lapkas anestesi
DESCRIPTION
anestesiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Ketuban pecah dini (KPD) atau ketuban pecah dini prematur (KPDP) terjadi pada 3% kehamilan di seluruh dunia dan merupakan penyebab 25-30% dari kelahiran prematur. Pada penelitian lain disebutkan, sebagian besar kejadian ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm lebih dari 37 minggu sedangkan kejadian pada usia kehamilan kurang dari 36 minggu tidak terlalu banyak dilaporkan. Oleh karena KPD dan KPDP berhubungan langsung dengan masa persalinan, hal tersebut juga berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas perinatal. Hubungan tersebut dilatar belakangi komplikasi yang bisa terjadi akibat pecahnya ketuban sebelum persalinan atau masa inpartu yang bisa dialami oleh sang ibu atau bayinya, seperti, chorioamnionitis, infeksi dan sepsis neonatal, kompresi tali pusat yang menyebabkan gawat janin, dan prolapse tali pusat seiring dengan pecahnya ketuban dan lepasnya plasenta.
Pada kehamilan yang cukup bulan salah satu tatalaksana yang harus segera dilakukan pada pasien dengan KPD selain pemberian antibiotic untuk mencegah infeksi, pemantauan keadaan janin adalah inisiasi kelahiran untuk mencegah komplikasi yang bisa terjadi. Salah satu pertolongan persalinan yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan sectio caesaria atau bedah saesar, yaitu proses persalinan yang dilakukan dengan membuka dinding perut dan dinding uterus. Pada saat ini, bedah saesar lebih aman dibandingkan masa sebelumnya karena tersedianya antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih baik, serta teknik anestesi yang lebih sempurna.
Seperti jenis pembedahan yang lain, tindakan bedah Caesarian membutuhkan prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika pembedahan ataupun proses lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Terdapat beberapa jenis atau teknik anestesi yaitu, anestesi Umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Teknik anestesia yang digunakan pada pembedahan jenis ini adalah anestesi regional (Regional Anesthesia). Teknik anestesi biasa digunakan pada pembedahan Obstetri dan Ginekologi, pembedahan urologi, bedah ekstremitas bawah ataupun pembedahan yang dilakukan pada region dibawah vertebra lumbal. Alasan lain dilakukannya anestesi regional pada Sectio Caesaria adalah karena daya tembus obat-obatan anestesi umum pada sawar plasenta yang juga bisa mempengaruhi keadaan janin yang akan dilahirkan, sehingga digunakanlah anestesi regional pada pembedahan ini. Teknik anestesi ini hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia tanpa meyebabkan kehilangan kesadaran sehingga setelah pembedahan dilakukan waktu penyembuhan yang dibutuhkan tidak panjang.
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan diatas, kami penulis merasa tatalaksana anestesi pada section caesaria penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Napiah
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sumur Jaya I RT 03/RW06 kelurahan tamansari, kecamatan pulomerah
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status : Kawin
Tanggal Masuk : 21 Juli 2015
B. ANAMNESIS
Pasien datang ke instalasi gawat darurat dengan keluhan keluar air-air dari pukul 05.00 dan disertai keluar lendir. Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 21 Juli 2015, di instalasi gawat darurat RSUD Cilegon. Pasien merupakan pasien bagian kandungan dengan diagnosis G2P1A0 kehamilan 38 minggu inpartu kala I dengan riwayat SC 7 tahun yang lalu dan ketuban pecah dini 9 jam yang lalu.
- Keluhan utamaOs datang dengan keluhan keluar air-air sejak pukul 05.00 dan disertai keluar lendir dan os mengeluhkan mules
- Riwayat Penyakit SekarangOs mengeluhkan perut mengalami nyeri hilang timbul.
- Riwayat Penyakit DahuluOs menyakal memiliki riwayat penyakit Asma, Diabetes Melitus, Hipertensi, dan Alergi
- Riwayat tindakan Operatif Os mengaku anak pertama dilakukan sectio caesaria pada 7 tahun yang lalu.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pemeriksaan Fisik pada tanggal 21 juli 2015-07-23
2
1. Keadaan Umuma. Kesan Sakit : Tampak sakit Sedangb. Kesadaran : Compos Mentisc. Berat Badan: 65 Kg2. Tanda-Tanda Vitala. Tekanan Darah : 130/90 mmHgb. Nadi : 80 X/mntc. Respirasi : 24 x/mntd. Suhu : 35,8 °C3. Status GeneralisA. Kepala
i. Rambut : rambut berwarna hitam, distribusi merataii. Kepala : normocephali, tidak ada deformitasiii. Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterikiv. Telinga : tidak hiperemis, tidak oedem, tidka ada nyeri tekan atau nyeri
tarik, tidak ada sekret yang keluar dari telingav. hidung : tampak simetris, tidak tampak deformitasvi. mulut : bibir tidak sianosis dan tidak kering, tidak ada trismusvii. gigi : tidak ada karies, tidak menggunakan gigi palsu
B. LeherTidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening, tidak teraba ada pembesaran massa,
trakea ditengahC. Thoraks
i. Pulmo1. Inspeksi : bentuk dada simetris, dan gerak hemitoraks kanan kiri simetris dalam
kondisi dinamis dan statis.2. palpasi : Vocal fremitus teraba simetris di kedua hemithoraks, pergerakan dinding
dada simetris saat inspirasi dan ekspirasi3. perkusi : sonor diseluruh lapag paru4. Auskultasi : suara napas vesikuler, tidak ada ronkhi, tidak ada wheezing.
ii. cor1. inspeksi : ictus cordis tidak terlihat2. palpasi : teraba ictus cordis pada sela iga ke 5 pada linea midclavicularis sinistra3. perkusi : batas atas kiri sela iga ke 2 line parasternalis sinistra, batas atas kanan
jantung sela iga ke 2 pada linea sternalis dextra, batas kiri jantung sela iga ke 5 linea midclavicularis sinisra.
4. auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, tidak terdengan bunyi jantung tambahan, gallop (-), murmur(-)
3
D. Abdomen1. Inspeksi : perut membesar, tampak kulit sawo matang, tampak striae, ditemukan
luka operasi2. auskultasi : sulit dinilai3. perkusi : sulit dinilai4.palpasi : teraba his pada pasien
E. ekstremitasI. superior : sianosis(-), edem (-), ikterik (-), tidak ada deformitas, akral teraba hangatii. inferior : sianosis (-), edem (-), ikterik(-), tidak ada deformitas, akral teraba hangat
F. PunggungTidak ada kelainan bentuk vertebrae
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Lab darah
Jenis Pemeriksaan Nilai Pasien Nilai normal
Keterangan
Gula darah sewaktu 70 <200 mg/dl NormalHemoglobin 9.9 g/dl 12-16 g/dl MenurunLeukosit 15.390/uL 5000-
10.000Meningkat
Hematokrit 30,6% 37-43 % HemodilusiTrombosit 225.000/uL 150-450rb
uLNormal
Masa pembekuan 11 menit 5-15 menit NormalGolongan darah/rhesus A rh+HbsAg NegatifAnti HIV Non reaktif
E. KESAN ANESTESI
Pasien seorang perempuan berusia 25 tahun dengan diagnosis kerja G2P1A0 kehamilan 38 minggu inpartu kala I dengan riwayat SC 7 tahun yang lalu dan ketuban pecah dini 9 jam yang lalu. Dengan ASA I pasien penyakit bedah tanpa disertai dengan penyakit sistemik.
F. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis preoperatif: diagnosis G2P1A0 kehamilan 38 minggu inpartu kala I dengan riwayat SC 7 tahun yang lalu dan ketuban pecah dini 9 jam yang lalu. Diagnosis anastesi ASA I E. Jenis operasi Sectio caesarian. Jenis anaestesia regional anestesia Sub Arachnoid Block Anesthesia.
4
BAB III
LAPORAN ANESTESI
A. Preoperatif
1. Informed consent mengenai rencana tindakan section caesaria dengan regional anesthesia2. Melakukan Rontgen 3. Pemasangan infus Ringer Laktat 500cc, mengalir lancar4. Skin test Cefotaxime dan injeksi Cefotaxime 1gr5. Pengambilan sampel darah6. Konsultasi dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi7. Keadaan umum tampak lemah8. Kesadaran Compos Mentis9. Tanda Vital
a. TD : 130/90b. Nadi : 80x/menitc. RR : 24x/menitd. Suhu : 36,3˚C
B. Premedikasi Anestesi
Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan anti-emetik berupa Ondansetron 4mg secara bolus IV.
C. Tindakan Anestesi
Pasien diposisikan dalam posisi duduk, kepala menunduk, setelah itu ditetntukan lokasi penyuntikan obat anestesi di L3-L4 yaitu di atas titil hasil perpotongan antara garing menghubungkan crista iliaca dextra dan sinistra dengan garis vertical tulang vertebra yang berpotongan di vertebra lumbal 4. Setelah itu, dilakukan tindakan asepsis-antisepsis dengan kasa steril dan povidone iodin pada lokasi penyuntikan dan sekitarnya. Kemudian, dilakukan penyuntikan obat anestesi pada daerah yang telah ditentukan, penyuntikan dilakukan menggunakan jarum spinal no. 27 GA, setelah mencapai ruang subarachnoid, jarum spinal dilepaskan sehingga hanya tersisa kanulnya, lalu dipastikan sampai LCS keluar melalui kanul, baru kemudian dilakukan penyuntikan obat anestesi regional yaitu, Bupivacaine 20 mg, dengan terlebih dahulu melakukan aspirasi, melihan penambahan volume cairan didalam spuit yang menandakan jarum masih berada di ruang subarachnoid yang berisi LCS. Penyuntikan dilakukan sampai setengah dosis obat, lalu dilakukan aspirasi kembali untuk memastikan jarum tidak bergeser, baru kemudian dilakukan penyuntikan obat yang tersisa di spuit.
5
Setelah semua obat sudah disuntikan, luka bekas suntikan ditutup dengan kasa steril dan micropore. Kemudian pasien dibaringkan ke posisi operasi, sambil dilakukan pemasangan duk steril sehingga hanya daerah operasi yang terlihat. Selain itu juga dilakukan tes apakah obat anestesi sudah mulai bekerja dengan menanyakan apakan kedua tungkai bawah pasien, mengalami kesemutan atau mulai sulit dan tidak bisa digerakan, ditanyakan juga adakah keluhan mual, nyeri kepala dan sesak. Setelah itu, dilakukan pemasangan pemasangan selang oksigen dengan volume 2 liter per menit.
D. Pemantauan selama tindakan anestesi
Pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi dilakukan mulai dari masuknya pasien ke kamar operasi sampai tindakan operasi selesai. Pemantauan dilakukan terhadap fungsi kardiovaskuler, fungsi respirasi dan pemberian carain. Pemantauan fungsi kardiovaskuler dilakukan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi, pemantuan fungsi respirasi dilakukan terhadap inspeksi pernapasan spontan dan saturasi oksigen, kedua pemantuan itu dilakukan setiap 5 menit selama tindakan berlangsung.
Lampiran Monitoring tindakan operasi
Jam Tindakan Tekanan Darah Nadi Saturasi05.10
Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan di meja operasi, dilakukan pemasangan manset di lengan kiri atas, dan diberikan ondansetron 4mg secara bolus pada iv line
137/79 80 98
05.15
Dilakukan spinal anestesi pada L3-L4.Dilakukan pemasangan selang oksigen dan dialirkan oksigen dengan volume 2 liter/menit
126/60 86 99
05.20
Operasi Dimulai 111/59 89 99
05.25
110/50 92 99
05.30
110/55 87 99
05.35
108/56 91 99
05.40
Diberikan Oxytocin 10 IU DripDiberikan Metyl Ergometrin 0,2 mg Bolus
112/60 93 99
05.45
119/62 91 99
05.50
118/62 92 98
05.5 Diberikan Tramadol 100mg 120/60 93 99
6
506.00
Diberikan Pronalges supDiberikan Cytrostol 3 tabOperasi selesai
122/62 90 99
E. Laporan Anestesi
1. Diagnosis Pra BedahG2P1A0 masa kehamilan 38 minggu dengan KPD 9 jam
2. Diagnosis Pasca BedahPost operasi SC et causa KPD
3. Penatalaksanaan PreoperasiInfus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesia. Jenis pembedahan : Sectio Caesariab. Jenis anestesi : Anestesi Regionalc. Teknik anestesi : Sub Arachnoid Block, L3-L4, LCS +, jarum spinal no 27
GAd. Mulai Anestesi : pukul 05.15 WIBe. Mulai Operasi : pukul 05.20f. Premedikasi : Ondansetron 4 mgg. Medikasi :Bupivacaine 20 mg, Oxytocin 10 IU drip, Metyl
Ergometrin 0,2 mg bolush. Medikasi Tambahan : Tramadol 100 mg drip, Pronalges Supp 100mg, Cytrostrol
3 tabi. Respirasi : pernapasan spontan dan terpasang O2 2lpmj. Cairan Durante operasi: RL 500cck. Tensi dan HR : terlampir l. Selesai Operasi : pukul 06.00 WIB
F. Post Operatif
1. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan pada pukul .Keluhan: mual (-), muntah (-), sesak (-), pusing (-), nyeri (-)
2. Keadaan umum : tampak lemah3. Kesadaran : compos mentis4. Tanda vital :
1. Tensi : 122/62
7
2. Nadi : 90x/menit3. RR : 20x/menit4. Saturasi oksigen : 99
5. Pemeriksaan fisik :1. Warna kulit kemerahan, jalan anapas paten, napas spontan, akral dingi.2. Penilaian respon motoric pasca anestesi dengan menggunakan skor Bromage
No Kriteria Skor1 Dapat mengangkat tungkai bawah 02 Tidak dapat menekukan lutut tetapi dapat
mengangkat kaki1
3 Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi dapat menekuk lutut
2
4 Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali 3Ket:Pasien dapat dipindahkan ke bangsal, jika skor kurang dari 2
Pasien tidak dapat mengangkat kaki sama sekali dan tidak memenuhi skor Bromage untuk dipulangkan ke bangsal, tetapi karena pasien sudah sadar penuh dan tanda vital pasien sudah baik, sehingga pasien dipindahkan ke bangsal.
