pengaruh sle terhadap janin
DESCRIPTION
SLE, pengaruh SLE terhadap janinTRANSCRIPT
![Page 1: Pengaruh SLE Terhadap Janin](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081202/577c79601a28abe054927486/html5/thumbnails/1.jpg)
Pengaruh SLE terhadap Janin
Terdapat peningkatan risiko dan komplikasi terhadap janin pada kehamilan dengan
SLE. Frekuensi aborsi spontan dan lahir mati meningkat pada wanita dengan SLE, dengan
angka kematian janin hampir 5 kali lebih besar daripada wanita normal. Kelahiran prematur
terjadi pada sekitar 20 % kehamilan lupus dan terkait dengan penggunaan obat hipertensi,
penggunaan kortikosteroid pada saat pembuahan, flare (kekambuhan) parah selama
kehamilan. Restriksi pada pertumbuhan janin terjadi lebih sering pada kehamilan dengan
komplikasi SLE (Dhar & Sokol, 2006).
1. Abortus
Abortus mungkin merupakan hasil dari beberapa faktor, seperti aktivitas
penyakit, hiperkoagulabilitas dan patologi plasenta. Gangguan ginjal dan
hiperkoagulabilitas meningkatkan risiko abortus. Pertumbuhan janin terganggu ketika
darah yang mengalir melalui plasenta dibatasi oleh patologi dari plasenta.
Hiperkoagulabilitas dapat mengakibatkan infark plasenta dan hipoksia janin.
Hiperkoagulabilitas ini bisa disebabkan oleh sticky platelet syndrome, defisiensi
protein S karena kehamilan, peningkatan faktor inflamasi yang berhubungan dengan
aktivitas penyakit SLE (misalnya, faktor VIII, aktifitas faktor von Willebrand, fakor
von Willebrand antigen dan fibrinogen), hiperhomosisteinemia karena kekurangan
folat, (terutama pada mereka yang memiliki polimorfisme gen untuk reduktase
methylenetetrahydrofolate) dan antifosfolipid antibodi (misalnya, lupus antikoagulan,
antibodid anticardiolipin dan positif palsu rapid plasma reagin test). Patologi plasenta
![Page 2: Pengaruh SLE Terhadap Janin](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081202/577c79601a28abe054927486/html5/thumbnails/2.jpg)
pada kehamilan dengan komplikasi lupus adalah ditandai dengan iskemia / hipoksia,
desidua vasculopathy, thrombus pada desidua dan janin, villitis kronis, penurunan
berat plasenta dan infark plasenta bersama dengan deposit fibrin, IgG, IgM, IgA dan
C3 pada membrane trofoblas. Karena aliran darah janin / plasentapenting untuk
pertumbuhan janin dan kelangsungan hidup, sangat penting untuk mengatasi masalah
ini dalam merawat pasien hamil dengan SLE (Dhar & Sokol, 2006).
Berat plasenta pada wanita SLE setidaknya 1 SD kurang dari rata-rata yang
diharapkan untuk kehamilan pada lebih dari setengah plasenta kelompok wanita SLE.
Beberapa mekanisme telah diusulkan. Immunoglobulin deposisi komplemen pada
dinding pembuluh darah desidua menyebabkan vasokonstriksi dan trombosis.
Antibodi Antifosfolipid juga bisa menyebabkan kerusakan langsung ke fosfolipid
membrane plasenta, sebagai konsekuensi dari pertumbuhan plasenta dan sirkulasi ibu
dan janin yang terganggu. Villi plasenta lebih tipis dan lebih ramping. Displasia villus
plasenta disebabkan oleh vaskulopati plasenta. Granular IgG, IgA, IgM, dan C3,
sebagai kompleks imun, terutama DNA-anti-DNA-Ab deposit kompleks, dapat
ditemukan pada dinding pembuluh villus atau di membrane trofoblas secara
immunohistologi. Deposis fibrin intervillus berlebihan dan infark dicatat di hampir
semua kasus. Berat plasenta yang rendah secara langsung akan terkait dengan restriksi
pertumbuhan janin, tapi tidak signifikan bila dikaitkan dengan kematian janin. Dalam
beberapa kasus, sejauh mana kerusakan plasenta tampaknya tidak cukup untuk
menjelaskan derajat gawat janin (Lozza et al, 2010).
2. Sindroma Lupus Eritematosus Neonatal (LEN)
Sindroma Lupus Eritematosus Neonatal (LEN), merupakan komplikasi
kehamilan dengan SLE yang mengenai janin dimana sindroma tersebut terdiri dari,
blok jantung kongenital, lesi kutaneus sesaat, sitopenia, kelainan hepar dan berbagai
manifestasi sistemik lainnya pada neonatus yang lahir dari seorang ibu yang
menderita LES pada saat hamil.
Untuk menegakkan diagnosa LEN, The Research Registry for Neonatal Lupus
memberikan dua kriteria sebagai berikut :
1) Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada
serum ibu
2) Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus.
