patofisiologi drowning

7
Patofisiologi drowning Faktor yang paling penting sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas akibat tenggelam adalah hipoksemia dan asidosis, maupun efek multiorgan proses ini. Kerusakan sistem saraf pusat (SSP) mungkin dapat terjadi akibat hipoksemia berkelanjutan selama episode tenggelam (cedera primer) atau mungkin akibat dari aritmia, cedera paru yang sedang berlangsung, cedera reperfusi, atau disfungsi multiorgan (cedera sekunder), terutama disfungsi dengan hipoksia jaringan yang berkepanjangan. Setelah napas awal tertahan dan ketika jalan napas korban terletak di bawah permukaan cairan, periode laringospasme terpicu oleh masuknya cairan dalam jumlah besar di orofaring atau laring. Pada periode ini, korban tidak dapat menghirup udara sehingga menyebabkan deplesi oksigen dan retensi karbon dioksida. Ketika tekanan oksigen dalam darah semakin menurun, laringospasme terjadi, sehingga korban akan terengah-engah, mengalami hiperventilasi, dan aspirasi sejumlah cairan. Hal ini menyebabkan hipoksemia lebih lanjut. Lunetta dkk dalam penelitian terakhir yang dilakukan, otopsi pada 578 korban tenggelam, 98,6% di antaranya terdapat adanya air dalam paru-paru. Ventilasi aktif selama terendam menyebabkan aspirasi air karena air tidak dapat mengalir secara pasif ke dalam paru-paru setelah korban sudah meninggal. Seorang korban tenggelam dapat mengalami disfungsi miokard, ketidakstabilan kelistrikan jantung, serangan jantung, dan iskemia SSP tergantung pada derajat hipoksemia dan perubahan asidosis yang dihasilkan dalam keseimbangan asam basa. Asfiksia menyebabkan relaksasi saluran napas yang memungkinkan paru- paru untuk terisi air dalam jumlah banyak. 11 mL/kg merupakan jumlah minimal aspirasi cairan yang dapat menyebabkan perubahan volume darah dan aspirasi lebih dari 22 mL/kg akan menyebabkan perubahan elektrolit yang berkembang secara signifikan. Menelan air tawar dalam volume besar, bukan aspirasi, adalah kemungkinan penyebab gangguan elektrolit

Upload: desy-mila-pertiwi

Post on 19-Jan-2016

104 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

patofisiologi yang terjadi pada korban tenggelam

TRANSCRIPT

Patofisiologi drowning

Faktor yang paling penting sebagai penyebab morbiditas dan mortalitas akibat

tenggelam adalah hipoksemia dan asidosis, maupun efek multiorgan proses ini.

Kerusakan sistem saraf pusat (SSP) mungkin dapat terjadi akibat hipoksemia

berkelanjutan selama episode tenggelam (cedera primer) atau mungkin akibat dari

aritmia, cedera paru yang sedang berlangsung, cedera reperfusi, atau disfungsi

multiorgan (cedera sekunder), terutama disfungsi dengan hipoksia jaringan yang

berkepanjangan.

Setelah napas awal tertahan dan ketika jalan napas korban terletak di bawah

permukaan cairan, periode laringospasme terpicu oleh masuknya cairan dalam

jumlah besar di orofaring atau laring. Pada periode ini, korban tidak dapat

menghirup udara sehingga menyebabkan deplesi oksigen dan retensi karbon

dioksida. Ketika tekanan oksigen dalam darah semakin menurun, laringospasme

terjadi, sehingga korban akan terengah-engah, mengalami hiperventilasi, dan

aspirasi sejumlah cairan. Hal ini menyebabkan hipoksemia lebih lanjut.

Lunetta dkk dalam penelitian terakhir yang dilakukan, otopsi pada 578 korban

tenggelam, 98,6% di antaranya terdapat adanya air dalam paru-paru. Ventilasi

aktif selama terendam menyebabkan aspirasi air karena air tidak dapat mengalir

secara pasif ke dalam paru-paru setelah korban sudah meninggal.

Seorang korban tenggelam dapat mengalami disfungsi miokard, ketidakstabilan

kelistrikan jantung, serangan jantung, dan iskemia SSP tergantung pada derajat

hipoksemia dan perubahan asidosis yang dihasilkan dalam keseimbangan asam

basa. Asfiksia menyebabkan relaksasi saluran napas yang memungkinkan paru-

paru untuk terisi air dalam jumlah banyak.

11 mL/kg merupakan jumlah minimal aspirasi cairan yang dapat menyebabkan

perubahan volume darah dan aspirasi lebih dari 22 mL/kg akan menyebabkan

perubahan elektrolit yang berkembang secara signifikan. Menelan air tawar dalam

volume besar, bukan aspirasi, adalah kemungkinan penyebab gangguan elektrolit

secara klinis yang signifikan, seperti hiponatremia yang sering terjadi pada anak-

anak setelah tenggelam.

