makalah acne vulgaris

33
1 LAPORAN KASUS ACNE VULGARIS Disusun Oleh : Junita Kusbianto 105070101111006 Mirzia Dwi Rahma 105070100111103 Alex Christian 105070101111005 Pembimbing : dr. Sinta Murlistyarini, Sp.KK

Upload: mirzia-dwi-r

Post on 10-Apr-2016

280 views

Category:

Documents


51 download

DESCRIPTION

jj

TRANSCRIPT

1

LAPORAN KASUS

ACNE VULGARIS

Disusun Oleh : Junita Kusbianto

105070101111006

Mirzia Dwi Rahma 105070100111103

Alex Christian 105070101111005

Pembimbing :dr. Sinta Murlistyarini, Sp.KK

LABORATORIUM / SMF ILMU KULIT DAN KELAMINFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYARUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG

2014

2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………...BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..BAB II LAPORAN KASUS……………………………………………………….2.1 Identitas………………………………………………………………………..

2.2 Anamnesis……………………………………………………………………...

2.3 Status Generalis……………………………………………………………….

2.4 Status Dermatologis…………………………………………………………..

2.5 Diagnosis Banding…………………………………………………………….

2.6 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………...

2.7 Diagnosis……………………………………………………………………….

2.8 Tatalaksana…………………………………………………………………….

2.8.1 Medikamentosa……………………………………………………………...

2.8.2 Non Medikamentosa………………………………………………………..

2.9 Prognosis…………………………………………………………………….

BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………3.1 Riwayat Penyakit………………………………………………………………

3.2 Etiologi dan Patofisiologi……………………………………………………...

3.3 Lesi Kutan………………………………………………………………………

3.3.1 Komedo……………………………………………………………………..

3.4 Diagnosis Banding…………………………………………………………….

3.5 Pemeriksaan Penunjang……………………………………………………...

3.6 Diagnosis……………………………………………………………………….

3.7 Tatalaksana…………………………………………………………………….

3.7.1 Medikamentosa……………………………………………………………...

3.7.1.1 Terapi Lokal………………………………………………………………..

3.7.1.2 Terapi Sistemik……………………………………………………………

3.7.2 Non Medikamentosa………………………………………………………..

3.8 Komplikasi……………………………………………………………………...

BAB IV RINGKASAN……………………………………………………………DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………

i133

3

4

4

5

5

5

5

5

5

5

6

6

6

9

10

11

12

12

13

13

13

16

17

18

20

21

BAB I

3

PENDAHULUAN

Akne vulgaris adalah peradangan kronik folikel pilosebasea yang ditandai

dengan adanya komedo, papul, pustul, dan kista. Predileksi akne vulgaris pada

daerah-daerah wajah, bahu bagian atas, dada, dan punggung. Akne pada pada

dasarnya merupakan penyakit pada remaja, dengan 85% terjadi pada remaja

dengan beberapa derajat keparahan. Dimana didapatkan frekuensi yang lebih

besar pada usia antara 15-18 tahun pada kedua jenis kelamin. Pada umumnya,

involusi penyakit terjadi sebelum usia 25 tahun (Boxton, 2003; Zaenglein et al.,

2007).

Akne umumnya muncul pada saat pubertas dan seringkali merupakan

tanda awal dari produksi hormon seks yang meningkat. Ketika akne muncul pada

usia 8-12 tahun, yang tampak biasanya berupak komedo yang utamanya muncul

pada dahi dan pipi. Hal tersebut dapat tetap menjadi ringan dalam ekspresinya

dengan papul inflamasi yang kadang-kadang bisa terjadi. Bagaimana pun,

sebagaimana kadar hormon meningkat pada usia-usia pertengahan remaja,

pustul dan nodul inflamasi yang lebih berat dapat terjadi yang dapat menyebar

pada tempat lainnya (James, 2000).

Akne vulgaris dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab yang

pasti belum diketahui secara pasti. Terdapat beberapa faktor yang diduga dapat

menyebabkan, antara lain : genetik, endokrin (androgen, pituitary sebotropic

factor, dsb), faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebasea, faktor psikis,

pengaruh musim, infeksi bakteri (Propionibacterium acnes), kosmetika, dan

bahan kimia lainnya (Hunter, 2002).

Akne vulgaris diklasifikasikan sebagai gradasi ringan, sedang dan berat

berdasarkan jumlah komedo, lesi inflamasi dan total lesi. Akne gradasi ringan :

komedo < 20 atau lesi inflamasi < 15 atau total lesi < 30. Akne gradasi sedang :

komedo 20-100 atau lesi inflamasi 15-50 atau total lesi 30-125. Akne gradasi

berat : kista > 5 atau komedo > 100 atau lesi inflamasi >50 atau total lesi > 125

(Lehmann et al., 2002).

