metode syarah hadis (alfan)

24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam agama Islam, terdapat dua sumber hukum yang utama yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah atau Al- Hadis, di samping terdapat sumber-sumber hukum yang lain. Yang mana kedua sumber hukum utama tersebut sangat berkaitan satu sama lain. Dan salah satu dari beberapa fungsi hadis adalah sebagai penjelasan daripada hal-hal yang telah disebutkan dalam Al- Qur’an. Dari keduanya, ajaran Islam diambil dan dan dijadikan pedoman utama. 1 Dengan berkembangnya zaman, semakin kompleks pula permasalahan dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali dengan permasalahan keagamaan bagi umat Islam dunia. Hal ini juga menjadi latar belakang akan urgensi daripada metodologi syarah hadis hingga saat ini. Walaupun sebenarnya syarah hadis bukanlah hal baru dalam dunia ilmu hadis. Karena pada dasarnya embrio munculnya syarah hadis sudah muncul di zaman 1 Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, sebagaimana dikutip oleh Alif Rodiana Firdausi, dkk, Studi Pendekatan Islam Metode Hadis dalam Buku: Metodologi Penelitian Hadis oleh Prof. Dr. Suryadi, MA dan Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, M.Ag. (makalah), program studi Magister Pendidikan Agama Islam, Sekolah Pascasarjana, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, hal. 1 -1-

Upload: alfan-nur-azizi

Post on 13-Nov-2015

125 views

Category:

Documents


26 download

DESCRIPTION

Book Review metode syarah hadis dari buku "Metodologi Sayarh Hadis" oleh Dr. M. Alfatih Suryadilaga, M.Ag

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangDi dalam agama Islam, terdapat dua sumber hukum yang utama yakni Al-Quran dan As-Sunnah atau Al-Hadis, di samping terdapat sumber-sumber hukum yang lain. Yang mana kedua sumber hukum utama tersebut sangat berkaitan satu sama lain. Dan salah satu dari beberapa fungsi hadis adalah sebagai penjelasan daripada hal-hal yang telah disebutkan dalam Al-Quran. Dari keduanya, ajaran Islam diambil dan dan dijadikan pedoman utama.[footnoteRef:1] [1: Suryadi dan Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, sebagaimana dikutip oleh Alif Rodiana Firdausi, dkk, Studi Pendekatan Islam Metode Hadis dalam Buku: Metodologi Penelitian Hadis oleh Prof. Dr. Suryadi, MA dan Dr. Muhammad Alfatih Suryadilaga, M.Ag. (makalah), program studi Magister Pendidikan Agama Islam, Sekolah Pascasarjana, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, hal. 1]

Dengan berkembangnya zaman, semakin kompleks pula permasalahan dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali dengan permasalahan keagamaan bagi umat Islam dunia. Hal ini juga menjadi latar belakang akan urgensi daripada metodologi syarah hadis hingga saat ini.Walaupun sebenarnya syarah hadis bukanlah hal baru dalam dunia ilmu hadis. Karena pada dasarnya embrio munculnya syarah hadis sudah muncul di zaman Rasulullah SAW, meski belum secara formal dipakai istilah fiqh al-hadits, fahm al-hadits, dan syarh al-hadits dan sebagainya.[footnoteRef:2] Namun hingga saat ini syarah hadis masih terus dilakukan untuk mendapatkan pemahaman akan hadis-hadis tertentu yang kerap diperlukan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan dalam kehidupan umat Islam. [2: Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta: SUKA-Press UIN Sunan Kalijaga, 2012) hal. 5]

Untuk itu, sangat penting kiranya dalam makalah ini dibahas metode syarah hadis yang mana akan dijelaskan berbagai macam cara memahami sebuah hadis dengan berbagai pendekatan serta metode-metode yang telah banyak dilaksanakan oleh para pakar hadis baik pada era klasik maupun kontemporer.B. Rumusan MasalahDengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas sebagai berikut:1. Apa pengertian syarah hadis baik secara etimologi dan terminologi?2. Bagaimana pendekatan, metode, dan pola syarah hadis?3. Bagaimana contoh aplikasi syarah hadis?

