wali mujbir (studi perbandingan antara mazhab...
TRANSCRIPT
WALI MUJBIR
(STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN
MAZHAB SYAFI’I)
Skripsi
Diajukan pada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Mujahiddin Nur
NIM : 1112044100024
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
ii
WALI MUJBIR
(STUDI PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN
MAZHAB SYAFI’I)
Skripsi
Diajukan Ke Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
Oleh:
Mujahiddn Nur
NIM: 1112044100024
Pembimbing
Dr. Hj. Azizah, M.A.
NIP: 19630409 198902 2 001
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Wali Mujbir (Studi Perbandingan Antara Mazhab
Hanafi Dan Mazhab Syafi’i) telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 24 Juli 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 24 Juli 2019
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum
Dr. Ahmad Tholabi, M.A.
NIP. 19760807 200312 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua Dr. Mesraini, M.Ag. (…………………….)
NIP. 19760213 200312 2 001
2. Sekretaris Ahmad Chairul Hadi, M.A. (………………….....)
NIP. 19720531 200710 1 002
3. Pembimbing Dr. Hj. Azizah, MA (…………………….)
NIP. 19630409 198902 2 001
4. Penguji I Dr. Moh. Ali Wafa, M.A. (…………………….)
NIP. 19730424 200212 1 007
5. Penguji II Hj. Rosdiana, M.A. (…………………….)
NIP. 19690610 200312 2 001
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Mujahiddin Nur
NIM : 1112044100024
Fakultas : Syari‟ah dan Hukum
Jurusan : Hukum Keluarga
Dengan skripsi ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana satu (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
LEMBAR PERNYATAAN
Jakarta, 24 Juli 2019
Mujahiddin Nur
v
ABSTRAK
MUJAHIDDIN NUR. NIM 1112044100024, WALI MUJBIR (STUDI
PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFI‟I).
Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan
Hukum
Skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan (library reseach) berupa
skripsi komparasi pemikiran mazhab Hanafi dengan mazhab Shafi , tentang
konsep wali mujbir. Penulis menemukan masalah berupa, pertama Bagaimana
persamaan dan perbedaan konsep Wali Mujbir dalam Mazhab Hanafi dan Mazhab
Syafi‟i, kedua Bagaimana metode istinbath Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I
tentang wali mujbir.
Mazhab Hanafi beralasan bahwa, adanya wali mujbir sangat dibutuhkan.
Karena, hal tersebut untuk memberikan kemaslahatan dan mewakili orang yang
berada di dalam perwaliannya dalam bertasarruf. Begitu juga dengan mazhab
syafi‟i bahwa wali mujbir merupakan hal yang sangat penting, karena wali mujbir,
akan membantu anak gadisnya dalam hal perkwainan. Menurut mazhab Hanafi
yang berhak menjadi wali mujbir adalah semua wali dari jalur ayah, sedangkan
wali mujbir hanya bisa diberlakukan untuk anak perempuan yang belum baligh.
Mazhab Hanafi juga memberlakukan persyaratan bagi wali mujbir, yakni harus
bisa mendatangkan calon suami yang sekufu bagi anak perempuanya. Sedangkan
perwalian untuk orang gila semua perwaliannya wali mujbir. mujbir hanyalah
bapak, dan kakek. Menurut mazhab Syafi‟i bahwa selama anak perempuan
tersebut masih berstatus gadis (al-bikr) maka hak seorang wali masih ada, batasan
gadis (al-bikr) menurut mazhab Syafi‟i yaitu selama perempuan tersebut belum
pernah bersetubuh (jima‟), walaupun bersetubuhnya secara zina maka orang
tersebut sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i ini
memasukan seorang gadis yang dicerai suaminya tetapi belum pernah disetubuhi
(qobla dukhul), karena secara hakikatnya perempuan tersebut masih berstatus
gadis (al-bikr),
Mujbir memiliki perbedaan, yaitu terkait orang yang berhak menjadi wali
mujbir, serta alasan hukum terkait obyek wali mujbir, persyaratan bagi wali
mujbir, sedangkan persamaan di antara kedua Mazhab tersebut adalah tentang
perwalian mujbir terhadap orang gila.
Untuk Wali mujbir, sebaiknya sebelum menikahkan anak gadisnya dengan
calon suami pilihanya, anak perempuan tersebut, dimintai izin terlebih dahulu,
serta diberi waktu untuk mengenal calon suaminya. Agar rumah tangganya nanti
tentram, penuh dengan cinta kasih, serta sakinah, mawaddah wa rahmah.
Kata Kunci : Perbandingan, Wali Mujbir, Mazhab Syafi‟I dan Hanafi
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, M.A.
Daftar Pustaka : 1974 sampai 2015
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta nikmat-Nya, baik jasmani maupun rohani sehingga penulis
mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. Sholawat serta salam
semoga Allah SWT selalu melimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW
selaku pemimpin dari seluruh pemimpin. Sehingga dengan segala perjuangan
Beliau dalam menegakkan agama Islam kita semua dapat menjadikan perjuangan
beliau sebagai suri tauladan bagi kita semua.
Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan rintangan yang
penulis hadapi, tetapi dengan izin Allah SWT, kerja keras serta usaha dan do‟a
dari orang tua, guru dan teman-teman seperjuangan saya mampu menyelesaikan
skripsi dengan baik dan semoga skripsi ini mampu memberi manfaat bagi penulis
dan pembaca.
Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin
mengungkapkan rasa terima kasih yang begitu mendalam kepada.
1. Prof. Dr. Amani Lubis, MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. H. Ahmad Tholabi, MA selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum
3. Dr. Mesraini, M.Ag. dan Ahmad Chairul Hadi, M.A.selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ahwal As-Syakhshiyyah Fakultas Syari‟ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4. Dr. Hj. Azizah, MA. selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan
segala perhatiannya kepada penulis dalam menyusun skripsi ini
5. JM Muslimin, MA., Ph.D selaku dosen penasehat yang telah memberikan
pengaruh serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan
skripsi
vii
6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pada lingkungan Program Studi Ahwal As-
Syakhsiyyah Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan banyak ilmu kepada penulis
selama menjadi mahasiswa.
7. Pimpinan perpustakaan universitas perpustakaan fakultas yang telah
memberi fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan.
8. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Drs. La Sawe, M.Pd.I. dan Ibu
Drs. Zainab selaku pemberi semangat, do‟a dan support, baik materi
maupun non materi kepada penulis, semoga Allah Swt selalu melindungi
mereka baik di dunia maupun di akhirat kelak dan membalas segala jasa-
jasa beliau yang telah diberikan untuk anak-anaknya.
9. Teruntuk Kakak Hasriwati, Kakak Nur Hasanah, Adik Nur Faizah, dan
adik Nur Asy-syifa Sebagai kakak dan adik penulis yang menjadi obat
pelipur lara di saat penulis mulai jenuh dengan penelitian ini
10. Kepada teman-teman seperjuangan angaktan 2012, khususnya kepada,
Hilmi, Anam dan Al dll yang telah banyak menemani dan memberikan
masukan bagi penulis baik di kosan, perpus pasca maupun perpus fakultas
untuk menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Amal dan kebaikan mereka semua dibalas Allah SWT dengan
balasan yang berlipat ganda dan penulis berharap semoga skripsi ini mampu
memberikan manfaat yang besar bagi penulis maupun bagi pembaca.
Jakarta, 24 Juli 2019
Mujahiddin Nur
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK .............................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 4
C. Pembatasan, dan Perumusan Masalah............................................ 5
D. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
E. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................. 7
G. Kerangka Teori dan Konseptual..................................................... 9
H. Metode Penelitian......................................................................... 10
I. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II : WALI MUJBIR DALAM MAZHAB HANAFI ............................. 14
A. Profil Mazhab Hanafi ................................................................... 14
1. Biografi Singkat ..................................................................... 14
2. Metode istinbath Hukum Wali Mujbir ................................... 15
B. Pengertian Wali Mujbir ................................................................ 18
C. Syarat-Syarat Wali Mujbir ........................................................... 21
D. Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Hanafi.................................. 23
BAB III : WALI MUJBIR DALAM MAZHAB SYAFI’I .............................. 25
A. Profil Mazhab Syafi‟I ................................................................... 25
1. Biografi Singkat ...................................................................... 26
2. Metode istinbath Hukum Wali Mujbir .................................... 26
B. Pengertian Wali Mujbir ................................................................ 30
ix
C. Syarat-Syarat Wali Mujbir ........................................................... 31
D. Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Syafi‟I ................................. 33
BAB IV : PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN
MAZHAB SYAFII TENTANG WALI MUJBIR ............................. 36
A. Persamaan Pendapat antara Mazhab Hanafi dan Mazhab
Syafi‟I…………………………………………………………...36
B. Perbedaan Pendapat antara Mazhab Hanafi dan Mazhab
Syafi‟I…………………………………………………………...37
BAB V : PENUTUP .......................................................................................... 63
A. Kesimpulan .................................................................................. 63
B. Saran-saran ................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 66
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Madzhab Hanafi berpandangan bahwa seorang wali tidak boleh
memaksa menikahkan anak gadisnya yang sudah dewasa. Hal itu
menunjukkan bahwa wali tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya.
Apabila hal itu dilakukan maka nikahnya dihukumi mauquf (digantungkan
keabsahannya). Oleh karena itu hak wali mujbir yang dikenal dalam
pandangan Abû Hanîfah adalah hanya bagi gadis atau janda yang masih kecil
(belum baligh) karena wanita yang telah dewasa dianggap telah mampu
menentukan pasangan hidupnya tanpa perlu persetujuan dari wali.1 Apabila
anak gadis yang telah baligh tersebut menolak dinikahkan maka akad
pernikahan pun tidak diperbolehkan.2
Sementara mazhab Maliki, Syafi„i dan Hanbali melarang perempuan
menikahkan dirinya dan hanya laki-laki yang boleh menjadi wali nikah.
Konsekuensi lebih jauh dari hal tersebut, hanya Hanafîyah yang tidak
mengharuskan adanya persetujuan dari mempelai perempuan secara mutlak
untuk menikah, sementara mazhab Maliki, Syafi„i, dan Hanbalî, mengakui
adanya hak ijbar wali, hak wali menikahkan perempuan tanpa persetujuan dari
perempuan tersebut.3 Hak ijbar disini adalah hak memaksa seorang wali
1 Abî Muhammad Mahmȗd bin Muhammad al-ʻAini, Al-Binậyaṫ fi Syarh al-Hidậyaṫ, (Beirut:
Dậr al-Fikr. 1990), cet. Ke-2, Juz IV, h., 584. 2 Syamsuddin al-Syarkhasi, Al-Mabsȗth, (Beirut: Dậr al-Maʻrifah., t.t), Juz V, h., 2.
3 Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan UU Negara Muslim
(Yogyakarta : Academia + Tazzafa, 2004), h., 69-126.
2
terhadap anak perempuannya, dalam hal ini orang yang berhak tersebut
diistilahkan dengan wali mujbir, yang dimaksudkan adalah ayah atau kalau
tidak ada, kakek.4
Secara umum kerangka perwalian pernikahan berada dalam bingkai
pemikiran bahwa penentuan calon pendamping baik istri maupun suami
merupakan masalah yang paling serius bagi yang berhasrat akan menikah.
Proses ini hendaknya dilakukan dengan penuh kehati-hatian, karena akan
mempengaruhi secara langsung terhadap tujuan pencapaian perkawinan yang
diidealkan. Bagaimana ulama modern memandang perwalian, terutama wali
mujbir, dalam pernikahan ?, dalam hal ini, Sahal Mahfudh salah seorang
ulama fiqih Indonesia kontemporer berpendapat bahwa, si anak berhak
menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan setara tanpa persetujuannya,
orang tua juga berhak menolak keinginan anaknya untuk menikah dengan
laki-laki yang tidak setara. Jika seorang perempuan mempunyai hasrat
menikah dengan laki-laki yang setara, maka orang tua tidak boleh menolak
atau melakukan al-adul. Yang dimaksud setara atau dalam bahasa arabnya al-
kufu ialah sederajat atau setingkat dalam aspek, nasab status (kemerdekaan,
profesi, dan agama).5
Persoalan yang muncul kemudian adalah ketika dalam praktiknya,
perbuatan memaksa dari seorang wali yang berlindung dibalik hak ijbār hanya
dijadikan sebagai alat untuk memaksa anaknya menikah dengan pilihan
4 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta : LKiS, 2001), h., 93 5 Sahal Mahfudh,Dialog Problematika Umat, (Surabaya: Khalista,2010), h., 241
3
walinya tersebut tanpa disertai izin dan rasa rida dari anak atau orang yang
berada di bawah perwaliannya. Berkenaan dengan ketentuan wali mujbir
tersebut, mayoritas ulama fikih, seperti kalangan Mālikiyah, Syāfi„iyah,
Ḥanabilah serta Ẓahiriyah membolehkan hak ijbār dilakukan seorang wali
terhadap anak maupun orang yang berada di bawah perwaliannya untuk
menikah meskipun tanpa disertai izin anak tersebut.
Alasan lain yang menunjukkan kekuasan seorang ayah untuk
menikahkan anak gadisnya adalah pada hadist yang diriwayatkan oleh
„Aisyah:
ثثذأعجعذعأبثملسو هيلع هللا ىلصاج:ىذذببلعبعهللرضسخشبئعع
اثخرغعأب
Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata, “Nabi SAW menikahiku,
sedang aku berusia enam tahun atau tujuh tahun, dan beliau mulai berkumpul
denganku ketika aku berusia sembilan tahun. 6
Berbeda halnya dengan Mazhab Hanafi (Hanafiyah) yang
membolehkan perempuan dewasa menikahkan dirinya sendiri, dan
membolehkan perempuan menjadi wali nikah7 yang tertuang dalam
pernyataan beliau:
ل٠خ وزاهاىج١شحلبيأثد١فخ: اظغ١شحثىشاوبذأث١جب, ل٠خع اججبسا
شللخ خا اعز
6 As-Syafi‟i, Al-Umm, terj. Rosadi Imron, dkk., h., 433
7 Husein Muhammad, Fiqih Perempuan:Refelksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender
(Yogyakarta : LKiS, 2001), h., 93
4
Artinya: Imam Abu Hanifah berkata: “Perwalian ijbar ialah perwalian kepada
wanita kecil baik perawan maupun janda, begitu juga wanita yang telah
dewasa akan tetapi kurang waras , dan perwalian terhadap budak perempuan.8
Hal ini tentunya wali mujbir memiliki peran yang sangat penting
dalam menentukan pernikahan dari anak perempuan yang menjadi
perwaliannya, di kalangan ulama juga masih berbeda pendapat sehingga dalil
dan dasar hukum yang diberikan terhadap permasalahan ini berbeda-beda
pula. Perbedaan tersebut tentunya terlihat dari pernyataan berbagai pandangan
dan pemahaman dari ke dua imam mazhab yang menjadi subjek dalam
penelitian ini yakni Imam Abu Hanifah dan imam syafii. Yang mana kedua
imam mazhab tersebut memiliki metode dan pendekatan yang berbeda dalam
permasalahan wali mujbir. Karena itu penulis merasa tertarik untuk membahas
“Wali Mujbir (Studi Perbandingan antara Mazhab Hanafi dan Mazhab
Syafi’i)”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas penulis mencoba
mengidentifikasi permsalahan yang ada dalam judul permasalahan ini sebagai
berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan wali mujbir ?
