pedoman terhadap kebijakan dan masalah hukum sekitar ... filereformasi penyelesaian perselisihan...

108
REFORMASI PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN DI INDONESIA Pedoman terhadap Kebijakan dan Masalah Hukum sekitar Rancangan Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial COLIN FENWICK TIM LINDSEY LUKE ARNOLD

Upload: doancong

Post on 08-Apr-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

REFORMASI

PENYELESAIAN PERSELISIHAN

PERBURUHAN DI INDONESIA

Pedoman terhadap Kebijakan dan Masalah Hukum sekitarRancangan Undang-undang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial

COLIN FENWICK

TIM LINDSEY

LUKE ARNOLD

Hak Cipta © Kantor Perburuhan Internasional 2002Pertama terbit tahun 2002

Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak CiptaDunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasitersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untukmendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepadaPublications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva22, Switzerland, atau melalui Kantor ILO di Jakarta. Kantor Perburuhan Internasional akanmenyambut baik lamaran tersebut.__________________________________________________________________________________________________________________________

ILOReformasi Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di IndonesiaPedoman terhadap Kebijakan dan Masalah Hukum sekitar Rancangan Undang-undang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan IndustrialJakarta, Kantor Perburuhan Internasional, 2002

ISBN 92-2-__________________________________________________________________________________________________________________________

Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa-bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi-publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidakmencerminkan opini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional mengenai informasi yangberkenaan dengan status hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negaratersebut, atau status hukum pihak-pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yangberkenaan dengan penentuan batas-batas negara tersebut.

Dalam publikasi-publikasi ILO tersebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentukkontribusi tertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing-masing penulisnya,sepenuhnya menjadi tanggung jawab masing-masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasiopini tersebut tidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasionalmenyetujui atau menyarankan opini tersebut.

Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwaKantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau prosestersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifatkomersil juga tidak kemudian dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan ataupersetujuan dari Kantor Perburuhan Internasional.

Publikasi-punlikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur-penyalur buku utama atau melaluikantor-kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILOdengan alamat ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzer-land atau melalui Kantor ILO di Jakarta dengan alamat Gedung PBB, Lantai 5, Jl. M.H. Thamrin14, Jakarta 10340. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma-cuma padaalamat tersebut, atau melalui e-mail: [email protected] ; [email protected]

Kunjungi website kami: www.ilo.org/publns ; www.un.or.id/ilo________________________________________________________________________________________________________________________

Dicetak di Jakarta, Indonesia

KATA PENGANTAR

Program Reformasi Undang-undang Perburuhan di Indonesia telahdiluncurkan sejak tahun 1998 sesaat setelah mengikuti KonvensiILO nomor 87 di tahun yang sama tentang kebebasan berserikat

dan perlindungan berorganisasi, seiring dengan gerakan reformasi In-donesia yang menyangkut tiga hal utama, yaitu Akta/UU Serikat Buruh,Undang-undang Pembinaan dan Perlindungan Buruh dan Undang-undang Perlindungan Pengembangan Tenaga kerja. Undang-undangSerikat Buruh yang baru (UU No. 21/2000) telah diselesaikan pada tahun2000. Dua undang-undang lainnya diharapkan selesai sebelum akhirtahun 2002.

ILO melalui ILO/USA Declaration Project in Indonesia telahmembuktikan usahanya dalam suatu paper yang berjudul �ReformasiPenyelesaian Perselisihan Perburuhan di Indonesia� sebagai kontribusiberharga dalam proses reformasi Undang-undang Perburuhan di Indo-nesia.

Tulisan tersebut memaparkan latar belakang sejarah mekanismeresolusi perselisihan industrial termasuk di dalamnya memaparkan studikasus yang relevan. Hal itu memberikan gambaran lengkap tentangrancangan aturan penyelesaian perselisihan dan kelembagaannya yangtentu saja sangat jelas dan berguna untuk menganalisa berbagai prob-lem dan isu-isu yang berkaitan dengan struktur dan praktek-prakteksistem yang baru � yang memungkinkan munculnya pertanyaan-pertanyaan tentang peraturan dan kebijakan yang menarik.

Secara umum, tulisan ini menyediakan analisa yang sangatbermanfaat tentang sistem penyelesaian perselisihan perburuhan dandiharapkan publikasi ini mampu membantu menjembatani para pembuat

kebijakan dan para praktisi hubungan industrial suatu kritik membangunbagi aturan baru penyelesian perselisihan perburuhan.

Kami ingin mengomentari ketiga penulis � Colin Fenwick, TimLindsey dan Luke Arnold � atas tulisannya yang luar biasa danmenggambarkan orisinilitas pemikiran yang merupakan kontribusiberharga dalam upaya membangun sistem hubungan industrial yanglebih baik di Indonesia.

Jakarta, 1 Juli 2002

Alan J. BoultonDirector ILO OfficeJakarta

Carmelo C. NorielChief Technical AdvisorILO/USA Declaration ProjectIn Indonesia

Makalah ini dibuat oleh Asian Law Group Pty Ltd untukOrganisasi Perburuhan International (International LabourOrganization - ILO), Cabang Jakarta dan dimaksudkan

sebagai makalah diskusi dan pedoman dasar untuk penggunaan parapengacara dan orang awam mengenai kebijakan dan masalah hukumyang ditimbulkan oleh RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan In-dustrial yang sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RepublikIndonesia. Makalah ini ditulis dari sudut pandang pengacara akademisperburuhan dan tidak dimaksudkan sebagai analisa lengkap dari isu-isuyang dibahas di dalamnya. Perlu diperhatikan bahwa pendapat-pendapatyang terkandung dalam analisa ini merupakan pendapat para penulis,dan barangkali tidak mewakili pendapat ILO.

Bab pertama dari makalah ini membahas konteks perancanganRUU tersebut dengan menguraikan latar belakang peraturan perundang-undangan mengenai hubungan industrial Indonesia kontemporer danmemperlihatkan mengapa reformasi, yang tertuang di dalam RUUtersebut, diperlukan.

Bab kedua membahas tiga studi kasus yang melibatkan perselisihanhubungan industrial dengan menjelaskan kekurangan-kekurangantertentu dalam sistem yang ada maupun, sekali lagi, keperluan mendesakuntuk reformasi penyelesaian perselisihan.

Bab ketiga menguraikan isi dari RUU tersebut dan menjelaskanmekanisme yang mendasari cara kerja sistem baru.

Bab keempat mengidentifikasikan kekurangan-kekurangan dalamRUU tersebut serta mengajukan usulan untuk reformasi lebih lanjut.

Lampiran berisikan ringkasan RUU pasal demi pasal yang singkat.

PRAKATA

Daftar pustaka berisikan bahan-bahan untuk penelitian lebih lanjutdan mengidentifikasikan sumber bahan yang digunakan dalampembuatan makalah ini.

Colin Fenwick, Tim Lindsey, Luke ArnoldMelbourne, 1 Mei 2002Contribution to building a better industrialrelations system in Indonesia.Jakarta, 1 July 2002

CATATAN TERJEMAHAN

Department of Labour� dan �Minister for Labour� dan �LabourDevelopment and Protection Bill� adalah mengacu padaDepartemen ketenagakerjaan dan Transmigrasi

(Depnakertrans), dan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi(Menakertrans) dan Rancangan Undang-undang Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan (RUU PPK). Tenaga kerja biasanyadiartikan workforce tapi diterjemahkan dengan �Manpower�. Untukmenghindari bias gender di kemudian hari maka digunakan istilah�labour� sebagai arti paling populer dalam percakapan bahasa Inggrispada institusi ini.

State Court mengacu pada Pengadilan Negeri. Istilah itu sering jugaditerjemahkan sebagai �Distric Court�, yang secara bahasa sebenarnyakurang tepat karena tidak membedakan pengadilan yang mengaturmasalah kriminal dan sipil.

DAFTAR ISI

PENGANTAR iii

PRAKATA v

TRANSLATION NOTE vii

BAB 1: LATAR BELAKANG: PERKEMBANGAN HUKUMPERBURUHAN DI INDONESIA 1

I. PENGANTAR 1

II. HUKUM PERBURUHAN DI INDONESIASEBELUM TAHUN 1998 3

Fase Pertama: Larangan Serikat Pekerja (1966 � Akhir 1970-an) 4

Fase Kedua: Pengambilalihan Serikat Pekerja 5(Akhir 1970-an � Awal 1990-an)

Fase Ketiga: Pasar Sebagai Kedok (1990-8) 9

III. ANALISA LBH 10

IV. REFORMASI PASCA SUHARTO 13

Habibie 14

Wahid 16

Megawati 17

Conclusion 18

BAB 2: Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Di Indonesia:Tiga Studi Kasus 19

I. Kasus Shangri-La Hotel: Model perburuhan Orde BaruTetap Berjalan 20

Pemogokan 21Evakuasi 22Arbitrase 23Perkara Perdata 24Desakan dari ILO 25Naik Banding 25Komentar 26

II. Kasus �Sandal Bolong�: Mengkriminalkan Serikat Pekerja 28

Mengkriminalkan Pekerja 29

III. Kasus PT Kadera: Kekerasan Negara sebagaiPenyelesaian Perselisihan 30

Kekerasan Hubungan Industrial Sistematis 33Kesukuan dalam Perselisihan Perburuhan 33

Bab 3: BagaimanaKah Cara Kerja RUUPenyelesaian Perselisihan Perburuhan? 35

I. Uraian Sistem Baru 36

Arti �Perselisihan Hubungan Industrial� menurut RUU yang baru 36

Apakah yang merupakan Pokok Persoalan PerselisihanHubungan Industrial? 36

Siapakah Para Pihak dalam Perselisihan Hubungan Industrial? 38

Prinsip dan Tata Cara Penyelesaian Perselisihan 39

Penyelesaian melalui Bipartit 40

Arbitrase Perselisihan 40

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial 42Pembentukan dan Susunan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial 42Hakim Ad-Hoc 43Pengawasan Peradilan atas Pelaksanaan Tugas PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial 43Sub-Kepaniteraan 44

Tata Cara Penyelesaian Perselisihan di PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial 44Kasasi pada Mahkamah Agung 45Pencegahan Pemogokan dan Penutupan Perusahaan (Lockout) 45Peralihan dari Sistem Lama 46

II. Pokok Persoalan Perselisihan Hubungan Industrial 46

Perselisihan antar Serikat Pekerja 46Apakah itu Serikat Pekerja? 46Apakah itu Perselisihan Antar Serikat Pekerja? 47Hak dan Kewajiban Keserikat-pekerjaan 47Penyelesaian Perselisihan antar Serikat Pekerja 48

Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja 49

Perselisihan Hak dan Perselisihan Kepentingan 50Sumber Hak dan Kepentingan 50Perjanjian Kerja 51Peraturan Perusahaan 52Perjanjian Kerja Bersama 52

Kondisi Pekerjaan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan 54Tanpa-Diskriminasi 54Penempatan Kerja 54Perlindungan Pekerja 54Pengupahan 55Kesejahteraan 56Hak Serikat Pekerja, Aksi Industrial dan Penyelesaian Perselisihan 56

III. Kesimpulan: Pendek kata 57

BAB 4: Persoalan RUU PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial 59

I. Kelemahan konsep 60

II. Kekurangjelasan Konsep 61

Perundingan Bipartit 61Itikad Baik 61Lembaga Kerja Sama Bipartit 63

Mediasi 64

Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja 65

Wilayah Hukum Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial &Perselisihan Hak 68

Hal-Hal yang akan tercakup dalam Peraturan 69

III. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial: Wilayah Hukum &Beban Kerja; Pembentukan, kewenangan & Tugas 70

Wilayah Hukum dan Beban Kerja 70

Fungsi dan Kewenangan Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial 72

Kewenangan Menteri atas Penunjukan Hakim Ad-Hoc 74

Kewenangan Komisi 76

IV. Hal-Hal Yang Tidak Termuat dalam RUU 77

Perselisihan antara Serikat Pekerja dan Anggotanya 77

Perselisihan antara Para Pekerja dan Pemerintah 78

Perselisihan antar Organisasi Pengusaha, serta antara OrganisasiPengusaha dan Anggotanya 78

Perselisihan Pemagangan (Intern) 79

V. Kesulitan dalam merancang dan isu-isu Lain 80

Arbiter 80

Pengangkatan & Pemberhentian Hakim 81

Putusan Akhir 82

Lampiran: PEDOMAN RUU PENYELESAIANPERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIALPASAL DEMI PASAL 83

Bab Kesatu: Ketentuan Umum 83

Bab Kedua: Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan 84Industrial

Bab Ketiga: Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial 85

Bab Keempat: Penyelesaian Perselisihan Melalui PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial

Bab Kelima: Pencegahan Pemogokan dan Penutupan (Lockout) 88

Bab Keenam: Ketentuan Pidana 88

Bab Ketujuh: Ketentuan Lain-Lain 88

Bab Kedelapan: Ketentuan Peralihan 88

Bab Kesembilan: Ketentuan Penutup 89

DAFTAR PUSTAKA 90

I. Pengantar

Sejak lengsernya Presiden Suharto, Indonesia telah dan sedangmengalami transisi menuju demokrasi yang sulit. Memang banyak yangtelah tercapai dalam waktu singkat, akan tetapi proses tersebut belumberakhir sama sekali. Hal ini juga benar dalam hal hukum perburuhanIndonesia dan, khususnya, sistem penyelesaian perselisihan.

B a b 1

LATAR BELAKANG:PERKEMBANGAN

HUKUM PERBURUHAN INDONESIA

Bab ini menjelaskan perkembangan dan keadaan terkini daripenyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia, supayadapat berfungsi sebagai landasan untuk pembahasan RUU

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang lebih rinci dalambab ketiga dan keempat serta dalam lampiran. Bab inimengidentifikasikan pola konsisten dari campur tanganpemerintah dan ABRI dalam perselisihan perburuhan di Indo-nesia sejak masa kolonial. Penulis berargumen bahwa tradisipenindasan perburuhan merupakan tantangan yang signifikanterhadap reformasi yang diusulkan dalam RUU tersebut. Babkedua mengembangkan analisa dari bab ini dengan membahastiga studi kasus yang baru yang memperlihatkan kekurangan darisistem yang ada maupun rintangan yang ada terhadappembentukan sistem yang diusulkan dalam RUU tersebut.

1

Di atas kertas, pemerintah Indonesia telah menetapkan hak pekerjafundamental yang luas, dibandingkan beberapa negara maju dan banyaknegara berkembang di mana hak-hak tersebut masih dipersoalkan. Hakini termasuk, misalnya, hak membentuk dan menjadi anggota serikatpekerja buruh serta hak berunding dan mogok untuk mendukungtercapainya tuntutan. Hukum Indonesia juga menjamin standarperburuhan minimum yang luas, termasuk:1 upah minimum regional(UMR); sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang for-mal; jam kerja yang terbatas sampai dengan 7 jam per hari atau 40 jamper minggu, dan waktu istirahat selama 30 menit untuk setiap empatjam kerja; hari libur umum (dengan pembayaran upah 12 hari kerja pertahun); istirahat melahirkan (dengan pembayaran upah 3 bulan pertahun); istirahat sakit (sebagian dari upah dibayar sampai dengan 12bulan per tahun); pembayaran upah selama masa libur (minimal upah 2minggu per tahun); pembayaran lembur sebesar 1,5 kali upah biasa perjam pada jam pertama, kemudian dua kali lipat upah biasa per jamselanjutnya; uang pesangon sebesar upah satu bulan untuk setiap tahunkerja, sampai dengan maksimal 4 bulan untuk masa kerja yang lama;larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam pengupahan;serta, batasan terhadap hak pengusaha untuk memutuskan hubungankerja (ijin diperlukan dari lembaga tripartit yang melibatkan serikatpekerja, pihak manajemen dan Departemen Tenaga Kerja).2

Ada juga larangan mutlak untuk memutuskan hubungan kerjaseorang pekerja oleh karena keikutsertaannya dalam kegiatan serikatpekerja; memperjuangkan keluhan yang layak dengan pihak pengusaha;tidak menjalankan tugas kemasyarakatan atau ibadah agama; ataudiskriminasi berdasarkan suku, ras, status perkawinan, jenis kelamin,agama atau afiliasi politik.3

Pemerintah Indonesia juga telah meratifikasi beberapa KonvensiILO yang penting, sehingga Indonesia menjadi negara Asia pertamayang meratifikasi semua dari kedelapan Konvensi fundamental: KonvensiILO No.87 mengenai Kebebasan Berserikat and Perlindungan HakBerorganisasi (Juni 1998); No. 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa(Mei 1999); No.111 tentang Pengentasan Diskriminasi Dalam Pekerjaan

1 Bagian ini menggunakan ILO (1999) dan ACFOHRO (1991).2 Semua hak ini dibahas secara lebih rinci dalam Bab Ketiga.3 Ibid.

1

(Mei 1999); No. 138 tentang Usia Minimum (Mei 1999); dan KonvensiNo. 182 tentang Melarang Bentuk-Bentuk Pekerja Anak Yang PalingBerbahaya (Maret 2000).

Akan tetapi ada jurang yang amat besar antara peraturanperundang-undangan yang mengatur tentang perburuhan dan kenyataandalam pelaksanaan kebijakan dan praktek. Sistem pengaturanketenagakerjaan Indonesia yang baru memang sangat lemah. Dalamkebanyakan kasus, undang-undang baru meneruskan tradisi yangmemberikan keleluasaan kepada pihak pengusaha dan negara. Apabilatidak, peraturan perundangan-undangan tidak diperhatikan oleh keduapihak tersebut.

Akibatnya, manfaat dari kerangka hukum jarang dan hanya secarasepihak tersedia bagi pekerja Indonesia. Hal ini mencerminkan tradisipengaturan perburuhan di bawah rezim Suharto dan khususnyaketegangan antara, di satu sisi, negara, militer dan pengusaha; serta disisi lain, serikat pekerja. Ketegangan ini sudah lama ada dan perludipahami tidak sebagai sesuatu yang diciptakan oleh pemerintah Indo-nesia, tetapi malah sebagai warisan dari Pemerintah Kolonial Belandasetelah kemerdekaan pada tahun 1945.

Dengan demikian, sangat berguna untuk menjelaskan sedikittentang latar belakang pengaturan perburuhan sejak masa kolonial, OrdeLama di bawah Presiden Soekarno dan Orde Baru di bawah PresidenSoeharto sebelum membahas reformasi pasca Suharto.

II. Hukum Perburuhan di Indonesia sebelum tahun1998

Pemerintah Kolonial Belanda menganggap pengorganisasianperburuhan sebagai ancaman dan menyamakan serikat pekerja dengankomunisme.

[S]erikat pekerja pada umumnya bersifat lemah � oleh karena berlimpahruahnya pekerja dan pihak pengusaha (baik pemerintah dan swasta) jarangdibatasi oleh hukum ataupun sikap dalam menggunakan upaya apa saja untukmenghentikan aksi mogok. (Ricklefs,1993:168):

Secara bersamaan, organisasi pekerja pada awal masa ini jugamenghubungkan kekejaman pemerintah kolonial dengan kondisi pekerja

1

pribumi yang tidak layak. Maka gerakan pekerja otomatis terlibat dalampolitik dan banyak tokoh perjuangan nasional memiliki hubungan eratdengan gerakan nasionalis, Marxis, bahkan gerakan Muslim (Ricklefs,1993: 172-3). Barangkali yang paling terkenal di antara tokoh-tokoh iniadalah Tan Malaka (Ricklefs, 1993:175) tetapi malah pemimpinnasionalis yang paling terkenal, yaitu Presiden Soekarno yang karismatik,sangat terpengaruh oleh Sarekat Islam yang anti-kolonial. Pada awalnyaSarekat Islam adalah sebuah asosiasi pengusaha Islam yang dibentukuntuk tujuan mengurangi kekuasaan Bangsa Belanda dan Cina dalamperdagangan.

Pembauran ini antara nasionalisme yang anti-kolonial, politikussayap kiri dan gerakan pekerja menyebabkan sikap bermusuhan terbukadari pemerintah kolonial sehingga pada akhir 1920-an Gubernur BelandaGeneral de Graeff memimpin �penghancuran sisa-sisa terakhir gerakanserikat pekerja yang bercondong politik sayap kiri�, denganmemenjarakan dan mengasingkan para pemimpinnya (Ricklefs,1993:185). Pada waktu pendudukan Jepang pada tahun 1942 kebanyakanpemimpin serikat pekerja telah dipenjarakan atau diasingkan, misalnyadi kamp-kamp pegunungan terpencil di Papua Barat.4

Sebagai akibat dari hal ini, pihak perburuhan diwakili dengan baikdi dalam koalisi anti-kolonial nasionalis yang memimpin perjuangankemerdekaan sejak tahun 1945 dan dipimpin Soekarno. Pada masaperjuangan ini terjadi pertikaian antara kaum komunis dan nasionalisyang mengakibatkan adanya usaha kudeta komunis yang digagalkan padatahun 1948, meskipun demikian pemerintahan Presiden Soekarno, yangmemperoleh kedaulatan dari pemerintah Belanda yang seganmelepaskannya pada tahun 1949, adalah pemerintahan yang padadasarnya bersifat simpatis terhadap perburuhan dan politik sayap kiri.

Fase Pertama: Larangan Serikat Pekerja(1966 - akhir 1970-an)

Sesuai dengan hal-hal di atas, pada akhir masa rezim �DemokrasiTerpimpin� Presiden Soekarno, yaitu pada pertengahan 1960-an,organsisasi perburuhan yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indone-sia (PKI) yang pada waktu itu sangat kuat, menyebabkan adanya gerakan

4 Sekarang disebut Provinsi Papua Barat.

1

perburuhan yang aktif dan berpengaruh. PKI beranggotakan 2 jutaorang, sehingga menjadi �partai Komunis terbesar di antara semuanegara non-Komunis� serta bahwa serikat pekerja kunci, SOBSI,5

beranggotakan 3,3 juta orang (Ricklefs, 1991:271).Jatuhnya Soekarno pada tahun 1966 dan pembantaian6 serta

pemenjaraan ratusan ribuan anggota PKI maupun yang dituduh sebagaisimpatisannya selama masa yang mulai pada akhir 1965 sampai denganawal tahun 1967 memutarbalikkan situasi ini. Pada bulan Februari tahun1966, Sekjen SOBSI, Njono Prawiro, dihukum mati (Ricklefs, 1993: 289)dan setelah Soeharto bersama Angkatan Bersenjata (ABRI,7 sekarangTNI8 ) mengambilalih kekuasaan efektif sejak bulan Maret pada tahuntersebut, serikat pekerja menjadi sasaran utama dari penindasan. Serikatpekerja secara efektif dilarang dan anggotanya dibunuh ataudipenjarakan � kebanyakan anggotanya dipenjarakan di pulau Buru.Selama pertarungan ini, hal-hal berkaitan dengan manajemen pasartenaga kerja dan hubungan industrial sudah tidak relevan dan hanyamenjadi sebagian dari masalah di bawah pertentangan politik antaraTNI dan PKI. Pertentangan politik masa kolonial kemudian dijelmakanberdasarkan ideologi Perang Dingin.

Dalam waktu lima belas tahun saja, negara Indonesia telah kembalike tradisi pemerintah kolonial dalam masalah perburuhan � bahkan telahmempertajam penindasan. Sebagaimana diargumenkan Lev, sistempolitik:

�memiliki kesamaan dengan pemerintah kolonial, tetapi bersifat lebih kasardalam hal kekurangan kontrol kelembagaan serta penyalahgunaan kekuasaan.(Lev, 1999:92)

Fase Kedua: Pengambilalihan Serikat Pekerja(Akhir 1970-an � Awal 1990-an)

Penyingkiran sayap kiri yang penuh kekerasan dan yang digagaskanSoeharto bersama pendukung militernya sangat efektif. Sehingga padatahun 1973 Presiden baru ini bersama ABRI � yang pada saat itu duduk

5 Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia.6 Guna penjelasan lebih rinci, lihat Cribb (1991).7 Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.8 Tentara Nasional Indonesia.

1

bersama di puncak kekuatan Orde Baru konservatif yang merekaciptakan � menganggap bahwa situasi waktu itu telah cukup aman untukmemperbolehkan reformasi organisasi serikat pekerja, tetapi dalambentuk yang sangat berbeda.

Ternyata bahwa setelah sewindu terakhir dari masa pemerintahanSoekarno � masa radikal yang disebut �Demokrasi Terpimpin� yangditandai oleh �Konfrontasi� dengan negara �Barat� serta isolasi �menjadikan perekonomian Indonesia sangat parah.9 Waktu itu jelasbahwa ketenagakerjaan harus dimobilisasi kembali apabila inginperekonomian Indonesia dapat pulih kembali. Solusi tahun 1970-anadalah bahwa sebagian serikat pekerja, yang telah disingkirkan sehinggahampir tak ada, akan dibangkitkan kembali � akan tetapi diambilalihdan dikuasai agar membantu usaha pemerintah mencari danapembangunan, serangkaian kebijakan pembangunan ekonominya yangbergaya �komando� agresif.

Pertengahan 1980-an membawa motivasi baru terhadap transisidari larangan mutlak menuju penindasan �termanajemen�. Sebelumnya,Orde Baru telah dapat bersandar pada harga minyak yang melambungtinggi sehingga mencapai 65% dari jumlah ekspornya (Crouch, 1988:354) serta 60% dari total pendapatannya (Ricklefs, 1991: 307). OrdeBaru berhasil menciptakan perekonomian yang relatif tertutup sertamenerapkan strategi substitusi barang impor. Anjloknya harga bensin dipasar dunia sejak pertengahan 1980-an menyebabkan pendanaan pro-gram ini mustahil untuk diteruskan.10 Pemerintah Orde Baru terpaksamenata kembali kebijakan investasi dan industrial, sehingga menerapkanstrategi industrialisasi yang berorientasi ekspor. Orde Baru berpendapatIndonesia sedang bersaing untuk meraih modal investasi asing dari negaraAsian biaya rendah lain terhadap industri padat karya, seperti tekstil.Demikian, Indonesia memulai bereksperimen secara hati-hati denganpendekatan deregulasi yang kemudian mendominasi kebijakan ekonomipada pertengahan 1990-an, sebagai bagian dari usaha untuk menarik

9 Pada akhir 1965 harga beras naik 900% per tahun dan nilai tukar Rupiah anjlok dari5,100 untuk satu dolar AS menjadi 50,000 (Ricklefs, 1993:280). Padahal, pada puncak krisisterkini pada bulan Februari 1998, nilai tukar rupiah hanya sampai pada level 20,000 untuk satudolar AS.

