masalah kapasitas kelembagaan dan arah kebijakan …

12
Jurnal Manajemeo Huian Tropika VoL XI1 No. 3 : 14-25 (2006) Artikel (Article) ' MASALAH KAPASITAS KELEMBAGAAN nama l DAN ARAH KEBWAKAN KEHUTANAN: Studi Tiga Kasus sehingg Peters ( (Problem of Institutional Capacity and Direction of Forestry Policy: D Three Casq'Stut&f menyeb /CPQ memah ! societie HARIADI KARTODIHARDJO' yang ti conlple menw ABSTRACT - untuk m mengap It has been shown by various references that performance of forestry developmew B mempu determined by in~titutional capacify. 7kis study was conducted to acquire knowledge of problem of kelemb fore~t management institution and policy change which should be able to be implemented. The kelemb studies in three localions and implementation of mtioml policy indicated that forestry programs mtuk m implemented by district/province government and central govetnment were not accompanied by deb ad institutional strengthening gorts. The weaknesses of institution have been proven to be followed by tatentu policy failure to reach its target. Resistance to policy change stems from policy narrative and discourse embedded in decision makers belief: Tduan Key words: institutional capacity, problem, policy narrative, discource PENDAHULUAN Latar Belakang E mendap serta pe ! Kerusakan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bukan hanya ' rncndatangkan kernundwar~ kegiatan ekonorni, namun dan bahkan telah rnenghilangkan kehidupan suatu komunitas masyarakat, suku dan bangsa tertentu. Diamond (2005) = menclaah kegagalan dan keberhasilan kehidupan suku, bangs4 perusahm, &lam benluk melakukan pcngclolaan sumberdaya alam di beberapa negara. Salah satu pelajaran yang hutan dapat ditarik dari telaah Diamond tersebut adalah pentingnya mengubah arah kebijakan daerah secara mendasar dari bangsa-bangsa di dunia untuk menghindari masalah-masalah besar ' yang dihadapi, khususnya akibat kerusakan surnberdaya alam. [ Ribor Perubahan orientasi kebijakan dapat dilakukan hanya apabila suatu fenornena -fat tertentu yang dihadapi oleh suatu negara dapat difahami dari berbagai sudut pandang riglus). secara komprehensif. Disamping its, perubahan nilai-nilai (values) yang digunakan juga oleh = mempunyai peran penting. Sebagaimana dikatakan Peters (2000) bahwa "institution must ~ become institution". Seringkali upaya perubahan kelernbagaan - dalam hal ini adalah hanga aturan main dan instrumennya - tidak diikuti oleh pernbaruan landasan filosofi dan memung kerangka pikir yang diynakan. Akibatnya peratwan benambah, lernbaga benambah, implem y g dil Stud s ' D e w e m e n Mamjemen Hutan. Fakullas Kehuknan IPB Email: har~ad~@~ndo.net id bus. Trop. For. Manage. J. XI1 (3) : 14-25 (2006)

Upload: others

Post on 17-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

Jurnal Manajemeo Huian Tropika VoL XI1 No. 3 : 14-25 (2006) Artikel (Article) '

MASALAH KAPASITAS KELEMBAGAAN nama lembaga seringkali diubah, tetapi t

DAN ARAH KEBWAKAN KEHUTANAN: Studi Tiga Kasus sehingga tidak pula mengubah kinerja di I Peters (2000) mengatakan "institutionaliza

(Problem of Institutional Capacity and Direction of Forestry Policy: Dalam analisisnya terhadap kegag; Three Casq'Stut&f menyebutkan bahwa kegagalan tersebut

/CPQ memahami adanya kondisi sosial yang ! societies antara lain: keputusan yang terl

HARIADI KARTODIHARDJO' yang tinggi, instruksi oleh kewenangan conlplex societies tanpa disertai adanya 1 m e n w t Diamond, hampir selalu berakhir (

ABSTRACT - Berdasarkan temuan-temuan di ata untuk menunjang pengelolaan sumberday; mengapa kelembagaan sangat penting,

It has been shown by various references that performance of forestry developmew B mempunyai ciri mudah t fdad in~ akses determined by in~titutional capacify. 7kis study was conducted to acquire knowledge of problem of kelembagaan diharapkan mampu men, fore~t management institution and policy change which should be able to be implemented. The kelembagaan yang &pat menjamin kepas studies in three localions and implementation of mtioml policy indicated that forestry programs mtuk memast- pgelolaan hutan Ma implemented by district/province government and central govetnment were not accompanied by deb adanya yang &pat diwujw institutional strengthening gorts. The weaknesses of institution have been proven to be followed by tatentu (~ ib , . , ~ dm peluso, 2003). policy failure to reach its target. Resistance to policy change stems from policy narrative and discourse embedded in decision makers belief:

Tduan Key words: institutional capacity, problem, policy narrative, discource

Dengan memmatikan konsep Rfi

PENDAHULUAN

Latar Belakang

E mendapatkan pengetahurn tentang rnasali serta perubahan orientasi kebijakan yang s

!

