manajemen fraktur servikal
DESCRIPTION
menjabarkan mengenai penatalaksanaan cedera servikalTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari
kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Terdapat korelasi antara level cedera
dengan morbiditas dan mortalitas, dimana semakin tinggi level cedera, semakin
tinggi morbiditas dan mortalitasnya. Disabilitas akibat trauma harus diterima oleh
pasien dan keluarga. Kerusakan fungsi saraf tulang belakang bersifat irreversible,
karena saraf tulang belakang merupakan bagian susunan saraf pusat yang tidak
bisa beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini evaluasi dan pengobatan
pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf tepi memerlukan
pendekatan yang terintegrasi. Tata laksana pasien dengan cedera saraf tulang
belakang sangat kompleks, mulai penanganan prarumah sakit yang memadai,
standar proteksi tulang belakang sesuai ATLS (advanced trauma life support),
diagnosis dini, menjaga fungsi medula spinalis, dan pemeliharaan aligment serta
stabilitas tulang belakang merupakan keberhasilan dari manajemen (Mahadewa,
2009; Japardi, 2002).
Sekitar 5-10% pasien tidak sadar yang datang ke ruang gawat darurat
disebabkan karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh, disertai dengan trauma tulang
belakang servikal. Fraktur tulang belakang servikal 1/3nya terjadi pada level C2
dan 1/2nya terjadi pada level C6 atau C7. Fraktur servikal yang fatal, sering
terjadi pada level servikal yang lebih tinggi, pada craniocervical junction C1 atau
C2. (Davenport, 2009)
Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas secara umum tentang manajemen
dari fraktur servikal.
2
BAB II
MANAJEMEN FRAKTUR CERVIKAL
2.1. Anatomi vertebra servikalis
Tulang belakang servikal terbentuk dari 7 ruas vertebra pertama dari
tulang belakang, yang dipisahkan oleh diskus intervertebralis. Dimulai dari
bagian bawah skull dan berakhir pada bagian atas torak. Vertebra servikal terdiri
dari C1 sampai C7, sedangkan nervus servikalis terdiri dari C1 sampai C8. Tulang
servikal berbentuk “C” terbalik (lordotic view) dan lebih mobile dari tulang
belakang di daerah torakal dan lumbal. Vertebra servikalis selain berfungsi
melindungi medula spinalis dari kerusakan, juga menyangga kepala, dan
menggerakan kepala rotasi, ke depan serta ke belakang. Berbeda dengan tulang
belakang yang lain, dalam tulang servikal berjalan arteri vertebralis yang
mensuplai darah ke otak, yang hanya melalui vertebra C1 sampai C6 (Anonim,
2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009).
Dua tulang vertebra pertama disebut tulang atlas (C1) dan axis (C2),
berfungsi untuk gerakan rotasi. Tulang atlas (C1) memiliki arkus anterior yang
tebal , arkus posterior yang tipis dengan 2 prominent masses dan tidak memiliki
korpus vertebra. Setiap tulang vertebra memiliki perbedaan secara anatomis, tetapi
secara umum tulang vertebra terdiri atas bagian anterior yang disebut korpus dan
bagian posterior yang disebut arkus vertebra. Keduanya membentuk foramen
vertebrae yang dilalui medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas sepasang
pedicle yang membentuk sisi arkus dan lamina yang pipih, yang melengkapi arkus
dibagian belakang (Anonim, 2008; Eidelson, 2004; Davenport, 2009).
Di antara setiap vertebra terdapat diskus yang terdiri dari pelindung luar,
annulus fibrosus, dan gel didalamnya disebut nukleus pulposus. Diskus ini
berfungsi sebagai bantalan atau peredam dan memungkinkan pergerakan antara
korpus verterbra. Terdapat berkas serat yang kuat diantara tulang yang disebut
ligament longitudinal. Ligamen longitudinal anterior berjalan di depan korpus
vertebra dan ligamen longitudinal posterior berada di posterior korpus vertebra, di
depan medula spinalis (Anonim, 2010).
