mazhab sunni yang masih eksis dan yang sudah lenyap
TRANSCRIPT
MAZHAB SUNNI YANG MASIH EKSIS DAN YANG SUDAH LENYAP
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh
Dosen Pembimbing Fatma Amilia, S.Ag.,M.S.I.
Kelompok 2 :
1. Sugianti Khasanah (11670017)
2. Hendra Budi G (11670018)
3. Th. Nurmala E (11670019)
4. Woro Sri Erdini (11670020)
5. Mir’atul Azizah (11670022)
6. Rian Bahar Rahmadi (11670023)
7. Dyah Hesti H (11670024)
8. Marganing Tyas W (11670025)
9. Miftakhul Intan N (11670026)
10. Elsa (11670027)
11. Izzatillah Safitrie (11670028)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin dan ridha-
Nya makalah ini dapat selesai pada waktunya. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kedamaian dan rahmat
untuk alam semesta.
Makalah yang membahas mengenai “Mazhab Sunni yang masih berkembang dan
yang sudah lenyap” ini terdiri dari pendahuluan, pembahasan dan penutup.Membahas
mengenai perkembangan beberapa mazhab yang ada. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih
kepada dosen pembimbing mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh yaitu Ibu Fatma Amilia dan
kepada teman-teman yang telah membantu proses penyelesaian makalah ini.
Makalah ini penulis sajikan dengan segala kekurangannya, namun dikandung harapan
barangkali dapat dijadikan bahan bacaan tambahan dari buku-buku yang ada.Kritik dan saran
sangat diharapkan dari para pembaca untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca.
Terima kasih.
Yogyakarta, 19 Agustus 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin
Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Bagi ilmuwan,
selain Imam mazhab yang empat itu juga terdapat Imam yang dikenal seperti Imam Daud Az-
Zahiri, Al-Imam Abu Amer Abdur Rahman Ibn Muhammad Al-Auza’I, Abu Abdillah Sofyan
Bin Said al-Tsauri, Abdul Haris al-Laits Ibnu Sa’ad al-Fahmi, Abu Ja’far Muhammad Ibn
Jarir ath-Thabari. Akan tetapi, untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam
mazhab itu sangat terbatas. Bahkan ada yang cenderung ingin mendalami mazhab tertentu
saja.Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya
dari ulama atau guru yang menganut suatu mazhab saja.
Menganut suatu aliran mazhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan
hendaknya menutup pintu rapat-rapat. Sehingga, tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran
yang ada pada mazhab yang lain yang juga bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah
SAW. Hal ini dimaksudkan agar seseorang tidak fanatic terhadap satu mazhab. Andaikan
sukar menghindari kefanatikan kepada satu mazhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai
pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapat kita.
Pada makalah ini, akan dibahas mengenai mazhab Sunni yg masih berkembang
diantaranya Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Imam Ahmad Bin Hambali dan yang sudah
tidak berkembang diantaranya Imam Daud Az-Zahiri, Ibnu Hazm, Al-Imam Abu Amer
Abdur Rahman Ibn Muhammad Al-Auza’I, Abu Abdillah Sofyan Bin Said al-Tsauri, Abdul
Haris al-Laits Ibnu Sa’ad al-Fahmi, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAZHAB SUNNI YANG MASIH BERKEMBANG
1. Imam Hanafi
Imam hanafi dilahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699M). Nama beliau
sejak kecil ialah Nu’man bin Tsabit bin Zauth bin Mah. Ayah beliau keturunan dari
bangsa Persi (Kabul Afganistan) yang sudah menetap di Kufah.Mazhab Hanafi memakai
Qur’an, Hadits, Fatwa sahabat. Berdasarkan riwayat-riwayat lain, ia memakai juaga
Ijma’, Qiyas, Istihsan, dan ‘Urf.1
Dalam mengistinbatkan suatu hukum, beliau terlebih dahulu melihatkepada
kitabullah, dan bila tidak beliau temukan, dilihat pada Sunnah Rasulullah, bila tidak
ditemukan dalam Sunnah Rasulullah, beliau melihat perkataan (pendapat) para Sahabat,
lalu beliau ambil pendapat yang sesuai dengan jalan pikiran beliau dan ditinggal mana
yang tidak sesuai, dan beliau tidak akan mengambil pendapat selain dari para Sahabat.
