nefropati diabetik

33
BAB 1. PENDAHULUAN Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural (PERKENI, 2011). Peningkatan insidensi DM yang eksponensial ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM. berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti

Upload: shareef-al-shaf

Post on 06-Aug-2015

159 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

Page 1: Nefropati Diabetik

BAB 1. PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin, atau kedua-duanya. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan

adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di

berbagai penjuru dunia. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di

Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan

penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan

prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural,

maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di

daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural (PERKENI, 2011). Peningkatan

insidensi DM yang eksponensial ini tentu akan diikuti oleh meningkatnya

kemungkinan terjadinya komplikasi kronik DM. berbagai penelitian prospektif

jelas menunjukkan meningkatnya penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah,

baik mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati maupun makrovaskuler seperti

penyakit pembuluh darah koroner, dan juga pembuluh darah tungkai bawah

(Waspadji, 2007).

Nefropati diabetik adalah komplikasi DM pada ginjal yang dapat berakhir

sebagai gagal ginjal. Sekitar 20-40% penyandang DM akan mengalami nefropati

diabetik (PERKENI, 2011). Di Amerika, kejadian nefropati diabetik telah

meningkat sebesar 150% dalam 10 tahun terakhir, begitu juga yang terlihat di

Eropa. Di Amerika Utara, 40% dari pasien yang melakukan dialisis memiliki

nefropati diabetik. Di antara pasien yang membutuhkan dialisis, mereka

dengan DM memiliki tingkat kematian 22% lebih tinggi pada satu tahun dan

angka kematian 15% lebih tinggi pada lima tahun dibandingkan pasien tanpa DM

(Remuzzi, 2002). Angka kejadian nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan 2

sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar dari tipe 1 karena jumlah

pasien DM tipe 2 lebih banyak dari tipe 1. Secara epidemiologis, ditemukan

Page 2: Nefropati Diabetik

2

perbedaan terhadap kerentanan untuk timbulnya nefropati diabetik, yang antara

lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin, serta umur saat diabetes timbul

(Hendromartono, 2007). Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM

dimulai dengan munculnya albumin dalam urine yang rendah dan abnormal yang

disebut mikroalbuminuria (ADA, 2004). Keadaan ini berkembang menjadi

proteinuria secara kinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular

dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang memerlukan pengelolaan dengan

pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk mencari mikroalbuminuria harus

dilakukan dengan cermat dan sebaiknya selalu dilakukan pada saat diagnosis DM

ditegakkan (Waspadji, 2007).

Page 3: Nefropati Diabetik

3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hendromartono (2007) menyebutkan, pada umumnya nefropati diabetik

didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien DM yang ditandai dengan

albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau > 200 g/menit) pada minimal dua

kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.

Nefropati diabetik sering diderita pasien DM tipe 1 dengan riwayat penyakit

lama. Pada awalnya, pasien memperlihatkan hiperfiltrasi, ditandai dengan nilai

GFR yang tinggi, kira-kira dua kali dari nilai normal dan adakalanya dengan

kejadian mikroalbuminuria Nefropati diabetik juga didiagnosis ketika terjadi

kenaikan persisten rata-rata ekskresi albumin urin diatas 30 mg/24 jam pada

pasien dengan diabetes permulaan dan ketika nilai rata-rata ekskresi albumin urin

terus menerus naik diatas 300 mg/24 jam (overt atau sesudah diketahui secara

klinik). Pada kedua keadaan tersebut dengan penambahan kriteria kehadiran

retinopati diabetik dan ketidakhadiran bukti karena penyakit ginjal lain atau

penyakit pada saluran ginjal seharusnya dapat dipenuhi. Keadaan tersebut

sebagian besar ditemukan pada gangguan kardiovaskuler dan kejadian

mortalitasnya selalu diikuti dengan persistensi mikroalbuminuria, tetapi bukti

nyata ditemukannya makroalbuminuria pada pasien diabetes tidak hanya

ditemukan pada pasien dengan gagal ginjal stadium akhir tetapi juga pada

penyakit kardiovaskuler yang sebelumnya menderita DM tipe 2 (Czekalski,

2005).

2.2 Insidensi dan Epidemiologi

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan

peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia.

WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta

pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

Page 4: Nefropati Diabetik

4

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003, diperkirakan

penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta jiwa, dengan

prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural,

maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang DM di

daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural (PERKENI, 2011).

Nefropati diabetik adalah komplikasi DM pada ginjal yang dapat berakhir sebagai

gagal ginjal. Sekitar 20-40% penyandang DM akan mengalami nefropati diabetik

(PERKENI, 2011). Di Amerika, kejadian nefropati diabetik telah meningkat

sebesar 150% dalam 10 tahun terakhir, begitu juga yang terlihat di Eropa. Di

Amerika Utara, 40% dari pasien yang melakukan dialisis memiliki nefropati

diabetik. Di antara pasien yang membutuhkan dialisis, mereka

dengan DM memiliki tingkat kematian 22% lebih tinggi pada satu tahun dan

angka kematian 15% lebih tinggi pada lima tahun dibandingkan pasien tanpa DM

(Remuzzi, 2002). Angka kejadian nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan 2

sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar dari tipe 1 karena jumlah

pasien DM tipe 2 lebih banyak dari tipe 1. Secara epidemiologis, ditemukan

perbedaan terhadap kerentanan untuk timbulnya nefropati diabetik, yang antara

lain dipengaruhi oleh etnis, jenis kelamin, serta umur saat diabetes timbul

(Hendromartono, 2007).

2.3 Klasifikasi

Perjalanan penyakit serta kelainan ginjal pada DM lebih banyak dipelajari

pada DM tipe 1 daripada tipe 2, dan oleh Mogensen (2000) dibagi menjadi 5

tahapan yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tahapan nefropati diabetik

Tahap Kondisi ginjal AER LFG TD Prognosis

1 Hipertrofi dan

hiperfungsi

N N Reversibel

2 Kelainan N /N Mungkin

Page 5: Nefropati Diabetik

5

struktur reversibel

3 Mikroalbuminu-

ria persisten

20-200

mg/menit

/N Mungkin

reversibel

4 Makroalbuminu

ria proteinuria

>200

mg/menit

rendah Hiper-

tensi

Mungkin

bisa

stabilisasi

5 Uremia Tinggi/rendah <10

ml/menit

Hiper-

tensi

Kesintasan

2 tahun +

50%

AER = Albumin Excretion Rate, LFG = Laju Filtrasi GlomerulusSumber: Mogensen (2000).

Tahap 1. Hyperfiltration-Hypertropy Stage

Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai hiperfiltrasi yaitu meningkatnya

laju filtrasi glomerules mencapai 20-50% diatas nilai normal menurut usia dan

hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x. Glukosuria disertai

poliuria serta mikroalbuminuria > 20 dan < 200 g/menit.

Tahap 2. Silent Stage/ Kelainan Struktur

Secara klinis belum ada kelainan yang berarti. Mikroalbuminuria normal

atau mendekati normal (>20 g/menit). Terdapat perubahan histologis awal

berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik.

Tahap 3. Incipient Nephropathy Stage

Pada awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai

menurun. Selanjutnya ditemukan mikroalbuminuria 20 – 200 ug/menit yang setara

dengan eksresi protein 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat.

Secara histologis didapatkan peningkatan ketebalan membrana basalis dan volume

mesangium fraksional dalam glomerulus.

Tahap 4. Overt Nephropathy Stage

Page 6: Nefropati Diabetik

6

Tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga

timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan

pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan

kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tekanan darah.

Tahap 5. End Stage Renal Disease

Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai

fibrosis ginjal. Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada Tahap

4 dan 5-7 tahun kemudian akan sampai Tahap 5.

Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi nefropati diabetik antara

DM tipe 1 dengan tipe 2, yaitu adanya mikroalbuminuria seringkali dijumpai pada

DM tipe 1 saat diagnosis ditegakkan dan keadaan ini seringkali reversibel dengan

perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe 2

merupakan prognosis yang buruk.

2.4 Etiologi

Hipertensi atau tekanan darah yang tinggi merupakan komplikasi dari

penyakit DM dipercaya paling banyak menyebabkan secara langsung terjadinya

nefropati diabetik. Hipertensi yang tak terkontrol dapat meningkatkan

progresifitas untuk mencapai fase nefropati diabetika yang lebih tinggi (Sukandar,

1997).