C. Tujuan PembahasanSesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan pembahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut:1. Menjelaskan pengertian syarah hadis baik secara etimologi dan terminologi2. Menjelaskan pendekatan, metode, dan pola syarah hadis3. Memaparkan beberapa contoh aplikasi syarah hadis

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Syarah HadisSecara bahasa, syarah hadis terdiri dari dua kata, yakni syarah dan hadis. Kata syarah sendiri berasal dari bahasa Arab, yakni isim mashdar dari kata - - yang berarti menjelaskan. Dengan demikian, kata syarah dapat pula diartikan sebagai penafsiran, sebagaimana telah dijelaskan oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga, ...syarah sebetulnya bisa dianalogikan dengan tafsir.[footnoteRef:3] [3: Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (https://suryadilaga.wordpress.com/2012/06/06/metodologi-syarah-hadis/ diakses pada 10 Maret 2015, pukul 09.23 WIB)]

Penggunaan kata syarah lebih cenderung pada hadis, sedangkan tafsir lebih cenderung digunakan pada level Al-Quran. Hai ini juga telah dijelaskan oleh Alfatih, Kalau syarah, biasanya berada pada hadis, sedangkan tafsir berada pada level al-Quran. Akan tetapi definisi atau penganalogian tersebut bisa mengalami perkembangan bahkan mungkin mempunyai perbedaan yang sangat jauh dari di atas.[footnoteRef:4] [4: Ibid.]

Dengan pengertian secara etimologi di atas, maka pengertian syarah hadis adalah usaha yang dilakukan untuk menafsirkan atau memahami sebuah hadis. Syarah hadis dalam istilah lain disebut juga degan fiqh al-hadis, fahm al-hadis, dan hermeneutika hadis. Ketiganya memiliki penyebutan yang berbeda, namun di antara ketiganya hampir mempunyai tujuan yang serupa yaitu berupaya untuk memahami satu redaksi hadis Nabi.

B. Pendekatan, Metode, dan Pola Syarah Hadis1. Pendekatan Syarah HadisUpaya untuk memahami hadis dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, di antaranya:a. Pendekatan HistoriMemahami hadis dengan pendekatan histori ini dengan memperhatikan dan mengkaji aspek kesejarahan terhadap munculnya satu hadis. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Said Agil Husin Al-Munawar:Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam memahami hadis di sini adalah memahami hadis dengan cara memperhatikan dan mengkaji situasi atau peristiwa yang terkait latar belakang munculnya hadis[footnoteRef:5] [5: Said Agil Husin Al-Munawar, Asbabul Wurud, sebagaimana dikutip Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi... Op. Cit., hal. 66]

Pendekatan ini biasanya ditandai dengan munculnya ilmu Asbabul Wurud. Yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab mengapa Rasullah mengeluarkan satu hadis. Namun tidak semua hadis dapat dipahami dengan pendekatan ini, sebab terdapat beberapa hadis yang tidak memiliki sebab khusus mengapa Nabi menyabdakan hadis tersebut.Dengan memahami segala hal yang berkaitan dengan pendekatan historis akan mempertanyakan mengapa nabi bersabda. Dengan kata lain tujuan pendekatan ini adalah menemukan generalisasi yang berguna dalam upaya memahami gejala problem masa kini.[footnoteRef:6] Sehingga suatu hadis dipahami tidak secara tekstual, melainkan dipahami berdasarkan latar belakang kemunculan suatu hadis. [6: Musthofa M Thoha, Hermeneutika Hadis (Memahami Hadis dengan Pendekatan Historis, Sosiologis, dan Antropologis), (dikutip dari laman: http://katabelantara.blogspot.com/2011/09/hermeneutika-hadist-memahami-hadist.html diakses pada 10 Maret 2014 pukul 10.54 WIB)]