8
BAB IV
ANALISIS KASUS
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, maka pasien dapat diklasifikasikan kedalam ASA I E, yaitu pasien bedah tanpa ada penyakit sistemik yang digolongkan kedalam keadaan darurat. Persiapan yang dilakukan sebelum operasi memastikan tanda vital pasien dalam keadaan baik, memasang akses intravena, memasang infus ringer laktat 500 cc dengan pemberian 20 tetes per menit. Keadaan pasien sebelum operasi pasien dalam keadaan sakit sedang dan kesadaran compos mentis.
Sebelum operasi dimulai, pasien dikondisikan untuk merasa nyaman, tenang, dan kooperatif untuk menjalankan operasi. Cairan infus dipastikan berjalan lancar agar memudahkan pemberian obat-obatan melalui intravena dan agar asupan cairan tercukupi. Pasien dipasangkan tensimeter pada lengan atas dan pulse oxymetri pada ibu jari yang terhubung dengan monitor sehingga tekanan darah, nadi, saturasi oksigen dapat dipantau selama operasi berjalan melalui monitor. Hal ini dilakukan karena pengaruh dari obat-obatan anestesi akan menurunkan tekanan darah. Lalu dimasukan ondansentron 4mg sebagai premedikasi secara IV untuk mencegah pasien mual dan muntah.
Setelah semua persiapan dan premedikasi sudah dilakukan, dilakukan tindakan anestesi. Jenis anestesia yang dilakukan pada pasien ini adalah regional anestesi dengan teknik spinal anestesi subarachnoid block dengan posisi duduk. Anestesi dilakukan setinggi antara L3-L4. Obat yang digunakan pada anestesi pasien ini adalah bupivacaine dengan dosis 20mg (4ml). Pasien direncanakan dilakukan operasi sectio caesarian.
Selama anestesi berlangsung pasien diberikan O2 sebanyak 2 L/menit untuk memenuhi oksigenasi dari pasien.
Pada pasien ini dilakukan teknik anestesi spinal subarakhnoid block karena pembedahan dilakukan pada daerah tubuh yang dipersarafi cabang T4 kebawah, sesuai dari indikasi teknik anestesi spinal ini. Karena saat pasien berbaring obat anestesi akan terdistribusi. Pada pasien ini
9
juga tidak terdapat kontra indikasi absolut maupun relatif untuk dilakukan teknik anestesi spinal subarakhnoid block.
Terapi cairan operasi pada pasien ini dipilih menggunakan ringer laktat. Ringer laktat digunakan karena cairan yang paling cocok kadar elektrolitnya seperti di dalam tubuh. Jumlah cairan yang di hitung berdasarkan
Maintenance (4x10)+(2x10)+[1(65-20)]= 105
Puasa (waktu puasa (3) x maintenance (105))= 315
Jenis operasi besar (8x65)= 520
Jadi jumlah cairan yang dibutuhkan pada pasien ini adalah
Maintenance+jenis operasi+1/2puasa= 105+520+108= 733 ml
Setelah janin keluar dari pembedahan dimasukan oxytocin 10 IU dan methyl ergometrin 0,2mg untuk merangsang uterus agar uterus berkontraksi sehingga perdarahan dapat dikendalikan. Pemberian oxytocin dan methyl ergometrin dilakukan secara intravena sehingga efek kontraksi uterus akan segera terjadi. Oxytocin akan mengikat reseptor di miometrium uterus sehingga mengakibatkan uterus berkontraksi sehingga menghentikan perdarahan pasca partum. Sedangkan mehyl ergometrin akan merangsang otot-otot polos di uterus sehingga meningkatkan tonus, amplitudo dari kontraksi ritmik sehingga uterus akan berkontraksi dan berrelaksasi digunakan untuk mengatasi perdarahan pasca partum.
Setelah operasi selesai, pasien diberikan tramadol 100mg dalam ringer laktat, ponalges 100g (ketoprofen) yang merupakan analgetika golongan NSAID diberikan secara suppositoria untuk mengatasi rasa nyeri pasca operasi.
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke recovery room untuk dilakukan pemantauan seperti tanda vital, bromage score sebelum dibawa kembali keruangan.
10
BAB V
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anestesi Spinal
Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarackhnoid.
Anestesi spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga sebagai analgesi/blok spinal intradural
atau blok intratekal.2
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus kulis
subkutis Lig. Supraspinosum Lig. Interspinosum Lig. Flavum ruang epidural
durameter ruang subarachnoid.
11
Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal,
dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir
setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu, anestesi/analgesi spinal dilakukan
ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.2
Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan
anesthesia umum ringan
Kontra indikasi absolut:
1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Stenosis mitral
7. Stenosis aorta3
8. Fasilitas resusitasi minim
9. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.
Kontra indikasi relatif:
1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan psikis
4. Bedah lama
5. Penyakit jantung
6. Hipovolemia ringan
12
7. Nyeri punggung kronik
Persiapan analgesia spinal
Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada anastesia umum.
Daerah sekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada
kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk sekali sehingga tak teraba tonjolan
prosesus spinosus. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
1. Informed consent
Kita tidak boleh memaksa pasien untuk menyetujui anesthesia spinal
2. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
Hb, Ht, PT (Protrombin Time) , PPT (Partial Tromboplastin Time)
Peralatan analgesia spinal
1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau jarum
spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)
Anastetik lokal untuk analgesia spinal
13
Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-1.008. Anastetik
lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik. Anastetik lokal dengan berat jenis
lebih besar dari css disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css
disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anastetik local dengan dextrose. Untuk jenis hipobarik biasanya digunakan
tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine(xylobain,lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis 20-100mg
(2-5ml)
2. Lidokaine(xylobain,lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033, sifat
hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik, dosis 5-20mg
(1-4ml)
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat hiperbarik,
dosis 5-15mg (1-3ml)
Teknik analgesia spinal
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan
hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit
pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri bantal
kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk
maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
14
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua garis Krista iliaka, misal L2-L3, L3-
L4, L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan,misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3ml
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G, 23G, 25G dapat
langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan
penuntun jarum yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira
2cm agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock) irisan jarum
(bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah
keatas atau kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat timbulnya
nyeri kepala pasca spinal. Setelah resistensi menghilang, mandarin jarum spinal dicabut dan
keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan
(0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak keluar, putar
arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan
kateter.
15
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah hemoroid (wasir)
dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum flavum dewasa ± 6cm.
