i pendahuluan 1.1 latar belakang - universitas...
TRANSCRIPT
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ubi jalar merupakan salah satu komoditas pertanian yang penting di
Indonesia dimana sebagian besar produksinya (89%) digunakan sebagai bahan
pangan (FAOSTAT, 2004). BPS (2009) melaporkan bahwa selama tahun 2005 –
2009, rata-rata produksi ubi jalar mencapai 1,901 juta ton/tahun. Ubi jalar
memiliki kandungan nutrisi yang tinggi seperti karbohidrat (pati dan serat
pangan), vitamin, dan mineral (kalium dan fosfor). Disamping itu, khusus ubi jalar
oranye mengandung senyawa β-karoten dan ubi jalar ungu mengandung
senyawa antosianin yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Dengan
demikian, ubi jalar memiliki potensi yang baik untuk di pertimbangkan dalam
menunjang program diversifikasi pangan yang berbasis pada tepung dan pati.
Komponen utama pada tepung ubi jalar adalah karbohidrat dimana
sebagian besar adalah pati. Dalam pembuatan produk seperti saos , makanan
bayi, salad dressing dan cake mix dibutuhkan tepung yang memiliki tingkat
viskositas yang tinggi. Namun, tepung ubi jalar tidak memiliki karakteristik
tersebut, sehingga perlu dilakukan modifikasi untuk memperoleh tingkat
viskositas yang tinggi.
Fermentasi alami merupakan salah satu cara untuk modifikasi pati.
Selama perendaman dengan air pada proses fermentasi alami dapat membuat
pati mengalami pembengkakan karena pati dapat menyerap air sehingga granula
pati membengkak. Semakin banyak granula pati yang membengkak, maka nilai
viskositas semakin besar.
Lama fermentasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kualitas sifat fisik tepung yang terfermentasi. Semakin lama proses fermentasi,
aktivitas mikroba dalam mendegradasi pati semakin besar sehingga akan
meningkatkan viskositas, dan tingkat kelarutan. Menurut Hawa (2008) semakin
tinggi nilai viskositas disebabkan oleh terjadinya liberasi granula pati selama
proses fermentasi. Semakin banyak granula pati yang membengkak maka
semakin tinggi nilai viskositas. Disisi lain, semakin lama proses fermentasi akan
menyebabkan penurunan sifat fisik yang lain seperti aroma dan cita rasa.
Ubi jalar memiliki jenis yang berbeda-beda dengan kandungan komposisi
kimia yang bebeda juga. Menurut Dewi (2007), kadar pati pada ubi jalar oranye
2
sebesar 15,18 %, pada ubi jalar putih 28,79 %, dan pada ubi jalar ungu 12,64 %.
Menurut Antarlina dan Utomo (1999), perbedaan warna daging umbi pada ubi
jalar menyebabkan perbedaan sifat sensoris, fisik dan kimia umbi maupun
produk olahannya. Dengan melihat data tersebut, maka diperkirakan varietas ubi
jalar dapat mempengaruhi sifat fisik akhir tepung ubi jalar yang terfermentasi.
Penelitian mengenai lama fermentasi dan varietas ubi jalar belum pernah
dilakukan. Oleh sebab itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh
fermentasi alami pada chips ubi jalar (ipomoea batatas) terhadap sifat fisik
tepung ubi jalar agar dapat diperoleh sifat fisik tepung modifikasi ubi jalar yang
lebih baik.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pengaruh varietas ubi jalar terhadap kualitas sifat fisik
tepung ubi jalar terfermentasi?
1.2.2 Bagaimana pengaruh lama fermentasi terhadap kualitas sifat fisik
tepung ubi jalar terfermentasi?
1.2.3 Apakah dengan adanya kombinasi perlakuan varietas ubi jalar dan lama
fermentasi dapat mempengaruhi kualitas sifat fisik tepung ubi jalar
terfermentasi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Mengetahui pengaruh varietas ubi jalar terhadap kualitas sifat fisik
tepung ubi jalar terfermentasi.
1.3.2 Mengetahui pengaruh lama fermentasi terhadap kualitas sifat fisik
tepung ubi jalar terfermentasi.
1.3.3 Mengetahui kualitas sifat fisik tepung ubi jalar terfermentasi alami yang
paling baik berdasarkan kombinasi perlakuan varietas ubi jalar dan lama
fermentasi.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
pengaruh fermentasi alami pada sifat fisik tepung ubi jalar terfermentasi
(Ipomoea batatas L.)
1.4.2 Penelitian ini diharapakan dapat membuktikan bahwa tepung ubi jalar
terfermentasi (Ipomoea batatas L.) dapat dimanfaatkan sebagai bahan
substitusi tepung terigu yang baik.
3
1.5 Hipotesis
Diduga bahwa dengan adanya kombinasi perlakuan varietas ubi jalar dan
lama fermentasi dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas sifat
fisik tepung ubi jalar terfermentasi.
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ubi Jalar (Ipomoea batatas)
Ubi jalar atau ketela rambat atau “sweet potato” diduga berasal dari
benua Amerika. Para ahli botani pertanian memperkirakan daerah asal tanaman
ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Ubi jalar
menyebar ke seluruh dunia terutama negara-negara beriklim tropika,
diperkirakan pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol dianggap berjasa
menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia terutama Filipina, Jepang dan Indonesia
(Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, 2002).
Sistematika (taksonomi) tumbuhan, tanaman ubi jalar diklasifikasikan
sebagai berikut (Rukmana, 1997):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Convolvulales
Famili : Convolvulaceae
Genus : Ipomoea
Spesies : Ipomoea batatas
Ubi jalar adalah tanaman yang tumbuh baik di daerah beriklim panas dan
lembab, dengan suhu optimum 27 oC dan lama penyinaran 11-12 jam perhari.
Tanaman ini dapat tumbuh sampai ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut.
Ubi jalar tidak membutuhkan tanah subur untuk media tumbuhnya. Di Jepang,
ubi jalar adalah salah satu sumber karbohidrat yang cukup popular. Beberapa
varietas ubi Jepang cukup dikenal hingga ke Indonesia. Selanjutnya beberapa
varietas yang diusahakan tersebar secara luas di Indonesia, diantaranya
varietas ibaraki, beniazuma, dan naruto (Hartoyo, 2004).
2.1.1 Jenis Ubi Jalar
Ubi jalar sebagai bahan baku pada pembuatan tepung mempunyai
keragaman jenis yang cukup banyak, yang terdiri dari jenis-jenis lokal dan
beberapa varietas unggul. Jenis-jenis ubi jalar tersebut mempunyai perbedaan
yaitu pada bentuk, ukuran, wama daging umbi, warna kulit, daya simpan,
komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen (Antarlina dan Utomo, 1999).
5
Bentuk ubi biasanya bulat sampai lonjong dengan permukaan rata
sampai tidak rata. Kulit ubi berwarna putih, kuning, ungu atau ungu kemerah-
merahan, tergantung varietasnya. Daging ubi berwarna putih, kuning atau jingga
sedikit ungu (Rukmana, 1997). Menurut Woolfe (1992), kulit ubi maupun
dagingnya mengandung pigmen karotenoid dan antosianin yang menentukan
warnanya. Kombinasi dan intesitas yang berbeda-beda dari keduanya
menghasilkan warna putih, kuning, oranye, atau ungu pada kulit dan daging ubi.
Varietas-varietas ubijalar yang pernah dilepas oleh pemerintah Indonesia
antara lain: Dava (1977), Borobudur (1982), Prambanan (1982), Mendut (1989),
Kalasan (1991), Muara Takus (1995), Cangkuang (1998), Sewu (1998).
Sedangkan varietas-varietas yang baru dilepas tahun 2001 antara lain: Cilembu
yang berasal dari Sumedang Jawa Barat dengan warna daging umbinya krem
kemerahan/kuning, Sari yang berasal dari Persilangan Genjah Rante dan Lapis
dengan warna daging umbi kuning, Boko yang merupakan hasil persilangan
antara no. 14 dan Malang 1258 dengan warna daging umbinya krem, Sukuh
yang berasal dari persilangan klon induk betina AB 940 dengan warna daging
umbi putih. Jago yang berasal dari famili klon B 0059-3 dengan warna daging
umbi kuning muda. Kidal yang berasal dari persilangan bebas induk Inaswang
dengan wants daging umbi kuning tua (Suhartina, 2005).
2.1.1.1 Ubi Jalar Ungu varietas Ayamurasaki
Ubi ungu memiliki kulit berwarna merah gelap sampai ungu, daging buah
berwarna ungu gelap, berbentuk panjang dan khas (Anonymousa, 2005).
