dalam tatanan fiqh, ternyata madzhab Syiah lebih

dipertimbangkan untuk ditetapkan dalam hukum waris Indonesia. Meskipun tidak dapat ditemukan data catatan penyusunan KHI memori van tulichting yang kuat, dari uraian di atas, nampaknya pendapat ahli hukum Hazairin telah mewarnai dalam menentukan kedudukan anak terhadap paman.

Kedudukan anak angkat Praktek pengangkatan anak oleh Rasulullah terhadap Zid bin Haritsah dan budak lainnya Khathab Amir bin Robiah dan Abu Hudzaifah menjadi momentum untuk menetapkan bagaimana hukum pengangkatan anak yang sebenarnya. Pengangkatan anak di zaman Jahiliyah telah menghapus hubungannya dengan orang tua kandung dan memberi hak penuh kepada anak angkat seperti halnya hak terhadap anak kandung. Allah telah menghapuskan bentuk pengangkatan seperti itu dengan menurunkan surat al Ahzab ayat 5.34

34

Mushtofa al Maroghi, Tafsir Al Maroghi, Juz 21 (Mesir: Mushtofa Albab Al Halab, 1946), hal.

127

16

Dalam kajian hukum Islam, Mahmud Syaltut mengemukakan ada dua pengertian pengangkatan anak. Pertama mengambil anak orang lain untuk diasuh dan didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status anak kandung kepadanya, cuma ia diperlakukan orang tua angkat sebagai anak sendiri. Kedua mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri ia diberi status sebagai anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu35. Dalam KUHPerdata awalnya tidak ditemukan mengenai pengangkatan anak, namun kemudian Pemerintah Belanda mengeluarkan Staadsblad 1917 Nomor 129 yang berisi mengatur mengenai pengangkatan anak tersebut. Salah satu ketentuan yang penting dari aturan ini adalah adanya hak untuk mendapatkan waris dan putusnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua aslinya.36 Sementara itu dalam hukum adat, pengangkatan anak berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pada wilayah Jawa Barat serta Jawa Tengah dan Jawa Timur, pengangkatan anak tidak dimaksudkan untuk memutuskan hubungn darah dengan orang tua kandungnya, tetapi lebih bersifat untuk membantu orang tua kandung atau dengn maksud menghadirkan seorang anak bagi keluarga yang belum mempunyai anak. Hal ini berbed dengan adat yang ada di Bali, pengangkatan anak cenderung memutuskan darah antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya dan memposisikan anak angkat sama halnya dengan anak kandung. Dengan beragamnya pengaturan hukum adat dan hukum Perdata Barat yang cenderung memposisikan anak angkat sebagai anak kandung di satu sisi dengan hukum Islam di sisi lain yang meniadakan pengangkatan anak untuk memutuskan hubungan darah dengan orang tua aslinya, maka Kompilasi Hukum Islam hadir dengan kompromi dari ketiga sistem hukum tersebut. Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam memberikan hak kepada anak angkat maupun orang tua angkat untuk memperoleh hak waris melalui wasiat wajibah.37

35

Nasroen dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, Jakarta, PT Ichtiar Baru van Hove, 1996), hal

29-30. Cik Basir, Aspek Prosedural/Prosesuil Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Jakarta: Pokja Perdata MARI, 2007, hal 65. 37 Selengkapnya bunyi KHI Pasal 209 adalah :36

17

Wasiat wajibah bagi anak angkat maupun orang tua angkat ketentuannya sama seperti yang sudah dijelaskan bagi ahli waris yang non muslim. Apabila anak angkat tidak mendapatkan wasiat ketika hidupnya dari orang tua angkat, ia berhak mendapatkan wasiat wajibah yang dapat dituntut di depan hukum. Besarnya wasiat wajibah tersebut tidak melebihi dari 1/3 bagian harta warisan. Dalam prakteknya, besar wasiat wajibah bagi anak angkat harus mempertimbangkan besarnya bagian bagi anak kandung, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan antara bagian anak angkat dengan anak kandung, sungguh tidak adil apabila bagian anak angkat ternyata melebihi bagian anak kandung. Dengan demikian, meskipun wasiat wajibah batas maksimalnya tidak melebihi 1/3 bagian, namun tidak boleh melebihi bagian dari anak kandung.

