katarak diabetik data edit
TRANSCRIPT
Katarak Diabetik
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes adalah sekumpulan penyakit endokrin yang ditandai dengan hiperglikemia yang
merupakan manifestasi dari defek pada sekresi insulin, aksi insulin atau keduanya.(1-3,8,9) Diabetes
memiliki banyak sekali komplikasi yang ditimbulkannya, baik itu terjadi secara akut seperti
hiperglikemik hiperosmolar non-ketotik, ketoasidosis yang dapat membawa kematian, atau
komplikasi yang berjalan secara kronik seperti diabetik neuropati, makroangiopati,
mikroangiopati, dan sebagainya. Dalam bidang oftalmologi, komplikasi yang terpenting adalah
retinopati diabetik dan peningkatan progresifitas katarak yang telah terjadi. Adapun bentuk
katarak diabetik murni namun kejadiannya jarang. Pada makalah ini yang dibahas adalah
pengaruh diabetes terhadap katarak yang telah ada. Beberapa studi telah menunjukkan korelasi
yang kuat antara progresifitas katarak dengan diabetes yang mendasari seperti yang telah
dilakukan Kim, dkk (2006) yang menyimpulkan durasi diabetes adalah faktor yang sangat
signifikan untuk katarak pada penderita diabetes. Efek yang terakumulasi dari hiperglikemia
terkait dengan kejernihan lensa pada diabetes.(2) Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa
mata yang biasanya jernih dan bening menjadi keruh.(4,11) Pada dasarnya katarak dapat terjadi
karena proses kongenital atau karena proses degeneratif. Proses degeneratif pada lensa disebut
juga katarak senilis yang dibagi menjadi empat stadium; Insipien, Immatur, Matur dan
Hipermatur. Begitu banyak yang faktor yang mempengaruhi timbulnya katarak ini, diabetes
adalah salah satu faktor penyakit sistemik yang mempercepat proses timbulnya katarak ini. Dari
200 pasien dengan katarak senilis yang dilakukan tes toleransi glukosa oleh Dukmore dan Tun
(1980) ditemukan dan disimpulkan bahwa intoleransi glukosa sering dijumpai pada katarak
senilis yang tidak menunjukkan glikosuria dan gula darah puasa yang normal pada pemeriksaan
rutin.(15) Terdapat beberapa teori yang hendak menjelaskan patofisiologi progresifitas katarak
pada penderita diabetes, serta penelitian-penelitian yang telah berhasil membuktikan korelasi
antara awitan usia menderita katarak dengan lamanya menderita diabetes. (1-4,9-12)
1
BAB II
KETAJAMAN VISUS
Visus adalah ketajaman atau kejernihan penglihatan, sebuah bentuk yang khusus di mana
tergantung dari ketajaman fokus retina dalam bola mata dan sensitifitas dari interpretasi di otak.(5)
Visus adalah sebuah ukuran kuantitatif suatu kemampuan untuk mengidentifikasi simbol-simbol
berwarna hitam dengan latar belakang putih dengan jarak yang telah distandardisasi serta ukuran
dari simbol yang bervariasi. Ini adalah pengukuran fungsi visual yang tersering digunakan dalam
klinik. Istilah “visus 20/20” adalah suatu bilangan yang menyatakan jarak dalam satuan kaki
yang mana seseorang dapat membedakan sepasang benda. Satuan lain dalam meter dinyatakan
sebagai visus 6/6. Dua puluh kaki dianggap sebagai tak terhingga dalam perspektif optikal
(perbedaan dalam kekuatan optis yang dibutuhkan untuk memfokuskan jarak 20 kaki terhadap
tak terhingga hanya 0.164 dioptri). Untuk alasan tersebut, visus 20/20 dapat dianggap sebagai
performa nominal untuk jarak penglihatan manusia; visus 20/40 dapat dianggap separuh dri
tajam penglihatan jauh dan visus 20/10 adalah tajam penglihatan dua kali normal. (5)
Untuk menghasilkan detail penglihatan, sistem optik mata harus memproyeksikan gambaran
yang fokus pada fovea, sebuah daerah di dalam makula yang memiliki densitas tertinggi akan
fotoreseptor konus/kerucut sehingga memiliki resolusi tertinggi dan penglihatan warna terbaik.
Ketajaman dan penglihatan warna sekalipun dilakukan oleh sel yang sama, memiliki fungsi
fisiologis yang berbeda dan tidak tumpang tindih kecuali dalam hal posisi. Ketajaman dan
penglihatan warna dipengaruhi secara bebas oleh masing-masing unsur.(5)
Cahaya datang dari sebuah fiksasi objek menuju fovea melalui sebuah bidang imajiner yang
disebut visual aksis. Jaringan-jaringan mata dan struktur-struktur yang berada dalam visual aksis
(serta jaringan yang terkait di dalamnya) mempengaruhi kualitas bayangan yang dibentuk.
Struktur-struktur ini adalah; lapisan air mata, kornea, COA (Camera Oculi Anterior = Bilik
Depan), pupil, lensa, vitreus dan akhirnya retina sehingga tidak akan meleset ke bagian lain dari
retina. Bagian posterior dari retina disebut sebagai lapisan epitel retina berpigmen (RPE) yang
berfungsi untuk menyerap cahaya yang masuk ke dalam retina sehingga tidak akan terpantul ke
bagian lain dalam retina. RPE juga memiliki fungsi vital untuk mendaur-ulang bahan-bahan
kimia yang digunakan oleh sel-sel batang dan kerucut dalam mendeteksi photon. Jika RPE rusak
2
maka kebutaan dapat terjadi.(5) Seperti pada lensa fotografi, ketajaman visus dipengaruhi oleh
diameter pupil. Aberasi optik pada mata yang menurunkan tajam penglihatan ada pada titik
maksimal jika ukuran pupil berada pada ukuran terbesar (sekitar 8 mm) yang terjadi pada
keadaan kurang cahaya. Jika pupil kecil (1-2 mm), ketajaman bayangan akan terbatas pada
difraksi cahaya oleh pupil. Antara kedua keadaan ekstrim, diameter pupil yang secara umum
terbaik untuk tajam penglihatan normal dan mata yang sehat ada pada kisaran 3 atau 4 mm. (5)
Korteks penglihatan adalah bagian dari korteks serebri yang terdapat pada bagian posterior
(oksipital) dari otak yang bertanggung-jawab dalam memproses stimuli visual. Bagian tengah
100 dari lapang pandang (sekitar pelebaran dari makula), ditampilkan oleh sedikitnya 60% dari
korteks visual/penglihatan. Banyak dari neuron-neuron ini dipercaya terlibat dalam pemrosesan
tajam penglihatan.(5) Perkembangan yang normal dari ketajaman visus tergantung dari input
visual di usia yang sangat muda. Segala macam bentuk gangguan visual yang menghalangi input
visual dalam jangka waktu yang lama seperti katarak, strabismus, atau penutupan dan penekanan
pada mata selama menjalani terapi medis biasanya berakibat sebagai penurunan ketajaman visus
berat dan permanen pada mata yang terkena jika tidak segera dikoreksi atau diobati di usia muda.