2. Siapa saja yang dapat dikategorikan sebagai wali mujbir ?
3. Apa saja hal yang menjadi pertimbangan antara Mazhab Hanafi dan
Mazhab Syafi‟I dalam mengemukakan pendapat ?
8 Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, (Beirut:Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
1995), h.,246
5
4. Apa dalil argumentasi yang digunankan Mazhab Hanafi dan Mazhab
Syafi‟i terkait permasalahan wali mujbir ?
5. Bagaimana para ulama memberikan pendapat tentang wali mujbir ?
6. Bagaimana pengaruh pendapat kedua mazhab tersebut terhadap hukum
perkawinan Indonesia ?
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis menganggap
perlu adanya pembatasan masalah yang menjadi focus pembahasan dalam
skripsi ini, guna mengefektifkan dan memudahkan pengolaan data, maka
penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini pada seputar
pembahasan tentang Sudut pandang Imam Abu Hanifah dan Imam Syafii
terkait wali mujbir.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi masalah pokok dalam
penelitian ini adalah bagaiaman konsep wali mujbir dalam pandangan
mazhab hanafi dan mazhab syafi‟I. untuk menjawab masalah pokok ini
maka penulis akan merumuskan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana persamaan dan perbedaan konsep Wali Mujbir dalam
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I ?
2. Bagaimana metode istinbath yang dilakukan Mazhab Hanafi dan
Mazhab Syafi‟I dalam penetapan wali mujbir?
D. Tujuan Penelitian
6
Sebagaimana rumusan masalah di atas tujuan dari kajian ini adalah:
1. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan konsep Wali Mujbir dalam
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I
2. Untuk mengetahui metode istinbath yang dilakukan Mazhab Hanafi dan
Mazhab Syafi‟I dalam penetapan wali mujbir
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan kajian ini bermanfaat bagi perkembangan khasanah
ilmu pengetahuan syar’i umumnya berkaitan dengan wali dan lebih
khususnya hukum islam
2. Kegunaan Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan wawasan keilmuan dan
keahlian, khususnya terkait wali mujbir dalam permasalahan umat.
b. Bagi Peneliti
Dapat melatih kemampuan diri dalam menerapkan teori yang telah
diterima selama kuliah memperdalam dan meningkatkan keterampilan
serta kreativitas dalam berfikir dan dapat memecahkan permasalahan
yang dihadapi dengan topik yang diangkat.
c. Bagi Fakultas Syariah dan Hukum
Dapat menambah hasil penelitian yang aktual terhadap permasalahan
umat serta meningkatkan pemahaman secara komprehensif terkait dengan
wali mujbir terhadap permasalahan kontemporer dalam hukum islam.
7
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Analisis Kedudukan Wali Mujbir dalam Hukum Perkawinan
Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Skripsi yang disusun Imam Puji Dwisatriyo, Fakultas Hukum,
Universitas Pasundan. Skripsi ini mengangkat pembahasan terkait kedudukan wali
mujbir yang terdapat dalam hukum perkawinan di Indonesia yakni UU Nomor 1
tahun 1974 dan hukum islam. Permasalahan utama yang dibahas dalam skripsi ini
bagaimana hukum islam dan UU No. 1 tahun 1974 memberikan gambaran hukum
terkait dengan kedudukan seorang wali mujbir. Sedangkan perbedaannya adalah
pada pola dan metode penelitian dalam skripsi penulis penulis adalah studi
komparatif dimana penulis mencoba membandingkan konsep dua pemikiran
imam mazhab antara Imam Abu Hanifah dan imam syafi‟i
Wali Mujbir dalam Pernikahan (Studi Perspektif Teori Gender)
skripsi disusun oleh Ade Rahma Fakultas Syari‟ah Institut Agama islam Negerii
(IAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa. Skripsi membahas tentang bagaimana wali
mujbir dalam pernikahan dilihat dari perspektif teori gender. Permasalahan utama
yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana bentuk keadilan yang disajikan
teori gender terhadap wali mujbir yang pada dasarnya memiliki kekuasaan
terhadap perwaliaannya yakni anak perempuan yang dimilikinya. Adapun
persamaan dengan skripsi yang ditulis penulis adalah adanya pembahasan sub
objek penelitian yang sama yaitu terkati dengan Wali Mujbir, sedangkan
perbedaannya adalah pada objek penelitiannya yaitu dalam skripsi ini penulis
8
mengkaji pemikiran dua imam mazhab dan disisi yang lain skripsi yang disusun
ole ade rahma ini memberikan gambaran terkait perspektif teori gender mengenai
wali mujbir sedangkan penulis memberikan kajian perbandingan pemikiran antara
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i.
Wali Nikah dalam Perspektif Dua Mazhab dan Hukum Positif skripsi
yang disusun oleh Achmad Hadi Sayuti, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini membahas secara global tentang wali
nikah menurut dua mazhab yaitu Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i dan
Imam Abu Hanifah serta peran hukum positif terkait dengan wali nikah tersebut.
Persamaan dengan skripsi yang penulis tulis terletak pada objek penelitian yaitu
terkait dengan pemikiran Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i dan Imam
Abu Hanifah tentang perwalian, perbedaannya terletak pada pembahasan wali
nikah yang disajikan Achmad Hadi Sayuti, dalam skrispsi tersebut hanya
membahas secara global atau secara umum dari berbagai macam bentuk
perwalian, syarat, penjelasan, serta pandangan menurut Imam Abu Abdullah
Muhammad Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah, sedangkan dalam skripsi yang
penulis sajikan adalah pembahasan secara intens terkait dengan wali mujbir dalam
perbandingan konsep pemikiran Imam Abu Hanifah dan syafi‟i
Studi analisis terhadap pendapat, KH. Ma. Sahal Mahfud tentang
wali mujbir, ditulis oleh Imamul Muttaqin, IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam
penelitian kepustakaan ini penulis menggunakan teknik dokumenter dengan
memakai metode deskriptif dan pola pikir deduktif. Hasil penelitian ini
menyimpulkan bahwa Menurut KH. MA. Sahal Mahfudh terkait dengan wali
9
mujbir ini, bahwa anak berhak menolak dikawinkan dengan laki-laki yang bukan
setara tanpa persetujuannya serta orang tua juga berhak menolak keinginan anak
gadisnya untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setara. Sedangkan metode
istinbat KH. MA. Sahal Mahfudh adalah dengan menggunakan metode tekstual
(maz|hab qauly) dan kedua adalah metode kontekstual/metodologis (manhajy)
sekaligus. Di samping itu, nilai maslahah juga dijadikan istinbat KH. Sahal dalam
menggali sebuah hukum. Sementara itu, analisis terhadap pendapat KH. MA.
Sahal Mahfudh tentang wali mujbir menyimpulkan bahwa pendapat KH. MA.
Sahal Mahfudh tentang hak ijbar oleh orang tua lebih mengedepankan maslahah
(kemaslahatan). Persamaan dengan skripsi penulis terletak pada sub objek
penelitiannya yaitu wali mujbir, dan perbedaannya dalam jurnal ini membahas
satu pendapat sedangkan penulis membahas dua pendapat dan
membandingkannya atau disebut dengan studi komparatif.
G. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Studi komparatif: sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari
jawaban secara mendasar tentang sebab-akibat, dengan menganalisa
faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena
tertentu9
2. Wali, adalah orang yang memiliki kuasa penuh untuk menjalankan suatu
akad nikah atau mengawinkan seseorang perempuan. Wali juga berhak
untuk melangsungkan sendiri sesuatu akad nikah itu ataupun
mewakilkannya kepada juru nikah. Wali nikah terbahagi kepada 2 jenis
9 M. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), h.,68.
10
yaitu wali nasab, wali hakim. Wali nikah menurut Kompilasi Hukum
Islam adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni
Muslim, aqil, baligh.10
Dalam istilah fikih, wali (wilayah) terbagi dua,
yaitu Wilayah „Ammah (umum, yaitu pimpinan pemerintahan), dan
Wilayah Khashshah (khusus), yang di antara bentuknya adalah perwalian
dalam pernikahan.11
Adapun perwalian yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah perwalian dalam pernikahan.
3. Mujbir, yaitu ayah kandung dari perempuan. Hak untuk memaksa anak
perempuan untuk menikah hanya dimiliki oleh ayahnya. Sedangkan wali
selain ayahnya tidak memiliki hak paksa. Ayah dalam hal ini disebut wali
mujbir (wali yang memaksa).12
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis kajian yang digunakan dalam skripsi ini adalah menggunakan
library research atau kajian pustaka yaitu telaah yang dilaksanakan untuk
memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada penelaahan
kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka dan hasil-hasil penelitian
yang terkait dengan topik (masalah) kajian13
2. Pendekatan Penelitian
10
Instruksi Presiden RI, Nomor 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta
: Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000), h.,
20. 11
Mahmud Abdurrahman Abdul Mun‟im, Mu‟jam al-Mushthalahat wa al-Alfadz al-
Fiqhiyyah, (Kairo: Dar al-Fadhilah, 1401 H/ 1981 M ), j. 3, h., 500 12
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1409 H/ 1989 M), j. 6,
h., 245. 13
Departemen Agama STAIN Tulungagung, Pedoman Penyusunan Skripsi, (Tulungagung: Depag,
2009), h.,35.
11
Pendekatan penelitian pada kajian ini adalah kualitatif, yaitu penelitian
yang dilakukan untuk menghasilkan data deskriptif yang berupa fakta-fakta
tertulis atau lisan dari orang atau pelaku yang diamati.14
3. Sumber Data
a. Data primer : Kitab al-Mabsuth al-Syarkhasy, al-Jum‟i al kabir, al-Jum‟i
as-Shagir, kitab al-Umm, Kitab ar-Risalah.
b. Data Sekunder : kitab al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu karya Wahbah az-
Zuhaili, data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber sekunder dari
data yang kita butuhkan15
, yaitu buku-buku yang mendukung atau
pelengkap, khususnya buku fiqih dan ushul fiqih.
4. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dari hal-hal yang akan
dibahas adalah dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, fatwa,
lengger, agenda dan sebagainya.16
5. Analisis data
Bentuk analisis data dalam skripsi ini adalah Metode komparatif yakni
dengan cara membandingkan suatu fakta dengan fakta yang lain sehingga
diketahui suatu persamaan dan perbedaannya, sebagaimana yang
dikemukakan Aswari Sudjud bahwa penelitian komparasi akan dapat
menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan- perbedaan tentang benda-
14
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.,18. 15
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h.,122. 16
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2006), h.,231
12
benda, tentang orang-orang, tentang prosedur kerja, tentang ide-ide, kritik
terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur kerja.17
I. Rancangan Sistematika Penulisan
Sistematika Penulisan Untuk memperoleh gambaran secara global
mengenai apa yang akan dibahas, penulisan skripsi ini penulis bagi dalam lima
bab. Dalam tiap-tiap bab dibagi kedalam sub bab sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
review terdahulu, kerangka teori dan konseptual, metode penelitian, rancangan
sistematika penelitian
BAB II dalam bab ini penulis memberikan gambaran terkait dengan
mazhab Hanafi yang isi pembahasannya terdiri dari Wali Mujbir Dalam Mazhab
Hanafi, Profil Mazhab Hanafi, Pengertian Wali mujbir, Syarat-Syarat Wali
Mujbir, dan Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Hanafi
BAB III dalam bab ini penulis memberikan gambaran terkait dengan
mazhab Hanafi yang isi pembahasannya terdiri dari Wali Mujbir Dalam Mazhab
Syafi‟i, Profil Mazhab Syafi‟i, Pengertian Wali mujbir, Syarat-Syarat Wali
Mujbir, dan Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Syafi‟i
BAB IV dalam bab ini penulis mencoba memberikan perbandingan
pandangan antara Mazhab Janafi dan Mazhab Syafi‟I yang terdiri dari Persamaan
dan Perbedaan Pendapat Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I, Metode Istinbath
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, h., 267.
13
Hukum yang dipakai Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I dalam penetapan wali
mujbir, dan Penerapan Konsep Wali Mujbir dalam Perkawinan di Indonesia.
BAB V setelah semua pokok pembahasan telah dijelaskan di bab-bab
sebelumnya, maka di dalam bab ini penulis membahas penutup adalah bab
Penutup, terdiri dari Kesimpulan dan Saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
14
BAB II
WALI MUJBIR DALAM MAZHAB HANAFI
A. Profil Mazhab Hanafi
1. Biografi Imam Abu Hanifah
Pendiri mazhab hanafi adalah imam Abu Hanifah al-Nu‟man bin
Tsabit, lahir di Irak pada tahun 80 H/699 M pada masa pemerintahan Bani
Umayyah, yaitu pada masa Abdul Malik bin Marwan.18
Beliau diberi julukan
Abu Hanifah, karena beliau seorang yang rajin melakukan ibadah kepada
Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajibannya dalam agama, karena
“Hanif” dalam bahasa Arab artinya cenderung atau condong kepada agama
yang benar.19
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa beliau terkenal
dengan sebutan Abu Hanifah, bukan karena mempunyai putra bernama
Hanifah, akan tetapi asal nama itu dari Abu al-Millah al-Hanifah, diambil dari
ayat “Fattabi‟u Millata Ibrahima Hanifa ”.20
(Maka ikutilah agama Ibrahim
yang lurus. Ali Imran ayat 95).
Imam Abu Hanifah bukan orang Arab, tetapi keturunan orang Persia
yang menetap di Kufah. Ayahnya dilahirkan pada masa Khalifah Ali.
Kakeknya dan ayahnya didoakan oleh Imam Ali agar mendapatkan keturunan
yang diberkahi Allah SWT. Pada waktu kecil beliau menghafal Al-Qurán
seperti yang dilakukan anak-anak pada masa itu, kemudian berguru kepada
18
Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam Madzhab-Imam Abu Hanifah, (Jakarta:
Lentera Hati, Jil.1, 2013), h.,2 19
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. 5, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), h., 19 20
Hadi Hussain M. Imam Abu Hanifah Life and Work, Institute of Islamic Culture,
(Pakistan: Lahore, 1972). H., 10 dikutip dari A. Djazuli, Ilmu Fiqh “Penggalian, Perkembangan
dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Prenadamedia Group, cet. 9, 2013), h., 125
15
Imam Ashim salah seorang Imam Qiro‟ah Sab‟ah. Keluarganya adalah
keluarga pedagang, oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila al-Nu‟man
pun kemudian menjadi pedagang.21
2. Metode Istinbat Hukum Wali Mujbir
Metode istinbat Imam Abu Hanifah tentang wali mujbir, yaitu
pertama beliau menggunakan ayat Al-Qur‟an sebagai dasar hukum, yaitu
pada surat al-Baqarah: 232:
أج فجغ اغبء طمز إرا ث١ ا رشاض إرا اج أص ىذ ٠ أ رعض فال
عشف ثب
Artinya: “Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara
yang makruf.”22
Ayat tersebut merupakan dalalah larangan bagi para wali untuk
menghalangi perkawinan seorang wanita dengan laki-laki pilihannya yang
sekufu (setara), akan tetapi wali boleh keberatan jika laki-laki yang dipilihnya
tidak sekufu. Kemudian pada surat al-Baqarah: 230:
أ ب ع١ جبح فال طمب فئ غ١ش جب ص ىخ ر دز ثعذ رذ فال طمب فئ
بدذدللا ٠م١ ظبأ ٠زشاجعبإ
Artinya: “Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin
21
A. Djazuli. Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam. Edisi Revisi,
Cetakan ke-VI. Jakarta: Prenada Media Group, 2006., h., 126 22
Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, (Bandung: Jabal Raudlatul Jannah, 2010)
16
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah.” (QS. Al-Baqarah:230)23
Dari kedua ayat diatas, yaitu surat al-Baqarah ayat 232 dan 230
menunjukkan bahwa pernikahan merupakan hak kedua mempelai, dan
diperbolehkan bagi seorang wanita menikah atas dirinya, dengan tanpa wali.