Menurut Yashimoto dkk (1999) Ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki (Ipomoea
batatas L. var. Ayamurasaki) biasa disebut Ipomoea batatas blackie karena
memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu kehitaman (ungu pekat).
Kenampakannya bagus dengan berat tiap buah rata-rata 200-500g. Kandungan
nutrisinya lebih tinggi bila dibandingkan ubi jalar varietas lain. Berikut ubi jalar
ungu varietas Ayamurasaki yang tersaji pada Gambar 2.1
6
Gambar 2.1. Jenis Ubi Jalar Ungu Varietas Ayamurasaki (Anonymousa, 2011)
Ubi jalar ungu mengandung antosianin berkisar ± 519 mg/100 gr berat
basah. Delapan penyusun antosianin yang terbanyak di ubi jalar ungu dicirikan
paling sedikit oleh satu ikatan gugus kafeat yang bertanggungjawab untuk
aktivitas antioksidan dari ubi jalar ungu (Suda dkk, 2003). Ubi jalar ungu jepang
mengandung pigmen antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar jenis lain
yang berwarna putih, kuning dan jingga. Pigmennya lebih stabil bila dibandingkan
antosianin dari sumber lain seperti kubis merah, elderberries, blueberries dan
jagung merah. Pigmen antosianin yang dimiliki adalah senyawa Cyanidin acyl
glucoside dan Peonidin acyl glucoside (Aripnur, 2010).
Keberadaan senyawa antosianin pada ubi jalar ungu berfungsi sebagai
komponen pangan sehat dan paling lengkap. Sekelompok antosianin yang
tersimpan dalam ubi jalar ungu mampu menghalangi laju perusakan sel radikal
bebas akibat nikotin, polusi udara dan bahan kimia lainnya. Selain itu, antosianin
juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik terhadap
mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan olahannya,
mencegah gangguan pada fungsi hati, antihipertensi dan menurunkan kadar gula
darah (antihiperglisemik). Hampir semua zat gizi yang terkandung dalam ubi jalar
ungu mendukung kemampuannya memerangi serangan jantung koroner (Suda
dkk, 2003).
Komposisi kimia ubi ungu segar secara umum dapat dilihat pada Tabel 2.1
7
Tabel 2.1 Komposisi Kimia Ubi Ungu Segar
No. Komponen Kadar
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Air (%) Protein (%) Lemak (%) Pati (%) Karbohidrat non pati (%) Gula Pereduksi (%) Abu (%)
50-81 1-2,4
1,8-6,4 8-29
0,5-7,5 0,5-7,5 0,9-1,4
Sumber : Nakashima (1999)
2.1.1.2 Ubi Jalar Oranye Varietas Kuningan Merah
Ubi jalar mempunyai komposisi kimia yang kaya karbohidrat, mineral, dan
vitamin. Vitamin A dalam bentuk provitamin A pada ubi jalar yang umbinya
berwarna kuning , oranye atau jingga mencapai 7.000 SI/100 g atau dua
setengah kali lebih besar dari rata-rata kebutuhan manusia (Damardjati dan
Widowati, 1993). Berikut ubi jalar orange varietas Kuningan Merah yang tersaji
pada Gambar 2.2
Gambar 2.2. Jenis Ubi Jalar Orange Varietas Kuningan Merah (Anonymousa,
2009)
Ubi jalar oranye mengandung gula yang tinggi. Daging umbi ubi jalar
oranye setelah dimasak memiliki tipe daging umbi padat, kesat dan bertekstur
pangan baik. Perubahan nisbah pati terhadap gula terjadi selama pertumbuhan.
Kandungan gula total juga menurun selama periode pertumbuhan cepat
bersamaan dengan pembesaran umbi, terjadi penurunan kandungan gula lebih
lanjut sedangkan kandungan pati meningkat (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Pati ubi jalar oranye tersusun sepertiga bagian amilosa dan dua sepertiga bagian
amilopektin. Ubi jalar oranye memiliki kandungan vitamin C dan vitamin B, juga
mengandung betakaroten yang tinggi dibandingkan ubi jalar putih. Daya cerna
8
protein ubi jalar oranye jika dikonsumsi mentah relatif rendah karena
mengandung tripsin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Warna kuning atau oranye pada ubi disebabkan oleh adanya senyawa
betakaroten yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh karena dapat berfungsi
sebagai provitamin A. Betakaroten juga dilaporkan dapat memberi perlindungan /
pencegahan terhadap kanker, penuaan dini, penurunan kekebalan, penyakit
jantung, stroke, katarak, sengatan cahaya matahari, dan gangguan otot (Mayne,
1996 dalam Ginting dkk, 2006). Hal ini berkaitan dengan kemampuannya untuk
menangkap radikal bebas, yang dipercaya sebagai penyebab terjadinya tumor
dan kanker (Hongmin dkk, 1996 dalam Ginting dkk, 2006). Keberadaan senyawa
betakaroten merupakan suatu kelebihan yang perlu ditonjolkan untuk
meningkatkan citra ubi jalar yang selama ini dianggap sebagai makanan inferior.
(Ginting dkk, 2006).
Betakaroten tergolong ke dalam karotenoid kelompok pigmen larut lemak
yang berkontribusi terhadap warna kuning, oranye dan merah pada buah dan
sayuran. β-karoten merupakan salah satu provitamin yang penting secara nutrisi
dan komersial. Provitamin ini memiliki aktivitas vitamin A. Kestabilan karotenoid
ini sama dengan vitamin A, yang mana sensitif terhadap oksigen, cahaya dan
media asam. Produk yang mengandung β-karoten haruslah dihindarkan dari
cahaya dan ditempatkan dengan kondisi udara terjaga (Ottaway, 1999).
Kandungan gizi ubi jalar oranye dalam tiap 100 g ubi jalar segar dapat dilihat
pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Ubi Jalar oranye dalam tiap 100 g Ubi Jalar Segar
Kandungan Gizi Jumlah Kandungan Gizi Jumlah
Kalori (Kal) 136,00 Natrium (mg) 5,00 Protein (g) 1,10 Kalium (mg) 393,00 Lemak (g) 0,40 Niacin (mg) 0,60 Karbohidrat (g) 32,30 Pro Vitamin A (SI) 900,00 Kalsium (mg) 57,00 Vitamin B1 (mg) 0,14 Fosfor (mg) 52,00 Vitamin B2 (mg) 0,04 Zat besi (mg) 0,70 Vitamin C (mg) 35,00
Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI dalam Safalina (2007)
2.1.1.3 Ubi Jalar Putih Varietas Kuningan Putih
Ubi jalar putih merupakan ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna
putih/cream, dengan kulit umbi yang berwarna coklat muda. Ubi jalar putih
memiliki Glycemic Index (GI) berkisar antara 51-54 yang termasuk golongan
rendah (Anonymousa, 2002). GI rendah berarti makanan tersebut terurai
9
perlahan selama dicerna, menghasilkan energi masuk ke dalam pembuluh darah
secara bertahap dan menyebabkan peningkatan kadar gula darah yang lebih
sedikit. Hal ini baik untuk meningkatkan stamina dan kesehatan. (Marshall,
2005).
Menurut Dewi (2007), komposisi kimia dari ubi jalar yang warna daging
umbinya putih/krem adalah air 62,24%, pati 28,79%, protein 0,89%, gula reduksi
0,32%, serat kasar 2.5%, lemak 0,77 %, abu 0,93%, vitamin C 28,68 mg / 100
mg. Berikut ubi jalar putih varietas Kuningan Putih yang tersaji pada Gambar 2.3
Gambar 2.3. Jenis Ubi Jalar Putih Varietas Kuningan Putih (Anonymousa, 2012)
2.1.2 Komposisi Kimia Ubi Jalar
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori yang cukup
tinggi. Ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan mineral, vitamin yang
terkandung dalam ubi jalar antara lain vitamin A, vitamin C, thiamin (vitamin B1),
dan riboflavin. Sedangkan mineral dalam ubi jalar diantaranya adalah zat besi
(Fe), fosfor (P), dan kalsium (Ca). Kandungan lainnya adalah protein, lemak,
serat kasar dan abu (Kumalaningsih, 2006). Berikut ini komposisi kimia
beberapa jenis ubi jalar segar yang disajikan pada Tabel 2.3
Tabel 2.3. Komposisi Kimia ubi jalar Segar
Komposisi Kimia Jenis Warna Daging Umbi
Oranye Putih Ungu
Air (%) 79,28 62,24 70,46 Abu (%) 1.09 0.93 0,84 Pati (%) 15,18 28,79 12,64 Protein (%) - 0,89 0,77 Gula reduksi (%) 1,69 0,32 0,3 Serat kasar (%) 0,84 2,5 3 Lemak (%) 1 0,77 0,94 Vitamin C (mg/100 mg) - 28,68 21,43
Sumber: Dewi (2007)
10
Ciri lain dari ubi jalar yaitu kandungan gula yang cukup tinggi sehingga
dapat memberi rasa manis lebih tinggi dibandingkan dengan komoditi sumber
karbohidrat yang lain. Komposisi kimia lain yang cukup berperan adalah amilosa.