Penurunan tajam penglihatan direfleksikan dalam berbagai macam abnormalitas pada sel-sel di
korteks visual. Perubahan-perubahan ini meliputi penurunan yang nyata akan jumlah sel-sel yang
terhubung pada mata yan terkena dan juga beberapa sel yang menghubungkan kedua bola mata,
yang bermanifestasi sebagai hilangnya penglihatan binokular dan kedalaman persepsi atau
streopsis.(5)
Mata terhubung pada korteks visual melalui nervus optikus yang muncul dari belakang mata.
Kedua nervus opticus tersebut bertemu pada kiasma optikum di mana sekitar separuh dari serat-
serat masing-masing mata bersilang menuju tempat lawannya ke sisi lawannya dan terhubung
dengan serat saraf dari bagian mata yang lain akan menghasilkan lapangan pandang yang
sebenarnya. Gabungan dari serat saraf dari kedua mata membentuk traktus optikus. Semua ini
membentuk dasar fisiologi dari penglihatan binokular. Traktus ini akan berhenti di otak tengah
yang disebut nukleus genikulatus lateral untuk kemudian berlanjut menuju korteks visual
sepanjang kumpulan serat-serat saraf yang disebut radiasio optika.(5)
Segala macam bentuk proses patologis pada sistem penglihatan baik pada usia tua yang
merupakan periode kritis, akan menyebabkan penurunan tajam penglihatan. Maka, pengukuran
tajam penglihatan adalah sebuah tes yang sederhana dalam menentukan status kesehatan mata,
3
sistem penglihatan sentral, dan jaras-jaras penglihatan menuju otak. Berbagai penurunan tajam
penglihatan secara tiba-tiba selalu merupakan hl yang harus diperhatikan. Penyebab sering dari
turunnya tajam penglihatan adalah katarak, dan parut kornea yang mempengaruhi jalur
penglihatan, penyakit-penyakit yang mempengaruhi retina seperti degenarasi makular, dan
diabetes, penyakit-penyakit yang mengenai jaras optik menuju otak seperti tumor dan sklerosis
multipel, dan penyakit-penyakit yang mengenai korteks visual seperti stroke dan tumor. (5)
BAB III
4
LENSA DAN KATARAK
Lensa Kristalina Normal.
Lensa Kristalina adalah sebuah struktur yang transparan dan bikonveks yang memiliki fungsi
untuk mempertahankan kejernihan, refraksi cahaya, dan memberikan akomodasi. Lensa tidak
memiliki suplai darah atau inervasi setelah perkembangan janin dan hal ini bergantung pada
aqueus humor untuk memenuhi kebutuhan metaboliknya serta membuang sisa metabolismenya.
Lensa terletak posterior dari iris dan anterior dari korpus vitreous. Posisinya dipertahankan oleh
zonula Zinnii yang terdiri dari serat-serat yang kuat yang menyokong dan melekatkannya pada
korpus siliar. Lensa terdiri dari kapsula, epitelium lensa, korteks dan nukleus.(6)
Kutub anterior dan posterior dihubungkan dengan sebuah garis imajiner yang disebut aksis yang
melewati mereka. Garis pada permukaan yang dari satu kutub ke kutub lainnya disebut meridian.
Ekuator lensa adalah garis lingkar terbesar.(6) Lensa dapat merefraksikan cahaya karena indeks
refraksinya, secara normal sekitar 1,4 pada bagian tengah dan 1,36 pada bagian perifer yang
berbeda dari aqueous humor dan vitreous yang mengelilinginya. Pada keadaan tidak
berakomodasi, lensa memberikan kontribusi 15-20 dioptri (D) dari sekitar 60 D seluruh kekuatan
refraksi bola mata manusia. Sisanya, sekitar 40 D kekuatan refraksinya diberikan oleh udara dan
kornea.(6)
Lensa terus bertumbuh seiring dengan bertambahnya usia. Saat lahir, ukurannya sekitar 6,4 mm
pada bidang ekuator, dan 3,5 mm anteroposterior serta memiliki berat 90 mg. Pada lensa dewasa
berukuran 9 mm ekuator dan 5 mm anteroposterior serta memiliki berat sekitar 255 mg.