Wali tidak diperbolehkan menghalangi pernikahan tersebut, apabila kedua
mempelai telah bersepakat untuk menikah.24
Kemudian yang kedua, Imam Abu Hanifah menggunakan hadits Nabi
yang sangat populer, yaitu pada hadits:
م عاثعجبطلبي:لبيسطيللاص..: ي أدكثفغب١باجىشرغزأرالأ
ففغبإربطبرب,فسا٠خألثداداغبئ:١ظعاث١تأش
ا١ز١خرغزأ)ساثخشغ(25
Artinya: " Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi SAW bersabda: " seorang
Perempuan dewasa lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak
gadis diminta pertimbangannya dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu
riwayat Abu Daud dan An- Nasa'I: "Tidak ada urusan wali terhadap janda;
dan gadis yang tidak mempunyai Bapak (yatimah)"(HR. Bukhori dan
Muslim)
Lafadz Al-Ayyim diatas, menurut Imam Abu Hanifah bermakna
seorang perempuan yang tidak memiliki suami, baik masih perawan maupun
janda. Oleh karenanya hadits ini menunjukkan bahwa seorang perempuan
memiliki hak untuk melaksanakan sendiri akad perkawinannya.26
Para ulama
23
Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, (Bandung: Jabal Raudlatul Jannah,
2010) 24
Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani, Badai‟Shanai‟, (Beirut: Dar al-Kutb al-Ilmiyah, Juz III,
1997, h., 373 25
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah), (Semarang : CV. Asy- Syifa‟, 1990),Cet. Ke-
1, h., 367 26
Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h., 184-185
17
Kufah dan Zufar juga berpendapat bahwa lafadz al-Ayyim bermakna setiap
perempuan yang tidak bersuami, maka setiap perempuan yang sudah baligh
lebih berhak atas dirinya sendiri daripada walinya, dan akad nikah yang ia
laksanakan atas dirinya sendiri adalah sah. Pendapat ini senada dengan Asy-
Sya‟bi dan Az-Zuhri, mereka beralasan bahwa wali itu tidak termasuk rukun
nikah, namun hanya sebatas penyempurna saja.27
Al-Ayyim pada lafadz tersebut termasuk lafadz yang musytarak
(memiliki arti lebih dari satu). Bisa bermakna janda dan bisa juga bermakna
seorang wanita yang tidak bersuami (gadis atau janda). Adanya arti ganda
tersebut itu menghasilkan hukum yang berbeda. Untuk mengetahui
maksudnya secara pasti diperlukan adanya qarinah yang akan
menjelaskannya.
Kemudian pada lafadz al-Bikr, Imam Abu Hanifah memaknai secara
majazi yaitu wanita yang masih kecil. Lafadz al-Bikr secara haqiqi bermakna
perawan. Perawan atau gadis adalah perempuan yang belum mempunyai
suami dan belum pernah melakukan persetubuhan.
Imam Abu Hanifah berhujjah dengan menggunakan qiyas (analogi),
yaitu mengqiyaskan nikah dengan jual beli yang tidak membutuhkan
keberadaan seorang wali, dan mengatakan bahwa hadits yang mensyaratkan
wali tersebut diperuntukkan bagi budak perempuan dan gadis yang masih
kecil. Jadi keumuman hadits ب ١ ثفغب أدك األ٠ .... dikhususkan dengan
27
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hallaj, terj. Suharlan dan Darwis, Syarah
Shahih Muslim, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013), h., 891
18
qiyas. Mengkhususkan dalil umum dengan qiyas hukumnya boleh menurut
jumhur ulama ushul fiqh.28
B. Pengertian Wali Mujbir
Perwalian ijbar menurut Imam Abu Hanifah adalah:
وزاهاىج١شح اظغ١شحثىشاوبذأث١جب، ع ل٠خ ا اججبس ل٠خ لبياثد١فخ:
خ عز لخا شل ا29
Artinya: Imam Abu Hanifah berkata: “perwalian ijbar ialah perwalian
kepada wanita kecil baik perawan maupun janda, begitu juga wanita yang
telah dewasa akan tetapi kurang waras , dan perwalian terhadap budak
perempuan. ”
Dari pendapat beliau tersebut dapat dipahami bahwa perwalian mujbir
atau perwalian yang bersifat memaksa ditujukan kepada wanita kecil, baik
wanita tersebut gadis ataupun janda, dan begitu juga wanita yang telah
dewasa namun ia tidak cakap hukum seperti idiot. Syekh Abdurrahman al-
Jaziri mengemukakan pendapat Hanafiyah mengenai wali mujbir sebagai
berikut:
ا اءسض اغ١شع يع ف١زام ل٠خر عا ججشف إل اذف١خلبا:ل
٠ز ججش غ١ش ذ ثئججبس٠شعف١ظع ججش ٠خزضاا . اعمذ لفع١
اظغ١شاظغ١شحطمباجخاىجبس.30
Artinya: “ Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa tidak ada wali kecuali
wali mujbir, karena arti dari perwalian disini adalah memutuskan pendapat
atas orang lain baik ia rela maupun tidak, maka tidak ada wali bagi mereka
28
Dikutip dari An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih.,.., terj. Suharlan dan Darwis, Syarah Shahih
Muslim, h., 894 29
Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, (Beirut:Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1995), h.,246 30 Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Madzahib al-„arba‟ah, h., 720
19
kecuali wali mujbir yang dapat memutuskan pada akadnya, dan dikhususkan
bagi wali mujbir untuk memaksa anak kecil perempuan secara mutlak, laki-
laki dan perempuan yang majnun (gila) sekalipun mereka telah dewasa.”
Dalam kitab yang berbeda Wali mujbir menurut mazhab Hanafi
adalah seorang wali yang mempunyai hak untuk mengawinkan orang yang
berada di dalam perwaliannya walaupun tanpa seizin darinya.31
Menurut Imam Abu Hanifah tidak ada perwalian kecuali wali mujbir.
Karena menurut beliau seorang wanita yang telah dewasa ia dapat
menikahkan dirinya sendiri. Sebagaimana pendapat beliau:
عاثد١فخ:رجصجبششحاجبغخاعبلخعمذىبدب..32
Artinya: “Seorang wanita yang telah dewasa (balig) dan berakal, ia dapat
mengaqadkan atau menikahkan dirinya sendiri.”
Menurut Abu Hanifah dan Zufar, perwalian kepada perempuan yang
merdeka, berakal, dan telah baligh baik perawan atau janda kedudukannya
adalah sunnah untuk menjaga kebaikan adat dan etika yang dilindungi oleh
Islam. Karena seorang perempuan dalam pandangan mereka harus
melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya dengan pilihan dan
kerelaannya.33
Dalam kutipan pendapat Imam Abu Hanifah:
إججبساجىشاجبغخ ص عاىبحل٠ج34
Artinya: “tidak dibolehkan untuk wali mujbir melarang kepada wanita yang
telah dewasa terhadap pernikahannya.
31 Fakhru Al- Din „Usman Bin Ali, Tabyinu al-Haqoiq, Juz II, (Beirut –Lebanon : Dar Al-
Kutub Al- Ilmiah, tt), 493. 32
Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, h., 246 33 Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, Fiqih
Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2011), h., 179 34 Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, h., 248
20
Dari beberapa pernyataan kutipan pendapat Imam Abu Hanifah diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa wali mujbir menurut beliau ialah seorang
wali yang dapat menikahkan dengan paksa atau tanpa melalui persetujuan
seseorang yang hendak dinikahkannya, yaitu kepada wanita kecil, wanita
yang telah dewasa namun ghairu „aqil baik dia perawan atau janda, budak
perempuan yang dimerdekakan. Dalam riwayat lain perwalian ijbar juga
terhadap anak laki-laki yang masih kecil dan gila.„Illat dari pendapat beliau
adalah g|airu „aqil. Menurut Imam Abu Hanifah hak ijbar tersebut dimiliki
oleh bapak, kakek serta yang lainnya yang masuk dalam hubungan „asabah.35
Akal bukanlah syarat akad perkawinan menurut kesepakatan fuqaha.
Oleh karenanya, menurut madzhab Hanafi seorang wali yang merupakan
bapak atau yang lainnya boleh mengawinkan orang gila laki-laki dan
perempuan, atau orang idiot laki-laki dan perempuan, baik masih kecil atau
sudah besar, perawan maupun janda.36
Sebab disyariatkannya perwalian
dalam menikahkan anak kecil dan orang gila adalah perwalian yang bersifat
keharusan. Perwalian ini merupakan perlindungan terhadap kepentingan
orang yang dinikahkan, serta untuk menjaga hak-hak mereka akibat
ketidakmampuan dan kelemahannya.
Menurut Abu Hanifah dan Zufar, perwalian terhadap perempuan yang
merdeka, berakal, dan telah baligh baik perawan atau janda hukumnya adalah
sunah. Hal ini untuk menjaga kebaikan adat dan etika yang dilindungi oleh
islam. Seorang perempuan dalam pandangan Abu Hanifah harus
35
Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h., 173 36
Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h., 183
21
melaksanakan sendiri akad pernikahan dirinya dengan pilihan dan
kerelaannya. Akan tetapi, disunahkan baginya untuk menyerahkan
pelaksanaan akad nikah kepada walinya.37
C. Syarat – Syarat Wali Mujbir
Hak dari wali mujbir adalah bisa menikahkan gadis yang berada di
dalam perwaliannya tanpa harus menunggu izin darinya, tetapi hal itu tidak
berlaku secara mutlak, maksud dari kemutlakan tersebut adalah bahwa semua
wali mujbir terkadang tidak bisa menggunakan hak ijbar tersebut, karena
mazhab Hanafi mensyaratkan bahwa hak ijbar dari wali mujbir mampu
menghadirkan calon suami yang kafa‟ah dengan si gadis, kafa‟ah yang
dimaksud disini mencakup lima hal yaitu sebagai berikut: 38
1) Nasab
Dalam pandangan ini orang non Arab tidak setara dengan orang
Arab. Ketinggian nasab orang Arab itu menurut mereka karena Nabi
sendiri adalah orang Arab. di antara sesama orang Arab, kabilah Quraisy
lebih utama dibandingkan dengan non Quraisy. Alasannya karena Nabi
sendiri orang Quraisy.
Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa
wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan laki- laki Quraisy, dan
perempuan Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab
37
Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), h., 188 - 189 38
Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh Fathul …, 280-287
22
2) Merdeka
Perbudakan menjadikan perbedaan antara orang yang merdeka
dengan seorang budak. Berkenaan dengan perkawinan, tidak sama
perempuan yang merdeka dengan laki-laki yang dimerdekakan. Syarat
kesederajatan dalam kemerdekaan amat penting bagi kaum muslim.
3) Agama
bahwa seorang laki-laki yang beragama Islam dengan seorang
perempuan non muslimah, maka dapat dikategorikan tidak sekufu, yaitu
tidak sepadan. Allah menerangkan di dalam Al-Qur‟an
ل أعججزى ششوخ خخ١ش ؤ خ أل ٠ؤ ششوبددز ىذاا لر
دز ششو١ ا ىذا ئه ر أ أعججى ششن خ١ش ؤ عجذ ا ٠ؤ
غفشح ا جخ ا إ ٠ذع للا ابس إ ٠ذع ع بط آ٠بر ٠ج١ ثئر
٠ززوش
Artinya: “bahwa seorang laki-laki yang beragama Islam dengan seorang
perempuan non muslimah, maka dapat dikategorikan tidak sekufu, yaitu
tidak sepadan. Allah menerangkan di dalam Al-Qur‟an Dan janganlah
kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran
4) Harta, dianggap sekufu ialah seorang laki-laki yang dianggap sanggup
membayar mas kawin dan uang belanja, apabila tidak sanggup membayar
mas kawin dan nafkah atau salah satunya maka tidak dianggap sekufu.
23
5) Pekerjaan.
Pekerjaan, Seorang laki-laki sepadan dalam hal pekerjaan dengan
keluarga perempuan dan ukuran kesepadananya adalah adat dan tradisi
yang berlaku di masyarakat.
Persyaratan yang diberikan oleh Mazhab Hanafi terhadap
pemberlakuan hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir mengawinkan
anak gadisnya yang masih kecil dan baligh, tetapi ternyata calon suami
yang dihadirkan tidak kafa‟ah dengan anak gadisnya, maka sigadis berhak
menolak dan apabila tetap dilakukan
aqad nikah maka pernikahan tersebut tidak sah.39
Sedangkan syarat
wali nikah secara umum adalah sebagai berikut :1) Baligh, 2) Berakal, 3)
Bisa mewarisi (beragama Islam).
D. Tartib Wali Mujbir dalam Mazhab Hanafi
Pembagian wali menurut mazhab Hanafi di dalam perkawinan sudah
dijelaskan di atas, tetapi yang menjadi wali mujbir menurut mazhab Hanafi
hanyalah terbatas kepada perwalian dari jalur „asabah, pengertian „asabah
disini sama dengan konteks „asabah waris, tentunya masih
memperhitungkan mahjub dan mendahulukan „asabah yang paling dekat
berikut ini :
1) Bapak sampai nasab ke atas
2) Saudara laki-laki kandung
3) Saudara laki-laki sebapak
39
Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al- Mukhtar „Ala …, 206-207
24
4) Anak dari saudara laki-lak
5) Anak dari saudara laki-laki seayah
6) Paman kandung
7) Paman sebapak
8) Anak dari paman kandung
9) Anak dari paman sebapak
10) Paman kakek kandung dan anak-anaknya samapai nasab kebawah.40
Mazhab Hanafi menentukan bahwa wali mujbir adalah wali semua
dari jalur „asabah, dan kemudian jika ternyata „asabah tidak ada maka
yang menjadi wali mujbir adalah Imam.41
Sedangkan dalam konteks
perwalian untuk orang gila mazhab Hanafi pendapatnya berbeda dengan
perwalian terhadap orang yang mempunyai akal sehat, bahwa perwalian
terhadap orang gila lebih umum yaitu baik untuk laki-laki atau perempuan,
sudah baligh atau belum baligh semua perwaliannya adalah bersifat ijbar.42
40 Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh Fathul …, h., 268 41 Ibid., 276. 42 Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al-Mukhtar „Ala Al-Dar Al-Mukhtar, Juz IV (Beirut-
Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t.), 170-171.