Granula pati ubijalar terdiri dari amilopektin dan amilosa dengan pcrbandingan
3:1 atau 4:1. Kandungan amilosa dalam pati ubi jalar bervariasi antara 17,5-38%
(Woolfe, 1992).
Ubi jalar juga mengandung vitamin A dalam bentuk provitamin A yang
jumlahnya mencapai 7000 SI/100 g umbi, jumlah ini dua setengah kali lebih
tinggi dari rata-rata kebutuhan manusia (Damardjati dan Widowati, 1993). Ubi
jalar yang daging umbinya berwarna oranye mengandung karotenoid dan
karoten yang lebih besar daripada yang berwarna putih dan krem. Sekitar 86-
90% karotenoid pada ubi jalar tersebut adalah β-karoten (Woolfe, 1992).
Beberapa varietas ubi jalar oranye di Amerika Serikat memiliki kandungan β-
karoten sebesar 20.000 µg/l00g ubi segar (Hongmin, 1996). Sedangkan ubi
ungu mengandung pigmen antosianin dimana pigmen ini lebih stabil bila
dibandingkan antosianin dari kubis merah, elderberry dan jagung merah
(Yoshinaga, 1995). Menurut Teow (2005), kadar antosianin pada berbagai
varietas ubi jalar ungu berkisar antara 12,3- 162 mg/100 gr bahan. Berikut ini
kandungan gizi dan kalori ubi jalar dibandingkan dengan beras, ubi kayu dan
jagung per 100 gram bahan yang disajikan pada Tabel 2.4
Tabel 2.4. Kandungan Gizi dan Kalori Ubi Jalar dibandingkan dengan beras,
ubi kayu dan jagung per 100 gram bahan
Bahan Kalori (kal
Karbohidrat (g)
Protein (g)
Lemak (g)
Vit. A
(SI)
Vit. C (mg)
Ca (mg)
Ubi jalar(merah) 123 27,9 1,8 0,7 7000 22 30
Beras 360 78,9 6,8 0,7 0 0 6
Ubi Kayu 146 34,7 1,2 0,3 0 30 33
Jagung (kuning) 361 72,4 8,7 4,5 350 0 9
Sumber : Harnowo dkk (1994)
Ubi jalar juga mengandung senyawa penyebab flatulensi. Diduga
flatulensi disebabkan oleh senyawa karbohidrat jenis rafinosa, stakiosa, dan
verbaskosa. Selain itu, pada ubi jalar juga terdapat beberapa senyawa tidak
berbahaya bagi kesehatan yaitu ipomaemarone, furanoterpen, koumarin dan
polifenol yang dibentuk dalam jaringan pada saat ubi jalar luka akibat serangan
serangga. Senyawa-senyawa tersebut dapat menimbulkan rasa pahit dan warna
11
kecoklatan pada umbi, sehingga dapat menurunkan preferensi konsumen.
Senyawa pahit tersebut akan terikat pada produk hasil olahan ubi jalar sehingga
dapat menurunkan kualitas produk tersebut (Palmer, 1982 dalam Antarlina dan
Utomo, 1999).
2.1.2.1 Pengaruh Sifat Bahan Baku Terhadap Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar
Ubi jalar sebagai bahan baku tepung, mempunyai keragaman jenis yang
cukup banyak, terdiri dari jenis-jenis lokal dan varietas unggul. Jenis ubi jalar
tersebut mempunyai perbedaan, yaitu pada bentuk, ukuran, warna daging umbi,
warna kulit, daya simpan, komposisi kimia, sifat pengolahan dan umur panen.
Tepung ubi jalar dapat diproduksi dari berbagai jenis ubi jalar dan akan
menghasilkan mutu produk yang beragam (Antarlina dan Utomo,1999).
Menurut Winarno dan Laksmi (1973), warna daging umbi terdiri dari
beberapa yaitu putih, kuning, jingga dan ungu. Warna kuning pada umbi
disebabkan karena adanya pigmen karoten, sedangkan warna ungu disebabkan
adanya pigmen anthosianin. Menurut Antarlina dan Utomo (1999), perbedaan
warna daging umbi pada ubi jalar menyebabkan perbedaan sifat sensoris, fisik
dan kimia umbi maupun produk olahannya.
Menurut Antarlina dan Utomo (1999), salah satu faktor yang
mempengaruhi tepung ubi jalar adalah bahan baku ubi jalar. Keragaman bahan
baku (umbi jalar) sangat tinggi, sehingga masing-masing jenis dapat
menghasilkan mutu tepung ubi jalar yang berbeda. Dari segi bahan baku ini
yang dapat mempengaruhi mutu tepung ubi jalar adalah umur tanaman, umur
umbi, bentuk umbi, bahan kering umbi, dan warna umbi.
2.1.3 Produksi dan Pemanfaatan Ubi jalar
Peningkatan produksi ubi jalar penting artinya bagi kecukupan pangan
penyediaan bahan pakan ternak dan pemenuhan kebutuhan berbagai industri.
Ubi jalar juga sangat potensial dirancang sebagai komoditas ekspor non migas.
Ubi jalar mempunyai peran cukup besar dalam pembangunan pertanian,
sehingga memiliki prospek yang cerah bila dikelola dengan pola agribisnis atau
agroindustri (Rukmana, 1997). Berikut ini produksi ubi jalar di Indonesia yang
disajikan pada Tabel 2.5
12
Tabel 2.5. Produksi Ubi jalar Di Indonesia
Tahun 2000 2001 2002 2003 2004
Luas Panen (ha) 194.3 181.0 177,3 198,2 183,1
Produksi (ton) 1827,7 1749,1 1771,6 1997.8 1882,2
Produktivitas (ku/ha) 94,00 97,00 100,00 101,00 103,00
Sumber: BPS (2005) Di Indonesia, status ubi jalar sebagai komoditas pangan belum setaraf
dengan padi atau jagung. Selama ini masyarakat menganggap ubi jalar
merupakan bahan pangan dalam situasi darurat (kurang makan), bahkan disebut
sebagai makanan masyarakat kelas bawah. Di luar negeri, khususnya di daerah-
daerah maju, ubijalar dijadikan makanan mewah dan bahan baku aneka industri
seperti industri fermentasi, tekstil, lem, kosmetika, farmasi, dan sirup (Rukmana,
1997).
Berdasarkan penelitian Cordell (2005) menyatakan bahwa ubi jalar
memiliki keunggulan untuk kesehatan diantaranya adalah ubi jalar kandungan
nutrisinya paling tinggi dibandingkan dengan semua sayuran, ubi jalar tinggi
kandungan antioksidan yang melawan kanker, penyakit hati dan stroke, ubi jalar
tinggi kandungan potassium, rendah indeks glisemik yang berfungsi untuk
mengatur level glukosa darah, ubi jalar bebas kolesterol dan tinggi serat pangan.
Menurut Siregar (2006), serat pangan (dietary fiber) ubi jalar baik untuk
pencernaan dan rafinosa pada ubi jalar berfungsi sebagai prebiotik (makanan
untuk mikrobia baik dalam usus besar). Karbohidrat yang dikandung ubi jalar
memiliki indeks glisemik rendah ("Low Glycemix Index", LGI, 54), artinya komoditi
ini sangat cocok untuk penderita diabetes. Mengkonsumsi ubi jalar tidak secara
drastis menaikkan gula darah. Berbeda halnya dengan karbohidrat yang indeks
glisemiknya tinggi, seperti beras dan jagung.
Damardjati dan Widowati (1993) menyatakan bahwa sekurang-kurangnya
ada 4 kelompok produk alternatif vang mungkin dapat dikembangkan dari ubi
jalar, yaitu: (I) pengembangan produk dari ubi jalar segar, (2) produk ubi jalar
yang siap santap seperti kue, roti, (3) produk ubi jalar siap masak sebagai
"instant foods", (4) produk setengah jadi untuk bahan baku, yang mana produk ini
dapat merupakan bahan baku industri lebih lanjut, bahan substitusi atau produk
komposit.
