lapsus ppok edit baru

Upload: admrl

Post on 14-Oct-2015

50 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bj

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK BERDASARKAN KLASIFIKASI GLOBAL INITIATIVE FOR CHRONIC OBSTRUCTIVE LUNG DISEASE TAHUN 2013

Made Vrety Widyari, S.Ked; SMF Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Sanjiwani Gianyar /FKIK Universitas Warmadewa PendahuluanBadan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3.WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.1 Indonesia sendiri belum memiliki data pasti mengenai PPOK ini sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6 dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.2Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs pria secara berurutan.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan irreversible. Untuk mendiagnosis suatu kasus PPOK diperlukan pemahaman mengenai criteria diagnosis berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease(GOLD) agar pasien-pasien PPOK mendapatakan terapi yang sesuai. Berikut akan dilaporkan satu kasus PPOK. Kasus ini diangkat karena angka kejadiannya cukup sering dan bisa mengenai siapa saja serta memiliki dampak buruk yang berkepanjangan.Kasus Seorang pasien laki-laki berinisial IWT, usia 79 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani pada tanggal 14 Agustus 2013 dengan keadaan umum lemah dan kesadaran compos mentis (GCS = E4V5M6). Pasien datang dengan keluhan utama sesak. Sesak pada seluruh lapang dada sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Sesak dikatakan terasa seperti dada terikat dengan tali, dan keluhan sesak yang dirasakan sampai mengganggu aktivitas. Sesak dirasakan memberat ketika berdiri, apalagi beraktifitas. Untuk meringankan sesaknya ia segera datang ke puskesmas dekat rumahnya untuk mendapatkan obat lalu beristirahat. Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih sejak lama, dirasakan memberat sejak 2 hari yang lalu. Keluhan sesak sudah pernah dirasakan sebelumnya, dan biasanya berobat ke puskesamas untuk mengatasi keluhan sesaknya. Pasien tidak mengetahui jenis obat yang dikonsumsi, hanya dikatakan setelah mengonsumsi obat tersebut, terasa lebih ringan. Pasien juga mengatakan bahwa dirinya sudah pernah 2 kali dirawat di rumah sakit karena keluhan sesaknya, yang pertama 5 tahun yang lalu dan yang kedua kurang lebih setahun yang lalu. Namun, untuk keluhan sesak yang sekarang, obat dari puskesmas tersebut sudah habis tetapi keluhan sesak masih tetap dirasakani, sehingga memutuskan untuk dibawa ke IGD RSUD Sanjiwani. Selain sesak, sebelumnya pasien juga pernah mengalami batuk berdahak, tapi sudah berobat ke dokter. Pasien menyangkal adanya penyakit asma, jantung , ginjal dan DM. Riwayat penyakit asma, penyakit jantung, ginjal, dan DM di keluarga disangkal oleh pasien. Pasien memiliki hubungan baik dengan lingkungan sekitar, tidak pernah minum alkohol, tetapi pasien masih memiliki riwayat kebiasaan merokok selama 30 tahun dan biasanya menghabiskan satu bungkus rokok per harinya. Namun sejak satun tahun yang lalau pasien sudah berhenti merokok. Pasien bekerja sebagai buruh bangunan sejak 20 tahun namun sudah tidak aktif lagi bekerja sejak 1 tahun karena penyakit yang di derita pasien. Dikatakan selama masih aktif pasien selalu menggunakkan sepeda motor untuk berangkat bekerja. Makan minum normal, biasanya makan bubur dan jarang makan daging. Pasien tidak pernah memiliki gangguan tidur. Tidak ada alergi terhadap obat.Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik terhadap pasien. Pada vital signs didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 kali/menit, napas 40 kali/menit, dan suhu aksila 37,8oC. Kepala dalam keadaan normocephali dengan wajah tampak pucat. Pada mata tidak nampak anemis maupun ikterus, dengan reflek pupil positif isokor.pada inspeksi mulut ditemukkan pursed-lips breathing. JVP +2 cm. Pada inspeksi thoraks di dapatkan bentuk dada barrel chest, pelebaran sela iga, tampak warna kulit kemerahan pada bagian dada sedangkan iktus kordis tidak bisa dilihat,. Saat dipalpasi fremitus vokal melemah, dan iktus kordis dapat diraba di ICS 5 MCL kiri. Batas jantung kiri pada midclavicula line ICS 5, batas kanan pada sternal line ICS 4 kanan, dan batas atas pada sternal line ICS 2 kiri. Pada saat perkusi paru didapatkan suara sonor/sonor pada kedua lapang paru. Sedangkan pada auskultasi, didapatkan suara S1 S2 tunggal regular. Suara napas dengan suara vesikuler dengan wheezing. Tidak ditemukan kelainan pada abdomen, dimana bising usus dalam batas normal dan tidak ada nyeri tekan maupun distensi. Pada ekstrimitas, akral teraba hangat, dan tidak ada edema.Pemeriksaan penunjang laboratorium yang digunakan adalah darah lengkap (DL), peneriksaan gula darah sewaktu, dan BUN-SC. Pada DL ditemukan WBC 10,5 103/L ,RBC 4,39 106/L, Hb 12,8 g/dL, MCV 88,5 fl, MCH 29,2 pg, dan PLT 389 103/L. Sedangkan pada pemeriksaan penunjang radiologi foto torak ditemukan adanya gambaran jantung bentuk, letak dan ukuran masih dalam batas normal dengan CTR 48 % dan dilatasi aortae. Pada pulmo tampak bayangan hiperlusen pada kedua lapang paru dekstra dan sinistra. Diagfragma sinistra tampak mendatar, sudut kostofrenikus dalam batas normal. Skleletal tamapak pelebaran sela iga. Kesan pada garambatan radiologi adalah dilatation aortae dan empisema.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil laboratorium, dan x-ray torak, pasien didiagnosis sebagai Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Eksaserbssi Akut. Pasien kemudian diterapi secara non farmakologis seperti diet rendah karbohidrat dan posisi setengah duduk, serta terapi secara farmakologis dengan nebul ipratropium bromide + salbutamol 2,5 ml tiap 8 jam, O2 2 liter/menit, IVFD NaCl + amp aminofilin 20 tpm, cefotaxime 3xIgr IV, levofloxacin 1x I fls metilprednisolon 2x62,5mg, pantoprazol 1x40 mg IV, vestein syr 3xCI. Selama 8 hari perawatan. Pasien juga mengatakan bahwa keluhan sesak, dan batuk berdahak sudah dirasakan membaik, namun pasien mengatakan tidak bisa BAB sejak 4 hari dan bengkak pada tangan kanan serta kedua kaki pasien, Pada pemeriksaan vital sign, didapatkan tekanan darah terakhir 160/90 mmHg, nadi 84 kali/menit, napas 22 kali/menit, dan suhu aksila 36oC. Namun didapatkan edem pada kedua ekstrimitas bawah dan ekstrimitas atas dekstra. Suara nafas vesikuler, wheezing (-), Terapi yang ditambah adalah IVFD Nacl + 1 amp aminofilin 14 tpm, ciprofloxacin 2x 1 fls, dulcolax 1x II supp, Antasida syr 3xCI, furosemid 1x amp. Terapai yang lain dilanjutkan keculai levoflocaxin di stop. Pembahasan