Hendromartono (2007), menyebutkan bahwa secara ringkas, faktor-faktor

etiologis timbulnya penyakit ginjal diabetik adalah:

Kurang terkendalinya kadar gula darah (GDP > 140-160 mg/dl [7,7-8,8

mmol/l]); AIC > 7-8%

Faktor-faktor genetis

Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal, dan laju filtrasi

glomerulus, peningkatan tekanan intra glomerulus)

Hipertensi sistemik

Sindrom resistensi insulin (sindrom metabolik)

Page 7: Nefropati Diabetik

7

Keradangan

Perubahan permeabilitas pembuluh darah

Asupan protein berlebih

Gangguan metabolik ( kelainan metabolik polyol, pembentukan advanced

glycation end products, peningkatan produksi sitokin)

Pelepasan growth factors

Kelainan metabolisme karbohidrat / lemak / protein

Kelainan struktural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan

membrana basalis glomerulus)

Gangguan ion pumps (peningkatan Na+-H+ pump dan penurunan Ca2+-ATP

ase pump)

Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia)

Aktivasi protein kinase C

2.5 Faktor Resiko

Tidak semua pasien DM tipe 1 dan 2 berakhir dengan nefropati diabetik.

Berdasarkan studi perjalanan penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor resiko

antara lain:

1. Hipertensi dan prediposisi genetika

2. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetika

a. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen)

Beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe

antigen HLA dengan kejadian nefropati diabetik. Kelompok

penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag

tipe HLA-B9.

b. GLUT (Glucose Transporter)

Setiap penderita DM yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai

potensi untuk mendapat nefropati diabetik.

3. Hiperglikemia

4. Konsumsi protein hewani

Page 8: Nefropati Diabetik

8

2.6 Patofisiologi

Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme

patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan

menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang

berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat

sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat

lambat laun akan meyebabkan sklerosis dari nefron tersebut.

Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati

diabetik, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.1 ini masih belum jelas benar,

tapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang

tergantung glukosa, yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide,

prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan

hipertrofi sel, sintesis matrik ekstraseluler, serta produksi TGF- yang

diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-

threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran

darah, proliferasi sel, dan permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat

menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein (reaksi

Mallard dan Browning). Pada awalya, glukosa akan mengikat residu amino secara

non-enzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk

mencapai bentuk yang masih stabil tetapi masi reversibel yang disebut produk

amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk Advanced Glycation End-

Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjasi perantara bagi

beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan

dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa

matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan berlanjut

terus sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis

tubulointerstisialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Hipertensi yang

timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga kan mendorong

sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Penelitian pada hewan diabetes

menunjukkan adanya vasokontriksi arteriol sebagai akibat kelainan

renin/angiotensin sistem. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama

Page 9: Nefropati Diabetik

9

disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus

(Hendromartono, 2007).

Gambar 2.1 Patogenesis nefropati diabetik (Sumber: Cooper, 2003)

2.7 Patologi

Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membran

basalis, ekspansi mesangium (berupa akumulasi matriks ekstraseluler;

penimbunan kolagen tipe IV, laminin dan fibronektin) yang kemudian akan

menimbulkan glomerulosklerosis noduler dan/atau difus (Kimmelstiel-Wilson),

hyalinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulointertisial seperti yang

dapat dilihat pada Tabel 2.2 (Hendromartono, 2007)

Tabel 2.2 Karakteristik nefropati diabetik

Page 10: Nefropati Diabetik

10

Sumber: Hendromartono, 2007.

2.8 Diagnosis

Diagnosis nefropati diabetik dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan

seperti di bawah ini:

1. DM

2. Retinopati Diabetika

3. Proteinuri yang presisten selama 2x pemeriksaan interval 2 minggu tanpa

penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x pemeriksaan plus

kadar kreatinin serum >2,5mg/dl.(8)

Data yang didapatkan pada pasien antara lain:

1. Anamnesis

Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas

dari gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi,

penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar

sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotensi.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Pemeriksaan Mata

Pada nefropati diabetika didapatkan kelainan pada retina yang merupakan

tanda retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan funduskopi, berupa :

1) Obstruksi kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah

dalam kapiler retina.

2) Mikroaneusisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah

kapiler vena.

No Karakteristik

1 Peningkatan material matriks mesangium

2 Penebalan membran basalis mesangium

3 Hialinosis arteriol aferen dan eferen

4 Penebalan membran basalis tubulus

5 Atrofi tubulus

6 Fibrosis interstisial

Page 11: Nefropati Diabetik

11

3) Eksudat berupa :

Hard exudate. Berwarna kuning, karena eksudasi plasma

yang lama.

Cotton wool patches. Berwarna putih, tak berbatas tegas,

dihubungkan dengan iskemia retina.

4) Shunt artesi-vena, akibat pengurangan aliran darah arteri karena

obstruksi kapiler.

5) Perdarahan bintik atau perdarahan bercak, akibat gangguan

permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler.

6) Neovaskularisasi

b. Pemeriksaan Thorax

Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end

stage, didapatkan perubahan pada :

- Cor: cardiomegali

- Pulmo: oedem pulmo

3. Pemeriksaan Laboratorium

Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2

minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau proteinuria satu

kali pemeriksaan plus kadar kreatinin serum > 2,5 mg/dl.

Pada saat diagnosis DM ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi

ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan

rutin. Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Association (2004)

adalah pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin

serum dan klirens kreatinin, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Pemantauan fungsi ginjal pada pasien DM

Tes Evaluasi Awal Follow-up

Penentuan

mikroalbuminuria

Sesudah pengendalian

gula darah awal (dalam 3

DM tipe 1: tiap tahun

setelah 5 tahun

Page 12: Nefropati Diabetik

12

bulan diagnosis

ditegakkan)

DM tipe 2: tiap tahun

setelah diagnosis

ditegakkan

Klirens kreatininSaat awal diagnosis

ditegakkan

Tiap 1-2 tahun sampai

LFG

<100ml/menit/1,73m2,

kemudian tiap tahun atau

lebih sering

Kreatinin serumSaat awal diagnosis

ditegakkan

Tiap tahun atau lebih

sering tergantung dari

penurunan laju fungsi

ginjal

Sumber: Hendromartono, 2007.

Mikroalbuminuria umumnya didefinisikan sebagai ekskresi albumin >30

mg/hari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati

diabetik. Klasifikasi laju ekskresi albumin urine dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Laju ekskresi albumin urin

Kondisi

Laju Ekskresi Albumin Urine Perbandingan

Albumin Urine-

Kreatinin (g/mg)

24 jam

(mg/hari)

Sewaktu

(g/menit)

Normoalbuminuri

a< 30 < 20 < 30

Mikroalbuminuria 30-300 20-200 30-300 (299)

Makroalbuminuria >300 >200 >300

Sumber: Remuzzi, 2002.

International Society of Nephrology (ISN) menganjurkan penggunaan

perbandingan albumin-kreatinin untuk kuantifikasi proteinuria sebagai sarana

follow-up.

Page 13: Nefropati Diabetik

13

Perlu diingat bahwa banyak penyebab mikroalbuminuria disamping

diabetes. Beberapa penyebab proteinuria lain yang juga sering ditemukan adalah

hipertensi serta umur lanjut. Selain itu, kehamilan, asupan protein yang sangat

tinggi, stress, infeksi sistemik atau saluran kemih, dekompensasi metabolik akut,

demam, latihan berat, dan gagal jantung dapat meningkatkan laju ekskresi

albumin urine.

Diagnosis ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan

menunjukkan adanya mikroalbuminuria, sebagaimana yang terlihat pada Gambar

2.2.

Gambar 2.2 Penapisan untuk mikroalbuminuria (Sumber: Longo, 2011)

Ada beberapa kondisi yang berhubungan dengan mikroalbuminuria, antara

lain:

1) Mikroangiopati diabetik

2) Penyakit kardiovaskular

3) Hipertensi

4) Hiperlipidemia

Page 14: Nefropati Diabetik

14

Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan-pemeriksaa lanjutan lain seperti

yang terlihat pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Pemeriksaan lanjutan mikroalbuminuria (Sumber: Vora, 2003)

Penghitungan laju filtrasi glomerulus dilakukan dengan menggunakan

rumus dari Cockroft-Gault, yaitu:

Klirens kretainin* = (140-umur) x Berat Badan x (0,85 untuk wanita)

72 x Kreatinin Serum

*Glomerular Filtration Rate/ Laju Filtrasi Glomerulus (GFR) dalam

ml/menit/1,73 m2.