13
2.2 Tepung Ubi Jalar
Salah satu tepung umbi-umbian yang telah dikembangkan pembuatannya
adalah tepung ubi jalar, bentuk tepung akan lebih tahan lama disimpan
dibandingkan dengan umbi segarnya. Di samping itu lebih mudah dalam
transportasi dan penggunaannya karena tepung ubi jalar dapat dicampur dengan
bermacam-macam tepung lain untuk memperoleh komposisi gizi yang
dikehendaki, serta produk olahan yang beragam (Antarlina dan Utomo, 1997).
Tepung ubi jalar merupakan hancuran ubi jalar yang dihilangkan sebagian
kadar aimya. Tepung ubi jalar tersebut dapat dibuat secara langsung dari ubi
jalar yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan, tetapi dapat pula dibuat dari
gaplek ubi jalar yang dihaluskan (digiling) dengan tingkat kehalusan kurang lebih
80 mesh (Suprapti, 2003).
Menurut Suismono (2001), pemilihan jenis ubi jalar yang digunakan untuk
pembuatan tepung perlu memperhatikan kandungan kadar bahan keringnya
karena akan menentukan rendemen tepung yang dihasilkan. Semakin tinggi
kadar bahan kering, makin tinggi rendemen tepung yang dihasilkan. Bahan baku
pembuatan tepung umbi-umbian yang sesuai adalah umbi yang tidak berserat.
Hal penting yang harus diperhatikan pada bahan baku umbi segar adalah kadar
air yang tinggi, serta adanya senyawa fenol yang teroksidasi oleh enzim fenolase
mengubah umbi menjadi coklat. Faktor-faktor di atas akan mempengaruhi mutu
sawut kering, tepung dan patinya.
Kandungan tepung juga dipengaruhi oleh jenis klon, warna dan bentuk
umbi. Nilai kandungan tepung dapat diindikasikan dengan warna umbi. Nilai
kandungan tepung semakin meningkat seiring perbedaan warna umbi dari putih,
krem, krem tua, kuning pucat, kuning tua dan ungu tua. Warna umbi ungu tua
relatif mempunyai nilai kandungan tepung yang lebih besar dari warna putih,
krem tua, kuning pucat dan kuning tua (Pramudia, 2007). Berikut ini komponen
kimia dan sifat fisik tepung ubi jalar yang disajikan pada Tabel 2.6 dan standart
mutu tepung ubi kayu dan usulan standart mutu tepung ubi jalar yang disajikan
pada Tabel 2.7
14
Tabel 2.6 Komponen Kimia dan Sifat Fisik Tepung Ubi jalar
Komponen dan Sifat fisik Tepung Ubi jalar
Air (%) 7,00
Protein (%) 2,11
Lemak (%) 0,53
Karbohidrat (%) 84,74
Abu (%) 2,58
Derajat Putih (%) 74,43
Waktu Gelatinisasi (menit) 32,5
Suhu Gelatinisasi (°C) 78,8
Waktu Granula Pecah (menit) 39,5
Suhu Granula Pecah (°C) 90,0
Viskositas Puncak (BU) 1815
Sumber: Antarlina dan Utomo (1997)
Tabel 2.7 Standar Mutu Tepung Ubi kayu dan Usulan Standar Mutu Tepung Ubi Jalar
Kriteria Tepung ubi kayu Tepung ubi jalar
Kadar air (maks) 12% 15%
Keasaman (maks) 3 ml 1 N NaOH/lOO g 4 ml 1 N NaOH/lOO g
Kadar pati (min) 75% 55%
Kadar serat (maks) - 3%
Kadar abu (maks) 1,5% 2%
HCN (maks) 40 ppm -
Sumber: Antarlina Dan Utomo (1997)
Kelebihan dari tepung ubi jalar adalah lebih sesuai untuk pengembangan
produk pangan dan gizi, daya simpan lebih tinggi sehingga sesuai untuk bahan
baku industri, memberi nilai tambah bagi produsen serta meningkatkan mutu
produk (Damardjati dan Widowati, 1993). Menurut Salminah (2005), tepung ubi
jalar juga memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh tepung yang
lainnya yaitu tepung ubi jalar memiliki kandungan β-karoten dan vitamin A yang
tinggi sehingga baik untuk mencegah kebutaan, kandungan serat tinggi, serta
kalori yang tinggi sehingga baik untuk mencegah penyakit Xerophtalmia kornea
aktif serta kekurangan kalori.
2.2.1 Pemanfaatan Tepung Ubi jalar
Tepung ubi jalar banyak digunakan dalam industri-industri skala kecil,
menengah, maupun besar. Tepung ubi jalar dapat berfungsi dalam beberapa
macam proses pengolahan antara lain sebagai bahan pengental, sebagai
15
pengganti terigu (bersifat gluten), sebagai "stabilizer" (pada pembuatan "ice
cream"), sebagai bahan baku dalam pembuatan roti, kue, makanan bayi,
pudding, bahan kimia dan sebagainya. Apabila proses pembuatan tepung ubi
jalar dilakukan dengan benar dan teliti, maka akan dapat dicapai rendemen
sebesar 30% dalam arti dari setiap 100 kg ubijalar dapat dihasilkan ± 30 kg
tepung ubi jalar (Suprapti, 2003).
Menurut Damardjati dan Widowati (1993), substitusi tepung ubi jalar
terhadap terigu pada pembuatan kue atau roti bisa mencapai 100%. Hal ini
tergantung dari jenis kue atau roti yang akan dibuat. Tepung ubijalar memiliki
banyak kegunaan antara lain dapat dimanfaatkan sebagai substitusi tepung
terigu hingga 50% dalam pembuatan aneka "cake" dan kue kering. Tepung ubi
jalar juga bermanfaat sebagai salah satu bahan baku selai dan saos Menurut
Agustyanto (2004), menyatakan bahwa tepung ubi jalar dapat digunakan sebagai
bahan dalam pembuatan berbagai jenis kue, baik sebagai bahan campuran
maupun sebagai bahan utama tanpa dicampur. "Cake" dari campuran 50%
tepung ubi jalar dengan 50% tepung terigu dapat dikembangkan pada industri
skala kecil maupun menengah karena produk tersebut dapat diterima konsumen
(rasanya disukai, warnanya cukup menarik) dan dapat menghemat penggunaan
gula pasir sebesar 20%.
2.2.2 Proses Pembuatan Tepung Ubi jalar Terfermentasi
Pada dasarnya, proses pembuatan tepung ubi jalar adalah sama halnya
dengan mengurangi kadar air bahan hingga batas minimal secara cepat
(Suprapti, 2003). Menurut Antarlina dan Utomo (1999), cara pembuatan tepung
ubi jalar secara garis besar adalah sebagai berikut: sortasi umbi yaitu bagian
yang busuk dan terkena serangan hama boleng dibuang, pencucian,
pengupasan, diiris tipis atau disawut secara manual atau menggunakan alat,
dijemur/dikeringkan menggunakan alat pengering pada suhu 60°C hingga kering
(kadar air sekitar 7%), kemudian digiling dan dikemas. Untuk menghasilkan
tepung ubi jalar yang baik, sawut atau irisan umbi direndam terlebih dahulu di
dalam larutan Na metabisulfit sebelum dijemur/dikeringkan. Proses pembuatan
tepung ubi jalar terfermentasi adalah sebagai berikut:
1. Sortasi bahan baku
Sortasi bertujuan untuk memisahkan ubi jalar yang rusak akibat
serangan hama boleng. Menurut Antarlina dan Utomo (1999), umbi yang
terserang hama dapat mempengaruhi mutu tepung yaitu beraroma boleng
16
yang akan terikut ke produknya. Hal ini penting dilakukan karena kualitas
dari bahan baku akan menentukan kualitas produk akhir yang diperoleh
(Suismono, 2001)
2. Pencucian
Proses pencucian berfungsi untuk menghilangkan kotoran-kotoran
yang melekat pada daging umbi ubi jalar. Menurut Fellows (2000),
pencucian dilakukan untuk menghilangkan kontaminan dari permukaan
bahan makanan. Pencucian dapat menghilangkan sisa tanah atau debu
pada umbi-umbian.
3. Pengupasan
Pengupasan berfungsi untuk menghilangkan kulit ubi jalar yang
tidak diperlukan dalam pembuatan tepung. Menurut Fellows (2000),
pengupasan dapat menghilangkan material yang tidak diinginkan dan
yang tidak dapat dimakan serta untuk memperbaiki kenampakan produk
akhir.
4. Penyawutan
Penyawutan dilakukan untuk memperkecil ukuran umbi sehingga
luas permukaan menjadi semakin besar. Dengan semakin luasnya
permukaan bahan maka proses pengeringan akan menjadi semakin
cepat. Menurut Sutrisno dan Ananto (1999), penyawutan sebenarnya
ditujukan kepada pengecilan ukuran bahan agar proses pengeringan
dapat berlangsung secara cepat dan hasil pengeringan tinggi.