10 Pada tahun 1986 harga minyak OPEC telah jatuh dari $34.50 menjadi kurang dari $10(Ricklefs, 1991: 307).

1

investasi asing yang diperlukan untuk mendanai strategi ekspor barunya.Dari sudut pandang ini, serikat pekerja, secara berlawanan, bersifat

berbahaya dan perlu. Ada dua alasan mengapa serikat pekerja bersifatberbahaya. Pertama, oleh karena kalau ada gerakan pekerja yang kuat,hal ini dapat menghasilkan upah dan kondisi pekerjaan yang lebih baik.Ini dianggap akan mengurangi minat penanam modal asing yang padawaktu itu dicoba ditarik oleh Soeharto. Kedua, sikap Perang Dingin yangtelah lama dimiliki Orde Baru � dibentuk pada akhir 1960-ansebagaimana disebut di atas � menganggap serikat pekerja sebagai bagiandari Komunisme dan dengan demikian secara ideologi sebagai musuhnegara.

Di sisi lain, organisasi pekerja diperlukan oleh karena suatu strukturefektif untuk mengorganisasikan pekerja dan mengawasi politik tempatkerja dianggap sebagai satu-satunya strategi yang dapat terlaksana untukmembatasi kenaikan upah serta mencegah timbulnya serikat pekerjaefektif yang begitu ditakuti. Pendek kata, organisasi pekerja dipakaisebagai alat untuk melaksanakan pendekatan keamanan Orde Baru(Tanter, 1990) di tempat kerja. Sesuai dengan hal ini, serikat pekerjaperlu dihidupkan kembali, akan tetapi secara bersamaan harusdimanipulasi untuk terciptanya sistem yang dapat menjamin upah dankondisi pekerjaan dikontrol secara ketat oleh negara.

Strategi tersebut terpusat pada Federasi Buruh Seluruh Indonesia11

(FBSI), yang dibentuk pada tahun 1975 dan dirubah pada tahun 1985menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia12 (SPSI). SPSI terlindungdari saingan melalui serangkaian perangkat hukum13 yang menjaminserikat ini adalah satu-satunya serikat pekerja yang sah di Indonesia dandengan cepat menjadi tidak lebih dari salah satu tangan pemerintah.Perangkat hukum yang melindungi SPSI hanya merupakan sebagiandari kerangka hukum yang dibuat pada masa ini � di manakebanyakannya dikeluarkan oleh Menteri Tenaga Kerja � yang jelas tidakmendukung para pekerja dan kadang-kadang bertentangan denganundang-undang lain yang ada. Perangkat hukum ini terfokus atas upayauntuk mengontrol kebebasan para pekerja untuk berorganisasi dan

11 Federasi Buruh Seluruh Indonesia.12 Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.13 Lihat Fehring and Lindsey (1995).

1

berunding serta memberi legitimasi kepada militer untuk ikut campurtangan dalam perselisihan perburuhan. Dalam praktek, peraturanperundang-undangan yang telah menetapkan perlindungan yang relatifkuat bagi pekerja dikesampingkan dan tidak digubris.

Pembenaran ideologi dari sistem baru ini adalah konsep HubunganIndustrial Pancasila (HIP). Pada intinya ini merupakan penggunaanideologi negara untuk menciptakan grundnorm yang sangat anti-pemogokan terhadap hubungan industrial di Indonesia, HIPmenghubungkan konsep integritas negara terhadap serangkaian instansibawahan, sampai dengan tingkat tempat kerja. Sistem ini bertujuan untukmenerapkan kekuatan militer dan pemerintah secara penuh dan cepatterhadap semua perselisihan perburuhan di seluruh tempat kerja, bahkansampai yang kecil-kecil. Fehring telah menggambarkan HIP sebagai:

� penafsiran ulang terhadap konsep Pancasila tradisional sebagaimana tertuangdalam UUD 1945�

HIP beroperasi di setiap tingkat hubungan industrial di Indonesia dan tidakhanya merupakan rumusan ideologi yang paling berbobot. Hal ini mempengaruhikegiatan sehari-hari dalam hubungan pengusaha dan pekerja. Di tingkat nasionalada Departemen Tenaga Kerja, SPSI dan Panitia Penyelesaian PerselisahanPerburuhan Pusat (P4P�) serta berbagai asosiasi pengusaha nasional. Strukturini juga dibentuk pada tingkat daerah. Akan tetapi, di tingkat daerah termasukjuga keterlibatan Kodim,14 Polres15 dan Walikota.16 Bakorstanas17 berfungsi untukmengkoordiniasikan organisasi-organisasi ini, khususnya apabila ada pergolakanindustrial atau aksi mogok.

Di tingkat lokal ada satuan SPSI serta pegawai Departemen Tenaga Kerja.Anggota Koramil18 dan Polsek19 akan terlibat apabila ada perselisihan ataugangguan industrial. Lembaga daerah dan nasional dapat memperkuat satuanlokal ini apabila dianggap perlu.

(Fehring: 1999: 368-9).

Sifat sistem ini yang memaksakan kehendak serta sejauh mana itudapat memobilisasikan kekuatan keamanan dan militer untuk melindungikepentingan pengusaha telah didokumentasikan.20 Hal ini membuat

14 Komando Distrik Militer.15 Polisi Resort.16 Walikota.17 Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas National.18 Komando Rayon Militer.19 Polisi Sektor.20 Lihat Lambert (1993); Fehring dan Lindsey (1994) guna referensi.

1

pemerintah sanggup menjalankan program pembangunan ekonomiberdasarkan kemitraan monopolistik antara para elit politik dan militerpribumi dengan modal asing serta membawakan masa eksploitasi parapekerja secara kelembagaan (McLeod, 2000).

Dalam banyak hal sistem HIP mencerminkan perubahan yang lebihluas dalam Orde Baru yang dimulai sejak 1970-an. Ali Moertopo, salahsatu tokoh kunci penggagas strategi Soeharto, adalah pendukung pertamadari konsep HIP tersebut. Dia juga adalah penggagas konsep �massamengambang�: �ide ini adalah bahwa masyarakat akan menjadi massamengambang yang diperbolehkan memilih setiap lima tahun tetapi selaindari itu menghindari aktivitas politik� (Schwarz, 1994:32-3). Laranganterhadap aktivitas politik akar rumput serta penggabungan partai politikindependen secara paksaan sehingga terbentuk tiga organisasi bonekamenjamin bahwa hanya penampilan struktural dari badan politik populeryang tertinggal dan badan ini dikuasai penuh oleh para elit eksekutif.Konstruksi HIP/SPSI yang majemuk dan baru berfungsi mencerminkanmetode ini di sektor industri dan jelas adalah sebagian dari konsolidasikekuatan pribadi Soeharto yang sangat efektif atas seluruh masyarakatIndonesia, sehingga dengan demikian dia:

� berdiri di puncak piramid; yang ditunjuknya duduk di setiap lembaga eksekutif,legislatif dan peradilan yang penting dalam pemerintahannya � Kekuasaannyamenjangkau ke dalam setiap departemen dan setiap Badan Usaha Milik Negara;bahkan kalau diinginkan sampai ke setiap desa.

(David Jenkins, dalam Schwarz, 1994:37)

Fase Ketiga: Pasar sebagai Kedok (1990-8)

Selama kebanyakan tahun 1990-an sampai pada awal krisis ekonomipada pertengahan tahun 1997, Indonesia menikmati perkembanganekonomi tinggi (boom). Secara umum instansi multilateral mengangkatnyasebagai contoh terbaik dari keberhasilan kebijakan deregulasi yangmereka telah memajukan untuk diterapkan oleh negara berkembang.

Rupanya perkembangan ekonomi bersifat kuat � Penerimaan Modal tetap tinggi.Pasar Bursa Efek semakin tinggi � hampir semua indikator ekonomi dankeuangan nampaknya tinggi atau cukup baik. (Hill, 1999: 6-7)

Selama masa ini, rezim Soeharto memimpin suatu negara dengankelas menengah yang semakin besar di mana �standar hidup bagi hampirseluruh penduduk Indonesia semakin membaik� (Hill, 1999:7). Akan

1

tetapi, kunci keberhasilan dari perkembangan ekonomi ini adalahketergantungan yang semakin tinggi terhadap modal asing, yang padasaat itu jauh lebih tinggi dibandingkan harapan pertengahan tahun 1980-an. Sebagai akibat dari hal ini pemerintah harus lebih tunduk kepadatuntutan Barat untuk terbentuknya pasar yang lebih terbuka. Persoalanuntuk pemerintah Orde Baru adalah bagaimana deregulasi21 yangdituntut Amerika Serikat dan sekutu multilateralnya (yaitu, padaumumnya IMF dan Bank Dunia) dapat tercapai tanpa kehilangankekuatan besinya atas perburuhan dan, dengan demikian, kontrolnyaatas biaya produksi.

Solusinya adalah untuk melaksanakan deregulasi di bidang yangmenarik bagi modal asing, misalnya, dengan menghapus kontrol kreditdan modal di sektor perbankan serta mendorong semakin banyaknyajumlah peminjam (lender) dan jumlah kredit yang tersedia (Bennett, 1999).Reformasi yang mirip adalah penghapusan batasan atas investasi denganmembuka sektor yang sebelumnya tertutup dan secara efektif tidakmelaksanakan syarat-syarat tentang divestasi usaha patungan (joint ven-ture) dalam rangka proses pengindonesiaan (Lindsey, 1997:101). Akantetapi bersamaan dengan ini, tidak ada perubahan berarti dalam bidanghak perburuhan. Konsep HIP tetap berlanjut sebagai kerangka ideologidengan menghias peraturan perundang-undangan secara marginalsupaya memperindah aspek-aspek yang lebih brutal. Apabila adaperubahan, justru itu adalah bahwa penindasan yang meningkat ditutupidengan kedok liberalisasi nominal.

III. Analisa LBH

Analisa Lembaga Bantuan Hukum (LBH)22 telah menemukan tigatujuan dari sistem hubungan industrial Orde Baru (Masduki, 1999).Pertama, perangkat hukum ini dimaksudkan untuk memperkuat sistemkontrol pemerintah atas urusan perburuhan dengan memperkenalkanmodel korporatis dan paksaan. Termasuk dalam ini adalah:23

21 Deregulasi.22 Lembaga Bantuan Hukum.23 Untuk diskusi peraturan yang disebut dalam bagian ini lihat: Fehring, (1999: 373) dan

Fehring & Lindsey (1995 passim).

1

(a) kontrol secara keseluruhan atas segala aspek organisasi pekerja �dan, khususnya, dalam hal pengakuan dan pendaftaran serikat baru� dimiliki oleh Departemen Tenaga Kerja. Peraturan yangterpenting di sini adalah Kepmenaker No.3 tahun 1993. Peraturan inimengisyaratkan bahwa suatu serikat pekerja harus diwakili di lebihdari 100 tempat pekerjaan, 25 daerah dan 5 propinsi agar dapatterdaftar; serta bahwa jumlah anggota yang diperlukan untukindustri tertentu adalah 10,000 orang, di mana industri tertentu tidakdijelaskan lebih lanjut. Peraturan ini juga memberikan hak vetoyang efektif kepada SPSI atas pendaftaran federasi serikat yang baru.Hal ini berarti tidak mungkin serikat pekerja yang baru dapat diakuikecuali apabila pemerintah menyetujuinya, dan jelas bahwapersetujuan ini tidak mudah diperoleh.

(b) batasan yang keras terhadap hak mogok, berdasarkan perundinganbipartit dan tripartit yang melibatkan Departemen Tenaga Kerjadan pihak keamanan serta suatu mekanisme yang menyebabkanseorang pekerja dianggap mengundurkan diri setelah tidak bekerjaselama enam hari pada waktu mogok kerja. Peraturan-peraturankunci yang membentuk sistem pemutusan hubungan kerja yangkonstruktif adalah Kepmenaker No. 4 tahun 1986 dan No. 1108 tahun1986 serta Permenaker No. 62 tahun 1993.

(c) kontrol terhadap penyelesaian perselisihan perburuhan melaluilembaga arbitrase pemerintah (sistem P4P)

(d) monopoli pemerintah atas manajemen dana jaminan sosial tenagakerja Jamsostek, melalui UU No. 3 tahun 1992.

Kedua, reformasi era �pasar� dimaksudkan untuk menjaminfleksibilitas pasar tenaga kerja. Hal ini khususnya dimaksudkan untukmembantu pihak pengusaha dalam melaksanakan sistem kerja sub-kontrak atau berjangka pendek berdasarkan fluktuasi produksi,perubahan teknologi produksi atau mobilisasi modal. Di bawah sistemini, kekuatan para pekerja bersama diperlemah. Kontrak individumenyebabkan perundingan bersama kurang efektif.

Ketiga, perangkat hukum ini bertujuan memfasilitaskan mobilisasipara pekerja oleh pemerintah agar disesuaikan dengan keperluanmobilitas modal. Oleh karena jumlah penduduknya yang begitu banyak(saat ini kira-kira 215 juta) berarti hampir selalu ada tenaga kerja yangberlimpah ruah di Indonesia dan sejak bulan Juni 1997, ketika krisis

1

ekonomi mulai mengurangi perekonomian yang kuat, hampir 20 jutapekerja � atau kira-kira 40% dari seluruh jumlah tenaga kerja - telahkehilangan pekerjaannya (Masduki, 1999), sehingga persaingan semakinmeningkat. Mobilisasi pasar tenaga kerja ini yang seharusnya mudahdikontrol telah memainkan peranan penting dalam menekan biayaperburuhan pada tingkat yang serendah mungkin. Ketika biayaperburuhan di satu bidang meningkat, pemerintah dapat mengalihkantenaga kerja ke bidang lain dengan upah yang lebih rendah (kadang-kadang bersama dengan program transmigrasi pemerintah) � ataupunmenggantikannya sama sekali. Metode ini semakin produktif digunakanuntuk menggantikan para pekerja yang mogok dengan pekerja pengganti,suatu taktik sederhana oleh karena persyaratan pemutusan hubungankerja konstruktif yang telah dibahas di atas.

Campuran antara keamanan represif agresif dan syarat-syarat pro-investasi maupun komitmen retorika yang secara transparan tidak jujurterhadap hak perburuhan yang menandai kebijakan hubungan indus-trial pemerintah Indonesia pada tahun 1990-an, dipertahankan OrdeBaru sampai dengan bulan-bulan terakhir pemerintahan Soeharto. Halini terjadi meskipun terbukti tidak efektif. Keseluruhan keanggotaan serikatpekerja pemerintah, SPSI, tidak pernah melebihi satu juta (6% dariseluruh jumlah tenaga kerja) (Fehring & Lindsey, 1995: 4) dan seluruhaparatur birokrasi, militer dan intelijen yang opresif gagal mencegahaksi industrial. Malah, rupanya hal ini justru mendorong serikat pekerjabawah tanah dan aksi mogok liar (wildcat strike-action), di mana kira-kira81% dari aksi ini terutama berhubungan dengan �isu pengupahan dankesejahteraan� dasar, yang menurut pemerintah sudah di bawahkontrolnya. (Suwarno and Elliott, 2000, 139).24 Serikat pekerja yang aktiftetapi tidak diakui, seperti SBSI25 dan Solidaritas terus bermunculandan dalam kasus SBSI semakin menguat meskipun usaha terbaikpemerintah, termasuk memenjarakan dan berlaku brutal terhadapanggota dan pemimpin seperti Muchtar Pakpahan, seorang pemimpinpekerja independen yang terkenal. (Suwarno and Elliott, 2000: 137;Zifcak, 1999)

24 Untuk angka mengenai ini dari 1991 sampai 1994 lihat Tjajo (1996) dan Fehring &Lindsey (1995: 5-6).

25 Serikat Buruh Seluruh Indonesia.

1

IV. Reformasi pasca Soeharto

Serikat pekerja � yang sering dikorbankan dan tidak sah dalambanyak kasus � menjadi mitra kunci dalam sebuah koalisi dengan partaipolitik oposisi, organisasi Islam, mahasiswa radikal, masyarakat miskinkota, dan akhirnya faksi ABRI yang menentang Soeharto. Denganlengsernya Soeharto, dan pengumuman segera dari pemerintah Habibieyang berniat me-deregulasi serikat pekerja, serikat pekerja dihadapkanpada dua tantangan utama. Salah satu tantangan ini adalah biasa:bagaimanakah menjamin bahwa perlindungan perburuhan dapatdilaksanakan secara nyata? Yang kedua adalah hal baru: bagaimanakahcara untuk berorganisasi secara efektif dalam iklim baru yangmemungkinkan hal ini dilakukan secara bebas?

Pada saat ini gerakan pekerja Indonesia terpaksa menjalani transisidari pengalaman penindasan dan agitasi untuk menghadapi tantanganyang sangat berbeda dari iklim hubungan industrial modern yang (konon)disesuaikan dengan prinsip ILO. Tugas baru untuk serikat pekerja Indo-nesia adalah aktivitas biasa seperti pengorganisasian di tempat kerja,mewakili para pekerja dan, akhirnya, mereformasi sistem peraturanperundang-undangan. Mereka akan berusaha mengatasi tantangan ini,akan tetapi sekaligus menghadapi dua rintangan yang sangat signifikan.

Pertama, banyak di antara reformasi baru lebih dimotivasi olehkeperluan untuk mencari legitimasi dengan memperlihatkanpengurangan penindasan kasar dari sistem HIP Soeharto, dibandingkankomitmen murni untuk mereformasi pasar tenaga kerja. Denganbeberapa kekecualian yang mencolok, pemerintahan pasca Soehartohanya memperlihatkan sikap kepemimpinan yang lemah dalam halreformasi pasar tenaga kerja, dan memang seringkali instansi-instansi dibawahnya menyabotir perubahan secara diam-diam.

Kedua, sebagaimana disebut di atas, serikat pekerja menghadapiupaya pihak pengusaha di tempat kerja yang menghalang-halangi, olehkarena perusahaan-perusahaan kesulitan mengatasi beban hutang besar-besaran sebagai akibat krisis ekonomi yang mulai pada tahun 1997.Menurut salah satu aktivis perburuhan yang terkemuka, �lebih mudahmenjadi oposisi daripada berorganisasi�.26 Terbentuknya lusinan serikat

26 Teten Masduki, Jakarta, Desember 1999.Lindsey (1995: 5-6).

1

baru telah menyebabkan persaingan dan ketidakkompakan dalamgerakan perburuhan dan banyak di antara serikat baru tersebut tidakdapat mengatasi tantangan berorganisasi di seluruh daerah Indonesiayang jauh satu sama lain, dengan kondisi perekonomian yang palingparah selama empat dekade serta kekerasan antar suku, separatismedaerah dan perlawanan dari para elit Soeharto-Habibie yang lama.

Habibie

Di bawah pengganti Soeharto, Presiden B J Habibie, reformasimeningkatkan liberalisasi hubungan industrial secara drastis. Kontrolpemerintah secara efektif atas serikat pekerja dilepaskan. Sebagaimanatelah disebut, pemerintah Indonesia telah menerapkan banyak konvensiILO dan memberlakukan banyak reformasi peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, di tempat kerja, reformasi Habibie hanyamembawa perubahan yang terbatas bagi kaum pekerja: dengan demikianpemerintahnya dalam banyak hal merupakan tidak lebih dariperpanjangan rezim Orde Baru Soeharto.

Pada tahun 1998, pemerintah Habibie mengeluarkan PeraturanMenteri No.5/1998 sesuai dengan Konvensi ILO No.87 (tentang KebebasanBerserikat dan Perlindungan Hak Berserikat). Peraturan tersebutmenggantikan Peraturan Menteri No. 3/1993 yang banyak dikritik sertamemberlakukan sistem pendaftaran serikat pekerja yang baru dan secaraefektif menghentikan monopoli yang dulu dimiliki federasi SPSI. Akantetapi, para pekerja dan LSM menganggap peraturan ini gagal memuatketentuan dalam Konvensi. Secara khusus, peraturan ini memperkuatketentuan dalam UU Ketenagakerjaan No. 25/1997 yang dibuat pada masapemerintahan Soeharto (dibahas di bagian berikut) denganmengisyaratkan berbagai bentuk dan struktur tertentu, yang sangatmembatasi organisasi pekerja yang baru maupun juga mengisyaratkanserikat pekerja disetujui pemerintah melalui Kantor Departemen TenagaKerja setempat. Peraturan ini juga membatasi kebebasan para pekerjauntuk membentuk organisasi berdasarkan pandangan politik, jeniskelamin dll. Dalam kenyataan, peraturan ini � yang diterima ILO sebagaipelaksanaan Konvensi (ILO, 1999:8-9) � tidak menciptakan suasanabebas untuk berserikat sebagaimana diharapkan para pekerja.

Pada waktu bersamaan dengan pemberlakuan peraturan No.5/1998,pemerintah juga membebaskan beberapa tokoh aktivis serikat pekerja,

1

termasuk Muchtar Pakpahan, dan tidak lama kemudian Dita Sari.Sebagai ketua serikat oposisi yang independen dan tidak diakui, SBSI,27

Pakpahan dipenjarakan berdasarkan dakwaan palsu terkait dengankerusuhan di Medan dan Jakarta, di mana dia tidak hadir, kemudianditahan kembali setelah dakwaan dari insiden Medan telah dibatalkan.Sewaktu dibebaskan, dia masih menunggu persidangan yang terus-menerus ditangguhkan berdasarkan dugaan mengenai kerusuhan diJakarta, sementara kesehatannya semakin memburuk (Zifcak, 1999: 362-4). Sejak pembebasan tokoh ini serta yang lain, 21 federasi serikat yangberbeda telah terdaftar (ILO, 1999; 10). Hal ini sebaiknya tidak dianggapsebagai bukti bahwa Peraturan No.5/1998 efektif. Malah peraturan iniberfungsi sebagai rem terhadap pengakuan serikat daripada pendorong.Lusinan, bahkan ratusan serikat telah dibentuk selama 2 tahun terakhirdan kebanyakannya terpaksa beroperasi tanpa didaftar yang merupakanrisiko besar bagi anggotanya (Masduki, 1999).

Pada bulan November 1998, pemerintah juga menangguhkanmemberlakukan UU No. 25 tahun 1997 yang kunci supaya UU tersebutdapat dirubah oleh karena demonstrasi LSM dan serikat pekerja secarabesar-besaran. UU tersebut merupakan salah satu reformasi terakhir daripemerintahan Soeharto, di atas kertas UU ini mengakui kegagalanpendekatan �Pasar� dan keperluan untuk �memperindah� hukumperburuhan Indonesia di mata internasional dengan mencabut banyakdi antara syarat-syarat yang tidak layak. Akan tetapi, hal ini juga adalahinisiatif berdasarkan itikad tidak baik. UU tersebut tetap hanya mengakuiserikat pekerja �pemerintah� SPSI, dan memperkenalkan mekanismetujuh hari untuk persetujuan aksi mogok oleh Departemen Tenaga Kerja,dengan demikian mempertahankan kontrol pemerintah atas aksi indus-trial. UU tersebut juga membatasi hak mogok di satu perusahaan saja,sehingga melarang aksi mogok simpatisan sebagai ancaman terhadapkeamanan dan kepentingan umum. Aksi mogok illegal dianggap tindakpidana dengan sanksi berat, termasuk pemenjaraan.

Sekarang ada kesesuaian paham antara anggota pemerintahreformasi, serikat independen dan cendekiawan bahwa kebanyakankerangka hukum yang tersisa, meskipun lebih baik dibandingkan hukumdi negara berkembang lain, masih tidak konsisten dengan Konvensi ILO

27 Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.

1

terkait (ILO, 1999, 9-16) atau tidak dapat diterima secara politik di In-donesia pasca Soeharto. Perangkat hukum yang lebih kontroversial yangtercakup dalam analisa ini termasuk Keputusan Menteri No. 1 tahun 1994tentang Pembentukan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Di Perusahaan dan UU No. 8tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Sesuai dengan ini, pada akhirnya kelonggaran yang diberikanpemerintah Habibie kepada kaum pekerja gagal mencapai tujuannya,yaitu memperoleh legitimasi bagi pemerintah sementaranya, sepertihalnya dengan reformasi dengan cakupan luas yang diperkenalkan disektor-sektor lain. Pada bulan November 1999, Habibie kehilangan kursiPresiden dan dicemarkan oleh skandal Bank Bali.

Wahid

Abdurrahman Wahid, yang menggantikan Habibie sebagai Presidenpada akhir 1999, berbeda dari pendahulunya oleh karena dia belumpernah menjadi anggota perkumpulan inti di sekitar Soeharto. Akantetapi, dia adalah pilihan kompromi untuk Presiden sehingga harusmemerintah dengan dasar politik yang lemah. Partai PKB28-nya hanyamenang 12% dari total jumlah suara pada pemilu 1999, dan kalah jauhdari partai Soeharto dan Habibie, GOLKAR, serta partai MegawatiSoekarnoputri, PDI-P.29

Pada akhirnya dia adalah pemimpin yang lemah dan masa akhirpemerintahannya, sejak pertengahan 2001, ditandai kelumpuhankebijakan dan ancaman sidang istimewa oleh karena dugaan korupsi.Dengan demikian, reformasi perburuhan yang nyata adalah mustahilsecara politik. Kinerja reformasi perburuhan Wahid hanya sedikit lebihbaik dibandingkan pemerintah Habibie dan tidak terlalu berpengaruhterhadap praktek di tempat kerja.

Selama masa pemerintahan Wahid, perubahan-perubahan dibuatterhadap UU Tenaga Kerja No. 25 tahun 1997, serta UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh diberlakukan untuk menggantikan Peraturan No. 5/1998. UU

28 Partai Kebangkitan Bangsa.29 Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan. Ibu Megawati adalah putri Presiden Indonesia pertama

yang populer, Soekarno. Partai Megawati menangkan 35% dari total jumlah suara, sementaraGOLKAR meraih 26% (menurun dari 76% pada pemilu 1997 yang dimanipulasi, ketika calonnyaadalah Soeharto).

1

ini berisikan jaminan hak-hak pekerja30 untuk berserikat serta persyaratanyang dapat membuat para pekerja mampu membentuk serikatberdasarkan �bidang usaha atau jenis pekerjaan� daripada hanyaperusahaannya, sebagaimana jaman dulu. UU tersebut juga menjaminhak pekerja untuk melakukan perundingan perjanjian kerja bersamaserta untuk memilih serikat mana yang akan mewakilinya dalamperundingan tersebut, sebagaimana diinginkan ILO (ILO, 1999:19).

Megawati

Megawati Soekarnoputri, yang partainya, PDI-P, memenangkanjumlah suara terbanyak (36%) dalam Pemilu 1999 menggantikan Wahidsetelah Wahid diminta memberi pertanggungjawaban atas tuduhankorupsi dan dilengserkan pada tahun 2001. RUU Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial yang merupakan fokus utama dari makalah ini sedangdibahas di DPR..

RUU Tenaga Kerja Di Luar Negeri juga sedang dibahas dan adalahsangat penting sebab krismon31 yang masih berlanjut mendorong semakinbanyak pekerja ke luar negeri.

