kelainan tonsil
DESCRIPTION
jkkdTRANSCRIPT
FARING
1. Anatomi
Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang besar
di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada bagian atas,
faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada bagian depan
berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan laring di bawah
berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus.
Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. bagian ini
merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam keluar) selaput lendir , fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian
fasia bukofaringeal.
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur
– unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.
Mukosa pada nasofaring karena fungsinya sebagai saluran respirasi maka
mukosanya bersilia sedangkan epitel toraknya berlapis mengandung sel goblet.
Laringofaring dan orofaring karena memiliki fungsi untuk pencernaan, epitelnya
gepeng berlapis dan tidak bersilia. Faring merupakan pertahanan tubuh terdepan, di
sepanjang faring terdapat banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian
jaringan ikat yang termasuk dalam sistem retikuloendotelial sistem
Pada nasofaring bagian atas ditutupi oleh palut lendir yang terletak di atas
silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir fungsinya
untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang diisap dan
mengandung enzyme lyzozyme yang penting untuk proteksi.
Otot-otot faring terususn dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memamnjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m. konstriktor faring
superior, media dan inferior. Otot-otot ini terletak diluar berbentuk kipas dengan
tiap bagian bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Kerja
otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring, otot-otot ini dipersarafi oleh n.
Vagus (n. X). Sedangkan oto-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan
m.palatofaring. Letak otot-otot ini sebelah dalam. m. stilofaring fungsinya untuk
melebarkan faring dan menarik larik sedangkan m.palatofaring mempertemukan
ismus orofaring dan menaikan bagian bawah faring dan laring. Kedua otot ini bekerja
sebagai elevator dan penting pada saat menelan. m.stilofaring di persarafi oleh n.IX
dan m. palatofaring dipersarafi oleh n.X
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu
sarung fasia dari mukosa yaitu m. elevator veli palatine, m. tensor veli palatini, m.
palatoglosus, m. palatofaring dan m.azigos uvula.
m. elevator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan
kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X
m. tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba Eustachius,
dipersarafi oleh n.X
m. palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya
menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X. m. palatofaring
membentuk arkus posterior dipersarafi oleh n.X. m. azigos uvula otot kecil,
memperpendek dan menaikan uvula ke belakang atas. Dipersarafi oleh n.X
Faring mendapatkan darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak
beraturan. Yang utama dari cabagng a. karotis eksterna (cabang faring ascenden dan
cabang fausial) serta dari cabang palatini superior.
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasala dari fleksus faring
yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari nervus vagus, cabang dari
n. glosofaring dan serabut simpatis. Cabagng faring dari n. vagus berisi serabut
motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot
faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.
IX).
Aliran limfe dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media
dan inferior. Saluran limfe superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofaring dan
kelenjar getah bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar
getah bening jugulo-digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran
limfe inferior mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.1,2
2. Fisiologi
Fungsi faring terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara, dan untuk artikulasi.
- Fungsi faring dalam proses berbicara
Proses menelan dan berbicara terjadi gerakan terpadu dari otot-otot palatum dan
faring. Geraka ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kearah dinding
belakang. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.
salpingofaring dan m. palatofaring, kemudian m.levator veli palatini bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator veli
palatini menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior
faring. Jarak yang terisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) passavant pada dinding
belakang faring yang terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring
sebagai hasil gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi
aktif m. konstriktor faring superior. Mungkin 2 gerakan ini tidak bekrja pada waktu
yang sama. Tonjolan passavant ada yang menduga menetap pada periode fonasi,
tapi ada juga pendapat lain akan timbul dan hilang bersamaan dengan gerakan
palatum.
- Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal dan esofagal.
Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja
(voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring.
Gerakan disini tidak disengaja (involuntary). Fase esofagal, disini gerakannya tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makana bergerak secara peristaltik di esofagus
menuju lambung.
3. Kelainan faring
Faringitis
Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh
virus (40 - 60%), bakteri (5 – 40%), alergi, trauma, toksin dan lain – lain.
Faringitis akut adalah suatu sindrom inflamasi dari faring dan/atau tonsil yang
disebabkan oleh beberapa grup mikroorganisme yang berbeda. Faringitis dapat
menjadi bagian dari infeksi saluran napas atas atau infeksi lokal didaerah faring.
Faringitis kronis adalah faringitis yang terjadi setelah serangan akut yang
berkali – kali.
Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering dikeluhkan
akibat adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan
hipofaring.
2.2 Epidemiologi
Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis
kelamin, dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak.
Faringitis akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya meningkat
dan mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir
masa anak-anak dan kehidupan dewasa. Kematian yang diakibatkan faringitis jarang,
tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini.
2.3 Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Virus dan bakteri menginfiltrasi lapisan
epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada stadium
awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat. Eksudat
mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung menjadi kering dan
dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi, pembuluh darah dinding faring
menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu terdapat
dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak
pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan
membengkak.
2.4 Faringitis terbagi atas :
1. Faringitis akut
a. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis.
Gejala dan tanda
Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menalan.
Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.
Coxachievirus dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit
berupa maculopapular rash.
Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan
gejala konjungtivitis terutama pada anak.
Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi
eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa
diseluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.
Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri
tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan tampak
faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut dileher dan pasien
tampak lemah.
Terapi
Istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat.
Analgetika jika perlu dan tablet isap.
Antivirusmetisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes
simpleks dengan dosis 60 – 100 mg/kgBB dibagi dalam 4 – 6 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50
mg/kgBB dibagi dalam 4 – 6 kali pemberian/hari.
b. Faringitis bacterial
Infeksi grup A Stretokokus β hemolitikus merupakan penyebab
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Gejala dan tanda
Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang – kadang disertai
demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar
limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.
Terapi
a. Antibiotik
Dieberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A
Streptokokus β hemolitikus. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB IM
dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari
selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6 – 10 hari atau
erotromisin 4 x 500 mg/hari.
b. Kortikosteroid : deksametason 8 – 16 mg, IM, 1 kali. Pada anak 0,08 –
0,3 mg/kgBB, IM, 1 kali.
c. Analgetika
d. Kumur dengan air hangat atau antiseptik
c. Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring.
Gejala dan tanda
Keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
plak putih di orofaring dan mukosa faring lainnya hiperemis.
Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar Sabouroud dextrose.
Terapi
a. Nystatin 100.000 – 400.000 2 kali/hari.
b. Analgetika
d. Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontok orogenital.
Terapi
Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg, IM.
2. Faringitis kronik
Faringitis yang terjadi setelah serangan akut yang berkali – kali.
Patofisiologi
Pada proses radang kronis terdapat 2 bentuk, hipertrofi/hyperplasia dan
atrofi. Karena proses radang berulang, maka selain epitel terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti jaringan
parut.
Differensial Diagnosis
- Radang spesifik : TBC, jamur dan sifilis.
- Radang non-spesifik
- Keganasan
Pemeriksaan penunjang
- Laboratorium darah, urine rutin
- Bakteriologi
- Biopsi
Terdapat dua bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis
kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah
rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol, inhalasi uap
yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya
faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernapas melalui mulut karena
hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjdai perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral
band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior
tidak rata, bergranular.
Gejala
Pasien mengeluh mula – mula tenggorok kering, gatal dan akhirnya batuk
yang bereak.
Terapi
Terapi local dengan melakukan kaustik faring dengan memakai zat kimia
larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro cauter). Pengobatan
simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika diperlukan dapat
diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit di hidung dan
sinus paranasal harus diobati.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pada rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu lembabannya,
sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.
Gejala dan tanda
Pasien menegeluh tenggorok kering serta mulut berbau.
Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental
dan bila diangkat tampak mukosa kering.
Terapi
Pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis kronik
atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.
Faringitis Virus Faringitis Bakteri
Biasanya tidak ditemukan nanah di
tenggorokan
Sering ditemukan nanah di tenggorokan
Demam ringan atau tanpa demam Demam ringan sampai sedang
Jumlah sel darah putih normal atau agak
meningkat
Jumlah sel darah putih meningkat ringan
sampai sedang
Kelenjar getah bening normal atau sedikit
membesar
Pembengkakan ringan sampai sedang
pada kelenjar getah bening
Tes apus tenggorokan memberikan hasil
negatif
Tes apus tenggorokan memberikan hasil
positif untuk strep throat
Pada biakan di laboratorium tidak
tumbuh bakteri
Bakteri tumbuh pada biakan di
laboratorium
3. Faringitis spesifik
a. Faringitis luetika
Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti
juga penyakit lues di organ lain.
Gambaran kliniknya tergantung pada stasium penyakit primer, sekunder
atau tertier.
Stadium primer
Kelainan pada stasium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil
dan dinding posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi
terus berlangsung maka timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus
pada genitalia yang tidak nyeri. Juga di dapatkan pembesaran kelenjar
mandibula yang tidak nyeri tekan.
Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring yang
menjalar kea rah laring.
Stadium tertier
Pada stasium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan palatum.
Jarang pada dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring
dapat meluas ke vertebra servikal dan bila pecah dapat menyebabkan
kematian. Guma yang terdapat di palatum mole, bila sembuh akan
terbentuk jaringan parut yang dapat menimbulkan gangguan fungsi
palatum secara permanen.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Terapi penisilin
dalam dosis tinggi merupakan obat pilihan utama.
b. Faringitis tuberkulosa
Faringitis tuberculosis merupakan proses sekunder dari tuberculosis
paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul
tuberculosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan
sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara.
Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada
tuberculosis miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil
dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan pada dinding
posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum
mole dan palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak. Saat ini
juga penyebaran secara limfogen.
Gejala
Keadaan umum pasien buruk karena anoreksia dan odinofagia. Pasien
mengeluh nyeri yang hebat ditenggorok, nyeri ditelinga atau otalgia serta
pembesaran kelenjar limfa servikal.
Diagnosis
Untuk mengakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan sputum basil
tahan asam, foto thoraks untuk melihat adanya tuberculosis paru dan
biopsy jaringan yang terinfeksi untuk menyingkirkan proses keganasan
serta mencari kuman basil tahan asam di jaringan.
Terapi
Sesuai dengan terapi tuberculosis paru.
3.2 LIMFADENITIS TB
Limfadenitis tuberkulosis adalah limfadenitis kronis non spesifik yang
biasanya disebabkan bakteri mikobakterium tuberkulosis tipe bovin.
Fokal infeksi biasanya bukan berasal dari koch pulmonum (tuberkulosa ekstra
pulmonal). Infeksi terutama melalui mukosa orofaring.
Limfadenitis tuberkulosis sering terjadi pada orang dengan higiene yang kurang
baik.
