kegawatdaruratan pada mata

69
KEGAWATDARURATAN PADA MATA KEGAWATDARURATAN PADA MATA Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan klinik madya LAB/SMF IlmuKesehatan Mata RSUD dr. SoebandiJember Pembimbing : dr. Bagas Kumoro, Sp. M Oleh Mega Nur Purbo Sejati (072011101066) LAB/SMF ILMU KESEHATAN MATA RSD. DR SOEBANDI JEMBER

Upload: mega

Post on 09-Nov-2015

38 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

Kasus kegawatdaruratan pada mata dan tata laksana di IGD

TRANSCRIPT

KEGAWATDARURATAN PADA MATA

Disusun untuk memenuhi tugasKepaniteraan klinik madya LAB/SMF IlmuKesehatan MataRSUD dr. SoebandiJember

Pembimbing :dr. Bagas Kumoro, Sp. M

OlehMega Nur Purbo Sejati (072011101066)

LAB/SMF ILMU KESEHATAN MATARSD. DR SOEBANDI JEMBER2013

DAFTAR ISI

Halaman JuduliDAFTAR ISIiiBAB I. PENDAHULUAN11.1Kegawatdaruratan11.2Anamnesis21.3Pemeriksaan21.4Pemeriksaan Khusus Mata2BAB II. TINJAUAN PUSTAKA62.1Trauma Kimia62.1.1 Trauma Basa / Alkali82.1.2 Trauma Asam112.2Oklusi Arteri Retina Sentral122.3Trauma Radiasi152.3.1 Trauma Sinar Ultra Violet152.3.2 Sinar Infra Merah162.3.3 Trauma Sinar X dan Sinar Ionisasi162.4Trauma Jaringan Ekstra Okular172.5Trauma Tumpul Bola Mata182.6Trauma Tajam dan Tembus Bola Mata212.6.1 Trauma Tajam Bola Mata (Laserasi Kornea)222.6.2 Trauma Tembus Bola Mata252.7Benda Asing Kornea272.8Tukak (Ulkus) Kornea292.9Glaukoma Sudut Tertutup Akut322.10Konjungtivitis Gonore332.11Selulitis Orbita342.12Ablasi Retina Akut352.13Endoftalmitis382.14Trombosis Sinus Kavernosus39BAB III. PENUTUP41DAFTAR PUSTAKA42

BAB IPENDAHULUAN

1.1 KegawatdaruratanKegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata adalah suatu keadaan dimana mata terancam akan kehilangan fungsi penglihatannya atau akan terjadi kebutaan apabila tidak dilakukan tindakan atau pengobatan sesegera mungkin. Terancamnya fungsi penglihatan atau kebutaan dapat diakibatkan oleh suatu penyakit atau kelainan mata dan oleh trauma mata. Biasanya penderita dengan kelainan di mata akan datang meminta pertolongan seorang dokter dengan keluhan mata merah, mata lelah, mata sakit, melihat ganda, tajam penglihatan yang menurun, pandangan tertutup sesuatu, adanya kilatan-kilatan pada lapang pandangan dan adanya sakit kepala. Tidak semua pasien dengan mata merah akan terancam penglihatannya, dan tidak semua pasien dengan tajam penglihatan yang menurun berarti berada dalam keadaan darurat yang memerlukan penanganan segera. Tetapi keadaan tersebut di atas dapat dijadikan acuan dokter untuk melaksanakan pemeriksaan selanjutnya baik pemeriksaan secara fisik atau pemeriksaan mata dengan lengkap, sehingga dapat diketahui apakah kelainan pada mata pasien tesebut termasuk dalam kondisi yang darurat atau tidak (Khare & Symons, 2008).Dalam kasus kegawatdaruratan mata, kecepatan menentukan diagnosis dan ketepatan penanganan atau terapi merupakan hal paling utama dalam usaha dokter untuk menyelamatkan bola mata dan fungsi penglihatan pasien. Tidak kalah penting adalah dokter harus dapat membuat prioritas diagnosis dan beberapa diferensial diagnosis yang akan timbul, karena sering kali gejala-gejala dan tanda klinis yang ditemukan saat pemeriksaan akan tumpang tindih. Seorang dokter di IGD harus mengetahui kasus kegawatdaruratan mata yang membutuhkan dokter spesialis mata sehingga mampu merujuk secara cepat dan menciptakan kolaborasi antara dokter IGD dan dokter spesialis mata (Magauran, 2008).Kegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata secara umum dapat terbagi dua, yaitu yang trauma dan non trauma. Kegawatdaruratan mata karena trauma dapat terbagi menjadi gawat darurat yaitu trauma kimia (basa/alkali dan asam) dan oklusi arteri retina sentralis, kondisi gawat yakni trauma radiasi (solar/matahari, ultraviolet), trauma jaringan ekstra okular (palpebra, sistem lakrimal), trauma tumpul bola mata, trauma tajam bola mata (laserasi dan trauma tembus) serta yang bersifat non trauma antara lain, glaukoma sudut tertutup akut, infeksi (konjungtivitis GO, endoftalmitis, selulitis orbita), dan ablasi retina akut (Khare & Symons, 2008).

1.2 AnamnesisSetiap penderita yang datang dengan ketentuan pada mata atau penglihatannya, penggalian anamnesis secara terperinci merupakan hal sangat penting yang akan mengarahkan dokter dalam menentukan diagnosa, antara lain identitas penderita, riwayat penyakit yang diderita saat ini penyakit yang sedang di detita, riwayat ada atau tidak trauma sebelum atau sesudah adanya keluhan dan riwayat penyakit mata yang pernah diderita. Penggalian anamnesis disini biasanya akan sangat membantu dokter dalam melakukan pemeriksaan selanjutnya dan penilaian apakah penderita berada dalam kondisi daturat atau tidak, itu dapat dilakukan secara auto anamnesis dari penderita sendiri atau secara allo-anamnesis dengan keluarga terdekat/pengantar pasien (Webb, 2004).

1.3 PemeriksaanPemeriksaan fisik secara umum pada pasien diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya keadaan umum penderita yang dapat merupakan penyebab penyakit mata yang sedang di derita dan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan kondisi fisik secara umum penderita tersebut dengan kelainan mata saat itu (Webb, 2004).

1.4 Pemeriksaan Khusus MataPemeriksaan khusus mata meliputi semua pemeriksaan yang dapat memperkuat atau menegakkan diagnosis dari penyakit mata yang sedang diderita. Pemeriksaan ini meliputi (Webb, 2004): a. Pemeriksaan tajam penglihatan, yang dilakukan dengan menggunakan Snellen Chart yang bila didapatkan gangguan penglihatan, maka diakukan pemeriksaan dengan menggunakan pinhole vang dapat menentukan kelainan penglihatan tersebut disebabkan kelainan refraktif atau kelainan pada media refrakta.

Gambar 1.1 Snellen Chart. Dapat digunakan untuk memeriksa tajam penglihatan. (Sumber: Cho & Savitsky, 2009)

b. Pemeriksaan gerakan bola mata, pemeriksaan ini dapat untuk menilai fungsi ke enam otot penggerak bola mata adakah gangguan keseimbangan otot penggerak mata dan kedudukan bola mata.

Gambar 1.2 Arah Pergerakan Muskulus Ektraokuler. (Sumber: Webb, 2004)

c. Pemeriksaan mata bagian luar dan system lakrimal.dengan menggunakan senter dan loupe, serta pemeriksaan segment anterior mata menggunakan slit-lamp biomikroskopis.

Gambar 1.3 Segmen Anterior Mata. (Sumber: Webb, 2004)

d. Pemeriksaan pupil, disini dinilai adalah bentuk dan ukuran, pupil serta refleks pupil terhadap cahaya yang diberikan baik direk dan indirek, hal ini dapat untuk menilai sistem saraf simpatis dan parasimpatis.

Gambar 1.4 Kornea Normal dengan Refleks Cahaya Normal. (Sumber: Webb, 2004)

e. Pemeriksaan funduskopi, pemeriksaan ini untuk .menilai kondisi segment posterior mata dengan menggunakan ophthalmoscope direk atau indirek.

Gambar 1.5 Pemeriksaan Funduskopi. (Sumber: Webb, 2004)

f. Pemeriksaan tekanan bola mata, dapat dilakukan secara digital dengan jari, menggunakan tonometer Schiotz atau tonometer aplanasi Goldman, pada pemeriksaan ini akan diketahui adanya penurunan tekan bola mata yang dapat terjadi pada trauma tembus bola mata atau adanya ablasio retina atau peningkatan tekanan bola mata, yang terjadi pada penyakit glukoma.