Bidang reformasi hukum lain yang mungkin di masa dekat adalahjaminan sosial tenaga kerja. Sistem JAMSOSTEK32 yang masih berlakutelah diatur dalam UU No. 3 tahun 1992 dan ganti rugi akibat kecelakaankerja ditangani secara ekslusif melalui perusahaan milik negara, yangsecara umum dianggap tidak kompeten. Sistem ini berdasarkanpengumpulan sumbangan sebesar 10-12% dari upah pekerja, dengan2% didanai pihak pengusaha dan selisihnya oleh para pekerja (Man-ning, 1998:207). Secara teori, manfaat-manfaatnya adalah jaminan sosialuntuk masa pensiun, waktu melahirkan, serta akibat kecelakaan kerja,masa sakit dan kematian, tetapi sama halnya dengan upah minimal,serikat pekerja mengklaim bahwa iuran tidak dikumpulkan secarakonsisten dan uang ganti rugi sering tidak dibayar, bahkan kalaupundibayar jarang dibayar penuh. Usulan yang sedang dibahas termasukmengijinkan perusahaan swasta memasuki pasar tersebut (ILO, 1999:21) serta sanksi yang lebih berat untuk pelanggaran.

30 Kecuali Pegawai Negeri Sipil.31 Krisis Moneter.32 Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

1

Kesimpulan

Hukum hubungan industrial di Indonesia sampai tiga tahun terakhirbertujuan utama untuk mengontrol dan memaksakan tenaga kerja untukmendukung tujuan pembangunan pemerintah. Hal ini tetap benar sejakmasa kolonial, kecuali masa pemerintahan Soekarno yang bercondongsayap kiri, ketika serikat pekerja menikmati pengaruh politik, meskipunsingkat waktunya.

Kebijakan yang bertujuan membatasi dan menindas, menyebabkanpenyelesaian perselisihan hubungan industrial biasanya dilakukan melaluicampur tangan agresif oleh pemerintah atau ABRI, denganmenggunakan dasar hukum yang mengijinkan hal ini atau secara di luarhukum, maupun diam-diam. Reformasi terkini yang diperkenalkandalam suasana ekonomi lemah serta kekacauan sosial dan politik belumbegitu berhasil merubah situasi ini. Hal ini diperlihatkan dalam babberikut yang memberikan tiga studi kasus berkaitan dengan perselisihanhubungan industrial dengan memfokuskan cara penyelesaian yangbiasanya dilakukan dengan cara kekerasan atau paksaan dan di luarrangka hubungan industrial formal yang ada.

Akan tetapi, sekarang RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indus-trial mengusulkan terbentuknya sistem peradilan khusus untukmemberikan penyelesaian perselisihan yang independen. PembuatanRUU ini telah mengantisipasikan bahwa sistem ini dapat mengatasipersoalan yang dijelaskan dalam bab ini dan yang berikutnya, serta bahwapraktek Indonesia dapat disesuaikan dengan praktek Internasional yangterbaik. Bab ketiga dan keempat menganalisa RUU ini secara rinci sertamengajukan usulan untuk perbaikan lebih lanjut.

1

Tujuan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah untukmembentuk sistem penyelesaian perselisihan yang adil dalam perselisihanperburuhan untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia. Bab inimenggunakan tiga perselisihan Indonesia terkini untuk memperlihatkanmengapa hal ini perlu: kasus Shangri La Hotel, kasus �sandal bolong�serta kasus PT Kadera yang menguraikan sifat dari sistem baru yangdiusulkan secara lebih rinci. Bab terakhir (empat) mengidentifikasikankelemahan sistem baru dan mengusulkan amendemen-amendemen lebihlanjut guna menghindari persoalan yang dijelaskan dalam bab ini.

Studi kasus dalam bab ini menjelaskan bahwa sistem yang adasekarang, yang merupakan warisan Orde Baru Soeharto yang diperbaikisecara dangkal dengan reformasi yang diperkenalkan sejak lengsernyaSoeharto memiliki bias terhadap kaum pengusaha, dan seringmengakibatkan campur tangan ABRI serta berkaitan dengan korupsiperadilan dan intimidasi birokrasi. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwakasus-kasus ini telah terjadi seiring dengan krisis ekonomi yang berlarut-larut, deregulasi serikat pekerja, pengurangan subsidi pemerintah atasbahan pokok, maupun kesadaran masyarakat tentang hak-haknya yangsemakin tinggi. Dengan adanya kondisi seperti ini, jumlah perselisihanyang telah diselesaikan tanpa melibatkan persoalan-persoalan sepertiyang dicatat di bawah adalah sesuatu yang mengesankan. Meskipunbegitu, menurut para penulis terjadinya kasus-kasus yang dibahas dalambab ini merupakan bukti terhadap perlunya sistem penyelesaianperselisihan yang baru.

B a b 2

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN

DI INDONESIA :TIGA STUDI KASUS

1

I. Kasus Shangri-La Hotel: Model PerburuhanOrde Baru Tetap Berjalan

Kasus Shangri-la Hotel yang belum rampung telah mendapatbanyak perhatian internasional. Kasus ini merupakan contoh klasik dariakibat politik, ekonomi dan hukum bagi semua pihak dari sistemperselisihan perburuhan sekarang yang memiliki kekurangan. Kasus inimelibatkan perselisihan antara pihak manajemen hotel berbintang limaShangri-la Hotel di Jakarta � yang dimiliki oleh PT Swadharma KerrySatya di Indonesia dan merupakan bagian dari Group Shangri-la yangdimiliki secara internasional � dan 600 karyawannya.

Perselisihan ini muncul pada bulan September tahun 2000 setelahusaha merundingkan kembali Perjanjian Kerja Bersama yangsebelumnya mengatur kondisi pekerjaan bagi semua pihak terkait.Perjanjian ini berlaku sampai bulan Desember tahun 2000. Perundinganini dilaksanakan sesuai dengan UU No. 21 tahun 1954 tentang PerjanjianKerja, yang mengisyaratkan bahwa perundingan untuk perpanjanganPerjanjian Kerja Bersama harus dilakukan paling tidak tiga bulan sebelummasa berlakunya perjanjian yang sebelumnya berakhir. Selamaperundingan semua karyawan diwakili oleh serikatnya, SPMS (SerikatPekerja Mandiri Shangri-la Jakarta), yang terafiliasi dengan InternationalUnion of Food, Agricultural, Hotel, Restaurant, Catering, Tobacco, and Allied Workers(IUF) yang berbasis di Geneva.

Perundingan ini sering mengalami kebuntuan, khususnya perihalmasalah upah masa libur dan pelaksanaan dana pensiun yang telahmenjadi sebagian dari Perjanjian Kerja Bersama dan merupakan halumum di hotel berbintang lima lain di Jakarta. Setelah beberapapertemuan dengan pihak manajemen hotel yang gagal, Presiden SPMS,Bapak Halilintar Nurdin, mengadakan pertemuan pada tanggal 8Desember dengan anggota serikat lain di mana dia diduga menghinaGeneral Manager beserta sekretarisnya.33

Dalam hari-hari setelah pertemuan tersebut, pihak manajemenmenemukan sebuah plakat yang dimiliki Bapak Halilintar yang menurutmereka merupakan penghinaan. Dengan demikian dia dipanggil guna

33 Tidak ada sumber yang menjelaskan apa yang dikatakan Bpk. Halilintar secara persis.Misalnya lihat, International Labour Organisation Governing Body (2001: 96).

1

menghadiri pertemuan di mana dia diduga mengulangi pernyataan yangdiucapkannya pada tanggal 8 Desember. Pada tanggal 22 Desemberpihak manajemen mengirim surat skorsing seraya menantikan pemutusanhubungan kerja kepada Bapak Halilintar, yang mengklaim bahwaperilakunya telah melanggar baik Perjanjian Kerja Bersama maupunPeraturan Depnaker No. 150/Men/2000 tentang Pemutusan Hubungan Kerja .Pasal 18 dari peraturan tersebut menyatakan bahwa dasar untukpemutusan hubungan kerja adalah �menganiaya, mengancam secarafisik atau mental, menghina secara kasar pengusaha atau keluargapengusaha atau teman sekerja�. Dalam komunikasi dengan ILO padatanggal 10 Januari 2001, IUF menyatakan bahwa manajemen hotel telahmenyuap seorang wakil Depnaker setempat agar melancarkan skorsingserta pemutusan hubungan kerja Bapak Halilintar (International LabourOffice Governing Body (2001:93). Depnaker membalas tuduhan ini denganmenyatakan bahwa uang yang diterima adalah pembayaran pesangonyang akan dialihkan kepada seorang mantan karyawan Shangri-la, NurilFuadi, yang terlibat dalam perselisihan terpisah. Diklaim bahwa Nuriltelah memutuskan untuk mengajukan naik banding terhadap penyelesai-an, sehingga pembayaran tersebut tidak dapat dilakukan segera setelahkejadian tersebut (International Labour Organisation Governing Body, 2001:97).

Pemogokan

Meskipun demikian, skorsing Halilintar menimbulkan emosi kuatdi antara rekan-rekannya. Sepertinya manajemen hotel mengantisipasiakan adanya reaksi oleh karena terbukti sejak pagi hari pada tanggal 22December 2000, manajemen telah menyiapkan tambahan sekuriti sertatelah meminta kehadiran anggota polisi dan militer (International LabourOffice Governing Body, 2001:93). Akan tetapi hal ini tidak mencegahkaryawan hotel berkumpul di lobby hotel, di mana merekamenandatangani petisi yang memprotes skorsing tersebut kemudianmereka mencegah para tamu serta karyawan lain memasuki hotel. Setelahkejadian tersebut SPMS mengklaim bahwa protes tersebut tidak berniatmenghentikan semua kegiatan hotel, oleh karena tidak melibatkan semuaanggota serikat yang bertugas, serta bahwa tidak ada usaha untukmemaksakan siapapun untuk meninggalkan hotel (International LabourOrganisation Governing Body, 2001:93). Meskipun demikian, pada sore haritanggal 22 Desember, manajemen hotel memulai memindahkan para

1

tamu hotel ke hotel lain di Jakarta dan beberapa jam kemudian menutupsemua operasi hotel.34

Evakuasi

Setelah beberapa hari di mana para karyawan menduduki lobbyhotel, manajemen hotel meminta pihak kepolisian untuk mengusirnya.Pada tanggal 26 Desember tahun 2000, kira-kira 350 anggota polisimenindaklanjuti permintaan tersebut dan selama pengusiran polisimemecahkan sebuah pintu kaca serta merusak lemari karyawan (pihakmanajemen kemudian membayar ganti rugi atas kerusakan tersebut).Kemudian mereka mengangkut 20 pengurus serikat ke Polres JakartaPusat di mana mereka ditahan selama satu hari. Pihak manajemenkemudian mengamankan wilayah hotel dengan mencegah pengurusserikat mengakses kantornya di lantai basemen hotel.

Kegiatan usaha hotel tutup setelah kejadian ini dan pada awal bulanJanuari tahun 2001, pihak manajemen mengirim surat kepadakebanyakan karyawan hotel yang menyatakan bahwa keikutsertaanmereka dalam aksi mogok mengakibatkan pemutusan hubungan kerjadi hotel kecuali apabila mereka menandatangani surat pernyataan yangsah dan berisikan bahwa mereka menyetujui untuk membatalkankeanggotaanya dalam SPMS (International Labour Organisation Governing Body,2001:94).

Akan tetapi, setelah ini para karyawan tetap melakukan aksi protesdi luar hotel. Pada tanggal 20 Februari tahun 2001, ada insiden kekerasandi suatu protes seperti yang tersebut. Setelah kekerasan ini, MuhammedZulrahman, bendahara SPMS dan seorang karyawan hotel harus masukrumah sakit oleh karena luka-luka terhadap bagian kepala, bibir pecahyang memerlukan jahitan, dan kehilangan gigi. IUF mengklaim bahwaZulrahman diserang oleh Kaleb Ehanusa, seorang pengawal untuk salahsatu pemegang saham mayoritas Hotel Shangri-la Jakarta, Osbert Lyman(Goss, 2001). Akan tetapi Depnaker mengklaim bahwa Zulrahmanterlibat dalam perkelahian dengan seseorang yang tidak memilikihubungan dengan Shangri-la (International Labour Organisation GoverningBody, 2001:93).

34 Akan tetapi Acara Makan Malam untuk merayakan kemerdekaan Korea Selatan yangdijadwalkan pada malam hari tanggal 22 Desember tetap dilaksanakan.

1

Pada hari yang sama, Gubernur Jakarta, Sutiyoso, mengumumkanbahwa dia akan menyediakan pengamanan khusus kepada Hotel apabilaHotel memutuskan untuk membuka usaha kembali dengan karyawanyang �tidak terlibat aksi mogok� (Goss, 2001:93). Pernyataan inimendapat kritikan keras dari advokat hak pekerja yang mengatakanbahwa pernyataan itu memperlihatkan niat melanggar Pasal 28 UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang menyatakan bahwamenghambat kegiatan serikat adalah pelanggaran (�Serangan Balik untukShangri-La�, 2001). Meskipun demikian, Hotel dibuka kembali padatanggal 17 Maret tahun 2001 dengan karyawan baru yang bukan anggotaserikat. Menurut laporan berita, Hotel telah menerima empat ribupermohonan pekerjaan. Laporan-laporan tadi juga memperkirakanbahwa penutupan hotel selama tiga bulan telah mengakibatkan kerugiansebesar US$8,59 juta (�Shangri-la to Accept Verdict on Labor Row�,2001).

Arbitrase

Pada tanggal 11 Mei tahun 2001, perselisihan tersebut didengaroleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pusat (P4P),untuk diarbitrase. Para karyawan mengatakan bahwa mereka tidakberniat menutup Hotel dan bahwa pihak manajemen Hotel memilihuntuk menutup usaha Hotel sebagai bagian dari strategi untukmemperlemah daya runding pihak karyawan.

Akan tetapi, panitia memutuskan bahwa aksi mogok spontanmelanggar hukum oleh karena dilakukan tanpa perizinan dari PanitiaPenyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Daerah ( P4D),Pemerintah Kota atau Kepolisian. Dengan demikian Panitiamempertimbangkan bahwa hal ini menyebabkan pihak Hotel berhakmemutuskan hubungan kerja para karyawan, termasuk Wakil SekretarisSPMS, Bapak Timron, yang pada saat aksi mogok itu sedang berlibur diMedan. Panitia juga memutuskan bahwa oleh karena pelanggarantersebut tidak berat, para karyawan masih berhak mendapatkanpesangon. Sesuai dengan Peraturan Depnaker No. 150/Men/2000pembayaran ini dihitung secara keseluruhan berdasarkan jangka waktupekerjaan, jaminan kesehatan dan gaji satu bulan.

Semua kecuali 79 karyawan menerima putusan ini dan melakukanpenyelesaian dengan manajemen Hotel. 79 karyawan yang menolak

1

untuk menyelesaikannya segera menyatakan niatnya untuk mengajukannaik banding kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN)serta untuk meminta ILO membuat rekomendasi formal pada saatpertemuan Governing Body berikutnya di Geneva.

Putusan ini terjadi pada waktu bersamaan dengan perkara perdataterhadap para karyawan disidangkan di Pengadilan Negeri JakartaSelatan. Dalam perkara ini manajemen Hotel menuntut ganti rugisebesar kira-kira IDR 80 milyar ($US8 juta) dari beberapa pengurusSPMS serta wakil IUF dari Indonesia. Peninjauan kembali terhadappemutusan hubungan kerja Bapak Halilintar (yang menjadi tergugatdalam perkara tersebut) dilakukan oleh P4D. Panitia mempertimbangkanbahwa tindakannya sebagai pemimpin serikat adalah pelanggaran beratdan bahwa pihak manajemen Hotel adalah benar dalam memutuskanhubungan kerjanya (Ibid, 97). Pada waktu itu rupanya Bapak Halintarmerubah posisinya dengan menerima penyelesaian yang ditawarkanpihak manajemen Hotel yang dilaporkan adalah sebesar IDR 30 juta($US3000) (�Demo Karyawan Shangri-la Tuntut Pengadilan TolakGugatan Manajemen�, 2001). Kemudian dia menuduh IUF telahmenghasut para karyawan untuk meneruskan perjuangannya terhadapHotel (�Fired Hotel Workers Vow To Fight On�, 2001) kemudian pihakmanajemen menarik namanya dari daftar pengurus serikat yang tergugatdalam perkara perdata ganti rugi.

Perkara Perdata

Pada tanggal 1 November tahun 2001, Hakim I Gede Putra Djadnyadari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memerintahkan tujuh pengurusserikat untuk membayar ganti rugi sebesar IDR 20,7 milyar (US$2,2juta) dari jumlah IDR 80 milyar yang dituntut manajemen Hotel olehkarena pencemaran nama baik, kerusakan terhadap sarana Hotel dankerugian sebab penutupan usaha Hotel.35 Sepanjang putusan, hakimmenyebut bahwa aksi mogok tersebut melanggar hukum dan jugamemerintahkan ketujuh tergugat untuk menulis permintaan maaf kepadapihak manajemen Hotel yang diterbitkan dalam lima koran nasional.Setelah ini pihak manajemen Hotel menawarkan untuk melepaskan

35 No Perkara 22/Pgt.G/2000/PN Jaksel.

1

haknya atas ganti rugi tersebut apabila para karyawan menarikbandingnya terhadap putusan P4P dan menyetujui untuk tidakmengajukan gugatan lain (Yasin, 2001). Akan tetapi, para tergugatmenyatakan bahwa mereka tetap akan mengajukan naik banding danlebih lanjut akan mengajukan naik banding terhadap putusan perdatakepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

Putusan Pengadilan Negeri mendapat kritikan keras dari baikadvokat pekerja dan anggota pemerintah (�Dita Threatens Action�, 2001).Menteri Tenaga Kerja, Jacob Nua Wea, bahkan menggambarkan putusantersebut �gila� (�Menakertrans Kecewa Dengan Putusan PengadilanKasus Shangri-La�, 2001).

Desakan dari ILO

Pada tanggal 15 November tahun 2001, Governing Body ILOmendengarkan kasus yang diajukan terhadap pemerintah Indonesia olehIUF (International Labour Organisation Governing Body, 2001: 92�100).Diputuskannya bahwa Pemerintah telah bertindak secara tidakmendukung terhadap pelaksanaan Konvensi ILO No. 87 tentang KebebasanBerserikat dan Konvensi ILO No 97 tentang Hak Berserikat yang keduanya telahditandatangani Indonesia. Khususnya ILO mengkritik penahanan wakilserikat oleh kepolisian, dan meminta dilakukannya peninjauan peradilanindependen terhadap luka-luka yang diderita Zulrahman. ILO jugamerekomendasi bahwa Pemerintah harus mengambil langkah konkrituntuk menjamin semua karyawan yang tidak menerima penyelesaianyang ditawarkan pihak Hotel untuk dipekerjakan kembali.

Manajemen Hotel cepat membalas ini dengan mengatakan bahwaputusan ILO hanya bersifat rekomendasi dan tidak mempunyai kekuatanhukum tetap di Indonesia. Penasehat hukum para karyawan menekankanbahwa baik pengadilan maupun pemerintah seharusnya memperhatikanrekomendasi ILO oleh karena status Indonesia yang telahmenandatangani konvensi-konvensi tersebut (�Serangan Balik untukShangri-La�, 2001).

Naik Banding

Ternyata bahwa rekomendasi ILO membawa dampak oleh karenaPTUN memenangkan pihak karyawan dalam putusannya terhadap naik

1

banding dari Panititia P4P pada tanggal 26 Maret tahun 2002. Pengadilanmembatalkan putusan P4P dan menyatakan bahwa lembaga adminis-tratif tidak berwenang untuk memutuskan bahwa aksi mogok terkaitmelanggar hukum oleh karena pihak Hotel belum mengajukan tuntutankepada polisi secara resmi. Kemudian Pengadilan menggantikan putusanP4P dan memerintahkan bahwa ke-79 karyawan dipekerjakan kembali.

Beberapa hari setelah putusan PTUN dikeluarkan, P4P danShangri-la mengumumkan mereka akan mengajukan kasasi padaMahkamah Agung, Pengadilan yang berhak mengeluarkan putusan akhirdalam sistem peradilan Indonesia. Pada waktu penulisan, para tergugatsedang mengajukan naik banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta.

Komentar

Biaya politik dan ekonomi adalah tinggi untuk semua pihak yangterlibat dengan pemogokan dan proses hukum berikutnya yang memakanwaktu lama: banyak di antara para karyawan yang melakukan aksi mogoksedang menganggur; beberapa anggota serikat telah diperintahkanmembayar jumlah ganti rugi yang tidak mungkin mereka bisa dapatkansetelah bekerja seumur hidup; manajemen Hotel Shangri-la mengalamikerugian finansial signifikan serta pencemaran reputasi; Group Shangri-la telah kehilangan tender penting;36 dan pemerintah Indonesia terpaksamembela dirinya terhadap kritikan internasional. Bahkan, delapan belasbulan kemudian perselisihan tersebut belum selesai.

Hadi Wasikoen, seorang anggota Komisi VII DPR (Dewan PerwakilanRakyat) - lembaga parlemen yang bertanggungjawab atas reformasi in-dustrial � menyesal bahwa �hal-hal seperti ini terus terjadi oleh karenapihak pengusaha tidak memiliki akses kepada mekanisme untukpenyelesaian perselisihan hubungan industrial� (Susanto, 2001). KantorILO Cabang Jakarta menyetujui hal ini dengan mengatakan bahwa �yanglogis adalah memberlakukan suatu undang-undang yang mendorongperundingan bersama dengan pihak pengusaha agar mencegah persoalandan menyelesaikan perselisihan secepat mungkin.�37 Akan tetapi, jelasbahwa reformasi seperti ini tidak akan tercapai tanpa perubahan besar-

36 Misalnya, lihat Robinson (2002: 6).37 Carmello Noriel, sebagaimana dikutip dalam �Labor Problems �Due to Same Old Sys-

tem�� (200).

1

besaran terhadap Panitia-Panitia Penyelesaian Perselisahan Perburuhan(P4P dan P4D). Instansi-instansi ini adalah warisan Orde Baru dan sistemHubungan Industrial Pancasila yang telah dibahas dalam bab terdahulu,dan oleh karena itu tidak terbiasa bekerja dalam suasana hubungan in-dustrial yang terbebas dari campur tangan militer dan larangan terhadapserikat non-pemerintah. Semua wakil pekerja di panitia ini misalnya,adalah dari SPSI38 � serikat yang dikuasai pemerintah Orde Baru.Lagipula, panitia-panitia ini sangat korup dan kekurangan pengertianterhadap peraturan perundang-undangan yang relevan � khususnya ditingkat daerah (�Jacob Nuwa Wea: Banyak Pejabat Disnaker Tak TahuSoal Buruh�, 2002). Akibatnya, kebanyakan putusannya diajukan naikbanding atau tidak dihiraukan (�Memintas Keadilan buat Buruh�, 2001).

RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dibahasdalam bab 3 dan 4 yang berikut dapat membantu menyelesaikankebanyakan masalah ini dengan menghapus P4P dan P4D. RUU tersebutjuga memuat larangan jelas terhadap pengusaha yang memutuskanhubungan kerja seorang pekerja oleh karena keanggotaanya denganserikat pekerja atau keikutsertaan dalam aktivitas serikat pekerja (Psl.163), larangan terhadap pihak pengusaha yang menggantikan pekerjayang melakukan aksi mogok (Psl. 146), serta menegaskan kembali hakpekerja untuk menjadi anggota serikat pekerja independen (Psl. 115).39

Akan tetapi, RUU tersebut juga telah dikritik karena kurang mereformasisistemnya secara memadai untuk mencegah kejadian seperti Shangri-laterulang kembali. Misalnya, RUU tersebut memuat satu pasal yangmenyatakan bahwa seorang pekerja dapat diputus hubungan kerjanyatanpa pembayaran uang pesangon, apabila telah melakukan�pelanggaran berat� (Psl. 158). Oleh karena pelanggaran seperti initermasuk �mencemarkan nama baik perusahaan�, pasal ini dapatditerapkan terhadap pekerja seperti dalam perselisihan Shangri-la.Walaupun, rupanya Menteri Tenaga Kerja mempunyai komitmen yangsungguh-sungguh terhadap reformasi ini, harus ditunggu sampai RUUini diterapkan dalam perselisihan industrial sebelum dapat diketahuiapakah pemerintah benar-benar ingin memperbaiki sistem, atau apakahpemerintah hanya memberlakukan RUU di atas kertas agar dilihat

38 Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.39 Hak ini telah ditetapkan dalam UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh,

Psl. 5.

1

menyesuaikan diri dengan kewajibannya menurut Konvensi ILO yangdiratifikasi pemerintah sebelumnya, sebagaimana halnya dengankebanyakan reformasi yang diperkenalkan sejak tahun 1998.

II. KAsus �Sandal Bolong�: MengkriminalkanSerikat Pekerja

Kasus yang dijuluki �Sandal Bolong� melibatkan perusahaan yangdipimpin orang Taiwan, PT Osaga Mas Utama, dan salah satukaryawannya yang berusia 25 tahun, Hamdani. Pada tanggal 10 Agustustahun 2000, Hamdani ikut serta dalam aksi mogok. Para karyawan dipabrik perusahaan di Tangerang menuntut pelaksanaan haknya menurutperaturan perundang-undangan terhadap jaminan kesehatan sertadipekerjakan kembali sembilan rekannya. Kurang sebulan kemudianpada tanggal 4 September tahun 2000, Hamdani ditahan dan dituduhmencuri sepasang sandal milik perusahaan dari luar masjid perusahaan.Setelah itu Hamdani diputus hubungan kerjanya.

Hamdani, yang beragama Islam, membela dirinya denganmengatakan dia hanya meminjam sandal tersebut untuk menjalankansholat Jumat dan menjelaskan bahwa sandal tersebut sudah lama danbolong. Memang sudah hal biasa di Indonesia bahwa suatu perusahaanmenyediakan sandal cadangan untuk dipakai dalam melakukan wudlusebelum sholat. Dia berusaha dipekerjakan kembali melalui arbitrase diP4D Tangerang, yang memenangkan pihak pengusaha. Kemudian diamengajukan naik banding ke P4P yang pada tanggal 5 September tahun2001 memutuskan bahwa PT Osaga Mas Utama berhak memutuskanhubungan kerja Hamdani. Seolah-olah menaburkan garam di luka-lukanya, Hamdani kemudian didakwakan melakukan pencurian menurutpasal 362 Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP),40 yang sanksimaksimal adalah lima tahun kurungan.

Perkara ini disidangkan di Pengadilan Negeri Tangerang,41 di manaJaksa Penuntut Umum, Misbah, mengusulkan bahwa Hamdani perlu

40 Kekurangpercayaan terhadap sistem peradilan telah mengakibatkan banyak orang In-donesia menyindirnya dengan mengatakan arti KUHP adalah �Kasih Uang, Habis Perkara�.

