patofisiologi drowning
DESCRIPTION
patofisiologi yang terjadi pada korban tenggelamTRANSCRIPT
Patofisiologi drowning
Faktor yang paling penting sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas akibat
tenggelam adalah hipoksemia dan asidosis, maupun efek multiorgan proses ini.
Kerusakan sistem saraf pusat (SSP) mungkin dapat terjadi akibat hipoksemia
berkelanjutan selama episode tenggelam (cedera primer) atau mungkin akibat dari
aritmia, cedera paru yang sedang berlangsung, cedera reperfusi, atau disfungsi
multiorgan (cedera sekunder), terutama disfungsi dengan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan.
Setelah napas awal tertahan dan ketika jalan napas korban terletak di bawah
permukaan cairan, periode laringospasme terpicu oleh masuknya cairan dalam
jumlah besar di orofaring atau laring. Pada periode ini, korban tidak dapat
menghirup udara sehingga menyebabkan deplesi oksigen dan retensi karbon
dioksida. Ketika tekanan oksigen dalam darah semakin menurun, laringospasme
terjadi, sehingga korban akan terengah-engah, mengalami hiperventilasi, dan
aspirasi sejumlah cairan. Hal ini menyebabkan hipoksemia lebih lanjut.
Lunetta dkk dalam penelitian terakhir yang dilakukan, otopsi pada 578 korban
tenggelam, 98,6% di antaranya terdapat adanya air dalam paru-paru. Ventilasi
aktif selama terendam menyebabkan aspirasi air karena air tidak dapat mengalir
secara pasif ke dalam paru-paru setelah korban sudah meninggal.
Seorang korban tenggelam dapat mengalami disfungsi miokard, ketidakstabilan
kelistrikan jantung, serangan jantung, dan iskemia SSP tergantung pada derajat
hipoksemia dan perubahan asidosis yang dihasilkan dalam keseimbangan asam
basa. Asfiksia menyebabkan relaksasi saluran napas yang memungkinkan paru-
paru untuk terisi air dalam jumlah banyak.
11 mL/kg merupakan jumlah minimal aspirasi cairan yang dapat menyebabkan
perubahan volume darah dan aspirasi lebih dari 22 mL/kg akan menyebabkan
perubahan elektrolit yang berkembang secara signifikan. Menelan air tawar dalam
volume besar, bukan aspirasi, adalah kemungkinan penyebab gangguan elektrolit
secara klinis yang signifikan, seperti hiponatremia yang sering terjadi pada anak-
anak setelah tenggelam.
Sekitar 10-20% individu tetap mengalami laringospasme hingga serangan jantung
terjadi dan upaya inspirasi berhenti. Korban ini tidak mengalami aspirasi cairan
yang cukup (disebut sebagai "dry drowning").
Pada anak-anak yang terendam dalam air dingin (< 20 ° C) secara tiba-tiba,
refleks menyelam dapat terjadi dan menghasilkan apnea, bradikardia, dan
vasokonstriksi pembuluh darah dengan shunting darah ke sirkulasi koroner dan
serebral.
Efek pada Sistem Pernapasan
Target organ utama pada cedera submersi adalah paru-paru. Aspirasi sekitar 1-3
mL/kg dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas secara signifikan. Cedera
pada sistem organ lain sebagian besar terjadi secara sekunder akibat hipoksia dan
asidosis iskemik. Gangguan SSP juga bisa terjadi akibat cedera kepala atau tulang
belakang.
Cairan yang teraspirasi ke paru-paru menghasilkan refleks vagal yang dimediasi
oleh vasokonstriksi paru dan hipertensi. Air tawar bergerak cepat melintasi
membran alveolar - kapiler ke dalam mikrosirkulasi. Air tawar lebih hipotonik
relatif terhadap plasma dan menyebabkan gangguan fungsi surfaktan alveolar.
Penghancuran surfaktan menghasilkan ketidakstabilan alveolar, atelektasis, dan
penurunan kontrol paru, dengan ditandai ketidakcocokan ventilasi/perfusi (V / Q).