Apabila para Sahabat semuanya sependapat dalam menetapkan suatu hukum, beliau pun
akan mengikuti pendapat itu sepenuhnya.
Apabila itu dikemukakan oleh Ibrahim an-Nakha’i, Sya’bi, Ibnu Sirin, Hasan,
Atha’, Said Ibn Musayyab, tidak beliau ambil karena beliau pun dapat pula berijtihad
seperti para Imam Mujtahid tersebut. Tegasnya beliau tidak akan mau mengambil
pendapat para tabi’in dan para ulama yang sezaman dengan beliau.2
Imam hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau
banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Sebagai dasar yang beliau jadikan
dalam menetapkan suatu hukum adalah al-kitab, as-sunnah, aqwalush shahabah, al-qiyas,
al-istihsan dan urf.
a. Al-Kitab
Al-Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam yang memberi sinar pembentukan Hukum
Islam sampai akhir zaman.
b. As-Sunnah
As-sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-kitab, merinci yang masih bersifat
umum (global).
1. A. Hanafi. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. 1995. Hal 1512M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. 1996. Hal 187-188
c. Aqwalush Shahabah (Perkataan Sahabat)
Para sahabat itu adalah termasuk orang yang membantu menyampaikan risalah Allah,
mereka tahu sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an (walaupun tidak semua
sahabat mengetahuinya), mereka lama bergaul dengan Rasulullah, sehingga mereka
tahu bagaimana kaitan Hadits Nabi dengan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan itu.
d. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang pada Qiyas, apabila ternyata dalam al-Qur’an, sunnah atau
perkataan sahabat tidak beliau temukan. Beliau menghubungkan sesuatu yang belum
ada hukumnya kepada nash yang ada setelah memperhatikan illat yang sama antara
keduanya.
e. Al-Istihsan
Al-Istihsan sebenarnya merupakan pengembangan dari al-Qiyas.Istihsan menurut
bahasa berarti “menganggap baik” atau “mencari yang baik”. Menurut istilah Ulama
ushul fiqh, istihsan ialah meninggalkan ketentuan qiyas yang jelas illatnya untuk
mengamalkan qiyas yang samar illatnya, atau meninggalkan hukum yang bersifat
umum dan berpegang kepada hukum yang bersifat pengecualian karena ada dalil yang
memperkuatnya.
f. ‘Urf
‘Urf menurut bahasa berarti apa yang biasa dilakukan orang, baik dalam kata-kata
maupun perbuatan. Dengan perkataan lain adat kebiasaan.3
2. Imam Maliki
Imam Maliki dilahirkan di kota Madinah daerah negeri Hijaz pada tahun 93H
(712M). nama beliau adalah Maliki bin Abi Amir. Salah seorang kakeknya dating ke
Madinah lalu berdiam di sana. Kakeknya Abu Amir seorang sahabat yang turut
menyaksikan segala peperangan Nabi selain perang Badar.
Pada masa Imam Maliki dilahirkan, Pemerintahan Islam ada di tangan kekuasaan
kepala Negara Sulaiman bin Abdul Maliki (dari Bani Umayyah yang ketujuh). Kemudian
setetah beliau menjadi seorang alim besar dan dikenal di mana-mana, pada masa itu pula
penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan diakui dan diikuti oleh sebagian
kaum muslimin.Buah hasil ijtihad beliau dikenal oleh orang banyak dengan sebutan
Mazhab Imam Maliki.4
3Ibid. Hal 188-1944 Ibid. Hal 195
a. Hadits-hadits yang dihimpun Imam Maliki
Dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Imam Maliki menghimpun Hadits Nabi
selama 40 tahun dan dalam suatu riwayat lagi ada yang menyatakan bahwa Imam
Maliki telah hafal 100.000 hadits dan beliaulah yang paling hafal hadits Nabi.