3
Gambar 1. Korpus vertebra C1 (atlas) dan C2 (axis)
Gambar 2. Korpus vertebra C3, C5, C6
4
2.2. Patofisiologi
Cedera servikal dapat berupa dislokasi atlanto occipital, dislokasi atlanto
aksial, fraktur atlas (C1), fraktur aksis (fraktur Hangman’s, fraktur odontoid),
fraktur subaksial (C3-C7), fraktur Clay Shoveler. Keterlibatan dari medula
spinalis disebabkan adanya cedera mekanis primer, dapat berupa kompresi,
penetrasi, laserasi, atau distraksi. Cedera primer kemudian diikuti cedera sekunder
yaitu hilangnya autoregulasi, adanya vasospasme, perdarahan, perubahan
permeabilitas, edema, perubahan elektrolit, perubahan biokimia termasuk
neurotransmiter. Mekanisme ini menyebabkan kerusakan aksonal dan kematian
sel. Iskemi medula spinalis mendasari adanya defisit neurologis, yang
berhubungan dengan perubahan vaskular sistemik atau lokal setelah trauma
(Anonim, 2001(a)).
Gangguan sistem respirasi dan disfungsi paru sering terjadi pada pasien
dengan fraktur servikal. Gangguan yang berat dapat menimbulkan penurunan
kapasitas vital paru, kapasitas inspirasi, dan relatif hipoksemia. Keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya hipoksemia global dan memperberat iskemi pada medula
spinalis setelah trauma akut. Ini menunjukkan deteksi dini disfungsi ventilasi dan
jantung diperlukan, sehingga pasien perlu perawatan intensif (intensiv care unit)
serta monitoring terhadap fungsi paru dan jantung. Suatu studi melaporkan 62%
pasien dengan fraktur servikal yang dirawat di ICU memiliki outcome yang baik
(Anonim, 2001(a); Crosby, 2006).
2.3. Diagnosis fraktur servikal
Fraktur servikal selalu dipikirkan terjadi pada pasien dengan riwayat
kecelakaan dengan kendaraan bermotor kecepatan tinggi, trauma pada wajah dan
kepala yang signifikan, terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma
multipel. Gambaran umum adanya fraktur servikal dapat berupa nyeri pada
palpasi dari prosesus spinosus di leher posterior, terbatasnya gerakan yang disertai
nyeri, adanya kelemahan ekstremitas, rasa kebas, parestesi pada saraf yang
terkena. Sulit untuk mengevaluasi secara klinis adanya trauma tumpul servikal.
Dari penelitian, kemampuan untuk memprediksi adanya trauma servikal
berdasarkan pemeriksaan klinis saja memiliki sensitivitas 46%, spesifisitas 94%,
dan 33% pasien yang tidak terdiagnosis. Karena keterbatasan dan besarnya
5
morbiditas jangka panjang bila trauma tidak terdiagnosis, pasien dengan trauma
tumpul yang komplek dilakukan pemeriksaan radiologi, sampai dieksklusi adanya
trauma servikal. Tidak terdiagnosisnya trauma servikal dapat disebabkan karena
tidak dicurigai adanya trauma servikal, gambaran radiologi yang tidak adekuat,
dan interpretasi radiologi yang salah. (Mahadewa, 2009; Davenport, 2009 ;Brohi,
2002).
Adanya trauma servikal dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik berupa :
spinal shock (paresis flaksid, areflexia, hilangnya tonus sfingter anus,
inkontinensia alvi, priapismus), neurogenic shock (hipotensi, bradikardi
paradoksikal, flushed, kering dan hangat pada kulit), disfungsi otonom (ileus,
retensi urin, poikilotermi). Trauma servikal yang mengenai medula spinalis dapat
berupa lesi yang komplit atau inkomplit (Davenport, 2009; Kirshblum et al,
2004).