Kerusakan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya hutan, bukan hanya ' rncndatangkan kernundwar~ kegiatan ekonorni, namun dan bahkan telah rnenghilangkan

Studi ini dinwali dengan ieneladh kehidupan suatu komunitas masyarakat, suku dan bangsa tertentu. Diamond (2005) =

menclaah kegagalan dan keberhasilan kehidupan suku, bangs4 perusahm, &lam benluk tmnsaksi dm dan ah3kasi manfaat melakukan pcngclolaan sumberdaya alam di beberapa negara. Salah satu pelajaran yang hutan langkA-langkah P n g sudd dapat ditarik dari telaah Diamond tersebut adalah pentingnya mengubah arah kebijakan daerah melalui berbagai bentuk kebijaka secara mendasar dari bangsa-bangsa di dunia untuk menghindari masalah-masalah besar '

yang dihadapi, khususnya akibat kerusakan surnberdaya alam. [ Ribor &in PeIuso (2003) m h u w d a n konwp

Perubahan orientasi kebijakan dapat dilakukan hanya apabila suatu fenornena -fat ~esuatu, yang dibedakan dengan men tertentu yang dihadapi oleh suatu negara dapat difahami dari berbagai sudut pandang riglus). Hak merupill;an Haim twhadap ~ m b e r h l secara komprehensif. Disamping its, perubahan nilai-nilai (values) yang digunakan juga oleh =dat melahi hukum alau ' mempunyai peran penting. Sebagaimana dikatakan Peters (2000) bahwa "institution must

~ ~ ~ ~ = t ~ ~ ~ ~ ~ s ~ h ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ become institution". Seringkali upaya perubahan kelernbagaan - dalam hal ini adalah h a n g a n sosid, sehingga d p a t k u m p l ~ ~ l aturan main dan instrumennya - tidak diikuti oleh pernbaruan landasan filosofi dan memungkjnkan seseorang atau lembaga memp kerangka pikir yang diynakan. Akibatnya peratwan benambah, lernbaga benambah, implemenwi kebijakan di lapangan. Berbeda denl

y g dil&~lul. akses seringkdi &pal terbebas Stud selengkapnya dilakukm r h d a p lima kasur ' D e w e m e n Mamjemen Hutan. Fakullas Kehuknan IPB Email: har~ad~@~ndo.net id b u s .

Trop. For. Manage. J. XI1 (3) : 14-25 (2006)

Page 2: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

h r s (2000) mengatakan "institutionalization involves infusing a structure with value". Dalam analisisnya terhadap kegagalan belajar berbagai bangsa, Diamond (2005)

menyebutkan bahwa kegagalan tersebut akibat lemahnya para pengambil keputusan memahami adanya kondisi sosial yang kompleks (complex societies). Ciri conlplex societies antara lain: keputusan yang terpusat, alum informasi yang tinggi, koordinasi yang tinggi, instruksi oleh kewenangan formal, dan pemusatan sumberdaya. Adanya eottlplex societies tanpa disertai adanya kemampuan kelembagaan untuk mengatasinya, menurut Diamond. hampir selalu berakhir dengan kegagalan.

Berdasarkan temuan-temuan di atas, kemampuan kelembagaan perlu diupayakan ~ t u k menunjang pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. Selain itu ada alasan lain mengapa kelembagaan sangat penting, yaitu luasnya kawasan hutan negara yang

kelembagaan diiarapkan mampu mengatasi rnasalah tersebut. Narnun demikian, kelembagaan yang dapat menjamin kepastian hak atas hutan seringkali tidak mencukupi mtuk memastikan ~ngelolaan hutan dalam jangka panjang. Karma hak dapat dinafkan deh adanya akses yang dapat diwujudkan akibat hubungan-hubungan sosial-politik

Dengan memperhatikan konsep Ribot dan Peluso tersebut, studi ini dilakukan untuk mmdapatkan pengetahuan tentang rnasalah kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan pata perubahan orientasi kebijakan yang semestinya dapat dilakukan.

KERANGKA PENDEKATAN

Studi ini diawali dengan menelaah tiga kasu$ bentuk kerusakan sumberdaya hutiu~, h m k transiksi dan dan alokasi manfaat, efektivitas penetapan hak-hak atas sumberdaya Lstan serta langkah-langkah yang sudah diambil oleh pemerintah maupun pemerintah &ah rnelalui berbagai bentuk kebijakan baru maupun kegiatan yang telah dilakukan.

dan adanya hak (properly ditegakkan dan didukung rnernpunyai kemarnpuan

a adanya kekuasaan untuk roses. maupun hubungan- and web of power) yang

engaruhi praktek-praktek n sangsi atas pelanggaran

Page 3: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

Terhadap kejadian-kejadian kerusakan sumberdaya hutan tersebut ditelaah efektivitas kebijakan yang dijalankan dengan rnenggunakan tinjauan proses perurnusan kebijakan oleh Sutton (1999). yang rnencakup tiga pendekatan, yaitu pendekatan ilrnu politik/sosiologi, pendekatan antropologi dan pendekatan rnanajemen.

Pendekatan ilrnu politik/sosiologi digunakan untuk rnenelaah bagaimana kebijakan selama ini dirurnuskan. Telah menjadi perdebatan panjang bahwa pernbuatan kebijakan seringkali tidak didasarkan pada pendekatan rasional yang linier, rnelainkan lebih tidak beraturan akibat dominasi kepentinga politik, sulitnya rnengubah keyakinan di rnasa lalu, serta berbagai harnbatan struktural di dalarn birokrasi (Sutton, 1999; Diamond, 2005).

Pendekatan antropologi dalam pembuatan kebijakan difokuskan pada narasi kebijakan (policy narraive) dan diskursus (di~cource)~ mengenai fenornena yang sedang dibicarakan (Sutton, 1999), yang seringkali rnenjadi harnbatan rnelakukan pembaruan kebijakan. Sedangkan pendekatan manajemen lebih diarahkan untuk mengetahui harnbatan pernbaruan kebijakan akibat kondisi birokrasi, kepemirnpinan maupun kekuasaan dari luar birokrasi yang turut serta mempengaruhi pembuatan kebijakan.