Kemudian hadits-hadits yang banyak itu beliau selidiki lebih lanjut sehingga dari
sekian banyak hadits tersebut tinggal 10.000 hadits yang beliau ambil. Tetapi hadits
sebanyak 10.000 pun masih beliau teliti dan beliau cocokkan dengan Al-Quran dan
akhirnya hanya 5.000 haditslah yang beliau himpun kemudian hadits-hadits itu
disusun dalam bentuk sebuah buku yang diberi nama kitab al-Muwaththa.
b. Dasar-dasar Mazhab Imam Maliki
Dasar-dasar hokum yang diambil dan dipergunakan oleh Imam Maliki dapat
disimpilkan sebagai berikut :
1) Al-Quran
2) Sunnah Rasul yang telah beliau pandang sah
3) Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadits apabila
ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4) Qiyas
5) Istishlah (Mashalihul Mursalah)
c. Cara Imam Maliki memberi Fatwa
Imam Maliki adalah seorang yang terkenal alim besar, tetapi amat berhati-hati
dan amat teliti dalam urusan hukum-hukum keagamaan, terutama dalam urusan
riwayat yang dikatakan hadits dari Nabi.
Imam Syafi’I berkata : “ Sungguh aku telah menyaksikan Imam Maliki, bahwa
beliau pernah ditanya masalah-masalah sebanyak 48 masalah, beliau menjawab “saya
belum tahu.” Dari pernyataan ini jelaslah bahwa beliau adalah orang yang amat
berhati-hati menjawab masalah yang bertalian dengan hokum-hukum keagamaan dan
beliau tidak terburu-buru memberi jawaban terhadap masalah-masalah yang memang
belum diketahii hukumnya oleh beliau.
Beberapa ulama meriwayatkan, Imam Maliki berkata : “ saya tidak memberi
fatwa-fatwa dan meriwayatkan hadits, sehingga tujuh puluh ulama membenarkan dan
mengaku.” Artinya bahwa segala masalah yang difatwakan oleh beliau kepada orang
lain setelah disaksikan oleh tujuh puluh orang ulama, dan mereka itu menetapkan dan
sepakat, bahwa beliau orang yang ahli dalam masalah yang difatwakannya itu.5
5 Ibid. Hal 198-200
d. Pesan Imam Maliki Mengenai Bid’ah
Imam Maliki adalah seorang alim besar yang amat cinta kepada Sunnah Nabi
dan sangat benci terhadap orang yang membuat model baru tentang urusan agama dan
perbuatan yang dalam istilan agama disebut bid’ah.
Beliau sangat keras terhadap bid’ah dan ahli bid’ah, antara lain : Beliau pernah
bersyair yang artinya : ‘Sebaik-baik urusan agama itu adalah yang mengikutu Sunnah
Nabi dan sejelek-jelek urusan agama itu, adalah perbuatan yang baru.” Artinya bahwa
sebaik-baik urusan agama mengenai urusan peribadatan adalah yang mengikuti
pimpinan Nabi dan sejelek-jeleknya adalah yang diperbuat tanpa contoh dari Nabi dan
tidak pernah pula dikerjakan oleh Nabi.6
3. Imam Syafi’i
Imam Syafi’imerupakan imam yang ketiga menurut susunan tarikh kelahiran dari
emapt imam mazhab dalam fiqh sunni. Beliau adalah pendukung ilmu hadits dan
pembaharu dalam agama/mujaddid dalam abad II H.7
Imam Syafi’i dilahirkan di Guzzah suatu kampung dalam jajahan Palestina.Masih
wilayah Asqalan pada tahun 150 H (767 M), bersamaaan dengan wafatnya Imam
Hanafi.Kemudian beliau dibawa ibunya ke Mekkah dan dibesarkan disana.
Nama beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Abbas ibn Utsman ibn
Syafi’I al-Muthalibi dari keturunan Muthalib bin Abdi Manaf, yaitu kakek keempat dari
rasul dan kakek yang kesembilan dari asy-Syafi’i. Dengan demikian, beliau adalah
keturunan dari keluarga bangsa Quraisy dan keturunan beliau bersatu dengan keturunan
Nabi SAW pada Abdul Manaf (datuk Nabi yang ke-3).8
a. Pendapat-pendapat asy-Syafi’i dan Pemikirannya
Asy-Syafi’I tidak menyukai ilmu kalam karena ilmu kalam dibangun oleh
golongan Muktazilah, sedang mereka menyalahi jalan yang ditempuh ulama salaf
dalam mengungkapkan akidah dan al-Quran.Sebagai seorang Fiqh/Muhaddits tentu
saja beliau mengutamakan Ittiba’ dan menjauhi ibtida’ sedang golongan Muktazilah
mempelajarinya secara falsafah.