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah

diabetik neuropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus –kasus tertentu

yang memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada gambaran klinis dan

hasil pemeriksaan laboratorium yang mengarah kepada penyakit-penyakit

glomerulus non-diabetik (hematuria makroskopik, cast sel darah merah, dll.), atau

kalau timbul azotemia bermakna dengan proteinuria derajat rendah, tidak

ditemukannya retinopati (terutama pada DM tipe 1), atau pada kasus proteinuria

yang timbul sangat mendadak serta tidak melalui tahapan perkembangan

Page 15: Nefropati Diabetik

15

nefropati. Pada kasus-kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui biopsi

ginjal seperti yang terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Evaluasi klinis nefropati diabetik (Sumber: Vora, 2003)

2.9 Penatalaksanaan

Nefropati Diabetik Pemula (Incipient Diabetic Nephropathy)

1. Pengendalian hiperglikemia

Pengendalian hiperglikemia merupakan langkah penting untuk

mencegah/mengurangi semua komplikasi makroangiopati dan

mikroangiopati.

a. Diet

Diet harus sesuai dengan rekomendasi dari Sub Unit Endokrinologi &

Metabolisme, misalnya reducing diet khusus untuk pasien dengan

obesitas. Variasi diet dengan pembatasan protein hewani bersifat

individual tergantung dari penyakit penyerta :

- Hiperkolesterolemia

- Urolitiasis (misal batu kalsium)

Page 16: Nefropati Diabetik

16

- Hiperurikemia dan artritis Gout

- Hipertensi esensial

b. Pengendalian hiperglikemia

1) Insulin

Optimalisasi terapi insulin eksogen sangat penting .

a) Normalisasi metabolisme seluler dapat mencegah penimbunan

toksin seluler (polyol) dan metabolitnya (myoinocitol)

b) Isnulin dapat mencegah kerusakan glomerulus

c) Mencegah dan mengurangi glikolisis protein glomerulus yang

dapat menyebabkan penebalan membran basal dan hilangnya

kemampuan untuk seleksi protein dan kerusakan glomerulus

(permselectivity).

d) Memperbaiki fatal tubulus proksimal dan mencegah reabsorpsi

glukosa sebagai pencetus nefomegali. Kenaikan konsentrasi

urinary N-acetyl-Dglucosaminidase (NAG) sebagai petanda

hipertensi esensial dan nefropati.

e) Mengurangi dan menghambat stimulasi growth hormone (GH)

atau insulin-like growth factors (IGF-I) sebagai pencetus

nefromegali.

f) Mengurangi capillary glomerular pressure

2) Obat antidiabetik oral (OAD)

Alternatif pemberian OAD terutama untuk pasien-pasien dengan

tingkat edukasi rendah sebagai upaya memelihara kepatuhan

(complience). Pemilihan macam/tipe OAD harus diperhatikan efek

farmakologi dan farmakokinetik antara lain :

a) Eleminasi dari tubuh dalam bentuk obat atau metabolitnya.

b) Eleminasi dari tubuh melalui ginjal atau hepar.

c) Perbedaan efek penghambat terhadap arterial smooth muscle cell

(ASMC).

d) Retensi Na+ sehingga menyebabkan hipertensi.

2. Pengendalian hipertensi

Page 17: Nefropati Diabetik

17

Pengelolaan hipertensi pada diabetes sering mengalami kesulitan

berhubungan dengan banyak faktor antara lain : (a) efikasi obat antihipertensi

sering mengalami perubahan, (b) kenaikan risiko efek samping, (c)

hiperglikemia sulit dikendalikan, (d) kenaikan lipid serum.

