indeks harga saham
DESCRIPTION
hargaTRANSCRIPT
INDEKS HARGA SAHAM
A. INDEKS HARGA SAHAM
Indeks harga saham adalah indikator atau cerminan pergerakan harga saham. Indeks
merupakan salah satu pedoman bagi investor untuk melakukan investasi di pasar modal,
khususnya saham.
Saat ini Bursa Efek Indonesia memiliki 11 jenis indeks harga saham, yang secara terus
menerus disebarluaskan melalui media cetak maupun elektronik.
Indeks-indeks tersebut adalah:
1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Menggunakan semua Perusahaan Tercatat sebagai komponen perhitungan Indeks.
Agar IHSG dapat menggambarkan keadaan pasar yang wajar, Bursa Efek Indonesia
berwenang mengeluarkan dan atau tidak memasukkan satu atau beberapa Perusahaan
Tercatat dari perhitungan IHSG. Dasar pertimbangannya antara lain, jika jumlah
saham Perusahaan Tercatat tersebut yang dimiliki oleh publik (free float) relatif kecil
sementara kapitalisasi pasarnya cukup besar, sehingga perubahan harga saham
Perusahaan Tercatat tersebut berpotensi mempengaruhi kewajaran pergerakan IHSG.
IHSG adalah milik Bursa Efek Indonesia. Bursa Efek Indonesia tidak bertanggung jawab atas
produk yang diterbitkan oleh pengguna yang mempergunakan IHSG sebagai acuan
(benchmark). Bursa Efek Indonesia juga tidak bertanggung jawab dalam bentuk apapun atas
keputusan investasi yang dilakukan oleh siapapun Pihak yang menggunakan IHSG sebagai
acuan (benchmark).
a. Indeks Sektoral
Menggunakan semua Perusahaan Tercatat yang termasuk dalam masing-masing
sektor. Sekarang ini ada 10 sektor yang ada di BEI yaitu sektor Pertanian,
Pertambangan, Industri Dasar, Aneka Industri, Barang Konsumsi, Properti,
Infrastruktur, Keuangan, Perdangangan dan Jasa, dan Manufatur.
b. Indeks LQ45
Indeks yang terdiri dari 45 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan
pertimbangan likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang sudah
ditentukan. Review dan penggantian saham dilakukan setiap 6 bulan.
c. Jakarta Islmic Index (JII)
Indeks yang menggunakan 30 saham yang dipilih dari saham-saham yang masuk
dalam kriteria syariah (Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Bapepam-LK)
dengan mempertimbangkan kapitalisasi pasar dan likuiditas.
d. Indeks Kompas100
Indeks yang terdiri dari 100 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan
pertimbangan likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang sudah
ditentukan. Review dan penggantian saham dilakukan setiap 6 bulan.
e. Indeks BISNIS-27
Kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan harian Bisnis Indonesia meluncurkan
indeks harga saham yang diberi nama Indeks BISNIS-27. Indeks yang terdiri dari 27
saham Perusahaan Tercatat yang dipilih berdasarkan kriteria fundamental, teknikal
atau likuiditas transaksi dan Akuntabilitas dan tata kelola perusahaan.
f. Indeks PEFINDO25
Kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan lembaga rating PEFINDO
meluncurkan indeks harga saham yang diberi nama Indeks PEFINDO25. Indeks ini
dimaksudkan untuk memberikan tambahan informasi bagi pemodal khususnya untuk
saham-saham emiten kecil dan menengah (Small Medium Enterprises / SME). Indeks
ini terdiri dari 25 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih dengan mempertimbangkan
kriteria-kriteria seperti: Total Aset, tingkat pengembalian modal (Return on Equity /
ROE) dan opini akuntan publik. Selain kriteria tersebut di atas, diperhatikan juga
faktor likuiditas dan jumlah saham yang dimiliki publik.
g. Indeks SRI-KEHATI
Indeks ini dibentuk atas kerja sama antara Bursa Efek Indonesia dengan Yayasan
Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). SRI adalah kependekan dari
Sustainable Responsible Investment. Indeks ini diharapkan memberi tambahan
informasi kepada investor yang ingin berinvestasi pada emiten-emiten yang memiliki
kinerja sangat baik dalam mendorong usaha berkelanjutan, serta memiliki kesadaran
terhadap lingkungan dan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik.
Indeks ini terdiri dari 25 saham Perusahaan Tercatat yang dipilih dengan
mempertimbangkan kriteri-kriteria seperti: Total Aset, Price Earning Ratio(PER)
dan Free Float.
Indeks Papan Utama
Menggunakan saham-saham Perusahaan Tercatat yang masuk dalam Papan Utama.
Indeks Papan Pengembangan
Mengguanakn saham-saham Perusahaan Tercatat yang masuk dalam Papan
Pengembangan.
Indeks Individual
Indeks harga saham masing-masing Perusahaan Tercatat.
B. INDEK OBLIGASI NEGARA (INDONESIA GOVERNMENT BOND INDEX -
IGBX)
Indeks Obligasi Negara pertama kali diluncurkan pada tanggal 01 Juli 2004 dengan
nama Indonesia Government Bond Index disingkat IGBX, sebagai wujud pelayanan kepada
masyarakat pasar modal dalam memperoleh data sehubungan dengan informasi perdagangan
obligasi negara.
Indeks Obligasi memberikan nilai lebih, antara lain:
Sebagai barometer dalam melihat perubahan yang terjadi di pasar obligasi
Sebagai alat analisa teknikal untuk pasar obligasi pemerintah
Benchmark dalam mengukur kinerja portofolio obligasi
Analisa pengembangan instrumen Surat Berharga Negara (SBN).
Indeks obligasi Negara diterbitkan secara harian dengan menggunakantahun dasar Juni 2004
yang ditetapkan 100 sebagai nilai dasar Index. dengan melakukan pengelompokan obligasi
sebagai berikut :
1. Obligasi Negara dengan mata uang rupiah dan memiliki kupon berbunga tetap
2. Sisa jangka waktu jatuh tempo sekurang-kurangnya 1 tahun
Metodologi yang dipakai dalam IGBX
Indeks Obligasi Negara adalah nilai rata-rata tertimbang (weigthed average) terhadap nilai
obligasi yang masih tercatat dan dapat diperdagangkan. Perhitungan IGBX menggunakan
metode perhitungan Bond Index yang lazim digunakan dengan berdasarkan perubahan harga
pasar yang terjadi di pasar secara harian (dalam hal ini adalah data harga transaksi Obligasi
Negara yang dilaporkan melalui PT Bursa Efek Indonesia selaku Penerima Laporan
Transaksi Efek).
