konsentrasi perbandingan mazhab fiqh program...
TRANSCRIPT
PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN
MENURUT SYAIKH BURHANUDDIN
(Padang Pariaman, Sumatera Barat).
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
FASLUKI HAMAMI NIM : 106043101293
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2011 M
PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN
MENURUT SYAIKH BURHANUDDIN
(Padang Pariaman, Sumatera Barat).
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
Fasluki Hamami NIM: 106043101293
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Sirril Wafa, MA Sri Hidayati, M.Ag NIP: 19600318199103 NIP: 197102151997032002
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN MENURUT
SYAIKH BURHANUDDIN (Padang Pariaman, Sumatera Barat)”, telah diajukan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada tanggal 01 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar strata satu, yaitu Sarjana Syariah (S.Sy) pada prodi perbandingan
madzhab dan hukum dengan konsentrasi perbandingan Fiqih.
Jakarta, 01 Maret 2011 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma,SH.,MA.,MM NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
Ketua : DR.H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002 : (.................................)
Sekertaris : Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197412132003121002 : (.................................)
Pembimbing I : Drs. Sirril Wafa, MA NIP.19600318199103 : (.................................) Pembimbing II : Sri Hidayati, M.Ag NIP: 197102151997032002 : (..................................) Penguji I : Dr. Syahrul A’dam, M.Ag NIP. 19730504200031002 : (.................................)
Penguji II : Mu’min Rouf, MA NIP. 150281979 : (.................................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 25 Rabi’ul Ula 1432 H 01 Maret 2011 M
Penulis
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah swt.
Dialah sumber tempat bersandar, dan sumber kenikmatan hidup yang tanpa batas,
Rahman dan Rahim tetap menghiasi asma-Nya, sehingga penulis diberikan kekuatan
fisik dan psikis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: PENENTUAN
AWAL BULAN RAMADHAN MENURUT SYAIKH BURHANUDDIN(Padang
Pariaman, Sumatera Barat).
Salawat beserta salam tetap tercurahkan atas penghulu umat Islam Nabi
Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang telah
membuka pintu keimanan yang bertauhidkan kebenaran, kearipan hidup manusia dan
pencerahan atas kegelapan manusia serta uswatun hasanah yang dijadikan sebuah
pembelajaran bagi muslim dan muslimah hingga akhir zaman.
Dibalik terselesaikan skripsi ini, tentunya banyak kendala dan cobaan yang
penulis hadapi dalam proses pembuatannya terutama cobaan mental yang terasa
begitu berat ditengah ekonomi yang begitu kurang. Akan tetapi, dengan penuh
keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan tersebut.
Pada kesempatan ini pula perkenankanlah penulis untuk memberikan ucapan
terima kasih kepada:
ii
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. Drs. H. M. Amin Suma., SH.,
MA., MM., beserta seluruh staf jajarannya yang tidak bisa disebutkan satu-
persatu yang telah memberikan bimbingan serta arahan, baik secara langsung
maupun tidak langsung selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Dr. H.
Muhammad Taufiki, M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku
sekretaris jurusan yang telah memberikan ilmu dan arahan kepada penulis baik
secara langsung maupun tidak langsung.
3. Drs. Sirril Wafa’ MA dan Ibu Sri Hidayati M.Ag selaku pembimbing skripsi I
dan II yang telah banyak memberikan bantuan baik dari segi arahan, waktu,
tenaga, dan pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Seluruh Dosen Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menjalani masa pendidikan berlangsung. Semoga ilmu yang diberikan menjadi
ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.
5. Bapak Baharuddin, Alma Fredi, Roni Faslah, yang telah memberikan fasilitas
untuk penulis ketika penulis sedang melakukan penelitian di Daerah Ulakan,
Padang Pariaman, Sumatera Barat.
6. Teman-teman yang penulis sayangi, I’am, Mamet, Abdi, Alex, Jae, Herri Sofyan
yang telah memberikan semangat kepada penulis.
iii
7. Ibu dan Bapak yang tidak pernah lelah untuk memberikan doa restu dan
dorongan semangat untuk penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
8. Anak dan Isteriku yang selalu setia menunggu dan mendo’akan penulis dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta do’a kepada penulis
dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Harapan penulis
semoga skripsi ini dapat berguna bagi wacana keilmuan dan ke-Islaman. Akhirnya
kepada-Nyalah segala urusan akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon
hidayah dan taufiq serta ampunan.
Jakarta, Jumadil Ula1432 H Februari 2011 M
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...........................................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................................6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................7
D. Review Studi Terdahulu ..........................................................................8
E. Metode penelitian ...................................................................................10
F. Sistematika Penulisan .............................................................................11
BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN
A. Pengertian dan Landasan Hukum Hisab Rukyat ....................................13
1. Pengertian Hisab..............................................................................13
2. Pengertian Rukyat ............................................................................15
3. Landasan hukum Hisab Rukyat ........................................................16
B. Sejarah Hisab Rukyat, Aliran-aliran, dan Perkembangannya di Indonesia
.................................................................................................................19
1. Sejarah Hisab Rukyat Secara Umum ...............................................19
2. Aliran-aliran Hisab ...........................................................................28
3. Perkembangan Hisab Rukyat di Indonesia .......................................38
C. Hisab Rukyat dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan ........................41
v
BAB III SEKILAS TENTANG SYAIKH BURHANUDDIN
A. Profil Syaikh Burhanuddin .....................................................................45
B. Pengikut Syaikh Burhanuddin ................................................................46
C. Pemikiran-pemikiran Syaikh Burhanuddin ............................................47
1. Kalam ...............................................................................................47
2. Fikih .................................................................................................53
3. Tasawuf ............................................................................................56
BAB IV KAJIAN PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN MENURUT
SYAIKH BURHANUDDIN
A. Penetapan Awal Bulan Ramadhan Menurut Syaikh Burhanuddin .........59
1. Ketentuan-ketentuan Dasar Penentuan Awal Bulan ........................60
2. Tatacara Penetapan awal bulan ........................................................61
B. Dasar Hukum Syaikh Burhanuddin dalam menetapkan Awal Bulan
Ramadhan ...............................................................................................65
C. Perbandingan Penentuan Awal Bulan Antara Syaikh Burhanuddin
Dengan Pemerintah...........................................................................71
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ....................................................................................................77
Saran-saran ....................................................................................................77
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................79
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berpuasa pada bulan Ramadhan merupakan salah satu rukun dari
beberapa rukun Agama, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an Surat Al-
Baqarah ayat :183 yang berbunyi :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, ( Q.S. Al-Baqarah : 183)
Pada ayat diatas, sudah sangat jelas bahwa setiap Muslim wajib
melaksanakan puasa pada bulan Ramadhan, dan orang yang mengingkarinya
berarti telah keluar dari Islam, karena ia seperti shalat, yaitu ditetapkan
dengan keharusan. Dan ketetapan itu diketahui, baik oleh yang bodoh maupun
orang yang alim, dewasa maupun anak-anak.
Puasa mulai diwajibkan pada bulan Sya’ban, tahun ke-2 Hijriyah.
Puasa merupakan fardlu ‘ain bagi setiap mukallaf, dan tidak seorangpun
diperbolehkan berbuka, kecuali mempunyai sebab-sebab tertentu.1
1 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab. Penerjemah Masykur A.B., dkk,
Jakarta: Lentera, 2008, h.157
2
Dalam pembahasan ini, penulis tidak akan membahas tentang
kewajiban berpuasanya, akan tetapi akan membahas perbedaan penentuan
awal bulan mulai diwajibkannya berpuasa. Perbedaan pendapat dalam Islam
merupakan suatu Rahmat dari Allah SWT sehingga manusia senantiasa harus
menghargai antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain. Sehingga
dalam perbedaan pendapat itu terdapat suatu keindahan yang tidak terdapat
dalam Agama lain.
Dan dengan perbedaan pendapat itu pula ilmu pengetahuan akan lebih
cepat berkembang. Sikap toleransi yang dimiliki oleh umat Islam membuat
setiap perbedaan yang terjadi tidak sampai menimbulkan keributan dan
pertumpahan darah.
Dalam penentuan awal bulan Ramadhan, diperlukan sebuah kajian
ilmu yang dinamakan dengan Ilmu Falak. Ilmu falak secara terminology
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari lintasan benda-benda langit
seperti matahari, bulan, bintang-bintang, dan benda-benda langit lainnya
dengan tujuan untuk mengetahui posisi dari benda-benda langit itu serta
kedudukannya dari benda-benda langit yang lain.2
Ilmu falak ada dua macam, yang pertama dikaitkan dengan ramalan
tentang kejadian atau keadaan yang belum terjadi. Pengetahuan ini disebut
dengan astrologi atau ilmu nujum. Yang kedua tidak dikaitkan dengan
2 Maskufa, Ilmu Falak Jakarta: Gaung Persada, 2009, h. 1.
3
ramalan, tetapi sekedar untuk mengetahui dan mempelajari letak, gerak,
ukuran, lingkaran benda-benda langit dengan didasarkan ilmiah, Dengan
pengetahuan itu kita dapat menentukan hitungan tahun, bulan dan juga
gerhana.3
Dalam pembahasan ilmu falak, terdapat dua metode penentuan awal
bulan Hijriyah, yaitu melalui cara hisab dan rukyat. Hisab sendiri terbagi
menjadi dua, yaitu Hisab Hakiki dan Hisab ‘Urf. 4 Hal ini menjadi suatu
perbedaan yang sering kali menuai kontroversi dikalangan umat islam,
khususnya di Indonesia.
Perbedaan penentuan awal bulan Ramadhan sejak dulu sudah menjadi
tradisi di kalangan beberapa Ormas yang berbasis keislaman di Indonesia.
Bukan hanya penentuan awal Bulan Ramadhan, tetapi juga penentuan awal
bulan Syawal. Dalam hal ini, penulis hanya akan memaparkan analisis
penentuan awal bulan Ramadhan oleh Syaikh Burhanuddin dan para
pengikutnya di daerah Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat, yang
disebut dengan Tarekat Syatariyah.5 Walaupun sebetulnya hal tersebut telah
terjadi berabad-abad lamanya, tetapi rasa-rasanya sangat mengetuk hati dan
fikiran. Apakah pada zaman sekarang ini dimana IPTEK sudah sedemikian
3Ibid., h. 2. 4Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab, (Jakarta: PT. Amythas Publicita,
2007, h.205. 5 Diakses pada tanggal 30 Desember 2010 dari www.muchrojimahmad.blogspot.com Rabu,
03 September 2008.
4
majunya, umat Islam masih kesulitan menentukan tanggal satu bulan
Qamariyah.
Letak perbedaan yang terjadi pada para pengikut Syaikh Burhanuddin
dengan penentuan awal bulan Ramadhan pada umumnya, bukan hanya pada
tataran metode dan analisis penentuannya saja. Sehingga dapat mempengaruhi
perbedaan dalam menentukan jatuhnya tanggal satu bulan Ramadhan. Para
pengikut Syaikh Burhanuddin sendiri dalam menetapkan awal bulan
Ramadhan lebih cenderung menggunakan metode Hisab dan Rukyat yang
dilakukan sejumlah Qadi, dan mereka telah melihat bulan terbit barulah
mereka mulai mengumumkan kepada para pengikut Thariqat Syathariyyah
dengan cara memukul beduk di berbagai Masjid dan Mushalla sehigga dapat
dikatakan pengidentifikasian ini tidak lazim bagi masyarakat umum6,
walaupun pada dasarnya mereka lebih berpegang kepada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA. yang berbunyi :
صومو لرؤیتھ وأفطروا: عن أبى ھریرة أن النبي صل اهللا علیھ وسلم قال
7)رواه بخاري و مسلم ( .لرؤیتھ فان غبي علیكم فاكملواعدة شعبان ثالثین
Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. Bersabda: “puasalah kalian bila melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian bila melihatnya. Bilamana terhalang dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah
6 Ibid. 7 Imam Ibn al-Husain Muslim bin al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusairi al-Nisaburi, al-Jami’u al-
Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II, Semarang, Toha Putera , t.th, h 122.
5
hitungan (bulan Sya’ban tiga puluh (hari). (H.R. Bukhary-Muslim)
Adapun kelemahan dari metode penentuan awal bulan Ramadhan
dengan menggunakan Rukyat bil Fi’li adalah ketika cuaca tidak mendukung,
seperti tertutupi oleh awan, atau mungkin dalam keadaan mendung. Dan
Rukyat bil Fi’li dalam pandangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi banyak
terdapat kelemahan, karena kurang memenuhi syarat yang dapat mendukung
kevalidan dalam menentukan awal bulan Hijriyah, terutama dalam penentuan
awal bulan Ramadhan. Adapun kelebihannya, pada jaman sekarang ini
metode Rukyat dapat menggunakan ilmu pengetahuan yaitu dengan
menggunakan alat teropong bulan .8 Sedangkan kelemahan melalui metode
Hisab ‘Urf adalah umur bulan ditentukan secara tradisional dan tidak
diketahui alasannya. Bulan gasal ditentukan berumur 30 hari, kecuali bulan
Dzulhijjah yang dapat berumur 29 hari dalam tahun Basithah, dan 30 hari
dalam tahun Kabisat. Sedangkan dalam Hisab Hakiki, perhitungan lebih
terjaga akurasinya, dan dapat dikategorikan lebih valid dibandingkan apabila
menggunakan Metode Hisab ‘Urf.
Hisab ini sangat prakis, namun perhitungan ini sama sekali tidak
melakukan perhitungan astronomis untuk menggambarkan posisi hilal pada
8 BJ Habibie, Rukyat denganTeknologi Jakarta: Gema Insani Press, 1994, h.59.
6
setiap awal bulannya.9 Sehingga sulit untuk menentukan awal bulan Hijriyah
jika hanya dengan mengandalkan metode Hisab saja.
Dengan alasan tersebut diatas maka penulis sangat tertarik untuk
mengadakan penelitian kepada para pengikut Syaikh Burhanuddin yang mana
mereka lebih cenderung mengikuti para Qadi mereka daripada mengikuti
keputusan menteri agama di Indonesia dalam penentuan awal bulan
Ramadhan. Penulis berusaha mencari sebab terjadinya perbedaan metode yang
dipergunakan antara pemerintah dengan para pengikut Syeikh Burhanuddin.
Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul:
PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN MENURUT SYAIKH
BURHANUDDIN(Padang Pariaman, Sumatera Barat)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian ini dan tidak menimbulkan penafsiran
yang berbeda-beda, maka penulis memberikan batasan-batasan sebagai
berikut:
1. Penelitian dilakukan di Daerah Padang Pariaman, Sumatera Barat tempat
para pengikut Syaikh Burhanuddin menyebarkan ajarannya.
2. Pembahasan terbatas pada masalah metode dan argumen dari seorang
yang dianggap Qadi oleh pengikut Syaikh Burhanuddin dalam
menentukan awal bulan Ramadhan.
9 Ibid.
7
3. Metode yang dimaksud adalah cara penentuan awal bulan ramadhan yang
digunakan oleh para Qadi di Daerah Padang Pariaman
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah diuraikan
di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah metode penentuan awal bulan Ramadhan menurut Syaikh
Burhanuddin?
2. Apa landasan hukum yang digunakan Syaikh Burhanuddin dalam
menentukan awal bulan Ramadhan?
3. Bagaimanakah kesesuaiannya dengan metode yang digunakan oleh Badan
Hisab Rukyat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui metode yang digunakan Syakih Burhanuddin dalam
menentukan awal bulan Ramadhan.
2. Mengetahui landasan hukum yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin
dalam menentukan awal bulan Ramadhan.