Pemeriksaan radiologi diperlukan pada pasien dengan defisit neurologis
yang konsisten dengan lesi medula spinalis, pasien dengan perubahan kesadaran
karena trauma kepala atau intoksikasi, pasien dengan keluhan nyeri leher, pasien
tanpa keluhan nyeri leher tetapi dengan trauma signifikan disekitarnya.
Pemeriksaan radiologis standar yang dilakukan adalah rontgen servikal
anteroposterior, cross-table lateral, open-mouth odontoid view, bila diperlukan
rontgen servikal swimmer’s, dan bilateral oblique (Davenport, 2009; Brohi, 2002;
Cohen, 1997)
Gambar 3. AP, Lateral, odontoid, Swimmer’s view
6
2.4. Manajemen fraktur servikal
2.4.1. Penatalaksanaan awal
Pasien dengan fraktur servikal biasanya memiliki beberapa trauma,
sehingga perlu dilakukan stabilisasi segera di tempat kejadian. Penatalaksanaan
pertama cedera servikal berdasarkan prinsip umum ATLS (advanced trauma life
support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary survey ABCD (airway and C-
spine control, breathing and ventilatory, circulation and stop bleeding, disability
and environment). Bila airway tidak adekuat, perlu dilakukan intubasi tanpa
menggerakkan kepala (C-spine protection). Evaluasi dan assesmen berulang
diperlukan pada pasien dengan trauma kepala dan karena pasien dengan kesadaran
menurun tidak dapat mengetahui adanya nyeri pada leher. Bila stabil dilanjutkan
ke secondary survey (head to toe examination) (Foster, 2009; Mahadewa, 2009;
Anonim, 2001(b)).
Manajemen awal pasien dengan cedera servikal dimulai di tempat
kejadian. Perhatian utama selama penatalaksanaan awal adalah adanya gangguan
fungsi neurologi karena gerakan yang patologis (trauma). Diperkirakan 3%
sampai 25% trauma medula spinalis terjadi saat awal trauma, saat transit atau
pada saat penatalaksanaannya. Telah dilaporkan beberapa kasus dengan outcome
yang buruk karena kesalahan penanganan cedera servikal (Anonim, 2001(b)).
Stabilisasi tulang belakang, manajemen hemodinamik dan gangguan
otonom sangat penting pada trauma akut. Prinsip khusus penatalaksanaan cedera
servikal adalah reposisi/realignment, imobilisasi, dan fiksasi tulang belakang
sesuai indikasi. Semua pasien dengan cedera servikal atau yang potensial untuk
cedera servikal, harus dilakukan imobilisasi sampai dieksklusi adanya trauma
servikal. Bila terdapat kecurigaan trauma, stabilisasi kepala dan leher secara
manual atau dengan collar. Beberapa alat yang direkomendasikan American
College of Surgeons dapat digunakan untuk imobilisasi pre-hospital adalah hard
backboard, rigid cervical collar, dan pita pengikat. Imobilisasi ini dapat
mengurangi gerakan sehingga menurunkan morbiditas, karena gerakan patologis
(trauma) pada servikal menyebabkan kerusakan pada medula spinalis atau radiks
saraf. Teknik imobilisasi dan penanganan pasien pre-hospital yaitu tulang
belakang harus dilindungi selama manajemen pasien dengan trauma multipel.
7
Posisi ideal adalah imobilisasi seluruh tulang belakang posisi netral dengan
permukaan yang keras. Dapat dilakukan secara manual, servikal collar semi rigid,
side head support dan pengikat. Pindahkan pasien secara hati-hati menggunakan
logroll technique untuk mencegah displacement ke arah lateral. Papan spine
direkomendasikan, juga dapat digunakan bantal, head blocks. Traksi untuk
mendapatkan dan mempertahankan alignment yang baik, imobilisasi eksternal
untuk stabilisasi sementara dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera
sekunder (Gondim, 2009; Mahadewa, 2009; Anonim, 2001(b))
Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi gastrointestinal
(ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract infection, hidronefrosis),
dermatologi (dekubitus), dan muskuloskeletal (fraktur, nyeri akut dan kronis).