IGBX dikelompokkan dalam beberapa sub-grup, di mana masing-masing sub grup terdiri atas
beberapa Obligasi Negara yang memiliki struktur jatuh termpo lebih dari 1 tahun.
Pengelompokan dilakukan berdasarkan uji statistik berdasarkan pada tingkat kemiripan
setiap Time To Maturity (TTM).
Pembagian struktur jatuh tempo SUN adalah sebagai berikut:
Sub-grup 1 : 1 Tahun ≤ Time to maturity < 5 Tahun
Sub-grup 2 : 5 Tahun ≤ Time to maturity < 7 Tahun
Sub-grup 3 : 7 Tahun ≤ Time to maturity
Indeks Harga Saham Gabungan (disingkat IHSG, dalam Bahasa Inggris disebut
juga Jakarta Composite Index, JCI, atau JSX Composite) merupakan salah satu indeks pasar
saham yang digunakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI; dahulu Bursa Efek Jakarta (BEJ)).
Diperkenalkan pertama kali pada tanggal 1 April 1983, sebagai indikator pergerakan harga
saham di BEJ, Indeks ini mencakup pergerakan harga seluruh saham biasa dan saham
preferen yang tercatat di BEI. Hari Dasar untuk perhitungan IHSG adalah tanggal10
Agustus 1982. Pada tanggal tersebut, Indeks ditetapkan dengan Nilai Dasar 100 dan saham
tercatat pada saat itu berjumlah 13 saham.[1]
Posisi intraday tertinggi yang pernah dicapai IHSG adalah 5.251,296 poin yang tercatat pada
tanggal 21 Mei 2013 [2]. Sementara posisi penutupan tertinggi yang pernah dicapai adalah
5.214,976 pada tanggal 20 Mei 2013. [
Metode perhitungan[sunting | sunting sumber]
Dasar perhitungan IHSG adalah jumlah Nilai Pasar dari total saham yang tercatat pada
tanggal 10 Agustus 1982. Jumlah Nilai Pasar adalah total perkalian setiap saham tercatat
(kecuali untuk perusahaan yang berada dalam program restrukturisasi) dengan harga di BEJ
pada hari tersebut. Formula perhitungannya adalah sebagai berikut:
dimana p adalah Harga Penutupan di Pasar Reguler, x adalah Jumlah Saham,
dan d adalah Nilai Dasar.
Perhitungan Indeks merepresentasikan pergerakan harga saham di pasar/bursa yang terjadi
melalui sistem perdagangan lelang. Nilai Dasar akan disesuaikan secara cepat bila terjadi
perubahan modal emiten atau terdapat faktor lain yang tidak terkait dengan harga saham.
Penyesuaian akan dilakukan bila ada tambahan emiten baru, HMETD (right
issue), partial/company listing, waran dan obligasi konversi demikian juga delisting. Dalam
hal terjadi stock split, dividen saham atau saham bonus, Nilai Dasar tidak disesuaikan karena
Nilai Pasar tidak terpengaruh. Harga saham yang digunakan dalam menghitung IHSG adalah
harga saham di pasar reguler yang didasarkan pada harga yang terjadi berdasarkan sistem
lelang.[1]
Perhitungan IHSG dilakukan setiap hari, yaitu setelah penutupan perdagangan setiap harinya.
Dalam waktu dekat, diharapkan perhitungan IHSG dapat dilakukan beberapa kali atau bahkan
dalam beberapa menit, hal ini dapat dilakukan setelah sistem perdagangan otomasi
diimplementasikan dengan baik.[
APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi
daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara
selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, perubahan APBN, dan
pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang.
Dasar Hukum APBN
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan dasar hukum yang paling tinggi dalam struktur
perundang-undangan di Indonesia. Oleh karena itu pengaturan mengenai keuangan negara
selalu didasarkan pada undang-undang ini, khususnya dalam bab VIII Undang-Undang Dasar
1945 Amandemen IV pasal 23 mengatur tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN).
“ Bunyi pasal 23:
ayat (1): Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan
keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan
secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
ayat (2): Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara
diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.
ayat (3): “Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah
menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu”.
”
Struktur APBN
Secara garis besar struktur APBN adalah :
Pendapatan Negara dan Hibah,
Belanja Negara ,
Keseimbangan Primer,
Surplus/Defisit Anggaran,
Pembiayaan .
Struktur APBN dituangkan dalam suatu format yang disebut I-account. Dalam beberapa hal,
isi dari I-account sering disebut postur APBN. Beberapa faktor penentu postur APBN antara
lain dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pendapatan Negara
\
Pendapatan negara 2004 s.d 2015
Besaran pendapatan negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
indikator ekonomi makro yang tercermin pada asumsi dasar makro ekonomi;
kebijakan pendapatan negara;
kebijakan pembangunan ekonomi;
perkembangan pemungutan pendapatan negara secara umum;
kondisi dan kebijakan lainnya.
Contohnya, target penerimaan negara dari SDA migas turut dipengaruhi oleh besaran asumsi
lifting minyak bumi, lifting gas, ICP, dan asumsi nilai tukar. Target penerimaan perpajakan
ditentukan oleh target inflasi serta kebijakan pemerintah terkait perpajakan seperti perubahan
besaran pendapatan tidak kena pajak (PTKP), upaya ekstensifikasi peningkatan jumlah wajib
pajak dan lainnya.
Penerimaan Perpajakan
Pendapatan Pajak Dalam Negeri
1. pendapatan pajak penghasilan (PPh)
2. pendapatan pajak pertambahan nilai dan jasa dan pajak penjualan atas barang
mewah
3. pendapatan pajak bumi dan bangunan
4. pendapatan cukai
5. pendapatan pajak lainnya
Pendapatan Pajak Internasional
1. pendapatan bea masuk
2. pendapatan bea keluar
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP
Penerimaan sumber daya alam
1. penerimaan sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi (SDA migas)
2. penerimaan sumber daya alam non-minyak bumi dan gas bumi (SDA nonmigas)
Pendapatan bagian laba BUMN
1. pendapatan laba BUMN perbankan
2. pendapatan laba BUMN non perbankan
PNBP lainnya
1. pendapatan dari pengelolaan BMN
2. pendapatan jasa
3. pendapatan bunga
4. pendapatan kejaksaan dan peradilan dan hasil tindak pidana korupsi
5. pendapatan pendidikan
6. pendapatan gratifikasi dan uang sitaan hasil korupsi
7. pendapatan iuran dan denda
pendapatan BLU
1. pendapatan jasa layanan umum
2. pendapatan hibah badan layanan umum
3. pendapatan hasil kerja sama BLU
4. pendapatan BLU lainnya
Belanja Negara
Subsidi 2004 s.d 2015
Besaran belanja negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
asumsi dasar makro ekonomi;
kebutuhan penyelenggaraan negara;
kebijakan pembangunan;
resiko (bencana alam, dampak kirisi global)
kondisi dan kebijakan lainnya.