Gambar 1.6 Pemeriksaan Tonometri. (Sumber: Webb, 2004)

g. Pemeriksaan lapangan pandang perlu dilakukan untuk mendeteksi penyakit yang dapat mengganggu lapang pandangan seperti glaukoma, ablasio retina, neuritis optik, neuropati optik, dan lain-lain.

Gambar 1.7 Pemeriksaan Lapangan Pandang. (Sumber: Webb, 2004)

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Trauma KimiaSemua luka bakar akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kedaruratan mata. Harus segera dilakukan lavase di lokasi cedera dengan air keran sebelum pasien dikirim. Semua benda asing yang jelas tampak harus diirigasi apabila mungkin. Di ruang darurat, dilakukan anamnesis dan pemeriksaan singkat serta irigasi permukaan kornea, termasuk forniks konjungtiva, dengan cairan dalam jumlah besar. Salin isotonik konjungtiva, dengan cairan dalam jumlah besar. Salin isotonik steril (beberapa liter untuk satu mata yang cedera) diteteskan dengan selang intravena standar. Mungkin diperlukan spekulum kelopak mata dan infiltrasi anastetik lokal untuk mengatasi blefarospasme. Analgesik dan anastetik topikal serta siklopegik hampir selalu harus diberikan. Gunakan aplikator berujung kapas yang basah dan forseps ahli perhiasan untuk mengeluarkan benda-benda berbentuk partikel dari forniks. Perhatikan kemungkinan gangguan pernapasan akibat pembengkakan jaringan lunak di saluran napas atas. pH permukaan mata diperiksa dengan menaruh seberkas kertas indikator di forniks; ulangi irigasi apabila pH tidak terletak antara 7,3 dan 7,7. Setelah lavase, berikan salep antibiotik dan pembalut tekan (Vaughan et al, 2000).Karena bahan basa cepat menembus jaringan mata dan akan terus menimbulkan kerusakan jauh setelah cedera berhenti, maka diperlukan lavase jangka panjang dan pemantauan pH. Asam membentuk suatu sawar presipitat jaringan nekrotik yang cenderung membatasi penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Luka bakar akibat bahan alkalis menyebabkan peningkatan segera tekanan intraokular akibat kontraksi sklera dan kerusakan jaringan trabekular. Peningkatan tekanan sekunder 2-4 jam kemudian terjadi akibat pelepasan prostaglandin, yang mendorong memberatnya uveitis. Hal ini sulit dipantau melalui kornea yang opak. Pengobatan adalah dengan steroid topikal, obat-obatan antiglaukoma, dan siklopegik selama 2 minggu pertama. Setelah 2 minggu, pemakaian steroid harus berhati-hati karena obat ini menghambat reepitelisasi. Kemudiaan dapat terjadi perlunakan kornea dan kemungkinan perforasi akibat berlanjutnya aktivitas kolegenase. Tetes mata askorbat (vitamin C) dan sitrat hanya memiliki efek pencegahan minimal terhadap perlunakan kornea pada pasien dengan luka bakar berat atau defek epitel kornea persisten. Suatu percobaan dengan inhibitor kolagenase (asetilsistein) mungkin bermanfaat. Terpajannya kornea dan adanya defek epitel yang menetap diterapi dengan air mata buatan, tarsorafi, atau lensa kontak bebat (Vaughan et al, 2000).Penyulit jangka panjang dari luka bakar kimia adalah glaukoma sudut tertutup, pembentukan jaringan parut kornea, simblefaron, entropion, dan keratitis sika. Kompetensi pembuluh darah sklera dan konjungtiva dibuktikan memiliki nilai prognostik. Semakin banyak jaringan epitel perilimbus dan pembuluh darah sklera dan konjungtiva yang rusak semakin buruk prognosisnya (Vaughan et al, 2000).Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di dalam laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertania, dan peperangan yang memakai bahan kimia di abad modern (Ilyas, 2008).Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan dalam bentuk: trauma asam dan trauma basa atau alkali. Pengaruh bahan kimia sangat bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah bahan kimia tersebut mengenai mata. Dibanding bahan asam, maka trauma oleh bahan alkali cepat dapat merusak dan menembus kornea. Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan segera. Irigasi daerah yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang segera harus dilakukan karena dapat memberikan penyulit yang lebih berat. Pembilasan dilakukan dengan memakai garam fisiologik atau air bersih lainnya selama mungkin dan paling sedikit 15-30 menit (Ilyas, 2008).Luka bakar kimia harus dibilas secepatnya dengan air yang tersedia pada saat itu seperti dengan air keran, larutan garam fisiologik, dan asam berat. Anestesi topikal diberikan pada keadaan di mana terdapatnya blefarospasme berat. Untuk bahan asam digunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedang untuk basa larutan asam borat, asam asetat 0,5% atau bufer asam asetat pH 4,5% untuk menetralisir. Diperhatikan kemungkinan terdapatnya benda asing penyebab luka tersebut. Untuk bahan basa diberikan EDTA. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotik topikal, siklopegik dan bebat mata selama mata masih sakit. Regenerasi epitel akibat asam lemah dan alkali sangat lambat yang biasanya sempurna setelah 3-7 hari (Ilyas, 2008).

Gambar 2.1 Segera Bilas dengan Air Mengalir di Bawah Keran. Tanpa membuang waktu. (Sumber: Webb, 2004)

Trauma kimia yang mengenai organ mata secara umum dapat menimbulkan kerusakan dari ringan sampai berat, terutama trauma basa / alkali dan trauma asam. Trauma jenis ini merupakan kondisi gawat darurat mata, dimana tindakan harus cepat dan tepat serta konsultasi pada dokter mata dengan segera sangat dianjurkan (Webb, 2004).

2.1.1 Trauma Basa / AlkaliBahan kimia yang bersifat basa / alkali memiliki pH yang tinggi sehingga dapat menyebabkan pecah atau rusaknya sel jaringan dengan timbulnya proses persabunan pada membran sel epitel kornea, yang akan mempemudah penetrasi bahan kimia, serat kolagen kornea akan rusak, stroma kornea yang rusak akan menimbulkan tukak pada kornea dan dapat terjadi perforasi kornea. Bila trauma berat akan merusak sel goblet konjungtiva bulbi, produksi musim terganggu, sehingga menimbulkan kekeringan air mata dan simblefaron, gangguan sekresi musin ini juga dapat menimbulkan keratinisasi epitel kornea. Bila terjadi perforasi kornea, bahan ini akan merusak vaskularisasi iris badan siliar dan epitel lensa. Bahan-bahan dasar alkali yang sering menimbulkan trauma antara lain ammonia (NH), NAOH, Ca(OH) (Kosoko et al, 2009).Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan, dan sampai pada jaringan retina. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia alkali bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan, disertai dengan dehidrasi. Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7 detik (Ilyas, 2008).Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan bertambah kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita (Ilyas, 2008).Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam(Ilyas, 2008) :Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtataDerajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel korneaDerajat 3: hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel korneaDerajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%Pada pemeriksaan akan didapatkan pH bola mata meningkat (pH >7,3), penurunan tajam penglihatan oleh karena edema kornea, pada pemeriksaan dengan menggunakan fluorescein dan slit lamp akan tampak membran sel epitel rusak hingga hilangnya epitel, sindroma kekeringan air mata. Bila berat timbul simblefaron, konjungtiva dan sklera yang pucat, peningkatan atau penurunan tekanan intra ocular (TIO) (Kosoko et al, 2009).

Gambar 2.2 Trauma Basa Akut: Ringan-Sedang. (Sumber: NSW Department of Health, 2009)

Gambar 2.3 Trauma Basa Akut: Berat. (Sumber: NSW Department of Health, 2009)

Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya melakukan irigasi dengan garam fisiologik. Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan paling sedikit 60 menit segera setelah trauma. Penderita diberi siklopegia, antibiotika, EDTA untuk mengikat basa. EDTA diberikan 1 minggu trauma alkali diperlukan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ke tujuh (Ilyas, 2008).