3. Mengetahui kesesuaian metode yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin
dengan metde yang digunakan Badan Hisab Rukyat.
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain :
1. Membuka wawasan kepada masyarakat terhadap perbedaan dalam
penentuan awal bulan Ramadhan.
8
2 Memberikan gambaran kepada masyarakat tentang proses terjadinya
argumen dalam penentuan awal bulan Ramadhan yang dilakukan oleh
Syaikh Burhanuddin
D. Review Studi Terdahulu
Hisab dan Rukyat merupakan metode penetapan awal bulan
Qomariyah. Kedua metode tersebut sering menyebabkan terjadinya perbedaan
pendapat dalam menentukan awal bulan qomariyah. Bahkan, tidak jarang
perbedaan terjadi di kalangaqn internal ahli hisab maupun ahli rukyat. Kajian
terhadap hisab rukyat dalam bentuk akademik, khususnya di lingkungan PTAI
(Perguruan Tinggi Agama Islam), hingga penelitian ini disusun paling tidak
bernumlah 3 (tiga) karya yang dituangkan dalam skripsi. Untuk lebih jelasnya,
data-data karya akademik tersebut penulis paparkan dalam bentuk diagram
berikut ini:
No. Judul karya akademik penyusun Tahun
1. Peranan Pemerintah dalam Penetapan awal
Bulan Qomariyah(Tinjauan kaidah
Fiqhiyah)10
Hiton
Bazawi
2009
2. Penentuan Awal Bualan dalam Perspektif al- Eka Sartika 2006
10 Hiton Bazawi, Peranan Pemerintah dalam Penetapan awal Bulan Qomariyah(Tinjauan
kaidah Fiqhiyah), skripsi, 2009.
9
Marzukiyah(Studi Terhadap Kalangan al-
Marzukiyyah di Cipinang)11
3. Analisis Perbedaan Penetapan Idul Adha
Antara Indonesia dan Arab Saudi12
Ilmanudin 2005
Berdasrkan penelusuran yang peneliti lakukan terhadap karya
akademik diatas, peneliti menyimpulkan bahwa hisab dan rukyat yang
dijelaskan oleh Hiton lebih cenderung kepada Kaidah fikihnya, yang dalam
hal ini di terapkan oleh pemerintah guna menetapkan awal bulan Qomariyah.
Sedangkan Eka dalam skripsinya menjelaskan metode penetapan awal
bulan Qomariyah dalam perspektif golongan al-Marzukiyah. Al-Marzukiyah
menggunakan metode Imkanurrukyah dalam penetapan awal bulan
Qomariyah. Golongan ini terbagi menjadi tiga wilayah (Rawa Bunga,
Cipinang Muara, dan Raya Kemang). Dari ketiga golongan tersebut, hanya
golongan yang berada di Cipinang Muara yang masih berpedoman pada
Imkanurrukyah, sedangkan yang lain sudah mengikuti keputusan pemerintah.
Berbeda dengan yang lain, Ilman mencoba menjelaskan perbandingan
antar Negara, yaitu Indonesia dengan Arab Saudi. Dimana keduanya
terkadang bahkan sering terjadi perbedaan dalam Hari Raya tersebut.
11 Eka Sartika, Penentuan Awal Bualan dalam Perspektif al-Marzukiyah(Studi Terhadap
Kalangan al-Marzukiyyah di Cipinang), Skripsi, 2006. 12 Ilman Hasjim, Analisis Perbedaan Penetapan Idul Adha Antara Indonesia dan Arab
Saudi,skripsi, 2004.
10
Dari ketiga skripsi di atas, tidak ada tulisan yang membahas secara
jelas mengenai penentuan awal bulan Ramadhan oleh Syaik Burhanuddin.
Oleh karena itu, skripsi penulis difokuskan untuk membahas persoalan yang
tidak kalah menariknya dengan karya-karya lainyang membahas tentang
Hisab dan Rukyat.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan jalan untuk menciptakan suatu
kenyataan konseptual pengujian ilmiah dengan proses penelitian.13 Oleh
karena itu dalam melakukan penelitian penulis menggunakan beberapa
metode diantaranya:
1. Sumber Data
Dalam penyusunan ini penulis menggunakan dua jenis sumber data
yaitu:
a. Data Primer, data yang digunakan adalah wawancara langsung,
observasi, dan studi dokumentasi dengan Ulama-ulama Syathariyah
pengikut Syaikh Burhanuddin di Daerah Ulakan Tapakis, Pariaman,
Sumatera Barat.
b. Data Sekunder, data yang diperoleh dari buku dan sumber lainnya
yang berhubungan dengan skripsi ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
13 Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Politik, Jakarta: Rineka Cipta, 1991,
Cet. Ke-1, hal.23.
11
Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dengan menggunakan
beberapa metode yaitu :
a). Wawancara langsung, yaitu penulis melakukan wawancara langsung
dengan ulama Syathariyah yang berada di daerah Ulakan, Ulakan
Tapakis, Padang Pariaman Sumatera Barat.
b). Observasi, yaitu penulis langsung mendatangi tempat penelitian yang
ada di daerah Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat.
c) Studi dokumentasi, yaitu dengan mempelajari kitab karangan Syaikh
Burhanuddin khususnya tentang penentuan awal bulan Ramadhan dan
buku-buku yang dijadikan sebagai objek penelitian.
3. Teknik Analisa Data
Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisa dan disusun secara
sistematis dengan menggunakan metode deskriptif analisis kemudian
menganalisanya dengan berpedoman kepada sumber-sumber tertulis.
Jika tidak ditemukan dalam sumber yang tertulis, maka penulis langsung
terjun ke lapangan dan mendatangi tempat menyebarnya ajaran Syaikh
Burhanuddin di Daerah Padang Pariaman Provinsi Sumatera Barat guna
mendapatkan data yang dibutuhkan.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi terdiri dari
lima bab, yang perinciannya sebadai berikut :
12
Bab pertama berisi Pendahuluan yang mencakup latar belakang,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penulisan, review studi terdahulu, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi gambaran umum hisab rukyat yang mencakup
pengertian dan landasan hukum, sejarah, aliran-aliran, perkembangannya di
Indonesia, dan hisab rukyat dalam penentuan awal bulan Ramadhan.
Bab ketiga berisi tentang profil Syaikh Burhanuddin, ajaran-ajarannya
baik ilmu kalam, fikih, dan Tasawufnya yang hingga saat ini masih sangat
kental pengaruhnya di Daerah Pariaman khususnya, dan di Daerah Sumatera
pada umumnya.
Bab keempat berisi tentang metode yang digunakan oleh Syaikh
Burhanuddin dalam menentukan awal bulan Ramadhan, dasar hukum, dan
pandangan Syakih Burhanuddin terhadap penetapan awal bulan Ramadhan
oleh Pemerintah.
Bab kelima merupakan bagian akhir dari pembahasan ini yaitu penutup
yang berisi kesimpulan serta saran-saran.
13
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG PENENTUAN AWAL BULAN
A. Pengertian dan Landasan Hukum Hisab Rukyat
1. Pengertian Hisab
a. Secara Etimologi
Hisab berasal dari tata bahasa Arab yaitu hasaba, yakhsibu, hisaaban
yang memiliki arti “menghitung atau membilang”1. Dengan demikian definisi
ilmu hisab jika dikaitkan dengan perhitungan rotasi bulan dalam bahasa yang
sederhana merupakan ilmu untuk menghitung kedudukan bulan terhadap
bumi.
b. Secara Terminologi
Ilmu hisab dalam kamus-kamus istilah disamakan artinya dengan
aritmatic, yang memiliki pengertian suatu ilmu pengetahuan yang membahas
tentang perhitungan dalam menentukan awal bulan Qomariyah yang
didasarkan kepada peredaran bulan mengelilingi bumi2. Selain itu dalam
kitab Fath al-lathiif Al-Rahiim yang ditulis oleh Abdul Muhaimin bin Abdul
Lathiif dikatakan bahwa ilmu hisab memiliki makna yang sama dengan ilmu
1 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Indonesia-Arab-Inggris, Jakarta, PT MUTIARA
Sumber Widya, 1998, Cet. Ke-11, h. 104. 2 Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Cet. Ke-I, 1990, h. 3.
14
Irshad (penelitian), ilmu falak, ilmu miiqaat (ilmu untuk mengetahui waktu-
waktu), ilmu Hai’ah (ilmu untuk mengetahui tingkah laku seseorang), ilmu
astronomi dan perbintangan3. Berkaitan dengan dengan istilah hisab ini,
dalam Islam tidak hanya berkaitan dengan perbintangan saja, melainkan juga
terdapat ilmu menghitung lain, yakni dikenal dengan sebutan “ilmu mawaris
atau faraidh”. Ilmu faraidh ini termasuk dalam ilmu hisab dikarenakan
adanya persamaan substansi, dimana kedua ilmu tersebut secara prinsip
menggunakan perhitungan-perhitungan dan proses perumusan secara pasti4.
Di Indonesia, pada umumnya umat Islam hanya mengenal ilmu falak
sebagai ilmu hisab, dalam konteks inipun ilmu hisab yang dimaksud adalah
ilmu falak yang digunakan umat Islam untuk melaksanakan praktek-praktek
ibadah dengan cara mengetahui dan mempelajari benda-benda langit tentang
fisik, gerak, ukuran, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.
Benda langit yang dipergunakan oleh umat Islam untuk kepentingan
hisab adalah matahari, bulan, dan bumi, itupun terbatas kepada status
posisinya saja sebagai akibat oleh adanya pergerakan benda-benda langit
3 Abd. Al-Muhaimin Bin Abd. Lathiif, Fath Al-Lathiif Al-Rahiim Fi Al-Falq Bijadwaali Al-
Lughortiimiyyah Libni Lathiif, Cibeber-Banten, Mathbah Tsaniyah, 1986, h. 1. 4 Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah Suatu
Komparasi, Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, t.p., 2003, h. 11.
15
yang disebut Astromekanika5. Dalam perkembangan ilmu hisab, selanjutnya
menggunakan perhitungan modern yang mempunyai tingkat akurasi lebih
tinggi dan dapat dipertanggung jawabkan, ilmu tersebut adalah ilmu ukur
segitiga bola Special Trigonometri6. Sebagai pendukung yang lain, ilmu hisab
juga menggunakan informasi data yang dikontrol observasi setiap saat.
2. Pengertian Rukyat
a. Secara Etimologi
Secara etimologi rukyat berasal dari bahasa Arab ra’aa, yara’a,
ru’yatan yang berarti melihat mengerti, menduga, dan mengira7. Dalam
khazanah fikih, kata rukyat kata rukyat lazim disertai dengan kata hilal
sehingga menjadi “ru’yatul hilal” yang berarti melihat hilal (bulan baru).
Rukyat hilal ini berkaitan dengan erat dengan masalah ibadah, terutama
ibadah puasa8.
b. Secara Terminologi
Rukyat secara terminologi adalah melihat hilal pada saat matahari
terbenam pada tanggal 29 bulan qomariyah. Jika hilal berhasil dirukyat, maka
sejak matahari terbenam tersebut sudah dihitung bulan baru, jika tidak terlihat
5 Astromekanika adalah bagian dari ilmu astronomi yang mempelajari gerak dan gaya tarik benda-benda langit dengan menggunakan cara dan teori mekanika. Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1990, Cet. Pertama, h. 375.
6 Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah Suatu
Komparasi, h.11. 7 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, KAMUS Indonesia-Arab-Inggris, h. 165. 8 Maskufa, Ilmu Falak , Jakarta, Gaung Persada, 2009, h.149.
16
maka malam itu dan keesokan harinya masih merupakan bulan yang berjalan
dengan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari9. Rukyat dimaksudkan untuk
menentukan awal bulan Ramadhan, bulan Syawal, dan juga awal bulan
Dzulhijjah.
3. Landasan Hukum Hisab Rukyat
a. Al-Qur’an
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an banyak mengungkapkan hal-hal yang
berkaitan dengan gerak dan keadaan benda-benda langit, terutama bulan dan
matahari yang sangat penting guna menentukan awal bulan, baik awal bulan
Masehi maupun Hijriyah10.
Adapun salah satu ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hisab rukyat
diantaranya surat Yunus ayat : 5 sebagai berikut :
Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
9 Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, h.15. 10Departemen Agama RI, Pedoman Tekhnik Rukyat, Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995, h.3.
17
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus: 5)
Dari ayat tersebut, kata )وقدره منازل ) disambung dengan kata ) لتعلموا
)عدد السنین menunjukkan bahwa bilangan yang dimaksud oleh ayat tersebut
adalah tahun qomariyah (lunar calendar) sebagai rangkaian dari bulan-bulan
qomariyah11.
Selain ayat tersebut, dalam surat Yasin ayat 39 juga disebutkan
bahwa Allah menjadikan manzilah-manzilah bulan, sehingga setelah bulan
menduduki manzilah terakhir, ia kembali kepada bentuk seperti tanda tua
(bulan sabit)12.
Sebagaimana diketahui bahwa bentuk bulan yang terlihat di bumi,
setiap hari mengalami perubahan. Mula-mula kecil, membesar, dan setengah
lingkaran, kemudian Purnama, kemudian mengecil kembali, lalu menghilang
dan akhirnya muncul kembali muncul kembali berbentuk seperti tanda tua
yang digambarkan dalam surat Yasin ayat 3913. Periode perubahan bentuk
bulan tersebut diakibatkan oleh perpindahan penelusuran satu manzilah ke
manzilah lainnya dan merupakan periode pergantian waktu bulan qomariyah.
Ayat Al-Qur’an lainnya yang berkaitan dengan benda-benda langit
dan penetapan awal bulan qomariyah adalah Al-Baqarah : 189, Al-Isra : 12,
11Ibid., h. 4. 12 Ibid. 13 Ibid.
18
At-Taubah : 36, An-Nahl : 16, Al-Hijr : 16, Al-Anbiya’ : 33, Al-An’am : 96-
97, Yasin : 39-40, Ar-Rahman : 5 dan 33, dan lain-lain.
b. Hadits
عن ابن عمر رضي اهللا عنھما حدثنا یحي بن یحي قال قرات على مالك عن نافع
نھ ذكر رمضان فقال التصوموا حتى ترواالھاللانبي صلى اهللا علیھ وسلم العن
14)رواه بخاري و مسلم ( .والتفطروا حتى تروه فان اغمى علیكم فاقدروالھ
Artinya :Telah datang menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya berkata saya telah membacakan kepada Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar semoga Allah midloi keduanya dari Nabi Saw., bahwasannya Nabi Saw. Telah menuturkan Ramadhanmaka Beliau Bersabda : Janganlah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal (Ramadhan) dan janganlah kamu berbuka sebelum kamu melihat hilal (Syawal). Jika tertutup atas kalian maka taqdirkanlah (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
حدثنا عبد الرحمن بن سالم الجمحي حدثننا الربیع یعنى ابن مسلم عن محمد وھو
ابن زیاد عن ابى ھریرة رضي اهللا عنھ ان النبى صلى اهللا علیھ وسلم قال صوموا
15)رواه مسلم( لرؤیتھ وافطروا لرؤیتھ فان غمى علیكمم فاكملوا العدد
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bib Sallam al-Jumahiy, telah menceritakan kepada kami al-Rabii’ (Ibn Muslim), dari Muhammad (Ibn Jiyad), dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal.Bila kamu tertutupi oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi tiga puluh hari). (HR. Muslim)
14 Imam Ibn al-Husain Muslim bin al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusairi al-Nisaburi, al-Jami’u al-
Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II, Semarang, Toha Putera , t.th, h 122. 15 Imam Ibnu al-Husen Muslim Ibn al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusyairy al-Nisaaburi, Al-Jami’
al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II, Semarang : Toha Putera, t. Th, h. 124.