b. Pendekatan SosiologiPendekatan sosiologi dalam memahami hadis adalah cara untuk memahami hadis Nabi SAW dengan memperhatikan dan mengkaji kaitannya dengan kondisi dan situasi masyarakat pada saat munculnya hadis[footnoteRef:7] sesuai dengan tugas sosiologi yang interpretative understanding of social conduct. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa pendekatan sosiologi terhadap hadis adalah mencari uraian dan alasan tentang posisi masyarakat sosial yang berhubungan dengan ketentuan-ketentuan dalam hadis. Penguasaan konsep-konsep sosiologi dapat memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap efektivitas hadis dalam masyarakat, sebagai sarana untuk mengubah masyarakat agar mencapai keadaan-keadaan sosial tertentu yang lebih baik.[footnoteRef:8] [7: Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan, sebagaimana dikutip Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi ...., Op. Cit., hal. 78] [8: Musthofa M Thoha, Hermeneutika Hadis (Memahami Hadis dengan Pendekatan Historis, Sosiologis, dan Antropologis), Loc. Cit.]

Sebagaimana contoh sabda Nabi berikut ini: . ( )Guntinglah kumis dan panjangkanlah jenggot[footnoteRef:9] [9: Kurdi dkk, Hermeneutika Al Quran dan Hadist, sebagaimana dikutip Musthofa M Thoha, Ibid.,]

Hadis di atas biasanya dipahami secara tekstual oleh masyarakat pada umumnya. Mereka berpendapat bahwa Nabi telah memerintahkan untuk mengguntung kumis dan memelihara jenggot dengan memanjangkannya. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwasanya ketentuan tersebut merupakan salah satu kesempurnaan dalam mengamalkan ajaran Islam.Namun bila dipahami seksama, perintah tersebut relevan untuk masyarakat Arab yang secara alamiah mereka memiliki rambut yang subur, termasuk pada bagian kumis dan jenggot. Hal ini yang tidak dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Sehingga jika dipaksakan untuk orang Indonesia, justru akan menjadi tidak enak dipandang.Dengan realitas tersebut, maka hadis di atas perlu dipahami tidak secara tekstual, melainkan dipahami secara kontekstual. Sebab, kandungan hadis tersebut bersifat lokal dan dilatarbelakangi oleh kondisi sosiologis masyarakat Timur Tengah.[footnoteRef:10] [10: Ibid]

c. Pendekatan AntropologiAntropologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu antropos dan logo. Antropos berarti manusia atau orang. Sedangkan logos bermakna ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus sebagai makhluk sosial. Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berperilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dan lainnya berbeda.[footnoteRef:11] [11: Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, Op. Cit., hal. 87-89]

Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan perilakunya. Jika budaya tersebut dikaitkan dengan agama, maka agama yang dipelajari adalah sebuah fenomena budaya, bukan sebagai ajaran agama yang datang dengan perantara Rasul dan sebagainya.Pendekatan antropologi dalam memahami hadis adalah memahami hadis dengan melihat wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tradisi dan budaya yang berkembang dalam masyarakat pada saat hadis tersebut disabdakan.[footnoteRef:12] [12: Muhammad Khoirul Anam, Hadis-hadis tentang Menyemir Rambut (Studi Studi Maani al-Hadis), skripsi, Jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009, hal. 43]

Dengan demikian, jika pendekatan antropologi budaya tersebut dikaitkan dengan hadis Nabi, maka hadis Nabi yang dipelajari di sini adalah sebagai fenomena budaya. Dan pendekatan antropologi tidaklah membahasa salah dan benar suatu hadis baik Sand maupun matannya. Melainkan hanya membahas kajian terhadap fenomena yang berkaitan dengan hadis tersebut. Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga:Jika antropologi budaya .... dikaitkan dengan hadis, maka hadis hadis yang dipelajari adalah hadis sebagai fenomena budaya. Pendekatan antropologi tidak membahas salah benarnya suatu hadis dan segenap perangkatnya, seperti kesahihan Sand dan matan dll, wilayah pendekatan ini hanya terbatas pada kajian fenomena yang muncul yang ada kaitannya dengan hadis tersebut.[footnoteRef:13] [13: Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, Op. Cit., hal. 90]