Contohnya, besaran belanja subsidi energi dipengaruhi oleh asumsi ICP, nilai tukar, serta
target volume BBM bersubsidi.
Belanja Pemerintah Pusat
Belanja pemerintah pusat menurut fungsi adalah :
1. fungsi pelayanan umum
2. fungsi pertahanan
3. fungsi ketertiban dan keamanan
4. fungsi ekonomi
5. fungsi lingkungan hidup
6. fungsi perumahan dan fasilitas umum
7. fungsi kesehatan
8. fungsi pariwisata
9. fungsi agama
10.fungsi pendidikan
11.fungsi perlindungan sosial
Belanja Pemerintah Pusat menurut jenis adalah
1. belanja pegawai
2. belanja barang
3. belanja modal
4. pembayaran bunga utang
5. subsidi
6. belanja hibah
7. bantuan sosial
8. belanja lain-laiN
9. Transfer ke Daerah Transfer ke daerah dan dana desa 2004 s.d 2015
Rincian anggaran transfer ke daerah adalah :
Dana Perimbangan
1. Dana Bagi Hasil
2. Dana Alokasi Umum
3. Dana Alokasi Khusus
4. Dana Otonomi Khusus
Dana Otonomi Khusus
Dana Penyesuaian
Pembiayaan
Besaran pembiayaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:
asumsi dasar makro ekonomi;
kebijakan pembiayaan;
kondisi dan kebijakan lainnya.
Pembiayaan Dalam Negeri
Pembiayaan Dalam Negeri meliputi :
Pembiayaan perbankan dalam negeri
Pembiayaan nonperbankan dalam negeri
1. Hasil pengelolaan aset
2. Surat berharga negara neto
3. Pinjaman dalam negeri neto
4. Dana investasi pemerintah
5. Kewajiban penjaminan
Pembiayaan Luar Negeri]
Pembiayaan Luar Negeri meliputi :
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri, terdiri atas Pinjaman Program dan Pinjaman Proyek
2. Penerusan pinjaman
3. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri, terdiri atas Jatuh Tempo dan
Moratorium.
Asumsi Dasar Ekonomi Makro APBN
Asumsi dasar ekonomi makro sangat berpengaruh pada besaran komponen dalam struktur
APBN. Asumsi dasar tersebut adalah :
pertumbuhan ekonomi ,
nominal produk domestik bruto,
inflasi y-o-y,
rata-rata tingkat bunga SPN 3 bulan,
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS,
harga minyak (USD/barel),
produksi/lifting minyak (MBPD),
lifting gas (MBOEPD),
Indikator lainnya :
jumlah penduduk
pendapatan perkapita
tingkat kemiskinan
tingkat pengangguran
Siklus APBN
Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah rangkaian kegiatan dalam
proses penganggaran yang dimulai pada saat anggaran negara mulai disusun sampai dengan
perhitungan anggaran disahkan dengan undang-undang[1]. Ada 5 tahapan pokok dalam satu
siklus APBN di Indonesia. Dari kelima tahapan itu, tahapan ke-2 (kedua) dan ke-5 (kelima)
dilaksanakan bukan oleh pemerintah, yaitu masing-masing tahap kedua
penetapan/persetujuan APBN dilaksanakan oleh DPR (lembaga legislatif), dan tahap kelima
pemeriksaan dan pertanggungjawaban dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sedangkan tahapan lainnya dilaksanakan oleh pemerintah. Tahapan kegiatan dalam siklus
APBN adalah sebagai berikut:
Perencanaan dan penganggaran APBN[sunting | sunting sumber]
Tahapan ini dilakukan pada tahun sebelum anggaran tersebut dilaksanakan (APBN t-1) misal
untuk APBN 2014 dilakukan pada tahun 2013 yang meliputi dua kegiatan yaitu, perencanaan
dan penganggaran. Tahap perencanaan dimulai dari:
penyusunan arah kebijakan dan prioritas pembangunan nasional
Kementerian Negara/Lembaga (K/L) melakukan evaluasi pelaksanaan program dan
kegiatan pada tahun berjalan, menyusun rencana inisiatif baru dan indikasi kebutuhan
anggaran
Kementerian Perencanaan dan Kementerian Keuangan mengevaluasi pelaksanaan
program dan kegiatan yang sedang berjalan dan mengkaji usulan inisiatif baru
berdasarkan prioritas pembangunan serta analisa pemenuhan kelayakan dan efisiensi
indikasi
kebutuhan dananya
Pagu indikatif dan rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah ditetapkan;
K/L menyusun rencana kerja (Renja);
Pertemuan tiga pihak (trilateral meeting) dilaksanakan antara K/L, Kementerian
Perencanaan, dan Kementerian Keuangan;
Rancangan awal RKP disempurnakan;
RKP dibahas dalam pembicaraan pendahuluan antara Pemerintah dengan DPR; (9) RKP
ditetapkan.
Tahap penganggaran dimulai dari:
penyusunan kapasitas fiskal yang menjadi bahan penetapan pagu indikatif;
penetapan pagu indikatif (3) penetapan pagu anggaran K/L;
penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran K/L (RKA-K/L);
penelaahan RKA-K/L sebagai bahan penyusunan nota keuangan dan rancangan undang-
undang tentang APBN;
penyampaian Nota Keuangan, Rancangan APBN, dan Rancangan UU tentang APBN
kepada DPR.
Penetapan/Persetujuan APBN
Kegiatan penetapan/persetujuan ini dilakukan pada APBN t-1, sekitar bulan Oktober-
Desember. Kegiatan dalam tahap ini berupa pembahasan Rancangan APBN dan Rancangan
Undang-undang APBN serta penetapannya oleh DPR. Selanjutnya berdasarkan
persetujuan DPR, Rancangan UU APBN ditetapkan menjadi UU APBN. Penetapan UU
APBN ini diikuti dengan penetapan Keppres mengenai rincian APBN sebagai lampiran UU
APBN dimaksud.
Pelaksanaan APBN
Jika tahapan kegiatan ke-1 dan ke-2 dilaksanakan pada APBN t-1, kegiatan pelaksanaan
APBN dilaksanakan mulai 1 Januari - 31 Desember pada tahun berjalan (APBN t). Dengan
kata lain, pelaksanaan tahun anggaran 2014 akan dilaksanakan mulai 1 Januari 2014 - 31
Desember 2014.Kegiatan pelaksanaan APBN dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
kementerian/lembaga (K/L). K/L mengusulkan konsep Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) berdasarkan Keppres mengenai rincian APBN dan menyampaikannya ke
Kementerian Keuangan untuk disahkan. DIPA adalah alat untuk melaksanakan APBN.