19
Berdasarkan hadits-hadits di atas, sebagian Fuqoha menetapkan
bahwa melaksanakan ru’yatul hilal untuk menentukan awal bulan Ramadhan
dan Syawal adalah fardlu kifayah. Sedangkan sebagian Fuqoha lainnya
menetapkan bahwa perihal penetapan awal bulan tidaklah demikian16.
Disamping itu, sebagian Fuqoha memandang bahwa rukyah merupakan salah
satu cara dalam penetapan awal bulan qomariyah, yang selain itu dapat
ditempuh dengan cara hisab17.
Berkaitan dengan landasan hukum hisab rukyat ini, selain riwayat
Bukhari dan Muslim, juga terdapat riwayat lainnya, seperti yang terkumpul
dalam kitab Kutubu Al-Sittah (Abu Daud, Ibnu Majjah, At-Tirmidzi, dan An-
Nasa’i) dan beberapa kitab karangan Ulama lainnya.
B. Sejarah Hisab Rukyat, Aliran-aliran, dan Perkembangannya di Indonesia
1. Sejarah Hisab Rukyat secara Umum
Sebelum Islam datang orang-orang Arab Jahiliyah telah memiliki
pengetahuan pengetahuan dasar tentang astronomi. Namun pengetahuan yang
mereka miliki belum berbentuk rumusan-rumusan ilmiah sehingga belum
pantas untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan. Pada masa Bani Umayyah
ilmu astronomi telah muncul, namun buku-buku tentang itu belum pernah
ditemukan.
16 Departemen Agama RI, Pedoman Tekhnik Rukyat , h. 6. 17 Ibid.
20
Di dalam kitabnya “Taarikhul Hadlaarah al-Islamiyyah fil ‘Ushuuri
al-Qushtha”, Abdul Mun’im Majid mengatakan , “prinsip-prinsip ilmu
astronomi telah dimiliki oleh orang-orang Arab maju, seperti orang-orang
Arab Yaman dan Kaldea. Pada orang-orang Arab Badawi pengembara, ilmu
astronomi terbatas pada pengenalan terhadap peristiwa-peristiwa alam yang
berpindah antara satu kepada yang lain melalui turun-temurun. Dalam
kasidah-kasidah syiir Arab Jahiliyah, kita dapat membaca nama-nama
bintang. Namun secara terumuskan, ilmu astronomi Arab baru muncul pada
pertengahan abad ke-2 Hijriyah pada masa pemerintahan Bani Abbas. Hal itu
terjadi berkat hubungan mereka dengan berbagai macam kebudayaan dunia
yang mereka salin dari kitab-kitab klasik karangan orang-orang India dan
Yunani18.
Pada masa Abbasiyah, orang-orang Arab kaum Muslimin menjadi
gudang ilmu pengetahuan se-dunia. Abul Abbas As Saffah, Si penumpah
darah, memegang tampuk pimpinan hanya dua tahun. Penggantinya Al
Mansur yang masih saudaranya, adalah seorang negarawan kelas satu. Ia pula
pecinta ilmu yang memberikan kesempatan yang luas bagi para ilmuwan
untuk berkembang maju.
Dari pembahasan di atas, meskipun ilmu falak atau hisab baru terlihat
setelah Islam ada, namun sebagaimana telah disebutkan dalam setiap
18 Ahmad Thoha, Astronomi dalam Islam, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1983, h.12.
21
muqaddimah kitab-kitab falak, bahwa penemu pertama ilmu hisab atau
astronomi adalah Nabi Idris AS19., hal ini menunjukkan bahwa wacana hisab
rukyat sudah ada sejak waktu itu, atau bahkan lebih awal dari itu.
Berkaitan dengan sejarah hisab ini, sejauh pelacakan Ahmad Izzudin
didapatkan bahwa sekitar abad ke-28 SM, embrio ilmu falak mulai tampak.
Pada waktu itu falak digunakan untuk menentukan waktu saat-saat
penyembahan berhala. Keadaan seperti ini sudah tampak di beberapa negara
seperti di Mesir (untuk menyembah Dewa Orisis, Isis dan Amon), di
Babilonia dan Mesopotania untuk menyembah Dewa Astoroth dan Baal20.
Meskipun embrio falak tampak pada abad ke-28 SM, namun
pengetahuan mengenai nama-nama hari dalam seminggu sudah ada sejak
5.000 tahun sebelum Masehi yang masing-masing diberi nama dengan nama-
nama benda langit21. Pada abad XX SM, di negeri Tionghoa telah ditemukan
alat untuk mengetahui gerak matahari dan benda-benda langit lainnya yang
19 Sebagaimana telah disebutkan oleh Zubair Umar al-Jailani dalam kitab Al-Khulasotul
Wafiyyah yang dikuatkan oleh Al-Susy. Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia ; upaya Penyatuan Madzhab Rukyat dengan Madzhab Hisab, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003, Cet. I, h.41.
20 Ibid, h. 42. 21 Rahmat Taufik Hidayat, dkk., Almanak Alam Islami : Sumber Rujukan Keluarga Muslim
Milenium Baru, Jakarta, Pustaka Jaya, 2000, Cet. I, h.166.
22
sekaligus mereka pulalah yang mula-mula dapat menentukan terjadinya
gerhana matahari22.
Setelah berlanjut pada asumsi Pythagoras (580-500 SM), bahwa bumi
berbentuk bulat bola, yang dilanjutkan Heraklius dari Pontus (388-315 SM)
mengemukakan bahwa bumi berputar pada sumbunya, merkurius dan venus
mengelilingi matahari dan matahari mengelilingi bumi23. Penemuan ini
diperkuat dengan hasil dari Aristarchus dari Samos (310-230 SM) mengenai
hasil pengukuran jarak antara bumi dan matahari, dan pernyataanya bumi
beredar mengelilingi matahari. Selain itu juga dari Mesir bernama
Eratosthenes telah mendapatkan perhitungan keliling bumi.
Dari semua penemuan di atas, sebagaimana diungkapkan oleh Ahmad
Izzudin bahwa dia menduga persoalan hisab rukyat telah nampak sejak
sebelum Masehi, meskipun dalam kemasan yang berbeda.24
Pada masa sesudah Masehi terlihat dengan penemuan Claudius
Ptolomeus (140 M) berupa catatan-catatan tentang bintang-bintang yang
22 Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia ; upaya Penyatuan Madzhab Rukyat
dengan Madzhab Hisab Yogyakarta : Logung Pustaka, 2003, cet.I; h. 42. 23 Ensiklopedi Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, Cet. Ke-5, h.331. 24 Izzudin, Fiqh Hisab; h. 42.
23
diberi nama Tabril Magesthi, dan berasumsi bahwa semesta alam ini
berbentuk geosentris25.
Kemudian pada masa Islam datang (masa Nabi Muhammad Saw),
ilmu hisab memang belum masyhur di kalangan ummat Islam, meskipun
sebenarnya ada juga yang mahir dalam perhitungan. Dengan demikian
realitas persoalan hisab rukyat pada masa itu tentu saja sudah ada meskipun
dari sisi hisabnya belum begitu masyhur. Hal ini ditandai dengan adanya
penggunaan perhitungan tahun Hijriyah oleh Nabi sendiri ketika Beliau
menulis surat pada kaum Nasrani Bani Najran, tertulis ke V Hijriyah, namun
di dunia Arab lebih mengenal peristiwa-peristiwa yang terjadi dijadikan
sebagai nama tahun atau tanggalan, seperti tahun Gajah, tahun Izin, tahun
Amar, tahun Zilzal dan sebagainya26.
Secara formal, pada masa itu wacana hisab rukyat baru tampak dengan
adanya penetapan hijrah Nabi dari Mekkah ke Madinah, yang dijadikan
sebagai fondasi dasar kalender Hijriyah yang dilakukan oleh sahabat Umar
bin Khattab, yakni tepatnya pada tahun ketujuh belas Hijriyah. Dan dengan
25 Ibid.
26 Rahmat Taufik Hidayat, dkk., Almanak Alam Islami : Sumber Rujukan Keluarga Muslim
Milenium Baru, Jakarta, Pustaka Jaya, 2000, Cet. I, h. 183.
24
berbagai pertimbangan yang matang bulan Muharram sebagai awal bulan
Hijriyah27.
Persoalan hisab rukyat ini, mulai mendapatkan masa keemasannya
pada masa Dinasti Abbasiyah. Hal ini terlihat pada masa Khalifah Abu Ja’far
al-Manshur, ilmu astronomi mendapat perhatian khusus, salah satunya adanya
upaya menterjemahkan kitab Sindihind dari India28.
Kemudian pada masa Khalifah al-Makmun, naskah Tabril Magesthi
diterjemahkan dalam bahasa Arab. Dan dari sinilah lahir istilah ilmu hisab
sebagai salah satu dari cabang ilmu ke-Islaman dan tumbuhnya ilmu hisab
mengenai penetapan awal waktu shalat. Penentuan gerhana, awal bulan
Qamariyah dan penentuan arah kiblat29. Selain itu pada masa Khalifah ini,
observatorium telah didirikan di Sinyart dan Junde Shahfur Bagdad.
Masa kejayaan hisab rukyat ditandai oleh lahirnya beberapa tokoh
yaitu Al-Farghani seorang ahli falak, yang oleh barat dipanggil Farganus.
Kemudian Maslamah Ibnu al-Marjiti di Andalusia telah mengubah tahun
Persi dengan tahun Hijriyah. Disamping itu ada juga pakar ilmu falak
kenamaan lainnya seperti; Mirza Ulugh bin Timur Lank yang terkenal dengan
27 Ibid, h. 184. 28 Izzudin, Fiqh Hisab; h. 44. 29 Ibid.
25
Ephemerisnya, Ibnu Yunus (9500-1000 M), Nasruddin (1201-1274 M), dan
Ulugh Beik (1344-1449 M) yang terkenal dengan landasan ijtima’ dalam
penentuan awal bulan Qamariyah.30
Di Bashrah, Abu Ali al-Hasan bin al-Haytam (965-1039 M) seorang
pakar falak yang terkenal dengan bukunya Kitabul Manadhir dan tahun 1572
diterjemahkan dengan nama Optics yang merupakan penemuan baru tentang
refraksi (sinar bias). Tokoh-tokoh tersebut sangat mempengaruhi ilmu falak
di dunia Islam pada masanya masing-masing. Meskipun masih terkesan
bernuansa Ptomoleus31.
Pada pertengahan abad XIII M, setelah umat Islam menampakkan
kemajuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka ummat Islam
mengadakan ekspansi intelektualitas ke Eropa melalui Spanyol. Pada waktu
itu Eropa sedang dilanda oleh tumbuhnya isme-isme baru seperti Humanisme,
Rasionalisme dan Renaisans yang merupakan reaksi dari filasafat Skolastik di
masa itu, dimana adanya larangan penggunaan rasio atau berpaham
kontradiksi dengan paham gereja. Kemudian muncul Nicolass Copernicus
(1473-1543 M) yang berupaya membongkar Teori Geosentris yang
dikembangkan oleh Claudius Ptolomeus. Teori yang dikembangkannya
adalah bukan bumi yang dikelilingi matahari, tetapi sebaliknya, serta planet-
30 Ibid. 31Ibid, h. 45.
26
planet beserta satelit-satelit yang mengelilingi matahari. Teori ini kemudian
dinamakan Teori Heliosentris32.
Perdebatan mengenai teori tersebut berkembang sampai pada abad
XVIII, dinamakan penyelidikan Galilleo Galilei dan John Keppler
menyatakan pembenaran Teori Heliosentris. Mekipun antara John Keppler
dan Copernicus berbeda dalam hal lintasan planet mengelilingi matahari ,
dimana menurut Copernicus berbentuk bulat, sedangkan menurut John
Keppler berbentuk elips (bulat telur). Hal ini pada masa sesudahnya banyak
ditemukan penemuan-penemuan yang berkaitan dengan kosmografi33.
Berkaitan dengan kedua teori di atas, dalam wawancara historitas
hisab rukyat Islam, bahwa tokoh yang pertama kali melakukan kritik tajam
terhadap teori Geosentris adalah al-Biruni dengan asumsi tidak masuk akal
bila langit yang besar dan luas dengan bintang-bintangnya dinyatakan
mengelilingi bumi sebagai pusat tata surya34. Dari penemuan ini dapat
diambil kesimpulan bahwa al-Biruni lah peletak dasar Teori Heliosentris.
Fenomena di atas menjadi pernyataan para peneliti modern, mereka
berselisih pendapat mengenai orisinalitas kontribusi dan peranan orang-orang
Islam. Bertrand Russel, sebagaimana dikutip Nurcholis Madjid misalnya,
32 Ensiklopedi Islam, h. 331. 33 Izzudin, Fiqh Hisab; h. 46. 34 Ibid.
27
cenderung meremehkan tingkat orisinalitas kontribusi Islam di bidang
filasafat, namun tetap mengisyaratkan adanya tingkat orisinalitas yang tinggi
di bidang matematika, termasuk di dalamnya astronomi35.
Kembali kepada penemuan Ulughul Beik (1344-1449) berupa jadwal
Ulughul Beik. Jadwal ini pada tahun 1650 M diterjemahkan dalam bahasa
Inggris oleh J. Greaves dan Thyde, dan oleh Saddilet disalin dalam bahasa
Perancis. Kemudian sekitar tahun 1857-1861 di Nautical Al-Manac Amerika,
Simon New Comb (1835-1909 M) berhasil membuat jadwal astronomi.
Jadwal itu terkenal dengan nama Almanac Nautica36.
Kedua jadwal itulah yang selama ini mewarnai tipologi metode hisab
di Indonesia. Dimana tipologi hisab klasik dengan diwakili oleh kitab
“Sullamun Nayyirain” sebagaimana telah diakui sendiri oleh Mansur al-
Batawi dalam kitabnya, bahwa jadwal yang digunakan adalah bersumber
kepada Ulughul Beik. Sedangkan tipologi hisab modern sebagai mana telah
berkembang dalam wacana hisab rukyat dan tekhnik hisab, bahwa Almanac
Nautica diklasifikasikan dalam tipologi hisab (hakiki) kontemporer37. Dengan
demikian di Indonesia memiliki dua metode hisab rukyat yakni metode klasik
dan metode modern.
35 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina,
1992, Cet. I, h.135-136. 36Izzudin, Fiqh Hisab; h. 47. 37 Ibid.
28
2. Aliran-aliran Hisab
Pada dasarnya sejarah pemikiran Islam sejak awal pertumbuhannya
adalah sejarah aliran, mazhab atau firqah. Dengan demikian, sejarah
pemikiran hisab tidak bisa lepas pula dari persoalan aliran dan mazhab.
Pada zaman modern, ketika umat Islam dihadapkan pada tantangan
modernitas dalam segala aspek dan seginya, persoalan hisab menjadi semakin
penting untuk dikaji dan ditelaah ulang.
Sebagai kajian yang berkaitan dengan persoalan aliran atau pola
pemikiran (paradigma), terlebih dahulu perlu ditinjau aliran-aliran hisab yang
ada. Sehubungan dengan hal itu, ada dua masalah besar. Pertama, nama
aliran yang digunakan oleh para pengkaji cukup beragam. Pada umumnya,
nama aliran yang sering digunakan ialah hisab urfi, hakiki, imkanur rukyat
dan hisab astronomi38. Perbedaan aliran ini menimbulkan masalah kedua,
yaitu perbedaan-perbedaan definisi. Akibatnya timbul perbedaan penilaian
terhadap masing-masimg aliran.