Nilai keberhasilan anestesia spinal subaracknoid
Lima menit setelah dilakukan anestesi spinal, dapat dilakukan uji keberhasilan blok
sensoris dan motoris karena pada saat ini blok sudah tercapai. Tes blokade motorik dapat
dilakukan dengan meminta pasien untuk mengangkat kakinya dalam keadaan lurus atau
bromage score. Ketidakmampuan mengangkat kakinya merupakan tanda keberhasilan
blokade dermatom lumbalis. Untuk uji sensorik dapat digunakan jarum tumpul.
Skala bromage untuk motorik untuk blok motorik
Melipat Lutut Melipat jari
Blok tak ada ++ ++
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +
Blok lengkap - -
Jika setelah lima menit tidak ada tanda-tanda yang secara objektif menunjukan
keberhasilanblokade, maka kita harus mengulangi melakukan anastesi spinal, atau
tekhnik anestesia diganti menjadi anestesia umum. Segera pantau tekanan darah dan
denyut nadi.
Faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anastesi:4
Faktor utama
1. Berat jenis atau barisitas dan posisi pasien.
Penyebaran anestetik local sangat dipengaruhi oleh berat jenis serta posisi pasien. Berat
jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37oC adalah 1.003-1.008. Larutan hipobarik
ialah larutan yang lebih ringan dari cairan serbrospinal bersifat melawan gravitasi, larutan
16
isobarik ialah larutan yang berat jenisnya sama dengan cairan serbrospinal bersifat
menetap pada tingkat daerah penyuntikkan, larutan hiperbarik ialah larutan yang lebih
berat daripada cairan otak bersifat mengikuti gravitasi. Larutan hiperbarik biasanya
menghasilkan tingkat blok yang lebih tinggi.
Ada tiga posisi utama yang dapat digunakan pada anesthesia spinal maupun epidural
a. Posisi lateral decubitus
Posisi pasien tidur ke samping membelakangi ahli anestesiologi. Pinggul dan lutut
difleksikan secara maksimal, dada serta leher difleksikan maksimal ke arah lutut
Indikasi : pasien tidak bisa duduk (fraktur pinggul, fraktur kaki)
Untuk larutan hiperbarik pasien ditidurkan ke arah yang akan dioperasi
sebaliknya untuk larutan hipobarik
b. Posisi duduk
Anatomi tulang belakang lebih mudah dipalpasi pada posisi ini
Indikasi : pasien obesitas, operasi daerah lumbar dan sacral
c. Posisi tengkurap
Indikasi : operasi daerah anorektal
Larutan hipobarik sering digunakan pada posisi ini karena tidak perlu mengubah
posisi pasien. Ini akan menghasilkan anesthesia daerah sakral
Pada umumnya semakin jauh penyebaran lokal anestetik maka semakin singkat durasi
blok sensorik obat tersebut karena menurunnya konsentrasi obat di daerah injeksi
2. Dosis dan volume anestetik lokal
Semakin besar jumlah dan kadar konsentrasi dari anestetik lokal, maka akan semakin
tinggi juga area blok anestesia
Faktor tambahan
1. Umur
Pada usia tua, terjadi penerunan progresif jumlah cairan cerebrospinal serta ruang
arachnoid dan epidural menjadi lebih kecil sehingga penyebaran anesthesia local lebih ke
cephalad. Maka hendaknya dosis pada orang tua diturunkan.
2. Tinggi badan
17
Semakin tinggi badan seseorang, semakin panjang medulla spinalisnya dan volume
cairan cerebrospinal di bawah L2 makin banyak sehingga dosis pada orang yang tinggi
lebih besar disbanding orang yang bertubuh pendek.
3. Berat badan
Pada orang yang kegemukan produksi terjadi penurunan volume cairan cerebrospinal
akibat penumpukan lemak pada rongga epidural
4. Tekanan intraabdomen
Tekanan intraabdomen yang meningkat menyebabkan tekanan vena dan isi darah
vertebral meningkat sehingga menyebabkan berkurangnya isi cairan serebrospinal.
Akibatnya hasil anastetik lokal yang dicapai lebih tinggi seperti pada ibu hamil, obesitas,
dan tumor abdomen.
5. Anatomi kolumna vertebralis
Ini akan tampak pada cairan yang bersifat hiperbarik atau hipobarik pada posisi supine.
Saat pasien dalam posisi supine setelah penyuntikkan larutan hiperbarik, anestetik lokal
akan menyebar ke area T4-T8 dan puncaknya akan mengikuti lekukan normal dari
vertebra yaitu di T4.
6. Tempat penyuntikkan
Tusukan pada lumbal 2-3 atau lumbal 3-4 memudahkan penyebaran obat ke arah kranial,
sedangkan tusukan pada lumbal 4-5 karena bentuk vertebral memudahkan obat
berkumpul di daerah sakral.
7. Kecepatan suntikan / barbotrase
Kecepatan penyuntikan yang lambat menyebabkan difusi lambat dan tingkat analgesia
yang dicapai rendah
8. Manuver valsava
Mengejan akan meningkatkan tekanan cairan cerebrospinal, sehingga analgesia yang
dicapai lebih tinggi, terutama bila dilakukan segera setelah injeksi.
Awitan dan Durasi
18
Sebagian pasien merasakan awitan blok spinal dalam beberapa menit setelah injeksi obat.
Bupivacain membutuhkan lebih dari 20 menit untuk mencapai tinggi blok puncak. Blokade
spinal tidak berhenti serta merta setelah periode waktu tertentu. Blokade ini akan hilang secara
bertahap mulai dari dermatom paling sefalad sampai ke paling kaudal. Penentuan durasi utama
ialah anastesi lokal yang digunakan seperti bupivakain adalah agen durasi yang panjang.
Penentuan selanjutnya ialah dosis obat dan tinggi blokade.
Dosis anastesi lokal bila ditingkatkan jumlahnya akan meningkatkan durasi blok spinal.
Apabila dosis obat dibuat konstan, blok yang lebih tinggi akan beregresi lebih cepat
dibandingkan blok yang lebih rendah. Larutan anastetik lokal isobarik akan menghasilkan blok
lebih panjang daripada larutan hiperbarik dengan dosis yang sama.
Lama tindakan anestesi regional menggunakan bupivacaine adalah 6-8 jam, tergantung
dari volume bupivacaine yang diberikan.
Gambar 4. Perbedaan anestesi spinal dan epidural
Mekanisme Kerja Anastetika
Mekanisme aksi obat anestesi lokal adalah mencegah transmisi impuls saraf atau blokade
konduksi dengan menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada
membran saraf. Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan
permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga hasilnya tak terjadi konduksi
saraf. Obat anestesi lokal setelah masuk cairan serebrospinal, berdifusi menyebrang selubung
saraf dan membran, tetapi hanya yang dalam bentuk basa yang bisa menembus membran lipid
ini. Ketika mencapai akson terjadi ionisasi dan dalam bentuk kation yang bermuatan bisa
mencapai reseptor pada saluran natrium. Akibatnya terjadi blokade saluran natrium, hambatan
19
konduksi natrium, penurunan kecepatan dan derajat fase depolarisasi aksi potensial, dan terjadi
blokade saraf
Obat anestesi lokal juga memblok kanal kalsium dan potasium dan reseptor N-methyl-D-
aspartat (NMDA) dengan derajat berbeda-beda. Tidak semua serabut saraf dipengaruhi sama
oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade ditentukan dari diameter aksonal dan
derajat mielinisasi serta berbagai faktor anatomi dan fisiologi lain Pada umumnya, serabut saraf
kecil dan bermielin lebih mudah diblok dibandingkan serabut saraf besar tak bermielin.