41 No Perkara 587/Pid.b/2001/PN Tangerang.

1

dihukum kurungan lima bulan. Majelis Hakim yang diketuai HakimSuprapto dalam putusannya menyatakan bahwa walaupun pelanggaranHamdani tidak berat, perbuatannya telah merugikan keutuhanmasyarakat dan dengan demikian patut dihukum kurungan dua bulan24 hari kurungan. Kebetulan waktu kurungan ini adalah sama persisdengan masa tahanan yang sudah dijalankannya di LembagaPemasyarakatan Remaja Tangerang selama menunggu persidangan,sehingga dia dibebaskan pada hari putusan dijatuhkan.

Mengkriminalkan pekerja

Kasus ini adalah contoh baik terhadap bagaimana hukum pidanaditerapkan dalam perselisihan perburuhan yang tidak melibatkan unsurpidana maupun bagaimana penerapan hukum pidana tidakmenguntungkan para pekerja. Pada bulan Februari tahun 2002, setelahberbagai perkara seperti ini di mana KUHP dipakai untuk menghukumaktivis pekerja dan �mematahkan� serikat, suatu kelompok aktivisperburuhan Indonesia mengajukan pengaduan ke DPR yang mengkalimbahwa sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesiamengkriminalkan serikat pekerja (�Buruh �Sandal Bolong� Mengadu keDPR� , 2002). Kelompok tersebut menyebut bahwa para pengusahasemakin sering menggunakan pasal 335 yang melarang �perbuatan yangtidak menyenangkan terhadap orang lain�42 tetapi sekarang disebutsecara tidak resmi sebagai �melanggar hak pengusaha� (Susanto, 2001).

Pengaduan ini kelihatan benar apabila dibandingkan perlakuanyang lebih ringan terhadap terdakwa yang tidak tergabung serikat pekerjayang didakwakan menurut KUHP. Misalnya, tidak lama sebelum perkaraHamdani, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Ari Sigit � cucumantan Presiden Soeharto � dengan kurungan dua bulan 22 hari karenakepemilikan senjata dan bahan peledak secara tidak sah. Hal ini terjadimeskipun hukuman maksimal menurut pasal terkait adalah hukumanpenjara seumur hidup. Mirip dengan kejadian ini, baru-baru iniPengadilan Negeri Jakarta Timur menghukum pengusaha Amrin Gobeldengan kurungan tiga bulan 15 hari setelah terbukti terlibat pembunuhandua karyawan yang melakukan aksi mogok.43

42 Perbuatan yang tidak menyenangkan terhadap orang lain.43 Lihat kasus PT Kadera di bawah.

1

Perbedaan perlakuan terhadap anggota serikat di satu sisi, dan disisi lain pelaku kriminal elit, jelas menghambat pemulihan kepercayaandalam sistem peradilan Indonesia. Apalagi meneruskan propoganda OrdeBaru yang mengatakan pada dasarnya serikat pekerja adalah �salah� sertamenghubungkannya dengan kegiatan komunis yang melawan hukumdan subversif.44 Sebagaimana diargumenkan dalam bab pertama,meskipun retorika reformis dalam hal hubungan industrial pascaSoeharto, pemerintah Indonesia lambat bertindak untuk melepaskanperanan utama yang dimainkannya dalam hubungan industrial selamakebanyakan masa pemerintahan Orde Baru. Demikian, misalnya, RUUbaru (sebagaimaan dibahas dalam bab ketiga dan keempat) masihmelarang aksi mogok bagi karyawan dalam sektor �pokok� dan sangatmembatasi hak mogok bagi karyawan dalam sektor �penting� (Psl. 147).RUU ini juga mengisyarakan kurungan maksimal dua tahun bagi pegawainegeri sipil yang mogok. Tetapi barangkali yang terpenting adalah pasal77 yang mengisyaratkan sanksi maksimal enam bulan kurungan apabilaaksi mogok dilakukan pada saat perkara terkait ditangani pemerintah.45

Proses mengkriminalkan serikat pekerja dapat dilihat sebagai akibatdari desakan pihak pengusaha yang frustrasi karena sedang kesulitanbertransisi dari suasana politik baru di mana pemerintah tidak lagimengontrol pekerja seketat dan seagresif pada masa lalu. Barangkalihal ini juga mencerminkan semakin banyak desakan dari pengusahayang termotivasi retorika pasca Soeharto dan secara bersamaan dihadapidesakan sosial yang begitu besar dan disebabkan upah riil yang berkurangserta pengangguran luas yang diakibatkan krisis ekonomi Indonesia yangberlarut-larut.

III. Kasus PT Kadera: Kekerasan Negara sebagaiPenyelesaian Perselisihan

Kasus PT Kadera adalah contoh jelas terhadap praktek yangsemakin sering digunakan untuk melibatkan �pihak ketiga� (yang biasanyamelakukan kekerasan) dalam perselisihan perburuhan sebagai respon

44 Misalnya, lihat Heryanto (1999).45 Pasal 77, sebagaimana dibahas di atas.

1

terhadap ketiadaan sistem penyelesaian perselisihan perburuhan yangmemadai. Kebanyakan pihak tersebut adalah, atau berhubungan eratdengan, preman atau kelompok preman yang dapat bertindak secarakebal hukum yang terutama disebabkan perlindungan dan kerjasamadari faksi di dalam kepolisian dan militer.

Pada tanggal 29 Maret tahun 2001, 300 karyawan di pabrikpelapisan kain mobil yang dioperasikan oleh PT Kadera berdemonstrasidan melakukan pemogokan untuk menuntut peningkatan upah. Tidaklama kemudian, kira-kira 500 laki-laki tak dikenal datang di tempatkejadian dengan mengenakan ikat kepala yang bertulisan �MasyarakatCinta Investor�. Mereka datang naik bus dan membawa tongkat besi,botol kaca, parang, pisau dan bahan peledak. Dalam kekerasan yangberikut, seorang karyawan muda terbunuh karena ledakan, sementaradelapan karyawan lain masuk rumah sakit karena luka tusukan di bagianperut atau gegar otak. Salah satu di antaranya meninggal beberapa harikemudian.

Penyidikan polisi mengenai kejadian tersebut mengumumkan bahwakekerasan dilakukan oleh dua geng yang berbeda. Yang pertama adalahgeng Banten yang diduga memiliki hubungan dengan Maman Rizal,seorang anggota Pemerintah Kota Serang (di propinsi Banten yang barudibentuk). Geng tersebut berbasis di Warakas, Jakarta Utara danberjumlah paling tidak 70 orang dan memakai kedok sebuah sekolahbela diri di Banten. Pemimpin kelompok tersebut, Sugianto (alias Abi),mengaku telah menerima IDR 27 juta (US$2700) dari Wakil Manajerdan kepala personalia PT Kadera, Amrin Gobel (�Polisi TangkapPenggerak Penyerang Buruh PT Kadera�, 2001).

Kelompok yang lainnya dipimpin seorang preman asal Ambon,Palemesen Masahuwa. Belum jelas apakah kelompok ini memilikihubungan dengan seorang preman bernama Abubakar yang juga beradadi lokasi serangan di PT Kadera dan merupakan anggota organisasisekuriti yang dipekerjakan PT Timor di zona industri Cikampek, Jakarta.Bahan peledak yang ditemukan yang dimiliki anggota organisasi lain,adalah jenis yang sama dengan bahan peledak dibuat orang Ambon yangdipakai dalam aksi bom di Cikoko dan Duren Sawit.

Kehadiran Abubakar pada saat serangan tersebut mungkin dapatmerupakan bukti adanya hubungan dengan militer, oleh karena diamengaku kepada polisi bahwa dia dibayar IDR 300,000 (US$30) olehseorang bernama Kino untuk melemparkan bom molotov ke dalam

1

kerumunan massa. Bapak Kino yang sulit ditemukan dan konon dipanggilTikino dilaporkan adalah anggota Kostrad (Taufik et al (2001)).Sementara, penasehat hukum keluarga korban PT Kadera, ZainudinParu, mengklaim bahwa Brimob serta Kepala Polisi terlibat dalammasalah ini. Dia telah menyatakan bahwa meskipun polisi berada dilokasi selama serangan tersebut, anggota polisi tidak berusahamenghentikannya (�Catatan Akhir Tahun FNPBI: Buruh Bangkit,Ditindas Kian Keras� (2001)). Sampai sekarang penyidikan terhadapperanan polisi dan militer dalam serangan tersebut belum membuahkanhasil konkrit.

Pada saat ini 7 preman sedang diadili Pengadilan Negeri JakartaTimur atas dakwaan menggunakan kekerasan sesuai Pasal 170 KUHP.46

Berdasarkan bukti yang disampaikan Sugianto, Wakil Manajer PTKadera, Amrin Gobel, dihukum tiga bulan 15 hari kurungan sesuai Pasal335 karena menghasut orang lain untuk melakukan perbuatan yang tidakmenyenangkan kepada pihak ketiga. Akan tetapi, dalam putusannyaHakim Dharma Belo dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakanbahwa Gobel hanya terlibat dalam memanggil pihak ketiga untukmendorong perundingan dalam perselisihan tersebut. Hakim Surya jugamenyebut sikap terdakwa yang sopan selama persidangan, usahanyadalam menjamin pelayanan kesehatan bagi karyawan yang terluka, sertauang belasungkawa yang diberikan kepada keluarga korban yangmeninggal dalam serangan tersebut.

Wartawan independen telah mengemukakan bahwa putusan dalamperkara Gobel melibatkan kolusi antara anggota majelis hakim, terdakwadan bahkan jaksa penuntut umum, Taufik Hidayat (�Pengacara KorbanKadera Tuduh ada Permainan Persidangan�, 2001). Bahkan Gobel tidakdidakwa atas dasar Pasal 55 KUHP yang mengisyaratkan bahwa merekayang terbukti memberi atau menjanjikan sesuatu denganmenyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dapat dihukum sebagimanamereka sendiri yang melakukan perbuatan tersebut. Apabila dia didakwaatas menghasut kekerasan yang menyebabkan kematian kedua korbantersebut, penerapan Pasal 55 dapat mengakibatkan hukuman kurungansampai dengan lima belas tahun untuk setiap perbuatan.

46 No Perkara 811/Pid/b/2001/PN Jaktim.

1

Kekerasan Hubungan Industrial Sistematis

Kasus PT Kadera jelas memperlihatkan sifat kekerasan sistematisdalam perselisihan hubungan industrial di Indonesia. Reaksi pertamadari pihak pengusaha terhadap mogok kerja tidaklah untuk mencari jalurhukum, tetapi memanggil pihak ketiga atau preman serta polisi untuk�menyelesaikan� perselisihan secara tidak resmi, jelas-jelas denganharapan bahwa kekerasan akan dilakukan. Sebagaimana halnya denganstudi kasus di atas, hal ini dapat dilihat sebagai akibat dari kekuranganmekanisme hukum yang efektif untuk penyelesaian perselisihanhubungan industrial.

Perubahan nyata dalam sistem tersebut, dengan demikian, hanyadapat terjadi setelah penghapusan pola �Hubungan Industrial Pancasila�yang digunakan rezim Soeharto untuk memperlemah penyelesaianperselisihan perburuhan formal, mencegah perwakilan pekerja efektifdan memfasilitasi perbuatan-perbuatan semacam ini.47 Oleh karena itu,pengumuman Menaker baru-baru ini bahwa reformasi hubungan in-dustrial dapat menghapus keseluruhan konsep �Hubungan IndustrialPancasila� adalah langkah ke arah yang benar (�Pancasila Tidak LagiDipakai Dalam UU Ketenagakerjaan�, 2002), serta pula persyaratandalam RUU yang menetapkan bahwa pemerintah bertanggungjawabuntuk memajukan pengertian dari sistem hubungan industrial barukepada pihak-pihak yang terlibat langsung maupun masyarakatkeseluruhan (Psl. 154-9). Akan tetapi, sekali lagi isu pokok adalah apakahretorika positif ini dapat sungguh-sungguh dilaksanakan di �lapangan�secara memadai untuk mewujudkan perubahan riil.

Kesukuan dalam Perselisihan Perburuhan

Salah satu isu lain yang dikemukan oleh kasus tersebut adalahdimensi kesukuan dalam aksi kekerasan. Sebagai akibat krisis ekonomiyang mengikuti lengsernya Soeharto dan yang tetap ada sejak itu adalahbahwa geng-geng yang bersaing sedang terlibat saingan keras untuk baikoperasi pemerasan dan pekerjaan sah. Sentralisasi perekonomian Indo-nesia yang tajam telah mengakibatkan migrasi besar-besaran ke Jakartasehingga banyak geng terbentuk berdasarkan kesukuan dan sangat tidak

47 Misalnya, lihat Lindsey dan Masduki (2002); dan Thamrin (1999).

1

ingin pendatang baru mengambilalih operasinya � serta tempat kerjanya.Suatu contoh terkini adalah taktik pemerasan yang dipakai Forum BetawiRembug (FBR) untuk mendanai proyeknya untuk membangun �PusatPelatihan Pekerja� bagi kaum Betawi asli senilai IDR 16 juta (US$1.600)(Junaidi and Siboro (2002).

Usaha menuju otonomi daerah dan pemberlakuan UU No. 22 tahun1999 tentang Pemerintah Daerah semestinya meningkatkan kesempatan kerjadi luar Jakarta, Surabaya dan pusat urban lain di Jawa dan hal inibarangkali juga dapat mengurangi perang geng atas pekerjaan di kota-kota besar ini. Akan tetapi, masalah operasi pemerasan dengan kolusibersama militer atau polisi hanya dapat diselesaikan ketika sistemperadilan Indonesia mampu mendakwa dan menghukum pelanggarsecara transparan dan layak.

1

Bab pertama menguraikan latar belakang reformasi hukumpenyelesaian perselisihan perburuhan di Indonesia serta menjelaskansistem yang dikembangkan di bawah Orde Baru Soeharto dan paketreformasi kunci yang diperkenalkan sejak waktu itu. Bab Keduamemberikan tiga studi kasus dari perselisihan terkini yangmenggambarkan baik cara kerja sistem �Hubungan Industrial Pancasila�Orde Baru dan bagaimana reformasi-reformasi hanya mencapai sedikithasil secara relatif dalam memperbaiki penyelesaian perselisihanperburuhan di tempat kerja di Indonesia. Sekarang bab ini beralih keRUU yang sedang dibahas dan bertujuan memperkenalkan strukturkelembagaan penyelesaian perselisihan perburuhan yang benar-benarbaru. Analisa ini dibagi ke dalam dua bagian.

Bagian pertama menguraikan sistem penyelesaian perselisihan baruyang diusulkan secara umum sebagaimana dimuat dalam RUU PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial yang sedang dibahas DPR pada waktupenulisan.

Bagian Kedua mencakup berbagai aspek dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh serta RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan yangjuga sedang dibahas DPR. Hal ini perlu untuk memahami cakupan penuhdari penerapan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yangmemuat definisi tertentu dari perselisihan hubungan industrial yangtercakup dalam RUU tersebut. Pendek kata, perlu untuk menguraikandan memahami berbagai sumber kondisi pekerjaan dalam hukum In-donesia yang ada atau yang diusulkan agar memahami cakupan daripenerapan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Bab Keempat akan menghubungkan materi dalam bab ini dan

B a b 3

BAGAIMANAKAH CARA KERJA

RUU PENYELESAIAN PERSELISIHAN

HUBUNGAN INDUSTRIAL?

1

kedua bab terdahulu dengan mengidentifikasi beberapa kelemahan dariusulan yang terkandung dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan In-dustrial, mengingat latar belakang terkini dari reformasi hukumperburuhan di Indonesia serta mengajukan usulan untuk reformasi RUUtersebut yang lebih lanjut.

I. Uraian Sistem Baru

Arti �perselisihan hubungan industrial� menurut rancanganundang-undang yang baru

�Perselisihan hubungan industrial� adalah �perbedaan pendapatyang mengakibatkan pertentangan� mengenai hal-hal tertentu.�Perselisihan hubungan industrial� dapat timbul antara pengusaha, atauserikat pengusaha di satu sisi, serta seorang pekerja/buruh atau serikatpekerja/serikat buruh di sisi yang lain. Suatu perselisihan juga dapattimbul antara serikat pekerja/serikat buruh (Psl. 1).

Menurut pasal 2, ada empat jenis �perselisihan hubungan indus-trial�:

l perselisihan hak;

l perselisihan kepentingan;

l perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan

l perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satuperusahaan.

RUU menjelaskan definisi dari jenis perselisihan ini secara lebihrinci serta mencantumkan definisi yang relevan untukmengidentifikasikan para pihak dalam perselisihan hubungan industrialsecara lebih jelas. Hal-hal ini dibahas dalam kedua bagian yang berikut.

Apakah yang merupakan pokok persoalan perselisihanhubungan industrial?

Perselisihan hak adalah perselisihan yang �timbul karena tidakdipenuhinya hak yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, atauperaturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, atau perjanjianbersama atau peraturan perundang-undangan.� (Psl. 1(2)). Perjanjian

1

kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama diatur dalamRUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan.48 Jelas bahwa perselisihanhak adalah perselisihan yang berhubungan dengan penerapan syarat-syarat kerja yang ada secara benar. Perselisihan ini berhubungan denganapakah para pihak dalam hubungan kerja telah atau tidak memenuhikewajibannya yang ada.

Perselisihan kepentingan adalah suatu perselisihan �yang timbul dalamhubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenaipembuatan, dan atau penafsiran, dan atau perubahan syarat-syarat kerjayang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atauperjanjian kerja bersama� (Psl. 1(3)). Sehingga, perselisihan kepentinganadalah berbeda dengan perselisihan hak. Perselisihan hak berhubungandengan syarat-syarat yang ada serta bagaimana melaksanakannya,sementara perselisihan kepentingan berhubungan dengan apa yangseharusnya merupakan hak. Sekali lagi, perlu ada pemahaman yang jelasmengenai sumber hak dan kewajiban dalam kategori yang berbeda ini.

Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan �yang timbulkarena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiranhubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak �� (Psl. 1(4)).Masalah pemutusan hubungan kerja diatur lebih lengkap dalam RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan.

Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dapat timbul antara serikatpekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain dalamsatu perusahaan karena �tidak adanya persesuaian paham mengenai �pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat-pekerjaan� (Psl. 1(5)). Hal-hal yang mungkin merupakan pokok perselisihan antar serikat adalahmengenai keanggotaan dan hak untuk mewakili para pekerja/buruh,baik dalam perundingan perjanjian kerja bersama serta mengenaipenyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hak-hak ini berasal daribaik UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan.

Pokok persoalan perselisihan hubungan industrial dan sumberkondisi pekerjaan dijelaskan lebih rinci dalam Bagian Kedua dari Babini.

48 �Perjanjian bersama� disebut, tetapi artinya belum jelas: istilah ini tidak tercantum dalamUU Serikat Pekerja/Serikat Buruh atau di bagian lain dalam RUU Penyelesaian Perselisihan HubunganIndustrial.

1

Siapakah para pihak dalam perselisihan hubunganindustrial?

Definisi perselisihan hubungan industrial mengacu kepadapengusaha, serikat pengusaha, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikatburuh. Istilah-istilah ini juga didefinisikan dalam RUU PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial. Penting untuk menganalisa definsi-definisitersebut oleh karena semestinya diasumsikan bahwa hanya pihak-pihakyang memenuhi syarat-syarat terkait dapat menjadi pihak yang terlibatdalam perselisihan hubungan industrial sesuai dengan arti yangdicantumkan dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.Dalam kata lain, hanya pihak-pihak ini yang mendapat akses kepadasistem penyelesaian perselisihan. Dengan demikian:

l �Pengusaha� mempunyai arti sebagai

- �Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yangmenjalankan suatu perusahaan milik sendiri�;

- �Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yangsecara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukanmiliknya�; dan

- �Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yangberada di Indonesia mewakili perusahaan�yangberkedudukan di luar wilayah Indonesia� (Psl. 1(6)).

l �Perusahaan� adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukumatau tidak yang �mempekerjakan pekerja/buruh�, yang mencarilaba atau tidak serta baik dimiliki oleh orang perseorangan,persekutuan, badan hukum, maupun milik negara (Psl. 1(7)).

l �Serikat pekerja/serikat buruh�adalah �organisasi yang dibentukdari, oleh, dan untuk pekerja/buruh � yang bersifat independen,bebas, demokratis, dan bertanggung jawab�. Serikat termasukbaik di perusahaan maupun di luar perusahaan serta federasi ataukonfederasi serikat pekerja/serikat buruh (Art. 1(8)). Definisi inisangat mirip dengan definisi yang tercantum dalam UU SerikatPekerja/Serikat Buruh tetapi tidak secara khusus menyebutkan serikatpekerja/serikat buruh yang mempunyai nomor bukti pencatatansebagaimana dapat diperoleh menurut UU Serikat Pekerja/SerikatBuruh (Psl. 20) oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah dicatat.Meskipun demikian, secara praktek, rupanya bahwa hanya serikat

1

pekerja/serikat buruh yang mempunyai nomor bukti pencatatandi bawah UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang memiliki akseskepada sistem penyelesaian perselisihan, oleh karena hak untukmewakili pekerja/buruh dalam penyelesaian perselisihan timbulsebagai akibat dimilikinya nomor bukti pencatatan (UU SerikatPekerja/Serikat Buruh, Psl. 25).

l �pekerja/buruh� adalah seorang �yang merupakan sebagian daritenaga kerja dalam sebuah perusahaan atau industri dan yangbekerja dalam rangka hubungan pekerjaan dengan menerimaupah� (Psl. 1(9)).

RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga akan mencakupperselisihan yang terjadi pada �usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lainyang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus danmempekerjakan orang lain dengan membayar upah� (Psl. 79).

Prinsip dan tata cara penyelesaian perselisihan

RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial akan mendirikan suatuprinsip dasar penting dalam penyelesaian perselisihan: para pihak harusmengupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundinganbipartit sebelum melakukan upaya lain (Psl. 3).

RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial juga akan membentuksuatu instansi penting yang baru: Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial. Pengadilan ini akan mempunyai wilayah hukum atas semuajenis perselisihan. Akan tetapi, tidak semua perselisihan akan diajukankepadanya dengan cara yang sama. Perselisihan hak yang tidak dapatdiselesaikan oleh para pihak akan diselesaikan oleh PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial (Psl. 4). Para pihak dapat menyetujuiuntuk mengupayakan penyelesaian perselisihan lain (perselisihankepentingan, pemutusan hubungan kerja atau antar serikat pekerja/serikat buruh) melalui mediasi atau arbitrase. Apabila kedua belah pihaktidak sepakat untuk menyelesaikan perselisihannya melalui mediasi atauarbitrase, atau apabila perselisihan tidak diselesaikan melalui mekanismetersebut, maka atas kedua belah pihak atau atas kemauan salah satu pihakpenyelesaian perselisihan dapat diajukan kepada Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial (Psl. 5).

1

Penyelesaian melalui bipartit

Para pihak dalam perselisihan hubungan industrial harusmengupayakan penyelesaian perselisihannya secara langsung. Hal inidisebut dalam RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagai�perundingan bipartit�, (Psl. 3) dan juga sebagai �penyelesaianperselisihan hubungan industrial melalui bipartit� (Psl. 6). Istilah terakhirtersebut mempunyai arti �perundingan secara musyawarah untukmencapai mufakat� (Psl. 6).

Apabila para pihak mencapai kesepakatan melalui mediasi merekawajib membuat perjanjian tertulis yang diketahui oleh mediator (Psl.13(1)). Dalam hal tidak tercapai kesepakatan, mediator wajibmengeluarkan anjuran tertulis yang harus disampaikan kepada para pihakselambat-lambatnya dalam waktu 14 hari (Psl. 13(2) dan (3)). Kemudianpara pihak diberikan waktu 14 hari setelah ini di mana mereka dapatmemberitahu mediator apakah mereka menyetujui anjuran tersebut (Psl.13(4)). Para pihak diasumsikan menolak anjuran tersebut apabila merekatidak memberikan pendapatnya secara tertulis (Psl. 13(5)).

Arbitrase Perselisihan

Para pihak yang berselisih (kecuali dalam hal perselisihan hak) dapatmembuat kesepakatan tertulis supaya perselisihannya dapat melaluiarbitrase (Psl. 17). �Arbitrase Hubungan Industrial� mempunyai artisebagai suatu metode perundingan penyelesaian di luar PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial melalui kesepakatan arbitrase tertulis(Psl. 1(12)). �Arbiter Hubungan Industrial� adalah seorang atau lebihyang dipilih oleh para pihak yang berselisih atau ditunjuk oleh Menteriuntuk memberikan putusan mengenai perselisihan (Psl. 1(13)). Para pihakhanya dapat memilih seorang arbiter yang terdaftar pada instansi yangbertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Psl. 19), sesuai dengansyarat-syarat yang tercantum dalam Pasal 20. Syarat ini termasukmenguasai peraturan perundang-undangan yang terkait (Psl. 20(d)).Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran, keanggotaan dan tata carakerja seorang arbiter diatur dengan Keputusan Menteri (Psl. 27).

Penunjukan arbiter harus dilakukan atas dasar kesepakatan parapihak yang berselisih (Psl. 18), dan perselisihannya harus diajukan secaratertulis kepada arbiter (Psl. 17 (2). Surat perjanjian arbitrase harus memuat

1

informasi khusus yang tertentu, oleh karena surat tersebut merupakandasar hukum untuk arbitrase itu sendiri. Misalnya, para pihak harusmenetapkan persoalan yang menjadi perselisihan, dan membuat�pernyataan � untuk tunduk dan menjalankan keputusan arbitrase�(Psl. 17(3)). Dalam hal para pihak tidak sepakat untuk menunjuk arbitermaka Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan menunjukseorang arbiter (Psl. 21) Apabila para pihak sepakat untuk melaluiarbitrase industrial, perselisihan tersebut tidak dapat dialihkan kepadaPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial untuk diputus (Psl. 26).

Putusan arbitrase harus dibuat sesuai dengan syarat-syarat tertentu(Psl. 22), serta harus ditetapkan berdasarkan �hukum, keadilan, kebiasaandan peraturan perundang-undangan yang berlaku� (Psl. 24). Setelahputusan arbitrase dijatuhkan, putusan tersebut mempunyai kekuatanhukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusanyang bersifat akhir dan tetap (Psl. 23 (1)). Putusan arbitrase didaftarkandi Pengadilan Negeri terdekat. Pengadilan Negeri tidak berwenang untukmemeriksa alasan atau pertimbangan, yaitu memeriksa perkaranyaberdasarkan fakta yang ada, dan harus mengeluarkan perintahnya dalamwaktu selambat-lambatnya 30 hari setelah permohonan didaftarkan (Psl.23).