Untuk mengatasi dua pokok masalah tersebut, maka kajian ini
membatasi pada aliran yang mewakili pemikiran hisab di Indonesia, yakni
hisab Urfi dan hisab Hakiki.
a. Hisab Urfi
Hisab urfi merupakan sistem perhitungan dalam penanggalan yang
didasarkan pada perhitungan rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan
38Susiknan Azhari, Ilmu Falak Teori dan Praktek, Yogyakarta, Lazuardi, 2001, Cet. I, h.92.
29
secara konvensional, dimana ditentukan dengan aturannya yang tetap dan
berurutan yakni dimulai dari Muharram yang mempunyai jumlah hari 30,
Safar 29 dan begitu seterusnya kecuali tahun kabisat yang terjadi 11 kali
dalam satu daur yakni 30 tahun, maka khusus untuk bulan Dzulhijjah 30 hari,
yang seharusnya 29 hari berdasarkan perhitungan secara Urfi. Dengan
demikian untuk hisab Urfi ini merupakan sistem selang seling antara 30 dan
29 hari mulai dari bulan Muharram hingga seterusnya (untuk bulan ganjil 30
hari dan bulan genap 29 hari), kecuali Dzulhijjah pada tahun kabisat.
Hisab Urfi dalam perhitungannya masih bersifat tradisional yakni
hanya dengan membuat anggapan-anggapan dalam menentukan perhitungan,
tentunya dengan mendasarkan pada beberapa prinsip39. Yaitu :
1) Ditetapkan awal bulan Hijriyah baik tanggal, bulan, tahun, dan
persesuaiannya dengan tanggal Masehi, dalam hal ini ditentukan
bahwa tanggal satu Muharrram merupakan satu Hijriyah,
bertepatan dengan hari kamis tanggal 15 juli 622 M atau hari
Jum’at tanggal 16 juli 622 M.
2) Ditetapkan pula bahwa satu tahun itu umumnya 354 hari sehingga
dalam 30 tahun atau daur terdapat 11 tahun, panjang dan 19 tahun
pendek.
39 Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah, Jakarta Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995, h.14-15.
30
3) Tahun panjang ditetapkan umurnya 355 hari sedangkan tahun
pendek ditetapkan 354 hari.
4) Tahun panjang terletak pada deretan tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 15
(namun sebagian ulama menyatakan ke-16), 18, 21, 24, 26 dan ke-
29. Sedangkan deretan lainnya sebagai lainnya sebagai tahun
pendek. Hal ini terkumpul dalam kalimat :
خل حبھ فصانھ كف الخلیل كفھ دیانھ عن كل
Keterangan : Dari kalimat diatas, huruf Hijaiyyah yang ada
titiknya merupakan penunjukan jatuhnya urutan dari tahun
panjang, sedangkan huruf Hijaiyyah yang tidak ada titiknya
merupakan jatuhnya urutan tahun pendek.
5) Bulan-bulan gasal umurnya ditetapkan 30 hari sedangkan bulan-
bulan genap umumnya 29 hari dengan keterangan untuk tahun-
tahun panjang bulan yang ke-12 (Dzulhijjah) ditetapkan 30 hari.
b. Hisab Haqiqi
Hisab haqiqi merupaka hisab yang didasarkan kepada peredaran bulan
dan bumi yang sebenarnya, yaitu penentuan kedudukan bulan pada saat
matahari terbenam. Menurut sistem ini umur bulan tidaklah tetap dan tidak
beraturan, terkadang dua bulan berurutan umurnya 29 atau 30 hari dan
kadang-kadang berganti seperti halnya menurut perhitungan hisab urfi. Hisab
31
haqiqi masuk pada kategori hisab modern, karena sudah menggunakan
kaidah-kaidah ilmu ukur bola sperical trigonometri40. Sebagai mana hisab
urfi, hisab haqiqi juga menggunakan beberapa cara atau metode yang
dijadikan sebagai prinsip penerapannya, yaitu :
1) Menentukan terjadinya ghurub41 matahari untuk suatu tempat.
2) Dengan berdasarkan ghurub matahari tadi hisab haqiqi menghitung
longitude matahari dan bulan serta data lain dengan koordinat ekleptika.
3) Selanjutnya atas dasar longitude ini mereka menghitung terjadinya
ijtima’42.
4) Kedudukan matahari dan bulan yang ditentukan dengan sistem koordinat
ekleptika diproyeksikan ke equator dengan koordinat equator. Dengan ini
dapat diketahui mukuts (jarak sudut lintasan matahari dan bulan pada saat
matahari terbenam).
5) Kedudukan matahari dengan sistem koordinat equator itu diproyeksikan
lagi ke vertikal sehingga menjadi koordinat horizon, dengan demikian
dapat ditentukan berapa tinggi bulan pada saat matahari terbenam dan
berapa azimutnya.
40Spherical Trigonometri adalah segitiga yang digambarkan pada kulit bola dengan pegertian yang khusus. Rumusan ini digunakan untuk melakukan transformasi dari sistem koordinat equator ke sistem koordinat azimutal (menghitung jarak sudut antara dua tempat dan menghitung arah suatu tempat), Ibid, h.8.
41 Apabila matahari dan bulan bersinggungan pada piringan atasnya (uper limb) dengan kaki
langit, dalam pengertian astronomi dikatakan terbenam jika jarak zenitnya sama dengan 90 derajat lebih semidiameter ditambah refraksi dikurangi paralaks. Ibid.
42Disebut pula iqtiran yaitu; jika bulan dan matahari berada pada bujur ekliptika yang sama
(konjungsi), Ibid.
32
Pandangan ahli hisab dalam menentukan awal bulan baru berbeda-
beda yang pada intinya menyebabkan hasil perhitungan hisab yang berbeda-
beda pula. Dari beberapa perbedaan ini melahirkan beberapa aliran
pemahaman dalam menentukan masuknya bulan baru mempergunakan sistem
hisab haqiqi ini. Misalnya, Badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama,
pada dasarnya terdiri dari dua golongan yaitu golongan yang berpedoman
kepada ijtimak semata dan golongan yang berpedoman kepada posisi bulan di
atas ufuk pada saat matahari terbenam. Kedua golongan tersebut terpecah lagi
menjadi beberapa golongan, bagi golongan yang berpedoman ijtimak semata
terpecah menjadi dua, yaitu golongan yang meyakini ijtimak qabla al-ghurub
dan ijtimak qabla al-fajri43.
1) Ijtimak qabla al-ghurub
Golongan yang berpedoman kepada ijtimak qabla al-ghurub
berpendapat, bahwa jika ijtima’ itu terjadi sebelum matahari terbenam, maka
malam harinya sudah dianggap bulan baru. Sedangkan, jika ijtimak terjadi
setelah matahari terbenam, maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan
sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung. Sistem ini sama sekali
tidak memperhitungkan rukyat, juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari
ufuk, asalkan sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtimak. Golongan
yang berpedoman pada ijtima qabla al-ghurub walaupun hilal berada di
bawah ufuk, malam hari itu juga sudah masuk bulan baru.
43 Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah, h. 15.
33
Sistem ini lebih menitik beratkan pada penggunaan astronomi
murni yang dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa bulan baru terjadi
sejak matahari dan bulan dalam keadaan ijtimak(konjungsi)44. Sistem ini
menghubungkan ijtimak dengan saat matahari terbenam, sebab sistem ini
mempunyai anggapan bahwa hari menurut Islam adalah dimulai dari
terbenam matahari sampai terbit pada keesokan harinya hingga matahari
terbenam kembali. Konsep yang dipegang di sini adalah malam
mendahului siang.
Menurut sistem ini, dapat dikatakan bahwa ijtimak adalah pemisah
diantara dua bulan Qomariyah. Namun karena hari menurut Islam dimulai
sejak terbenam matahari, maka ketika ijtimak terjadi sebelum terbenam
matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru. Jika ijtimak terjadi
setelah terbenam matahari, maka malam itu masih merupakan bagian dari
bulan yang sedang berlangsung.
2) Ijtimak qabla al-fajri
Golongan yang berpedoman pada ijtimak qabla al-fajri berpendapat
bahwa permulaan bulan Qomariyah ditentukan oleh ijtimak sebelum fajar.45.
Menurut sistem ini, jika ijtimak terjadi sebelum terbit fajar, maka
malam itu sudah termasuk bulan baru walaupun pada saat matahari terbenam
44 Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan, h. 9. 45 Ibid.
34
pada malam itu belum terjadi ijtimak. Pendapat ini berdasarkan arti dari
perintah dimulainya puasa secara harian46, sebagaimana Firman Allah SWT.
dalam surat Al-Baqarah ayat 187:
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf[115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(QS. Al-Baqarah : 187)
46 Ibid, h.10.
35
Di Indonesia belum diketahui secara pasti adanya para ahli yang
berpegang kepada ijtimak qabla al-fajri ini. Hanya saja pendapat ini
ditemukan digunakan oleh pemerintah Saudi Arabia. Hal ini terlihat pada
penentuan hari raya ‘Idul Adha di tahun 1395 H atau 1975 M47.
Dari beberapa keterangan diatas, semuanya itu merupakan
golongan yang memegang ijtimak semata. Sebagaimana telah disinggung
di atas, bahwa badan Hisab dan Rukyat Departemen Agama RI, pada
dasarnya terdiri dari dua golongan yaitu golongan yang berpegang kepada
ijtimak semata dan golongan yang berpedoman kepada posisi bulan di atas
ufuk pada saat matahari terbenam. Adapun golongan yang berpedoman
pada posisi hilal di atas ufuk terbagi pada golongan posisi bulan di atas
ufuk haqiqi, ufuk Hissi, ufuk mar’i, dan golongan Imkan ar-rukyat.
1) Ufuk haqiqi
Golongan ini berpendapat bahwa ketentuan bulan baru haruslah
didasarkan kepada penampakan hilal yang benar yakni hilal harus berada
diatas ufuk haqiqi48. Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi
tempat si peninjau, dengan demikian jari-jari bulan, parralaks dan refraksi
tidak turut diperhitungkan. Sistem ini memperhitungkan bulan bukan
untuk dilihat. Berbeda dengan perhitungan matahari terbenam, golongan
47 Ibid. 48 Ufuk haqiqi adalah bidangt datar yang ditarik melalui pusat bumi tegak lurus pada garis
Vertikal. Ibid, h.10.
36
ini memperhitungkan unsure-unsur di atas, sebab mereka mempergunakan
pengertian terbenam matahari seperti apa yang dilihat.
Dengan demikian menurut sistem ini setelah terjadi ijtimak dan
hilal sudah berada di atas ufuk haqiqi pada saat matahari terbenam, maka
malam itu juga sudah dianggap bulan baru49.
2) Ufuk Hissi
Golongan ini berpedoman kepada posisi hilal berada di atas ufuk
Hissi50, berpendapat bahwa jika pada saat matahari terbenam telah terjadi
ijtimak dan hilal sudah berada di atas ufuk Hissi, maka sudah dianggap
bulan baru.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa letak perbedaan diantara
keduanya adalah titik pengukuran yang dilihat si peninjau. Jika pada ufuk
haqiqi si peninjau melihatnya dari titik pusat bumi, sedangkan pada ufuk
hissi dilihat dari atas permukaan bumi.
Golongan yang berpegang kepada ufuk hissi memang kurang
popular, sehingga banyak para ahli yang kurang mementingkan sistem ini.
Namun system ini cukup diakui di Indonesia, meskipun penganutnya tidak
terlihat banyak dan kurang terkenal.51
49 Ibid. 50 Ufuk Hissi adalah bidang datar mata peninjau yang sejajar dengan ufuk haqiqi.
Departemen Agama RI, Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariah, h. 11. 51 Ibid.
37
3) Ufuk Mar’i
Selain berpegang kepada ufuk haqiqi dan ufuk hissi, juga juga
terdapat golongan yang berpegang kepada ufuk Mar’i. Ufuk mar’i ini
masih tergantung kepada ketinggian mata pengamat dari permukaan air
laut. Dimana jika ketinggian berubah, maka berubah pula horizon yang
dilihatnya. Dan jika mata peninjau dari permukaan air laut, maka letak
horizon yang sebenarnya merupakan ufuk haqiqi52.
Pada sistem ini bukan hanya berpedoman kepada ufuk mar,i yang
memperhatikan kerendahan ufuk saja, tetapi juga memperhatikan
semidiameter, parralaks, dan refraksi. Dengan perkataan lain, sistem ini
memperhitungkan posisi hilal untuk dapat dirukyat (hilal mar’i), bukan
memperhitungkan posisi hilal yang sesungguhnya (hilal haqiqi).
4) Imkan ar-rukyat
Golongan ini berpendapat bahwa pada saat matahari terbenam
setelah terjadinya ijtimak, hilal harus memiliki posisi yang sedemikian
rupa sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat. Para ahli yang termasuk
dalam golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian
hilal yang mungkin dapat dirukyat. Dalam hal ini ada yang berpendapat 8o,
7o, 6o, 5o, dan lain sebagainya53.
52 Ilmanudin, Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah, h. 20. 53 Ibid, h.14.
38
Berkaitan dengan hal ini, pada tahun 1978 telah diadakan
konferensi Internasional di Turki yang telah menetapkan bahwa untuk
dapat terlihatnya hilal terdapat dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu
ketinggian hilal di atas ufuk tidak kurang dari 5o derajat dan sudut pandang
Angular Distance antara hilal dan matahari tidak kurang dari 8o54.
3. Perkembangan Hisab Di Indonesia
Dalam perjalanan sejarah hisab rukyat di Indonesia sudah barang tentu
tidak akan terlepas dari sejarah masuknya Islam itu sendiri di Indonesia.
Dalam catatan sejarah dikatakan bahwa sebelum kedatangan agama Islam, di
Indonesia telah terdapat suatu perhitungan tahun yang ditempuh menurut
kalender Jawa Hindu atau tahun Soko55. Tahun Soko ini didasarkan kepada
peredaran matahari, dimulai pada saat penobatan Prabu Syali Wahono (Adji
Soko) pada hari sabtu tanggal 14 Maret 78 M, tetapi tahun ke-I dimulai
setelah satu tahun kemudian.
Tahun Soko tersebut pada tahun 1633 M digabungkan dengan tahun
Hijriyah (yang didasarkan pada peredaran bulan) oleh Sultan Agung Prabu
Anyokro Kusumo, tetapi tahunnya tetap tahun 1555 dengan daur atau
windunya berumur 8 tahun bukan 30 tahun seperti tahun Hijriyah56.
54 Ibid. 55 Maskufah, Memahami Tarikh Masehi dan Hijri : Suatu perbandingan, makalah yang
disampaikan pada seminar Ilmu Falak I pada tanggal 14 Desember 2004 di gedung theater lantai II., h.73.
56 Ibid.
39
Ketetapan itu merupakan gabungan dari penanggalan Hindu Jawa dengan
penanggalan Hijriyah. Dengan demikian, sejak saat itu tahun Jawa yang
berlaku adalah Jawa Islam57.
Dengan adanya penggunaan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi
pada zaman berkuasanya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, maka sudah
sangat jelas bahwa hal itu sebagai tanda umat Islam di Indonesia telah terlibat
dalam pemikiran hisab rukyat dan sekaligus sebagai tanda adanya perubahan
kemasyarakatan dari kehinduan menjadi masyarakat yang keislaman.
Pada perkembangan selanjutnya penggunaan kalender Hijriyah ini
diubah menjadi kalender Masehi oleh penjajah Belanda sebagai kalender
resmi pemerintahan. Namun meski demikian, umat Islam tetap menggunakan
kalender Hijriyah, khususnya segala penetapan yang berkaitan dengan
persoalan ibadah diserahkan kepada kerajaan-kerajaan Islam, seperti
penetapan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah58.