Ciri khas limfadenitis tuberkulosis antara lain ditemukan pembesaran
kelenjar getah bening multipel, dapat terjadi periadenitis yang menggerombol
seperti untaian mutiara, dan keluar perkejuan pada permukaan kulit
(skrofuloderma). berbatas tegas, diskrit tetapi jika tidak di obati dapat besifat
fluktuatif seperti cold abscses
Untuk diagnosis, untuk daerah yang tidak mempunyai fasilitas
mencukupi biasa dapat menegakan diagnosis berdasarkan klinis, tetapi
walaupun begitu sangat direkomendasikan untuk melakukan biopsi jarum
halus (FNAB). Dari hasil FNAB ini biasanya dilakukan pemeriksaan
mycobacterium tuberkulosis baik untuk BTA (Basil tahan asam) saja atau dapat
juga dilakukan kultur. Untuk kondisi tertentu dapat dilakukan biopsi jaringan
jika pembesaran KGB tersebut diragukan dengan kemungkinan diagnosis lain.
Mengenai pengobatan (ini yang paling banyak ditanyakan), pada
prinsipnya sama dengan pengobatan pada Tuberkulosis paru. Saat ini
direkomendasikan pengobatan dengan menggunakan obat paru lini pertama
(selain injeksi streptomycin) dengan kombinasi 4 obat selama 2 bln dan
dilanjutkan INH, Rifampicin selama 4 bln. Atau dapat diberikan dengan
kombinasi 3 jenis obat dan dilanjutkan dengan INH dan Rifampicin selama 7
bulan. Mengenai suntikan streptomycin untuk limfadenits maka saat ini tidak
direkomendasikan oleh WHO. Hal ini juga dibuktikan oleh BTS (British Thoracic
Society) yang melakukan clinical trial menggunakan suntikan streptomycin dan
hasilnya memperlihatkan tidak jauh lebih baik dibanding kombinasi HRZE (INH,
Rifampicin, Pyrazinamid dan Etambutol).
Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno. Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro/ SMF Kesehatan THT-KL Rumah Sakit Dr.
Kariadi Semarang, Indonesia. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar
pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang. Semarang. 2007.
Referensi :
Guyton, AC,Hall,JE, Buku Ajar Fisiologi-Kedokteran, 1997, editor : Irawati setiawan, ed.9.
jakarta : EGC
Soedjak Sardjono, dkk. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung & Tenggorok. Jakarta : EGC.
2000.
Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Penyakit
Teling, Hidung dan Tenggorok. Surabaya: RSU Dr.Soetomo.2005
TONSIL
1. ANATOMI
a. Tonsil
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid permanen dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. Tonsil berfungsi
membantu menyaring bakteri dan mikroorganisme lainnya sebagai tindakan
pencegahan terhadap infeksi.
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi sebagai berikut :
- Tonsilla lingualis (tonsil pangkal lidah), terletak pada radix linguae.
- Tonsilla palatina (tonsil faucial), terletak pada isthmus faucium antara
arcusglossopalatinus dan arcus glossopharingicus.
- Tonsilla pharingeal (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring.
- Tonsilla tubaria (lateral band dinding faring), terletak pada bagian lateral
nasofaring di sekitar ostium tuba auditiva.
- Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsila lingualis, tonsila palatine, tonsila
pharingica dan tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu
masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan cincin
waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara
dan makanan. Jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertropi fisiologis
pada anak-anak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada umur 5 tahun dan
kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.
Jaringan limfoid pada cincin waldeyer berperan penting pada awal
kehidupan, yaitu sebagai daya pertahanan lokal yang setiap saat berhubungan
dengan agen dari luar (makan, minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun.
Fungsi ini didukung secara anatomis dimana didaerah faring terjadi tikungan
untuk jalannya material yang melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar,
sehingga terjadi turbulensi khususnya udara pernafasan. Dengan demikian
kesempatan kontak berbagai agen yang ikut dalam proses fisiologis tersebut
pada permukaan penyusun cincin waldeyer itu semakin besar
b. Tonsil palatina
Tonsil palatine (yang biasanya disebut tonsil saja) dan adenoid (tonsil faringeal)
merupakan bagian terpenting dari cincin waldeyer. Tonsil palatina adalah masa
jaringan limfoid yang terletak di dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring
dan dibatasi oleh arkus faring anterior/pilar anterior (otot palatoglosus) dan
arkus faring posterior/pilar posterior (otot palatofaringeus). Palatoglosus
mempunyai origo seperti kipas di permukaan oral palatum mole dan berakhir
pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun vertikal dan
di atas melekat pada palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak. Otot
ini meluas ke bawah sampai ke dinding atas esofagus. Otot ini lebih penting
daripada palatoglosus dan harus diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak
melukai otot ini. Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum
mole. Di inferior akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan
leteral dinding faring.
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsila palatina adalah :
- Anterior: arcus palatoglossus
- Posterior: arcus palatopharyngeus
- Superior: palatum mole
- Inferior: 1/3 posterior lidah
- Medial : ruang orofaring
- Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior oleh
jaringan areolar longgar. A. carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan
lateral tonsila, terletak di dalam fossa tonsilaris. Kapsul tonsil ini tidak
melekat erat pada otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.
Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai
10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil. Epitel yang melapisi tonsil
ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya
ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri,dan sisa makanan.
Tonsil tidak mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong di atasnya
dikenal sebagai fossa supra tonsilaris. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Bagian
luar tonsil terikat longgar pada muskulus konstriktor faring superior, sehingga
tertekan setiap kali makan.
Walaupun tonsil terletak di orofaring karena perkembangan yang
berlebih tonsil dapat meluas ke arah nasofaring sehingga dapat menimbulkan
insufisiensi velofaring atau obstruksi hidung walau jarang ditemukan. Arah
perkembangan tonsil tersering adalah ke arah hipofaring, sehingga sering
menyebabkan terjaganya anak saat tidur karena gangguan padajalan nafas.
Secara mikroskopik mengandung 3 unsur utama yaitu :
- Jaringan ikat/trabekula sebagai rangka penunjang pembuluh darah, saraf
dan limfa.
- Folikel germinativum dan sebagai pusat pembentukan sel limfoid muda.
- Jaringan interfolikuler yang terdiri dari jaringan limfoid dalam berbagai
stadium.
c. Histologi
Potongan dari tonsil, menunjukkan epitel-
epitel (f) yang akan berlanjut keluar ke kripte-kripte dari tonsil
d. Vaskularisasi dan Aliran Getah Bening
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna
yaitu: a.maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris
dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu
a.palatina desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal
dan a. faringeal asenden. a. tonsilaris berjalan ke atas dibagian luar m.
konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole.
Arteri palatina asenden, mengirim cabang-cabangnya melalui m. konstriktor
posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan
cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri
lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika
anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a.palatina
posterior memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan
membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
Aliran getah bening dari daerah tonsil menuju ke rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian posterior di bawah m.
sternokleidomastoideus. Selanjutnya ke kelenjar thoraks dan akhirnya
menuju duktuli thorasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh
melalui perjalanan aliran getah bening.
e. Innervasi
Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V melalui ganglion
sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N.IX).
Pemotongan pada n. IX menyebabkan anastesia pada semua bagian tonsil.
f. Imunologi tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-
0,2 % dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B
dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-57%:15-30%. Pada
tonsil terdapat system imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membrane), makrofag, sel dendrite dan APCs (antigen presenting cells) yang
berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel
plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil
mempunyai 2 fungsi utama yaitu :
1.) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif
2.) sebagai organ utamaproduksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik
2. Kelainan tonsil
Tonsilitis
I. DEFINISI
Tonsillitis adalah inflamasi pada tonsila palatine yang disebabkan oleh infeki virus
atau bakteri yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer.
II. PATOGENESIS
Saat bakteri dan virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya tersebut
dengan sel-sel darah putih. Hal ini akan memicu sistem kekebalan tubuh untuk
membentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang. Tetapi bila tonsil sudah
tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul
tonsilitis.
III. JENIS
Dalam beberapa kasus ditemukan 3 macam tonsilitis, yaitu tonsilitis akut,
tonsilitis membranosa, dan tonsilitis kronis.
4.1. Tonsilitis akut
a. Tonsilitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Haemofilus
influenza merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi
coxchakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka kecil pada
palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
Terapi
Istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus diberika jika gejala berat.
b. Tonsilitis bakterial
Etiologi
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus β hemolitikus,
pneumokokus, Streptokokus viridan, dan Streptokokus pyogenes. Hemofilus
influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif.
Patofisiologi
Penularan penyakit ini terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila kuman ini mengikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi, terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak
sebagai bercak kuning.
Detritus
Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila
bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi
tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini dapat melebar sehingga terbentuk membran
semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Manifestasi klinik
Gejala dan tanda-tanda yang ditemukan dalam tonsillitis akut ini meliputi demam
dengan suhu tubuh yang tinggi, nyeri tenggorok dan nyeri sewaktu menelan, nafas
yang berbau, rasa lesu, rasa nyeri di persendian, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di
telinga (otalgia). Rasa nyeri ditelinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf
n.glosofaringius (n.IX). Pada pemeriksaan juga akan nampak tonsil membengkak,
hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh
membrane semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.
Komplikasi
Otitis media akut (pada anak-anak), abses peritonsil, abses parafaring, toksemia,
septicemia, bronchitis, nefritis akut, miokarditis, dan arthritis.
Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur
mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal
sebagai Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
Pemeriksaan
1. Tes Laboratorium
Tes laboratorium ini digunakan untuk menentukan apakah bakteri yang ada dalam
tubuh pasien merupkan bakteri grup A, karena grup ini disertai dengan demam
reumatik, glomerulonefritis.
2. Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi bila diperlukan.
Terapi
Dengan menggunakan antibiotik spectrum lebar dan sulfonamide, antipiretik, dan
obat kumur yang mengandung desinfektan.
Perawatan
Perawatan yang dilakukan pada penderita tonsillitis biasanya dengan perawatan
sendiri dan dengan menggunakan antibiotic. Tindakan operasi hanya dilakukan jika
sudah mencapai tonsillitis yang tidak dapat ditangani sendiri.
a. Perawatan sendiri
Apabila penderita tonsilitis diserang karena virus sebaiknya biarkan virus itu hilang
dengan sendirinya. Selama satu atau dua minggu sebaiknya penderita banyak
istirahat, minum minuman hangat.
b. Antibiotik
Jika tonsilitis disebabkan oleh bakteri maka antibiotik yang akan berperan dalam
proses penyembuhan. Antibiotik oral perlu dimakan selama setidaknya 10 hari.
c. Tindakan operasi
Tonsilektomi biasanya dilakukan jika pasien mengalami tonsilitis selama tujuh kali
atau lebih dalam setahun, pasien mengalami tonsilitis lima kali atau lebih dalam dua
tahun, tonsil membengkak dan berakibat sulit bernafas, adanya abses.
4.2. Tonsilitis membranosa
Ada beberapa macam penyakit yang termasuk dalam tonsillitis membranosa
beberapa diantaranya yaitu Tonsilitis difteri, Tonsilitis septic, serta Angina Plaut
Vincent, penyakit kelainan darah seperti leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna serta infeksi mononucleosis, proses spesifik luas dan
tuberculosis, infeksi jamur moniliasis, aktinomikosis dan blastomikosis, serta infeksi
virus morbili, pertusis, dan skarlatina.
a. Tonsilitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan imunisasi pada bayi
dan anak.
Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah kuman Corynebacterium diphteriae yaitu suatu
bakteri gram positif pleomorfik penghuni saluran pernapasan atas yang dapat
menimbulkan abnormalitas toksik yang dapat mematikan bila terinfeksi bakteriofag.
Patofisiologi
Bakteri masuk melalui mukosa lalu melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran pernapasan atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling lalu selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalu
pembuluh darah dan limfe. Toksin ini merupakan suatu protein yang mempunyai 2
fragmen yaitu aminoterminal sebagai fragmen A dan fragmen B, carboxyterminal
yang disatukan melalui ikatan disulfide.
Manifestasi klinis
Tonsillitis difteri ini lebih sering terjadi pada anak-anak pada usia 2-5 tahun.
Penularan melalui udara, benda atau makanan, dan uang terkontaminasai dengan
masa inkubasi 2-7 hari. Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu:
1. Gejala umum dari penyaki ini adalah terjadi kenaikan suhu subfebris, nyeri
menelan, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, dan nadi lambat.
2. Gejala local berupa nyeri tenggorok, tonsil membengkak ditutupi bercak
putih kotor makin lama makin meluas dan menyatu membentuk membran semu.
Membran ini melekat erat pada dasar dan bila diangkat akan timbul pendarahan.
Jika menutupi laring akan menimbulkan serak dan stridor inspirasi, bila menghebat
akan terjadi sesak nafas. Bila infeksi tidak terbendung, kelenjar limfa leher akan
membengkak menyerupai leher sapi (bull neck).
Membran difteri
Bull neck
3. Gejala eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada
jantung berupa miokarditis sampai dekompensasi cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan, dan pada ginjal
menimbulkan albuminuria.
Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri harus dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis karena
penundaan pengobatan akan membahayakan jiwa penderita. Pemeriksaan preparat
langsung diidentifikasi secara fluorescent antibody technique yang memerlukan
seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C, difteri dengan pembiakan pada media
Loffler dilanjutkan tes toksinogenesitas secara vivo dan vitro. Cara PCR (Polymerase
Chain Reaction) dapat membantu menegakkan diagnosis tapi pemeriksaan ini mahal
dan masih memerlukan pengawasan lebih lanjut untuk menggunakan secara luas.
Pemeriksaan
1. Tes Laboratorium
Dilakukan dengan cara preparat langsung kuman (dari permukaan bawah membrane
semu). Medium transport yang dapat dipakai adalah agar Mac conkey atau Loffler.
2. Tes Schick (tes kerentanan terhadap difteria) : Caranya dengan 0,1 ml toksin
difteri yang telah didilusikan disuntikkan intradermal. Hasil positif jika timbul
kemerahan dan edema setelah penyuntikkan yang akan hilang dalam beberapa hari,
menunjukkan bahwa antibodi pasien tersebut tidak mampu melawan difteri
(diameter 5-10 mm). Hasil pseudopositif jika hanya terdapat kemerahan dan hilang
dengan cepat. Hasil negatif jika kemerahan dan edema tidak muncul.
Terapi
Anti difteri serum diberikan segera tanpa menunggu hasil kultur dengan dosis
20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan beratnya penyakit.
Tujuan dari pengobatan penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C.diphteria untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteri. Secara umum dapat dilakukan dengan cara
istirahat selama kurang lebih 2 minggu serta pemberian cairan.
Secara khusus dapat dilakukan dengan pemberian :
a. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)
b. Antibiotik : untuk menghentikan produksi toksin, yaitu Penisilin atau Eritromisin
25 – 50 mg/KgBB dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari.
c. Kortikosteroid : diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik. Dengan dosis 1,2
mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena penyakit ini
menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat di tempat tidur selama 2 –
3 minggu.
d. Pengobatan penyulit : untuk menjaga agar hemodinamika penderita tetap baik
oleh karena penyulit yang disebabkan oleh toksin umumnya reversible.
e. Pengobatan carrier : ditujukan bagi penderita yang tidak mempunyai keluhan.
Komplikasi
Laryngitis difteri dapat berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan
menyebabkan gejala sumbatan. Makin muda usia pasien makin cepat timbul
komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung.
Kelumpuhan otot palatum mole, kelumpuhan otot mata, otot faring laring sehingga
suara parau, kelumpuhan otot pernapasan.
Albuminuria sebagai akibat komplikasi ginjal.
Pencegahan
Untuk mencegah penyakit ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan pada diri
anak serta memberikan penyuluhan tentang penyakit ini pada anak-anak. Selain itu
juga diberikan imunisasi yang terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.
Tes kekebalan
1. Kekebalan aktif diperoleh dengan cara inapparent infection dan imunisasi
dengan toksoid diphtheria.
2. Kekebalan pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap
diphtheria (sampai 6 bulan) dan suntikan antitoksin (2-3 minggu).
b. Tonsillitis septic
Penyebab dari tonsillitis ini adalah Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam
susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh karena itu perlu adanya pasteurisasi
sebelum mengkonsumsi susu sapi tersebut.
c. Angina plaut Vincent
Etiologi
Penyakit ini disebabkan karena kurangnya hygiene mulut, defisiensi vitamin C serta
kuman spirilum dan basil fusi form.
Manifestasi klinis
Penyakit ini biasanya ditandai dengan demam sampai 39o celcius, nyeri kepala,
badan lemah, dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi, dan gusi berdarah.
Pemeriksaan
Mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak membrane putih keabuan di atas
tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau dan kelenjar
submanibula membesar.
Pengobatan
Memperbaiki hygiene mulut, antibiotika spectrum lebar selama 1 minggu, juga
pemberian vitamin C dan B kompleks.
d. Penyakit kelainan darah
Tidak jarang tanda pertama leukimia akut, angina agranulositosis dan infeksi
mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Kadang –
kadang terdapat perdarahan diselaput lendir mulut dan faring serta pembesaran
kelenjar submandibula.
Leukimia akut
Gejala pertama sering berupa epistaksis, perdarahan dimukosa mulut, gusi dan
dibawah kulit sehingga timbul bercak kebiruan. Tomsil membengkak ditutupi
membran semu tetapi tidak hiperemis dan rasa nyeri yang hebat ditenggorok.
Angina agranulositosis
Penyebabnya ialah akibat keracunan obat dari golongan amidopirin, sulfa dan arsen.
Pada pemeriksaan tampak ulkus di mukosa mulut dan faring serta disekitar ulkus
tampak gejala radang. Ulkus ini juga dapat ditemukan digenitalia dan saluran cerna.
Infeksi mononukleosis
Pada penyakit ini terjadi tonsilo faringitis ulsero membranosa bilateral. Membran
semu yang menutupi ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan. Terdapat
pembesaran kelenjar limfa leher, ketiak, dan regioinguinal. Gambaran darah khas
yaitu terdapat leukosit mononukleus dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain
adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah
domba (reaksi Paul Bunnel).
4.3. Tonsilitis kronis
Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil
yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti
misalnyasinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya.
Tonsillitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan
tidakjarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan
membesardisertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila
tonsil ditekan keluar detritus
Etiologi
Bakteri penyebab tonsillitis kronis sama halnya dengan tonsillitis akut yaitu
Streptokokus β hemolitikus. Infeksi yang berulang-ulang bias menyebabkan
terjadinya pembesaran tonsil melalui parenchyma atau degenerasi fibroid. , namun
terkadang bakteri berubah menjadi bakteri golongan Gram negatif.
Faktor predisposisi
Hygiene mulut yang buruk, kelelahan fisik, pengaruh cuaca, pengobatan tonsillitis
akut yang tidak adekuat, rangsangan kronik karena rokok maupun makanan.
Patofisiologi
Karena proses radang berulang maka epitel mukosa dan jarinagn limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut.
Jaringan ini akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar yang akan diisi
oleh detritus, proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini dapat
disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula
Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh ada penghalang/mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa
kering dan pernafasan berbau. Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar
denganpermukaan yang tidak rata, kriptus membesar, dan kriptus berisi detritus.
Gejala tonsilitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.) gejala lokal,yang
bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai
sakitmenelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala,
demamsubfebris, nyeri otot dan persendian, 3.) gejala klinis tonsil dengan debris di
kriptenya (tonsillitis folikularis kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis
parenkimatosakronis), tonsil fibrotic dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika
tonsilaris anteriorhiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur
jarakantara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial
kedua tonsil,maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
- TO : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat
- T1: <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
- T2 :25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
- T3: 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
- T4: > 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofarin
Pemeriksaan penunjang
Kultur dan uji resistensi kuman dari sedian apus tonsil.
Pemeriksaan histopatologi
(a). Lumen dari kripte berisi bakteri dan sel inflamasi
(polimorf dan limfosit). (b) Peningkatan vaskularisasi dan hyperplasia dari jaringan
limfoid.
Diagnosis Banding
a
b
Penyakit-penyakit yang disertai dengan pembentukan pseudomembran yang
menutupi tonsil (tonsillitis membranosa)
a. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kumanCorynebacterium diphteriae. Tidak semua orangyang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titerantitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapatdianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi 3golongan besar, umum,
local dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum samaseperti gejala infeksi lain, yaitu
demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsumakan, badan lemah, nadi lambat dan
keluhan nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsi membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran
yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya
pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf
cranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan serta
pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (390C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit
tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi.Pada pemeriksaan
tampak membrane putih keabuan di tonsil, uvula, dindingfaring, gusi dan prosesus
alveolaris.Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan
kelenjar submandibula membesar.
c. Mononucleosis infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane semu yang menutup
ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesarankelenjar limfe
leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran darah khas yaituterdapat leukosit
mononucleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lainadalah kesanggupan serum
pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darahmerah domba (Reaksi Paul Bunnel)
Terapi
Terapi mulut (terapi lokal) ditujukan kepada hygiene mulut dengan berkumur atau
obat isap.
Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan pengangkatan
tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau
yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala. Penatalaksanaan medis
termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan sehari-hari dan usaha
untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral). Ukuran jaringan
tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun berulang
INDIKASI TONSILEKTOMI
Indikasi absolute. Indikasi – indikasi untuk tonsilektomi yang hampir absolute adalah
sebagai berikut :
1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis
2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat
badan penyerta.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma)
5. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya.
Indikasi Relatif
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan
terapi yang adekuat.
b. Halitosis (bau mulut) akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan
pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptococcus β hemoliticus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Kontraindikasi
1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang
2. Infeksi sistemik atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala – gejala obstruksi
5. Rinitis alergika
6. Asma
7. Diskarsia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis
Indikasi tonsilektomi yang dapat diterima pada anak – anak :
1. Serangan tonsillitis berulang yang tercatat (walaupun telah diberikan
penatalaksanaan medis yang adekuat).
2. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap dan
patogenik (keadaan karier).
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional (misalnya, penelanan)
4. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah infeksi
mononucleosis (biasanya pada dewasa muda).
5. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang berhubungan
dengan tonsillitis rekurens kronis dan pengendalian antibiotic yang buruk.
6. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons terhadap
penatalaksanaan medis (biasanya dewasa muda).
7. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan abnormalitas
orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan napas bagian atas.
8. Tonsillitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan adenopati servikal
persisten.
Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronis, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum, endokarditis,
arthritis, miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitus, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan
furunkulosis.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma.
KANKER TONSIL
Pendahuluan
Orofaring merupakan bagian posterior dari rongga mulut dan satu per tiga lidah
bagian posterior. Orofaring terdiri dari tonsil lingual, tonsil palatina, palatum molle
dan dinding faring posterior. Lesi pada tempat-tempat in seringkali tidak ada gejala
pada stadium awal, sehingga pasien datang ketika sudah stadium akhir. Kanker
orofaring terjadi pada 8750 pasien di Amerika Serikat setiap tahun, 4250 diantaranya
meninggal. Laki=laki memiliki resiko yang lebih tinggi 3-5 kali lipat daripada
perempuan. Insidens tersebut berhubungan dengan konsumsi alkohol dan rokok.
Patogenesis
Rongga mulut dan orofaring diliputi oleh epitel skuamosa. Oleh karena itu, kanker
yang terjadi pada regio ini sering kali memberikan gambaran sel skuamosa.
Karsinoma verukosa merupakan salah satu karsinoma sel skuama yang ringan dan
jarang bermetastasis. Glandula air liur pada kavitas oral dan orofaring dapat
menyebabkan adenokarsinoma, karsinoma kistik adenoid, karsinoma
mukoepidermoid, dan karsinoma ringan polimorfosis. Limfoma merupakan salah
satu jenis kanker yang dapat terjadi pada fossa tonsilar.
Kanker pada rongga mulut seringkali didahului oleh lesi premaligna. Leukoplakia dan
eritroplakia merupakan bagian yang putih dan merah, abnormal, namun bukan
neoplastik. Lesi ini dapat ditentukan dengan biopsi menggunakan mikroskop. Area ini
biasanya jinak, prekanker atau dapat invasif. Lesi prekanker merupakan suatu lesi
yang diplastik dan memiliki susunan sel yang maligna namun jarang menginvasi sel
epitel normal suatu jaringan. Displasia merupakan suatu keadaan yang cenderung
akan menjadi kanker, baik ringan, sedang ataupun berat. Displasia dengan bentuk
jinak, dapat mengalami regresi bila agen karsinogenik disingkirkan. Leukoplakia
biasanya merupakan kondisi yang jinak dan jarang menjadi kanker. Eritroplakia
merupakan suatu lesi yang lebih sering menjadi kanker (51%).
Secara klinik, lesi mukosa muncul sebagai nodul atau ulkus dangkal dengan batas
yang tidak jelas. Tumor ini dapat menjadi eksofitik atau infiltratif, dan akan
menginvasi otot, sehingga akan mengalami kesulitan berbicara dan makan.
Insidens pembesaran kelenjar limfe dari kanker pada rongga mulut berhubungan
dengan tempat dan ukuran tumor primer. Tumor orofaring jarang berhubungan
dengan metastasis ke kelenjar limfe. Bila tumor ini menginvasi kelenjar limfe,
biasanya akan terdapat drainase pada jugulodigastrik basin dan nodus retrofaringeal.
Paru-paru, hepar dan tulang merupakan tempat yang sering mengalami metastasis
akibat kanker orofaring.
Pencegahan
Berhenti merokok dapat mengurangi resiko kanker mulut secara signifikan.
Penurunan penggunaan alkohol, terutama pada perokok dapat mengurangi insidens
dari kanker.
Tanda dan gejala
Tanda dan gejala pada kanker mulut dan orofaring biasanya adalah pembengkakkan
daerah mulut dan lesi putih atau merah pada rongga mulut. Gejala yang lain dapat
ditemukan ulkus yang tidak sembuh pada bagian mulut, perdarahan dan rasa sakit
yang tidak biasa pada mulut, kesulitan untuk mengunyah, menelan atau berbicara,
perubahan suara, penjalaran sakit ke arah telinga dan massa pada leher.
Laboratorium
Pemeriksaan lab yang bermakna adalah darah lengkap, kimia darah, termasuk fungsi
herpar untuk mengetahui kemungkinan metastasis.
Radiologi
CT dan MRI bagian kepala dan leher dapa dilakukan untuk mengetahui lesi primer
dan metastasis nodus limfatikus. MRI dapat dipakai untuk mengevaluasi jaringan
yang lunak. CT Scan lebih baik untuk melihat tulang kortikal. Rontgen thorak
sebaiknya dilakukan untuk mengetahui apakah ada metastasis atau tidak.
Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan khusus dilakukan untuk membuat diagnosis lebih tepat dan untuk
menentukan stadium kanker. Adapun pemeriksaan tersebut adalah Pemeriksaan
dalam anestesi, laringoskopi direk, mengetahui posisi tumor dengan pewarnaan
menggunakan zat warna toluidine blue, menggunakan PET Scan untuk mengetahui
metastasis, evaluasi pre radiasi dental dan pemeriksaan audiologi, film panorex
mandibula untuk mengetahui invasi ke mandibula.
SISTEM TNM
BENIGN & MALIGNANT LESIONS OF THE ORAL CAVITY, OROPHARYNX, &
NASOPHARYNX
Primary Tumor (T)
TX: Primary tumor cannot be assessed
T0: No evidence of primary tumor
Tis: Carcinoma in situ
T1: Tumor
≤ 2 cm in greatest dimension
T2: Tumor > 2 cm but not > 4 cm in greatest dimension
T3: Tumor > 4 cm in greatest dimension
T4: (Lip) Tumor invades through cortical bone, inferior alveolar nerve, floor of
mouth, or skin of face, ie, chin or nose1
T4a: (Oral cavity) Tumor invades through cortical bone, into deep (extrinsic) muscle
of tongue (genioglossus, hyoglossus,
palatoglossus, and styloglossus), maxillary sinus, or skin of face
T4b: Tumor involves masticator space, pterygoid plates, or skull base and/or encases
internal carotid artery
Regional Lymph Nodes (N)
NX: Regional lymph nodes cannot be assessed
N0: No regional lymph node metastasis
N1: Metastasis in a single ipsilateral lymph node
≤ 3 cm in greatest dimension
N2: Metastasis in a single ipsilateral lymph node > 3 cm but not
> 6 cm in greatest dimension; or in multiple ipsilateral
lymph nodes, none > 6 cm in greatest dimension; or in bilateral or contralateral
lymph nodes, none > 6 cm in
greatest dimension
N2a: Metastasis in a single ipsilateral lymph node > 3 cm but not > 6 cm in greatest
dimension
N2b: Metastasis in multiple ipsilateral lymph nodes, none > 6 cm in greatest
dimension
N2c: Metastasis in bilateral or contralateral lymph nodes, none > 6 cm in greatest
dimension
N3: Metastasis in a lymph node > 6 cm in greatest dimension
Distant Metastasis (M)
MX: Distant metastasis cannot be assessed
M0: No distant metastasis
M1: Distant metastasis
Stage Grouping:
0: Tis N0 M0
I: T1 N0 M0
II: T2 N0 M0
III: T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVA: T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVB: Any T N3 M0
T4b Any N M0
IVC: Any T Any N M1
1Superficial erosion alone of bone/tooth socket by gingival primary is not sufficient
to classify as T4.
Diagnosis banding
Ketka mengevaluasi pasien dengan gejala-gejala diatas, makan diagnosis banding
dari lesi keganasan adalah infeksi bakteri atau virus, leukoplakia atau eritroplakia,
displasia, eosinofilik granuloma, fibroma, tumor giant cell, granuloma piogenik,
papiloma, dan xanthoma verukiform.
Pengobatan
Pada stadium awal, terutama bila tumor berasal dari palatum molle atau pilar tonsil,
dapat dilakukan terapi pembedahan berupa diseksi leher ipsilateral. Tumor yang
berada di daerah midline harus dilakukan diseksi leher bilateral. Radiasi dapat
digunakan setelah operasi pada pasien-pasien yang berseiko tinggi. Keuntungan dari
radioterapi ini dapat menghilangkan lesi di nodus regional termasuk nodus
retrofaring yang sering sulit dilakukan pembedahan.
Lesi yang lebih ganas biasanya berasal dari fosa tonsilar, namun dapat disembuhkan
dengan pembedahan radikan yang diikuti radioterapi postoperatif. Untuk lesi yang
berasal dari fosa tonsilar, penitng sekali untuk mendiagnosis limfoma sebelum
memulai terapi.
Referensi:
Lalwani.K. CURRENT Diagnosis And Treatment Otolaryngology – Head And Neck Surgery.
2nd edition. New York: McGrawHill; 2008 : 356-367.
LARING
1. Anatomi
Batas atas laring adalah aditus laring, Batas bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir
bawah kartilago krikoid, Batas depannya ialah permukaan
belakang epiglotis, Batas lateralnya ialah membran
kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus
kartilago krikoid., Batas belakangnya ialah m.aritenoid
transversus dan lamina kartilago krikoid, Bangunan kerangka
laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid, dan
beberapa buah tulang rawan.
Tulang rawan yang menyusun laring adalah:
- kartilago epiglotis
- kartilago krikoid
- kartilago aritenoid
- kartilago kornikulata
- kartilago tiroid
- kartilago cuneiformis
- kartilago tritisea
Rongga Laring terdiri dari plika vokalis (pita suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara
palsu) dimana membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu :
1. vestibulum laring vestibulum laring
ialah rongga laring yang terdapat di atas plika
ventrikularis
2. glotik dan
3. Subglotik adalah rongga laring yang
terletak di bawah pita suara (plika vokalis)
Otot-otot ekstrinsik terletak :
- diatas tulang hioid (suprahioid)
- m.digastrikus
- m.geniohioid
- m.stilohioid dan
- m.milohioid
- dan ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid):
- m.sternohioid
- m.omohioid dan
- m.tirohioid
Otot-otot intrinsik :
- bagian lateral laring
- m.krikoaritenoid lateral
- m.tiroepiglotika
- m.vokalis
- m.tiroaritenoid
- m.ariepiglotika dan
- m.krikotiroid
- bagian posterior
- m.aritenoid transversum
- m.aritenoid oblik dan
- m.krikoaritenoid posterior.
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus :
1. n.laringis superior
mempersarafi m.krikotiroid, sehingga
memberikansensasi pada mukosa laring dibawah pita suara
2. n.laringis inferior
merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu
memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior
Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang :
1. a.laringis superior merupakan cabang dari a.tiroid superior
2. a.laringis inferior merupakan cabang. dari a.tiroid inferior
2. FISIOLOGI
- Proteksi : untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea.