Sebanyak 75 % dari aliran darah dapat mengalir melalui paru-paru yang
mengalami hipoventilasi.
Air asin, memiliki osmolaritas di atas plasma sehingga meningkatkan gradien
osmotik dan menarik cairan ke dalam alveoli, menipiskan surfaktan (washout
surfaktan). Cairan kaya protein akan keluar secara cepat ke dalam alveoli dan
interstitium paru. Proses ini menyebabkan kontrol pernapasan berkurang, merusak
membran basal alveolar - kapiler secara langsung, dan terjadi shunting. Hal ini
menimbulkan induksi hipoksia secara cepat dan parah.
Bronkospasme akibat induksi cairan juga dapat menyebabkan hipoksia. Hipertensi
pulmonal dapat terjadi secara sekunder akibat pelepasan mediator inflamasi.
Sebagian kecil pasien mengalami aspirasi vomitus, pasir, lumpur, air, dan limbah
sehingga dapat menyebabkan oklusi bronkus, bronkospasme, pneumonia,
pembentukan abses, dan inflamasi pada membran kapiler alveolar.
Edema paru post obstructive yang diikuti spasme laring dan cedera neuronal
hipoksia dengan hasil edema paru neurogenik juga mungkin berperan dalam
kesakitan akibat tenggelam. Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) akibat
gangguan fungsi surfaktan dan edema paru neurogenik sering menyulitkan korban
tenggelam.
Umumnya, edema dan hilangnya kontrol terhadap fungsi paru-paru dapat
dikompromikan oleh ventilator-associated lung injury (VALI) . Mode ventilasi
terbaru, termasuk ventilasi berosilasi frekuensi tinggi dan ventilasi tekanan
saluran napas, atau pendekatan open- paru yang membatasi volume tidal 6-8
mL/kg saat menggunakan PEEP untuk mendukung kontrol pernapasan optimal,
dapat membantu mendukung oksigenasi dan ventilasi.
Pneumonia merupakan konsekuensi yang jarang terjadi akibat cedera submersi
dan lebih umum terjadi pada submersi dalam genangan air tawar yang hangat.
Patogen yang jarang menimbulan pneumonia termasuk Aeromonas, Burkholderia,
dan Pseudallescheria. Oleh karena pneumonia jarang terjadi, pada awal
pengobatan cedera submersi penggunaan terapi antimikroba profilaksis belum
terbukti memberi manfaat apapun.
Pneumonitis kimia merupakan kejaidan yang lebih umum terjadi daripada
pneumonia, terutama jika submersi terjadi di kolam diklorinasi atau dalam ember
yang berisi produk kebersihan tertentu.
Efek pada Sistem Saraf Pusat
Cedera pada SSP menjadi penentu utama kelangsungan hidup dan morbiditas
jangka panjang dalam kasus tenggelam. Dua menit setelah terendam, anak akan
kehilangan kesadaran. Kerusakan otak ireversibel biasanya terjadi 4-6 menit
setelah hipoksia terjadi. Sebagian besar anak yang bertahan hidup ditemukan
dalam waktu 2 menit sejak tenggelam. Sebagian besar anak yang meninggal
ditemukan setelah 10 menit.
Cedera SSP primer berhubungan dengan hipoksia jaringan dan iskemia. Jika
periode hipoksia dan iskemia singkat atau jika orang tersebut adalah seorang anak
yang sangat muda yang cepat mengkompensasi kejadian hipotermia, cedera
primer mungkin hanya terjadi secara terbatas dan pasien dapat sembuh dengan
gejala sisa neurologis minimal, bahkan setelah submersi yang terjadi lebih lama.