5. Fermentasi
Fermentasi bertujuan untuk memperbaiki sifat fisik dari tepung ubi
jalar, dengan cara hidrolisis pati, selulosa, dan pectin. Proses hidrolisis ini
terjadi melalui aktivitas enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme.
Menurut Wood (1998), kelebihan dari fermentasi alami adalah produk
yang dihasilkan memiliki cita rasa dan aroma yang khas. Hal ini
dikarenakan terdapatnya microflora sekunder yang berasosiasi dan
menghasilkan produk metabolisme yang dapat memberikan cita rasa dan
aroma khas. Dan menurut Lina (2007) dalam Solikhah (2011), proses
fermentasi pada pati secara tradisional mampu memberikan perubahan
karakteristik seperti naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya
rehidrasi, dan kemudahan melarut.
17
6. Perendaman dengan larutan garam
Tujuan dari perendaman larutan garam ini adalah untuk
menghentikan proses fermentasi oleh mikroorganisme. Jika proses
fermentasi terus berlangsung, dapat mempengaruhi sifat fisik dari tepung
ubi jalar, seperti aroma yang terlalu asam, tekstur tepung yang terlalu
lembab, dan warna yang terlalu pudar. Penambahan larutan garam
sebanyak 0,01% dari jumlah air yang digunakan untuk perendaman chips
dan direndam selama 15 menit.
7. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk menghilangkan atau
mengeluarkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan
sebagian air yang dikandungnya dengan menggunakan energi panas.
biasanya kandungann air tersebut dikurangi sampai batas dimana
mikroba lidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Suharto, 1991).
Dalam pembuatan tepung ubi jalar, pengeringan merupakan salah
satu tahap penting yang akan mempengaruhi kualitas tepung yang
dihasilkan. Pengeringan yang umum di negara-negara tropis adalah
pengeringan dengan sinar matahari. akan tetapi pengeringan dengan
tahap ini memberikan kerugian yaitu waktu pengeringan yang relatif lama
yaitu (3-4 hari). Pengeringan yang lama dapat menyebabkan degradasi
komponen-komponen ubi jalar dan memicu pertumbuhan
mikroorganisme. Selain itu. selama pengeringan dapat terjadi kontaminasi
bahan oleh debu dan kotoran (Suharto, 1991).
Pengeringan buatan mempunyai keuntungan dibandingkan
penjemuran karena suhu, aliran udara dan kelembaban daput diatur
sehingga tidak tergantung pada cuaca (Susanto dan Saneto, 1994).
Menurut Suharto (1991), dengan memperhatikan serta
mempertimbangkan standar gizi maka pemanasan dengan mesin
dianjurkan tidak lebih dari 85°C.
8. Penggilingan
Penggilingan bertujuan untuk memecah gumpalan-gumpalan dan
memperkecil ukuran produk serta memudahkan proses pengemasannya
yang dilakukan secara kedap udara. Hal ini dilakukan karena produk
instant memiliki sifat higroskopis (Suismono, 2001). Penggilingan dapat
18
dilakukan dengan menggunakan alat super blender atau alat penghancur
lainnya (Susanto dan Saneto, 1994).
9. Pengayakan
Pengayakan berfungsi untuk mendapatkan tepung dengan ukuran
yang sesuai dan seragam. Pengayakan merupakan proses
pengelompokkan campuran partikel yang berbeda-beda menurut
ukurannya ke dalam bagian yang mendekati range ukuran yang
dikehendaki. Pengayakan bertujuan untuk mendapatkan ukuran ukuran
tepung yang homogen (Susanto dan Saneto, 1994). Pengayakan
dilakukan dengan alat pengayak ukuran 80 mesh. Menurut Suprapti
(2003), tepung ubi jalar memiliki tingkat kehalusan 80 mesh.
2.3 Pati
Pati merupakan salah satu jenis polisakarida yang tersebar luas di alam.
Pati disimpan sebagai cadangan makanan bagi tumbuh-tumbuhan, antara lain di
dalam biji buah (padi, jagung, gandum), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, talas,
ganyong, kentang) dan pada batang (aren dan sagu). Bentuk pati digunakan
untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme (Tjokrodikoesoemo, 1986).
Berat molekul pati bervariasi tergantung pada kelarutan dan sumber patinya
(Hartz dan Schmetz, 1972).
Pati (starch) merupakan zat tepung dari karbohidrat dengan suatu polimer
senyawa glukosa yang terdiri dari dua komponen utama, yaitu amilosa dan
amilopektin. Polimer linier dari D-glukosa membentuk amilosa dengan ikatan
(alfa)-1,4-glukosidik. Amilosa bersifat sangat hidrofilik, karena banyak
mengandung gugus hidroksil maka molekul amilosa cenderung membentuk
susunan paralel melalui ikatan hidrogen. Kumpulan amilosa dalam air sulit
membentuk gel, meskipun konsentrasinya tinggi, sehingga molekul pati tidak
mudah larut dalam air. Berbeda dengan amilopektin yang strukturnya bercabang,
amilosa akan mudah mengembang dan membentuk koloid dalam air. Polimer
amilopektin terbentuk dari ikatan (alfa)-1,4-glukosida dan membentuk cabang
pada ikatan (alfa)-1,6-glukosida (Winarno, 2008).
Amilosa dan amilopektin mempunyai sifat fisik yang berbeda. Amilosa
lebih mudah larut dalam air dan kurang kental dibanding amilopektin. Amilosa
menghasilkan warna biru bila direaksikan dengan larutan iodida, sedangkan
amilopektin menghasilkan warna ungu (Wall dan Blessin di dalam Wall dan Ross,
1970).
19
Menurut Anderson (1958), amilosa merupakan hasil kondensasi molekul-
molekul glukosa yang terdiri dari 300 atau lebih molekul α-D glukosa, tersusun
dalam bentuk rantai panjang dan lurus. Molekul-molekul tersebut dihubungkan
oleh α-1,4D glukosidik. Berikut struktur molekul amilosa yang tersaji pada
Gambar 2.4
Gambar 2.4.. Struktur Molekul Amilosa (Fennema, 1976).
Amilopektin merupakan polimer dari glukosa dan banyak mengandung
rantai cabang. Pada rantai lurusnya terdapat kurang lebih 2000 – 3000 molekul
glukosa, sedang pada rantai cabangnya mengandung 24 – 30 molekul glukosa.
Antar molekul glukosa dihubungkan dengan ikatan α-1,4D dan α-1,6D glukosidik
(Anderson, 1958). Berikut struktur molekul amilopektin yang tersaji pada Gambar
2.5
Gambar 2.5.. Struktur Molekul Amilopektin (Fennema, 1976)
Enzim α-amilase bekerja menghidrolisis ikatan α-1,4 glukosidik pada
rantai bagian dalam molekul amilosa, amilopektin dan glikogen. Pemutusan
rantai polimer amilosa oleh enzim α-amilase berlangsung dalam dua tahap, yaitu
: (1) terjadi sangat cepat, dan (2) pembentukan glukosa dari maltosa secara
lambat (Forgaty, 1983).
Pada molekul amilopektin, enzim α-amilase bekerja memotong ikatan α-
1,4D glukosidik dan menghasilkan glukosa, maltosa, dan α-limit dextrin. Enzim α-
20
amilase tidak dapat memotong α-1,6 pada rantai polimer amilopektin (Forgaty,
1983). Berikut mekanisme aktifitas enzim α-amilase pada amilosa dan
amilopektin yang tersaji pada Gambar 2.6
Gambar 2.6. Mekanisme Aktifitas Enzim α-Amilase Pada Amilosa Dan Amilopektin (Meyer, 1978)
Bila pati dilarutkan dalam air dingin tidak akan terjadi perubahan, tapi jika
suhu dinaikkan kekentalan akan meningkat dan pati akan menyerap air sehingga
terjadi penggelembungan. Jika konsentrasi suspensi pati cukup tinggi maka akan
terbentuk gel, proses ini disebut gelatinisasi (Meyer, 1978). Menurut Reilly
(1985), Salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap nilai kelarutan pati
dalam air adalah ikatan hidrogen. Pada granula pati terdapat gugus hidroksil
yang terkandung pada unit glukosa dalam polimer amilosa dan amilopektin.
Gugus hidroksil ini memiliki kecenderungan untuk berikatan dengan atom
hidrogen yang terdekat sehingga mampu membentuk struktur granula yang
kompak dan teratur. Gugus hidroksil ini memiliki barrier yang cukup baik
terhadap difusi molekul lain ke dalam granula pati termasuk molekul air.
