nefropati diabetik
DESCRIPTION
referatTRANSCRIPT
BAB 1. PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin, atau kedua-duanya. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di
berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan
prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural,
maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di
daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural (PERKENI, 2011). Peningkatan
insidensi DM yang eksponensial ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya
kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM. berbagai penelitian prospektif
jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah,
baik mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti
penyakit pembuluh darah koroner, dan juga pembuluh darah tungkai bawah
(Waspadji, 2007).
Nefropati diabetik adalah komplikasi DM pada ginjal yang dapat berakhir
sebagai gagal ginjal. Sekitar 20-40% penyandang DM akan mengalami nefropati
diabetik (PERKENI, 2011). Di Amerika, kejadian nefropati diabetik telah
meningkat sebesar 150% dalam 10 tahun terakhir, begitu juga yang terlihat di
Eropa. Di Amerika Utara, 40% dari pasien yang melakukan dialisis memiliki
nefropati diabetik. Di antara pasien yang membutuhkan dialisis, mereka
dengan DM memiliki tingkat kematian 22% lebih tinggi pada satu tahun dan
angka kematian 15% lebih tinggi pada lima tahun dibandingkan pasien tanpa DM
(Remuzzi, 2002). Angka kejadian nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan 2
sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar dari tipe 1 karena jumlah
pasien DM tipe 2 lebih banyak dari tipe 1. Secara epidemiologis, ditemukan
2
perbedaan terhadap kerentanan untuk timbulnya nefropati diabetik, yang antara
lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin, serta umur saat diabetes timbul
(Hendromartono, 2007). Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM
dimulai dengan munculnya albumin dalam urine yang rendah dan abnormal yang
disebut mikroalbuminuria (ADA, 2004). Keadaan ini berkembang menjadi
proteinuria secara kinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular
dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan dengan
pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria harus
dilakukan dengan cermat dan sebaiknya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM
ditegakkan (Waspadji, 2007).
3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hendromartono (2007) menyebutkan, pada umumnya nefropati diabetik
didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan
albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau > 200 g/menit) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.
Nefropati diabetik sering diderita pasien DM tipe 1 dengan riwayat penyakit
lama. Pada awalnya, pasien memperlihatkan hiperfiltrasi, ditandai dengan nilai
GFR yang tinggi, kira-kira dua kali dari nilai normal dan adakalanya dengan
kejadian mikroalbuminuria Nefropati diabetik juga didiagnosis ketika terjadi
kenaikan persisten rata-rata ekskresi albumin urin diatas 30 mg/24 jam pada
pasien dengan diabetes permulaan dan ketika nilai rata-rata ekskresi albumin urin
terus menerus naik diatas 300 mg/24 jam (overt atau sesudah diketahui secara
klinik). Pada kedua keadaan tersebut dengan penambahan kriteria kehadiran
retinopati diabetik dan ketidakhadiran bukti karena penyakit ginjal lain atau
penyakit pada saluran ginjal seharusnya dapat dipenuhi. Keadaan tersebut
sebagian besar ditemukan pada gangguan kardiovaskuler dan kejadian
mortalitasnya selalu diikuti dengan persistensi mikroalbuminuria, tetapi bukti
nyata ditemukannya makroalbuminuria pada pasien diabetes tidak hanya
ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir tetapi juga pada
penyakit kardiovaskuler yang sebelumnya menderita DM tipe 2 (Czekalski,
2005).
2.2 Insidensi dan Epidemiologi
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta
pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
4
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan
penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan
prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural,
maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di
daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural (PERKENI, 2011).
Nefropati diabetik adalah komplikasi DM pada ginjal yang dapat berakhir sebagai
gagal ginjal. Sekitar 20-40% penyandang DM akan mengalami nefropati diabetik
(PERKENI, 2011). Di Amerika, kejadian nefropati diabetik telah meningkat
sebesar 150% dalam 10 tahun terakhir, begitu juga yang terlihat di Eropa. Di
Amerika Utara, 40% dari pasien yang melakukan dialisis memiliki nefropati
diabetik. Di antara pasien yang membutuhkan dialisis, mereka
dengan DM memiliki tingkat kematian 22% lebih tinggi pada satu tahun dan
angka kematian 15% lebih tinggi pada lima tahun dibandingkan pasien tanpa DM
(Remuzzi, 2002). Angka kejadian nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan 2
sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar dari tipe 1 karena jumlah
pasien DM tipe 2 lebih banyak dari tipe 1. Secara epidemiologis, ditemukan
perbedaan terhadap kerentanan untuk timbulnya nefropati diabetik, yang antara
lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin, serta umur saat diabetes timbul
(Hendromartono, 2007).
