metode pendidikan moral menurut hasan al banna
TRANSCRIPT
100
METODE PENDIDIKAN MORAL MENURUT HASAN AL BANNA
Oleh : M. Muizzuddin, M.Pd.I
Abstrak : Hasan Al-Banna adalah tokoh pembaharu islam kelahiran Mesir. Beliau menampakkan diri sebagai seorang tokoh yang menjadikan Islam sebagai orientasi pemikirannya, termasuk didalamnya adalah pemikiran kependidikan. Oleh karena itu tujuan pendidikan menurutnya adalah untuk mewujudkan identitas Islam yang diformulasikan dalam konsep “Ar-Rijal Al-Muslim” yaitu pribadi yang tidak hanya sholeh dalam ritualnya, tetapi juga peka terhadap kondisi sosial. Sejalan dengan itu Hasan Al-Banna menekankan pada pengembangan aspek-aspek pokok manusia yang meliputi aspek akal, jasmani, akhlaq, sosial, jihad dan politik yang berasaskan pada pemahaman Islam kaffah yang kemudian diterapkan pula dalam metode-metode pendidikannya.
Kata kunci : metode, moral, ar-rijal al-muslim
PENDAHULUAN
Pendidikan mempunyai keterkaitan sangat besar dengan perubahan sosial budaya
yang ada disuatu negara, karena pendidikan sebagai bagian dari institusi sosial (social
institution) menempati kedudukan ganda sekaligus strategis dan kritis. Disebut strategis
karena, seperti dikatakan Emile Durkheim, pendidikan memegang kendali penting dalam
mempertahankan kelanggengan kehidupan sosial yaitu mampu hidup konsisten mengatasi
ancaman dan tantangan masa depan.1 oleh sebab itu, pendidikan harus bisa survive diera
dimana kemajuan teknologi dan komunikasi yang berkembang dengan cepat.
Sekolah merupakan salah satu benteng dimana peserta didik di gembleng untuk
menjadi insan yang kamil, yaitu menjadi manusia yang sempurna. Manusia yang bisa
menunaikan kodratnya sebagai kholifatun fill ardli dan menjadi manusia yang bisa
menjadikan dirinya bermanfaat bagi lainnya. Sehingga dalam mewujudkan manusia yang
sempurna, sekolah mempersiapkan tenaga pendidik dan kependidikan yang mumpuni.
Serta mencukupi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan anak didik guna dimanfaatkan
sebaga alat maupun sumber belajar.
Sumber daya manusia yang ada dalam sekolah juga tidak kalah pentingnya
sehingga, dalam pelaksanaannya perlu kiranya sekolah tetap selalu mengembangkan
kreatifitas SDM yang ada di lingkungan sekolah tersebut. Diantaranya adalah
pengembangan SDM guru mengajar didalam kelas. Sehingga dalam proses belajar dan
pembelajaran dikelas berjalan efektif dan efisin. Itu semua bisa tercapai jika guru murid
1 Saefuddin. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. (Bandung: Mizan. 1987) Hal 125
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
101
dan metode yang digunakan tepat sasaran. Sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran
dikelas berjalan dengan baik
Metode sebagai salah satu komponen dalam pendidikan menjadi penting karena
materi pendidikan tidak dapat dipelajari dengan baik, tanpa disampaikan dengan strategi
atau tehnik-tehnik tertentu. Penafian peran metode secara sadar dalam proses pendidikan
dan pengajaran akan menghambat keberhasilan aktivitas pendidikan. Pengertian metode
di sini tidak sekedar diartikan sebagai cara mengajarkan sesuatu dalam hal ini pekerjaan
mengajar tetapi lebih dari itu metode di pandang sebagai upaya perbaikan komprehensif
dari semua elemen pendidikan sehingga menjadi sebuah iklim yang mendukung
tercapainya tujuan pendidikan.2 sehingga bisa dikatan bahwa metode merupakan salah
satu faktor penentu dalam keberhasialan pembelajaran didalam sekolah.