Ketebalan relatif dari korteks meningkat seiring usia. Pada saat yang sama, kelengkungan lensa
juga ikut bertambah, sehingga semakin tua usia lensa memiliki kekuatan refraksi yang semakin
bertambah. Namun, indeks refraksi semakin menurun juga seiring usia, hal ini mungkin
dikarenakan adanya partikel-partikel protein yang tidak larut. Maka, lensa yang menua dapat
menjadi lebih hiperopik atau miopik tergantung pada keseimbangan faktor-faktor yang berperan.(6)
Kapsula lensa
5
Kapsula lensa memiliki sifat yang elastis, membran basalisnya yang transparan terbentuk dari
kolagen tipe IV yang ditaruh di bawah oleh sel-sel epitelial. Kapsula terdiri dari substansi lensa
yang dapat mengkerut selama perubahan akomodatif. Lapis terluar dari kapsula lensa adalah
lamela zonularis yang berperan dalam melekatnya serat-serat zonula. Kapsul lensa tertebal pada
bagian anterior dan posterior preekuatorial dan tertipis pada daerah kutub posterior sentral di
mana m. Kapsul lensa anterior lebih tebalmemiliki ketipisan sekitar 2-4 dari kapsul posterior
dan terus meningkat ketebalannya selama kehidupan.(6) Serat zonular
Lensa disokong oleh serat-serat zonular yang berasal dari lamina basalis dari epitelium non-
pigmentosa pars plana dan pars plikata korpus siliar. Serat-serat zonula ini memasuki kapsula
lensa pada regio ekuatorial secara kontinu. Seiring usia, serat-serat zonula ekuatorial ini
beregresi, meninggalkan lapis anterior dan posterior yang tampak sebagai bentuk segitiga pada
potongan melintang dari cincin zonula.(6)
Epitel lensa
Terletak tepat di belakang kapsula anterior lensa, lapisan ini merupakan lapisan tunggal dari sel-
sel epitelial. Sel-sel ini secara metabolik aktif dan melakukan semua aktivitas sel normal
termasuk biosintesis DNA, RNA, protein dan lipid. Sel-sel ini juga menghasilkan ATP untuk
memenuhi kebutuhan energi dari lensa. Sel-sel epitelial aktif melakukan mitosis dengan aktifitas
terbesar pada sintesis DNA pramitosis yang terjadi pada cincin di sekitar anterior lensa yang
disebut zona germinativum. Sel-sel yang baru terbentuk ini bermigrasi menuju ekuator di mana
sel-sel ini melakukan diferensiasi menjadi serat-serat. Dengan sel-sel epitelial bermigrasi menuju
bow region dari lensa, maka proses differensiasi menjadi serat lensa dimulai. (6)
Mungkin, bagian dari perubahan morfologis yang paling dramatis terjadi ketika sel-sel epitelial
memanjang membentuk sel serat lensa. Perubahan ini terkait dengan peningkatan massa protein
selular pada membran untuk setiap individu sel-sel serat. Pada waktu yang sama, sel-sel
kehilangan organel-organelnya, termasuk inti sel, mitokondria, dan ribosom. Hilangnya organel-
organel ini sangat menguntungkan, karena cahaya dapat melalui lensa tanpa tersebar atau
terserap oleh organel-organel ini. Bagaimana pun, karena serat-serat sel lensa yang baru ini
kehilangan fungsi metaboliknya yang sebelumnya dilakukan oleh organel-organel ini, kini serat
lensa terganting dari energi yang dihasilkan oleh proses glikolisis.(6)
6
Korteks dan Nukleus
Tidak ada sel yang hilang dari lensa sebagaimana serat-serat baru diletakkan, sel-sel ini akan
memadat dan merapat kepada serat yang baru saja dibentuk dengan lapisan tertua menjadi bagian
yang paling tengah. Bagian tertua dari ini adalah nukleus fetal dan embrional yang dihasilkan
selama kehidupan embrional dan terdapat pada bagian tengah lensa. Bagian terluar dari serat
adalah yang pertama kali terbentuk dan membentuk korteks dari lensa.(6)
Peningkatan Protein-protein yang Tidak Larut Air Seiring Usia. Tergantung dari kelarutan dalam
air, sebuah hipotesis memperkirakan bahwa seiring dengan berjalannya waktu, protein lensa
menjadi tidak larut air dan beragregasi untuk membentuk partikel-partikel yang sangat besar
yang dapat memecahkan cahaya yang akhirnya mengakibatkan kekeruhan lensa. Beberapa
peneliti berusaha untuk mengkaitkan prosentase yang lebih tinggi terhadap protein tidak larut air
ini dengan peningkatan kekeruhan lensa, tetapi hipotesis ini masihlah kontroversial. Haruslah
diperhatikan bahwa fraksi protein tak larut air meningkat dengan waktu sekalipun lensa masih
tetap jernih. Konversi protein larut air menjadi tak larut air tampak sebagai proses yang normal
pada maturasi serat lensa, tetapi dapat menjadi lebih cepat hingga berlebih pada lensa katarak
tertentu.(7,12)
Pada katarak dengan pencoklatan nukleus lensa (katarak brunesen), peningkatan kadar protein
tak larut air berkorelasi dengan derajat kekeruhan. Pada katarak brunesen yang jelas, sebanyak
90% protein inti adalah tak larut air. Perubahan-perubahan terkait dengan oksidasi juga terjadi
termasuk protein-protein dan formasi ikatan disulfida protein-glutation, penurunan glutation
terreduksi dan peningkatan glutation disulfida. Methionin terkait membran dan sistein juga ikut
teroksidasi.(7)
Pada lensa yang muda, kebanyakan protein tak larut dapat larut dalam urea. Dengan usia dan
secara nyata pembentukan katarak brunesen, protein inti menjadi tidak larut dalam urea. Sebagai
tambahan pada peningkatan ikatan disulfida, protein-protein inti ini berikatan silang dengan
ikatan-ikatan non disulfida. Fraksi protein tak larut ini mengandung protein kuning-coklat yang
ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada katarak nuklear.(7)
Penurunan Konsentrasi Protein Lensa Seiring Usia. Sekali pun usia membawa penurunan secara
alami dari jumlah protein absolut dalam lensa, reduksi ini tampak semakin jelas pada katarak.
Sebagaimana disebutkan pada permulaan, prosentase protein larut juga menurun, dari sekitar
7
81% pada lensa tranparan dewasa hingga 51,4% pada lensa katarak. Hilangnya protein dari lensa
mungkin dikarenakan lolosnya kristalin intak melalui kapsula lensa. Peneliti telah menemukan
bahwa, pada katarak kortikal, kadar kristalin alpha dan gamma dalam aqueous humor meningkat,
pada katarak nuklear, kadar kritalin alpha meningkat sedangkan kristalin gamma menurun. (7,12)
Keseimbangan Air dan Kation Lensa.