Ada beberapa unsur yang dapat digunakan para pihak untukmengajukan peninjauan kembali dari putusan arbitrase kepadaMahkamah Agung (Psl. 25 (1)). Termasuk dalam unsur ini adalah:

l Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan diakuiatau dinyatakan palsu;

l Dokumen penting yang disembunyikan �yang bersifatmenentukan�;

l Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satupihak dalam pemeriksaan;

l Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial(diasumsikan akan ditentukan sesuai dengan Keputusan Menterimengenai tata cara arbiter, syarat-syarat perjanjian tertulis danperintah umum kepada arbiter sehingga putusannya sesuai denganhukum); dan

l Putusan bertentangan dengan �peraturan perundang-undangan,ketertiban umum atau kesusilaan�.

Mahkamah Agung dapat mengambil keputusan mengenai apakah

1

peninjauan kembali terhadap putusan arbiter akan dikabulkan, sehinggarupanya bahwa hak peninjauan kembali tidak bersifat otomatis (Psl. 25(2)). Apabila Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauankembali, Mahkamah Agung akan menetapkan akibat dari pembatalanbaik seluruhnya atau sebagian putusan (Psl. 25 (2)). ahkamah Agung harusmemutus permohonan peninjauan kembali dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari (Psl. 25 (3)).

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah instansiperadilan penyelesaian perselisihan yang berhubungan denganpengadilan. Seringkali Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrialdisebut sebagai �Pengadilan Perburuhan�. Khususnya, Pengadilan tersebut�adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkunganperadilan umum yang berwenang memeriksa dan memutus perselisihanhubungan industrial� (Psl. 1 (14). Pengadilan ini akan berwenangmemeriksa dan memutus di �tingkat pertama dan terakhir� mengenaiperselisihan hak dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh (Psl.53 (a) dan (d)). Lagipula berwenang memeriksa dan memutus di tingkatpertama dalam perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusanhubungan kerja (Psl. 53 (b) dan (c)). Putusan Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial dalam perkara perselisihan kepentingan danpemutusan hubungan kerja dapat diajukan kasasi pada MahkamahAgung (Psl. 71).

Keanggotaan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akantermasuk hakim ad-hoc. Di Indonesia yang telah menerapkan sistemkarier Belanda mengenai pengangkatan hakim, istilah tersebut biasanyamempunyai arti pengangkatan orang dengan pengetahuan teknis kepadajabatan sebagai hakim tetapi sebelumnya tidak berjabatan sebagai hakim,misalnya pengacara, cendekiawan atau orang lain dengan pengalamanprofesi yang relevan seperti pejabat pemerintah senior. Dalam kasus inimereka akan dipilih oleh dewan yang calon anggotanya diusulkan olehorganisasi pekerja atau pengusaha. Hakim ad-hoc dibahas lebih lanjutdi bawah.

Pembentukan dan Susunan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan dibentuk pada

1

Pengadilan Negeri di setiap Ibukota Propinsi maupun pada MahkamahAgung. Pengadilan tersebut juga dapat dibentuk di Pengadilan Negeri diKabupaten/Kota dengan Keputusan Presiden (Psl. 28, 29). Susunanpersonalia di bidang kehakiman dan administrasi dari PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial akan terdiri atas Hakim Agung, Hakim,Hakim Ad-Hoc, Panitera Muda dan Panitera Pengganti (Psl. 30). Hakimakan diangkat dan diberhentikan dari Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial oleh Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan �peraturanperundang-undangan yang berlaku� (Psl. 31, 32).

Hakim Ad-hoc

Hakim ad-hoc diangkat dan diberhentikan dengan KeputusanPresiden berdasarkan usul Ketua Mahkamah Agung melalui Menteri(Psl. 33 (1)). Hakim ad-hoc dipilih dari calon yang diusulkan kepadaKetua Mahkamah Agung atas persetujuan Menteri yang disampaikanoleh organisasi pekerja dan pengusaha (Psl. 33(2)). Syarat untuk diangkattermasuk berpengalaman di bidang hubungan industrial danberpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S.1) sarjana hukum serta�jujur�, �berwibawa� dan �berkelakuan tidak tercela� (Psl. 34). Masatugas hakim ad-hoc untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diangkatkembali untuk satu kali masa jabatan (Psl. 37 (2)).

RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mencantumkanperincian keadaan di mana hakim ad-hoc dapat diberhentikan darijabatan, baik secara �hormat� maupun �tidak hormat� (Psl. 36-39). Adapula syarat untuk menjamin sikap independen dari hakim ad-hoc:misalnya, seorang hakim ad-hoc tidak boleh merangkap berbagai jabatanlain, termasuk menjadi anggota lembaga tinggi dan tertinggi negara (Psl.36). Tata cara mengenai hal-hal seperti ini akan diatur dengan PeraturanPemerintah (Psl. 42).

Pengawasan peradilan atas pelaksanaan tugas Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial

Ketua Pengadilan Negeri akan melakukan pengawasan ataspelaksanaan tugas Hakim, Hakim Ad-Hoc, dan Panitera PenggantiPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri.Ketua Mahkamah Agung akan melakukan pengawasan yang mirip ataspelaksanaan tugas Hakim Agung dan Panitera Pengganti PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung. Dalam

1

melakukan pengawasan ini ada wewenang untuk memberikan petunjukdan teguran (Psl. 41 (4)). Akan tetapi, petunjuk dan teguran ini tidakboleh mengurangi kebebasan pegawai peradilan dan administrasi yangdiawasi (Psl. 41 (5)).

Sub-Kepaniteraan

Sub-kepaniteraan akan dibentuk pada setiap Pengadilan Negeri dimana Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dibentuk.Pelaksanaan tugasnya akan dipimpin oleh seorang Panitera Muda yangdibantu oleh beberapa orang Panitera Pengganti (Psl. 44). Tugas utamadari Sub-Kepaniteraan adalah untuk ikut serta dalam persidanganperselisihan dan mencatat jalannya persidangan Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial (Psl. 49 (1)). Sub-Kepaniteraan biasanya melakukantugas administratif, termasuk bertanggungjawab atas penyimpanandokumen (Psl. 45-50). Dokumen ini termasuk daftar semua perselisihandan pihak yang berselisih yang dicatat dalam buku perkara (Psl. 45) Untukpertama kali jabatan Panitera Muda dan Panitera Pengganti akandiangkat dari Pegawai Negeri Sipil dari instansi Pemerintah yangbertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan (Psl. 47, 51).

Tata cara penyelesaian perselisihan melalui pengadilan perselisihan hubunganindustrial

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan melaksanakantugasnya sesuai dengan Hukum Acara Perdata (Psl. 54). Majelis hakimyang terdiri atas tiga hakim harus ditetapkan oleh Hakim KetuaPengadilan Negeri dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari sejakmenerima permohonan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.Majelis Hakim akan terdiri atas satu orang hakim, dan dua orang hakimad-hoc. Penunjukan satu orang hakim ad-hoc diusulkan oleh pekerja/buruh dan penunjukan yang lain diusulkan oleh pengusaha (Psl. 55).Tanggal sidang perselisihan harus ditetapkan dalam waktu selambat-lambatnya tujuh hari setelah penetapan Majelis Hakim (Psl. 56).

Majelis hakim dapat memanggil saksi atau saksi ahli untuk hadir dipersidangan (Psl. 57). Dapat pula membuat orang wajib membantutugasnya, termasuk kewajiban untuk membukakan buku danmemperlihatkan surat-surat (Psl. 58). RUU tersebut juga mencantumkansyarat tertentu mengenai persidangan hal-hal dalam kasus di mana salahsatu pihak tidak dapat hadir (Psl. 60, 62). Sidang Majelis Hakim terbuka

1

untuk umum, kecuali Majelis Hakim menetapkan lain (Psl. 62). Dalammengambil keputusan pengadilan harus mempertimbangkan �hukum,perjanjian yang ada, kebiasaan dan keadilan� (Psl. 63). Majelis Hakimwajib menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dalam waktuselambat-lambatnya 90 hari (Psl. 65). Pengadilan harus membacakanputusannnya dalam sidang terbuka dan menyampaikannya kepada pihakyang berselisih (Psl. 66-69).

Kasasi pada Mahkamah Agung

Putusan Pengadilan mempunyai �kekuatan hukum tetap� apabilatidak diajukan permohonan kasasi (secara tertulis) kepada MahkamahAgung dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak putusan dijatuhkan(Psl. 71). Permohonan Kasasi hanya dapat diperiksa dan diadili olehHakim Agung Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 74) yangharus mengeluarkan putusan terhadap kasasi tersebut selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal penerimaan permohonan (Psl. 76). Tatacara permohonan kasasi harus dilaksanakan sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku (Psl. 75).

Pencegahan pemogokan dan penutupan (lockout)

Pekerja/buruh berhak untuk melakukan mogok, dan pengusahaberhak untuk melakukan penutupan perusahaan menurut ketentuan yangtermuat dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (Psl. 146,147, dan 151-153). Meskipun demikian, RUU Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial mencerminkan suatu kebijakan di mana para pihakdalam perselisihan hubungan industrial seharusnya tidak melaksanakanhak-hak ini pada waktu penyelesaian perselisihan sedang diupayakan.Larangan pemogokan dan penutupan perusahaan diterapkan apabila:

l para pihak bersepakat untuk mengajukan perselisihannya melaluimediasi atau arbitrase; atau

l salah satu pihak meminta perselisihannya diajukan kepadaPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.

Dalam kedua keadaan ini, �yang bertanggungjawab atas baikpemogokan atau penutupan harus mengakhiri pemogokan ataupenutupan� (Psl. 77 (1)). Pemogokan atau penutupan harus berakhir padatanggal perundingan bipartit dimulai, atau sejak tanggal ketika disepakatiuntuk mengajukan perselisihannya kepada mediator atau arbiter (Psl.

1

77 (2)). Pelanggaran terhadap pasal 77 merupakan tindak pidana. Sanksimaksimum adalah kurungan enam bulan atau denda paling banyak IDR50,000,000 atau kedua-duanya (Psl. 78).

Peralihan dari sistem lama

Sistem baru tidak akan langsung berlaku setelah RUU diundangkan.Guna mempersiapkan pembentukan instansi-instansi dan pelatihanpersonalia, sistem baru akan beroperasi dua tahun setelah RUUPenyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diberlakukan menjadi undang-undang (Psl. 82, and Penjelasan).

Sampai pada waktu Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrialterbentuk, lembaga-lembaga penyelesaian perselisihan yang ada tetapmelaksanakan fungsi dan tugasnya (Psl. 80 (1)). Setelah itu, perselisihanyang belum diselesaikan akan dialihkan kepada Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial untuk penyelesaian (Psl. 80 (2)). Permohonan band-ing dalam kasus ini akan diselesaikan oleh Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial pada Mahkamah Agung (Psl. 80 (2)(b) dan (d)).

II. Pokok Persoalan Perselisihan HubunganIndustrial

Bagian pertama dalam bab ini menguraikan berfungsinya sistempenyelesaian perselisihan yang baru. Lagipula membahas pokokpersoalan perselisihan hubungan industrial secara singkat yang dapatdiselesaikan di bawah sistem baru. Akan tetapi, banyak di antarapersoalan tersebut diatur dalam undang-undang lain. Bagian inibertujuan memberikan uraian dari beberapa aspek penting dari undang-undang tersebut. Akan tetapi, penataan bahasan ini dilakukan supayamencerminkan jenis perselisihan yang diatur dalam RUU PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial.

Perselisihan Antar Serikat Pekerja

Apakah itu serikat pekerja?

�Serikat pekerja/serikat buruh� menurut RUU Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial adalah �organisasi �pekerja/buruh � yang bersifat

1

independen, bebas, demokratis dan bertanggungjawab�. Organisasi ini�dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh�. Dapat terbatas padasatu perusahaan, tetapi tidak perlu. Termasuk dalam arti istilah ini adalahfederasi atau konfederasi serikat pekerja/serikat buruh (Psl. 1(8)).

Syarat-syarat ini mirip dengan yang tercantum dalam UU SerikatPekerja/Serikat Buruh, walaupun seperti disebut di atas, RUU PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial tidak terbatas pada satu serikat pekerja/serikat buruh saja yang telah dicatat sesuai dengan UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Beralih secara khusus kepada UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, serikatpekerja/serikat buruh tetap wajib menerima ideologi negara HubunganIndustrial Pancasila (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 2). Harus pulabersifat �bebas, terbuka, demokratis, dan bertanggung jawab� (UU SerikatPekerja/Serikat Buruh, Psl. 3). Ada berbagai syarat dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh mengenai bagaimana serikat dapat dibentuk dan dicatatdengan lembaga pemerintah. Setelah serikat pekerja/serikat buruhdicatat secara benar, serikat itu akan diberikan nomor bukti pencatatan(UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 20).

Penting diperhatikan bahwa pegawai negeri sipil juga berhakmembentuk serikat (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 44).

Apakah itu perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh?

Termasuk dalam definisi �perselisihan hubungan industrial� adalahperselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan(Psl. 2(d)) �mengenai � pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikat-pekerjaan.� (Psl. 1(5)). UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh lebih lanjutmenjelaskan bahwa perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhadalah �mengenai keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajibankeserikat-pekerjaan� (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 1(9)).

Hak dan kewajiban keserikat-pekerjaan

Beberapa hal dapat menimbulkan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Hal yang paling mungkin menyebabkan timbulnya adalahhak mewakili para pekerja dalam perjanjian bersama dan perselisihanhubungan industrial; serta menentukan keanggotaan seorang pekerja/buruh yang benar.

Fungsi serikat pekerja/serikat buruh termasuk menjadi pihak dalampembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan

1

hubungan industrial (UU Serikat Peker ja/Serikat Buruh, (Psl. 4 (a)).Sebagaimana telah disebut, serikat pekerja/serikat buruh yangmempunyai nomor bukti pencatatan berhak melaksanakan fungsi-fungsitersebut (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 25(1)(a) dan (b)).

Serikat pekerja/serikat buruh dapat mengontrol keanggotaannyasesuai dengan ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya(UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 13). Akan tetapi, seseorang tidakboleh menjadi anggota dalam lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh(UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 14). Seorang anggota dapat berhentimenjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh dengan pernyataan tertulis(UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 17(1)) atau dapat diberhentikan sesuaidengan ketentuan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangganya(UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 17 (2)).

UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh melindungi hak berorganisasi danmelarang seseorang untuk menghalang-halangi pekerja/buruh untukmembentuk atau tidak membentuk serikat pekerja/serikat buruh, ataumemaksa seorang menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. UUtersebut juga melarang seorang melakukan intimidasi atau melakukankampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Laranganini berlaku bagi �barangsiapa� bukan hanya pengusaha (UU SerikatPekerja/Serikat Buruh, Psl. 28). Dengan demikian barangkali larangan inibersifat relevan terhadap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruhdi mana ada serikat baru yang dihadapkan dengan oposisi dari serikatyang sudah lama berdiri.

Penyelesaian perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

Selain dari sistem penyelesaian perselisihan dalam RUU PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial, UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh jugamenetapkan kewajiban tertentu bagi serikat pekerja/serikat buruh.Mereka harus berusaha menyelesaikan perselisihannya melaluimusyawarah dengan serikat pekerja/serikat buruh lain yang terlibat (UUSerikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 35). Apabila musyawarah tidak mencapaikesepakatan, perselisihan harus diselesaikan sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku (UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl.36). Diasumsikan bahwa akibatnya dalam hal ini adalah serikat pekerja/serikat buruh dapat mengikuti ketentuan dalam RUU PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial. Belum jelas apakah memenuhi kewajibandalam Psl. 35 dari UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh akan memenuhi

1

persyaratan untuk ikut serta dalam perundingan bipartit dalam RUUPenyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Psl. 3).

Perselisihan pemutusan hubungan kerja

Pengalaman di luar negeri memperlihatkan bahwa perselisihanpemutusan hubungan kerja mungkin menjadi sebagian besar dari bebankerja sistem penyelesaian perselisihan apa pun. Maka, penting untukmemahami Bab XI RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, yangmengatur pemutusan hubungan kerja secara rinci.

Para pihak dalam hubungan kerja harus dengan segala upayamenghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja dan harus melakukanperundingan mengenai pemutusan hubungan kerja di mana hal tersebuttidak dapat dihindarkan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan,Psl. 160). Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerjadengan alasan tertentu. Alasan ini termasuk pekerja/buruh berhalanganmasuk kerja karena sakit, memenuhi kewajiban negara, menjalankanibadah yang diperintahkan agamanya, menikah atau hamil, ikatanperkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan,atau menjadi anggota atau ikut serta dalam kegiatan serikat pekerja/serikat buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 161).

Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja pekerja/buruh,pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uangpenghargaan masa kerja, serta pula uang penggantian (RUU Pembinaandan Perlindungan Ketenagakerjaan, (Psl. 162 (1)). Kewajiban untuk pembayaranini tidak berlaku dalam hal pekerja/buruh masih dalam masa percobaankerja, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktutertentu, atau tercapainya usia pensiun (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 162(2)).

Seorang pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauansendiri berhak mendapatkan uang penghargaan dan uang �penggantian�apabila masa kerja tiga tahun atau lebih (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 163(1)). Seorang pekerja/buruh yang mengalamipemutusan hubungan kerja oleh karena mangkir berhak mendapatkanuang penghargaan dan/atau uang penggantian (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 166 (4)). Seorang pengusaha wajibmembayar uang pesangon, uang penghargaan dan uang penggantiankepada pekerja/buruh yang mengundurkan diri oleh karena perlakuan

1

buruk oleh pengusaha, keterlambatan membayar upah atau tidakdipenuhinya kewajiban lain dalam perjanjian kerja, atau karena diberikanpekerjaan yang membahayakan jiwa dan kesusilaan (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 168). Memang, uang penggantian harusdibayar tanpa memandang alasan untuk pemutusan hubungan kerja(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 167).

Akan tetapi seorang pengusaha dapat memutuskan hubungan kerjapekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan �kesalahanbesar� tanpa membayar uang pesangon (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 165 (2)). Termasuk dalam tindak pidana adalahpencurian, penipuan, memakai obat terlarang, perbuatan asusila, dandengan ceroboh atau sengaja merusak barang milik perusahaan yangmenimbulkan kerugian bagi perusahaan (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 165 (1)).

Perselisihan hak dan perselisihan kepentingan

Sumber hak dan kepentingan

Perselisihan hak melibatkan kegagalan memenuhi kewajibanmemberikan kondisi pekerjaan yang telah disetujui, atau mengikutikondisi pekerjaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.Perselisihan kepentingan adalah mengenai perubahan yang diusulkanterhadap kondisi pekerjaan yang telah disetujui. Bagi setiap jenisperselisihan perlu untuk memahami apa yang mungkin merupakansumber kondisi pekerjaan.

Kondisi pekerjaan yang barangkali dirundingkan dan disepakatioleh para pihak dapat beroperasi pada tingkat hubungan kerja orangperorangan, atau pada tingkat hubungan industrial bersama. Termasukdi sini adalah perjanjian kerja perorangan (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Bab VIII Psl. 63-76), peraturan perusahaan (RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 121, dan 125-128) danperjanjian kerja bersama (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan,Psl. 129-141). Harus pula diperhatikan bahwa banyak di antara kondisipenting yang tercakup dalam RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan akan diatur secara lebih rinci dalam Keputusan atauPeraturan Menteri atau Pemerintah. Hal ini benar, misalnya, mengenaikondisi yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatan pekerjaan,penyediaan sarana di tempat kerja untuk menyusui bayi, hak libur, jam

1

kerja dan tenaga kerja anak.Kondisi juga ditetapkan secara langsung dalam berbagai peraturan

perundang-undangan, terutama RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagaker jaan. Hal ini berhubungan dengan kondisi pekerjaanperorangan dalam banyak hal seperti masa libur, upah dan kesehatandan keselamatan pekerjaan. UU Serikat Peker ja/Serikat Buruh jugamenetapkan beberapa kondisi pekerjaan yang relevan, terutama hakuntuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh,dan hak aksi industrial.

Perjanjian kerja

Perjanjian kerja adalah perlu: dapat dibuat secara tertulis atau lisan,tetapi hal ini menentukan apakah ada hubungan kerja (RUU Pembinaandan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 63, 64) Perjanjian kerja harus dibuatatas dasar kesepakatan kedua belah pihak; dan pekerjaan yangdiperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perjanjiankerja, ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undanganyang berlaku (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 64).Perjanjian kerja sekurang-kurangnya harus memuat besarnya upah dancara pembayarannya (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl.67(1)(e)), serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajibanpengusaha dan pekerja/buruh (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 67(1)(f)). Kedua aspek perjanjian kerja tersebut harussesuai dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama danperaturan perundang-undangan yang berlaku (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 67(2)). Apabila perjanjian kerja bersifatlisan, pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja/buruhyang memuat hal-hal yang mirip (serta hal lain) (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 76).

Perjanjian kerja tidak dapat diubah kecuali atas persetujuan parapihak (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 68).49 Perjanjian

49 Syarat ini menimbulkan pertanyaan menarik: apakah perubahan terhadap perjanjiankerja yang diusulkan oleh satu pihak tetapi tidak disetujui pihak lain menimbulkan perselisihanhak atau perselisihan kepentingan. Menurut para penulis, perubahan ini menimbulkanperselisihan kepentingan kecuali apabila kondisi yang ada ditarik sebelum kondisi barudiselesaikan. Dalam hal seperti ini dapat menjadi keduanya, yaitu perselisihan hak dankepentingan.

1

kerja dapat dibuat untuk waktu tertentu. Salah satu pihak dalamperjanjian kerja selama waktu tertentu yang mengakhiri perjanjiansebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan diwajibkanmembayar ganti rugi kepada pihak lainnya (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 75). Perjanjian kerja waktu tidak tertentudapat mengisyaratkan masa percobaan (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 69-73). Perjanjian kerja berakhir apabila adanyakeadaan atau kejadian tertentu (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 74(1)(d)).

Peraturan perusahaan

Semua perusahaan yang tidak memiliki perjanjian kerja bersamaharus membuat peraturan perusahaan yang harus disahkan oleh pihakpemerintah (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 121).Pengusaha yang harus menyusun peraturan perusahaan denganmemperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh; dimana ditemukan serikat pekerja/serikat buruh di dalam perusahaanterkait yang akan mewakili para pekerja/buruh (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 122, 123).

Sekurang-kurangnya peraturan ini harus memuat hak dankewajiban pengusaha dan pekerja/buruh dalam perusahaan; syarat-syarat kerja; tata tertib perusahaan; dan jangka waktu berlakunyaperaturan perusahaan yang masa berlakunya adalah paling lama duatahun.

Apabila perusahaan memiliki peraturan perusahaan yang sah,pengusaha wajib melakukan perundingan dengan serikat pekerja/serikatburuh yang menghendaki perundingan pembuatan perjanjian kerjabersama (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagaker jaan, Psl. 124).Perubahan peraturan perusahaan sebelum berakhir jangka waktuberlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan antarapengusaha dan wakil pekerja/buruh (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 126).

Perjanjian kerja bersama

Satu atau lebih pengusaha dan satu atau lebih serikat pekerja/serikatburuh yang telah tercatat dapat membuat perjanjian kerja bersama, akantetapi hanya dapat dibuat satu perjanjian dalam satu perusahaan (RUU

1

Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 129, 130).Perjanjian kerja bersama yang disetujui lebih dari 50% pekerja/

buruh dalam satu perusahaan berlaku bagi semua pekerja/buruh dalamperusahaan tersebut, tetapi dalam keadaan lain perjanjian tersebut hanyaberlaku bagi pekerja/buruh yang menyetujuinya (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 131). Masa berlakunya perjanjian kerjabersama paling lama dua tahun, yang dapat diperpanjang masaberlakunya paling lama satu tahun berdasarkan kesepakatan tertulis (RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 132). Perjanjian kerjabersama paling sedikit harus memuat hak dan kewajiban pengusaha,serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh; serta jangka waktu dantanggal mulai berlakunya. Ketentuan dalam perjanjian kerja bersamatidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yangberlaku (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 133).

Ketentuan perjanjian kerja bersama lebih kuat secara hukumdibandingkan perjanjian kerja perorangan (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 136), serta dalam hal perjanjian kerjatidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian kerjaperorangan maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjiankerja bersama (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 137).Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja bersama denganperaturan perusahaan selama di perusahaan yang bersangkutan masihada serikat pekerja/serikat buruh. Apabila tidak ada lagi serikat pekerja/serikat buruh dalam perusahaan, peraturan perusahaan dapat menggantiperjanjian kerja bersama, akan tetapi ketentuan yang ada dalamperaturan perusahaan tidak boleh lebih rendah dari ketentuan yang adadalam perjanjian kerja bersama (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 138).

Perjanjian kerja bersama tetap berlaku meskipun terjadipembubaran serikat pekerja/serikat buruh atau pengalihan kepemilikanperusahaan (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan Psl. 139(1))Apabila terjadi penggabungan perusahaan (merger) dan masing-masingperusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama, perjanjian yangberlaku adalah yang lebih menguntungkan pekerja/buruh (RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan Psl. 139 (2),(3)).