25
BAB III
WALI MUJBIR DALAM MAZHAB SYAFII
A. Profil Imam Abu Abdullah Muhammad Asy-Syafi’i
1. Biografi Singkat
Imam Abu Abdullah Muhammad Asy-Syafi‟i bernama asli Muhammad bin
Idris bin Abbas bin Ustman bin Syafi‟i bin Sa‟ib bin „Ubaid bin Abu Yazid bin
Hasyim bin al-Harits bin „Abdul Manaf.43
Beliau dilahirkan di kota Gaza,
Palestina pada tahun 150 H (767 M). Ayahnya bernama Idris, dan ibunya bernama
Fatimah binti Abdillah al-Mahdh. Beliau masih merupakan keturunan bangsawan
Quraisy dan saudara jauh Rasulullah yang bertemu pada Abdul Manaf (kakek
ketiga Rasulullah), dan dari ibunya Fatimah merupakan cicit Ali bin Abi Thalib
r.a.
Ketika Imam as-Syafi‟i masih dalam kandungan, kedua orang tuanya
meninggalkan Makkah menuju Palestina demi memperjuangkan dan mencukupi
kebutuhan keluarga. Setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan berpulang ke
rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya yang dalam
kondisi memprihatinkan dan serba kekurangan.44
Pada usia 2 tahun, Imam As-Syafi‟i bersama ibunya kembali ke Makkah.
Setidaknya ada sejumlah alasan yang menjadi latar belakang sang Ibu untuk
memilih kembali ke Makkah. Pertama, disana masih banyak keluarga besar dari
pihaknya sendiri dan keluarga dari pihak suaminya sehingga Muhammad bin Idris
43
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-fikr,1985), cet.
Ke-2, jln. 32 dikutip oleh Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam, Jil.3, h., 4 44
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. 5, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), h., 19
26
kecil dapat merasakan kehangatan kasih sayang dari keluarga besarnya. Kedua,
yakni menjadi tujuan utama sang Ibu yaitu kota suci Makkah merupakan pusat
pengetahuan dan kemuliaan pada masanya, dimana Masjidil Haram dipenuhi ahli-
ahli hukum Islam, ahli-ahli qira‟ah, ahli Hadits, dan ahli tafsir. Ketiga, di
sekeliling kota Makkah masih banyak terdapat pedesaan dimana tata krama dan
kesopanan masih terjaga dengan baik, yang amat berguna bagi terasahnya
kepekaan sosial, kecerdasan, moral, dan mental. Beberapa hal tadi yang menjadi
pertimbangan sang Ibu untuk meninggalkan Palestina dan kembali ke Makkah.
2. Metode Istinbat Hukum Wali Mujbir
Abdul Wahhab Khallaf menjelaskan bahwa metode istinbat menurut Imam
Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i adalah mengemukakan kaidah-kaidah
dasar dengan menunjukkan bukti-bukti dari nash, kemudian menganalisis secara
cermat dan sempurna dengan melihat adanya keterkaitan antara kaidah-kaidah dan
bukti-bukti dan bukti-bukti yang telah disebutkan. Hasil analisis tersebut
merupakan bukti ketetapan yang telah dijadikan kaidah.45
Metode istinbat hukum yang digunakan oleh Imam Abu Abdullah
Muhammad asy-Syafi‟i tentang pendapat beliau mengenai wali mujbir, tidak jauh
berbeda dengan metode istinbath Imam Abu Hanifah. Imam Abu Abdullah
Muhammad asy-Syafi‟i sebagaimana Imam Abu Hanifah, dalam pendapat beliau
menggunakan Alqur‟an sebagai sumber utama. Sekalipun Alqur‟an tidak
menjeleskan secara tekstual mengenai wali mujbir, namun secara kontekstual
45 Abd. Wahhab Khallaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam 1987), h., 15
27
ayat-ayat tersebut mengindikasikan adanya wali mujbir, yaitu pada ayat Al-
Qur‟an surat an-Nisa‟ayat 6:
اثز سشذا آغز إراثغااىبحفئ دز ١زب اا
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta).”46
Ayat diatas menurut Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i bahwa
urusan anak yatim atau anak yang dibawah perwalian yang masih dibawah umur
adalah berada pada seorang wali. Kedewasaan tersebut setelah usia anak itu
mencapai usia 15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, atau ketika anak laki-
laki tersebut mereka sudah mimpi basah sebagai tanda aqil baligh, dan bagi anak
gadis telah menstruasi. Hal ini sesuai dengan pernikahan Aisyah dengan
Rasulullah SAW yaitu ketika Aisyah berusia 6 tahun, maka yang menikahkan
beliau adalah ayahnya yaitu sahabat Abu Bakr as-Shiddiq, karena ayah lebih
berhak daripada gadis dalam pernikahannya.
Metode istinbat yang kedua Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i
adalah al-Hadits. Sekalipun haditsnya sama, namun menghasilkan interpretsi yang
berbeda antara pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Abdullah Muhammad
asy-Syafi‟i tentang wali mujbir. Menurut Imam Abu Abdullah Muhammad asy-
Syafi‟i pada hadits:
ا ب، ١ ثفغب أدك برباأل٠ إربط شففغب، جىشرغزأ
47
Artinya: “Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dibandingkan
walinya. Dan seorang perawan dimintakan persetujuannya, dan diamnya adalah
tanda persetujuannya.”
46
Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI..... 47
As-Syafi‟i, Al-Umm, h., 19
28
Hadis diatas menunjukkan perbedaan antara janda dan perawan untuk
dimintai persetujuan dalam menikah. Bagi seorang gadis tanda persetujuaannya
adalah cukup dengan diam, sedangkan janda lebih berhak atas dirinya, artinya
seorang wali tidak berhak memaksanya menikah tanpa ada persetujuan dengan
lafaz yang sarih dari janda tersebut.48
Imam Abu Abdullah Muhammad asy-
Syafi‟i memaknai lafadz Al-Ayyim diatas adalah janda. Berbeda dengan Imam
Abu Hanifah yang memberi makna seorang wanita yang tidak bersuami baik
janda maupun gadis. Sehingga, hanya seorang janda yang berhak atas dirinya,
atau seorang wali tidak berhak untuk memaksanya menikah. Hal ini menunjukkan
perawan berhak untuk dinikahkan oleh ayahnya dengan tanpa izinnya.
Sabda Nabi Muhammad SAW tentang gadis perawan إربطبرب (“Tanda
ia mengizinkan adalah apabila ia diam”). Dzahirnya hal ini berlaku secara umum
kepada setiap gadis perawan ketika dimintai persetujuan dalam pernikahan, tanda
ia setuju adalah cukup dengan diamnya, karena tabiat dari seorang gadis adalah
pemalu. Sehingga tanda diam sudah memberikan petunjuk bahwa ia tidak
keberatan untuk dinikahkan. Berbeda dengan janda, tanda persetujuannya adalah
dengan ucapan secara jelas. Hal ini disebabkan sifat malu darinya sudah hilang
karena sudah pernah melakukan hubungan suami istri.
Imam Syafi‟i dalam kitabnya Al-Umm menjelaskan wali mujbir, yaitu
seorang wali yang dapat menikahkan anak gadisnya tanpa melalui izinnya.
Adapun pendapat beliau tersebut, penulis kutip sebagai berikut:
48 An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih.,.., terj. Suharlan dan Darwis, Syarah Shahih
Muslim, h., 891
29
أحاشفع:فألبياشب ثشصجىثث١تا فبىبحرشإ١غب الثبءف،إلبطثب
ىبس،اغالث ١خزادءاثخبحخغبىاجطللاع١عسد،أل١هببدحفا
بأثصج بصرجإذوب،دىببنفزج١ضإثرجشأرشبئأألإم٠بوبسخ،
١حأثأرج١ضإىببأششجأ٠بدبرج١ضأإى لب، ب.١عر٠شدثم
Artinya: Imam Syafi‟i berkata: Siapa saja yang menjadi wali bagi seorang wanita
(janda atau perawan), lalu ia menikahkan wanita itu tanpa izin si wanita, maka
pernikahan dianggap batal, kecuali seorang bapak yang menikahkan anak
perawannya dan majikan yang menikahkan wanita miliknya, karena Nabi SAW
menolak pernikahan Khansa putri Khudzam ketika dinikahkan oleh bapaknya
secara paksa. Nabi tidak memberikan reaksi lain selain mengatakatakan, “Apabila
engkau mau berbakti kepada bapakmu dengan merestui pernikahan yang
dilakukannya.”Apabila restu dari beliau atas pernikahan itu sebagai pembolehan
darinya, maka lebih tepat dikatakan bahwa beliau memerintahkan Al Khansa
untuk merestui pernikahan yang diselenggarakan oleh bapaknya dan tidak
menolaknya, karena besarnya kekuasaan bapak terhadapnya.49
Qaul Imam Syafi‟i tersebut memberikan pemahaman bahwa seorang ayah
dapat menikahkan anak perempuannya yang masih perawan dengan tanpa izin
dari anak tersebut. Sebagaimana pendapat beliau “semua wanita baik gadis
maupun janda yang dinikahkan walinya tanpa izin, maka pernikahannya adalah
batal, kecuali seorang ayah yang mengawinkan anak gadisnya.” Jadi, hak
menikahkan dengan paksa atau dengan istilah lain hak ijbar itu hanya
diberlakukan pada ayah.
Pendapat Imam Syafi‟i diatas berdasarkan hadis tentang kisah
Khansa‟binti Khudzam. Kisah Khansa‟yang dijodohkan dengan laki-laki pilihan
ayahnya dan ia ‟tidak menyukainya, kemudian ia melaporkan kejadian tersebut
kepada Nabi Muhammad SAW. Rasulullah memberikan pilihan kepada Khansa‟
untuk membatalkan perkawinan tersebut atau melanjutkannya. Menurut Imam
49
As-Syafi‟i, Al-Umm, terj. Rosadi Imron, dkk. (Jakarta: Pustaka Azam, 2009), h., 443
30
Syafi‟i dari riwayat hadits tersebut, secara kontekstual Rasul memberikan nasihat
agar ia menerima perkawinan tersebut, karena seorang ayah lebih berkuasa, dalam
arti lebih mengetahui kemaslahatan bagi putrinya.
B. Pengertian Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali (bapak atau kakek ketika tidak ada bapak), yang
berhak mengawinkan anak gadisnya meskipun tanpa persetujuannya.50
Selain
kedua orang ini (bapak atau kakek) tersebut adalah wali tak mujbir.51
Menurut Mazhab Syafi‟i bahwa yang menjadi obyek wali mujbir adalah
anak perempuan yang masih gadis (al-bikr), baik itu sudah baligh atau belum
baligh, karena menurut Mazhab Syafi‟i yang menjadi „illat (alasan) hukum terkait
berlakunya hak ijbar yang dimiliki wali mujbir adalah, ketika orang yang berada
di dalam perwaliannya masih berstatus anak perempuan yang masih gadis (al-
bikr), tendensi hukum yang dipakai oleh Mazhab Syafi‟i adalah hadith berikut ini
:
اج عجبطأ اث ع جىشرغزأر ا ب ١ ثفغب أدك لبياأل٠ ع ع١ للا ط
برب إربط ففغب
Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda :‛janda
lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan persetujuannya adalah diam‛
(HR. Abi Dawud).52
Hadith di atas dapat dipahami bahwa seorang janda berhak atas dirinya,
oleh karenanya pemahaman baliknya (mafhum mukholafah) ketika seorang
50
Al-Imam Al- Nawawi, Majmu‟ Sharh al –Muhadhhab, Jilid XVI, (Kairo: Dar al-Hadith,
2010), hal 409. 51 Maman Abd.Djaliel. Fiqh Madzhab Syafi‟i (Edisi Lengkap) Buku 2: Muamalat,
Munakahat, Jinayat, Bandung : CV Pustaka Setia, 2007), 274. 52
As-Syafi‟i, Al-Umm, h., 21
31
perempuan tersebut masih gadis (al-bikr), maka hak perkawinannya dipegang oleh
walinya.
C. Syarat-Syarat Wali Mujbir
Menurut Mazhab Syafi‟i bahwa hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir
yaitu mengawinkan seorang gadis yang berada di dalam perwaliannya walaupun
tanpa persetujuannya, tetapi tidak semerta-merta hak tersebut mutlak langsung
bisa digunakan, melainkan Mazhab Syafi‟i memberikan syarat yang harus
dipenuhi oleh wali mujbir sebelum haknya digunakan, syarat tersebut adalah
sebagai berikut:53
a. Antara wali dengan sigadis tidak ada permusuhan secara jelas.
b. Antara sigadis dan calon suami tidak adanya permusuhan
c. Calon suami harus sekufu dengan sigadis
d. Mampu membayar mahar
e. Maharnya berupa mahar mithil
f. Maharnya dengan kriteria kebiasaan di daerah tersebut.
g. Mahar harus diserahkan secara langsung (hallan).
Seorang wali mujbir jika mampu menghadirkan calon suami dengan
kriteria di atas, maka hak ijbar dari wali mujbir dapat diaplikasikan, yakni dapat
mengawinkan si gadis tanpa persetujuannya, tetapi sebaliknya apabila seorang
wali mujbir tidak mampu untuk menghadirkan kriteria di atas, maka si gadis dapat
menolak dan jika diteruskan maka aqad-nya tidak sah.54
Tetapi jika wali ingin
mengawinkannya maka harus meminta persetujuannya, bentuk persetujuannya
53 Muhammad Shata al- Dimyati, Hashiyah i‟anatu..., 568. 54
Sulaiman Bin Muhammad Ibn ‟Umar, Hashiyah Bujairomi, Jilid III ..., 564
32
jika ia janda harus jelas dan apabila gadis maka diam atau tersenyum merupakan
indikasi bahwa si gadis tersebut sudah mau untuk dinikahkan dengan lelaki
pilihan wali.
Nikah karena tekanan atau bukan karena kehendak sendiri dari calon
pengantin yang bersangkutan tidak sah menurut mazhab Syafi‟i bila tidak ada
indikasi kehendak. Dan sekalipun ada perbedaan pendapat tentang wajib bagi wali
untuk terlebih dahulu menanyakan pendapat calon pengantin wanita (istri) dan
mengetahui keridhaannya sebelum diakadnikahkan. Hal ini karena perkawinan
merupakan pergaulan abadi dan persekutuan suami istri, kelanggengan,
keserasian, kekalnya cinta dan persahabatan, yang tidaklah akan terwujud apabila
keridhaan pihak calon istri belum diketahui sebelumnya. Mazhab Syafi‟i
berpendapat bahwa perwalian untuk orang gila baik berjenis kelamin laki-laki
atau perempuan, dan juga statusnya janda atau masih gadis, serta belum baligh
sudah baligh atau menurut mazhab Syafi‟i perwaliannya tetap bersifat mujbir, hal
ini bertujuan agar lebih maslahah.
Dalaam hal Kafaah menurut mazhab syafi‟i seperti di kutip Assegaf,55
adalah persamaan dan kesempurnaan, persamaan ini terbagi kepada empat kriteria
:
1) Nasab, Orang ajam hanya berhak menikah dengan orang ajam, orang
Quraisy hanya berhak menikah dengan orang Quraisy.
Mazhab Syafi‟i memiliki persepsi yang sama dengan mazhab Hanafi
tentang golongan tertinggi di masyarakat Arab.
55
Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafaah Syarifah, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000), h., 55
33
2) Agama, Laki-laki harus sama dalam hal istiqamah dan kesucian. Laki-
laki yang fasik tidak sekufu dengan perempuan yang istiqamah kecuali telah
bertaubat, sementara laki-laki pezina tidak
kufu dengan perempuan yang suci meskipun laki-laki tersebut telah
bertaubat.