Gambar 2.4 Irigasi dengan Eversi Kelopak Mata. (Sumber: NSW Department of Health, 2009) Penanganan trauma basa/alkali antara lain irigasi dengan larutan saline minimal 30 menit, dianjurkan menggunakan pembuka palpebra, periksa PH setiap 5-10 menit. Irigasi sampai pH netral kembali (pH 6.87.4), bila terdapat benda asing yang menyebabkan pH tetap tinggi, harus segera diambil. Obat-obatan yang diberikan antara lain EDTA, tetes mata sikloplegik untuk mengatasi spasme badan siliar dan mengurangi sakit, salep mata antibiotic, obat anti glaukoma bila ditemui peningkatan TIO (Kosoko et al, 2009).

Gambar 2.5 Universal Indicator Paper. Digunakan untuk memeriksa pH. (Sumber: NSW Department of Health, 2009)

Penyulit yang dapat ditimbulkan trauma alkali adalah simblefaron, kekeruhan kornea, edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan terjadi ftisis bola mata (Ilyas, 2008).

2.1.2 Trauma AsamBahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organik (asetat, forniat), dan organik anhidrta (asetat). Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali. Biasanya akan terjadi kerusakan hanya pada bagian superfisial saja. Bahan asama dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksi seperti terhadap trauma basa sehingga kerusakan yang diakibatkannya akan lebih dalam (Ilyas, 2008). Asam akan merusak dan memutus ikatan intramolekul protein, sehingga terjadi koagulasi protein, keadaan ini dapat merupakan barier yang menghambat penetrasi zat ke intraokular. Bila trauma disebabkan oleh zat asam kuat maka akan menembus stroma kornea sehingga berubah warna menjadi kelabu dalam 24 jam dan juga timbul kerusakan pada badan siliar . bahan bahan asam yang sering menyebabkan trauma antara lain as. Sulfat (H2SO4)2. As. Hidrofluric (HF), as. Asetat (CHCOOH), as.hidroklorat (HCL). Pada saat pemeriksaan ditemukan pH cairan mata turun 30 menit setelah trauma, hipertermia, dan kemosis konjungtiva bulbi. Peningkatan TIO pada hari pertama, bila kerusakan mengenai endotel kornea maka ditemukan membrane fibrosa yang mengganti kedudukan sel endotel yang rusak. Penatalaksanaan seperti trauma basa, irigasi sampai pH kembali netral dan obat-obatan juga seperti pada trauma basa (Kosoko et al, 2009).

Gambar 2.6 Trauma Asam. (Sumber: Webb, 2004)

Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang mengakibatkan trauma. Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali, sehingga tajam penglihatan tidak banyak terganggu (Ilyas, 2008).

2.2 Oklusi Arteri Retina SentralPenyumbatan akut pada arteri retina sentralis seringkali sukar ditemukan penyebabnya, tetapi pada orang tua biasanya disebabkan oleh thrombus atau emboli pada penyakit hipertensi, penyakit jantung atau kelainan karotis, infark miokard, diabetes mellitus, sedang pada orang yang lebih muda disebabkan oleh trauma, spasme pembuluh darah pada penyalahgunaan obat, pasien dengan penyakit koagulopati dan riwayat penyakit arteritis temporalis (Murphy-Lavoie et al, 2008).Emboli yang masuk ke dalam peredaran darah dapat berasal dari jantung atau arteri karotis. Emboli biasanya terjadi setelah patah pada tulang panjang, sedang emboli udara terjadi pasca bedah leher dan toraks. Spasme pembuluh darah dapat terjadi pada penderita hipertensi (Murphy-Lavoie et al, 2008).Pada oklusi arteri retina sentral daerah yang paling sering tersumbat terdapat pada lamina kribosa. Hal ini disebabkan karena daerah ini arteri dan vena terikat oleh jaringan ikat dan kolagen. Akibat penyumbatan pembuluh darah ini akan terjadi edema retina, lisis sel ganglion retina yang disusul dengan serbukan sel makrofag ke dalamnya. Lama kelamaan proses degenerasi mengenai seluruh lapis retina sehingga seluruh lapis hilang yang diikuti dengan atrofi papil saraf optik (Murphy-Lavoie et al, 2008).Pada pemeriksaan histopatologik didapatkan pada stadium dini edema berat pada sel ganglion, edema dan nekrosis pada 2/3 lapis dalam retina, yang pada akhirnya lapis ini atrofi total sedang lapis luar tetap normal (Murphy-Lavoie et al, 2008).Gambaran klinis pada oklusi arteri retina sentral yang selalu hanya mengenai satu mata adalah penglihatan pada satu mata turun mendadak malahan dapat buta sama sekali. Turunnya tajam penglihatan dapat berupa serangan-serangan atau amaurosis fugaks. Serangan ini terjadi akibat spasme pembuluh darah arteri yang tidak terus menerus (Murphy-Lavoie et al, 2008).Kadang-kadang tajam penglihatan masih normal pada oklusi arteri retina sentral. 10% penderita oklusi arteri retina sentral tajam penglihatannya tetap normal akibat tidak terganggunya makula lutea yang mempunyai pembuluh darah silioretina (Murphy-Lavoie et al, 2008).Pupil lebar disebabkan oleh tajam penglihatan yang berkurang. Pupil dapat tidak bereaksi terhadap sinar langsung akibat tajam penglihatan yang sangat berkurang. Mata tidak merah dan tidak merasa sakit (Murphy-Lavoie et al, 2008).Pada pemeriksaan funduskopi terlihat seluruh retina berwarna pucat dengan pembuluh darah yang gelap.warna pucat pada retina terutama didaerah polus posterior kecuali daerah fovea. Daerah fovea diperdarahi oleh koroid. Pada makula akan terlihat warna yang lebih merah dan disebut sebagai cherry red spot. Pembuluh darah retina terlihat berbentuk sosis akibat isinya yang tidak merata. Pada stadium lanjut gambaran fundus dapat menjadi normal kembali kecuali arteri yang halus dan papil yang pucat. Pada pemeriksaan angiografi fluoresin terlihat gangguan pengisian arteri dan terdapat pemanjangan waktu tangan-retina (Webb, 2004).

Gambar 2.7 Oklusi Arteri Retina Sentral. Pada kasus ini yakni arteri silioretina. Terlihat daerah pucat berbatas tegas, infrak retina, dan emboli yang telihat di dalam arteri. (Sumber: Webb, 2004)

Pada pemeriksaan ditemukan mata tenang dengan penglihatan yang tiba-tiba hilang (hitung jari sampai lambaian tangan) tanpa disertai sakit. Defek pupil aferen, pemeriksaan fundus tampak retina memucat, bercak cherry-red di fovea, tampak gambaran emboli pada bifurcation arteriola retina, dan gangguan lapang pandangan. Pemeriksaan lain yang pelu dilakukan untuk mencari penyebab timbulnya oklusi arteri, antara lain tekanan darah, pemeriksaan lab lengkap, evaluasi arteri karotis, dan pemeriksaan jantung (Webb, 2004).Penanganan yang terpenting pasien harus langsung dirujuk ke dokter mata, pemijatan bola mata, penurunan TIO dengan azetazolamid 500 mg IV atau 500 mg oral disertai timolol 0,5% topical, parasintesis bilik mata depan, terapi inhalasi dengan karbogen (campuran O2 dan CO2 ), bila dicurigai terdapat giant cell arteritis dapat dilakukan biopsi arteri temporalis serta diberi terapi steroid baik oral maupun intravena. Yang terbaru dapat dilakukan operasi dan pemberian obat- obatan trombolisis (Webb, 2004).Penyulit yang dapat ditemukan yakni mudah terjadi glaukoma neovaskular. Prognosis daripada oklusi arteri retina sentral bergantung pada lama dan letak penyumbatan pembuluh darah. Kadang-kadang masih terdapat tajam penglihatan yang normal dengan lapang pandang yang sempit. Retina bersifat lebih tahan terhadap hipoksia dibanding dengan otak. Pernah didapatkan hasil yang baik sesudah pengobatan cepat pada oklusi arteri retina sentral (Webb, 2004).

2.3 Trauma RadiasiTrauma radiasi di sini dapat disebabkan oleh sinar ultraviolet dari matahari (solar retinopati), sinar infra merah atau sinar yang lain seperti sinar X dan sinar terionisasi. Sering terjadi pada pengamat gerhana matahari, pelaut, tukang las yang tidak menggunakan kacamata pelindung. Sinar ini dapat diserap oleh kulit, epitel konjungtiva, dan menembus kornea, serta dapat diabsorbpsi oleh lensa sehingga timbul denaturasi protein lensa. Gejala yang timbul biasanya fotofobia, blefarospasme, lakrimasi, pada pemeriksaan slit-lamp terdapat infiltrat kornea. Bila sinar langsung mengenai macula maka dalam 1/10 detik penglihatan akan turun karena fovea terbakar, bahkan sampai menimbulkan lubang / hole pada fovea. Penanganan hanya bersifat simptomatis, mengurangi rasa sakit dengan analgetik dan steroid untuk mengurangi gejala radang yang timbul (Ilyas, 2008).