RIWAYAT HIDUP HASAN AL BANNA
Nama lengkapnya adalah Hasan bin Ahmad bin ‘Abdul Al-Rahman bin
Muhammad Al-Banna. Akan tetapi banyak orang yang memanggilnya dengan nama
Hasan. Dan ada pula yang menyebut dengan nama Al-Banna atau al-Imam al-Syahid
Hasan.
Hasan Al-Banna lahir pada tanggal 14 Oktober 1906 di Almahmudiyah, sebuah
kota kecil di propinsi Buhairah, kira-kira 9 mil dari arah barat daya kota Kairo.3 Hasan Al-
Banna lahir di keluarga yang cukup terhormat dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
muslim yang taat. Ayahandanya bernama Syeikh Ahmad Abdurrahman al-Banna yang
lebih terkenal dengan panggilan As–Sa’ati, atau si tukang arloji yang kelak keahlian itu
diturunkan kepada putranya Hasan Al-Banna. Selain bekerja sebagai tukang reparasi arloji,
syeikh Ahmad juga menjadi Muadzin dan guru agama di masjid kampungnya. Beliau
adalah sosok yang sangat disegani oleh sejumlah besar ulama Mesir sebab kedalaman ilmu
beliau terutama dalam menguasai ilmu fiqh, ilmu tauhid, ilmu bahasa dan sekaligus
penghafal Qur’an. Bahkan Syeikh Ahmad ini pernah belajar di Al-Ahzar pada masa Syeikh
Muhammad Abduh.4
Sejak kecil Hasan Al-Banna telah dituntut ayahnya untuk menghafal Al-Qur’an
secara penuh. Keinginan yang kuat agar putranya hafal Al-Qur’an seluruhnya, sampai-
2 Muhammad Slamet Untung. Muhammad Sang Pendidik. (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2002)
Hal: 89 3 Richard Paul Mitchell. Ikhwanul Muslimun dalam Masyarakat Barat. (Solo: Era Intermedia.2005) Hal:
5 4 Ibid., Hal. 3
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
102
sampai ia tidak mengizinkan putranya untuk melanjutkan ke sekolah dasar kecuali setelah
berjanji akan menyelesaikan hafalan Al-Qur’an di rumah.5 . Sebelum selesai hafalannya,
Hasan Al-Banna telah mengawali pendidikan dasarnya di Madrasah diniyah Ar-Rasyad
dengan Syeikh Muhammad Zahran sebagai gurunya yang kelak sangat berpengaruh bagi
perjalanan hidupnya.
Disaat Hasan Al-Banna belum juga selesai menghafal Surat Al-Isra’, yang berarti
kurang lebih baru separo Al-Qur’an tiba-tiba sang ayah menyampaikan sesuatu rencana
yang mengejutkan, ia harus pindah ke Madrasah I’dadiyah. Ketika itu, jenis pendidikan ini
setingkat dengan Madrasah Ibtida’iyah hanya tanpa pelajaran bahasa Asing namun ada
beberapa pelajaran tentang undang-undang pertanahan dan perpajakan,serta sedikit
tentang agrikultura disamping mendalami secara luas tentang ilmu bahasa nasional
(Bahasa Arab) dan ilmu agama. Dan di madrasah inilah Hasan Al-Banna memulai
mengikuti organisasi keagamaan yang bernama Perhimpunan Akhlak Mulia yang
bertujuan untuk menghukum anggota-anggotanya atas setiap pelanggaran moral yang
mereka lakukan.6 Perpindahan sekolah itu ternyata tidak menyurutkan semangat ayahnya
untuk tetap menjadikan Hasan Al-Banna sebagai seorang hafidz. Untuk itu ia mengambil
waktu menghafal Al-Qur’an setelah subuh hingga menjelang berangkat sekolah.
Dewan teritorial kota Bahirah menetapkan penghapusan sistem Madrasah
I’dadiyah dan diganti dengan Madrasah Ibtida’iyah. Maka tidak ada alternatif lain bagi
Hasan Al-Banna kecuali harus memilih mendaftarkan diri ke Al-Ma’had Ad-Diniy di
Iskandaria – agar kelak menjadi “Azhari” (gelar bagi alumni Al-Ahzar) atau ke Madrasatul
Mu’allimin Al-Awwaliyah di Damanhur untuk dapat menyingkat waktu, karena setelah
tiga tahun menempuh pelajaran di sini akan menjadi seorang guru. Akhirnya pilihan kedua
inilah yang ia pilih. Saat itu usia Hasan Al-Banna baru 14 tahun.