Diagnosis akne vulgaris dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisis. Akne vulgaris biasanya terjadi pada saat pubertas, tetapi

gejala klinis yang muncul sangatlah bervariasi. Perempuan mungkin

4

memperhatikan bentuk yang berfluktuasi berdasarkan siklus mensturasinya.

Pada pemeriksaan fisis akne non-inflamasi tampak sebagai komedo terbuka dan

tertutup. Lesi inflamasi dimulai dengan adanya mikrokomedo tetapi dapat

berkembang menjadi papul, pustul, nodul, atau kista. Kedua tipe lesi ditemukan

pada area dengan glandula sebacea yang banyak. Diagnosis banding akne

vulgaris antara lain erupsi akneiformis, rosasea, dan dermatitis perioral (Boxton,

2003; Zaenglein et al., 2007; Batra, 2007).

Penatalaksanaan akne vulgaris terdiri atas nonmedikasmentosa,

medikamentosa dan tindakan khusus. Nonmedikamentosa antara lain : hindari

pemencetan lesi, pilih kosmetik nonkomedogenik dan lakukan perawatan wajah.

Medikamentosa antara lain : retinoid topikal, tretinoin, isotretinoin, adapalene,

antibiotik topical dan asam salisilat. Tindakan khusus antara lain : ekstraksi

komedo, injeksi kortikosteroid intralesi, peeling kimiawi, dermabrasi, punch graft,

collagen implant, dan laser (Zaenglein et al., 2007; Dreno, 2003; Webster, 2007;

Zoubolis, 2003).

Pada umumnya prognosis dari akne ini cukup baik, pengobatan

sebaiknya dimulai pada awal onset munculnya akne dan cukup agresif untuk

menghindari sekuele yang bersifat permanen (Zaenglein et al., 2007).

BAB II

5

LAPORAN KASUS

2.1 IdentitasNama : Ny.I

Usia : 22 tahun

Pekerjaan : Caddy Golf

Alamat : Jl. RA Kartini Pandaan Pasuruan

No. RM : 111213035

2.2 Anamnesis (17 Desember 2014)Keluhan Utama : Jerawat di daerah wajah

Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang dengan keluhan jerawat di daerah wajah yang muncul

sekitar 2 tahun yang lalu. Jerawat bermunculan sejak pasien memakai bedak

padat dan blush on. Jerawat semakin banyak setelah pasien memakan

kacang, coklat, serta pada saat stress. Pasien menstruasi pertama saat usia

14 tahun dan siklusnya teratur.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sebelumnya pernah memilki jerawat yang muncul menjelang

menstruasi hanya 1-2 jerawat dan menghilang menjelang berhentinya

menstruasi

Riwayat Pengobatan : Pasien belum pernah berobat ke dokter

Riwayat Keluarga : Keluarga pasien tidak memiliki keluhan yang sama

Riwayat Sosial : Pasien bekerja sebagai caddy golf yang aktif bekerja di lapangan dan pada

saat bekerja pasien harus selalu memakai kosmetik

2.3 Status Generalis

6

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Kepala : Dalam batas normal

Thorax : Tidak diperiksa

Abdomen : Tidak diperiksa

Ekstrimitas : Tidak diperiksa

2.4 Status Dermatologis

Gambar 1 Jerawat pada daerah wajah

Lokasi : Wajah

Distribusi : Terlokalisir

Ruam : Jumlah komedo terbuka dan tertutup 60 lesi

Papulopustular 13 lesi

Total lesi 73 lesi

2.5 Diagnosis BandingAcne vulgaris derajat sedang

Rosasea

2.6 Pemeriksaan Penunjang

7

Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang

2.7 DiagnosisAcne Vulgaris Derajat Sedang

2.8 Tatalaksana2.8.1 Medikamentosa :

Treitinoin cream 0,05% (malam hari)

Benzoyl peroxide 5% dan Clindamycin Phospate 1,2% gel (pagi hari)

2.8.2 Non Medikamentosa

KIE :

1. Menjelaskan tentang penyakit pasien yaitu acne vulgaris derajat

sedang dan menjelaskan bahwa pengobatannya memutuhkan waktu

yang lama jadi pasien harus rutin kontrol

2. Menjelaskan tentang cara pemakaian obat dan efek samping yang

dapat ditimbulkan

3. Menyarankan pasien untuk menghindari faktor pencetus terjadinya

jerawat seperti menggunakan kosmetik yang berlebihan (bedak padat

dan blush on)

4. Menyarankan pasien untuk hidup teratur dan sehat, cukup istirahat,

olahraga sesuai dengan kondisi tubuh, dan menghindari stress

5. Menyarankan pasien untuk menjaga kebersian daerah wajah, seperti

mencuci wajah dua kali sehari, pagi dan sore hari, dan menghindari

pemencetan jerawat.