(Gondim, 2009).
2.4.2. Traksi dan imobilisasi
Pada fraktur sevikal dengan malalignment, sebelum terapi definitif,
dilakukan pemasangan servikal traksi dengan Crutchfield traction atau Halo Tong
Traction dengan beban sesuai dengan level kerusakan segmen servikalnya. Halo
vest sering digunakan sebagai alat definitf eksternal fiksasi untuk cedera spinal
servikal. Philadelphia collar bersifat semi rigid, sintetik foam brace dimana pada
dasarnya membatasi fleksi dan ekstensi tetapi membebaskan rotasi. Miami-j collar
bersifat lebih kaku dan lebih nyaman untuk sandaran. Brace yang adekuat
melakukan imobilisasi adalah Thermoplastic Minnerva Body Jacket (TMBJ) dan
halo vest. TMBJ lebih baik dalam membatasi fleksi dan ekstensi dan lebih
nyaman dibandingkan halo vest, sedangkan halo vest lebih baik membatasi rotasi.
Pasien cedera servikal diberikan imobilisasi untuk mencegah penekanan medula
spinalis lebih lanjut (Mahadewa, 2009)
Gambar 4. Philadelphia collar, Miami J collar
8
Gambar 5. Halo Tong Traction, Thermoplastic Minnerva Body Jacket
2.4.3. Medikamentosa
Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan
kortikosteroid. Steroid berfungsi memperbaiki cedera medula spinalis dan
diberikan pada 8 jam pertama setelah cedera. Methylprednisolon dapat
menurunkan respon inflamasi dengan menekan migrasi polymorphonuclear
(PMN) dan menghambat peningkatan permeabilitas vaskular. Dosis yang
diberikan 30 mg/kgbb intravena dalam 15 menit pertama diikuti 45 menit
berikutnya dengan dosis 5,4 mg/kgbb/jam selama 23 jam (Mahadewa, 2009;
Cohen, 1997).
2.4.4. Bedah
Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena deformitas
tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan dekompresi. Tujuan
terapi awal adalah untuk dekompresi medula spinalis dengan memperbaiki
diameter sagital normal dari kolumna vertebralis. Berkurangnya dislokasi baik
parsial atau komplit juga akan mengurangi nyeri. Dislokasi yang disertai
instabilitas tulang belakang memerlukan tindakan reposisi dan stabilisasi. Indikasi
operasi cedera servikal adalah (Mahadewa, 2009):
Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bilamana traksi atau manipulasi gagal
Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dengan fragmen
tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis, meskipun telah
dilakukan traksi yang adekuat
Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh
9
diskus intervertebralis. Perlu dilakukan pemeriksaan myelografi dan CT Scan
untuk membuktikannya
Fragmen yang menekan lengkung saraf
Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis
Lesi parsial medula spinalis yang memburuk setelah mulanya dengan cara
konservatif maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai adanya
hematoma
Jika masih terdapat kelemahan motorik yang signifikan setelah suatu periode
perbaikan
Jika terdapat instabilitas spinal
Pembedahan darurat dilakukan bila terdapat gangguan neurologis
progresif akibat penekanan dan pada luka tembus. Pembedahan akan mengurangi
kemungkinan terjadinya penyulit tetapi tidak harus dilakukan sebagai tindakan
darurat. Pasien dengan kompresi sekunder dari herniasi diskus akibat trauma
harus segera didekompresi. Cedera medula spinalis akibat osteofit, penebalan
ligamen flavum, atau stenosis tidak memerlukan operasi segera. Terdapat 3
indikasi utama untuk melakukan tindakan operasi yaitu untuk dekompresi elemen
saraf, koreksi deformitas, dan stabilisasi segmen (Mahadewa, 2009; Cohen,
1997) .