Berikut adalah contoh hadis yang dipahami dengan pendekatan antropologi: [footnoteRef:14] [14: Shahih Muslim, sebagaimana dikutip Musthofa M Thoha, Loc. Cit.]

Al Humaidi telah bercerita kepada kami (al Bukhari), Sufyan telah bercerita kepada kami, al Amasy telah bercerita kepada kami, dari Muslim dia berkata: Kami dulu bersama Masruq di rumah Yasar bin Numair, maka Masruq melihat di halaman depan rumah Yasar, ada patung-patung. Maka dia berkata: Saya mendengar Abdullah berkata Saya mendengar Nabi Bersabda: sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di sisi Allah adalah para pelukis. (Muttafaqun Alaihi)

Jika dicermati dengan pendekatan antropologis, maka hadis itu sangat terkait dengan praktisi keagamaan masyarakat yang saat itu belum lama terlepas dari animisme dan dinamisme, yaitu penyembahan patung dan sebagainya, sehingga perlu adanya pelarangan keras, agar tidak terjerumus dalam kemusyrikan. Hadis ini secara antropologi disabdakan dalam situasi masyarakat transisi dari kepercayaan animisme dan politeisme ke kepercayaan monoteisme oleh karena itu pelarangan tersebut sangat relevan.[footnoteRef:15] [15: Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi; Metode dan Pendekatan, sebagaimana dikutip Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi ...., Op. Cit., hal. 92]

d. Pendekatan SainsPendekatan sains adalah suatu cara untuk memperoleh pengetahuan yang sistematis sehingga memunculkan suatu hal yang baru dengan melakukan suatu penelitian yang bersifat observasi dan eksperimen. Dengan pendekatan melalui ilmu pengetahuan (sains) dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam atau khurafat (mitologis).[footnoteRef:16] [16: Anonim, Metode Syarah Hadis Kontemporer, (diakses dari https://syahmi2.wordpress.com/2013/02/03/metode-syarah-hadis-kontemporer/ pada tanggal 10 Maret 2015, pukul 15.23 WIB)]

Nalar ilmiah ini tidak mau menerima kesimpulan tanpa menguji premis-premisnya, hanya tunduk kepada argumen dan pembuktian yang kuat, tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Bentuk itu pula kiranya dalam memahami kontekstual hadis diperlukan pendekatan seperti ini agar tidak terjadi kekeliruan untuk memahaminya.[footnoteRef:17] [17: Yusuf Qardawi, As-Sunnah sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban, sebagaimana dikutip Anonim, Ibid.]

Dengan pendekatan melalui sains, pemahaman hadis yaitu dengan memperhatikan dan mengkaji hadis sesuai dengan konteks zaman sekarang di mana ilmu pengetahuan sudah semakin berkembang dan teknologi sudah semakin maju. Mengingat banyaknya temuan-temuan di bidang sains dan teknologi saat ini, akan sangat memungkinkan untuk menggunakan teori-teori atau fakta-fakta ilmiah dalam kajian kontekstual hadis.[footnoteRef:18] [18: Ibid]

Berikut ini adalah contoh hadis yang dipahami menggunakan pendekatan sains:1) Hadis Bukhari, on. 1909 : : : Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syubah, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ziyad ia berkata, aku mendengar Abu Hurairah ra berkata, Nabi SAW bersabda, atau bersabda Abu al-Qasim SAW:Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan lebaranlah kalian karena melihat bulan, maka jika kalian tidak bisa melihatnya karena terhalang oleh mega, maka sempurnakanlah bilangan bulan Syaban 30 hari.