Pada masa belia ini pula Al-Banna menyaksikan untuk pertama kalinya halaqah
dzikir, sebuah ritual sufi yang dilaksanakan oleh Tarekat Al- Ikhwan Al– Hashafiyah (
Persaudaraan Hashafiyah ). Karena begitu terkesan, Al-Banna masuk menjadi anggota
tarekat ini selama dua puluh tahun berikutnya, dan ia tetap memegang teguh ajaran
sufisme dalam arti khusus selama hidupnya.7. Al-Banna terwarnai oleh metode Al-
Hashafiyah dalam melakukan tarbiyah ruhiyah. Selain mengajarkan dzikir, wirid, kajian
5 Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin. (Solo: Era Intermedia. 2000) Hal:
177 6 Richard Paul Mitchell. Ikhwanul Muslimun dalam Masyarakat Barat. Hal: 4 7 Ibid hal: 4
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
103
kitab ihya, sholat jamaah, puasa senin kamis,serta kunjungan persaudaraan, salah seorang
pendidik tarekat itu yang bernama Syeikh Muhammad Abu Syausyah8 mengajak sepuluh
orang diantara mereka, atau sekitar itu untuk pergi ke kuburan. Mereka berziarah kubur
dan membaca wadzifah.9
Sejak di sekolah menengah Hasan sudah terpilih sebagai ketua Jam’iyatul Ikhwanil
Adabiyah, yakni sebuah perkumpulan yang terdiri dari calon pengarang. Ia juga
mendirikan dan sebagai ketua Jam’iyatul Man’il Muharramat, semacam serikat pertobatan
serta pendiri dan sekretaris I Jam’iyatul Hasafiyah Khairiyah semacam organisasi
pembaharuan. Kemudian ia juga menjadi anggota Makarimul Akhlaqil Mukarramah yaitu
Perhimpunan Etika Islam.1 0
Pada usia enam belas tahun, atau tepatnya tahun 1923 Hasan Al-Banna pergi ke
Kairo dan belajar di Darul Ulum.1 1 Darul Ulum didirikan pada tahun 1873 sebagai
lembaga pertama Mesir yang menyediakan pendidikan tinggi modern (sains) disamping
ilmu-ilmu agama tradisional yang menjadi spesialisasi lembaga pendidikan trdisional dan
klasik Al-Ahzar. Di sini ia mempelajari ilmu-ilmu pendidikan, filsafat, psikologi dan
logika, serta ia memperhatikan masalah-masalah politik, industri dan olahraga.1 2 Selain
itu, Hasanpun mampu mengorganisasikan kelompok mahasiswa Universitas Al-Ahzar
dan Universitas Darul Ulum yang melatih diri berkhotbah di masjid– masjid. Hal ini
terlaksana karena Al-Banna tetap memelihara hubungan baiknya dengan Tarekat
Hashafiyah dan pada tahun kedua ia bergabung dengan organisasi keagamaan Jam’iyah
Makarim Al-Akhlaq (Asosiasi Akhlak Terpuji) yang kegiatannya mengorganisasi ceramah-
ceramah materi-materi keislaman. Dalam kesempatan belajar di Kairo ini, Hasan Al-
Banna sering berkunjung ke toko-toko buku yang dimiliki oleh gerakan shalafiyah
pimpinan Rasyid Ridha dan aktif membaca al-Manar dan berkenalan dengan Rasyid
Ridha serta menjalin komunikasi dengan murid Abduh lainnya.1 3
Tahun 1927, adalah tahun dimana Hasan Al-Banna berhasil menyelesaikan
studinya di Universitas Darul Ulum dengan predikat cumlaude. Lalu ia diangkat menjadi
8 Hasan Al-Banna. Memoar Hasan Al-Banna. (Solo: Era Intermedia 2001) hal: 40 9 Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin. (Solo: Era Intermedia. 2000) hal:
180 1 0 Abdul Kholiq. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. (Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar. 1999) hal: 254 1 1 Triyo Supriyatno, Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Theo Antropo Sosiosentris. Malang: P3M
(dan UIN Malang 2004) hal: 123 1 2 Ibid hal: 123 1 3 Abdul Kholiq. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. (Semarang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar. 1999) hal 254