Berikut ini perbandingan mutu pati ubi jalar, meliputi kadar (%) bb dari
pati, serat dan abu, kadar derajat putih dan kekentalan, yang tersaji pada Tabel
2.8
Tabel 2.8 Mutu Pati Ubi Jalar Berbagai Penelitian Terdahulu
Metode Kadar (5) bb Derajat
putih (%)
Kekentalan (cps)
Tepung 100 g umbi
Serat Abu
Saraswati (1981) 98.13 0.37 0.41 89.60 -
Kadarisman (1985)
97.79 0.22 0.53 86.17 305
Mc. Donell di dalam Radley
(1976) 97.50 - - - -
Sumber : Haryani (2008)
21
2.3.1 Gelatinisasi Pati
Granula pati alami bersifat tidak larut dalam air, namun dapat menjadi
larut dalam air bila suspensi pati dipanaskan di atas suhu gelatinisasinya. Bila
pati disuspensikan dalam air yang berlebih dan dipanaskan pada suhu dan waktu
tertentu, maka granula pati secara berangsur-angsur mengalami perubahan yang
bersifat ireversibel, artinya tidak dapat kembali pada kondisi granula semula.
Gelatinisasi pati ditandai dengan terjadinya pengembangan (swelling) granula
pati, peluruhan (melting) dari bagian kristalit, hilangnya sifat birefringence,
peningkatan kekentalan dan peningkatan kelarutan pati (Gambar 2.7). Suhu
awal terjadinya gelatinisasi yang teramati dipengaruhi oleh konsentrasi pati,
metode analisis, jenis pati dan keseragaman ukuran granula pati (Liu 2006).
Gambar 2.7. Perubahan granula pati (alami: I) selama proses gelatinisasi, terjadi pengembangan (IIa) pelepasan amilosa (IIb), retrogradasi, proses penggabungan kembali rantai linear pati setelah dekristalisasi akibat gelatinisasi (Srichuwong 2006)
Dalam proses gelatinisasi pati ini, granula pati secara berangsur-angsur
mengalami pengembangan (swelling) dengan meningkatnya suhu pemanasan.
Pengembangan granula pati terjadi karena molekul-molekul air masuk ke dalam
granula pati dan terperangkap pada susunan molekul-molekul amilosa dan
amilopektin. Dengan naiknya suhu suspensi pati, maka granula pati semakin
membesar. Mekanisme pengembangan tersebut disebabkan ikatan-ikatan
hidrogen yang menghubungkan molekul-molekul amilosa dan amilopektin
semakin melemah dengan meningkatnya suhu pemanasan, sehingga
22
mengganggu kekompakan granula pati. Di sisi lain, dengan meningkatnya suhu,
maka molekul-molekul air mempunyai energi kinetik yang lebih tinggi sehingga
dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula pati. Dengan demikian, bila suhu
suspensi pati meningkat, maka air akan terikat secara simultan dalam molekul
amilosa dan amilopektin yang mengakibatkan pengembangan ukuran granula
pati tersebut. Setelah pengembangan granula mencapai maksimum pada suhu
pemanasan tertentu, maka granula pati akan pecah (rupture), sehingga
pemanasan pada suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan penurunan
kekentalan pasta pati secara tajam (Meyer, 1978) dan (Parker, 2003).
2.4 Fermentasi Alami
Pengolahan bahan pangan secara tradisional sudah dikenal lama. Salah
satu cara pengolahan yang dilakukan adalah dengan fermentasi. Fermentasi
telah lama digunakan dan merupakan salah satu cara pemrosesan dan bentuk
pengawetan makanan tertua (Achi, 2006). Fermentasi merupakan cara untuk
memproduksi berbagai produk yang menggunakan biakan mikroba melalui
aktivitas metabolisme baik secara aerob maupun anaerob. Fermentasi dapat
terjadi karena adanya aktivitas mikroba pada substrat organik yang sesuai.
Terjadinya fermentasi dapat menyebabkan perubahan sifat bahan pangan akibat
pemecahan kandungan bahan pangan tersebut sehingga memungkinkan
makanan lebih bergizi, lebih mudah dicerna, lebih aman, dapat memberikan rasa
yang lebih baik (Rahayu dan Sudarmadji, 1989; Widowati dan Misgiyarta, 2002;
Parveen dan Hafiz, 2003) dan memberikan tekstur tertentu pada produk pangan
(Misgiyarta dan Widowati, 2002.; Parveen dan Hafiz, 2003). Fermentasi juga
merupakan suatu cara yang efektif dengan biaya rendah untuk mengawetkan,
menjaga kualitas dan keamanan makanan (Parveen dan Hafiz, 2003). Menurut
Wood (1998) Fermentasi alami terjadi melalui bantuan mikroba indigen yang
secara alami telah terdapat pada bahan baku yang digunakan serta mikroba-
mikroba lain dari lingkungan yang turut berasosiasi. Pada proses fermentasi
alami kondisi inkubasi diatur (secara tradisional) untuk mendukung pertumbuhan
mikroba yang diinginkan secara cepat dan memperlambat pertumbuhan mikroba
lainnya.
Banyak bahan pangan dari hewan atau tumbuhan yang mengandung
varietas dari mikroorganisme, yang telah tumbuh sebelum proses pemanenan.
Pada proses pengolahan pangan, mikroorganisme juga bisa ditambahkan pada
makanan. Jika makanan yang akan di fermentasi tidak di panaskan terlebih
23
dahulu, jumlah dari mikroorganisme yang ada pada makanan akan berlipat
ganda. Meskipun kesempatan dari mikroorganisme akan dibatasi oleh
kemampuannya untuk tumbuh dan bersaing pada makanan, dan juga dari
lingkungan luar. Fermentasi ini biasanya dihasilkan dari suksesi mikroorganisme
predominan, yang akhirnya dapat menstabilkan produk fermentasi dengan
adanya populasi mikroba campuran yang didominasi oleh mikroorganisme yang
cocok dengan kondisi fisikokimia produk. Pada kelompok umbi-umbian,
fermentasi alami di dominasi oleh Bakteri Asam Laktat (Lactobacillus plantarum),
Corynebacterium spp., Geotrichum candidum. (Adams dan Nout, 2001). Salmien
dan Wright (1993) melaporkan bahwa pada fermentasi alami, terutama
disebabkan oleh bakteri asam laktat mesofil yang menghasilkan asam laktat.
Menurut Rahayu dan Sudarmadji (1989), BAL merupakan mikroorganisme yang
memegang peranan penting dalam banyak fermentasi makanan. Adanya
pertumbuhan bakteri pada bahan pangan menyebabkan perubahan-perubahan,
baik yang bersifat kimiawi maupun biokimiawi bahan, bahkan dapat terjadi
perubahan fisik.
Menurut Odoemelam (2005) dalam Solikhah (2011), menyatakan bahwa
proses fermentasi berlangsung dalam 2 tahap. Pertama, pemecahan senyawa
glukosida, yaitu senyawa yang mengandung HCN dan glukosa oleh
Corynebacterium manihot yang akan membebaskan HCN dan glukosa
digunakan untuk kelangsungan hidup mikroba tersebut. Tahap kedua, dimulai
dengan perkembangan jamur Geotricum candida dalam bahan pangan karena
substratnya sesuai untuk pertumbuhannya yang akan memproduksi aldehid,
aseton dan ester yang memberikan flavour yang khas pada produk.
Selama proses fermentasi dari glukosa, aseton dan beberapa asam
organik terbentuk dan gas hidrogen, HCN dan CO2 dibebaskan. Bahan
dihidrolisis menjadi glukosa dan gula sederhana lainnya. Proses fermentasi CO2
yang terbentuk menggantikan oksigen, sehingga membuat lingkungan menjadi
anaerobic dan dapat membantu pertumbuhan bakteri seperti Lactobacillus
(Anonymous, 1995 dalam Solikhah 2011).
Kelebihan dari fermentasi alami adalah produk yang dihasilkan memiliki
cita rasa dan aroma yang khas. Hal ini dikarenakan terdapatnya mikroflora
sekunder yang berasosiasi dan menghasilkan produk metabolisme yang dapat
memberikan cita rasa dan aroma khas (Fardiaz, 1987). Menurut Lina (2007)
dalam Solikhah (2011), proses fermentasi pada pati secara tradisional mampu
24
memberikan perubahan karakteristik seperti naiknya viskositas, kemampuan
gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut.
