kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba...

75
Herlinda et al. Kelimpahan dan Keanekaragaman Spesies Laba-laba 1 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 14, No. 1: 1 – 7, Maret 2014 KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA PREDATOR HAMA PADI RATUN DI SAWAH PASANG SURUT Siti Herlinda 1,3 , Hendri Candro Nauli Manalu 2 , Rinda Fajrin Aldina 2 , Suwandi 1,3 , Andi Wijaya 3 , Khodijah 4 , & Dewi Meidalima 5 1 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya 2 Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya 3 Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO), Universitas Sriwijaya, Palembang 4 Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Palembang, Palembang 5 Program Studi Agroteknologi, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sriwigama, Palembang E-mail: [email protected], [email protected] ABSTRACT Abundance and Species Diversity of Predatory Spiders for Insect Pests Inhabiting Ratoon Paddy in Tidal Lowland. Ratoon paddy productivity is lower than the main crop. Increasing productivity of the ratoon paddy is to protect the paddy from pests and diseases. This study aimed to analyze the abundance and species diversity of predatory spiders of rice pests on ratoon paddy in tidal lowland. Ratoon paddy field observed was from the main crop that has been harvested and cut 20 cm height. Paddy area observed was 2 ha field planted using Ciherang and Inpara varieties. Spiders inhabiting canopy were sampled using insect nets but soil dwelling spiders were trapped using pitfall traps. The result showed that spider species inhabiting canopy of ratoon paddy were Pardosa pseudoannulata, Lycosa chaperi, Araneus inustus, Cylosa insulana, Atypena adelinae, Erigone bifurca, Erigonidium graminicola, Oxyopes javanus, Argyrodes miniaceus, and Marpisa magister. Spider species found soil dwelling were 11 species, namely Pardosa pseudoannulata, Pardosa sumatrana, Pardosa mackenziei, Pardosa oakleyi, Hogna rizali , Araneus inustus, Cylosa insulana, T. vermiformis, Runcinia albostriata, Coleosoma octomaculatum, and Marpisa magister. Abundance, species number, species diversity for soil dwelling spiders were higher than those for canopy inhabiting spiders. However, the abundance, species number, species diversity for the soil dwelling spiders tended to be higher on the ratoon paddy 3, 4, and 5 week old than those on 1, 2, and 6 week old. From the result, we concluded that abundance, species number, species diversity of spiders found in the ratoon paddy were higher or tended similar to those on the main crop. Key words: abundance, biodiversity, ratoon, spiders ABSTRAK Kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba predator hama padi ratun di sawah pasang surut. Padi ratun produktivitasnya lebih rendah daripada padi utama, untuk itu upaya peningkatan produktivitas terus dilakukan, antara lain adalah melindungi padi ratun dari serangan hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba predator hama padi ratun di sawah pasang surut. Lahan yang diamati, yaitu lahan padi yang sudah panen atau dipotong singgang dengan ketinggian kurang lebih 20 cm. Luas sawah yang diamati, yaitu 2 ha yang memiliki varietas yang berbeda yaitu varietas Ciherang dan Inpara. Laba-laba penghuni tajuk diamati menggunakan jaring serangga, sedangkan penghuni permukaan tanah menggunakan perangkap lubang. Dari hasil penelitian ini ditemukan 10 spesies laba-laba yang menghuni tajuk padi singgang, yaitu Pardosa pseudoannulata, Lycosa chaperi, Araneus inustus, Cylosa insulana, Atypena adelinae, Erigone bifurca, Erigonidium graminicola, Oxyopes javanus, Argyrodes miniaceus, dan Marpisa magister. Spesies laba-laba predator yang ditemukan di permukaan tanah ada 11 spesies, yaitu Pardosa pseudoannulata, Pardosa sumatrana, Pardosa mackenziei, Pardosa oakleyi, Hogna rizali, Araneus inustus, Cylosa insulana, T. vermiformis, Runcinia albostriata, Coleosoma octomaculatum, dan Marpisa magister. Kelimpahan, jumlah spesies, maupun keanekaragaman spesies laba-laba di permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan laba-laba penghuni tajuk. Akan tetapi kelimpahan, jumlah spesies, dan keanekaragaman spesies laba-laba penghuni permukaan tanah dan tajuk memiliki kecenderungan yang sama, yaitu lebih tinggi pada saat umur singgang 3, 4, dan 5 minggu dibanding umur singgang 1, 2, dan 6 minggu. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba predator hama padi ratun tinggi dan beranekaragam. Kata kunci: keanekaragaman, kelimpahan, padi singgang, spesies laba-laba

Upload: lamhanh

Post on 19-May-2019

255 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Herlinda et al. Kelimpahan dan Keanekaragaman Spesies Laba-laba 1 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 1 – 7, Maret 2014

KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABAPREDATOR HAMA PADI RATUN DI SAWAH PASANG SURUT

Siti Herlinda1,3, Hendri Candro Nauli Manalu2, Rinda Fajrin Aldina2, Suwandi1,3,Andi Wijaya3, Khodijah4, & Dewi Meidalima5

1Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya2Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, Indralaya

3Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO), Universitas Sriwijaya, Palembang4Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Palembang, Palembang

5Program Studi Agroteknologi, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Sriwigama, PalembangE-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRACT

Abundance and Species Diversity of Predatory Spiders for Insect Pests Inhabiting Ratoon Paddy in Tidal Lowland.Ratoon paddy productivity is lower than the main crop. Increasing productivity of the ratoon paddy is to protect the paddyfrom pests and diseases. This study aimed to analyze the abundance and species diversity of predatory spiders of rice pestson ratoon paddy in tidal lowland. Ratoon paddy field observed was from the main crop that has been harvested and cut 20 cmheight. Paddy area observed was 2 ha field planted using Ciherang and Inpara varieties. Spiders inhabiting canopy weresampled using insect nets but soil dwelling spiders were trapped using pitfall traps. The result showed that spider speciesinhabiting canopy of ratoon paddy were Pardosa pseudoannulata, Lycosa chaperi, Araneus inustus, Cylosa insulana,Atypena adelinae, Erigone bifurca, Erigonidium graminicola, Oxyopes javanus, Argyrodes miniaceus, and Marpisa magister.Spider species found soil dwelling were 11 species, namely Pardosa pseudoannulata, Pardosa sumatrana, Pardosa mackenziei,Pardosa oakleyi, Hogna rizali, Araneus inustus, Cylosa insulana, T. vermiformis, Runcinia albostriata, Coleosomaoctomaculatum, and Marpisa magister. Abundance, species number, species diversity for soil dwelling spiders were higherthan those for canopy inhabiting spiders. However, the abundance, species number, species diversity for the soil dwellingspiders tended to be higher on the ratoon paddy 3, 4, and 5 week old than those on 1, 2, and 6 week old. From the result, weconcluded that abundance, species number, species diversity of spiders found in the ratoon paddy were higher or tendedsimilar to those on the main crop.

Key words: abundance, biodiversity, ratoon, spiders

ABSTRAK

Kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba predator hama padi ratun di sawah pasang surut. Padi ratunproduktivitasnya lebih rendah daripada padi utama, untuk itu upaya peningkatan produktivitas terus dilakukan, antara lainadalah melindungi padi ratun dari serangan hama dan penyakit. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kelimpahan dankeanekaragaman spesies laba-laba predator hama padi ratun di sawah pasang surut. Lahan yang diamati, yaitu lahan padiyang sudah panen atau dipotong singgang dengan ketinggian kurang lebih 20 cm. Luas sawah yang diamati, yaitu 2 ha yangmemiliki varietas yang berbeda yaitu varietas Ciherang dan Inpara. Laba-laba penghuni tajuk diamati menggunakan jaringserangga, sedangkan penghuni permukaan tanah menggunakan perangkap lubang. Dari hasil penelitian ini ditemukan 10spesies laba-laba yang menghuni tajuk padi singgang, yaitu Pardosa pseudoannulata, Lycosa chaperi, Araneus inustus,Cylosa insulana, Atypena adelinae, Erigone bifurca, Erigonidium graminicola, Oxyopes javanus, Argyrodes miniaceus,dan Marpisa magister. Spesies laba-laba predator yang ditemukan di permukaan tanah ada 11 spesies, yaitu Pardosapseudoannulata, Pardosa sumatrana, Pardosa mackenziei, Pardosa oakleyi, Hogna rizali, Araneus inustus, Cylosa insulana,T. vermiformis, Runcinia albostriata, Coleosoma octomaculatum, dan Marpisa magister. Kelimpahan, jumlah spesies, maupunkeanekaragaman spesies laba-laba di permukaan tanah lebih tinggi dibandingkan laba-laba penghuni tajuk. Akan tetapikelimpahan, jumlah spesies, dan keanekaragaman spesies laba-laba penghuni permukaan tanah dan tajuk memilikikecenderungan yang sama, yaitu lebih tinggi pada saat umur singgang 3, 4, dan 5 minggu dibanding umur singgang 1, 2, dan6 minggu. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba predator hama padiratun tinggi dan beranekaragam.

Kata kunci: keanekaragaman, kelimpahan, padi singgang, spesies laba-laba

Page 2: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

2 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 1–7

PENDAHULUAN

Padi ratun (ratoon) yang dalam Bahasa Jawadisebut singgang atau turiang dalam Bahasa Sundaadalah tunggul tanaman padi yang tumbuh kembalisetelah dipanen (Nair & Rosamma, 2002). Tanamanpadi yang dapat dimanfaatkan untuk dibudidayakandengan sistem ratun ini biasanya varietas tertentu yangmampu menghasilkan tunas sekunder. Selain varietas,keberhasilan sistem ratun ini ditentukan juga oleh vigortanaman utamanya. Vigor ini ditentukan oleh besarnyaenergi atau cadangan hasil proses fotosintesis yangdicirikan oleh batang utama yang masih hijau(Marschner, 1995). Asimilat tersebut akan digunakanuntuk pertumbuhan tunas ratun (Wu et al., 1998). Sistembudidaya padi ratun ini umumnya telah berhasil dilakukandi berbagai daerah, antara lain di sentra sawah pasangsurut di Sumatera Selatan.

Padi ratun produktivitasnya lebih rendah daripadapadi utama, untuk itu upaya peningkatan produktivitasterus dilakukan, termasuk diantaranya adalah melindungipadi ratun dari serangan hama dan penyakit. Seranggahama yang ditemukan menyerang tanaman padi, antaralain wereng coklat, hama putih palsu, penggerek batang,dan penggulung daun (Khodijah et al., 2012). Hasilpengamatan langsung (data belum dipublikasikan),wereng coklat sangat dominan ditemukan di sentra padiratun di daerah pasang surut di Sumatera Selatan.Wereng coklat hanya efektif dikendalikan oleh musuhalaminya, antara lain laba-laba. Untuk itu, perlu dikajiapakah kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba cukup tinggi di sentra padi ratun di SumateraSelatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisiskelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-labapredator hama padi ratun di sawah pasang surut.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan disentra lahan pasang surut Sumatera Selatan, yaitu diDesa Mulia Sari Kabupaten Banyuasin, yang dimulaisejak Februari hingga Agustus 2013. Pertanaman padiyang digunakan untuk penelitian ini terdapat di sentrapasang surut Sumatera Selatan dengan cara tebar benihlangsung. Lahan yang diamati, yaitu lahan padi yangsudah dipanen atau dipotong singgang dengan ketinggiankurang lebih 20 cm. Luas sawah yang diamati adalah2 ha yang memiliki varietas yang berbeda, yaitu varietasCiherang dan Inpara. Setiap 1 ha dibagi menjadi 4subpetak, sedangkan setiap 1 subpetak diambil 5 rumpunsampel yang diamati kelimpahan laba-laba predator.

Pengamatan Laba-laba Predator pada Tajuk.Pengamatan laba-laba predator pada tajuk padi denganmenggunakan jaring serangga yang dilakukan pada pagihari setiap 7 hari dengan tujuan laba-laba belum aktifsehingga mudah dalam pengambilannya. Pengambilanlaba-laba predator dengan menggunakan jaring dilakukan20 kali ayunan per ha. Panjang tangkai jaring seranggatersebut 100 cm, mulut jaring terbuka dengan diameter30 cm dan panjang kantong kain kasa 60 cm. Dari setiapayunan jaring, laba-laba yang tertangkap dimasukkandalam kantong plastik yang berbeda yang di dalamnyatelah berisi larutan 100 ml formalin 2%. Pengambilanlaba-laba predator ini dilakukan untuk mengetahuikelimpahan atau jumlah individu, dan keanekaragamanspesies laba-laba predator. Laba-laba yang tertangkapselanjutnya dibawa ke laboratorium, lalu disortasi dandibersihkan dari formalin dengan menggunakan air, laludimasukkan ke dalam botol vial yang berisi alkohol 70%.Akhirnya, spesimen laba-laba tersebut diidentifikasi diLaboratorium Entomologi Jurusan Hama dan PenyakitTumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya.

Pengamatan Laba-laba Predator pada PermukaanTanah. Untuk laba-laba predator yang aktif padapermukaan tanah diambil menggunakan perangkaplubang (pitfall trap) yang dipasang sebanyak 12perangkap per ha. Perangkap lubang dipasang setiap 7hari dan dibiarkan terpasang selama 2 x 24 jam.Pengambilan contoh laba-laba predator ini dimulai padafase vegetatif hingga generatif. Perangkap lubang berisiformalin 4% sebanyak sepertiga gelas plastik, kemudiandi atasnya diberi tutup pelindung dengan tiang penyanggamenggunakan lidi atau kayu kecil. Tujuan diberi tutupagar air hujan atau sampah lainnya tidak ikut masuk kedalam perangkap lubang. Ukuran gelas plastik untukperangkap lubang tersebut adalah bervolume 240 mldengan diameter 75 mm dan tinggi atau kedalaman gelas100 mm. Laba-laba predator yang terperangkap dariperangkap lubang disortasi, disaring dengan saringanukuran pori 1 mm, lalu dibilas dengan air mengalir dandimasukkan ke dalam botol vial berisi alkohol 70%.Selanjutnya spesimen tersebut diidentifikasimenggunakan mikroskop binokuler dan dihitung jumlahindividunya di laboratorium untuk mengetahuikelimpahannya. Identifikasi laba-laba menggunakanbuku Kalshoven (1981) dan Barrion & Litsinger (1994).

Analisis Data. Data komposisi spesies dan jumlahindividu laba-laba digunakan untuk menganalisiskelimpahan dan keanekaragaman spesies. Ukurankeanekaragaman yang digunakan ialah indekskeanekaragaman spesies Shannon Wienner, Indeks

Page 3: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Herlinda et al. Kelimpahan dan Keanekaragaman Spesies Laba-laba 3

dominasi spesies Berger-Parker dan Indeks kemerataanspesies dari Pielou (Fachrul, 2007).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini ditemukan 10 spesies laba-laba yang menghuni tajuk padi singgang, yaitu Pardosapseudoannulata, Lycosa chaperi, Araneus inustus,Cylosa insulana, Atypena adelinae, Erigone bifurca,Erigonidium graminicola , Oxyopes javanus,Argyrodes miniaceus , dan Marpisa magister(Tabel 1). Spesies yang ditemukan pada tajuk padi inimerupakan laba-laba pemburu (hunting spider) danpembuat jaring (web spider). Famili yang merupakanlaba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkansisanya adalah laba-laba pemburu (Lycosidae,Linyphiidae, Oxyopidae, Theridiidae, dan Salticidae)(Tabel 1). Saat pengambilan contoh laba-labamenggunakan jaring serangga, tidak ditemukan familiTetragnathidae yang merupakan laba-laba pembuatjaring. Sebaliknya, Tetragnathidae, seperti Tetragnathavermiformis ditemukan pada permukaan tanah(Tabel 2). Hal ini dapat disebabkan oleh perilaku spesiestersebut walaupun pembuat jaring tetapi mampubergerak dan berjalan di permukaan tanah dan air.Linyphiidae merupakan laba-laba yang memiliki mobilitastinggi tetapi menangkap mangsa dengan menggunakanjaringnya (Schmidt & Tscharntke, 2005). Laba-laba

pemburu dapat ditemukan di tajuk karena mobilitasmereka lebih tinggi mampu berpindah-pindah baik daripermukaan tanah menuju tajuk atau sebaliknya,sedangkan laba-laba pembuat jaring cenderung sedikitditemukan di permukaan tanah.

Jumlah individu atau kelimpahan laba-laba yangditemukan pada tajuk padi singgang baik pada varietasCiherang maupun Inpara secara keseluruhanmenunjukkan kecenderungan yang mirip. Kelimpahanlaba-laba yang didapatkan menggunakan jaring serangga66,07 ekor per 20 jaring pada varietas Ciherang dan71,77 ekor per 20 jaring pada varietas Inpara. Padakedua habitat tersebut, spesies laba-laba dari FamiliSalticidae, Marpisa magister mendominasi. Urutankedua didominasi oleh Famili Lycosidae. Salticidae danLycosidae merupakan laba-laba pemburu yang memilikimobilitas lebih tinggi dibandingkan laba-laba pembuatjaring. Dengan demikian, kedua famili tersebut mudahditemukan baik pada tajuk maupun permukaan tanah.

Spesies laba-laba predator yang ditemukan dipermukaan tanah pada pertanaman padi singgang ada11 spesies, yaitu Pardosa pseudoannulata, P.sumatrana, P. mackenziei, P. oakleyi, Hogna rizali,Araneus inustus, Cylosa insulana, T. vermiformis,Runcinia albostriata, Coleosoma octomaculatum, danMarpisa magister (Tabel 2). Laba-laba FamiliLycosidae mendominasi ditemukan di permukaan tanahkarena laba-laba tersebut memiliki kemampuan mobilitas

Tabel 1. Spesies laba-laba predator hama padi di tajuk tanaman padi singgang selama satu musim tanam

Famili/Spesies Rata-rata kelimpahan laba-laba (ekor/20 jaring)

Varietas Ciherang Varietas Inpara

Lycosidae Pardosa pseudoannulata 5,50 6,67

Lycosa chaperi 8,80 8,60 Araneidae

Araneus inustus 2,00 7,00 Cylosa insulana 10,25 1,00

Linyphiidae Atypena adelinae 2,00 Erigone bifurca 4,50 5,17 Erigonidiumgraminicola 3,25 6,00

Oxyopidae Oxyopes javanus 7,60 11,33

Theridiidae Argyrodes miniaceus 7,50 8,33

Salticidae Marpisa magister 13,17 17,67

Total 66,07 71,77

Page 4: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

4 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 1–7

dan aktivitas tinggi di permukaan tanah (Denno et al.,2004). Selain Lycosidae laba-laba pemburu lainnyaadalah Thomisidae, Theridiidae, dan Salticidae. Laba-laba pembuat jaring masih ditemukan di permukaan tanahadalah Araneidae dan Tetragnathidae. Pada penelitianini, laba-laba pembuat jaring tersebut ditemukan padafase pradewasa. Fase pradewasa tersebut dapatditerbangkan dan jatuh ke permukaan tanah karenamengikuti arah angin sehingga dapat tertangkap olehperangkap lubang yang dipasang pada penelitian ini.

Karakteristik komunitas laba-laba di permukaantanah (Tabel 3) menunjukkan perbedaan dengankomunitas laba-laba yang ditemukan di tajuk (Tabel 4).Fenomena karakteristik komunitas laba-laba padapertanaman padi singgang ini mirip dengan komunitaslaba-laba pada padi utama hasil penelitian Herlinda etal. (2008). Jumlah individu atau kelimpahan, jumlahspesies, maupun keanekaragaman spesies laba-laba dipermukaan tanah lebih tinggi dibandingkan laba-labapenghuni tajuk. Akan tetapi kecenderungan untukkelimpahan, jumlah spesies, dan keanekaragamanspesies laba-laba penghuni permukaan tanah dan tajukmemiliki kemiripan, yaitu pada umur singgang 3, 4, dan5 minggu cenderung lebih tinggi dibanding umur singgang

1, 2, dan 6 minggu. Umur singgang 3, 4, dan 5 minggumerupakan fase generatif padi singgang, yaitu buah padisudah muncul saat umur singgang 3 minggu dan saatsinggang 5 minggu bulir padi mulai mengalami matangsusu. Pada fase generatif seperti ini menurut Herlindaet al. (2008) merupakan fase berlimpah untuk seranggaentomofaga (predator dan parasitoid). Berlimpahnyaartropoda predator baik serangga maupun laba-labadisebabkan semakin berlimpahnya serangga fitofag danserangga penyerbuk di tanaman padi (Schmitz, 2003;Herlinda et al., 2004). Serangga fitofag dan penyerbuk,serta serangga pengurai merupakan serangga yangmenjadi mangsa atropoda predator (Ishijima et al.,2006). Artropoda predator, seperti laba-laba memilikimangsa utama dari kelompok wereng, terutama werengcoklat (Preap et al., 2001). Pada saat kelimpahanmangsa lebih tinggi, maka cenderung kelimpahan laba-laba lebih tinggi juga dan kelimpahan laba-labapradewasa yang melakukan penyebaran juga lebih tinggi(Iida & Fujisaki, 2007). Hal ini disebabkan laba-labamemiliki tanggap fungsional yang baik yang merupakanciri-ciri predator yang efektif (Preap et al., 2001; Dennoet al., 2004;Wilby et al., 2005).

Tabel 2. Spesies laba-laba predator hama padi pada permukaan tanah di ekosistem padi singgang selama satumusim tanam

Famili/Spesies Rata-rata kelimpahan laba-laba (ekor/12 perangkap)

Varietas Ciherang Varietas Inpara

Lycosidae Pardosa pseudoannulata 6,00 4,50 Pardosa sumatrana 0,00 0,17 Pardosa mackenziei 0,00 0,33 Pardosa oakleyi 3,33 3,83 Hogna rizali 0,17 0,00

Araneidae 0,00 0,00 Araneus inustus 0,50 1,17

Cylosa insulana 0,50 0,00 Tetragnathidae

Tetragnatha vermiformis 0,50 0,17 Thomisidae

Runcinia albostriata 0,17 0,00 Theridiidae

Coleosoma octomaculatum 0,17 0,00 Salticidae 0,00 0,00 Marpisa magister 0,33 0,00

Total 11,67 10,17

Page 5: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Herlinda et al. Kelimpahan dan Keanekaragaman Spesies Laba-laba 5

Umur singgang (minggu) Karekteristik komunitas Varietas Ciherang Varietas Inpara

1

Jumlah individu (N) (ekor/20 jaring) 59,00 61,00 Jumlah spesies 6,00 7,00 Indeks keanekaragaman (H') 1,56 1,62 Indeks dominasi (d) 0,44 0,28 Indeks kemerataan (E) 0,26 0,83

2

Jumlah individu (N) (ekor/20 jaring) 38,00 53,00 Jumlah spesies 6,00 7,00 Indeks keanekaragaman (H') 1.62 1,71 Indeks dominasi (d) 0.34 0,36 Indeks kemerataan (E) 0.91 0,88

3

Jumlah individu (N) (ekor/20 jaring) 56,00 77,00 Jumlah spesies 7,00 7,00 Indeks keanekaragaman (H') 1,85 1,54 Indeks dominasi (d) 0,29 0,48 Indeks kemerataan (E) 0,95 0,79

4

Jumlah individu (N) (ekor/20 jaring) 75,00 72,00 Jumlah spesies 8,00 6,00 Indeks keanekaragaman (H') 1,75 1,59 Indeks dominasi (d) 0,31 0,31 Indeks kemerataan (E) 0,84 0,89

5

Jumlah individu (N) (ekor/20 jaring) 48,00 83,00 Jumlah spesies 6,00 7,00 Indeks keanekaragaman (H') 1,68 1,86 Indeks dominasi (d) 0,31 0,22 Indeks kemerataan (E) 0,94 0,96

6

Jumlah individu (N) (ekor/20 jaring) 27,00 15,00 Jumlah spesies 5,00 6,00 Indeks keanekaragaman (H') 1,52 1,59 Indeks dominasi (d) 0.33 0,40 Indeks kemerataan (E) 0,94 0,89

Jumlah individu atau kelimpahan, jumlah spesies,maupun keanekaragaman spesies laba-laba dipermukaan tanah lebih tinggi dibandingkan laba-labapenghuni tajuk. Hal ini disebabkan juga lama waktupengambilan contoh untuk laba-laba penghuni permukaantanah 2 x 24 jam (siang dan malam hari), sedangkanpengambilan contoh laba-laba penghuni tajuk dilakukanhanya pada siang hari. Menurut Karindah (2011),aktifitas pergerakan predator dalam mencari mangsadapat terjadi siang maupun malam. Dengan demikian,

bila pengambilan contoh dilakukan baik siang maupunmalam akan mendapat kelimpahan yang lebih tinggi.Selain itu, menurut Sudarjat et al. (2009), dinamikakelimpahan predator ditentukan juga dengan dinamikamangsanya. Predator yang efektif cenderungmengumpul pada habitat yang populasi mangsanya tinggi(Sudarjat et al., 2009; Karindah, 2011) atau meningkatkemampuan memangsanya bila populasi mangsameningkat (Nelly et al., 2012).

Tabel 3. Karakteristik komunitas laba-laba predator hama padi di tajuk tanaman padi singgang

Page 6: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

6 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 1–7

Tabel 4. Karakteristik komunitas laba-laba predator hama padi pada permukaan tanah di ekosistem padi singgang

Umur singgang (minggu) Karekteristik komunitas Varietas Ciherang Varietas Inpara

1

Jumlah individu (N) (ekor/12 perangkap) 14,00 10,00 Jumlah spesies 5,00 3,00 Indeks keanekaragaman (H') 1,43 0,94 Indeks dominasi (d) 0,36 0,50 Indeks kemerataan (E) 0,89 0,86

2

Jumlah individu (N) (ekor/12 perangkap) 11,00 12,00 Jumlah spesies 4,00 3,00 Indeks keanekaragaman (H') 1,24 0,92 Indeks dominasi (d) 0,45 0,50 Indeks kemerataan (E) 0,89 0,84

3

Jumlah individu (N) (ekor/12 perangkap) 11,00 13,00 Jumlah spesies 2,00 3,00 Indeks keanekaragaman (H') 0,69 0,91 Indeks dominasi (d) 0,55 0,46 Indeks kemerataan (E) 0,99 0,83

4

Jumlah individu (N) (ekor/12 perangkap) 13,00 12,00 Jumlah spesies 5,00 4,00 Indeks keanekaragaman (H') 1,38 1,20 Indeks dominasi (d) 0,46 0,50 Indeks kemerataan (E) 0,86 0,86

5

Jumlah individu (N) (ekor/12 perangkap) 15,00 7,00 Jumlah spesies 3,00 4,00 Indeks keanekaragaman (H') 0,73 1,35 Indeks dominasi (d) 0,73 0,29 Indeks kemerataan (E) 0,66 0,98

6

Jumlah individu (N) (ekor/12 perangkap) 6,00 7,00 Jumlah spesies 3,00 3,00 Indeks keanekaragaman (H') 0,87 0,96 Indeks dominasi (d) 0,67 0,57 Indeks kemerataan (E) 0,79 0,87

SIMPULAN

Dari penelitian ini ditemukan 10 spesies laba-labayang menghuni tajuk padi singgang, yaitu Pardosapseudoannulata, Lycosa chaperi, Araneus inustus,Cylosa insulana, Atypena adelinae, Erigone bifurca,Erigonidium graminicola , Oxyopes javanus,Argyrodes miniaceus, dan Marpisa magister. Spesieslaba-laba predator yang ditemukan di permukaan tanahada 11 spesies, yaitu P. seudoannulata, P. sumatrana,P. mackenziei, P. oakleyi, Hogna rizali, Araneusinustus, Cylosa insulana, T. vermiformis, Runcinia

albostriata, Coleosoma octomaculatum, dan Marpisamagister. Kelimpahan, jumlah spesies, maupunkeanekaragaman spesies laba-laba di permukaan tanahlebih tinggi dibandingkan laba-laba penghuni tajuk,namun kelimpahan, jumlah spesies, dankeanekaragaman spesies laba-laba penghuni permukaantanah dan tajuk memiliki kecenderungan yang sama,yaitu lebih tinggi pada saat umur singgang 3, 4, dan 5minggu dibanding umur singgang 1, 2, dan 6 minggu.Kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-labapredator hama padi ratun tergolong tinggi danberanekaragam.

Page 7: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Herlinda et al. Kelimpahan dan Keanekaragaman Spesies Laba-laba 7

SANWACANA

Penelitian ini bagian dari Penelitian HibahKompetensi yang dibiayai oleh Direktorat JenderalPendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan danKebudayaan, sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasandalam Rangka Pelaksanaan Program Penelitian HibahKompetensi Tahun Anggaran 2013, Nomor: 093.a/UN9.3.1/PL/2013, Tanggal 13 Mei 2013 yang diketuaioleh Siti Herlinda.

DAFTAR PUSTAKA

Barrion AT & Litsinger JA. 1994. Taxonomy of riceinsect pest and their arthropod parasites andpredators. In: Heinrichs EA (Eds.). Biology andManagement of Rice Insects. InternationalRice Research Institute, Philippines. pp.13–362.

Denno RF, Mitter MS, Langellotto GA, Gratton C, &Finke DL. 2004. Interactions between a huntingspider and a web-builder: consequences ofintraguild predation and cannibalism for preysuppression. Ecol. Entomol. 29(5): 566–577.

Fachrul MF. 2007. Metode Sampling Bioekologi.Bumi Aksara, Jakarta.

Herlinda S, Rauf A, Sosromarsono S, KartosuwondoU, Siswadi, & Hidayat P. 2004. Artropoda musuhalami penghuni ekosistem persawahan di daerahCianjur, Jawa Barat. J. Entomol. Indon. 1(1):9–15.

Herlinda S, Waluyo, Estuningsih SP, & Irsan C. 2008.Perbandingan keanekaragaman spesies dankelimpahan arthropoda predator penghuni tanahdi sawah lebak yang diaplikasi dan tanpa aplikasiinsektisida. J. Entomol. Indones. 5(2):96-107.

Iida H & Fujisaki K. 2007. Seasonal changes inresource allocation within an individual offspringof the wolf spider, Pardosa pseudoannulata(Araneae: Lycosidae). Physiol. Entomol. 32(1):81–86.

Ishijima C, Taguchi A, Takagi M, Motobayashi T, NakaiM, & Kunimi Y. 2006. Observational evidencethat the diet of wolf spiders (Araneae: Lycosidae)in paddies temporarily depends on dipterousinsects. Appl. Entomol. Zool. 41(2): 195–200.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops inIndonesia. Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta.

Karindah S. 2011. Predation of five generalist predatorson brownplanthopper (Nilaparvata lugens Stål).J. Entomol. Indon. 8(2): 55–62.

Khodijah, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y, & ThalibR. 2012. Artropoda predator penghuni ekosistempersawahan lebak dan pasang surut SumateraSelatan. J. Lahan Suboptimal 1(1): 57–63.

Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of HigherPlants. 2nd Ed. Academic Press Harcourt Braceand Company, London.

Nair AS & Rosamma CA. 2002. Character associationin ratoon crop of rice (Oryza sativa L.). J. TropAgric. 40(2): 1–3.

Nelly N, Trizelia, & Syuhadah Q. 2012. Tanggapfungsional Menochilus sexmaculatus Fabricius(Coleoptera: Coccinellidae) terhadap Aphisgossypii (Glover) (Homoptera: Aphididae) padaumur tanaman cabai berbeda. J. Entomol. Indon.9(1): 23–31.

Preap V, Zalucki MP, Jahn GC, & Nesbitt HJ. 2001.Effectiveness of brown planthopper predators:population suppression by two species of spider,Pardosa Pseudoannulata (Araneae, Lycosidae)and Araneus inustus (Araneae, Araneidae). J.Asia-Pacific Entomol. 4(2): 187–193.

Schmidt MH & Tscharntke T. 2005. Landscape contextof sheetweb spider (Araneae: Linyphiidae)abundance in cereal fields. J. Biogeography32(3): 467–473.

Schmitz OJ. 2003. Top predator control of plantbiodiversity and productivity in an old-fieldecosystem. Ecol. Lett. 6(2): 156–163.

Sudarjat, Utomo A, & Dono D. 2009. Biologi dankemampuan memangsa Paederus fuscipesCurtis (Coleoptera: Staphylinidae) terhadapBemisia tabaci Gennadius (Homoptera:Aleyrodidae). J. Agrikultura 20(3): 204–209.

Wilby A, Villareal SC, Lan LP, Heong KL, & ThomasMB. 2005. Functional benefits of predator speciesdiversity depend on prey identity. Ecol. Entomol.30(5): 497–501.

Wu G, Wilson LT, & McClung AM. 1998. Contributionof rice tillers to dry matter accumulation and yield.Agron J. 90(3): 317–323.

Page 8: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

8 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 8–15 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 8 –15 , Maret 2014

PENGARUH MUSIM TERHADAP PERKEMBANGANATELOCAUDA DIGITATA, PENYEBAB PENYAKIT KARAT PADA

ACACIA AURICULIFORMIS DI YOGYAKARTA

Siti Muslimah Widyastuti, Harjono, & Zjakiyah Ari Susanti

Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah MadaE-mail: [email protected]

ABSTRACT

Seasonal effect on the growth of Atelocauda digitata, the cause of rust disease on Acacia auriculiformis in Yogyakarta. Theresearch was aimed to determine the growth of Atelocauda digitata which attacks Acacia auriculiformis in Gunung Kidul,Yogyakarta and determine the process of A. digitata infection on A. auriculiformis. Quantification of the presence of pathogenand the damage as part of tree health monitoring was represented by the percentage of disease incidence and severity, thatwas used as a benchmark of A. digitata dynamics. Pathogenic organisms were confirmed by pathogenicity test. The processof infection was studied microscopically and macroscopically. Percentage of disease incidence and severity of all threeobservation plots during the rainy and the dry season were dynamic, with the highest damage discovered in Plot 5. A. digitatainfecting A. auriculiformis produces three types of spores, namely teliospores, uredospores and aeciospores. The hyphaeinfected the leaf tissue two days after inoculation through stomata. Intracellular hyphae were found five days after inoculation.

Key words: Atelocauda digitata, Acacia auriculiformis, rust disease.

ABSTRAK

Pengaruh musim terhadap perkembangan Atelocauda digitata, penyebab penyakit karat pada Acacia auriculiformis diYogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan Atelocauda digitata yang menyerang Acaciaauriculiformis di Gunung Kidul, Yogyakarta dan mengetahui proses infeksi jamur Atelocauda digitata pada Acaciaauriculiformis. Kuantifikasi keberadaan patogen dan kerusakan yang merupakan bagian dari monitoring kesehatan pohondiwakili dengan persen kejadian dan tingkat keparahan penyakit yang digunakan sebagai tolak ukur dinamika Atelocauda.digitata. Organisme patogen dibuktikan dengan uji patogenisitas. Proses infeksi dipelajari secara mikroskopis dan makroskopis.Persen kejadian dan tingkat keparahan penyakit dari ketiga plot pengamatan selama musim hujan dan kemarau bersifat dinamisdengan kerusakan yang paling tinggi dijumpai pada Petak 5. Atelocauda digitata yang menginfeksi Acacia auriculiformismenghasilkan tiga jenis spora, yaitu teliospora, uredospora dan aesiospora. Melalui lubang alami (stomata), hifa menginfeksijaringan daun dua hari setelah inokulasi. Hifa intraseluler ditemukan lima hari setelah inokulasi.

Kata kunci: Atelocauda digitata, Acacia auriculiformis, penyakit karat.