6 Ibid. Hal 201-2027Fakhruddin.Intelelectual Network, sejarah & Pemikiran Empat Imam Mazhab Fikih. 2009. Hal 1228M. Ali Hasan. Perbandingan Mazhab. 1996. Hal 203-204
Tentang Imam, beliau berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tashdiq dan
amal, dia bisa bertambah dan bisa berkurang, yaitu bertambah dengan bertambah
amal dan berkurang dengan berkurang amal.
Mengenai Imamah, beliau berpendapat bahwa Imamah harus ada untuk
menjaga kemaslahatan umat dan beliau berpendapat, bahwa Imamah harus dipegang
oleh orang Quraisy dan dapat terjadi tanpa baiat. Pada hal ini beliau tidak
mensyaratkan khlaifah harus dari golongan Hasyimiyah.Disamping itu beliau
berpendapat, bahwa Abu Bakar lebih utama dari Ali.Kedudukan para Khulafaur
Rasyidin menurut pendapatnya ialah yang paling utama Abu Bakar, Umar, Usman,
dan kemudian Ali.
b. Pendirian Imam Syafi’I tentang Bid’ah
Karena Imam Syafi’I terkenal sebagai pembelan Sunnah dan termasuk seorang
ahli hadits, maka sudah tentu beliau sangat keras terhadap perbuatan bid’ah dan ahli
bid’ah. Pendiriannya terhadap bid’ah adalah sebagai berikut :
1) Bid’ah terpuji
Bid’ah terpuji yaitu bid’ah yang sesuai dengan Sunnah.Bid’ah terpuji menurutnya
barang yang diada-adakan dari macam kebaikan dengan tidak menyalahi sedikit
pun dari semua sumber hukum yang disebutkan itu.
2) Bid’ah tercela
Bid’ah tercela yaitu bid’ah yang menyalahi as-Sunnah.Menurut beliau, bid’ah
tercela adalah semua perbuatn yang diada-adakan dengan menyalahi al-Quran,
Sunnah, Ijma (kesepakatan para sahabat Nabi), dan Atsar (keterangan para sahabat
Nabi).
c. Pendirian Imam Syafi’I tentang Hukum secara Qiyas
Pendirian Imam Syafi’I tentang Hukum Qiyas sangat hati-hati dank eras,
karena menurutnya qiyas dalam hal keagamaan itu tidak begitu perlu diadakan kecuali
dalam keadaan memaksa.Selain itu hukum qiyas yang terpaksa diadakan adalah
hukum-hukum yang tidak mengenai urusan ibadah, yang pada pokoknya tidak dapat
dipikirkan sebab-sebabnya, atau tidak dapat dimengerti bagaimana tujuan yang
sebenarnya seperti, ibadah shalat dan puasa.
Cara Imam Syafi’I mengambil atau mendatangkan hukum qiyas adalah
sebagai berikut :
1) Hanya yang mengenai urusan keduniaan atau muamalat saja.
2) Hanya yang hukumnya belum atau tidak didapati dengan jelas dari nash al-Quran
atau dari Hadits yang shahih.
3) Cara beliau menqiyas adalah dengan nash-nash yang tertera dalam ayat-ayat al-
Quran dan dari Hadits Nabi.9
d. Dasar-dasar Hukum yang Dipakai Oleh Imam Syafi’i
Imam Syafi’i terkenal sebagai seorang yang membela mazhab Maliki dan
mempertahankan mazhab ulama Madinah hingga terkenallah beliau dengan sebutan
Nasyirus Sunnah (penyebar Sunnah).Hal ini adalah hasil mempertemukan antara fiqh
Madinah dengan fiqh Irak.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh ImamSyafi’I sebagai acuan
pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut :
1) Al-Quran, beliau mengambil dengan makna yang lahir kecuali jika didapati alas
an yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu, yang harus dipakai atau dituruti.
2) As-Sunnah, beliau mengambil Sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja,
tetapi yang Ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal
telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadits itu orang
kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3) Ijma’, bahwa para Sahabat semuanya telah menyepakatinya. Disamping itu, beliau
berpendapat dan meyakini bahwa kemungkina ijma’ dan penyesuaian paham bagi
segenap ulama itu tidak mungkin karena berjauhan tempat tinggal dan sulit
berkomunuikasi.
