bab ii tinjauan pustaka a. nefropati diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/bab ii.pdftanda...

23
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1. Pengertian Nefropati Diabetik Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular pada diabetes mellitus. Sindrom klinik yang dialami penderita nefropati diabetik ditandai dengan tingginya ekskresi urin albumin (albuminuria), penurunan laju filtrasi glomerulus (ADA, 2018). Parameter yang dapat digunakan sebagai penanda nefropati diabetik adalah kenaikan kadar serum kreatinin (Hendromartono, 2009) dan kenaikan kadar BUN (Martini et al., 2010). Secara histologis, tanda dari nefropati diabetik adalah membran basalis yang menebal, terjadi ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis tubulo interstitial (Hendromartono, 2009). Diagnosis stadium klinis nefropati diabetik secara klasik adalah dengan ditemukannya proteinuria >0,5 gram/hari. Mengingat bahwa hampir semua ekskresi protein dalam urin berbentuk albumin, dihubungkan juga dengan perubahan morfologi membran basal yang terjadi, telah dibuat consensus bahwa diagnosis klinis nefropati diabetik sudah dapat ditegakkan apabila didapat makroalbuminuria persisten (albuminuria >300 mg/24 jam atau 200 microgram/menit). Dikatakan persisten/menetap apabila dua dari tiga kali pemeriksaan yang dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan memberikan hasil posistif. Pada pasien diabetes melitus tipe 1 diagnosis lebih dini (stadium awal = incipient nephropathy) nefropati diabetik ditandai dengan ditemukanya mikroalbuminuria persisten (albuminuria 30-300 mg/ 24 jam atau 20-200 microgram/menit). Consensus ini diajukan oleh The American Diabetes Assosiation, 1989 dan sampai saat ini masih digunakan oleh Ad Hoc Committee of the Council on Diabetes Melitus of the National Kidney Foundation 1995. Dikerenakan bervariasinya ekskresi albumin, dianjurkan pula memperhitungkan rasio ekskresi kreatinin dan albumin di dalam urin (Roesli et al., 2001).

Upload: others

Post on 27-Jun-2020

19 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nefropati Diabetik

1. Pengertian Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular pada

diabetes mellitus. Sindrom klinik yang dialami penderita nefropati diabetik

ditandai dengan tingginya ekskresi urin albumin (albuminuria), penurunan laju

filtrasi glomerulus (ADA, 2018). Parameter yang dapat digunakan sebagai

penanda nefropati diabetik adalah kenaikan kadar serum kreatinin

(Hendromartono, 2009) dan kenaikan kadar BUN (Martini et al., 2010).

Secara histologis, tanda dari nefropati diabetik adalah membran basalis

yang menebal, terjadi ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya

menyebabkan glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis

tubulo interstitial (Hendromartono, 2009).

Diagnosis stadium klinis nefropati diabetik secara klasik adalah dengan

ditemukannya proteinuria >0,5 gram/hari. Mengingat bahwa hampir semua

ekskresi protein dalam urin berbentuk albumin, dihubungkan juga dengan

perubahan morfologi membran basal yang terjadi, telah dibuat consensus bahwa

diagnosis klinis nefropati diabetik sudah dapat ditegakkan apabila didapat

makroalbuminuria persisten (albuminuria >300 mg/24 jam atau 200

microgram/menit). Dikatakan persisten/menetap apabila dua dari tiga kali

pemeriksaan yang dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan memberikan hasil

posistif. Pada pasien diabetes melitus tipe 1 diagnosis lebih dini (stadium awal =

incipient nephropathy) nefropati diabetik ditandai dengan ditemukanya

mikroalbuminuria persisten (albuminuria 30-300 mg/ 24 jam atau 20-200

microgram/menit). Consensus ini diajukan oleh The American Diabetes

Assosiation, 1989 dan sampai saat ini masih digunakan oleh Ad Hoc Committee of

the Council on Diabetes Melitus of the National Kidney Foundation 1995.

Dikerenakan bervariasinya ekskresi albumin, dianjurkan pula memperhitungkan

rasio ekskresi kreatinin dan albumin di dalam urin (Roesli et al., 2001).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

7

Definisi tahapan nefropati diabetik pada Diabetes Mellitus tipe 1 dan pada

diabetes melitus tipe 2 berdasarkan Roesli et al. (2001) tercantum dalam tabel

berikut.

Tabel 1. Definisi Nefropati Diabetik Berdasarkan Ekskresi Albumin dalam Urin dan Rasio

Albumin/ Kreatinin

Mikroalbuminuria Albumin/

Kreatinin µg/

menit

Mg/

24 jam

DM tipe 1

- Normal < 10 <15 < 0,001

- Stadium. Awal 20-200 30-300 0,02-0,2

- Nefropati klinis >200 >300 >0,2

DM tipe 2

- Nefropati klinis >200 >300 >0,2

Pemeriksaan albumin disertakan sebagai catatan dalam menegakkan

diagnosis harus steril, non-ketotik, sebaiknya urin pertama pagi hari.

Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskuler diabetes melitus.

Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal

terminal (GGT) yang memerlukan terapi cuci darah atau dilakukan cangkok ginjal

(Roesli et al., 2001).

Komplikasi pada ginjal terjadi akibat progresifitas penyakit diabetes

melitus yang tidak terkontrol. Derajat penyakit ginjal akibat penyakit diabetes

melitus dibagi menjadi 5 (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi nefropati diabetik Derajat Penjelasan

I Hiperfiltrasi Terjadi peningkatan LFG sampai 40% diatas normal disertai

pembesaran ginjal.

II The Silent Stage Terjadi perubahan struktur ginjal tapi LFG masih tinggi.

III Microalbuminuria Merupakan tahap awal nefropati, terjadi mikroalbuminuria

yang nyata. Sudah terjadi penebalan membran basalis, LFG

masih tinggi dan terjadi peningkatan tekanan darah.

IV Macroalbuminuria Terjadi proteinuria yang nyata, tekanan darah yang meningkat

dan LFG yang menurun dari normal.

V Uremia Terjadi gagal ginjal dan menunjukkan tanda-tanda sindroma

uremik sehingga memerlukan terapi pengganti.

(Dikutip dari Lubis, 2006)

2. Epidemiologi

Tingginya prevalensi nefropati diabetik sebagai penyebab GGT juga

menjadi masalah di Negara-negara lain. Dewasa ini di Amerika, 35% penderita

GGT yang menjalani cuci darah disebabkan oleh nefropati diabetik. Perbedaan

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

8

prevalensi dari berbagai Negara ini selain disebabkan oleh kriteria diagnosis yang

berbeda, juga disebabkan karena adanya perbedaan ras, genetik, geografis,

maupun faktor-faktor lain yang belum jelas diketahui (Roesli et al., 2001).