1

Kondisi pekerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan

RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan mengatur banyak haldi bidang pekerjaan dan hubungan industrial. RUU tersebut mengaturperlindungan hak dasar pekerja/buruh termasuk perlindunganpengupahan, jaminan sosial maupun kesehatan dan keselamatanpekerjaan. Dengan demikian, RUU tersebut memberikan banyak hakkepada pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, yang dapat menjadipokok persoalan perselisihan hak dalam hubungan industrial. Hak-haktersebut termasuk yang berikut.

l Tanpa diskriminasi

Pengusaha wajib memberikan kesempatan dan perlakuan yang samatanpa diskriminasi (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 5dan 6). Persyaratan untuk tidak melakukan diskriminasi juga adalahsebagian dari kewajiban pengusaha untuk menawarkan pelatihan kerja(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 12). Diskriminasiberdasarkan jenis kelamin, suku, ras, agama, aliran politik ataupenyandang cacat berlawanan dengan hukum (lihat Penjelasan RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan).

l Penempatan tenaga kerja

Penempatan tenaga kerja (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 31 sampai dengan 54) dapat menyebabkan timbulnyaperselisihan. Akan tetapi, sistem penyelesaian perselisihan tertentu akandibentuk untuk perselisihan seperti ini (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 43-45).

l Perlindungan Pekerja/Buruh

Bagian kesatu dalam Bab IX RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan memuat syarat-syarat mengenai hal-hal berikut:

l Tenaga Kerja Anak, termasuk larangan terhadap pengusahauntuk mempekerjakan anak di bawah umur 15 (RUU Pembinaandan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 74-84);

l Perlindungan bagi penyandang cacat (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 77);

1

l Batasan terhadap kerja malam bagi pekerja/buruh perempuan(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 85);

l Waktu kerja dan kerja lembur (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 86-88), waktu istirahat (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagaker jaan, Psl. 89-95), kesempatan untukmelaksanakan ibadah sholat (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 90), istirahat (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 91), dan hari libur resmi (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 96);

l Perlindungan bagi pekerja/buruh perempuan (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 92-95), termasuk istirahat saatmelahirkan dan sesudahnya dengan pembayaran upah (RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 93 dan 95) sertaistirahat masa haid (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan,Psl. 92 dan 95); dan

l Ketentuan umum mengenai keselamatan dan kesehatan kerja(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 97 dan 98)dan perlakuan baik, terutama perlindungan terhadap pelecehanseksual, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabatmanusia serta nilai-nilai agama (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 97).

l PengupahanBagian Kedua dari Bab IX dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan

Ketenagakerjaan memuat syarat-syarat mengenai hal-hal berikut.

l Upah Minimun. Upah minimum akan ditentukan berdasarkanwilayah provinsi atau kabupaten/kota dan diarahkan kepadapencapaian �kebutuhan hidup layak� (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 99 dan 100). Pengusaha wajibsecara hukum membayar upah minimum dan dilarang membayarupah lebih rendah dari upah minimum (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 100 (4));

l Upah di atas minimum dapat dirunding antara pengusaha danpekerja/buruh (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl.101-103). Dalam perundingan pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh melakukan diskriminasi dan wajibmelaksanakan prinsip upah sama untuk pekerjaan yang sama

1

(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagaker jaan, Art. 101(2)).Pengusaha harus melakukan peninjauan upah secara berkala(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 103 (2)).

l Pembayaran upah selama masa sakit dan hak-hak lain juga dimuat (RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 104), walaupunseorang pekerja/buruh tidak berhak dibayar apabila tidak�melakukan pekerjaan� (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 104(1)). Akan tetapi, seorang pekerja/buruhmasih berhak dibayar upahnya apabila pengusahabertanggungjawab untuk tidak memperkerjakannya maupunkarena halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 104(2)(e));

l Keterlambatan pembayaran upah (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 105); dan

l Tuntutan pembayaran upah, yang menjadi kedaluwarsa setelahmelampaui jangka waktu dua tahun (RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 106).

l KesejahteraanBagian ketiga dari Bab XI RUU Pembinaan dan Perlindungan

Ketenagakerjaan mengatur Kesejahteraan. Termasuk di dalamnya adalahsyarat-syarat mengenai hal-hal berikut:

l Kewajiban meyediakan fasilitas kesejahteraan bagi pekerja/buruh danjuga untuk menumbuhkembangkan koperasi sedapat mungkin(RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 110, 111); dan

l Hak pekerja/buruh terhadap jaminan sosial, yang akan dilaksanakansesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 109).

l Hak serikat pekerja/serikat buruh, aksi industrial dan penyelesaian perselisihanSetiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota

serikat pekerja/serikat buruh (RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, Psl. 115; UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Psl. 5). Pekerja/buruh berhak melakukan mogok kerja, asal hal itu dilakukan dengantertib dan damai. Pekerja/buruh yang akan melakukan mogok kerja wajibmemberitahukan maksudnya secara tertulis dalam waktu sekurang-kurangnya tujuh hari sebelumnya, termasuk alasan dan atau tuntutan

1

untuk mogok kerja. Pengusaha dilarang mengganti pekerja/buruh yangmelakukan mogok kerja (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan,Psl. 146).

Akan tetapi, hak mogok kerja dilarang di perusahaan yang melayanikepentingan umum, termasuk pusat pengendalian telekomunikasi, tenagalistrik, pengolahan gas, dan jaringan pelayanan air bersih (RUU Pembinaandan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 147(1)). Hak mogok kerja juga terbatasdalam berbagai bidang ekonomi penting lain, yang tidak merupakanbidang yang mutlak perlu (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan,Psl. 147(2)).

Ketentuan yang mirip juga mengatur penutupan perusahaan olehpengusaha. Penutupan perusahaan dilarang dalam perusahaan tertentuyang melayani kepentingan umum, dan pengusaha wajibmemberitahukan secara tertulis kemauan untuk melakukan hakpenutupan perusahaan dalam waktu sekurang-kurangnya tujuh harisebelumnya, termasuk pula alasan penutupan perusahaan (RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 151-153).

Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 orang pekerja/buruhatau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit yang berfungsisebagai �forum komunikasi, konsultasi, dan musyawarah mengenai halketenagakerjaan� (RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 119).Tidak jelas apakah musyawarah persoalan perselisihan dalam lembagakerja sama bipartit akan memenuhi kewajiban dalam pasal 3 dari RUUPenyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial untuk mengupayakanpenyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui perundinganbipartit.

III. Kesimpulan: Pendek Kata

Bab ini telah menguraikan sistem penyelesaian perselisihanhubungan industrial yang diusulkan dalam RUU Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial. Dan juga telah meringkas sumber kondisi pekerjaanperorangan maupun bersama menurut undang-undang dan rancanganundang-undang di bidang perburuhan di Indonesia.

Hal ini perlu agar menjelaskan secara lengkap luasnya pokokpersoalan yang dapat termasuk dalam wilayah hukum dari mekanismepenyelesaian perselisihan yang baru. Mekanisme tersebut bertujuan untuk

1

menyelesaikan empat jenis perselisihan:

l Perselisihan hak;

l Perselisihan kepentingan;

l Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan

l Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

Perselisihan hak barangkali melibatkan kondisi yang ditetapkandalam perjanjian kerja perorangan, perjanjian kerja bersama, peraturanperusahaan, dan berbagai undang-undang. Hak yang berasal dariundang-undang mencakupi hal-hal penting seperti upah, istirahat,kesehatan dan keselamatan kerja, hak membentuk dan menjadi anggotaserikat pekerja/serikat buruh, serta hak mogok kerja.

Perselisihan akan diselesaikan melalui berbagai metode, termasuk:

l Perundingan bipartit;

l Mediasi;

l Arbitrase;

l Putusan majelis hakim dari Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial; dan

l Kasasi pada Mahkamah Agung.

Bab berikut menganalisa beberapa kekurangan dalam sistem yangdiusulkan, terutama kalau mengingat persoalan-persoalan yang adadalam hubungan industrial di Indonesia sejak jaman kolonial yangdiidentifikasi dalam Bab Pertama, serta usaha-usaha reformasi terhadapsistem perburuhan Indonesia sejak tahun 1998.

1

Dalam bentuknya sekarang RUU Penyelesaian Perselisihan HubunganIndustrial dapat sangat membantu pengembangan sistem penyelesaianperselisihan perburuhan di Indonesia yang adil dan efektif.

Meskipun demikian, ternyata bahwa ada kelemahan dalam RUUtersebut, yang beberapa di antaranya bersifat signifikan. Beberapa diantaranya berasal dari kegagalan untuk menjamin kekonsistenan konsepdi dalam RUU tersebut yang perlu untuk melaksanakan standarinternasional terbaik dalam hal penyelesaian perselisihan perburuhan.Kesulitan lain berasal dari sektor pemerintah yang secara umum tidakdapat diandalkan � termasuk peradilan � di Indonesia, khususnya olehkarena persoalan korupsi yang merajalela di pemerintah dan pengadilan.Persoalan ini diperlihatkan secara baik dalam studi kasus dalam BabKedua yang memperlihatkan bahwa sangat penting RUUmemperkenalkan sebuah sistem yang menimbulkan kepercayaan antaramitra-mitra sosial melalui sifatnya yang independen dan transparan. Padasaat ini, rupanya ada keinginan besar untuk menghindari mekanismepenyelesaian perselisihan yang ada dan lebih memilih untuk memakaikekerasan atau penerapan cabang hukum yang lain, khususnya hukumpidana agar menghindari penyelesaian perselisihan yang independensama sekali.

Pembahasan yang berikut memperhatikan suatu kritikan yang seringdilontarkan oleh pendukung hak pekerja, yaitu bahwa usulan-usulantersebut akan mengakibatkan yuridifikasi yang tidak adil dan tidak efisienterhadap perselisihan industrial; kekurangjelasan konsep dalam RUUtersebut; isu terkait tentang beban kerja Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial; jenis-jenis perselisihan yang pada saat ini tidak

B a b 4

PERSOALAN RUU PENYELESAIAN

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

1

tercakup oleh RUU tersebut; fungsi dan kewenangan PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial; serta aspek-aspek tertentu dalam RUUtersebut di mana perancangan legislatif belum jelas. Akan tetapi, analisaini tidak dimaksudkan sebagai analisa penuh mengenai RUU tersebut.

I. Kelemahan Konsep

Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang seringkali mewakili pekerjadalam perselisihan perburuhan, telah menyatakan penolakannyaterhadap RUU sebab konsep dasar yang dipakai. Oleh karena alasanyang telah dijelaskan dalam Bab Kedua, LBH mendorong kebanyakanpihak yang berselisih yang meminta bantuannya untuk menyelesaikanperselisihannya melalui perundingan di luar sistem penyelesaianperselisihan. Akan tetapi, LBH berpendapat bahwa usulan untukmenggantikan sistem tersebut dengan mekanisme penyelesaianperselisihan berdasarkan sistem peradilan sebagai sinyal yang tidak layakdiberikan kepada bagian eksekutif pemerintah bahwa mereka tidak lagibertanggungjawab atas terciptanya iklim yang mendukung kebebasanberserikat. Yang ditakutinya adalah bahwa korupsi dan ketidakefisienandalam sistem yang memakai dasar peradilan akan seluas yang ada dalamPanitia Arbitrase Perselisihan Perburuhan sekarang ini.

Dengan demikian LBH berpendapat bahwa pilihan yang lebih bijakadalah mereformasikan Panitia Arbitrase Perselisihan Perburuhandengan memperluas personalianya sehingga melibatkan lebih banyakorganisasi pekerja daripada hanya para �birokrat� dari SPSI sebagaimanatelah dijelaskan dalam Bab Pertama dan Kedua di atas.

Salah satu hal lain yang menjadi perhatian LBH adalah bahwausulan yang terkandung dalam RUU akan menyebabkan �yuridifikasi�dalam perselisihan industrial dan tidak menguntungkan mayoritas pekerjaIndonesia � yang latar belakang pendidikan formalnya kurang, hampirtidak menyadari hak-hak hukumnya serta tidak mampu membayar untukpenasehat hukum � oleh karena informasi yang tersedia kepada parapengusaha yang kebanyakannya mampu mempekerjakan penasehathukum yang ahli.

1

II. Kekurangjelasan Konsep

Perundingan Bipartit

Ketentuan RUU bahwa para pihak harus terlebih dahulumengupayakan penyelesaian perselisihanya melalui perundingan bipartitadalah inovasi signifikan, khususnya oleh karena pada awalnya adakemungkinan bahwa para pihak barangkali tidak berkeyakinan terhadapsifat independen dan keandalan dari lembaga peradilan baru. Akan tetapi,perlu untuk mempertimbangkan apakah sistem yang diusulkan dalamRUU berisikan insentif yang memadai untuk melakukan perundinganbipartit. Hal ini sangat penting mengingat studi kasus yang diuraikandalam Bab Kedua yang tidak merupakan pertanda baik bagi para pekerjaatau serikatnya yang ingin menyelesaikan perselisihan secara langsungdengan pengusaha. Barangkali satu-satunya alasan perundingan bipartittelah dilakukan adalah bahwa ketidakefisienan dari sistem penyelesaianperselisihan tripartit formal biasanya membuahkan hasil yang lebih tidakadil dibandingkan perundingan langsung.

Tidak diragukan bahwa ada insentif untuk melakukan perundinganbipartit oleh karena kenyataan bahwa kesepakatan yang tercapai dengancara ini bersifat sah secara hukum (Psl. 8). Akan tetapi tidak ada syaratyang menjelaskan bagaimana kesepakatan yang tercapai dapatdilaksanakan atau di bawah wilayah hukum mana. Hal ini perludibandingkan, misalnya, dengan hasil arbitrase yang, sesuai dengan Pasal23, dapat diajukan untuk dilaksanakan di Pengadian Negeri terdekatnya.

Itikad Baik

Salah satu kelemahan lain adalah bahwa tidak ada kewajiban untukmelakukan perundingan bipartit sesuai itikad baik, maupun insentifnegatif dalam bentuk akibat-akibat oleh karena gagal dilakukan.Memang, RUU tersebut tidak menjelaskan apakah ada akibat sama sekaliapabila suatu pihak gagal terlibat dalam perundingan bipartit sesuai itikadbaik. Benar bahwa sesuai pasal 6, para pihak harus mencatat hal yangmerupakan pokok masalah atau alasan perselisihan serta pula pendapatpara pihak dalam perundingan. Akan tetapi tidak ada syarat yangmengindikasikan apakah pihak mediator, arbiter atau PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial akan, maupun seharusnya,memperhatikan hasil perundingan bipartit yang gagal. Barangkali hal

1

ini ada secara tidak langsung melalui kewajiban untuk mencatat hasil,tetapi tentu saja tidak jelas dalam RUU tentang apa yang diharapkandalam hal ini. (Ada pula kelemahan yang mirip dalam RUU tersebutberhubungan dengan syarat mediasi dan hal-hal ini dibahas di bawah).

Suatu solusi untuk kedua kesulitan tersebut adalah untukmengamendemen RUU supaya dimuat suatu kewajiban secara jelas bagipara pihak untuk berunding sesuai itikad baik. Hal ini adalah suatu konsepyang secara langsung atau tidak langsung telah terkandung dalambeberapa sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial di seluruhdunia. Konsep ini merupakan persyaratan langsung terhadapperundingan bersama di AS dan Kanada, dapat juga diargumen bahwahal ini disyaratkan secara tidak langsung di Australia. Hal ini adalahkewajiban dan konsep yang berdampak luas di dalam UU baru yangdiberlakukan di Selandia Baru. Memang benar bahwa dalam kebanyakankasus konsep ini berhubungan dengan perundingan bersama dengantujuan membantu tercapainya kesepakatan bersama, tetapi kasus SelandiaBaru memperlihatkan bahwa konsep ini dapat dipakai secara lebih luas.

Apabila termuat kewajiban untuk berunding sesuai itikad baik dalamRUU tersebut dapat disimpulkan bahwa perlu ada penataan kebijakanlebih lanjut agar menghasilkan konsep serta perincian akibat dari adanyakegagalan untuk berunding sesuai itikad baik. Akibat ini dapat termasuk,misalnya, Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dapatmengambilalih pengambilan keputusan dalam perkara tersebut, ataumengeluarkan putusan otomatis yang dibuat terhadap kepentingan pihakterkait yang telah dinyatakan. Barangkali juga perlu untukmempertimbangkan amendemen yang mirip terhadap persyaratan yangtermuat dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan yangmengatur perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh danpengusaha tentang kesepakatan bersama demi kepentingan kekonsistenankonsep di dalam seluruh sistem .

Hal-hal lain yang harus dipertimbangkan termasuk bagaimanakonsep perundingan sesuai itikad baik dapat dijelaskan secara legislatif,atau apakah hal ini semestinya menjadi tanggung jawab PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial atau Pengadilan Umum. Tentu saja,barangkali pula mitra sosial tidak cukup berpengalaman dan nyamandengan perundingan pada waktu ini sehingga tidak pantas untukmemperkenalkan kewajiban seperti ini dalam sistem Indonesia. Akantetapi, masalah ini tetap ada, yaitu bahwa kewajiban atau insentif seperti

1

ini tidak terkandung di dalam sistem yang diusulkan.Masalah yang fundamental adalah bahwa diperkenalkannya konsep

batasan yang penting seperti kewajiban dalam Pasal 3 untuk melakukanperundingan bipartit harus diperkuat oleh unsur-unsur lain dari sistemperselisihan hubungan industrial agar dapat berfungsi secara efektif.Apabila hal ini dilakukan secara baik, itu dapat membawa beberapadampak terhadap keefektifan sistem penyelesaian perselisihan. Dapat jugamemberdayakan mitra sosial untuk menganggap dirinya mampu danbertanggungjawab atas penyelesaian perselisihannya sebanyak mungkin.Hal ini juga dapat mengakibatkan adanya dampak signifikan dalammengurangi pekerjaan para mediator, arbiter dan pada akhirnyaPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Secara bersamaan efek-efek ini dapat membantu menciptakan sistem penyelesaian perselisihanmenjadi sesuatu yang akan berkembang dan mampu mempertahankankepercayaan mitra sosial yang perlu agar sistem tersebut dapat berfungsiefektif secara keseluruhan.

Lembaga Kerja Sama Bipartit

Salah satu isu terkait dengan berfungsinya perundingan bipartitberhubungan dengan keperluan dalam RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan bahwa perusahaan dengan 50 pekerja/buruh atau lebihsemestinya memiliki lembaga kerja sama bipartit untuk membahas isuketenagakerjaan. Dengan begitu luasnya definisi tentang perselisihan hakdan perselisihan kepentingan, banyak perselisihan di tingkat tempat kerjamengenai isu ketenagakerjaan mungkin akan tercakup oleh RUUtersebut. Akan tetapi tidak disebutkan dalam RUU tersebut mengenailembaga kerja sama bipartit, meskipun hal itu barangkali sangat penting.Suatu isu tertentu adalah apakah upaya untuk menyelesaikan perselisihankepentingan dalam lembaga kerja sama bipartit dapat memenuhikewajiban umum dalam Pasal 3 untuk mengupayakan penyelesaianperselisihan bipartit sebelum mempertimbangkan mediasi, arbitrase atauakses kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Diasumsikanbahwa apabila ketentuan dalam Pasal 6 telah dipenuhi, barangkali Pasal3 juga dipenuhi.

Akan tetapi adalah layak apabila hubungan antara kedua sistemini diterangkan dengan lebih jelas. Suatu keuntungan signifikan apabilahal ini dilakukan adalah diberikannya insentif lebih lanjut kepada parapihak supaya menggunakan lembaga kerja sama bipartit yang ingin

1

dibentuk oleh RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Dapat pulaberakibat bahwa pihak-pihak yang telah berusaha menyelesaikan suatuisu tertentu dalam lembaga kerja sama bipartit tidak harus mengulangipertimbangannya agar dapat mulai menggunakan proses penyelesaianperselisihan sesuai dengan RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indus-trial.

Mediasi

Kebijakan yang ditemukan dalam RUU adalah jelas bahwaperselisihan (kecuali perselisihan hak) seharusnya tidak perlu berlanjutdari perundingan bipartit (yang gagal) langsung ke PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial. Malah, para pihak seharusnyamempertimbangkan untuk mengupayakan penyelesaian perselisihanmelalui mediasi dan/atau melalui arbitrase. Akan tetapi, nampaknyapada saat ini para pihak tidak wajib terlibat dalam mediasi: Pasal 5 (2)jelas mengisyaratkan bahwa para pihak dapat memilih apakah suatuperselisihan ingin diselesaikan melalui mediasi. Apabila mereka tidakdapat mencapai kesepakatan untuk melakukan hal ini, kemudian baiksatu atau keduanya dapat mengajukan perselisihan tersebut kepadaPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan demikian tidakada insentif langsung untuk menyelesaikan suatu perselisihan melaluimediasi. Bahwa seorang mediator perlu cepat mengambil tindakan ketikasuatu perselisihan diajukan untuk melalui mediasi barangkali merupakansemacam insentif apabila beban kerja Pengadilan cukup banyak sertabahwa ada penundaan dalam menjalankan persidangan (seorang me-diator harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu 30 hari (Psl. 16)). Akantetapi, ini merupakan cara tidak langsung untuk mencapai tujuantersebut.

Salah satu kelemahan dalam penggunaan mediasi adalah bahwatidak disyaratkan dalam RUU tersebut bahwa penyelesaian perselisihanyang tercapai melalui mediasi bersifat mengikat secara hukum. Para pihakperlu menandatangani kesepakatan tertulis dan memberitahu mediatorapabila mereka mencapai kesepakatan (Psl. 13(1)). Akan tetapi tidak adapersamaan dengan pasal 23 (1) yang secara mutlak menetapkan bahwaputusan seorang arbiter memiliki kekuatan hukum tetap.

Maka tidak ada insentif positif atau kewajiban untuk menggunakanmediasi. Maupun juga tidak ada insentif negatif yang jelas. RUU tersebut

1

tidak, misalnya, menjelaskan apakah akibatnya apabila rekomendasimediator ditolak. Barangkali juga setelah waktu telah berjalan Pengadilanakan mengembangkan prinsip-prinsip termasuk bahwa pendapat yangdiambil para pihak selama perundingan harus diberikan perhatian(maupun juga dalam perundingan bipartit terdahulu), tetapi RUUtersebut tidak menjelaskan masalah ini sama sekali.

Yang terakhir, muncul pertanyaan sekitar pengangkatan mediator.Apabila para pihak dalam perselisihan industrial menyepakati untukmengupayakan penyelesaiannya melalui mediasi, mereka harus pulamenyetujui siapa yang akan menjadi mediator (Psl. 9). Akan tetapi tidakada ketentuan mengenai penyelesaian kebuntuan antara para pihak yangtidak dapat menyetujui siapa yang akan menjadi mediator dari daftaryang akan dibuat. Diharapkan bahwa apabila para pihak telah mampumenyepakati untuk melakukan mediasi, jiwa berunding dan kompromiakan mengakibatkan kesulitan ini tidak muncul; akan tetapi, jelas tidakaman untuk mengambil asumsi ini! Adalah hal layak apabila RUU meng-isyaratkan upaya untuk menyelesaikan ketidaksesuaian paham sepertiini agar memajukan penggunaan mediasi dan barangkali perlu kalauPanitera Pengadilan Negeri atau Hakim Pengadilan Perselisihan Hubung-an Industrial diberikan wewenang untuk melaksanakan fungsi ini.

Perselisihan pemutusan hubungan kerja

Dengan menentukan perselisihan pemutusan hubungan kerjasebagai kategori terpisah, dapat timbul dua masalah. Pertama, meskipundefinisi yang termuat dalam RUU tersebut, masih ada kemungkinanterjadinya ketidakpastian wilayah hukum tentang apakah perselisihanyang timbul akibat pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan hakatau perselisihan pemutusan hubungan kerja. Kedua, akibat darimengidentifikasikan perselisihan pemutusan hubungan kerja barangkaliperlu dipertimbangkan kembali oleh karena Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial akan memiliki wilayah hukum yang �pertama danakhir� atas perselisihan hak, tetapi tidak atas perselisihan pemutusanhubungan kerja.

RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan memberikan hakkepada para pekerja sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja.Beberapa di antaranya berhubungan dengan perlindungan terhadappraktek diskriminasi dalam pemutusan hubungan kerja. Hal-hal lain

1

berhubungan dengan uang yang wajib dibayarkan apabila terjadipemutusan hubungan kerja. Akan tetapi hak-hak yang disediakan dapatmenimbulkan pertanyaan mengenai wilayah hukum yang cukup penting.Bagaimana apabila ada kasus yang melibatkan seorang pekerja yangtidak menerima pembayaran sebagaimana disyaratkan dalam RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Apakah keadaan ini merupakanperselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan hak? Atau,apakah masalah pembayaran bersifat terpisah dari masalah pemutusanhubungan kerja, sehingga demi kegunaan wilayah hukum ada duaperselisihan yang ditimbulkan oleh satu kontroversi?

Sebagaimana telah disebut, Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial akan memiliki wilayah hukum yang pertama dan akhir dalamperselisihan hak, tetapi tidak dalam perselisihan pemutusan hubungankerja. Dengan demikian, perselisihan pemutusan hubungan kerja harustunduk kepada proses mediasi dan/atau arbitrase. Kalau diasumsikanbahwa perundingan bipartit tidak menyelesaikan perselisihan, adabeberapa kemungkinan yang ditimbulkan. Salah satunya adalah bahwapara pihak bersepakat untuk melakukan mediasi, dan perselisihantersebut diselesaikan melalui proses itu. Salah satu kemungkinan lainadalah bahwa para pihak mengajukannya untuk melalui arbitrase. Padaintinya sangat penting bagi para pekerja bahwa perselisihan mengenaipemutusan hubungan kerja dapat diselesaikan secepat mungkin, supayamereka dapat menemukan pekerjaan lain atau kembali bekerja denganpengusaha terkait. Penyelesaian cepat di Indonesia semakin penting olehkarena tingkat pengangguran yang tinggi dan banyaknya pekerjaan disektor informal. Sesuai dengan ini yang patut dipertimbangkan adalahberapa kali satu perselisihan pemutusan hubungan kerja semestinyadipertimbangkan: kalau terlalu banyak tahap dalam proses ini,dimungkinkan bahwa seorang pengusaha mendapatkan terlalu banyakkesempatan untuk mengulur-ulur proses, daripada membiarkanperselisihan diselesaikan berdasarkan fakta yang ada.

Di bawah sistem yang diusulkan dalam RUU, para pihak bolehmengupayakan penyelesaian perselisihan melalui mediasi sebelummengajukannya ke Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Disatu sisi, hal ini mungkin menyebabkan efek positif dengan menjaminbahwa sebagian perselisihan diselesaikan daripada dijadikan beban kerjaPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Di sisi yang lain, barangkalihal ini hanya akan menambah hambatan dalam bentuk waktu, biaya

1

dan usaha yang seorang pengusaha dapat menggunakan untukmenghalangi seorang pekerja yang sedang mencari penyelesaian terhadapperselisihan terkait. Barangkali seorang pengusaha akan menganggapbahwa mereka akan lebih diuntungkan oleh Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial apabila, misalnya, mereka menganggap atau justrusanggup menyuap personalia Pengadilan Perselisihan Hubungan Indus-trial. Salah satu kesulitan lain adalah bahwa putusan PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial dapat diajukan kasasi pada MahkamahAgung. Tentu saja penting bahwa Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial melaksanakan tugasnya sesuai dengan hukum serta bahwapertanyaan seperti ini dipertimbangkan pengadilan tertinggi negara, akantetapi satu kesulitan yang ada adalah bahwa Mahkamah Agung RImemiliki reputasi yang buruk dalam hal korupsi dan sudah lamamengalami tunggakan perkara yang besar.50 Sesuai dengan keadaanini, kasasi pada Mahkamah Agung barangkali akan memenangkan pihakpengusaha, yang lebih mungkin mempunyai kemampuan untuk menyuapmajelis hakim, sementara para pekerja, paling tidak, harus menunggulebih lama serta mengeluarkan usaha yang kemungkinan tidak sanggupditanggungnya. Keprihatinan ini telah menyebabkan LBH mengambilpendapat skeptis terhadap reformasi tersebut sebagaimana telahdijelaskan di atas.

Satu hal menarik lain berhubungan dengan perselisihan pemutusanhubungan kerja adalah bahwa definisinya (Psl. 1(4)) mengacu kepada�tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungankerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.� (Huruf italic ditambah olehpenulis). Dengan demikian, seorang pengusaha mungkin dapatmengajukan kecaman sebagai dasar pemutusan hubungan kerja. Halini dapat menimbulkan isu-isu menarik mengenai upaya yang PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial mungkin dapat dan bersediamemberikan kepada pengusaha pemohon. Misalnya, apakah PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial akan memerintahkan bahwa seorangpekerja, yang belum menyelesaikan kontrak pekerjaan waktu tertentu,harus kembali bekerja dan menyelesaikannya? Atau, dalam keadaanseperti ini apakah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akanmenetapkan upaya lain?