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
104
guru di salah satu sekolah menengah di kota Isma’iliat, daerah terusan Suez.1 4 Sejak ia
sampai di Isma’iliat hingga awal tahun 1928, Al-Banna mempelajari kondisi masyarakat
dan mencoba mengenali faktor-faktor yang berpengaruh dalam masyarakat mereka. Ia
berhasil menjalin hubungan dengan para ulama serta para syeikh tarekat, tokoh, dan
berbagai kelompok. Beliau berhasil meraih hati mereka dan melalui merekalah akhirnya ia
berhasil menarik perhatian masyarakat luas kepada dakwahnya.1 5
Sebagai hasil kajiannya ia menemukan metode untuk mendakwahi dan mendidik
masyarakat. Diantaranya adalah Hasan Al-Banna tidak berkutat di dalam masjid yang
menurutnya banyak sekali perselisihan, dan akhirnya mengalihkan perhatiannya ke
warung–warung kopi. Disana ia menyusun jadwal kajian, masing-masing dua pelajaran
dalam sepekan.
Dengan saksama ia mengupas tema–tema pokok yang bersifat umum,
mengingatkan manusia kepada Allah dan hari akhir serta menyampaikan targhib (kabar
gembira) dan tarhib (peringatan). Ia tidak mau mencela, menghujat atau menyindir sana
sini. Tidak juga menanggapi berbagai kemungkaran dan dosa yang dilakukan para
pengunjung dengan mencela dan memaki.1 6 Selain itu Hasan Al-Banna juga memakai
metode aplikatif dalam pengajaran ibadah, disertai dengan pembinaan akidah yang benar.
Dakwah beliau tidak terbatas pada kaum pria saja, tetapi juga menyentuh kalangan wanita.
Bahkan di Isma’ilia ini beliau mendirikan Ma’had Ummahatul Muslimin sebagai tempat
pendidikan Islam khusus bagi para muslimah.1 7
Metode yang dijalankan oleh Hasan Al-Banna diatas ternyata telah berhasil
mempengaruhi masyarakat untuk peduli terhadap agama dan hukum-hukumnya. Hingga
pada Maret tahun 1928, di kota Isma’iliah berkunjunglah enam orang pengikutnya (tukang
kayu, tukang cukur, penarik pajak, sopir, tukang kebun dan tukang gerobak). Mereka
berbincang-bincang dengannya mengenai :
1. Kehidupan perbudakan dalam komunitas orang-orang asing
2. Ketidakpahaman mereka tentang jalan menuju kemuliaan sebagaimana yang ia
pahami, dan ketidaktahuan mereka tentang cara berkhidmat kepada agama, bangsa
1 4 Triyo Supriyatno, Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Theo Antropo Sosiosentris hal: 123 1 5 Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin. (Solo: Era Intermedia. 2000) hal:
184 1 6 Hasan Al-Banna. Memoar Hasan Al-Banna, hal 18 1 7 Hasan Al-Banna. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I. (Solo: Era Intermedia. 2002) hal: 18
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
105
dan negara sebagaimana yang ia ketahui. Mereka mengusulkan agar ia menjadi
pemimpin mereka dalam sebuah jamah yang berbai’at kepada Allah untuk hidup
demi agamaNya dan mati dijalanNya. Al-Banna menjawab tawaran mereka dengan
mengatakan : “Marilah kita berbai’at kepada Allah untuk menjadi tentara bagi dakwah
Islam yang dengannya akan terwujudlah kehidupan hakiki negara dan kemuliaan
umat.” Setelah berbai’at mereka bermusyawarah tentang nama jama’ah mereka,
akhirnya mereka menyepakati nama “ Al-Ikhwan Al Muslimun”1 8
Di Ismailiah,sebagai pusat aktivitas, Al–Ikhwan Al-Muslimin mengambil sebuah
rumah tua sebagai kantor sekretariat yang lalu disebut “Madrasah Tahdzib Ikhwanul
Muslimin“ (Arena Pembinaan Ikhwan)1 9 . Dan mulai dari sinilah gerakan ini berkembang.