2.9 PrognosisQuo ad vitam : Bonam

Quo ad sanam : Dubia ad malam

Quo ad functionam : Bonam

Quo ad kosmetikam : Dubia ad malam

BAB III

8

PEMBAHASAN

3.1 Riwayat Penyakit

Pasien merupakan seorang wanita berusia 22 tahun datang dengan

keluhan jerawat di daerah wajah sejak 2 tahun yang lalu. Onset hampir

semua pasien dengan acne vulgaris pada usia pubertas dengan perjalanan

penyakit gradual. Usia onset acne vulgaris bervariasi. Acne paling cepat

muncul pada usia 6-8 tahun atau mungkin muncul hingga usia 20 tahun atau

lebih. Pada kebanyakan kasus, perjalanan penyakit acne vulgaris biasanya

berdurasi bertahun-tahun diikuti remisi spontan. Mayoritas pasien akan

sembuh pada usia awal duapuluhan, beberapa pasien memiliki acne hingga

dekade tigapuluhan atau empatpuluhan (Zanglein, et al., 2012)

Hiperandrogenism mungkin terjadi pada pasien wanita dengan acne

yang parah, onset tiba-tiba atau berhubungan dengan hirsutism atau periode

menstruasi yang irreguler. Pasien sebaiknya ditanyakan mengenai frekuensi

dan karakteristik periode menstruasi dan apakah acne muncul dengan

perubahan siklus menstruasi. Riwayat pengobatan juga perlu digali dengan

lengkap, beberapa obat-obatan bisa menyebabkan onset mendadak dari

erupsi acneiformis. Pada wanita, sering ada fluktuasi yang berhubungan

dengan menstruasi dengan flare sebelum terjadinya menstruasi. Flare ini

bukan karena perubahan pada aktivitas kelenjar sebaceous, pada fase luteal

dari siklus menstruasi tidak ada peningkatan pada produksi sebum (Zanglein,

et al., 2012).

3.2 Etiologi dan Patofisiologi

Jerawat bermunculan sejak pasien memakai bedak padat dan blush on.

Jerawat semakin banyak setelah pasien memakan kacang, coklat, serta pada

saat stress. Penggunaan kosmetik tertentu dan makanan yang mengandung

banyak lemak serta stress merupaka faktorrisiko sesorang terkena acne

(Wolff, et al., 2009).

9

Mekanisme terbentuknya acne adalah adanya sumbatan pada ostium

folikel rambut. Dengan penggunaan kosmetika jenis seperti diatas akan

meyebabkan folikel rambut mudah tersumbat di samping 4 mekanisme dasar

terbentuknya jerawat. Ada 4 mekanisme utama yang mendasari

pathogenesis dari akne, yaitu hiperproliferasi dari epidermis folikular

sehingga terjadi sumbatan folikel, produksi sebum yang berlebih, inflamasi,

dan aktivitas bakteri Propionibacterium acnes (P. acnes) (Gambar 2).

Hiperproliferasi epidermis folikular menyebabkan terbentuknya lesi primer

pada akne, yaitu mikrokomedo. Epitel di folikel rambut bagian atas

(infundibulum), menjadi hyperkeratosis, sehingga terjadilah suatu sumbatan

pada ostium folikel. Dengan jalan keluar (ostium) folikel yang tersumbat,

terjadi akumulai dari keratin, sebum, dan bakteri di dalam folikel, dan pada

akhirnya terjadilah mikrokomedo. Hiperproliferasi dari keratonisit sendiri

diakibatkan oleh stimulasi dari androgen, menurunyya asam lionenat, dan

meningkatnya aktivitas IL-1 (Wolff, et al., 2009).

Hormon androgen menstimulasi hiperproliferasi pada kertinosit folikel.

Dihydoprogesterone (DHT), merupakan salah satu jenis androgen yang

memiliki peran pada terjadinya akne. 17β hydroxysteroid dehydrogenase

merupakan enzim yang berperan untuk mengubah DHEAS

(Dehydroepiandrosterone Sulfat) menjadi DHT. Tingkat 17β hydroxysteroid

dehydrogenase dan 5α reduktase pada keratinosit folikel lebih tinggi bila

dibandingkan dengan keratinosit epidermis, sehingga tingkat proliferasi dari

keratinosit di folikel lebih tinggi. Pada pasien yang mengalami insensitibitas

terhadap hormon androgen tidak akan mengalami terbentuknya akne (Wolff,

et al., 2009).

10

Gambar 2 Empat mekanisme yang mendasari terjadinya acne vulgaris

Proliferasi dari keratinosit folikel juga dipengaruhi oleh asam linoleat

(suatu asam lemak esensial, yang akan menurun pada kasus akne).