Keadaan ini didiagnosis dengan adanya ekskresi albuminuria secara terus

menerus, estimasi laju filtrasi glomerulus rendah dan kerusakan ginjal. Keadaan

ini akan dijumpai pada 20-40% penderita diabetes melitus terutama pada diabetes

melitus tipe I tetapi akan dijumpai pada diabetes tipe 2. Nefropati diabetik akan

berkembang setelah 10 tahun penderita diabetes. Nefropati diabetik akan

berkembang menjadi gagal ginjal stadium akhir yang membutuhkan dialysis atau

transplantasi ginjal (ADA, 2018)

Mengingat problematika mahalnya pengobatan cuci darah dan cangkok

ginjal, berbagai upaya dilakukan untuk menegakkan diagnosis nefropati diabetik

sedini mungkin sehingga progresivitasnya menjadi GGT dapat dicegah ataupun

diperlambat (Roesli et al., 2001).

3. Etiologi

Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya pada penderita nefropati

diabetik adalah kadar gula darah yang tidak terkendali (Gula Darah Puasa/GDP)

140-160 mg/ dL), faktor keturunan (genetik), terjadinya kelainan hemodinamik

(tekanan intraglomerulus meningkat, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi

meningkat), hipertensi sistemik, sindrom metabolik ( sindrom resistensi insulin),

peradangan, permeabilitas pembuluh darah yang berubah, protein/ lemak/

karbohidrat mengalami kelainan metabolisme, dan hiperlipidemia

(Hendromartono, 2009).

Nefropati diabetik dapat merupakan komplikasi diabetes melitus tipe 1

maupun dari diabetes melitus tipe 2. Meskipun demikian awal timbulnya penyakit

(onset) pada diabetes melitus tipe 1 lebih jelas sehingga perjalanan penyakitnya

dapat dengan mudah diikuti (Roesli et al., 2001).

3.1 Perjalanan penyakit pada DM tipe 1. Perjalanan penyakit nefropati

diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dapat diikuti dengan jelas dan terjadi secara

runtun. Pada penderita diabetes melitus tipe 1, nefropati terjadi pada 35% kasus,

terjadi lebih sering pada laki-laki terutama yang telah menderita diabetes sejak

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

9

berusia kurang dari 15 tahun. Perjalanan penyakit gangguan ginjal pada

penyandang diabetes melitus tipe 1 dimulai dari tahap gangguan fungsi awal yang

tidak menetap (tahap I) sampai dengan tahap gagal ginjal terminal (tahap V)

sebagai berikut:

Tahap I: Stadium hipertrofi-hiperfungsi. Pada tahap ini laju filtrasi

glomerular (=LFG = GFR = glomerular filtration rate) meningkat hingga

mencapai 40% diatas normal. Peningkatan filtrasi ginjal akan disertai pembesaran

ukuran ginjal (hipertropi). Albuminuria belum timbul secara nyata. Tekanan darah

biasanya normal. Tahap ini masih reversible, berlangsung antara 0 sampai 5 tahun

sejak awal diagnosis diabetes melitus tipe 1 ditegakkan. Dengan pengendalian

glukosa darah yang ketat biasanya kelainan fungsi maupun struktur anatomi akan

kembali normal.

Tahap II: Tahap “sepi” (silent stage). Meskipun perubahan struktur

anatomi glomerular tetap berlanjut, namun fungsi ginjal tidak memburuk. Pada

pemeriksaan biasanya didapatkan LFG tetap tinggi yaitu 20%-39% di atas normal,

ekskresi albumin tetap normal. Ekskresi albumin akan meningkat setelah latihan

fisik, keadaan stress atau kendali metabolik yang memburuk. Tahap II terjadi

setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes ditegakkan. Kebanyakan penderita tetap

dalam tahap ini selama bertahun-tahun bahkan bisa seumur hidupnya. Hanya

sekitar 4% penderita/tahun yang akan berlanjut ke tahap III. Progresivitas

penyakit biasanya berhubungan dengan memburuknya kendali metabolik. Pada

tahap ini tekanan darah masih relatif normal, hanya 5-10% penderita yang

menunjukkan hipertensi.

Tahap III: Tahap awal nefropati diabetik (incipient diabetic

nephropathy). Tahap ini ditandai dengan meningkatnya ekskresi albumin di urin

(mikroalbuminuria persisten) yang dapat berkisar antara 20-200 µg/menit atau 30-

300 g/24 jam. Terjadi penebalan dan hipertrofi membrane basal. LFG biasanya

masih tetap tinggi. Tekanan darah sudah mulai beranjak naik. Terjadi peningkatan

tekanan darah sebesar 3%/ tahun. Tahap ini dapat terjadi setelah 10-15 tahun

diagnosis diabetes melitus tipe 1 ditegakkan dan menetap selama bertahun-tahun.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

10

Dilaporkan juga bahwa pada sebagian kasus, terapi pencegahan, seperti kendali

metabolik yang ketat, terapi antihipertensi dapat mencegah progresivitas penyakit.

Tahap IV: Tahap nefropati diabetik klinik (overt diabetic

nephropathy). Tahap ini secara diagnosis klinik dikenal sebagai nefropati

diabetik. Pada tahap ini terjadi proteinuria yang menetap. Ekskresi protein dalam

urin biasanya >0,5 g/24 jam. Tekanan darah mulai meningkat pada sebagian

kasus. Terjadi kenaikan tekanan darah sebesar 7%/tahun. LFG didapatkan sudah

mulai menurun, dengan kecepatan penurunan sekitar 12 cc/tahun. Pada tahap ini

biasanya dapat dijumpai pula komplikasi mikro/ makro vascular lain diabetes

seperti retinopati, neuropati, gangguan profil lemak dan gangguan vascular umum.

Tahap ini terjadi 15-30 tahun setelah diagnosis diabetes ditegakkan. Penderita

pada tahap ini biasanya akan terus melanjut ke arah gagal ginjal meskipun banyak

penelitian mengatakan apabila tekanan darah dan glukosa darah tetap terkendali

dengan baik, kecepatan berlanjutnya penyakit tersebut dapat diperlambat.

Tahap V: Tahap gagal ginjal terminal (End stage renal failure). Pada

tahap ini LFG sudah demikian rendah sehingga penderita sudah menunjukkan

tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan

cangkok ginjal.

3.2 Perjalanan penyakit pada DM tipe 2. Pada diabetes melitus tipe 2

perjalanan penyakitnya tidak sejelas pada diabetes melitus tipe 1. Hanya sekitar 3

sampai 16% penderita diabetes melitus tipe 2 akan berlanjut menjadi nefropati

diabetik. Perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 2 sering terjadi bersamaan

dengan kondisi-kondisi klinis lain yang menyertai. Sehingga pada penderita

semacam ini meskipun menunjukkan gambaran kelainan morfologi yang spesifik,

tetap tidak dapat dipastikan bahwa kelainan tersebut merupakan akibat nefropati

diabetik. Selain itu ada kemungkinan suatu glomerulosklerosis kronik terjadi

bersamaan atau menutupi morfologi spesifik diabetes.