Untuk rnenelaah berbagai bentuk kerusakan sumberdaya hutan, bentuk transaksi dm alokasi manfaat yang terjadi, efektivitas penetapan hak-hak atas surnberdaya hutan serta langkah-langkah yang sudah diambil oleh pernerintah maupun pernerintah daerah dikumpulkan sejumlah hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan untuk rnelakukan tinjauan terhadap proses pembuatan kebijakan dilakukan pengarnatan langsung rnaupun studi pustaka.

KAPASITAS KELEMBAGAAN

Berikut ini diutarakan ringkasan kejadian konflik dalarn pengelolaan sumberdaya hutan yang terjadi tiga lokasi.

Tambang Emas di Taman ~as ionaf

Perebutan akses terhadap sumberdaya mineral emas rnemicu dua jenis konflik di Tarnan Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), Sulawesi Utara, telah terjadi berupa konflik antara pemerintah dengan masyarakat lokal yang berprofesi sebagai penambangh (konflik vertikal) dan konflik antar sesarna penambang (konflik horizontal). Konflik terjadi

Narasi kebijJm addah kejadian yang dirnggap selesai dan rnenjadi keyakinan. Di dalamnya l d p t ideolugi. pengethum dan pengedan yang sudah terlanam. N m s i kebijakan &pat b e ~ p konsep yang dipergunakan untuk mengungkap sesuatu kejadian, situasi atau kondisi. Sedangkan diskursus merupkan c a n pikir dan cara rnernherikan argurnen yang dilakukan dui penamaan dan pengistilahan terhadap sesualu yang &pal me~pakan cerminan dari kepenlingan lertenlu (politik). Kedumya, haik nansi rnaupun diskursus, harnpir setup, yang & p l mrnjadi alrl dorninasi kelornpok tertenlu t h d a p pernhuabn tehijakm. Ptxbehnnya, diskursus lehih luas sehagai terangka pikir urnurn, srdilngtan nansi diperbwnakm untuk ohyek yang lehih spesitik.

Teluh ini diringkrs &ri Lintong (2005) oleh Kytodihardju dan Jhrrnhni (2006). Lazirn disebut pelaku tarnhang e m s illegal (mI).

akibat status kawasan taman nasio~ kelembagaan sehingga terbentuk "k

Pelaku yang terlibat langsun kongsi, yang bekerja untuk para I tromol serta tong sianida, serta okn oknum Sangadi, oknum anggota DF pemodal tidak langsung, yang bek Kesemuanya ini membentuk kelem

Kelembagaan illegal tersebu Dumoga stabil dan mengurangi kol baik. Kesepakatan tidak tertulis ter (pemilik tromol dan tong sianida) Jagawana, TNIIPolri dan Camat), 1

serta jaminan keselamatan dan jam lain (kelompok kongsi lain maupui lebih tinggi bermain di belakang la) pemilik tong sianida.

Pemi l i k Tromol/Tong

I I Oknum Jagawana I

Gambar 1. Kelembagaan Illegal Pena

Kondisi aman yang diciptaka pemerintah menjalankan penertiban I

Page 4: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

LS :h 11 *

In w Ek lu,

ai ''g

tan L a r

ksi tan lab

f :: CUP?

wg rjadi

0kIgi. &an I cam &an

aapat luas

I

Page 5: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

olch aktor-aktor penyasa di Dumoga yang selama ini juga mer~jadi hagian dari kclcmbagaan illegal tersebut. Pada titik tertentu, kondisi ini dapat menucu pclanggaran kesepakatan antar pelaku dalam kelembagaan illegal. Kehilangan rasa saling percaya meningkatkan kemungkinan konflik. Pemda setempat menyikapi situasi ini dengan menghentikan dan tidak mengijinkan operasi PETl dan bersama-sama pelaku PETl meminta agar kondisi illegal PETl dijadikan legal - melalui penetapan wilayah pertambangan rakyat (WPR). Hal ini ditempuh untuk menciptakan kondisi aman bagi semua pihak yang mendapatkan keuntungan dari hasil pertarnbangan emas.

Aspirasi masyarakat dan Pemda untuk mendapatkan WPR di TNBNW sudah diajukan sejak 1995 kepada pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati). Sebuah Tim Gabungan (Propinsi, Kabupaten dan Masyarakat PETl) telah mengukur wilayah WPR dan mengajukan pengesahan ke pemerintah pusat. Proses untuk me~~dapatkan legalisasi memakan waktu sembilan tahun dan belum mendapatkan tanggapan apapun dari pemerintah. Akibatnya posisi kelcmbagaan illegal tetap kuat dalam me~iguasai ekstraksi emas di TNBNW.

Kebijakan Kehulanan ~abupalen'

Setelah tahun 2001, pemerintah daerah menjalankan otonomi daerah sesuai dengan UU No 2211999 yang mengatur pemerintahan daerah, tidak terkecuali di Kabupaten Maluku Tengah. Lemahnya formulasi kebijakan pengelolaan hutan oleh pemerintah daerah MaIuku Tengah, paling tidak disebabkan oleh tiga faktor yaitu :

a) Lemahnya kapasitas dan kapabilitas lembaga kehutanan daerah. Kondisi sumberdaya birokrasi lembaga kehutanan daerah tidak memungkinkan untuk memmuskan kebijakan yang dapat memecahkan pennasalahan-permasalahan pengelolaaan hutan alam produksi yang bersumber dari aspek institusi termasuk ketidakpastian usaha, hak penguasaan dan pemilikan hutan, serta masalah-masalah kebijakan yang berimplikasi pada tingginya biaya transaksi.

b) Lemahnya koordinasi dan perbedaan kepentingan antar tingkatan pemerintahan (kabupatenlpropinsi/pusat). Dalam konteks penyelenggaraan pengelolaan hutan alam produksi setelah pemberlakuan otonomi daerahs, koordinasi antara pemerintah kabupaten dan propinsi - disamping tentunya dengan pemerintah pusat - sangat penting, namun koordinasi ini tidak berjalan. Meskipun Dinas Kehutanan Propinsi Maluku senantiasa melakukan kontrol dan proses-proses koordinasi penyelenggaraan pengelolaan hutan alam produksi dengan menggunakan instrumen hukurn9, namun akibat kekakuan tugas pokok dan fungsi lembaga kehutanan kabupaten, koordinasi dengan pemerintah propinsi tidak dilakukan.