PENDAHULUAN

Acacia auriculiformis termasuk familiLeguminosae, berasal dari Australia Utara danKepulauan Kei, Maluku, yang mempunyai berbagaimanfaat, baik secara ekonomi maupun ekologi. Dari hasilpengamatan pendahuluan di Hutan PendidikanWanagama I, diketahui ada serangan Atelocaudadigitata pada A. auriculiformis. Di Australia, Asia, danNew Zealand dilaporkan adanya serangan A. digitata(Walker, 2001; FAO, 2007), demikian juga di SumateraSelatan serta Kalimantan (Barry, 2002). Pada awalnyadi Hawai A. digitata merupakan patogen sekunder

yang menyerang A. auriculiformis . Dalamperkembangannya ternyata penyakit ini telah menjadisalah satu penyakit utama pada Acacia sp. (Nelson,2009). Informasi mengenai infeksi serta dinamikapenyakit ini masih sangat terbatas.

Hutan rakyat A. auriculiformis di Wonogiri, JawaTengah juga terserang A. digitata (Ismail & Anggraeni,2008). Gejala yang ditunjukkan adalah munculnyapembengkakan pada daun, ranting, dan cabang,sedangkan adanya tanda ditunjukkan dengan munculnyateliospora berwarna coklat pada permukaan daun,ranting, dan cabang yang mengalami pembengkakan.Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan tingkat

Page 9: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Widyastuti et al. Pengaruh Musim terhadap Perkembangan Atelocauda digitata 9

perkembangan A. digitata pada A. auriculiformis danbagaimana proses infeksinya, sehingga persebaranpenyakit karat ini dapat dikendalikan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilakukan di dua tempatyaitu di Wanagama I Gunung Kidul, Yogyakarta danLaboratorium Perlindungan dan Kesehatan Hutan,Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.Pengamatan di lapangan dilakukan dua kali setahun,yaitu bulan Agustus dan November selama 2 tahun(2008–2009). Pemilihan bulan Agustus dan Novemberuntuk mewakili periode musim kemarau dan musimhujan.

Dari beberapa petak yang ada di Wanagama IGunung Kidul, Yogyakarta digunakan 3 petak untukpengamatan yaitu pada petak 5, 7 dan 16. Pemilihanketiga petak pengamatan tersebut karena letak ketiganyamenyebar sehingga dapat mewakili kondisi hutan diWanagama I. Jenis vegetasi pada petak pengamatandapat dilihat di Tabel 1. Persebaran A. auriculiformispada ketiga petak tersebut tidak merata, dengan fasepertumbuhannya dari semai sampai tiang (diameter <20 cm).

Pembuatan Petak Ukur. Petak ukur dibuat denganmenggunakan modifikasi dari Forest HealthMonitoring, Field Methods Guide (Alexander &Barnard, 1995), menggunakan kluster yang terdiri atas4 subplot dan 4 annular plot.

Intensitas Penyakit dan Luas Serangan. Di setiappetak ukur dilakukan monitoring kesehatan pada masing-masing individu pohon. Gejala penyakit dan keberadaanorganisme penyebab penyakit pada tapak diamatiberdasarkan pengamatan mikroskopis dan makroskopis.Serangan A. digitata pada A. auriculiformis di ketiga

petak, diukur luas serangan dan tingkat keparahannyadengan modifikasi rumus (Chester, 1959)

Sedangkan tingkat keparahan penyakit suatu tumbuhanpada lokasi tertentu dihitung dengan

n = jumlah tanaman terserang pada kategori tertentuv = kategori serangan tertentu (skor)N = jumlah tanaman yang diamatiV = kategori serangan tertinggi yang digunakan

Tingkat keparahan penyakit setiap sampel diberinilai (skor) berdasarkan kenampakan keseluruhan setiapindividu pohon mengunakan modifikasi pedoman dariAlexander & Barnard (1995):0 = Sehat (tidak ada gejala dan tanda penyakit).1 = > 0–25% bagian tanaman menunjukkan gejala dan atau tanda penyakit.2 = >25–50% bagian tanaman menunjukkan gejala dan atau tanda penyakit.3 = >50–75% bagian tanaman menunjukkan gejala dan atau tanda penyakit.4 = >75–100% bagian tanaman menunjukkan gejala dan atau tanda penyakit.

Identifikasi Penyebab Penyakit. Bagian tumbuhanyang menunjukkan gejala dan tanda terserang A. digitatadiidentifikasi secara mikroskopis. Pengambilan sampeldari pohon berpenyakit di lapangan dilakukan dengancara memotong daun dan cabang yang sakit. Teliosporadiambil dari bagian yang sakit menggunakan jarum ent,diletakkan di atas gelas benda yang telah ditetesilactophenol trypan blue, ditutup dengan deglass dan

Tabel 1. Jenis vegetasi pada petak pengamatan

Petak Jenis vegetasi

Dominan Minor

5 Santalum album Acacia auriculiformis.

Schleichera oleosa Eucalyptus spp.

7 Melaleuca leucadendron L. Acacia auriculiformis. 16 Imperata cylindrica Swietenia mahagoni

Acacia auriculiformis Caesalpinia sappan

%100diamati yang tanaman total

terserangyang tanaman Serangan Luas

100% V N v)(n

penyakitKeparahan

Page 10: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

10 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 8–15

diamati menggunakan mikroskop cahaya OlympusCX31. Foto mikroskopis diambil dengan menggunakankamera digital MDCE-5A yang dihubungkan kekomputer dengan menggunakan perangkat lunakScopePhoto versi 2.0.4.

Uji Patogenisitas. Uji Postulat Koch dilakukan untukmengetahui apakah jamur yang diperoleh bersifatpatogenik atau tidak, meskipun untuk patogen yang tidakdapat ditumbuhkan pada media buatan karena bersifatobligat, prosedur ini tidak dapat dilakukan sepenuhnya.Atelocauda digitata termasuk salah satu jamur yangbersifat parasit obligat, maka uji patogenisitas inidilakukan dengan cara inokulasi langsung pada daunsemai A. auriculiformis yang sehat. Teliospora yangterdapat pada permukaan daun dilepas menggunakankuas kecil, dan ditampung dalam cawan Petri. Teliosporatersebut dilarutkan dalam air steril yang ditambah denganTween-20 (0,02%) untuk menurunkan tegangan mukasehingga teliospora akan mudah menempel padapermukaan organ tanaman. Daun semaiA. auriculiformis diinokulasi dengan suspensi teliosporamenggunakan kuas halus. Sebagai kontrol, digunakanair steril yang ditambah dengan Tween-20 (0,02% v/v).Semai yang telah diinokulasi diinkubasikan dalamkontainer, dijaga kelembaban dan suhunya (25°C)selama 8 hari (Morris, 1987). Uji patogenisitas inimenggunakan semai dengan umur 8–10 minggu dantinggi semai antara 510 cm. Gejala yang terbentukdiamati, dilanjutkan dengan pengamatan secaramikroskopis.

Proses Infeksi Atelocauda digitata. SemaiA. auricliformis yang sehat diinokulasi buatan denganmeneteskan suspensi teliospora (5x105 spora mL-1) kepermukaan daun. Sampel daun diambil pada hari ke 2,4, 6 dan 8 setelah inokulasi dengan masing-masingperlakuan tiga kali ulangan. Selanjutnya dilakukanpewarnaan dengan lactophenol trypan blue untukmengetahui stuktur A. digitata dan respon yangditunjukkan oleh A. auriculiformis. Pengamatan danpengambilan gambar dilakukan pada hari ke 1, 2, 10dan 15 setelah inokulasi. Sampel daun dipotong-potongdengan panjang kurang lebih 1 cm, dimasukkan tabungErlenmeyer (50 mL) yang telah diisi etanol 20 mL untukmenghilangkan zat hijau daun. Sampel dalam larutanetanol tersebut dipanaskan hingga mendidih selama 20menit (Ruzin, 1987).

Setelah zat hijau daun larut, etanol (96%) digantidengan larutan chloral hidrat (2,5 g ml-1) dandipanaskan selama kurang lebih 20 menit hingga sampelmenjadi transparan (Elliott et al., 2008). Sampel ditetesi

lactophenol trypan blue, dan diamati menggunakanmikroskop Olympus CX31. Foto mikroskopis dibuatmenggunakan kamera digital MDCE-5A yangdihubungkan ke komputer dengan perangkat lunakScopePhoto versi 2.0.4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengenalan Gejala dan Tanda Penyakit Karat(Atelocauda digitata). Penyebab penyakit karat padatanaman A. auriculiformis adalah A. digitata. Patogenkarat menyerang pada daun, tangkai daun, pucuk, danbuah A. auriculiformis (Old et al., 2000). Jaringantanaman yang terinfeksi akan mengalamipembengkakan. Pada penelitian ini, A. digitatamenyerang daun, tangkai daun dan pucuk (Gambar 1),sedangkan serangan pada buah tidak ditemukan.Penyakit karat dapat menghambat atau menganggupertumbuhan tanaman, pada tingkat lanjut dapatmenyebabkan kematian organ, dan pada kondisi parahdapat menyebabkan kematian tanaman (Mahfud, 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan pertama di tahunpertama pada ketiga petak yang digunakan, A. digitatahanya menyerang A. auriculiformis pada tingkat semaisampai tiang di satu petak (petak 5). Hasil ini sesuaidengan peneliti pendahulu bahwa A. auriculiformismerupakan salah satu inang dari A. digitata (Thu etal., 2010).

Dinamika Perkembangan A. digitata. Pada tiga petakukur yang digunakan, dilakukan monitoringperkembangan penyakit. Patogen penyebab penyakitdiamati dengan melihat kuantifikasi persen keterjadiandan tingkat keparahan penyakit. Dengan pengumpulandata secara berkala , diharapkan mampumenggambarkan perkembangan serangan patogen padaketiga tapak yang digunakan.

Untuk mengetahui besar kerusakan hutan yangdisebabkan oleh patogen maka pada tahun pertamapengambilan data dilakukan pada semua tanaman yangada di dalam petak ukur yang terkena penyakit.Sedangkan pada tahun kedua lebih di fokuskan padaA. auriculiformis yang terserang oleh A. digitata(Tabel 2). Perubahan fokus pengamatan ini disebabkankarena pada tahun pertama persen keterjadian penyakitpada tanaman A. auriculiformis yang terserangA. digitata sangat tinggi baik pada musim hujan maupunmusim kemarau.

Luas serangan dan tingkat keparahan penyakityang diperoleh memperlihatkan bahwa persebaranA.digitata yang menyerang A. auriculiformis diGunung Kidul, Yogyakarta sangatlah cepat. Dalam

Page 11: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Widyastuti et al. Pengaruh Musim terhadap Perkembangan Atelocauda digitata 11

Gambar 1. Penyakit karat pada A. auriculiformis. (a) Pembengkakan ranting dan disertai dengan kematian pucuk,(b) pembengkakan daun (cecidia), dan (c) kematian ranting. Pada permukaan yang terinfeksi (a) dan(b) terdapat jutaan urediniospora, ditandai dengan adanya kumpulan serbuk berwarna cokelat (tandapanah). (Bar: 1 cm).

waktu satu tahun jamur penyebab penyakit karat yangpada tahun pertama hanya menyerang 1 petak, padatahun kedua telah menyerang dua petak yang lain.Penyebaran A. digitata sangat luas, karena uredosporapatogen mudah terbawa angin. Selain itu penelitian yangdilakukan oleh Triyogo & Widyastuti (2012)menyimpulkan bahwa serangga juga berperan sebagaivektor dalam penyebaran spora Uromycladiumtepperianum penyebab penyakit karat tumor padaFalcataria mollucana.

Pada petak 5, baik pada pengamatan tahunpertama maupun tahun kedua diketahui bahwaketerjadian penyakit sudah 100% (Tabel 2). Tabel 2 juga

menjelaskan bahwa pada tahun kedua, keterjadianpenyakit pada petak 7 dan petak 16 yang tadinya 0%mulai menunjukkan adanya penyebaran patogen,walaupun nilai persen keterjadian penyakitnya masihlebih kecil dibanding petak 5.

Tingkat keparahan penyakit dan luas serangandi ketiga petak pada musim hujan menurun (Tabel 2).Hal ini terjadi karena trubusan baru belum terserang A.digitata sehingga persentase yang dihasilkan daripersentase keterjadian penyakit akan lebih kecildibanding pada musim kemarau. Pada musim kemarauseluruh daun A. auriculiformis terserang A. digitata,

Tabel 2. Persen keterjadian dan tingkat keparahan serangan Atelocauda digitata pada Acacia auriculiformis dipetak pengamatan

a) Skala 0 – 100%.

Petak Tahun % Keterjadian penyakita) Tingkat keparahan penyakitb)

Kemarau Hujan Kemarau Hujan 5 2008 100 100 57 37

2009 100 100 79 59 7 2008 0 0 0 0

2009 35 27 47 30 16 2008 0 0 0 0

2009 28 23 42 20

Page 12: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

12 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 8–15

selain itu trubusan tidak terjadi sehingga persentaseketerjadian penyakit menjadi tinggi.

Dari hasil pengamatan di petak uji diperkirakanpada tahun-tahun selanjutnya keparahan penyakit danluas serangan akan semakin meningkat. Apabila tidakdilakukan pengendalian terhadap serangan patogen karatini, persebaran A. digitata akan meluas ke petak-petakyang lain.

Perkembangan Spora A. digitata. Siklus hidupA. digitata sangat unik, termasuk dalam kategorimacrocyclic karena mempunyai lima stadia spora dalamsatu siklus hidup dengan dua jenis inang, yaituuredospora, teliospora, sporidium, pikniospora danaeciospora (Agrios, 2005). Infeksi jamur ini bersifatsistemik (Chen et al., 1996), yaitu patogen dari titik awalinfeksi, menyebar dan menyerang sebagian besar atauseluruh sel jaringan yang rentan. Penyakit karattermasuk biotrof, karena patogen hanya dapat tumbuhdan berkembang biak secara alami pada inang yanghidup, atau sering disebut parasit obligat (Ismail &Anggraeni, 2008).

Menurut Worall (2007), dalam satu siklus hidupA. digitata menghasilkan lima jenis spora yang berbedadari fase piknium, aesium, uredium, telium danpromiselium. Proses perkecambahan A. digitata diawalidari aesium. Aesium menghasilkan aesiospora (2n) danpada daun tanaman membentuk uredium yangmenghasilkan urediospora. Pada tahap berikutnyaurediospora akan membentuk telium yang menghasilkanteliospora. Selanjutnya teliospora ini akan membentukspermagonium, dan pada proses itu akan dihasilkanspermatia (n) yang akan membentuk aesium lagi (Gambar2). Pada umumnya urediospora yang berterbangan diudara akan dapat menginfeksi jaringan tanaman yangbaru.

Kecepatan angin rata-rata di Gunung Kidul,Yogyakarta pada tahun 2009 adalah sebesar 11,75 knot(Anonim, 2010) sehingga mampu menyebarkanuredospora ke beberapa petak lainnya. Dalam prosesperkecambahan spora, suatu jamur akan bergantungpada kepatahan dormansi, faktor lingkungan dan faktorfisiologis yang terlibat dalam perkecambahan.

Pada pengamatan mikroskopis di penelitian ini,ditemukan tiga fase pembentukan spora yaitu teliospora,uredospora dan aesiospora (Gambar 3) sedangkanbentuk sporidia dan spermatia tidak dijumpai. Berbedadengan A. digitata yang menyerang tanaman A.mangium, fase yang dijumpai adalah fase piknium,uredium, dan telium sedangkan dua fase yang lain, yaituaesium dan promiselium, tidak ditemukan (Santoso etal., 2003).

A. digitata yang menyerang A.auriculiformismempunyai sifat heterocious karena sebagian dari fasehidupnya terdapat pada inang yang berbeda. Denganditemukannya fase telium pada pengamatan mikroskopisini menunjukkan bahwa A. auriculiformis merupakaninang primer, karena pada fase ini akan dibentukspermatogonium yang menghasilkan spermatia. Padatahap selanjutnya, akan terbentuk aesium lagi.

Infeksi A. digitata. Gejala awal A. auricuriformisyang terinfeksi oleh A. digitata secara makroskopisadalah adanya bercak yang berwarna hijau kekuningansampai kuning. Bercak ini kemudian menebal,membentuk gall serta terlihat adanya perubahan bentukdan ukuran sel-sel daun menjadi tidak beraturan. Seldaun yang sakit ukurannya relatif lebih besar(membengkak) dibandingkan dengan sel-sel yang adapada daun sehat (Gambar 1b).

Secara mikroskopis jaringan yang terinfeksi A.digitata ditandai dengan adanya sekumpulan miseliumyang terbentuk seperti bukit yang lebih dikenal denganpiknium atau spermogonium. Dengan terbentuknyasekumpulan miselium di dalam jaringan daun maka selyang berada di sekitar piknium mengalami perubahanbentuk dan ukuran, bahkan pada bagian-bagian tertentutimbul kerusakan. Fase aesium, merupakan fasepermulaan timbulnya infeksi, yang dilanjutkan denganfase uredium dan telium. Kedua fase ini sering dijumpaidalam kelompok wadah-wadah yang berbentuk seperticawan yang tersambung keluar menembus lapisanepidermis dan kutikula. Teliospora berukuran lebih besardari pada uredospora, kadang-kadang dijumpai tonjolanatau papila atau germ tube sebagai awal perkecambahanspora. Promiselium atau basidium merupakan faseterakhir pada infeksi A. digitata.

A. digitata mempunyai cara khusus untuk masukke dalam jaringan inang yaitu dengan metode penetrasimelalui stomata. Gambar 4 memperlihatkan sporaA. digitata pada inokulasi buatan berkecambah. Tabungkecambah tumbuh pada stomata, kemudian membentukapresorium, dan pada hari kedua ditemukan satu bentukhifa yang tumbuh masuk ke dalam stomata (Gambar4a). Lima hari setelah inokulasi ditemukan hifaintraseluler pada jaringan yang terinfeksi (Gambar 4b).Teliospora ditemukan pada permukaan daun yangterinfeksi 15 hari setelah inokulasi (Gambar 4c). DidugaA. digitata dapat menyelesaikan sebagian atau bahkansatu siklus hidupnya dalam satu tahun. Patogen yangmemiliki kemampuan ini disebut patogen monosiklik.Pada umumnya jamur karat menghasilkan spora padaakhir musim kering. Spora tersebut berfungsi sebagaiinokulum primer pada musim hujan, dan sebagai satu-

Page 13: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Widyastuti et al. Pengaruh Musim terhadap Perkembangan Atelocauda digitata 13

Gambar 2. Lima fase spora Atelocauda digitata (Santoso et al., 2003; Worall, 2007).

Gambar 3. Spora Atelocauda digitata. (a) teliospora, (b) urediospora, dan (c) aesiospora (Bar: 20 µm).

Gambar 4. Infeksi Atelocauda digitata pada daun Acacia auriculiformis. (a) Penetrasi hifa via lubang stomata(tanda panah) dua hari setelah inokulasi, (b) hifa intraseluler (tanda panah) lima hari setelah inokulasi,dan (c) teliospora pada permukaan daun, 15 hari setelah inokulasi. Bar = 20 µm.

Page 14: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

14 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 8–15

satunya sumber inokulum pada awal tahun berikutnya.Atelocauda digitata juga dapat menginfeksi secarasistemik, sehingga akan menyulitkan proses pengendalianyang tepat.

Inokulasi patogen pada tanaman tidak selalu diikutidengan proses infeksi. Hal ini mirip dengan hasilpenelitian Widyastuti et al. (2013) yang melakukaninokulasi buatan menggunakan inokulum teliosporaU. tepperianum dari tanaman sengon pada filodiaA. mangium yang menunjukkan bahwa infeksi tidakterjadi. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil infeksiyang terjadi di alam, teliospora membentuk basidiosporaterlebih dahulu baru kemudian membentuk pasakpenetrasi dan melakukan penetrasi pada jaringantanaman. Selama proses infeksi pada sengon di alam,teliospora U. tepperianum yang berada padapermukaan jaringan berkecambah untuk membentukbasidiospora (Rahayu et al., 2010). Keberhasilanterjadinya interaksi antara patogen dengan inangditentukan oleh berbagai faktor. Inokulum yang mampuberada di dekat atau tepat pada tapak infeksi merupakanfaktor yang sangat penting pada proses infeksi. Kondisilingkungan, sifat permukaan tumbuhan, keberadaansenyawa penghambat dan adanya agen antagonis jugaikut berperan dalam keberhasilan inokulasi.

SIMPULAN

Luas serangan dan tingkat keparahan penyakitkarat pada A. auriculiformis bersifat dinamis. Padamusim hujan, intensitas penyakit menurun karenatumbuhnya daun dan ranting baru. A. auriculiformis diWanagama I Gunung Kidul, Yogyakarta yang terserangA. digitata memproduksi tiga jenis spora yaituaesiospora, uredospora, dan teliospora. Pikniospora danbasidiospora belum ditemukan. A. digitata menginfeksidaun A. auriculiformis melalui lubang alami yaitustomata.

SANWACANA

Penelitian ini didanai dengan Dana DPP FakultasKehutanan UGM Tahun anggaran 2009 dengan penuliskedua sebagai peneliti utamanya. Terima kasih jugadiucapkan kepada I. Riastiwi atas bantuan teknisnyadalam mempersiapkan manuskrip ini.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Fifth edition. UK:Elsevier Academic Press. London

Alexander SA & Barnard JE. 1995. Forest HealthMonitoring: Field Methods Guide.Enviromental Monitoring System Laboratory. LasVegas.

Anonim. 2010. Data Base Daerah Kabupaten GunungKidul Tahun 2009.

Barry K. 2002. Heartrots in Plantation Hardwoodsin Indonesia and Australia. ACIAR TechnicalReports No. 51e.

Chester KS. 1959. How Sich is The Plant ?. dalamHorsfall J.G. dan Diamond,A. F., (eds). PlantPathology Press. New York, London

Chen WD, Gardner ED, & Webb DT. 1996. Biologyand life cycle of Atelocauda koae, an unusualdemicyclic rust. Mycosience 37: 91–98.

Elliott CE, Harjono, & Howlett BJ. 2008. Mutation of agene in fungus Leptosphaeria maculans allowsincreased frequency of penetration of stomataapertures of Arobidopsis thaliana. MolecularPlant 3: 471–481.

FAO. 2007. Over View of Forest Pest in Indonesia.Forest Health and Biosecurity Working Papers.Rome, Italy.

Ismail B & Anggraeni I. 2008. Identifikasi penyakit jati(Tectona grandis) dan akasia (Acaciaauriculiformis) di hutan rakyat KabupatenWonogiri, Jawa Tengah. J. Pemuliaan TanamanHutan. 2(1): 1–12.

Mahfud MC. 2012. Teknologi dan strategi pengendalianpenyakit karat daun untuk meningkatkan produksikopi nasional. J. Pengembangan InovasiPertanian 5(1): 44–57.

Morris MJ. 1987. Biology of the acacia gall rust,Ucromyclodium tepperianum. Plant Pathol. 36:100–106.

Nelson S. 2009. Rusts of Acacia koa: Atelocaudadigitata (Gall Rust) . College of TropicalAgriculture and Human Resources University ofHawaii at Manoa. Hawaii.

Old KM, See LS, Sharma JK, & Yuan ZQ . 2000. AManual of Diseases of Tropical Acacia inAustralia, South-East and India. Center forInternasional Forestry Research (CIFOR),Jakarta.

Page 15: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Widyastuti et al. Pengaruh Musim terhadap Perkembangan Atelocauda digitata 15

Rahayu S, Lee SS, & Shukor NAA. 2010.Uromycladium tepperianum, the gall rust fungusfrom Falcataria moluccana in Malaysia andIndonesia. Mycoscience 51(2): 149–153.

Ruzin SE. 1987. Plant Microtechnique andMicroscopy. Oxford University Press, USA.

Santoso E, Nurfarida YI, & Sitepu IR. 2003. Penyakitkarat pada Acacia mangium Willd. BuletinPenelitian Hutan 637: 39–48.

Thu PQ, Griffiths MW, Pegg GS, McDonald JM, WylieFR, King J, & Lawson SA. 2010. HealthyPlantations: a Field Guide to Pest andPathogens of Acacia, Eucalyptus, and Pinusin Vietnam. Departement of Employed. EconomicDevelopment and Innovation, Queesland,Australia.

Triyogo A & Widyastuti SM. 2012. Peran seranggasebagai vektor penyakit karat puru pada sengon(Albizia falcataria L. Fosberg). J. Agron.Indon. 40(1): 77–82.

Walker J. 2001. A revision of the genus of Atelocauda(uredinales) and description of Racospermycesgen. nov. for some rusts of Acacia. AustralasianMycologist 20(1): 3–28.

Widyastuti SM, Harjono, & Surya ZA. 2013. InfeksiAwal Jamur Uromycladium tepperianum padadaun Falcataria moluccana dan Acaciamangium di Laboratorium. J. Man. Hut. Trop.19(3): 187–193.

Worall J. 2007. Forest and Shade Tree Pathology.Rust. http://www.forestpathology.org./ rust.html.(10 Februari 2013).

Page 16: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

16 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 16-24 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 16-24, Maret 2014

KEANEKARAGAMAN JAMUR PADA RIZOSFER TANAMAN CABAISISTEM KONVENSIONAL DAN ORGANIK DAN POTENSINYA SEBAGAIAGEN PENGENDALI HAYATI COLLETOTRICHUM GLOEOSPORIOIDES

Nurbailis, Martinius, & Verry Azniza

Fakultas Pertanian Universitas AndalasKampus Limau Manis, Padang

Email : [email protected]

ABSTRACT

Fungal diversity of chili rhizosphere at conventional and organic cropping system and its role as biocontrol agent ofColletotrichum gloeosporioides. The aim of this research was to study fungal diversity in chili rhizosphere at conventionaland organic system; to ditermine and identify the fungi that had antagonistic activity against C. gloeosporioides. Diversitiesof rhizosphere fungi in chili of conventional and organic system were determined by counting the amount of propagule andisolates. Antagonistic activity was examined by dual cultures and slide culture. Identification was determind up to genus level.Propagule density and the amount of isolates in chili rhizosphere of organic system were higher than those in conventionalsystem. Fifty two fungal isolates were found from chili rhizosphere at conventional and organic system, 28 isolates fromorganic system and 24 isolates from conventional. Ten fungal isolates from chili rhizosphere in organic system and 4 fungalisolates from that in conventional system had antagonistic activity against C. gloeosporioides which cause antracnose onchili. The antagonistic isolates were: Trichoderma, Paecilomyces, Aspergillus and unidentified isolate (X isolate).

Key words : chili, convensional, diversity, fungi, organic, rhizosphere

ABSTRAK

Keanekaragaman jamur pada rizosfer tanaman cabai sistem konvensional dan organik dan potensinya sebagai agenspengendali hayati Colletotrichum gloeosporioides. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragamanjamur yang ada di lingkungan rizosfer cabai sistem konvensional dan organik; mengkaji kemampuan antagonis danmengidentifikasi jamur yang berasal dari rizosfer tanaman cabai sistem konvensional dan organik yang berpotensi sebagaiagens pengendalian hayati C. gloeosporioides. Keanekaragaman jamur saprofit pada rizosfer cabai sistem konvensional danorganik ditentukan dengan cara menghitung kepadatan propagul dan jumlah isolat jamur hasil isolasi. Pengujian dayaantagonisme menggunakan metode biakan ganda dan kultur slide. Identifikasi sampai tingkat genus mengacu pada literatur.Hasil penelitian menunjukkan bahwa: kepadatan propagul dan jumlah isolat jamur yang didapatkan dari rizosfer cabai sistemorganik lebih tinggi dari rizosfer cabai sistem konvensional, ditemukan 52 isolat jamur dari rizosfer cabai sistem organik dankonvensional, 28 isolat dari sistem organik dan 24 isolat dari konvensional, ditemukan 10 isolat jamur dari rizosfer cabai sistemorganik dan 4 isolat jamur dari sistem konvensional yang berpotensi sebagai agens pengendalian hayati C. gloeosporioidespenyebab penyakit antraknos pada cabai, isolat yang bersifat antagonis terhadap C. gloeosporioides termasuk ke dalamgenus: Trichoderma, Paecilomyces, Aspergillus, dan satu isolat X (unidentified isolate).

Kata Kunci : cabai, jamur, keanekaragaman rizosfir, konvensional, organik

PENDAHULUAN

Tanaman cabai merupakan salah satu tanamansayuran yang sangat digemari oleh masyarakat sebagaibumbu dapur. Produktivitas tanaman cabai di SumateraBarat berkisar 3,5–4,5 ton per hektar, masih rendah jikadibandingkan dengan potensi hasil sekitar 12 ton perhektar (Anonim, 2007).

Salah satu faktor yang menyebabkan rendahnyaproduksi cabai adalah karena adanya serangan hama

dan penyakit tanaman. Penyakit yang disebabkan olehjamur yang paling dominan dan sangat merugikan padatanaman cabai adalah penyakit antraknos (busuk buah)yang disebabkan oleh Colletotrichum capsici danColletotrichum gloeosporioides (Kim et al., 2004).

Sistem budidaya cabai di Sumatera Barat padaumumnya dilakukan secara konvensional. Pengendalianhama dan penyakit pada sistem konvensional adalahdengan penggunaan pestisida bahkan aplikasinya padatanaman cabai sangat intensif. Menurut van Bniggen

Page 17: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Nurbailis et al. Keanekaragaman Jamur pada Rizosfer Tanaman Cabai 17

& Termorskuizen (2003) sistem pertanian konvensionalyang dilaksanakan selama ini telah menyebabkankerusakan terhadap struktur dan kesuburan tanah sertapenurunan keragaman mikrofauna dan mikroflora dilingkungan rizosfer. Anonim (2000) melaporkan bahwapemberian pestisida yang jauh di atas ambang batas akandapat memberikan dampak negatif terhadap kelestarianlingkungan bahkan terdapat beberapa petani di AlahanPanjang (Kabupaten Solok Provinsi Sumbar) yangmemberikan pestisida mencapai 100 liter dan pupuk TSPlebih dari 600 kg per ha sudah berdampak negatifterhadap pencemaran lingkungan dan makhluk hidup.

Beberapa tahun terakhir di Sumatera Barat sudahmulai dikembangkan pertanian organik terutama padakomoditas padi dan sayuran termasuk cabai. Beberapadaerah seperti Aia Angek (kota Bukittinggi) dan Sungaikamuyang (kota Payakumbuh) dan Gantiang (kotaPadang Panjang) telah konsisten menerapkan metodepertanian organik dalam pengelolaan padi dan sayurandi daerah mereka. Petani menggunakan kompos untukpemupukan dan agen hayati untuk pengendalian hamadan penyakit tanaman. Hal ini diduga berdampak baikterhadap keberadaan jamur yang berada di rizosferpertanaman.

Keanekaragaman hayati pada sistem pertaniankovensional dan organik jauh berbeda, pada pertanianorganik penggunaan kompos dan agen hayati lebihdiutamakan (Anonim, 2000). Penggunaan berbagaikombinasi bahan organik berupa vermicompost, plantcompost pada tanaman kentang menunjukkankepadatan propagul jamur yang tertinggi didapatkanpada perlakuan kombinasi tanah dan plant kompos (1:2)yaitu 3,29 x 103 CFU per g bahan dan yang terendahpada perlakuan tanpa pemberian bahan organik yaitu1,99 x 103 per g bahan (Das et al., 2010). Aplikasi plantcompost dan vermicompost dapat meningkatkanpopulasi mikroba pada rizosfer tanaman kedelai varietasJS80-21 dibanding dengan aplikasi pupuk NPK.Kepadatan propagul jamur yang tertinggi didapat padaaplikasi vermicompost sebesar 25,23 x 103 CFU per gbahan sedangkan pada pemberian NPK hanya sebesar12,50 x 103 CFU per g dan yang terendah didapatkanpada tanpa aplikasi kompos yaitu 11,37 x 103 CFU per gbahan (Das & Dkhar, 2011).

Lenc (2006) melaporkan dari rizosfer tanamankentang pada fase pembungaan berhasil diisolasi 82isolat jamur antagonis dari sistem organik dan 42 isolatdari sistem pertanian terpadu. Jamur yang didapatterutama dari genus Trichoderma dan Gliocladium.Hasil penelitian Purwantisari & Hastuti (2009)menunjukkan isolasi jamur dari rizosfer tanaman kentang

yang dikelola dengan sistem organik didapatkan 8 isolatyang terdiri atas: 2 isolat termasuk genus Trichoderma,1 isolat Penicillium, 2 isolat Phytophthora, 1 isolatMucor dan 2 isolat belum diketahui genusnya. MenurutHarman (2000), mekanisme antagonisme dariTrichoderma dalam menekan pertumbuhan patogendapat berupa kompetisi, hiperparasit, antibiosis dan lisis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkajikeanekaragaman jamur yang ada di lingkungan rizosfercabai sistem konvensional dan organik; mengkajikemampuan antagonis dan mengidentifikasi jamur yangberasal dari rizosfer cabai sistem konvensional danorganik yang berpotensi sebagai agen pengendalianhayati C. gloeosporioides penyebab penyakit antraknospada cabai.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilaksanakan diLaboratorium Fitopatologi Jurusan Hama dan PenyakitTumbuhan Fakultas Pertanian Universitas AndalasPadang dari bulan April sampai November 2012.

Pengambilan Sampel Tanah. Sampel tanah diambildari beberapa pertanaman cabai rakyat yang dikelolasecara konvensional dan organik di Bukittinggi,Payakumbuh dan Padang Panjang Sumatera Barat,penetapan lokasi sampel di lapangan ditentukan secaraacak terpilih. Dari kebun terpilih diambil sampel tanahdari 10 rumpun tanaman masing-masing 1 kg tiaprumpun dan diaduk secara merata. Setelah tercampurrata tanah dimasukkan ke dalam kantong plastiksebanyak 1 kg untuk dibawa ke laboratorium.

Isolasi Jamur. Isolasi jamur dari sampel tanahmenggunakan metode pengenceran (Johnson et al.,1960). Suspensi pengenceran 10–4 dipindahkan ke dalammedium Potato Dextrose Agar (PDA). Setiap koloniyang tumbuh yang menunjukkan ciri jamur, diisolasi kedalam medium PDA lain yang telah disiapkan dan terusdireisolasi sampai didapat biakan murninya. Semua jamuryang telah murni dibuat kultur stok yang digunakan untukpengujian selanjutnya.

Keanekaragaman Jamur pada Pertanaman CabaiSistem Konvensional dan Organik. Penentuankeanekaragaman jamur dari pertanaman rizosfer cabaikonvensional dan organik berdasarkan kepadatanpropagul jamur pada masing-masing rizosfer sampel,menghitung jumlah isolat yang hasil diisolasi.

Page 18: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

18 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 16-24

Pengujian Daya Antagonisme (Kompetisi,Antibiosis dan Mikoparastisme)

Metode Biakan Ganda (Kompetisi dan Antibiosis).Metode ini digunakan untuk mengamati kemampuanisolat jamur hasil isolasi dalam menekan pertumbuhanC. gloeosporioides, dengan cara menumbuhkanpotongan biakan jamur antagonis dan jamur patogendalam satu petri (diameter 9 cm) yang telah berisi PDAdengan jarak kedua potongan 4 cm (Johnson et al.,1960).

Metode Kultur Slide (Parasitisme). Metode inidigunakan untuk mengamati daya parasitisme isolatjamur hasil isolasi terhadap patogen. Kultur slide dibuatdengan cara menumbuhkan jamur hasil isolasi danpatogen pada gelas objek yang telah dilapisi dengan agartipis kemudian ditutup dengan gelas penutup.