2.3 Klasifikasi
Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari
pada DM tipe 1 daripada tipe 2, dan oleh Mogensen (2000) dibagi menjadi 5
tahapan yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Tahapan nefropati diabetik
Tahap Kondisi ginjal AER LFG TD Prognosis
1 Hipertrofi dan
hiperfungsi
N N Reversibel
2 Kelainan N /N Mungkin
5
struktur reversibel
3 Mikroalbuminu-
ria persisten
20-200
mg/menit
/N Mungkin
reversibel
4 Makroalbuminu
ria proteinuria
>200
mg/menit
rendah Hiper-
tensi
Mungkin
bisa
stabilisasi
5 Uremia Tinggi/rendah <10
ml/menit
Hiper-
tensi
Kesintasan
2 tahun +
50%
AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi GlomerulusSumber: Mogensen (2000).
Tahap 1. Hyperfiltration-Hypertropy Stage
Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai hiperfiltrasi yaitu meningkatnya
laju filtrasi glomerules mencapai 20-50% diatas nilai normal menurut usia dan
hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x. Glukosuria disertai
poliuria serta mikroalbuminuria > 20 dan < 200 g/menit.
Tahap 2. Silent Stage/ Kelainan Struktur
Secara klinis belum ada kelainan yang berarti. Mikroalbuminuria normal
atau mendekati normal (>20 g/menit). Terdapat perubahan histologis awal
berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik.
Tahap 3. Incipient Nephropathy Stage
Pada awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai
menurun. Selanjutnya ditemukan mikroalbuminuria 20 – 200 ug/menit yang setara
dengan eksresi protein 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat.
Secara histologis didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume
mesangium fraksional dalam glomerulus.
Tahap 4. Overt Nephropathy Stage
6
Tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga
timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan
pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan
kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tekanan darah.
Tahap 5. End Stage Renal Disease
Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai
fibrosis ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada Tahap
4 dan 5-7 tahun kemudian akan sampai Tahap 5.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi nefropati diabetik antara
DM tipe 1 dengan tipe 2, yaitu adanya mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada
DM tipe 1 saat diagnosis ditegakkan dan keadaan ini seringkali reversibel dengan
perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe 2
merupakan prognosis yang buruk.
2.4 Etiologi
Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari
penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya
nefropati diabetik. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan
progresifitas untuk mencapai fase nefropati diabetika yang lebih tinggi (Sukandar,
1997).
Hendromartono (2007), menyebutkan bahwa secara ringkas, faktor-faktor
etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah:
Kurang terkendalinya kadar gula darah (GDP > 140-160 mg/dl [7,7-8,8
mmol/l]); AIC > 7-8%
Faktor-faktor genetis
Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal, dan laju filtrasi
glomerulus, peningkatan tekanan intra glomerulus)
Hipertensi sistemik
Sindrom resistensi insulin (sindrom metabolik)
7
Keradangan
Perubahan permeabilitas pembuluh darah
Asupan protein berlebih
Gangguan metabolik ( kelainan metabolik polyol, pembentukan advanced
glycation end products, peningkatan produksi sitokin)
Pelepasan growth factors
Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein
Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan
membrana basalis glomerulus)
Gangguan ion pumps (peningkatan Na+-H+ pump dan penurunan Ca2+-ATP
ase pump)
Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia)
Aktivasi protein kinase C
2.5 Faktor Resiko
Tidak semua pasien DM tipe 1 dan 2 berakhir dengan nefropati diabetik.
Berdasarkan studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko
antara lain:
1. Hipertensi dan prediposisi genetika
2. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetika
a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen)
Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe
antigen HLA dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok
penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag
tipe HLA-B9.
b. GLUT (Glucose Transporter)
Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai
potensi untuk mendapat nefropati diabetik.