4. Diagnosa

Sebagaimana halnya pada penyakit-penyakit lain. Untuk mendiagnosis

komplikasi nefropati diabetik akibat diabetes melitus tipe 1 atau diabetes melitus

tipe 2 harus dicari manifestasi klinis maupun laboratorium yang menunjang

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

11

penyakit dasarnya (diabetes) maupun komplikasi yang ditimbulkannya (nefropati

diabetik).

4.1. Manifestasi Klinis. Sesuai dengan tahap-tahapannya, keluhan dan

gejala pada penderita nefropati diabetik dapat bervariasi dari yang asimtomatik

(tahap I s/d III) sampai dengan gejala uremia yang berat (tahap IV/V). Gejala-

gejala uremia diantaranya dapat berupa lemas, anoreksia, mual, muntah yang

disertai anemia, overhidrasi, asidosis, hipertensi, kejang-kejang sampai koma

uremik. Selain itu penderita nefropati diabetik sering disertai dengan komplikasi

mikro/ makrovaskular lain seperti neuropati, retinopati dan gangguan

serebrovaskular atau gangguan profil lemak (Roesli et al., 2001).

Diabetes melitus tipe 1, lamanya seseorang telah menderita diabetes

berkorelasi sangat erat dengan timbulnya komplikasi nefropati diabetik. Pada

penyandang diabetes melitus tipe 1, lima tahun pertama setelah diagnosis

ditegakkan biasanya merupakan periode laten, yaitu belum ditemukan komplikasi

apapun. Setelah itu, baik komplikasi mikrovaskular maupun makrovaskular mulai

muncul dan mencapai puncaknya setelah 10-15 tahun menderita penyakit

diabetes. Sedangkan pada diabetes melitus tipe 2 hubungan antara timbulnya

komplikasi dengan lamanya diabetes tidak dapat digambarkan dengan jelas.

Seringkali komplikasi ditemukan pada saat diagnosis baru mulai ditegakkan atau

bisa ditemukan pada tahap pre diabetes (Roesli et al., 2001).

4.2. Pemeriksaan Laboratorium.

4.2.1. Kadar glukosa darah. Sebagaimana halnya penyakit diabetes,

kadar glukosa darah akan meningkat. Tetapi perlu diperhatikan bahwa pada tahap

lanjut yaitu bila telah terjadi gagal ginjal kadar glukosa darah bisa normal atau

justru rendah. Hal ini disebabkan karena menurunnya bersihan ginjal terhadap

insulin endogen maupun eksogen.

4.2.2. Proteinuria. Penanda (marker) utama nefropati diabetik

adalah meningkatnya ekskresi protein didalam urin. Sebagian besar protein

diekskresikan dalam bentuk albumin. Terutama pada diabetes melitus tipe 1,

peningkatan ekskresi albumin berkorelasi dengan peningkatan tahap penyakit.

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

12

Pada keadaan gagal ginjal terminal, dimana fungsi filtrasi membrane basal hilang,

ekskresi albumin dapat menurun kembali.

4.2.3. Profil lipid. Gangguan profil lipid sering terjadi bersamaan

dengan nefropati diabetik. Biasanya berupa peningkatan jumlah kolesterol total,

kolesterol LDL, trigliserida, apoprotein B serta penurunan kolesterol HDL.

Gangguan tersebut berhubungan dengan gangguan terhadap sensitivitas terhadap

insulin (Roesli et al., 2001).

4.3. Diagnosis Dini. Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinya

albuminuria pada penderita diabetes melitus, baik tipe I maupun tipe II. Bila

jumlah protein maupun albumin di dalam urin masih cukup rendah, sehingga sulit

untuk dideteksi dengan metode pemeriksaan urin biasa, akan tetapi sudah >30

mg/24 jam ataupun >20mg/menit disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Hal ini

sudah dianggap sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria atau proteinuria

ini juga dapat ditentukan dengan rasionya terhadap kreatinin dalam urin yang

diambil sewaktu, disebut sebagai albumin atau kreatinin rasio (ACR) (Sunaryanto,

2010).

Tinggi rendahnya ekskresi albumin atau protein dalam urin akan

menunjukkan tingkat keparahan kerusakan ginjal, sebagaimana terlihat dalam

tabel 3.

Tabel 3. Tingkat kerusakan ginjal

Kategori Urin 24 jam

(mg/ 24 jam)

Urin dalam

waktu tertentu*

(µg/menit)

Urine sewaktu (µg/mg

kreat)

Normal < 30 < 20 < 30

Mikroalbuminuria 30 – 299 20 – 199 30 – 299

Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300

Sumber: PERKENI, 2015

Pencegahan progresivitas penyakit kearah gagal ginjal hanya dapat

memberikan hasil yang optimal apabila dilakukan pada tahap-tahap dini nefropati

diabetic. Masalahnya adalah pada tahapan ini belum ditemukan manifestasi klinis

yang cukup jelas.

4.3.1. Mikroalbuminuria. Penanda (marker) paling dini nefropati

ialah terdapat mikroalbuminuria, selain menjadi penanda terjadinya gangguan

basal membrane juga dapat terjadi peramal (predictor) progresivitas penyakit

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

13

kearah terjadinya nefropati klinis. Bahkan mikroalbumineria juga merupakan

penanda terjadinya gangguan endotel pembuluh darah secara sistemik dan dapat

menjadi peramal kematian akibat komplikasi kardiovaskular yang secara umum

berhubungan dengan gangguan sensitivitas terhadap insulin.

4.3.2. Enzim-enzim tubular. Selain gangguan glomeruli,

belakangan ini ditemukan bahwa terjadi juga gangguan pada tubuli ginjal sebagai

dasar pathogenesis nefropati diabetik. Pada beberapa penelitian terjadinya

peningkatan enzim tubuli serta protein dengan berat molekul kecil yang sudah

dapat ditemukan pada tahap-tahap awal nefropati diabetic, bahkan sebelum

ditemukannya mikroalbuminuria. Berbagai enzim tubuli dan antigen akan

diekskresi oleh sel tubuli sebagai akibat gangguan morfologi maupun fungsi

tubuli. Enzim tubuli yang telah diteliti dan dilaporkan dapat merupakan penanda

kelainan tubuli pada diabetes antara lain n-acetyl-glucosamindase (NAG),

gamma-glutamyl-transferase, dan berbagai jenis proteinseperti α1-microglobulin,

retinol binding protein, transferrin, leucine-aminopeptidase dan alkali fosfatase.

NAG merupakan enzim yang paling sensitive untuk mendeteksi kelainan

tubuli, sedangkan human-intestinal alkaline phosphatase (h-IAP) merupakan

enzim yang selektif menandai segmen S3 tubuli. Penggunaan enzim tubular

sebagai penanda diagnosis dini nefropati diabetik belum digunakan secara luas,

tetapi diperkirakan dikemudian hari akan lebih banyak digunakan sebagai penanda

kelainan tubuli pada diabetes (Roesli et al., 2001).