Pengamatan

Persentase Penghambatan. Persentasepenghambatan pertumbuhan patogen oleh jamur hasilisolasi dihitung dengan rumus Samiego et al. (1989) citBernal et al. (2004 ) :

P = 100% x r

r - r

1

21

P = kemampuan menghambat jamur antagonis,r1 = jari-jari koloni patogen menjauhi jamur antagonis,r2= jari-jari koloni patogen yang mendekati jamur antagonis.

Antibiosis. Pengamatan antibiosis dilakukan denganmengamati adanya zona penghambatan pada pertemuandua koloni jamur yang ditunjukkan dengan adanya zonabening antara koloni jamur antagonis dengan patogenpada metode biakan ganda.

Daya Parasitisme. Pengamatan parasitisme dilakukanmenggunakan mikroskop monokuler pada metode slide

culture dengan melihat adanya pelilitan, penetrasiataupun lisis pada hifa patogen.

Identifikasi Isolat yang Berpotensi dalamMenekan Pertumbuhan C. gloesporoides. Isolatjamur antagonis yang berpotensi sebagai agens hayatiC. gloeosporioides diidentifikasi sampai tingkat genus.Identifikasi merujuk pada buku identifiksi jamur (Barnett,1969; Burgess, 1970; Watanabe, 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan Propagul Jamur. Kepadatan propaguljamur pada rizosfer cabai sistem konvensional danorganik pada beberapa lokasi di Sumatera Baratbervariasi. Pada lokasi Padang Panjang didapatkanjumlah propagul pada rizosfer cabai sistem konvensionallebih tinggi dibandingkan dengan sistem organik. Padalokasi Bukittinggi antara sistem konvensional tidak jauhberbeda dengan sistem organik. Perbedaan kepadatanpropagul yang tinggi terdapat pada lokasi Payakumbuh,dimana sistem organik menunjukkan kepadatan yang lebihtinggi dibanding dengan kovensional (Tabel 1).

Jumlah Isolat Jamur. Isolasi jamur dari rizosferpertanaman cabai sistem konvensional dan organikdiperoleh 52 isolat. Isolat tersebut memiliki ciri/karaktermorfologi yang beragam dari segi warna, permukaankoloni dan penyebaran pertumbuhannya. Pada rizosfercabai organik didapat sebanyak 28 isolat dengan rincian:14 isolat berasal dari rizosfer pertanaman cabai sistemorganik Padang Panjang, 7 isolat dari Bukittinggi dan 7isolat dari Payakumbuh. Pada sistem konvensionaldidapat sebanyak 24 isolat dengan rincian: 7 isolatberasal dari rizosfir pertanaman cabai sistem organikPadang Panjang, 9 isolat dari Bukittinggi dan 8 isolatdari Payakumbuh (Tabel 2).

Kepadatan propagul jamur di rizosfermenunjukkan bahwa pada rizosfer cabai sistemkonvensional pada lokasi Padang Panjang dilaporkan2,834 x 105cfu per g tanah sedangkan pada lokasiorganik didapatkan 2,608 x 105 cfu per g tanah (Tabel

Tabel 1. Kepadatan propagul jamur pada rizosfer cabai sistem konvensional dan organik di beberapa lokasi diSumatera Barat

Sistem budidaya Kepadatan propagul ( x 105 cfu per g bahan)

Padang Panjang Bukittinggi Payakumbuh Konvensional 2,834 1,604 2,657 Organik 2,608 1,654 3,435

Page 19: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Nurbailis et al. Keanekaragaman Jamur pada Rizosfer Tanaman Cabai 19

Tabel 2. Jumlah isolat jamur yang berasal dari rizosfer cabai sistem konvensional dan organik pada beberapalokasi di Sumatera Barat

Sistem budidaya Jumlah isolat

Total Padang Panjang Bukittinggi Payakumbuh

Konvensional 7 9 8 24 Organik 14 7 7 28

Total 21 16 15 52

1). Pada lokasi sistem organik Padang Panjangdidapatkan 14 isolat jamur sedangkan pada sistemkonvensional hanya didapatkan 7 isolat (Tabel 2).Kepadatan propagul jamur lokasi organik PadangPanjang lebih rendah dari lokasi konvensional. Hal inidisebabkan lokasi organik Padang Panjang merupakanlokasi bukaan baru (survei pendahuluan tahun 2011).Aktivitas penanaman belum begitu intensif dibandingkandengan lokasi lainnya sehingga kepadatan propagul padasistem organik lebih rendah dari sistem konvensionalyang telah dikelola secara intensif. Untuk jumlah isolatyang didapat pada sistem organik lebih tinggi dibandingdengan sistem konvensional. Pengelolaan pada sistemorganik lokasi bukaan baru dapat mempertahankanjumlah isolat di lingkungan rizosfer cabai.

Lokasi Bukittinggi menunjukkan kepadatanpropagul yang paling rendah dibandingkan dengan lokasilainnya baik pada sistem konvensional maupun sistemorganik (Tabel 1). Jumlah isolat pada sistemkonvensional Bukittinggi lebih tinggi dari sistem organik(Tabel 2). Rendahnya kepadatan propagul pada sistemkonvensional Bukittinggi disebabkan lokasi ini telahdikelola secara intensif dengan input pestisida dan pupukbuatan yang berlebihan, sedangkan lokasi sistem organikmerupakan lokasi yang sebelumnya dikelola secarakonvensional sehingga kerusakan lahan sebelumnyatelah terjadi. Hal ini menyebabkan kepadatan propaguldi rizosfer konvensional dan organik Bukittinggi tidakjauh berbeda. Menurut van Bniggen & Termorskuizen(2003) sistem pertanian konvensional yang dilaksanakanselama ini telah menyebabkan kerusakan terhadapstruktur dan kesuburan tanah serta penurunankeragaman mikrofauna dan mikroflora tanah.

Jumlah isolat yang didapat pada sistemkonvensional Bukittinggi lebih tinggi dari sistem organik.Sistem pengelolaan cabai pada sistem organik di lokasiini belum dapat meningkatkan keragaman isolat jamuryang ada di rizosfer cabai karena lokasi sistem organikini sebelumnya adalah lokasi penanaman cabai yangdikelola secara konvensional.

Lokasi Payakumbuh memperlihatkan bahwakepadatan propagul di rizosfer organik lebih tinggidibanding dengan konvensional (Tabel 1). Jumlah isolatpada sistem konvensional Payakumbuh ada 8 isolat danpada sistem organik hanya 7 isolat (Tabel 2). Hal inidisebabkan penggunaan pestisida secara terus meneruspada sistem konvensional di lokasi tersebutmengakibatkan penurunan kepadatan propagul jamur dirizosfer cabai. Pada sistem organik jumlah propagullebih tinggi dibanding dengan sistem konvensional dansistem organik lokasi lainnya. Hal ini disebabkan karenapada lokasi ini penggunaan pupuk organik sangatdiutamakan dan pengendalian OPT menggunakan agenshayati sehingga kepadatan propagul masih tetap tinggidi lokasi ini. Das et al. (2010) melaporkan aplikasiberbagai jenis kompos pada budidaya kentangmenunjukkan populasi jamur tertinggi terdapat padaperlakuan kombinasi tanah dan plant kompos (1 : 2)dan terendah pada tanpa pemberian bahan organik.

Penapisan Jamur. Hasil uji antagonisme jamur yangberasal dari rizosfer cabai sistem konvensional danorganik terhadap C. gloeosporioides menunjukkanbahwa isolat jamur yang berasal dari sistem organik lebihbanyak yang berpotensi menghambat pertumbuhanC. gloeosporioides (10 isolat) dibanding dengan isolatjamur yang berasal dari sistem konvensional (4 isolat).Beberapa isolat jamur menunjukkan adanya mekanismekompetisi, antibiosis dan parasitisme dalam menghambatpertumbuhan C. gloeosporioides (Tabel 3 dan 4).

Dari 52 isolat yang berhasil diisolasi dari rizosfercabai organik dan konvensional ditemukan ada 13 isolatyang berpotensi menghambat pertumbuhanC. gloeosporioides, 10 isolat berasal dari rizosfer cabaisistem organik dan 4 isolat dari sistem konvensional(Tabel 5).

Hasil uji antagonisme isolat yang berasal daririzosfer cabai sistem organik dan konvensional padabeberapa lokasi di Sumatera Barat menunjukkan bahwabeberapa isolat mempunyai potensi dalam menekanpertumbuhan C. gloeosporioides. Isolat jamur yang

Page 20: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

20 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 16-24

berasal dari rizosfer cabai sistem organik lebih banyakyang mampu menghambat pertumbuhanC. gloeosporioides dibanding dengan isolat jamur darisistem konvensional. Hal ini disebabkan aplikasi pestisidadan pupuk buatan pada sistem konvensional telahmenyebabkan penurunan virulensi dari jamur yang adadi lingkungan rizosfer terutama jamur yang bersifatsaprofit. Lenc (2006) melaporkan bahwa jamur yang

bersifat antagonis terhadap Rhizoctonia solanipenyebab busuk kecambah dan umbi pada kentang lebihbanyak ditemukan pada rizosfer kentang sistem organikdibanding sistem terpadu, pada sistem organik ditemukan82 isolat dan sistem terpadu hanya 42 isolat.

Mekanisme antagonisme yang dapat dideteksiantara lain: kompetisi, antibiosis dan parasitisme. Adabeberapa isolat yang mempunyai ketiga jenis mekanisme

Tabel 3. Hasil antagonisme jamur yang berasal dari rizosfer cabai sistem organik dari beberapa lokasi di SumateraBarat terhadap Colletotrichum gloeosporioides penyebab antraknos pada cabai

+ = ada mekanisme antagonis/parasitisme, - = tidak ada mekanisme antagonis/parasitisme.

No. Lokasi dan isolat Mekanisme antagonisme

Kompetisi (% Penghambatan) Antibiosis Parasitisme

Padang Panjang 1 O. PP2 2,3 - - 2 O. PP1 34,6 + + 3 O. PP3 38,5 + + 4 O. PP4 29,4 - - 5 O. PP5 19,2 - - 6 O. PP6 23,8 + + 7 O. PP7 34,6 - - 8 O. PP8 10,5 - - 9 O. PP9 31,3 - +

10 O. PP10 35,5 + + 11 O. PP11 37,4 - + 12 O. PP12 49,8 + + 13 O. PP13 9,6 - - 14 O. PP14 24,1 + +

Bukittinggi

1 O. AG1 9,1 - - 2 O. AG2 29,5 + + 3 O. AG3 15,9 + - 4 O. AG4 25,1 - - 5 O. AG5 16,9 - - 6 O. AG6 43,9 + + 7 O. AG7 3,1 - -

Payakumbuh 1 O. PYK1 2,1 - - 2 O. PYK2 6,6 + - 3 O. PYK3 40,1 + - 4 O. PYK5 21,1 - + 5 O. PYK6 46,8 - - 6 O. PYK7 18,1 - - 7 O. PYK4 15,5 - +

Page 21: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Nurbailis et al. Keanekaragaman Jamur pada Rizosfer Tanaman Cabai 21

antagonisme tersebut, isolat ini berpotensi dikembangkansebagai agens pengendalian hayati C. gloeosporioides.Harman (2000) melaporkan bahwa mekanisme agenhayati Trichoderma dalam pengendalian patogentanaman dapat berupa antagonisme yang meliputihiperparasitisme, kompetisi dan antibiosis.

Identifikasi Isolat Colletotrichum gloeosporioides.Hasil identifikasi isolat yang berasal dari rizosfer cabaisistem organik dan konvensional pada beberapa lokasidi Sumatera Barat yang berpotensi menghambatpertumbuhan C. gloeosporioides menunjukkan bahwa

isolat yang terdapat pada rizosfer cabai organik lebihberagam dibanding dengan yang terdapat pada sistemkonvensional (Tabel 6).

Hasil identifikasi sampai tingkat genus terhadapisolat yang berpotensi menekan pertumbuhanC. gloeosporioides didapat 6 genus yaitu: 4 isolatTrichoderma, 4 isolat Paecilomyces, 2 isolat Fusariumyang tergolong patogen, 1 isolat Aspergillus, 1 isolatCurvularia yang tergolong patogen dan 1 jamur yangtidak membentuk spora, jamur ini belum berhasildiidentifikasi sampai tingkat genus (unidentifiedisolate).

Tabel 4. Hasil antagonisme jamur yang berasal dari rizosfer cabai sistem konvensional dari beberapa lokasi diSumatera Barat terhadap Colletotrichum gloeosporioides penyebab penyakit antraknos pada cabai

+ = ada mekanisme antagonis/parasitisme, - = tidak ada mekanisme antagonis/parasitisme.

No. Kode isolat Mekanisme antagonisme

Kompetisi (% Penghambatan)

Antibiosis Parasitisme

Padang Panjang 1 K. PP1 7,9 - + 2 K. PP2 15,8 + + 3 K. PP5 36,6 - - 4 K. PP3 9,8 - - 5 K. PP4 1,7 - - 6 K. PP6 11,9 - - 7 K. PP7 17,7 + +

Bukittinggi 1 K. AG1 14,4 - - 2 K. AG2 26,0 + - 3 K. AG3 13,5 + - 4 K. AG4 6,8 + + 5 K. AG5 11,1 - - 6 K. AG8 3,1 - - 7 K. AG9 16,9 - + 8 K. AG6 14,7 - - 9 K. AG7 17,7 - -

Payakumbuh 1 K. PYK1 22,7 + - 2 K. PYK2 16,7 + - 3 K. PYK3 28,1 - - 4 K. PYK4 31,4 + - 5 K. PYK5 16,5 + - 6 K. PYK6 4,9 - - 7 K. PYK7 11,9 - - 8 K.PYK8 17,9 - -

Page 22: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

22 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 16-24

Tabel 5. Jumlah isolat jamur yang berasal dari rizosfer cabai sistem konvensional dan organik pada beberapa lokasidi Sumatera Barat yang berpotensi menghambat pertumbuhan Colletotrichum gloeosporioides penyebabantraknos pada cabai

+ = ada mekanisme antagonis/parasitisme, - = tidak ada mekanisme antagonis/parasitisme.

Sistem budidaya dan lokasi Kode isolat % Penghambatan Antibiosis Parasitisme

Organik Padang Panjang

O. PP1 49,853 + + O. PP3 38,568 + + O. PP6 23,838 + + O. PP10 35,593 + + O. PP11 37,447 - + O. PP12 49,853 + + O. PP14 24,189 + +

Konvensional Padang Panjang

K. PP2 15,833 + + K. PP7 17,763 + +

Organik Bukittinggi

O. AG6 43,985 + + O. AG2 29,5 + +

Konvensional Bukittinggi K. AG4 6,864 + +

Organik Payakumbuh O. PYK3 40,196 + - Konvensional Payakumbuh K. PYK4 31,452 + -

Tabel 6. Hasil identifikasi isolat jamur yang berasal dari rizosfer cabai sistem konvensional dan organik daribeberapa lokasi di Sumatera Barat yang berpotensi menghambat pertumbuhan Colletotrichumgloeosporioides penyebab penyakit antraknos pada cabai

Lokasi Sistem Budidaya Isolat yang berpotensi Hasil identifikasi

Padang Panjang

Organik O. PP1 Trichoderma sp1 O. PP3 Trichoderma sp2 O. PP6 Paecilomyces sp1 O. PP10 Fusarium sp1 (patogen) O. PP11 Fusarium sp2 (patogen) O. PP12 Curvularia sp1 (patogen) O. PP14 Belum diketahui genusnya (unidentified isolate)

Konvensional K. PP2 Aspergillus s sp1 K. PP7 Paecilomyces sp2

Agam Organik O. AG6 Fusarium sp3 O. AG2 Trichoderma sp3

Konvensional K. AG4 Paecilomyces sp3 Payakumbuh Organik O. PYK3 Trichoderma sp4

Konvensional K. PYK4 Paecilomyces sp4

Dari rizosfer cabai sistem organik ditemukan limagenus jamur, 2 genus merupakan jamur patogen yaituFusarium dan Curvularia kedua genus ini tidak dapatdimanfaatkan sebagai agens pengendalian hayati

C. gloeosporioides penyebab antraknos pada cabaisedangkan genus lainnya merupakan jamur saprofit yangmampu menekan pertumbuhan C. gloeosporioides

Page 23: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Nurbailis et al. Keanekaragaman Jamur pada Rizosfer Tanaman Cabai 23

yaitu: Trichoderma, Paecilomyces, Aspergillus danmycelia sterilia (belum diketahui genusnya).

Dari rizosfer cabai sistem konvensional hanyadidapatkan 3 genus jamur yang mampu menghambatpertumbuhan C. gloeosporioides yaitu: Aspergillus,Trichoderma, dan Paecilomyces. Hal ini menunjukkanbahwa pada rizosfer cabai organik lebih banyakditemukan genus jamur yang yang bersifat antagonisterhadap C. gloeosporioides dibanding dengan rizosfircabai sistem konvensional. Genus yang dominan adalahTrichoderma dan Paecilomyces. Lenc (2006)melaporkan bahwa isolasi jamur antagonis dari rizosferkentang ditemukan genus Trichoderma danGliocladium merupakan genus yang dominan bersifatantagonis terhadap R. solani penyebab busuk umbi padakentang.

SIMPULAN

Keanekaragaman jamur di rizosfer cabai sistemorganik lebih tinggi dibanding di sistem konvensional.Ditemukan 52 isolat jamur dari rizosfer cabai sistemorganik dan konvensional, 28 isolat berasal dari sistemorganik dan 24 isolat berasal sistem konvensional. Ada10 isolat jamur yang berasal dari rizosfer cabai sistemorganik dan 4 isolat dari konvensional yang bersifatantagonis terhadap C. gloeosporioides. Isolat tersebuttermasuk ke dalam genus: Trichoderma spp.,Paecilomyces spp., Aspergillus sp. dan 1 isolat belumdiketahui genusnya.

SANWACANA

Penulis menyampaikan penghargaan danterimakasih kepada Direktorat Jenderal PendidikanTinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, sesuaidengan surat Perjanjian Pelaksanaan PekerjaanPenelitian No: 004/UN.16/PL/MT-FD/I/2012 yang telahmembantu pendanaan sehingga penelitian ini dapatberjalan dengan lancar.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Teknologi Produksi Kubis BebasResidu (bahan kimia) . Dinas PertanianSumatera Barat. Proyek pengembangan sentraproduksi bidang pertanian tanaman panganSumatera Barat.

Anonim. 2007. Program Pengembangan TanamanSayuran. Dinas Pertanian Tanaman PanganPropinsi Sumatera Barat. Makalah DalamApresiasi Penanggulangan OPT TanamanSayuran tgl 3-6 Oktober 2007 di Padang.

Barnett HL. 1969. Illustrated Genera of ImperfectFungi. Burgess Publishing Company, Minneapolis

Bernal A, Andreu CM, Moya MM, Gonzalez M, &Fernandez O. 2004. Use of Trichoderma spp.like alternative ecologica for the control ofFusarium oxysforum Schlecht f.sp cubense(E.F. SMITH) SNYD & HANS. Farmingresearch center and Faculty of Farming Sciences.Central University of the Villas.

Burgess A. 1970. The soil microflora-its nature andbiology. In: Baker KF & Snyder WC (Eds.)Ecology of Soil Borne Plant Pathogens.Prelude to Biological Control. pp. 21–32.University of California, Barkeley.

Das BB, Nagen R, Neilhousano N, & Mumtaz SD. 2010.Rhizophere microflora on potato as affected byorganic treatment. Agricultural Journal 5(3):181–185.

Das BB & Dkhar MS. 2011. Rhizosphere microbialpopulation and physico chemical properties asaffected by organic and inorganic farmingpractices. American-Eurasian J. Agric. &Environ. Sci.10(2): 140 -150.

Harman GE. 2000. Myths and Dogmas of Biocontrol:Changes in perceptions derived from researchon Trichoderma harzianum T-22. Plant Dis.84(4): 377–392.

Johnson LF, Curl EA, Bond JH, & Fribourg HA. 1960.Methods for Studying Soil Microflora: PlantDisease Relationships. Burgess Publishing Co.,Minneapolis.

Kim KH, Yoon JB, Park HG, Park EW, & Kim YH.2004. Structural modifications and programmedcell death of chili pepper fruit related to resistanceresponses to Colletotrichum gloeosporioidesinfection. Phytopathol. 94 (12): 1295–1304.

Lenc L. 2006. Rhizoctonia solani and Streptomycesscabies on sprouts and tubers of potato grown inorganic and integrated systems, and fungalcommunities in the soil habitat. J. Phytopathol.Pol. 42: 13-28.

Page 24: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

24 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 16-24

Purwantisari S & Hastuti RB. 2009. Isolasi danidentifikasi jamur indigenous rhizosfer tanamankentang dari lahan pertanian kentang organik didesa Pakis Magelang. Jurnal Bioma 11(2): 45–53.

van Bniggen AHC & Termorskuizen AJ. 2003.Integrated approaches to root diseasemanagement in organic farming systems.Australasian Plant Pathol. 32(2): 141–156.

Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and SeedFungi: Morphologies of Culture Fungi andKey to Spesies. Second edition. CRC Press.Boca raton London New York Washington D.C.

Page 25: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Supriyadi & Wijayanti Genetic Variation of Leafhopper, Nephotettix virescens 25 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 25–31, Maret 2014

GENETIC VARIATION OF LEAFHOPPER,NEPHOTETTIX VIRESCENS DISTANT ACTIVE TRANSMITTERS FROM

ENDEMIC AND NON ENDEMIC AREAS OF RICE TUNGRODISEASE BASED ON RAPD MARKER

Supriyadi & Retno Wijayanti

Study Program of Agrotechnology, Faculty of Agriculture, Sebelas Maret University (UNS)Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126, Central Java, Indonesia.

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Genetic variation of leafhopper, Nephotettix virescens Distant active transmitters from endemic and non endemic areas ofrice tungro disease based on RAPD marker. Leafhopper, Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) plays animportant role as a vector of rice tungro virus. However, the characters of N. virescens as a vector from endemic and non-endemic areas of tungro disease in Indonesia have not been well characterized and also available information is limited. Theobjective of this research was to study the character of N. virescens active transmitter from endemic and non-endemic of areastungro disease based on RAPD markers. The N. virescens were collected from endemic area of Klaten (Central Java), Sleman(Yogyakarta) and non endemic area of Purwodadi (Central Java) Ngawi (East Java), and Pacitan (East Java). The N. virescensactive transmitters were identified by their ability to transmit the virus based on Standard Evaluation System for Rice TungroVirus, issued by IRRI. The genetic variations of N. virescens active transmitters were determined by using RAPD-PCR marker.Result of the research showed that three primers, OPB01, OPB10 and OPC08 amplified successfully of DNA template of N.virescens through RAPD-PCR technique. Based on the dendrogram, there were initial facts of possible genetic differencesbetween the populations of N. virescens from endemic and non endemic areas of rice tungro disease. The N. virescens fromendemic area of Klaten and Sleman are similar genetically but different from the N. virescens non endemic of Purwodadi,Pacitan and Ngawi.

Key words: Nephotettix virescens, tungro virus vector, RAPD-PCR

ABSTRAK

Keragaman genetik wereng hijau, Nephotettix virescens Distant asal wilayah endemik dan non endemik penyakit tungropadi berdasarkan penanda RAPD. Wereng hijau, Nephotettix virescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) berperan lebihpenting sebagai vektor virus tungro padi. Namun demikian, karakter N. virescens sebagai vektor penyakit tungro padi diIndonesia belum banyak diteliti, sehingga informasi yang tersedia sangat terbatas. Tujuan penelitian ini adalah mempelajarikarakter N. virescens penular aktif virus tungro padi asal wilayah endemik dan non-endemik penyakit tungro berdasarkanpenanda RAPD. Wereng hijau, N. virescens diambil dari daerah endemik Klaten (Jawa Tengah) dan Sleman (Yogyakarta) sertadari non endemik Purwodadi (Jawa Tengah), Ngawi (Jawa Timur), dan Pacitan (Jawa Timur). Individu N. virescens penularaktif diidentifikasi berdasarkan kemampuan menularkan virus tungro sesuai standar Sistem Evaluasi Virus Tungro Padi yangdikeluarkan IRRI. Karakterisasi N. virescens penular aktif virus tungro padi didasarkan marka RAPD. Tiga primer, yakniOPB01, OPB10, dan OPC08 digunakan untuk mengamplifikasi DNA N. virescens. Hasil penelitian menunjukkan bahwa primerOPC08 mengamplifikasi lebih banyak bagian DNA N. virescens, sehingga memunculkan lebih banyak pita, antar pita jugaterpisah jelas sehingga mudah dilakukan skoring untuk analisis data. Berdasarkan analisis dendrogram, ada perbedaan genetikantara populasi N. virescens penular aktif asal wilayah endemik dengan asal non-endemik penyakit tungro padi. Wereng hijau,N. virescens penular aktif asal wilayah endemik Klaten dan Sleman menunjukkan kemiripan genetik dan berbeda denganN. virescens asal non endemik Purwodadi, Pacitan dan Ngawi.

Kata kunci : Nephotettix virescens, vektor virus tungro, RAPD-PCR

Page 26: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

26 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 25–31

INTRODUCTION

Leafhopper, Nephotettix virescens Distant(Hemiptera: Cicadellidae) plays an important role as avector of rice tungro virus (Muralidharan et al., 2003;Widiarta, 2005), while the role of N.virescens as a pestof rice causing direct damage by feeding is lessimportant. The tungro disease is one of the mostdestructive diseases of rice in South and Southeast Asia,where disease epidemics have occurred since the mid-1960s (Azzam & Chancellor, 2002). In Indonesia, tungrodisease is often destruct in endemic areas of Klaten(Central Java) and Sleman (Yogyakarta) and Bali. TheTungro disease caused severe damage in Indonesia withaffected area about 16,000 ha in Bali during 1980; 25,000ha in Bali, Java, Sumatera during 1983–1984; 18,000 hain Bali, Java, Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya during1985–1986; and 12,340 ha in Central Java in 1995(Azzam & Chancellor, 2002), while tungro disease inCentral Java cause damage of 1098 hectares in 2010(Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi JawaTengah, 2010).

Tungro diseases are caused by two viruses(Hibino, 1996), namely rice tungro spherical virus(RTSV) and rice tungro bacilliform virus (RTBV).Generally, RTBV and RTSV together or RTSV alone istransmitted by leafhopper N. virescens (Choi et al.,2009). N. virescens was more effective to transmitthe tungro virus (Supriyadi et al., 2004; Widiarta, 2005)and also its population in the field was more dominantthan other vectors (Supriyadi et al., 2004; Widiarta,2005).

Interaction between the vector N. virescens andtungro virus can be complex and a specific pattern. Inthe case of insects borne viruses, Nault (1997) andFereres & Moreno (2009), showed a specific patternof relations between vectors, viral and host plant. Theability of N. virescens to transmit tungro virus isindividuals, not all individuals in the population to becompetent as a vector. Among the population of theleafhopper, there are individuals able to transmit the virusand not able to transmit the virus (Gray & Banerjee,1999). Individuals of N. virescens that can transmit thevirus after acquisition feeding are called activetransmitter, while the one that can not transmit a viruscalled the non-transmitters (Ling, 1972).

The characters of N. virescens activetransmitters from endemic area of tungro disease inIndonesia have not been well characterized, only limitedinformation was available. Research conducted bySupriyadi et al. (2004) showed relationship betweenproportion of N. virescens active transmitters and

endemic areas of tungro disease. Average proportionof N. virescens active transmitters from endemic areaof tungro disease was 81%, whereas from non endemicarea was 52.2%. Meanwhile, the results of differentstudies indicated that the total protein banding patternof N. virescens active transmitters were different fromthe non transmitters, but there were no the variation ofexternal morphology (Supriyadi & Wijayanti, 2010).

The efforts to understand the genetic variation ininsect populations often require studies at molecular level.According to Brooker (1999), gene expressions werenot always different in morphology, but may also differentin the molecular-product or physiological properties. TheRandomly Amplified Polymorphic DNA-PolymeraseChain Reaction (RAPD-PCR) is a technique commonlyused in studies of genetic variation within or betweengeographic populations (Naber et al., 2000;Margaritopoulos et al., 2000; Rampelotti et al., 2008).However, studies on molecular tagging conferringN. virescens from endemic and non endemic tungrodisease were limited and lack information on thecharacter of DNA. There was no report on the use ofRAPD markers N. virescens from endemic areas oftungro disease in Indonesia was published at this time.Therefore, efforts to identify the active transmitter ofN. virescens from endemic and non-endemic area oftungro disease needs to be done. The objective of thisresearch was to identify the character of N. virescensactive transmitters from endemic and non-endemic areasof tungro disease based on RAPD markers.

MATERIAL AND METHODS

Study Site.The research was conducted from April toNovember 2010. The population of of N. virescensleafhopper used in this study was collected from field inan endemic area of rice tungro disease (Klaten, CentralJava and Sleman, Yogyakarta) and non-endemic areas(Pacitan , East Java; Ngawi, East Java; and Purwodadi,Central Java). Mass rearing of N. virescens and virustransmission were conducted at the Laboratory of Pestsand Plant Diseases, Faculty of Agriculture, Universityof Sebelas Maret, while identification of the geneticvariations of N. virescens based on RAPD-PCRmarkers was performed in the Laboratory of Virology,Department of Plant Protection, Bogor AgriculturalUniversity.

Rearing of N. virescens Leafhopper. N. virescenssamples, were collected from field using a sweepnetand then placed in a separate box for each colony. Massrearing of N. virescens was conducted according to

Page 27: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Supriyadi & Wijayanti Genetic Variation of Leafhopper, Nephotettix virescens 27

the methods of Dahal et al. (1997) and Cooter et al.(2000) with modifications of the rice variety and age ofseedling to feed the leafhopper. The susceptible cultivarof Cisadane was chosen to feed of the leafhopper. Oneweek-old seedlings of Cisadane were planted in a plasticboxs 3x7x14 cm in size and then were placed on therearing box 40x40x40 cm in size for rearing ofN. virescens.

Identification of N. virescens Active Transmitters.Identification of N. virescens active transmitters wascarried out through procedure of transmission testaccording to Dahal et al. (1997). Adult males ofleafhopper were infested on rice that has been infectedby tungro virus for three days to take feeding acquisition.After acquisition feeding, the leafhopper was infestedindividually on healthy seedlings for inoculation feedingfor three days. After inoculation feeding, the seedlingwas planted individually on pots 6 cm of diameter.

The N.virescens active transmitters weredetermined by ditermining their ability to transmit tungrovirus after acquisition feeding, according to the criteriaof Ling (1972). The ability of N. virescens to transmitthe virus was based on criteria of the Standard EvaluationSystem (SES), with a score of 3, namely shortening of1-10% of the top leaf, abnormal seedling by shortenedgrowth, but no yellowish leaf (IRRI, 1996). TheN. virescens active transmitters that have beenidentified were stored in 90% alcohol and used as asample of DNA extraction.

DNA Extraction. Procedure of RAPD-PCR wasconducted through three main steps, namely DNAextraction, PCR amplification and DNA visualization.The first step of RAPD-PCR was the preparation ofthe target DNA template. The N. virescens activetransmitter male was used to isolate DNA template.Males N. virescens were used as sample because oftheir smaller body and lower protein contents, so didnot interfere in PCR amplification. Genome DNA initiallywas extracted by modified method from Hidayat et al.(1996). Homogenizaton of three green leafhoppers,N. virescens active transmitter carried out in amicrocentrifuge tube using a plastic micro-pestle. Wholeinsects were macerated in 125 µl of extraction buffer(2% CTAB, 1.4 M NaCl, 20 mM EDTA, 100 mM Tris-HCl pH 8, 0) and incubated at 60 °C for 30 min. Thenwas added one volume of chloroform: isoamyl alcohol(24:1) and homogenized by vortex. Subsequently, thesamples were centrifuged for 5 min at 800 rpm.Supernatant was transferred to a new tube, were added10 µl of 3 M NaOAc and 250 µl of absolute ethanol,

than the supernatants was incubated at -20 °C for 30min and centrifuged at 11,500 rpm for 15 min. Aftercentrifugation, supernatant was discarded and the pelletwas washed with 200 ml of 0.2 M solution of ammoniumacetate in 70% ethanol and centrifuged at 11,500 rpmfor 2 min. Ethanol was discarded and the pellet wasdried in a vacuum pump for 10 min. Pellet was thenresuspended in 10 ml of sterile water and stored at-20 °C. DNA concentration of each sample wasquantified by using spectrophotometer, while the qualityof DNA was checked by electrophoresis on 1.4%agarose.

DNA Amplification. The RAPD-PCR amplificationwas a step to led of DNA bands from identified samples.RAPD-PCR amplification step was to lead DNA bandof the sample identified. Amplification of DNA templateof N. virescens was performed as described by Hidayatet al., (1996). Three selected random primers, namelyOPB 01 (GTT TCG CTC C); OPB10 (CTG CTG GGAC), and OPC08 (GGT ACC TGG G), ware used toamplify DNA template. All of the primers werecommonly used to amplify of insects (Loxdale & Lushai,1998). PCR was carried out in 25 µl volume reactionmixture. The reaction mixture contained 18.8 µl H2O,2.5 µl Buffer MgCl2, 0.5 µl dNTP mix 10 mM, 1µlrandom primer 10 µM, 0.2 µl Taq DNA polymeration5 u/µl, and 2 µl DNA template. Tubes containing reactionmixture were processed into a PCR Thermal Cyclermachine. Amplification reactions were conducted byusing a GenAmp PCR 9700 thermo cycler programmedto run the following procedure: an initial denaturation 1cycle at 95 °C for 5 min; 45 cycles consisting each of adenaturation step at 94°C for 1 min; an annealing stepat 36 °C for 1 min; extension at 72 °C for 2 min andfinal elongation/extension at 72 °C for 5 min. Theproducts of each PCR were visualized in runningelectrophoresis in 1.4% agarose gels at 60 V for 7 hr inTAE buffer. The gels were stained using ethidiumbromide. The results were observed in atransillumination UV light (UV) and photodocumented.

Data Analysis. Data analysis was conducted on thedifference variability of N. virescens came fromendemic and non-endemic areas studied. Gelelectrophoresis products, after being photographed wereanalyzed for the presence of visual criteria. DNA bandsprofile of N. virescens active transmitter from endemicand non endemic were coded binary by visual criteriaof presence (1) and absence (0) band for each fragmentsizes found in different primary, but only strong andconsistent bands considered. The banding pattern

Page 28: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

28 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 25–31

allowed us to calculate the similarity index of Jaccard(Hidayat et al., 1996; Rampelotti et al., 2008). Theprocedures were performed using the program NTSYS(version 2.1). Result of the analysis was used to arrangethe clusters of N. virescens active transmitters indendrogram based on genetic similarity, representingDNA bands profile. A dendrogram was derived frommatrixes that was subjected to cluster analysis byunweighted pair-group method using arithmetic average(UPGMA) method.

RESULTS AND DISCUSSION

The three primers, namely OPB 01, OPB10 andOPC08 succeeded to amplify DNA target. Overall, theprimers of OPB 01, OPB10 and OPC08 produced anumber of bands used to identify the variation of DNAbands profile of N.virescens active transmitter fromPurwodadi, Ngawi, Pacitan, Sleman and Klaten. The

number of polymorphic bands amplified by each primervaried from 1 to 13 bands. OPC08 primer amplified morevaried bands than OPB 01 and OPB10 primers. Primerof OPC08 produced more bands, discrete, scorable, andsuitable for identifying variations (Figure 1). The similarresearch showed that random primer in RAPD-PCRtechnique was used to study the genetic diversity in thecase of intraspecific (Black et al.,1992) and interspecificvariation, at least between closely related species, suchas Lucilia sericata and L. cuprina (Stevens & Wall,1995).