4) Qiyas, Imam Syafi’I memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas
tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa. Hukum Qiyas yang terpaksa
diadakan itu hanya mengenai keduniaan atau muamalah, karena segala sesuatu
yang berhubungan dengan ibadah telah cukup sempurna dari al-Quran dan as-
Sunnah.
5) Istidlal (Istishhab), makna aslinya menarik kesimpulan suatu barang dari barang
yang lain. Dua sumber utama yang diakui untuk ditarik kesimpulannya ialah adat
kebiasaan dan undang-undang agama yang diwahyukan sebelum islam. Diakui,
bahwa adat kebiasaan yang lazim di tanah Arab pada waktu datang Islam yang
tidak dihapus oleh Islam, mempunyai kekuasaan hukum. Demikian pula adat dan
9 Ibid. Hal 207-210
kebiasaan yang lazim dimana-mana, jika tidak bertentangan dengan jiwa al-Quran
atau tidak terang-terangan dilarang oleh al-Quran juga diperbolehkan.10
4. Imam Ahmad Bin Hambali
Imam Hambali nama lengkapnya ialah al-Imam Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal
ibn Hilal Addahili as-Syaibani al-Maruzi, beliau dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H.
Ayahandanya bernama Muhammad as-Syaibani, sedangkan ibu beliau bernama Syarifah
binti Maimunah binti Abdul Malik bin Sawadah binti Hindun as-Syaibani (wanita dari
bangsa Syaibaniyah juga) dari golongan terkemuka kaum bani Amir.11
Cara Imam Hambali memberi fatwa, Imam Hambali dalam memberikan fatwa
tentang urusan agama dan hukum-hukum yang berkenaan dengan agama sangat berhati-
hati, baik dalam menjawab atau menjelaskan hukumnya. Bahkan seringkali beliau
memberikan jawaban: “Saya tidak tahu atau belum tahu atau belum saya periksa”, kalau
memang belum jelas benar, tentang perkara yang ditanyakan kepada beliau. Inilah salah
satu pernyataan tentang cara-cara Imam Hambali memberikan fatwa atau jawaban tentang
persoalan-persoalan yang ia hadapi, baik masalah hukum atau masalah-masalah yang
baru terjadi di dalam lingkungan masyarakat, tidak sekali pun beliau terburu-buru
menjawabnya sebelum menyelidiki dan memperoleh keterangan yang jelas yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.12
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan
kepada dasar-dasar berikut:
a. Nash al-Qur’an dan Hadits, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak
lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat
sahabat yang menyalahinya.
b. Fatwa sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati
sesuatu pendapat yang tidak diketahuinya bahwa hal itu ada yang menentangnya,
maka beliau perpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa
pendapat itu merupakan ijmak.
c. Pendapat sebagian sahabat, yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu
masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan
10 Ibid. Hal 211-21211Ibid. Hal 221-22212 Ibid. Hal 229
sunnah. Terkadang beliau tidak mau memberi fatwa, apabila beliau tidak memperoleh
pentarjih bagi suatu pendapat itu.
d. Hadits Mursal atau Hadits daif. Hadits Mursal atau Hadits daif akan tetap dipakai, jika
tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
e. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan
hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada point 1-4 di atas.13
Imam Hambali bukan dari golongan orang yang membenarkan pendapat-pendapat
akal secara mutlak, tanpa bersandar pada al-Qur’an dan as-Sunnah dan sama sekali tidak
mau berdebat. Karena menurut pendapatnya bahwa kebenaran itu akan pudar karena
perdebatan.
Pada waktu Imam Hambali sedang mempelajari Sunnah, ilmu agama dan fiqihnya
melalui jalan yang diterima dari Rasul, pada saat itu pula terjadi perdebatan dalam
masalah aqaid dan masalah khalifah, siapa yang lebih utama dari para sahabat.Sebenarnya
Imam Hambali tidak suka dan tidak mau memperdebatkan hal itu, tetapi suasana dan
keadaanlah yang memaksa Imam Hambali mencampurinya.14
B. MAZHAB SUNNI YANG SUDAH LENYAP
Mazhab-mazhab yang tidak berkembang diantaranya adalah az-Zhahiri, al-Auza’i ,
al-Tsauri, al-Laits, dan at-Tabhari. Mazhab-mazhab tersebut musnah tersaingi oleh
mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.Mazhab-mazhab tersebut tidak berkembang
luas karena diantara pengikut-pengikutnya jarang yang mengkodifikasikannya menjadi
suatu buku. Lebih jelasnya, akan dibahas di bawah ini.