3). Kemerdekaan, Hanya berlaku pada pihak laki-laki dan tidak pada
perempuan, karena laki-laki dapat menikah dengan siapa saja baik hamba atau
sederajad.
4) Profesi, Laki-laki miskin yang pekerjaannya tergolong rendah tidak
sekufu dengan perempuan yang kaya, namun laki-laki yang miskin dapat sekufu
dengan perempuan yang kaya dengan syarat kerelaan orang tua.
D. Tartib Wali Mujbir
Menurut mazhab syafi‟i yang berhak menjadi wali mujbir adalah hanya
bapak dan kakek apabila tidak ada bapak, selain dari bapak dan kakek tidak dapat
menjadi wali mujbir, hal ini didasarkan pada hadith Nabi sebagai berikut :
يلب ةسطبخلاعشث :لباض اطياعيسع ع١ لر ١ز١خاىخـع
د أثداد()سارغزأشر
Artinya: “Umar Bin Khottob r.a. berkarta: Rasulullah saw bersabda: “jangan
nikahkan anak yatim perempuan kecuali atas izinnya, sedangkan diam adalah
indikasi kerelaannya”. (HR. Abi Dawud).56
Hadith tersebut menjadi sandaran bagi Mazhab Syafi‟i, bahwa yang
menjadi wali mujbir adalah bapak dan kakek apabila tidak ada bapak, hal ini
didasarkan pada asbabul wurud dari hadith tersebut. yakni,pada saat itu „Utsman
56
As-Syafi‟i, Al-Umm, h., 22
34
Bin Mutghoun mengawinkan keponakan perempuannya, Keponakan Utsman Bin
Mutghoun pada saat itu dalam keadaan yatim, kemudian ibu dari gadis tersebut
datang pada Rasulullah saw dan mengadu atas perkawinan tersebut dan
mengatakan bahwa anak perempuannya tidak suka dengan pilihan pamannya
(„Utsman Bin Mutghoun) akhirnya Rasulullah saw memerintahkan untuk
memisahkan keduanya.
Penjelasan terkait asbabul wurud dari hadith di atas, dapat dipahami
bahwa Mazhab Syafi‟i bahwa selain bapak dan kakek tidak dapat menjadi wali
mujbir karena dari asbabul wurud hadith tersebut, diterangkan bahwa posisi
„Utsman Bin Mutghoun adalah paman dari gadis yang dinikahkan, tetapi
kemudian Nabi menyuruh ibunya untuk memisahkan keduanya, oleh karenanya
dapat diambil kesimpulan bahwa paman tidak termasuk golongan wali mujbir .
Oleh karenanya Mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa yang berhak menjadi wali
mujbir hanyalah bapak dan kakek.
Tidak hanya hadith di atas yang dijadikan sandaran hukum oleh Mazhab
Syafi‟i terkait hanya bapak dan kakek saja yang berhak menjadi wali mujbir ,
tetapi ada hadith lain yang dijadikan sandaran hukum oleh mazhab Syafi‟i yakni
hadith dibawah ini:
شبعبـثاشبـخج٠ذابـدذث ٠خع عش ـدذثحث عشبحبعجذـدذثمنريبث
لاع عبئشخ ع رـث١ ضـذ اطثاج ع١ عاع ثثبثذعذ ١
ا )اغبا١)سابثذرغعع
35
Artinya: ”Dari Yahya bin Yahya, Abu Muawiyah mengabarkan dari
Hisyam dari ibn „Urwah, Numair mengabarkan „Abdah dari Hisyam dari
Bapaknya dari „Aisyah Berkata “Saya dikawinkan dengan Rasulullah saw dan
umur saya enam tahun dan Rasulullah saw membangun rumah tangga denganku
ketika saya umur sembilan tahun”.57
(HR. Al- Nasai Bukhari dan Muslim).
Dari hadith di atas dapat dipahami bahwa siti „Aisyah dikawinkan dengan
Rasulullah saw ketika berumur enam tahun, pernikahan tersebut tanpa meminta
izin kepada „Aisyah terlebih dahulu, dalam artian perwaliannya pada saat itu
adalah wali mujbir, dan beliau „Aisyah dinikahkan oleh ayahnya.
57
Al-Nasa‟i, Sunanu Al-Nasa‟i Al-Sughro, (Riyad: Dar al-Islam, t.t), 2299.
36
BAB IV
PERBANDINGAN ANTARA MAZHAB HANAFI DAN MAZHAB SYAFII
TENTANG WALI MUJBIR
A. Persamaan Pandangan Mazhab Hanafi dan Syafi’i Tentang Konsep Wali
Mujbir
Mazhab Hanafi Mazhab Syafi’i
Pengertian :
1. perwalian kepada wanita kecil
2. wanita yang telah dewasa akan
tetapi kurang waras.
Pengertian :
1. Perwalian kepada anak perempuan
yang masih gadis (al-bikr).
2. Perwalian kepada anak gadis yang
tidak waras atau gila
Syarat-Syarat Wali Mujbir:
Kafaah calon suami :
1. Nasab
2. Merdeka
3. Agama
4. Harta
5. Pekerjaan
Syarat – Syarat Wali Mujbir
a. Calon suami harus sekufu dengan
sigadis (Nasab, Agama,
Kemerdekaan, & Profesi)
b. Mampu membayar mahar
c. Maharnya berupa mahar mithil
d. Maharnya dengan kriteria kebiasaan
di daerah tersebut.
e. Mahar harus diserahkan secara
langsung (hallan).
Tartib Wali Mujbir
1. Bapak sampai nasab ke atas
Tartib Wali Mujbir
1. bapak
2. kakek
apabila tidak ada bapak, selain dari
bapak dan kakek tidak dapat menjadi
wali mujbir
37
B. Perbedaan Pemikiran Mazhab Hanafi dan Syafi’i Tentang Konsep Wali
Mujbir
Pemikiran mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i tentang konsep wali mujbir
memiliki perbedaan pendapat, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
Mazhab Hanafi Mazhab Syafi’i
Pengertian :
1. perwalian kepada wanita kecil baik
perawan maupun janda.
Pengertian :
1. Perwalian kepada anak perempuan
yang masih gadis (al-bikr), baik itu
sudah baligh atau belum baligh.
Syarat-Syarat Wali Mujbir:
Fokus kepada kemampuan wali Mujbir
untuk menghadirkan Suami yang
kafaa‟ah dengan si gadis.
Syarat – Syarat Wali Mujbir
Fokus kepada hubungan antara ketiga
objek yakni wali mujbir, si gadis dan
calon suami :
a. Antara wali dengan sigadis tidak
ada permusuhan secara jelas.
b. Antara sigadis dan calon suami
tidak adanya permusuhan
Tartib Wali Mujbir
1. Saudara laki-laki kandung
2. Saudara laki-laki sebapak
3. Anak dari saudara laki-lak
4. Anak dari saudara laki-laki seayah
5. Paman kandung
6. Paman sebapak
7. Anak dari paman kandung
Tartib Wali Mujbir
1. bapak
2. kakek
apabila tidak ada bapak, selain dari
bapak dan kakek tidak dapat menjadi
wali mujbir
38
8. Anak dari paman sebapak
9. Paman kakek kandung dan anak-
anaknya samapai nasab kebawah
Metode Istinbath
1. Al-Quran
QS Al-Baqarah Ayat 232
اغبء طمز إرا فال أج فجغ
إرا اج أص ىذ ٠ أ رعض
عشف ثب اث١ رشاض
Artinya: “Apabila kamu menalak istri-
istrimu, lalu habis idahnya, maka
janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang makruf.”58
2. Hadits
للا سطي لبي لبي: عجبط اث ع
م ص..: ي فغثأدكالأ ب١ب
رببطإربففغأرزغرىشاج ,ب
١ظف : اغبئ داد ألث سا٠خ
)سا رغزأ ا١ز١خ اث١تأش ع
ثخشغ(59
Metode Istinbath
1. Al-Quran
(QS. An-nisa 6)
فئ اىبح ثغا إرا دز ١زب ا اثزا
سشذا آغز
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta).”60
2. Hadits
ش رغزأ جىش ا ، ب ١ ثفغب أدك األ٠
برب إربط ففغب،61
Artinya: “Seorang janda lebih berhak
terhadap dirinya sendiri dibandingkan
walinya. Dan seorang perawan
dimintakan persetujuannya, dan
diamnya adalah tanda persetujuannya.”
3. Qiyas
ثىش ث١تا فأاشأح فع: اشب لبي
صجبثغ١شإربفبىبحثبط،إلالثبءف
58
Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, (Bandung: Jabal Raudlatul Jannah,
2010) 59
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah), (Semarang : CV. Asy- Syifa‟, 1990),Cet. Ke-
1, h., 367 60
Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI.....
39
Artinya: " Dari Ibnu Abbas ra, ia
berkata : Nabi SAW bersabda: "
seorang Perempuan dewasa lebih
berhak terhadap dirinya daripada
walinya dan anak gadis diminta
pertimbangannya dan izinnya adalah
diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu
Daud dan An- Nasa'I: "Tidak ada
urusan wali terhadap janda; dan gadis
yang tidak mempunyai Bapak
(yatimah)"(HR. Bukhori dan Muslim)
3. Qiyas
Imam Abu Hanifah berhujjah
dengan menggunakan qiyas (analogi),
yaitu mengqiyaskan nikah dengan jual
beli yang tidak membutuhkan
keberadaan seorang wali, dan
mengatakan bahwa hadits yang
mensyaratkan wali tersebut
diperuntukkan bagi budak perempuan
dan gadis yang masih kecil. Jadi
keumuman hadits ثفغب أدك األ٠
ب ١ .... dikhususkan dengan qiyas.
Mengkhususkan dalil umum dengan
qiyas hukumnya boleh menurut
jumhur ulama ushul fiqh
اج أل اب١ه، ف اغبدح الثىبس،
اثخ خغبء ىبح سد ع ع١ للا ط
٠مإل وبسخ، أثب د١صجب خزا
أرجشأثبنفزج١ضإىبد،أرشبئ
وبذإجبصرإىبدبرج١ضأشجأ٠أشب
أرج١ضإىبحأث١ب،ل٠شدثمرع١ب.
Artinya: Imam Syafi‟i berkata: Siapa
saja yang menjadi wali bagi seorang
wanita (janda atau perawan), lalu ia
menikahkan wanita itu tanpa izin si
wanita, maka pernikahan dianggap
batal, kecuali seorang bapak yang
menikahkan anak perawannya dan
majikan yang menikahkan wanita
miliknya, karena Nabi SAW menolak
pernikahan Khansa putri Khudzam
ketika dinikahkan oleh bapaknya secara
paksa. Nabi tidak memberikan reaksi
lain selain mengatakatakan, “Apabila
engkau mau berbakti kepada bapakmu
dengan merestui pernikahan yang
dilakukannya.”Apabila restu dari beliau
atas pernikahan itu sebagai pembolehan
darinya, maka lebih tepat dikatakan
bahwa beliau memerintahkan Al
Khansa untuk merestui pernikahan
yang diselenggarakan oleh bapaknya
dan tidak menolaknya, karena besarnya
kekuasaan bapak terhadapnya
1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang menjadi obyek wali mujbir adalah
setiap anak perempuan yang masih kecil, batasan kecil menurut mazhab
Hanafi yaitu ketika seorang anak perempuan tersebut belum baligh, maka
61
As-Syafi‟i, Al-Umm, h., 19
40
seorang wali mujbir berhak mengawinkan anak perempuan yang berada di
dalam perwalianya tanpa harus menunggu izin dari anak perempuan
tersebut,62
mazhab Hanafi memberikan alasan bahwa anak kecil yang belum
mencapai tingkat baligh anak tersebut belum cakap secara hukum, oleh
karenanya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka seorang
walinya diberi sebuah wewenang yakni mengawinkanya, di sisi lain seorang
anak kecil juga belum mempunyai sebuah pengalaman dibidang perkawinan,
oleh karenanya tidak mungkin untuk bermursyawarah denganya dalam yang
berhubungan dalam hal perkawinan. Jelas bahwa mazhab Hanafi memberikan
argumen mengenai obyek wali mujbir lebih memfokuskan pada argumen
yang bersifat At-Taqdiri (pemikiran) hal ini bisa dilihat dari alasan yang
disampaikan oleh mazhab Hanafi, bahwa seorang anak kecil yang belum
baligh tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sebuah aqad, oleh
karenanya dapat dipahami bahwa ketika seorang anak perempuan tersebut
sudah mencapai baligh maka dengan sendirinya hak ijbar yang dimiliki oleh
wali mujbir akan hilang. Sedangkan menurut mazhab Syafi‟i bahwa yang
menjadi obyek wali mujbir adalah anak perempuan yang masih gadis (al-
bikr), oleh karenanya pendapat mazhab Syafi‟i ini memasukan seorang
perempuan yang sudah dewasa tetapi masih berstatus gadis gadis (al-bikr),
jelas bahwa selama seorang perempuan masih berstatus gadis (al-bikr)
menurut madhahb Syafi‟i perwalianya termasuk ke dalam wali mujbir,
argument dari mazhab Syafi‟i bahwa selama anak perempuan tersebut masih
62
Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh Fathul Al-Qadir, Juz III Beirut-
Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1995), 252.
41
berstatus gadis (al-bikr) maka hak seorang wali masih ada, batasan gadis (al-
bikr) menurut mazhab Syafi‟i yaitu selama perempuan tersebut belum pernah
bersetubuh (jima‟), walaupun bersetubuhnya secara zina maka orang tersebut
sudah tidak dihukumi gadis (al-bikr) lagi, pernyataan mazhab Syafi‟i ini
memasukan seorang gadis yang dicerai suaminya tetapi belum pernah
disetubuhi (qobla dukhul), karena secara hakikatnya perempuan tersebut
masih berstatus gadis (al-bikr), walaupun secara pandangan masyarakat
perempuan tersebut sudah janda, tetapi dalam hal menentukan perwalianya
mujbir atau ghoiru mujbir dilihat dari sisi status perempuan tersebut yang
sudah pernah disetubuhi atau belum, dan bukan karena pandangan
Masyarakat umum yang beranggapan bahwa perempuan tersebut telah
berstatus janda.63
2. Tidak semua wali nikah bisa menjadi wali mujbir, menurut mazhab Hanafi
yang berhak menjadi wali mujbir adalah wali nikah dari jalur „asabah,
pengertian ‟asabah yang dimaksud di sini sama pengertianya dengan
„asabah yang berada di dalam konteks waris, yakni tetap menggunakan
adanya mahjub dan mendahulukan jalur „asabah yang lebih dekat,
urutanya adalah sebagai berikut: bapak sampai nasab ke atas, saudara laki-
laki kandung, saudara laki-laki sebapak, anak dari saudara laki-laki, anak
dari saudara laki-laki seayah, paman kandung, paman sebapak, anak dari
paman kandung, anak dari paman sebapak, paman kakek kandung dan
anak-anaknya sampai nasab ke bawah, paman dari kakek sebapak dan
63
Muhammad Shata al-Dimyati, Hashiyah i‟anatu al-Talibin, Juz III, (Beirut-Lebanon:Dar
al-Kutub al-Ilmiah, 2009), 562.