Setelah Indonesia merdeka, secara berangsur-angsur mulai terjadi
perubahan. Setelah terbentuknya Departemen Agama pada tanggal 3 Januari
194659, persoalan-persoalan hari libur yang berkaitan dengan ibadah
diserahkan kepada Departemen ini sesuai dengan PP tahun 1946 No.
57 Satu tahun ditetapkan sama yaitu 12 bulan, yakni Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud,
Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Syawal, Dulkongidah, dan Besar. 58 Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia ; upaya Penyatuan Madzhab Rukyat
dengan Madzhab Hisab, Yogyakarta, Logung Pustaka, 2003, cet.I, h. 49. 59 Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia, Cet. I, Jakarta, Djambatan, 1992, h.211.
40
1/Um.7/Um.9/um jo keputusan Presiden No. 25 tahun 1967 No. 148 tahun
1968 dan No. 10 tahun 1971.
Meskipun penetapan hari libur telah diserahkan pada Departemen
Agama, namun secara praktis sampai saat ini terkadang masih belum
seragam. Hal ini sebagai dampak adanya perbedaan pemahaman antara
beberapa pemahaman yang ada dalam wacana hisab rukyat.
Dengan adanya fenomena tersebut Departemen Agama berinisiatif
membentuk Badan Hisab Rukyat Departemen Agama guna mempertemukan
perbedaan-perbedaan tersebut, meskipun dalam kenyataannya masih belum
terwujud. Hal ini dapat terlihat seringkali terjadi perbedaan awal Ramadhan,
Idul Fitri dan Idhul Adha.
Melihat fenomena tersebut Ahmad Izzudin mengemukakan bahwa,
persoalan hisab rukyat ini masih terkesan formalitas, belum membumi dan
belum menyeluruh pada akar penyatuan yang baik. Sehingga wajar kiranya di
masa pemerintahan Gus Dur, sebagaimana disampaikan Wahyu Widiana
ketika menjadi Key Note Speech dalam acara Work Shop Nasional mengkaji
ulang metode penetapan awal shalat yang diselenggarakan UII Yogyakarta,
pada tanggal 7 April 2001 bahwa badan hisab rukyat ini akan dikembalikan
pada masyarakat (Umat Islam Indonesia)60. Namum meski demikian
eksistensi badan hisab rukyat di Indonesia ini telah memberikan warna
60 Ibid, h.51 dan 69.
41
tersendiri dalam dinamika penetaapan awal bulan Qomariyah khususnya awal
bulan Ramadhan di Indonesia.
C. Hisab Rukyat Dalam Penentuan Awal Bulan Ramadhan
Dalam Islam, banyak sekali ibadah-ibadah yang berkaitan erat dengan
waktu, sehingga suatu ibadah tersebut tidak dapat dilaksanakan tanpa
mengetahui waktu-waktu syari’at terlebih dahulu. Salah satunya adalah ibadah
Puasa Ramadhan, untuk melaksanakan ibadah tersebut sangat diperlukan adanya
suatu penetapan bagi pelaksanaannya. Dengan demikian guna mendapatkan
ketetapan tersebut perlu kiranya suatu perhitungan atau hisab bagi permulaan
dan akhir bulan khususnya bulan Ramadhan, yang mana hal ini akan menjadi
fondasi awal dalam pelaksanaan ibadah Puasa.
Perhitungan atau hisab yang didasarkan kepada peredaran bulan ini akan
memungkinkan ahli hisab dalam mengetahui posisi bulan dalam jangka waktu
tertentu, sehingga mereka dapat mengetahui awal dan akhir bulan Ramadhan
jauh sebelum waktunya. Hal ini akan sangat berguna bagi masyarakat Islam
untuk lebih meyakinkan diri mereka dalam melaksanakan ibadah puasa.
Penentuan awal bulan kalender Islam, khususnya awal bulan Ramadhan
dan Syawal sering menimbulkan problematika yang kompleks bagi ummat
Islam. Problematika ini muncul akibat dari adanya beberapa faktor61 ,
diantaranya :
61 Kardiman, dkk., Garis Tanggal Kalender Islam 1421 H, Bogor, BAKOSURTANAL,
2001, h.6.
42
1. Perbedaan pendapat mengenai bagaimana seharusnya menentukan awal bulan
Hijriyah, khususnya awal bulan Ramadhan.
2. Perbedaan antara hasil-hasil pengamatan lapangan.
3. Perbedaan antara berbagai macam metode perhitungan.
4. Perbedaan antara pengamatan dan perhitungan.
Dari beberapa faktor diatas, pokok permasalahan lahirnya perbedaan
tersebut adalah ketika seseorang menelaah lebih mendalam akan maksud hadits-
hadits yang berkaitan dengan awal bulan Ramadhan sebagaimana hadits-hadits
di atas. Adapun hasil telaah untuk menentukan awal bulan Ramadhan itu dapat
dikategorikan sebagai berikut62:
1. Rukyat
a. Rukyat praktis
Secara praktis, keberadaan hilal dapat dibuktikan dengan melakukan
pengamatan langsung di lapangan sesaat setelah matahari terbenam pada
tanggal 29 bulan Sya’ban. Untuk mengurangi kesalahan hasil pengamatan,
tentulah harus dilakukan persiapan-persiapan yang matang, seperti memilih
lokasi rukyat yang strategis, pengamat yang jujur, adil, dan mengetahui tata
cara merukyat dan sebagainya. Dalam rukyat praktis ini hasil pengamatan
hilal akan berbeda dan akan menghasilkan penentuan awal bulan Ramadhan
yang berbeda pula ketika faktor-faktor pendukung rukyat praktis berbeda,
baik dari segi pemilihan lokasi (geografis dan kestrategisannya), pengaruh
62 Ibid, h.9.
43
cuaca, menggunakan alat atau mata telanjang, keahlian dan kejujuran
pengamat dan lain-lain. Dengan demikian meskipun umat Islam di Indonesia
secara serempak setuju menggunakan kategori ini akan tetap menimbulkan
perbedaan awal bulan Ramadhan juga.
b. Rukyat Teoritis
Rukyat teoritis merupakan rukyat yang didasarkan pada perhitungan-
perhitungan keberadaan hilal dengan ilmu falak atau astronomi. Metode
perhitungan ini dikenal dengan istilah metode hisab. Sampai saat ini banyak
sekali metode yang digunakan umat Islam. Masing-masing mengklaim
metode yang digunakannya yang paling benar dan paling akurat. Bukan
hanya sampai di sini, namun juga perbedaan metode yang ada telah
mengakibatkan perbedaan hasil hisab, sehingga penentuan awal bulannya
juga mengalami perbedaan.
2. Istikmal
a. Istikmal Praktis
Istikmal praktis merupakan penyempurnaan bulan Hijriyah atau
dengan kata lain menggenapkan bulan Hijriyah menjadi 30 hari ketika
seseorang harus merukyat hilal pada tanggal 29 bulan Sya’ban, terdapat awan
yang menghalangi pelaksanaan rukyat. Hal ini didasarkan kepada peredaran
bulan mengelilingi bumi dengan memperhitungkan pengaruh peredaran bumi
mengelilingi matahari, memakan waktu rata-rata 29,5 hari. Dengan demikian
44
jumlah hari dalam setiap bulan kalender Hijriyah hanya memiliki dua
kemungkinan yakni 29 dan 30 hari.
b. Istikmal Teoritis
Pada istikmal teoritis, penggenapan bulan menjadi 30 hari dilakukan
tanpa adanya merukyat terlebih dahulu, namun penggenapan ini dilakukan
dengan melakukan hisab atau perhitungan keberadaan hilal, sehingga melalui
perhitungan ini akan dapat diketahui hilal dapat dilihat atau tidak.
Dari beberapa kategori di atas, pada hakikatnya akan bermuara pada
penentuan bulan Ramadhan secara hisab dan rukyat. Kedua sistem ini sangat
berperan penting dalam penetapan awal bulan Ramadhan, yang keduanya
saling melengkapi satu sama lain dan sekaligus sama-sama memiliki
kelebihan dan kekurangan. Dengan demikian perbedaan akan semakin
meruncing apabila kita membandingkan metode yang jelas akarnya berbeda.
Meskipun rukyat praktis dan rukyat teoritis (hisab) masing-masing sudah
dilakukan dengan baik, namun perbedaan hasil tidak sepenuhnya dapat
dihindari. Di satu pihak orang meyakini metodenya sebagai paling sah yang
didukung dalil yang kuat dan pihak lain bersikukuh dengan perhitungannya
yang diklaimnya lebih obyektif, jujur, dan akurat. Kalau saja masing-masing
pihak mau menyadari kelemahan dan kelebihan yang dimiliki, tentu ada jalan
keluar untuk mencari titik temu dari perbedaan-perbadaan itu.
45
BAB III
SEKILAS TENTANG SYAIKH BURHANUDDIN
A. Profil Syaikh Burhanuddin
Syaikh Burhanuddin dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Puteri Cukuep
Bilang, dan ayahnya bernama Pampak Sakti Karimun Merah. Kedua orang tuanya
adalah orang terpandang di dalam masyarakat. Tidak ada yang tahu secara pasti
tanggal, bulan, dan tahun ia dilahirkan, diperkirakan sekitar abad ke-17M. Nama
kecilnya adalah “Buyung Pono” yang diambilkan dari gelarnya “samparono” yang
artinya sempurna.1
Sejak kecil, Pono bekerja sebagai penggembala kerbau. Dalam
penggembalaan itulah dia bertemu dengan Idris yang nantinya diberi gelar dengan
Khatib Majalelo, Idris ini yang menjadi teman setianya ketika kembali dari Aceh
dan menjadi tulang punggung penyiaran Islam di Ulakan. Dari Idris itulah Pono
mendapatkan informasi yang lebih banyak dan lebih luas tentang Tuanku
Madinah/Syaikh Abdullah Arif di Tapakis. Sejak saat itu pula ia mulai belajar
agama sekaligus menggembalakan ternaknya2.
Setelah lama menimba ilmu agama kepada Tuanku Madinah, kemudian pada
tahun 1043 H ia melanjutkan menuntut ilmu kepada Syaikh Abdul Ra’uf di
Singkil, Aceh, seorang ulama besar di Aceh pada masa itu selama kurang-lebih 23
1 Tuanku Nan Elok, Seorang tokoh ulama Tarekat Syatariyah yang berperan di Tapakis
Ulakan Pariaman, wawancara langsung, 29 Desember 2010. 2 2 Duski Samad, Shekh Burhanuddin dan Islamisasi di Minangkabau, Syarak mandaki adat
manurun, Jakarta : TMF 2002 , h. 23.
46
tahun. Setelah mendalami ilmu agama, maka ia diberi gelar Syaikh Burhanuddin
yang artinya Penyuluh Agama. Setelah itu, ia kembali ke Daerah Pariaman,
tepatnya daerah Sungai Gimbal, ia mendirikan sebuah pesantren sehingga semakin
banyaklah orang-orang yang datang kesana. Ajarannya yang selalu terngiang di
hati masyarakat Ulakan adalah “Adat berpangku Syara’, Syara’ berpangku
kitabullah”. Selama kurang lebih 45 tahun ia berhasil mencetak ulama di Daerah
Minangkabau khususnya dan di Pulau Sumatera serta Semenanjung Melayu pada
Umumnya.
Selama hidupnya ia tidak pernah berkeluarga sehingga ia tidak memiliki
keturunan. Setelah ia meninggal, jabatan khalifah turun-temurun kepada murid dan
keluarganya sampai sekarang untuk menjaga peninggalan dan warisannya.3
Syakih Burhanuddin wafat pada hari Rabu tanggal 10 Syafar tahun 1111 H.
dalam usia 85 tahun, sekarang sudah menjadi tradisi setiap hari Rabu di atas
tanggal 10 Syafar setiap tahun orang ramai berkunjung ke Ulakan dengan
semboyan “Pergi Bersyafar ke Ulakan Pariaman”
B. Pengikut Syaikh Burhanuddin
Tidak banyak diketahui tentang Guru Syaikh Burhanuddin, akan tetapi Guru Syaikh
Burhanudin yang terkenal ada dua yaitu Syaikh Abdullah Arif dan Syaikh Abdul Ra’uf.
Syaikh Abdullah Arif adalah seorang Ulama dari Madinah yang menyebarkan agama
Islam di Daerah Ulakan Tapakis, Pariaman. Dan Beliaulah yang menjadi guru pertama
3 Ibid, h. 149.
47
Syaikh Burhanuddin. Sedangkan Syaikh Abdul Ra’uf adalah guru yang berasal dari
Daerah Singkil, Aceh. Dari Beliaulah Pono mendapat gelar Syaikh Burhanuddin4.
Sedangkan temannya yang setia menemani ketika ia kembali dari Aceh dan menjadi
tulang punggung penyiar Islam di Ulakan adalah Idris yang diberi gelar Khatib Majalelo.
Disamping menjadi juru bicara Syaikh Burhanuddin, Khatib Majalelo juga menjadi
perantara pertemuan Syaikh Burhanuddin dengan Basa Ampek Balai di pusat kekuasaan
Raja Minangkabau. Lebih dari itu, Khatib Majalelo juga memberi dukungan material yang
tidak sedikit demi suksesnya perjuangan Syaikh Burhanuddin, seperti mendirikan Surau di
tanah Ulayatnya di Desa Tanjung Medan Ulakan.5
C. Pemikiran-pemikiran Syaikh Burhanuddin
Syaikh Burhanuddin dianggap oleh jamaah Tharikat Syatariyah sebagai pendiri
Tharikat Syatariyah di daerah Ulakan, Padang Pariaman. Sehingga pemikirannya sangat
berkaitan dengan pemikiran para Ulama Syatariyah Padang Pariaman saat ini. Adapun
pemikiran Syaikh Burhanuddin yang mempengaruhi pemikiran ulama Syatariyah sampai
saat ini antara lain:
4 Tuanku Kadi, Seorang tokoh ulama Tarekat Syatariyah yang berperan di Tapakis Ulakan
Pariaman, wawancara langsung, 29 Desember 2010. 5 Duski Samad, Shekh Burhanuddin...., h.43.
48
1. Pemikiran Kalam
Ulama Tarekat Syatariyah di Ulakan Pariaman dalam hal pemikiran
kalamnya menganut paham itikaq ahlusunnah waljamaah, sesuai dengan
penjelasan Tuanku Aminuddin.6
“Pemahaman keagamaan ajaran Islam yang kami yakini adalah bermazhab
Syafi’I, ber Itiqat ahlusunnah waljamaah, bertarekat Syathariyah, jadi aqidah yang
benar itu adalah ahlusunnah waljamaah, yang pemahaman keagamaan yang
dulunya ajaran ini karena dikembangkan oleh Asy’ariyah, yang ajarannya
mengikuti Sunnah Rasulullah SAW. Selain dari paham ahlusunnah waljamaah
adalah aliran yang menyimpang dari paham Islam, seperti mu’tazilah, jabariah dan
qadariyah.” 7
Dari penjelasan tuanku di atas menunjuk paham ahlusunnah waljamaah
yang dianutnya itu adalah paham yang benar, dan menyalahkan paham diluar
pahamnya. Dalam hal tersebut tuanku menunjukan kefanatikannya, namun
menurut penulis sikap seperti itu akan hanya membuat sempit pemahaman
keagamaan.
Dalam Islam terdapat ajaran dasar adalah aqidah (keimanan) yang tertuang
dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid. Harun Nasution menjelaskan bahwa ilm al-
kalam atau ilm tauhid disebut juga dengan ilmu teologi. Kalau yang dimaksud
6Tuanku Aminuddin adalah ssalah seorang kadi di Nagari Ulakan, Ulakan Tapakis. 7Tuanku Syahril, wawancara langsung, 29 Desember 2010.