Gambar 6. Gambaran radiologis fraktur cervicalImaging Cervical trauma
10
Gambar 7. Gambaran radiologis fraktur cervicalImaging Cervical trauma
2.4.5. Rehabilitasi
Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya
komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke
masyarakat. Tim rehabilitasi yang diperlukan terdiri dari dokter (ahli bedah saraf,
ahli bedah tulang), perawat, fisioterapis, petugas sosial, psikolog, ahli terapi
kerja.
Program rehabilitasi dapat dibagi 2 tahap. Tahap pertama pada fase akut
yaitu semasa pasien dalam pengobatan yang intensif, terutama dikerjakan oleh
perawat dan fisioterapis. Tindakan yang dilakukan pada tahap ini adalah latihan,
masase, memelihara jalan nafas, merawat gangguan miksi dan defekasi. Tahap
kedua adalah rehabilitasi jangka panjang dengan tujuan mengembalikan penderita
kembali ke masyarakat, yang meliputi menyiapkan keadaan mental penderita agar
tetap dapat berkarya walaupun cacat, edukasi pada penderita dan keluarga tentang
perawatan di rumah, latihan cara makan, berpakaian, miksi dan defekasi, latihan
menggunakan alat bantu, alih pekerjaan sesuai dengan kondisi penderita.
Terapi fisik dilakukan untuk pemulihan ROM (range of motion) dan
meningkatkan kemampuan mobilitas. Hal terpenting adalah memperkuat otot
ekstremitas atas, juga menjaga keseimbangan dan stabilitas tubuh. Otot
ekstremitas atas biasanya lebih parah dari ekstremitas bawah, maka pasien
akan kesulitan untuk menggunakan alat bantu berjalan yang membutuhkan
bantuan tangan.
11
Terapi rehabilitasi kerja ditujukan untuk perbaikan kemampuan dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari, memperkuat ekstremitas atas, dan perbaikan
ROM. Bidai digunakan untuk mempertahankan posisi fungional tangan dan
kaki juga mencegah kontraktur.
Terapi bicara diberikan untuk pasien yang mengalami disfagia akibat
pemakaian alat-alat untuk mempertahankan stabilitas servikal atau akibat fusi
servikalis anterior. Pasien diajarkan cara menelan agar tidak memperparah
disfagi dan mencegah aspirasi. (Mahadewa, 2009)
2.4.6. Penanganan kasus khusus
a. Autonomic dysreflexia
Merupakan keadaan akut akibat stimulasi masif simpatis. Terjadi setelah syok
spinal, biasanya dalam 6 bulan pertama sampai 1 tahun. Gejala yang timbul
berupa hipertensi, sakit kepala, muka merah, berkeringat, hidung buntu,
piloereksi, dan bradikardi. Penyebabnya adalah distensi bladder dan bowel,
atau tindakan kateterisasi, mengorek skibala, penekanan ulkus dekubitus,
infeksi saluran kencing, penggunaan brace atau pakaian terlalu ketat.
Tindakan yang dilakukan adalah tinggikan posisi kepala, monitor tekanan
darah, kurangi stimulus noksius dan evaluasi faktor penyebab. Jika tidak ada
perbaikan, terapi untuk menurunkan tekanan darah (Mahadewa, 2009;
Krishblum et al, 2004).
b. Nyeri neuropatik
Pasien dengan cedera medula spinalis dapat mengalami alodinia di bawah
level injury. Penanganannya dengan mengevaluasi dan menghilangkan faktor-
faktor pencetus seperti infeksi dan pressure ulcer. Terapi dengan pemberian
obat anti konvulsan (Mahadewa, 2009; Krishblum et al, 2004).
c. Spastisitas
Awalnya pasien akan mengalami penurunan tonus saat periode spinal syok,
tetapi kemudian akan mengalami spastisitas. Program peregangan dan posisi
tidur yang benar dapat mengurangi spastisitas dan mencegah kontraktur.