Rendahnya tingkat asam linoleat dapat memicu terjadinya hiperproliferasi

dari keratinosit folikel dan juga produksi dari sitokin proinflamasi. Pada

beberapa penelitian ada yang menayatkan bahwa sebenarnya tingkat asam

linoleat tidak turun, namun karena produksi sebum yang meningkat, maka

asam linoleat akan terdilusi makin banyak (Wolff, et al., 2009).

Mekanisme kedua dari akne adalah produksi sebum yang berlebih.

Salah satu komponen dar isebum adalah trigliserida yang akan dipecah oleh

bakteri P.acnes (salah satu flora normal folikel) menjadi asam lemak bebas.

Asam lemak bebas ini akan meningkatkan koloni bakteri P. acnes dan

memicu terjadinya inflamasi dan menimbulkan komedo. Hormon androgen

disebutkan memiliki peran pada meningkatnya produksi sebum, dimana

androgen lansgung berikatan dengan sel-sel folikel sebasea dan

meningkatkan aktivitasnya dalam memproduksi sebum (Wolff, et al., 2009).

Mikrokomedo yang telah terbentuk terus berkembang dan mendesak

jaringan sekitarnya. Pada akhirnya desakan ini akan menyebabkan dinding

folikel menjadi pecah. Pecahnya folikel menyebabkan keratin, sebum, dan

bakteri P. acnes yang telah tertimbun masuk ke dermis, sehingga memancing

11

respon inflamasi pada daerah tersebut. Sel yang pertama kali datang pada

24 jam pertama adalah limfosit (CD4 ditemukan di sekitar jaringan

pilosebasea, sedangkan CD8 di perivaskular). Satu hingga dua hari

kemudian barulah neutrofil yang paling banyak ditemukan di daerah

pecahnya komedo. Maka terjadilah mekanisme akne yang ketiga yaitu

terjadinya inflamasi (Wolff, et al., 2009).

Mekanisme akne yang keempat adalah adanya bakteri P. acnes. P.

Acnes merupakan bakteri gram positif, anaerob, dan merupakan flora normal

di kelenjar sebasea folikel. Dinding P. acnes yang tersusun dari rantai

karbohidrat memicu untuk terbentuknya antibody terhadap P. acnes.

Didapatkan bahwa semakin parahnya akne, semain tinggi pula titer antibody

terhadap P. acnes. Tingginya tingkat antibody terhadap P. acnes memicu

reaksi komplemen dan kaskade proinflamasi. P. acnes juga dapat memicu

reaksi hipersensitivitas tipe IV dengan memproduksi lipase, protease,

hialuronidase, factor kemotaksis. P. acnes juga bisa meningkatkan produksi

sitokin dengan cara berikatan dengan TLR-2 pada monosit dan sel-sel PMN.

Sitokin-sitokin yang diproduksi seperti IL-1, IL-8, IL-12, dan TNF-α (Wolff, et

al., 2009).

3.3 Lesi Kutan (Zanglein, et al., 2012)Status Dermatologis

Lokasi : Wajah

Distribusi : Terlokalisir

Ruam : Jumlah komedo terbuka dan tertutup 60 lesi

Papulopustular 13 lesi

Total lesi 73 lesi

Lesi acne vulgaris terutama dapat ditemukan pada wajah dan sedikit

pada punggung, dada dan bahu. Pada badan, lesi cenderung

terkonsentrasi di sekitar garis tubuh. Penyakit ini dikarakteristikan dengan

adanya beberapa bentuk lesi klinis. Lesi acne vulgaris terdiri dari lesi

noninflamasi dan lesi inflamasi. Lesi noninflamasi terdiri dari komedo

terbuka dan komedo tertutup. Sedangkan lesi inflamasi terdiri dari variasi

12

lesi mulai dari papul-papul kecil dengan batas merah hingga pustul-pustul

serta nodul-nodul yang besar dan keras.

3.3.1 Komedo

Komedo merupakan infundibulum folikel rambut yang dilatasi dan

tersumbat oleh keratin dan lemak

a. Komedo terbuka

Ketika unit pilosebaceous terbuka ke permukaan kulit dengan

sumbatan keratin yang terlihat, lesi disebut komedo terbuka. Komedo

yang berwarna hitam dikarenakan oksidasi dari isi kelenjar sebacea

(blackhead). Komedo terbuka tampak sebagai lesi yang datar atau

sedikit meninggi dengan kumpulan keratin dan lemak yang berwarna

hitam di tengah lesi.

b. Komedo tertutup

Infundibulum yang tertutup dimana pada pembukaan folikel tidak

terlihat akumulasi keratin putih disebut komedo tertutup. Bentuk

komedo tertutup kontras dengan bentuk komedo terbuka dimana

komedo tertutup susah untuk divisualisasi. Mereka muncul sebagai lesi

kecil, pucat, dan sedikit meninggi dan secara klinis tidak terlihat

orificium folikel. Merenggangkan kulit akan membantu untuk

mendeteksi komedo tertutup.

c. Lesi Inflamasi

Bervariasi mulai dari papul-papul kecil dengan batas merah

hingga pustul-pustul serta nodul-nodul yang besar dan keras.