Sekitar 10-20% individu tetap mengalami laringospasme hingga serangan jantung

terjadi dan upaya inspirasi berhenti. Korban ini tidak mengalami aspirasi cairan

yang cukup (disebut sebagai "dry drowning").

Pada anak-anak yang terendam dalam air dingin (< 20 ° C) secara tiba-tiba,

refleks menyelam dapat terjadi dan menghasilkan apnea, bradikardia, dan

vasokonstriksi pembuluh darah dengan shunting darah ke sirkulasi koroner dan

serebral.

Efek pada Sistem Pernapasan

Target organ utama pada cedera submersi adalah paru-paru. Aspirasi sekitar 1-3

mL/kg dapat menyebabkan gangguan pertukaran gas secara signifikan. Cedera

pada sistem organ lain sebagian besar terjadi secara sekunder akibat hipoksia dan

asidosis iskemik. Gangguan SSP juga bisa terjadi akibat cedera kepala atau tulang

belakang.

Cairan yang teraspirasi ke paru-paru menghasilkan refleks vagal yang dimediasi

oleh vasokonstriksi paru dan hipertensi. Air tawar bergerak cepat melintasi

membran alveolar - kapiler ke dalam mikrosirkulasi. Air tawar lebih hipotonik

relatif terhadap plasma dan menyebabkan gangguan fungsi surfaktan alveolar.

Penghancuran surfaktan menghasilkan ketidakstabilan alveolar, atelektasis, dan

penurunan kontrol paru, dengan ditandai ketidakcocokan ventilasi/perfusi (V / Q).

Sebanyak 75 % dari aliran darah dapat mengalir melalui paru-paru yang

mengalami hipoventilasi.

Air asin, memiliki osmolaritas di atas plasma sehingga meningkatkan gradien

osmotik dan menarik cairan ke dalam alveoli, menipiskan surfaktan (washout

surfaktan). Cairan kaya protein akan keluar secara cepat ke dalam alveoli dan

interstitium paru. Proses ini menyebabkan kontrol pernapasan berkurang, merusak

membran basal alveolar - kapiler secara langsung, dan terjadi shunting. Hal ini

menimbulkan induksi hipoksia secara cepat dan parah.

Bronkospasme akibat induksi cairan juga dapat menyebabkan hipoksia. Hipertensi

pulmonal dapat terjadi secara sekunder akibat pelepasan mediator inflamasi.

Sebagian kecil pasien mengalami aspirasi vomitus, pasir, lumpur, air, dan limbah

sehingga dapat menyebabkan oklusi bronkus, bronkospasme, pneumonia,

pembentukan abses, dan inflamasi pada membran kapiler alveolar.

Edema paru post obstructive yang diikuti spasme laring dan cedera neuronal

hipoksia dengan hasil edema paru neurogenik juga mungkin berperan dalam

kesakitan akibat tenggelam. Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) akibat

gangguan fungsi surfaktan dan edema paru neurogenik sering menyulitkan korban

tenggelam.

Umumnya, edema dan hilangnya kontrol terhadap fungsi paru-paru dapat

dikompromikan oleh ventilator-associated lung injury (VALI) . Mode ventilasi

terbaru, termasuk ventilasi berosilasi frekuensi tinggi dan ventilasi tekanan

saluran napas, atau pendekatan open- paru yang membatasi volume tidal 6-8

mL/kg saat menggunakan PEEP untuk mendukung kontrol pernapasan optimal,

dapat membantu mendukung oksigenasi dan ventilasi.

Pneumonia merupakan konsekuensi yang jarang terjadi akibat cedera submersi

dan lebih umum terjadi pada submersi dalam genangan air tawar yang hangat.

Patogen yang jarang menimbulan pneumonia termasuk Aeromonas, Burkholderia,

dan Pseudallescheria. Oleh karena pneumonia jarang terjadi, pada awal

pengobatan cedera submersi penggunaan terapi antimikroba profilaksis belum

terbukti memberi manfaat apapun.

Pneumonitis kimia merupakan kejaidan yang lebih umum terjadi daripada

pneumonia, terutama jika submersi terjadi di kolam diklorinasi atau dalam ember

yang berisi produk kebersihan tertentu.

Efek pada Sistem Saraf Pusat

Cedera pada SSP menjadi penentu utama kelangsungan hidup dan morbiditas

jangka panjang dalam kasus tenggelam. Dua menit setelah terendam, anak akan

kehilangan kesadaran. Kerusakan otak ireversibel biasanya terjadi 4-6 menit

setelah hipoksia terjadi. Sebagian besar anak yang bertahan hidup ditemukan

dalam waktu 2 menit sejak tenggelam. Sebagian besar anak yang meninggal

ditemukan setelah 10 menit.

Cedera SSP primer berhubungan dengan hipoksia jaringan dan iskemia. Jika

periode hipoksia dan iskemia singkat atau jika orang tersebut adalah seorang anak

yang sangat muda yang cepat mengkompensasi kejadian hipotermia, cedera

primer mungkin hanya terjadi secara terbatas dan pasien dapat sembuh dengan

gejala sisa neurologis minimal, bahkan setelah submersi yang terjadi lebih lama.