5. Pencegahan dan Pengobatan

Pengelolaan nefropati diabetik yang harus diutamakan adalah usaha

pencegahan. Usaha pencegahan tersebut dapat berupa usaha untuk mencegah

terjadinya mikroalbuminuria. Usaha mencegah berlanjutnya komplikasi

mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria, atau yang dikenal sebagai nefropati

diabetes klinis (overt) yang dapat terus berlanjut menjadi gagal ginjal terminal.

Rekomendasi yang dianjurkan ialah semua penyandang diabetes melitus 1

berusia >12 tahun yang penyakitnya telah berlangsung selama 1 tahun dan semua

penyandang diabetes melitus tipe 2 sejak dari ditegakkan diagnosis, harus

menjalani pemeriksaan mikroalbumin minimal 1 kali per tahun. Pemeriksaan

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

14

dilakukan pada urin pagi hari, bila hasilnya posistif, harus dilanjutkan dengan urin

kumpul dalam 12 atau 24 jam. Mikroalbuminuria harus diantisipasi dengan

rendah glukosa darah yang ketat. Pada penderita diabetes melitus tipe 1 sebaiknya

berikan terapi insulin intensif. Pemberian insulin harus dipertimbangkan pada

penderita diabetes melitus tipe 2 yang tidak terkendali baik dengan obat

hioglikemik oral. Tekanan darah yang dianggap normal adalah <140/90 mmHg

untuk penderita usia 60 tahun dan <160/90 mmHg untuk penderita >60 tahun.

Obat antihipertensi yang dianjurkan adalah golongan inhibitor-ACE.

Antihipertensi yang dapat mengganggu metabolisme glukosa atau lipid sebaiknya

tidak diberikan. Diuretik yang dapat diberikan adalah golongan loop diuretic. Diet

rendah protein harus dipertimbangkan pada pasien dengan mikroalbuminuria.

Dosis yang disarankan adalah 0,8 – 1 g/kgBB/hari, diutamakan protein hewani.

Bila telah ada nefropati klinis (makro-albuminuria) dosis diturunkan menjadi 0,6

– 0,7 g/kgBB/hari. Bila ada hiperlipidemia harus diterapi, dilarang merokok.

Usaha pencegahan berlanjutnya komplikasi nefropati diabetik yang

dilaporkan memberikan hasil yang positif dengan pengendalian kadar glukosa

darah secara intensif baik secara non farmakologi (pengaturan makan, olahraga,

cara hidup sehat) maupun farmakologi (insulin atau obat antidiabetik oral) dapat

mencegah terjadinya mikroalbuminuria persisten pada 39% kasus. Selain itu juga

dapat menurunkan komplikasi mikroaneurisma sebesar 27%, retinopati 76% dan

nefropati 54%. Pengendalian tekanan darah. Penurunan tekanan darah sampai

batas normal dapat mencegah progresivitas nefropati terutama pada diabetes

melitus tipe 1. Terdapat korelasi yang jelas antara tingginya tekanan darah dan

meningkatnya sekresi albumin. Antihipertensi yang mepunyai efek penurunan

mikroalbuminuria adalah golongan penghambat ACE dan antagonis kalsium.

Golongan beta blocker juga mempunyai efek yang sama tetapi dapat

menimbulkan gangguan metabolisme. Pada penderita nefropati diabetik sebaiknya

tidak diberikan diuretik sebagai monoterapi, karena dapat menimbulkan gangguan

toleransi glukosa.

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

15

Gambar 1. Step Care Pengobatan Hipertensi Pada Diabetes Melitus (Roesli R et al, 2001)

Diet rendah protein. Ekskresi protein yang berlebihan dapat menimbulkan

percepatan kerusakan membrane basal. Oleh karena itu diet rendah protein dapat

memperbaiki kerusakan glomeruli. Asupan protein dibatasi hanya 0,6-0,8

kgBB/hari dan asupan garam 3-6 g/hari.

Apabila pasien sudah memasuki tahap gagal ginjal biasanya akan terus

berlanjut menjadi gagal ginjal terminal (GGT). Bila terapi konservatif tidak dapat

lagi mencegah peningkatan uremia, maka harus dilakukan Terapi Ginjal

Pengganti (TGP) yang dapat berupa: Cuci darah (dialysis). Seperti Hemodialysis

dan Continous Ambulatory Peritonela Dialysis (CAPD). Cangkok (transplantasi)

ginjal. Pemilihan jenis TGP sangat individual, selain indikasi medis juga

tergantung pada fasilitas dan biaya (Roesli R et al., 2001).

B. Farmakoekonomi

1. Definisi Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah deskripsi dan analisis biaya terapi pada

masyarakat atau sistem pelayanan kesehatan. Farmakoekonomi mengidentifikasi,

mengukur dan membandingkan biaya dan konsekuensi dari produk dan pelayanan

farmasi (Andayani, 2013).

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

16

Tujuan dari farmakoekonomi diantaranya membandingkan obat yang

berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama selain itu dapat

membandingkan pengobatan (Treatment) yang berbeda untuk kondisi yang

berbeda. Prinsip farmakoekonomi adalah menetapkan masalah, identifikasi,

alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga

dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan mengukur outcome dari

intervensi alternatif, menilai biaya dan efektivitas, dan selanjutnya adalah

interpretasi dan pengambilan kesimpulan (Walley et al., 2004).

2. Tipe Studi Farmakoekonomi

2.1 Cos-Minimization Analysis (CMA). Merupakan tipe analisis yang

menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang

diperoleh sama (Walley et al., 2004). Kelebihan CMA yaitu analisis yang

sederhana karena outcome diasumsikan sama, sehingga hanya biaya dari

intervensi yang dibandingkan. Kekurangannya intervensi yang bisa dianalisis

terbatas dan tidak bisa digunakan jika outcome dari intervensi tidak sama

(Andayani, 2013).

2.2 Cost-Effectivenrs Analysis (CEA). Dari studi farmakoekonomi, CEA

merupakan bentuk analisis ekonomi yang komprehensif, dengan mendefinisikan,

menilai dan membandingkan sumber daya yang digunakan (input) dengan

konsekuensi dari pelayanan (output) antara dua atau lebih alternatif. CEA

memberikan pendekatan untuk mengevaluasi nilai moneter dari suatu outcome

klinik. Biaya umumnya dihitung dalam rupiah yang dikeluarkan, sedangkan

efektivitas ditentukan independen dan dapat diukur hanya dari segi klinis,

menggunkan unit klinis yang berarti (Andayani, 2013).

CEA penting dalam memutuskan perspektif yang akan digunakan, apakah

perspektif pasien, badan asuransi maupun rumah sakit. Perspektif ini akan

mempengharui sumber daya yang akan digunakan maka hanya sedikit yang

mencerminkn biaya total, karena badan asusransi hanya dominan terhadap

beberapa biaya saja tidak secara keseluruhan (Bootman et al, 2005).