2.3.1 Trauma Sinar Ultra VioletSinar ultraviolet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat mempunyai panjang gelombang antara 350-295 nM. Sinar ultra violet banyak terdapat pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari atau pantulan sinar matahari di atas salju. Sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea. Sinar ultra violet biasanya memberikan kerusakan terbatas pada kornea sehingga kerusakan pada lensa dan retina tidak akan nyata terlihat. Kerusakan ini akan segera baik kembali setelah beberapa waktu, dan tidak akan memberikan gangguan tajam penglihatan yang menetap. Pasien yang telah terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma. Pasien akan merasa mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan pasir, fotofobia, blefarospasme, dan konjungtiva kemotik. Kornea akan menunjukkan adanya infiltrat pada permukaannya, yang kadang-kadang disertai dengan kornea yang keruh dan uji fluoresein positif. Keratitis terutama terdapat pada fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam penglihatan akan terganggu. Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat permanen sehingga akan memberikan kekeruhan pada kornea. Keratitis dapat bersifat akibat efek kumulatif sinar ultra violet sehingga gambaran keratitisnya menjadi berat. Pengobatan yang diberikan adalah siklopegia, antibiotika lokal, analgetik, dan mata ditutup untuk selama 2-3 hari. Biasanya sembuh setelah 48 jam (Ilyas, 2008).

2.3.2 Trauma Sinar Infra MerahAkibat sinar infra merah dapat terjadi pada saat menatap gerhana matahari dan pada saat bekerja di pemanggangan. Kerusakan ini dapat terjadi akibat terkonsentrasinya sinar infra merah yang terlihat. Kaca yang mencair seperti yang ditemukan di tempat pemanggangan kaca akan mengeluarkan sinar infra merah. Bila seseorang berada pada jarak 1 kaki selama satu menit di depan kaca yang mencair dan pupilnya melebar atau midriasis maka suhu lensa akan naik sebanyak 9 derajat Celcius. Demikian pula iris yang mengabsorpsi sinar infra merah akan panas sehingga berakibat tidak baik terhadap kapsul lensa di dekatnya. Absorpsi sinar infra merah oleh lensa akan mengakibatkan katarak dan eksfoliasi kapsul lensa. Akibat sinar ini pada lensa maka katarak mudah terjadi pada pekerja industri gelas dan pemanggangan logam. Sinar infra merah akan mengakibatkan keratitis superfisial, katarak kortikal anterior-posterior dan koagulasi pada koroid. Bergantung pada beratnya lesi akan terdapat skotoma sementara ataupun permanen. Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang sudah terjadi kecuali mencegah terkenanya mata oleh sinar infra merah ini. Steroid sistemik dan lokal diberikan untuk mencegah terbentuknya jaringan parut pada makula atau untuk mengurangi gejala radang yang timbul (Ilyas, 2008).

2.3.3 Trauma Sinar X dan Sinar IonisasiSinar ionisasi dibedakan dalam bentuk sinar alfa yang dapat diabaikan, sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan, sinar gama dan sinar X. Sinar ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan katarak dan rusaknya retina. Dosis kataraktogenik bervariasi dengan energi dan tipe sinar, lensa yang lebih muda dan lebih peka. Akibat dari sinar ini pada lensa, terjadi pemecahan diri sel epitel secara tidak normal. Sedang sel baru yang berasal dari sel germinatif lensa tidak menjadi jarang. Sinar X merusak retina dengan gambaran seperti kerusakan yang diakibatkan diabetes melitus berupa dilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneuris mata dan eksudat. Luka bakar akibat sinar X dapat merusak kornea yang mengakibatkan kerusakan permanen yang sukar diobati. Biasanya akan terlihat sebagai keratitis dengan iridosiklitis ringan. Pada keadaan yang berat akan mengakibatkan parut konjungtiva atrofi sel goblet yang akan mengganggu fungsi air mata. Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topikal dengan steroid 3 kali sehari dan siklopegik satu kali sehari. Bila terjadi simbleferon pada konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan (Ilyas, 2008).

2.4 Trauma Jaringan Ekstra OkularTrauma tajam atau tumpul yang mengenai kelopak dan jaringan ekstra okuler dapat menimbulkan luka robek / laserasi yang sering disertai dengan kerusakan sistem lakrimal mata, tendon kantus internus dan eksternus, septum orbita dan aponeurosislevator palpebra (NSW Department of Health. 2009).Apabila terdapat pasien dengan laserasi kelopak mata, maka periksa cedera lain dan obati dengan tepat, baik mata dan yang non-okular. Kemudian nilai kedalaman luka, jika dalam maka bola mata juga mungkin terkena. Jika tidak dalam dan tidak mengenai daerah kelopak mata, cukup bersihkan dan perbaiki dengan jahitan benang sutra 6/0, vicryl atau prolene pada kulit. Jika luka dalam atau mengenai daerah kelopak mata atau pungtum lakrimal. (kira-kira setengah daerah kelopak mata) maka berikan perbaikan apapun pada dokter mata. Periksa status tetanus dan obati dengan tepat. Tempatkan penutup yang kering steril dan longgar di atas luka. Perlu dicurigai adanya ruptur okuler yang mendasari atau adanya penetrasi pada bola mata maka segera rujuk ke dokter spesialis mata. Laserasi kelopak mata dapat dibiarkan selama 24 jam sebelum dilihat oleh dokter mata. Laserasi minor yang tidak mencederai mata dapat dijahit tanpa dirujuk ke dokter spesialis mata, kemudian angkat jahitan setelah 6-10 hari (Webb, 2004).

Gambar 2.8 Laserasi Kelopak Mata yang Dalam Pre (a) dan Post Operasi (b). Diakibatkan pecahan kaca. (Sumber: Webb, 2004)

Laserasi kelopak mata yang luas memerlukan pemeriksaan yang lebih teliti dibawah mikroskop untukmengetahui seberapa dalam kerusakan dan ada atau tidak jaringan yang hilang, yang akan menimbulkan masalah dalam melakukan rekonstruksi. Penanganan harus dilakukan oleh dokter mata terutama terdapat keterlibatan sistem lakrimal. Rekonstruksi dilakukan diawali dengan perbaikan saluran lakrimasi, dilanjutkan penjahitan jaringan palpebra lapis demi lapis yang dilakukan dibawah mikroskop. Bila kerusakan kanalis lakrimalis berat sehingga tidak dapat direkonstruksi kembali, maka dapat dilakukan dakriosistorinostomi (Webb, 2004).

Gambar 2.9 Dakriosistorinostomi. (Sumber: Webb, 2004)

2.5 Trauma Tumpul Bola MataTrauma tumpul pada mata dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan mata seperti edema kornea sehingga kornea menjadi keruh dan penglihatan akan menurun, bisa terjadi hifema di bilik mata depan yang disebabkan pecahnya pembuluh darah iris yang terkadang disertai lepasnya iris dari akarnya (iridodialisis) atau timbul perdarahan badan kaca karena rusaknya pembuluh darah di badan siliar (Pokhrel & Loftus, 2007).