Yang semula hanya 6 orang menjadi 70 orang. Selain itu beliaupun berhasil mendirikan
sekolah putra yang bernama Ma’had Hira’ Al-Islami, Ma’had Ummahatul Mukminin, klub
olahraga dan kelompok rihlah.
Gerakan Ikhwanul Muslimin ini pada mulanya memfokuskan perhatiannya pada
bidang sosial dan pendidikan. Namun pada akhirnya menjelma sebagai kekuatan politik
yang dikagumi di Mesir dan dunia Arab.
Seiring dengan meluasnya jaringan Ikhwan muncul pula antipati dan perlawanan
terhadap gerakan ini. Pada tahun 1930 sikap memusuhi Al–Ikhwan Al–Muslimun masih
terbatas dalam bentuk pengaduan kepada Kabinet Ismail Sidqi Pasha tentang sistem
gerakan dan tujuan-tujuan Ikhwanul Muslimin yang tentunya disertai dengan tuduhan-
tuduhan yang tidak beralasan terutama kepada Hasan Al-Banna selaku pimpinan gerakan
ini. Namun, pada kenyataannya tuduhan itu tidak terbukti dan pemerintahan Shidqi Pasha
menjadi begitu perhatian terhadap perjalanan gerakan Ikhwanul Muslimin.
Perjalanan yang diharapkan bisa lebih panjang lagi ini ternyata harus terpenggal
akibat piciknya pikiran para penguasa tiran pada saat itu. Adanya keyakinan bahwa Al-
Ikhwan Al-Muslimun akan melakukan revolusi dalam waktu dekat mendorong keluarnya
dekrit pembubaran Al-Ikhwan Al-Muslimun pada tanggal 8 Desember 1948.2 0 Lebih tepat
lagi, perintah pembubaran Al-Ikhwan Al-Muslimun disangkutpautkan dengan arus
1 8 Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, hal 185-186 1 9 Ibid, hal 186 2 0 Abdul Kholiq. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, hal: 254
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
106
kekerasan yang mengguncang Mesir sejak tahun 1945 dan setelahnya dimana peranan Al-
Ikhwan Al-Muslimun dalam tindak kekerasan tersebut dirasa sangat berbahaya oleh
pemerintah.
Hasan Al–Banna masih mencoba mendekatkan pengertian untuk menjernihkan
masalah, tapi pada tanggal 28 Desember 1948 Perdana Menteri an–Nuqrasy terbunuh,
dan tuduhan dialamatkan ke kelompok Ikhwan dan menjadikan kondisi bertambah parah.