All of DNA banding pattern of N. virescens activetransmitter from endemic and non endemic areas of ricetungro virus showed variation based on RAPD markers.Results of analysis based on DNA banding pattern ofN. virescens active transmitters from endemic and nonendemic areas of rice tungro disease were showed inTable 1, while the dendrogram based on similarity indexof N. virescens were showed in Figure 2.

Figure 1. RAPD-PCR banding pattern of leafhopper N. virescens from endemics (line 1 = Purwodadi, 2 = Ngawi,3 = Pacitan) and nonendemics (line 4 = Sleman, 5 = Klaten), using pimer OPB 01, OPB 10, and OPC08.

Page 29: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Supriyadi & Wijayanti Genetic Variation of Leafhopper, Nephotettix virescens 29

The pairswise of genetic distance of N virescensactive transmitters from endemic (Klaten and Sleman)and non endemic (Purwodadi, Ngawi and Pacitan)ranged from 1.03 to 1.82 (Table 1). The lowest geneticdistance occurred between N. virescens fromPurwadadi and Ngawi that are geographically close,while the highest genetic distance occurred betweenNgawi and Pacitan that are geographically distance.

Based on the dendrogram, there were evidenceof the relationship between N. virescens activetransmitters and their origin either from endemic or nonendemic areas of rice tungro disease. The N. virescensactive transmitters from endemic areas of tungro virusfrom Klaten and Sleman were genetically similar andseparately from N. virescens from non endemi area(Purwodadi, Pacitan and Ngawi). There were initial factfor the possibility of genetic differences between thepopulations of N. virescens from endemic and nonendemic areas of rice tungro disease.

Geographically, the endemics areas of Klaten andSleman are closely related. However, the non endemicareas of Pacitan are separate from Purwadadi.Meanwhile, the non-endemic areas of Ngawi andPurwodadi are geographically closely related. Overall,the result of this study revealed preliminary informationto perform a more in-depth study based on a widergeographical or ecological variation. WhetherN. virescens active transmitters from endemic areasare genetically distinct with the ones from non-endemicareas need further research. The genetic similaritiesbetween N. virescens active transmitters from Klatenand Sleman maybe caused by their ecology orgeographical closeness. However, in other cases, DNAbanding profile produced of RAPD PCR technique hasbeen used to identify the geographic diversity of insectsspecies (Black et al., 1992; Stevens & Wall, 1995;Rampelotti et al., 2008; Kavar et al., 2006.).

Table 1. The matrix of genetic distance of N. virescens active transmitters from endemic of Klaten and Slemanand non endemic of Purwodadi, Ngawi, and Pacitan

Purwodadi Ngawi Pacitan Sleman Klaten Purwodadi 0.00 Ngawi 1.03 0.00 Pacitan 1.50 1.82 0.00 Sleman 1.15 1.37 1.44 0.00 Klaten 1.73 1.25 1.80 1.35 0.00

Figure 2. Dendrogram of N. virescens active transmitters from endemic area of Klaten and Sleman and nonendemic area of Purwodadi, Ngawi and Pacitan based on similarity index of genetic distance.

Pacitan

Sleman

Klaten

Ngawi

Purwodadi

Page 30: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

30 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 25–31

The result of this study gave a basic knowledgeof the character of vector N. virescens origin endemicand non-endemic areas that need a more in depth studyof the geographic and ecological variation. However,the result of this study could be used to arrange a basicstrategy in the management of tungro disease vectors,especially in an effort to suppress the spread of ricetungro virus in the field. Management of insect vectors,especially vector migration and also prevention of thespread of the tungro virus from endemic areas to non-endemic areas is needed. The transfer of rice seedlingsshould be avoided.

CONCLUSIONS

Based on the dendrogram, there were possibilityof genetic differences between the populations ofN. virescens from endemic and non endemic areas ofrice tungro disease. The N. virescens from endemicarea of tungro virus from Klaten and Sleman aregenetically similar but geneticaly separate with theN. virescens from non endemic of Purwodadi, Pacitanand Ngawi. Basic knowledge of the character of vectorN. virescens from endemic and non endemic areas needto be studied further, espesially on their geographic andecological variation.

ACKNOWLEDGEMENTS

Financial support of the research came from theDirectorate General of Higher Education, Ministry ofEducation (Grant No. 2881/H27/KU/2010) byFundamental Research Grant , so we gratefullyacknowledged.

REFERENCES

Azzam O & Chancellor TCB. 2002. The biology,epidemiology, and management of rice tungrodisease in Asia. Plant Dis. 86:88–100.

Black WC, DuTeau NM, Puterka GJ, Nechols JR, &Pettorini JM. 1992. Use of the random amplifiedpolymorphic DNA polymerase chain reaction(RAPD-PCR) to detect DNA polymorphisms inaphid (Homoptera: Aphididae). Bull. Entomol.Res. 82: 151–159.

Brooker RJ. 1999. Genetics: Analysis and Principles.An Imprint of Addison Wesley Longman, Inc.Menlo Park, California.

Choi IR, Cabauatan PQ, & Cabunagan RC. 2009. RiceTungro Disease. International Rice ResearchInstitute (IRRI): Page 1–4. http://www.knowledgebank.irri.org. Downloaded atNovember 23, 2010.

Cooter RJ, Winder D, & Chancellor TCB. 2000.Tethered flight activity of Nephotettix virescens(Hemiptera: Cicadellidae) in The Philippines. Bull.Entomol. Res. 90(1): 49–55.

Dahal G, Hibino H, & Aguiero VM. 1997. Populationcharacteristics and tungro transmission byNephotettix virescens (Hemiptera: Cicadellidae)on selected resistant rice cultivars. Bull. Entomol.Res. 8: 387–395.

Dinas   Pertanian Tanaman  Pangan    Provinsi  JawaTengah. 2010. Data Serangan OPT danBencana Alam di Jawa Tengah. Semarang.

Fereres A & Moreno A. 2009. Behavioural aspectsinfluencing plant virus transmission by homopteraninsects. Virus Res.141(2): 158-168.

Gray SM & Banerjee N. 1999. Mechanisms ofarthropod transmission of plant and animalviruses. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 63(1): 128–148.

Hibino H. 1996. Biology and epidemiology of rice viruses.Annu. Rev. Phytopathol. 34: 249-274.

Hidayat P, Philips TW, & French-Constant RH 1996.Molecular and morphological charactersdiscriminate Sitophilus oryzae and S. zeamais(Coleoptera: Curculionidae) and confirmreproductive isolation. Ann. Entomol. Soc. Am.89(5): 645–652.

International Rice Research Institute (IRRI). 1996.Standard Evaluation System for Rice. IngerGenetic Resources (4 th edition). Manila,Philippines.

Kavar T, Pavlovcic P, Susnik S, Meglic V, & Virant-Doberlet M. 2006. Genetic differentiation ofgeographically separated populations of thesouthern green stink bug Nezara viridula(Hemiptera: Pentatomidae). Bull. Entomol. Res.96: 117–128.

Ling KC. 1972. Rice Virus Disease. International RiceResearch Institute. Los Banos, Philippines.

Loxdale HD & Lushai G. 1998. Molecular markers inentomology. Bull. Entomol. Res. 88(6): 577–600.

Page 31: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Supriyadi & Wijayanti Genetic Variation of Leafhopper, Nephotettix virescens 31

Margaritopoulos JT, Tsitsipis JA, Zintzaras E, &Blackman RL. 2000. Host correlatedmorphological variation of Myzus persicae(Hemiptera: Aphididae) population in Grecce.Bull. Entomol. Res. 90(3): 233–244.

Muralidharan K, Krishnaveni D, Rajarajeswari NVL,& Prasad ASR. 2003. Tungro epidemics and yieldlosses in paddy fields in India. Curr. Sci. 85(8):1143–1147.

Naber N, El Bouhssini M, Labhilili M, Udupa SM, NachitMM, Baum M, Lhaloui S, Benslimane A, & ElAbbouyi H. 2000. Genetic variation amongpopulations of the Hessian fly Mayetioladestructor (Diptera: Cecidomyiidae) in Marocoand Syria. Bull. Entomol. Res. 90(3): 245–252.

Nault LR. 1997. Arthropod transmission of plant virus:a new synthesis. Ann. Entomol. Soc. Am. 90(5):521–539.

Rampelotti FT, Ferreira A, Tcacenco FA, Martins, JFda S, Grutzmacher AD, & Prando HF. 2008.Genetic diversity of Tibraca limbativentris Stål(Hemiptera: Pentatomidae) of Santa Catarina andRio Grande do Sul, Brazil, using RAPD. Neotrop.Entomol. 37(1): 20–29.

Supriyadi & Wijayanti R. 2010. Karakterisasi individuwereng hijau, Nephotettix virescens Distantpenular aktif virus tungro padi. J.HPT. Tropika.10(2): 116–122.

Supriyadi, Untung K, Trisyono A, & Yuwono T. 2004.Karakter populasi wereng hijau, Nephotettixvirescens Distant (Hemiptera: Cicadellidae) diwilayah endemi dan nonendemi penyakit tungropadi. J. Perlind. Tan. Indones. 10(2): 112–120.

Stevens J & Wall R. 1995. The use of random amplifiedpolymorphic DNA (RAPD) analysis for studiesof genetic variation in populations of the blowflyLucilia sericata (Diptera: Calliphoridae) inSouthern England. Bull. Entomol. Res. 85(4):549–555.

Widiarta IN. 2005. Wereng hijau (Nephotettix virescensDistant): Dinamika populasi dan strategipengendaliannya sebagai vektor penyakit tungro.J. Litbang Pertanian 24(3): 85–92.

Page 32: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

32 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 32–40 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 32 –40, Maret 2014

AKTIVITAS ANTIVIRUS BEBERAPA EKSTRAK TANAMAN TERHADAPBEAN COMMON MOSAIC VIRUS STRAIN BLACK EYE COWPEA

(BCMV-BIC) PADA KACANG PANJANG

Tri Asmira Damayanti & Martha Theresia Panjaitan

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jl. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Antivirus actitivity of several plant extracts against Bean common mosaic virus strain Black eye cowpea (BCMV-BlC) onYard long bean. Bean common mosaic virus (BCMV) is an important virus on yard long bean and it is difficult to control. Oneof control effort way by utilizing antiviral substances of plant origin. The research was done to select and test the effectivenessof plant extracts in suppressing BCMV infection on yard long bean. Twenty two plant extracts were selected by (1) sprayingthe crude extract to Chenopodium amaranticolor leaves, then plant inoculated by BCMV 1 hour after spraying, and (2)mixturing the crude extract with sap containing BCMV, then inoculated mechanically to C. amaranticolor. Local necroticlesion number and inhibition percentage are measured. All plant extract treatments were able to reduce Necrotic lokal lesionformation significantly compared to untreatment control. Further, fifteen plant extracts were selected to test their effectivenessin controlling BCMV on yard long bean in green house trial. The results showed that except geranium and red gingertreatment, other extract treatments were able to reduce significantly the disease incidence and severity, symptoms, and BCMVtiter, respectively. Among tested extracts, Bougainvillea spectabilis, Mirabilis jalapa, and Celosia cristata are the mosteffective crude extracts in suppressing BCMV infection.

Key words: antiviral, bean common mosaic virus, plant extract, yard long bean

ABSTRAK

Aktivitas antivirus beberapa ekstrak tanaman terhadap bean common mosaic virus strain black eye cowpea (bcmv-blc)pada kacang panjang. Bean common mosaic virus (BCMV) merupakan virus yang penting pada tanaman kacang panjangdan diketahui sulit dikendalikan. Salah satu upaya pengendalian yang layak untuk dikaji adalah pemanfaatan substansiantivirus asal tanaman. Penelitian ini bertujuan menyeleksi dan menguji ekstrak tanaman yang bersifat antivirus dalammengendalikan infeksi BCMV di rumah kaca. Ekstrak tanaman potensial diseleksi dari 22 spesies tanaman, dengan cara (1)penyemprotan ekstrak kasar ke tanaman indikator Chenopodium amaranticolor kemudian diinokulasi BCMV 1 jam setelahpenyemprotan, dan (2) mencampur ekstrak kasar dengan sap yang mengandung BCMV, kemudian diinokulasi ke tanaman C.amaranticolor. Peubah pengamatan terdiri dari jumlah lesio lokal nekrotik (LLN) dan persentase penghambatan LLN. Semuaperlakuan ekstrak tanaman mampu menghambat pembentukan LLN secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Efikasi 15ekstrak tanaman menunjukkan bahwa kecuali ekstrak geranium dan jahe merah, perlakuan ekstrak tanaman lainnya mampumereduksi kejadian penyakit, keparahan penyakit, gejala, dan titer BCMV. Diantara ekstrak yang diuji, ekstrak daun bogenvil,pukul empat, dan jengger ayam merupakan ekstrak yang paling efektif menekan BCMV pada kacang panjang.

Kata kunci: antivirus, bean common mosaic virus, ekstrak tanaman, kacang panjang

PENDAHULUAN

Produktivitas kacang panjang di Indonesiacenderung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun (BPS,2012). Udayashankar et al. (2010) menyatakan bahwapenyakit virus memberikan kontribusi yang besarterhadap penurunan produksi kacang panjang terutamadi daerah Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Salah satuupaya untuk mengendalikan virus adalah dengan

pemanfaatan substansi antivirus dari ekstrak tanamanyang dilaporkan mampu mengendalikan beberapa viruskarena mengandung ribosome inactivating proteins(RIPs) (Verma et al., 1998) dan juga merupakan salahsatu agen yang dapat menginduksi ketahanan sistemiksuatu tanaman (Rusak et al., 1997; Deephti et al., 2007).Beberapa ekstrak tanaman seperti daun pukul empat,jengger ayam, dan daun patah tulang pernah dilaporkanefektif mengendalikan Tobacco mosaic virus (TMV),

Page 33: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Damayanti & Panjaitan Aktivitas Antivirus Beberapa Ekstrak Tanaman 33

Tomato mosaic virus (ToMV), Tomato spotted wiltvirus (TSWV), Potato virus Y (PVY), dan Potatospindle tuber viroid (PSTVd) (Kubo et al., 1990;Balasaraswathi et al., 1998; Vivanco et al., 1999;Balasubrahmanyam et al., 2000; Rajesh et al., 2005;Mahdy et al., 2010; Madhusudhan et al., 2011). Daunpagoda dan daun pukul empat dilaporkan efektifmengendalikan Cucumber mosaic virus (CMV) padacabai (Hersanti, 2004), virus gemini pada cabai (Duriat,2008) dan ekstrak kasar yang dibuat dengan air jugadilaporkan mampu menekan BCMV di rumah kacadengan aplikasi semprot (Kurnianingsih & Damayanti,2012).

Pada tahun 2008-2009 terjadi ledakan penyakitmosaik kuning pada tanaman kacang panjang yangmeluas di beberapa daerah di Jawa Barat dan JawaTengah. Salah satunya disebabkan oleh BCMV strainBlack eye cowpea (BCMV-BlC) (Damayanti et al.,2009). Upaya yang dianjurkan untuk mengatasi penyakittumbuhan adalah menggunakan varietas tahan atautoleran jika tersedia. Beberapa kultivar komersial yangada saat ini dilaporkan rentan terhadap infeksi BCMV(Setyastuti, 2008; Susetio, 2011), sehingga sampai saatini BCMV belum teratasi di lapangan. Oleh karena ituperlu dikaji upaya pengendalian lain yang dapatdieksplorasi seperti pemanfaatan ekstrak tanaman.Indonesia memiliki kekayaan plasma nutfah tumbuhanyang melimpah. Namun, di Indonesia belum banyakinformasi terkait ekstrak-ekstrak tanaman yangberpotensi sebagai antivirus terhadap BCMV atauterhadap virus-virus lainnya. Oleh karena itu tujuan daripenelitian ini ialah menyeleksi dan menguji potensiantivirus asal tanaman hias dan herbal untukmengendalikan BCMV pada kacang panjang.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan diLaboratorium Virologi Tumbuhan dan rumah kacaCikabayan, Dramaga, Bogor dari bulan Januari sampaiJuni 2013.

Perbanyakan Inokulum. Isolat BCMV strain Blackeye cowpea (BCMV-BlC) diperoleh dari koleksiLaboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen ProteksiTanaman. Sumber inokulum diperbanyak denganmenginokulasikan secara mekanis kacang panjangkultivar Parade berumur 7 hari setelah tanaman (HST)dengan cairan tanaman sakit (sap). Inokulum digerusmenggunakan mortar dan pistil steril bersama buferfosfat pH 7.2 yang mengandung 1% β-mercaptoethanol

(ditambahkan sebelum digunakan), denganperbandingan inokulum dan bufer adalah 1:10 (b/v).Inokulum yang terdapat pada mortar dipersiapkan di atases. Daun pertama kacang panjang sehat ditaburicarborundum 600 mesh, lalu sap diinokulasi secaramekanis. Setelah diinokulasi daun dibilas dengan akuadesdan dipelihara sampai tanaman bergejala. Sebagaisumber inokulum digunakan daun muda yang bergejala.

Pembuatan Ekstrak Tanaman. Ekstrak kasar dibuatberdasarkan protokol yang dikemukakan oleh Deepthiet al. (2007) dengan modifikasi minor, yaitu rasio bahantanaman dan bufer 1:5 (b/v) dan tanpa sonikasi. Ekstrakkasar dibuat dari 10 g bahan tanaman (daun/ kulit buah/rimpang) yang digerus dengan mortar dan pistil dalam50 ml 0,01 M bufer fosfat pH 7,2. Ekstrak kemudiandisaring dengan kain kasa dan disentrifugasi padakecepatan 10.000 rpm selama 10 menit. Supernatanyang didapat digunakan untuk pengujian.

Seleksi Ekstrak Tanaman Potensial padaChenopodium amaranticolor. Seleksi ekstrak tanamanpotensial dilakukan pada tanaman indikatorC. amaranticolor umur 2 bulan yang diberi perlakuanekstrak tumbuhan dan diinokulasi dengan BCMV.Ekstrak kasar yang diseleksi adalah termasuk (1)tanaman hias yaitu anyelir (Dianthus caryophyllus),daun bogenvil (Bougenvillia spectabilis), daun cemarakipas (Thuja orientalis), daun geranium (Pelargoniumodoranthisimum), daun jengger ayam (Celosiacristata), daun pagoda (Clerodendrum paniculatum),daun patah tulang (Euphorbia tirucalli), daun pukulempat (Mirabilis jalapa) dan (2) tanaman herbal yaiturimpang jahe merah (Zingiber officinale), daun jambubiji (Psidium guajava), daun kecubung (Daturastramonium), rimpang kunyit (Curcuma domestica),rimpang kunyit putih (Curcuma manga), kulit manggis(Garcinia mangostana), daun meniran (Phylanthusniruri), daun mimba (Azadirachta indica), daun mricokepyar (Phytollacca sp.), daun pegagan (Cantellaasiatica), daun sambiloto (Andrographis paniculata),daun sirsak (Annona muricata), rimpang temulawak(Curcuma xanthorizzha), dan daun tempuyung(Sonchus arvensis).

Pada tahap seleksi untuk mendapatkan ekstraktanaman yang potensial dilakukan dengan 2 metode.Metode (1) untuk mengetahui apakah ekstrak tanamanmampu menginduksi ketahanan sistemik, ekstrak kasardisemprotkan ke tanaman indikator C. amaranticolor,1 jam kemudian diinokulasi mekanis dengan BCMV danmetode (2) untuk mengetahui apakah ekstrak tanaman

Page 34: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

34 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 32–40

mengandung bahan yang bersifat antivirus, ekstrak kasardicampur dengan sap yang mengandung BCMV denganperbandingan 1:1, kemudian diinokulasi bersamaan ketanaman C. amaranticolor. Tanaman kontrol sakit tidakdiberi perlakuan ekstrak tanaman, tetapi hanyadiinokulasi dengan BCMV. Tanaman kontrol sehat tidakdiberi perlakuan apapun. Setiap perlakuan terdiri dari 5daun sebagai ulangan.

Penanaman Tanaman Uji. Tanaman uji yangdigunakan adalah kacang panjang kultivar Parade.Kacang panjang ditanam pada media tanam tanah danpupuk kandang dengan perbandingan 2:1 di dalampolybag. Tanaman uji dipelihara di rumah kaca.

Efikasi Ekstrak Potensial. Sebanyak 15 ekstraktanaman dipilih berdasarkan seleksi awal yaitu ekstraktanaman yang menunjukkan jumlah LLN terendah padaperlakuan pencampuran sap. Tanaman kontrol sakittidak diberi perlakuan ekstrak tanaman, tetapi hanyadiinokulasi dengan BCMV. Tanaman kontrol sehat tidakdiberi perlakuan apapun. Tiap perlakuan ekstrak diujipada 15 tanaman kacang panjang sebagai ulangan.Ekstrak tanaman dicampur dengan sap tanaman sakitdengan perbandingan 1:1, kemudian diinokulasi mekaniske tanaman kacang panjang umur 7 hari setelah tanam(HST).

Deteksi BCMV Secara Serologi. Deteksi virusdilakukan pada 4 MSI dengan metode serologi ELISAtidak langsung (indirect-ELISA) dengan menggunakanantiserum BCMV sesuai dengan protokol yang dibuatoleh produsen antiserum (Agdia). Hasil ELISA dianalisissecara kuantitatif dengan ELISA reader pada panjanggelombang 405 nm. Sampel dinyatakan positif jika nilaiabsorbansi ELISA (NAE) sampel uji 2 kali lebih besardaripada NAE kontrol negatif ELISA (tanaman sehat).

Peubah Pengamatan. Peubah pengamatan yangdiamati adalah sebagai berikut:

a. Peubah pengamatan seleksi ekstrak tanamanpada C. amaranticolor, yaitu:1. Jumlah lesio lokal nekrotik (LLN) yang muncul

setelah perlakuan pada 10 hari setelah inokulasi(HSI)

2. Tingkat Hambatan Relatif (THR) lesio lokalnekrotik:

dengan:THR = tingkat hambatan relatif,K = jumlah lesio lokal nekrotik pada kontrol, danP = jumlah lesio lokal nekrotik yang diberi perlakuan.

b. Peubah pengamatan pada efikasi ekstraktanaman dalam menekan BCMV dirumah kaca,yaitu:

1. Persentase kejadian penyakit (KP) dihitung denganrumus:

2. Keparahan penyakit diamati pada 4 minggu setelahinokulasi (MSI) BCMV. Kategori skor yangdigunakan, yaitu skor 0 (tidak bergejala), skor 1(gejala mosaik ringan), skor 2 (gejala mosaik sedang),skor 3 (gejala mosaik berat), skor 4 (gejala mosaikberat dengan malformasi daun yang parah, kerdil,atau mati) (Gambar 1).

3. Periode inkubasi virus dihitung sejak virus diinokulasihingga munculnya gejala pada tanaman

4. Pengamatan jenis gejala yang muncul setelahperlakuan

5. Titer virus dalam tanaman kacang panjang ditentukanberdasarkan NAE

6. Tingkat Hambatan Relatif (THR) virus dihitungdengan rumus:

dengan:A = NAE kontrol terinfeksi BCMV danB = NAE perlakuan

Analisis Data. Pada tahap seleksi terdiri dari 23perlakuan (22 perlakuan ekstrak tanaman, 1 kontrol tanpaperlakuan) diuji pada 5 daun C. amaranticolor sebagaiulangan untuk tiap perlakuan ekstrak tanaman. Pada ujiefikasi perlakuan terdiri dari 17 perlakuan (15 perlakuanekstrak tanaman, kontrol sehat, dan kontrol tanpa ekstraktanaman diinokulasi BCMV). Tiap perlakuan ekstrakdiuji pada 15 tanaman kacang panjang sebagai ulangan.Rancangan percobaan yang digunakan adalahrancangan acak lengkap (RAL). Data yang diperolehdianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA)menggunakan program Microsoft Office Excel 2007 danSPSS versi 17.0 (Statistical Package for SocialSciences, USA). Pengaruh perlakuan yang berbedanyata dilakukan uji lanjut dengan uji selang bergandaDuncan (DMRT) pada taraf nyata 5%.

%100K

P)-(K THR

%100idiinokulasaman Jumlah tan

feksiaman terinJumlah tan KP

%100A

B-A virusTHR

Page 35: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Damayanti & Panjaitan Aktivitas Antivirus Beberapa Ekstrak Tanaman 35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lesio Lokal Nekrotik (LLN). Secara umum semuaperlakuan semprot ekstrak tanaman menunjukkan LLNyang nyata lebih sedikit dibandingkankan dengan kontroltanpa perlakuan yang diinokulasi BCMV. Perlakuansemprot ekstrak daun pukul empat bahkan tidakmenunjukkan LLN. THR LLN yang ditunjukkan olehperlakuan semprot dari yang terendah (mrico kepyar)sampai tertinggi (pukul empat) berkisar 27,3-100%(Tabel 1).

Pada perlakuan pencampuran sap dengan ekstraktanaman juga menunjukkan jumlah lesio lokal nekrotikyang nyata lebih sedikit dibandingkan dengan kontroltanpa perlakuan yang diinokulasi BCMV, kecualiperlakuan ekstrak patah tulang, meniran, kunyit putih,pegagan, sambiloto dan sirsak. THR LLN yangditunjukkan oleh perlakuan pencampuran dari yang

terendah (patah tulang) sampai tertinggi (pukul empat)berkisar 8,2-97,4% (Tabel 1).

Ekstrak tanaman yang mampu menghambatpembentukan LLN hanya pada perlakuan semprotdiduga hanya dapat menginduksi ketahanan sistemikseperti yang ditunjukkan oleh perlakuan ekstrakpegagan, sirsak, sambiloto, meniran, patah tulang, dankunyit putih (Tabel 1, Perlakuan semprot). Perlakuanekstrak tanaman yang menunjukkan secara nyatamenghambat pembentukan LLN pada perlakuanpencampuran sap diduga mengandung substansiantivirus, kecuali perlakuan ekstrak patah tulang,meniran, kunyit putih, pegagan, sambiloto dan sirsak.Ekstrak kunyit menunjukkan LLN yang nyata lebihrendah dibandingkan kontrol pada kedua perlakuan,namun THR LLN pada kedua perlakuan terutamaperlakuan pencampuran sap dibawah 50%, sehinggatidak dipilih untuk diuji keefektifannya di rumah kaca.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan ekstrak kasar tanaman terhadap jumlah lesio lokal nekrotik (LLN) dan tingkat hambatanrelatif (THR) pada C. amaranticolor

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan ujiselang berganda Duncan α= 0,05. a Ekstrak rimpang.

Perlakuan Perlakuan semprot Perlakuan pencampuran sap

LLN THR (%) LLN THR (%)

Anyelir 26,6 ± 13,8 ef 50,2 ± 12,6 bcd 7,0 ± 3,4 ab 82,0 ± 14,1 d Bogenvil 15,6 ± 9,5 bcde 68,1 ± 22,4 cde 4,8 ± 5,5 ab 89,5 ± 12,7 d Cemara kipas 25,4 ± 12,7 def 49,3 ± 14,9 bcd 7,5 ± 1,3 ab 84,5 ± 5,7 d Geranium 4,6 ± 2,3 ab 90,2 ± 6,8 ef 11,2 ± 4,6 ab 74,9 ± 14,7 cd Jengger ayam 3,2 ± 2,6 ab 93,4 ± 5,8 ef 5,6 ± 4,2 ab 85,0 ± 13,0 d Pagoda 0,8 ± 1,0 a 98,7 ± 1,4 f 1,4 ± 1,9 a 96,1 ± 5,7 d Patah tulang 6,7 ± 2,3 ab 83,6 ± 10,1 ef 45,4 ± 14,0 c 8,2 ± 23,1 b Pukul empat 0,0 ± 0,0 a 100,0 ± 0,0 f 1,4 ± 2,2 a 97,4 ± 3,5 d Jahe meraha 12,6 ± 6,8 abcd 72,8 ± 15,4 def 7,4 ± 7,5 ab 80,6 ± 25,0 d Jambu biji 4,4 ± 3,2 ab 89,6 ± 8,5 ef 1,4 ± 1,9 a 96,2 ± 5,1 d Kecubung 3,4 ± 3,2 ab 92,8 ± 7,0 ef 9,2 ± 2,8 ab 79,3 ± 10,3 d Kunyita 23,0 ± 7,9 def 50,0 ± 27,6 bcd 22,0 ± 14,9 b 49,1 ± 41,7 c Kunyit putiha 20,8 ± 13,6 cdef 51,5 ± 40,4 bcd 47,6 ± 19,7 c 5,4 ± 30,2 b Kulit Manggis 4,8 ± 5,7 ab 86,5 ± 18,5 ef 4,4 ± 0,9 ab 90,6 ± 3,2 d Meniran 4,7 ± 3,8 ab 87,4 ± 13,7 ef 77,0 ± 23,9 d -56,9 ± 36,7 a Mimba 6,8 ± 2,8 ab 83,6 ± 10,4 ef 3,6 ± 3,3 ab 91,3 ± 9,5 d Mrico kepyar 32,6 ± 1,9 f 27,3 ± 29,9 b 8,0 ± 3,1 ab 81,6 ± 11,1 cd Pegagan 0,6 ± 1,3 a 99,3 ± 1,6 f 40,0 ± 20,0 c 18,9 ± 57,7 b Sambiloto 4,2 ± 1,1 ab 90,1 ± 6,0 ef 47,4 ± 23,8 c 11,4 ± 9,6 b Sirsak 1,4 ± 3,1 ab 95,6 ± 9,8 f 53,0 ± 14,7 c -9,8 ± 32,3 b Tempuyung 8,2 ± 5,5 abc 79,7 ± 16,6 ef 4,4 ± 0,9 ab 90,1 ± 4,5 d Temulawaka 26,4 ± 17,8 ef 44,9 ± 30,4 bc 6,0 ± 3,5 ab 86,8 ± 10,5 d Kc Panjang Sakit 52,8 ± 24,9 g 0,0 ± 0,0 a 52,8 ± 24,9 c 0,0 ± 0,0 b

Page 36: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

36 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 32–40

Berdasarkan THR LLN perlakuan pencampuransap yang menunjukkan THR diatas 70%, maka sebanyak15 ekstrak tanaman yaitu anyelir, bogenvil, cemara kipas,jengger ayam, pagoda, pukul empat, geranium, jahemerah, jambu biji, kecubung, kulit manggis, mimba, mricokepyar, tempuyung, dan temulawak dipilih untuk diujikeefektifannya dalam mengendalikan BCMV padakacang panjang. Ekstrak tanaman yang dipilih untuk diujikeefektifannya dalam mengendalikan BCMV padakacang panjang adalah yang menunjukkan secara nyatajumlah LLN yang terendah terutama pada perlakuanpencampuran sap dan juga jumlah LLN nyata lebihrendah pada perlakuan semprot jika dibandingkan kontroltanpa perlakuan (Tabel 1).

Pengaruh Ekstrak Tanaman terhadap InfeksiBCMV pada Tanaman Kacang Panjang

Kejadian Penyakit. Perlakuan ekstrak tanamanmampu menekan kejadian penyakit lebih rendah daripada kontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan dengankisaran 0-53,3%. Namun perlakuan ekstrak tanamangeranium dan jahe merah menunjukkan kejadian penyakitsama dengan tanaman kacang panjang sakit tanpaperlakuan (100%) (Tabel 2).

Periode Inkubasi. Tanaman yang diberi perlakuanekstrak tanaman menunjukkan periode inkubasicenderung lebih panjang dari tanaman kacang panjangsakit tanpa perlakuan (Tabel 2). Perlakuan ekstraktanaman bogenvil, jengger ayam, dan pukul empat tidakmenunjukkan adanya gejala sehingga tidak ada periodeinkubasi.

Keparahan Penyakit. Perlakuan ekstrak tanamannyata menurunkan keparahan penyakit dibandingkankontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan, kecualiperlakuan ekstrak tanaman geranium dan jahe merah.Keparahan penyakit terendah ditunjukkan oleh perlakuanekstrak tanaman jengger ayam, bogenvil, dan pukulempat, walaupun secara statistik tidak berbeda nyatadengan keparahan penyakit perlakuan ekstrak tanamanpagoda, anyelir, cemara kipas, mrico kepyar, kecubung,jambu biji, dan tempuyung. Ekstrak kulit manggis dantemulawak nyata menurunkan keparahan penyakitdibandingkan tanaman kacang panjang sakit tanpaperlakuan, namun menunjukkan keparahan yang lebihtinggi dibandingkan perlakuan ekstrak lainnya (Tabel 3).

Gejala. Gejala yang muncul akibat infeksi BCMV padatanaman perlakuan adalah bervariasi tergantung

Tabel 2. Pengaruh ekstrak kasar tanaman terhadap kejadian penyakit (KP) dan periode inkubasi BCMV padakacang panjang

1 n: jumlah tanaman yang terinfeksi, N: jumlah tanaman yang diamati (KP = n/N x 100%), dikonfirmasi denganELISA ,2 HSI: Hari setelah inokulasi, 3 tidak ada gejala.

Perlakuan KP (n/N)1 (%) Periode inkubasi (HSI2)

Anyelir 1/15 (6,7%) 8,0 Bogenvil 0/15 (0,0%) -3 Cemara kipas 1/15 (6,7%) 7,0 Geranium 15/15 (100,0%) 7,6 Jengger ayam 0/15 (0,0%) - Pagoda 1/15 (6,7%) 12,0 Pukul empat 0/15 (0,0%) - Jambu biji 2/15 (13,3%) 7,5 Rimpang jahe merah 15/15 (100,0%) 7,4 Kecubung 2/15 (13,3%) 8,5 Kulit manggis 5/15 (33,3%) 8,4 Mimba 2/15 (13,3%) 11,0 Mrico kepyar 1/15 (6,7%) 10,0 Tempuyung 2/15 (13,3%) 7,0 Rimpang temulawak 8/15 (53,3%) 8,5 Kacang panjang sakit 15/15 (100,0%) 7,5 Kacang panjang sehat 0/15 (0,0%) -

Page 37: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Damayanti & Panjaitan Aktivitas Antivirus Beberapa Ekstrak Tanaman 37

A C B

F G H

D

E

Gambar 1. Gejala daun kacang panjang terinfeksi BCMV (B-H) dan daun sehat (A). Skor keparahan penyakitberdasarkan gejala visual. (A) Skor 0; sehat, (B) skor 1; mosaik ringan disertai pemucatan tulang daun,(C) Skor 2: mosaik sedang, (D) Skor 3: mosaik berat, (E) Skor 4: mosaik berat disertai malformasi daunyang parah, (F) Klorosis, (G-H) Klorosis dengan penebalan tulang daun.

Tabel 3. Pengaruh perlakuan ekstrak tanaman terhadap keparahan penyakit dan gejala pada kacang panjang

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan ujiselang berganda Duncan α= 0,05, K= klorosis, MR= mosaik ringan, MS= mosaik sedang, MB = mosaik berat,MD= malformasi daun, Pb= penebalan tulang daun, Pm= pemucatan tulang daun, dan - = tidak ada gejala.