42
anak-anaknya sampai nasab kebawah.64
Sedangkan menurut mazhab
Syafi‟i yang berhak menjadi wali mujbir adalah bapak dan apabila tidak
ada bapak maka kakek,65
jelas dalam hukum yang ditentukan terkait
subyek dari wali mujbir mazhab Hanafi lebih menggunakan qiyas yaitu
menyamakan perwalian dengan pembagian waris yakni mendahulukan
kerabat yang dekat serta kerabat dekat tersebut mampu menghalangi
(mahjub) kerabat yang jauh, sedangkan mazhab Syafi‟i berargumen
dengan teks hadits.
3. Wali mujbir memiliki hak ijbar (memaksa) kepada seseorang yang berada
di dalam perwalianya, tetapi tidak semerta-merta hak ijbar tersebut
langsung bisa digunakan melainkan menurut mazhab Hanafi bahwa hak
ijbar dapat digunakan apabila seorang wali tersebut mampu menghadirkan
calon mempelai putra bagi anak perempuan yang berada di dalam
perwalianya yang sekufu denganya. Dapat di pahami bahwa mazhab
Hanafi mensyaratkan calon suami harus sekufu dengan perempuan
tersebut, hal ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi perempuan bahwa
hak ijbar dari seorang wali mujbir mutlak harus dan wajib nikah dengan
pilihan walinya tetapi mazhab Hanafi mencoba memberikan barometer
bahwa seorang suami yang sekufu dengan perempuan tersebut mampu
mewakili pilihanya, karena jika tidak disyaratkan harus sekufu, maka
dikhawatirkan seorang wali akan memilihkan jodoh sesuai dengan
64 Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh Fathul Al-Qadir, Juz III
Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1995), 245. 65 Al-Imam Al-Nawawi, Majmu‟ Sharh al-Muhadhhab, Jilid XVI,(Kairo:Dar al-Hadith,
2010),409.
43
kemuanya sendiri tanpa memandang laki-laki tersebut cocok atau tidak
engan anak perempuanya, sehingga lebih jelas lagi bahwa sekufu yang
maksudkan mazhab Hanafi mencakup lima hal yaitu: nasab, merdeka,
agama, harta, pekerjaan.66
Begitu juga dengan mazhab Syafi‟i juga
mengatakan bahwa hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir tidak semerta-
merta dapat digunakan melainkan ada sayarat yang harus dipenuhi oleh
wali mujbir, yakni wali mujbir harus mampu menghadirkan calon suami
yang memiliki kriteria sebagai berikut:67
pertama, antara wali dengan
sigadis tidak ada permusuhan secara jelas syarat ini maksudkan agar wali
mujbir tidak memilihkan calon suami sesuka hatinya dan dikhawatirkan
jika ada sebuah permusuhan maka pemilihan suami bukan karena ingin
menjadikan anak tersebut maslahah dalam memilih pasangan tetapi
sebaliknya, karena didasari rasa kebencian. Kedua, antara sigadis dan
calon suami tidak adanya permusuhan, hal ini untuk menghindari adanya
keretakan di dalam rumah tangga nantinya, ketiga calon suami harus
sekufu dengan sigadis hal ini dimaksudkan agar seorang perempuan
tersebut rela dengan pilihan walinya, karena sekufu menurut mazhab
Syafi‟i meliputi selamat dari „aib (cacat) nikah seperti halnya gila,
penyakit baros (penyakit kulit), merdeka, nasab, pekerjaan, tidak fasik.
Keempat mampu membayar mahar, hal ini juga dimaksudkan agar
nantinya di dalam rumah tangga agar suami bertangung jawab untuk
66
Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al-Mukhtar „Ala Al-Dar Al-Mukhtar ,Juz IV
(Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub AL-„Ilmiah,t.t.),170-171. 67
Muhammad Shata al-Dimyati,Hashiyahi‟anatual-Talibin, Juz III, (Beirut-Lebanon:Dar al-
Kutub al-Ilmiah, 2009), 568.
44
menafkahi isterinya, kelima maharnya berupa mahar mithil. Keenam,
maharnya dengan kriteria kebiasaan di daerah tersebut, ketujuh mahar
harus diserahkan secara langsung (hallan), syarat yang kelima, keenam
serta ketujuh ini memliki hubungan yakni dimaksudkan meskipun jenis
perwalianya adalah mujbir tetapi tidak semua hal yang berada di dalam
perkawinan harus sesuai dengan kemauan wali mujbir melainkan mahar
harus mithil, kemudian sesuai dengan adat kebiasaan daerah hal ini untuk
menghilangkan kekhawatiran karena perwalianya mujbir maka maharnya
juga terserah sesuai keinginan wali, dan harus di serahkan secara langsung
karena hal ini agar si gadis merasa dihormati dan memberikan haknya.
Analisis Pemikiran Mazhab Hanafi dan Syafi‟i Tentang Konsep Wali
Mujbir Pada dasarnya adanya wali mujbir di dalam hal perkawinan merupakan
ijtihad ulama‟ yang didasarkan pada beberapa ayat al-qur‟an di antaranya adalah
Surah Al-Baqarah yaitu ayat ke 232:
ث١ ا رشاض إرا اج أص ىذ ٠ أ رعض فال أج فجغ اغبء طمز إرا
ى وب ث عشفره٠عع ثب للا أطش أصوى ا٢خشرى ١ ا ثبهلل ٠ؤ
لرع ز أ ٠ع
Artinya: ‚Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di
45
antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui‛ (QS: 2:232)68
Ayat ini menjelaskan tentang wanita yang diceraikan oleh suaminya dan
kemudian akan kawin lagi, baik kawin dengan mantan suaminya atau dengan laki-
laki lain. Dalam menanggapi ayat ini terdapat perbedaan di antara ulama‟ fiqih,
bahwa larangan dalam ayat tersebut, ditujukan kepada wali hal itu didasarkan
pada hadith Ma‟qil bin Yasir. Bahwa Ma‟qil mempunyai saudara perempuan yang
dinikahi oleh Abi Baddah . kemudian ia dicerai oleh suaminya itu. Namun setelah
terjadi perceraian, Abi Baddah menyesal dan ingin kembali kepada mantan
isterinya tersebut, tetapi ma‟qil sebagai wali dari perempuan itu menolak hingga
peristiwa ini diketahui oleh Rasulullah dan kemudian turunlah ayat ini.
Dan juga hadith nabi saw sebagai berikut:
69
Artinya: Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari
Ahmad bin Husain bin ‟Abbad al-Nasa-i dari Muhammad bin Yazid bin Sinan
dari ayahnya dari Hisyam bin ‟Urwah dari ayahnya dari ‟Aisyah: ‟Aisyah berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda ‚Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang
adil.‛(H.R. Daruquthni dan Ibnu Hibban)
Bentuk nafi pada kata ىبح ل mendapat interpretasi beragam dari para
ulama‟. Ada yang menyebut bahwa nafi tersebut hanya menunjukkan arti
ketidaksempurnaan. Dengan demikian, hadis di atas dapat diartikan ‚Tidak
68
Kementerian Agama RI, Al-Qur‟an:Terjemahan dan Tajwidnya, (Bandung:Sygma
Examedia, 2010), (2:232), 37 69
Ibn „Umar Al-Daruqutni, Sunanu Al-Daru Qut}ni, Juz IV, ( Beirut-Lebanon:Aresalah
Pubisher, 2004), 322-323
46
sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil‛. Dalam konteks hukum,
tidak sempurna berarti wali dan atau saksi bukan merupakan syarat sah, sehingga
pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi masih tetap dihukumi sah.
Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas disunnahkan.70
Keterangan ini
adalah seperti apa yang digunakan oleh mazhab Hanafi. Ada juga ulama‟ yang
menginterpretasikan nafi pada sah dan tidaknya perbuatan. Dengan demikian, ل
berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafi ىبح
diinterpretasikan sebagai hakikat shari‟at, maka pernikahan yang dilaksanakan
tanpa wali dan ataupun saksi maka pernikahan tersebut menjadi tidak sah, dan hal
ini senada dengan argumen dari mazhab Syafi‟i bahwa wali adalah termasuk
rukun dari nikah dan harus ada di dalam sebuah pernikahan tanpanya sebuah
perkawinan tidak sah. Wali mujbir memiliki hak ijbar yakni dapat mengawinkan
anak gadisnya atau seseorang yang berada di dalam perwalianya tanpa harus
menunggu izin darinya,71
mazhab Hanafi maupun Syafi‟i sepakat bahwa
pengertian wali mujbir adalah seperti penulis kutip tersebut, tetapi dari kedua
mazhab tersebut berbeda dalam menentukan obyek, siapa yang menjadi wali
mujbir dan syarat-syarat dari wali mujbir, untuk lebih jelasnya sudah penulis
jelaskan pada bab II dan bab III. Mazhab Hanafi menyatakan bahwa hak ijbar
yang dimiliki oleh orang tua sabatas ketika anak tersebut belum baligh,72
ketika
sudah baligh maka hak ijbar yang dimiliki oleh wali mujbir sudah tidak ada lagi,
70
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr,
1989),83-84 71 Fakhru Al-Din „Usman Bin Ali, Tabyinu al-Haqoiq, Juz II,(Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub
Al-Ilmiah,tt), 493 72
Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami,SharkhFathul Al-Qadir, Juz III
(Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1995), 252
47
mazhab Hanafi dalam menentukan obyek wali mujbir menggunakan dalil analogi
yaitu menurut pandangan mazhab Hanafi bahwa wanita yang sudah baligh
merupakan wanita yang sudah dianggap cakap hukum, sehingga nantinya dalam
hal aqad nikah dan hal yang berhubungan dengan pernikahan si wanita sudah bisa
bertasaruf sendiri tanpa harus adanya perwalian. Selain dari dalil analogi, mazhab
Hanafi juga memaparkan sebuah Hadith yang dijadikan sandaran, yang terkait
terkait obyek wali mujbir yaitu sebagai berikut:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa jariyah, seorang gadis telah menghadap
Rasulullah saw. ia mengatakan bahwa ayahnya telah mengawinkannya, sedang ia
tidak menyukainya. Maka Rasulullah menyuruhnya memilih.” (HR. Ahmad, Abu
Daud, Ibnu Majah).73
Bahwa hadith tersebut merupakan sandaran bagi mazhab Hanafi , karena
menurut mazhab Hanafi dari hadith tersebut dapat dipahami bahwa yang menjadi
obyek wali mujbir adalah al-Soghiroh (anak perempuan kecil), sesuai hadith
tersebut bahwa ketika seorang al-Bikaroh (gadis) yang sudah baligh seperti yang
disebutkan didalam lafadh hadith maka hak ijbar yang dimiliki wali mujbir tidak
berlaku lagi.
Sangatlah wajar bila mazhab Hanafi menggunakan dalil analogi atau at-
Taqdiri karena hal ini merupakan sebuah identitas dari mazhab Hanafi, karena
pada awal pembentukan mazhab ini, memang pencetus mazhab ini banyak
menggunakan analogi sebagai dasar hukum, tetapi bukan hanya analogi saja yang
73
Dawud Sulaiman, Sunanu Abi Dawud, (Riyad}:Dar al-Islam,t.t.), 1377.
48
digunakan dalam beristinbat hukum, melainkan mazhab Hanafi juga
menggunakan dalil hadits nabi yang sejalan dengan analogi tersebut. Sedangkan
mazhab Syafi‟i menyatakan bahwa obyek wali mujbir adalah ketika anak wanita
masih berstatus gadis (al-bikr), selama masih gadis maka hak ijbar yang dimiliki
oleh wali mujbir masih berlaku. Dalil yang digunkan oleh madhab Syafi‟i adalah
sebagai berikut:
Artinya: “Dari Yahya bin Yahya, Abu Muawiyah mengabarkan dari Hisyam dari
ibn „Urwah, Numair mengabarkan „Abdah dari Hisyam dari Bapaknya dari
„Aisyah Berkata ‚saya dikawinkan dengan Rasulullah saw dan umur saya enam
tahun dan Rasululah saw membangun rumah tangga denganku ketika saya umur
sembilan tahun.” (HR. Al- NasaiBukhari dan Muslim).74
Dari hadith di atas dapat dipahami bahwa siti „Aisyah dikawinkan dengan
Rasulullah saw ketika berumur enam tahun, pernikahan tersebut tanpa meminta
izin kepada „Aisyah terlebih dahulu, dalam artian perwalianya pada saat itu adalah
wali mujbir, dan beliau „Aisyah dinikahkan oleh ayahnya. Nampak jelas bahwa
kriteria serta karakteristik oleh kedua mazhab ini memiliki perbedaan dari istinbat
hukum maupun illat (alasan) hukum, bahwa alasan yang dipaparkan oleh mazhab
Hanafi dalam maslaah wali mujbir tersebut lebih bercorak pada at-Taqdiri
(pemikiran) meskipun pada akhirnya analogi tersebut tidak bertentangan dengan
hadits nabi, tetapi madhab Syafi‟i nampak lebih menonjolkan penggunaan hadits
nabi, sebelum akhirnya madhab tersebut juga menggunakan qiyas. Secara tidak
74
Al-Nasai, Sunanu Al-Nasai Al-S}ugro, (Riyad}:Dar al-Islam,t.t.), 2299
49
langsung pendapat mazhab Hanafi dan Syafi‟i tentang konsep wali mujbir
bertolak belakang dengan hadits nabi sebagai berikut :
Artinya : “Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu
'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah
diajak berembuk dengan walinya dan seorang gadis tidak boleh dinikahkan
kecuali setelah diminta izinnya." Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana
izinnya? Beliau bersabda: "Ia diam." (HR.Abu Dawud )
Komentar dari mazhab Hanafi terkait hadith di atas adalah, bahwa kata ini
diperuntukan ketika dia sudah mencapai kriteria baligh, karena secara akal pikiran
bahwa seseorang yang belum pernah menikah tidak mungkin bisa di ajak
bermusyawarah dalam soal perkawinan, oleh karenanya hadith tersebut diarahkan
untuk balighoh al-bikaroh (untuk gadis yang masih perawan).
Hadith di atas dapat dipahami oleh mazhab Syafi‟i bahwa seorang janda
berhak atas dirinya, oleh karenanya pemahaman baliknya (mafhum mukholafah)
ketika seorang perempuan tersebut masih gadis (al-bikr), maka hak perkawinanya
dipegang oleh walinya.