Pemberian terapi antispasme diberikan bila spasme otot menimbulkan
perasaan tidak nyaman (Mahadewa, 2009).
d. Pressure ulcer
12
Menurunnya fungsi sensoris mengakibatkan timbulnya pressure ulcer karena
penekanan pada kulit. Pencegahan yang dilakukan adalah meminimalisasi
penekanan pada kulit (mengunakan kasur khusus, melapisi penonjolan tulang
dengan bantal), merubah posisi secara teratur. Jika ulkus semakin parah, bila
perlu dikonsulkan ke bagian bedah plastik(Mahadewa, 2009; Cohen, 1997).
e. Neurogenic bladder
Pasien dengan cedera medula spinalis sering mengalami retensi urin sehingga
memerlukan pemasangan kateter. Jika penderita sudah stabil, kateter dapat
dilepas dan dilakukan latihan pengendalian kandung kemih. Dapat dipasang
kateter intermiten, bila diperlukan. Fungsi kandung kemih biasanya kembali
setelah 6 bulan, tetapi jika tidak kembali pasien diajarkan untuk memasang
kateter sendiri saat rangsangan berkemih datang (Mahadewa, 2009; Krishblum
et al, 2004).
f. Neurogenic bowel
Pasien cedera akut beresiko mengalami gastric atoni dan ileus yang dapat
menyebabkan muntah dan aspirasi. Ileus dapat terjadi pada 1-2 hari pertama
dan berakhir pada hari ke-7. Pada fase kronis dapat terjadi distensi colon,
distensi abdomen, konstipasi, mual, muntah dan gangguan elektrolit. Berikan
latihan pengontrolan defekasi secara teratur karena terjadi penurunan
kemampuan kontrol terhadap defekasi, juga pemberian serat dan cairan yang
cukup untuk menghindari konstipasi atau inkontinensia. Lakukan evakuasi
feses dengan stimulasi colok dubur atau metode lain (Mahadewa, 2009;
Krishblum et al, 2004).
2.4.7. Follow up
Tujuan utama jangka panjang adalah mencegah komplikasi medis, yang
merupakan alasan dari 30% pasien cedera medula spinalis memerlukan perawatan
rumah sakit (Gondim, 2009; Mahadewa, 2009)
Monitor tekanan darah. Biasanya pasien dibuat hipertensi ringan untuk
meningkatkan aliran darah ke medula spinalis pada 12-24 jam pertama. Untuk
mencegah iskemik medula spinalis, ideal mean arterial presurre diatas
70mmhg.
Pencegahan infeksi nosokomial dan pemberian antibiotika sesuai indikasi
13
Perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus, penggunaan kasur khusus,
perlu sering dilakukan gerakan alih baring
Berikan profilaksis untuk DVT (deep vein thrombosis) dengan LMWH (low
molecular weight heparin)
Management cairan, elektrolit,dan nutrisi
Mengatasi nyeri dan kecemasan
Profilaksis gastrointestinal terhadap terjadinya ulkus. Pasien dengan cedera
medula spinalis memiliki insiden stress ulcer yang tinggi, dan diperburuk
dengan pemberian obat kortikosteroid pada fase akut.
Pemasangan foley catheter bila terjadi retensi urin
14
BAB III
RINGKASAN
Cedera akut tulang belakang merupakan penyebab yang paling sering dari
kecacatan dan kelemahan setelah trauma. Kerusakan fungsi saraf tulang belakang
bersifat irreversible, karena saraf tulang belakang merupakan bagian susunan
saraf pusat yang tidak bisa beregenerasi atau tumbuh kembali, karena alasan ini
evaluasi dan pengobatan pada cedera tulang belakang, medula spinalis, dan saraf
tepi memerlukan pendekatan yang terintegrasi.
Kemampuan untuk memprediksi adanya trauma servikal berdasarkan
pemeriksaan klinis saja memiliki sensitivitas 46%, spesifisitas 94%. Karena
keterbatasan dan besarnya morbiditas jangka panjang bila trauma tidak
terdiagnosis, pasien dengan trauma tumpul yang komplek dilakukan pemeriksaan
radiologi, sampai dieksklusi adanya fraktur servikal.