Aspek fisiologi terpenting dari lensa adalah mekanisme yang mengatur keseimbangan air dan
elektrolit lensa yang sangat penting untuk menjaga kejernihan lensa.(8,12,13) Karena kejernihan
lensa sangat tergantung pada komponen struktural dan makromolekular, gangguan dari hidrasi
lensa dapat menyebabkan kekeruhan lensa. Telah ditentukan bahwa gangguan keseimbangan air
dan elektrolit bukanlah gambaran dari katarak nuklear. Pada katarak kortikal, kadar air
meningkat secara bermakna.(8)
Lensa manusia normal mengandung sekitar 66% air dan 33% protein dan perubahan ini terjadi
sedikit demi sedikit dengan bertambahnya usia. Korteks lensa menjadi lebih terhidrasi daripada
nukleus lensa. Sekitar 5% volume lensa adalah air yang ditemukan diantara serat-serat lensa di
ruang ekstraselular. Konsentrasi natrium dalam lensa dipertahankan pada 20mM dan konsentrasi
kalium sekitar 120 mM. Kadar natrium dan kalium disekeliling aqueous humor dan vitrous
humor cukup berbeda; natrium lebih tinggi sekitar 150 mM di mana kalium sekitar 5 mM. (8)
Epitelium Lensa; Tempat Transport Aktif
Lensa bersifat dehidrasi dan memiliki kadar ion kalium (K+) dan asam amino yang lebih tinggi
dari aqueous dan vitreus di sekelilingnya. Sebaliknya, lensa mengandung kadar ion natrium
(Na+) ion klorida (Cl-) dan air yang lebih sedikit dari lingkungan sekitarnya. Keseimbangan
kation antara di dalam dan di luar lensa adalah hasil dari kemampuan permeabilitas membran
sel-sel lensa dan aktifitas dari pompa (Na+, K+-ATPase) yang terdapat pada membran sel dari
epitelium lensa dan setiap serat lensa. Fungsi pompa natrium bekerja dengan cara memompa ion
natrium keluar dari dan menarik ion kalium ke dalam. Mekanisme ini tergantung dari pemecahan
ATP dan diatur oleh enzim Na+, K+-ATPase. Keseimbangan ini mudah sekali terganggu oleh
inhibitor spesifik ATPase ouabain. Inhibisi dari Na+, K+-ATPase akan menyebabkan hilangnya
keseimbangan kation dan meningkatnya kadar air dalam lensa. Walaupun Na+, K+-ATPase
terhambat pada perkembangan katarak kortikal masih belum jelas, beberapa studi telah
menunjukkan penurunan aktifitas Na+, K+-ATPase, sedangkan yang lainnya tidak tidak
8
menunjukkan perubahan apa pun. Dan studi-studi lain telah memperkirakan bahwa permeabilitas
membran meningkat seiring dengan perkembangan katarak.(8)
Teori Kebocoran Pompa
Kombinasi dari transport aktif dan permeabilitas membran seringkali dihubungkan dengan
sistem kebocoran pompa pada lensa. Menurut teori ini, kalium dan molekul-molekul lainnya
seperti asam-asam amino secara aktif ditransport ke anterior lensa melalui epitelium. Kemudian
berdifusi keluar dengan gradien konsentrasi melalui belakang lensa di mana tidak ada sistem
transport aktif. Kebalikannya, natrium mengalir melalui belakang lensa dengan sebuah gradien
konsentrasi yang kemudian secara aktif diganti dengan kalium melalui epitelium. Sebagai
pendukung teori ini, gradien anteroposterior ditemukan untuk kedua ion: kalium terkonsentrasi
pada anterior lensa, dan natrium pada bagian posterior lensa. Kondisi seperti pendinginan yang
menginaktifasi pompa enzim tergantung energi juga mengganggu gradien ini. Kebanyakan
aktifitas dari Na+, K+-ATPase ditemukan dalam epitelium lensa. Mekanisme transport aktif akan
hilang jika kapsul dan epitel yang menempel dilepaskan dari lensa, tetapi tidak terjadi jika hanya
kapsul saja yang dilepaskan melalui degradasi enzimatik dengan kolagenase. Temuan-temuan ini
mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa epitel adalah tempat primer untuk transport aktif
pada lensa. Natrium dipompakan keluar menuju aqueous humor dari dalam lensa, dan kalium
masuk dari aqueous humor ke dalam lensa. Pada permukaan posterior lensa (lensa-vitreus),
perpindahan solut terjadi secara difusi pasif. Rancangan asimetris ini bermanifestasi dalam
gradien natrium dan kalium sepanjang lensa dengan konsentrasi kalium lebih tinggi pada depan
lensa dan lebih rendah di belakang lensa. Dan kebalikannya konsentrasi natrium lebih tinggi di
belakang lensa daripada di depan. Banyak dari difusi-difusi ini terjadi pada lensa melalui sel ke
sel dengan taut antar sel resistensi rendah.(8)
Keseimbangan kalsium juga penting untuk lensa. Kadar normal intrasel dari kalsium dalam lensa
adalah sekitar 30 mM di mana kadar kalsium di M Besarnya gradien transmembran kalsium
dipertahankanluar mendekati 2 secara primer oleh pompa kalsium (Ca2+-ATPase). Membran
sel lensa juga secara relatif tidak permeabel terhadap kalsium. Hilangnya homeostasis kalsium
akan sangat mengganggu metabolisme lensa. Peningkatan kadar kalsium dapat berakibat pada
beberapa perubahan meliputi tertekannya metabolisme glukosa, pembentukan agregat protein
dengan berat molekul tinggi dan aktivasi protease yang destruktif.(8)
9
Transport membran dan permeabilitas juga termasuk perhitungan yang penting pada nutrisi
lensa. Transport aktif asam-asam amino mengambil tempat pada epitel lensa dengan mekanisme
tergantung pada gradien natrium yang dibawa oleh pompa natrium. Glukosa memasuki lensa
melalui sebuah proses difusi terfasilitasi yang tidak secara langsung terhubung oleh sistem
transport aktif. Hasil buangan metabolisme meninggalkan lensa melalui difusi sederhana.
Berbagai macam substansi seperti asam askorbat, myo-inositol dan kolin memiliki mekanisme
transport yang khusus pada lensa.(8)
Katarak senilis
Katarak senilis adalah penyakit gangguan penglihatan yang dicirikan oleh penebalan yang
berjalan secara lambat dan progresif. Ini adalah penyebab utama dari kebutaan di dunia saat ini.