Gambar 2.10 Hifema Sedang. Iris dan pupil dapat mudah terlihat. (Sumber: Webb, 2004)

Trauma tumpul pada mata memerlukan perawatan yang tepat dan pencegahan terhadap terjadinya penyulit yang diakibatkannya. Trauma pada mata ini dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan mata seperti (Pokhrel & Loftus, 2007):a. KorneaTrauma tumpul dapat mengakibatkan edema kornea. Edema kornea yang berat akan mengakibatkan kekeruhan yang menetap. Bila kekeruhan terletak pada sumbu penglihatan kadang-kadang diperlukan tindakan pembedahan. Pada edema kornea akan terlihat kornea yang keruh. Jaringan intraokular sukar dilihat akibat kekeruhan kornea yang mengalami edema. Pengobatan pada edema kornea adalah dengan memberikan larutan hiperosmotik. Tekanan bola mata yang tinggi akan mengakibatkan bertambahnya edema kornea akibat endotel yang rusak. Biasanya tekanan intraokular diatur agar tidak tinggi untuk memperbaiki fungsi kornea yang sakit, misalnya dengan memberi acetazolamid.b. SkleraTrauma tumpul dapat mengakibatkan ruptur sklera. Tempat ruptur akibat trauma tumpul biasanya di sekitar sklera yang lemah seperti pada daerah antara insersi rektus dengan ekuator bola mata. Ruptur sklera juga mudah terjadi di daerah limbus. Ruptur sklera dengan prolaps jaringan akan memberikan prognosis kurang baik. Pada keadaan ini akan terbentuk jaringan granulasi yang akan mengakibatkan hilangnya penglihatan. Bila diberikan perawatan yang tepat pada ruptur sklera maka tajam penglihatan dapat dipertahankan. Pada ruptur sklera pengangkatan bola mata hanya dilakukan bila tidak terdapat lagi proyeksi sinar atau kerusakan sudah demikian besarnya sehingga usaha untuk melakukan perbaikan secara anatomik sudah tidak mungkin lagi.Untuk menegakkan diagnosa adanya ruptur sklera kadang-kadang sukar sekali. Biasanya ditemukan tekanan bola mata yang rendah, perdarahan subkonjungtiva, kadang-kadang bilik mata menjadi dangkal atau dalam dan ditemukan darah di dalam bola mata. Tanda lain dapat ditemui periorbital ekimosis, laserasi palpebra, perdarahan subkonjungtiva, vossius ring, subluksasi atau dislokasi lensa, ruptur bola mata, ablasio retina, dan timbulnya neuropati optic traumatic (Webb, 2004).

Gambar 2.11 Hematom Orbita tanpa Terlihat Mata. (Sumber: Webb, 2004)

Pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain pemeriksaan visus, reflex pupil, pemeriksaan dengan slip-lamp disertai fluorescein, pemeriksaan TIO, funduskopi dengan pupil yang dilebarkan, dan pemeriksaan laboratorium darah. Pemeriksaan mata dilakukan dengan berhati-hati karena akibat manipulasi pemeriksaan dapat terjadi keadaan yang bertambah buruk. Pemberian analgetik dapat diberikan untuk mempermudah pemeriksaan. Pada ruptur sklera sebaiknya diambil bahan untuk pemeriksaan bakteriologik (Webb, 2004).

Gambar 2.12 Hematom dengan Tampilan Bola Mata yang Tampak Normal. Perhatikan tidak ada tekanan yang diberikan pada mata, kelopaknya ditarik dari tepi tulang orbital.

Penatalaksanaan antara lain menghentikan perdarahan dengan obat- obat anti perdarahan, mengendalikan TIO, pemberian sikloplegik dan bila terdapat hifema penuh dilakukan parasintesis untuk mencegah naiknya TIO dan mencegah inhibisi kornea. Penderita dianjurkan untuk dirawat, bed rest total dengan tidur menggunakan bantal tinggi (60). Kedua mata dianjurkan untuk ditutup agar mata dapat diistirahatkan. Bila terdapat ruptur bola mata atau ablasio retina, harus segera dilakukan tindakan operatif sebagai usaha untuk menyelamatkan bola mata dan fungsi penglihatan. Bila terdapat jaringan uvea yang prolaps, untuk memotongnya harus hati-hati. Bila tidak perlu, jangan memotongnya atau sedapat mungkin dilakukan reposisi jaringan yang prolaps. Pemotongan jaringan badan siliar harus dihindarkan sebanyak mungkin. Penyulit yang dapat ditemukan antara lain perdarahan intraokular, endoftalmitis, ablasio retina, dan ftisis bulbi akibat terbentuknya jaringan fibrosis (Webb, 2004).

2.6 Trauma Tajam dan Tembus Bola MataTrauma tajam pada bola mata dapat menimbulkan hanya laserasi pada sklera atau kornea, bila ini terjadi, tindakan yang dilakukan adalah penjahitan kembali dibawah mikroskop. Laserasi kornea dibedakan dalam bentuk laserasi kornea sebagian dan laserasi dengan perforasi kornea. Tetapi bila trauma tajam tersebut menembus bola mata, dapat merusak susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular. Trauma tembus dapat disertai atau tanpa masuknya benda asing intraocular, gejala yang timbul antara lain turunnya penglihatan karena adanya kekeruhan pada media refrakta (Pokhrel & Loftus, 2007).

Gambar 2.13 Trauma Tajam dan Tembus Bola Mata. Biasa disebabkan oleh partikel berkecepatan tinggi, biasanya fragmen logam dari benturan antara logam dengan logam, misalnya menggedor paku atau memahat, cedera senapan angin. (Sumber: Webb, 2004)

2.6.1 Trauma Tajam Bola Mata (Laserasi Kornea)Pada setiap kemungkinan laserasi kornea diperlukan riwayat yang lengkap dari penyebab trauma. Dengan riwayat yang baik dapat disimpulkan kemungkinan hal yang terjadi pada jaringan kornea atau bola mata akibat trauma tersebut dan kemungkinan penyulit yang dapat terjadi (Sukati, 2012).Bila laserasi disertai dengan perforasi kornea maka biasanya disertai dengan prolaps jaringan intraokular di tempat perforasi. Jaringan tidak prolaps hanya bila perforasi kecil. Akibat prolaps atau terjepitnya jaringan iris maka pupil akan terlihat lonjong (Sukati, 2012).Bila terdapat laserasi dengan perforasi luas maka pemeriksaan bagian lain bola mata akan lebih sukar. Bila dilakukan pemeriksaan jaringan intraokular mudah prolaps akibat dari manipulasi pemeriksaan (Sukati, 2012).Pemeriksaan pada laserasi kornea selain daripada untuk melihat gangguan susunan anatomik akibat trauma juga dapat untuk melihat adanya benda asing, katarak dan untuk melihat apakah sudah terjadi infeksi sekunder ke dalam jaringan intraokuler. Diagnosis pasti adanya benda asing di dalam bola mata hanya dapat ditentukan dengan pemeriksaan radiologik atau ultrasonografi (Sukati, 2012).Pemeriksaan harus dilakukan oleh dokter mata dengan sangat berhati- hati karena sedikit penekanan saja dapat menyebabkan isi bola mata prolaps atau keluar. Tekanan bola mata menurun karena cairan akuos yang keluar melalui luka tembus atau bahkan badan kaca dapat keluar. Pada trauma jenis ini harus dilakukan pemeriksaan radiologi foto orbita menggunakan marker (ring atau lensa kontak Comberg) untuk menentukan ada atau tidak benda asing dan lokasi benda asing tersebut berada di ekstra atau intraokular, pemeriksaan ERG untuk mengetahui fungsi retina dan VER untuk melihat fungsi jalur penglihatan ke pusat penglihatan (Cho & Savitsky, 2009).Pengobatan pada laserasi membedakan kasus anak dan dewasa. Kornea neonatus berkembang sampai usia 6 bulan. Ukuran kornea mata bayi sama denganukuran kornea dewasa bila bayi telah berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Kornea bayi hampir sferis yang akan menjadi lebih rata pada penambahan umur. Kornea bayi lebih tipis dibanding kornea dewasa. Akibatnya persiapan dan peralatan pembedahan mempunyai pertimbangan sendiri (Rappon, 2006).Bila terjadi laserasi sebagian yang diakibatkan benda tajam dan bersih seperti kaca atau pisau yang tidak menembus kornea, tidak perlu dilakukan pembedahan. Pada penderita hanya diberikan bebat tekan dengan antibiotik untuk beberapa hari (Rappon, 2006).Bila terdapat laserasi yang tidak teratur tanpa perforasi tidak perlu dilakukan pembedahan. Bila keadaan ini mengancam akan perforasi atau terdapat decemetokel sebaiknya direncanakan untuk keratoplasti tembus. Bila hal ini tidak mungkin maka dianjurkan diberi lensa kontak lembek atau flep konjungtiva sebagai pelindung (Rappon, 2006).Bila laserasi kornea dengan perforasi kecil, bersih dengan bentuk susunan jaringan intraokular normal tidak perlu dilakukan pembedahan. Penderita diberi bebat tekan atau lensa kontak lembek atau flep konjungtiva (Rappon, 2006).Bila laserasi dengan perforasi luas maka pertolongan pertama yang dilakukan adalah (Webb, 2004): Menutup kedua mata dengan kasa steril Memberi kapsul antibiotik spektrum luas ATS Pembedahan dilakukan bila perlengkapan bedah sudah memadai

Gambar 2. 14 Teknik Bebat Dobel. (Sumber: Webb, 2004)