2) Hadis Muslim no. 2567 dan no. 2568 - - .

Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami bapaku, telah menceritakan kepada kami Syubah dari Muhammad bin Ziyad ia berkata, aku mendengar Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda: Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan lebaranlah kalian karena melihat bulan, maka jika kalian tidak bisa melihat bulan karena terhalang oleh mega, maka hitunglah (sempurnakan) bilangannya 30 hari.

- .Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami bapaku, telah menceritakan kepada kami Syubah dari Muhammad bin Ziyad ia berkata, aku mendengar Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW bersabda: Berpuasalah kalian karena melihat bulan dan lebaranlah kalian karena melihat bulan, maka jika kalian tidak bisa melihat bulan karena terhalang oleh mega, maka hitunglah (sempurnakan) bilangannya 30 hari.

2. Metode Syarah HadisDalam memahami sebuah hadis, diperlukan tata cara atau disebut juga dengan metode syarah hadis. Di dalam kitab hadis, dikenal ada 3 metode yang biasa digunakan ulama dalam memahami hadis, yakni sebagai berikut:a. Metode Tahlili (Analisis)Tahlil berasal dari bahasa Arab yakni yang berarti menguraikan, menganalisis.[footnoteRef:19] Yang dimaksud dengan tahlil di sini adalah menguraikan dan menganalisis makna-makna yang terkandung dalam hadis Nabi SAW dengan memaparkan aspek-aspek yang terkandung di dalamnya sesuai dengan kecenderungan pensyarah.[footnoteRef:20] [19: Al-Munawwir] [20: Nizar Ali, (Ringkasan Disertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarah Hadis, sebagaimana dikutip Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi ..., Op. Cit., hal. 19-20.]

Ciri-ciri kitab syarah yang menggunakan metode tahlili adalah sebagai berikut:1) Pensyarahan dilakukan dengan pola penjelasan makna yang terkandung di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh2) Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan asbabul wurud dari hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki asbabul wurud3) Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabiin, dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu4) Di samping itu sudah ada usaha muhasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lain5) Selain itu, kadang kala syarah dengan metode ini diwarnai kecenderungan pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak fiqhy, dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.[footnoteRef:21] [21: Nizar Ali, (Ringkasan Disertasi), Kontribusi Imam Nawawi dalam Penuliasan Syarah Hadis, sebagaimana Dikti Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi ..., Ibid., hal. 20-21]

Beberapa contoh kitab yang menggunakan metode tahlili ini antara lain Fath al-Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari karya Ibn Hajar al-Atsqlanai, Ibanatul Ahkam bi Syarhi al-Bulughul Maram, Subulus Salam karya Shanani, Al-Kawakib al-Dairari fi Syarhi Shahih al-Bukhari karya Syamsudin Muhammad bin Yusuf bin Ali al-Kirmani, kitab Al-Irsyad al-Syari li Syarhi Shahih al-Bukhari karya Ibnu Abbas Syihab al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qastalani atau kitab Syarah al-Zarqani ala Mutawatha ala Imam Malik karya Muhammad bin Abdul Baqi bin Yusuf al-Zarqani, dan lain-lain.[footnoteRef:22] [22: Muhammmad Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis Era Klasik hingga Kontemporer Potret Konstruksi Metodologi Syarah Hadis, sebagaimana dikutip Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi ..., Loc. Cit., hal. 19-20]