1. Imam Daud Az-Zhahiri
Beliau dilahirkan di Kufah pada tahun 202 H, dengan nama Abu Sulaiman
Daud ibn Ali al-Asbahani yang kemudian dikenal dengan sebutan Daud ad-Dhahiri,
karena beliau pendiri mazhab ini.
Mula-mula beliau bermazhab Syafi’i dan amat teguh memegang hadits,
sedang ayahnya bermazhab Hanafi, namun akhirnya beliau menentang mazhab
Syafi’i, karena Syafi’i mempergunakan qiyas dan memandangnya sebagai sumber
13 Ibid. Hal 23014 Ibid. Hal 225
hukum. Daud pernah berkata: “Saya telah mempelajari dalil-dalil yang dipergunakan
oleh asy-Syafi’i untuk menentang istihsan, maka saya dapati bahwa dalil-dalil
tersebut membatalkan qiyas.”
Beliau berpendapat bahwa nash-nash yang dipergunakan oleh ahlur Ra’yu
dalam memandang qiyas sebagai dasar hukum adalah berguna di waktu tidak ada
sesuatu nash dari Kitabullah atau Sunnah Rasul dan beliau berpendapat bahwa
apabila kita tidak memperoleh nash dari al-Quran dan Sunnah, maka hendaklah kita
memusyawarahkan hal itu dengan para ulama, bukan kita berpendapat kepada ijtihad
sendiri.
Mazhab beliau ini dikenal dengan nama Mazhab ad-Dhahiri, karena beliau
berpegang kepada dhahir al-Qurandan as-Sunnah, tidak menerima ada ijmak kecuali
ijmak yang diakui oleh semua ulama. Walaupun mazhab ini pada dasarnya berpegang
pada dhahir nash, tetapi kita dapat menjumpai beberapa teori Barat karena dalam
mazhab inilah kita jumpai pendapat yang menetapkan bahwa istri yang berharta wajib
menafkahi suaminya yang fakir.15
a. Perkembangan Fiqh Dhahiri
Fiqh Daud adalah fiqh nushush(fiqh hadist)tetapi para ulama tidak banyak
meriwayatkan mahzab ini.Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena Daud
menyalahkan orang yang memakai qiyas dan menegaskan bahwa AlQuran itu
adalah makhluk dan orang yang berjunub atau haid boleh menyentuh Alquran dan
membacanya.Beliau mengungkapkan hal ini ketika para ulama di masa itu
menyalahkan golongan yang menyatakan al-Quran itu makhluk.Salah satu prinsip
Daud yang banyak di cela orang adalah Daud melarang taqlid untuk siapapun dan
membolehkan orang yang mengetahui bahasa Arab memperkatakan agama
dengan memegang kepada dhahir al-Quran dan as-Sunnnah.Paraulama
menentangnya dan bahkan menganggapnya tidak ada.Mahzab ini berkembang di
Timur dan di Barat dengan prinsip mengambil dhahir AlQuran.Di bagian timur
pada abad ketiga dan keempat perkembangannya melebihi perkembangan mahzab
Ahmad.
Abad kelima, berkat usaha Ibnu Ya’la, maka mahzabAhmad mempunyai
kedudukan yang kuat dan mengalahkan mahzab Dharari.Pada waktu Mahzab
hambali dengan usaha Abu Ya’la mengalahkan mahzab Daud di bagian Timur,
pada waktu itu pulalah Ibnu Hazm mmancarkan sinarnya dibagian barat. Dalam
15 Ibid. Hal 231-232
beberapa hal mahzab Dhahiri menyalahi pendapat para fuqaha lainnya, di
antaranya:
1) Dhahiri berpendapat bahwa air yang bercampur dengan air seni manusia,
maka air itu tidak suci lagi(bernajis). Sedangkan air yang bercampur dengan
air seni babi, tetap suci, karena tidak ada nash yang menyatakan tidak suci.