2.3 Cost-Utility Analysis (CUA). Merupakan teknik ekonomi untuk

menilai efisiensi dari intervensi pelayanan kesehatan. Untuk mengukur

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

17

konsekuensi kesehatan digunakan utility yang merupakan nilai pada tingkat status

kesehatan. Outcome dinilai menggunakan pengukuran khusus yaitu Quality-

Adjusted Life Year (QALY) menggabungkan kualitas (morbiditas) dan kuantitas

(mortalitas) hidup (Andayani, 2013).

2.4 Cost-Benefit Analysis (CBA). Merupakan metode analisis khusus

karena membandingkan biaya dan keluaran dalam unit mata uang. CBA

digunakan untuk membandingkan dua alternatif yang mempunyai tipe outcome

yang berbeda, tetapi memiliki kesulitan dalam menilai outcome kesehatan dalam

nilai mata uang (Andayani, 2013). Cost-benefit ini adalah perangkat ekonomi

yang digunakan untuk menentukan keinginan atau preferensi dari dua jenis pilihan

obat (Walley et al, 2004).

2.5 Cost of Ilness (COI). Merupakan salah satu metode evaluasi ekonomi

yang paling awal di sektor pelayanan kesehatan, dengan tujuan utama digunakan

untuk mengevaluasi beban ekonomi dari suatu penyakit pada masyarakat, meliputi

seluruh sumber daya pelayanan kesehatan yang dikonsumsi. Studi COI dapat

menggambarkan penyakit mana yang membutuhkan peningkatan alokasi sumber

daya untuk pencegahan atau terapi, tetapi mempunyai keterbatasan dalam

menjelaskan bagaimana sumber daya dialokasikan karena tidak dilakukan

pengukuran benefit. Selain itu dalam studi ini juga dikembangkan berbagai

metode yang dapat membatasi perbandingkan dari hasil studi. Studi dapat

bervariasi sudut pandang, sumber data yang digunakan, kriteria biaya tidak

langsung, dan kerangka waktu untuk menghitung biaya (Andayani, 2013).

3. Biaya

Biaya (cost) adalah pengorbanan ekonomis yang dilakukan untuk

mencapai tujuan organisasi. Untuk suatu produk, biaya menunjukan ukuran

moneter sumber daya yang digunakan, sebagai bahan, tenaga kerja dan overhead.

Untuk suatu jasa, biaya merupakan pengorbanan moneter yang dilakukan untuk

menyediakan jasa (Wilson & Rascati, 2001).

Biaya dapat diperkirakan ketika mempertimbangkan biaya-biaya dari

setiap intervensi. Biaya yang dipilih untuk diperkirakan tergantung perspektif

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

18

yang digunakan dari jenis studinya. Beberapa jenis biaya yang penting dalam

analisis biaya (cost analysis) yaitu:

3.1 Direct medical cost atau biaya medis langsung. Biaya ini adalah biaya

yang langsung dibayar untuk pelayanan kesehatan, meliputi biaya staf, modal, dan

biaya perolehan obat.

3.2 Direct non-medical cost atau biaya langsung non medis yaitu biaya

yang terkait dengan perawatan, namun tidak bersifat medis, misalnya biaya

perjalanan pulang dan pergi ke dokter atau rumah sakit, perawatan pasien, makan

dan penginapan untuk pasien dan keluarganya selama perawatan di luar kota.

3.3 Indirect cost atau biaya tidak langsung, merupakan biaya-biaya yang

dialami oleh pasien atau keluarga, teman-teman, atau masyarakat, contohnya

hilangnya pendapatan atau produktifitas. Biaya ini sulit untuk diperkirakan tetapi

seharusnya mendapat perhatian secara keseluruhan dari masyarakat.

3.4 Intangible cost atau biaya tak terukur yaitu biaya yang tidak dapat

diraba seperti nyeri, khawatir, atau kesukaran pasien maupun keluarganya. Biaya

ini merupakan hal yang mustahil diperkirakan untuk sistem moneter dan evaluasi

ekonomi. Meskipun demikian ini merupakan hal yang harus diperhatikan oleh

dokter dan pasien.

C. Analisis Biaya

Analisis biaya merupakan metode yang digunakan untuk mengidentifikasi

total penggunaan biaya baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung seperti

biaya obat-obatan, biaya non obat dan biaya terapi. Analisis biaya menunjukkan

total biaya yang dikeluarkan dari terapi yang dijalani. Metode yang digunakan

dalam analisis biaya adalah real cost dengan konsep biaya langsung dan biaya

tidak langsung (Kumar dan Baldi, 2013)

Tujuan dilakukannya analisis biaya adalah mendapatkan gambaran

mengenai unit/bagian yang merupakan pusat biaya (cost center) serta pusat

pendapatan (revenue center), mendapatkan gambaran biaya pada tiap unit

tersebut, baik biaya tetap (fixed cost) atau biaya investasi yang disetahunkan

maupun biaya tidak tetap (variable cost) atau biaya operasional dan pemeliharaan,

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

19

mendapatkan gambaran biaya satuan pelayanan di sarana pelayanan kesehatan

mendapatkan gambaran tariff dengan menggunaakan Break Even Point,

mendapatkan gambaran dan peramalan pendapatan sarana pelayanan kesehatan

(Sulistyorini & Moediarso, 2012).

Manfaat dari dilakukannya analisis biaya yaitu, Pricing informasi biaya

satuan sangat penting dalam penentuan kebijaksanaan tarif rumah sakit. Dengan

diketahuinya biaya satuan (unit cost) dapat diketahui apakah tarif sekarang

merugi, break event, atau menguntungkan. Dan juga dapat diketahui berapa besar

subsidi yang dapat diberikan pada unit pelayanan tersebut misalnya subsidi pada

pelayanan kelas III rumah sakit, Budgeting planning informasi jumlah biaya (total

cost) dari suatu unit produksi dan biaya satuan (unit cost) dari tiap-tiap output

rumah sakit, sangat penting untuk alokasi anggaran dan untuk perencanaan

anggaran, Budgetary control hasil analisis biaya dapat dimanfaatkan untuk

memonitor dan mengendalikan kegiatan operasional rumah sakit. Misalnya

mengidentifikasi pusat-pusat biaya yang strategis dalam upaya efisiensi rumah

sakit, evaluasi dan pertanggung jawaban analisis biaya bermanfaat untuk menilai

performance keuangan rumah sakit secara keseluruhan, sekaligus sebagai

pertanggungan jawaban kepada pihak-pihak berkepentingan (Sulistyorini &

Moediarso, 2012).

Analisis biaya rumah sakit menggambarkan sebuah proses yang tersusun

secara dinamis yang memberikan informasi tentang jumlah biaya dan

penyebarannya pada tiap unit di rumah sakit serta perhitungan biaya satuan

produk layanan dalam rumah sakit. Langkah awal yang dilakukan dalam analisis

biaya kesehatan adalah menggolongkan jenis biaya yang ditanggung oleh pasien

seperti biaya langsung (direct cost), biaya tidak langsung (indirect cost) dan biaya

yang tidak dapat diprediksi (intangible cost) (Kumar dan Baldi, 2013).

D. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)

Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) adalah jaminan berupa

perlindungan kesehatan agar semua lapisan masyarakat dapat memperoleh

manfaat pada segi pemeliharaan dan pelayanan kesehatan yang dikelola dan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

20

diselenggarakan oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosisal) yang

merupakan badan hukum yang dibentuk oleh pemerintah (Khariza, 2015).

Tujuan adanya program JKN ialah pemerataan dan penyediaan pelayanan

kesehatan yang bias diakses oleh semua lapisan masyarakat khususnya bagi

masyarakat miskin dan kurang mampu, sehingga dengan adanya program JKN

dapat mewujudkan masyarakat yang sehat (Khariza, 2015).

Pemerintah bertanggungjawab terhadap pelaksanaan jaminan kesehatan

masyarakat melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bagi kesehatan

perorangan (Kemenkes, 2018). Pada tahun 2004 telah dikeluarkan Undang-

Undang No.40 tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang

menyatakan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh masyarakat, ditujukan untuk

memberikan manfaat berupa pelayanan kesehatan yang komprehensif dan dapat

memenuhi kebutuhan medik yang diperlukan untuk memelihara, memulihkan dan

meningkatkan kesehatan peserta dan anggota keluarganya (Kemenkes, 2018).

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) diselenggarakan secara nasional

berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Dimana prinsip asuransi

sosial meliputi kegotongroyongan antar peserta kaya dan miskin, sehat dan sakit,

tua dan muda, serta yang beresiko tinggi dan rendah. Kepersertaan bersifat wajib

dan tidak selektif. Iuran berdasarkan presentasi upah/penghasilan untuk pekerja

yang menerima upah atau suatu jumlah nominal tertentu pekerja yang tidak

menerima upah. Dikelola dengan prinsip nirlaba, yaitu pengelolaan dan digunakan

sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta dan setiap surplus akan disimpan

sebagai dana cadangan yang digunakan untuk peningkatan manfaat dan kualitas

layanan (Depkes, 2014).

Prinsip ekuitas adalah kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai

dengan kebutuhan medis yang tidak terkait dengan besaran iuran yang telah

dibayarkan. Prinsip ini diwujudkan dengan pembayaran iuran sebesar persentase

tertentu dari upah bagi yang memiliki penghasilan dan pemerintah membayarkan

iuran bagi yang kurang mampu. Kepersertaan wajib berlaku pula bagi pekerja

asing yang bekerja sekurang-kurangnya enam bulan di Indonesia (Depkes, 2014).

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

21

E. INA-CBG’s (Indonesian Case Based Group)

Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah diatur pola

pembayaran kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan adalah dengan INA-

CBG’s sesuai dengan peraturan menteri kesehatan republik Indonesia nomor 64

tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan menteri kesehatan nomor 52 tahun

2016 tentang standar tarif pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program

jaminan kesehatan (Permenkes RI, 2016). INA-CBG’s (Indonesian Case Based

Group) adalah sistem pengelompokan penyakit pasien berdasarkan ciri klinis dan

sumber daya yang digunakan dalam pengobatan sama. Tujuan dari

pengelompokan ini adalah sebagai pembiayaan kesehatan dalam penyelenggaraan

jaminan kesehatan nasional sebagai pola pembayaran prospektif (Kemenkes,

2014).

Sesuai dengan Permenkes no 28 tahun 2014 mengenai Pedoman

Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, BPJS Kesehatan selaku

penyelenggara jaminan, menggunakan 2 sistem pembayaran penyakit untuk

membiayai kesehatan peserta, yaitu dengan sistem Kapitasi dan INA-CBG’s.

Sistem kapitasi adalah metode pembayaran untuk jasa pelayanan kesehatan

dimana Pemberi Pelayanan Kesehatan (dokter atau rumah sakit) menerima

sejumlah tetap penghasilan per peserta, per periode waktu (bulanan), untuk

pelayanan yang telah ditentukan per periode waktu yang berlaku untuk Fasilitas

Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Dokter umum praktek mandiri,

Puskesmas, dan Klinik utama yang bekerjasama dengan BPJS. Sementara untuk

FKRTL, seperti Rumah Sakit, digunakan sistem pembiayaan berdasarkan INA-

CBG’s, suatu sistem pembayaran dengan sistem "paket", berdasarkan penyakit

yang diderita pasien. Dalam sistem jaminan kesehatan nasional (JKN). Nefropati

diabetik termasuk dalam penyakit kronis yang mendapat jaminan dan pelayanan

berobat secara gratis bagi peserta baik di tingkat Fasilitas Kesehatan Tingkat

Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).

Penerapan INA-CBG’s mengatur layanan kesehatan menjadi kelompok-kelompok

yang memiliki arti yang sama. Selain itu, setiap pasien dirawat di rumah sakit

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

22

diklasifikasikan ke dalam kelompok dengan biaya pemeliharaan yang relatif

rendah serta gejala klinis yang sama (PermenKes, 2016).

Konsep INA-CBG’s sebelumnya dikenal dengan nama INA-DRG

(Indonesia Diagnosis Related Group) diterapkan di Indonesia sejak tahun 2006

menggunakan sistem casemix, kemudian diganti menjadi INA-CBG’s pada tahun

2010 dengan melakukan perubahan penggunaan software grouper dari 3M

grouper ke grouper dari United University (UNU Casemix Grouper). Sejak

diimplementasikannya sistem casemix di Indonesia, telah terjadi empat kali

perubahan besaran tarif yaitu tarif INA-DRG tahun 2008, tarif INA-CBG’s tahun

2013, tarif INA-CBG’s 2014 dan tarif INA-CBG’s 2016 (PermenKes, 2016).

Tarif INA-CBG’s merupakan tarif paket yang meliputi seluruh komponen

sumber daya rumah sakit yang digunakan dalam pelayanan baik medis maupun

non medis. Perhitungan tarif INA-CBG’s berbasis pada data costing dan data

koding rumah sakit. Data costing merupakan data biaya yang dikeluarkan oleh

rumah sakit baik operasional maupun investasi, yang didapatkan dari rumah sakit

terpilih yang menjadi representasi rumah sakit. Sedangkan data koding diperoleh

dari data klaim JKN. Tarif INA-CBG’s dikelompokkan ke dalam tujuh kluster

rumah sakit yang terdiri dari tarif RS tipe A, tipe B, tipe C, tipe D, RS Khusus

Rujukan Nasional dan RS Umum Rujukan Nasional (Kemenkes RI, 2014).

Perhitungan tarif INA-CBG’s untuk penyusunan tarif JKN berdasarkan pada data

costing 137 rumah sakit pemerintah dan swasta serta 6 juta data koding (kasus) di

rumah sakit (PermenKes, 2016).