49
dengan kalam ialah kata-kata manusia maka teologi dalam Islam disebut ilm al-
kalam, karena kaum teolog Islam besilat dengan kata-kata dalam
mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam
memang diberi nama mutakalimin yaitu ahli debat yang pintar memakai kata-kata.
Kalau yang dimaksud dengan kalam ialah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam
disebut ilm al-kalam; karena soal kalam, sabda Tuhan atau al-Qur’an pernah
menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di Abad
IX dan X Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-penbunuhan
terhadap sesama muslim di waktu itu. Serta timbulnya berbagai aliran kalam
dalam dunia Islam seperti qadhariyah, jabariah, mutazilah, ahlusunnah
waljamaah8
Menurut Harun Nastion, pada hakikatnya semua aliran tersebut, tidaklah
keluar dari Islam, tetapi tetap dalam Islam. Dengan demikia tiap orang Islam
bebas memilih salah satu dari aliran-aliran teologi tersebut, yaitu aliran yang
mana sesuai dengan jiwa dan pendapatnya. Hal ini tidak ubahnya pula dengan
kebebasan tiap orang Islam memilih mazhab fiqh mana yang sesuai dengan jiwa
dan kecenderungannya. Di sinilah kelihatan hikmat ucapan Nabi Muhammad
SAW: “ perbedaan paham di kalangan umatku membawa rahmat,”9
8 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI-
Press 2008, h. Ix. 9 Ibid, h.152.
50
Selanjutnya kaum mu’tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah
atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi nabi dan para
sahabat, tetapi karena mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung
sunnah atau trasisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan
yang tidak berpegang teguh pada sunnah.10 Mungkin inilah yang menimbulkan
term ahlusunnah waljamaah yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi
merupakan mayoritas, sebagai golongan mu’tazilah yang bersifat minoritas dan
tak kuat berpegang pada sunnah.11
Tentang perkataan ahlussunnah, kadang-kadang disebut orang dengan
sunny, yang mana faham itu telah dikembangkan Ismail bin Abi Basar bin Ishaq
bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilai bin Abi Burdah Bin Abi
Musa Bin Al-Asy’ary. Abi Musa al-Asy’ari ini adalah seorang sahabat nabi yang
terkenal dalam sejarah. Justru itu untuk jelasnya siapa Syaikh Abu Hasan itu
penulis terangkan secara ringkas riwayat beliau. Adapun Syaikh Abu Hasan itu di
hidup di negeri Basrah pada tahun 270 H yaitu 55 tahun setelah meninggalnya
Imam Syafi’i (pembangunan mazhab Syafi’i). Pada mulanya beliau ini adalah
seorang murid oleh bapak tirinya bernama “Syaikh Abu Ali Muhammad Bin
Abdul Wahab al-Jabai “seorang ulama serta pembangun faham mu’tazilah yang
telah meninggal pada tahun 303 H pada abad ke III Hijriah banyak ulama
10 Ibid, h. 64. 11 Ibid, h. 65.
51
mu’tazilah yang duduk mengajar di negeri Basrah, Kuffah, Bagdad, lebih-lebih
lagi para ulama mu’tazilah itu mendapat sokongan dari khalifah-Khalifah
Abbasiyah yang sedang memerintah dan berkuasa.12
Ajaran Asyariah itu masuk dalam dunia Tarikat Syathariyah yaitu
mengakui bahwa Allah memiliki sifat. Adanya sifat dua puluh yang diyakini oleh
ajaran Tarekat Syathariyah. Ajaran itu yang berkembang sampai sekarang. Al-
Sinkili yang membawa ajaran tarekat itu ke dunia melayu Indonesia. Sehingga
ajaran itu sampai kepulau Jawa, Sumatra seperti Aceh dan Sumatera Barat.
Ajaran yang dikemukakan oleh al-Asy’ari di dalam ketiga buku utamanya
itu betul-betul memperlihatkan upaya-upaya konfrontasi terhadap paham-paham
mu’tazilah. Hal ini semua dilakukannya juga demi mengagungkan dan
mensucikan Tuhan. Dalam masalah sifat-sifat Tuhan umpamanya, Syariat secara
tegas mengatakan bahwa Tuhan memang miliki sifat dan sifat itu adalah sifat
bukan zat, mustahil kata al-asy’ari, Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena
dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri tentulah
pengetahuan. Padahal Tuhan bukan pengetahuan mengetahui dan pengetahuan-
Nya bukan zat-Nya.13
Dan Tuanku Basa memberikan pandangannya tetang pemahaman itikaq
ahlusunnah waljamaah.
12 Duski Samad, Shekh Burhanuddin...., h. 68-69. 13 Ibid, h.57.
52
“ Pemahaman kita haru benar yaitu bukan air yang melepaskan haus
dahaga, bukan makan yang mengenyangkan akan tetapi pada hakikatnya
adalah Allah SWT. Begitulah pemahaman dan keyakinan kita kepada
Allah”.14
Penjelasan Tuanku Basa tersebut, diketahui bahawa paham ahlusunnah
waljamaah yang dikemungkakan mirip corak pemikiran kalam al-Ghazali (1058-
1111) yaitu bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan. Dan daya
untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai
impontensi.15
Bahwa aqidah Tarekat Syathariyah mengikuti aqidah kaum ahlusunnah.
Kaum ahlusunnah ialah orang yang mengikuti jejak rasulullah dan mengikuti
jejak para sahabat, tidak hanya para sahabat Khulafaur Rasisydin yang empat (
Abu Bakar, Umar, Ustman, dan Ali), tetapi juga mengikuti jejak para sahabat
lainnya, seperti Saidatina Asyah Ra, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud,
dan lain-lainnya.
Tarikat Syatariyah merupakan suatu jalan yang diyakini untuk sampai
kepada Allah atau marifahtullah. Keyakinan atau aqidah yang tidak terlepas dari
al-Qur’an dan Hadis Nabi. Ahlussunnah yang ajaran itu berasal dari ajaran al-
14Tuanku Kadi, wawancara langsung, 29 Desember 2010. 15 Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta : UI-
Press 2008, h. 73.
53
Asy’ari muncul karena ketidak puasan terhadap ajaran Wasil Bin Atha’ yaitu
mu’tazilah. Jadi Asy’ari dulunya beliau seorang yang menganut paham
mu’tazilah dan kemudian ia memisahkan diri dari paham mu’tazilah. bahwa
faktor penyebab keluarnya al-Asy’ari dari al-Jubai adalah karena kondisi al-
Asy’ari sendiri yang sudah lama ragu dengan tesis-tesis yang dikembangkan
mu’tazilah karena diselimuti ragu itu, maka al-Asy’ari pergi mengasingkan diri
dari paham mu’tazilah.16
Maka pemikiran keagamaan tuanku dalam bidang aqidah menganut
paham ahlusunnah waljamaah, yang dahulunya paham ini dikembangkan oleh
Abu Hasan al-Asyarii. Tuanku menganut paham ahlusunnah yang mereka yakini
benar. Maka paham ini masuk dalam dunia terekat yaitu ajaran sifat dua puluh.
Dan tuanku memberikan pandangan terhadap aliran kalam lain seperti mutazilah,
jabariah dan qadariah dianggap paham yang telah sesat. Menurut penulis bahwa
dengan pemahaman keagamaan tuanku yang hanya membenar satu aliran saja,
akan mengakibatkan sulitnya masyarakat Ulakan Pariaman menerima pembaruan
dalam Islam.
2. Pemikiran Fiqh
Bagaimana pemikiran tuanku di Ulakan Pariaman, Pemikiran tuanku
dalam fiqh berdasarkan mazhab Syafi’i sesuai dengan penjelasan Tuanku Kadi;
16 Alkhedra, Pemikiran Kalam, Bandung : Alfabeta, 2003, h.57.
54
”Bahwa dalam Tarekat Syathariyah mazhab yang dipakai adalah mazhab
Syafi’i, bukan banyak mazhab yang seperti pemahaman keagamaan lain
yang memakai banyak mazhab atau yang memilih mazhab sesuka hati“.17.
Jadi jelas bahwa Tarekat Syathariyah yang dikembangkan tuanku hanya
memakai Mazhab Syafi’i dalam hukum fiqhnya. Kitab fiqh yang dipakai kaum
Tarekat Syathariyah yaitu kitab atau surat perukunan yang bertulisan Arab
Melayu yang isinya tatacara ibadah do’a dan zikir menurut mazhab Syafi’i.
Ada empat mazhab yang dikenal sekarang yaitu mazhab Hanafi, mazhab
Maliki dan mazhab Syafi’i sedangkan mazhab yang satu lagi ialah mazhab
Hambali yang didirikan oleh Ahmad Ibn Hambal. Dalam pemikiran hukum
masing-masing mereka terdapat perbedaan, yaitu Hanifah dalam pemikiran
hukumnya bahwa dalam pemakaian sunnah sebagai sumber ia bersikap hati-hati
betul, ia hanya memakai sunnah yang betul-betul diyakininya sunnah yang
orisinal dan bukan sunnah buatan. Oleh karena itu mazhabnya dikenal sebagai
mazhab ahl al-ra’y. Ia pernah mengatakan: pertama-pertama saya cari dalam
Sunnah Nabi dan kalau tidak ada juga saya pelajari fatwa-fatwa para sahabat dan
saya pilih mana yang saya rasa terkuat kalau orang mengadakan ijtihad saya
mengadakan ijtihad pula”. Tetapi Abu Hanifah tidak bersikap fanatik terhadap
pendapatnya. Ia selalu mengatakan: “inilah pendapat saya dan kalau ada orang
lain membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih
17 Tuanku Kadi, wawancara langsung, 29 Desember 2010 di Ulakan Pariaman.
55
benar”. 18 Dalam pemikiran hukum Malik banyak berpegang pada Sunnah, ia
berpegang pada tradisi yang berlaku di masyarakat Madinah, karena ia
berpendapat bahwa tradisi ini berasal dari sahabat, dan tradisi sahabat lebih kuat
untuk dipakai sumber hukum. Kalau ia tidak dapat memeroleh dasar hukum
dalam al-Qur’an dan sunnah, ia memakai qias dan al-masalih al-mursalah, yaitu
maslahat umum.19
Dalam pemikiran hukumnya Al-Syafi’i berpegang pada lima, sumber, al-
Qur’an, Sunnah Nabi, ijma’ atau konsensus, pendapat sebagian sahabat yang tidak
diketahui adanya perselisihan mereka didalamnya, pendapat yang dalamnya
terdapat perselisihan dan qias atau analogi. Berlainan dengan Abu Hanifah, Al-
Syafi’I banyak memakai sunnah sebagai sumber hukum, bahkan membuat sunnah
dekat sederajat dengan al-Qur’an. Istihsan yang dibawa Abu Hanifah dan al-
masalih al-mursalha yang ditimbulkan Malik, ditolak oleh Al-Syafi’i sebagai
sumber hukum.20 Dalam pada itu, Al-Syafi’i, ilmu tentang dasar-dasar hukum
dalam Islam, sebagai terkandung dalam buku Al-Risalah.
Dalam pemikiran hukumnya, Ahmad Ibn Hambal memakai lima sumber,
al-Quran, sunnah, pendapat sahabat yang diketahui tidak mendapat tantangan dari
18 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press, 2008,
h.7. 19 Ibid, h. 10. 20 Ibid, h. 11.
56
sahabat lain, pendapat seorang atau beberapa sahabat, dengan syarat sesuai
dengan al-Quran serta sunnah, hadis mursal, dan qias, tetapi hanya dalam keadaan
terpaksa.21
Di Indonesia pada umumnya hanya dikenal mazhab Syafi’i, begitu juga
yang terdapat pada keagaman masyarakat Ulakan Pariaman yang dikembangkan
Tuanku hanya bermazhabkan Syafi’i tetapi di dunia Islam lain mazbab-mazhab
lain juga dikenal serta dianut, dan keempat mazhab itu hidup berdampingan
secara damai. Disana telah terdapat toleransi bermazhab. 22
3. Pemikiran Tasawuf
Islam Indonesia mulai dalam masa ketika tasawuf merupakan corak
pemikiran yang dominan di dunia Islam. Pemikiran-pemikran para sufi terkemuka
Ibn Al-‘Arabi dan Abu Hamid Al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap
pengarang-pengarang muslim generasi pertama di Indonesia.23 Corak reformasi
tasawuf yang dilancarkan pada abad ke 5 H. ialah mengembalikan tasawuf yang
didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah serta bertujuan untuk hidupan
sederhana, pelurusan jiwa, dan pembinaan moral dan melepaskan pengaruh ajaran
luar seperti filsafat dan budaya luar. Corak aliran tasawuf ini menamakan dirinya
dengan tasawuf ahlussunnah wal jama’ah (sunni). Secara relatif, tarekat
21 Ibid, h. 12. 22 Ibid, h. 25. 23 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, Bandung : Mizan 1992,
h.15.
57
merupakan tahap paling akhir dari perkembangan tasawuf, tetapi menjelang
penghujung abad 13, ketika orang Indonesia mulai berpaling kepada Islam,
tarekat justru sedang berada di puncak kejayaannya. Tarekat yang berkembang
tersebut memiliki system dan cirikas tertentu, bisa dilihat dari adanya amal-amal
khusus dan simbol-simbol tertentu.
Bagaimana kita mengenal pemikiran sufistik dari tuanku yang menganut
Tarekat Syathariyah di Ulakan Pariaman. Dengan cara mengenal pemikiran
Abdurauf Al-Sinkili. Beliau adalah seorang ulama Tarekat Syathariyah yang
besar pengaruh di nunsantara dan memiliki sisilah juga dengan ulama besar di
Minangkabau yaitu Syekh Burhanuddin Ulakan. Syekh Abdurauf Al-Sinkili
mengekspresikan pemikirannya dalam tulisan. Di antara tulisannya termuat dalam
kitab Kitab Tarjuman al-Mustafid adalah Tafsir pertama dalam bahasa melayu
yang isi mengenai tasawuf, sehingga lahir juga kitab Umdah al-Muhtajin, kifayat
al-Muhtajin dan Daqaiq al-Huruf.24 Tiga kitab terakhir menjadi rujukan utama
dalam kajian Tarekat Syathariyah yang disadur oleh Syekh Burhanuddin Ulakan
Pariaman kemudian diwariskan secara turun temurun sampai sekarang masih
dalam bentuk manuskrip, yang seolah-seolah disakralkan. Kewajiban Abdur Rauf
Al-Sinkili sebagai mufti juga menjadi modal baginya untuk merendam konflik
paham keagamaan antara paham wujudiah dengan syehudiyah. Diskursus
rekonsialisasi syari’ah dan tasawuf yang dikembangkan Al-Sinkili kemudian
24 Duski Samad, Syekh Burhanuddin....., h. 44.
58
secara signifikan menjadi tema utama pula dalam pemikiran murid-murid
dibelakangnya, termasuk dalamnya Syekh Burhanuddin Ulakan. Ketiga pokok
pemikiran tersebut adalah masalah keTuhanan dan hubungan dengan alam, insan
kamil dan jalan menuju Tuhan (tarekat).25
25 Ibid.
59
BAB IV
KAJIAN PENENTUAN AWAL BULAN RAMADHAN
MENURUT SYAIKH BURHANUDDIN
A. Penetapan Awal Bulan Ramadhan Menurut Syaikh Burhanuddin
Sebagaimana telah diungkapkan pada permulaan tulisan ini bahwa di
Indonesia hampir selalu terjadi perbedaan di dalam memahami dan
mengaplikasikan penentuan awal bulan Qomariyah, khususnya Ramadhan,
Syawal, dan Dzulhijjah. Implikasi lebih jauh dengan adanya perbedaan tersebut
munculnya tiga arus yang dominan di Indonesia, yaitu Pertama, mazhab rukyat
yang dipresentasikan oleh organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia
yaitu NU. Kedua, mazhab hisab dengan sponsor utama Muhammadiyah, dan
ketiga, mazhab imkanurukyat, yang digunakan oleh “Pemerintah”. Dari ketiga
arus tersebut, Syaikh Burhanuddin memiliki metode yang hampir sama dengan
ke-tiga metode di atas, akan tetapi prakteknya yang berbeda. Adapun Syaikh
Burhanuddin memiliki ketentuan-ketentuan dan tata cara perhitungan dalam
menetapkan awal bulan sebagai berikut :
60
1. Ketentuan Dasar Penentuan Awal Bulan
Penetapan awal bulan yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin
merupakan penetapan metode hisab Taqwim kamsiyah1 menurut keyakinan
Beliau benar-benar berasal dari Nabi dengan menggunakan rumus yang di
kutip dari Kitab Insan ‘Uyun yang ditulis oleh Syaikh Nuruddin. Mengenai
umur bulan, ditentukan secara berselang-seling antara 30(tiga puluh)dan
29(dua puluh sembilan) hari. Akan tetapi khusus untuk awal bulan Ramadhan
harus menggunakan rukyat.2 Adapun ketentuan-ketentuan lain dalam
menetapkan awal bulan Ramadhan menurut syaikh Burhanuddin di antaranya
:
a. Tinggi hilal di atas ufuk
Penetapan awal bulan Ramadhan akan dilakukan setelah diketahui
terlebih dahulu hilal dapat dilihat atau tidak pada akhir Sya’ban yaitu pada
tanggal 29 (dua puluh sembilan) malam. Tidak ada ketentuan berapa derajat
dalam melihat hilal, menurutnya yang pasti dapat dilihat oleh mata, maka
jatuhlah besoknya tanggal 1 (satu) Ramadhan.