173 Kelainan konduksi jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara
20.000 kelahiran hidup (0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti
![Page 3: Pengaruh SLE Terhadap Janin](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081202/577c79601a28abe054927486/html5/thumbnails/3.jpg)
SSB/La. Apabila antibodi tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi
mengalami blok jantung kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan
bila antibodi tersebut tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara
bayi laki dan wanita. Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita
LES dengan anti SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme
yang dipercaya saat ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi
pada trimester ke dua yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem
konduksi jantung janin. Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi
bersifat menetap dan akan manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan
transfer antibodi ini ke janin seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin
intravenus atau plasmaparesis telah gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital
neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu
yang menderita LES dan ingin hamil. Sindrom LEN akan sembuh sekitar 6-8 bulan
setelah lahir ketika antibody ibu menghilang dari sirkulasi janin (Prawirohardjo,
2008).
3. Congenital Heart Block (CHB)
CHB jarang dan terjadi hanya pada 2% dari bayi yang lahir dari ibu dengan anti-Ro /
SSA dan anti-La / SSB antibodies. Risiko CHB meningkat pada bayi yang lahir dari
ibu dengan sebelumnya memiliki anak dengan CHB dan terjadi pada hampir 20% dari
kehamilan. CHB tidak dapat diubah dan memiliki angka mortalitas dan morbiditas
yang signifikan yaitu, > 60% membutuhkan alat pacu jantung permanen dan 10%
CHB berkembang menjadi kardiomiopati berat. CHB disebabkan oleh antibodi anti-
Ro / SSA dan anti-La / SSB maternal mengikat jaringan jantung dan menyebabkan
miokarditis sementara dan fibrosis subsekuen dari node atrioventrikular. Selama
perkembangan jaringan konduksi jantung, ada waktu ekspresi yang terbatas pada
antigen Ro / SSA dan La / SSB yang menjadi terikat oleh antibodi maternal dan
menginduksi radang pada jaringan (Dhar &Sokol, 2006).
4. Kelahiran Preterm
Kelahiran pada umur preterm merupakan komplikasi tersering pada wanita
SLE. Antibody antifosfolipid yang positif merupakan salah satu faktor risiko yang
berpengaruh terhadap partus pada umur preterm. Munculnya proteinuria, hipertensi
gestasional, dan penggunaan prednisolone diprediksi sebagai penyebab pada beberapa
studi. Untuk penyebab terkuat dari kelahiran preterm adalah tingginya aktifitas
penyakit atau terkait dengan falre dari SLE sendiri. Penyebab lain dari kelahiran
![Page 4: Pengaruh SLE Terhadap Janin](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081202/577c79601a28abe054927486/html5/thumbnails/4.jpg)
preterm adalah pre eklampsi, HELLP syndrome, oligohidramnion, dan fetal distress
(Adu et al, 2012).
5. Sindrom Antifosfolipid
Menurut Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Sindroma anti fosfolipid (APS)
atau yang dikenal sebagai sindroma Hughes merupakan suatu kondisi autoimun yang
patologik di mana terjadi akumulasi dari bekuan darah oleh antibodi antifosfolipid.
Penyakit ini merupakan suatu kelainan trombosis, abortus berulang atau keduanya
disertai peningkatan kadar antibody antifosfolipid yang menetap yaitu antibodi
antikardiolipin (ACA) atau lupus antikoagulan (LA).
Diagnosis APS ditegakkan berdasarkan konsensus internasional kriteria klasifikasi
sindroma anti fosfolipid (Sapporo) yang disepakati tahun 2006, apabila terdapat 1
gejala klinis dan 1 kelainan laboratorium sebagaimana tertera di bawah ini:
• Kriteria Klinis:
Trombosis vaskular:
- Penyakit tromboembolik vena (Trombosis vena dalam, emboli pulmonal)
- Penyakit tromboemboli arteri.
- Trombosis pembuluh darah kecil
Gangguan pada kehamilan:
- > 1 kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia ≥ 10 minggu
kehamilan atau
- > 1 kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan ≤ 34 minggu atau
- > 3 abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada usia
kehamilan < 10 minggu
• Kriteria Laboratorium:
- Positif lupus antikoagulan
- Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang atau tinggi).
- Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein (anti β2 GP) I
(sedang atau tinggi). Perbedaan waktu antara pemeriksaan yang satu dengan yang
berikutnya adalah 12 minggu untuk melihat persistensinya.
![Page 5: Pengaruh SLE Terhadap Janin](https://reader036.vdocuments.mx/reader036/viewer/2022081202/577c79601a28abe054927486/html5/thumbnails/5.jpg)
Guilherme Ramires de Jesus, Claudia Mendoza-Pinto, Nilson Ramires de Jesus, et al.,
“Understanding and Managing Pregnancy in Patients with Lupus,” Autoimmune Diseases, vol. 2015, Article ID 943490, 18 pages, 2015. doi:10.1155/2015/943490
Pawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Lozza I, Cianci S, Natale AD, Garofalo G, Giacobbe AM, Giorgio E, Oronzo MAD. 2010. Update on systemic lupus erythematosus pregnancy. Journal of Prenatal Medicine; 4(4): 67-73.
Dhar JP, Sokol RJ. Lupus and pregnancy: complexe yet manageable. Clinical Medicine and research 2006; 4(4): 310-21.
1. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis Dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. 2011. p:20-21
Adu D, Emery P, Madaio M. 2012. Rheumatology and the Kidney – Oxford Clinical
Nephrology Series. OUP Oxford.