50 Lihat Lindsey, (2000)

1

Wilayah Hukum Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial & Perselisihan Hak

Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana perselisihan seperti iniyang telah gagal diselesaikan melalui perundingan bipartit dapat diajukankepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Pasal 4mengisyaratkan bahwa di mana perundingan bipartit tidak berhasilmenyelesaikan suatu perselisihan �penyelesaiannya dilakukan olehPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.� Hal ini bertentangandengan pasal 5 (2) yang mengisyaratkan bahwa apabila suatu perselisihantidak diselesaikan melalui perundingan bipartit, dan perselisihan tersebuttidak akan melalui mediasi atau arbitrase,�atas kemauan salah satu pihakpenyelesaian perselisihan dilakukan oleh Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial.�

Dengan demikian pertanyaan yang muncul adalah bagaimanaperselisihan hak yang tidak diselesaikan melalui perundingan bipartitdapat diajukan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial?Apakah salah satu di antara para pihak berkewajiban untukmengajukannya kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrialatau apakah ini hanya adalah suatu pilihan yang dapat diambil?Penggunaan kata �dilakukan� menimbulkan dugaan bahwa penggunaanPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial merupakan kewajiban. Halini barangkali disengaja dan dapat dijelaskan berdasarkan pentingnyaada putusan akhir dalam perselisihan, khususnya perselisihan hak dankondisi yang ada. Apabila ini adalah kebijakan pemerintah dan initerbukti melalui penggunaan kata �dilakukan� memang hal ini baik danbenar, tetapi bagaimana suatu perselisihan dapat diajukan kepadaPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial? Apabila di sisi lawannya,yaitu bahwa Pasal 4 harus dimengerti sesuai dengan pasal 5 (2) yangmembuka kemungkinan bagi para pihak dalam suatu perselisihanmempunyai akses kepada wilayah hukum Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial, lantas pertanyaan dapat muncul mengenai insentifbagi para pengusaha untuk menghambat perundingan bipartit agarmemaksa pekerja dan/atau serikatnya untuk mengambil langkah berikut,yang dapat diasumsikan menimbulkan biaya bagi mereka.

1

Hal-hal yang akan tercakup dalam peraturan

Beberapa aspek yang barangkali signifikan mengenai sistempenyelesaian perselisihan tidak diatur dalam RUU, tetapi akan selanjutnyadijelaskan dalam Peraturan Menteri. Tentu saja masuk akal bahwabeberapa hal yang penuh detail akan diatur dalam peraturan, tetapi halini seharusnya tidak mengorbankan pembentukan sistem penyelesaianperselisihan yang lengkap, transparan dan dapat dipertanggungjawabkandi dalam RUU-nya sendiri. Sesuai dengan hal ini di mana mungkin,hal-hal yang dapat mempengaruhi integritas sistem seharusnya diatur didalam RUU tersebut. Dalam suasana reformasi yang lambat dan tidakpasti sekarang ini, sangat penting bahwa sistem penyelesaian perselisihandiisolasi sedapat mungkin dari kemungkinan campur tangan politik.Sayang bahwa hal ini belum tercapai dalam RUU pada saat ini.

Satu contoh penting adalah banyaknya hal yang disebut dalam Pasal16, yang menimbulkan isu-isu penting yang perlu dijelaskan dalamperaturan Menteri:

l Syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mediator

l Prosedur untuk penunjukan dan pemberhentian jabatan seorangmediator; dan

l Prosedur mediasi.

Hal ini dapat dibandingkan dengan Pasal 33 sampai 40 yangmengatur secara rinci pengangkatan dan masa tugas hakim ad-hocPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (walaupun sebagaimanadibahas di bawah ada beberapa kelemahan dalam persyaratan ini baikjuga dalam bidang wewenang Menteri).

Sebaiknya RUU memuat syarat-syarat rinci mengenai mediatorsebagaimana halnya dengan hakim ad-hoc. Perbedaan utama antaraseorang mediator dan hakim ad-hoc ditentukan oleh kedudukannyadalam kerangka penyelesaian perselisihan, daripada pengetahuan,pengalaman dan ketrampilan yang mereka harus miliki (walaupun benarbahwa mediasi adalah bidang terpisah yang memerlukan kemampuanberbeda). Dengan demikian seharusnya mungkin untukmengidentifikasikan syarat-syarat dan prosedur yang diinginkan untukditunjuk sebagai mediator maupun menjelaskannya di dalam UU.

Akan tetapi, masalah prosedur mediasi cukup berbeda. Belum jelasmengapa seharusnya ada prosedur mediasi tertentu. Tidak ada prosedur

1

yang dijelaskan dalam RUU mengenai tugas para arbiter atau mengenaitugas Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Memang sudahlazim bahwa seorang mediator perlu bersikap fleksibel dalam mencarijalur untuk melaksanakan tugas mediasi dalam perselisihan hubunganindustrial, dan dengan demikian barangkali layak apabila mediatordiberikan keleluasan yang cukup dalam melaksanakan tugasnya, daripadamengharuskannya mengikuti prosedur rinci.

III. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial:Wilayah Hukum & Beban Kerja; Pembentukan,Wewenang & Tugas

Dalam banyak hal Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrialadalah dasar dari sistem yang diusulkan dalam RUU. Dengan demikianadalah layak untuk mempertimbangkan isu-isu yang berikut: pertama,apakah alokasi perselisihan perorangan mengenai hak atas wilayahhukum Pengadilan Hubungan akan berarti bahwa PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial memiliki beban kerja berat sehinggatidak sanggup melaksanakan fungsinya; dan kedua, apakah dalam RUUyang sekarang ini Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial cukupindependen dan memiliki kekuatan yang layak untuk memainkanperanannya.

Wilayah Hukum dan Beban Kerja

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial tidak akan sanggupmelaksanakan tugasnya secara efektif apabila terlalu banyak jumlahperkara diajukan kepadanya. Akibatnya adalah hal ini akan membawadampak signifikan terhadap kepercayaan masyarakat terhadapPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial, sehingga mengurangikemungkinan bahwa sistem penyelesaian perselisihan akan berfungsisecara efektif. Dengan demikian penting untuk mempertimbangkankeluasan wilayah hukum yang akan diberikan kepada PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial dalam RUU ini.

Konsep perselisihan hak dalam RUU tersebut mempertimbangkanbidang hubungan industrial yang signifikan. Misalnya, sebagian besar

1

RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan memperhatikan masalahalokasi hak (seperti waktu kerja dan kerja lembur, RUU Pembinaan danPerlindungan Ketenagakerjaan, Psl. 86-88); dan dengan terciptanya mekanismeuntuk mengalokasikan hak (baik perjanjian kerja perorangan danperjanjian bersama kemungkinan akan menjadi sumber hak yang pentingdi tempat kerja). Perselisihan hak barangkali juga akan diakibatkan olehkewajiban yang berhubungan dengan jaminan sosial: Psl. 109 dari RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Dari banyak segi pandangan,hal-hal yang dapat menjadi pokok persoalan tentang hak bersifat luasdan bermacam-macam.

Tentu saja sebab kenyataan bahwa Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial memiliki wilayah hukum yang luas atas semuaperselisihan di tempat kerja tidaklah semestinya berarti bahwa akan adaakibat buruk terhadap beban kerjanya serta kemampuan untukmemainkan peranannya secara efektif. Akan tetapi, yang menjadi sangatpenting adalah bahwa meskipun semua perselisihan akan terlebih dahulumelalui perundingan bipartit, perselisihan hak setelah proses itu,sebagaimana telah dibahas, langsung diajukan kepada PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial (Psl. 4). Dengan demikian hanya adasatu langkah antara perselisihan hak yang muncul dan kemungkinandapat diputus oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yangmemiliki wilayah hukum yang pertama dan akhir dalam hal-hal sepertiini. Seperti yang disebut di atas, tidaklah banyak insentif untuk terlibatdalam perundingan bipartit secara sungguh-sungguh dan hal inibarangkali membawa dampak buruk terhadap beban kerja PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial. Walaupun kedua pihak mungkin akanmemilih untuk mengupayakan penyelesaian perselisihannya melaluiperundingan bipartit daripada mengambil risiko dikeluarkan putusanyang tidak menguntungkannya oleh sebab korupsi di tingkat PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial, sebagaimana telah disebut, lebihmungkin menguntungkan pihak pengusaha daripada para pekerja danserikat pekerja.

Suatu isu lain dan yang terakhir dalam analisa ini mengenai bebankerja Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial adalah kemungkinanbahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan dibanjiriperselisihan kepentingan perorangan. Menurut definsi yang termuat didalam RUU tersebut, perubahan apa saja terhadap kondisi pekerjaanyang telah ditentukan adalah perselisihan kepentingan. Dengan

1

demikian, di permukaannya definisi ini termasuk segala macam situasidi mana seorang pengusaha mengusulkan perubahan terhadap kondisipekerjaan apa saja. Setiap situasi seperti ini akan perlu melaluiperundingan bipartit, tetapi kemudian dapat diajukan kepada PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial apabila para pihak tidak mencapaikesepakatan.

Fungsi dan Wewenang Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial

Status kelembagaan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrialtidak jelas dalam RUU: apakah Pengadilan Perselisihan Hubungan In-dustrial akan menjadi lembaga yang independen penuh atau digabungkandengan sistem peradilan yang telah ada? Penggunaan istilah �PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial� menimbulkan pendapat bahwa ituadalah sebuah lembaga yang terpisah dari lembaga lain, terutamaterpisah dari sistem peradilan. Akan tetapi memang ada hubungansignifikan antara Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dan sistemperadilan yang ada. Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akandibentuk pada Mahkamah Agung dan pada Pengadilan Negeri di setiapibukota provinsi (Psl. 28, 29). Ketua Mahkamah Agung mempunyaiwewenang untuk mengangkat dan memberhentikan hakim PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial (Psl. 31, 32). Ketua Mahkamah Agungdan Ketua setiap Pengadilan Negeri akan melakukan pengawasanterhadap pelaksanaan tugas Pengadilan Perselisihan Hubungan Indus-trial pada Mahkamah Agung dan setiap Pengadilan Negeri masing-masing (Psl. 41).

Di sisi lain, ketua pengadilan ini tidak diberikan wewenang untukmengawasi Panitera Pengadilan Negeri yang akan ditunjuk dari pegawaidalam instansi pemerintah yang bertanggungjawab atas ketenagakerjaan(Psl. 47). Hal ini dapat menimbulkan isu-isu berhubungan denganberfungsinya Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial secara layak:meskipun ketua pengadilan ini akan mampu mengontrol dan mengaturpelaksanaan tugas pegawai peradilan dari Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial, rupanya mereka tidak akan berwenang mengaturpelaksanaan tugas bagian administratif Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial. Antara lain, hal ini memungkinkan PaniteraPengadilan Negeri mengatur bagaimana Pengadilan Perselisihan

1

Hubungan Industrial ini akan berfungsi dari dalam Depnaker, daripadadari dalam sistem peradilan. Tentu saja pada akhirnya Depnaker harusbertanggungjawab kepada Menteri dan hal ini barangkali merupakanjalur terjadinya manipulasi politik terhadap pelaksanaan tugas PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial yang seharusnya dihapus dari RUUapabila dimungkinkan.

Defnisi �Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial� dalam RUUtersebut tidak begitu membantu dalam usaha mencari tahu apakahPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial bersifat independen penuh:�pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan peradilanumum yang berwenang memeriksa dan memutus perselisihan hubunganindustrial.� Definisi kata �Hakim� dan �Hakim Mahkamah Agung�menimbulkan pendapat bahwa Pengadilan Perselisihan Hubungan In-dustrial akan menjadi sebagian dari lembaga pengadilan masing-masingoleh karena disebut �Hakim Karier Pengadilan Negeri yang ditugasipada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial� dan �Hakim AgungKarier � ditugasi untuk memeriksa perkara Perselisihan HubunganIndustrial� (Psl. 1(15) dan 1(16)).

Sepertinya yang dimaksudkan dalam RUU adalah pembentukanwilayah hukum hubungan industrial khusus di dalam pelaksanaan tugasPengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Apabila demikian, adakemiripan dengan bekas Divisi Industrial dari Pengadilan Federal Aus-tralia (Federal Court of Australia). Rupanya Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial tidak akan menjadi Pengadilan Perburuhan yangindependen secara penuh. Apabila demikian, ada dua kerugian utama.

Pertama, untuk mencapai tujuan membentuk mekanismepenyelesaian perselisihan yang mengembangkan dan mempertahankankepercayaan para pihak yang berselisih, barangkali lebih baik dibentukwilayah hukum khusus yang independen penuh. Tentu saja sebagiandari masalah ini ditangani oleh karena kelihatannya bahwa PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial akan terdiri atas orang-orang yangmempunyai keahlian dalam hubungan industrial, khususnya hakim ad-hoc.

Kesulitan kedua yang diakibatkan kalau Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial digabungkan ke dalam struktur peradilan yang adatidaklah masalah yang berhubungan dengan teori penyelesaianperselisihan hubungan industrial. Malah isu ini adalah apakah PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial akan mengalami tuduhan �bersalah

1

melalui asosiasinya�, serta dari awal pembentukan dianggap memilikijenis dan tingkat korupsi yang sedang melanda sistem peradilan secaraumum di Indonesia. Studi kasus di atas memperlihatkan bahwa sudahada anggapan bahwa Pengadilan tidak akan menyelesaikan perselisihanhubungan industrial yang diajukan kepadanya secara independen; sertabahwa para pengusaha, jaksa dan hakim akan berkolusi satu sama lainuntuk menentukan hasil perkara.

Sesuai dengan hal ini, barangkali layak untuk mempertimbangkanpembentukan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial sebagaibadan yang independen penuh. Secara ideal, Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial yang independen akan diketuai seseorang yangdapat berupa Hakim Ketua atau Presiden sesuai dengan apa yangdirasakan perlu. Sebuah Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrialindependen secara ideal perlu memberikan laporan kepada Presiden,Parlemen, atau Menteri setiap tahun, di mana Menteri berkewajibanmenyerahkan laporan tersebut kepada lembaga legislatif. Tentu saja,pembentukan badan independen yang sama sekali baru membawadampak terhadap anggaran belanja, dan memang sangat perlu bahwabadan tersebut memiliki dana yang memadai dan terjamin apabila dapatberfungsi secara sungguh-sungguh independen dan efektif. Tergantungpada apa yang ditulis dalam paragraf berikut tentang kurang jelasnyapersyaratan berhubungan dengan pengangkatan hakim ad-hoc,penggunaan pegawai-pegawai seperti ini secara prinsip dapat menjadimodel yang berguna dan layak dalam sistem penyelesaian perselisihan;memang model ini sudah umum di negara lain. Sudah hal lazim dalamsistem penyelesaian perselisihan untuk mengisyaratkan bahwa naik band-ing (kasasi) dari Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yangindependen diajukan langsung ke Mahkamah Agung, tetapi hanyamengenai masalah hukum tertentu. Akan tetapi, hal ini akan perlupertimbangan secara hati-hati di dalam konteks Indonesia oleh karenapersoalan kelembagaan Mahkamah Agung.

Kewenangan menteri atas penunjukan hakim ad-hoc

Suatu isu terpisah tetapi terkait adalah syarat mengenaipengangkatan hakim ad-hoc Pengadilan Perselisihan Hubungan Indus-trial. Syarat-syarat ini panjang dan rinci � sebetulnya ada lebih banyakpengaturan tentang hakim ad-hoc dibandingkan jabatan lain dalam

1

proses penyelesaian perselisihan. Meskipun demikian ada kekuranganpenting dalam skema legislatif dan hal-hal ini berhubungan denganperanan penting yang diberikan kepada Menteri dalam memilih danmenunjuk hakim ad-hoc. Hal ini sangat berbeda dengan syarat-syaratmengenai pengangkatan hakim lain yang diangkat Ketua MahkamahAgung dan yang pelaksanaan tugasnya diawasi Ketua Mahkamah Agungatau Hakim Ketua Pengadilan Negeri, sesuai dengan konteks.

Akan tetapi, bagi hakim ad-hoc situasinya sangat berbeda. Hakimad-hoc diangkat dengan Keputusan Presiden. Orang-orang yangmungkin akan diangkat harus diusulkan kepada Menteri oleh KetuaMahkamah Agung (Psl. 33(1)) dan daftar nama dari mana KetuaMahkamah Agung akan memilih pada awalnya diusulkan oleh organisasipekerja dan pengusaha (Psl. 32(1)). Rupanya secara efektif hal ini berartikeputusan untuk mengangkat hakim ad-hoc diambil oleh KetuaMahkamah Agung. Akan tetapi, daftar nama yang diserahkan kepadaKetua Mahkamah Agung harus disetujui Menteri. Dengan demikian,Menteri akan menyetujui pencalonan yang diserahkan kepada KetuaMahkamah Agung, kemudian Ketua Mahkamah Agung akan membuatsuatu usul kepada Menteri, yang kemudian akan mengajukannya kepadaPresiden, sehingga dalam kenyataan kekuatan riil berada di tanganMenteri.

Tentu saja RUU menjelaskan syarat-syarat yang perlu untukditunjuk sebagai hakim ad-hoc, maka Menteri tidak dapat menunjukhakim ad-hoc secara sembarangan. Akan tetapi, RUU tidak menjelaskandasar yang harus dipakai Menteri untuk menyetujui calon yang diusulkanorganisasi pekerja atau pengusaha. Lagipula RUU tidak berisikanmekanisme di mana seorang calon yang diusulkan organisasi pekerjaatau pengusaha, tetapi tidak disetujui Menteri, dapat mengajukan band-ing terhadap penolakannya.

Salah satu kelemahan RUU lainnya adalah bahwa RUU ini tidakmenjelaskan organisasi pengusaha atau pekerja yang berhakmengusulkan calon untuk ditunjuk sebagai hakim ad-hoc. Barangkalikriteria ini dapat termasuk, misalnya, bahwa organisasi tersebut adalahyang paling mewakili. Satu isu lagi yang perlu diperhatikan adalah bahwaPasal 33 mengacu kepada organisasi pekerja daripada serikat pekerjayang diberikan nomor bukti pencatatan sesuai UU Serikat Pekerja/SerikatBuruh. Barangkali lebih layak apabila syarat ini digunakan sebagai kriteria(walaupun mungkin ini tidak akan menguntungkan serikat pekerja bila

1

dibandingkan dengan organisasi pengusaha, yang tidak perlu mengikutiproses pemeriksaan yang mirip untuk mendapatkan nomor buktipencatatan).

Pada intinya RUU tersebut seharusnya memperkenalkan sebuahsistem yang independen, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.Dalam bentuknya yang sekarang ini, RUU belum cukup jelas dalam halsyarat-syarat dan kondisi yang dipakai untuk mencalonkan danmengangkat seorang sebagai hakim ad-hoc, kendatipun jabatan inimenduduki posisi cukup penting dalam sistem penyelesaian perselisihanyang diusulkan. Lagipula pada saat ini RUU memberikan wewenangyang terlalu besar dan kurang terarah kepada Menteri dalam prosespencalonan dan penunjukan. Hal ini barangkali dapat menyebabkanproses tersebut terbuka untuk manipulasi politik atau anggapan bahwaada manipulasi politik yang efeknya hampir seburuk manipulasi yangsebenarnya.

Kewenangan Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial

Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial akan memiliki wilayahhukum luas � dan dalam beberapa hal berwenang mengeluarkan putusanakhir. Dalam hal ini Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial�adalah pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkunganperadilan umum� (Psl. 1(14) tetapi belum jelas apakah maksud perkataantersebut, khususnya mengenai batasan kekuatan Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial, perintah serta upaya hukum yang dapat dibuatnya.Barangkali kenyataannya adalah bahwa Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial harus melaksanakan tugasnya sesuai denganHukum Acara Perdata (Psl. 54) yang menyoroti persoalan ini, tetapi tidakdijelaskan dalam RUU. Masalah sekitar upaya hukum yang dapatdiperintahkan sangat menentukan terhadap tugas Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial. Tentu saja para pihak hanya diberikan insentifkecil untuk mengajukan perselisihannya kepada Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial untuk penyelesaian apabila mereka tidakmemahami hasil apa yang dapat diharapkannya.

Masalah tentang upaya hukum adalah cukup penting dalamperselisihan pemutusan hubungan kerja. Standar perburuhaninternasional serta hukum setempat banyak negara memuat persyaratankhusus terhadap upaya hukum dalam kasus pemutusan hubungan kerja.

1

Pada umumnya instansi yang bertanggungjawab memeriksa hal-halseperti ini diberikan kekuatan hukum untuk mengeluarkan perintahbahwa seorang pekerja yang terbukti diputuskan hubungan kerjanya atasdasar yang salah harus dipekerjakan kembali. Apakah PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial tersebut memiliki kekuatan hukum ini?Apabila demikian, prinsip apakah yang harus dianut dalammelaksanakan hal tersebut? RUU tersebut perlu diamandemen secarajelas untuk menangani masalah ini.

IV. Hal-hal yang tidak termuat dalam RUU

Ada beberapa hal penting yang kemungkinan menjadi sumberperselisihan perburuhan yang tidak tercakup dalam RUU, sehinggamekanisme penyelesaian perselisihan tidak dapat diterapkan terhadapnya.Hal-hal ini barangkali merupakan kelemahan yang signifikan.

Perselisihan antara serikat pekerja dan anggotanya

Tidak perlu secara mutlak untuk perselisihan antara serikat pekerjadan anggotanya dijadikan sebagian dari wilayah hukum sistempenyelesaian perselisihan hubungan industrial. Hal-hal ini dapatdiselesaikan menurut prinsip umum hukum perdata yang mengaturpenerapan peraturan terhadap organisiasi masyarakat sipil mana saja.

Akan tetapi, perselisihan di dalam serikat pekerja dapat memilikihubungan penting terhadap tujuan dan fungsi umum dari serikat pekerjasebagai wakil pekerja dalam perselisihan perburuhan, dan dengandemikian berfungsinya sistem penyelesaian perselisihan hubungan in-dustrial secara keseluruhan. Dalam sistem Indonesia, misalnya, serikatpekerja yang mempunyai nomor bukti pencatatan yang berhak mewakilipekerja dalam perundingan pembuatan perjanjian bersama, serta untukmengajukan perselisihan kepada Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial. Oleh karena hubungan ini serta bahwa serikat pekerja yangberfungsi secara penuh adalah penting bagi sistem penyelesaianperselisihan, barangkali layak untuk dipertimbangkan masuknyaperselisihan antara serikat pekerja dan anggotanya ke dalam wilayahhukum baru yang diusulkan. Meskipun perselisihan seperti ini tidakterkait dengan perselisihan perburuhan bersama maupun perorangan,

1

sudah umum bahwa perselisihan seperti ini disebabkan atau menjadisebagain dari masalah yang mempengaruhi suatu serikat pekerja �terutama perbedaan pendapat politik atau antar faksi di dalamnya.Mungkin hal-hal seperti ini dapat diselesaikan lebih cepat dan efektifapabila dijadikan sebagian dari wilayah hukum Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial, sehingga sistem secara keseluruhan akanbermanfaat.

Dari sudut pandang praktis dapat pula merupakan keuntungan bagiserikat pekerja dan anggotanya agar perselisihan internalnya dapatdiselesaikan melalui Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrialdaripada di pengadilan umum, oleh karena suatu Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial lebih mungkin memiliki pengetahuan khusus dalammasalah hubungan industrial.

Perselisihan antara pekerja dan pemerintah

Menurut RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan kewajibanpemerintah terhadap pekerja bersifat luas. Kewajiban ini termasukmasalah mengenai pelatihan kerja dan penempatan kerja. Perselisihanpenempatan kerja harus tunduk kepada mekanisme penyelesaianperselisihannya sendiri menurut RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan (Psl. 43 - 45), akan tetapi tidak ada syarat yang miripmengenai pelatihan kerja atau kewajiban pemerintah yang lain terhadappekerja di dalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagaker jaan.Kegagalan untuk memenuhi kewajiban seperti ini dapat dianggapperselisihan hubungan industrial dan barangkali dapat mengganguhubungan industrial. Oleh karena itu barangkali layak apabila hal-halseperti ini merupakan sebagian dari wilayah hukum PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial.

Perselisihan antar organisasi pengusaha, serta antaraorganisasi pengusaha dan anggotanya

Salah satu kategori perselisihan hubungan industrial lain yang tidaktercakup oleh definisi dalam RUU tersebut adalah perselisihan antarorganisasi pengusaha, serta antara organisasi pengusaha dan anggotanya.Pengalaman di wilayah hukum lain memberi kesan bahwa tidakmasuknya perselisihan ini di dalam RUU tidak terlalu penting: jarang

1

perselisihan seperti ini diajukan kepada pengadilan hubungan industrialnegara lain. Meskipun demikian, barangkali layak diperhatikan apakahperselisihan seperti ini akan terjadi di Indonesia dalam konteks hubunganindustrial, dan apabila demikian, apakah layak untuk masuk dalamwilayah hukum sistem penyelesaian perselisihan.

Perselisihan pemagangan (intern)

RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan mengacu kepadapemagangan (Psl. 22) dan mengisyaratkan bahwa mereka mempunyaiperjanjian pemagangan dengan perusahaan di mana mereka bekerja.Akan tetapi belum jelas bagaimanakah perselisihan antara para magangdan perusahaan di mana mereka bekerja akan diselesaikan oleh karenapelaksanaan RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Apabila parapihak menganut Psl. 22 dan dimilikinya perjanjian pemagangan,kemudian seorang magang tidak dianggap sebagai pekerja perusahaanterkait. Apakah hal ini berarti bahwa mereka tidak boleh menggunakanprosedur penyelesaian perselisihan yang diusulkan dalam RUU?Perjanjian pemagangan tidak termasuk dalam sumber hak yangmerupakan dasar perselisihan hak. Apabila seorang magang tidakdianggap pekerja perusahaan, apakah seorang pengusaha juga wajibmelaksanakan hak-hak statuternya sebagaimana tertera dalam RUUPembinaan dan Perlindungan Ketenagaker jaan? Jikalau demikian apakahperselisihan seperti ini mengenai hak dapat diajukan kepada PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial setelah melalui perundingan bipartit?

Di sisi lain, apabila para pihak tidak menganut Psl. 22, yaitu memilikiperjanjian pemagangan, seorang magang kemudian dianggap pekerjaperusahaan. Barangkali hal ini akan menguntungkan seorang magangoleh karena dapat ditafsirkan bahwa seorang magang mendapatkansemua hak yang termuat dalam RUU Pembinaan dan PerlindunganKetenagakerjaan, sehingga tercakup dalam wilayah hukum PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial.