3. Hiperglikemia
4. Konsumsi protein hewani
8
2.6 Patofisiologi
Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan
menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang
berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat
sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat
lambat laun akan meyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati
diabetik, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 ini masih belum jelas benar,
tapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide,
prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan
hipertrofi sel, sintesis matrik ekstraseluler, serta produksi TGF- yang
diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-
threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran
darah, proliferasi sel, dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat
menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi
Mallard dan Browning). Pada awalya, glukosa akan mengikat residu amino secara
non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk
mencapai bentuk yang masih stabil tetapi masi reversibel yang disebut produk
amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-
Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjasi perantara bagi
beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan
dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa
matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan berlanjut
terus sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis
tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Hipertensi yang
timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga kan mendorong
sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Penelitian pada hewan diabetes
menunjukkan adanya vasokontriksi arteriol sebagai akibat kelainan
renin/angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama
9
disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus
(Hendromartono, 2007).
Gambar 2.1 Patogenesis nefropati diabetik (Sumber: Cooper, 2003)
2.7 Patologi
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran
basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstraseluler;
penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian akan
menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan/atau difus (Kimmelstiel-Wilson),
hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulointertisial seperti yang
dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Hendromartono, 2007)
Tabel 2.2 Karakteristik nefropati diabetik
10
Sumber: Hendromartono, 2007.
2.8 Diagnosis
Diagnosis nefropati diabetik dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan
seperti di bawah ini:
1. DM
2. Retinopati Diabetika
3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa
penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus
kadar kreatinin serum >2,5mg/dl.(8)
Data yang didapatkan pada pasien antara lain:
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas
dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi,
penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar
sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotensi.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Mata
Pada nefropati diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan
tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan funduskopi, berupa :
1) Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah
dalam kapiler retina.
2) Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah
kapiler vena.
No Karakteristik
1 Peningkatan material matriks mesangium
2 Penebalan membran basalis mesangium
3 Hialinosis arteriol aferen dan eferen
4 Penebalan membran basalis tubulus
5 Atrofi tubulus
6 Fibrosis interstisial
11
3) Eksudat berupa :
Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma
yang lama.
Cotton wool patches. Berwarna putih, tak berbatas tegas,
dihubungkan dengan iskemia retina.
4) Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena
obstruksi kapiler.
5) Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan
permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.
6) Neovaskularisasi
b. Pemeriksaan Thorax
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end
stage, didapatkan perubahan pada :
- Cor: cardiomegali
- Pulmo: oedem pulmo
3. Pemeriksaan Laboratorium
Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu
kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.
Pada saat diagnosis DM ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi
ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan
rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Association (2004)
adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin
serum dan klirens kreatinin, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Pemantauan fungsi ginjal pada pasien DM
Tes Evaluasi Awal Follow-up
Penentuan
mikroalbuminuria
Sesudah pengendalian
gula darah awal (dalam 3
DM tipe 1: tiap tahun
setelah 5 tahun
12
bulan diagnosis
ditegakkan)
DM tipe 2: tiap tahun
setelah diagnosis
ditegakkan
Klirens kreatininSaat awal diagnosis
ditegakkan
Tiap 1-2 tahun sampai
LFG
<100ml/menit/1,73m2,
kemudian tiap tahun atau
lebih sering
Kreatinin serumSaat awal diagnosis
ditegakkan
Tiap tahun atau lebih
sering tergantung dari
penurunan laju fungsi
ginjal
Sumber: Hendromartono, 2007.
Mikroalbuminuria umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin >30
mg/hari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati
diabetik. Klasifikasi laju ekskresi albumin urine dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Laju ekskresi albumin urin
Kondisi
Laju Ekskresi Albumin Urine Perbandingan
Albumin Urine-
Kreatinin (g/mg)
24 jam
(mg/hari)
Sewaktu
(g/menit)
Normoalbuminuri
a< 30 < 20 < 30
Mikroalbuminuria 30-300 20-200 30-300 (299)
Makroalbuminuria >300 >200 >300
Sumber: Remuzzi, 2002.
International Society of Nephrology (ISN) menganjurkan penggunaan
perbandingan albumin-kreatinin untuk kuantifikasi proteinuria sebagai sarana
follow-up.