- Batuk : benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat dibatukkan ke luar.
- Respirasi : dengan mengatur besar kecilnya rima glotis.
- Sirkulasi : perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeobronkial akan dapat
mempengaruhi sirkulasi darah dari alveolus.
- Menelan dengan 3 mekanisme :
- gerakan laring bagian bawah ke atas
- menutup aditus laringis
- mendorong bolus makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.
- Emosi :untuk mengekpresikan emosi, seperti berteriak, mengeluh, menangis
- Fonasi :membuat suara dan menentukan tinggi rendahnya nada
3. Kelainan laring
Penyakit-penyakit yang menyebabkan suara serak :
1. Peradangan
Laringitis Akut
Laringitis kronik non spesifik
Laringitis kronik spesifik
Tuberculosa
Lues
Nodul pita suara
2. Tumor
Tumor jinak
Tumor ganas
3. Gangguan neurogenik pada laring
I. LARINGITIS AKUT
Radang akut laring, pada umumnya merupakan kelanjutan dari
rinofaringitis (common cold). Pada anak laringitis akut ini dapat menimbulkan
sumbatan jalan napas dengan cepat karena rima glotisnya relatif lebih
sempit, sedangkan pada orang dewasa tidak secepat pada anak.
1. Etiologi
Sebagi penyebab radang ini ialah bakteri yang menyebabkan radang
local atau virus yang menyebabkan peradangan sistemik.
2. Gejala dan Tanda
Pada laryngitis akut terdapat gejala radang umum, seperti demam,
dedar (malaise), serta gejala local, seperti suara parau sampai tidak
bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan atau berbicara, serta
gejala sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk kering dan lama-
kelamaan disertai dengan dahak kental.
Pada pemeriksaan tampak mukosa laring hiperemis, membengkak,
terutama di atas dan di bawah pita suara. Biasanya terdapat juga tanda
radang akut di hidung atau sinus paranasal atau paru.
3. Terapi
Istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari. Menghirup udara
lembab. Menghibdari iritasi pada faring dan laring, misalnya merokok,
makanan pedas atau minum es.
Antibiotika diperlukan apabila peradangan berasal dari paru. Bila terdapat
sumbatan laring, dilakukan pemasangan pipa endotrakea, atau
trakeostomi.
II. LARINGITIS KRONIK NON-SPESIFIK
Laringitis akur biasanya ringan ,dapat sembuh sendiri, sering sebagai
manifestasi infeksi saluran napas bagian atas yang lebih menyeluruh.
Etiologi
Penyebab infeksi ini hampir selalu virus. Invasi bakteri biasanya
sekunder. Laryngitis hamper selalu berkaitan dengan rhinitis akut (coryza)
atau nasofaringitis. Serangan infeksi mungkin akibat pemaparan terhadap
perubahan suhu mendadak, defisiensi makanan, malnutrisi dan daya tahan
rendah. Paling sering pada musim dingin dan mudah ditularkan.
Patologi
Terdapat dilatasi kapiler dan hiperemis dan disertai dengan edem
umum ekstraseluler. Pada permulaan terjadi infiltrasi leukosit submukosa,
terutama oleh sel-sel mononukleus, kemudian sel-sel polimorfonukleus
munul jika terjadi infeksi bakteri sekunder. Lapisan mukosa superfisial
biasanya mengelupas dan mungkin terbentuk ulkus dangkal yang ditutupi
oleh pseudomembran.
Manifestasi klinik
Gejala biasanya seperti salesma dengan suara serak. Gejala pertama
pada tenggorok dapat berupa rasa kering, kasar dan perubahan nada suara.
Biasanya terdapat batuk-batuk. Jika terdapat edema pita suara akan timbul
afonia dan mungkin stridor inspirasi ringan. Demam biasanya rendah dengan
suhu sekitar 38,5 0C. Pada tahap awal secret laring sedikit kemudian menjadi
banyak dan kental, dan mungkin bercampur darah.
Pada mukosa laring terdapat berbagai tingkat radang dan edem
mukosa . mukosa mungkin bergranular disertai, ulkus kecil superficial dan
daerah dengan pembentukan pseudomembran berwarna keabu-abuan.
Gerak pita suara normal, meskipun tepi pita suara merah dan edem dan
biasanya tampak polipoid karena edem pada ruang rienke.
Diagnosis
Diagnosis di tegakkan dari riwayat penyakit dan kelainan laring.
Biakan tenggorok diperlukan bila penyakit menetap atau resisten. Isolasi virus
penyebab dari apusan tenggorok hanya diperlukan jika ada kemungkinan
epidemi.
Terapi
Terapi berupa istirahat dan pemberian obat-obatan simtomatis untuk
demam, batuk dan nyeri tenggorok. Istirahat suara harus total. Humidifikasi
di kamar yang dingin dan pemberian ekspektoran dapat mengurangi rasa
kering dan gatal ditenggorok serta mengencerkan secret. Bila laryngitis hebat
dan terdapat stridor, dapat digunakan tenda uap dingin. Harus diusahakan
khusus untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh guna menghindari
pengentalan secret. Antibiotik berspektrum luas mungkin menolong untuk
mencegah infeksi sekunder terhadap mukosa pada kasus lebih berat.
Sebagian besar pasien akan sembuh dengan terapi conservative, tetapi
penyakit cendrung lebih berat pada pasien dengan usia lanjut dan mungkin
disertai komplikasi pneumoni. Karena itu pasien usia lanjut harus diawasi
dengan ketat akan progesivitas infeksinya.
III. LARINGITIS KRONIK SPESIFIK
Sering merupakan radang kronis laring disebabkan oleh sinusitis
kronis, deviasi septum yang berat, polip hidung atau bronkintis kronis.
Mungkin juga disebabkan oleh penyalahgunaan suara (vocal abuse)
seperti berteriak-berteriak atau biasa berbicara keras.
Pada peradangan ini seluruh mukosa laring hiperemis dan menebal,
dan kadang-kadang pada pemeriksaan patologik terdapat metaplasi
skuamosa.
Gejalanya ialah suara parau yang menetap, rasa tersangkut di tenggorok,
sehingga pasien sering mendehem tanpa mengeluarkan sekret, karena
mukosa yang menebal.
Pada pemeriksaan tampak mukosa menebal, permukaannya tidak
rata dan hiperemis. Bila terdapat daerah yang dicurigai menyerupai
tumor, maka perlu dilakukan biopsi.
Terapi yang terpenting ialah mengobati peradangan di hidung, faring
serta bronkus yang mungkin menjadi penyebab laringitis kronis itu. Pasien
diminta untuk tidak banyak berbicara (cocal rest).
Laringitis Kronis Spesifik
Yang termasuk spesifik dalam laringitis kronis spesifik ialah :
1. Laringitis Tuberkulosis
Penyakit ini hampir selalu sebagai akibat tuberkulosis paru. Sering
kali setelah diberi pengobatan, tuberkulosis parunya sembuh tetapi
laringitis tuberkulosisnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa
laring yang sangat lekat pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak
sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah mengenai kartilago,
pengobatannya lebih lama.
a. Patogenesis
1) Infeksi kuman ke laring dapat terjadi melalui udara pernapasan,
sputum yang mengandung kuman, atau penyebaran melalui
aliran darah atau limfa.
2) Tuberkulosis dapat menimbulkan gangguan sirkulasi. Edema
dapat timbul di fosa interaritenoid, kemudian ke aritenoid, plika
vokalis, plika ventrikularis,, epiglotis, serta terakhir ialah dengan
subglotik.
b. Gambaran Klinis
Secara klinis, laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium, yaitu :
1) Stadium infiltrasi.
Yang pertama-tama mengalami pembengkakan dan hiperemis
ialah mukosa laring bagian posterior. Kadang-kadang pita suara
terkena juga. Pada stadium ini mukosa laring berwarna pucat.
Kemudian di daerah submukosa terbentuk tuberkel, sehingga
mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang berwarna kebiruan.
Tuberkel itu makin membesar, serta beberapa tuberkel yang
berdekatan bersatu, sehingga mukosa di atasnya meregang.
Pada suatu saat, karena saat sangat meregang, maka akan pecah
dsan timbul ulkus.
2) Stadium ulserasi.
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar. Ulkus
ini dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkijuan, serta sangat
dirasakan nyeri oleh pasien.
3) Stadium perikondritis.
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilgo laring, dan yang
paling sering terkena ialah kartilago aritenoid dan epiglotis.
Dengan demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga
terbentuk nanah yang berbau, proses ini akan melanjut, dan
terbentuk sekuester (squster). Pada stadium ini keadaan umum
sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat
bertahan maka proses penyakit berlanjut dan masuk dalam
stadium terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.
4) Stadium pembentukan tumor.
Pada stadium ini terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding
posterior, pita suara dan subglotik.
c. Gejala Klinis :
Tergantung pada stadiumnya, disamping itu terdapat gejala sebagai
berikut :
Rasa kering, panas dan tertekan di daerah laring.
Suara parau berlangsung berminggu-minggu, sedangkan
pada stadium lanjut dapat timbul afoni.
Hemoptisis
Nyeri waktu menelan yang lebih hebat bila dibandingkan
dengan nyeri karena radang lainnya, merypakan tanda
yang khas.
Keadaan umum buruk.
Pada pemeriksaan paru (secara klinis dan radiologik)
terdapat proses aktif (biasanya pada stadium eksudatif
atau pada pembentukan kaverne).
d. Diagnosis Banding
1) Laringitis luetika.
2) Karsinoma laring.
3) Aktinomikosis laring.
4) Lupus vulgaris laring.
e. Diagnosis, berdasarkan :
1) Anamnesis
2) Gejala dan pemeriksaan klinis.
3) Laboratorium.
4) Foto rontgen toraks.
5) Laringoskopi langsung dan tidak langsung.
6) Pemeriksaan patologi-anatomik.
f. Terapi
1) Obat anti tuberkulosis yang primer dan sekunder.
2) Istirahat suara.
g. Prognosis
1) Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan
hidup sehat serta ketekunan berobat.
2) Bila diagnosis dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosisnya baik.
2. Laringitis Luetika
Radang menahun ini jarang ditemukan. Seperti telah diuraikan
dalam ilmu penyakit kulit bab kelamin, terdapat 4 stadium lues.
Dalam hubungan penyakit di laring yang perlu dibicarakan ialah lues
stadium tertier (ketiga) yaitu pada stadium pembentukan guma. Bentuk
ini kadang-kadang menyerupai keganasan laring.
a. Gambaran Klinik
Apabila guma pecah, maka timbul ulkus. Ulkus ini mempunyai sifat
yang khas, yaitu sangat dalam, bertepi dengan dasar yang sangat
keras, berwarna merah tua serta mengeluarkan eksudat yang
berwarna kekuningan. Ulkus ini tidak menyebabkan nyeri dan
menjalar sangat cepat, sehingga bila tidak berbentuk proses ini akan
menjadi perikondritis.
b. Gejala
Suara parau dan batuk kronis. Disfagia timbul terdapat dekat
introitus esofagus. Diagnosis ditegakkan selain dari pemeriksaan
laringoskopi juga dengan pemeriksaan serologik.
c. Komplikasi
Bila terjadi penyembuhan spontan dapat terjadi stenosis laring,
karena terbentuk haringan parut.
d. Terapi
1) Penisilin dengan dosis tinggi.