Anestetiklokal lebih mudah menyekat serabut yang berukuran kecil karena jarak propragasi pasif
suatu impuls listrik melalui serabut tadi lebih pendek. Semakin besar dan tebal suatu serabut
saraf (misalnya, neuron motorik), nodusnya makin terpisah jauh satu sama lain sehingga sulit
diblokade. Diameter yang kecil dan sedikit atau tidak memiliki mielin meningkatkan sensitivitas
terhadap anestesi lokal dan akan lebih mudah untuk diblok. Sedangkan diameter yang besar dan
mielin yang tebal seperti pada saraf motorik akan lebih sulit untuk diblok. Saraf simpatis dan
sensoris mempunyai lebih sedikit mielin dibandingkan saraf motorik. Dengan demikian,
sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal mulai dari autonom, sensorik, dan motorik
Secara umum tingginya blokade simpatis kira-kira 2-3 segmen lebih tinggi daripada
tingginya blokade sensorik dan tingginya blokade sensorik 2-3 segmen lebih tinggi daripada
blokade motorik. Hal ini dimungkinkan karena konsentrasi obat anestesi lokal di dalam cairan
serebrospinal semakin kearah cephalad menjauh tempat injeksi akan berkurang, disamping
serabut saraf bermielin memerlukan paling tidak tiga nodus ranvier yang berurutan harus diblok
secara komplit untuk menghambat konduksi. Maka dari itu, urutan hilangnya fungsi sel saraf
pada anestesi lokal sebagai berikut: (1) simpatis (vasomotor) berupa dilatasi pembuluh darah
arteri dan vena, (2) sensoris suhu dan nyeri, (3) sensoris raba dan tekanan, (4) proprioseptif
berupa kesadaran akan posisi tubuh, (5) fungsi motorik. Bila anestetik lokal ini telah habis
bekerja, maka fungsi-fungsi ini akan kembali dalam urutan terbalik yakni fungsi motorik akan
kembali dulu, kemudian sensasi raba dan nyeri, serta terakhir respon simpatis akan normal
kembali seperti tekanan darah
Untuk kepentingan klinis, anestesi lokal dibedakan berdasarkan potensi dan lama kerja
menjadi 3 grup.Grup I meliputi prokain, kloroprokain yang memiliki potensi dan lama kerja
yang singkat.Grup II meliputi lidokain, mepivakain dan prilokain yang memiliki potensi dan
20
lama kerja sedang.Grup III meliputi tetrakain, bupivakain, etidokain yang memiliki potensi kuat
dan lama kerja yang panjang.
Potensi dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten, karena itu
merupakan kemampuan anestesi lokal untuk menembus membran yang hidrofobik. Secara
umum, potensi dan kelarutan lemak meningkat dengan meningkatnya jumlah total atom karbon
pada molekul.
Efek Fisiologis Anastesia Regional
Penghentian transmisi otonom eferen pada serat sarap spinal menghasilkan blockade simpatis
dan beberapa serat parasimpatis. Sistem saraf simpatis keluar dari batang otak setinggi daerah
thorakolumbalis, sedangkan parasimpatis keluar setinggi kraniosakral. Serat saraf preganglion
simpatis keluar melalui saraf spinal dari level T1 sampai L2. Sebaliknya serat preganglion
simpatis keluar dari saraf kranialis dan sakralis. Anastesia neuroaksial tidak dapat memblok saraf
vagus (parasimpatis), tetapi hanya memblok simpatis dan menimbulkan respon fisiologis yang
bervariasi. Penurunan aktivitas simpatis akan menyebabkan dominannya aktivitas parasimpatis.
Efek pada Sistem Kardiovaskular
Biasanya akan terjadi penurunan tekanan darah akibat penurunan frekuensi laju jantung
dan kontraktilitas miokard yang terjadi akibat blok simpatis. Selain itu saraf simpatis
yang keluar dari T5-L1 juga mempersarafi tonus vasomotor otot polos arteri dan vena.
Blokade berkas saraf ini menyebabkan vasodilatasi pembuluh-pembuluh darah vena,
penurunan pengisian darah dan penurunan venous return ke jantung. Di perifer juga akan
terjadi penurunan resistensi vascular sistemik (SVR) akibat vasodilatasi arterial.
Efek pada Sistem Respirasi
Blok neuroaksial mempengaruhi fungsi respirasi secara minimal. Meskipun pada level
blok yang tinggi volume tidal tidak berubah. Penurunan kapasitas vital hanya akan terjadi
sedikit akibat lumpuhnya otot-otot abdomen kekuatan eksipirasi berkurang.
Efek pada Gastrointestinal
Sistem saraf simpatis yang keluar dari T5-L1 mengakibatkan penurunan peristaltik,
mengatur tonus sfinkter dan menyeimbangkan aktivitas vagal.
Efek pada Traktus Urinarius
21
Aliran darah ginjal dipertahankan lewat mekanisme autoregulasi. Fungsi renal
dipengaruhi minimal akibat blok neuroaksial. Anastesia regional pada level lumbal atau
sakral akan memblok saraf simpatis dan parasimpatis yang mengatur fungsi ginjal.
Kehilangan kontrol otonom dari kandung kemih akan menyebabkan retensi urin sampai
blokadea hilang.
Efek pada Metabolik dan Sistem Endokrin
Trauma pembedahan menimbulkan respons neuroendokrin, diantaranya yaitu,
peningkatan hormon adenokortikotropin, kortisol, epinefrin, norepinefrin dan vasopressin
lainnya serta aktivasi sisten rennin-angiotensin-aldosteron. Manifestasi klinis intraoperatif
dan postoperatif termasuk hipertensi, takikardia, hiperglikemia, katabolisme protein,
penekanan respons imun dan perubahan fungsi renal. Blok neuroaksial mendepresi
sebagian (selama pembedahan mayor) respon stress ini.
Komplikasi yang berhubungan dengan penusukan jarum
1. Nyeri punggung
Sebagaimana jarum melewati kulit, subkutan, otot, dan ligamen menyebabkan
berbagai tingkat trauma jaringan. Memar dan respon inflamasi lokal dengan atau tanpa
kejang otot refleks menyebabkan sakit punggung pasca operasi.