Kecuali disebutkan lain, telaah ini diringkas dari Ohorella (2003). R Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, tidak ada hubungan hirdrkis (hubungan atasan dan bawahan) antara pemcrinhh provinsi dan kabupaten. sehingga pemerintah provinsi seharusnya menjadi pusat koordinasi di dawah, dengan membangun hubungm-hubungan kerja, termasuk penguatan institusi pemerintah kabupatedkota.

Terdapat paling t ihk empat buuh sural Dims Kehuhun Provinsi Maluku kepda Dinas Kehutanan Maluku Tengah terkait dengan pengelolaan hutan alam produksi yang sifainya instruksional. Masing-masing surat No.

C) Kepentingan individu el clit lokal nleliputi kepcr dan kcpentingan untuk pencapaian kepentingan apa yan oleh Bates (I ' choice. IF

Berdasarkan temuan di i

gka otonomi daerah di Malu berarti tidak sejalan denga

alisasi akan mengurangi I mbilan keputusan dengan I

Dapat ditujukkan rnisalr sil hutan kayu (IPHHK) yan megang HPH. Besarnya biaq

insentif bagi HPH untuk men berjalannya aktivitas HPH, mi: dslam bentuk pemberian fee den h u u s dilaksanakan - dan tentu lebih banyak dibandingkan sken:

Tujuan pemberian IPHH hutan kepada masyarakat lokal gugatan terhadap sistim pengel memberikan manfaat bagi masyi sebagai penyebab timbulnya ba perhitungan laba rugi pernanfa diperoleh pelaku usaha sekitar U kontraktor logging yang rnenjad. US$25, sedangkan yang diterim US$ 2,50. Pemerintah mernperol kehutanan dan pajak. Dari bagia memperoleh sekitar US$ 8,510, kabupatenkota lainnya di propin

522.21/Dishut-MaV668n002 tgl 07-1 522.1 l/Dishut-MaV130E003 tgl. 26-03-21 lo Kemmpuan untuk melakukan aw mengakumulasi surnbrrdaya politik, yang tehh diletapkan oleh pemerintah pusat, b: dengan kelompok tertentu di dalam ma. ~mnal dengan elit-elit lerlenlu di pusat.

Pemegang IPHHK tidak dikenai kewa AMDAL dan pemantauan lingkungan. se Ennanen, plot plasma nutfah, dll. sebagai

Penenman negata dari sektor kehurar uniuk daerah. Bagian daerah dari peneri provinsi, 32% untuk kabupatedkota per

Page 6: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

C) Kepentingan individu elit lokal dan strategi pencapaiannya. Kepentingan individu clit lukal nleliputi kepzntingan ekonomi, kepentingan untuk pengembangan karir, dm kepentingan unluk sponsor politik @olitical sponsorship). Dalam rangka pencapaian kepentingan tersebut, para pengambil kebijakan di daexah melakukan apa ya:F oleh Bates (1981) yang diacu oleh Hidayat (2000), disebut autonornus

Berdasarkan temuan di atas, pelaksanaan desentralisasi pengelolaan hutan dalam rangka otonomi daerah di Maluku Tengah belum mampu meminimalkan biaya transaksi. Ini berarti tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan Ostrom, et al. (1993). bahwa dcsentralisasi akan mengurangi biaya transaksi dan perencanaan, karena adanya kedekatan pengambilan keputusan dengan maslaah yang diadapi masyarakat.

Dapat ditujukkan misalnya sebagian besar kontraktor logging ijin pemanfaatan hasil hutan kayu (IPHHK) yang diberikan kepada masyarakat lokal diantaranya adalah pemegang HPH. Besarnya biaya transaksi pelaksanaan IPHHK ternyata justru menjadi insentif hagi HPH untuk mengabaikan upaya-upaya yang dapat menjadi pendorong berjalannya aktivitas HPH, misalnya dengan mengakomodir tuntutan masyarakat adat diilam bentuk pemberian fee dengan jumlah tertentu. Hal ini karena beban kewajiban yang hius dilaksanakan - dan tentunya biaya - dalam skema pemanfaatan hutan oleh HPH lebih banyak dibandingkan skema IPHHK".

Tujuan pemberian IPHHK adalah agar w a d i redistribusi manfaat sumberdaya butan kepada masyarakat lokal secara lebih adil. Ini mmpakan jawaban atas berbagai gugatan texhadap sistim pengelolaan hutan dam produksi yang selama tidak banyak

kelornpok tertentu di dalarn masyarakal (tennasuk dengan tokoh-tokoh masyarakat), sata hubungan dengan elit-elil lertentu di pusat.

megang IPHHK tidak dikenai kewajiban rnenyerahkan folo udara atau citra salelit. penyusunan dokumen

untuk kabupatenkota pengl-usil dan 32% untuk kabupatenkota lainnya dalarn provinsi yang

Page 7: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

Dengan dcmikian masyarakat dan pemerintah daerah tidak begitu hanyak mcmpcroleh manfaat dari adcanya skema IPHHK. Kotllraktor logging adalah penerima terbcsar dari manhat ekonomi (gross income) pemanfaatan hutan IPHHK. Oleh karena itu argurnentasi hahwa masyarakat akan memperoleh manfaat secara adil dari pemberian IPHHK tidak sepenuhnya benar. Dengan demikian, kebijakan pemberian IPHHK belum dapat mcnjadi solusi dalam memecahkan persoalan ketidak-adilan perolehan manfaat ekonomi pengelolaan hutan alam produksi antara para pihak yang terlibat.