Beberapa nodul yang besar sebelumnya disebut “kista” dan terminologi

nodulcystic digunakan untuk mendeskripsikan kasus acne inflamasi

yang parah. Kista sebenarnya amat jarang ditemukan pada acne

vulgaris karena itu terminologi ini sebaiknya ditinggalkan dan diganti

dengan severe nodular acne. Apakah lesi muncul sebagai papul,

pustul dan nodul bergantung dengan derajat dan lokasi infiltrat

inflamasi pada dermis.

13

Gambar 3. A.Komedo tertutup B. Komedo terbuka C. Papul inflamasi D. Nodul

3.4 Diagnosis BandingDiagnosis banding pada pasien ini adalah acne vulgaris derajat

sedang dan rosacea. Walaupun satu tipe lesi mungkin predominasi,

acne vulgaris didiagnosis oleh variasi lesi acne (komedo, pustul, papul,

dan nodul) pada wajah, punggung, atau dada. Diagnosis biasanya

mudah mudah, tetapi akne yang terinflamasi mungkin membingungkan

dengan folikulitis, rosacea, atau dermatitis perioral (Zanglin, et al.,

2012). Pada rosasea, tidak didapatkan komedo kecuali bila kombinasi

dengan akne. Pada perioral dermatitis dan folikulitis juga tidak

didapatkan komedo (Kurokawa, et al., 2009)(Perkins, et al., 2009).

Gambar 4. Rosacea tipe erythematotelangiectasis (A) dan type papulopustular

(B)

14

Varian acne harus juga dibedakan dari acne vulgaris tipikal untuk

membedakan terapinya. Variasi acne seperti neonatal acne, infantile

acne, acne fulminans, acne conglobata, acne dengan edema facial

solid dan acne axcoriée de jeunes filles (Zanglein, et al., 2012). Pada

erupsi akneiformis, biasanya didapatkan riwayat induksi obat misalnya

kortikosteroid, INH, barbiturat, dan lainnya atau iklim. Selain itu, erupsi

akneiformis dapat disertai demam dan dapat terjadi di semua usia

(Kurokawa, et al., 2009)(Perkins, et al., 2009).

Beberapa dari erupsi acneiform juga kadang membingugkan

dengan acne vulgaris, yaitu acne yang diinduksi obat-obatan acne

halogen, chloracne, acne mechanica, tropical acne, radiation acne, dan

lain-lain (Zanglein, et al., 2012).

3.5. Pemeriksaan penunjang Secara umum, tes laboratotium tidak diindikasikan untuk pasien

dengan acne (Zanglein, et al., 2012). Sehingga pada pasien ini tidak

dilakukan pemeriksaan penunjang.

3.6 DiagnosisPada pasien ini diagnosisnya adalah acne vulgaris derajat

sedang. Lehmann dkk (2002) memperkenalkan suatu sistem penilaian

derajat keparahan akne vulgaris yang dikenal sebagai Combined Acne

Severity Classification. Sistem ini mempunyai beberapa keunggulan

yaitu akurat, sederhana, waktu pemeriksaan singkat, tidak

membutuhkan alat khusus, tidak membutuhkan fotografi, dan dapat

dipergunakan pada kulit gelap (Kurokawa, et al., 2009).

Kriteria akne vulgaris menurut Lehmann, 2002 :

Akne derajat ringan :

- <20 komedo

- <15 lesi inflamasi

- Atau, total lesi <30

Akne derajat sedang :

- 20-100 komedo

15

- 15-50 lesi inflamasi

- Atau, total lesi 3—125

Akne derajat berat :

- >5 kista

- Jumlah total komedo >100

- Lesi inflamasi >50

- Atau, total lesi >125

3.7 Tatalaksana (Zanglein, et al., 2012)3.7.1 Medikamentosa

Pada pasien diberikan terapi medikamentosa, yaitu Treitinoin

cream 0,05% (malam hari) dan Benzoyl peroxide 5%, Clindamycin

Phospate 1,2% gel (pagi hari).