Bila orang mengatakan bahwa air seni itu sama dengan dagingnya haram atau
najis, maka mereka mengatakan bahwa pedapat tersebut menurut akal,
sedangkan hukum islam tidak boleh ditetapkan berdasarkan akal.
2) Orang yang tidak berwudu, berjunub, sedang haid, diperbolehkan menyentuh
AlQuran, karena tidak ada nash yang melarang atau membolehkan
mebacanya.
3) Menurut Zhahiri, seorang istri yang kaya (mampu) wajib membiayai
suaminya yang miskin(kurang mampu), sebagaimana sudah disinggung
terlebih dahulu. Jalan pikiran mahzab ini yang menyatakan bahwa suami istri
waris mewarisi apabila salah seorang meninggal dunia. Sangat logis apabila
dalam mengatasi biaya hidup rumah tangga pun saling membantu.
Menurut pendapat penulis langkah yang diambil oleh mazhab ini, juga
tidak terlepas dari peranan akal (ra’yu), walaupun tidak disebutkan sebagai
qiyas.Namun roh Syariah Islamiyah tetap menjadi pertimbangan dalam hal
tertentu.16
2. Al-Imam Abu Amer Abdur Rahman Ibn Muhammad Al-Auza’i
Beliau lebih dikenal dengan nama al-Auza’i, lahir di Ba’labaka pada tahun 88
H, dan wafat pada tahun 157 H, keluarganya berasal dari tawanan Ainun
Tamar.Ketika muda ia belajar hadits, ia mempelajarinya dari Atha’ bin Abu Rabah,
az-Zuhri dan orang-orang yang sederajat dan para pembesar hadits meriwayatkan
hadits.Al-Imam Abu Amer Abdur Rahman Ibn Muhammad al-Auza’i termasuk orang
yang tidak menyukai qiyas.
Mazhab ini mula-mula dianut oleh penduduk Syria kemudian pindah ke
Spanyol (Andalusia) dibawa oleh pengikut-pengikutnya dari Syam yang berpindah ke
sana setelah kekuasaan Daulat Umawiyah di Syam mulai lemah. Tetapi kemudian
mazhab ini surut, di Syam tersaingi oleh mazhab Syafi’i pada abad kedua Hijrah di
16 Ibid. Hal 232-234
Syria dan Spanyol tersaingi oleh mazhab Maliki pada pertengahan abad ketiga
Hijriah.17
3. Abu Abdillah Sofyan bin Sa’id al-Tsauri
Abu Abdillah Sofyan bin Sa’id al-Tsauri lahir di Kufah pada tahun 97 H, dan
wafat pada tahun 161 H. Beliau adalah seorang mujtahid yang hidup pada masa
seorang mujtahid besar yaitu Imam Hanifah, beliau termasuk imam ahli hadits. Para
mujtahid saat itu mengakui atas pengetahuan agamanya, wara’nya, zuhudnya dan
orang terpercaya dan ia juga seorang mujtahid yang mempunyai pengikut.
Meskipun ia hidup pada masa Abu Hanifah, tetapi ia menjauhkan diri dari
ra’yu, karena itu pandangannya dalam mengistinbathkan hukum berdasarkan hadits.
Bila ia menghadapi suatu masalah, maka ia mencari penyelesaian pada al-Quran
kemudian pada sunnah Rasulullah SAW. Kalau ia menghadapi hadits yang berbeda-
beda, dia mengambil hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang lebih utama.
Apabila ia tidak memperoleh hadits, ia meninjau pendapat sahabat, apabila tidak
didapati pendapat sahabat ia berijtihad atau tidak memberi fatwa. Begitulah jalan
istinbath yang dilakukan oleh Sofyan ats-Tsauri.18
4. Abdul Harits al-Laits Ibn Sa’ad aal-Fahmi
Beliau adalah pendiri mazhab al-Laits, wafat pada tahun 175 H, beliau
terkenal sebagai seorang ahli fiqh di Mesir pada masa Imam Syafi’i. As-Syafi’i
berpendapat tentang al-Laits: “Ia lebih pandai daripada Maliki. “Hanya saja teman-
temannya tidak mau membukukan pendapat-pedapatnya dan menyiarkan ke kalangan
jumhur sebagaimana mereka membukukan pendapat-pendapat Maliki. Al-Laits bin
Sa’ad tidak memperoleh kehormatan yang tinggi dalam ilmu fiqh, karena murid-
murinya tidak membukukan pedapatnya dan ia sebagai mufti yang mujtahid, namanya
terlupakan meskipun kebesarannya masih tetap dikalangan ahli hadits (Muhadditsin)
karena ia juga sebagai perawi yang terpercaya kejujurannya.