Konllik antara 13emerintah Propinsi dan ~ a b u ~ a t e n ' ~

Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, sejak 1995 menjadi kabupaten percontohan untuk pclaksanan otonomi daerah, sehingga penerapan UU 2211999 maupun UU 2511999 yang mengatur otonomi pemerintahan d m diberlakukan 1ahun 2001, telah diterapkan jauh sebelumnya. Oleh karena itu sampai dengan September 2000 tckah disusun 43 peraturan daerah yang berkaitan dcngan pengaturan sumberdaya alam dcngall lujuan peningkatan pcndapatan asli daerah (PAD). Perda tersebut 14 dian~xanya telah dualifikasi oleh DPRD, 2 dianlara~lya bcrkaita~l dellgal kebijakau kellutuna~~ dacrllh.

Bupali mcmbenluk Tim Pelayanan Tcrpadu (TPD) bulan Marct 2000 yang d~pimpin Wakil Bupati untuk melakukan penyelidikan terhadap illegal logging yang tcrjadi. Tim tersebut telah melaporkan adanya 178 kapal pengangkut kayu illegd dengan jumlah sekitar 77.100 m3 dalam bentuk kayu gergajian. Namun demikian, DPRD mengizinkan kapalkkapal tersebut untuk dilepas, apabila ada surat resmi yang menyatakan pemberian sumbangan untuk reoibusi hasil h u m sebagai sumber pendapatan resmi daerah. Kemudian, swat ini dijadikan surat berharga (deposito) pada BPD (Bank Permodalan daerah) atas nama DPRD Kotawaringin Timur. Kapal barang pembawa kayu illegal tcrsebut resmi di lepas karena diikuti Surat Keterangan Lunas saat melintasi pelabuhan Samudra di Sungai Mentaya. Keputusan ini didukung oleh Gubernur Kalimantan Tengah dengan alasan mereka membayar pajak kepada daerah.

Pola ini kemudian mendapat kritikan tajam dari banyak pihak (exportir, LSM, HPH), sebab penerimaan pajak dari kayu illegal menyebabkan hilangnya kontrol pemerintah Ropinsi atas tindakan-tindakan yang dilakukan Bupati. Perdebatan ini semakin tajam dengan rujukan W 25/99 yang mengatur perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutarna tafsiran atas 80 % penerimaan yang harus dibagi antara propinsi dan kabupaten. Tarif pajak kayu illegal kemudian dikenakan sebesar US $ 161m3 sernentara untuk kayu resmi US $ 19Im3, yang terjadi sesudah tarif pajak diperdebatkan oleh banyak pihak.

Tindakan politik Bupati Kotawaringin Timur tersebut semakin popder, walau mendapat tantangan keras dari Propinsi. Kayu illegal yang telah disahkan lewat penarikan tarif pajak sesungguhnya mendapat penolakan yang keras saat di terima d i pelabuhan-

bersangkutan [UU No. 25 Tahun 1W9, Pasal 6 ayat (5) dan penjelasannya]. Dana wboisasi dibagi dengan imhngan 40% untuk daerah penghasil dan 60% untuk pernerintah pusat [UU No. 25 Tahun 1999, Pasal 8 ayat I;".

Naskah ini diringkas dari hasil kajim Anne Casson (2001).

pelabuhan di Jawa seperti SL Bupati Kotawaringin Timur diikuti oleh Bupati Kapuas (

ditolak olch Menteri Kehutan

Sampai pertengahan t diratifikasi, termasuk yang Kanwil Kehutanan dan Perk dibawah wewenang Bupati. memformulasikan kebijakan produksi, hutan lindung, perke kawasan hutan lindung. Tang€ pemanfaat hutan. Akibatnya s Bupati dengan Ropinsi semaki~ kendali Gubernur. Konflik te Gubernur, tetapi juga manjalar I

Kapasitas Kelembagaan

Shaffer ( 1 980) menyatak saling mempengaruhi satu s a m pelaku ekonomi terhadap ling diakibatkannya. Bentuk keseml yang dimaksudkan Shaffer ters aturan main baik, yang bersifa~ seperti kebiasaan, adat, dl]. Me aturan main tersebut merupakan individu atau kelompok masya tersehut menurut Schrnid (1987 sistcm ekonomi lertenlu.

h i tiga kasus yallg dilc pemerin~ahan haik sendiri-sendir kelembagaan. Respon masyaraka dapat menjalankall pengelolaan ht masyarakat direspon oleh masyara

Kegagalan membentuk kel di Sulawesi Utara, dimana keleml r a p o n masyarakat. Serupa deng: demikian itu, untuk kasus di Malu adilpun tidak tercapai. Hak at; berdasarkan peratwan-perundanga yang memungkinkan terwujudnya , Untuk memahami lebih jauh men, demikian itu, berikut ditelaah b (Sutton, 1999).