Pembedahan dilakukan dengan anastesi umum. Bila dilakukan dengan anastesi lokal akan berbahaya karena dapat terjadi perdarahan retrobulbar pada waktu penyuntikan obat anastetika. Anastesi umum dilakukan dengan induksi cepat yang mencegah tekanan intraokular naik. Pada anastesi umum hindari pemakaian obat anastesi yang meninggikan tekanan bola mata, seperti suksinil, ketalar, dan lain-lain. Bila tekanan intraokular naik pada waktu pembiusan dengan bola mata terbuka atau laserasi dengan perforasi maka dapat terjadi prolaps jaringan intraokular (Cho & Savitsky, 2009).Penatalaksanaan ditujukan untuk mempertahankan bola mata dan fungsi penglihatan, bila terdapat benda asing, harus segera dievakuasi dan luka yang terbuka harus segera ditutup. Pada penderita diberikan analgetik dan sedative, serta antibiotika spectrum luas intravena. Dapat juga disertai antibiotika intra camera atau intravitreal untuk mencegah infeksi post trauma (Cho & Savitsky, 2009).Laserasi dengan perforasi yang luas dapat berakhir dengan ftisis bulbi yang merupakan tanda degenerasi berat bola mata. Oftalmia simpatika merupakan penyulit yang berat pada kerusakan jaringan intraokular (Cho & Savitsky, 2009).

2.6.2 Trauma Tembus Bola MataPerforasi bola mata merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata selain dapat mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular (Sukati, 2012).Trauma tembus pada bola mata dapat dengan atau tanpa masuknya benda asing intraokular. Bila bersamaan dengan trauma tembus terdapat benda asing intraokular maka benda asing tersebut akan memberikan akibat buruk di dalam bola mata seperti siderosis, kalkosis, dan oftalmia simpatika (Webb, 2004).Trauma tembus dapat berbentuk perforasi sklera dengan prolaps badan kaca disertai dengan perdarahan badan kaca. Dapat juga perforasi sklera ini disertai dengan prolaps badan siliar. Sebaiknya diketahui apakah trauma tembus disebabkan oleh benda yang kotor sehingga dapat diprediksi dan dicegah kemungkinan akan terjadinya endoftalmitis (Webb, 2004).

Gambar 2.15 Laserasi Konjungtiva dan Fragmen Kayu dari Cabang Pohon. Waspadai adanya ruptur sklera. (Sumber: Webb, 2004)

Tajam penglihatan akan menurun akibat terdapatnya kekeruhan media penglihatan secara langsung atau tidak langsung akibat trauma tembus tersebut. Pemakaian retraktor atau spekulum untuk melakukan pemeriksaan trauma tembus sebaiknya dilakukan secara berhati-hati. Pemakaian yang salah akan mengakibatkan meningginya tekanan bola mata seihngga mendesak isi bola mata keluar (Cho & Savitsky, 2009).Bila terdapat perforasi kornea akan terlihat bilik mata yang dangkal. Jaringan uvea akan menempel pada kornea atau malahan akan terlihat jaringan irisyang prolaps keluar. Akibat perlengketan iris dengan bibir luka kornea akan terdapat bentuk pupil yang lonjong atau terjadi perubahan bentuk pupil. Kadang-kadang terdapat hifema, hal ini menunjukkan terjadinya ruptur iris atau badan siliar oleh trauma tembus tersebut (Cho & Savitsky, 2009).Tekanan bola mata akan rendah akibat cairan mata keluar melalui luka tembus dan malahan badan kaca dapat keluar. Pemeriksaan tambahan yang sebaiknya dilakukan pada trauma tembus adalah (Cho & Savitsky, 2009): Pembiakan kuman dari benda yang merupakan penyebab trauma tembus untuk menjadi petunjuk pemberian obat antibiotik pencegah infeksi Pemeriksaan radiologi foto orbita untuk melihat adanya benda asing yang radioopak, bila ada dilakukan pemeriksaan dengan lensa kontak Comberg, dan dapat ditentukan apakah benda asing intraokuler atau ekstraokuler Pemeriksaan ERG untuk mengetahui fungsi retina yang rusak atau yang masih ada Pemeriksaan VER untuk melihat fungsi jalur penglihatan ke pusat penglihatanKeadaan trauma tembus pada mata merupakan hal yang gawat dan harus segera mendapat perawatan khusus karena dapat menimbulkan bahaya infeksi, siderosis, kalkosis, dan oftalmia simpatika. Pertimbangan tindakan bertujuan mempertahankan bola mata dan mempertahankan penglihatan. Pada setiap keadaan harus dilakukan usaha untuk mempertahankan bola mata bila masih terdapat kemampuan melihat sinar atau masih ada proyeksi penglihatan (Cho & Savitsky, 2009).Bila terdapat benda asing dalam bola mata, maka sebaiknya dilakukan usaha untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada tindakan sebaiknya dipertimbangkan bahaya mengeluarkan benda dibanding dengan keuntungan melakukan enukleasi pada mata tersebut. Pada penderita diberikan antibiotik spektrum luas, analgetik, dan sedativa. Dilakukan pembedahan pada luka yang terbuka. Penyulit yang dapat ditemukan yakni endoftalmitis, ablasi retina, perdarahan badan kaca, glaukoma, dan katarak (Webb, 2004).Prognosis bergantung pada banyak faktor seperti (Sukati, 2012): Besarnya luka tembus, makin kecil luka tembus makin baik prognosisnya Tempat luka pada bola mata, bila terdapat di segmen anterior prognosis lebih baik daripada di segmen posterior Bentuk trauma, apakah dengan benda asing atau tidak Benda asing magnetik atau tidak Dalamnya luka tembus apakah tumpul atau luka ganda Sudah terdapatnya penyulit akibat luka tembus

2.7 Benda Asing KorneaBenda asing yang terdapat pada kornea dapat terdiri atas satu atau beberapa buah. Benda asing yang terdapat pada kornea dapat berasal dari gerinda atau pecahan besi yang diketuk dengan martil. Sering saat datangnya benda tersebut tidak disadari atau tidak diduga oleh penderita, sehingga tidak segera memberikan keluhan atau meminta pertolongan. Keadaan ini dapat berlanjut dengan terbentuknya karat di sekitar logam yang tertanam pada bola mata (Webb, 2004).

Gambar 2.16 Benda Asing Logam. Superfisial tanpa cincin karat pada tahap awal. (Sumber: Webb, 2004)

Terdapatnya rasa pedas dan sakit pada mata merupakan gejala dini benda asing pada kornea. Keluhan ini mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau tukak pada mata tersebut. Perasaan sakit ini disertai dengan keluarnya air mata yang banyak (epifora) (Cho & Savitsky, 2009).Di sekitar limbus terlihat pelebaran pembuluh darah perikorneal atau disebut sebagai suatu injeksi siliar. Pada kornea terlihat adanya benda asing. Terjadi miosis pupil akibat refleks perasaan sakit pada kornea (Webb, 2004).

Gambar 2.17 Benda Asing yang Menembus. Perhatikan kornea kabur dengan refleks cahaya ireguler. (Sumber: Webb, 2004)

Kadang-kadang sesudah diberikan obat anastesi topikal, benda asing ini dapat dikeluarkan dengan memakai kapas yang digosokkan di atasnya. Bila tidak dapat dikeluarkan dengan kapas, maka dikeluarkan dengan ujung jarum suntik. Mengeluarkan benda asing dilakukan dengan menggunakan loupe. Cincin karat di sekitar benda asing dikeluarkan untuk mencegah reaksi radang pada karat logam. Mengeluarkan karat logam kadang sukar sehingga untuk mengeluarkan perlu dilakukan di depan slitlamp. Bila mungkin benda asing pada kornea dikeluarkan seluruhnya pada satu saat tindakan. Diberi sikoplegik topikal untuk mengurangi rasa sakit dan menghilangkan gejala siklitis yang dapat terjadi (Webb, 2004).