Berdasarkan DIPA inilah para pengelola anggaran K/L (Pengguna Anggaran, Kuasa
Pengguna Anggaran, dan Pembantu Pengguna Anggaran) melaksanakan berbagai macam
kegiatan sesuai tugas dan fungsi instansinya.
Pelaporan dan Pencatatan APBN[sunting | sunting sumber]
Tahap pelaporan dan pencatatan APBN dilaksanakan bersamaan dengan tahap pelaksanaan
APBN, 1 Januari-31 Desember. Laporan keuangan pemerintah dihasilkan melalui proses
akuntansi, dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi keuangan pemerintah yang terdiri
dari Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca, dan Laporan Arus Kas, serta catatan atas
laporan keuangan.
Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban APBN[sunting | sunting sumber]
Tahap terakhir siklus APBN adalah tahap pemeriksanaan dan pertanggungjawaban yang
dilaksanakan setelah tahap pelaksanaan berakhir (APBN t+1), sekitar bulan Januari - Juli.
Contoh, jika APBN dilaksanakan tahun 2013, tahap pemeriksaan dan
pertanggungjawabannya dilakukan pada tahun 2014. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
Untuk pertanggungjawaban pengelolaan dan pelaksanaan APBN secara keseluruhan selama
satu tahun anggaran, Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah
diperiksa BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Fungsi APBN[sunting | sunting sumber]
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam
rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian,
dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum.
APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan
negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya.
Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian,
pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman
bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan
telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk
medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan
membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah
dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan
dengan lancar.
Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan
pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas
perekonomian.
Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan
Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk
memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Prinsip penyusunan APBN[sunting | sunting sumber]
Berdasarkan aspek pendapatan, prinsip penyusunan APBN ada tiga, yaitu:
Intensifikasi penerimaan anggaran dalam jumlah dan kecepatan penyetoran.
Intensifikasi penagihan dan pemungutan piutang negara.
Penuntutan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara dan penuntutan denda.
Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah:
Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.
Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.
Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan
kemampuan atau potensi nasional.
Azas penyusunan APBN[sunting | sunting sumber]
APBN disusun dengan berdasarkan azas-azas:
Kemandirian, yaitu meningkatkan sumber penerimaan dalam negeri.
Penghematan atau peningkatan efesiensi dan produktivitas.
Penajaman prioritas pembangunan
Menitik beratkan pada azas-azas dan undang-undang negara
Daftar Ringkasan APBN[sunting | sunting sumber]
Tahun Anggaran Pendapatan Negara Belanja Negara Surplus / Defisit
2015
APBN-P [2] ▼ Rp1.761,6 triliun ▼ Rp1.984,1 triliun ▼ Rp222,5 triliun
APBN [3] ▲ Rp1.793,6 triliun ▲ Rp2.039,5 triliun ▲ Rp245,9 triliun
2014
APBN-P [4] ▼ Rp1.635,4 triliun ▲ Rp1.876,9 triliun ▲ Rp241,5 triliun
APBN [5] ▲ Rp1.667,1 triliun ▲ Rp1.842,5 triliun ▼ Rp175,4 triliun
2013
APBN-P [6] ▼ Rp1.502,0 triliun ▲ Rp1.726,2 triliun ▲ Rp224,2 triliun
APBN[7] ▲ Rp1.529,7 triliun ▲ Rp1.683,0 triliun ▼ Rp153,3 triliun
Tahun Anggaran Pendapatan Negara Belanja Negara Surplus / Defisit
2012
APBN-P [8] ▲ Rp1.358,2 triliun ▲ Rp1.548,3 triliun ▲ Rp190,1 triliun
APBN [9] ▲ Rp1.311,4 triliun ▲ Rp1.435,4 triliun ▼ Rp124,0 triliun
2011
APBN-P [10] ▲ Rp1.169,9 triliun ▲ Rp1.320,8 triliun ▲ Rp150,8 triliun
APBN [11] ▲ Rp1.104,9 triliun ▲ Rp1.229,6 triliun ▼ Rp124,7 triliun
2010
APBN-P[12] ▲ Rp992,4 triliun ▲ Rp1.126,1 triliun ▲ Rp133,8 triliun
APBN[13] ▲ Rp949,7 triliun ▲ Rp1.047,7 triliun ▼ Rp98,0 triliun
2009
APBN-P [14] ▼ Rp871,0 triliun ▼ Rp1.000,8 triliun ▲ Rp129,8 triliun
APBN[15] ▲ Rp985,7 triliun ▲ Rp1.037,1 triliun ▼ Rp51,3 triliun
2008
APBN-P [16] ▲ Rp895,0 triliun ▲ Rp989,5 triliun ▲ Rp94,5 triliun
APBN[17] ▲ Rp781,4 triliun ▲ Rp854,7 triliun ▲Rp73,3 triliun
PASKA PROKLAMASI
pemerintahan masa orde lama, orde baru, reformasi, dan otonomi daerah
June 30, 2013 by ariando
A. Masa pemerintahan orde lama
Orde Lama adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soekarno di Indonesia.Orde
Lama berlangsung dari tahun 1945 hingga 1968.Dalam jangka waktu tersebut,
Indonesiamenggunakan bergantian sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi komando.Di
saat menggunakan sistem ekonomiliberal, Indonesia menggunakan. Presiaden Soekarno di
gulingkan waktu Indonesia menggunakan sistem ekonomi komando.
Pada 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Soekarno
sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan menggunakan
konstitusi yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara hingga pemilu dapat dilaksanakan.
Kelompok ini mendeklarasikan pemerintahan baru pada 31 Agustus dan menghendaki
Republik Indonesia yang terdiri dari 8 provinsi: Sumatra,Kalimantan (tidak termasuk wilayah
Sabah, Sarawak dan Brunei), Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sulawesi, Maluku (termasuk Papua) dan Nusa Tenggara.
Pada masa sesudah kemerdekaan, Indonesia menganut sistem multi partai yang ditandai
dengan hadirnya 25 partai politik. Hal ini ditandai dengan Maklumat Wakil Presiden No. X
tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945. Menjelang
Pemilihan Umum 1955 yang berdasarkan demokrasi liberal bahwa jumlah parpol meningkat
hingga 29 parpol dan juga terdapat peserta perorangan. Pada masa diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, sistem kepartaian Indonesia dilakukan penyederhanaan dengan Penpres
No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No. 13 Tahun 1960 yang mengatur tentang pengakuan,
pengawasan dan pembubaran partai-partai. Kemudian pada tanggal 14 April 1961
diumumkan hanya 10 partai yang mendapat pengakuan dari pemerintah, antara lain adalah
sebagai berikut: PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai Katholik, PERTI MURBA dan
PARTINDO. Namun, setahun sebelumnya pada tanggal 17 Agustus 1960, PSI dan Masyumi
dibubarkan.