Sasaran terapi hipertensi terutama mengurangi/mencegah angka morbiditas

dan mortalitas penyakit sistem kardiovaskuler dan mencegah nefropati

diabetik.

a. Golongan ACE-inhibitor

Hasil studi invitro pada manusia, ACE inhibitor mempengaruhi efek

Angiotensin II (sirkulasi dan jaringan). Skema efek tersebut dapat dilihat

pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Skema efek patologi angiotensin-II

b. Golongan antagonis kalsium

Mekanisme potensial untuk meningkatkan risiko (efek samping):

1) Efek inotrofik negatif

2) Efek pro-aritmia

3) Efek pro-hemoragik

Peneliti lain masih mengajurkan nifedipine GITSs atau non

dihydropiridine.

c. Obat-obat antihipertensi lainnya dapat diberikan tetapi harus

memperhatikan kondisi setiap pasien:

Page 18: Nefropati Diabetik

18

- Blokade b-kardioselektif dengan aktivitaas intrinsik simpatetik

minimal misal atenolol.

- Antagonis reseptor a-II misal prozoasin dan doxazosin.

- Vasodilator murni seperti apresolin, minosidil kontra indikasi untnuk

pasien yang sudah diketahui mengidap infark miokard.

3. Mikroalbuminuria

a. Pembatasan protein hewani

Sudah lebih ½ abad (50 tahun) diketahui bahwa diet rendah protein

(DRP) mencegah progresivitas perjalanan penyakit dari penyakit ginjal

eksperimen, tetapi mekanismenya masih belum jelas.

Pembatasan konsumsi protein hewani (0,6-0,8 kgBB/hari) dapat

mengurangi nefromegali, memperbaiki struktur ginjal pada nefropati

diabetik (ND) stadium dini Hipotesis DRP untuk mencegah progresivitas

kerusakan ginjal:

- Efek hemodinamik

Perubahan hemodinamik intrarenal terutama penurunan LFG, plasma

flow rate (Q) dan perbedaan tekanan-tekanan hidrolik transkapiler,

berakhir dengan penurunan tekanan kapiler glomerulus (PGC =

capillarry glomerular preessure)

- Efek non-hemodinamik

- Memperbaiki selektivitas glomerulus

Kenaikan permeabilitas dinding kapiler glomerulus

menyebabkan transudasi circulating macromolecules termasuk

lipid ke dalam ruang subendotelial dan mesangium. Lipid

terutama oxidize LDL merangsang sintesis sitokin dan

chemoattractant dan penimbunan sel-sel inflamasi terutama

monosit dan makrofag.

- Penurunan ROS

Bila pH dalam tubulus terutama lisosom bersifatt asam dapat

menyebabkan disoasi Fe dari transferrin akibat endositosis.

Page 19: Nefropati Diabetik

19

Kenaikan konsentrasi Fe selular menyebabkan pembentukan

ROS.

- Penurunan hipermetabolisme tubular

Konsumsi (kebutuhan) O2 meningkat pada nefron yang masih

utuh (intac), diikuti peningkatan transport Na+ dalam tubulus

dan merangsang pertukaran Na+/H+. DRP diharapkan dapat

mengurangi energi untuk transport ion dan akhirnya mengurangi

hipermetabolisme tubulus.

- Mengurangi growth factors & systemic hormones

Growth factors memegang peranan penting dalam mekanisme

progresivitas kerusakan nefron (sel-sel glomerulus dan tubulus).

DRP diharapkan dapat mengurangi :

- Pembentukan transforming growth factor beta (TGF-b dan

platelet-derived growth factors (PDGF).

- Konsentrasi insulin-like growth factors (IGF-1), epithelial-

derived growth factors (EDGF), Ang-II (lokal dan

sirkulasi), dan parathyroid hormones (PTH).

- Efek antiproteinuria dari obat antihipertensi

Penghambat enzim angiotensin-converting (EAC) sebagai

terapi tunggal atau kombinasi dengan antagonis kalsium

non-dihydropiridine dapat mengurangi proteinuria

disertaistabilisasi faal ginjal.

Nefropati Diabetik Nyata (overt diabetic nephropathy)

Manajemen nefropati diabetik nyata tergantung dari gambaran klinis, tidak jarang

melibatkan disiplin ilmu lain.