Gambar 2.18 Tempatkan ujung jarum oranye ke dalam lubang jarum hijau dan bengkokkan sekitar 30 derajat. Hal ini menghasilkan 'duri' yang berguna untuk memanipulasi benda asing di kornea. (Sumber: Webb, 2004)

Gambar 2.19 Kemudian tekuk poros sekitar 30 derajat. Hal ini memungkinkan pendekatan tangensial yang lebih mudah ke permukaan kornea. (Sumber: Webb, 2004)

Gambar 2.20 Tahan kelopak mata dan ambil. Beri anestesi lokal jika diperlukan. (Sumber: Webb, 2004)

Gambar 2.21 Pengambilan Benda Asing Kornea dengan Jarum 25 G. Dilakukan di depan Slit lamp. (Sumber: NSW Department of Health, 2009)

Antibiotik spektrum luas dalam bentuk tetes atau salep diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Bebat tekan diberikan selama 8-48 jam untuk mempercepat pertumbuhan epitel. Bebat tekan juga akan mengurangi rasa sakit karena defek epitel tidak terganggu akibat kedipan (NSW Department of Health, 2009).Hati-hati dalam memberi steroid karena dapat terjadi infeksi sekunder dan sangat berbahaya bila terdapat virus herpes simplek. Obat anastesi lokal harus diberikan dengan berhati-hati karena dapat mengakibatkan keratitis dan adiksi terhadap obat ini. Untuk menghilangkan rasa sakit dapat diberi kodein, aspirin, dan obat analgetika lainnya (NSW Department of Health, 2009).Pada defek epitel dengan benda asing kornea mudah terjadi infeksi oleh Pseudomonas ataupin virus. Selain dari infeksi sekunder pada bekas benda asing ini dapat terjadi jaringan parut yang akan mengganggu penglihatan atau sukarnya tertutup epitel kornea sehingga terjadi erosi rekuren (NSW Department of Health, 2009).

2.8 Tukak (Ulkus) KorneaTerbentuknya ulkus pada kornea mungkin banyak ditemukan oleh adanya kolagenase yang dibentuk oleh sel epitel baru dan sel radang. Dikenal dua bentuk tukak pada kornea, yaitu sentral dan marginal atau perifer. Tukak kornea perifer dapat disebabkan oleh reaksi toksik, alergi, autoimun, dan infeksi. Infeksi pada kornea perifer biasanya oleh Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, dan Moraxella lacunata (Ilyas, 2008).Selain karena radang dan infeksi, penyebab lain tukak kornea ialah defisiensi vitamin A, lagoftalmus akibat paresis saraf VII, lesi saraf V atau neurotrofik dan ulkus Mooren (Ilyas, 2008).Pada tukak kornea yang disebabkan jamur dan bakteri akan terdapat defek epitel yang dikelilingi leukosit polimorfonuklear. Bila infeksi disebabkan virus, akan terlihat reaksi hipersensitivitas di sekitarnya. Bentuk tukak marginal dapat fokal, multifokal atau difus yang disertai dengan masuknya pembuluh darah ke dalamnya (Ilyas, 2008).Perjalanan penyakit tukak kornea dapat progresif, regresi atau membentuk jaringan parut. Pada proses kornea yang progresif dapat terlihat infiltrat sel leukosit dan limfosit yang memakan bakteri atau jaringan nekrotik yang terbentuk. Pada pembentukan jaringan parut akan terdapat epitel, jaringan kolagen baru dan fibroblas (Ilyas, 2008).Tukak kornea biasanya terjadi sesudah terdapatnya trauma ringan yang merusak epitel kornea. Pada mulanya mata akan terasa pedih dan sakit disertai fotofobia. Biasanya kokus Gram positif, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumonie akan memberikan gambaran tukak yang terbatas, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih abu-abu pada tukak yang supuratif. Daerah kornea yang tidak terkena akan tetap berwarna jernih dan tidak terlihat infiltrasi sel radang(Ilyas, 2008) .Kadang-kadang di dalam bilik mata depan ditemukan hipopion. Bila tukak disebabkan Pseudomonas maka tukak akan terlihat melebar dengan cepat, bahan purulen berwarna kuning hijau terlihat melekat pada permukaan tukak(Ilyas, 2008) .

Gambar 2.22 Ulkus Putih Dalam dan Abses Kornea. Perhatikan hypopyon di ruang anterior mata. (Sumber: Webb, 2004)

Pemeriksaan laboratorium sangat berguna untuk membantu membuat diagnosis penyebab. Pemeriksaan jamur dilakukan dengan sediaan hapus yang memakai larutan KOH. Bila tukak disebabkan jamur, maka infiltrat akan berwarna abu-abu dikelilingi infiltrat halus di sekitarnya (fenomena satelit). Bila tukak terbentuk dendrit akan terlihat hipoestesi pada kornea. Tukak yang berjalan cepat dapat membentuk descemetokel atau terjadi perforasi kornea yang akan membuat suatu bentuk lekoma adheren (Ilyas, 2008).Bila proses pada tukak berkurang maka akan terlihat berkurangnya rasa sakit, fotofobia, berkurang infiltrat pada tukak dan defek epitel kornea menjadi bertambah kecil (Ilyas, 2008).Pengobatan pada tukak kornea bertujuan untuk menghalangi hidupnya bakteri dengan antibiotika, mengurangi reaksi radang dengan steroid. Secara umum, tukak diobati sebagai berikut (Ilyas, 2008): Tidak boleh dibebat, karena akan menaikkan suhu sehingga akan berfungsi sebagai inkubator Sekret yang terbentuk dibersihkan 4 kali sehari Perhatikan kemungkinan terjadinya glaukoma sekunder Debridement sangat membantu penyembuhan Diberi antibiotika yang sesuai penyebab. Biasanya diberi lokal kecuali keadaan berat.Pengobatan dihentikan bila sudah terjadi epitelisasi dan mata terlihat tenang kecuali penyebabnya Pseudomonas yang memerlukan pengobatan ditambah 1-2 minggu. Pada tukak kornea dilakukan pembedahan atau keratoplasti bila dengan pengobatan tidak sembuh dan terjadinya jaringan parut yang mengganggu penglihatan (Ilyas, 2008).

2.9 Glaukoma Sudut Tertutup AkutGlaukoma sudut tertutup akut merupakan suatu kondisi mata yang gawat, karena pada kondisi ini tekanan bola mata naik secara cepat dan tiba- tiba karena adanya blok pada pupil sehingga menimbulkan gejala-gejala akut seperti mata merah, rasa sakit dimata, pusing, mual sering disertai muntah, penglihatan turun mendadak karena edema kornea, terdapat gambaran halo atau pelangi saat melihat lampu, lumpuhnya sphingter pupil, atrofi iris, TIO yang sangat tinggi (Khare & Symons, 2008).

Gambar 2.23 Aliran Aquous Humour pada Glaukoma Sudut Tertutup. (Sumber: Webb, 2004)

Penyakit ini biasanya terdapat pada penderita berusia lebih dari 40 tahun. Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit mengenai sekitar mata dan daerah belakang kepala bagian mata yang mendapat serangan glaukoma akut. Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah yang kadang-kadang dapat mengaburkan gejala glaukoma akut kongestif. Tajam penglihatan sangat menurun. Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat. Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar. Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh. Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang positif, akibat timbulnya reaksi radang uvea. Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat. Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat kekeruhan media penglihatan. Tekanan bola mata yang sangat tinggi. Tekanan bola mata antara dua serangan dapat normal. Biasanya serangan akut ini diprovokasi dengan melebarnya pupil atau bila penderita di tempat yang gelap (Khare & Symons, 2008).Serangan dapat mengenai kedua mata pada suatu saat. Biasanya bila tidak terdapat serangan pada kedua mata, maka mata yang lain mendapat serangan sesudah 2-5 tahun kemudian. Bila serangan sudah berulang kali atau serangan terlalu lama maka akan terjadi perlengketan antara pangkal iris dan kornea atau goniosinekia (Ilyas, 2008).Kondisi ini harus mendapatkan penanganan segera, yaitu obat untuk menghilangkan gejala simptomatik. Dan dilakukan usaha untuk menurunkan TIO baik dengan pemberian obat hiperosmotik secara intravena, asetazolamid oral dan khemolol, timolol 0,5 % topical, miotika dapat diberikan bila tekanan sudah menurun dengan tujuan untuk membuka sudut irido korneal setelah TIO dapat terkontrol dianjurkan untuk dilakukan terapi operatif, yaitu iridotomi laser atau iridektomi perifer bila trabekulum masih berfungsi baik, bila fungsi trabekulum tidak berfungsi baik dilakukan operasi filtrasi atau trabekulektomi (Ilyas, 2008).Bila glaukoma akut kongestif tidak mendapat pengobatan yang tepat dan cepat, maka kebutaan akan terjadi dalam waktu yang pendek sekali. Pengawasan dan pengamatan mata yang tidak mendapat serangan diperlukan karena dapat memberikan keadaan yang sama seperti mata yang dalam serangan (Ilyas, 2008).Nasihat pada penderita dengan glaukoma sudut tertutup (Ilyas, 2008): Emosi seperti bingung dan takut dapat menimbulkan serangan akut Membaca dekat yang mengakibatkan miosis atau pupil kecil akan menimbulkan serangan pada glaukoma blokade pupil Berbahaya memakai obat simpatomimetik karena dapat melebarkan pupil yang menimbulkan serangan Berbahaya penderita dengan hipermetropia dan sudut bilik mata dangakal memakai obat antihistamin dan antispasme