Dengan berkurangnya jumlah parpol dari 29 parpol menjadi 10 parpol tersebut, hal ini tidak
berarti bahwa konflik ideologi dalam masyarakat umum dan dalam kehidupan politik dapat
terkurangi. Untuk mengatasi hal ini maka diselenggarakan pertemuan parpol di Bogor pada
tanggal 12 Desember 1964 yang menghasilkan “Deklarasi Bogor.”
Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai
Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik
paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno
dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat
itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalamPolitik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik
menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam
penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung
demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung
sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS
1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu
konfigurasi politik yang demokratis. Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai
politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke
arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden
Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin
merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh
partai-partai politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik,
Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980. Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang
seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya telah
beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap
berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini
mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah
Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi
kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak
desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad
Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan
Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu
Bung Hatta, silahkan baca sendiri, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh
pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu percayanya
Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun 1949, ia meminta agar Mohammad Hatta
selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang
bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat
dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat
diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan
lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya. Konflik ini mencapai puncaknya.
Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin
pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di
Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan Konsepsi Presiden, yang pada pokoknya
berisi:
Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh
karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang
angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang
ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan
Kabinet Kaki Empat yang mengandung arti bahwa keempat partai besar, yakni PNI,
Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di
dalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam
masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet,
baik diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai
meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia
tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi
yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan
dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan
alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung
Hatta, ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi,
sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan
terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah
sikap. Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan
pendapat Soekarno.
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno
menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956,
Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada
DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta sebagai
Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak
mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap
menjaga persahabatan yang telah mereka jalin sejak lama.
Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden.
Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak
politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara
Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan pendekatan Mohammad HattaÂ
yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah
terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an.
Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai
sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi
Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif
kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas “Masalah
Dwitunggal Soekarno-Hatta Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan
mosi mengenai “Pemulihan Kerjasama Dwitunggal Soekarno-Hatta. DPR kemudian
menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari “bentuk kerjasama
Soekarno-Hatta. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957 dan dikenal sebagai
Panitia Sembilan?, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan ini
dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat
Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan
dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut Dwitunggal. Pelaksanaan konsep
Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden
menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden
adalah sebagai Pembantu Presiden? serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden
berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik
ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini,
Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan
perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945;
Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat
Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang
Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan
Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem
parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta
pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan
oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian
jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep Dwitunggal, maka
tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Demokrasi parlementer Tidak lama setelah itu, Indonesia mengadopsi undang-undang
baru yang terdiri dari sistem parlemen di mana dewan eksekutifnya dipilih oleh dan
bertanggung jawab kepada parlemen atau MPR. MPR terbagi kepada partai-partai politik
sebelum dan sesudah pemilu pertama pada tahun 1955, sehingga koalisi pemerintah yang
stabil susah dicapai. Peran Islam di Indonesia menjadi hal yang rumit. Soekarno lebih
memilih negara sekuler yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim
lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang berisi sebuah bagian yang
menyaratkan umat Islam takluk kepada hukum Islam. Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan yang gagal di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau lainnya yang
dimulai sejak 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan konstitusi baru,
melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada 959 ketika
Presiden Soekarno secara unilateral membangkitkan kembali konstitusi 1945 yang bersifat
sementara, yang memberikan kekuatan presidensil yang besar, dia tidak menemui banyak
hambatan.
Dari 1959 hingga 1965, Presiden Soekarno berkuasa dalam rezim yang otoriter di bawah
label “Demokrasi Terpimpin“. Dia juga menggeser kebijakan luar negeri Indonesia menuju
non-blok, kebijakan yang didukung para pemimpin penting negara-negara bekas jajahan yang
menolak aliansi resmi dengan Blok Barat maupun Blok Uni Soviet. Para pemimpin tersebut
berkumpul di Bandung,Jawa Barat pada tahun 1955 dalam KTT Asia-Afrika untuk
mendirikan fondasi yang kelak menjadiGerakan Non-Blok. Pada akhir 1950-an dan
awal 1960-an, Soekarno bergerak lebih dekat kepada negara-negara komunis Asia dan
kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meski PKI merupakan partai
komunis terbesar di dunia di luar Uni Soviet dan China, dukungan massanya tak pernah
menunjukkan penurutan ideologis kepada partai komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia Soekarno menentang pembentukan Federasi Malaysia dan
menyebut bahwa hal tersebut adalah sebuah “rencana neo-kolonial” untuk mempermudah
rencana komersial Inggris di wilayah tersebut. Selain itu dengan pembentukan Federasi
Malaysia, hal ini dianggap akan memperluas pengaruhimperialisme negara-negara Barat di
kawasan Asia dan memberikan celah kepada negara Inggris dan Australia untuk
mempengaruhi perpolitikan regional Asia. Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui
kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB,
presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri negara Indonesia dari keanggotaan PBB
pada tanggal 20 Januari 1965 dan mendirikan Konferensi Kekuatan Baru (CONEFO) sebagai
tandingan PBB dan GANEFOsebagai tandingan Olimpiade. Pada tahun itu juga konfrontasi
ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara pasukan Indonesia dan Malaysia (yang
dibantu oleh Inggris).
Nasib Irian Barat Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaan
terhadap belahan baratpulau Nugini (Papua), dan mengizinkan langkah-langkah menuju
pemerintahan-sendiri dan pendeklarasian kemerdekaan pada 1 Desember 1961.
Negosiasi dengan Belanda mengenai penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal,
dan pasukan penerjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum
kemudian terjadi pertempuran antara pasukan Indonesia dan Belanda pada 1961 dan 1962.
Pada 1962 Amerika Serikat menekan Belanda agar setuju melakukan perbincangan rahasia
dengan Indonesia yang menghasilkanPerjanjian New York pada Agustus 1962, dan Indonesia
mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jayapada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September Hingga 1965, PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang
dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezimnya dan, dengan persetujuan
dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan
mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam
upayakudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana yang loyal kepada PKI. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto, menumpas kudeta tersebut dan
berbalik melawan PKI. Soeharto lalu menggunakan situasi ini untuk mengambil alih
kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang-orang yang dituduh komunis kemudian dibunuh.
Jumlah korban jiwa pada 1966 mencapai setidaknya 500.000; yang paling parah terjadi
di Jawa dan Bali.