Praktek melihat bulan di fokuskan pada tiga titik, yaitu Koto Tuo
(Padangpanjang), Agam, dan Sijungjung di Pesisir Selatan. Jika bulan tidak
terlihat di pantai Ulakan Tapakis, maka dilakukan koordinasi terhadap para
1 Taqwim Kamsiyah adalah metode untuk menentukan jatuhnya awal bulan dengan perhitungan tertentu dan hasil dari perhitungan tersebut dimulai hari kamis. Tuanku Nan Elok, wawancara langsung, 29 Desember 2010.
2 Tuanku Kadi, Seorang tokoh ulama Tarekat Syatariyah yang berperan di Tapakis Ulakan
Pariaman, wawancara langsung, 29 Desember 2010
61
kadi yang berada di berbagai titik tempat melihat bulan lainnya. Kalau bulan
tidak tampak di Ulakan Tapakis, maka ulama Syatariyah akan lakukan kontak
koordinasi kepada kadi di daerah lainnya, jika bulan dapat dilihat pada satu
titik tempat, maka akan dilakukan sidang di mesjid Syekh Burhanuddin. Jika
bulan tidak terlihat, maka bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30(tiga puluh) hari.3
b. Penggunaan teropong
Penggunaan teropong dalam melihat hilal merupakan sesuatu yang
tidak dianjurkan oleh Syara’, karena ketentuan melihat hilal sesuai dengan
hadits-hadits Nabi Muhammad saw., adalah dengan mata telanjang atau mata
sederhana.4 Dengan demikian dalam melihat hilal sangat mengandalkan
ketajaman mata si saksi dan hilal yang dapat dilihat oleh mata sederhana
adalah hilal yang memiliki ketinggian tujuh derajat di atas ufuk.
c. Syarat-syarat saksi melihat hilal
Syarat-syarat saksi melihat hilal diantaranya:
1) Adanya dua orang saksi yang melihatnya.
2) Orang yang mengaku melihat hilal harus Islam, baligh, berakal, laki-
laki, adil, dan memiliki pengetahuan Taqwim kamsiyah.
3 Tuanku Sultan Syahril, wawancara langsung, 29 Desember 2010. 4 Alma Fredi, Pengurus masjid Syaikh Burhanuddin, wawancara langsung, 30 Desember
2010.
62
3) Kesaksian yang diberikan dapat diterima sesuai adat, syara’, dan akal.5
2. Tata cara Penetapan Awal Bulan
Tata cara perhitungan penentuan awal bulan yang digunakan oleh
Syaikh Burhanuddin adalah dengan menggunakan Taqwim Kamsiyah yang
diambil dari sejarah bahwa menurut hisab, Nabi Muhammad melakukan
Hijrah dari Mekkah ke Madinah pada hari Kamis. Sehingga
perhitungannyapun dimulai dari hari kamis setiap tanggal satu pada setiap
bulannya.6 Sebagaimana ditulis dalam kitab Insan ‘Uyun yang ditulis oleh
Syaikh Nuruddin. Akan tetapi saat ini kitab tersebut sudah sangat langka
sehingga penulis kesulitan untuk menemukannya. Adapun rumusan dalam
perhitungan penentuan awal bulan masih berada pada Tuanku Kadi Ali Imran.
Untuk memudahkan memahami tata cara perhitungan awal bulan,
hendaknya terlebih dahulu mengetahui istilah-istilah yang akan digunakan
yang berada dalam rumusan di bawah ini :
a. Rumusan tahun
Rumusan tahun dilambangkan dengan huruf Hijaiyyah yang masing-
masing hurufnya memiliki angka.yaitu :
a. أ (Alif) memiliki nilai atau angka 1(satu)
b. ه (Ha) memiliki nilai atau angka 5(lima)
5 Roni Faslah, jama’ah Syatariyah , merujuk kepada kitab Insan ‘uyun yang ditulis oleh
Syaikh Nuruddin, akan tetapi kitabnya sudah tidak diketemukan lagi, wawancara langsung, 29 Desember 2010.
6 Tuanku Kadi, wawancara langsung, 29 Desember 2010.
63
c. ج (Ja) memiliki nilai atau angka 3(tiga)
d. ز (Za) memiliki nilai atau angka 7(tujuh)
e. I د (dal I) memiliki nilai atau angka 4(empat)
f. ب (Ba) memiliki nilai atau angka 2(dua)
g. و (Wau) memiliki nilai atau angka 6(enam)
h. II د (Dal II) memiliki nilai atau angka 4(empat)
Menurut Syaikh Burhanuddin, Tahun pertama Hijriyah yang
bertepatan dengan Hijrahnya Nabi Muhammad saw. jatuh pada bilangan
Tahun أ (alif), sehingga jika diurutkan sampai sekarang yaitu tahun 1432
H. jatuh pula pada tahun أ (alif).7
b. Rumusan bulan
Tidak berbeda dengan rumusan tahun, perhitungan bulanpun memiliki
lambang huruf hijaiyyah dan angka, untuk lebih jelasnya lihat tabel
dibawah ini;
No
Nama bulan Hijriyyah
Huruf
(hijaiyyah)
Angka
1. Muharram ز (Za) 7 (tujuh)
7 Tuanku Kadi Ali Imran, wawancara langsung via telepon , 16 Januari 2011.
64
2. Safar ب (Ba) 2 (dua)
3. Robi’ul Awal ج (Ja) 3 (tiga)
4. Robi’ul Akhir ه (Ha) 5 (lima)
5. Jumadil Awal و (Wau) 6 (enam)
6. Jumadil Akhir أ (Alif) 1 (satu)
7. Rajab ب (Ba) 2 (dua)
8. Sya’ban د (Dal) 4 (empat)
9. Ramadhan ه (Ha) 5 (lima)
10. Syawal ز (Za) 7 (tujuh)
11. Dzulqa’dah أ (Alif) 1 (satu)
12. Dzulhijjah ج (Ja) 3 (tiga)
Setelah mengetahui rumusan di atas, selanjutnya lakukan langkah-
langkah berikut:
a. Ketahui dahulu awal bulan yang akan dihitumg jatuh pada huruf
apa.
b. Bulan yang akan dihitung juga harus diketahui terlebih dahulu
huruf dan angkanya.
65
c. Jika sudah diketahui ke-duanya, jumlahkan angka tahun dan angka
bulan (AT+AB).
d. Hasil dari penjumlahan itulah dapat diketahui jatuhnya tanggal 1
bulan hijriyah pada hari apa, dengan syarat hasil penjumlahan
tersebut diurutkan yang dimulai dari hari kamis.
Contoh:
Kita akan menentukan awal bulan Ramadhan Tahun 1450 H.
Langkahya adalah 1450 H. jatuh pada urut/rumusan huruf ج (ja)
yang mempunyai angka 3 (tiga). Sedangkan Ramadhan
mempunyai rumusan huruf ه (Ha) yang memiliki angka 5 (lima). 3
+ 5 = 8. Dari hasil ini, kita hitung 8(delapan) hari ke depan yang
dimulai dari hari kamis. Yaitu, Kamis(1), Jum’at(2), Sabtu(3),
Ahad(4), Senin(5), Selasa(6), Rabu(7), Kamis(8). Jadi kita sudah
dapat mengetahui bahwa jatuh awal bulan Ramadhan pada tanggal
1(satu) bulan Ramadhan 1450 H. adalah hari kamis.
B. Dasar Hukum Syaikh Burhanuddin dalam Menetapkan Awal Bulan
Ramadhan
Penetapan awal bulan Ramadhan yang dilakukan oleh Syaikh Burhanuddin
didasarkan pada dalil-dalil Qath’i dan kitabkitab berikut ini:
1. Al-Qur’an
66
Diantara ayat-ayat Al-Dur’an yang dijadikan dasar dalam menetapkan
awal bulan oleh Syaikh Burhanuddin diantaranya surat Yasin ayat 39-40
sebagai berikut:
Artinya: Dan Telah kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga
(Setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia
sebagai bentuk tandan yang tua.(QS. Yasin : 39)
Artinya: Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing
beredar pada garis edarnya.(QS. Yasin : 40)
Berdasarkan ayat al-Qur’an di atas, Syaikh Burhanuddin memandang
bahwa bulan beredar dari satu manzilah ke manzilah yang lain. Satu
manzilah membutuhkan waktu sehari semalam dengan besar derajat
sebanyak 13 derajat.8
8 Diakses pada 27 Desember 2010 dari www.muchrojimahmad.blogspot.com Rabu, 03
September 2008.
67
2. Hadis
حدثنا عبد الرحمن بن سالم الجمحي حدثننا الربیع یعنى ابن مسلم عن محمد وھو ابن
صلى اهللا علیھ وسلم قال صوموا لرؤیتھ زیاد عن ابى ھریرة رضي اهللا عنھ ان النبى
9)رواه مسلم( وافطروا لرؤیتھ فان غمى علیكمم فاكملوا العدد
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bib Sallam al-Jumahiy, telah menceritakan kepada kami al-Rabii’ (Ibn Muslim), dari Muhammad (Ibn Jiyad), dari Abu Hurairah, semoga Allah meridhoinya, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Berpuasalah kamu karena melihat hilal, dan berbukalah kamu karena melihat hilal.Bila kamu tertutupi oleh mendung, maka sempurnakanlah bilangan (menjadi tiga puluh hari). (HR. Muslim)
حدثنا یحي بن یحي قال قرات على مالك عن نافع عن ابن عمر رضي اهللا عنھما عن
والھالل وال علیھ وسلم انھ ذكر رمضان فقال ال تصوموا حتى ترالنبى صلى اهللا
10)رواه مسلم (تفتروا حتى تروه فان اغمى علیكم فاقدروالھ Artinya : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya berkata saya
telah membacakan kepada Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar semoga Allah meridloi ke-duanya dari Nabi saw. bahwasannya Beliau telah menuturkan Ramadhan, maka Beliau bersabda: “Janganlah kamu berpuasa sebelum kamu melihat hilal (Ramadhan) dan janganlah kamu berbuka sebelum kamu melihat hilal (Syawal). Jika tertutup atas kalian maka taqdirkanlah (HR. Muslim dari Ibnu Umar).
بن یزید قال حدثنا سفیان عن عمرو بن دینار عن محمد بن بن عبداهللا اخبرنا محمد
عن ابن عباس قال عجبت ممن یتقدم الشھر وقد قال رسول اهللا صلى اهللا علیھ حنین
9 Imam Ibnu al-Husen Muslim Ibn al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusyairy al-Nisaaburi, Al-Jami’ al-
Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II, Semarang : Toha Putera, t. Th, h. 124. 10 Ibid, h. 122. Dalam Buku kumpulan Hadis Shahih “al-Jami’u al-Shahih” karangan Husein
Bahreisj dikatakan bahwa hadis ini merupakan riwayat Bukhari dan Muslim.
68
وسلم اذا رایتم الھالل فصوموا واذا رایتموه فافطروا فان غم علیكم فاكملوا العدة
11.ثالثینArtinya : Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Ibn Abdillah Ibn
Yazid berkata telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Amru Ibn Dinar dari Muhammad Ibn Hunain dari Ibnu Abbas berkata aku heran akan orang yang memulai puasa, lalu telah Bersabda Rasulullah saw. apabila kamu sekalian melihat hilal, maka berpuasalah, dan apabila kamu sekalian melihat hilal, maka berbukalah. Jika tertutup awan atas kamu sekalian, maka genapkanlah menjadi tiga puluh hari. (HR. Jalaludin As-Suyuti).
Berdasarkan hadis-hadis di atas telah jelas bahwa ibadah puasa dan
‘Idul Fitri akan dilakukan setelah hilal dapat dilihat. Jika hilal tersebut tidak
dapat dilihat atau tertutup awan, maka bulan sebelumnya (Sya’ban dan
Ramadhan) digenapkan menjadi tiga puluh hari.
C. Perbandingan Penentuan Awal Bulan Antara Syaikh Burhanuddin
Dengan Pemerintah
Secara umum, penentuan awal bulan yang dilakukan oleh Syaikh
Burhanuddin dengan pemerintah terdapat selisih hari, walaupun ada juga
yang bersamaan. Akan tetapi khusus untuk bulan Ramadhan selalu
berbeda.
Untuk lebih jelasnya penulis akan membandingkan antara Syaikh
Burhanuddin dengan Pemerintah 5(lima) tahun terakhir dan 1(satu) tahun
yang akan datang. Yaitu dari tahun 1427 H. s/d 1432 H. Penulis
11 Al-Hafidz Jalaludin As-Suyuti, Sunan al-Nasa'i Juz IV, Semarang : Toha Putera, 1930, h.
135.