Tujuh minggu setelah kejadian tersebut pada tanggal 12 Februari 1949 Hasan Al-Banna
dibunuh oleh agen-agen dinas rahasia Mesir di depan kantor pusat organisasi “ Asy–
Syubbanul Muslimun”.2 1
Tragedi kematian Hasan Al–Banna merupakan tragedi yang tak terperikan bagi
para anggota. Tidak ada sesuatu yang menimpa orang-orang Al–Ikhwan Al-Muslimun
yang lebih melemahkan gerakan ini ketimbang harus kehilangan pemimpinnya. Al–Banna
yang kharismatis itu bagi mereka adalah “seorang imam yang dipilih Allah, inspirator
kebangkitan Islam di abad modern, seorang mursyid yang mendapatkan anugerah ilham
(mulham), seorang mulham yang berbakat, guru generasi, pembina yang brilian, panglima
lagi pendidik, pelopor, pribadi yang menakjubkan lagi unik,da’i yang jenius, lelaki luar
biasa, pribadi yang tiada bandingnya, intelektual yang hebat, saudara yang tercinta, lelaki
masa kini, dan sosok yang mengobarkan api revolusi.”.2 2
Melihat kepribadian dan sepak terjang Hasan Al-Banna maka tak berlebihan
kiranya jika berbagai kalangan cendekiawan Barat dan Timur memberikan komentar
terhadap diri Hasan Al-Banna seperti Robert Jackson misalnya yang mengatakan bahwa
“terkumpul dalam dirinya kecerdasan politisi, kekuatan para panglima, hujjah para ulama,
keimanan kaum sufi, ketajaman analisa para ahli matematika, anologi para filosof,
kepiawaian para orator, dan keindahan susunan kata para sastrawan.” 2 3
METODE PENDIDIKAN MORAL AL-BANNA
Penyimpangan dan dekadensi moral (akhlak) yang terjadi pada kebanyakan
manusia itu disebabkan mereka tumbuh dan berkembang dalam atmosfir pendidikan dan
lingkungan yang buruk. Hal itulah yang menjadikan alasan kenapa Hasan Al-Banna sangat
peduli terhadap pendidikan moral
2 1 Ibid, hal:254-255 2 2 Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin hal: 175-176 2 3 Triyo Supriyatno, Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Theo Antropo Sosiosentris hal: 122
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
107
Pendidikaan moral (tarbiyah khuluqiyah) termasuk fungsi terpenting dalam
pendidikan. Aspek moral (akhlak) adalah salah satu fondasinya. Bahkan secara
keseluruhan, pendidikan itu merupakan aktivitas moral,yang dari awal hingga akhir di
semua tingkatan dibangun diatas nilai-nilai moral baik secara tersurat maupun tersirat.
Pendidikan akhlak merupakan sisi lain dari pendidikan Nabi yang menjadi jiwa
dari pendidikan muslim pada tahap berikutnya. Para pakar pendidikan muslim sepakat
bahwa tujuan pendidikan dan pengajaran tidak sebatas memenuhi otak anak didik dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan. Tujuan utama dari pendidikan adalah mendidik akhlak
dan jiwa anak didik,menanamkan rasa fadhilah dan mempersiapkan mereka dalam
kehidupan yang suci.2 4 Dalam hal ini Ibnu Qayyim pernah berkata:”Yang dibutuhkan oleh
seorang anak adalah perhatian terhadap akhlaknya”.2 5
Sistem pendidikan Madrasah Hasan Al–Banna ,memandang aspek akhlak sebagai
aspek yang terpenting yang dianggap sebagai tonggak pertama untuk perubahan
masyarakat. Bahkan Hasan Al-Banna menganggapnya sebagai “tongkat komando
perubahan”. Seperti tongkat yang mengalihkan perjalanan kereta api dari satu rel ke jalur
lainnya dan dari satu arah ke arah lainnya. Dalam hal ini beliau mengulang–mengulang
kata–kata penyair :
تضيق جال الر ق أخلآ ولكن* بأهلها د بلآ قت ضا ما لعمرك
“Demi hidupmu, tidaklah negeri sempit karena penduduknya. Tetapi yang menjadikannya
sempit ialah akhlak pemimipin–pemimpinnya.”.2 6
Al-Banna menyatakan, sebagai dampak dari masa transisi yang dilewati Mesir, dan
sebagai pengaruh peradaban modern yang dengan sangat kuat menerpa Mesir, terjadilah
perubahan besar dalam moralitas bangsa. Akhlak yang selama ini dipegang teguh dan
didasarkan pada keyakinan agama musnahlah sudah, diganti dengan moralitas yang
dibangun dengan asas kepentingan materi dan kepura-puraan. Al-Banna melihat, adalah
mustahil akan terjadi kebangkitan umat tanpa adanya pendidikan moral yang merupakan
soko guru dalam pembanguna individu,masyarakat dan bangsa.