2) Penegangan sekuster.
3) Bila terdapat sumbatan laring karena stenosis, dilakukan
trakeostomi.
IV. NODUL PITA SUARA
Definisi
Nodul Pita Suara (Nodul Penyanyi) adalah pertumbuhan yang
menyerupai jaringan parut dan bersifat jinak pada pita suara.
Penyebab
Nodul biasanya terbentuk akibat pemakaian suara yang
berlebihan, terlalu keras atau terlalu lama
Gejala
Gejalanya adalah suara serak.
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan
fisik. Nodul tampak sebagai suatu pertumbuhan yang berkapur
Pengobatan
Pada anak-anak, nodul biasanya akan menghilang hanya dengan
menjalani terapi vokal. Pada dewasa, nodul harus diangkat melalui
pembedahan.
Pencegahan
Satu-satunya cara mencegah tumbuhnya nodul adalah berhenti
menyalahgunakan suara.
V. TUMOR LARING JINAK
1. Nodulus Vokal
Sinonim klinis untuk polip nodulus vokalis yaitu : screamer’s
nodule, singer’s node, atau teacher’s node. Nodulus jinak dapat
unilateral dan timbul akibat penggunaan korda vokalis yang tidak
tepat atau berlangsung lama. Kadang-kadang disertai peradangan,
sehingga korda vokalis saling melekat kuat, sehingga terbentuk polip
atau nodul. Nodul dapat bervariasi secara histology dari suatu tumor
edematosa yang longgar dan lunak, sehingga membentuk massa
fibrosa yang padat atau lesi vaskuler.
2. Poliposis Korda Vokalis Difus
Degenerasi polipoid doisepanjang korda vokalis biasanya
berkaitan dengan penggunaan vocal yang lama, merokok, dan radang
yang menetap.
3. Papiloma Juvenilis
Tumor laring yang lazim terjadi pada anak-anak. Biasanya
terjadi pada anak-anak berusia antara 18 bulan dan 7 tahun, dan
sering kali terjadi pada masa pubertas. Lama penyakit dapat
memanjang hingga 10 tahun dengan berulangnya papiloma.
Gejala awalnya yaitu berupa suara serak dan tangisan yang abnormal.
Apabila papiloma membesar dapat menyebabkan obstruksi jalan
napas.
Terapi mutakhir yang dilakukan adalah pengangkatan dengan tepat.
Terapi lain berupa tetrasiklin, steroid, vaksin cacar.
4. Mioblastoma Sel Granular
Tumor ini timbul pada lidah dan laring. Gejala utamanya yaitu
beruba suara serak. Dan tidak akan terjadi berulang apabila sudah
diangkat secara endoskopi.
5. Kondroma
Kondroma merupakan tumor kartilago hialin yang tumbuh
lambat, berasal dari kartilago krikoidea, tiroidea, aritenoidea dan
epiglotika. Suara serak akibat keterbatasan gerak korda vokalis dan
dispnea disebabkan oleh obstruksi jalan napas. Terapi yang dilakukan
berupa pembedahan, dimana asal dan besarnya tumor menentukan
teknik bedah. Tumor ini tumbuh lambat, sehingga terkadang dapat
diangkat sebagian, karena untuk meringankan gejala penderita, tanpa
mengorbankan laring.
6. Leukoplakia dan Eritroplakia
Akibat iritasi laring yang menetap terutama akibat merokok,
biasanya akan timbul suatu daerah keputih-putihan. Secara klinis
disebut dengan leukoplakia. Jika daerah tersebut tampak kemerahan
disebut sebagai eritroplakia. Daerah laring akan ikut terlibat, namun
biasanya yang paling sering terkena yaitu korda vokalis. Keluhan
utama berupa suara serak. Hasil biopsi akan menunjukan adanya
hyperkeratosis. Terapinya berupa pengangkatan total secara
endoskopi. Pasien harus mengurangi merokok.
VI. GANGGUAN NEUROGENIK PADA LARING
PARALISIS PITA SUARA
Paralysis
Laringeus
Superior
Paralysi
s syaraf
laringe
us
Rekure
ns
unilater
al
Paralysis
syaraf
laringeus
rekurens
bilateral
Paralysis
lengkap
Patologi
Efek
Paralysis
otot
krikotiroide
us,
Hilangnya
sensasi
separuh
laring
Paralysi
s
seluruh
otot
intrinsic
pada
sisi
tersebu
t.
Paralysis
seluruh
otot
intrinsic
Suara
Lesi syaraf
vagus diatas
syaraf
laringeus
superior,
dapat
unilateral
atau
bilateral.
pemeriksa
an
Hilangnya
nada tinggi,
aspirasi
Komisura
anterior
tampak
miring ke
sisi lesi,
kartilago
aritenoidea
pada sisi
tersebut
miring ke
dalam
Suara
serak,
jalan
napas
baik
kecuali
pada
anak
kecil,
suara
napas,
batuk
buruk.
Korda
vokalis
dalam
posisi
para
median
, tidak
ada
geraka
n ke
lateral.
napas baik,
jalan napas
buruk
terutama
saat
bersuara.
Korda
vokalis
tidak
bergerak
ke lateral,
sebagian
pasien
dapat
beradaptas
i dan tahan
dengan
toleransi
latihan
yang
direndahka
n.
Lesi serupa
dengan
paralysis
syaraf
rekurens,
lebih
cenderung
mengalami
aspirasi.
Korda
vokalis
imobil
namun
berada
dalam posisi
intermedia
akibat
hilangnya
fungsi
aduksi
muskulus
krikotiroide
us.
TUMOR GANAS LARING
Setiap tahun, 11.000 kasus baru kanker laring didiagnosis di Amerika Serikat
(1% dari diagnosis kanker), dan sepertiga dari pasien akan meninggal karena
penyakitnya. Rasio pria wanita untuk kasus kanker laring adalah 4:1, Kanker laring
banyak terjadi pada usia dekade keenam atau ketujuh dan pada golongan sosial
ekonomi lemah. Hampir 90% kasus kanker laring merupakan karsinoma sel
skuamosa (KSS) dan berhubungan langsung dengan penggunaan rokok dan alkohol
berlebihan. 2
2.1 Anatomi
Laring berfungsi untuk memproduksi suaram serta membagi dan melindungi
traktur resiratorius dari traktus digestivus. Laring berfungsi sebagai sfingter dalam
proses menelan, melindungi laring dari makanan yang lewat dengan menutup trakea
pada 2 tempat: flap epiglotis dan penutupan pita suara. Laring terdiri atas kartilago
yang dihubungkan dengan ligamen, membran, dan otot yang dilapisi oleh epitel
traktur respiratorius dan epitel skuamosa bertingkat.2,3
Laring dapat dibagi menjadi 3 bagian: supraglotis, glotis, dan subglotis.
Supraglotis meliputi daerah dari ujung epiglotis dan valekula (superior) sampai
ventrikel dan permukaan dalam plika ventrikularis (inferiro), termasuk kartilago
aritenoid, lipatan aryepiglotika, plika ventrikulatis, dan epiglotis. Glotis meliputi plika
vokalis, terbentang dari ventrikel diantara plika ventrikularis dan plika vokalis sampai
0,5 cm dibawah tepi bebas plika vokalis, termasuk komisura anterior dan are
interaritenoid. Subglotis meliputi daerah di inferior glotis sampe tepi inferior
kartilago krikoid. 2,3
Gambar Skema klasifikasi anatomi tumor laring
Weisman RA, Moe KS, Orloff LA. Neoplasm of the Larynx and Laryngopharynx.In
Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th
edition. Ontario: BC Decker. 2003. h.1265.
Pemahaman akan asal embriologi daerah-daerah di atas membantu
menjelaskan perbedaan klinis antara kanker yang timbul pada masing-masing bagian
laring. Supraglotis berasal dari primordial bukofaringeal medial dan arkus brakialis 3
dan 4 dengan suplai jaringan limfatik bilateral yang banyak. Glotis, berasal dari fusi
struktur lateral yang berasal dari primordial trakeobronkial dan arkus brakial 4,5, dan
6. Disini jaringan limfatik lebih jarang dan dibandingkan dengan neoplasma primer
dari supraglotis, tumor maligna glotis kurang memiliki tendensi untuk menyebar
secara regional bilateral dan cenderung terbatas pada glotis dalam jangka waktu
yang panjang.2
Membran fibroelastis dan ligamen membagi laring menjadi area preepiglotis
dan paraglotis. Struktur ini, termausk konus elastikus, membran kuadrangular,
membran tirohyoid, dan ligamen hyoepiglotis, berperan sebagai barier penyebaran
tumor. Kartilago tiroid dan krikoid serta perikondriumnya juga berperan sebagai
barier penyebaran tumor. Tendon komisura anterior (ligamen Broyle) dan ligamen
tiroepiglotis tidak efektif menahan penyebaran tumor, dan tumor yang mengenai
daerah komisura anterior lebih sering menyebar langsung secara regional.2
Otot laring dibagi menjadi otot intrinsik dan ekstriksik. Otot intrinsik
merupakan otot-otot di sekitar pita suara dan kartilago yang berada di dalam laring.
Otot ekstrinsik, membantu elevasi laring dan konstriksi faring. Persarafan otot-otot
intrinsik berasal dari cabang nervus laringeal rekuren dari nerrvus vagus pada kedua
sisi tubuh. Suplai darah berasal dari arteri karotis eksterna dan trunkus tiroservikal
melalui arteri tiroidea superior dan inferior. Aliran vena langsung menuju vena
jugularis interna. Drainase limfatik ke kelenjar getah bening leher di area II, III, IV dan
terkadang ke area VI. 2,3
2.2 Patogenesis
Lebih dari 90% pasien dengan kanker laring memiliki riwayat merokok berat
dan menggunakan alkohol. Merokok merupakan faktor risiko terjadinya kanker
laring. Kombinasi merokok dan konsumsi alkohol memiliki efek aditif karsinogenik
pada laring. 2
Faktor risiko lainnya telah diketahui, seperti infeksi laring oleh human
papillomavirus (HPV) yang menyebabkan papilomatosis laring. Infeksi tersebut
umumnya jinak, namun subtipe 16 dan 18 diketahui dapat mengalami degenrasi
menjadi KSS. Faktor lain yang dipertimbangkan antara lain refluks gastroesofageal;
walaupun hubungannya dengan kanker laring masing belum pasti. Berbagai paparan
okupasi dan inhalasi bahan toksis (seperti asbestos dan mustard gas), defisiensi
nutrisi, dan radiasi leher sebelumnya dihubungkan dengan terjadinya kanker laring. 2,3
Skema model perkembangan karsinoma sel skuamosa laring.