Perlakuan Rata-rata skor keparahan penyakit

THR Keparahan penyakit (%) Gejala

Anyelir 0,1 ± 0,5 a 96,7 ± 12,9 c Pm Bogenvil 0,0 ± 0,0 a 100,0 ± 0,0 c - Cemara kipas 0,2 ± 0,8 a 95,0 ± 19,4 c Mr Geranium 2,9 ± 0,4 d 0,0 ± 0,0 a Pb, MS, MB, MD Jengger ayam 0,0 ± 0,0 a 100,0 ± 0,0 c - Pagoda 0,1 ± 0,3 a 98,3 ± 6,5 c K Pukul empat 0,0 ± 0,0 a 100,0 ± 0,0 c - Jambu biji 0,4 ± 1,1 ab 90,0 ± 26,4 c MR, MS Rimpang jahe merah 2,5 ± 0,9 d 10,0 ± 12,7 a Pb, MS, MB, MD Kecubung 0,3 ± 0,9 a 88,9 ± 30,0 c Pm, MS Kulit manggis 1,1 ± 1,5 bc 70,0 ± 44,5 b K, Pm, MS Mimba 0,4 ± 1,1 ab 90,0 ± 26,4 c MR, MS Mrico kepyar 0,2 ± 0,8 a 95,0 ± 19,4 c MR Tempuyung 0,4 ± 1,1 ab 90,0 ± 26,4 c Pm, MS Rimpang temulawak 1,7 ± 1,6 c 55,0 ± 44,5 b Pm, MR, MS Kacang Panjang sakit 2,9 ± 0,4 d 0,0 ± 0,0 a Pb, MS, MB, MD Kacang Panjang sehat 0,0 ± 0,0 a 100,0 ± 0,0 c -

Page 38: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

38 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 32–40

perlakuan ekstrak tanaman dan keparahan penyakit(Tabel 3). Gejala yang dapat dilihat mulai dari mosaikringan dengan pemucatan tulang daun (vein clearing),mosaik sedang, mosaik berat dengan atau tanpamalformasi daun, klorosis, dan penebalan tulang daun(vein banding) (Gambar 1b-h). Tanaman perlakuanekstrak geranium, jahe merah, dan tanaman kacangpanjang sakit tanpa perlakuan menunjukkan gejalapenebalan tulang daun, mosaik sedang sampai berat yangdisertai malformasi daun (Gambar 1c-d dan 1g-h).Sedangkan tanaman perlakuan lainnya menunjukkangejala yang lebih ringan berupa klorosis, pemucatantulang daun, mosaik ringan hingga mosaik sedang(Gambar 1.b, c, f). Hanya tanaman yang diberi perlakuanekstrak daun jengger ayam, bogenvil, dan pukul empatyang tidak menunjukkan adanya gejala (Tabel 3).

Titer BCMV. Pada perlakuan ekstrak tanamanbogenvil, pukul empat, dan jengger ayam tidak terdeteksiBCMV. Hal ini mengonfirmasi ketiadaan kejadian dankeparahan penyakit. Sedangkan perlakuan lainnya positifterdeteksi BCMV, namun NAE nyata lebih rendahdibandingkan dengan tanaman kacang panjang sakittanpa perlakuan, kecuali perlakuan ekstrak mimba, kulitmanggis, jahe merah, temulawak, dan geranium (Tabel4).

THR Titer Virus. Perlakuan ekstrak tanaman mampumenghambat titer BCMV bila dibandingkan dengankontrol terinfeksi BCMV tanpa perlakuan (kacangpanjang sakit), kecuali perlakuan ekstrak tanamanmimba, kulit manggis, jahe merah, temulawak, dangeranium yang tidak berbeda nyata THRnya dengankontrol (kacang panjang sakit). THR titer BCMV yangditunjukkan oleh perlakuan ekstrak tanaman bogenvil,pukul empat dan jengger ayam paling tinggi (100%)dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 4).

Semua ekstrak tanaman yang diuji memilikikemampuan dalam menekan BCMV pada C.amaranticolor pada perlakuan semprot, namun tidakdemikian pada perlakuan pencampuran sap. Perlakuanpencampuran sap ekstrak patah tulang, kunyit putih,meniran, pegagan, sambiloto dan sirsak tidak mampumenekan LLN seperti perlakuan lainnya. Kedua caraaplikasi ekstrak tanaman dapat dimanfaatkan denganmudah dalam seleksi ekstrak tanaman, mikroba nonpatogenik, atau agens hayati lainnya untuk mendapatkanagens yang bersifat sebagai penginduksi ketahanansistemik ataupun yang mengandung aktivitas antivirus.

Lima belas ekstrak tanaman hasil seleksimenunjukkan konsistensi dalam menekan BCMV padakacang panjang, kecuali ekstrak daun geranium dan jahe

Tabel 4. Pengaruh perlakuan ekstrak kasar tanaman terhadap nilai absorbansi ELISA (NAE)

Perlakuan NAE Keterangan THR virus (%)

Anyelir 0,673 ± 1,127 ab + 81,0 ± 42,4 cd Bogenvil 0,160 ± 0,008 a - 100,0 ± 0,0 d Cemara kipas 0,595 ± 1,029 ab + 82,8 ± 38,4 cd Geranium 2,875 ± 0,066 e + -4,0 ± 3,0 a Jengger ayam 0,173 ± 0,009 a - 100,0 ± 0,0 d Pagoda 0,670 ± 1,126 ab + 80,7 ± 43,1 cd Pukul empat 0,167 ± 0,008 a - 100,0 ± 0,0 d Jambu biji 0,748 ± 1,286 ab + 78,5 ± 48,1 cd Rimpang jahe merah 2,455 ± 0,311 cde + 4,1 ± 10,0 ab Kecubung 0,631 ± 1,059 ab + 81,5 ± 41,3 cd Kulit manggis 1,447 ± 1,301 abcd + 50,3 ± 49,0 bcd Mimba 1,742 ± 1,443 bcde + 39,1 ± 55,7 abc Mrico kepyar 1,104 ± 1,299 ab + 63,8 ± 49,6 cd Tempuyung 1,222 ± 1,448 abc + 59,5 ± 55,4 cd Rimpang temulawak 2,667 ± 0,294 de + 3,4 ± 12,1 ab Kacang panjang sakit 2,764 ± 0,049 e + 0,0 ± 0,0 ab Kacang panjang sehat 0,194 ± 0,014 a - 100,0 ± 0,0 d

Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada lajur yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata berdasarkan ujiselang berganda Duncan α= 0,05. NAE Kontrol negatif ELISA: 0,182, NAE kontrol positif ELISA: 3,083. Ujidinyatakan positif jika NAE sampel dua kali NAE kontrol negatif ELISA (positif jika NAE > 0,364).

Page 39: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Damayanti & Panjaitan Aktivitas Antivirus Beberapa Ekstrak Tanaman 39

merah. Geranium (Pelargonium pratense) dilaporkanmemiliki senyawa flavonoid dan polifenol yang memilikiefek antivirus terhadap infeksi TMV pada kultivarsensitif Cucurbitacea (Orazov & Nikitana, 2004), tetapitidak demikian terhadap BCMV. Hal ini menunjukkanbahwa efek antivirus geranium tergantung pada spesiesvirus dan spesies tanaman (penelitian ini menggunakanPelargonium odoranthisimum).

Ekstrak tanaman jengger ayam, bogenvil, pukulempat, pagoda, anyelir, cemara kipas, mrico kepyar,kecubung, jambu biji, dan tempuyung secara nyatamampu menekan BCMV. Kandungan bouganin padabogenvil, Mirabilis Antiviral Protein (MAP) padabunga pukul empat serta Celosia cristata protein(CCP) pada jengger ayam diduga bersifat antivirus(Habuka et al. , 1991; Bolognesi et al. , 1997;Balasubrahmanyam et al., 2000). Namun proteinantivirus pada ekstrak tanaman lainnya belum diketahui.Mekanisme penekanan virus tumbuhan oleh ekstraktanaman, tidak hanya karena induksi ketahanan dankandungan protein antivirus. Tetapi dapat karenakandungan senyawa aktif dalam tanaman sepertiflavonoid, terpenoid, coumarin, tanin, quercetin, saponindan fenol. Menurut Jassim & Naji (2003), senyawaflavonoid dan caumarin bekerja menghalangi sintesisRNA, senyawa terpenoid dan saponin menghambatsintesis DNA, senyawa tannin dan fenol menghambatreplikasi RNA dan DNA virus, sedangkan quercetinmampu menghambat enzim transkriptase danpolimerase. Flavonoid dilaporkan mengganggu interaksiprotein selubung dan reseptor inang yang penting dalamreplikasi Potato virus X dan Tomato bushy stunt virus(French & Towers, 1992; Rusak et al., 1997). Olehkarena itu perlu diteliti lebih lanjut mekanisme penekananBCMV oleh ekstrak tanaman potensial yang didapatkandalam penelitian ini.

SIMPULAN

Seleksi ekstrak tanaman pada C. amaranticolormenunjukkan semua ekstrak yang diuji mampu menekanlesiolokal nekrotik (LLN) secara nyata melalui carasemprot dan pencampuran sap, kecuali perlakuanekstrak patah tulang, meniran, kunyit, kunyit putih,pegagan, sambiloto dan sirsak yang tidak mampumenekan LLN pada perlakuan pencampuran sap.Efikasi lima belas ekstrak tanaman dalam menekanBCMV pada kacang panjang di rumah kacamenunjukkan sebelas ekstrak tanaman diantaranya(jengger ayam, bogenvil, pukul empat, pagoda, anyelir,cemara kipas, mrico kepyar, kecubung, jambu biji, dan

tempuyung) efektif menekan keparahan dan titer BCMVdibandingkan tanaman kacang panjang sakit tanpaperlakuan. Diantara ekstrak yang diuji ekstrak tanamanbogenvil, pukul empat, dan jengger ayam paling efektifmengeliminasi BCMV.

SANWACANA

Penelitian ini terlaksana atas dana PenelitianUnggulan Strategis Nasional Dirjen DIKTI yang telahdiberikan kepada penulis melalui DIPA IPB dengan SPKNo. 5/IT3.41.2/LI/SPK/2013. Terima kasih kepada DitaMegasari S.P., Nicko Surya S.P. dan Edi Supardi atasbantuannya selama penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi sayurandi Indonesia. Jakarta (ID): Badan PusatStatistik. Tersedia pada: http://www.bps.go.id /tab_sub/view.php.diunduh 20 Nopember 2012.

Balasaraswathi R, Sadasivam S, Ward M, & WalkerJM. 1998. An antiviral protein fromBougainvillea spectabilis roots, purification andcharacterization. Phytochemistry 47(8): 1561–1565.

Balasubrahmanyam A, Baranwal VK, Lodha ML,Varma A, & Kapoor HC. 2000. Purificarion andproperties of growth stage-dependent antiviralproteins from the leaves of Celosia cristata.Plant Sci.154(1): 13–21.

Bolognesi A, Polito L, Olivieri F, Valbonesi P, BarbieriL, Battelli MG, Carussi MV, Benvenuto E, DelVechio Blanco F, Di Maro A, Parente A.Di Loreto & M. Stirpe F. 1997. New ribosomeinactivating proteins with polynucleotide:adenosine glycosidase and antiviral activities fromBasella rubra L. and Bougainvillea spectabilisWilld. Planta 203(4): 422–429.

Damayanti TA, Alabi OJ, Naidu RA, & Rauf A. 2009.Severe outbreak of a yellow mosaic disease onthe yard long bean in Bogor, West Java. HayatiJ. Biosci.16(2): 78–82.

Deepthi N, Madhusudhan KN, Udayashankar AC,Kumar HB, Prakash HS, & Shetty HS. 2007.Effect of plant extracts and acetone precipitatedproteins from six medicinal plants againsttobamovirus infection. Int. J. Virol. 3(2): 80–87.

Page 40: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

40 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 32–40

Duriat AS. 2008. Pengaruh ekstrak bahan nabati dalammenginduksi ketahanan cabai terhadap vektor danpenyakit keriting kuning. J. Hortikultura 18(4):446–456.

French CJ & Towers GHN. 1992. Inhibition of infectivityof Potato virus X by flavonoids. Phytochemistry31(9): 3017–3020.

Habuka N, Miyano M, Kataoka J, & Noma M. 1991.Escherichia coli ribosome is inactivated byMirabilis antiviral protein which cleaves the N-glycosidic bond at A2660 of 23 S ribosomal RNA.J. Mol. Biol. 221(3): 737–743.

Hersanti. 2004. Pengaruh Ekstrak Beberapa Tumbuhandalam Menginduksi Ketahanan SistemikTanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L. )terhadap Cucumber Mosaic Virus (CMV).Disertasi. Sekolah Pascasarjana. UniversitasPadjadjaran, Bandung.

Jassim SAA & Naji MA. 2003. Novel antiviral agents:a medicinal plant perspective. J. Appl. Microbiol.95(3): 412–427.

Kubo S, Ikeda T, Imaizumi S, Takanami Y, & Mikami Y.1990. A potent plant virus inhibitor found inMirabilis jalapa L. Ann. Phytopath. Soc.Japan 56(4): 481–487.

Kurnianingsih L & Damayanti TA. 2012. Lima ekstraktumbuhan untuk menekan infeksi Bean commonmosaic virus pada tanaman kacang panjang. J.Fitopatol. Indones. 8(6): 155–160.

Madhusudhan KN, Vinayarani G, Deepak SA, NiranjanaSR, Prakash HS, Singh GP, Sinha AK, & PrasedBC. 2011. Antiviral activity of plant extracts andother inducers against Tobamoviruses infectionin bell pepper and tomato plants. Int. J. PlantPathol. 2(1): 35–42

Mahdy AMM, Hafez MA, EL-Dougdoug KhA, FawzyRN, & Shahwan ESM. 2010. Effect of two bioticinducers on salicylic acid induction in tomatoinfected with Cucumber mosaic cucumovirus.Egyptian J. Virol. Suplemen: 352-372.

Orazov OE & Nikitina VS. 2004. Phenolic compoundsfrom some species of Geranium L as animmunostimulant antiviral agent at Cucurbitaceaecultures. In: Sadatinejad S, Mohammadi S, SoltaniA, Ranjbar A, (Eds.) Proceedings of The FourthInternational Iran & Russia Conference inAgriculture and Natural Resources Pp 282-284[Internet]. Tersedia pada: http://iirc.narod.ru/4conference/Fullpaper/10072.pdf

Rajesh S, Balasaraswathi R, Doraisamy S, &Sadasivam S. 2005. Synthesis and cloning ofcDNA encoding an antiviral protein from theleaves of Bougainvillea spectabilis Willd.(Nyctaginaceae). World J. Agric. Sci.1(2): 101–104.

Rusak G, Krajacic M, & Plese N. 1997. Inhibition ofTomato bushy stunt virus infection using aquercetagetin flavonoid isolated from Centaurearupestris L. Antiviral Res. 36(2): 125–129.

Setyastuti L. 2008. Tingkat Ketahanan Sembilan KultivarKacang Panjang Terhadap Infeksi Bean commonmosaic virus (BCMV). [Skripsi]. FakultasPertanian, Institut Pertanian Bogor.

Susetio H. 2011. Penyakit Mosaik Kuning KacangPanjang: Respons Varietas Kacang Panjang(Vigna sinensis L.) dan Efisiensi Penularanmelalui Kutudaun (Aphis craccivora Koch.).Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut PertanianBogor.

Udayashankar AC, Nayaka SC, Kumar HB, MortensenCN, Shetty HS, & Prakash HS. 2010. Establishinginoculum threshold levels for Bean commonmosaic virus strain Blackeye cowpea mosaicinfection in cowpea seed. African J. Biotech. 9(53): 8958–8969.

Verma HN, Baranwal VK, & Srivastava S. 1998.Antiviral substances of plant origin. In: Hadidi A,Khetarpal RK, Koganezawa H, eds. PlantViruses Diseases Control. Pp 154–162. APSPress, St. Paul (US):

Vivanco JM, Querci M, & Salazar LF. 1999. Antiviraland antiviroid activity of MAP-containing extractsfrom Mirabilis jalapa roots. Plant Dis. 83(12):1116–1121.

Page 41: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Suharsono & Prayogo Perpaduan antara Pestisida Nabati dan Cendawan Entomopatogen 41 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 41 – 50 , Maret 2014

INTEGRATION OF BOTANICAL PESTICIDEAND ENTOMOPATHOGENIC FUNGI TO CONTROL THE BROWN STINK

BUG RIPTORTUS LINEARIS F. (HEMIPTERA: ALYDIDAE) IN SOYBEAN

Suharsono & Yusmani Prayogo

Indonesian Legume and Tuber Crops Research Institute (ILETRI)Jln. Raya Kendalpayak KM 08, PO.BOX. 66 Malang, 65101

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Integration of botanical pesticide and entomopathogenic fungi to control the brown stink bug Riptortus linearis F.(Hemiptera: Alydidae) in soybean. The efficacy of botanical pesticides i.e. Annona squamosa seed powder (ASP) or Jatrophacurcas seed powder (JSP) integrated with entomopathogenic fungi, Lecanicillium lecanii to control brown stink bug, Riptortuslinearis F. was studied at Muneng Research Station, the Indonesian Legume and Tuber Crops Research Institute (ILETRI) inJune up to September 2011. The purpose of the research was to determine the efficacy of integration the natural pesticides i.e,A. squamosa seed powder (ASP) and Jatropha curcas seed powder (JSP) and entomopathogenic fungi L. lecanii to controlbrown stink bug. The treatments were application of (1) ASP 50 g/l, (2) JSP 50 g/l, (3) ASP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4) JSP 50g/l + L. lecanii 107/ml, (5) L. lecanii 107/ml, (6) deltametrin and (7) control (untreated). Application of ASP and JSP combinedwith L. lecanii decreased the hatched eggs by 84% and 82%, respectively. However, reduction of hactched egg from a singleapplication of ASP and JSP were 56-61% . ASP and JSP combined with L. lecanii reduced both nymphs and adult stink bugpopulation built up and damage (empty pod). Application of ASP and JSP in combination with L. lecanii did not affects thesurvival of generalist predators such as Paederus sp., Oxyopes sp. and Coccinella sp. as opposed to chemical insecticidethat did. The integration of ASP or JSP with entomopthogenic fungi L. lecanii was able to increase the efficacy of brown stinkbug control.

Key words: botanical pesticides, egg mortality, L. lecanii, pod sucking bug, soybean

ABSTRAK

Perpaduan antara pestisida nabati dan cendawan entomopatogen untuk pengendalian hama kepik coklat Riptortuslinearis F. pada tanaman kedelai. Uji efikasi pestisida nabati yakni serbuk biji Annona squamosa (SBS) dan serbuk biji jarak(SBJ) yang dikombinasikan dengan cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii untuk mengendalikan hama kepik coklat(Riptortus linearis F.) telah dilakukan di kebun percobaan (KP) Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbiandi Muneng (Probolinggo) dimulai pada bulan Juni sampai dengan September 2011. Tujuan penelitian ini untuk mengakajiefektifitas perpaduan antara pestisida nabati tepung biji sirsak, Annona squamosa dan tepung biji jarak, Jathropha curcasdengan cendawan entomopatogen L.lecanii untuk pengendalian hama pengisap polong kedelai R. linearis F. Perlakuanadalah: (1) SBS 50 g/l, (2) SBJ 50 g/l, (3) SBS 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4) SBJ 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (5) L. lecanii 107/ml, (6)deltametrin dan (7) tanpa pengendalian. Aplikasi kombinasi SBS, SBJ dengan cendawan L. lecanii mampu menggagalkanpenetasan telur kepik coklat masing-masing 84% dan 82%. Sementara itu, efikasi SBS dan SBJ yang diaplikasikan secaratunggal hanya mampu menggagalkan penetasan telur berkisar 56-61%. Aplikasi SBS dan SBJ yang dikombinasikan dengancendawan L. lecanii mampu menekan jumlah populasi nimfa dan imago pengisap polong maupun kerusakan polong (polonghampa). Aplikasi SBS dan SBJ yang dikombinasikan dengan cendawan L. lecanii tidak berdampak buruk terhadap kelangsunganhidup serangga predator seperti Paederus sp., Oxyopes sp., dan Coccinella sp. dibandingkan dengan insektisida kimia.Integrasi kombinasi pestisida nabati SBS, SBJ dengan cendawan entomopatogen L. lecanii mampu meningkatkan efikasipengendalian hama kepik coklat.

Kata kunci: kedelai, L. lecanii, mortalitas telur, pengisap polong, pestisida nabati

Page 42: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

42 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 41–50

INTRODUCTION

The green stink bug, Nezara viridula F., thelesser green stink bug Piezodorus hybneri Genn. andthe brown stink bug Riptortus linearis F. are the mostimportant species of pod sucking pests of soybean inIndonesia. Based on the population and their distributionin Indonesia Tengkano et al. (2005; 2006) indicated thatbrown stink bug R. linearis is the most dominant speciesamong the three species. Direct feeding of the insectreduce 50% of seed vigor and 80% yield loss,respectively.

At the moment the pest control of soybean pest,including the brown stink bug mainly depends uponchemical insecticides. However, the chemical onlyaffects the nymphs and adults, and does not affects theeggs. Therefore, insecticide application to high populationof brown stink bug is uneffective. Prayogo (2009)investigated the use of spore suspension ofentomopthogenic fungi, Lecanicillium lecanii to controlthe brown stink bug. He found that L. lecanii fungusinfected or colonized eggs of stink bug and the infectiondecreased significantly on hatched of infected eggs. Thisfact suggest that the fungus acts as an ovicidal to thebrown stink bug.

The advantages of L. lecaniii, instead infectstink bug eggs, the fungus also infects both the nymphsand the adults (Prayogo, 2004; Prayogo et al., 2004).In field application, however, the efficacy of fungalconidia will reduce, due to the decrease of their viabilityas the affected by a biotic factor, especially UV rays.Therefore, to maintain their conidial viability in fieldcondition, integrated application with other control agentsthat may synergistic are recommended (Hirose et al.,2001; Depieri et al., 2005; Kim et al., 2010). Thecompatibility of L. lecanii and botanical insecticide ismeasured on vegetative, generative development (in-vitro) that affect on insect mortality (in-vivo) (Castiglioniet al., 2003; Depieri et al., 2005; Prayogo, 2011b). Theyfound a number woody and herbacious plants, such asAnonna seed powder (ASP), Jatropha seed powder(JSP) and Aglaia odorata leaf extract containinsecticidal actions. These plants cause high mortalityof pod stink bug eggs (Prayogo, 2010, 2011a, 2011b). Inaddition, these three plants enhanced the fungusdevelopment as expressed in larger colony and numberof conidia produced by L. lecanii in growth substratcontain plant extracts in-vitro. From previousexperiments it was shown that integrated application ofentomopthogeniic fungi L. lecanii and neem seedpowder increased the effectiveness control by reduction

the number of stink bug nymphs. 50 g/l of Annonasquamosa seed powder (ASP) and Jatropha curcasseed powder (JSP) were the optimum concentrationwhen they were applied with L. lecanii (Prayogo 2010& 2011a). Therefore, the efficacy biological control ofbrown stink bug using natural and entomopthogenic fungiL. lecanii in field condition was studied.

MATERIALS AND METHODS

Study Site. The experiment was conducted at MunengResearch Station (Probolinggo), the Indonesian Legumeand Tuber Crops Research Institute (ILETRI) in Juneto September 2011. The experiment was arranged inrandomized complete block design (RCBD) with threerepetitions. Spraying the stink bugs with (1) ASP 50 g/l,(2) JSP 50 g/l, (3) ASP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4)JSP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (5) L. lecanii 107/ml, (6)deltametrin and (7) control (untreated) were applied.

Insect Preparation. Both nymphs and adults of R.linearis were collected using sweeping net fromsoybean field at Kendalpayak Research Station, Malangin November 2010 and reared in the screen cage andfed with stringbean. Feed was replaced in every twodays using fresh beans. To serve an oviposition site, abundle of fine threads were hanged in the screen. Toavoid variation in development stage of insects all neweggs laid were collected and grouped based on eggoviposition time or periods. All nymphs produced fromlaboratory mass rearing were used in the treatments.

Culture of Entomopthogenic Fungi L. lecanii. Thehigher virulent isolate Ll-JTM1 of L. lecanii (Prayogo,2009) was cultured using potato dextrose agar (PDA)in Petridish (dia. 9 cm). At 21 days after inoculation(DAI), the conidia were harvested using wetted finebrush and suspended in erlenmeyer flask containing strilewater. The conidia suspension was homogenized with 2ml/l Tween 80 and shaked in 30 minutes. Thehaemocytometer was used to calculate conidia densityof 107/ml under microscope.

Preparation of Natural Pesticide. Laboratoryexperiment in 2009 was identified that Annona seedpowder (ASP) and Jatropha seed powder (JSP) werecompatible with L. lecanii to control brown stink bugeggs (Prayogo, 2011a). The dry seeds of Annona andJatropha collected from Probolinggo were finelyground and stored in a refrigerator. The botanicalpesticides were studied under field condition. A 50 g of

Page 43: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Suharsono & Prayogo Perpaduan antara Pestisida Nabati dan Cendawan Entomopatogen 43

each seed powder that was taken either alone or incombine with entomopathogenic fungi, L. lecanii weredissolved with 1 l a strile water in erlenmeyer flasks.

Field Experiment. Soybean seeds of Wilis varietywere grown in 7 m x 5 m rise bed/ plot, 40 cm x 10 cmplant spacing, and maintained two plants/hole. A standardcultivation was used, and fertilized using Urea 50 kg/ha, SP 36 100 kg/ha and KCl 100 kg/ha. At 35 daysafter planting (DAP), 25 freshly eggs were inoculatedon uppersite leaves and sticked using Arabic gum, thenall plants were caged with metal-framed tile screen(Figure 1).

Natural pesticide suspensions either alone or incombination with 107/ml conidia of entomopatogenicfungi, L. lecanii were applied on the caged soybeanonce in the afternoon reduce the effect of UV rays.The dose of 2 ml/plant was applied.

Data Collection. The data collected includes (1) eggmortality, (2) number of normal pods, (3) empty pods(4) seed weight/plant, (5) seed weight/plot, (6) numberof stylet punctures/seed, and (7) predator.

Data Analysis. The data was analyzed using Minitab14. The effect among the treatments were analyzedusing Duncan’s multiple range test (DMRT 5%).

RESULTS AND DISCUSSION

The Egg Mortality. The Annona seed powder (ASP)and Jatropha seed powder (JSP) mixed with conidiaof L. lecanii significantly affected on egg mortality. Thehigh egg mortality (fail to develop to nymphs) were84%, 82.7% and 80%, respectively for ASP, JSPcombined with L. lecanii, and the fungus in singleapplication (Figure 2). However, the combination ofnatural pesticides with entomopthogenic fungus wasmore effective to reduce stink bug egg developmentthan single pesticide which suppressing by 56% and61.33%, respectively for ASP and JSP. These naturalpesticides may contain different active chemicals thatact as ovicidal to stink bug eggs.

The evident of synergism between naturalpesticides and entomopthogenic fungi L. lecanii wasindicated as the increase in efficacy. It was found thatthe fungi and ASP, JSP acted as ovicidal on differentinsects species and nematodes (Shinya et al. 2008a &2008b). Seed oil from both natural pesticides blocknatural micropyle that interfere on physiolocal processon egg development. Jatropha contains 63.16% oilhigher than that of another plants (Akbar et al., 2009).This exeperiment also proved that jatropha seed containmore oil than sesame, beans and tobacco (Gunstone,2004; Marti’nez-Herrera et al., 2006; Banapurmath etal., 2008; Kumar & Sharma, 2008).

Figure 1. Inoculated and caged soybean in field experiment

Page 44: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

44 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 41–50

The synergistic in pest control through integrationof number of pest control agents was recommendedthus pest was control more effective (Purwar & Sachan2006). Feng et al. (2004) reported that the synergismof entomopathogenic fungus Beauveria bassiana,Paecilomyces fumosoroseus and imidacloprid pesticideincreased control of green house whitefly Trialeurodesvaporariorum (Hemiptera: Aleyurodidae) than in asingle application of agents.

A single application of ASP and JSP suppressedthe number of egg development, and deltamethrin causeegg mortality 66.70%. The active chemicals ofdeltamethrin did not act as ovicidal. It was suggestedthat the active chemicals of deltamethrin drop blockedthe microphyle disturbing the natural apperture wherethe embryo of stink bug exclosion and the embryo diedinside (Islam et al., 2009).

Number of Empty Pods. Damaged pod and seed bypod sucking bug, and pod borer insects directly affectson deformation seed and reduction on number of pods,aside of another physiological aspects of plant it self.Feeding of pod sucking bug by stylet punctures causespod empty, and seed abortion.

Feeding of brown stink bug cause empty pod.The symptom was clearly shown on black spots on seedas a wound of stylet punctures. In this experiment, allsample plants were caged with fine tile screen andinoculated with fresh eggs, thus uninffected eggs will

normally developed into adult. Therefore, the occurenceof pod and seed damage causes by both nymphs andadults were still observed.

A higher number of 12.7 pods (45.78%) emptypod was observed on untreated or checked plot,however, the treatment did not significantly differ thatfrom ASP with 10.67 (27.59%) of empty pod in a singleaplication (Figure 3). The least empty pod 2.34 (4.87%)was on plot treated with ASP in combination with L.lecanii fungus, however, this treatment did notsignificantly differ that from JSP combined withL. lecanii (3.67%). The effective treatments (L. lecanii+ natural pesticides) increased mortality and reducedof eggs development. The least developed nymphs andadult were the least damage occured. The high numberof nymphs and adults feeding both on pod and developedseed increases the number of empty pod.

Number of Healthy Pods. The more healthy pods (48pods) were recorded from ASP combined with L.lecanii (Figure 4). And the least healthy pods (27.67pods) were recorded on untreated plot. Deltamethrinsprays did not effectively control brown stink bugdamage as indicated in the number of healthy podssimilar to that of un-treated plot. Mode of actiondeltamethrin as contact and gut poison, thus did not killthe stink bug eggs. Therefore, the population of stinkbug caused severe damage on soybean. Apllication ofASP and JSP both in single application or combined with

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7

Treatments

Egg

mor

talit

y/un

hact

ched

egg

(%)

Figure 2. The mortality of brown stink bug eggs applied using natural pesticides and entomopthogenic fungi L.lecanii.(1)= ASP 50 g/l, (2)= JSP 50 g/l, (3)= ASP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4)= JSP 50 g/l + L. lecanii107/ml, (5)= L. lecanii 107/ml, (6)= deltametrin and (7)= check (no application).

b b

a a a

c

d

Page 45: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Suharsono & Prayogo Perpaduan antara Pestisida Nabati dan Cendawan Entomopatogen 45

Figure 3. Number of empty pod as affected by combined application of ASP, JSP and L. lecanii fungus. (1)= ASP50 g/l, (2) = JSP 50 g/l, (3)= ASP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4)= JSP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (5)= L.lecanii 107/ml, (6) = deltamethrin, and (7) = control (no treatment).

Figure 4. Number of healthy pod as affected by combined application of ASP, JSP and L. lecanii fungus. (1)= ASP50 g/l, (2)= JSP 50 g/l, (3)= ASP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4)= JSP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (5)= L.lecanii 107/ml, (6) = deltamethrin, and (7) = control (no treatment).

0

5

10

15

20

1 2 3 4 5 6 7

Treatments

No.

of e

mpt

y po

d/pl

ant

0

10

20

30

40

50

60

1 2 3 4 5 6 7Treatments

No.

of h

ealty

pod

/pla

nt

a

a a

b b

d d cd cd

bc

ab

ab ab ab

L. lecanii more effective to control the stink bug eggsas the fungus act as ovicidal.

Number pods on plot treated with natural pesticideof JSP applied in combination with L. lecanii funguswere more (47 pods), which did not different from ASPand L. lecanii. Number of pod from single apllicationof L. lecanii fungus, ASP and JSP was equal to

application of L. lecanii combined with ASP and JSP.Although number of pod from ASP, JSP and L. lecaniiwere similar, however, did not clearly expessed in theirseed weight reduction.

Number of Stylet Punctures on Soybean Seed.Number of stylet puncture on seeds was indicated as

Page 46: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

46 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 41–50

damage caused by stink bug feeding. In addition, theseed damage was also affected by the depth of styletpunctures on seed. The more stylet puntures of 9.34/seed were observed on un-treated plot (Figure 5), andthe least stylet punctures of 2.34/seed were found onJSP combined with L. lecanii, and did not differ fromother treatments with exception on un-treated plot.

Prayogo (2009) revealed that only 2 styletpunctures/seed were found on soybean seed from plottreated with L. lecanii in combination with natural oil,however, application of the fungus without natural oilwas 12 stylet punctures/seed. It was suggested thataddition of natural oil from Annona and Jathropha seedprotected the conidia from dry condition, thus maintainingtheir viability and survival rate of the conidia (Nyam etal., 2009; Kim et al., 2010; Kim & Je, 2010). Naturaloil contains lecitin and casein reduced the polarity, thusincrease the mixtures between oil and water. Additionof natural oil maintained the conidia viability of thefungus up to 10 days when exposing into soybean(Prayogo, 2009). However, without natural oil the conidiaviability only one day after application. Ganga-Visalakshy et al. (2005) revealed that addition of conidiaprotectant avoiding lecitin from UV effect wassuggested (Ibrahim et al.,1999). Protectant increasedthe air humidity as a requrement for conidia germination

before infection (Inyang et al., 2000; Verhaar et al.,2004; Lazzarini et al., 2006; Silva et al., 2006).

Dry Seed Weight. Control of pod stink bug throughapplication of ASP, JSP and L. lecanii fungus on thebug eggs sigificantly affect on seed weight/plant. Thehigher dry seed weight/plant 7.03 g was obtained fromJSP and L. lecanii treatment (Figure 6), and the lowestdry seed weight 3.70 g was from un-treated plot. Theseed weight of ASP + L. lecanii treatment was 6.50 g/plant, which statically did not differ from JSP + L. lecaniiand ASP + L. lecanii and a single apllication of L.lecanii fungus with 5,84 g seed weight. However, theseed weight in a single application of the fungus waslower than that application i.e. natural pesticide andentomopathogenic fungus L. lecanii.

The dry seed weight of ASP and JSP treatmentsin a single application was 4,13-4,83 g respectively. Thedry seed weight of plot treated with deltamethrin 2 ml/lwas 5.44 g/plant. It seemed that dry seed weight waslower than ASP, JSP and L. lecanii either in single orcombined application. Based on this data, it was clearlyshown that application of JSP + L. lecanii fungus wasmore effective than that other treatment. It means thatwith plant population of 250.000-300.000 plants/ha weexpected soybean yield was aproximately 1.7-2.1 t/ha.

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5 6 7

Treatments

No.

of s

tyle

t pun

ctur

e/se

ed

Figure 5. The application of natural pesticide and entomopathogenic fungus on stylet punctures on seed. (1)= ASP50 g/l, (2)= JSP 50 g/l, (3)= ASP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4)= JSP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, 5= L.lecanii 107/ml, 6= deltamethrin, and 7= control (un-treated).

a

b b

b

b b b

Page 47: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Suharsono & Prayogo Perpaduan antara Pestisida Nabati dan Cendawan Entomopatogen 47

Figure 6. Dry seed weight of soybean as affected either single application or combination of ASP,JSP and L.Lecanii fungus. (1)= ASP 50 g/l, (2)= JSP 50 g/l, (3)= ASP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4)= JSP 50 g/l +L. lecanii 107/ml, (5)= L. lecanii 107/ml, (6)= deltamethrin, and (7)= control (un-treated).