Kombinasi terapi medikamentosa digunakan karena banyak

faktor yang berhubungan dengan patogenesis acne. Mekanisme aksi

dari terpia acne dapat dikategorikan dalam hubungannya dengan

patofisiologi:

1. Memperbaiki perubahan pola keratinisasi folikel

2. Mengurangi aktivitas kelenjar sebaceous

3. Mengurangi populasi bakteri folikel terutama P.acnes

4. Memberikan efek antiinflamasi.

3.7.1.1 Terapi Lokal a. Cleansing

Membersihkan wajah dua kali sehari dengan dengan

pembersih yang lembut diikuti pemberitan terapi acne mungkin akan

meningkatkan rutinitas dan akan menjadi kepatuhan yang lebih

baik. Terlalu banyak membersihkan wajah atau menggunakan

sabun alkline cenderung meningkatkan pH kulit, mengganggu barier

lemak kulit, dan meninkatkan memiliki potensi untuk teriritasi oleh

terapi acne topikal yang lain. Sabun antibakteri, contohnya yang

berisi triclosan, menghambat gram positif cocci tetapi mungkin

meningkatkan gram-negatif rod, efek keseluruhannya secara umum

tidak jelas. Pembersih yang berisi benzoyl peroksida atau asam

16

salicyclic, memberikan efek pembersih muka dan baik untuk

mencapai daerah yang susah dijangkau seperti punggung.

Tabel 1. Terapi Acne vulgaris

b. Retinoid

Retinoid memiliki kemampuan mengikat dan mengaktifkan

reseptor asam retinoid (RAR) serta mengaktifkan transkripsi gen

spesifik yang menghasilkan respon biologis. Teraktivasinya reseptor

asam retinoid intranuklear berefek pada ekspresi gen yang terlibat

pada proliferasi dan differensiasi sel, melanogenesis dan inflamasi.

Hasil dari mekanisme tersebut adalah modifikasi akumulasi dan

kohesi korneosit dan inflamasi. Karena itu retinoid memiliki efek

komedolitik dan antiinflamasi.

17

c. Benzoyl peroksida

Benzoyl peroksida merupakan agen antimikroba yang kuat

melalui mekanisme pengurangan populasi bakteri dan hidrolisis

trigliserida. BPO terdapat dalam bentuk krim, lotion, gel, washes, dan

pledgets. Produk yang tertinggal di kulit seperti gel secara umum

dipertimbangkan yang paling efektif. BPO dapat memberikan efek

kering yang signifikan dan iritasi.

d. Dapsone Topikal

Dapsone topikal merupakan antimikroba topikal untuk acne yang

paling baru untuk disetujui. Peggunaan dua kali sehari memberikan

efikasi yang lebih baik dalam mengontrol lesi inflamasi. Secara umum,

dapsone topikal dapat ditoleransi dengan baik tetapi sebaiknya tidak

digunakan bersamaan dengan benzoyl peroksida karena akan

menyebabkan warna jingga pada kulit.

e. Asam asaleat

Asam asaleat merupakan asam dicarbocylic memiliki efek

antimikroba dan komedolitik. Selain itu, asam asaleat merupakan

penghambat kompetitif dari tyrosinase karena itu akan mengurangi

hiperpigmentasi postinflamasi. Secara umum, asam asaleat dapat

ditoleransi dan aman untuk kehamilan walaupun dapat terjadi rasa

terbakar sementara.

f. Asam salicylic

Asam salicylic merupakan asam β-hydroxy yang larut dalam

lemak memilik efek komedolitik yang lebih lemah dari retinoid dan juga

menyebabkan exfoliasi stratum corneum melalui penurunan kohesi

kertinosit. Iritasi ringan dapat terjadi.

g. Antimikroba topikal

Erythromicin dan Clindamycin adalah antimikroba topikal yang

paling umum digunakan untuk terapi acne. Dua jenis antimikroba ini

juga dikombinasikan dengan BPO. Kombinasi ini dimaksudkan untukk

mengurangi resistensi antimikroba.

18

3.7.1.2 Terapi Sistemik a. Antimikroba oral

Antimikroba oral yang dapat digunakan dalam pengobatan acne

vuldaris adalah tetracycline, doxyciline, erithromicin, cephalexin,

Clindamycin dan Dapsone. Tetracycline merupakan antibiotik broad

spectrum yang digunakan untuk mengobati acne inflamasi. Mekanisme

kerjanya adalah dengan menurunkan jumlah asam lemak bebas ketika

jumlah asam lemak teresterifikasi meningkat. Penurunan asam lemak

mungkin bukan iritan utama dalam sebum, tetapi level asam lemak

bebas merupakan indikasi aktivitas metabolik dari bakteri P. acnes

dan sekresi produk proinflamasi. Tetracycline juga mensupresi jumlah

populasi P. acnes, tetapi bagian dari aksinya mungkin karena aktivitas

antiinflamasinya.