Weisman RA, Moe KS, Orloff LA. Neoplasm of the Larynx and Laryngopharynx.In
Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th
edition. Ontario: BC Decker. 2003. h.1258.
2.3 Epidemiologi
Tumor maligna pada glotis dibanding supraglotis adalah 1.5:1.0 di Amerika
Serikat, namuan tidak sama di seluruh dunia. Variasi epidemiologi antar negara
menggambarkan konsumsi rokok dan alkohol, serta adanya pengaruh lingkungan
dan pengaruh genetik populasi yang terkena. 2
Tabel Insidensi Kanker Laring menurut Lokasi
Supraglotis—40%
Glotis—59%
Subglotis—1%
Sumber: Concus AP, Tran TPN, Sanfilippo NJ, DeLacure MD. Malignat Laryngeal
Lesions. In Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery 2nd edition. United States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 437-55.
Tumor maligna yang timbul di subglotis sangat jarang, sebagian besar
merupakan penjalaran dari kanker primer glotis atau supraglotis. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, kanker di supraglotis memiliki aliran limfatik yang lebih kaya
dan lebih sering didiagnosis dengan adanya metastasis ke kelenjar getah bening, dan
oleh karena itu ditemukan pada stadium yang lebih lanjut. 2
Kanker Laring: Insiden Metastasis Leher berdasarkan Lokasi Kanker
T1 T2 T3 T4 All T
Supraglo
tis
15–
40%
35–
42%
50–
65%
>
65%
25–
50%
Glotis < 5% 5–
10%
10–
20%
25–
40%
Subglotis 50%
Sumber: Concus AP, Tran TPN, Sanfilippo NJ, DeLacure MD. Malignat Laryngeal
Lesions. In Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and
Neck Surgery 2nd edition. United States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 437-55.
2.4 Pencegahan
Berbagai penelitian memperlihatkan adanya efek protektif retinoid, beta karoten
dan antioksidan lain terhadap perkembangan kanker laring. 2
2.5 Stadium
Kanker laring dibagi menjadi berbagai staidum berdasarkan sistem TNM (tumor,
nodus, metastasis) dari American Joint Committee on Cancer. Untuk keperluan
staging ini, penjalaran ke kelenjar getah bening leher dianggap metastasis
lokoregional; metastasis ke bagian tubuh lain (paru-paru, mediastinum, hepar, dan
tulang) dianggap jauh. Untuk pertama kali, tumor T4 dibagi menjadi dapat direseksi
(T4a) dan tidak dapat direseksi (T4b). Stadium IV sekarang dibagi menjadi IVA, IVB,
dan IVC (ada metastasis jauh). 2
Staging Tumor Laring Maligna menurut American Joint Committee on Cancer 2002, T
(Tumor), N (Nodus), M (Metastasis)
Supraglotis
T1 Tumor terbatas pada satu bagian supraglotis
T2 Tumor mengenai lebih dari satu tempat supragoltis, glotis, atau area
diluar supraglotis (valekula, basis lingua, dinding medial sinus piriformis)
T3 Tumor menyebabkan fiksasi plika vokalis dan atau menginvasi area pre-
epiglotis, area postkrikoid
T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid, dna atau menyebar ke jaringan lunak
leher nonlaring
T4b Tumor menginvasi area prevertebra atau mediastinum, atau ke arteri
karotis
Glotis
T1 Tumor terbatas pada plika vokalis, dapat mengenai komisura anteroir
maupun posterior
T2 Tumor menyebar ke supraglotis, glotis, dan atau mengganggu mobilitias
plika vokalis
T3 Fiksasi plika vokalis
T4a Tumor menginvasi kartilago tiroid, dan atau menyebar ke jaringan lunak
leher non laring
T4b Tumor menginvasi area prevertebra atau mediastinum, atau ke arteri
karotis
Subglotis
T1 Tumor terbatas di subglotis
T2 Tumor menyebar ke plika vokalis dengan mobilitas normal atau
terganggu
T3 Fiksasi plika vokalis
T4a Tumor menginvasi kartilago krikoid dan tiroid, dan atau menyebar ke
jaringan lunak leher non laring
T4b Tumor menginvasi area prevertebra atau mediastinum, atau ke arteri
karotis
N0 Tidak ada penyebaran ke nodus limfa
N1 Kelenjar limfe ipsilateral tunggal 3 cm
N2a Kelenjar limfe ipsilateral tunggal > 3 cm , < 6 cm
N2b Kelenjar limfe ipsilateral multipel, masing-masing ukuran 6 cm
N2c Kelenjar limfe bilateral atau kontralateral, masing-masing 6 cm
N3 Kelenjar limfe tunggal atau multipel > 6 cm
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Ada metastasis jauh
St
adi
um
T N M
I T
1
N
0
M
0
II T
2
N
0
M
0
III T
3
N
0
M
0
T
1
–
3
N
1
M
0
IVA T
4
a
N
0
–
2
M
0
T
1
–
4
a
N
0
M
0
IVB T
4
b
a
n
y
N
M
0
a
n
y
T
N
3
M
0
IVC a
n
y
T
a
n
y
N
M
1
Prognosis kanker laring ditentukan stadium kanker laring menurut TNM, karakteristik
histologi tumor, berbagai marker kromosom dma molekural serta adanya
komorbiditas dari pasien sendiri.
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda lesi maligna laring antara lain serak, disfagia, hemoptisis,
massa di leher, nyeri tenggorokan, nyeri telinga, gangguan jalan nafas, dan aspirasi.
Oleh karena sedikit saja perubahan pada kontur, ketebalan maupun vibrasi pita
suara akan menyebabkan perubahan suara (hoarseness), kanker glotis sering
ditemukan pada stadium awal. Pita suara gagal berfungsi dengan baiik karena
adanya ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celas glotik,
terserangnya otot-otot vokalis, sendi, dan ligamen krikoaritenoid, dan kadang-
kadang menyerang saraf. Munculnya serak bergantung pada letak tumor. Paada
tumor subglotis dan supraglotis, serak merupakan gejala akhir atau bahkan dapat
tidak muncul. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan bersifat subyektif
seperti ada yang mengganjal di tenggorookan. Fiksasi dan nyeri akan menyebabkan
suara bergumam (hot potato voice).2,3
Dispnea dan stridor dapat muncul karena sumbatan jalan napas dan dapat
muncul pada setiap tumor laring, disebabkan gangguan jalan napas oleh massa
tumorm penumpukan kotoran atau sekret, atau fiksasi pita suara. Disfagia
merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan sinus
piriformis. Odinofagi menandakan tumor ganas udah mengenai struktur ekstralaring.
Pasien dengan kanker supraglotis lebih sering ditemukan pada stadium lanjut
karena tumor lebih menonjol (stadium T yang lebih tinggi) sebelum muncul
perubahan suara, disfagia, gangguan jalan nafas, atau aspirasi. Terlebih lagi, karena
suplai aliran limfatik supraglotis lebih kaya, lesi primer supraglotis cenderung
bermetastasis lebih awal dan lebih sering didiagnosis pada stadium N yang lebih
lanjut. 2,3
2.7 Pemeriksaan Fisik
Bila dicurigai ada kanker laring, pemeriksaan kepala dan leher lengkap harus
dilakukan, dengan fokus pada laring dan leher. Kualitas suara diperhatikan. Breathy
voice dapat mengindikasikan paralisis pita suara dan muffled voice mengarah ke lesi
supraglotis. 2
2.7.1 Laringoskopi
Laringoskopi dilakukan di praktek menggunakan kaca laring (laringoskopi indirek)
atau endoskop fiberoptik. Harus diperhatikan kontur, warna, karakter vibrasi dan
mobilitas plika vokalis. Lesi maligna laring dapat terlihat seperti jamur, rapuh,
nodular, atau ulseratif, atau hanya dapat berupa perubahan warna mukosa.
Laringoskopi video stroboskopik dapat menemukan iregularitas pada vibrasi mukosa,
periodisitas, dan penutupan plika vokalis. Perhatian khusus harus diberikan pada
keadaan jalan nafas. Lesi besar dapat memerlukan intervensi jalan nafas darurat
dengan intubasi, tumor debulking, atau trakeotomi. Laringoskopi direk dilakukan
dengan anestesi umum. 2
2.7.2 Pemeriksaan Leher
Pemeriksaan leher dilakukan dengan palpasi untuk pembesaran kelenjar getah
bening dan dengan memperhatikan lokasi, ukuran, konsistensi, dna mobilitas.
Krepitus restriksi laring (gerakan “clicking” dari sisi satu ke sisi lain melalui faring dan
fasi prevertbra) dapat menandakan adanya invasi postkrikoid atau retrofaringeal. 2
2.7.3 Penilaian Status Gizi
Status gizi harus dinilai dan dipertimbangkan pemberian suplemen bila ada indikasi.
Suplemen kalori atau mungkin gartostomi atau pemasangan tube untuk makan
lainnya dapat diperlukan. 2
2.8 Pemeriksaan Laboratorim dan Tes Lainnya 2
Karsinoma sel skuamosa kepala dan leher dapat menyebar ke setiap bagian tubuh,
sehingga pemeriksaan metastasis rutin meliputi pemeriksana berikut ini:
2.8.1 Biopsi
Biopsi lesi laring diperlukan untuk memastikan diagnosis tumor maligna.
Biopsi ini dilakukan dengan bantuan laringoskopi direk di bawah anestesi umum. Lesi
dapat dinilai kedalaman invasi tumor dan mobilitas plika vokalis. Esofagoskopi dana
bronkoskopi dapat dilakukan sekaligus untuk menentukan stadium kanker.
2.8.2 Chest Imaging
Kanker laring pertama menyebar ke nodus limfa servikal regional. Setelah itu
paling sering ke paru-paru sehingga pasien dengan kanker laring harus dilakukan
pemeriksaan rutin rontgen thoraks. Tes ini harus diulang satu atau dua kali per tahun
untuk menilai metastasis. Bila ada kelainan, CT scan thoraks harus dilakukan untuk
mengkonfirmasi lesi. Bronkoskopi dengan pemeriksaan sitologi dari cucian bronkus
atau biopsi transbronkial harus dilakukan bila ada lesi yang mencurigakan. Namun
lesi pada thoraks dapat pula merupakan tumor primer, karena faktor resiko
merokok.