0

2

4

6

8

10

12

1 2 3 4 5 6 7

Treatments

Seed

wei

gt/p

lant

(g)

abc bcd cde de e

a ab

Figure 7. Seed weight/plot treated with natural pesticide and entomopthogenic fungi L. lecanii.(1)= ASP 50 g/l,(2)= JSP 50 g/l, (3)= ASP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (4)= JSP 50 g/l + L. lecanii 107/ml, (5)= L. lecanii107/ml, (6)= deltamethrin, and (7)= control (check).

0

500

1000

1500

2000

2500

1 2 3 4 5 6 7

Treatments

Seed

wei

ght/p

lot (

g)

abc bcd

cde de

e

a ab

Page 48: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

48 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 41–50

Its mean that the integration of natural pesticide andentomopathogenic fungi L. lecanii would maintainsoybean yield up to 1.5 t/ha supporting program toincrease soybean yield in Indonesia. Most of soybeangrowers (95%) mainly use insecticide in pest control.However, chemical insecticides maintain soybean yieldby 1.3-1.6 t/ha lower than that of integrated controlsystem.

Seed Weight/plot. It was found there was a positivecorrelation between seed weight/plant and seed weightof 7 m x 5 m plot. The high yield/plot of soybean fromplot treated was integration of JSP + L. lecanii, ASP +L. lecanii,and single application of L.lecanii respectivelywere 2447 g, 2276 g, and 2042 g (Figure 7), andapplication of deltamethrin was lower i.e 1892 g.However, the seed obtained from the application of ASPand JSP in a single application was lower than plottreated with L. lecanii and deltamethrin. The least seedof 1299 g was recorded in the check (un-treated plot).

Regarding on seed yield it was revealed thatintegration of natural pesticide and entomopthogenicfungi of L. lecanii increased the control of stink bug by36% and 33% respectively for ASP + L. lecanii, andJSP + L. lecanii. The integration of these agents onstink bug control could safe or reduce yield loss up to46% and 39 % respectively. Therefore, integration ofnatural pesticide and entomopthogenic fungi L. lecaniiwas recommended.

Natural Enemies. It was found that natural enemieswere not affected by natural pesticide either in a singleor int combination with L. lecanii fungi application thandeltamethrin, as indicated with high population ofPaederus sp. and Coccinella sp. (generalist predator).Number of 28 Coccinella sp. and 20 Paederus sp. werefound, however, the population of Oxyopes sp. werelower. It was observed that the high distributionpopulation of Oxyopes sp. mainly on rice field and peanut.These three generalist predators preys wereHomoptera, Hemiptera and Lepidopterans insect, botheggs nymphs and as well as the larvae.

O. Javanus (Oxyopidae: Araneae) was effectivepredator for the common cutworm Spodoptera litura,brown stink bug R. linearis, green stink bug N. viridulaand E. zinckenalla both eggs, larvae or nymph and prey12 insects/day (Tengkano & Bedjo, 2002) similar toPaederus sp. (Taulu, 2001). This evident suggested thatthe population of the predators in soybean should bemaintained to control soybean pests under economicthreshold.

Chemicals pesticides totally affected generalistpredators population such as Paederus sp., Oxyopessp., and Coccinella sp. No more predators were found,exept one Coccinella sp. These species were knownas an agressive predator in soybean canopy. Integrationof ASP, JSP and entomopathogenic fungi L. lecanii didnot affect the survival of natural enemies.

CONCLUSIONS

Integration of natural pesticides of ASP, JSP andentomopthogenic fungi, L. lecanii increased theefectiveness to control stink bug by 46%. Naturalpesticides ASP, JSP and entomopthogenic fungi L.lecanii did not affect the survival of generalist predatorssuch as Paederus sp., Oxyopes sp., and Coccinellasp. also predator was more sensitive to chemicalinsecticide. ASP, JSP and L. lecanii were integral partof integrated pest management of pod stink bug insoybean.

REFERENCES

Akbar E, Yaakob Z, Kamarudin SK, Ismail M, &Salimon J. 2009. Characteristics and compositionof Jatropha curcas oil seed from Malaysia andits potential as biodiesel feedstock. European J.Sci. Res. 29(3): 396–403.

Banapurmath NR, Tewari PG, & Hosmath RS. 2008.Performance and emmission characteristics of aDI compression ignition engine operated onHonge Jatropha and Sesame oil methyl esters.Renewable Energy 33: 1982–1988.

Castiglioni E, Vendramin JD, & Alves SB. 2003.Compatibility between Beauveria bassiana andMetarhizium anisopliae with Nimkol-L in thecontrol of Heterotermes tenuis. Manag. Integr.Plagas. Agroecol. 69: 38–44.

Depieri AR, Martinez SS, & Menezes Jr AO. 2005.Compatibility of the fungus Beauveria bassiana(Bals.) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes)with extracts of neem seeds and leaves and theemulsible oil. Neotrop. Entomol. 34(4): 601–606.

Feng M, Chen GB, & Ying SH. 2004. Trials ofBeauveria bassiana, Paecilomycesfumosoroseus and imidacloprid for managementof Trialeurodes vaporariorum (Homoptera:Aleurodidae) on greenhouse grown lettuce.Biocontrol Sci. Techn. 14: 531–544.

Page 49: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Suharsono & Prayogo Perpaduan antara Pestisida Nabati dan Cendawan Entomopatogen 49

Ganga-Visalakshy PN, Krishnamoorthy A, & Manoj-Kumar A. 2005. Effect of plant oils and adhesivestickers on the mycelia growth and condition ofVerticillium lecanii, a potential entomopathogen.Phytoparasitica 33(4): 367–369.

Gunstone FD. 2004. Rapseed and Canola oil:Production, processing, properties and uses.Blackwell Publishing Ltd, London.

Hirose E, Neves PMOJ, Zequi JAC, Martins JAC,Peralta CH, & Moino Jr A. 2001. Effect ofbiofertilizers and neem oil on theentomopathogenic fungi Beauveria bassiana(Bals.) Vuill. and Metarhizium anisopliae(Metsch.) Sorok. Braz. Arch. Biol. Technol.44(4): 409–423.

Ibrahim L, Butt TM, Beckett A, & Clark SJ. 1999.Germination of oil formulated conidia of the insect-pathogen Metarhizium anisopliae. Mycol. Res.103: 901–907.

Inyang EN, McCartney HA, Oyejola B, Ibrahim L, PyeBJ, Archer SA, & Butt TM. 2000. Effect offormulation application and rain on theentomogenous fungus Metarhizium anisopliaeon oil seed rape. Mycol. Res. 104(6): 653–661.

Islam Md T, Castle SJ, & Ren S. 2009. Compatibility ofthe insect pathogenic fungus Beauveria bassianawith neem against sweet potato whitefly Bemisiatabaci on eggplant. Entomol. Exp. Appl. 134(1):28–34.

Kim JS. Je YH, & Rohsy. 2010. Production ofthermotolerant entomopathogenic Isariafumosoroseus SFP-198 conidia in corn oilmixture. J. Microbiol. Biotechnol. 37: 419–423.

Kim JS, Skinner M, & Parker BL. 2010. Plant oils forimproving thermotolerance of Beauveriabassiana. Microbiol. Biotechnol. 20(9): 1348–1350.

Kumar A & Sharma S. 2008. An evaluation ofmultipurpose oil seed crop for industrial uses(Jatropha curcas): A review. Ind. Crop. Prod.doi:10.1016/jandcrop.2008.01.001

Lazzarini GMJ, Rocha LFN, & Luz C. 2006. Impact ofmoisture on invitro germination of Metarhiziumanisopliae, Beauveria bassiana and theiractivity on Triatoma infestans. Mycol. Res.110(4): 485–492.

Marti’nez-Herrera J, Siddhuraju P, Francis G, Da’vila-Orti’z G, & Becker K. 2006. Chemicalcomposition, toxic/antimetabolic constituents, andeffects of different treatments on their levels, infour provenances of Jatropha curcas L. fromMexico. Food Chem. 96: 80–89.

Nyam KI, Tan CP, Lai OM, Long K, & Che Man YB.2009. Physicochemical properties and bioactivecompounds of selected seed oils. LWT Food Sci.Technol. 42: 1396–1403.

Prayogo Y. 2004. Keefektivan lima isolat cendawanentomopatogen terhadap kepik coklat pengisappolong Riptortus linearis (F.) (Hemiptera:Alydidae) dan dampaknya terhadap predatorOxyopes javanus Thorell (Araneida:Oxyopidae). [Tesis Magister]. DepartmenProteksi Tanaman. Sekolah Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Prayogo Y, Santoso T, & Widodo. 2004. Keefektivanlima isolat cendawan entomopatogen terhadaptelur kepik coklat Riptortus linearis (F.)(Hemiptera: Alydidae) Dalam: Makarim, A.K.,Marwoto, M.M. Adie, A.A. Rahmiana, Heriyantodan I.K. Tastra (Eds.). Seminar Nasional HasilPenelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.p: 471–479. Malang 5 Oktober 2004.

Prayogo Y. 2009. Kajian cendawan entomopatogenLecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare &Gams sebagai agens hayati untuk pengendaliantelur kepik coklat Riptortus linearis (F.)(Hemiptera: Alydidae). [Disertasi]. DepartemenProteksi Tanaman. Sekolah Pasca Sarjana.Institut Pertanian Bogor.

Prayogo Y. 2010. Efikasi kombinasi cendawanentomopatogen dengan pestisida nabati untukpengendalian telur kepik coklat. Laporan AkhirProyek Final Report of RISTEK 2010.

Prayogo Y. 2011a. Sinergisme cendawanentomopatogen Lecanicillium lecanii denganpestisida nabati untuk meningkatkan keefektivanpengendalian kepik coklat Riptortus linearis padatanaman kedelai. Laporan Akhir PenelitianRISTEK 2010.

Prayogo Y. 2011b. Kompatibilitas cendawanentomopatogen Lecanicillium lecanii (Zare &Gams) dengan pestisida kimia. Jurnal Ilmu –IlmuDasar. Universitas Jember (Dalam Proses).

Page 50: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

50 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 41–50

Purwar JP & Sachan GC. 2006. Synergistic effect ofentomogenous fungi on some insecticides againstBihar hairy caterpillas Spilarctia obliqua(Lepidoptera: Arctiidae). Microbiol. Res. 161(1):38–42.

Shinya R, Aiuchi D, Kushida A, Tani M, KuraramochiK, & Koike M. 2008a. Effects of fungal culturefiltrates of Verticillium lecanii (Lecanicilliumlecanii) hybrid strains on Heterodera glycineseggs and juvenils. J. Invertebr. Pathol. 23(2):213–218.

Shinya R, Aiuchi D, Kushida A, Tani M, KuraramochiK, & Koike M. 2008b. Pathogenicity and its modeof action in different sedentary stages ofHeterodera glycines (Tylenchida:Heteroderidae) by Verticillium lecanii(=Lecanicillium lecanii) hybrid strains. Appl.Entomol. Zool. 43(2): 227–233.

Silva RZD, Neves PMOJ, Santoro PH, & CavaguchiESA. 2006. Effect of agrochemicals based onvegetable and mineral oil on the viability ofentomopathogenic fungi Beauveria bassiana(Bals.) Vuillemin, Metarhizium anisopliae(Metsch.) Sorokin and Paecilomyces sp. Bainer.Bioassay 1(1): 667–674.

Taulu LE. 2001. Peranan komplek predator arthropodakhususnya Paederus fuscipes Curt. (Coleoptera:Staphylinidae) pada tanaman kedelai. [Disertasi].Departemen Proteksi Tanaman. Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tengkano W & Bedjo. 2002. Predator Oxyopesjavanus Thorell (Oxyopidae: Araneae) padahama-hama kedelai. Seminar PengembanganPengendalian Hayati dan Kesehatan Lingkungan.Institut Pertanian Bogor. 5 September 2002.

Tengkano W, Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Prayogo Y,& Purwantoro. 2005. Status hama kedelai danmusuh alaminya di lahan kering masam Lampung.Makalah disampaikan pada Worksop dan SeminarNasional untuk Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian MendukungKetahanan Pangan. Malang, 26–27 July 2005.

Tengkano W, Suharsono, Bedjo, Prayogo Y, &Purwantoro. 2006. Status hama dan penyakitkedelai dan musuh alaminya sebagai agenspengendalian hayati. Laporan Tahunan BalitkabiMalang.

Verhaar MA, Hijwegen T, & Zadoks JC. 1999.Improvement of the efficacy of Verticilliumlecanii used biocontrol of Sphaerothecafuliginea by addition of oil formulation.BioControl. 44(1): 73–87.

Page 51: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Khaeruni et al. Induksi Ketahanan terhadap Penyakit Hawar Daun 57 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 57–63, Maret 2014

INDUKSI KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERIPADA TANAMAN PADI DI LAPANGAN MENGGUNAKAN

RIZOBAKTERI INDIGENOS

Andi Khaeruni1, Abdul Rahim2, Syair1, & Adriani2

1Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari2Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kendari

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Induced resistance to bacterial leaf blight disease in rice field by indigenous rhizobacteria. Bacterial leaf blight is the mostimportant disease on paddy at Southeast Sulawesi. Utilization of biological agents that induce plant resistance is an alternativetool to control bacterial leaf blight disease on paddy. The aim of the experiment was obtain rhizobacteria that were able tostimulate the growth of paddy plants as well induce plant resistance towards bacterial leaf blight in the field. All experimentunits were arranged with a factorial design in a randomized complete block design. The first factor was the rhizobacteriaisolates, consisting 4 treatments, i.e: without rhizobacteria (R0), isolate P11a (R1), isolate PKLK5 (IR2), and mixture P11a andPKLK5 (R3), the second factor is paddy varieties, (V1): IR64 variety, (V2): Cisantana variety. The pathogen was inoculated onleaf when 45 day after crop. Weekly observation of disease severity, vegetative plant growth (leaf and stem numbers), andyield were conducted. The results showed that the 10 isolates of rhizobacteria tested were able to induce plant resistancetoward bacterial leaf blight, stimulated vegetative growth as well as increased yield of paddy plant. Rhizobacteria applicationcould increase the resistance of paddy toward Xanthomonas oryzae pv. oryzae. The application rhizobacteria could increasethe vegetative plant growth, application mixture P11a and PKLK5 isolates showed higher resistance than single applicationin terms of plant growth and yield, both IR64 and Cisantana varietes.

Key words: Bacterial leaf blight, induce resistance, rhizobacteria, paddy

ABSTRAK

Induksi ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi di lapangan menggunakan rizobakteriindigenos. Penyakit hawar daun bakteri yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan penyakit pentingtanaman padi sawah di Sulawesi Tenggara. Penggunaan agens hayati penginduksi ketahanan tanaman, merupakan salah satualternatif yang dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri di lapangan. Penelitian ini bertujuan untukmengetahui dan mengkaji kemampuan beberapa isolat rizobakteri yang mampu memacu pertumbuhan, meningkatkan hasil danmenginduksi ketahanan tanaman padi terhadap penyakit hawar daun bakteri. Penelitian menggunakan Rancangan Faktorialyang diatur dalam Rancangan Acak Kelompok. Faktor pertama adalah jenis rizobakteri (R), yang terdiri dari 4 taraf perlakuanyaitu: tanpa isolat rizobakteri (R0), isolat P11a (R1), isolat PKLK5 (R2) dan kombinasi isolat P11a dan PKLK5 (R3). Faktor keduaadalah varietas tanaman padi yaitu : varietas IR64 (V1) dan varietas Cisantana (V2). Patogen diinokulasi pada daun tanamanketika berumur 45 hari setelah tanam. Keparahan penyakit dan jumlah anakan diamati pada umur pengamatan dua mingguandilakukan untuk mengamati intensitas serangan penyakit hawar daun bakteri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuanrizobakteri mampu menginduksi ketahanan tanaman padi IR64 dan Cisantana terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae,perlakuan rizobakteri mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi di lapangan, perlakuan campuran rizobakteriPKLK5 dan P11a, cenderung meningkatkan induksi ketahanan padi varietas IR64 terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae dilapangan dibandingkan perlakuan rizobakteri secara tunggal, perlakuan ini juga cenderung memperlihatkan pertumbuhan danproduksi tanaman yang lebih baik dibandingkan pada perlakuan rizobakteri secara tunggal baik pada varietas IR64 maupunCisantana.

Kata kunci: hawar daun bakteri, induksi ketahanan, padi, dan rizobakteri

Page 52: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

58 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 57–63

PENDAHULUAN

Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yangdisebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo)merupakan salah satu penyakit utama padi sawah diIndonesia (Hifni & Kardin, 1998). Di Indonesiakehilangan hasil akibat penyakit ini dapat mencapai 30–50% khususnya pada varietas-varietas rentan sepertivarietas IR64. Penyakit ini semakin berkembang jikapertumbuhan tanaman padi tidak optimal karena kondisilahan yang kurang subur. Di Sulawesi Tenggaraserangan Xoo telah dilaporkan di sentra pertanaman padiseperti di Kabupaten Konawe, Kolaka dan KonaweSelatan (Khaeruni & Wijayanto, 2013).

Upaya pengendalian penyakit HDB yang umumdilakukan adalah penggunaan varietas tahan (Rao et al.,2003). Penggunaan varietas tahan ternyata belummemberikan hasil yang memuaskan karena Xoomempunyai tingkat keragaman patotip yang tinggi yangdisebabkan oleh faktor lingkungan, varietas yangdigunakan dan tingkat mutabilitas gen yang tinggi (Kelleret al., 2000). Hasil penelitian Rahim et al. (2012)menunjukkan bahwa dari enam varietas komersial yangdiuji di lapangan, belum ada yang tahan terhadap Xoo,khususnya terhadap patotip IV. Oleh karena itupengendalian hayati berupa penggunaan rizobakteriindigenos penginduksi ketahanan tanaman dapatdipertimbangkan sebagai alternatif pengendalianpenyakit HDB yang ramah lingkungan.

Beberapa penelitian memperlihatkan bahwapenggunaan Plant Growth Promoting Rhizobacteria(PGPR) mampu memacu pertumbuhan tanamansekaligus mengendalikan patogen tanaman sehinggamengurangi pemakaian senyawa kimia sintesis secaraberlebihan, baik dalam penyediaan hara tanaman(biofertilizer) maupun dalam pengendalian patogentanaman (bioprotectan) (Sutariati, 2006; Khaeruni etal., 2010). Rizobakteri selain mampu mengendalikanpatogen tular tanah juga dilaporkan dapat menginduksiketahanan tanaman terhadap penyakit virus dan penyakitfilosfer lainnya. Hasil kajian Khaeruni et al.(2013)menunjukkan bahwa penggunaan rizobakteri isolat P11adan PKLK5 yang diisolasi dari pertanaman padi sehatmampu memacu pertumbuhan dan menginduksiketahanan tanaman padi IR64 terhadap penyakit HDBpada skala rumah kasa. Pemanfaatan rizobakteriindigenos sebagai agensia pemacu pertumbuhan danpenginduksi ketahanan tanaman padi terhadap penyakitHDB di skala lapangan perlu dilakukan untuk dapatdijadikan acuan rekomendasi sebagai salah satu strategipengendalian penyakit HDB pada tanaman padi diSulawesi Tenggara.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui danmengkaji isolat yang mampu sebagai penginduksiketahanan tanaman padi terhadap serangan Xoopenyebab HDB di lapangan.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan dipersawahan petani yang memiliki sejarah endemikpenyakit HDB di Desa Puday Kecamatan WonggedukuKabupaten Konawe. Penelitian berlangsung pada bulanMaret sampai Juli 2013.

Rancangan Penelitian. Penelitian ini didesainmenggunakan Rancangan Faktorial yang diatur dalamRancangan Acak Kelompok. Faktor pertama adalahjenis rizobakteri (R), yang terdiri dari 4 taraf perlakuanyaitu: tanpa isolat rizobakteri (R0), isolat P11a (R1),isolat PKLK5 (R2) dan kombinasi isolat P11a danPKLK5 (R3). Faktor kedua adalah varietas tanamanpadi yaitu: varietas IR64 (V1) dan varietas Cisantana(V2), sehingga terdapat 8 kombinasi perlakuan yangdiulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh 24 unit petakpercobaan.

Biopriming Benih dengan Rizobakteri. Tahapan inidilakukan pada benih padi IR64 dan Cisantana denganisolat rizobakteri P11a dan PKLK5 (koleksiLaboratorium Agroteknologi FP-UHO), denganperlakuan sebagai berikut: sekitar 100 benih padi varietasIR64 dan Cisantana direndam selama 24 jam dalamsuspensi jadi satu isolat murni rizobakteri (umur 48 jam)dengan konsentrasi 108–109 cfu per ml akuades steril.Benih yang telah diberi perlakuan biopriming terlebihdahulu diperam selama 2 hari hingga membentuk tunaskecambah. Benih selanjutnya disemai di bak-bak plastikukuran 50 x 35 x 15 cm yang diisi dengan tanahbercampur pupuk kandang (4:1 v/v) yang telahdisterilkan.

Persiapan Lahan. Lahan terlebih dahulu diolah dengantraktor lalu diratakan dengan garuh dan dibuat petakanpercobaan sebanyak 24 unit dengan ukuran 200 cm (p)x 150 cm (l) x 30 cm (t). Jarak antar petak dalam lajuryang sama 30 cm sedangkan jarak antar lajur 50 cm.

Perlakuan dan Penanaman Bibit. Setelah berumur21 hari, bibit dicabut dan dibersihkan perakarannya darisisa tanah yang melekat lalu direndam dalam suspensirizobakteri selama 30 menit. Sementara itu, bibit tanpaperlakuan rizobakteri hanya direndam dalam akuadessteril dengan waktu yang sama. Setelah perendaman,

Page 53: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Khaeruni et al. Induksi Ketahanan terhadap Penyakit Hawar Daun 59

bibit langsung ditanam (1 bibit perlubang sesuaiperlakuan) dengan jarak tanam 20 x 20 cm.

Inokulasi Patogen. Isolat X. oryzae pv. oryzae yangdigunakan dalam penelitian ini ialah patotipe IV hasilisolasi dari pertanaman padi di Sulawesi Tenggara(Koleksi Laboratorium IHPT UHO). Penyiapandilakukan dengan mensuspensikan isolat murni X. oryzaepv. oryzae umur 48 jam dalam akuades steril dengankonsentrasi 108cfu per ml. Inokulasi dilakukan padatanaman yang berumur 45 hari setelah tanam denganmetode pelukaan dengan gunting yang telah dicelupdalam suspensi patogen.

Variabel Pengamatan. Pengamatan terhadap responperlakuan ditentukan pada 5 rumpun tanaman yangmenyebar secara diagonal pada setiap unit/petakperlakuan, sehingga secara keseluruhan terdapat 120rumpun tanaman.

Intensitas Penyakit. Pengamatan dilakukan pada umur2, 4 dan 6 minggu setelah inokulasi (MSI) pada 5 lembardaun pada 5 tanaman uji pada setiap unit perlakuan.Intensitas penyakit hawar daun bakteri dihitungmenggunakan metode Abbot (1925) dalam Sudanthaet al.,(2006) dengan menggunakan rumus:

I = (A/B) x 100%

dengan:I = intensitas penyakit (%)A = panjang daun yang bergejala hawar pada daun

sampelB = panjang keseluruhan daun sampel

Jumlah Anakan. Jumlah anakan yang terbentukdiamati pada setiap tanaman sampel di setiap unitpercobaan pada saat 2, 4, dan 6 minggu setelah tanam.

Hasil Panen. Hasil panen yang diamati meliputi jumlahmalai, berat gabah kering panen dan berat gabah per1000 butir.

Analisis Data. Data dianalisis dengan menggunakananalisis ragam, apabila dalam analisis ragam terdapatpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan Uji JarakBerganda Duncan (UJBD) pada taraf nyata = 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rekapitulasi hasil sidik ragam pemanfaatanrizobakteri sebagai penginduksi ketahanan tanaman paditerhadap serangan X. oryzae pv. oryzae dapat dilihatpada Tabel 1. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwaperlakuan interaksi rizobakteri dan varietas padimemberikan pengaruh nyata terhadap variabelpengamatan yang diujikan, walaupun pada waktu

Tabel 1. Hasil sidik ragam pemanfaatan rizobakteri sebagai penginduksi ketahanan tanaman padi terhadap seranganXanthomonas oryzae pv. oryzae

No. Variabel pengamatan Perlakuan

Interaksi Varietas Jenis Isolat (V*R) Fhit (V) Fhit (R) Fhit

1. Intensitas penyakit

59 HST * 6,23 * 5,47 ** 9,01

73 HST tn 14,11 tn 2,14 ** 31,71 87 HST * 42,12 tn 0,52 ** 93,05 2. Jumlah anakan

2 MST tn 0,82 tn 0,06 tn 1,20

4 MST * 3,24 tn 0,01 * 3,88 6 MST tn 2,78 tn 0,16 * 4,63 3. Produksi

Jumlah Malai ** 37,34 ** 70,84 ** 35,29

Berat Gabah Kering Panen ** 8,83 tn 2,04 ** 8,91 Berat Gabah 1000 Biji tn 1,98 tn 0,05 * 4,26

tn = berbeda tidak nyata, * = berbeda nyata, ** = berbeda sangat nyata, HST = hari setelah tanam, MST = minggu

setelah tanam

Page 54: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

60 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 57–63

tertentu terdapat interaksi yang tidak berbeda nyata.Perlakuan varietas secara mandiri umumnya tidakberbeda nyata, namun sebaliknya umumnya perlakuanrizobakteri secara mandiri memberi pengaruh yang nyatadan sangat nyata.

Intensitas Penyakit. Intensitas penyakit HDB padasetiap kombinasi perlakuan yang diujikan ditampilkanpada Tabel 2.Berdasarkan data pada Tabel 2, pada setiapwaktu pengamatan intensitas penyakit pada perlakuanyang tidak menggunakan rizobakteri (V1R0 dan V2R0)selalu lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan yangmenggunakan rizobakteri. Intensitas serangan HDBterendah pada akhir pengamatan diperoleh padaperlakuan V1R3, walaupun tidak berbeda nyata denganbeberapa perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikanbahwa percampuran dua rizobakteri yang berbeda dapatmeningkatkan ketahanan tanaman padi terhadap Xoo.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkanbahwa semua varietas padi yang diinokulasikan Xoomenunjukkan gejala penyakit hawar daun bakteri (HDB).Gejala ini ditandai dengan munculnya bercak memanjangdengan tepi bergelombang dari ujung daun yangberkembang sepanjang tepi daun kemudian berkembangmenjadi hawar daun dan berubah warna menjadi kuningpucat (Liu et al., 2006; Agustiansyah, 2011).

Pengamatan penyakit hawar daun bakteri padasetiap perlakuan ditentukan berdasarkan pengamatanintensitas penyakit. Hasil pengamatan menunjukkanterjadi pengaruh pada setiap perlakuan pada umur 2, 4dan 6 minggu setelah inokulasi (MSI). VarietasCisantana dan IR64 yang tidak diberi rizobakteri selalumemperlihatkan intensitas penyakit yang lebih tinggi

dibanding perlakuan tanpa rizobakteri. Hal inimenunjukkan bahwa tanaman padi yang diberi perlakuanrizobakteri memiliki ketahanan yang lebih baik.Perlakuan rizobakteri pada benih dan bibit sebelumtanam mampu menginduksi ketahanan tanaman secarasistemik terhadap serangan X. oryzaepv. oryzae.

Hasil pada Tabel 2 juga memperlihatkan bahwapada pengamatan 6 MSI perlakuan campuran rizobakteriisolat PKLK5 dan P11a cenderung memperlihatkantingkat intensitas serangan patogen lebih rendahdibanding dengan perlakuan rizobakteri secara tunggalkhususnya pada varietas IR64, hal ini mengindikasikanbahwa pencampuran dua isolat yang berbeda cenderungmeningkatkan induksi ketahanan sistemik tanaman paditerhadap X. oryzae pv. oryzae. Induksi ketahanansistemik ialah fenomena terjadinya peningkatanketahanan tanaman terhadap infeksi patogen setelahterjadi rangsangan dari luar. Ketahanan ini adalahperlindungan tanaman bukan untuk mengeliminasipatogen tetapi lebih pada aktivitas dari mekanismepertahanan tanaman (Sticher et al.,1997; Van loon etal., 1998; Durrant & Dong, 2004).

Hasil penelitian Hoerussalam et al. (2013)menjelaskan terjadi peningkatan status ketahanantanaman jagung galur C20 terhadap penyakit bulai yangdiinduksi dengan perendaman rizobakteri isolat Abio2pada benih sebelum tanam. Keterjadian penyakit padapetak yang diberi perlakuan sebesar 6,25% sementarayang tidak diberi kejadian penyakit bulainya mencapai37,62%, peningkatan ketahanan tanaman tersebutberkaitan dengan terjadinya peningkatan akumulasi asamsalisilat di dalam jaringan tanaman, hal ini dibuktikandengan terjadinya peningkatan kandungan asam salisilat

Tabel 2. Intensitas penyakit (%) pada interaksi antar perlakuan pada setiap waktu pengamatan

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan ujiDuncan = 0,05, V1 = varietas IR64, V2 = varietas Cisantana, R0 = tanpa isolat rizobakteri, R1 = isolat P11a, R2= isolat PKLK5, R3 = kombinasi isolate P11a dan PKLK5

Perlakuan Interaksi Intensitas penyakit(%)

2 MSI 4 MSI 6 MSI

V1R1 8,3 bc 14,4 b 22,9 c V1R2 8,7 abc 14,7 b 19,1 cd V1R3 8,4 bc 12,9 b 18,3 d V1R0 9,6 ab 23,8 a 34,6 b V2R1 7,2 cd 12,5 b 18,6 cd V2R2 5,6 d 13,7 b 18,8 cd V2R3 7,6 bc 13,2 b 19,7 cd V2R0 10,5 a 21,5 a 40,5 a

Page 55: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Khaeruni et al. Induksi Ketahanan terhadap Penyakit Hawar Daun 61

0,074µg per g pada daun tanaman jagung yangmemperlihatkan ketahanan terhadap penyakit bulai.

Jumlah Anakan. Hasil uji rataan jumlah anakan yangterbentuk pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 3.Hasil uji pada Tabel 3, pada pengamatan 4 minggu setelahtanam (MST) memperlihatkan jumlah anakan tertinggiditunjukkan pada perlakuan V1R3 dengan rata-rata 17,8batang anakan. Pada pengamatan 6 MST perlakuanV1R3 dan perlakuan V2R1 juga masih memperlihatkanjumlah anakan yang lebih baik dibandingkan perlakuanlainnya, dengan jumlah anakan masing-masing 19,27 dan20,00 batang anakan. Sementara anakan terendahdiperlihatkan oleh kedua perlakuan yang tidak mendapatrizobakteri (V1R0 dan V2R0).

Hasil pengamatan pada Tabel 3 menunjukkanbahwa pada pengamatan 2 MST tidak memberikanpengaruh nyata terhadap semua perlakuan yang diujikan.Namun pada pengamatan 4 MST jumlah anakan tertinggiditunjukkan pada perlakuan V1R3 yaitu dengan rata-rata 17,8 batang yang berbeda sangat nyata denganperlakuan tanpa isolat rizobakteri, sedangkan padapengamatan 6 MST jumlah anakan tertinggi diperlihatkanpada perlakuan Cisantana yang diinduksi dengan isolatP11a dengan rata-rata 20,00 batang anakan yangberbeda sangat nyata dengan perlakuan Cisantana tanpainduksi rizobakteri dengan jumlah anakan terendah yaiturata-rata 14,9 batang. Hasil ini sejalan dengan penelitianThakuria et al. (2004) menyatakan bahwa secaralangsung rizobakteri berkemampuan dalam menyediakandan memobilisasi penyerapan unsur hara dari dalamtanah, melarutkan fosfor dan menghasilkan hormontumbuh sehingga dapat memacu pertumbuhan tanaman.

Pada tanaman yang diinokulasi X. oryzae pv.oryzae dengan pelukaan daun tanpa pemberianrizobakteri memungkinkan patogen dapat masuk danmenginfeksi jaringan tanaman dengan cepat sehinggadapat mengganggu metabolisme dalam sel dan jaringantanaman yang berpengaruh terhadap pembentukananakan dan jumlah daun. Kondisi inilah yangmenyebabkan jumlah anakan pada perlakuan V1R0 danV2R0 selalu lebih rendah dibanding perlakuan lainnya.Namun pada variabel pengamatan jumlah anakan,perlakuan campuran rizobakteri tidak berpengaruhterhadap peningkatan jumlah anakan di dua varietas padiyang diuji.

Hasil Panen. Hasil uji rataan hasil panen padi yangdiujikan pada setiap perlakuan disajikan pada Tabel 4.Hasil uji pada Tabel 4, pengamatan jumlah malai tertinggiterdapat pada perlakuan V2R2 dengan nilai rata-rata25,40 malai yang berbeda tidak nyata dengan perlakuanV1R3 dan berbeda nyata dengan perlakuan V2R1 danV2R3, namun berbeda sangat nyata dengan perlakuanV1R0, V1R1, V1R2 dan V2R0.

Pengamatan berat gabah kering tertinggiditunjukkan pada perlakuan V2R1 yang menunjukkannilai rata-rata 1686,67 g yang berbeda tidak nyata denganperlakuan V2R3 dan V1R2, tetapi berbeda sangat nyatadengan perlakuan V1R0 yang menunjukkan nilai rata-rata terendah yaitu 1435,0 g. Pengamatan berat gabah1000 biji tertinggi ditunjukkan pada perlakuan V2R3dengan nilai rata-rata 28,00 g yang berbeda tidak nyatadengan hampir semua perlakuan yang diujikan, tetapiberbeda sangat nyata dengan perlakuan V1R0 yangmenunjukkan berat gabah 1000 biji terendah dengan nilairata-rata 24,3 g. Hal ini membuktikan bahwa pemberian

Tabel 3.Pengamatan jumlah anakan tanaman padi pada setiap perlakuan

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan ujiDuncan = 0,05, V1 = varietas IR64, V2 = varietas Cisantana, R0 = tanpa isolat rizobakteri, R1 = isolat P11a, R2= isolat PKLK5, R3 = kombinasi isolate P11a dan PKLK5.

Perlakuan Jumlah anakan

2 MST 4 MST 6 MST

V1R1 6,8 13,9 b 17,5 abc V1R2 6,7 13,3 b 19,0 ab V1R3 6,5 17,8 a 19,3 ab V1R0 6,5 12,9 b 16,5 abc V2R1 6,7 15,1 ab 20,0 a V2R2 6,6 15,3 ab 18,3 ab V2R3 6,9 14,3 b 17,9 abc V2R0 6,1 13,0 b 14,9 c

Page 56: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

62 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 57–63

isolat rizobakter sangat berpengaruh terhadap hasilpanen tanaman padi yang terserang X. oryzae pv.oryzae. Hasil ini juga mengindikasikan bahwapencampuran dua isolat yang berbeda cenderungmampu meningkatkan hasil tanaman.

Serangan X. oryzae pv. oryzae pada tanamanpadi yang menyebabkan penyakit HDB akanmenghambat pertumbuhan pada tanaman padi, karenaadanya pengurangan jumlah anakan yang berimplikasiterhadap pengurangan jumlah daun yang berpengaruhterhadap proses fotosintesis sehingga secara langsungmenurunkan hasil panen melalui pengurangan jumlahmalai yang terbentuk, berat gabah kering panen dan beratgabah 1000 biji. Namun dengan adanya pemberianrizobakteri, maka ketahanan tanaman dapat terinduksisehingga mampu menghambat perkembangan patogendalam jaringan tanaman.