Penggantian ahli waris Penggantian ahli waris berarti seseorang menggantikan orang tuanya sebagai ahli waris. Penggantian ahli waris tidak dikenal dalam fiqh konvensional tetapi muncul dalam pembahasan hukum waris KUHPerdata. Kuat dugaan tidak adanya pembahasan mengenai penggantian ahli waris dalam fiqh konvensional, karena sifat dari fiqh yang berpihak pada laki-laki (patrilineal) dengan hanya menempatkan penggantian ahli waris pada cucu laki-laki dari anak laki-laki yang mempunyai kedudukan sama dengan ayahnya serta cucu perempuan dari anak laki-laki yang mempunyai hak waris dalam keadaan : Mendapatkan apabila sendirian dan 2/3 apabila dua orang atau lebih ketika tidak ada anak (laki-laki/perempuan) dan tidak ada cucu laki-laki dari anak lakilaki. Mendapatkan 1/6 bagian apabila dengan seorang anak perempuan untuk melengkapi 2/3 bagian perempuan dan tidak mendapatkan bagian ketika anak perempuan tersebut dua orang (karena telah menghabiskan 2/3 bagian) kecuali

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya. (2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

18

apabila bersama-sama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki (bersama-sama dengan ashobah).38 Sistem penggantian ahli waris merupakan terobosan baru untuk melindungi cucu dessendent of the predesseased of deceased person yang orang tuanya telah meninggal dunia di mana menurut aturan ini cucu berhak mendapatkan bagian. Perlindungan terhadap cucu yang meninggal dunia di Negara-negara Islam dilakukan dengan cara memberikan wasiat wajibah bagi cucu tersebut. Pembaharuan hukum ini dengan menerapkan wasiat wajibah bagi cucu yang ditinggal mati orang tuanya pertama kali dilakukan oleh hukum waris Mesir pada tahun 194639, selanjutnya mengikuti Negara-negara lainnya Maroko, Syria dan Tunisia setelah Kuwait memberlakukan model hukum ini, Algeria, Irak dan Yordania juga berbuat serupa.40 Penggantian ahli waris plaatsvervulling juga dikenal dalam KUHPerdata

dengan memposisikan ahli waris pengganti sama halnya dengan yang digantikannya sesuai dengan ketentuan Pasal 841-848 KUPerdata. Penggantian ahli waris merupakan salah satu dari dua bentuk perolehan waris berdasarkan undang-undang, bentuk lainnya adalah perolehan ahli waris secara langsung Uit Eigen Hoofde yaitu berdasarkan Pasal pasal 852 ayat (2) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa, Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka memiliki pertalian keluarga dalam derajat kesatu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri Pembahasan ahli waris pengganti juga dikemukakan oleh Hazairin41 yang memberikan gagasan ahli waris pengganti dengan mengambil inspirasi dari Quran surat an Nisa ayat 3342. Baik penafsiran maupun istinbatul hukmi yang dilakukannya, merupakan murni hasil pemikirannya di mana sebelumnya tidak dibahas dalam kitabMuhammad bin Sholeh bin Utsaimin, tashilul faroid, Mamlakah Arobiyah As Suudiyah, Dar al Thoyyibah, 1983, hal.37-38. 39 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, Cet I (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1988), hal 163-164, dalam catatan Muhammad Amin Suma Mesir memberlakukan wasiat wajibah pada tahun 1943 yaitu dengan memberlakukan Qanun Nomor 77 Tahun 1943, sementara Kwait dan Yaman masing-masing memiliki Law Reform 1971 dan Further Legislation and Family Law 1976 1978, lihat Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Duniaa Islam (Jakarta: Raja Grapindo, 2004), hal.176 40 Musthofa, Pembaharuan Hukum Islam di Kuwait: Studi Wasiat, dalam M. Atho Muzdhor (Ed), Hukum Keluarga di Dunia Muslim Modern, studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab Fikih, Jakarta, Ciputat Press, 2003 hal 1684138

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilaterral Menurut Al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Tinta Mas, 1982),

hal.1642

Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.