Dalam mengistinbathkan hukum al-Laits tidak berbeda dengan cara Imam
Maliki mengistinbathkan hukum yaitu berangkat dari hadits, selanjutnya beliau
menggunakan maslahat mursalah manakala tidak ditemui hadits.19
17 Ibid. Hal 25218 Ibid. Hal 252-25319 Ibid. Hal 253-254
5. Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir Ath-Thabari
Beliau adalah pendiri mazhab ath-thabari, beliau lahir pada tahun 224 H, wafat
pada tahun 310H di Baghdad.Beliau dikenal sebagai seorang mujtahid, ahli sejarah
dan ahli tafsir.Mula-mula beliau mempelajari fiqh asy-syafi’i dan Maliki serta fiqh
ulama Kufah, kemudian membentuk mazhabnya sendiri yang berkembang di
Baghdad.
Sejak mudanya ia menuntut ilmu dengan mengelilingi negara-negara Islam
sehingga dapat mengumpulkan ilmu yang seorangpun pada masanya tiada yang
menyamainya. Ia hafal Al-Quran mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para
sahabat dan tabi’in.
Keahliannya tidak hanya terbatas dalam bidang fiqh, tafsir hadits dan sejarah,
akan tetapi juga bidang leksikografi (daftar kata-kata atau kamus), tata bahasa, logika,
matematika serta kedokteran. Namun dia lebih banyak dikenal sebagai akhli tafsir.
Kitab tafsirnya yang terkenal adalah jami’ al-Bayan fi tafsiril Quran. Kitab tersebut
dinilai oleh para ulama sebagai kitab tafsir pertama dalam sejarah penulisan kitab-
kitab tafsir.
Dalam bidang fiqh at-Thabari dipengaruhi oleh dua aliran yaitu ahli hadits
(Syafi’I dan Maliki) dan aliran ra’yu di kufah.Akan tetapi dalam mengistinbathkan
hokum dia lebih dekat kepada moderat seperti yang dijalani Imam Syafi’I yaitu
mengambil jalan tengah antara ahli hadits dan ahli ra’yu.Dasar-dasar pengambilan
hukumnya adalah al-Quran, Sunnah, Ijmak dan Qiyas.Tetapi menolak Istihsan yang
dipegang oleh Imam Abu Hanifah.Salah satu pikiran beliau yang berharga yang baru
diterima oleh masyarakat adalah mengenai hakim wanita. Beliau dengan pikiran yang
cukup berani mengemukakannya , pada saat-saat imam-imam Mujtahid lainnya tidak
membicarakannya.20
BAB III
PENUTUP
Perbedaan pola pikir yang menimbulkan bermacam pendapat dalam kalangan
umat Islam khususnya perbedaan pendapat oleh tokoh-tokoh pembaharu Islam adalah
sunnatullah yang tidak dapat dipungkiri lagi.Sehingga bermunculan berbagai macam
20 Ibid. Hal 254-255
mazhab, diantaranya adalah mazhab-mazhab Sunni yang masih berkembang sampai
sekarang ataupun yang sudah punah.
Mazhab-mazhab Sunni yang masih berkembang antara lain Imam Hanafi, Imam
Maliki bin Anas, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambali. Sedangkan mazhab yang
punah diantaranya adalah Imam Daud az-Zhahiri, al-Auza’I, al-Tsauri, al-Laits, dan at-
Thabiri.Mazhab-mazhab ini tidak tersebar luas karena di antara pengikut-pengikutnya
jarang yang mengkodifikasikannya menjadi suatu buku.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Ahsan, M. 1996. Perbandingan Mazhab. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.
Fakhruddin. 2009. Intellectual Network, Sejarah & Pemikiran Empat Imam Mazhab Fikih.
Malang : UIN-Malang Press.
Hanafi, A. 1995.Pengantar dan Sejarah Hukum Islam.Jakarta : PT Bulan Bintang.