Sedangkan lafadh yang tertera di dalam matan hadith di atas, dimaknai
oleh mazhab Syafi‟i bahwa hal itu menunjukan adanya perintah yang bersifat
sunnah, karena perintah tersebut menggunakan redaksi yang tidak tegas, berbeda
ketika berbicara tentang masalah janda, dalam matan hadith di atas secara jelas
menjelaskan bahwa seorang janda hak perkawinanya dipegang oleh dirinya
50
sendiri. Janda yang dimaksud matan hadith di atas menurut mazhab Syafi‟i adalah
janda yang sudah pernah bersetubuh.75
Masing-masing mazhab mensyaratkan kepada wali mujbir, seperti yang
sudah penulis jelaskan di dalam bab II dan bab III, hal tersebut dapat dipahami
bahwa secara tersirat baik mazhab Hanafi maupun mazhab Syafi‟i
memperhitungkan hak-hak perempuan, karena menurut pendapat dari ulama‟
mazhab tersebut jika persyaratan dari wali mujbir sudah dipenuhi, maka secara
umum hak-hak perempuan yang mencakup seperti halnya berhak memilih
pasangan sendiri, secara tidak langsung hal tersebut sudah terwakili oleh syarat
yang diajukan oleh masing-maisng mazhab tersebut. Kemudian jika konsep wali
mujbir dari kedua mazhab tersebut ditarik dalam konteks Indonesia, maka
menurut penulis sependapat dengan pemikiran dari mazhab Hanafi, hal ini
dikarenakan unsur maslahah (kebaikan umum) lebih besar, seperti halnya
pendapat Mazhab Hanafi yang digunakan sandaran hukum oleh KH. MA.Sahal
Mahfudh dalam menyikapi konsep wali mujbir ke-Indonesiaan, beliau
berpendapat bahwa wali mujbir dalam konteks Indonesia, bahwa beliau lebih
setuju dengan pendapat mazhab Hanafi, karena dinilai unsur maslahah (kebaikan
umum) lebih banyak, hal ini dikarenakan pendapat mazhab Hanafi ketika
diparaktikan di dalam hukum Indonesia akan cocok dengan perundang-undangan
yang ada, seperti halnya bahwa usia laki-laki untuk menikah dalam hukum
Indonesia adalah berumur 19 tahun sedangkan usia perkawinan untuk perempuan
75
Muhammad Shata al-Dimyati,Hashiyahi‟anatual-Talibin, Juz III, (Beirut-Lebanon:Dar al-
Kutub al-Ilmiah,2009), 563
51
adalah 16 tahun,76
sedangkan seorang perempuan yang berusia 16 tahun, menurut
konsep fiqh wanita tersebut sudah baligh, tentunya menurut mazhab Hanafi hak
ijbar bagi wanita yang berusia 16 sudah hilang, sehingga dalam konteks hukum di
indonesia wali mujbir sudah tidak ada lagi. Jika perkawinan mengacu Undang-
Undang No 1 tahun 1974 pasal 7 (1) ‚perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 (enam belas) tahun, serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 (1) ‚
untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal
7 Undang-Undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangya
berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun‛ hal
tersebut dinilai lebih maslahah, karena perempuan bebas memilih pasangan,
karena pada akhirnya hal tersebutlah yang akan menentukan keberlangsungan
serta kelanggengan dalam berumah tangga, maka konsep mazhab Hanafi lebih
cocok, karena apabila pendapat mazhab Syafi‟i dipraktekkan dalam hukum
Indonesia, maka maslahah akan sedikit, hal ini dikarenakan karena apabila wanita
yang sudah dewasa tetapi berstatus masih gadis, maka wali mujbir masih berhak
untuk menikahkan si gadis tersebut walaupun tanpa seizin darinya, tentunya hal
ini dalam perjalanan berumah tangga akan menjadi salah satu penyebab terjadi
banyak perceraian, karena kurang adanya proses mengenal, serta beban dalam
berumah tangga akan besar dikarenakan si gadis berdampimgan dengan suami
yang tidak merupakan pilihanya .
76
Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 7 (1). Kompilasi Hukum Islam Pasal
15 (1)
52
C. Penerapan Konsep Wali Mujbir dalam Perkawinan di Indonesia
Mazhab-mazhab fiqh yang sedang berkembang, mengalami proses yang
tidak lagi mempersoalkan daerah, kota, atau tempat tinggal, tetapi lebih
menekankan pada aspek personal (nama seseorang), mazhab Hanafi contohnya
yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, yang dikenal sebagai imam
Ahlurra‟yi serta faqih dari Irak yang banyak dikunjungi oleh berbagai ulama pada
zamannya, mazhab ini dikenal banyak menggunakan ra‟yu, qiyas dan istiḥsân,
untuk penyebarannya mazhab Hanafi tersebar di bagian Asia Selatan seperti
Bangladesh dan Pakistan. Demikian juga dengan mazhab Syafi‟i yang dinisbatkan
kepada imam Syafi‟i, yang ahli sebagai ulama fiqh, ushul fiqh dan hadits.
Penyebarluasan pemikiran mazhab Syafi‟I berbeda dengan mazhab Hanafi,
diawali dengan kitab ushul fiqhnya Ar- Risalah, dan kitab fiqhnya al-Umm.
Adapun untuk penyebarannya mazhab Syafi‟i lebih dominan di Negara Asia
Tenggara seperti Brunei, Indonesia, dan Malaysia.77
Seperti yang telah dijelaskan, Indonesia merupakan Negara yang banyak
mengambil rujukan dari mazhab Syafi‟i dalam masalah fiqih. Fiqih Islam
membahas tentang masalah-masalah agama dan amalan-amalan ibadah serta
muamalat dengan segala macam jenis, aturan dan perincianya yang bersumber
pada kaidah-kaidah fiqih, dari penuturan di atas penting untuk dibahas bab
mengenai relevansi pendapat mazhab Syafi‟i dan Hanafi berkaitan dengan wali
mujbir dalam perkawinan di Indonesia.
77
Dedi Supriadi, Perbandingan Madzhab Dengan Pendekatan Baru, Bandung: Pustaka Setia,
2008.
53
Sebagaimana yang telah tercantum dalam pasal 1 UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974, “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maka disini dapat dikatakan bahwa
perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan wanita.
Perkawinan bukan hanya mempersatukan dua pasangan manusia, yakni laki-laki
dan perempuan, melainkan mengikatkan tali perjanjian yang suci atas nama Allah
bahwa kedua mempelai berniat membangun rumah tangga yang sakinah, tentram
dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang, untuk menegakan cita-cita
kehidupan keluarga tersebut, perkawinan tidak cukup hanya bersandar pada
ajaran-ajaran Allah dalam al-Qur`an dan Sunnah yang sifatnya global, akan tetapi
perkawinan berkaitan pula dengan hukum Negara, perkawinan baru dinyatakan
sah apabila menurut hokum Allah dan hukum Negara telah memenuhi rukun dan
syarat-syaratnya. Seperti disebutkan dalam pasal 2 ayat 1, UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974, yakni; “Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu” Menurut Kompilasi Hukum Islam
(KHI) Bab IV tentang Rukun dan Syarat Perkawinan, Bagian kesatu tentang
Rukun Perkawinan meliputi hal- hal78
:
a. Calon suami;
b. Calon istri;
c. Wali nikah;
d. Ijab dan kabul.
78
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2012), h., 10.
54
Lima perkara yang ditetapkan oleh KHI tersebut adalah sesuai dengan
syariat Islam, dikarenakan lima perkara tersebut adalah bagian dari rukun nikah
didalam mazhab Syafi‟i.
Ada perbedaan antara yang tercantum dalam KHI dengan mazhab Hanafi,
sebagaimana diketahui bahwa mazhab Hanafi menyandarkan pada rasionalitas
dalam membuat keputusan hukumnya, hal ini terlihat ketika mereka berpandangan
bahwa status wali hanyalah syarat perkawinan bukan rukun perkawinan.
Ulama Hanafiyah meringkas rukun nikah terdiri atas ijâb dan qabũl.
Rasionalitas tetang wali dalam pandangan mazhab Hanafiyah didasarkan bahwa
akad nikah sama dengan akad jual beli. Oleh karena itu syaratnya cukup dengan
ijâb dan qabũl. Posisi wali hanya diperuntukan bagi pasangan suami istri yang
masih kecil, selain itu, secara istidhal, Hanafiyah berpandangan bahwa, al-Qur`an
atau Hadits yang dijadikan hujjah terhadap status wali sebagai rukun nikah,
tidaklah memberikan syarat bahwa wali termasuk rukun nikah.79
Perbedaan
tersebut menunjukan bahwa KHI lebih lengkap dan menyempurnakan makna
perkawinan, sehingga wali nikah menjadi sangat penting bagi sahnya sebuah
perkawinan, terutama bagi calon mempelai perempuan, sehingga jika tidak ada
wali dalam perspektif KHI, perkawinan tidak sah.80
Dalam pasal 19 KHI tentang wali nikah, KHI menegaskan sebagai berikut
; “ wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya” Pasal tersebut
79
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV Pustaka setia, Jakarta,. 2011. h., 33 80
Ahmad Saebani, Beni, 2008, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan Undang- undang
(Perspektif Fiqh Munakahat dan UU Nomor 1 1974) h., 16.
55
merupakan sebuah rukun/syarat menurut mayoritas ulama kecuali mazhab Hanafi.
Menurut mazhab Hanafi, surat al-Baqarah ayat 232 :
ث١ ا رشاض إرا اج أص ىذ ٠ أ رعض فال أج فجغ اغبء طمز إرا
ا٢خشرى ١ ا ثبهلل ٠ؤ ى وب ث عشفره٠عع ثب للا أطش أصوى
لرع ز أ ٠ع
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa
iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman
diantara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih
suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 232)
Ayat tersebut menurut Imam Abu Hanifah ditujukan kepada para wali,
bisa jadi ditujukan pula kepada suami yang mentalak isteri-isterinya atau
kemungkinan lain ditujukan kepada mukmin secara umum, kedua makna ayat ini
ditujukan kepada orang berakal atau lainnya dari kerabat dekat wanita (yang
ditalak) tetapi ayat ini tidak menunjukan hak wali terhadap wanita yang ditalak
tersebut secara mutlak.81
Dan juga dalam Hadits berikut :
ىذذثغ١شأحشا٠با اظذافبطفىبدبثبطفىبدبثبط١بفىبدبثبار
عزذفشجباثبق
Artinya: “Siapa saja diantara wanita yang nikah tanpa izin walinya, maka
nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Wanita itu berhak mendapatkan
mahar sebagai imbalan atas apa yang telah dihalalkan daripada kemaluannya”.
(Riwayat empat ahli hadits kecuali Nasa‟i).
81
Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh `Ala Al-Mâdzâhib Al-Arba‟ah,(Beirut : Dar Al-Fiqr,
1990), jilid 4, h., 48-49. Selanjutnya ditulis Al-Jaziri, Al-Fiqh.,
56
Menurut pandangan mazhab Hanafiyah, hadits tersebut diatas adalah
dhoif, karena status perawi adalah Aj-Juhri ketika ditanya masalah itu, dia
menjawab tidak tau. Selain itu, menurut mazhab Hanafiyah, wali dalam hadits
tersebut dikhususkan kepada anak kecil yang belum memahami muamalah.
Karena akad nikah disamakan dengan akad jual beli maka seorang wanita yang
merdeka memiliki kebebasan berkehendak, baik dalam membeli maupun menjual.
Bagaimana seorang perempuan ditahan dalam melaksanakan akad pernikahan
(hanya karena harus adanya wali), sedangkan akad nikah adalah akad yang sudah
umum, yang menghendaki kebebasan. Oleh karena itu, akad nikah diqiyaskan
dengan akad jual beli.82
Sedangkan menurut imam Syafi‟i, ayat dan hadits tersebut diatas adalah
yang paling jelas dalam perlunya wali, sekiranya wali tidak diperlukan, maka
larangan atas wali yang menghalangi pernikahan seperti ayat diatas tidak akan
menimbulkan sembarang makna. Oleh karena itu, KHI tetap menegaskan bahwa
wali adalah termasuk rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan.
Dalam pasal 16 KHI, dinyatakan bahwa;
Pasal 16:
1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai
2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan
nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti
selama tidak ada penolakan yang tegas.
82
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV Pustaka setia, Jakarta,. 2011. h., 35
57
Secara fiqh, Pasal 16 tersebut berbeda dengan pendapat imam Syafi‟î di
dalam kitab al-`Umm. Menurut imam Syafi‟i; setiap perempuan yang akan
dinikahi dengan pria lain, haruslah dimintai izin, kecuali apabila yang
menikahkannya adalah ayahnya sendiri, apabila seorang ayah dikatakan sebagai
wali mujbir, maka dia adalah orang yang mempunyai kekuasaan untuk
mengawinkan anak perempuannya meskipun tanpa persetujuan dari pihak yang
bersangkutan. Menurut imam Syafi‟i, ayah berhak memilihkan calon pasangan
untuk anak perempuannya, karena jika anak perempuan memilih jodohnya sendiri
dihawatirkan dia memilih pasangan hidup yang salah karena seorang perempuan
menurut mazhab Syafi‟i kurang memiliki kecerdasan dalam hal memilih calon
pasangan hidupnya. Sifat emosionalnya lebih menonjol dibanding kecerdasan
akalnya. Untuk mengatasi hal tersebut maka unsur kerelaan perempuan atas calon
suaminya sudah dianggap cukup sebagai bahan pertimbangan bagi kepentingan
perkawinannya.83
Akan tetapi, KHI ternyata menganut pendapat dari kalangan
mazhab Hanafi yang mengatakan bahwa perempuan yang baligh dan merdeka
tidak boleh dipaksa untuk menikah walaupun ia masih perawan atau pun sudah
janda, malah wajib meminta izin dan berdiskusi dengannya. Menurut mazhab
Hanafi persetujuan seorang gadis atau janda harus ada dalam perkawinan, apabila
mereka menolak maka akad nikah tidak boleh dilakukan meskipun oleh ayah
sendiri,84
Dalam hal penentuan usia dewasa, khususnya untuk perkawinan ulam
Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi‟i mempunyai pandangan sendiri.
83
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, (Yogyakarta: LKiS,2011), h., 88- 89 84 Robbi Arini, Kuasa Hak Ijbar terhadap anak dan Perempuan, (Yogyakarta: LKiS,2011), h.,
244
58
Sejalan dengan UU Perkawinan, KHI menyatakan, lelaki yang ingin
menikah sekurang-kurangnya harus berusia 19 tahun sedangkan perempuan 16
tahun. Tentu saja, aturan itu bisa dinego dengan cara meminta dispensasi kepada
pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
wanita. Akan tetapi harus dipahami batas usia dewasa ternyata buka 19 tahun atau
16 tahun. Pasal 98 KHI menyatakan , batas usia anak yang mampu berdiri sendiri
atau dewasa adalah 21 tahun. Karena itu usia 21 tahun menjadi pertimbangan
penting bagi orang yang hendak melangsungkan perkawinan. Dalam Pasal 15 ayat
(2) KHI mengharuskan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun untuk
medapat izin dari kedua orang tua atau walinya jika hendak menikah, hal tersebut
selaras dengan Pasal 6 UU Perkawinan,85
yakni :
Pasal 6 ayat 2
Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
Pasal 20
1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi
syarat hukum islam yakni muslim, aqil dan baligh.
2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.
Pasal 20 angka (1) ini telah ditetapkan di dalam fiqh, lebih-lebih lagi didalam
mazhab Syafi‟i. Menurut Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i syarat
85
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV Pustaka setia, Jakarta,. 2011 h., 67
59
yang harus dipenuhi bagi seorang wali adalah 1. Islam, 2. Baligh, 3. Berakal, 4.
Merdeka, 5. Lelaki, 6. Adil (tidak fasik).86
Dari uraian tersebut ada dua yang tidak dicantumkan KHI; yaitu merdeka
dan adil. Merdeka tidak dicantumkan karena memandang status merdeka sudah
pasti wujud dan tidak perlu diqayyidkan karena memandang sekarang sudah tidak
ada perhambaan. Sedangkan status adil tidak dicantumkan karena berpegangan
pada pendapat kedua didalam mazhab Syafi‟i, bahwa wali fasik tetap dapat
menjadi wali nikah.