Kemungkinan sebagian dari masalah-masalah ini seharusnya diaturdalam RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan. Akan tetapi, jugaada hal-hal yang tidak termuat dalam RUU Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial yang bersifat signifikan. RUU tersebut mendefinisikanseorang pekerja sebagai seseorang yang menerima upah: dengandemikian apabila seorang magang tidak menerima upah, mereka sama

1

sekali dikecualikan dari mekanisme penyelesaian perselisihan. Satu syaratlain yang mungkin perlu diamandemen untuk mengatasi persoalan iniadalah definisi perselisihan hak yang tidak termasuk perjanjianpemagangan, atau mengenai magang yang dianggap pekerja dalam Psl.22 RUU Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan oleh karena tidak adaperjanjian pemagangan.

V. Kesulitan Dalam Merancang dan Isu-Isu lain

Beberapa pertanyaan muncul dari rancangan legislatif, atau palingtidak dari versi RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dalambahasa Inggris yang merupakan dasar analisa ini.

Arbiter

Dalam keadaan apakah Menteri akan menunjuk seorang arbiter?Definisi seorang arbiter dalam Psl. 1 (13) menyebut bahwa seorang aribiterakan ditunjuk Menteri. Akan tetapi rupanya tidak ada syarat dalam Psl.17 dan yang lain tentang penunjukan aribter oleh Menteri.

Menurut Psl. 26, hal-hal yang telah diputuskan seorang arbiter tidakdapat dialihkan kepada Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.Belum jelas apakah syarat ini akan mencegah para pihak dalam suatuperselisihan menarik kasusnya yang belum diputuskan seorang arbiter danberusaha mencari penyelesaian dari Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial. .

Oleh karena dasar wilayah hukum seorang arbiter adalahpersetujuan antara para pihak, di satu sisi tidak terlihat alasan yangmencegah mereka menarik persetujuannya untuk penyelesaian olehseorang arbiter. Di sisi yang lain, sistem ini diasumsikan didisain untukmendorong para pihak untuk menyelesaikan perselisihannya di luarPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. Tujuan ini tidak didukungapabila, misalnya, para pihak yang berpendapat putusan arbiterkemungkinan tidak menguntungkanya dapat �mendahului� putusan inidan mengajukan perselisihannya kepada Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial. Dengan adanya syarat bahwa proses memilihidentitias arbiter bersifat independen, termasuk oleh Menteri, dapatdiargumenkan bahwa tidak patut untuk membiarkan para pihak dapat

1

menghindari putusannya secara efektif. Akan tetapi, apabila kebijakanRUU adalah bahwa suatu perselisihan yang diajukan kepada seorangarbiter tidak semestinya diajukan kepada Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial, masuk akal apabila Psl. 26 diamandemen sesuaidengan kemungkinan ini.

Pengangkatan dan pemberhentian hakim

Psl. 32 dari RUU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengacukepada �peraturan perundang-undangan yang berlaku� yang perludianut Ketua Mahkamah Agung untuk menentukan apakah seseorangakan diangkat sebagai hakim Pengadilan Perselisihan Hubungan Indus-trial. Akan tetapi belum jelas dalam RUU apakah yang dimaksudkandengan peraturan perundang-undangan tersebut. Apakah, misalnya,peraturan perundang-undangan tersebut akan dibuat berdasarkan RUU?Atau apakah hal ini mengacu kepada syarat yang telah ada di dalamkonteks lain untuk menentukan apakah seseorang boleh diangkat sebagaihakim pengadilan di Indonesia?

Psl. 34 menjelaskan syarat-syarat yang diperlukan untuk diangkatsebagai hakim ad-hoc. Sebagaimana telah dibahas, masalah ini diatursecara rinci di satu sisi, dan di sisi lain menyerahkan banyak hal kepadakeleluasaan Menteri yang tak diatur. Oleh karena alasan ini barangkalisebaiknya menghapus persyaratan seperti yang mengisyaratkan bahwapara calon �berwibawa�. Syarat ini hanya mengundang pertimbangansubyektif yang dapat dipakai untuk menyingkirkan calon yang memilikikwalifikasi, berdasarkan alasan politik atau hal lain yang tidak layak untukmempengaruhi keputusan mengenai siapa yang patut menjadi hakimad-hoc.

Psl. 42 mengacu kepada peraturan pemerintah yang akan dibuatmengenai prosedur untuk memberhentikan hakim ad-hoc. Apakah adaperbedaan antara peraturan pemerintah dan peraturan Menteri yangdengan sengaja dibuat dalam keadaan seperti ini? Prosedur untukmemberhentikan hakim-hakim ad-hoc Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial sebaiknya termuat dalam RUU-nya sendiri. Halini akan memperkuat keindependenan hakim ad-hoc dari pengaruhpolitik, dan demikian pula independensi Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial itu sendiri.

1

Putusan Akhir

Psl. 70 menjelaskan bahwa putusan Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial dalam perselisihan antar serikat pekerja merupakanputusan akhir yang tetap. Syarat ini barangkali seharusnya disamakandengan putusan mengenai perselisihan hak, oleh karena wilayah hukumPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yang berhubungan dengankedua jenis perselisihan ini, digambarkan sebagai yang �pertama danakhir� (Psl. 78).

1

Bab Kesatu Ketentuan Umum

Psl. 1 Definisi:l Perselisihan hubungan industriall Perselisihan hakl Perselisihan kepentinganl Perselisihan pemutusan hubungan kerjal Perselisihan antar serikat pekerja/serikatburuhl Pengusahal Perusahaanl Serikat pekerja/serikat buruhl Pekerja/buruhl Mediasil Mediatorl Arbitrase industriall Arbiter industriall Pengadilan Perselisihan Hubungan Industriall Hakiml Hakim Agungl Hakim Ad-hocl Menteri

Psl. 2 Definisi hubungan industrial

Psl. 3 Penyelesaian perselisihan melalui perundinganbipartit

Lampiran

PEDOMAN RUU PENYELESAIAN

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PASAL DEMI PASAL

1

Psl. 4 Penyelesaian perselisihan oleh pengadilanperselisihan hubungan industrial apabilaperundingan gagal

Psl. 5 Tata cara penyelesaian perselisihan melaluimediasi, arbitrase atau pengadilan perselisihanhubungan industrial apabila perundingan gagal

Bab Kedua Tata Cara Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial

Bagian Kesatu Penyelesaian Bipartit

Psl. 6 Kewajiban untuk mengupayakan penyelesaianbipartit dan definisinya

Psl. 7 Risalah perundingan yang memuat hasilperundingan bipartit

Psl. 8 Perjanjian bipartit yang tertulis; sifatnya yangmengikat secara hukum

Bagian Kedua Penyelesaian melalui mediasi

Psl. 9 Mediasi perselisihan (kecuali perselisihan hak)oleh mediator

Psl. 10 Mediator harus memulai penelitian dalam waktu7 hari

Psl. 11 Wewenang mediator untuk memanggil saksi; hakmediator menerima penggantian biaya

Psl. 12 Kewajiban membantu seorang mediator dalampenelitiannya

Psl. 13 Para pihak menandatangani perjanjian setelahmediasi, atau mediator mengeluarkan anjuranyang harus diberikan pendapatnya oleh parapihak

Psl. 14 Penyelesaian oleh Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial jikalau anjuran mediatorditolak

1

Psl. 15. Mediator menyelesaikan tugasnya dalam waktu30 hari

Psl. 16 Ketentuan mengenai mediator diatur denganKeputusan Menteri

Bagian Ketiga Penyelesaian melalui arbitrase industrial

Psl. 17 Para pihak membuat kesepakatan tertulis untukmenyelesaikan perselisihan melalui arbitraseindustrial

Psl. 18 Para pihak harus menyetujui identitas arbiter

Psl. 19 Arbiter harus terdaftar

Psl. 20 Syarat-syarat untuk didaftar sebagai arbiter

Psl. 21 Penunjukan arbiter oleh Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial apabila para pihak tidakmencapai kesepakatan

Psl. 22 Formalitas dalam putusan arbiter

Psl. 23 Putusan arbiter mengikat secara hukum dandapat dilaksanakan

Psl. 24 Prinsip hukum yang mengatur pelaksanaan tugasarbiter

Psl. 25 Dasar untuk peninjauan kembali terhadapputusan arbiter oleh Mahkamah Agung

Psl. 26 Perselisihan tertentu dalam penyelesaian ataudiselesaikan oleh arbiter, tidak dapat diajukankepada pengadilan perselisihan hubungan indus-trial

Psl. 27 Ketentuan mengenai arbiter diatur denganKeputusan Menteri

Bab Ketiga Pengadilan Perselisihan Hubungan Indus-trial

Bagian Kesatu Umum

1

Psl. 28 Di mana Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial akan dibentuk

Psl. 29 Pembentukan Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial dan tempatnya

Psl. 30 Keanggotaan Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial

Bagian Kedua Hakim, Hakim Ad-hoc dan Hakim Agung

Psl. 31 Pengangkatan dan pemberhentian HakimPengadilan Perselisihan Hubungan Industrial(oleh Hakim Agung)

Psl. 32 Pengangkatan Hakim harus sesuai denganperaturan perundang-undangan

Psl. 33 Pengangkatan dan pemberhentian Hakim Ad-hoc

Psl. 34 Syarat-syarat Hakim Ad-hoc

Psl. 35 Sumpah jabatan Hakim Ad-hoc

Psl. 36 Hakim Ad-hoc tidak boleh merangkap jabatantertentu

Psl. 37 Alasan untuk pemberhentian Hakim Ad-hocdengan hormat

Psl. 38 Alasan untuk pemberhentian Hakim Ad-hocdengan tidak hormat

Psl. 39 Pemberhentian sementara Hakim Ad-hocsebelum diberhentikan dengan tidak hormat

Psl. 40 Jumlah Hakim Ad-hoc dan Hakim Agung yangakan diangkat

Psl. 41 Wewenang Ketua Mahkamah Agung untukmelakukan pengawasan dan memberi petunjukkepada Hakim, Hakim Ad-hoc dan PaniteraPengganti dari Pengadilan PerselisihanHubungan Industrial

Psl. 42 Tata cara pemberhentian Hakim Ad-hoc

1

Psl. 58 Kewajiban untuk membantu Hakim dalam upayapenyelesaian perselisihan

Psl. 59 Sahnya sidang pengadilan

Psl. 60 Sidang pengadilan lebih lanjut apabila salah satupihak tidak dapat hadir

Psl. 61 Wewenang Pengadilan Perselisihan HubunganIndustrial apabila salah satu pihak tidak hadir

Psl. 62 Sidang Majelis Hakim terbuka untuk umum; hallain mengenai tata cara persidangan

Paragraf Kedua Pengambilan Putusan

Psl. 63 Majelis Hakim harus menaati hukum dankeadilan

Psl. 64 Putusan dibacakan dan diberitahukan kepadapara pihak

Psl. 65 Majelis Hakim harus mengeluarkan putusandalam waktu 90 hari

Psl. 66 Formalitas putusan

Psl. 67 Menyampaikan pemberitahuan putusan kepadapara pihak yang tidak hadir

Psl. 68 Penerbitan salinan putusan

Psl. 69 Salinan putusan disampaikan kepada para pihak

Psl. 70 Putusan Majelis Hakim dalam perselisihan antaraserikat bersifat akhir dan tetap

Psl. 71 Putusan Majelis Hakim dalam perselisihankepentingan atau pemutusan hubungan kerjadapat diajukan kasasi pada Mahkamah Agungdalam waktu 14 hari

Psl. 72 Tata cara mengajukan kasasi pada MahkamahAgung

1

Bagian Kedua Penyelesaian Perselisihan oleh HakimKasasi

Psl. 73 Pengangkatan Hakim Agung PengadilanPerselisihan Hubungan Industrial olehMahkamah Agung

Psl. 75 Tata cara permohonan kasasi dan penyelesaianperselisihan tertentu dilakukan sesuai denganperaturan perundang-undangan

Psl. 76 Kasasi harus diselesaikan dalam waktu 30 hari

Bab Kelima Pencegahan Pemogokan dan Penutupan(Lockout)

Psl. 77 Pengakhiran aksi industrial apabila penyelesaianperselisihan dimulai

Bab Keenam Ketentuan Pidana

Psl. 78 Sanksi atas tidak mengikuti kewajiban mengakhiriaksi industrial, atau untuk membantu HakimAgung

Bab Ketujuh Ketentuan Lain-Lain

Psl. 79 Undang-undang ini diterapkan terhadap usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidakberbentuk perusahaan yang mempekerjakanorang

Bab Kedelapan Ketentuan Peralihan

Psl. 80 Dampak undang-undang terhadap lembagapenyelesaian perselisihan terdahulu danperselisihan yang belum diselesaikan

1

Bab Kesembilan Ketentuan Penutup

Psl. 81 Undang-undang lain yang dinyatakan tidakberlaku lagi

Psl. 82 Undang-undang ini akan mulai berlaku duatahun setelah diundangkan

1

Daftar Pustaka

BUKU & JURNAL

ACFOAHRO, 1991, Labour law in Indonesia, INFID, Melbourne.

Antons, Christoph, 1997, �Indonesian Intellectual Property in Context�,dalam Veronica Taylor (ed), Asian Laws Through Australian Eyes, LBC,Sydney.

Bennett, Michael, 1999, �Banking Deregulation in Indonesia: An Up-dated Perspective in Light of the Asian Financial Crisis�, 20, Univer-sity of Pennsylvania Journal of International Economic Law, 1.

CCH (eds. T. Lindsey & A. Whiting), 2000, �Indonesia�, Doing Business inAsia, CCH, Singapore.

Cooney, Sean and Richard Mitchell, 2000, �Labour Relations and theLaw in Three East Asian NICs: Some Problems and Issues for Com-parative Labour Law Inquiry�, in The Impact of Globalisation on Na-tional and Regional Systems of Industrial Relations and Employment Rela-tions, 12th World Congress of the International Industrial RelationsAssociation, Tokyo 2000 Proceedings, Vol.2, 153-167.

Cribb, Robert, (ed), 1991, The Indonesian Killings 1965-1966: Stories fromJava and Bali, Monash Papers on Southeast Asia No. 21, MonashUniversity, Clayton, 2nd ed.

Economic & Business Review Indonesia, 1995, �Indonesia �A Middle IncomeCountry:� Soeharto�, 25 August.

Economic & Business Review Indonesia, 1995, �Indonesia �A Middle IncomeCountry:� Soeharto�, 25 August.

Fehring, Ian, 1999, dalam Tim Lindsey (ed), Law & Society in Indonesia,Federation, Sydney, 367-80.

1

Fehring, Ian, and Tim Lindsey, 1995, Indonesian Labour Law Under the NewOrder: The Military and Prospects for Change, Working Paper, Centre forEmployment & Labour Relations, University of Melbourne.

Fox, Justin, 1997, Labour Law Under the New Order: the Interaction BetweenWorkers� Rights and Economic Priorities, Working Paper, Centre for Em-ployment & Labour Relations, University of Melbourne.

Hadiz, Vedi, 1997, Workers and the State in New Order Indonesia, Routledge,London/New York.

Heryanto, Ariel, �Where Communism Never Dies� (1999) 2 InternationalJournal of Cultural Studies 147.

Hill, Hal, 1994, (ed) Indonesia�s New Order: The Dynamics of Socio-EconomicTransformation, Allen & Unwin, St. Leonards.

Hill, Hal, 1999, The Indonesian Economy in Crisis: Causes, Consequences &Lessons, CSEAS, Singapore.

Hiscock, Mary, 1995, �Changing Patterns of Regional Law Making inAsia�, 5 Australian Journal of Corporate Law, 367.

Hiscock, Mary, 2000, �Remodelling Asian Laws�, dalam T. Lindsey (ed),Indonesia: Bankruptcy, Law Reform & the Commercial Court, Desert PeaPress, Sydney, 28-43.

Ingleson, John, 1986, In Search of Justice; Workers and Unions in Colonial Java1908-1926, Asian Studies Association of Australia, Oxford Univer-sity Press, Singapore.

International Labour Organisation (ILO), 1999, Demystifying the Core Con-ventions of the ILO Through Social Dialogue: The Indonesian Experience,ILO Jakarta Office, Jakarta.

International Labour Office Governing Body, �Case No 2216: Complaintagainst the Government of Indonesia� (2001) 326th Report of the Com-mittee on Freedom of Association 92�100.

Jayasuriya, Kanishka, 1999, �The Rule of Law and Governance in theEast Asian State�, The Australian Journal of Asian Law, Vol.1, No.2.

Katjasungkana, Nursyabani and Teten Masduki, (tidak diketahui kapanditerbitkan) Labour, State and Democracy, Workers Solidarity Forum,Jakarta.

Lambert, Rod, 1993, Authoritarian State Unionism in New Order Indonesia,Asia Research Centre, Murdoch University, Perth.

1

LBH, 1994, Preliminary Report on the Murder of Marsinah, LBH, Jakarta.

Lev, Daniel 1999, �Comments on the Course of Law Reform in ModernIndonesia�, dalam

Lindsey, Tim (1999b) (ed), Indonesia: The Commercial Court and Law Reformin Indonesia, Sydney, Federation Press.

Lindsey, Timothy, 1997, �Paradigms, Paradoxes and Possibilities: TowardsUnderstandings of Indonesia�s Legal System�, dalam Veronica Tay-lor (ed.), Asian laws Through Australian Eyes, 1997, LBC InformationServices, Sydney.

Lindsey, Timothy, 1999, Black Letter, Black Market and Bad Faith: Corruptionas Rational Response and the Failure of Reformasi Hukum, dalam Chrisvan Dierman and Chris Manning (eds.) Indonesia in Transition,CSEAS/ Indonesia Project, ANU, Canberra.

Lindsey, Timothy, 2000, Abdurrahman, the Supreme Court and Corruption: Vi-ruses, Transplants & the Body Politic in Indonesia, dalam Arief Budimanand Damien Kingsbury, Rethinking Indonesia, Routledge, London.

Lindsey, Timothy and Veronica Taylor, 2000, Rethinking Indonesian Insol-vency Reform: Context and Frameworks, in Lindsey, Tim (ed), 1999, Indo-nesia: The Commercial Court and Law Reform in Indonesia, Sydney, Fed-eration Press.

Lindsey, Timothy, and Teten Masduki, �Indonesian Labour Law SinceSoeharto: Reformasi or Replay?� dalam Richard Mitchell et al (eds),Law and Labour Market Regulation in East Asia (2001).

Manning, Chris, 1996, �Labour standards and economic development:the Indonesian case� dalam J S Lee (ed), Labour Standards and Eco-nomic Development, Tapei, Chung-Hua Institution for Economic Re-search.

Manning, Chris, 1998, Indonesian Labour in Transition: an East Asian SuccessStory? Cambridge University Press.

Mattei, Ugo, 1997, �Three Patterns of Law: Taxonomy and Change inthe World�s Legal Systems�, 45 American Journal of Comparative Law,5-44.

Masduki, Teten, 1999, Labour Law Reform in Indonesia: To Serve The Interestsof Multinational Companies, makalah tidak diterbitkan, Beijing, (salinandimiliki oleh para penulis).

1

McLeod, Ross, 2000, �Soeharto�s Indonesia: A Better Class of Corrup-tion�, Agenda, Vol.7, No.2, 99-112.

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (20th Ed, 1999).

Pangestu, Mari, 1997, Prospects and Development of the Indonesian Economy,unpublished paper, The University of Melbourne, June.

Ricklefs, M.C., 1991, A History of Modern Indonesia Since c.1300, (2nd Edi-tion, 1993), Macmillan, London.

Paul Robinson, �Edict eases Docklands tender tension�, The Age, 2 April2002.

Said, Edward, 1978, Orientalism, Penguin, London.

Sakumoto, Naoyuki, 1999, �Labour Law and Policy in Indonesia�, dalamKoesnadi Hardjasoemantri and Naoyuki Sakumoto, Current Devel-opment of Laws in Indonesia, Institute of Developing Economies, Ja-pan External Trade Organisation,123-162.

Schwarz, Adam, 1994, A Nation in Waiting; Indonesia in the 1990s, Allen &Unwin, St. Leonards.

Suwarno, Sutanto and Jan Elliott, 2000, �Changing Approaches to Em-ployment Relations in Indonesia�, in Greg J Bamber, Funkoo Park,Changwon Lee, Peter k Ross and Kaye Broadbent, Employment Rela-tions in the Asia Pacific: Changing approaches, Allen & Unwin, St. Leonards,129-141.

Tan, Poh-Ling (ed), 1997, Asian Legal Systems; Law, Society and Pluralism inEast Asia, Butterworths, Adelaide.

Tanter, Richard, 1990, �The Totalitarian Ambition: Intelligence andSecurity Agencies in Indonesia�, dalam Arief Budiman (ed) State andCivil Society in Indonesia, Centre of Southeast Asian Studies, MonashUniversity, Clayton, 215-288.

Taylor, Veronica & Michael Pryles, 1997, �The Cultures of Dispute Reso-lution in Asia�, in Michael Pryles (ed), Dispute Resolution in Asia, Neth-erlands, Kluwer Law International, 1-45.

Tjajo, Rambun, 1996, Workplace Health & Safety, makalah tidak diterbitkan,Comparative Labour Law and Employment Relations in Asia Con-ference, Melbourne (salinan dimiliki oleh para penulis).

Watson, Alan, 1996a, �Aspects of the Reception of Law�, The AmericanJournal of Comparative Law, Vol. 44, pp. 335-351.

1

Watson, Alan, 1996b, �Legal Transplants and Law Reform, The LawQuarterly Review, Vol. 92, pp. 79-84.

Watson, Laura, 1998, �Labour Relations and the Law in South Korea�,(1998) 7 Pacific Rim Law & Policy Journal, 229.

Witjes, Ben (1987), The Indonesian Law on Social Organisations: A Study of theSocio-Political Context and the Consequences for Indonesia and Foreign NGOs,Nijmegen, tidak diterbitkan penerbit, salinan dimiliki oleh parapenulis.

Zifcak, Spencer, 1999, �But a Shadow of Justice�: Political Trials in Indonesia,dalam Tim Lindsey (ed), Law & Society in Indonesia, Federation,Sydney, 355-66.

INTERNET SOURCES

�Aparat Kepolisian dan Pengusaha Diduga Terlibat�, Tempo Interaktif, 2April 2001, http://www.tempointeraktif.com

�Blow to Right to Strike�, Laksamana Net, 2 November 2001,<http://laksamana.net>.

�Buruh �Sandal Bolong� Mengadu ke DPR�, Hukum Online, 19 February2002, <http://www.hukumonline.com>.

�Buruh Shangri-La Menang�, Tempo Interaktif, 1 April 2002,<http://www.tempointerakftif.com>.

�Catatan Akhir Tahun FNPBI: Buruh Bangkit, Ditindas Kian Keras�,Info-RI, 31 December 2001, <http://www.info-ri.com>.

�Demo Karyawan Shangri-la Tuntut Pengadilan Tolak GugatanManajemen�, Tempo Interaktif, 1 May 2001,<http://www.tempointeraktif.com>.

�Disiapkan, Penyelesaian Konflik Perburuhan Melalui Arbitrase�, KompasCybermedia, 27 September 2001, <http://www.kompas.com>.

�Dita Threatens Action�, Laksamana Net, 2 December 2001,<http://laksamana.net>.

�Fired Hotel Workers Vow To Fight On�, The Jakarta Post, 12 July 2001,<http://www.thejakartapost.com>.

1

Jasper Goss, �Violence Hits Indonesian Dispute�, Workers Online, 23 Feb-ruary 2001, <http://workers.labor.net.au>.

Julie Indahrini and Riffmy M, �Membungkam dengan Sandal Bolong�,Gamma, 12 November 2001, <http://www.gamma.co.id>.

�Jacob Nuwa Wea: Banyak Pejabat Disnaker Tak Tahu Soal Buruh�, TempoInteraktif, 12 March 2002, <http://www.tempointeraktif.com>.

Ahmad Junaidi and Tiarma Siboro, �FBR Chairman Admits SeekingDonations�, The Jakarta Post, 10 April 2002,<http://www.thejakartapost.com>.

�Labor problems �due to same old system��, The Jakarta Post, 25 April2001,<http://www.thejakartapost.com>.

�Memintas Keadilan buat Buruh�, Majalah Tempo, 17 September 2001,<http://www.tempointeraktif.com>.

�Menakertrans Kecewa Dengan Putusan Pengadilan Kasus Shangri-La�,Kompas Cybermedia, 10 November 2001, <http://www.kompas.com>.

�Meredam Aksi Buruh lewat Aksi Preman�, Media Indonesia, 8 April 2001,<http://www.mediaindo.co.id>.

�Pancasila Tidak Lagi Dipakai Dalam UU Ketenagakerjaan�, KompasCybermedia, 2 March 2002, <http://www.kompas.com>.

�Panitia Penyelesaian Perburuhan Akan Dibubarkan�, Hukum Online, 7February 2001, <http://www.hukumonline.com>.

�Pengacara Korban Kadera Tuduh ada Permainan Persidangan�, TempoInteraktif, 13 December 2001, <http://www.tempointeraktif.com>.

�Polisi Tangkap Penggerak Penyerang Buruh PT Kadera�, Tempo Interaktif,12 April 2001, <http://www.tempointeraktif.com>.

�PT TUN Memenangkan Gugatan Banding Pekerja Hotel Shangri-La�,Majalah Tempo, 26 Mar 2002, <http://www.tempointeraktif.com>.

�Serangan Balik untuk Shangri-La�, Gamma, 27 November 2001, <http://www.gamma.co.id>.

�Shangri-la to Accept Verdict on Labor Row�, The Jakarta Post, 4 April2001, <http://www.thejakartapsot.com>.

�Soal Kepmennakertrans No 78/2001 Buruh dan Pelaku Usaha TemuiJalan Buntu�, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2 November2001, <http://www.nakertrans.go.id>.

1

Elik Susanto, �Kriminalisasi Menghantui Para Buruh�, Koran Tempo, 1May 2001, <http://www.tempointeraktif.com>.

Suwarjono, �Gugatan Dikabulkan, Pekerja Hotel Shangri-La MenangisHaru�, Detik.Com, 26 March 2002, <http://www.detik.com>.

Ahmad Taufik, Dwi Arjanto, and Darmawan Sepriyossa, �Baru Premanyang Diadili�, Majalah Tempo, 3 September 2001, <http://www.tempointeraktif.com>.

Juni Thamrin, �Upah, Tingkat Hidup dan Kondisi Kerja Buruh IndustriManufaktur Pada Massa Orde Baru� in Bambang Kusumo et al(eds), Menuju Hubungan Perburuhan Demokratik (1999).

Muhammad Yasin , �Tersandung Putusan 2116�, Forum Keadilan, 3 De-cember 2001, <htpp://www.forum.co.id>.

1