Golongan Macrolide yang sering dipakai adalah azithromycin

dengan dosis 250-500 mg peroral tiga kali seminggu. Karena

prevalensi strain P. acnes yang resistan erithromycin meningkat.

Cephalexin merupakan generasi pertama cephalosporin.

Mekanisme kerja cephalexin lebih cenderung antiinflamasinya

daripada antimikroba karena cephalexin bersifat hidrofilik sehingga

daya tembus pada unit pilosebaceous amat jelek.

Clindamycin dan dapsone merupakan antibiotik oral yang jarang

digunakan untuk pengobatan acne. Penggunaan klindamycin oral

memiliki risiko pseudomembranous colitis shingga jarang digunakan

unutk engobatan sistemik untuk acne. Namun, Clindamysin masih

digunakan untuk topikal dikombinasikan dengan BPO. Dapsone

menguntungkan untuk kasus acne yang inflmasi yang parah dan

beberapa kasus resistan acne.

b. Retinoid oral

Penggunaan retinoid oral, isotretinoin diberikan untuk pasien

dengan acne nodular yng parah atau pada pasien yang tidak respon

dengan terapi yang biasa.

19

c. Kontrasepsi oral

Kontrasepsi oral dapat meningkatkan acne melalui empat

mekanisme utama. Pertama, kontrasepsi oral menurunkan jumlah

produksi androgen gonad. Dengan menekan produksi LH. Kedua,

mengurangi jumlah testoteron bebas. Ketiga, menghambat aktivitas 5

α-reductase sehingga mencegah konversi testoteron menjadi DHT

yang lebih potent. Keempat, progestin memiliki yang memiliki efek

antiandrogenik dengan mengeblok reseptor androgenik pada

keratinosit dan sebosit.

d. Antiandrogen oral

Spironolactone memiliki efek antagonis aldosterone dan fungsi

pada acne yaitu sebagai blocker reseptor androgen dan penghambat 5

α-reductase. Dengan dosis 50-100 mg dua kali sehari memperlihatkan

efek berkurangnya produksi sebum dan mengurangi acne. Efek

sampingnya berupa diuresis, hiperkalemia, irreguler periode

menstruasi, sakit kepala dan fatigue.

3.7.2 Non-medikamentosa KIE pada pasien meliputi:

1. Menjelaskan tentang penyakit pasien yaitu acne vulgaris derajat

sedang dan menjelaskan bahwa pengobatannya memutuhkan

waktu yang lama jadi pasien harus rutin kontrol

2. Menjelaskan tentang cara pemakaian obat dan efek samping yang

dapat ditimbulkan

3. Menyarankan pasien untuk menghindari faktor pencetus terjadinya

jerawat seperti menggunakan kosmetik yang berlebihan (bedak

padat dan blush on)

4. Menyarankan pasien untuk hidup teratur dan sehat, cukup

istirahat, olahraga sesuai dengan kondisi tubuh, dan menghindari

stress

5. Menyarankan pasien untuk menjaga kebersian daerah wajah,

seperti mencuci wajah dua kali sehari dengan sabun sulfur atau

20

sabun Benzoyl peroxida, pagi dan sore hari, dan menghindari

pemencetan jerawat

Penatalaksanaan non-medikamentosa pada akne vulgaris

berupa menghindari faktor pemicu terjadinya akne, misalnya : a)

hidup teratur dan sehat, cukup istiahat, olahraga sesuai dengan

kondisi tubuh, hindari stres. b) penggunaan kosmetika

secukupnya, baik banyaknya maupun lamanya. c) menjauhi

terpacunya kelenjar minyak misalnya minuman keras, pedas,

rokok, lingkungan yang tidak sehat dan sebagainya. d)

menghindari polusi debu, pemencetan lesi yang tidak dianjurkan

dokter (Cunliff, et al., 2001).

3.8 Komplikasi (Zanglein, et al., 2012)Semua tipe acne vulgaris memiliki potensi untuk meninggalkan

sekuel setelah sembuh. Hampir semua lesi acne meninggalkan makula

eritema transien. Pada tipe kulit yang lebih gelap, hiperpigmentasi

post-inflamasi mungkin bertahan berbulan-bulan setelah resolusi lesi

acne. Pada beberapa individu, lesi acne mungkin menghasilkan

jaringan parut permanen. Jaringan parut dapat menjadi komplikasi

kedua bentuk lesi akne, yaitu lesi inflamasi dan lesi noninflamasi.