Bagi Pasal 20 angka (2) pula ditetapkan pembagian wali menjadi dua, yaitu wali
nasab dan wali hakim. Wali nasab terbagi menjadi dua yakni wali aqrab dan wali
ab‟ad, yang termasuk wali aqrab adalah wali ayah atau orang tua dari anak
perempuan, sedangkan wali jauh adalah kakak atau adik ayah.87
Menurut Imam
Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i urutan perwalian dalam pernikahan berada
pada ayah, dan kalau tidak ada ayah maka diganti oleh kakek, apabila tidak ada
kakek maka diganti dengan buyut, menurut Imam Abu Abdullah Muhammad asy-
Syafi‟i yang paling berhak menikahkan adalah dari jalur bapak, bukan dari jalur
persaudaraan, apabila dari pihak bapak tidak ada maka saudaranya yang berhak
menjadi wali dan saudara kandung lebih didahulukan daripada saudara sebapak,
apabila tidak ada saudara kandung maka saudara sebapaklah yang lebih
didahulukan daripada yang lainnya.
Adapun Imam Abu Hanifah berbeda pendapat mengenai wali nasab,
menurutnya urutan wali nasab dalam perwalian pernikahan berada pada anak laki-
86
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, (Jakarta:Siraja,. 2003) h., 82 87
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, (Bandung : Pustaka Setia, 2001), cet 1, h., 248.
60
laki dari wanita yang akan menikah, jika wanita tersebut telah mempunyai anak,
kemudian urutan berikutnya adalah, cucu laki-laki (dari pihak anak laki- laki),
ayah, kakek dari pihak ayah, saudara kandung, saudara laki-laki seayah, anak
saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah),
anak paman dan seterusnya.88
Terdapat perbedaan pendapat dari pendapat kedua
mazhab diatas, yakni Imam Abu Hanifah menempatkan mendahulukan perwalian
anak laki-laki bagi ibunya dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah
mendahulukan ayah dari si wanita yang akan menikah, karena menurut Imam Abu
Hanifah, anak laki-laki lebih dahulu mendapatkan sisa harta warisan (ashabah)
dibanding yang lainnya. Ibnu Utsaimin menjawab pendapat dari Imam Abu
Hanifah yakni pertama bahwa seorang ayah lebih paham tentang maslahat
puterinya dibanding anak wanita tersebut, dan yang kedua bahwa perwalian ayah
telah ditetapkan dalam syariat ketika wanita belum memiliki anak, maka
dibutuhkan dalil untuk mengubah urutan perwalian tersebut.
Mengenai urutan wali nasab tersebut, KHI menganut pendapat dari
golongan Imam Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi‟i dengan mengatakan
bahwa;
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, elompok
yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon mempelai wanita.
88
Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mażhab (Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I, Hanbali, alih
bahasa Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Cet. Ke 11, (Jakarta, Lentera: 2004). h.,
347
61
Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas, yakni ayah, kakek dari
pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat pama, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
kakek dan keturunan laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-
sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang
lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3) Apabila dalam satu kelompok sama sama derajat kekerabatannya maka yang
berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.
(4) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama
derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-sama
berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi
syarat-syarat wali.
Adapun mengenai wali hakim, KHI juga mencantumkan dalam pasal 23 KHI,
yakni;
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak
ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya
atau gaib atau adlal atau enggan.
62
(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.
Bagi Pasal 23 angka (1), bermaksud bahwa wali hakim hanya dapat
bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada, tidak mungkin
menghadirkannya, tidak diketahui tempat tinggalnya, gaib, atau adlal
(enggan/tidak mau menikahkan). Ketentuan di dalam pasal ini adalah berdasarkan
fiqh mazhab Syafi‟i yang mengatakan bahwa wali yang berada di tempat hadir
kemudian tidak mau menikahkan maka posisinya tidak boleh digantikan oleh wali
berikutnya dalam hubungan kerabat, dan tidak ada yang boleh menikahkan
wanita tersebut kecuali hakim yang sah.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsep dari Mazhab Syafi‟i dan Mazhab Hanafi terkait konsep wali
mujbir dalam perkawinan sangat berbeda satu sama lain. Syafi‟i
berpendapat bahwasanya otoritas wali mujbir dalam perkawinan sangat
menentukan, karena berdasarkan metode tasfir logika terbaliknya
(Mafhūm Mukhȏlafah) terhadap Ayat Al-qur'an dan Hadis nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhori dalam kitabnya Soẖīẖ Bukhȏri Hadis yang
melahirkan perbedaan persetujuan gadis dan janda. Dan cara menjaga anak
gadisnya yang dianggap belum mengerti sama sekali tentang perkawinan
dari kesalahan dalam memilih pasangan (Dar‟u al-Mafāsid).
Sangat berbeda dengan Hanafi yang tidak membeda-bedakan status
gadis dan janda, Hanafi berpendapat bahwa kosep wali mujbir tidak
berlaku kecuali hanya pada anak gadis yang belum baligh dan pada gadis
dewasa yang tidak waras atau gila. Karena menurut Hanafi gadis dewasa
dan janda adalah sama, yakni sama-sama cukup mampu berpikir dan
memilih jalan hidup yang akan dipilih (al-bāligah al-„āqilah). Malah
dikuatirkan kalau adanya paksaaan dari wali mujbir akan terjadi kerusakan
pada perkawinannya kelak. Karena tujuan nikah dianggap sangat
menentukan, maka hendaklah pernikahan tidak didasarkan pada paksaan
demi menjaga keutuhan perkawinan kedua mempelai kelak. Pendapat
Hanafi tersebut perkuat oleh Hadis yang diriwayatkan Ibnu Majjah dalam
64
kitabnya Sunan Ibnu Majjah bahwasanya persetujuan gadis dan janda
masih dibutuhkan dalam perkawinan.
2. Relevansi konsep wali mujbir dengan konteks pernikahan di Indonesia
sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi kaum perempuan, karena dalam
perdebatannya, Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i mefokuskan
pembahasan mereka pada paksaan perkawinan terhadap calon mempelai
perempuan. Sedangkan dalam pasal 6 ayat (1) bab II Undang-Undang
nomor 1 Tahun 1974 mengenai syarat-syarat perkawinan bahwa
perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai,
mengindikasikan bahwa kedua calon mempelai harus diposisikan sebagai
subyek perkawinan. Hal ini sangat cocok dengan pendapat Hanafi yang
membebaskan perempuan dalam memilih pasangannya. Karena
perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan dengan demikian, pendapat Hanafi
sesuai pula dengan hak asasi manusia yang berlaku. Namun tidak
demikian dengan pendapat Syafi‟i yang menjadikan perempuan sebagai
obyek perkawinan dalam konsep wali mujbirnya. Dan demi menjaga Hak
Asasi kaum Perempuan, konsep ini kurang patut digunakan. Meski pada
kenyataannya masih banyak praktik konsep wali mujbir di Indonesia
mengingat madzab Syafi‟i adalah madzab yang paling diikuti di Indonesia.
Tetapi tetap saja hal ini bertolak belakang dengan Undang-undang nomor
1 Tahun 1974 yang tercantum dalam pasal 6 ayat (1) bab II.
65
B. Saran
1. Pemerintah
Agar dapat memberikan sosialisasi undang-undang pernikahan no.1 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) kepada masyarakat untuk memberikan
pemahaman yang mendalam terkait perwalian, sehingga dapat lebih dimengerti
dalam prakteknya dimasyarakat.
2. Lembaga KUA
Agar mensosialisasikan kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
berlangsungnya pernikahan baik wali, calon mempelai suami dan calon mempelai
wanita untuk lebih memahami bagaimana sistem atau proses pernikahan yang
sesuai undang-undang pernikahan yang berlaku, terutama terkait posisi seorang
wali dalam hal ini wali mujbir.
3. Masyarakat
Agar dapat lebih memahami konsep wali mujbir dalam kehidupan
bermasyarakat sesuai dengan tuntunan agama dan peraturan undang-undang yang
berlaku. Untuk seorang ayah dapat menempatkan posisinya kapan seharusnya
mengambil hak posisinya sebagai wali mujbir, dan wanita anak dari ayah tersebut
mampu memposisikan dirinya kapan dan dalam kondisi seperti apa dapat
menangguhkan pernikahan kepada wali mujbir (ayah atau kakek) serta kondisi
seperti bagaiamana ia dapat menikahkan dirinya sendiri, sehingga tidak
memberikan kesan pernikahan yang dipaksakan, karena pada dasarnya pernikahan
bertujuan membina keluarga yang sakinah mawaddah wa rohmah.
66
DAFTAR PUSTAKA
Alqur‟an dan Terjemahannya, Kementrian Agama RI, Bandung: Jabal
Raudlatul Jannah, 2010
Abî Muhammad Mahmȗd bin Muhammad al-ʻAini, Al-Binậyaṫ fi Syarh
al-Hidậyaṫ, Beirut: Dậr al-Fikr. 1990, cet. Ke-2, Juz IV
Syamsuddin al-Syarkhasi, Al-Mabsȗth, Beirut: Dậr al-Maʻrifah. t.t, Juz V
Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan I: Dilengkapi Perbandingan
UU Negara Muslim Yogyakarta : Academia + Tazzafa, 2004
Husein Muhammad, Fiqih Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana
Agama dan Gender Yogyakarta : LKiS, 2001
Sahal Mahfudh,Dialog Problematika Umat, Surabaya: Khalista,2010
Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, Beirut:Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1995
M. Nasir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985
Instruksi Presiden RI, Nomor 1 tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta : Departemen Agama RI, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 2000
Mahmud Abdurrahman Abdul Mun‟im, Mu‟jam al-Mushthalahat wa al-
Alfadz al- Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Fadhilah, 1401 H/ 1981 M
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr,
1409 H/ 1989 M, j. 6
Departemen Agama STAIN Tulungagung, Pedoman Penyusunan Skripsi,
Tulungagung: Depag, 2009
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000)
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Prenada
Media, 2005
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik,
Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik
67
Muchlis M Hanafi dkk., Biografi Lima Imam Madzhab-Imam Abu
Hanifah, Jakarta: Lentera Hati, Jil.1, 2013
Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. 5,
Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Hadi Hussain M. Imam Abu Hanifah Life and Work, Institute of Islamic
Culture, Pakistan: Lahore, 1972. Hlm. 10 dikutip dari A. Djazuli, Ilmu Fiqh
“Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Prenadamedia
Group, cet. 9, 2013
A. Djazuli. Ilmu Fiqh, Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan
Hukum Islam. Edisi Revisi, Cetakan ke-VI. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Abi Bakr bin Mas‟ud al-Kasani, Badai‟Shanai‟, Beirut: Dar al-Kutb al-
Ilmiyah, Juz III, 1997
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid (Terjemah), Semarang : CV. Asy-
Syifa‟, 1990, Cet. Ke-1
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hallaj, terj.
Suharlan dan Darwis, Syarah Shahih Muslim, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013
Dikutip dari An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih, terjemahan. Suharlan
dan Darwis, Syarah Shahih Muslim
Kamaluddin Muhammad As-Sakandari, Syarah Fathul Qadir, Beirut:Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1995
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala Madzahib al-„arba‟ah
Fakhru Al- Din „Usman Bin Ali, Tabyinu al-Haqoiq, Juz II, Beirut –
Lebanon : Dar Al- Kutub Al- Ilmiah
Wahbah Zuhaili, Fiqih al-Islam wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie al-
Kattani, dkk, Fiqih Islam, Jakarta: Gema Insani, 2011
Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al-Mukhtar „Ala Al-Dar Al-
Mukhtar, Juz IV Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Madzhab, cet. 5,
Jakarta: Bulan Bintang, 1986
Abd. Wahhab Khallaf, Ilm al-Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam 1987
68
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih terjemahan Suharlan dan Darwis,
Syarah Shahih Muslim
As-Syafi‟i, Al-Umm, terj. Rosadi Imron, dkk. Jakarta: Pustaka Azam,
2009
Al-Imam Al- Nawawi, Majmu‟ Sharh al –Muhadhhab, Jilid XVI, Kairo:
Dar al-Hadith, 2010
Maman Abd.Djaliel. Fiqh Madzhab Syafi‟i Edisi Lengkap Buku 2:
Muamalat, Munakahat, Jinayat, Bandung : CV Pustaka Setia, 2007
Sulaiman Bin Muhammad Ibn ‟Umar, Hashiyah Bujairomi, Jilid III ... Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi Studi Historis Kafaah Syarifah,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000
Al-Nasa‟i, Sunanu Al-Nasa‟i Al-Sughro, Riyad: Dar al-Islam, t.t
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Terjemah, Semarang : CV. Asy- Syifa‟,
1990, Cet. Ke-1
Kamal Al-Din Muhammad Bin Abdurrahman Ibn Himami, Sharkh
Fathul Al-Qadir, Juz III Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 1995
Muhammad Shata al-Dimyati, Hashiyah i‟anatu al-Talibin, Juz III,
Beirut-Lebanon:Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2009
Al-Imam Al-Nawawi, Majmu‟ Sharh al-Muhadhhab, Jilid XVI,
Kairo:Dar al-Hadith, 2010
Muhammad Amin Ibn „Abidin, Raddul Al-Mukhtar „Ala Al-Dar Al-
Mukhtar ,Juz IV Beirut-Lebanon:Dar Al-Kutub AL-„Ilmiah,t.t.
Ibn „Umar Al-Daruqutni, Sunanu Al-Daru Qut}ni, Juz IV, Beirut-
Lebanon: Aresalah Pubisher, 2004
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz VII, Beirut: Dar
al-Fikr, 1989
Fakhru Al-Din „Usman Bin Ali, Tabyinu al-Haqoiq, Juz II, Beirut-
Lebanon:Dar Al-Kutub Al-Ilmiah
Dawud Sulaiman, Sunanu Abi Dawud, Riyad: Dar al-Islam,t.t.
Al-Nasai, Sunanu Al-Nasai Al-Sugro, Riyad: Dar al-Islam,t.t.
69
Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 Pasal 7 (1). Kompilasi
Hukum Islam Pasal 15 (1)
Dedi Supriadi, Perbandingan Madzhab Dengan Pendekatan Baru,
Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Kompilasi Hukum Islam, Bandung : Fokus Media, 2012
Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandingan, CV Pustaka setia, Jakarta,.
2011.
Ahmad Saebani, Beni, 2008, Perkawinan Dalam Hukum Islam dan
Undang- undang Perspektif Fiqh Munakahat dan UU Nomor 1 1974
Abdur Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh `Ala Al-Mâdzâhib Al-Arba‟ah, Beirut
: Dar Al-Fiqr, 1990, jilid 4, h. 48-49. Selanjutnya ditulis Al-Jaziri, Al-Fiqh.
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan, Yogyakarta: LKiS, 2011
Robbi Arini, Kuasa Hak Ijbar terhadap anak dan Perempuan,
Yogyakarta: LKiS, 2011
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta:
Siraja, 2003 Beni Ahmad Saebani, Fiqh Munakahat 1, Bandung: Pustaka Setia, 2001,
cet 1 Muhammad Jawad, Fiqh Lima Mażhab Ja‟fari, Hanafi, Maliki, Syafi‟I,
Hanbali, alih bahasa Masykur A.B, Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, Cet. Ke 11,
Jakarta, Lentera: 2004.
An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Ibn Al-Hallaj, terj.
Suharlan dan Darwis, Syarah Shahih Muslim, Jakarta: Darus Sunnah Press, 2013