2.8.3 Pencitraan
Pencitraan radiologis laring dan leher tidak diperlukan untuk kanker glotis
stadium awal dengan leher secara klinis N0. Namun pada kasus kanker supraglotis,
terkadang diperlukan pada stadium awal. Bila ada kecruigaan gangguan mobiltas
plika vokalis, scan harus dilakukan. Pencitraan radiologis umumnya dilakukan pada
kanker laring stadium lanjut untuk menentukan stadium dan perencanaan terapi. CT
scan atau MRI dapat mengidentifikasi invasi preepiglotis atau paraglotis, erosi
kartilagi laring, dan metastasis nodus servikal. MRI lebih sensitif untuk kelainan
jaringan lunak, sementara CT scan lebih baik menilai untuk defek tulang dan
kartilago. Berbagai modalitas pencitraan lain sedang dalam investigasi akan
manfaatnya pada kasus kanker laring, namun belum menjadi standar pelayanan
seperti PET scan. Bila ada kecurigaan akan metastasis jauh, dapat dilakukan bone
scanning.2
Ultrasonografi leher dapat berguna dalam diagnosis kanker laring. Di Eropa
USG digunakan untuk mengidentifikasi metastasis servikal dan menilai abnormalitas
laring, namun hal ini jarang dilakukan di Amerika Utara. 2,3
2.9 Diagnosis Banding
Diagnosis berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi harus ditegakkan
sebelum memlaui terapi karena lesi yang terlihat maligna, dapat saja sebenarnya
jinak. Misalnya pada keadaan infeksi, inflamasi, penyakit granuloma seperti
tuberkulosis, sarkoidosis, blastomikosis, papilomatosis, dan tumor sel granular.
2.10 Lesi Maligna Kanker Laring
2.10.1 Karsinoma Sel Skuamosa (KSS)
KSS meliputi >90% kanker laring dan berkaitan dengan konsumsi rokok dan
alkohol. Secara histologi, KSS dapat terlihat sebagai perubahan berkelanjutan dari
fenotip normal, menjadi hiperplasi, displasia, karsinoma in situ, sampai karsinoma
invasif. KSS invasif dapat berdiferensiasi baik, sedang, atau buruk, dan dicirikan
dengan sarang sel epitel maligna di sekitar stroma inflamasi desmoplastik. Berbagai
tingkai mitosis dan nekrosis dapat ditemukan. Keratin pearls merupakan gambaran
patognomonik pada KSS berdiferensiasi baik dan sedang. KSS dapat menginvasi
pembuluh darah dan pembuluh limfe serta saraf. Pewarnaan imunohistokimia positif
untuk protein keratin. Varian KSS dapat berupa karsinoma verukosa, spindle cell
carcinoma, KSS basaloid, dan karsinoma adenoskuamosa.2
2.10.1 Kanker Kelenjar Liur
Kelainan maligna dapat muncul dari kelenjar liur minor yang melapisi mukosa
laring. Karsinoma kistik adenois (Adenoid cystic carcinoma – ACC) dan karsinoma
mociepidermoid (mucoepidermoid carcinoma – MEC) paling sering terjadi, walaupun
tipe lain ada dilaporkan. Rasio pria dan wanita yang menderita ACC laring sama.
Secara histologis lesinya menyerupain kelenjar liur mayor dengan pola kribiformis,
tubular atau solid untuk ACC dan pola kistik derajat rendah sampai tinggi untuk MEC.
Operasi merupakan terapi pilihan untuk kedua jenis kanker tersebut dengan ajuvan
radiasi seperti kanker kelenjar liur mayor.2
2.10.3 Sarkoma
Kelainan maligna yang berasal dari mesenkim jarang ditemukan di laring.
Yang paling sering adalah kondrosarkoma. Kondrosarkoma laring paling sering
muncul dari kartilago krikoid dan dicirikan dengan massa submukosa glotis posterior
dengan kalsifikasi pada CT scan. Diagnosis dapat sulit karena biopsi adekuat sulit
dilakukan dan gambaran histologis dengan kondroma benigna dpaat sulit dibedakan.
Kanker ini memiliki karakteristik klinis nonagresif sehingga operasi laring parsial
dengan mempertahankan sebagian fungsi laring sering dilakukan. Radiasi tidak
efektif untuk kanker ini. Sarkoma lainnya misalnya histiositoma fibrosa maligna,
angiosarkoma, dan sarkoma sinovial. 2
2.10.4 Neoplasma lain
Kanker lain yang dapat ditemukan pada laring antara lain tumor
neuroendokrin seperti tumor karsinoid, limfoma, dan mestastis dari tempat primer
lainnya.
2.11 Terapi
2.11.1 Terapi Kanker Laring Stadium Dini
Kanker laring stadium dini (stadium I dan II) dapat diterapi dengan operasi
atau radiasi modalitas tunggal. Rekomendasi dari American Society of Clinical
Oncology, untuk semua pasien dengan T1 atau T2 harus diterapi dengan tujuan
mempertahankan laring. Keuntungan operasi dibandingkan dengan radiasi adalah
waktu terapi lebih singkat (radiasi membutuhkan 6-7 minggu) dan menunda radiasi
hanya untuk bila terjadi rekurensi. Namun operasi menyebabkan risiko kualitas suara
menjadi buruk, secara kosmetis lebih burul pula. Keuntungan utama terapi radiasi
adalah kualitas suara lebih baik. Komplikasi jangka pendek radiasi antara lain
odinofagi dan edem laring, sementara komplikasi jangka panjang dapat terjadi
fibrosis laring, radionekrosis, atau hipotiroid. 2,3
2.11.2 Terapi Kanker Laring Stadium Lanjut
Kanker laring stadium lanjut (stadium III dan IV) diterapi dengan modalitas
operasi dan radiasi. Untuk tumor T3 dan T4, dimana diperlukan total laringektomi
untuk mengangkat seluruh tumor, beberapa center memilih melakukan kombinasi
kemoterapi dan radiasi karena tidak ada perbedaan pada harapan hidup secara
umum dengan kualitas hidup lebih tinggi daripada bila dilakukan operasi radikal.
Namun operasi ekstripasi dapat diberikan pada pasien yang mengalami destruksi
kartilago yang tidak mungkin berfungsi setelah terapi konservasional. Rehabilitasi
suara setelah laringektomi total dapat dilakukan.2
Terapu ajuvan radiasi sebaiknya dimulai 6 minggu sebelum operasi, satu kali
per hari selama 6-7 minggu. Tempat primer kanker diterapi dengan external beam
irradiation dengan dosis 55-66 Gy sementara kelenjar getah bening menerima dosis
sedikit lebih rendah. Efek samping radiasi sama seperti pada terapi radiasi kanker
laring stadium dini, namun karena area yang diterapi lebih luas, dapat pula terjadi
mukositis dan xerostomia kronik.2,3
2.11.3 Terapi Leher pada Kanker Laring
Leher tanpa adanya metastasi kelenjar getah bening yang jelas harus diterapi
bila risiko metastasis nodual melebih 20-30%.Terapi untuk leher ipsilateral dan
kontralateral dipertimbangkan untuk kanker supraglotis stadium dini dan untuk
semua kanker laring stadium lanjut. N0 atau N1 dapat diterapi dengan modalitas
tunggal, operasi atau radiasi. N2 atau N3 memerlukan terapi kombinasi. 2
2.12 Terapi Operatif Kanker Laring 2,3
a. Operasi mikrolaring
Pemotongan kanker laring secara endoskopi menggunakan mikroskop dan
alat diseksi mikrolaring, terutama untuk kanker glotis stadium dini.
b. Hemilaringektomi
Pemotongan setengah bagian vertikal laring. Digunakan untuk tumor dengan
ekstensi subglotis < 1 cm di bawah plika vokalis, plika vokalis mobile,
unilateral, tidak ada invasi kartilago, dan tidak ada invasi ke jaringan lunak
ekstralaring.
c. Laringektomi supraglotis
Dilakukan pemotongan supraglotis atau bagian atas laring. Dilakukan pada
tumor T1, T2, T3 dengan invasi area preepiglotis, plika vokalis mobile,
kartilago tidak terkena, komisura anterior tidak terkena, fungsi paru yang
bagus, basis lingua tidak terkena, apeks sinus piriformis tidak terkena, FEV1 >
50%.
d. Laringektomi suprakrikoid
Modifikasi laringektomi supraglotis untuk mempertahankan suara pada
kanker yang berada di anterior glotis.
e. Laringektomi hampir total
Laringektomi parsial yang diperluas dengan hanya meninggalkan satu
aritenoid. Pasien menjadi tergantung pada trakeotomi untuk bernafas.
f. Laringektomi Total
Pemotongan seluruh laring, termasuk akrtilagi tiroid dan krikoid, dapat
meliputi pula beberapa ring atas trakea dna tulang hyoid. Dilakukan pada
kanker T3 dan T4 yang tidak dapat dilakukan laringektomi parsial, invasi
kartilago tiroid atau krikoid, invasi langsung jaringan lunak leher, invasi basis
lingua lebih dari papila circumvalata. Rehabilitasi suara setelah prosedur ini
dilakukan dengan tracheoesophageal speech menggunakan alat
trakeostomal.
2.13 Komplikasi Terapi 2,3
a. Gangguan suara
Hoarseness, kehilangan jangkauan suara, vocal fatigue, dan lebih mudah
laringitis.
b. Gangguan menelan
Risiko aspirasi meningkat setelah dilakukan laringektomi parsial (karena
operasi ataunya denervasi). Efek akut radiasi seperti mukositis, skresi kental,
odinofagi, dan edema mengganggu proses menelan pada masa peri-radiasi.
Efek jangka panjang radiasi seperti xerostomia juga menyebabkan disfagia.
Radiasi juga dapat menyebabkan striktur, stenosis, atau fibrosis segmen
faringoesofageal.
c. Gangguan pengecapan dan penghidu
Radiasi dapat merusak taste bud permanen. Laringektomi total yang
menyebabkan perubahan anatomis dna berkurangnya aliran udara melalui
mulut dan hidung mempengaruhi indra penghidu pasien.
d. Fistula
Dapat timbul fistula antara laring dna kulit leher, karena kegagalan
penutupan faring setelah laringektomi. Hal ini menyebabkan bocornya saliva
dan isi faring (termasuk makanan) ke kulit.
e. Gangguan jalan nafas
Dapat terjadi pada pasien dengan laringektomi parsial dengan jalan nafas
yang tidak adekuat atau aspirasi.
f. Cedera nervus kranialis
Pada diseksi leher dengan laringektomi parsial atau total, dapat terjadi
cedera nervus kranialis VII, IX, X, XI, dan XII, berupa cedera sementara
maupun permanen.
g. Cedera vaskular seperti stroke atau perdarahan
h. Dropped shoulder akibat cedera nervus spinal asesorius saat diseksi leher
sehingga fungsi m. Trapesius hilang, tidak dapat mengabduksi lengan lebih
dari 90°, disertai bahu yang menurun dan mengalami rotasi ke dalam.
i. Fibrosis jaringan akibat radiasi atau operasi
j. Hipotiroidisme akibat radiasi atau operasi
REFERENSI
1. Wareing MJ, Rowlands RG. Benign Laryngeal Lesions. In Lalwani AK. Current
Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery 2nd edition. United
States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 430-6.
2. Concus AP, Tran TPN, Sanfilippo NJ, DeLacure MD. Malignat Laryngeal Lesions. In
Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery
2nd edition. United States: Mc. Graw & Hill. 2008. h. 437-55.
3. Weisman RA, Moe KS, Orloff LA. Neoplasm of the Larynx and Laryngopharynx.In
Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery 16th
edition. Ontario: BC Decker. 2003. h.1255-92.