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwaperlakuan rizobakteri mampu menginduksi ketahanantanaman padi IR64 dan Cisantana terhadapXanthomonas oryzae pv. oryzae di lapangan. Perlakuancampuran rizobakteri PKLK5 dan P11a, cenderungmeningkatkan induksi ketahanan padi varietas IR64terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae,memperlihatkan pertumbuhan dan hasil panen yang lebihbaik di lapangan dibandingkan perlakuan rizobakterisecara tunggal.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiansyah. 2011. Perlakuan Benih untuk PerbaikanPertumbuhan Tanaman, Hasil dan Mutu BenihPadi serta Pengendalian Penyakit Hawar DaunBakteri dan Pengurangan Penggunaan PupukFosfat. Tesis. Pasca Sarjana Institut PertanianBogor. (Tidak dipublikasikan).

Durrant WE & Dong X. 2004. Systemic acquiredresistance. Annu. Rev. Phytopathol. 42: 185–209.

Hifni HR & Kardin MK. 1998. Pengelompokkan isolatXanthomonas oryzae pv. oryzae denganmenggunakan galur isogenik padi IRRI. Hayati5: 66–72.

Hoerussalam, Purwantoro A, & Khaeruni A. 2013.Induksi ketahanan tanaman jagung (Zea maysL.) terhadap penyakit bulai melalui seed treatmentserta pewarisannya pada generasi S1. JurnalIlmu Pertanian 16(2): 42–59.

Keller B, Feuillet C, & Messmer M. 2000. Genetics ofdisease resistance: Basic concepst and applicationin resistance breeding. In : Slusarenko AJ, FraserRSS, & Van Loon LC (Eds.). Mechanisms ofResistance to Plant Diseases.pp:101–160.Kluwer Academic Publisher. London.

Khaeruni A, Sutariati GAK, & Wahyuni S. 2010.Karakterisasi dan uji aktifitas bakteri rizosfer lahanultisol sebagai pemacu pertumbuhan tanaman danagensia hayati cendawan patogen tular tanahsecara in-vitro. J. HPT Tropika 10(2): 123–130.

Tabel 4. Pengamatan jumlah hasil panen pada setiap perlakuan

Perlakuan Jumlah malai Berat gabah kering panen

(g) Berat gabah 1000 biji (g)

V1R1 16,47 c 1505,00 bcd 27,67 ab V1R2 17,73 c 1603,67 ab 26,67 ab V1R3 23,67 ab 1556,67 bc 27,67 ab V1R0 16,2 c 1435,0 d 24,30 b V2R1 23,07 b 1686,67 a 26,67 ab V2R2 25,40 a 1525,00 bcd 27,67 ab V2R3 21,80 b 1683,33 a 28,00 a V2R0 17,9 c 1488,3 cd 24,7 ab

Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan ujiDuncan = 0,05, V1 = varietas IR64, V2 = varietas Cisantana, R0 = tanpa isolat rizobakteri, R1 = isolat P11a, R2= isolat PKLK5, R3 = kombinasi isolate P11a dan PKLK5.

Page 57: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Khaeruni et al. Induksi Ketahanan terhadap Penyakit Hawar Daun 63

Khaeruni A & Wijayanto T. 2013. Pathotype groupingof Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolates fromsouth Sulawesi and southeast Sulawesi. Agrivita35(2): 138–144.

Khaeruni A, Wijayanto T, & Syair. 2013. The utilizationof indigenous rhizobacteria as an inducer for riceplant resistance against bacterial leaf blightdisease (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). In:Olanvoravuth N (Eds.). Proceeding the 8 th

International Conference on Innovation andCollaboration Toward Asean Community 2015.pp. 30–36. Kendari Indonesia.

Nino-Liu DO, Ronald PC, & Bogdanove AJ. 2006.Xanthomonas oryzae pathovars: Model pathogenof a model crop. Mol. Plant Pathol. 7(5): 303–324.

Rahim, Khaeruni A, & Taufik M. 2012. Reaksiketahanan beberapa varietas padi komersialterhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolatSulawesi Tenggara. Berkala PenelitianAgronomi 1(2): 132–138.

Rao KK, Jena KK, & Narasu ML. 2003. MolecularTagging of a New Bacterial Blight ResistenceGene in Rice Using RAPD and SSR Markers(Online) (http//dspace.irri.org-8080/dspce/bitst-ream/123456789/1308/1/Kameswara tagging.pdf. Diakses tanggal 15 Mei 2013.

Sticher L, Mauch-Mani B, & Metraux JP. 1997.Systemic acquired resistance. Annu. Rev.Phytopathol. 35(1): 235–270.

Sutariati GAK. 2006. Perlakuan benih dengan agensbiokontrol untuk pengendalian penyakitantraknosa, peningkatan hasil dan mutu benihcabai, cendawan patogen. Agriplus 15: 272–281.

Thakuria D, Talukdar NC, Goswami C, Hazarika S, BoroRC & Khan MR. 2004. Characterization andscreening of bacteria from rhizosphere of ricegrown in acidic soils of Assam. Curr. Sci. 86(7):978–985.

Van Loon LC, Bakker PAHM, & Pieterse CMJ. 1998.Systemic resistance induced by rhizospherebacteria. Annu. Rev. Phytopathol. 36: 453–483.

Page 58: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

64 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 64–70 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 64–70, Maret 2014

PARAMETER NERACA HAYATI DAN PERTUMBUHAN POPULASIKUTU PUTIH PHENACOCCUS MANIHOTI MATILE-FERRERO

(HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) PADA DUA VARIETAS UBI KAYU

Nila Wardani1, Aunu Rauf2, I Wayan Winasa2, & Sugeng Santoso2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung,Jl. ZA. Pagar Alam No. IA, Bandar Lampung

2Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,Kampus IPB-Darmaga, Bogor 16680

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The life history and population growth parameters of mealybug Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae) on two cassava varieties. The development, reproduction, and population growth parameters of the cassavamealybug, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) on two cassava varieties were studied inlaboratory. The varieties tested were UJ-5 with high cyanide content (>100 mg per kg) dan Adira-1 with low cyanide content(27.5 mg per kg). Our research revealed that P. manihoti performances were highly affected by cassava varieties. Incubationperiod of eggs of P. manihoti were 7.93 ± 0.09 and 8.33 ± 0.11 days, nymphal development periode 12.32±0.13 and 15.67 ± 0.13days, respectively on UJ-5 and Adira-1. Fecundity averaged 386.37 ± 5.83 on UJ-5 and 318.67±2.81 eggs on Adira-1. Intrinsicrate of increase (rm) were 0.258 ± 0.001 on UJ-5 and 0.220 ± 0.001 on Adira-1. Mean generation time (T) on UJ-5 and Adira-1were 22.795 ± 0.050 and 25.532 ± 0.047 days, repectively. Our findings showed that variety UJ-5 was more suitable fordevelopment and population growth of the cassava mealybug.

Key words: cassava, mealybug, Phenacoccus manihoti

ABSTRAK

Parameter neraca hayati dan pertumbuhan populasi kutu putih Phenacoccus manihoti matile-ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae) pada dua varietas ubi kayu. Parameter perkembangan, reproduksi, dan pertumbuhan populasi kutu putihubi kayu, Phenacoccus manihoti Matile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae) pada dua varietas ubi kayu diteliti di laboratorium.Varietas ubi kayu yang diuji yaitu UJ-5 dengan kandungan sianida tinggi (>100mg) dan Adira-1 dengan kandungan sianidarendah (27,5 mg). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa kehidupan P. manihoti sangat dipengaruhi oleh varietas ubi kayu.Masa inkubasi telur P. manihoti berlangsung 7,9 3 ± 0,09 dan 8,33 ± 0,11 hari, masa perkembangan nimfa 12,32 ± 0,13 dan 15,67± 0,13 hari, berturut-turut pada varietas UJ-5 dan Adira-1. Rataan keperidian adalah 386,37±5,83 pada UJ-5 dan 318,67 ± 2,81butir telur pada Adira-1. Laju pertambahan intrinsik (rm) adalah 0,258 ± 0,001 pada UJ-5 dan 0,220 ± 0,001 pada Adira-1. Rataanmasa generasi (T) pada UJ-5 dan Adira-1 berturut-turut 22,795 ± 0,050 dan 25,532 ± 0,047 hari. Keseluruhan hasil penelitianmenunjukkan bahwa varietas UJ-5 lebih sesuai bagi perkembangan dan pertumbuhan populasi kutu putih ubi kayu.

Kata kunci: ubi kayu, kutu putih, Phenacoccus manihoti

PENDAHULUAN

Kutu putih ubi kayu, Phenacoccus manihotiMatile-Ferrero (Hemiptera: Pseudococcidae),merupakan hama yang paling merugikan padapertanaman ubi kayu di banyak negara di dunia (Bellotiet al., 1999). Persebaran hama ini awalnya terbatashanya di Amerika Selatan, tetapi kemudian menyebarke Afrika pada awal tahun 1970-an yang menimbulkankerusakan berat dan kerugian ekonomis (Nwanze et al.,

1979). Kutu P. manihoti masuk ke Asia pada tahun2008, yaitu ketika pertama kali ditemukan di Thailand.Hama kemudian menyebar ke beberapa negara disekitarnya seperti Kamboja, Laos, dan Vietnam (Winotaiet al., 2010, Parsa et al., 2012). Di Indonesia kutuP. manihoti pertama kali ditemukan di Bogor padapertengahan tahun 2010 (Rauf, 2011).

Reproduksi P. manihoti bersifat partenogenetiktelitoki yaitu menghasilkan keturunan yang semuanyabetina (Catalayud & Le Ru, 2006). Setiap induk

Page 59: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Wardani et al. Parameter Neraca Hayati dan Pertumbuhan Populasi Kutu Putih 65

menghasilkan telur sebanyak sekitar 500 butir yangterdapat dalam ovisak atau kantung telur. Ovisak tampakberupa gumpalan kapas berwarna putih pada ujungabdomen. Telur menetas menjadi nimfa instar-1, disebutcrawler, yang aktif bergerak. Nimfa berganti kulitsebanyak tiga kali sebelum menjadi imago. Instar-2 danselanjutnya serta imago hidup menetap dengan caramengisap cairan tanaman. Pada kondisi laboratorium,masa perkembangan dari sejak telur diletakkan hinggamuncul imago berlangsung sekitar 21 hari (Nwanze,1978).

Serangan kutu P. manihoti umumnya terjadi padabagian pucuk. Pada kerapatan populasi yang sangattinggi seperti yang biasa terjadi pada musim kemarau,serangan meyebabkan pucuk mengeriting, ruas bukumemendek, dan tanaman menjadi kerdil. Serangan beratdapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 80% sepertiyang terjadi di Afrika (Nwanze, 1982). Hingga kini belumdijumpai adanya varietas yang resisten penuh terhadapP. manihoti (Soysouvanh & Siri, 2013). Sementara itudilaporkan bahwa ketahanan varietas ubi kayu terhadapkutu putih berkaitan dengan keberadaan senyawasekunder seperti sianida (Catalayud et al., 1994a).

Berdasarkan kandungan sianida, ubi kayudikelompokkan ke dalam golongan pahit dan tidak pahit.Ubi kayu golongan tidak pahit digunakan untuk konsumsilangsung atau bahan tapioka, sedangkan golongan pahituntuk keperluan industri tapioka dan bioetanol (Balitkabi,2005). Pada saat ini varietas UJ-5 yang kadar sianidanyatinggi banyak diusahakan di Lampung dan Jawa Timuruntuk memenuhi kebutuhan pabrik bioetanol. Tidakdiketahui dengan pasti bagaimana kehidupan kutu P.manihoti pada varietas ubi kayu yang berbeda kadarsianidanya. Secara umum, perkembangan serangga,sintasan, keperidian, dan berbagai parameterpertumbuhan populasi dipengaruhi oleh kualitastumbuhan inang (Awmack & Leather, 2002).

Penelitian bertujuan mempelajari pengaruhvarietas ubi kayu dengan kadar sianida berbedaterhadap masa perkembangan telur, nimfa, imago, dankeperidian, serta terhadap berbagai parameterpertumbuhan populasi P. manihoti. Hasil yang diperolehdari penelitian ini diharapkan dapat menyediakaninformasi dasar untuk perancangan program pengelolaanhama terpadu kutu P. manihoti pada pertanaman ubikayu.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian dilakukan diLaboratorium Ekologi, Departemen Proteksi Tanaman,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dari bulanJuli sampai Oktober 2012. Selama penelitian berlangsungrata-rata suhu harian 29,5oC (kisaran 28,3–30,7oC) dankelembaban relatif 59,3% (kisaran 51–66%).

Penyiapan Tumbuhan Inang. Pada penelitian inidigunakan ubi kayu varietas UJ-5 dan Adira-1 yangmemiliki kandungan senyawa sianida yang berbeda.Varietas UJ-5 memiliki kadar sianida yang tinggi (> 100mg per kg), sedangkan Adira-1 mengandung sianida yangrendah (27,5 mg per kg) (Balitkabi, 2005). Keduavarietas ini diperoleh dari Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Stek ubi kayusepanjang kurang lebih 20 cm dimasukkan ke dalamgelas plastik (diameter 8 cm, tinggi 10 cm), melaluipenutupnya yang telah dilubangi terlebih dahulu.Sebelumnya gelas diisi air keran sekitar 2/3 dari volumegelas. Stek dibiarkan tumbuh hingga muncul daun. Steksiap digunakan untuk percobaan setelah berdaunsempurna atau berumur kurang lebih satu bulan. Padapenelitian ini digunakan 100 stek ubi kayu untuk setiapvarietas sebagai ulangan.

Masa Perkembangan Telur, Nimfa, Imago danKeperidian. Untuk menentukan lama stadia telurdilakukan prosedur sebagai berikut. Masing-masingempat ekor imago kutu putih dipelihara pada stek ubikayu varietas UJ-5 dan Adira-1, dan dibiarkanmeletakkan telur. Telur yang diletakkan pada hari yangsama, dengan bantuan kuas halus, kemudian dimasukkanke dalam cawan Petri dan ditunggu sampai telurmenetas. Lama waktu yang diperlukan dari sejak telurdiletakkan hingga menetas dicatat, yang didasarkan pada100 ekor nimfa instar-1 yang muncul.

Pengamatan masa perkembangan nimfa, imagodan keperidian ditentukan melalui percobaan berikut ini.Seekor nimfa instar-1 kutu putih yang baru keluar daritelur diinfestasikan dengan bantuan kuas halus padasetiap stek ubi kayu. Masing-masing stek kemudiandisungkup dengan kurungan plastik (tinggi 50 cm,diameter 15 cm) dengan penutup kain kasa pada bagianatasnya. Perkembangan nimfa diamati setiap hari. hinggamenjadi imago. Pergantian instar ditandai oleh adanyaeksuvia yang berwarna putih yang menempel padapermukaan daun.

Imago yang terbentuk diamati setiap hari hinggamati, yang dicirikan oleh tubuhnya yang mengkerut danbila disentuh tidak bergerak. Saat imago muncul sampaiterbentuk kantung telur dicatat sebagai masapraoviposisi. Karena sulitnya menghitung butiran telur,keperidian didasarkan pada banyaknya nimfa instar-1

Page 60: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

66 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 64–70

yang terbentuk setiap hari. Persentase penetasan telurdilakukan dengan cara menghitung semua nimfa yangkeluar dari kantung telur, kemudian sisa telur yang tidakmenetas yang terdapat pada kantung telur dicatat.Nimfa instar-1 yang keluar bersamaan dari kantung telurdiasumsikan diletakkan pada saat yang bersamaan. Olehkarena itu, masa oviposisi dihitung berdasarkan lamanyamasa kemunculan nimfa instar-1.

Analisis Data. Uji t digunakan untuk memeriksapengaruh var ietas ubi kayu terhadap masaperkembangan telur dan nimfa, masa hidup imago, dankeperidian, dengan bantuan SPSS 11.5. Data kesintasan(lx) dan banyaknya telur yang diletakkan (mx) per haridigunakan untuk menyusun neraca hayati. Kemudiandihitung berbagai parameter neraca hayati seperti lajureproduksi bersih (Ro = lxmx), rataan masa generasi(T = ln Ro/rm), laju pertambahan intrinsik (rm = e-rx lxmx= 1), laju pertambahan terbatas ( = er), dan masa ganda(Dt = ln2/rm), berdasarkan metode Birch (1948). Seluruhparameter ini dan ragamnya diduga denganmenggunakan program LIFETABLE.SAS yangdikembangkan oleh Maia et al. (2000).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Masa Perkembangan Pradewasa. Masaperkembangan pradewasa dari sejak telur diletakkanhingga terbentuk imago dipengaruhi secara nyata olehvarietas ubi kayu. Pada UJ-5 masa perkembangan telur,nimfa instar-1, instar-2, dan instar-3 lebih singkatdibandingkan pada Adira-1 (Tabel 1). Perkembangankeseluruhan instar nimfa berlangsung 12,32 hari padaUJ-5 dan 15,67 hari pada Adira-1, atau sekitar 3 harilebih cepat pada varietas ubi kayu dengan kadar sianidatinggi. Bila masa perkembangan telur dan nimfadigabung, maka masa perkembangan pradewasa sekitar20 dan 24 hari, berturut-turut pada UJ-5 dan Adira-1.

Masa Hidup Imago, Keperidian dan PenetasanTelur. Varietas ubi kayu yang diuji berpengaruh nyataterhadap masa praoviposisi, masa oviposisi, keperidian,dan persentase penetasan telur P. manihoti. Masapraoviposisi P. manihoti pada UJ-5 (2,49 hari) sekitarsatu hari lebih singkat dibandingkan pada Adira-1 (3,20hari) (Tabel 2). Sebaliknya masa oviposisi sekitar 3/4hari lebih lama pada UJ-5 (9,82 hari) dibandingkan pada

Tabel 2. Rataan masa hidup imago, keperidian, penetasan telur (x ±SE) kutu Phenacoccus manihoti pada duavarietas ubi kayu

Varietas

Imago betina

Penetasan telur (%)

Masa praoviposisi

(hari) Masa oviposisi

(hari) Masa hidup

(hari) Kepiridian

(butir)

UJ-5 2,49 ± 0,09 9,82 ± 0,28 20,24 ± 0,24 386,37 ± 5,83 98,33 ± 0,09 Adira-1 3,20 ± 0,11 9,06 ± 0,21 20,53 ± 0,18 318,67 ± 2,81 96,81 ± 0,14

t -4,85 2,23 -0,95 10,46 9,09 db 182 171,2 171,1 135,1 182 P < 0,000 0,027 0,342 < 0,000 < 0,000

Tabel 1. Rataan masa perkembangan pradewasa (x ± SE) kutu Phenacoccus manihoti pada dua varietas ubikayu

Varietas Masa perkembangan stadia (hari) Telur Nimfa-1 Nimfa-2 Nimfa-3 Nimfa

UJ-5 7,93 ± 0,09 4,05 ± 0,09 4,40 ± 0,08 3,87 ± 0,11 12,32 ± 0,13 Adira-1 8,33 ± 0,11 6,23 ± 0,08 4,92 ± 0,10 4,52 ± 0,10 15,67 ± 0,13

t -2,79 -17,57 -3,93 -4,23 17,97 db 189,9 198 198 198 198 P < 0,006 < 0,000 < 0,000 < 0,000 < 0,000

Page 61: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Wardani et al. Parameter Neraca Hayati dan Pertumbuhan Populasi Kutu Putih 67

Adira-1 (9,06 hari). Kedua varietas ubi kayu yang diujitidak berpengaruh nyata (P = 0,342) terhadap masa hidupimago, yaitu rata-rata 20 hari. Walaupun demikian,keperidian P. manihoti lebih tinggi (386 butir) pada UJ-5 dibandingkan pada Adira-1 (318 butir). Begitu pularataan penetasan telur P. manihoti lebih tinggi pada UJ-5 (98%) daripada Adira-1 (96%).

Keperidian Harian dan Sintasan. Kurva keperidianharian (mx) mencapai puncaknya beberapa hari setelahreproduksi dimulai dan berbeda di antara dua varietasubi kayu (Gambar 1 ). Pada varietas UJ-5, kutu putihP. manihoti mulai meletakkan telur pada hari ke-18,dengan puncaknya (49 butir) terjadi pada hari ke-22.

Pada varietas Adira-1, P. manihoti meletakkan telurmulai hari ke -21 dengan puncaknya (43 butir) pada harike-27.

Kurva sintasan harian (lx) memperlihatkan polatipe I, yaitu kematian sebagian besar terjadi pada umurtua (Gambar 1). Pada varietas UJ-5 sebanyak 5% nimfatidak berhasil menjadi imago, sedangkan pada varietasAdira-1 lebih tinggi yaitu 11%. Pada kedua varietas,kematian kutu putih sebanyak 50% terjadi pada hari ke-45, dan seluruh kutu mati pada hari ke-46.

Parameter Pertumbuhan Populasi. Perbedaanvarietas ubi kayu berpengaruh sangat nyata ( P<0.0001)terhadap laju reproduksi bersih (Ro), laju pertambahan

Gambar 1. Keperidian harian (mx) dan sintasan (lx) kutu putih Phenacoccus manihoti pada ubi kayu varietasUJ-5 (A) dan Adira-1 (B)

A

B

Page 62: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

68 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 64–70

intrinsik (rm), rataan masa generasi (T), masa ganda (Dt),dan laju pertambahan terbatas (). Laju reprodukaibersih (Ro) P. manihoti pada varietas UJ-5 adalah 1.3kali lipat lebih tinggi dibandingkan pada varietas Adira-1 (Tabel 3). Begitu pula parameter pertumbuhan populasilainnya (rm, Dt, ) lebih tinggi pada UJ-5. Sebaliknya,masa generasi (T) P. manihoti sekitar tiga hari lebihsingkat pada varietas UJ-5 dibandingkan pada Adira-1.

Pengetahuan tentang siklus hidup hama dalamkaitan dengan tumbuhan inang diperlukan untukmemahami perkembangan dan kemelimpahan kutu putihP. manihoti pada pertanaman ubi kayu di lapangan.Untuk hama yang bersifat monofag seperti P. manihoti,kehidupannya dapat dipengaruhi oleh varietas ubi kayuyang ditanam. Kualitas tumbuhan memegang peranandalam dinamika populasi hama melalui pengaruhnyaterhadap perkembangan pradewasa dan imagonya.Berbagai varietas ubi kayu yang ada di Indonesiamemiliki kandungan senyawa sianida yang berbeda(Balitkabi, 2005). Dalam penelitian ini dibandingkanberbagai parameter hayati P. manihoti pada dua varietasubi kayu yaitu UJ-5 dan Adira-1 yang memiliki kadarsianida yang berbeda.

Menurut hasil penelitian Tertuliano et al. (1993,1999), ketahanan varietas ubi kayu terhadap kutu putihberkaitan dengan senyawa sekunder seperti sianida.Kutu P. manihoti merupakan serangga yang mengambilmakanan dengan cara mengisap cairan pada jaringanfloem, yang di dalamya terdapat senyawa sianida.Menurut Catalayud et al. (1994a) senyawa sianidaberperan sebagai fagostimulan untuk kutu P. manihoti.Tampaknya kutu putih P. manihoti mampumengembangkan mekanisme fisiologis yang dapatmengubah sianida yang bersifat toksik menjadi bahanyang tidak toksik atau bahkan menjadi bahan nutrisi(Catalayud et al. 1994b). Catalayud et al. (1994a)melaporkan tidak terdapat hubungan antara lajupertumbuhan populasi (rm) P. manihoti dengan

kandungan senyawa primer (asam amino dan gula) yangterdapat pada daun berbagai varietas ubi kayu.

Dalam penelitian ini ditunjukaan bahwa perbedaanvarietas ubi kayu yang memiliki kadar sianida berbedaberpengaruh terhadap kehidupan pradewasa kutu putihP. manihoti. Masa inkubasi telur berlangsung 7,93 haripada UJ-5 dan 8,33 hari pada Adira-1. Pengaruh yanglebih nyata tampak pada masa perkembangan nimfa.Nimfa yang hidup pada UJ-5 memerlukan waktu 12 hari,sedangkan pada Adira-1 memerlukan 15 hari untukperkembangannya hingga menjadi imago. Perbedaanvarietas ubi kayu juga berpengaruh terhadap berbagaiparameter kehidupan imago P. manihoti, khususnyaterhadap keperidian. Walaupun masa hidup imagoP. manihoti pada kedua varietas hampir sama yaitusekitar 20 hari, banyaknya telur yang dihasilkan berbeda.Keperidian kutu putih yang dipelihara pada UJ-5sebanyak 386 butir, sedangkan pada Adira-1 sebanyak318 butir. Saputro (2013) yang meneliti biologiP. manihoti pada varietas Manggu mendapatkankeperidian 570 butir. Selain karena varietas, perbedaankeperidian ini diperkirakan karena perbedaan teknikpengamatan. Pada penelitian ini, keperidian didasarkanpada instar-1 yang ditemukan, sedangkan pada penelitianSaputro keperidian didasarkan pada penghitungan telur.

Pengaruh varietas ubi kayu terhadap kutu putihP. manihoti juga dapat diperiksa dari berbagai parameterneraca hayati, yang menggambarkan tingkat kesesuaiantumbuhan inang. Rataan masa generasi (T) kutuP. manihoti lebih singkat pada UJ-5 (22,8 hari)dibandingkan pada Adira-1 (25,5 hari). Perbedaan initerkait dengan perbedaan masa perkembanganpradewasa dan keperidian kutu putih pada kedua varietasseperti telah disebutkan terdahulu. Sebaliknya, lajureproduksi bersih (Ro), yang merupakan kelipatanpopulasi per generasi, lebih besar pada UJ-5 ( 361)daripada Adira-1 (274). Begitu pula terdapat perbedaanyang nyata antara laju pertambahan intrinsik (rm)

Tabel 3. Parameter pertumbuhan populasi (x ±SE) Phenacoccus manihoti pada dua varietas ubi kayu

Parameter Varietas

P UJ-5 Adira-1

Ro 361,040±5,429 274,630±2,520 < 0,0001 rm 0,258±0,0008 0,220±0,0005 < 0,0001 T 22,795±0,050 25,532±0,047 < 0,0001 Dt 2,683±0,008 3,152±0,007 < 0,0001 1,295±0,0009 1,246±0,0006 < 0,0001

Page 63: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Wardani et al. Parameter Neraca Hayati dan Pertumbuhan Populasi Kutu Putih 69

P. manihoti pada dua varietas ubi kayu yang diuji. Nilairm kutu P. manihoti pada varietas UJ-5 (0,258) lebihtinggi daripada varietas Adira-1 (0,220). Pada varietasManggu yang kandungan sianidanya rendah, Saputro(2013) mendapatkan nilai rm = 0,213. Nilai rm yang jauhlebih rendah (0,133) dilaporkan terjadi pada varietasIncoza yang tergolong tahan terhadap P. manihoti diAfrika (Tertuliano et al., 1993). Karena laju pertambahanintrinsic (rm) menggambarkan pengaruh komposit dariperkembangan, keperidian, dan sintasan, maka rm dapatdijadikan indeks untuk mengukur kualitas nutrisi atautingkat resistensi tumbuhan inang (Southwood &Henderson, 2000). Lebih tingginya nilai rm pada UJ-5mengisyaratkan potensi peningkatan populasiP. manihoti yang lebih cepat pada varietas ini.

Keseluruhan hasil penelitian mengungkapkanbahwa perkembangan, reproduksi, dan sintasanP. manihoti sangat dipengaruhi oleh varietas ubi kayu.Dari penelitian ini juga ditunjukkan bahwa potensi lajupertumbuhan populasi P. manihoti lebih tinggi padavarietas UJ-5 yang mengandung sianida yang tinggi.Pengetahuan ini sangat penting, terutama karena padasaat ini pemerintah sedang menggalakkan penanamanubi kayu varietas UJ-5 pada skala luas untuk kepentinganindustri bioetanol. Dalam kaitan ini, kutu putihP. manihoti dapat menjadi ancaman serius bagi upayapeningkatan produksi ubi kayu di Indonesia. Hasilpenelitian yang dilakukan barulah memberikan landasanawal bagi penyusunan program pengelolaan hamaterpadu kutu P. manihoti. Penelitian lebih lanjut perludilakukan untuk memahami dinamika populasiP. manihoti di lapangan, terutama dalam kaitannyadengan peranan musuh alami lokal.

SIMPULAN

Ubi kayu varietas UJ-5 lebih sesuai bagi kehidupandan peningkatan populasi kutu putih P. manihoti. Halini ditunjukkan oleh masa perkembangan pradewasa yanglebih singkat dan keperidian yang lebih tinggi. Analisisneraca hayati mengungkapkan nilai rm yang lebih tinggipada UJ-5. Oleh karena itu, penanaman ubi kayuvarietas UJ-5 pada skala luas perlu mengantisipasiperkembangan serangan kutu P. manihoti.

SANWACANA

Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaianpenelitian yang dilakukan oleh penulis pertama dalamrangka penyelesaian studi S3 di Institut Pertanian Bogor,

DAFTAR PUSTAKA

Awmack CS & Leather SR. 2002. Host plant qualityand fecundity in herbivorous insects. Annu. Rev.Entomol. 47: 817–844.

Balitkabi 2005. Teknologi Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-umbian . Balitkabi,Malang.

Bellotti AC, Smith L, & Lapointe SL. 1999. Recentadvances in cassava pest management. Annu.Rev.. Entomol 44: 343–370.

Birch LC. 1948. The intrinsic rate of natural increaseof an insect population. J. Animal Ecol. 17: 15–26.

Catalayud PA & Le Ru B. 2006. Cassava-MealybugInteractions. Institut de Reserche Pour leDevelopment, Paris.

Calatayud PA, Rahbé Y, Delobe1 B, Khuong-Huu E,Tertuliano M, & Le Ru B. 1994a. Influence ofsecondary compounds in the phloem sap ofcassava on expression of antibiosis towards themealybug Phenacoccus manihoti. Entomol.Exp. Appl. 72: 47-57.

Catalayud PA, Tertuliano M, & Le Ru B. 1994b.Seasonal changes in secondary compounds in thephloem sap of cassava in relation to plant genotypeand infestations by Phenacoccus manihoti(Homoptera: Pseudococcidae). Bull. Entomol.Res. 84: 453–459.

Maia AHN, Luiz AJB, & Campanhola C. 2000.Statistical inference on associated life tableparameters using jacknife technique:computational aspect. J. Econ. Entomol. 93: 511–518.

Nwanze KF. 1978. Biology of the cassava mealybugPhenacoccus manihoti Mat-Ferr. in the Republicof Zaire. In: Nwanze KF & Leuschner K (Eds.).Proceedings of the International Workshop onCassava Mealybug Phenacoccus manihoti Mat-Ferr. (Pseudococcidae). pp. 20–28. INERA,M’Vuazi, Zaire, June 26–29, 1977. IITA Press,Ibadan, Nigeria.

dengan beasiswa dari Badan Penelitian danPengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak WawanYuwandi yang telah membantu pelaksanaan penelitian.

Page 64: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

70 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 64–70

Nwanze KF. 1982. Relationships between cassava rootyields and crop infestations by the mealybug,Phenacoccus manihoti. Int. J. Pest Manage.28: 27–32.

Nwanze KF, Leuschner K, & Ezumah HC. 1979. Thecassava mealybug, Phenacoccus sp., in Republicof Zaire. PANS 25(2): 125–130.

Parsa S, Kondo T, & Winotai A. 2012. The cassavamealybug (Phenacoccus manihoti) in Asia: Firstrecords, potential distribution, and an identificationkey. PloS ONE 7(10): e47675. doi.10.1371/journal.pone.0047675.

Rauf A. 2011. Invasive pests. In: IPM CRSP AnnualReport 2010-2011, p. 100.

Saputro AR. 2013. Biologi dan potensi peningkatanpopulasi kutu putih singkong, Phenacoccusmanihoti Matile-Ferrero (Hemiptera:Pseudococcidae): Hama pendatang baru diIndonesia. Skripsi. Fakultas Pertanian-IPB, Bogor.

Southwood TRE & Henderson PA. 2000. EcologicalMethods. Third Edition. Blackwell Sci., Oxford.

Soysouvanh P & Siri N. 2013. Population abundance ofpink mealybug, Phenacoccus manihoti on fourcassava varieties. Khon Kaen Agr. J. 41(1): 149-153.

Tertuliano M, Calatayud PA, & Le Rü BP. 1999.Seasonal changes of secondary compounds in thephloem sap of cassava in relation to fertilisationand to infestation by the cassava mealybug. InsectSci. Appl. 19(1): 91–98.

Tertuliano M, Dossou-Gbete S, & Le Ru B. 1993.Antixenotic and antibiotic components ofresistance to the cassava mealybug Phenacoccusmanihoti (Homoptera: Pseudococcidae) invarious host-plants. Insect. Sci. Appl 14(5): 657–665.

Winotai A, Goergen G, Tamò M, & Neuenschwander P.2010. Cassava mealybug has reached Asia.Biocontrol News Inf. 31: 10–11.

Page 65: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

80 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 80–86 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 80 – 86 , Maret 2014

IDENTIFIKASI PENYEBAB PENYAKIT DAUN KERITING KUNINGPADA TANAMAN MENTIMUN

Dwiwiyati Nurul Septariani, Sri Hendrastuti Hidayat, & Endang Nurhayati

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJl. Kamper, Kampus IPB Darmaga Bogor 16680

Telp. 0251-8629364, Faks 0251-8629362Email: [email protected]

ABSTRACT

Identification of the causal agent of yellow leaf curl disease on cucumbers. Yellow leaf curl disease has been reported tocause serious diseases and yield losses on tobacco, chilli pepper, and tomato plants in Java. Similar symptoms were observedrecently on cucumber plants from several growing areas in West Java (Bogor), Central Java (Tegal and Sukoharjo), andYogyakarta (Sleman). Symptom variations including mosaic, chlorotic spotting, leaf curling, blistering, vein banding, reductionand distortion of leaf and fruit were observed. Serological detection using Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)showed infection of several viruses. Antibodies specific to Squash mosaic comovirus (SqMV), Zucchini yellow mosaicpotyvirus (ZyMV), dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV) were reacted positively with field samples. No serologicalreactions were observed with antibodies to Tobacco ringspot potyvirus (TRSV) and Watermelon mosaic potyvirus (WMV).Molecular detection approach based on Polymerase Chain Reaction was undergone using universal primers for Geminivirus,pAL1v1978 and pAR1c715. DNA fragment 1600 bp in size, was successfully amplified from leaf samples originated from Tegal,Sleman, Bogor, and Sukoharjo. Further identification by nucleotide sequencing indicated that virus isolates causing yellowleaf curl disease on cucumber have highest homology (95.7% to 98.6%) with Tomato leaf curl New Delhi virus-[Cucumber:Indonesia] (AB613825) from Klaten, Central Java, Indonesia.