Terdapat 4 tipe umum jaringan parut dari lesi acne: ice pick, rolling,

boxcar, dan hyperthropic. Jaringan parut ice pick berciri-ciri jaringan

parut yang sempit, dalam di mana paling lebar di permukaan kulit dan

lancip hingga berupa titik pada lapisan dermis. Rolling scar merupakan

jaringan parut yang lebar dan dangkal yang memiliki penampakan

bergelombang. Boxcar merupakan jaringan parut memiliki kesamaan

antara permukaan dan dasar jaringan parut. Pada kasus yang jarang,

terutama pada tubuh, jaringan paru dapat menjadi hipertrofi.

21

Gambar 5 A. Icepick Scar; B. Boxcar Scar; C. Rolling Scar; D. Hypertrophic Scar

A B

DC

22

BAB IVRINGKASAN

Telah dilaporkan pasien perempuan, Ny. I, 22 tahun yang datang ke poli

kulit kosmetik RSSA pada tanggal 17 Desember 2014 dengan keluhan jerawat di

wajah sejak 2 tahun yang lalu. Jerawat muncul sejak pasien memakai bedak

padat dan blush on serta bertambah banyak bila pasien memakan kacang,

coklat, serta saat stress. Status dermatologis didapatkan komedo terbuka dan

tertutup 60 lesi dan papulopustular 13 lesi yang terletak di wajah dan terlokalisir.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis disimpulkan pasien menderita

akne vulgaris derajat sedang. Tatalaksana yang diberikan pada pasien berupa

medikamentosa dan nonmedikamentosa. Medikamentosa berupa Treitinoin

cream 0,05% (malam hari) dan Benzoyl peroxide 5% dan Clindamycin Phospate

1,2% gel (pagi hari). Nonmedikamentosa yakni menjaga kebersihan wajah,

seperti mencuci wajah dua kali sehari, pagi dan sore, dan menghindari

pemencetan jerawat, menghindari faktor pencetus terjadinya jerawat seperti

bedak padat dan blush on, menjelaskan bahwa acne vulgaris pengobatannya

memutuhkan waktu yang lama sehingga pasien harus rutin kontrol, menjelaskan

cara pemakaian obat dan efek samping yang dapat timbul, menyarankan pasien

untuk hidup teratur dan sehat, cukup istirahat, olahraga yang cukup, dan

menghindari stress.

23

DAFTAR PUSTAKA

Batra, Sonia. Acne. In: Ardnt KA, Hs JT, eds. Manual of Dermatology Therapeutics 7th ed. Massachusetts:Lippincot Williams and Wilkins; 2007. P:4-18.

Boxton PK. ABC of Dermatology 4th ed. London:BMJ Group;2003. p:47-9.

Cunliff e WJ, Gollnick HPM. Clinical features of akne. In: Cunliff e WJ, Gollnick HPM, eds. Akne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd, 2001:49-68.

Dreno B, Poli F. Epidemiology of Acne. Dermatology, Acne Symposium at the World Congres of Dermatology Paris July 2002. p:7-9. 2003

Hunter John, Savin John, Dahl Mark. Clinical Dermatology 3rd ed. Massachusetts: Blackwell Science,Inc.;2002. p:148-156.

James WD, Berger TG, Elston DM. Acne. In : James W, Berger T, Elston DM, eds. Andrews’ disease of the skin Clinical Dermatology 10th ed. Canada : El Sevier; 2000. p: 231-44.

Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I, et al. New developments in our understanding of akne pathogenesis and treatment. Experimental Dermatology. 2009; 18: 821-32

Lehmann HP, Robinson KA, Andrews JS et al. Acne therapy: a methodologic review. J Am Acad Dermatol. 2002. 47:231–240.

Perkins AC, Cheng CE, Hillebrand GG, Miyamoto k, Kimball AB. Comparison of the epidemiology of akne vulgaris among Caucasian, Asian, Continental Indian and African American women. J Eur Acad Dermatol Venerol. 2011;25(9):1054-60

Webster, Guy. Overview of the Patogenesis of Acne. In: Webster GF, Rawlings AV, eds. Acne and its Therapy. London:Informa Healthcare;2007. p:1-5.

Wolff, K., Johnson, R.A. 2009. Disorders of Sebaceous and Apoccrine Glands. In : Wolff, K., Johnson, R.A., editors. Fitzpatrick’s color atlas and synopsis of clinical dermatology. Sixth Edition. New York: McGraw6Hill. p.268

Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne Vulgaris and Acneiform Eruptions. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A, Leffell D, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2007. p: 690-703.

24

Zaenglein, AL; Graber EM and Thiboutot DM. 2012. Acne vulgaris and Acneiform Eruption. In : Goldsmith LA; Katz SI; Glichrest BA; Paller AS; Leffell DJ; Wolf Klaus; editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Eight Edition. New York: McGraw-Hill. p.897

Zouboulis, Christos C. Update and Future of Systemic Acne Treatment. Dermatology, Acne Symposium at the World Congres of Drematology Paris July 2002. p:37-42. 2003.