Kekurangan dari fermentasi alami adalah kualitas produk yang dihasilkan
seringkali tidak sama dikarenakan fermentasi yang terjadi tidak terkontrol
sehingga produk yang dihasilkan pun akan sangat tergantung pada kondisi
lingkungan dan substrat yang digunakan (Wood, 1998).
2.4.1 Waktu Fermentasi
Pada proses fermentasi, pertumbuhan mikroba tergantung oleh waktu.
Suatu bahan pangan dapat ditumbuhi oleh campuran dari berbagai macam
spesies mikroba yang berbeda, seperti bakteri, jamur, dan kapang. Setiap
mikroba memiliki kecepatan pertumbuhan yang berbeda-beda, tergantung dari
faktor intrinsik (kadar air, nutrisi, Aw, pH, kandungan anti mikroba, dll) dan juga
faktor ekstrinsik (temperature, RH, konsentrasi gas di lingkungan, dll) (Ray, 2004)
Menurut Muljono dkk., (1992) pertumbuhan mikrobial biasanya ditentukan
oleh waktu yang diperlukan untuk menggandakan massa sel. Waktu
penggandaan massa sel dapat berbeda dengan waktu penggandaan jumlah,
karena massa sel dapat meningkat tanpa penambahan jumlah sel. Tetapi bila
dalam suatu lingkungan tertentu interval antara penggandaan massa sel dan
jumlah dengan waktu berlangsung konstan, maka mikroba tumbuh pada laju
eksponensial.
Semakin lama proses fermentasi, maka mikroba yang tumbuh akan
semakin banyak. Sehingga, kemampuan mikroba untuk memecah pati juga
semakin besar. (Astawan, 2008). Menurut Kurnia (1992), Semakin lama proses
fermentasi, total asam semakin meningkat. Ini disebabkan karena semakin lama
fermentasi semakin banyak bakteri yang terbentuk sehingga meningkatkan
jumlah asam yang di bentuk. Lama fermentasi sangat berpengaruh pada kualitas
produk yang dihasilkan, seperti rasa, aroma, tekstur dan warna.
2.4.2 Enzim yang Berperan pada Proses Fermentasi
2.4.2.1 Amilase
Amilase merupakan enzim yang berfungsi memecah pati atau glikogen.
Senyawa ini banyak terdapat dalam hasil tanaman dan hewan. Amilase dapat
dikelompokkan menjadi 3 golongan enzim, pertama α-Amilase, yang memecah
pati secara acak dari tengah atau dari bagian dalam molekul , karenanya disebut
emzim endoamilase. Kedua, β-Amilase, yang menghidrolisis unit-unit gula dari
25
ujung molekul pati, karenanya disebut eksoamilase. Ketiga adalah glukoamilase,
yang dapat memisahkan glukosa dari terminal gula non-pereduksisubstrat pati.
(Winarno,1986) Menurut Hidayat (2008), Amilase dapat diperoleh dari berbagai
sumber seperti tanaman, binatang dan mikroorganisme. Saat ini sejumlah enzim
amilase telah diproduksi secara komersial. Penggunaan mikrobia dianggap lebih
prosepektif karena mudah tumbuh, cepat menghasilkan dan kondisi lingkungan
dapat dikendalikan.
Produksi enzim amilase dapat menggunakan berbagai sumber karbon.
Contoh-contoh sumber karbon yang murah adalah sekam, molase, tepung
jagung, jagung, limbah tapioka dan sebagainya. Jika digunakan limbah sebagai
substrat, maka limbah tadi dapat diperkaya nutrisinya untuk mengoptimalkan
produksi enzim. Sumber karbon yang dapat digunakan sebagai suplemen antara
lain: pati, sukrosa, laktosa, maltosa, dekstyrosa, fruktosa, dan glukosa. Sumber
nitrogen sebagai suplemen antara lain: pepton, tripton, ekstrak daging, ekstrak
khamir, amonium sulfat, tepung kedelai, urea dan natrium nitrat (Hidayat, 2008).
Menurut Tjokroadikoesoemo (1986) dan Wang (2002), α-Amilase adalah
suatu endo-enzim yang hanya menyerang ikatan α-1,4 glikosidik secara acak di
bagian dalam molekul baik pada amilosa maupun pada amilopektin. Pada
amilosa, pengaruh aktifitas α-Amilase menyebabkan pati terputus-putus menjadi
dekstrin dengan rantai sepanjang 6-10 unit glukosa. Pada tahap ini, reaksi α-
amilase relatif sangat lambat. Jika waktu reaksinya diperpanjang, dextrin tersebut
dipotong-potong lagi menjadi campuran antara glukosa, maltosa, maltotriosa dan
ikatan lain.
Pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa dan satu
seri α-limit dextrin, serta oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih glukosa
yang mengandung ikatan α-1,6 glikosidik. Alfa amilase menghidrolisis
amilopektin dimulai dari rantai-rantai luar dan juga memecah ikatan α-1,4
glikosidik secara acak. Selama proses hidrolisis, terjadi penurunan berat molekul
pati yang ditunjukkan dengan adanya penurunan viskositas dan meningkatnya
gula pereduksi (Fogarty, 1983).
Selain mendegradasi menjadi molekul yang lebih kecil. α-Amilase dapat
menurunkan viskositas larutan pati sehingga hidrolisat pati menjadi lebih larut di
dalam air.
Pada glukoamilase, enzim ini bekerja dengan cara menghidrolisa ikatan
glukosida α-1,4, tetapi hasilnya adalah β-glukosa yang mempunyai konfigurasi
26
berlawanan dengan hasil hidrolisa oleh α-amilase. Enzim glukoamilase juga
dapat menghidrolisa ikatan glukosida α-1,6 dan α-1,3 tetapi dengan laju yang
lebih lambat dibandingkan hidrolisa ikatan glukosida α-1,4 ( Muljono dkk., 1989).
2.4.2.2 Protease
Enzim protease merupakan enzim yang bekerja memecah ikatan peptida
pada protein dengan cara hidrolisis. Menurut Adams dan Nout (2001), klasifikasi
enzim protease didasarkan pada beberapa hal antara lain: sumber/asal protease,
aksi katalitiknya (pemecahan ikatan peptida), dan sifat alami sisi aktifnya.
Berdasarkan sumbernya, terdapat enzim protease yang diperoleh dari hewan,
dari tanaman, ataupun dari mikroba. Berdasarkan aksi katalitiknya, enzim
protease terbagi atas endopeptidase (proteinase) dan eksopeptidase.
Endopeptidase memecah ikatan peptida yang sesuai (susceptible) di sepanjang
rantai polipeptida, sementara eksopeptidase menghidrolisa satu asam amino dari
salah satu ujung rantai polipeptida. Endopeptidase sering digunakan dalam
industri pangan, dan terkadang juga digunakan secara bersamaan dengan
eksopeptidase.
Enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri yang berfungsi untuk
menghidrolisis ikatan peptida pada protein dan merubah protein menjadi bentuk
monomernya. Protease yang dihasilkan oleh bakteri dan fungi berperan penting
dalam siklus carbon dan nitrogen pada reaksi pembentukan protein, serta dalam
aktivitas yang berhubungan dengan pengaturan metabolisme nutrisi. Akibat dari
pengaturan metabolisme nutrisi oleh mikroorganisme adalah adanya ratusan
koloni mikroorganisme dalam tanah yang dapat memecah protein menjadi
carbon, nitrogen, dan sulfur. Protease pada mikroorganisme juga dapat
memproduksi eksotoxin, dimana mikroorganisme tersebut akan dapat merusak
struktur ekstra sel. Aktivitas ini biasa dimanfaatkan pada industri pembuatan roti
(Anonymousb, 2011).
Varietas mikroorganisme yang menghasilkan protease antara lain bakteri,
fungi, yeast, dan Actinomycetes (Madan dkk, 2002). Fungi dari genus
Aspergillus, Penicilium,dan Rhizopus digunakan untuk memproduksi protease.
Beberapa spesies dari genus tersebut pada umumnya tidak menghasilkan toxin
yang berbahaya dan aman (Sandhya dkk., 2005).
Protease juga dapat berfungsi untuk mengkelat dan merusak protein
teroksidasi sebagai akibat dari reaksi oksidatif. Pada reaksi oksidatif, protein
27
dapat terikat oleh oksigen bebas dan membentuk protein teroksidasi, senyawa ini
bersifat merugikan karena tidak dikenal tubuh. Oral protease merupakan salah
satu jenis protease yang dapat merusak dan memecah protein yang bersifat
merugikan tersebut. Oral protease akan berikatan dengna makroglobulin dan
menghidrolisis protein (Anonymousb, 2011).