Sebaliknya, tenggelam yang berhubungan dengan hipoksia atau iskemia
berkepanjangan cenderung mengarah ke kedua cedera primer yang signifikan dan
cedera sekunder, terutama pada pasien yang lebih tua yang tidak bisa cepat
mengkompensasi kejadian hipotermia. Sumber cedera sekunder adalah sebagai
berikut:
1. Reperfusi
2. Sustained acidosis
3. Edema serebral
4. Hiperglikemia
5. Pelepasan eksitatori neurotransmiter
6. Kejang
7. Hipotensi
8. Gangguan autoregulasi serebral
Meskipun edema serebral merupakan konsekuensi umum dari submersi
berkepanjangan (atau submersi yang diikuti dengan insufisiensi sirkulasi
berkepanjangan), review retrospektif yang telah dilakukan belum menunjukkan
manfaat dari penggunaan pemantauan tekanan intrakranial dengan cedera aksonal
difus. Namun, karena cedera submersi dapat berhubungan dengan trauma
(terutama pada kepala dan leher), fokal atau defisit neurologis persisten dapat
menunjukkan lesi massa atau cedera lain yang mengindikasikan untuk
dilakukannya intervensi bedah .
Ketidakstabilan otonom (diencephalic/ hipotalamus storm) adalah umum terjadi
setelah mengalami kejadian traumatik yang parah, hipoksia, atau cedera otak
iskemik. Tanda dan gejala hiperstimulasi sistem saraf simpatik sering muncul
pada pasien-pasien, termasuk gejala berikut ini:
1. Takikardia
2. Hipertensi
3. Takipnea
4. Diaforesis
5. Agitasi
6. Kekakuan Otot
Kejang mungkin terjadi akibat hipoksia serebral akut, tetapi juga dapat terjadi
akibat peristiwa yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan ketidakmampuan
untuk melindungi jalan napas.
Efek pada Sistem Kardiovaskular
Hipovolemia terutama disebabkan karena kehilangan cairan sebagai akibat dari
peningkatan permeabilitas kapiler. Hipotensi berat dapat terjadi selama dan
setelah periode resusitasi awal, terutama ketika rewarming disertai dengan
vasodilatasi.
Disfungsi miokard mungkin komplikasi dari disritmia ventrikel, pulseless
electrical activity (PEA), dan asistole akibat hipoksemia, hipotermia, asidosis,
atau kelainan elektrolit. Selain itu, hipoksemia dapat langsung merusak
miokardium dan penurunan curah jantung.
Hipertensi pulmonal dapat terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi paru yang
meningkatkan afterload ventrikel kanan dan dengan demikian mengurangi baik
perfusi paru maupun preload ventrikel kiri. Namun, meskipun efek kardiovaskular
bisa berat, biasanya hanya bersifat sementara, tidak seperti cedera SSP yang
parah.
Aritmia primer, termasuk sindrom long-QT (terutama tipe I) dan
catecholaminergic polimorfik ventricular tachycardia (CPVT), dapat
menyebabkan korban mengalami aritmia fatal selama berenang. Kolaps
kardiovaskular berat terjadi secara tiba-tiba pada pasien yang sebelumnya sehat
dengan singkat. Immersi yang terjadi mungkin merupakan hasil dari kelainan
konduksi jantung yang ada dan mungkin tidak mewakili efek sekunder cedera
immersi.
Infeksi
Infeksi pada sinus, paru-paru, dan SSP, serta organ lain yang kurang umum,
mungkin akibat dari bakteri tanah dan air, amuba, dan jamur, termasuk
Pseudallescheria boydii dan Scedosporium apiospermum, Naegleria, Balamuthia,
serta organisme Burkholderia dan Aeromonas, dan patogen-patogen baru lainnya.
Onset infeksi ini biasanya perlahan, biasanya terjadi lebih dari 30 hari setelah
cedera immersi awal.
Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa temuan bukti organisme air laut
seperti bakteri bioluminescent dan DNA plankton, atau bakteri normal pada trakea
dalam aliran darah dapat digunakan sebagai indikator tambahan untuk mendukung
kesimpulan kematian karena tenggelam pada korban yang tubuhnya ditemukan di
perairan lingkungan.
Efek Lainnya
Penelitian klinis menemukan komplikasi rumit oleh kegagalan sistem multiorgan
akibat hipoksia berkepanjangan, asidosis, rhabdomyolysis, nekrosis tubular akut,
atau modalitas pengobatan. Disseminated intravascular coagulation (DIC),