Prinsip umum manajemen nefropati diabetik nyata :

1. Manajemen Utama (esensi)

a. Pengendalian hipertensi

1) Diet rendah garam (DRG)

Page 20: Nefropati Diabetik

20

Diet rendah garam (DRG) kurang dari 5 gram per hari penting untuk

mencegah retensi Na+ (sembab dan hipertensi) dan meningkatkan

efektivitas obat antihipertensi yang lebih proten.

2) Obat antihipertensi

Pemberian antihipertensi pada diabetes mellitus merupakan

permasalahan tersendiri. Bila sudah terdapat nefropati diabetik disertai

penurunan faal ginjal, permasalahan lebih rumit lagi.

Beberapa permasalahan yang harus dikaji sebelum pemilihan obat

antihipertensi antara lain :

a) Efek samping misal efek metabolik

b) Status sistem kardiovaskuler.

Miokard iskemi/infark

Bencana serebrovaskuler

c) Penyesuaian takaran bila sudah terdapat insufisiensi ginjal.

b. Antiproteinuria

1) Diet rendah protein (DRP)

DRP (0,6-0,8 gram per kg BB per hari) sangat penting untuk

mencegah progresivitas penurunan faal ginjal.

2) Obat antihipertensi

Semua obat antihipertensi dapat menurunkan tekanan darah sistemik,

tetapi tidak semua obat antihipertensi mempunyai potensi untuk

mengurangi ekskresi proteinuria.

a) ACE inhibitor

Banyak laporan uji klinis memperlihatkan ACE inhibitor paling

efektif untuk mengurangi albuminuria dibandingkan dengan obat

antihipertensi lainnya.

b) Antagonis kalsium

Laporan studi meta-analysis memperlihatkan antagonis kalsium

golongan nifedipine kurang efektif sebagai antiproteinuric agent

pada nefropati diabetik dan nefropati non-diabetik.

Page 21: Nefropati Diabetik

21

c) Kombinasi ACE inhibitor dan antagonis kalsium non

dihydropyridine.

Penelitian invitro dan invivo pada nefropati diabetik (DMT)

kombinasi ACE inhibitor dan antagonis kalsium non

dihydropyridine mempunyai efek.

3) Optimalisasi terapi hiperglikemia

Keadaan hiperglikemi harus segera dikendalikan menjadi

normoglikemia dengan parameter HbA1c dengan insulin atau obat

antidiabetik oral (OADO).

2. Managemen Substitusi

Program managemen substitusi tergantung dari kompliaksi kronis lainnya

yang berhubungan dengan penyakit makroangiopati dan mikroangiopati

lainnya.

a) Retinopati diabetik

Terapi fotokoagulasi

b) Penyakit sistem kardiovaskuler

Penyakit jantung kongestif

Penyakit jantung iskemik/infark

c) Bencana serebrovaskuler

Stroke emboli/hemoragik

d) Pengendalian hiperlipidemia

Dianjurkan golongan sinvastatin karena dapat mengurangi konsentrasi

kolesterol-LDL.

Nefropati Diabetik Tahap Akhir (End Stage diabetic nephropathy)

Saat dimulai (inisiasi) program terapi pengganti ginjal sedikit berlainan pada GGT

diabetik dan GGT non-diabetik karena faktor indeks komorbiditas.

Pemilihan macam terapi pengganti ginjal yang bersifat individual tergantung dari

umur, penyakit penyertaa dan faktor indeks ko-morbiditas.

Page 22: Nefropati Diabetik

22

BAB 3. KESIMPULAN

1. Nefropati diabetik adalah komplikasi diabetes mellitus pada ginjal yang

dapat berakhir sebagai gagal ginjal.

2. Diagnosa nefropati diabetik ditegakkan apabila memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

a. DM

b. Retinopati diabetik

c. Proteinuria yang persisten selama 2 kali pemeriksaan dengan interval 2

minggu tanpa ditemukan penyebab proteinuria yang lain atau

proteinuria satu kali pemeriksaan piks kadar kreatinin serum > 2,5

mg/dl.

3. Manajemen nefropati diabetika tergantung pada presentasi klinis, yaitu saat:

Incipient diabetic nephropathy, Overt diabetic nephropathy,atau End stage

diabetic nephropathy.