2. Dural puncture
Post Dural Puncture Headache (PDPH) yaitu nyeri kepala hebat akibat tertusuknya
duramater. Biasanya, PDPH bilateral, frontal atau retroorbital, atau oksipital dan meluas
ke leher. Mungkin berdenyut atau konstan dan bisa terjadi fotofobia atau mual. Ciri dari
PDPH adalah hubungannya dengan posisi tubuh. Rasa sakit ini bertambah dengan duduk
atau berdiri dan berkurang dengan berbaring datar. Terjadinya sakit kepala biasanya 12-
72 jam setelah operasi.
3. Cedera saraf
4. Perdarahan
5. Kesalahan tempat
6. Infeksi
22
Komplikasi yang berhubungan dengan toksisitas obat spinal
Cauda equine syndrome terjadi karena tekanan, iskemia atau kontak dengan bahan kimia
toksik, maka serabut otonom kauda equine sering menjadi bagian pertama yang terserang
akibat anestesi spinal. Kerusakan pada daerah rami saraf S2-4 akan menimbulkan lesi neuron
motorik inferior berupa atoni kandung kemih dan hilangnya inisiasi volunter miksi. Sindrom
ini dapat berkembang berupa gejala kelemahan motorik atau paralisa otot-otot di bawah
lutut, otot-otot hamstring, gluteal disertai menghilangnya reflek plantar dan ankle jerk. Jika
L5 dan S1 terserang menyebabkan hilangnya sensoris pada rami sacral bawah dan
menghasilkan pola anestesi sadle yang khas pada perineum, pantat dan paha yang menyebar
hingga kaki dan betis.
A. TATA LAKSANA SUMBATAN JALAN NAPAS
Pada kasus kegawatdaruratan, mencegah dan mengatasi hipoksia dengan cara
mempertahankan patensi jalan napas serta memastikan ventilasi adekuat merupakan prioritas
pertama. Oleh sebab itu, pengenalan dini dan tatalaksana yang tepat terhadap gangguan jalan
napas dan ventilasi merupakan hal yang sangat penting.
1. Triple Airway Manuver
Salah satu intervensi awal yang dapat dilakukan untuk menjaga pantensi jalan napas
adalah dengan melakukan triple airway manuver. Triple airway manuver hanya
dilakukan pada pasien tanpa kecurigaan cedera pada tulang servikal. Komponennya
terdiri atas ekstensi leher, elevasi mandibula (jawthrust manuver), dan pembukaan
mulut. Pada pasien dengan kecurigaan cedera tulang servikal, komponen ekstensi
leher ditiadakan. Setelah imobilisasi tuulang servikal, elevasi mandibula dan
pembukaan mulut baru dikerjakan.
2. Manuver Tepuk Punggung
23
Manuver tepuk punggung dilakukan pada pasien bayi atau anak kurang dari 1 tahun
yang mengalami sumbatan jalan napas. Manuver ini dikerjakan dengan cara :
a. Anak diposisikan sebagai berikut : punggung menghadap ke penolong, topang
leher dan kepala anak dengan satu tangan.
b. Wajah anak menghadap kebawah dengan kepala diposisikan lebih rendah
daripada tubuh.
c. Lakukan 5 kali tepukan punggung diantara bahu dan tulang belikat dengan
punggung pergelangan tangan.
3. Manuver Helmlich
- Penolong berdiri dibelakang pasien. apabila memungkinkan tinggi penolong
sepadan dengan pasien.
- Kepalkan salah satu tangan dan tangan yang lain memegang tangan yang terkepal.
Perhatikan posisi ibu jari dan jari telunjuk tangan yang terkepal. Kedua jari
sebaiknya membentuk tonjolan untuk meningkatkan kedalaman.
- Posisikan tangan diantara prosesus xiphoideus dan umbilikus pasien
- Tekan tangan dengan cepat, kuat, serta kearah atas (seperti mendorong). Gerakan
ini melibatkan fleksi dari siku.
4. Oropharyngeal Airway (OPA)
Oropharyngeal Airway adalah alat bantu untuk mempertahankan jalan napas tetap
terbuka pada sumbatan akibat lidah yang jatuh menutupi laring. Alat ini hanya
digunakan pada pasien yang tidak sadar atau tidak memiliki refleks muntah.
Apabila masih sadar atau masih memiliki refleks muntah, pasien akan menolak
atau bahkan muntah jika OPA dipaksakan. Sebagai alternatif, dapat digunakan
nasopharyngeal airway (NPA).
Cara memasang OPA adalah :
a. Pemasang berdiri dibelakang kepala pasien
b. Buka mulut dengan teknik crossed finger. Ibu jari mendorong rahang bawah,
telunjuk mendorong rahang atas.
24
c. OPA dimasukan secara terbalik, puncak OPA awalnya dimasukkan
menghadap langit-langit pasien kemudian diputar 180 derajat. Apabila
menggunakan spatel lidah, OPA dapat dimasukan sesuaai dengan kurvatura
mulut.
d. Apabila pasien mulai mau muntah, lepaskan OPA. Berarti refleks munah
masih intak dan sebaiknya ganti dengan NPA.
5. Nasopharyngeal airway (NPA)
Pemilihan nasopharyngeal airway dilakukan dengan mengukur dari puncak telinga
pasien ke puncak hidung. Dipilih diameter NPA terbesar yang masih dapat masuk
dengan cara melihat diameter kelingking pasien.
Cara memasang NPA adalah :
a. Lubrikasi NPA dengan pelumas yang larut air
b. Posisikan kepala pasien dalam posisi yang netral kemudian dorong ujung
hidung pasien kebelakang secara lembut.
c. Masukan NPA dengan posisi miring terhadap septum nasi kedalam lubang
hidung kanan mengikuti kurvatura alami dari hidung
d. Ujung dari NPA harus diposisikan berlawanan dengan bukaan hidung
6. Ventilasi dengan masker
Ventilasi bantuan dengan menggunakan bag-valve mask diindikasikan pada
kondisi :
a. Pasien apneu
b. Volume tidal berdasarkan pemeriksaan fisis dinilai tidak mencukupi
c. Untuk mengurangi usaha bernapas dengan membantu ventilasi pasien
d. Jika terjadi hipoksemia yang berkaitan dengan ventilasi spontan yang tidak
adekuat walaupun sudah diberikan oksigen konsentrasi tinggi.
B. TATA LAKSANA JALAN NAPAS LANJUT
25
Tata laksana jalan napas lanjut meliputi sungkup laring, intubasi, dan trakeostomi.
a.Sungkup Laring
Sungkup laring (laryngeal mask airway-LMA) memiliki bentuk seperti pipa besar
berlubang dengan ujung yang menyerupai sendok
1. Sungkup laring standar hanya memiliki satu pipa sementara jenis sungkup lain
memiliki pipa tambahan yang berhubungan dengan esofagus. Pemasangannya
dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop. Oleh karena itu, LMA
biasanya digunakan jika pemasangan intubasi trakea diperkirakan akan
menemui kesulitan. Pemasangan LMA tetap membutuhkan kondisi pasien yang
tenang dan rileks seperti dalam keadaan teranestesi atau pada henti jantung.