Key words: ELISA, Geminivirus, polymerase chain reaction, sequence analysis

ABSTRAK

Identifikasi penyebab penyakit daun keriting kuning pada tanaman mentimun. Penyakit daun keriting kuning telahdilaporkan menjadi kendala utama dan menyebabkan kehilangan hasil yang cukup besar pada pertanaman tembakau, cabai,dan tomat di Jawa. Penyakit yang sama ditemukan pada pertanaman mentimun di Jawa Barat (Bogor), Jawa Tengah (Tegal danSukoharjo), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Sleman). Variasi gejala yang terdapat di lapangan antara lain gejala mosaik,bintik kuning, mengeriting, melepuh, penebalan tulang daun, reduksi ukuran daun, dan perubahan bentuk buah. Deteksi virusmenggunakan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) pada sampel daun mentimun dari lapangan menunjukkanadanya infeksi beberapa virus. Reaksi positif terjadi pada pengujian menggunakan antibodi spesifik Squash mosaic comovirus(SqMV), Zucchini yellow mosaic potyvirus (ZyMV), dan Cucumber mosaic cucumovirus (CMV), sedangkan reaksi negatifterjadi pada antibodi Tobacco ringspot potyvirus (TRSV) and Watermelon mosaic potyvirus (WMV). Deteksi molekulerdilakukan dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan primer universal untuk Geminivirus, pAL1v1978dan pAR1c715. Pita DNA berukuran 1600 pasang basa berhasil teramplifikasi dari sampel daun asal Tegal, Sleman, Bogor, danSukoharjo. Hasil perunutan basa nukleotida menunjukkan bahwa Geminivirus penyebab penyakit mosaik keriting kuningmentimun adalah Tomato leaf curl begomovirus (TLCV). Isolat-isolat TLCV dari Tegal, Sleman (Kalasan dan Ngemplak),Sukoharjo, dan Bogor memiliki homologi paling tinggi yaitu sebesar 95.7% hingga 98.6%, dengan Tomato leaf curl New Delhivirus-[Cucumber:Indonesia] (AB613825) asal Klaten.

Kata kunci: Analisis sikuen, ELISA, Geminivirus, polymerase chain reaction

PENDAHULUAN

Penyakit daun keriting kuning yang disebabkanoleh anggota Begomovirus pada beberapa tanaman di

Indonesia dilaporkan menyebabkan kerugian dankehilangan hasil yang cukup besar. Pertanamantembakau di Jawa Timur terinfeksi Tobacco leaf curlbegomovirus sejak tahun 1984 dan menyebabkan

Page 66: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Septariani et al. Identifikasi Penyabab Daun Keriting Kuning Mentimun 81

kerusakan sebesar 30% dari seluruh areal pertanaman(Trisusilowati et al., 1990). Kejadian penyakit yangdisebabkan Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV)mencapai 50-70% sehingga menjadi kendala utamadalam meningkatkan produksi tanaman tomat terutamadi Jawa Barat dan Jawa Tengah (Aidawati et al., 2005;Santoso et al., 2008). Infeksi Begomovirus paling parahterjadi pada tanaman cabai di daerah Jawa Barat sejaktahun 1999 yang disebabkan oleh Pepper yellow leafcurl virus (PYLCV). Keterjadian penyakit daun keritingkuning cabai mencapai 100% dan epidemi penyakitterjadi di sentra-sentra produksi cabai di Indonesiaterutama di Pulau Jawa pada tahun 2000 sampai 2003(Hidayat et al., 2006).

Penyakit daun keriting kuning telah dilaporkanmenyebabkan kerugian hasil pada tanamanCucurbitaceae di Thailand (Ito et al., 2008). Penyakitini berasosiasi dengan Squash leaf curl China virusdan menyerang tanaman labu (Cucurbita pepa L.).Tanaman mentimun ditemukan menunjukkan gejalapenyakit daun menguning yang parah sejak tahun 1996.Samretwanich et al. (2000a, 2000b, 2000c) berhasilmendeteksi Begomovirus dan mendapatkan urutannukleotida Begomovirus dari tanaman mentimun, melon(Cucumis melo L.), cantaloupe (Cucumis melo var.reliculatus) dan wax gourd (Benincase hispidaCogn.).

Mizutani et al. (2011) melaporkan bahwa akhir-akhir ini ditemukan adanya penyakit daun keriting yangterdapat pada tanaman mentimun di Indonesia yaitu diKabupaten Klaten, Jawa Tengah. Tanaman mentimuntersebut menunjukkan gejala daun keriting, mosaik hijaukekuningan dan perubahan bentuk buah sehinggamenyebabkan kerugian bagi para petani. Identifikasimolekuler menunjukkan penyakit tersebut disebabkanoleh kelompok Begomovirus. Gejala yang samaditemukan pada pertanaman mentimun di beberapadaerah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DaerahIstimewa Yogyakarta. Identifikasi molekulerBegomovirus yang menginfeksi tanaman mentimuntersebut dilaporkan pada artikel ini.

METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu. Penelitian ini dilaksanakan diLaboratorium Virologi Tumbuhan Departemen ProteksiTanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,mulai bulan Maret 2012 sampai Februari 2013.

Pengumpulan Sampel Tanaman MentimunTerinfeksi Begomovirus. Pengamatan gejala danpengambilan sampel tanaman dilakukan di beberapa

pertanaman mentimun. Propinsi Jawa Barat yaituKabupaten Bogor (Kecamatan Situgede) danKabupaten Subang (Kecamatan Kasomalang danPagaden Barat); Propinsi Jawa Tengah yaitu KabupatenTegal (Kecamatan Dukuhwaru) dan KabupatenSukoharjo (Kecamatan Baki); di Daerah IstimewaYogyakarta yaitu Kabupaten Sleman (KecamatanKalasan dan Ngemplak). Daun mentimun yangdikumpulkan sebagai sampel adalah daun yang berasaldari tanaman yang menunjukkan gejala keriting,melepuh, dan menguning. Sebagian dari sampel daundisimpan di dalam deep freezer pada suhu -80 oC dansebagian lagi dikeringawetkan dengan silica gel sebelumdigunakan untuk tahapan identifikasi. Deteksi danidentifikasi virus dilakukan di Laboratorium VirologiTumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, FakultasPertanian, Institut Pertanian Bogor.

Deteksi Beberapa Virus pada Sampel Daun dariLapangan

Deteksi Menggunakan Enzyme LinkedImmunosorbent Assay (ELISA). Deteksi virusdilakukan dengan metode ELISA karena spesifikasi,kecepatan, bersifat kuantitatif, dan memiliki sensitivitastinggi (Clark & Adams, 1977). Deteksi dilakukanmenggunakan beberapa antiserum yaitu antiserum untukSquash mosaic comovirus (SqMV), Zucchini yellowmosaic potyvirus (ZyMV), Cucumber mosaiccucumovirus (CMV), Tobacco ringspot potyvirus(TRSV), dan Watermelon mosaic potyvirus (WMV).Metode ELISA yang digunakan yaitu metode Indirect-ELISA dan Metode Double Antibody Sandwich-ELISA (DAS-ELISA).

Metode Indirect-ELISA (I-ELISA). MetodeI-ELISA digunakan untuk mendeteksi CMV, SqMV, danZYMV, dengan pengenceran berturut-turut 1 : 200, 1 :200, 1 : 1 000 (Agdia, US) mengikuti metode Dijkstra &de Jager (1998). Kontrol negatif digunakan dari ekstraktanaman mentimun sehat sedangkan kontrol positifmerupakan ekstrak tanaman mentimun yang terinfeksioleh virus yang sesuai (Agdia, US). Nilai absorbansihasil ELISA dibaca menggunakan ELISA reader model550 (Bio-Rad, US) dengan panjang gelombang 405 nmpada 30 sampai 60 menit setelah penambahan cairansubstrat. Hasil ELISA dinyatakan positif jika nilaiabsorbansi sampel 2 kali lebih besar dari nilai absorbansikontrol negatif (Matthews, 1993).

Metode Double Antibody Sandwich-ELISA(DAS-ELISA). Metode DAS-ELISA digunakan untukmendeteksi TRSV dan WMV dengan pengenceranmasing-masing 1 : 1 000 (DSMZ, DE) mengikuti metode

Page 67: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

82 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 80–86

Clark & Adams (1977). Pembacaan nilai absorbansi hasilELISA dilakukan seperti diuraikan sebelumnya.

Deteksi Menggunakan Metode Polymerase ChainReaction(PCR)

Deteksi Begomovirus dilakukan dengan metodePCR karena sulitnya mendapatkan titer virus yang cukup,disebabkan sifat fisik dan kimia partikel virus sehinggasulit dimurnikan dalam bentuk stabil (Roberts et al.,1984). Tahapan deteksi terdiri dari (1) ekstraksi DNAtotal tanaman, (2) amplifikasi DNA target, dan (3)visualisasi hasil amplifikasi DNA. Ekstraksi DNA totaltanaman mentimun menggunakan metode Doyle &Doyle (1987) yang dimodifikasi. DNA hasil ekstraksidigunakan sebagai templat pada tahap amplifikasi denganteknik PCR menggunakan pasangan primer universalBegomovirus yaitu pAL1v1978 (5’-GCATCTGCAGGCCCACATYGTCTTYCCNGT-3’) dan pAR1c715(5’-GATTTCTGCAGTTDATRTTYTCRTCCATCCA-3’) (Rojas et al. 1993). Reaksi PCR (total volum25 µl) terdiri atas 16.3 µl H2O, 2.5 µl buffer 10x + Mg2+,0.5 µl dNTP10 mM, 1 µl primer pAL1v1978 10 mM, 1µl primer pAR1c71510 mM, 2.5 µl sucrose cresol 10x,0.2 µl Dream Taq DNA polymerase (Promega, Madison,WI), dan 1 µl sampel DNA. Program amplifikasidilakukan sebanyak 35 siklus, yang terdiri dari denaturasipada suhu 94 oC selama 1 menit, penempelan primer(annealing) pada suhu 50 oC selama 1 menit, danpemanjangan primer (extension) pada suhu 72 oCselama 1 menit. Hasil amplifikasi DNA dianalisis denganelektroforesis pada gel agarosa 1%, dan visualisasi pitaDNA dilakukan pada UV transilluminator.

Perunutan Basa Nukleotida dan AnalisisKeragaman Genetik. Fragmen DNA hasil amplifikasidikirim ke DNA Sequencing BioSM LaboratoriesMalaysia untuk perunutan nukleotida. Urutan nukleotidayang diperoleh kemudian digunakan untuk analisis tingkathomologinya dengan isolat-isolat Begomovirus lainnyayang terdapat di GenBank menggunakan perangkatBlast (www.ncbi.nlm.nih.gov).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan Sampel Tanaman MentimunTerinfeksi Begomovirus. Pengamatan penyakit didaerah Bogor dan Subang (Jawa Barat), Tegal danSukoharjo (Jawa Tengah), serta Sleman (DaerahIstimewa Yogyakarta) menunjukkan adanya variasigejala pada pertanaman mentimun. Gejala yang terlihatpada pertanaman mentimun di daerah Bogor dan Subangmemiliki beberapa perbedaan. Tanaman mentimun yangberada di Bogor menunjukkan gejala daun mengeriting,buah mengalami perubahan bentuk, ukuran daun danbuah menjadi lebih kecil dibandingkan ukuran normal(Gambar 1). Namun, gejala pada tanaman mentimunyang berada di Kasomalang, Subang berupa penebalanpada daerah tulang daun dengan warna hijau tua,sedangkan bagian lamina daun berwarna hijau muda,dan tepi daun berwarna kuning. Gejala ini sedikit berbedapada tanaman mentimun yang berada di Pagaden Barat(Subang), yaitu gejala kuning pada bagian lamina daun.

Pertanaman mentimun di daerah Jawa Tengahdan DI Yogyakarta menunjukkan beberapa kemiripangejala. Tanaman mentimun di kabupaten Tegal

A B C

D E F G

Gambar 1. Penyakit daun keriting kuning pada mentimun dari beberapa daerah yang menunjukkan variasi gejala:Situgede - Bogor (A), Dukuhwaru - Tegal (B), Kalasan - Sleman (C), Ngemplak - Sleman (D),Kasomalang - Subang (E), Pagaden Barat - Subang (F), Baki - Sukoharjo (G).

Page 68: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Septariani et al. Identifikasi Penyabab Daun Keriting Kuning Mentimun 83

menunjukkan gejala mosaik kuning pada bagian laminadaun, penebalan tulang daun sehingga berwarna hijautua, dan berkurangnya ukuran daun. Gejala ini miripseperti gejala yang terdapat pada tanaman mentimun didaerah Kalasan (Sleman), namun daun mentimun yangterdapat di Kalasan juga mengalami pelepuhan sehinggapermukaan daun menjadi tidak rata. Sampel yang berasaldari Ngemplak (Sleman) berbeda dengan sampel asalKalasan, yaitu tidak mengalami pelepuhan.

Variasi Gejala. Variasi gejala yang ditemukan padapertanaman di lapangan dapat disebabkan beberapafaktor, diantaranya dipengaruhi oleh infeksi oleh lebihdari satu jenis virus atau infeksi campuran. Syller (2012)menyatakan pada infeksi campuran beberapa virusterjadi interaksi dua virus atau lebih yang menginduksigejala lebih parah karena interaksi tersebutmeningkatkan replikasi virus. Renteria-Canet et al.(2011) menambahkan bahwa infeksi campuran menjadimasalah penting karena merupakan sumber potensialdari keragaman Geminivirus. Hal ini disebabkanterjadinya rekombinasi yang menghasilkan varian ataubahkan spesies virus baru. Infeksi campuranmenyebabkan gejala yang lebih parah, misalnyapertumbuhan apikal tanaman berhenti karena jaringanapeks tidak lagi membelah. Infeksi campuran dapatberupa interaksi aditif, sinergis, dan antagonis. Interaksisinergis menyebabkan gejala lebih parah dibandingkandengan infeksi virus secara tunggal (Pita et al., 2001).Faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi tersebutantara lain tipe dan umur tanaman inang, serta urutaninfeksi virus (Mendez-Lozano et al., 2003).

Variasi gejala tersebut muncul sebagai respontanaman dan dipengaruhi oleh kerentanan setiap varietas(genotip) tanaman terhadap virus maupun seranggavektornya (Matthews, 1992). Tanaman mentimun diBogor merupakan varietas Bandana yang menunjukkangejala lebih keriting, sedangkan tanaman mentimunvarietas Baby di Tegal menunjukkan daun menguningtanpa adanya gejala keriting. Sementara itu, tanamanmentimun di Subang merupakan varietas Sabana danhanya menunjukkan gejala mosaik dan menguning.Matthews (1992) menambahkan bahwa variasi gejalayang muncul juga dipengaruhi oleh faktor tanaman sepertiumur tanaman. Daun tanaman mentimun yang berasaldari Subang masih sangat muda, sehingga gejala yangtampak tidak terlalu jelas. Gejala penyakit keriting kuningyang jelas tampak pada sampel daun mentimun dariBogor, Tegal, dan Sleman. Selain dari faktor tanaman,variasi gejala juga dipengaruhi oleh faktor lingkunganseperti tingkat kesuburan tanah dan iklim di sekitartanaman (Sudiono et al., 2005). Kondisi lingkunganseperti suhu, kelembaban, dan curah hujan di daerahTegal, Sukoharjo, Sleman, dan Bogor berbeda-beda. Haltersebut dapat mempengaruhi respon tanaman mentimunterhadap infeksi beberapa virus yang ditunjukkan denganadanya gejala yang bervariasi.

Deteksi Virus. Infeksi Begomovirus, SqMV, ZyMV,dan CMV ditemukan pada hampir semua sampel, namuninfeksi TRSV dan WMV tidak ditemukan pada semuasampel (Tabel 1). Infeksi SqMV, ZyMV, dan CMVbanyak dilaporkan terjadi pada tanaman Cucurbitaceae.Ketiga virus memiliki kisaran inang yang luas dan dapatditularkan oleh lebih dari satu jenis serangga vektor, juga

Tabel 1. Hasil deteksi beberapa jenis virus dan karakter gejala pada tanaman mentimun di Bogor dan Subang(Jawa Barat), Tegal dan Sukoharjo (Jawa Tengah), serta Sleman (Daerah Istimewa Yogyakarta)

Keterangan : (+), sampel memberikan reaksi positif; (-), sampel memberikan reaksi negatif; SqMV,Squash mosaic comovirus; ZyMV, Zuchini mosaic potyvirus, CMV, Cucumber mosaiccomovirus; TRSV, Tobacco ringspot potyvirus; WMV, Watermelon mosaic potyvirusaKarakter gejala: Mo, mosaik; Mk, menguning; Ml, melepuh; K, keriting; Vb, vein banding; Kc,daun mengecil

Sampel daun asal Begomovirus SqMV ZyMV CMV TRSV WMV Karakter gejalaa

Situgede (Bogor) + + + + - - Mo, K, Ml, Kc Dukuhwaru (Tegal) + + - - - - Mo, Mk, Vb Kalasan (Sleman) + + + + - - Mo, Mk, Ml Ngemplak (Sleman) + + + + - - Mo, Mk, Vb Baki (Sukoharjo) + - - + - - Mo, Mk, Vb Kasomalang (Subang) - + + + - - Mo, Mk, Vb Pagaden Barat (Subang) - + + + - - Mo, Vb

Page 69: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

84 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 80–86

Tabel 2. Tingkat homologi (%) isolat Begomovirus dengan isolat Tomato leaf curl New Delhi virus-[Cucumber](TLCNDV-[Cuc]:AB613825)

secara mekanis melalui alat pertanian sehingga dapatmenyebar dengan cepat (Zitter & Murphy 2009, Sikora2004; Coutts 2006). Beberapa penelitian sebelumnyamelaporkan infeksi TRSV dan WMV sering ditemukanpada tanaman Cucurbitaceae. Kedua virus dapat tertularsecara mekanis dan TRSV dapat terbawa benih padatanaman mentimun (Coutts, 2006; Sikora, 2004). Namun,kedua virus tersebut tidak terdeteksi pada penelitian inikemungkinan karena konsentrasi kedua virus sangatrendah dibandingkan SqMV, ZyMV, dan CMV.

Provvidenti (1996) melaporkan sekitar 32 virusberbeda menginfeksi tanaman Cucurbitaceae di dunia.Seperti diuraikan di atas, infeksi campuran beberapavirus dapat menyebabkan munculnya gejala yang lebihparah (Renteria-Canet et al., 2011). Hal ini tampak padasampel asal Bogor dan Sleman (Kalasan dan Ngemplak)yang terinfeksi oleh 5 virus (Begomovirus, SqMV,ZyMV, dan CMV) secara bersamaan menunjukkangejala yang lebih parah dibandingkan sampel lainnyayaitu berupa daun keriting, mosaik, menguning, danmelepuh.

Deteksi penyebab penyakit daun keriting kuningpada sampel mentimun dengan teknik PCRmenggunakan pasangan primer pAL1v1978/pAR1c715

menunjukkan adanya pita DNA berukuran 1600 pasangbasa pada sampel mentimun yang berasal dari Tegal,Sleman (Kalasan dan Ngemplak), serta Bogor (Gambar2). Fragmen DNA tersebut merupakan DNA spesifikBegomovirus, sehingga membuktikan bahwa sampel-sampel tanaman mentimun tersebut terinfeksiBegomovirus. Pasangan primer yang sama(pAL1v1978/pAR1v715) telah digunakan untukmendeteksi berbagai spesies Begomovirus, antara lainTomato leaf curl virus pada tomat dan labu (Bela-ong& Bajet, 2007), Okra yellow crinkle Mali virus padatanaman okra (Abelmoschus esculentus) (Shih et al.,2006), Malvastrum yellow mosaic Jamaica virus padagulma (Malvastrum americanum dan Sida spinosa)(Graham et al., 2006), dan Tobacco mottle leaf curlvirus pada tanaman tembakau (Nicotiana tabacum)(Dominguez et al., 2008).

Kelima isolat yang berasal dari Tegal, Sleman(Kalasan dan Ngemplak), serta Bogor memilikikemiripan basa nukleotida sangat tinggi (95,7% hingga98,6%) dengan isolat Tomato leaf curl New Delhivirus-[Cucumber:Indonesia] (AB613825) (Tabel 2).Menurut Fauquet & Stanley (2005), isolat Begomovirusyang memiliki kemiripan basa nukleotida lebih dari 89%

M 1 2 3 4 5 6 7 8

1600 bp 1500 bp 2000 bp

Gambar 2. Hasil amplifikasi PCR menggunakan pasangan primer pAL1v1978/pAR1c715. (M) penanda DNA1 kb ladder (Fermentas, USA); (1) kontrol negatif (air); (2) isolat Tegal; (3) isolat Kalasan; (4)isolat Ngemplak; (5) isolat Kasomalang; (6) isolat Pagaden Barat; (7) isolat Bogor; (8) isolatSukoharjo.

Asal isolat Tanaman inang Panjang basa nukleotida (bp) Tingkat homologi (%)

Dukuhwaru (Tegal) Cucumis sativus 1592 98,4 Kalasan (Sleman) C. sativus 1633 98,6 Ngemplak (Sleman) C. sativus 1592 98,4 Baki (Sukoharjo) C. sativus 1474 98,6 Situgede (Bogor) C. sativus 1512 95,7

Page 70: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Septariani et al. Identifikasi Penyabab Daun Keriting Kuning Mentimun 85

DAFTAR PUSTAKA

Aidawati N, Hidayat SH, Suseno R, Hidayat P, &Sujiprihati S. 2005. Identifikasi Geminivirus yangmenginfeksi tomat berdasarkan pada teknikpolymerase chain reaction-restrictionfragment length polymorphim. JurnalMikrobiologi Indonesia 10(1): 29–32.

Bela-ong DB & Bajet NB. 2007. Molecular detectionof whitefly-transmissible Geminiviruses (familyGeminiviridae, genus Begomovirus) in thePhilippines. Philipp. J. Sci. 36(2): 87–101.

Clark MF & Adams AN. 1977. Characteristics of themicroplate method of enzyme-linkedimmunosorbent assay for the detection of plantviruses. J. Gen. Virol. 34(3): 475–483.

Coutts B. 2006. Virus disease of cucurbit crops.Farmnote. http://archive.agric.wa.gov.au/objtwr/imported_assets/content/hort/veg/pw/fn2006_viruscucurbits_bcoutts.pdf. [diakses 10Jan 2014].

Dijkstra J & de Jager CP. 1998. Practical PlantVirology. Protocol and Exercise. Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Berlin.

Dominguez M, Ramos PL, Sanchez Y, Crespo J, AndinoV, Pujol M, & Borroto C. 2008. Tobacco mottleleaf curl virus, a new Begomovirus infectingtobacco in Cuba. New Dis. Rep. 18: 32.

Doyle JJ & Doyle JL. 1987. A rapid DNA isolationprocedure for small quantities of fresh leaf tissues.Phytochem. Bull. 19: 11–15.

Fauquet CM & Stanley J. 2005. Revising the way weconceive and name viruses below the speies level:a review of Geminivirus taxonomy calls for newstandardized isolate descriptions. Arch. Virol. 150:2151.

Graham AP, Stewart CS, & Roye ME. 2006. First reportof a Begomovirus infecting two common weeds:Malvastrum americanum and Sida apinosa inJamaica. New Dis. Rep.13: 44.

Hidayat SH, Chatchawankanpanich O, Rusli E, &Aidawati N. 2006. Begomovirus associated withpepper yellow leaf curl disease in West Java,Indonesia. J. Indon. Microbiol. 11(2): 87–89.

Ito T, Sharma P, Kittipakorn K, & Ikegami M. 2008.Complete nucleotide sequence of a new isolateof Tomato leaf curl New Delhi virus infectingcucumber, bottle gourd, and muskmelon inThailand. Arch. Virol. 153: 611–613.

Matthews REF. 1993. Diagnosis of Plant virusdisease. CRC Press, Florida.

Matthews REF. 1992. Fundamentals of Plant Virology.Academic Press Inc, San Diego.

Méndez-Lozano J, Torres-Pacheco I, Fauquet CM, &Rivera-Bustamante RF. 2003. Interactionsbetween geminiviruses in a naturally occurringmixture: Pepper huasteco virus and Pepper goldenmosaic virus. Phytopathol 93: 270–277.

Mizutani T, Daryono BS, Ikegami M, & Natsuaki KT.2011. First report of Tomato leaf curl New Delhivirus infecting cucumber in Central Java,Indonesia. Plant Dis. 95(11): 1485.

termasuk dalam spesies virus yang sama. Hal tersebutmenunjukkan bahwa kelima sampel merupakan isolatTLCV yang menginfeksi tanaman mentimun.

SIMPULAN

Penyakit daun keriting kuning dengan gejalamosaik kuning, keriting, dan melepuh pada mentimun diJawa Barat, Jawa Tengah, dan Daerah IstimewaYogyakarta disebabkan oleh Tomato leaf curl NewDelhi virus, dan berasosiasi dengan infeksi Squashmosaic virus, Zucchini yellow mosaic virus, danCucumber mosaic virus.

SANWACANA

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitiankerjasama antara Fakultas Pertanian Institut PertanianBogor dengan AusAID_funded EconomicCooperation Work Program of the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement . Penulismenyampaikan terima kasih kepada John Thomas(Department of Employment, Economic Developmentand Innovation Queensland Australia) atas fasilitasdan bantuan yang telah diberikan selama pelaksanaanpenelitian ini.

Page 71: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

86 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 80–86

Pita JS, Fondong VN, Sangare A, Otim-Nape GW,Ogwal S, & Fauquet CM. 2001. Recombination,pseudorecombination and synergism ofgeminiviruses are determinant keys to theepidemic of severe cassava mosaic disease inUganda. J. Ge. Virol. 82: 655–665.

Provvidenti R. 1996. Disease Caused by Viruses.Compendium of Cucurbit Disease. TheAmerican Phytopathological Society Press,Minnesota.

Renteria-Canett IR, Xoconostle-Cazares B, Ruiz-Medrano R, & Rivera-Bustamante RF. 2011.Geminivirus mixed infection on pepper plants:Synergistic interaction between PHYVV andPepGMV. Virology Journal 8: 104–117.

Robert IM, Robinson DJ, & Harrison BD.1984Serological relationship and genomehomologies among Geminiviruses. J. Gen Virol65: 1723–1730.

Rojas MR, Gilbertson RL, Russeli DR, & Maxwell DP.1993. Use of degenerate pr imers in thepolymerase chain reaction to detect whitefly-transmitted geminiviruses. Plant Dis. 77: 340–347.

Samretwanich K, Chiemsombat P, Kittipakorn K, &Ikegami M. 2000a. Tomato leaf curl geminivirusassociated with cucumber yellow leaf disease inThailand. J. Phytopathol. 148: 615–617.

Samretwanich K, Chiemsombat P, Kittipakorn K, &Ikegami M. 2000b. Yellow leaf disease ofcantaloupe and wax gourd from Thailand causedby Tomato leaf curl virus. Plant Dis. 84: 200.

Samretwanich K, Chiemsombat P, Kittipakorn K, &Ikegami M. 2000c. Yellow leaf disease ofmuskmelon from Thailand caused by Tomato leafcurl virus. Plant Disease 84: 707.

Santoso TJ, Hidayat SH, Duriat AS, Herman M, &Sudarsono. 2008. Identity and sequence diversityof Begomovirus associated with yellow leaf curldisease of tomato in Indonesia. Microbiology2(1): 1–7.

Shih SL, Green SK, Tsai WS, Lee LM, & Levasseur V.2006. First report of a distinct Begomovirusassociated with okra yellow crinkle disease inMali. New Disease Report 14: 45.

Sikora EJ. 2004. Plant Disease Notes: Mosaic virus ofCucurbits. Alabama Cooperative ExtensionSystem. http://www.aces.edu/pubs/docs/A/ANR-0876/ANR-0876.pdf. [diaskes 1 Mar 2014].

Sudiono, Yasin N, Hidayat SH, & Hidayat P. 2005.Penyebaran dan deteksi molekuler virus penyebabpenyakit kuning pada tanaman cabai di Sumatera.J. HPT Tropika 2(5): 113–121.

Syller J. 2012. Facilitative and antagonistic interactionsbetween plant viruses in mixed infections.Molecular Plant Pathology 13(2): 204-216.

Trisusilowati EB, Suseno R, Sosromarsono S, Barizi,Soedarmadi, & Nur MA. 1990. Transmission,serological aspects, and morphology of thetobacco krupuk virus. Indonesian Journal ofTropical Agriculture 2(1): 75–79.

Zitter TA & Murphy JF. 2009. Cucumber mosaic virus.The Plant Health Instuctor. DOI: 10.1094/PHI-I-2009-0518-01. [diaskes 1 Mar 2014].

Page 72: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

96 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 96–99 J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525

Vol. 14, No. 1: 96-99, Maret 2014

PINEAPPLE FRUIT COLLAPSE:NEWLY EMERGING DISEASE OF PINEAPPLE FRUIT

IN LAMPUNG, INDONESIA

Joko Prasetyo & Titik Nur Aeny

Plant Clinic LaboratoryDepartment of Agrotechnology, Faculty of Agriculture University of Lampung,

Bandar Lampung, Indonesia 35145E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Pineapple fruit collapse: newly emerging disease of pineapple fruit in Lampung, Indonesia Recently, a new disease onpineapple fruit has occurred in Lampung. Symptoms of the disease are complex. Fruits rotted and exuded copious liquid fromthe inter- fruitlet tissues accompanied by gas bubbles. Open spaces were formed inside the rotten fruit. Dissection of diseasedfruit showed many cavities within its sceletal fibres and bad odour was exerted from the rotten tissues. A bacterial entity wasisolated from the diseased materials. In a pathogenicity test, the isolated bacteria caused the same symptom as mentioned. Inthe growing-on test the crown of the heavily infected fruit showed heart rot symptom. Those indicated that the disease waspineapple fruit collapse. Both symptoms were known related to the same causal agent, Erwinia chrysanthemi (pineapplestrain Dickeya sp.). In our opinion, this is the first report of pineapple fruit collapse in Indonesia.

Key words: pineapple fruit collapse, pineapple heart rot, and Erwinia chrysanthemi

INTRODUCTION

In October 2013 our Plant Clinic Laboratoryrecieved samples of some diseased pineapple fruits fromNusantara Tropical Farm (NTF) Company located inWay Jepara area, East Lampung District. The companyhas never experienced the disease before but recentlyhas experienced heavy loss due to disease in theplantation. In 2012 the loss reached 50%. Two to threeweeks before ripening, the fruits rotted and collapsedimmediately. This article briefly reports thesymptomatology and etiology of the disease.

MATERIALS AND METHODS

In order to diagnose the disease, some steps wereconducted, i.e. observation of diseased fruits, isolationof the causative agent, pathogenicity test, and growing-on test. Observation of diseased fruits was done bycomparing appearance of the outer and the inner partsof diseased fruit with that of the healthy fruit. Toinvestigate the inner part of the fruit, the diseased fruitswere crossly and tranversely dissected. Diseased tissuesshowing early soft rot were sampled and cut into smallpieces, desinfected in chlorox for 1 minute, and

suspended in 5 ml sterile water. The suspension wasthen streaked on the TZC media and incubated for 24hours. One ooze of recovered bacteria was suspendedin 10 ml sterile water and injected into the inner part ofimmature-healthy fruit using a sterile syringe. Theinoculated fruits were incubated for five days.Thecrowns of heavily infected fruits were grown in sterilizedsoil for 4 weeks to observe development of heart rotto ascertain its association with Erwinia chrisanthemi.

RESULTS AND DISSCCUSION

Symptoms. The diseased fruits collected from the fieldshowed various symptoms as followed: the colour ofthe fruit skin was olive green and the fruit surfaceproduced liquid substance accompanied by bubbles ofgas (Figure 1a). Cross section of the diseased fruitshowed that the inner part of the fruit rotted, developedcavities (Figure1b), and produced tipically bad odorur.It was different from the healthy-mature fruit thatproduced pleasant odour. The rotting appearance couldreach the fruit core and then the crown base tissues(Figure 2). Thus, the pathogen might contaminate thisplanting material.

Page 73: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Prasetyo & Aeny Pinneapple Fruit Collapse: Newly Emerging Disease 97

Pathogen. We successfully isolated bacterial coloniesfrom the rotten fruit specimen. On TZC media thebacteria formed whitish colonies with reddish

Figure 1. Fruit skin surface appeared wet and produced bubbles (A), many cavities were formed within its sceletalfibres (B)

appearance in the center (Figure 3 ). Fur therinvestigation to characterize the bacteria is still goingon in our laboratory.

Figure 3. The growth of bacterial colonies (A), and bacterial streak (B) on TZC media

Figure 2. The rotting part reached the crown base area

Page 74: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

98 J. HPT Tropika Vol. 14, No. 1, 2014: 96–99

Pathoginicity Test . After ten days of incubation, theinoculated fruits rotted and produced similar symptomsas described earlier (Figure 4 ).

Growing-on Test. The crown from the heavily infectedfruit that has been incubated on soil for 4 weeks showeda heart rot symptom. The crown stem also rotted andthe leaves could easily be detached from crown axyl(Figure 5). Their rotted tissues also produced typicallybad odour as was in the rotted fruits.

The observed sympthom and tested to confirmthat the disease be the pineapple fruit collapse. Pineapplefruit collapse is commonly caused by Erwinia

chrysanthemi (pineapple strain Dickeya sp.)(Kaneshiro et al., 2008). However, Korres et al. (2010)from Brazilia suggested that pineapple fruit collapse wascaused by Klesiella sp. in combination with yeasts. Wesuspected that the bacteria is E. chrysanthemi for tworeasons. During 2011, Lampung (Indonesia) hasimported pineapple planting materials from the Phillipine,where the disease was known endemic in the country(Kaneshiro et al., 2008). The other reason is that thebacteria are capable of inciting two kinds of diseases,i.e. fruit collapse and heart rot of pineapple both of whichare shown and purcase (Figure 2, Figure 5).

A B

Figure 4. Symptoms of inoculated fresh fruit: fruit skin surface appeared wet and produced gas bubbles(A),many cavities were formed within its sceletal fibres (B)

Figure 5. The symptom of heart rot in base part of the leaf

Page 75: KELIMPAHAN DAN KEANEKARAGAMAN SPESIES LABA-LABA …fp.unmas.ac.id/wp-content/uploads/2018/10/Jurnal... · laba-laba pembuat jaring adalah Araneidae, sedangkan sisanya adalah laba-laba

Prasetyo & Aeny Pinneapple Fruit Collapse: Newly Emerging Disease 99

CONCLUSION

Based on observation on the disease symptomsand signs, results of pathogenicity test and growing-ontest, and comparison with available references (APPD,2011; Bartholomiew et al., 2003; DoA, 2009; Kaneshiroet al., 2008), we believe that the disease is thepineapple fruit collapse cause by Erwiniachrysanthemi.

ACKOWLEDGMENT

The outhors thanked NTF company for fundingthis work. We also thanked Prof. Dr. F.X.Susilo forreviewing this article and Dr. Suskandini Ratih whoassisted in the early diagnosis proccess.

REFERENCES

APPD. 2011 Australian Plant Pest Database. PlantHealth Australia. www.planthealthaustralia.com.au/appd. Accessed December 2013.

Bartholomew DP, Malezieux E, Sanewski GM, &Sinclair E.2003. Inflorescence and fruitdevelopment and yield. In: Bartholomew DP, PaullRE, & Rohrbach KG (Eds). The Pineapple –Botany, Production and Uses. Pp.167–202.CABI Publishing.

DoA. 2009. Fresh Pineapple Fruit of Malaysia. CropProtection and Plant Quarantine Division,Department of Agriculture, Malaysia.

Kaneshiro, WS, Burger M, Vine BG, de Silva AS, &Alvarez AM. 2008. Characterization of Erwiniachrysanthemi from bacterial heart rot ofpineapple out break in Hawaii. Plant Dis. 92:1444–1450.

Korres AMN, Ventura JA, & Fernandez PMB. 2010.First report of Bacterium and yeast assosciatedwith pineapple fruit collapse in Espirito SantoState, Brazil (Abster.). Plant Dis. 94(12): 1509.