B. Masa pemerintahan orde baru
Orde Baru dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung pada Juni-Juli 1966.
diantara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah mengukuhkan Supersemar dan
melarang PKI berikut ideologinya tubuh dan berkembang di Indonesia. Menyusul PKI
sebagai partai terlarang, setiap orang yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan.
Sebagian diadili dan dieksekusi, sebagian besar lainnya diasingkan ke pulau Buru.[8] Pada
masa Orde Baru pula pemerintahan menekankan stabilitas nasional dalam program politiknya
dan untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu diawali dengan apa yang disebut
dengan konsensus nasional. Ada dua macam konsensus nasional, yaitu :
a) Pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah dan masyarakat untuk melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut
juga dengan konsensus utama.
b) Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-cara melaksanakan
konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai lanjutan dari konsensus
utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Konsensus kedua lahir antara
pemerintah dan partai-partai politik dan masyarakat. Setelah Kabinet Ampera
terbentuk (25 Juli 1966). Menyusul tekad membangun dicanangkan UU Penanaman
Modal Asing (10 Januari 1967), kemudian Penyerahan Kekuasaan Pemerintah RI dari
Soekarno kepada Mandataris MPRS (12 Februari 1967), lalu disusul pelantikan
Soeharto (12 Maret 1967) sebagai Pejabat Presiden sungguh merupakan kebahagiaan
tersendiri bagi Gerakan Pemuda Ansor. Luapan kegembiraan itu tercermin dalam
Kongres VII GP Ansor di Jakarta. Ribuan utusan yang hadir seolah tak kuat
membendung kegembiraan atas runtuhnya pemerintahan Orde Lama, dibubarkannya
PKI dan diharamkanya komunisme, Marxisme dan Leninisme di bumi Indonesia.
Bukan berarti tak ada kekecewaan, justru dalam kongres VII itulah, rasa tak puas dan
kecewa terhadap perkembangan politik pasca Orla ramai diungkapkan. Seperti
diungkapkan Ketua Umum GP Ansor Jahja Ubaid SH, bahwa setelah mulai
rampungnya perjuangan Orde Baru, diantara partner sesama Orba telah mulai
melancarkan siasat untuk mengecilkan peranan GP Ansor dalam penumpasan G-30
S/PKI dan penumbangan rezim Orde Lama. Bahwa suasana Kongres VII, dengan
demikian, diliputi dengan rasa kegembiraan dan kekecewaan yang cukup mendalam.
Kongres VII GP Ansor berlangsung di Jakarta, 23-28 Oktober 1967. hadir dalam
kongres tersebut sejumlah utusan dari 26 wilayah (Propinsi) dan 252 Cabang
(Kabupaten) se-Indonesia. Hadir pula menyampaikan amanat; Ketua MPRS Jenderal
A.H.Nasution; Pejabat Presiden Jenderal Soeharto; KH. Dr Idham Chalid (Ketua
PBNU); H.M.Subchan ZE (Wakil Ketua MPRS); H. Imron Rosyadi, SH (mantan
Ketua Umum PP.GP Ansor) dan KH.Moh. Dachlan (Ketua Dewan Partai NU dan
Menteri Agama RI) Kongres kali ini merupakan moment paling tepat untuk
menjawab segala persoalan yang timbul di kalangan Ansor. Karena itu, pembahasan
dalam kongres akhirnya dikelompokan menjadi tiga tema pokok:
(1) penyempurnaan organisasi; (2) program perjuangan gerakan; dan (3) penegasan
politik gerakan. Penegasan Politik GerakanDalam kongres ini juga merumuskan
Penegasan Politik Gerakan sbb: (1) Menengaskan Orde Baru dengan beberapa
persyaratan: (a). membasmi komunisme, marxisme, dan leninisme. (b) menolak
kembalinya kekuasaan totaliter/Orde Lama, segala bentuk dalam manifestasinya. (c)
mempertahankan kehidupan demokrasi yang murni dan (d) mempertahankan
eksistensi Partijwezen; (2) Toleransi Agama dijamin oleh UUD 1945. Dalam
pelaksanaannya harus memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut-
penganut agama lain; (3) Mempertahankan politik luar negeri yang bebas aktif, anti
penjajahan dan penindasaan dalam menuju perdamaian dunia.
Rumusan penegasan politik tersebut tentu dilatarbelakangi kajian mendalam
mengenai situasi politik yang berkembang saat itu. Kajian atau analisis itu, juga
mengantisipasi perkembangan berikutnya. Memang begitulah yang dilakukan
kongres. Perkara politik itu pula-lah yang paling menonjol dalam kongres VII
tersebut.
Itulah sebabnya, dalam kongres itu diputuskan: Bahwa GP Ansor memutuskan untuk
ikut di dalamnya dalam penumpasan sisa-sisa PKI yang bermotif ideologis dan
strategis. Kepada yang bermotif Politis. Ansor menghadapinya secara kritis dan
korektif. Sedangkan yang bermotif terror, GP.Ansor harus menentang dan berusaha
menunjukkan kepalsuannya.
Atas dasar itulah, GP Ansor mendukung dan ikut di dalamnya dalam operasi
penumpasan sisa-sisa PKI di Blitar dan Malang yang dikenal dengan operasi Trisula.
Bahkan GP Ansor waktu itu sempat mengirim telegram ucapan selamat kepada
Pangdam VIII/Brawijaya atas suksenya operasi tersebut. Ansor ikut operasi itu
karena, operasi di kedua daerah tersebut bermotif ideologis dan strategis.
Sesungguhnya kongres juga telah memperediksi sesuatu bentuk kekuasaan yang bakal
timbul. Karena itu, sejak awal Ansor telah menegaskan sikapnya: menolak
kembalinya pemerintahan tiran. Orde Baru ditafsirkan sebagai Orde Demokrasi yang
bukan hanya memberi kebebasan menyatakan pendapat melalui media pers atau
mimbar-mimbar ilmiah. Tapi, demokrasi diartikan sebagai suatu Doktrin
Pemerintahan yang tidak mentolerir pengendapan kekuasaan totaliter di suatu tempat.
Seperti kata Michael Edwards dalam buku Asian in the Balance, bahwa
kecenderungan di Asia, akan masuk liang kubur dan muncul authoritarianism.
Pendeknya, demokrasi pada mulanya di salah gunakan oleh pemegang kekuasaan
yang korup hingga mendorong Negara ke arah Kebangkrutan. Lalu, sebelum meledak
bentrokan-bentrokan sosial, kaum militer mengambil alih kekuasaan, dan dengan
kekuasaan darurat itulah ditegakkan pemerintahan otoriter. Begitulah kira-kira
Michael Edwards. Masalah Toleransi Agama, Selain masalah politik, kongres juga
merumuskan pola kerukunan antar umat beragama. Rumusan tersebut mengacu pada
UUD 1945 yang menjamin toleransi itu sendiri, dan dalam pelaksanaannya harus
memperhatikan kondisi daerah serta perasaan penganut agama lain.