Page 8: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

pelabuhan di Jawa seperti Sunda Kelapa, Juanda maupun Cirebon. Namun dengan cepat Bupati Kotawarlngin Timur mengambil langkah-langkah olitik sehingga kebijakannya diikuti oleh Bupati Kapuas dan Kotawaringin Barat. Meskipun kebijakan tersebut juga ditolak olch Menteri Kehutanan karena dinilai bertentangan dengan UU 4111999 tentang

Sampai pertengahan tahun 2000 masih tersisa 29 peraturan daerah yang akan duatifikasi, termasuk yang fungsi dan wewenangnya mempunyai kesamaan dengan Kanwil Kehutanan dan Perkebunan di tingkat propinsi, yang posisinya ditempatkan dibawah wewenang Bupati. Peraturan daerah tersebut memerintahkan Bupati untuk mernformulasikan kebljakan di sektor kehutanan seperti penentuan tata batas hutan produksi, hutan lindung, perkebunan, perizinan pemanfaatan hasil hutan serta pengelolaan Lawasan hutan lindung. Tanggungjawab juga diberikan kepada Bupati untuk meberi izln pemanfaat hutan. Akibatn ya sudah dapat dipastikan terjadi kon flik kepentingan antara Bupati dengan Propinsi semakin besar, dimana posisi politik Bupati semakin berada di luar kendall Gubernur. Konflik tersebut tidak hanya terhenti sebatas pribadi Bupati dan Gubernur, tetapi juga manjalar ke jajaran birokrasi di berbagai tingkatan.

Kapasilas Kelembagaan

Shaffer (1980) menyatakan bahwa sistem ekonomi terdiri dari tiga komponen yang d i g mempengaruhi satu sama lain yaitu kondisi lingkungan, respon dan reaksi pelaku-

htkannya. Bentuk kesempatan yang tersedia (opportunity sets) dalam lingkungan dimaksudkan Shaffer tersebut, menurut pandangan North (1991), tergantung dari

main baik, yang bersifat formal seperti peraturan pemerintah, maupun informal seperti kebiasaan, adat, dll. Menurut Schmid (1987), North (1991), dan Barzel (1993)

main tersebut merupakan bentuk institusi yang menentukan interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Implikasi bentuk interdependensi tersebut menurut Schmid (1987) mengakibatkan 'siapa mendapatkan apa' dalam suatu sistem ekonon~i tertentu.

Dxl t1g"asus yang ditclaal~ di atas dapat ditunjukkan bahwa lembaga-lembaga pemenntahan baik sendirl-sendiri maupun secara bersama-sama telah gaga1 membentuk kelembagaan. Respon masyarakat terhadap kelembagaan berakibat fatal, dalam arti tidak dapat menjalankan pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Kesempatan yang tersedia bagi masyarakat direspon oleh masyarakat dengan menjalankan tindakan yang tidak benar.

Kegagalan membentuk kelembagaan di atas dicerminkan secara tepat dalam kasus di Sulawesl Utara, dimana kelembagaan illegal justru yang memberikan kesempatan dan respon masyarakat. Serupa dengan yang terjadi di Kalimantan Tengah. Dalam kondisi demikian itu, untuk kasus di Maluku Tengah, bahkm tujuan memanfaat hutan secara lebih adilpun tidak tercapai. Hak atas sumberdaya hutan secara legal yang ditetapkan badasarkan peratwan-perundangan yang beriaku dapat dinafikan oleh jaringan kekuasaan yang memungkinkan terwujudnya akses diluar apa yang ditetapkan secara legal tersebut. Untuk memahami lebih jauh mengapa terbentuk kelembagaan pengelolaan hutan seperti demikian itu, berikut ditelaah berdasarkan pendekatan proses perumusan kebijakan

Page 9: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

ORIENTASI KEBIJAKAN KEHUTANAN

Tinjauan Politik, Antropologi dan Manajemen

Kekuatan pengaruh suatu akses dalam memanfaatkan sumberdaya seringkali mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat ditentukan oleh posisi dan kekuasaan aktor dalam perkembangan hubungan-hubungan sosial yang sangat dinamis. Berdasarkan konsep akses yang ditawarkan Ribot dan Peluso seperti telah diuraikan di atas, jelas bahwa terjadinya perubahan fungsi hutan dan banyaknya klaim atas hutan negara tidaklah dapat dipandang semata-mata melalui pendekatan hukum. Dengan demikian, para aparat pemerintah yang merasa lebih tenang dengan luas kawasan hutan di atas kertas - yang aman secara hukum - tidaklah memadai untuk menjangkau tujuan-tujuan rnempertahankan fungsi hutan.

Rasionalitas hukum positif, dengan demikian, bukan hanya membatasi tugas-tugas pernerintahan, tetapi juga membatasi inovasi pemecahan masalah, atau bahkan mengakibatkan kekeliruan dalam mendefrnisikan masalah itu sendiri. Situasi demikian itu seperti akan tetap demikian dalam jangka panjang. Apalagi bila organisasi, dalam ha1 ini organisasi-organisasi pemerintah dan pemerintah daerah, dikategorikan sebagai mesin, kultur dan penjara psikis (Morgan, 1986 dalam Parsons, 2005).