2 4 Muhammad Slamet Untung. Muhammad Sang Pendidik hal: 73 2 5 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnul Qayyim. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2001)
hal 207 2 6 Yusuf Qardhawi, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna. (Jakarta: Bulan Bintang.1980) hal:
48
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
108
Dalam pembinaan moral ini Hasan Al-Banna sendiri telah menekankan berbagai
cara dalam jiwa para pengikutnya. Diantara pernyataannya adalah sebagai berikut:
إذ, الطموحة لعاليةا الكبيرة والنفس, المتين القوى الفاضل الخلق...الخلق إلى تكون ما احوج الناهضة والأمة
27.العصرالجديد مطالب من ستواجه أنها
Artinya: "Umat yang tengah bangkit paling membutuhkan akhlak yang mulia, jiwa yang besar, dan cita-cita
yang tinggi. Hal ini, karena umat tersebut akan menghadapi berbagai tuntutan dari sebuah
masyarakat baru."
Dalam hal ini Allah berfirman dalam QS. Asy-Syams: 9-10:
Artinya: " sungguh, beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sungguh merugilah orang yang
mengotorinya."
Keprihatinan kelompok Ikhwan ini kemudian direalisasikan dengan mendirikan
lembaga pendidikan yang peserta didik laki-laki dan perempuan menerima pendidikan
moral semenjak dini.lembaga pendidikan itu dinamakan sekolah jum’at.
Sekolah ini bukan pendidikan formal. Ia hanya usaha yang dilakukan oleh seorang
anggota Ikhwan dengan mengumpulkan anak-anak kampung yang cabang organisasinya
berada pada dua jam sebelum sholat jum’at. Ia mulai dengan program studi melalui kisah-
kisah, pelatihan, olah raga, dan nasyid. Bila sholat hampir tiba, dengan berbaris mereka
keluar menuju masjid. Disana sang ustadz mengenalkan kepada anak-anak itu cara
berwudhu dan sholat secara praktek. Adapun metode yang diterapkan dalam pendidikan
spiritual dan moral disekolah ini dilakukan melalui:
1) Metode Praktek
Praktek ibadah (bersuci,wudhu,sholat,puasa bagi anak-anak yang telah
mampu) juga membentuk kebiasaan-kebiasaan moral yang terpuji. Misalnya, aksi
kebersihan,menyantuni orang-orang miskindan kaum dhuafa’.
2) Metode Kisah.
Kisah- kisah yang sesuai dengan anak- anak berusia 7 tahun hingga baligh.
Ustadz harus memperhatikan aspek–aspek edukatif dalam pemaparannya. Mulai dari
2 الإمام الشهيد حسن البنا,71:2002 7
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
109
kisah-kisah daerah hingga kisah-kisah nasional yang diorientasikan kepada penanaman
jiwa kebanggaan dalam sejarahnya. Setelah itu, diberi kisah-kisah Islami dengan segala
ragamnya, mulai dari sirah Nabi saw, kisah para sahabat, perang penaklukan, kisah
pahlawan kecil dan sebagainya.
3) Metode Anasyid
Nasyid-nasyid yang berorientasi kepada penguatan jiwa keagamaan,
menanamkan sifat-sifat utama dan rasa patriotisme. Nasyid yang diajarkan banyak
macamnya, ada nasyid religius, patriotik, moral, dan etika, kebersamaan tentang alam
dan tentang keindahan. Pembina harus mengikuti metode pengajaran tertentu dalam
mengajar anak-anak.
4) Metode Hiwar
Drama dan dialog, yakni dengan mengutip penggalan kisah yang telah
ditunjukkan sebelumnya atau penggalan nasyid atau cerita yang dibuat khusus untuk
diperagakan anak-anak.
5) Metode Hafalan
Mahfudhat (hafalan). Ini dimaksudkan untuk menimbulkan pengaruh
tertentu, bukan untuk membebani. Materi hafalan bekisar pada surat- surat Al–Qur’ an
dan hadits–hadits nabi, serta nastid-nasyid pilihan, yang dapat mendorong pada
keutamaan-keutaman akhlak.