13
Perlu diingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria disamping
diabetes. Beberapa penyebab proteinuria lain yang juga sering ditemukan adalah
hipertensi serta umur lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang sangat
tinggi, stress, infeksi sistemik atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut,
demam, latihan berat, dan gagal jantung dapat meningkatkan laju ekskresi
albumin urine.
Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan
menunjukkan adanya mikroalbuminuria, sebagaimana yang terlihat pada Gambar
2.2.
Gambar 2.2 Penapisan untuk mikroalbuminuria (Sumber: Longo, 2011)
Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuria, antara
lain:
1) Mikroangiopati diabetik
2) Penyakit kardiovaskular
3) Hipertensi
4) Hiperlipidemia
14
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaa lanjutan lain seperti
yang terlihat pada Gambar 2.3 berikut.
Gambar 2.3 Pemeriksaan lanjutan mikroalbuminuria (Sumber: Vora, 2003)
Penghitungan laju filtrasi glomerulus dilakukan dengan menggunakan
rumus dari Cockroft-Gault, yaitu:
Klirens kretainin* = (140-umur) x Berat Badan x (0,85 untuk wanita)
72 x Kreatinin Serum
*Glomerular Filtration Rate/ Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) dalam
ml/menit/1,73 m2.
Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah
diabetik neuropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus –kasus tertentu
yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada gambaran klinis dan
hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah kepada penyakit-penyakit
glomerulus non-diabetik (hematuria makroskopik, cast sel darah merah, dll.), atau
kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria derajat rendah, tidak
ditemukannya retinopati (terutama pada DM tipe 1), atau pada kasus proteinuria
yang timbul sangat mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan
15
nefropati. Pada kasus-kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi
ginjal seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Evaluasi klinis nefropati diabetik (Sumber: Vora, 2003)
2.9 Penatalaksanaan
Nefropati Diabetik Pemula (Incipient Diabetic Nephropathy)
1. Pengendalian hiperglikemia
Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk
mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan
mikroangiopati.
a. Diet
Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi &
Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan
obesitas. Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat
individual tergantung dari penyakit penyerta :
- Hiperkolesterolemia
- Urolitiasis (misal batu kalsium)
16
- Hiperurikemia dan artritis Gout
- Hipertensi esensial
b. Pengendalian hiperglikemia
1) Insulin
Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .
a) Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan
toksin seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)
b) Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulus
c) Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang
dapat menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya
kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus
(permselectivity).
d) Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi
glukosa sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan konsentrasi
urinary N-acetyl-Dglucosaminidase (NAG) sebagai petanda
hipertensi esensial dan nefropati.
e) Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH)
atau insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus
nefromegali.
f) Mengurangi capillary glomerular pressure
2) Obat antidiabetik oral (OAD)
Alternatif pemberian OAD terutama untuk pasien-pasien dengan
tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan
(complience). Pemilihan macam/tipe OAD harus diperhatikan efek
farmakologi dan farmakokinetik antara lain :
a) Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.
b) Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.
c) Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell
(ASMC).
d) Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.
2. Pengendalian hipertensi
17
Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan
berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat antihipertensi
sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek samping, (c)
hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum.
Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka morbiditas
dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah nefropati
diabetik.
a. Golongan ACE-inhibitor
Hasil studi invitro pada manusia, ACE inhibitor mempengaruhi efek
Angiotensin II (sirkulasi dan jaringan). Skema efek tersebut dapat dilihat
pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Skema efek patologi angiotensin-II
b. Golongan antagonis kalsium
Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping):
1) Efek inotrofik negatif
2) Efek pro-aritmia
3) Efek pro-hemoragik
Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non
dihydropiridine.
c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus
memperhatikan kondisi setiap pasien:
18
- Blokade b-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik simpatetik
minimal misal atenolol.
- Antagonis reseptor a-II misal prozoasin dan doxazosin.
- Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikasi untnuk
pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.
3. Mikroalbuminuria
a. Pembatasan protein hewani
Sudah lebih ½ abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah protein
(DRP) mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari penyakit ginjal
eksperimen, tetapi mekanismenya masih belum jelas.
Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 kgBB/hari) dapat
mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur ginjal pada nefropati
diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP untuk mencegah progresivitas
kerusakan ginjal:
- Efek hemodinamik
Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG, plasma
flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik transkapiler,
berakhir dengan penurunan tekanan kapiler glomerulus (PGC =
capillarry glomerular preessure)
- Efek non-hemodinamik
- Memperbaiki selektivitas glomerulus
Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus
menyebabkan transudasi circulating macromolecules termasuk
lipid ke dalam ruang subendotelial dan mesangium. Lipid
terutama oxidize LDL merangsang sintesis sitokin dan
chemoattractant dan penimbunan sel-sel inflamasi terutama
monosit dan makrofag.
- Penurunan ROS
Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam dapat
menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat endositosis.
19
Kenaikan konsentrasi Fe selular menyebabkan pembentukan
ROS.
- Penurunan hipermetabolisme tubular
Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang masih
utuh (intac), diikuti peningkatan transport Na+ dalam tubulus
dan merangsang pertukaran Na+/H+. DRP diharapkan dapat
mengurangi energi untuk transport ion dan akhirnya mengurangi
hipermetabolisme tubulus.
- Mengurangi growth factors & systemic hormones
Growth factors memegang peranan penting dalam mekanisme
progresivitas kerusakan nefron (sel-sel glomerulus dan tubulus).
DRP diharapkan dapat mengurangi :
- Pembentukan transforming growth factor beta (TGF-b dan
platelet-derived growth factors (PDGF).
- Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1), epithelial-
derived growth factors (EDGF), Ang-II (lokal dan
sirkulasi), dan parathyroid hormones (PTH).
- Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi
Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai
terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium
non-dihydropiridine dapat mengurangi proteinuria
disertaistabilisasi faal ginjal.
Nefropati Diabetik Nyata (overt diabetic nephropathy)
Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis, tidak jarang
melibatkan disiplin ilmu lain.
Prinsip umum manajemen nefropati diabetik nyata :
1. Manajemen Utama (esensi)
a. Pengendalian hipertensi
1) Diet rendah garam (DRG)
20
Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk
mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan
efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.
2) Obat antihipertensi
Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan
permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati diabetik disertai
penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi.
Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan obat
antihipertensi antara lain :
a) Efek samping misal efek metabolik
b) Status sistem kardiovaskuler.
Miokard iskemi/infark
Bencana serebrovaskuler
c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal.
b. Antiproteinuria
1) Diet rendah protein (DRP)
DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk
mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.
2) Obat antihipertensi
Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah sistemik,
tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi untuk
mengurangi ekskresi proteinuria.
a) ACE inhibitor
Banyak laporan uji klinis memperlihatkan ACE inhibitor paling
efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat
antihipertensi lainnya.
b) Antagonis kalsium
Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium
golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent
pada nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik.
21
c) Kombinasi ACE inhibitor dan antagonis kalsium non
dihydropyridine.
Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT)
kombinasi ACE inhibitor dan antagonis kalsium non
dihydropyridine mempunyai efek.
3) Optimalisasi terapi hiperglikemia
Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi
normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin atau obat
antidiabetik oral (OADO).
2. Managemen Substitusi
Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis lainnya
yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan mikroangiopati
lainnya.
a) Retinopati diabetik
Terapi fotokoagulasi
b) Penyakit sistem kardiovaskuler
Penyakit jantung kongestif
Penyakit jantung iskemik/infark
c) Bencana serebrovaskuler
Stroke emboli/hemoragik
d) Pengendalian hiperlipidemia
Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi
kolesterol-LDL.
Nefropati Diabetik Tahap Akhir (End Stage diabetic nephropathy)
Saat dimulai (inisiasi) program terapi pengganti ginjal sedikit berlainan pada GGT
diabetik dan GGT non-diabetik karena faktor indeks komorbiditas.
Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual tergantung dari
umur, penyakit penyertaa dan faktor indeks ko-morbiditas.
22
BAB 3. KESIMPULAN
1. Nefropati diabetik adalah komplikasi diabetes mellitus pada ginjal yang
dapat berakhir sebagai gagal ginjal.
2. Diagnosa nefropati diabetik ditegakkan apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. DM
b. Retinopati diabetik
c. Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2
minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau
proteinuria satu kali pemeriksaan piks kadar kreatinin serum > 2,5
mg/dl.
3. Manajemen nefropati diabetika tergantung pada presentasi klinis, yaitu saat:
Incipient diabetic nephropathy, Overt diabetic nephropathy,atau End stage
diabetic nephropathy.