Tarif INA-CBG’s memiliki 1.079 kelompok tarif yang terdiri dari 789

kode grup rawat inap dan 288 kode grup rawat jalan. Pengelompokan INA-CBG’s

didasari acuan ICD-10 (Internasional Statistical Classification of Diseases and

Related Health Problem) untuk diagnosis dan ICD-9-CM (Internasional

Classification of Diseases Revision Clinical Modification) untuk tindakan atau

prosedur (Kemenkes, 2014). Koding sangat menentukan dalam sistem

pembiayaan prospektif yang akan menentukan besarnya biaya yang dibayarkan ke

rumah sakit setiap kelompok kode INA-CBG’s dilambangkan dengan kode

kombinasi alphabet dan numeric. Kode INA-CBG’s dan deskripsinya tidak selalu

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

23

menggambarkan diagnosis tunggal, tetapi bisa merupakan hasil satu diagnosis

ataupun kumpulan diagnosis dan prosedur (Depkes, 2016 a).

Penentuan koding INA-CBG’s ditentukan oleh diagnosis yang dilakukan

dokter yang tercantum dalam rekam medis, selanjutnya dirangkum sehingga

menjadi diagnosis utama dan diagnosis sekunder. Diagnosis utama ialah diagnosis

akhir yang dipilih dokter pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling

banyak menggunakan sumber data atau hari perawatan paling lama. Sedangkan

diagnosis sekunder adalah diagnosis yang menyertai diagnosis utama pada saat

pasien masuk rumah sakit atau yang terjadi selama episode perawatan. Diagnosis

sekunder merupakan komorbid maupun komplikasi (Kemenkes, 2014).

Kegiatan grouping tarif berdasarkan data yang berasal dari resume medis

yang dilakukan menggunakan software INA-CBG’s yang sudah terinstal di rumah

sakit yang melayani peserta JKN. Rumah sakit harus memiliki kode registrasi

yang dikeluarkan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Bina Upaya

Kesehatan, kemudian akan dilakukan aktifasi software INA-CBG’s setiap rumah

sakit sesuai dengan kelas rumah sakit serta regionalisasi.

Proses entri data pasien ke dalam aplikasi INA-CBG’s dilakukan oleh

petugas koder setelah pasien selesai mendapat pelayanan di rumah sakit dengan

menggunakan data resume medis yang berisi informasi klinis (kode ICD-10 dan

ICD-9CM), harus dilengkapi juga data sosial pasien selanjutnya dilakukan

grouping oleh software INA-CBG’s. Selanjutnya akan muncul kode INA-CBG’s

yang akan digunakan untuk melakukan klaim tariff atas pelayanan yang telah

diberikan pada pasien.

Regional tarif INA-CBG’s dikelompokkan menjadi 5 regional yang

bertujuan untuk mengakomodir perbedaan biaya distribusi obat dan alat kesehatan

di Indonesia. Dasar penentuan regionalisasi menggunakan Indeks Harga

Konsumen (IHK) dari Badan Pusat Statistik (BPS. Kesepakatan mengenai

pembagian regional dilaksanakanoleh BPJS Kesehatan dengan Perhimpunan

Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) (Depkes RI, 2016b).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

24

Tabel 4. Daftar regionalisasi tarif INA-CBG’s

I II III IV V

Banten Sumatra Barat NAD Kal. Selatan NTT

DKI Jakarta Riau Sumatra Utara Kal. Tengah Maluku

Jawa Barat Sumatra Selatan Jambi Maluku Utara

Jawa Tengah Lampung Bengkulu Papua

DI Yogyakarta Bali Bangka Belitung Papua Barat

Jawa Timur NTB Kepulauan Riau

Kalimantan Barat

Sulawesi Utara

Sulawesi Tengah

Sulawesi Tenggara

Gorontalo

Sulawesi Barat

Sulawesi Selatan

(Menkes RI, 2016)

Rumah Sakit Umum Daerah Ir. Soekarno Sukoharjo merupakan rumah

sakit tipe B pemerintah yang masuk dalam regional 1. Tarif INA-CBG’s untuk

penyakit nefropati diabetik yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan

Indonesia pada tahun 2016 berdasarkan regional 1 rumah sakit kelas B pemerintah

dengan kode INA-CBG’s N-4-15-I sebesar Rp.2.930.400, N-4-15-II sebesar

Rp.3.748.500 dan N-4-15-III sebesar Rp.4.277.700 masing-masing tarif

diperuntukkan untuk pasien nefropati diabetik kelas 3, N-4-15-I sebesar

Rp.3.516.500, N-4-15-II sebesar Rp.4.498.300 dan N-4-15-III sebesar

Rp.5.133.300 untuk kelas 2 dan N-4-15-I sebesar Rp.4.102.500, N-4-15-II sebesar

Rp.5.248.000 dan N-4-15-III sebesar Rp.5.988.800 untuk kelas 1 (Permenkes RI,

2016).

F. Landasan Teori

Nefropati diabetik merupakan salah satu komplikasi mikrovaskular pada

diabetes melitus. Sindrom klinik yang dialami penderita nefropati diabetik

ditandai dengan laju filtrasi glomerulus, penurunan yang progresif dan tekanan

darah arteri yang meningkat (ADA, 2018). Parameter yang dapat digunakan

sebagai penanda nefropati diabetik adalah kenaikan kadar serum kreatinin

(Hendromartono, 2009) dan kenaikan kadar BUN (Martini et al., 2010). Secara

histologis, tanda dari nefropati diabetik adalah membran basalis yang menebal,

terjadi ekspansi mesangial glomerulus yang akhirnya menyebabkan

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

25

glomerulosklerosis, hyalinosis arteri aferen dan eferen serta fibrosis tubulo

interstitial (Hendromartono, 2009).

Diagnosis stadium klinis nefropati diabetik secara klasik adalah dengan

ditemukannya proteinuria >0,5 gram/hari. Diagnosis klinis nefropati diabetik

sudah dapat ditegakkan apabila didapat makroalbuminuria persisten (albuminuria

>300 mg/24 jam atau 200 microgram/menit). Dikatakan persisten/menetap apabila

dua dari tiga kali pemeriksaan yang dilakukan dalam kurun waktu 6 bulan

memberikan hasil posistif (Roesli et al., 2001). Hasil diagnosis tersebut yang akan

digunakan untuk menentukan pengelompokan diagnosa penyakit yang selanjutnya

akan dilakukan grouping untuk menentukan apakah pasien masuk dalam daftar

paket INA-CBG’s dengan kode N-4-15-I/II/III (Depkes RI, 2016b).

Berdasarkan penelitian Sari (2014) menunjukkan bahwa nilai rata-rata

biaya rumah sakit untuk perawatan pasien diabetes melitus dengan tingkat

keparahan II dan III lebih besar dari tarif INA-CBG’s. Untuk biaya obat/ barang

medik menempati posisi teratas dari biaya total pengobatan pasien diabetes

mellitus dengan tingkat keparahan II sebesar 32,38% dan tingkat keparahan III

sebesar 41,76%. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh

Riewpalboon et al., (2007), dimana biaya obat dan jasa kefarmasian memiliki

persentase sebesar 45% dari total biaya pengobatan. Hal ini terjadi karena

semakin tinggi tingkat keparahan, maka obat yang digunakan akan semakin

banyak tergantung dari banyaknya komorbid yang diderita pasien. Semakin tinggi

tingkat keparahan, maka biaya obat yang dikeluarkan akan semakin meningkat.