Masalah toleransi agama di bahas serius karena, pada waktu itu pertentangan agama
sudah mulai memburuk. Bahkan bentrokan fisik telah terjadi di mana-mana.
Akibatnya timbul isu yang mendiskreditkan Partai Islam dan Umat Islam. Isu yang
paling keras pada waktu itu adalah mendirikan Negara Islam. Sehingga, di berbagai
daerah ormas Islam maupun Partai Islam selalu dicurigai aparat keamanan. Dakwah-
dakwah semakin di batasi bahkan ada pula yang terpaksa di larang. Terakhir, malah
dikeluarkan garis kebijaksanaan di kalangan ABRI yang sangat merugikan partai
Islam dan Umat Islam. Dalam Kongres VII juga menyampaikan memorandum kepada
pemerintah mengenai masalah politik dan ekonomi. Dan isi dari memorandum tak
lain adalah manifestasi dari komitmen terhadap ideology Pancasila.
C. Masa Reformasi
Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda
akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan “Era Reformasi“.Masih adanya tokoh-tokoh
penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering
membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena
itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai “Era Pasca Orde Baru”.
Berakhirnya rezim Orde Baru, telah membuka peluang guna menata kehidupan demokrasi.
Reformasi politik, ekonomi dan hukum merupakan agenda yang tidak bisa ditunda.
Demokrasi menuntut lebih dari sekedar pemilu. Demokrasi yang mumpuni harus dibangun
melalui struktur politik dan kelembagaan demokrasi yang sehat. Namun nampaknya tuntutan
reformasi politik, telah menempatkan pelaksanan pemilu menjadi agenda pertama. Pemilu
pertama di masa reformasi hampir sama dengan pemilu pertama tahun 1955 diwarnai dengan
kejutan dan keprihatinan. Pertama, kegagalan partai-partai Islam meraih suara siginifikan.
Kedua, menurunnya perolehan suara Golkar. Ketiga, kenaikan perolehan suara PDI P.
Keempat, kegagalan PAN, yang dianggap paling reformis, ternyata hanya menduduki urutan
kelima. Kekalahan PAN, mengingatkan pada kekalahan yang dialami Partai Sosialis, pada
pemilu 1955, diprediksi akan memperoleh suara signifikan namun lain nyatanya.
Pemerintahan B.J Habibie Sidang Istimewa MPR yang mengukuhkan Habibie sebagai
Presiden, ditentang oleh gelombang demonstrasi dari puluhan ribu mahasiswa dan rakyat di
Jakarta dan di kota-kota lain. Gelombang demonstrasi ini memuncak dalam peristiwa Tragedi
Semanggi, yang menewaskan 18 orang. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan
dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasionaluntuk membantu dalam proses
pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media
massa dan kebebasan berekspresi.
Presiden BJ Habibie mengambil prakarsa untuk melakukan koreksi. Sejumlah tahanan politik
dilepaskan. Sri Bintang Pamungkas dan Muchtar Pakpahan dibebaskan, tiga hari setelah
Habibie menjabat. Tahanan politik dibebaskan secara bergelombang. Tetapi, Budiman
Sudjatmiko dan beberapa petinggi Partai Rakyat Demokratik baru dibebaskan pada era
Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah Habibie membebaskan tahanan politik, tahanan
politik baru muncul. Sejumlah aktivis mahasiswa diadili atas tuduhan menghina pemerintah
atau menghina kepala negara. Desakan meminta pertanggungjawaban militer yang terjerat
pelanggaran HAM tak bisa dilangsungkan karena kuatnya proteksi politik. Bahkan, sejumlah
perwira militer yang oleh Mahkamah Militer Jakarta telah dihukum dan dipecat karena
terlibat penculikan, kini telah kembali duduk dalam jabatan struktural.
Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi. Walaupun begitu
Habibie juga sempat tergoda meloloskan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya, namun
urung dilakukan karena besarnya tekanan politik dan kejadian Tragedi Semanggi II yang
menewaskan mahasiswa UI, Yun Hap. Kejadian penting dalam masa pemerintahan Habibie
adalah keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang
berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan
tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga kini pun masa
pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah
Indonesia. Presiden Habibie segera membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya
adalah kembali mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan komunitas
negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan para
tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Walaupun pengesahan hasil Pemilu 1999 sempat tertunda, secara umum proses pemilu multi
partai pertama di era reformasi jauh lebih Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber) serta
adil dan jujur dibanding masa Orde Baru. Hampir tidak ada indikator siginifikan yang
menunjukkan bahwa rakyat menolak hasil pemilu yang berlangsung dengan aman. Realitas
ini menunjukkan, bahwa yang tidak mau menerima kekalahan, hanyalah mereka yang tidak
siap berdemokrasi, dan ini hanya diungkapkan oleh sebagian elite politik, bukan rakyat.
Pemeintahan Abdurahman Wahid. Pemilu untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7
Juni 1999. PDI Perjuangan pimpinan putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar menjadi
pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh suara; Golkar (partai
Soeharto – sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya) memperoleh
22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz12%; Partai Kebangkitan
Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik
Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil presiden untuk masa
bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal
November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan ekonomi
di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut,
pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama, terutama
di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur
yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor
Timur pro-Indonesia mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar.
MPR yang semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid,
menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati soekarno putri Pada Sidang Umum MPR pertama pada Agustus
2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung jawabannya. Pada 29 Januari 2001,
ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri dengan
alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR untuk
memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia mengedarkan
keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada wakil presiden
Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak lama kemudian.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua dengan dua
agenda, pertama memilih anggota legislatif dan kedua memilih presiden. Untuk agenda
pertama terjadi kejutan, yakni naiknya kembali suara Golkar, turunan perolehan suara PDI-P,
tidak beranjaknya perolehan yang signifikan partai Islam dan munculnya Partai Demokrat
yang melewati PAN. Dalam pemilihan presiden yang diikuti lima kandidat (Susilo Bambang
Yudhoyono, Megawati Soekarno Putri, Wiranto, Amin Rais dan Hamzah Haz), berlangsung
dalam dua putaran, telah menempatkan pasangan SBY dan JK, dengan meraih 60,95
persen. Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru
ini pada awal masa kerjanya telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar,
seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang meluluh lantakkan
sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah
Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan
selama 30 tahun di wilayah Aceh. Atas prestasi SBY yang di tanam sejak tahun 2004 telah
mengantar beliau naik kembali duduk di kursi presiden dengan pasanganya pak Budiono pada
pemilu tahun 2009, kinerja mereka pun belum dapat dirasakan dengan maksimal.