19

fiqh maupun oleh Negara-negara Islam dalam menetapkan undang-undangan waris. Dalam pandangan Hazairin, mawali dalam ayat tersebut berarti ahli waris pengganti, yang menggantikan orang tuanya. Dengan penafsirannya terhadap mawali ia menempatkan keturunan dari anak laki-laki dan anak perempuan pada keutamaan pertama (disamping orang tua dan janda/duda) untuk memperoleh harta warisan. Hazairin yang merupakan ahli hukum adat43, tidak membicarakan tentang latar belakang ijtihadnya (selain atas penafsiran sistem bilateral Al Quran), apakah ia juga dipengaruhi oleh sistem hukum Perdata Barat yang menetapkan ahli waris pengganti menggantikan kedudukan orang tuanya. Hanya saja Hazairin tidak membahas kewajiban yang juga dipikul oleh ahli waris pengganti. Kompilasi Hukum Islam menempatkan pergantian ahli waris pada Pasal 185 ayat (1) disebutkan : Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173. Dalam ayat (2) disebutkan: Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam mengandung beberapa batasan yaitu: Ahli waris pengganti menggantikan orang tuanya apabila tidak terjadi penghalang waris. Bagian dari ahli waris pengganti tidak melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Kata dapat pada Pasal 185 ayat (1) menunjukan bersifat fakultatif atau tentatif sehingga bisa ditafsirkan ada ahli waris yang mungkin dapat digantikan dan ada yang mungkin tidak dapat digantikan. Para ahli hukum memberikan apresiasi terhadap sifat tentatifnya dengan melihat kenyataan dalam beberapa kasus, adanya rasa kasihan terhadap cucu pewaris 44.

Hazairin lahir tnggal 28 Nopember 1906, sekolah di RHS (Rechtkundige Hoogeschool/Sekolah Tinggi Hukum ), jurusan hukum adat di Batavia (Jakarta) hingga mendapat gelar Mr. (Meester in de Rechten) pada tahun 1935. setahun kemudian ia memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul De Redjang (mengenai adat istiadat Rejang di Bengkulu). 44 Firdaus Muhammad Arwan, Silang Pendapat Tentang Ahli Waris Pengganti Dalam Kompilasi Hukum Islam Dan Pemecahannya, hal 7, www.badilag.net/index. php?option=com_content&task =category &sectionid=6&id=21&Itemid=54

43

20

Dengan melihat uraian di atas, arah hukum waris di Indonesia berkenaan dengan penggantian ahli waris terlihat lebih memilih, pendapat hukum pribumi Hazairin dari pada menerapkan fiqh konvensional (yang menempatkan perbedaan cucu perempuan/laki-laki dari anak perempuan/laki-laki) dan fiqh yang dianut di beberapa Negara Arab yang menerapkan wasiat wajibah terhadap ahli waris pengganti. Oleh karenanya hukum waris di Indonesia sudah tidak mengenal lagi terminology cucu perempuan atau cucu laki-laki dan cucu dari anak perempuan dan cucu dari anak laki-laki, karena penilaian terhadap golongan ini lebih didasarkan pada orang tua mereka yang digantikannya.

D. Kesimpulan Dari pemaparan di atas, sampailah pada kesimpulan mengenai terjadinya pergeseran hukum waris di Indonesia dalam beberapa hal : 1. Mawaniul irsi penghalang warisan di Indonesia tidak mengenal adanya perbudakan dan perbedaan wilayah Negara. Dalam hal ahli waris murtad atau berbeda agama, masih mempunyai kesempatan untuk menikmati harta warisan melalui wasiat wajibah. Dalam hal pembunuhan sebagai alasan penghalang hak waris, telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga orang yang melakukan penganiayaan berat dan orang yang memfitnah sehingga menimbulkan kemadaratan bagi pewaris menjadi penghalang untuk mendapatkan hak waris. 2. Anak perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak laki-laki dalam menghijab paman atau bibi. Demikian halnya dengan status saudara, mempunyai kedudukan yang sama antara saudara sekandung, seayah dan saudara seibu dalam hal memperoleh hak waris. 3. Kedudukan anak angkat dalam hukum waris konvensional tidak mendapatkan hak waris sedikitpun, akan tetapi di Indonesia anak angkat memperoleh harta warisan melalui wasiat wajibah. 4. Hukum waris di Indonesia tidak lagi membahas cucu perempuan/laki-laki dari anak perempuan/anak laki-laki, karena pembahasannya terletak pada orang tua yang akan digantikannya. Hal ini disebabkan adanya pergantian ahli waris di mana seorang ahli waris yang meninggal lebih dahulu akan digantikan oleh

21

anaknya dengan ketentuan tidak ada halangan waris dan tidak melebihi bagian dari ahli waris yang sederajat.

22