Namun tidak begitu adanya, mengingat morbiditas visual ini dibawa oleh katarak terkait usia
yang reversibel. Dengan deteksi dini, pengamatan seksama dan waktu intervensi bedah dapat
dilakukan untuk katarak senilis dan tatalaksananya.(4) Perkins (1984) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa katarak lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria. (16)
Patofisiologi Katarak Senilis
Patofisiologi dibalik katarak senilis adalah kompleks dan perlu untuk dipahami. Pada semua
kemungkinan, patogenesisnya adalah multifaktorial yang melibatkan interaksi kompleks antara
proses fisiologis yang bermacam-macam. Sebagaimana lensa berkembang seiring usia, berat dan
ketebalan terus meningkat sedangkan daya akomodasi terus menurun. Dengan lapisan-lapisan
kortikal yang baru ditambahkan dalam pola konsentrik, nukleus sentral tertekan dan mengeras
pada sebuah proses yang disebut sklerosis nuklear.(4)
Bermacam mekanisme memberikan kontribusi pada hilangnya kejernihan lensa. Epitelium lensa
dipercaya mengalami perubahan seiring dengan pertambahan usia, secara khusus melalui
penurunan densitas epitelial dan differensiasi abberan dari sel-sel serat lensa. Sekali pun epitel
dari lensa katarak mengalami kematian apoptotik yang rendah di mana menyebabkan penurunan
secara nyata pada densitas sel, akumulasi dari serpihan-serpihan kecil epitelial dapat
menyebabkan gangguan pembentukan serat lensa dan homeostasis dan akhirnya mengakibatkan
hilangnya kejernihan lensa. Lebih jauh lagi, dengan bertambahnya usia lensa, penurunan ratio air
dan mungkin metabolit larut air dengan berat molekul rendah dapat memasuki sel pada nukleus
10
lensa melalui epitelium dan korteks yang terjadi dengan penurunan transport air, nutrien dan
antioksidan.(4) Sen, dkk (2008) melakukan penelitian dengan mengukur kadar homosistein
plasma, folat dan vitamin B12 pada penderita katarak senilis. Ia mendapatkan hasil turunnya
kadar folat jika dibandingkan dengan kontrol (p<0,001). Penelitian ini didasarkan pada
pemikiran peningkatan kadar homosistein yang terlihat pada berbagai macam penyakit mata
seperti exfoliation syndrome, glaukoma, dan katarak. Di mana telah diusulkan bahwa
homosistein adalah oksidan yang penting dalam patogenesis perlukaan sel-sel endotelial dan
penyakit atherosklerotik vaskular. Vitamin B12 dan folat terlibat dalam metabolisme metilasi
homosistein menjadi metionin. Sen dkk menyimpulkan peningkatan plasma homosistein terkait
dengan menurunnya kadar plasma dari folat dan vitamin B12 di mana sangat mungkin mejadi
akar permasalahan penyebab dari patogenesis katarak.(14)
Kemudian, kerusakan oksidatif pada lensa pada pertambahan usia terjadi yang mengarahkan
pada perkembangan katarak senilis. Berbagai macam studi menunjukkan peningkatan produk
oksidasi (contohnya glutation teroksidasi) dan penurunan vitamin antioksidan serta enzim
superoksida dismutase yang menggaris-bawahi peranan yang penting dari proses oksidatif pada
kataraktogenesis.(4)
Mekanisme lainnya yang terlibat adalah konversi sitoplasmik lensa dengan berat molekul rendah
yang larut air menjadi agregat berat molekul tinggi larut air, fase tak larut air dan matriks protein
membran tak larut air. Hasil perubahan protein menyebabkan fluktuasi yang tiba-tiba pada
indeks refraksi lensa, menyebarkan jaras-jaras cahaya dan menurunkan kejernihan. Area lain
yang sedang diteliti meliputi peran dari nutrisi pada perkembangan katarak secara khusus
keterlibatan dari glukosa dan mineral serta vitamin.(4)
Katarak senilis dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk utama; katarak nuklear, katarak
kortikal, dan katarak subkapsular posterior. Katarak nuklear merupakan hasil dari sklerosis
nuklear yang berlebih dan penguningan dengan konsekuensi pembentukan opasitas lentikular
sentral. Pada beberapa keadaan, nukleus dapat menjadi sangat padat dan coklat, yang disebut
sebagai katarak brunesen. Perubahan katarak komposisi ionik pada korteks lensa dan perubahan
hidrasi pada serat lensa menghasilkan katarak kortikal. Pembentukan kekeruhan seperti plak dan
granular terjadi pada korteks sub-kapsular posterior yang seringkali mengarah pada katarak sub
kapsular posterior.(4)
11
BAB IV
DIABETES DAN KATARAK
Metabolisme Karbohidrat pada Lensa
Tujuan utama dari metabolisme lensa adalah untuk mempertahankan kejernihannya. Pada lensa,
energi yang diperoleh bergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa memasuki lensa dari
aqueous baik melalui difusi sederhana dan melalui difusi terfasilitasi. Kebanyakan glukosa
ditranportasi ke dalam lensa dalam bentuk terfosforilasi (Glukosa 6 fosfat =G6P) oleh enzim
heksokinase. Reaksi ini adalah 70-1000 kali lebih lambat dari enzim-enzim lainnya yang terlibat
dalam proses glikolisis lensa dan kecepatan terbatas pada lensa. Ketika terbentuk, G6P
memasuki satu dari dua jalur metabolisme: glikolisis anaerobik atau heksosa monofosfat shunt
(HMP shunt).(3,7)
Jalur yang lebih aktif dari antara kedua metabolisme ini adalah glikolisis anaerobik yang
menyediakan ikatan fosfat energi tinggi terbanyak yang dibutuhkan untuk metabolisme lensa.
Fosforilasi terkait substrat dari ADP menjadi ATP terjadi pada dua langkah sepanjang jalan
menuju laktat. Langkah dengan kecepatan yang terbatas pada jalur glikolitik sendiri ada pada
tahap enzim fosfofruktokinase yang diatur melalui umpan balik oleh produk metabolik dari jalur
glikolitik. Jalur ini lebih sedikit efisiensinya dibandingkan dengan glikolisis aerobik yang
menghasilkan 36 molekul ATP dari setiap molekul glukosa yang dimetabolisme dalam siklus
asam sitrat (metabolisme oksidatif). Karena tekanan oksigen yang rendah dalam lensa, hanya
sekitar 3% dari glukosa lensa yang melewati siklus asam sitrat Krebs untuk memproduksi ATP;
bagaimana pun, walau hanya dengan metabolisme aerobik yang rendah ini menghasilkan 25%
dari ATP lensa.