Manajemen awal pasien dengan cedera servikal dimulai di tempat
kejadian. Penatalaksanaan pertama cedera servikal berdasarkan prinsip umum
ATLS (advanced trauma life support) yaitu evaluasi awal berdasarkan primary
survey ABCD (airway and C-spine control, breathing and ventilatory, circulation
and stop bleeding, disability and environment). Perhatian utama selama
penatalaksanaan awal adalah adanya gangguan fungsi neurologi karena gerakan
yang patologis (trauma). Diperkirakan 3% sampai 25% trauma medula spinalis
terjadi saat awal trauma, saat transit atau pada saat penatalaksanaannya. Prinsip
khusus penatalaksanaan cedera servikal adalah reposisi/realignment, imobilisasi,
dan fiksasi tulang belakang sesuai indikasi.
Obat yang diberikan pada pasien cedera servikal adalah golongan
kortikosteroid. Bila terdapat tanda kompresi pada medula spinalis karena
deformitas tulang, fragmen tulang, atau hematom, diperlukan tindakan
dekompresi. Rehabilitasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah timbulnya
komplikasi, mengurangi kecacatan, dan menyiapkan penderita kembali ke
masyarakat. Sasaran jangka panjang adalah penanganan komplikasi
gastrointestinal (ileus, konstipasi), genitourinarius (urinary tract infection,
hidronefrosis), dermatologi (dekubitus), dan muskuloskeletal.
15
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001(a). Management of acute spinal cord injuries in an intensive care unit or other monitored setting. [cited 14 March 2010]. URL : http://static.spineuniverse.com/pdf/traumaguide/7.pdf
Anonim. 2010. Cervical spine anatomy. [cited 17 March 2010] .URL : http://www.waterburyhospital.org/index.htm
Anonim. 2001(b). Pre-hospital cervical spinal immobilization following trauma. [cited 14 March 2010]. URL : http://www.neann.com/Prehospital%20Spine%20Immobilisation%20Review%20Of%20Studies.pdf
Anonim. 2008. Anatomy. [cited 16 March 2010]. URL : http://www.necksurgery.com/anatomy.html
Brohi, K. 2002. Spine trauma. [cited 14 March 2010]. URL : http://trauma.org/archive/spine/cspine-eval.html
Cohen, A. 1997. The acute management of spinal injury. [cited 14 March 2010]. URL : http://www.medicalonline.com.au/medical/first_aid/spineman.htm
Crosby, T.E. 2006. Airway management in adults after cervical spine trauma. Anesthesiology 104:1293-318
Davenport, M. 2009. Fracture cervical spine. [cited 14 March 2010]. URL : http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview
Eidelson, S. 2004. Cervical spine anatomy. [cited 16 March 2010]. URL : http://www.spineuniverse.com/anatomy/cervical-spine-anatomy-neck
Foster, M. 2009. C1 fractures. [cited 17 March 2010]. URL : http://emedicine.medscape.com/article/1263453-treatment
Gondim, F. 2009. Spinal Cord Trauma and Related Diseases. [cited 17 March 2010). URL : http://emedicine.medscape.com/article/1149070-treatment
Iskandar, J. 2002. Cervical injury. Fakultas Kedokteran Bagian Bedah. Universitas Sumatera Utara.
Kirshblum, S., Gonzalez, P., Cuccurullo, S., Luciano, L. 2004. Epidemiology of spinal cord injury. Demos Medical Publishing Inc.
Mahadewa, T.G.B., Maliawan, S. 2009. Cedera saraf tulang belakang.Denpasar : Udayana University Press.
16
Tinjauan Pustaka
MANAJEMEN FRAKTUR SERVIKAL
Oleh :
Desie Yuliani
Pembimbing :
dr. Tjokorda G.B. Mahadewa, M.Kes, SpBS(K)
DISAMPAIKAN DALAM ACARA ILMIAH
BAGIAN / SMF ILMU BEDAH
FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR
2010
17
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-
Nyalah tinjauan pustaka yang berjudul “Manajemen Fraktur Servikal” ini dapat
kami selesaikan. Adapun tinjauan pustaka ini, merupakan salah satu tugas yang
harus diselesaikan pada saat mengikuti stase di bagian Ilmu Bedah Saraf FK
UNUD / RSUP Sanglah Denpasar.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof.Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) selaku Kepala Bagian Lab / SMF
Ilmu Bedah FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar
2. Dr. Tjokorda G.B. Mahadewa, M.Kes, SpBS(K), selaku pembimbing kami
dalam penyusunan tinjauan pustaka ini.