Otonomi daerah di Indonesia Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam UUD 1945 berkenaan dengan
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, yaitu:
Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai
kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara (“Eenheidstaat”), yang berarti
kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan
terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; dan
Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945
beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah
diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi di bidang
ketatanegaraan
Dikaitkan dengan dua nilai dasar tersebut di atas, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia
berpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan penyerahan/pelimpahan sebagian
kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus sebagian sebagian kekuasaan dan kewenangan tersebut. Adapun titik berat
pelaksanaan otonomi daerah adalah pada Daerah Tingkat II (Dati II) dengan beberapa dasar
pertimbangan:
Dimensi Politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga risiko
gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim;
Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat
relatif dapat lebih efektif;
Dati II adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan sehingga Dati II-lah yang
lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di daerahnya.
Atas dasar itulah, prinsip otonomi yang dianut adalah:
Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah;
Bertanggung jawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar
pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dan
Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan
maju
Aturan Perundang-undangan
Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan Otonomi
Daerah:
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Daerah
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah
Perpu No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pelaksanaan Otonomi Daerah di Masa Orde Baru
Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu pemerintahan nasional
yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat
pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada masa pemerintahan Orde Lama
dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa
atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak
prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di
bidang ekonomi yang ditopang sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program
pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas
administrasi inilah, dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan Daerah. Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlak. Selanjutnya yang dimaksud dengan Daerah Otonom,
selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-
daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya
kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala
Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah, dan
Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan
pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah oleh Pemerintah
Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban mempertanggungjawabkan
kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati II
(Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari
sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang calon yang telah
dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk masa jabatan 5 (lima)
tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya, dengan hak,
wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan pemerintah Daerah yang berkewajiban
memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sekurang-kurangnya sekali setahun, atau jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar
Pengadilan. Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi masing-
masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan pernyataan
pendapat; prakarsa; dan penyelidikan) dan kewajiban seperti a) mempertahankan,
mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945; b)menjunjung tinggi dan
melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan Negara, Ketetapan-ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja
daerah dan peraturan-peraturan Daerah untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas
wewenang yang diserahkan kepada Daerah atau untuk melaksanakan peraturan
perundangundangan yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan
aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program
pembangunan Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa UU No. 5
Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang terjadi adalah
sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan maupun
implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol dari
pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif tinggi
terhadap pemerintah pusat.
Pelaksanaan Otonomi Daerah setelah Masa Orde Baru
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi dimulai di
tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses pergantian rezim (dari
rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan Habibie yang memerintah
setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan untuk mempertahankan
integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan yaitu:
melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti mengurangi peran
pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
pembentukan negara federal; atau
membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum desentralisasi yang baru
untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu dengan memberlakukan
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.
25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang sangat berbeda dengan prinsip undang-
undang sebelumnya antara lain :
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih
mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah dalam mengatur
dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas
dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan otonomi yang luas, nyata
dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah. Di samping itu, otonomi daerah juga dilaksanakan dengan
prinsip-prinsip demokrasi yang juga memperhatikan keanekaragaman daerah.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, dalam Undang-undang ini otonomi daerah
diletakkan secara utuh pada daerah otonom yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah
yang selama ini berkedudukan sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini
disebut Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah otonomi
yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan pemerintah, kecuali
bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal serta agama dan bidang-
bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat dan menyeluruh, yang ditetapkan
dengan peraturan pemerintah.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang selama ini
disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah propinsi dengan
kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah administrasi, yaitu wilayah kerja
Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan pusat yang didelegasikan
kepadanya.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau otonom. Dalam
hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat dekonsentrasi dan wilayah
administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah kabupaten/kota. Mengenai asas tugas
pembantuan dapat diselenggarakan di daerah propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-
masing dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari garis
pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah laut sebatas
1/3 wilayah laut propinsi.[15]
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya sedang DPRD
bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan, anggaran dan
legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada DPRD. Gubernur
selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada Presiden.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD sesuai pedoman
yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat yang berwenang.
Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangannya lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah, daerah yang tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan daerah lain.
Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, yang ditetapkan dengan undang-
undang.
Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih bersama
pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian,
penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang ditetapkan pemerintah.
Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi otonomi
yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang bersifat lintas
Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif dan efisien kalau
diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota. Misalnya kewenangan di
bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan dan kewenangan bidang
pemerintahan tertentu lainnya dalam skala propinsi termasuk berbagai kewenangan yang
belum mampu ditangani Kabupaten dan Kota.
Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan cara membentuk
badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah Kabupaten sendiri maupun
melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak ketiga. Selain DPRD, daerah juga
memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah, yang terdiri dari Kepala Daerah,
Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah, Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang
menangani perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan
dan badan usaha milik daerah. Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya
diserahkan pada daerah. Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten
Sekwilda, Kantor Wilayah dan Kandep dihapus.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat meminta
Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah setelah 2 (dua) kali
tidak dapat diterima oleh DPRD.
2.2 Keuntungan dan Kekurangan Otonomi Daerah
Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan
kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam
proses desentralisasi ini, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke
pemerintahan daerah sebagaimana mestinya sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari
pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus
kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah tingkat pusat maka diidealkan bahwa sejak
diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak
sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah.
Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini di lihat sangat penting, terutama untuk
menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena
dalam sistem yang belaku sebelumnya sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang
ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk
menjamin perasaan diberlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah Indonesia tidak
makin meluas dan terus meningkat pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi
nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilah mutlak harus diterapkan dalam waktu
yang secepat-cepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan da- erah sendiri.
Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya
menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi perlu juga diwujudkan atas
dasar prakarsa dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandiriaan pemerintahan daerah
sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam
kultur masyarakat Indonesia yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
itu tidak akan berhasil apabila tidak diimbangi dengan upaya sadar untuk membangun
keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat dikemukakan sebagai
berikut ini.
a. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang
cepat, sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
c. Dalam sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan
(spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi teretorial,
dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan khusu daerah.
d. Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan semacam
laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat
bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara,
sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu
dapat lebih muda untuk diadakan.
e. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
f. Dari segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan
yang lebuh beser kepada daerah.
g. Akan memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang
dilayani.
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga mengandung kelemahan
sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain sebagai berikut ini.
a. Karena besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah
kompleks, yang mempersulit koordinasi.
b. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat
lebih mudah terganggu.
c. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang
disebut daerahisme atau provinsialisme.
d. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan
perundingan yang bertele-tele.
e. Dalam penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit
untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.