Bahwa lensa tidak tergantung pada oksigen telah didemonstrasikan dengan kemampuannya
untuk menjaga metabolisme normal dalam lingkungan nitrogen. Dengan diberikan sejumlah
glukosa, lensa in vitro yang anoksik tetap jernih dan utuh, memiliki kadar normal dari ATP serta
mempertahankan aktivitas pompa asam amino dan ion. Bagaimana pun, ketika glukosa menurun
atau kekurangan, lensa tidak dapat mempertahankan fungsi-fungsi ini dan menjadi keruh pada
beberapa jam sekalipun terdapat oksigen.(7)
12
Jalur yang kurang aktif untuk utilisasi G6P dalam lensa adalah heksosa monofosfat shunt (HMP
shunt), yang dikenal juga dengan istilah jalur pentosa monofosfat. Sekitar 5% dari glukosa lensa
dimetabolisme melalui jalur ini sekalipun jalur ini distimulasi oleh peningkatan kadar glukosa.
Aktifitas HMP shunt lebih tinggi pada lensa dibandingkan dengan jaringan lain dalam tubuh
namun perannya masih belum bisa ditetapkan. Sebagaimana pada jaringan lain, dapat
menghasilkan NADPH (sebuah bentuk terreduksi dari nicotinamide-adenine dinucleotide
phosphate (NADP)) untuk biosintesis asam lemak dan biosintesis ribosa untuk nukleotida. Juga
dihasilkan pula NADPH untuk aktifitas glutation reduktase dan aldose reduktase dalam lensa.
Produk karbohidrat dari HMP shunt memasuki jalur glikolisis dan dimetabolisme menjadi laktat.
Aldose reduktase adalah enzim kunci pada jalur lain metabolisme karbohidrat pada lensa, yaitu
jalur sorbitol. Enzim ini telah ditemukan memainkan peranan yang penting dalam pembentukan
katarak “gula”. (7)
Sebagaimana ditekankan sebelumnya, reaksi heksokinase memiliki keterbatasan dalam
memfosforilasi glukosa dalam lensa dan dihambat oleh mekanisme umpan balik dari produk
glikolisis. Maka, ketika kadar glukosa meningkat dalam lensa sebagaimana terjadi pada keadaan
hiperglikemia, jalur sorbitol teraktifasi lebih daripada glikolisis dan terjadi akumulasi dari
sorbitol. Sorbitol dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol dehidrogenase. Sayangnya
enzim ini memilii affinitas yang rendah yang berarti sorbitol akan terakumulasi sebelum
mengalami metabolisme labih lanjut. Karakteristik ini, dikombinasikan dengan kurangnya
permeabilitas lensa terhadap sorbitol berakhir dengan retensi sorbitol dalam lensa. ( 7)
Tingginya rasio NADPH/NADH mendorong reaksi ke arah tersebut, akumulasi dari NADP yang
terjadi sebagai konsekuensi teraktivasinya jalur sorbitol dapat menyebabkan stimulasi HMP
shunt yang terjadi pada peningkatan glukosa lensa.(9,10) Berdasarkan bukti-bukti yang ada, stress
oksidatif yang terjadi pada diabetes terkait dengan penurunan kadar glutation dan penurunan
kadar NADPH, dengan demikian peningkatan sorbitol dehidrogenase terkait dengan
terganggunya kadar NAD+ yang bermanifestasi sebagai modifikasi protein oleh glikosilasi non-
enzimatik pada protein lensa. (9,13) . Penelitian yang dilakukan oleh Murya, dkk (2006)
menunjukkan bahwa kadar Katalase pada pasien dengan katarak diabetik 16,42 unit/ml
sedangkan pada katarak senilis 57,27 unit/ml. Kadar Superoksida dismutase pada katarak
diabetik 9,19 unit/ml dan kadarnya pada katarak senilis adalah 25,30 unit/ml. Penelitian ini
menyimpulkan penurunan kadar superoksida dismutase dan katalase yang lebih rendah secara
13
nyata dan bermakna pada pasien dengan katarak diabetik dibandingkan dengan katarak senilis.
Maurya menyimpulkan peran dari enzim-enzim antioksidan yang penting dalam melindungi
jaringan dari perusakan oksidatif serta stress oksdatif termasuk faktor penting yang berperan
dalam patogenesis katarak diabetik. Penggunaan antioksidan akan menghambat atau mencegah
pembetukan katarak.(13) Sejalan dengan sorbitol, fruktosa juga terbentuk pada lensa dengan
kadar tinggi glukosa. Bersamaan, kedua gula tersebut meningkatkan tekanan osmotik di dalam
lensa dan menarik air. Pada mulanya pompa tergantung energi pada lensa mampu
mengkompensasi, tetapi akhirnya kemampuan tersebut terlewati. Hasilnya adalah pembengkakan
serat, rusaknya arsitektur sitoskeletal normal dan kekeruhan lensa.(3)
Diabetes Mellitus dan Katarak
Diabetes Mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi dan amplitudo
akomodatifnya. Dengan peningkatan kadar gula darah, juga diikuti dengan kadar glukosa pada
aqueous humor. Karena kadar glukosa darah yang meningkat pada aqueous humor dan glukosa
masuk ke dalam lensa melalui difusi, kadar glukosa dalam lensa akan meningkat. Beberapa
molekul glukosa akan diubah menjadi sorbitol oleh enzim aldose reduktase yang tidak
dimetabolisme namun menetap di dalam lensa.(3)
Bersama dengan itu, tekanan osmotik akan menyebabkan influks dari air ke dalam lensa yang
menyebabkan pembengkakan dari serat-serat lensa. Keadaan hidrasi lentikular dapat
mempengaruhi kemampuan/kekuatan refraksi lensa. Pasien dengan diabetes dapat menunjukkan
perubahan kekuatan refraksi berdasarkan perubahan pada kadar glukosa darah yang dialami.