Biaya yang digunakan untuk pemeriksaan patologi klinik pada penelitian

Sari (2014) berada pada posisi kedua setelah biaya obat/ barang medik dengan

tingkat keparahan II dan III masing-masing sebesar 23,17% dan 20,85%.

Sedangkan pada penelitian Riewpalboon et al., (2007) menempati urutan ketiga

dari komponen biaya total pasien diabetes di rumah sakit yaitu sebesar 11%.

Besarnya biaya pemeriksaan ini disebabkan karena adanya pemeriksaan serum

kreatinin, BUN/ureum, kadar ion (Na+, K

+, Cl

-) yang sering dilakukan pada pasien

diabetes melitus dengan tingkat keparahan II dan III. Hal ini berkaitan dengan

komplikasi yang dialami yaitu nefropati diabetik, dimana terjadi penurunan dan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

26

kerusakan dari fungsi ginjal sehingga terjadi peningkatan dari kadar serum

kreatinin, BUN (Blood Urea Nitrogen)/ureum dalam darah serta terjadi

ketidakseimbangan kadar elektrolit dalam darah sehingga akan berpengaruh

terhadap besarnya biaya yang digunakan untuk pasien nefropati diabetik (Sari,

2014).

Berdasarkan hasil penelitian Fitri (2015) menunjukkan bahwa faktor

komplikasi dan lama rawat inap menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap

biaya riil pasien diabetes melitus, terdapat perbedaan antara biaya riil dengan tarif

INA-CBGs pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan total biaya riil lebih besar

dibandingkan total tarif paket INA-CBGs. Komplikasi yang dialami pasien

diabetes melitus tipe 2 rawat inap diantaranya nefropati diabetik, neuropati,

multiple complication diabetic dan gangren/ ulcer dengan rata-rata lama rawat

inap lebih dari 10 hari. Tingginya prevalensi dan timbulnya komplikasi pada

penderita diabetes melitus sebagai penyakit tidak menular kronis yang

menimbulkan beban ekonomi yang sangat signifikan bagi pembiayaan kesehatan.

Biaya kesehatan dan pertambahan beban penyakit diabetes mellitus dengan

keparahan komplikasi kronis terutama nefropati diabetik yang terus meningkat

menimbulkan dampak negatif jangka panjang yang cukup besar bagi

pembangunan kesehatan dan pertumbuhan ekononomi nasional. Beban ekonomi

penyakit tersebut menjadi perhatian dari pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional

(JKN). Secara umum pengeluaran kesehatan untuk diabetes mencapai $ 471

milyar atau setara dengan 11,7% dari total pengeluaran kesehatan (ADA, 2018).

Hasil studi finkelstein et al., (2014) memperkirakan ditahun 2020 diabetes melitus

akan meningkatkan beban ekonomi Indonesia mencapai lebih dari $ 1,27 milyar.

Analisis biaya rumah sakit menggambarkan suatu proses yang tersusun

secara dinamis, memberi informasi terkait jumlah biaya dan penyebarannya pada

tiap unit di rumah sakit serta perhitungan biaya suatu layanan medik dalam rumah

sakit. Langkah pertama yang dapat dilakukan ialah dengan menggolongkan jenis

biaya yang ditanggung oleh pasien diantaranya biaya langsung (direct cost), biaya

tidak langsung (indirect cost), dan biaya yang tidak dapat diprediksi (intangible

cost) (Kumar dan Baldi, 2013). Komponen biaya yang akan diukur adalah biaya

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

27

langsung (direct cost) yaitu biaya langsung medis (direct medical cost) dan biaya

langsung non medis (direct nonmedical cost).

Pembiayaan kesehatan merupakan bagian terpenting dalam implementasi

jaminan kesehatan nasional yang telah diatur pola pembayarannya kepada fasilitas

kesehatan tingkat lanjutan dengan paket INA-CBG’s. Tarif paket INA-CBG’s

adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada fasilitas kesehatan

rujukan tingkat lanjutan atas paket layanan yang didasarkan pada penggolongan

diagnosis suatu penyakit dan prosedur tindakan (Depkes RI, 2016a). Dari

pengelompokan diagnosis dan prosedur yang telah dilakukan oleh pasien, maka

untuk penyakit nefropati diabetik dilakukan grouping untuk mengetahui jenis

tingkat keparahan apakah pasien termasuk dalam pasien dengan kode INA-CBG’s

N-4-15-I, N-4-15-II atau N-4-15-III. Hasil grouping ini yang menentukan pasien

mendapatkan biaya paket INA-CBG’s. Dasar pengelompokan dalam INA-CBG’s

menggunakan acuan ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk tindakan atau

prosedur (Depkes RI, 2016b).

INA-CBG’s merupakan pola pembayaran yang digunakan oleh BPJS

Kesehatan kepada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan yang dijelaskan pada

kemiripan diagnosis dan prosedur, sehingga dengan sistem tersebut dapat dicapai

upaya kesehatan yang lebih efektif dalam meningkatkan sumber daya kesehatan.

Biaya paket INA-CBG’s dengan biaya riil sering menimbulkan selisih, hal ini

menjadi masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program BPJS. Berdasarkan

pengamatan terhadap klaim pelayanan pasien peserta JKN, besaran klaim yang

menggunakan paket INA-CBG’s berbeda dengan biaya riil yang dikeluarkan oleh

pihak rumah sakit, lebih besar biaya riil dibandingkan dengan paket INA-CBG’s

(Sari, 2014).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nefropati Diabetik 1 ...repository.setiabudi.ac.id/3423/1/BAB II.pdftanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus seperti dialysis dan cangkok ginjal

28

G. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

H. Hipotesis

1. Terdapat perbedaan antara biaya riil dengan tarif INA-CBG’s pada terapi

pasien nefropati diabetik rawat inap di RSUD Ir.Soekarno Sukoharjo tahun

2018.

2. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biaya riil dengan tarif INA-CBG’s

pada terapi pasien nefropati diabetik rawat inap di RSUD Ir.Soekarno

Sukoharjo diantaranya umur, lama rawat inap dan kelas perawatan.

Pasien JKN Nefropati Diabetik

- Diagnosa primer

- Diagnosa sekunder

- Prosedur

- Umur

- LOS (Length of Stay)

- Kelas perawatan

Biaya medis langsung:

- IGD

- Biaya rawat inap

- Biaya tindakan medis

- Biaya pemeriksaan penunjang

- Obat/ barang medik

- Biaya lain-lain

Jenis (grouping)

tingkat keparahan

Biaya paket

INA-CBG’s Biaya riil