Sebaliknya, tenggelam yang berhubungan dengan hipoksia atau iskemia

berkepanjangan cenderung mengarah ke kedua cedera primer yang signifikan dan

cedera sekunder, terutama pada pasien yang lebih tua yang tidak bisa cepat

mengkompensasi kejadian hipotermia. Sumber cedera sekunder adalah sebagai

berikut:

1. Reperfusi

2. Sustained acidosis

3. Edema serebral

4. Hiperglikemia

5. Pelepasan eksitatori neurotransmiter

6. Kejang

7. Hipotensi

8. Gangguan autoregulasi serebral

Meskipun edema serebral merupakan konsekuensi umum dari submersi

berkepanjangan (atau submersi yang diikuti dengan insufisiensi sirkulasi

berkepanjangan), review retrospektif yang telah dilakukan belum menunjukkan

manfaat dari penggunaan pemantauan tekanan intrakranial dengan cedera aksonal

difus. Namun, karena cedera submersi dapat berhubungan dengan trauma

(terutama pada kepala dan leher), fokal atau defisit neurologis persisten dapat

menunjukkan lesi massa atau cedera lain yang mengindikasikan untuk

dilakukannya intervensi bedah .

Ketidakstabilan otonom (diencephalic/ hipotalamus storm) adalah umum terjadi

setelah mengalami kejadian traumatik yang parah, hipoksia, atau cedera otak

iskemik. Tanda dan gejala hiperstimulasi sistem saraf simpatik sering muncul

pada pasien-pasien, termasuk gejala berikut ini:

1. Takikardia

2. Hipertensi

3. Takipnea

4. Diaforesis

5. Agitasi

6. Kekakuan Otot

Kejang mungkin terjadi akibat hipoksia serebral akut, tetapi juga dapat terjadi

akibat peristiwa yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan ketidakmampuan

untuk melindungi jalan napas.

Efek pada Sistem Kardiovaskular

Hipovolemia terutama disebabkan karena kehilangan cairan sebagai akibat dari

peningkatan permeabilitas kapiler. Hipotensi berat dapat terjadi selama dan

setelah periode resusitasi awal, terutama ketika rewarming disertai dengan

vasodilatasi.

Disfungsi miokard mungkin komplikasi dari disritmia ventrikel, pulseless

electrical activity (PEA), dan asistole akibat hipoksemia, hipotermia, asidosis,

atau kelainan elektrolit. Selain itu, hipoksemia dapat langsung merusak

miokardium dan penurunan curah jantung.

Hipertensi pulmonal dapat terjadi akibat pelepasan mediator inflamasi paru yang

meningkatkan afterload ventrikel kanan dan dengan demikian mengurangi baik

perfusi paru maupun preload ventrikel kiri. Namun, meskipun efek kardiovaskular

bisa berat, biasanya hanya bersifat sementara, tidak seperti cedera SSP yang

parah.

Aritmia primer, termasuk sindrom long-QT (terutama tipe I) dan

catecholaminergic polimorfik ventricular tachycardia (CPVT), dapat

menyebabkan korban mengalami aritmia fatal selama berenang. Kolaps

kardiovaskular berat terjadi secara tiba-tiba pada pasien yang sebelumnya sehat

dengan singkat. Immersi yang terjadi mungkin merupakan hasil dari kelainan

konduksi jantung yang ada dan mungkin tidak mewakili efek sekunder cedera

immersi.

Infeksi

Infeksi pada sinus, paru-paru, dan SSP, serta organ lain yang kurang umum,

mungkin akibat dari bakteri tanah dan air, amuba, dan jamur, termasuk

Pseudallescheria boydii dan Scedosporium apiospermum, Naegleria, Balamuthia,

serta organisme Burkholderia dan Aeromonas, dan patogen-patogen baru lainnya.

Onset infeksi ini biasanya perlahan, biasanya terjadi lebih dari 30 hari setelah

cedera immersi awal.

Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa temuan bukti organisme air laut

seperti bakteri bioluminescent dan DNA plankton, atau bakteri normal pada trakea

dalam aliran darah dapat digunakan sebagai indikator tambahan untuk mendukung

kesimpulan kematian karena tenggelam pada korban yang tubuhnya ditemukan di

perairan lingkungan.

Efek Lainnya

Penelitian klinis menemukan komplikasi rumit oleh kegagalan sistem multiorgan

akibat hipoksia berkepanjangan, asidosis, rhabdomyolysis, nekrosis tubular akut,

atau modalitas pengobatan. Disseminated intravascular coagulation (DIC),

insufisiensi hati dan ginjal, asidosis metabolik, dan cedera GI harus

dipertimbangkan dan diberikan tatalaksana yang tepat.

Sumber:

Cantwell, Patricia. Drowning. Medscape refrncs 2014.