Perubahan miopik akut dapat mengindikasikan diabetes yang tidak terdiagnosa atau diabetes
yang tidak terkontrol. Seorang dengan diabetes memiliki amplitudo akomodasi yang menurun
dibandingkan dengan kontrol pada usia yang sama, dan presbiopia dapat terjadi pada usia yang
lebih muda pada pasien dengan diabetes jika dibandingkan dengan yang tidak mengalaminya.(3)
Bukti-bukti eksperimental memperkirakan bahwa glikosilasi dari protein lensa terlibat dalam
proses pembentukan katarak. Glikosilasi dari protein lensa, di mana glukosa atau gula-gula
terreduksi lainnya bereaksi dengan grup e-amino dari residu lisin atau amino terminal dari
protein yang mengakibatkan pembentukan basa schiff. Basa schiff ini akan mengalami
perombakan secara Amadori melalui reaksi Maillard yang akan menghasilkan ketoamin yang
lebih stabil dari produk Amadori (produk glikosilasi awal). Pada tahap akhir, produk Amadori
14
mengalami dehidrasi dan perombakan kembali untuk membentuk lintas silang antara protein
terkait, menghasilkan agregat protein atau Advanced Glycocylated End Products (AGEs). (11)
Jansirani (2004) melakukan eksperimen dengan mengumpulkan nukleus-nukleus lensa dari
setiap operasi ECCE (Extra Capsular Cataract Extraction) dengan membandingkan kadar
glukosa, protein dan protein terglikosilasi antara dua populasi; katarak senilis dengan diabetes,
dan katarak senilis non-diabetik dari berbagai stadium. Dan hasil yang ditemukan adalah kadar
protein terglikosilasi tertinggi ditemukan pada katarak senilis hipermatur (p<0,01) ketika
dibandingkan dengan katarak tipe lainnya termasuk dengan yang diabetik. Jansirani dkk
menyimpulkan bahwa kadar glukosa yang tinggi bukanlah satu-satunya faktor penentu dalam
glikosilasi protein lensa.(11)
Katarak adalah penyebab tersering dari gangguan penglihatan pada pasien dengan diabetes.
Sekali pun terdapat dua tipe dari katarak yang telah ditemukan, pola-pola yang lain dapat pula
dijumpai. Katarak diabetik sejati, atau snowflake cataract, terdiri dari perubahan bilateral
tersebar pada subkapsular lensa secara tiba-tiba, dan progresi akut yang secara tipikal terdapat
pada usia muda dengan diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Kekeruhan multipel abu-abu
putih subkapsular dengan penampilan seperti serpihan-serpihan salju terlihat pada korteks
anterior superfisial dan korteks posterior lensa. Vakuol-vakuol dapat tampak pada kapsula lensa
dan celah-celah terbentuk pada korteks. Intumesensi dan maturitas dari katarak kortikal akan
mengikuti setelahnya. Para peneliti percaya bahwa perubahan metabolik yang mendasari terkait
dengan katarak diabetik sejati pada manusia sangat dekat sekali dengan katarak sorbitol yang
dipelajari pada binatang percobaan. Sekalipun katarak diabetik sejati jarang sekali ditemukan
pada praktek klinis saat ini, segala macam bentuk maturitas progresif dari katarak bilateral
kortikal pada anak atau dewasa muda harus mengingatkan para dokter akan kemungkinan
diabetes mellitus. Resiko tinggi pada katarak terkait usia pada pasien dengan diabetes dapat
merupakan akibat dari akumulasi sorbitol dalam lensa, perubahan hidrasi lensa, dan peningkatan
glikosilasi protein pada lensa diabetik. Klein, dkk menyimpulkan dalam penelitiannya, bahwa
diabetes mellitus terkait dengan insidens selama dari 5 tahun dari katarak kortikal dan
subkapsular posterior dan dengan progresi dari beberapa kekeruhan minor kortikal dan
subkapsular posterior lensa. Perubahan-perubahan ini terkait dengan kadar glukosa darah.
Sedangkan Perkins (1984) mendapatkan selisih prosentase sedikit lebih banyak pada subkapsular
posterior dengan diabetes sebanyak 11,3% dan 11% pada non-diabetik. (10,15)
15
Peningkatan glikosilasi non-enzimatik dan Advanced Glycocylated End Products (AGEs) telah
dipostulasikan dalam pembentukan katarak. Pemberian inhibitor aldose reduktase inhibitor
(0,06% tolrestat atau polnalrestat, 0,0125% AL-1576 selama 8 minggu) pada diet dari tikus
diabetik terinduksi streptozotocin (STZ) memberikan hasil penurunan kadar sorbitol, hambatan
progresifitas katarak, penurunan konsentrasi protein terglikosilasi pada lensa dan sedikit
penurunan kadar AGE lentikular jika dibandingkan dengan tikus diabetik yang tidak diterapi
setelah 45 dan 87 hari diabetes.(9,10)
Operasi Katarak dan Diabetes
Seperti yang telah dijelaskan pada bacaan sebelumnya, pasien diabetes memiliki peningkatan
resiko untuk terjadinya katarak. Dilaporkan adanya progresi post operatif dari retinopati dan
berkembangnya edema makular pada beberapa penelitian. Operasi katarak pada penderita
diabetes dahulu diperkirakan sebagai operasi yang penuh resiko. Glaukoma neovaskular dan
proliferasi retina yang berlanjut telah dilaporkan setelah operasi katarak pada pasien diabetes.
Kejadian post operasi ini dikaitkan dengan prognosis ad visam yang buruk. Penelitian terkini
dengan teknik fakoemulsifikasi telah dilaporkan memiliki komplikasi postoperasi yang lebih
kecil. Progresi dari retinopati diabetik terkait dengan kontrol kadar gula darah selama diabetes,
lamanya diabetes dan hipertensi yang tidak ditangani. Adanya retinopati diabetik tahap lanjut
akan memberikan prognosis postoperasi yang kurang memuaskan. Namun pada fase non-
proliferatif, operasi katarak bukanlah suatu kontraindikasi.(17-20)
16
BAB V
KESIMPULAN
Katarak adalah suatu keadaan di mana lensa mata yang biasanya kernih dan bening menjadi
keruh. Pada dasarnya katarak dapat terjadi karena proses kongenital atau karena proses
degeneratif. Proses degeneratif pada lensa disebut juga katarak senilis yang dibagi menjadi
empat stadium; Insipien, Immatur, Matur dan Hipermatur. Begitu banyak yang faktor yang
mempengaruhi timbulnya katarak ini, diabetes adalah salah satu faktor penyakit sistemik yang
mempercepat proses timbulnya katarak ini.