Indikasi
Indikasi penggunaan LMA adalah :
Ventilasi efektif. Pada prosedur operasi dapat digunakan sebagai alternatif dan
terutama dipilih pada prosedur operasi dengan durasi singkat yang tidak
mengharuskan intubasi endotrakeal.
Jalan napas sulit. Jika intubasi gagal dilakukan, LMA dapat dipasang sebagai
penggantinya. Jika pasien tidak dapat diintubasi namun masih dapat diberi
ventilasi buatan. LMA lebih dipilih daripada bag valve-mask karena lebih
mudah digunakan dalam jangka waktu yang lama dan dapat mengurangi risiko
aspirasi dibandingkan teknik bag valve-mask
Pada pasien henti jantung, LMA dapat digunakan sebagai alternatif intubasi.
Alat ini lebih disenang untuk setting tempat umum karena dapat dikerjakan oleh
tenaga medis yang belum begitu berpengalaman melakukan intubasi.
Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut : pasien dengan mulut tidak dapat dibuka dan pada
pasien dengan obstruksi total pada jalan napas atas
26
Kontraindikasi relatif (kondisi bukan gawat darurat) : pasien dengan obesitas
morbid, hamil trimester ke-2 atau ke-3, belum puasa, atau dengan perdarahan
gastrointestinal.
Teknik
Sebelum pemasangan LMA, pasien terlebih dahulu diberi pra-oksigenasi dengan
O2 100%. Pilih ukuran LMA yang sesuai, cek fungsinya dan pastikan tidak ada
kebocoran. Kempeskan cuff LMA hingga benar-benar datar. Gunakan lubrikan yang
larut air pada permukaan posterior LMA untuk mempermudah pemasangan. Berikan
sedasi dan posisikan pasien. posisi yang paling baik adalah posisi mengendus. Pegang
LMA seperti memegang pulpen dengan tangan yang dominan. Posisi telunjuk ada pada
peralihan antara masker dan tabung. Masukkan LMA sepanjang palatum durum dan
lanjutkan dengan penekanan perlahan. Jika posisi dirasa sudah tepat, kembangkan cuff
LMA.
Komplikasi pemasangan LMA lebih sering terjadi pada kondisi gawat darurat
daripada operasi elektif. Aspirasi isi lambung atau iritasi lokal dapat terjadi.
Pemasangan dapat menyebabkan trauma pada jalan napas atas, seperti lesi yang dipicu
oleh tekanan LMA, atau kelumpuhan saraf. Walaupun pemasangan LMA sudah tepat,
obstruksi jalan napas pada laring (seperti laringospasme) masih dapat terjadi.
Komplikasi lain yang terkait dengan ventilasi bertekanan positif adalah edema paru dan
bronkokonstriksi.
b. Trakeostomi
Definisi
Trakeostomi merupakan pembentukan bukaan pada trakea melalui pembedahan.
Trakeostomi dapat bersifat sementara maupun permanen. Trakeostomi permanen
biasanya berbentuk stoma antara trakea dengan kulit leher.
Indikasi
Indikasi trakeostomi adalah :
Obstruksi mekanis jalan napas atas yang bersifat total atau berat
27
Proteksi trakeobronkial pada pasien dengan risiko aspirasi
Gagal napas
Retensi sekresi bronkus
Trakeostomi elektif, misalnya pada bedah mayor kepala dan leher untuk
menyediakan akses
Teknik
Pasien diposisikan dalam kondisi supinasi dan kepala agak diekstensikan.
Anestesi umum lebih dipilih, tetapi anestesi lokal juga dapat digunakan. Berikan pre-
oksigenasi pada pasien dan pantau frekuensi nadi. Tekanan darah, dan saturasi.
Terdapat dua jenis trakeaostomi :
1. Surgical tracheostomy (ST). Tindakan ST dilakukan di ruang operasi atau ruang
prosedur standar. Awalnya, insisi kulit dibuat sepanjang 3-5 cm, dengan lokasi 1
cm di bawah kartilago krikoid. Otot dibawahnya dibuka ke arah samping,
sementara isthmus tiroidd dipisahkan ke atas atau ke bawah. Endotracheal tube
(ETT) kemudian dimasukkan secara perlahan melalui insisi yang telah dibuat.
2. Percutaneous dilatational tracheotomy (PDT). PDT dilakukan dengan membuat
dilatasi tumpul melalui satu lubang pada trakea yang dibuat menggunakan jarum.
Awalnya dibuat inisisi yang sangat kecil pada kulit dan jarum dimasukkan ke dalam
trakea, tempat di mana J-tipped guidewire dimasukkan. Jarum kemudian
dikeluarkan dan kemudian guiding catheter dimasukkan. Teknik ini dikerjakan
secara bertahap dengan delapan tahapan dilator. Teknik ini sering dilakukan di
ruang rawat intensif karena dianggap kurang invasif dibandingkan teknik ST.
A. Tata laksana pasca-operasi
Tatalaksana pasca-operasi di kamar pulih khusus
Setelah menjalani tindakan operasi. Pasien dipantau secara ketat didalam ruangan
yang disebut sebagai kamar pulih khusus. Lokasi kamar pulih khusus biasanya tidak jauh
dari ruang operasi agar jika terjadi kegawatan dapat segera dilakukan manajemen yang
sesuai. Pengawasan dikamar pulih khusus dilakukan secara intensif dengan peralatan
yang lengkap dan terpisah dari peralatan dikamar operasi. Kondisi ideal yang diharapkan
28
pada pasien pasca-operasi adalah pasien bangun secara bertahap, cepat, dan tanpa
keluhan. Akan tetapi, banyak pasien mengalami stres atau gangguan pasca bedah, seperti:
1. Gangguan pernapasan
Pasien pasca-anestesi yang belum sadar penuh cukup sering mengalami obstruksi
napas, baik parsial maupun total, karena edema laring atau lidah yang jatuh
kebelakang sehingga menutup laring. Obstruksi napas juga dapat terjadi akibat
spasme laring pada saat pasien menjelang sadar karena laring terangsang benda asing
seperti darah atau ludah. Hal ini dapat diatasi dengan triple airway maneuver dan
suplai oksigen. Jika penyebabnya adalah spasme laring, dapat diberikan
kortikosteroid intravena (seperti dexametason) dan pertimbangkan pelumpuh otot
dengan napas kendali atau napas bantuan.
Pada kasus tertentu dimana tidak ditemukan adanya obstruksi apa pun, pasien
dapat tampak sianosis dengan saturasi oksigen yang terus menurun. Penyebab kondisi
ini biasanya karena pernapasan pasien lambat dan dangkal, sebagainya efek dari obat
opioid atau pelumpuh otot. Antagonis intravena untuk opioid yang tersedia adalah
nalokson, sementara antagonis untuk pelumpuh otot yang tersedia adalah prostigmin-
atropin.