Berikut ini beberapa kelebihan dari penggunaan metode tahlili, antara lain:[footnoteRef:23] [23: Ibid., hal. 26-18]

ruang lingkup pembahasan yang sangat luasMetode ini mempunya ruang lingkup yang luas, metode ini dapat digunakan dengan dua sisi yakni bilmatsur atau bilrayi, yang mana keduanya masih dapat dikembangkan lagi ke dalam berbagai corak sesuai dengan keahlian pensyarah masing-masing. memuat berbagai ide dan gagasanMetode ini memberikan cukup raung kepada pensyarah untuk mengembangkan penjelasannya dengan berbagai ide dan gagasan dari masing-masing pensyarah dalam mensyarah hadis yang dibahas.Di samping beberapa kelebihan di atas, terdapat pula kekurangan pada penggunaan metode tahlili ini dalam mensyarah hadis Nabi, di antaranya: petunjuk hadis bersifat parsial atau terpecah-pecahMetode tahlili seolah-olah memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten yang disebabkan oleh syarah yang diberikan pada sebuah hadis berbeda dengan syarah yang diberikan pada hadits lain yang sama, karena kurang memperhatikan hadis lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.[footnoteRef:24] [24: Joko Wahyono, Metode Syarah Hadis, makalah, (diakses dari http://joko-document.blogspot.com/2014/02/metode-syarah-hadits.html pada 10 Maret 2015 pukul 10.29 WIB)]

melahirkan syarah yang subjektifDalam metode ini, pensyarah bebas memasukkan ide-ide dan gagasan-gagasan dari pensyarah itu sendiri. Sehingga disadari atau tidak, hal ini telah menimbulkan penjelasan sesuai dengan kemauan pensyarah. Dengan demikian subjektivitas pun akan muncul sesuai dengan perspektif pensyarah hadis.Contoh syarah hadis dengan menggunakan metode tahlili dalam kitab Fath Bari bab Fadhl Wudhu juz 1, sebagai berikut: : ( ) : .

: ( ) : .

: ( ) - - : .

: ( ) . : . " " : .

; .

: ( ) .

: ( ) : . . " " : . . : . . . - - .

: . . : - - . . - - - - . . ; . .[footnoteRef:25] [25: Ibnu Hajar Al-Atsqolani, Fathul Bari, Juz 1, pdf, ]

b. Metode Ijmali (Global)Metode ijmali dalam memahami hadis Nabi adalah dengan cara menjelaskan hadis-hadis dengan urutan dalam kitab hadis (kutub as-sittah) secara ringkas namun dapat merepresentasikan makna literal hadis dengan bahasa yang mudah dipahami.[footnoteRef:26] [26: Muhammad Alfatih Suryadilaga, Metodologi ..., Loc. Cit., hal., hal. 30]

Metode ini mempunyai kemiripan dengan metode tahlili dalam segi sistematika pembahasannya. Hanya saja, perbedaannya terletak pada keterperincian penjelasan, yakini pada metode tahlili hadis disyarah secara detail dan penjelasnanya secara panjang lebar sehingga lebih banyak mengemukakan pendapat-pendapat ide-ide pensyarahnya. Sedangkan metode ijmali, penjelasannya lebih ringkas dan general, sehingga metode ini tidak banyak memaparkan pendapat-pendapat serta ide-ide pensyarahnya. Meski demikian tidak menutup kemungkinan pula suatu hadis memerlukan penjelasan yang mendetail dengan metode ini, namun penjelasannya tidak seluas metode tahlili.Sebagaimana metode tahlili, metode ijmali juga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Berikut ini beberapa kelebihan dan kekurangan dari metode ini:[footnoteRef:27] [27: Ibid., hal. 43-44]

1) Kelebihan ringkas dan padatDengan metode ijmali, maka pensyarah hadis akan mensyarah suatu hadis secara global. Sehingga penjelasannya pun tidak terlalu bertele-tele dan mudah untuk dipahami oleh pembaca. Metode memang sangat tepat jika pembaca memerlukan suatu penjelasan dari sebuah hadis secara cepat, sebab waktu yang diperlukan untuk memperoleh penjelasan cukup singkat.

bahasa mudah dipahamiBahasa yang digunakan pensyarah pada metode ijmali ini cukup mudah untuk dipahami oleh pembaca. Sebab pensyarah tidak menjelaskan hadis secara panjang lebar dan tidak mencantumkan analisis pensyarah.

-15-