2.10 Konjungtivitis GonoreKonjungtivitis gonore disebabkan oleh kuman diplokokkus gram negative aerob Neiseria Gonorhoeae yang bersifat sangat pathogen, virulen dan invasive, reaksi radang yang timbul sangat berat. Pada neonatus, infeksi konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan kelahiran (oftalmia neonatorum), sedang pada bayi, penyakit ini juga ditularkan oleh ibu yang sedang menderita penyakit (konjungtivitis gonore infatum). Pada orang dewasa, penularan penyakit melalui hubungan seksual (konjungtivitis gonore adultorum). Pada pemeriksaan ditemukan edema kelopak, spasme, sakit, hiperemis, konjungtiva, dan khemosis. Pada stadium supuratif terdapat secret yang mukopurulen, pada bayi ini berwarna kuning dan kental dan terdapat pseudomembran pada permukaan konjungtiva, penyakit akan berlangsung selama 6 minggu dan sering kali disertai pembesaran dan rasa sakit kelenjar preaurikular. Diagnosis pasti dengan pemeriksaan sediaan apus konjungtiva, terdapat bakteri diplokokkus. Penanganan penyakit ini dilakukan irigasi setiap 15 menit, pemberian antibiotic baik sistemik dan topical (penicillin G disertai sectinomisin atau tetrasiklin). Penisilin G topical diberikan dengan dosis 10.000-20.000 unit/ml setiap 30 menit. Pengobatan dihentikan bila setelah tiga kali pemeriksaan laboratorium berturut-turut memberikan hasil negative (Ilyas, 2008).

Gambar 2.24 Konjungtivitis Gonore. (Sumber: Webb, 2004)

2.11 Selulitis OrbitaSelulitis orbita merupakan peradangan jaringan ikat yang terdapat dirongga orbita. Biasanya disebabkan oleh peradangan pada kelopak mata atau kelenjar air mata ataupun melalui pembuluh darah (bakterimia). Kuman yang sering menjadi penyebab selulitis orbita akut antara lain pneumococcus, staphylococcus, dan streptococcus, sedangkan lues, jamur dan sarkoid menyebabkan selulitis orbita kronik. Gejala yang tampak antara lain febris, visus menurun atau dobel, rasa sakit pada perabaan, kelopak mata dan konjungtiva hiperemis dan edem, konjungtiva kemosis dan proptosis, sakit hebat pada pergerakan bola mata. Terdapat malaise dan keadaan Umum pasien buruk. Bila keadaan berat dapat terlihat sindroma fisura orbita superior berupa kelumpuhan saraf III, IV, V, dan VI. Penderita harus dirawat di rumah sakit dan diberikan antibiotika dosis tinggi IM dan IV. Selulitis orbita ini suatu kondisi yang gawat karena dapat menyebabkan thrombosis sinus cavernosis. Meningitis, abses otak yang dapat mengancam jiwa penderita (Rassbach, 2011). a bGambar 2.25a,b Selulitis Orbita. Terlihat pembengkakan konjungtiva. Gerakan mata mungkin terbatas. (Sumber: Webb, 2004)

2.12 Ablasi Retina AkutAblasi retina adalah lepasnya lapisan fungsional retina dari epitel pigmen retina. Akibatnya akan terjadi degenerasi dan atrofi sel reseptor retina. Salah satu predisposisi ablasi retina ini antara lain adalah trauma, minus tinggi, penyakit seperti diabetes mellitus yang tidak terkontrol, atau penyakit infeksi sistemik lainnya (Khare & Symons, 2008).

Gambar 2.26 Ablasio Retina. (Sumber: Webb, 2004)

Lepasnya retina dapat terjadi akibat eksudasi, tarikan dan terdapatnya robekan pada retina. Apabila karena suatu sebab terjadi gerakan pada badan kaca maka akan terjadi terikan yang menyebabkan robekan pada retina. Sering ablasi retina dihubungkan dengan trauma dan miopia. Ablasi retina pada kedua mata biasanya terdapat pada kira-kira 12-30 % penderita ablasi retina (Khare & Symons, 2008).Riwayat trauma bukan merupakan faktor penyebab utama untuk timbulnya ablasi retina. Trauma merupakan faktor tambahan saja pada mata yang mempunyai faktor predisposisi untuk terjadinya ablasi retina. Pada ablasi retina bagian luar retina yang tadinya mendapat nutrisi dari pembuluh darah koriokapiler tidak lagi mendapat nutrisi yang baik dari koroid. Akibatnya akan terjadi degenerasi dan atrofi sel reseptor retina. Pada waktu degenerasi retina terjadi kompensasi sel epitel pigmen yang melakukan serbukan sel ke daerah degenerasi. Akibat reaksi kompensasi akan terlihat sel epitel pigmen di depan retina. Akibat gangguan nutrisi ini akan terjadi penghancuran sel kerucut dan sel batang retina. Bila degenerasi berlangsung lama, sel pigmen akan bermigrasi ke dalam cairan subretina dan ke dalam sel reseptor kerucut dan batang. Pada percobaan binatang terlihat terjadi degenrasi sel dalam waktu 2-3 minggu sesudah ablasi retina. Pada manusia degenerasi makula sistoid terjadi 5-6 minggu sesudah ablasi retina (Khare & Symons, 2008).Bila pada retina terdapat ruptur besar maka badan kaca akan masuk ke dalam cairan subretina. Apabila terjadi kontak langsung antara badan kaca dengankoroid maka akan terjadi degenerasi koroid. Apabila terjadi degenerasi sel reseptor maka keadaan ini berlanjut ke dalam jaringan yang lebih dalam, yang kemudian jaringan ini diganti dengan jaringan glia (Webb, 2004).Bila proses di atas belum terjadi dan ablasi retina ditemukan dini dan kemudian kedudukan retina dikembalikan ke tempat asal, maka akan terjadi pengembalian penglihatan yang sempurna. Pada proses penyembuhan terlihat fungsi batang kembali menjadi normal lebih cepat dibanding dengan fungsi kerucut. Kembalinya penglihatan warna dapat terjadi sesudah 1 tahun (Webb, 2004).Gejala yang biasanya terjadi antara lain turunnya tajam penglihatan, terutama bila macula sudah terlibat, timbulnya floaters, fotopsia, pandangan seperti melihat tirai yang tertutup. Pada pemeriksaan retina terlihat berwarna abu-abu dan pembuluh darah retina berkelok-kelok seperti gelombang sesuai dengan retina yang terangkat. Tekanan bola mata lebih rendah dari normal (Magauran, 2008).

Gambar 2.27 Ablasio Retina (Retinal Detachment). Jika terjadi barusan, retina mungkin mobile. (Sumber: Webb, 2004)

Penanganan ablasi retina, pasien harus dirujuk ke dokter mata, dan dirawat untuk segera dilakukan operasi. Operasi pengembalian letak retina, baik itu dengan metode scleral buckling atau pars plana vitrektomi. Bila diagnosis ablasi retina sudah dibuat maka penderita sudah harus dirawat dan dipersiapkan untuk pembedahan. Penderita istirahat terutama tidak membaca, kedua mata diberi lubang pengintip. Mata diberi sikoplegik. Pembedahan harus segera dilakukan bila lepasnya makula baru 2 hari, ablasi mengancam terangkatnya makula, dan robek retina besar (Magauran, 2008).Pembedahan tidak terlalu akut bila ablasi lama dan makula lepas, ablasi lama yang tidak mengancam makula lutea. Pembedahan bertujuan melekatkan kembali retina yang lepas dengan diatermi tanpa atau dengan mengeluarkan cairan subretina, implan yang diletakkan pada kantung sklera sesudah dilakukan reseksi sklera, dan band yang merupakan ikatan melingkar pada bola mata (Webb, 2004).Prognosis tajam penglihatan setelah operasi ablasi retina sangat bergantung pada lamanya ablasio, serta keterlibatan macula, prognosis akan baik bila ablasi masih baru (