2) Metode Nasehat
Metode nasehat ini dilakukan dengan mengadakan program yaum an-nashihah (
hari nasehat). Yakni penugasan kepada seorang anggota ( sekali dalam sepekan) untuk
mengunjungi anggota yang lain dalam rangka memberi nasehat moral kepadanya. Ini
dilakukan setelah mempelajari keadaannya.2 8 Hal ini diungkapkan oleh Hasan Al-
Banna sebagai berikut:
. عيبًا فيه رأى متى, أخاه منكم كل لينصح ذلك بعد ثم, والمعصية الطاعة على دقيقاً حسباً أنفسكم وحاسبوا
29.ذلك له وليشكر, وفرح بسرور أخيه نصح الأخ وليقبل
Artinya: "Evaluasilah dirimu dengan evaluasi yang detail dalam hal ketaatan dan kemaksiatan, setelah itu hendaklah setiap kalian bersedia menasehati saudaranya yang lain begitu aib tampak padanya. Hendaklah seorang akh menerima nasehat saudaranya dengan penuh rasa suka cita dan ucapkan terima kasih padanya."
2 8 Utsman Abdul Mu’iz Ruslan, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin hal: 508 2 الإمام الشهيد حسن البنا,382:2002 9
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
110
PENUTUP
Metode pendidikan moral Al-Banna Sistem pendidikan Madrasah Hasan Al–
Banna ,memandang aspek moral (akhlak) sebagai aspek yang terpenting yang dianggap
sebagai tonggak pertama untuk perubahan masyarakat. Bahkan Hasan Al-Banna
menganggapnya sebagai “tongkat komando perubahan”. Karena tidak mungkin seorang
yang alim dan luhur kedudukannya bisa mempunyai kedudukan dan kenfaatan dimata
manusia dan Allah SWT jika tidak dibarengi dengan Moral (ahlak) yang bagus. Oleh
karena itulah Al-Banna menganggapnya laksana tongkat komando. Jika tongkat komando
tersebut berjalan kearah yang salah, maka sangatlah mungkin yang lain akan mengikuti
komando yang telah digariskan.
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
111
DAFTAR PUSTAKA
Al-Banna, Hasan. 1998. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin II. Solo: Era Intermedia
--------------------. 2002. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I. Solo: Era Intermedia.
-------------------. 2001. Memoar Hasan Al-Banna. Solo: Era Intermedia
Al-Hijazy, Hasan bin Ali Hasan. 2001. Manhaj Tarbiyah Ibnul Qayyim. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Aly, Hery Noer. 1995. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta:
Gema Insani Press.
Arifin, M. 1993. Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Tujuan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara.
Irfan, Muhammad dan HS, Mastuki. 2000. Teologi Pendidikan Tauhid sebagai Paradigma Pendidikan
Islam. Jakarta: Friska Agung Insani.
Jalaluddin dan Said, Usman. 1996. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Kholiq, Abdul Dkk. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer.
Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan Pustaka Pelajar.
Langgulung, Hasan. 1980. Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Bandung: PT. Al-Ma'arif
Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Perangkat-perangkat Tarbiyah Ikwanul Muslimin. Solo: Era
Intermedia.
Mitchell, Richard Paul. 2005. Ikhwanul Muslimun dalam Masyarakat Barat. Solo: Era Intermedia.
Mu’adz, Abdullah. 2004. Rahasia Keberhasilan Sistem Pendidikan Ikhwanul Muslimin. Depok: Bina
Mitra Press
Muhaimin dan Mudjib, Abdul. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar
Operasionalisasinya. Bandung: Trigenda Karya.
--------------. 2002. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Agama Islam di Sekolah.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nawawi, Imam.2003. Hadits Arba’in Nawawiyah. Solo: Era Intermedia
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktek). Jakarta:
Ciputat Press.
MIYAH VOL.X NO. 01 JANUARI TAHUN 2015
112
Qordhawi, Yusuf. 1980. Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna. Jakarta: Bulan Bintang.
Saefuddin. 1987. Desekularisasi Pemikiran Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan.
Supriyatno, Triyo. 2004. Paradigma Pendidikan Islam Berbasis Theo Antropo Sosiosentris. Malang: P3M
dan UIN Malang.
Untung, Muhammad Slamet. 2002. Muhammad Sang Pendidik. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra.
العربي دارالبيان: القاهره, رسائل عة مجمو, 2002, البنا حسن الشهيد الإمام