Salah satu sebab hambatan perubahan kebijakan adalah terdapatnya narasi kebijakan dan diskursus (Sutton, 1999), sebagai penyebab terwujudnya kondisi sulit bagi tumbuhnya inovasi baru dalam pembuatan kebijakan. Kondisi tersebut akibat dari akumulasi pengaruh dalam pembuatan kebijakan, misalnya pengetahuan dan bahkan keyakinan yang sudah usang, adanya kepentingan kelompok tertentu, kurang informasi yang diperlukan untuk mengungkap suatu fenomena, pemimpin yang tidak mengambil peran yang seharusnya, perorangan yang dapat mengubah hasil-hail kesepakatan dalam pembuatan kebijakan (street level bureaucracy) maupun keterlanjuran yang tidak mungkin diubah saat itu (sunk cost eflect). Hal-ha1 tersebut dijumpai dalam pernbuatan kebijakan dari telaah ketiga kasus diatas, dan bahkan terjadi di negara-negara yang mengalami dcgradasi sumberdaya alam (Sutton, 1999; Diamond, 2005).

lnlplikasi dari adanya kondisi di atas, maka dalam suatu perubahan kebijakan, bukan hanya diperlukan kajian yang dapat menghasilkan usulan-usulan kebijakan, melainkan kajian yang dapat menungkap hambarn-hambantall dalam proses pembuatm suatu kebijakan.

Masalah Kebijakan

Apabila ketiga kasus yang diuraikan di atas dapat menggambarkan fenomena kelembagaan kehutanan di Indonesia, rnaka penetapkan kebijakan kehutanan yang semestinya rnenjadi perhatian adalah masalah kelembagaan. Termasuk di dalamnya mencakup analisis aktor yang berkepentingan dalam pernbuatan kebijakan, pengertian dan pengetahuan yang digunakan, informasi yang tersedia, maupun proses pembuatan kebijakan itu sendui. Dengan dernikian masalah kebijakan rnempunyai lingkup lebih luas dan tidak sekedar pengetahuan teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga tidak dapat diartikan sebatas peraturan-perundangan, melainkan solusi atas masalah yang terjadi

"Keberhasilan dalam mem solusi yang tepat terhadap I karena kita memecahkan a solusi yang salah terhadap r;

D q i ketiga kasus di atas, jel

a) Pendekatan dalam penyusur sisi fisik kayu, hutan, dan subyek yang diatur, sepert kepentingan dan kemarnpuai

b) Peraturan-perundangan men. banyak ha1 dapat diseselail kaitan ini juga terdapat pan dapat tertuju kepada pen] mempunyai banyak faktor mengambil keputusan yang d

c) Kedua ha1 tersebut terjadi ak menjadi conventional wish dalam pembangunan kehutan

Jmplikasi terhadap Program Priori

Sejak tahun 2000, Departer meskipun dalam perkembangannya tr program prioritas terscbut mencakup lilhan, rcvitalisasi industri kehutanan, hutan (DepHut, 2006). Merujuk pokc ditelaah adalah masalah apa yang ak dm bagairnana bentuk peningkatan tersebut sernestinya menjadi landasan

Kenyataan rnenunjukkan bahw kapasitas kelembagaan yang ada, terpecahkan oleh berbagai kebijakan kasus di atas, evaluasi terhadap pel rnenunjukkan ha1 demikian (Persaki, penetapan target dan waktu pencapaian

Departemen Kehutanan dan p target pembangunan berdasarkan kond kelembagaan yang mampu menjalan

Page 10: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

di lapangan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai rnasalah rnenjadi sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu apa yang disebut sebagai rnasalah menjadi sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Sebagaimana dikatakan Ackoff (1974) yang dikutip Dunn (2000):

"Keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan solusi yang tepat terhadap masalah yang juga tepat. Kita lebih sering gagal karena kita memecahkan suatu masalah yang salah daripada menemukan solusi yang salah terhadap maralah yang tepat".

Dwi ketiga kasus di atas, jelas bahwa dalam pembuatan kebijakan kehutanan aspek kelernbagaan dan politik lokal belurn ditetapkan sebagai rnasalah. Kondisi seperti itu disebabkan oleh:

a) Pendekatan dalam penyusunan kebijakan kehutanan hampir selalu berangkat dari sisi fisik kayu, hutan, dan material lainnya, sebaliknya kurang rnernperhatikan subyek yang diatur, seperti swasta, individu, kelompok masyarakat? dll, serta kepen tingan dan kemampuann ya;

b) Peraturan-perundangan menjadi instrumen yang dorninan bahkan tunggal. Padahal banyak ha1 dapat diseselaikan secara sosial, ekonorni, maupun politik. Dalarn kaitan ini juga terdapat pandangan yang kuat, bahwa peraturan secara otomatis dapat tertuju kepada penyelesaian masalah, sementara kondisi di lapangan mempunyai banyak faktor yang dipertimbangkan oleh para pelaksana dalam rnengambil keputusan yang dijalankannya.

c) Kedua ha1 tersebut terjadi akibat adanya policy narrative dan discource yang telah menjadi conventional wisdom dan tidak sejalan dengan masalah yang dihadapi dalam pembangunan kehutanan.

lmplikasi terhadap Program Prioritas

Sejak tahun 2000, Departernen Kehutanan rnencanangkan program prioritas, meskipun dalarn perkembangannya terdapat perubahan. Saat ini, obyek yang dituju dalarn program prioritas tersebut rnencakup pemberantasan illegal loggir~g, rehabilitabi hutan dan Man, revitalisasi industri kchutanan, pcmberdayaan masyarakat dan pemantapan kawasan hutan (DepHut, 2006). Merujuk pokok-pokok pembahasan di atas, dua aspek yang perlu d~telaah adalah masalah apa yang akan dipecahkan olch setiap program prioritas tersebut din bagaimana bentuk peningkatan kelembagaan untuk rnenjalankannya. Kedua aspek tersebut semestinya menjadi landasan kebijakan pelaksanaan program prioritas tersebut.

Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan program tersebut tetap menggunakan kapasitas kelembagaan yang ada, sehingga masalah pokok yang dihadapi tidak terpecahkan oleh berbagai kebijakan yang telah d~jalankan. Selain rnerujuk pada ketiga kasus di atas, evaluasi terhadap pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan, rnisalnya, menunjukkan ha1 demikian (Persaki, 2006). Dalam kaitan rehabilitasi hutan dan lahan, penetapan target dan waktu pencapaian program perlu ditinjau secara kritis.

Departernen Kehutanan dan pernerintah pada umurnnya senantiasa menetapkan target pembangunan berdasarkan kondisi fisik dan ketersediaan anggaran. Mempersiapkan kelernbagaan yang mampu menjalankan program senantiasa dianggap rnemperlambat

Page 11: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

24 'intong, E. E., 2004. Rest

capaian program. Belajar dari kegagalan masa lalu, dalarn pencanangan progam reboisasi Wartabone, Sulawe

dan penghijauan sejak tahun 80an juga dengan semangat kece~atan dan anggaran, dm Pascasarjana, IPB, B

terbukti tidak membawa hasil. Oleh karena itu, upaya peningkatan kapasitas kelembagaan North, D-C-, 1991. Institutic

sebagai syuat berjalannya suatu program prioritas menjadi suatu keniscayaan. Economy of Instituti(

Ohorella, A. L., 2003. pa Otonomi Dae

Ostrom E, Schroeder L, KESIMPULAN DAN SARAN Development. Westvi,

Parsons, W-, 2005. Public

Dari kajian di tiga lokasi serta pelaksanaan kebijakan nasional atas program - Terj'emahan. Renda 1

prioritas Departemen Kehutanan-dapat ditunjukkan bahwa baik program kehutanan daerah Persaki (Persatuan Sarjma J

maupun pusat tidak disertai oleh upaya peningkatan kapasitas kelembagaan. ~rientasi Rehabilitasi Hutan d, kebijakan kehutanan secara keseluruhan tertuju kepada famulasi masalah-masalah teknis, Presentasi. Persaki, J& sedangkan fakta-faktor sosial, ekonomi dan politik dianggap sebagai fakta eksogen. Peters* B- G., 2000. lnstituti Lemahnya pengum kelembagaan telah tabukti dikuti oleh kegagalan kebijakan whlk Series, Institute for ~ d , mencapai tujuann ya. J- C . and N. Peluso., 2~

Penyebar-luasan informasi dan pembahasan mmdalam terhadap masalah kebijakan Shaffer. J.D., 1980. ~d sy kehutanan disarankan terus-menems dilakukan sebagai upaya ~erbaikan orientasi Framework. he r i can J kebijakan kehutanan, karma hambatan orimtasi pembaruan kebijakan bersumber dari Schmid, A-, 1987. Property, po narasi kebijakan dan diskursus yang telah melekat dalam ke~akinan Para ~ a g a m b i r York. keputusan. Roses pembuatan kebijakan kehutanan yang dilakukan secara tekbuka Sutton, R-9 1999. Policy p, diperkirakan dapat membantu upaya tersebut.

Institute. p

DAmAR PUSTAKA

Barzel, Y., 1991. Economic Analysis of Roperty Rights. Cambridge University Ress., Sydney

Casson, Anne., 2001. Decentralisation of Policies Affecting Forests and Estate Crops in Kotiawaringin Timur District, Central Kalirrmnm. CIFOR, Bogor.

DcpHut (Departemen Kehutanan)., 2006. Kajim Kebijakan Priaitas: Operasionalisasi dan lmplementasinya d-dam Rogram dan Kegiatan Departemen Kehutanan. Biro Pcrencanaan dm Keumgan, Jakarta.

Dinmaid, J., 2005. COLLAPSE: How Societies Choose to Fail or Survive. Penguin Books, London.

Dunn. W. N.. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Terjemahan. Gadjah Mada ' university Ress, yogyakarta.

Hidayat, S., 2000. Otonorni daerah dalam perspektif perilaku elit lokal dalam Indonesia Menapak Abad 21. Kajian Ekonomi Politik. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, PT. Dptama, Jakarta.

Kartodihardjo, H. dan H. Jhamtani.,. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di I Indonesia. Equinox, Jakarta.

Page 12: Masalah Kapasitas Kelembagaan dan Arah Kebijakan …

t

Lintong, E. E., 2004. Resolusi Konflik Pertambangan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara. Thesis S2. Program Studi Lingkungan. Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor.

i North, D.C., 1991. Institutions, Institutional Change and Economic Performance. Political 1 Economy of Institutions and Decisions Cambridge University Press, Cambridge.

Ohorella, A. L., 2003. Penguatan Institusi Pengelolaan Hutan Alam Produksi dalam Rangka Otonorni Daerah. Thesis S2. Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Ostrorn E, Schroeder L, Wynne S., 1993. Institutional Incentive and Sustainable Development. Westview Press, Oxford.

Parsons, W., 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan. TeGernahan. Prenada Media, Jakarta.

Persaki (Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia)., 2006. Kajian Kinerja dan Kebijakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Bahan Pernatangan Materi. Powerpoint bahan presentasi. Persaki, Jakarta.

Peters, B. G., 2000. Institutional Theory: Problem and Prospects. 69 Political Science Series, Institute for Advance Studies, Vienna.

Ribot, J. C. and N. Peluso., 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2): 153-18 1. Shaffer. J.D., 1980. Food Sytem Organization and Performance: Toward a Conceptual

Framework. American Journal Agricultural Economic, May 1980; (3 10-3 18). Schmid, A., 1987. Property, Power, and An Inquiry into Law and Economic. Praeger, New

Sutton, R., 1999. Policy Process: An Overview. Working Paper 118. Overseas Development Institute. Portland House. Stag Place, London.