2. Gangguan kardiovaskular
Pasien dapat mengalami peningkatan tekan darah akibat nyeri
pembedahan atau aktivitas saraf simpatis oleh kondisi hipoksia. Jika tekanan
darah meningkat secara akut dan dalam waktu yang lama, gagal jantung, infark
miokard, hingga pendarahan otak dapat saja terjadi. Terapi yang dapat diberi
adalah nitroprusid dengan dosis 0,5-1,0 µg/KgBB/menit atau antihipertensi
intravena lain. Jika sebelum operasi pasien sudah diketahui menderita hipertensi,
maka anti hipertensi yang selama ini telah digunakan perlu dilanjutkan.
3. Gelisah
Gelisah dapat disebabkan berbagai hal, seperti hipoksia, asidosis,
hipotensi, kesakitan, atau efek samping obat. Beri tata laksana sesuai etiologi, dan
29
jika penyebabnya adalah ansietas, dapat diberikan midazolam dengan dosis 0,05-
0,1 mg/KgBB.
4. Nyeri
Tata laksana nyeri bergantung pada derajat nyeri. Nyeri ringan atau
sedang diberi obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) tunggal atau kombinasi
opioid lemah (tramadol). Nyeri berat pada diberi opioid dengan rute pemberian
sesuai sediaan obat dan kondisi pasien.
5. Mual-muntah
Mual-muntah cukup sering terjadi sebagai akibat penggunaan opioid,
bedah intra-abdomen, hipotensi, atau pada anestesi regional. Obat intravena yang
sering digunakan untuk mengatasi mual muntah diantaranya metoklopramid 0,1
mg/KgBB atau ondansetron 0,05-0,1 mg/KgBB.
2. Menggigil
Terapi untuk menggigil adalah petidin 10-20 mg intravena. Tata laksana
nonfarmakologi seperti penggunaan selimut hangat sebaiknya juga dilakukan.
Penilaian apakah pasien sudah pulih atau tidak menggunakan sistem skoring pada
tabel dibawah ini. Pasien dapat pindah ke ruang rawat biasa jika nilai 9 atau 10.
Nilai 2 1 0
Kesadaran Sadar, orientasi baik Dapat dibangunkan Tidak dapat
dibangunkan
Warna Merah muda
Tanpa O2 SaO2 >92%
Pucat atau kehitaman
Perlu O2 SaO2 >90%
Sianosis
Dengan O2 SaO2 tetap
<90%
Aktivitas Empat ekstremitas Dua ekstremitas Tak ada ekstremitas
30
bergerak bergerak bergerak
Respirasi Dapat napas dalam
Batuk
Napas dangkal
Sesak napas
Apnea atau obstruksi
Kardiovaskular Tekanan darah
berubah <20%
Berubah 20-30% Berubah >50%
Tabel. Skala Pulih Anestesi
B. Tata laksana Pasca-Operasi di Ruang Rawat Biasa
Diruang rawat, terdapat penilaian yang dapat digunakan untuk membantu menentukan
apakah pasien dapat pulang. Dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Aktivitas motorik
biasanya baru pulih sepenuhnya 72 jam pasca-operasi. Apabila hendak memulangkan
pasien, dokter lebih baik menginstruksikan hal-hal apa saja yang perlu dipatuhi pasien,
seperti jadwal kontrol, kapan harus kembali apabila terdapat kondisi gawat darurat, dan
sebagainya.
Nilai 2 1 0
Tanda vital Dalam 20% dari nilai
dasar pre-operatif
Diantara 20-40% nilai
dasar pre-operatif
>40% nilai dasar pre-
operatif
Level aktivitas Gaya berjalan stabil,
tidak linglung, seperti
saat pre-operatif
Memerlukan bantuan Tidak mampu
bergerak
31
Mual dan muntah Miniaml, dapat
sembuh dengan obat
oral
Sedang, dapat sembuh
dengan obat
parenteral
Berlanjut setelah
mediaksi berulang
Nyeri (minimal, dapat
ditoleransi pasien,
terkontrol dengan obat
oral)
Ya Tidak
Perdarahan
pembedadhan
Minimal : tidak
memerlukan transfusi
darah
Sedang : sampai dua
buah kantong
transfusi darah
Berat : tiga atau lebih
kantong transfusi
darah
Tabel. Sistem Skor Pemulangan Pasca-anestesi
BAB VI
KESIMPULAN
Pasien adalah seorang perempuan berusia 25 tahun dengan riwayat ketuban pecah dini 9 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien dating ke IGD pada hari Selasa 21 Juli 2015 pukul 13.50 WIB. Dari anamnesis diperoleh informasi bahwa pasien dating ke IGD dengan keluhan keluar air disertai lendir dari kemaluan sejak pukul 05.00 WIB, pasien juga mengeluskan rasa mulas dan nyeri hilang timbul pada perut pasien. Pasien menyangkal memiliki riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus, Asma Bronkiale dan alergi. Pasien mengaku anak pertama lahir dengan section caesaria 7 tahun yang lalu. Pasien juga menyangkal pemakaian gigi palsu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah yang meningkat yaitu 130/90 mmHg, pada pemeriksaan abdomen juga didapatkan pembesaran abdomen dan terabanya his. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan penurunan Hb (9,9 g/dl), peningkatan leukosit (15.390/uL) dan penurunan Hematokrit (30,6%). Berdasarkan American Socieety of Anesthesiology pasien digolongkan dalam ASA I E. tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional dengan blok subarachnoid. Teknik ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi teknik anestesi regional.
32
Evaluasi pre operatif pada pasien didapatkan dalam batas normal. Tidak didapatkan keadaan yang menjadi kontraindikasi anestesi regional. Pasien diberikan premedikasi berupa Ondansetron 4mg. Setelah itu dilakukan anestesi regional dengan teknik blok subarachnoid pada L3-L4 dengan menggunakan jarum spinal no. 27 untuk memasukan obat anestesi regional yaitu Bupivacaine 20 mg pada pukul 05.15 WIB. Selama operasi berlangsung pasien mendapatkan Oksigen dengan volume 2 liter/menit. Pasien diberikan Oxytocin 10 IU dan Metyl Ergometrin 0,2 mg setelah bayi lahir, saat penjahitan luka operasi pasien diberikan Tramadol 100 mg drip. Sesaat sebelum operasi selesai pasien diberikan Pronalges supp dan Cytostol 3 tab. Selama operasi, tidak terjadi komplikasi dan kondisi pasien relative stabil selama operasi. Operasi berakhir pada pukul 06.00 WIB
Evaluasi post operatif dilakukan dengan pemantauan kondisi pasien di ruang pemulihan, tidak didapatkan keluhan dan tanda syok pada pasien. Kondisi post operatif pasien relative stabil, dengan skor Bromage <2, walaupun demikian karena kondisi pasien stabil dan pasien sadar penuh, pasien dipulangkan ke ruang perawatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta 2014: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta 2014.
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Anastesiologi. Jakarta: Bagian Anastesiologi Terapi
Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta:2001.p.103-22 .
3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anastesiology. 5 th
Ed. McGraw-Hill Education. 2013.p.937-65.
33