Dasar patogenesis yang melandasi penurunan visus pada katarak dengan diabetes adalah teori
akumulasi sorbitol yang terbentuk dari aktifasi kalur polyol pada keadaan hiperglikemia yang
mana lebih lanjut akumulasi sorbitol dalam lensa akan menarik air kedalam lensa sehingga
terjadi hidrasi lensa yang merupakan dasar patofisiologi ternetuknya katarak. Dan yang kedua
adalah teori glikosilasi protein, dimana adanya AGE akan mengganggu struktur sitoskeletal yang
dengan sendirinya akan berakibat pada turunnya kejernihan lensa.
Operasi katarak dengan diabetes bukanlah suatu kontraindikasi jika terdapat retinopati diabetik
non-proliferatif. Didasarkan dari penelitian-penelitian yang ada, didapatkan bahwa teknik
fakoemulsifikasi memberikan hasil yang lebih baik dengan komplikasi post operasi yang lebih
kecil. Pada adanya retinopati diabetik lanjut, pasien perlu dijelaskan akan kemungkinan hasil
postoperasi yang tidak optimal.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Purdy EP, Bolling JP. Endocrine Disorders; Diabetes Mellitus. In: Purdy EP, editors.
Updates on General Medicine. 2006-2007. San Fransisco; American Assosciation of
Ophtalmology; 2006; 201-21.
2. Kim SJ, Kim SI. 2006. Prevalence and Risk Factors for Cataracts in Person with Type 2
Diabetes Mellitus. MedScape. [Online]. [Accessed 25th August 2008]. Available from
World Wide Web: http://www.medscape.com/medline/abstract
3. Rosenfeld S, Blecher MH. Pathology; Cataracts, Metabolic Cataracts. In: Rosenfeld S,
editors. Lens & Cataract. 2006-2007. San Fransisco; American Assosciation of
Ophtalmology; 2006; 45-61
4. Ocampo V, Foster CS. Cataract, Senile. April 8, 2008 [cited 2008 August 25]. Available:
http://www.emedicine.com/oph/TOPIC49.HTM
5. Guyton AC, Hall JE. Mata I. Sifat Optik Mata. Dalam: Guyton AC, penyunting. Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta; Penerbit buku Kedokteran EGC; 1996; 779-
94.
6. Rosenfeld S, Blecher MH. Anatomy. In: Rosenfeld S, editors. Lens & Cataract. 2006-
2007. San Fransisco; American Assosciation of Ophtalmology; 2006; 5-10
7. Rosenfeld S, Blecher MH. Biochemistry; Carbohydrate Metabolism. In: Rosenfeld S,
editors. Lens & Cataract. 2006-2007. San Fransisco; American Assosciation of
Ophtalmology; 2006; 14-16.
8. Rosenfeld S, Blecher MH. Physiology. In: Rosenfeld S, editors. Lens & Cataract. 2006-
2007. San Fransisco; American Assosciation of Ophtalmology; 2006; 19-21
9. Maritim AC, Sanders RA, Wantkins JB, 2002. Diabetes, Oxidative Stress, and
Antioxidants: A Review. J Biochem Molecular Toxicology. 17: 24-38.
10. Klein BK, Klein R, Lee KE, 1998. Diabetes, Cardiovaskular Disease, Selected
Cardiovascular Risk Factors, and The 5-Year Incidence of Age-Related Cataract and
Progression of Lens Opacities: The Beaver Dam Eye Study. American Journal of
Ophtalmology. 126: 782-90
11. Jansirani, Anathanaryanan PH. 2004. A Comparative Study of Lens Protein Glycation in
Various Forms of Cataract. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 19 (1): 110-2.
18
12. Zarina S, Abbasi A, Zaidi ZH. 1994. Cataractous Lens and Its Environment. Pure &
Applicated Chemistry. 66; 111-5.
13. Maurya OPS, Mohanty L, Pathak S, Chandra A, Srivastava R. 2006. Role of Anti-
oxidant Enzymes Superoxide Dismutase and Catalase in the Development of Cataract:
Study of Serum Levels in Patients with Senile and Diabetic Cataracts. AIOP Proceedings;
142-3.
14. Sen SK, Pukazhvanthen P, Abraham R. 2008. Plasma Homocysteine, Folate and Vitamin
B12 Levels in Senile Cataract. Indian Journal of Clinical Biochemistry. 23 (3); 255-7.
15. Dugmore WN, Tun K. 1980. Glucose Tolerance Tests in 200 Patients with Senile
Cataract. British Journal of Ophtalmology. 64: 689-92.
16. Tsai CY, et al. 2007. Population-Based Study of Cataract Surgery Among Patients with
Type 2 Diabetes in Kinmen, Taiwan. Can J Ophtalmol. 42: 262-7.
17. Hiller R, Kahn H. 1976. Senile Cataract Extraction and Diabetes. British Journal of
Ophtalmology. 60; 283-6.
18. Mozaffarieh M, Heinzl H, Sacu S, Wedrich A. 2005. Clinical Outcomes of
Phacoemulsification Cataract Surgery in Diabetes Patients: Visual Function (VF-14),
Visual Acuity and Patient Satisfaction. Acta Ophtalmologica Scandinavica. 83: 176-83.
19. Flesner P, et al. 2002. Cataract Surgery on Diabetic Patients. A Prospective Evaluation of
Risk Factors and Complications. Acta Ophtalmologica Scandinavica. 80: 19-24.
20. Newell FW. Systemic Disease and the Eye; Endocrine Disease and the Eye. In; Newell
FW, editor: Ophtalmology; Principles & Concepts. London, Mosby Company. 1982;
431-45.
19