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang dikenal dengan COPD (Chronic Obstructive Pulmonary Disease) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, Ditandai dengan hambatan aliran udara napas yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik di saluran napas dan paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya. Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Progresif artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari tahun ke tahun.Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut.1 PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversible, PPOK terdiri dari bronchitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik merupakan keadaan pengeluaran mucus secara berlebihan ke batang bronchial secara kronik atau berulang dengan disertai batuk kronik berdahak hampir setiap hari minimal 3 bulan dalam setahun,sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah kelainan paru-paru yang ditandai dengan pembesaran jalan nafas yang bersifat permanen mulai dari terminal bronchial sampai dengan distal (alveoli).2 Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema: Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama, Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada paru bagian bawah, Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleuraObstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.1,2Faktor resiko penyebab terjadinya PPOK adalah kebiasaan merokok, riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja, riwayat infeksi saluran pernafasan bawah yang berulang, genetik, usia, jenis kelamin dan status sosialekonomi. Diagnosis klinis PPOK harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang memiliki dyspnea, batuk kronis atauproduksi sputum, dan riwayat pajanan terhadap faktor resiko untuk penyakit ini. Pemeriksaan fisik pada PPOK dini umumnya tidak ada kelainan: pada inspeksi terdapat pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding), penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai. Selain itu juga terdapat penampilan pink puffer atau blue bloater. Pursed - lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips breathing. Blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.2,3Meskipun pemeriksaan fisik bagian penting pasien, namun pemeriksaan fisik diagnostik jarang ditemukan pada PPOK. tanda-tanda fisik akibat keterbatasan aliran udara biasanya tidak selalu hadir sampai menunjukkan gangguan fungsi paru-paru telah terjadi. sejumlah tanda-tanda fisik mungkin hadir pada PPOK, namun ketidakhadiran mereka tidak mengecualikan diagnosis. Karena untuk menegakkan diagnose PPOK dapat dinilai dari criteria GOLD. Tujuan penilaian PPOK adalah untuk menentukan keparahan penyakit, termasuk keparahan keterbatasan aliran udara, dampak pada pasien status kesehatan, dan risiko peristiwa masa depan (seperti eksaserbasi, penerimaan rumah sakit, atau kematian).1 Ada beberapa kuesioner divalidasi untuk menilai gejala pada pasien dengan PPOK. GOLD merekomendasikan penggunaan Modified British Medical Research Council (MMRC) kuesioner atau COPD Assessment Test (CAT). Yang terkenal kuesioner MMRC hanyamenilai cacat akibat sesak napas, namun PPOK Uji Penilaian memiliki cakupan yang lebih luas dari dampak PPOK pada kehidupan sehari-hari pasien dan kesejahteraan. Selain itu tes spirometri juga berperan penting dalam menentukan criteria pada PPOK. Spirometri dapat mengukur volume udara paksa yang dihembuskan dari titik inspirasi maksimal(Forced Vital Capacity, FVC) dan volume udara yang dihembuskan selama satu detik ( Forced expiratory volume in one second, FEV 1). Ratio antara FEV1/FVC harus dihitung, bila hasilnya 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline. Tujuan pengobatan untuk eksaserbasi PPOK adalah untuk meminimalkan dampak dari memburuknya saat ini dan mencegah perkembangan eksaserbasi berikutnya. Tergantung pada keparahan eksaserbasi dan / atau keparahan penyakit yang mendasari, eksaserbasi dapat dikelola secara rawat jalan atau rawat inap pengaturan. lebih dari 80% eksaserbasi dapat dikelola pada pasien rawat jalan dasar dengan terapi farmakologis termasuk bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotik. short-acting inhaled beta2-agonists dengan atau tanpa short-acting antikolinergik biasanya bronkodilator lebih disukai untuk pengobatan eksaserbasi. Pengunaan menunjukkan bahwa kortikosteroid sistemik pada PPOK eksaserbasi mempersingkat waktu pemulihan, meningkatkan fungsi paru-paru (FEV1), dan mengurangi risiko kambuh awal, kegagalan pengobatan dan lama tinggal di rumah sakit. Sebuah dosis 30-40 mg prednisolon per hari selama 10-14 hari dianjurkan. Selain terapi farmakologis juga pasien dirumah sakit juga diberikan terapi oksigen. Pada kasus PPOK eksaserbasi akut terapi oksigen adalah yang pertama dan utama bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan yang mengancam nyawa dapat dilakukan di ruang gawat darurat, ruang rawat atau di ICU. Bila terapi oksigen tidak adekuat harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan intubasi.1,2,3RingkasanPenegakkan diagnosis PPOK eksaserbasi akut dapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan sesak yang dirakakan memberat saat beraktifitas, batuk kronis, dan riwayat merokok. Pemeriksaan fisik ditemukan pink-puffer, barrel chest, sela iga melebar, vocal frimitus melemah, suara nafas vesikuler dan wheezing. Pemeriksaan JVP tidak meningkat dan terdapat odem yang minimal di kedua ekstrimitas bawah dan ekstrimitas atas bagian kanan. didukung pemeriksaan penunjang foto thoraks terdapat dengan kesan emfisema dimana pada ditemukkan hiperlusen pada kedua lapang paru, diagfragma mendatar bagian kiri dan sela iga melebar. Selama perawatan di RS selama 8 hari pasien sudah menunjukkan perbaikkan dari sebelemunya, hal ini dilihat dari keluhan batuk dan sesaknya sudah mualai berkurang. Untuk menentukkan criteria diagnosis berdasarkan GOLD, masih belum bisa dilakukan pada pasien karena tidak dilakukkan pemeriksaan spirometri. Sedangkan untuk derajat eksaserbasi pada pasien ini termasuk eksaserbasi tipe II (eksaserbasi sedang). Pengobatan yang diberikan pada pasien juga sudah sesuai dengan penatalaksanaan eksaserbasi yang dijelaskan pada pembahasan. Daftar Pustaka

1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2013. Global Strategy for Diagnosis, Management and Pre vention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Available at http://www.goldcopd.org/uploads/users/files/GOLD_Report_2013_Feb20.pdf. USA. Access on 19 August 2013. 2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruksi Kronik: Pedoman diagnosis dan Penatalaksaan di Indonesia. Available at http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf. Indonesia. Access on 19 August 2013.3. Riyanto BS, Hisyam B. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Jilid III. Edisi V. Halaman 2225-2229. Interna Publishing: Jakarta

4. Glaxo, Smith, Kline. 2011. COPD Assessment Test and CAT . Available at http://www.hampshirelpc.org.uk/webfm_send/3109. USA. Access on 20 August 2013. 1