69
mengambil sampel 4(empat) bulan yang dianggap penting, yaitu tangal
1(satu) Muharram, tanggal 1(satu) Ramadhan, tanggal 1(satu) Syawwal,
dan tanggal 10(sepuluh) Dzulhijjah.Lihat tabel di bawah ini :
Hijriyah
Bertepatan dengan Masehi
Syaikh Burhanuddin
(Taqwim Kamsiyah)
Pemerintah
1427
(Th. Za)
1 Muharram
1 Ramadhan
1 Syawal
10 Dzulhijjah
Rabu, 01 Februari 2006
Senin, 25 September 2006
Rabu, 25 Oktober 2006
Sabtu, 29 Desember 2006
Selasa, 31 Januari 2006
Ahad, 24 September 2006
Selasa, 24 Oktober 2006
Ahad, 30 Desember 2006
70
1428
(Th. Dal I)
1 Muharram
1 Ramadhan
1 Syawal
10 Dzulhijjah
Ahad, 21 Januari 2007
Jum’at, 14 September 2007 Ahad, 14 Oktober 2007 Rabu, 19 Desember 2007
Sabtu, 20 Januari 2007
Kamis, 13 September 2007
Sabtu, 13 Oktober 2007
Kamis, 20 Desember 2007
1429
(Th. Ba)
1 Muharram
1 Ramadhan
1 Syawal
10 Dzulhijjah
Jum’at, 11 Januari 2008
Rabu, 3 September 2008
Jum’at, 3 Oktober 2008
Senin, 8 Desember 2008
Kamis, 10 Januari 2008
Senin, 1 September 2008
Rabu, 1 Oktober 2008
Senin, 8 Desember 2008
1430
(Th. Wau)
1 Muharram
1 Ramadhan
1 Syawal
10 Dzulhijjah
Selasa, 30 Desember 2008
Ahad, 23 Agustus 2009
Selasa, 22 September 2009
Jum’at, 27 November 2009
Senin, 29 Desember 2008
Sabtu, 22 Agustus 2009
Senin, 21 September 2009
Jum’at, 27 November 2009
71
1431
(Th. Dal II)
1 Muharram
1 Ramadhan
1 Syawal
10 Dzulhijjah
Ahad, 20 Desember 2009
Jum’at, 13 Agustus 2010
Ahad, 12 September 2010
Rabu, 17 November 2010
Jum’at, 18 Desember 2009
Rabu, 11 Agustus 2010
Jum’at, 10 September 2010
Rabu, 17 November 2010
1432
(Th. Alif)
1 Muharram
1 Ramadhan
1 Syawal
10 Dzulhijjah
Kamis, 9 Desember 2010
Selasa, 2 Agustus 2011
Kamis, 1 September 2011
Ahad, 6 November 2011
Selasa, 7 Desember 2010
Senin, 1 Agustus 2011
Selasa, 30 Agustus 201112
Ahad, 6 November 201113
Keterangan:
1. Hampir setiap awal bulan antara Syaikh Burhanuddin yang menggunakan
takwim kamsiyah selalu berbeda dengan Pemerintah.
2. Awal bulan Ramadhan Syaikh Burhanuddin dari tahun 1427 H. s/d 1432 H.
selalu berbeda Pemerintah.
3. Persamaan jatuhnya tanggal dan hari hanya terdapat hampir di setiap 10
Dzulhijjah, inipun masih ada perbedaan pada tahun 1427 H. dan 1428 H.
12 Sebagaimana kebijakan yang berlaku, ketetapan 1 Syawal tetap menunggu hasil Itsbat yang
akan digelar kemudian. 13 Berdasarkan kalender yang diedarkan oleh Pemerintah dari Tahun 2006 s/d 2011.
72
Dengan perbedaan yang terjadi di atas, pengikut Syaikh Burhanuddin
memiliki beberapa pandangan terhadap penetapan awal ramadhan, ‘idul fitri
dan ‘idul adha yang ditetapkan oleh pemerintah
Dalam hal pandangan Tharikat Syatariyah dibagi menjadi dua golongan,
yaitu;
1. Golongan Ulama Syathariyah
Dalam golongan ulama Syathariyah yang masih benar-benar menjaga
keaslian dari ajaran Syaikh Burhanuddin menganggap bahwa penetapan
awal bulan Ramadhan, ‘Idul Fitri, dan ‘Idul Adha yang dilakukan
pemerintah adalah tidak benar.
Mereka menganggap bahwa Pemerintah sudah melenceng dari ajaran
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, karena menurut mereka sudah sangat
jelas dalilnya dan tidak perlu untuk dirubah-rubah lagi.14 Sehingga mereka
mengatakan bahwa Pemerintah harus kembali kepada Hujjah yang telah di
tetapkan dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka berpendapat
seperti ini berdasarkan hadis :
صومو لرؤیتھ وأفطروا: عن أبى ھریرة أن النبي صل اهللا علیھ وسلم قال
14 Tuanku Sultan Syahril, wawancara langsung, 29 Desember 2010.
73
15)رواه بخاري و مسلم ( .لرؤیتھ فان غبي علیكم فاكملواعدة شعبان ثالثین Artinya: Dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. Bersabda: “puasalah kalian
bila melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian bila melihatnya. Bilamana terhalang dari (penglihatan) kalian, maka sempurnakanlah hitungan (bulan Sya’ban tiga puluh (hari). (H.R. Bukhary-Muslim)
Hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim inilah yang menjadi
landasan mereka dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, dan jika ada
instansi atau golongan yang tidak menggunakan hadis ini sebagai rujukan
dalam penentuan awal bulan Ramadhan, maka mereka telah tersesat.16
2. Golongan Masyarakat Akademisi
Perkembangan pendidikan Masyarakat Ulakan Tapakis, Pariaman
pada masa kini sudah sangat pesat. Dibuktikan dengan tidak sedikitnya para
pemuda yang berada di daerah tersebut telah menimba ilmu sampai dengan
perguruan tinggi. Mereka yang notabene mempunyai pendidikan formal
sampai dengan perguruan tinggi, memiliki pendapat lain tentang pandangan
mereka kepada Pemerintah dalam hal penentuan awal bulan Ramadhan.
Mereka berpendapat bahwa Pemerintah dalam hal ini adalah
Kementerian Agama adalah pengayom lingkup Negara, bukan daerah,
sehingga dalam penentuan awal bulan Ramadhan wajib kita patuhi. karena
mereka adalah Ulil Amri yang tidak sembarangan menggunakan wewenang
15 Imam Ibn al-Husain Muslim bin al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusairi al-Nisaburi, al-Jami’u al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II, Semarang, Toha Putera , t.th, h 122.
16 Tuanku Kadi, Seorang tokoh ulama Tarekat Syatariyah yang berperan di Tapakis Ulakan Pariaman, wawancara langsung, 29 Desember 2010.
74
dan yang pasti mereka itu ahli dalam bidang tersebut dan penetapannya
dapat dipertanggung jawabkan.17
Golongan ini mengikuti ketetapan dari Pemerintah, akan tetapi tidak
mau melakukannya secara terang-terangan, dengan alasan menghormati
Syaikh Burhanuddin.
Setidaknya, sikap mereka tampak terwakili oleh ungkapan salah
seorang yang tergolong kelompok ini, katanya “Kita tidak boleh menutup
mata dan telinga dengan kemajuan dan perkembangan zaman, jika kita
masih mempertahankan ketentuan yang lama, maka kita benar-benar akan
tertinggal.”18
Dari beberapa pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa Tharekat
Syathariyah Padang Pariaman yang masih memegang teguh prinsip-prinsip
penentuan awal bulan Ramadhan yang digunakan pada masa Syaikh
Burhanuddin adalah para Ulama-ulama Tharikat Syathariyah dan sebagian
Masyarakat yang memiliki keyakinan yang sama dengan ulama Syatariyah
saja, sedangkan jama’ah Syatariyah yang telah menempuh perguruan tinggi
telah mengakui menggunakan atau mengikuti ketentuan yang dilakukan oleh
Pemerintah. Walaupun mereka juga tidak begitu saja mengabaikan dengan
ketentuan yang dilakukan oleh Syaikh Burhanuddin. Karena mereka
17 Alma Fredi, Pengurus masjid Syaikh Burhanuddin, wawancara langsung, 30 Desember
2010. 18 Tuanku Nan Elok, wawancara langsung, 30 Desember 2010.
75
beranggapan bahwa bagaimanapun Syaikh Burhanuddin adalah tokoh yang
sangat berjasa dalam perkembangan Islam di Pariaman, khususnya di daerah
Ulakan.
Pengikut Tharekat Syathariyah Padang Pariaman memiliki beberapa
asumsi tentang Penentuan awal bulan Ramadhan yang dilakukan Pemerintah,
diantaranya bahwa Pemerintah di Indonesia dianggap sesat karena tidak
mengikuti hadis Rasulullah saw. atau ketentuan Syariat. Padahal, kelompok
atau organisasi di luar Tharekat Syatariyah Padang Pariaman yang
berkecimpung dalam penentuan awal bulan Ramadhan juga menggunakan
dasar hadis, hanya saja penafsiran dari masing-masing Organisasi yang
berbeda.
Tharikat Syatariyah Padang Pariaman melakukan ru’yatul hilal dalam
penentuan awal bulan Ramadhan pada tanggal 29 bulan Sya’ban menurut
mereka berdasarkan perhitungan Taqwim kamsiyah, sedangkan jatuh tanggal 1
Sya’ban selalu bebeda dengan Pemerintah atau Organisasi Masyarakat yang
lain. Hal ini dibuktikan dengan selalu lebih lambatnya Tharikat Syatariyah dari
Pemerintah, ini dikarenakan cara perhitungannya sudah berbeda. Bisa jadi
dalam kalender Tharikat Syatariyah Padang Pariaman baru tanggal 29 Sya’ban,
dalam kalender Pemerintah atau Ormas lain sudah tanggal 1 atau 2 Ramadhan.
Metode Taqwim kamsiyah yang mereka pergunakan dalam menentukan
awal bulan bersifat statis, karena tidak mengenal konsep tahun pendek
(Basithoh) dan tahun panjang (Kabisat), sebagai akibat bahwa rata-rata
76
peredaran bulan dalam satu tahun terdapat angka-angka pecahan yang
menentukan panjang-pendeknya umur bulan.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Adapun metode yang digunakan Syaikh Burhanuddin dalam penentuan awal
bulan Ramadhan adalah dengan metode Takwim kamsiyah, yaitu
penjumlahan antara Rumusan tahun dengan rumusan bulan, yang kemudian
dihitung mulai dari hari kamis. Dengan kata lain Syaikh Burhanuddin
menggunakan metode hisab ‘Urfi.
2. Adapun landasan hukum yang digunakan oleh Syaikh Burhanuddin dalam
penetapan awal bulan Ramadhan adalah al-Qur’an Surat Yasin ayat 39 s/d 40,
dan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. tentang penyempurnaan
bilangan bulan Sya’ban jika tertutup mendung.
3. Adapun dalam hal kesesuaian dengan Pemerintah dalam hal penentuan awal
bulan Ramadhan, Syaikh Burhanuddin selalu lebih lambat dari Pemerintah,
sebagaimana yang telah dibandingkan lima tahun terakhir, dan selalu lebih
lambat satu hari dari ketetapan yang dilakukan oleh Pemerintah.
B. Saran-saran
1. Kepada Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Agama, sebaiknya
lebih memperhatikan tentang pembinaan dalam mempelajari ilmu falak agar
mereka (Tharikat Syatariyah) lebih mengetahui tentang perkembangan ilmu
falak pada saat ini.
78
2. Kepada Tarikat Syatariyah sebaiknya lebih membuka diri untuk bisa
menerima metode-metode terkini yang telah banyak digunakan oleh berbagai
Ormas di Tanah Air, sehingga tidak jumud dalam satu metode saja
3. Kepada masyarakat umum hendaknya marilah kita hargai suatu perbedaan di
antara kita sebagai muslim. Karena perbedaan adalah suatu rahmah yang
diberikan oleh Allah SWT.
4. Kepada Fakultas Syariah dan Hukum hendaknya menyediakan fasilitas yang
lebih memadai khususnya dalam ilmu Falak, sehingga mahasiswa dapat lebih
mendalami ilmu falak yang dianggap sulit oleh sebagian mahasiswa.
79
DAFTAR PUSTAKA
al-Qur’an al-karim. Ahshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2006. Alkhedra. Pemikiran Kalam. Bandung : Alfabeta, 2003. Azhari, Susikna. Ilmu Falak Teori dan Praktek, cet.I. Yogyakarta: Lazuardi, 2001. Bazawi, Hiton. “Peranan Pemerintah dalam Penetapan awal Bulan
Qomariyah(Tinjauan kaidah Fiqhiyah).” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
Bin Abd. Lathiif, Abd. Al-Muhaimin. Fath Al-Lathiif Al-Rahiim Fi Al-Falq
Bijadwaali Al-Lughortiimiyyah Libni Lathiif. Banten: Mathbah Tsaniyah, 1986. Bin Nuh, Abdul dan Bakry, Oemar. KAMUS Indonesia-Arab-Inggris. Cet.11. Jakarta:
PT MUTIARA SUMBER WIDYA, 1998. Burhan Bungin (Ed.). Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007. Departemen Agama RI. Almanak Hisab Rukyat. Cet. Ke-1. Jakarta: Dirjen
Pembinaan Kelembagaan Islam, 1990. Departemen Agama RI. Pedoman Perhitungan Awal Bulan Qomariyah. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995.
Departemen Agama RI. Pedoman Tekhnik Rukyat. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1994/1995.
Ensiklopedi Islam. Cet. Ke-V. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999. Habibie, BJ. Rukyat dan Teknologi. Jakarta: Gema Insani Press, 1994. Hasjim, Ilman. “Analisis Perbedaan Penetapan Idul Adha Antara Indonesia dan
Arab Saudi.” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
http:// www.muchrojimahmad.blogspot.com.
80
Ilmanudin. Penentuan Awal Bulan Dalam Perspektif NU dan Muhammadiyah Suatu
Komparasi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. t.p., 2003. Imam Ibn al-Husain Muslim bin al-Hajaj Ibn Muslim al-Qusairi al-Nisaburi, al-
Jami’u al-Shahih al-Musamma Shahih Muslim Juz II. Semarang: Toha Putera, t.th.
Izzudin, Ahmad. Fiqh Hisab Rukyat Di Indonesia ; upaya Penyatuan
Madzhab Rukyat dengan Madzhab Hisab,cet.I. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2003. Izzuddin, Ahmad. Fikih Hisab dan Rukyat “menyatukan NU dan Muhammadiyah
dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha”. Jakarta : Erlagga, 2007.
Jalaludin As-Suyuti, Al-Hafidz. Sunan al-Nasa'i Juz IV. Semarang : Toha Putera,
1930. Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Politik. Jakarta: Rineka Cipta,
1991. Kardiman, dkk., Garis Tanggal Kalender Islam 1421 H. Bogor: BAKOSURTANAL,
2001. Madjid, Nurcholis. , Islam Doktrin dan Peradaban, cet.I Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992. Maskufa. Ilmu Falak., Jakarta: Gaung Persada, 2009. Muhammad Jawad Mughniyah. Fiqih Lima Mazhab. Penerjemah Masykur A.B., dkk.
Jakarta: Lentera, 2008. Nasution, Harun. Ensiklopedia Islam Indonesia, Cet.I. Jakarta: Djambatan 1992. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, Jakarta: UI Press,
2008. Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta : UI-Press 2008. Saksono, Tono. Mengkompromikan Hisab dan Rukyat. PT Amythas Publicita. 2007.
81
Samad, Duski. Shekh Burhanuddin dan Islamisasi di Minangkabau, Syarak mandaki adat manurun. Jakarta : TMF 2002.
Sartika, Eka. “Penentuan Awal Bualan dalam Perspektif al-Marzukiyah(Studi
Terhadap Kalangan al-Marzukiyyah di Cipinang).” Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.
Taufik Hidayat, Rahmat, dkk. Almanak Alam Islami : Sumber Rujukan Keluarga
Muslim Milenium Baru. Cet. Ke-1 Jakarta: Pustaka Jaya, 2000. Thoha, Ahmad. Astronomi dalam Islam. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983. Van Bruinessen, Martin. Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia. Bandung : Mizan 1992. Wawancara Pribadi dengan Alma Fredi. Pariaman. 29 Desember 2010. Wawancara Pribadi dengan Roni Faslah. Pariaman. 29 Desember 2010. Wawancara Pribadi dengan Tuanku Kadi Ali Imron. Pariaman. 29 Desember 2010 Wawancara Pribadi dengan Tuamku Nan Elok. Pariaman. 29 Desember 2010 Wawancara Pribadi dengan Tuamku Sultan Syahril. Pariaman. 29 Desember 2010