3. Para senior di Lab / SMF Ilmu Bedah Saraf FK UNUD / RSUP Sanglah
Denpasar.
Akhir kata, kami menyadari bahwa tinjauan pustaka yang kami susun ini
masih kurang sempurna, sehingga masih memerlukan bimbingan, kritik, dan saran
dari para senior. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Penyusun
Desie Yuliani
18
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .............................................................................................................
i
Daftar Isi ......................................................................................................................
ii
Bab 1 Pendahuluan ....................................................................................................
1
Bab 2 Manajemen Fraktur Servikal ............................................................................
2
2.1. Anatomi vertebra servikalis ..................................................................................
2
2.2 Patofisiologi...........................................................................................................
4
2.3. Diagnosis fraktur servikal .....................................................................................
4
2.4. Manajemen fraktur servikal ..................................................................................
6
2.4.1. Penatalaksanaan awal ........................................................................................
6
2.4.2. Traksi dan imobilisasi ........................................................................................
7
2.4.3. Medikamentosa ..................................................................................................
8
2.4.4. Bedah .................................................................................................................
8
2.4.5. Rehabilitasi ........................................................................................................
10
2.4.6. Penanganan kasus khusus ..................................................................................
11
2.4.7. Follow up ...........................................................................................................
12
19
Bab 3 Ringkasan .........................................................................................................
14
Daftar Pustaka ..............................................................................................................
15
20
Philadelpia collar1 http://schneiderorthopaedic.com/cervicalaids.html
Rehab http://www.netterimages.com/image/7343.htm
Rehab 2 http://metrosportsmed.patientsites.com/Injuries-Conditions/Upper-
Back-Neck/Upper-Back-Surgery/Cervical-Laminectomy/a~314/article.html
• Injury to the spine and spinal cord. William A. Walters MD.
• C2 Fracture. Igor Boyarsky.
http://emedicine.medscape.com/article/1267150-overview
• Primary screening for CSI.(CSI ppt)
• Imaging cervical trauma. Les folio.
http://www.passmyboards.org/rad/handouts/folio/Cervical_Spine_Tru
ama_Dec_05.pdf
• Cervical spine. T. Ros Bailey.
http://www.tcuathletictraining.com/ross/Cervical%20Spine%20PPT
%202003.pdf
• Cervical spine anatomy.
http://citysquarephysiotherapy.patientsites.com/article.php?aid=308
• Spinal cord injury http://www.siskinrehab.org/subpage.php?
pageId=537
21
943, Waterbury
Cervical spine anatomy
Spinal shock
Spinal shock is a state of transient physiologic (rather than anatomic) reflex depression of cord function below the level of injury, with associated loss of all sensorimotor functions. An initial increase in blood pressure due to the release of catecholamines, followed by hypotension, is noted. Flaccid paralysis, including of the bowel and bladder, is observed, and sometimes sustained priapism develops. These symptoms tend to last several hours to days until the reflex arcs below the
22
level of the injury begin to function again (eg, bulbocavernosus reflex, muscle stretch reflex [MSR]).
Neurogenic shock
Neurogenic shock is manifested by the triad of hypotension, bradycardia, and hypothermia. Shock tends to occur more commonly in injuries above T6, secondary to the disruption of the sympathetic outflow from T1-L2 and to unopposed vagal tone, leading to a decrease in vascular resistance, with associated vascular dilatation. Neurogenic shock needs to be differentiated from spinal and hypovolemic shock. Hypovolemic shock tends to be associated with tachycardia.
23