2.4.2.3 Pektinase
Pektinase atau enzim pektinolitik merupakan bahan penghidrolisis pektin.
Pektinase pada umumnya bisa dihasilkan oleh bakteri, fungi, dan tanaman. Pada
tanaman enzim ini berperan penting untuk pembentukan dan memperkokoh
dinding sel, serta melunakkan jaringan tanaman ketika proses pematangan dan
penyimpanan buah atau sayur. Protopektinase, poligalakturonase, lyases dan
pektin esterase merupakan beberapa jenis dari enzim pektinase. Pektinase yang
dihasilkan oleh mikrooganisme mencapai 25% dari seluruh pektinase yang dijual
di pasaran. Sebagian besar enzim tersebut diproduksi oleh fungi dari spesies
Aspergillus niger (Jayani dkk, 2005).
Pektin merupakan polimer dari asam D-galakturonat yang dihubungkan
oleh ikatan β-1,4-glukosida. Sebagian gugus karboksil dari senyawa pektin
mengalami esterifikasi dengan metil (metilasi) dengan gugus metoksil. Senyawa
ini disebut sebagai asam pektinat atau pektin. Pada umumnya senyawa-senyawa
pektin dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok senyawa yaitu asam pektat,
asam pektinat (pektin), dan protopektin (Winarno, 2008).
Enzim pektinolitik dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu enzim
depolimerase dan pektin esterase. Enzim depolimerase dikelompokkan lagi
berdasarkan substratnya antara lain yang memerlikan substrat asam pektinat
adalah Polimetilgalakturonase (PMG) dan Pektin liase (PL); substrat asam pektat
Poligalakturonase (PG) dan Pektat liase (PAL). Sedangkan Pektin esterase
disebut juga pektin metil esterase. Dimana enzim tersebut menghidrolisis ester
metil pada asam galakturonat (Winarno, 1986).
28
III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Pengolahan Pangan,
Laboratorium Biokimia dan Nutrisi Pangan dan Laboratorium Mikrobiologi
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Penelitian ini
dilaksanakan mulai bulan November 2012 – April 2013.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ubi jalar terfermentasi
adalah wadah plastik bertutup, gelas ukur, pisau stainless steel, baskom, slicer,
sawut, pengering kabinet, loyang, timbangan, sendok, blender merk “Philips” dan
ayakan 80 mesh.
Alat yang digunakan untuk analisa adalah spatula, glassware, beaker
glass, timbangan analitik, pipet tetes, pipet ukur, tabung reaksi, oven (Memmert
U-30), desikator, color reader, viskometer, sentrifuge, vortex, pH meter, dan
mikroskop.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar ungu varietas
Ayamurasaki, ubi jalar orange varietas Kuningan Merah, ubi jalar putih varietas
Kuningan Putih, yang diperoleh dari desa Sukoanyar kecamatan Pakis
kabupaten Malang.
Bahan yang digunakan untuk analisa antara lain: aquades, larutan garam,
kertas saring, ether, HCl, NaOH 45%, dan iodine.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Rancangan Percobaan
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Tersarang
(Nested Design) dengan dua faktor dan tiga ulangan, dimana antara kedua faktor
tidak ada interaksi. Terdapat 2 faktor dengan faktor I terdiri dari 3 level dan faktor
II terdiri dari 3 level yang diulang sebanyak 3 kali.
Faktor I : Varietas Ubi Jalar
J1 = Ubi Jalar Ungu Varietas Ayamurasaki
J2 = Ubi Jalar Orange Varietas Kuningan Merah
29
J3 = Ubi Jalar Putih Varietas Kuningan Putih
Faktor II : Waktu Fermentasi Chips Ubi Jalar
U1 = Fermentasi 12 jam
U2 = Fermentasi 24 jam
U3 = Fermentasi 36 jam
Dari kedua faktor diperoleh 9 kombinasi yang masing-masing diulang 3 kali,
yaitu:
J1U1: Varietas Ayamurasaki (ungu) dengan lama fermentasi 12 jam
J1U2: Varietas Ayamurasaki (ungu) dengan lama fermentasi 24 jam
J1U3: Varietas Ayamurasaki (ungu) dengan lama fermentasi 36 jam
J2U1: Varietas Kuningan Merah dengan lama fermentasi 12 jam
J2U2: Varietas Kuningan Merah dengan lama fermentasi 24 jam
J2U3: Varietas Kuningan Merah dengan lama fermentasi 36 jam
J3U1: Varietas Kuningan Putih dengan lama fermentasi 12 jam
J3U2: Varietas Kuningan Putih dengan lama fermentasi 24 jam
J3U3: Varietas Kuningan Putih dengan lama fermentasi 36 jam
Setelah data diperoleh dari 3 kali ulangan, perlakuan terbaik ditentukan
dengan metode Multiple atribut (Zeleny, 1982).
3.4 Pelaksanaan
3.4.1 Pembuatan Tepung Ubi Jalar
Dilakukan sortasi berdasarkan kualitas ubi jalar
Ubi Jalar dikupas dan dibersihkan
Ditimbang 320 gram
Diiris tipis dengan ukuran ketebalan 1-2 mm
Dikeringkan menggunakan pengering kabinet suhu 50 oC selama 12 – 18
jam
Digiling dan diayak pada ukuran 80 mesh.
3.4.2 Pembuatan Tepung Ubi Jalar Fermentasi Alami
Ubi Jalar dikupas dan dicuci dengan air mengalir
Diiris tipis dengan slicer atau alat penyawut, dengan ketebalan 1-2 mm
Direndam dalam air selama 12-36 jam
Dicuci bersih
Direndam dalam larutan garam sebanyak 0,1% selama 15 menit
Dicuci bersih
30
Dikeringkan menggunakan pengering cabinet suhu 50 oC selama 12-18
jam
Digiling dengan menggunakan blender
Diayak dengan ayakan 80 mesh
3.5 Pengamatan dan Analisis Data
Pengamatan dilakukan terhadap bahan baku pada awal proses, tepung
ubi jalar hasil fermentasi, dan tepung perlakuan terbaik.
3.5.1 Pengamatan dan Analisa Bahan Baku
Bahan baku yang dianalisa yaitu ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki, ubi
jalar orange varietas Kuningan Merah, ubi jalar putih varietas Kuningan Putih.
Pengamatan yang dilakukan antara lain kadar air, pH, dan kadar pati.
3.5.2 Pengamatan pada Tepung Ubi Jalar Terfermentasi
Pengamatan fisik yang dilakukan pada tepung ubi jalar terfermentasi
analisa rendemen, viskositas panas dan dingin, Indeks Penyerapan Air (IPA),
Indeks Kelarutan Air (IKA) (Muchtadi dkk, 1988), warna (L,a,b) (Yuwono dan
Susanto, 1998) , pH (Apriyantono.,1989), kadar air (Sudarmadji dkk., 1997),
kadar pati Direct Acid Hydrolysis (AOAC, 1970 dalam Sudarmadji, dkk., 1997),
analisa mikroskopis bentuk granula dan uji organoleptik.
3.5.3 Pengamatan pada Tepung Perlakuan Terbaik
Pengamatan dan analisa yang dilakukan pada tepung fermentasi
perlakuan terbaik antara lain analisa bulk density (densitas kamba), kadar air
(Sudarmadji dkk., 1997), kadar pati Direct Acid Hydrolysis (AOAC, 1970 dalam
Sudarmadji, dkk., 1997), viskositas panas dan dingin, indeks penyerapan air
(IPA), indeks kelarutan air (IKA), analisa rendemen chips kering dan tepung.
3.6 Analisa Data
Data yang diperoleh dianalisa menggunakan analisis ragam dengan
Rancangan Tersarang (Nested Design) dua faktor. Apabila terdapat pengaruh
nyata pada kedua perlakuan dilakukan uji lanjut DMRT (Duncan’s Multiple Range
Test) 5% dan 1% atau uji BNT (Beda Nyata Terkecil) dengan taraf nyata 5%
dan 1% . Data hasil uji organoleptik dilakukan dengan uji Hedonic Scale Scoring.
Sedangkan pemilihan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Multiple
Attribute (Zeleny, 1982).
31
3.7 Diagram Alir Penelitian
a
ubi jalar dari setiap
jenis varietas ubi
jalar
Air 1,2 liter
DIkupas dan dicuci bersih
Diiris tipis dengan ketebalan 1-2 mm
Fermentasi pada suhu kamar dan lama proses (12,24,36 jam)
Dikeringkan menggunakan pengering cabinet, suhu 500 C selama 12 jam
Chips Ubi Jalar Terfermentasi Kering
Dicuci bersih
Direndam dalam larutan garam 0,1% selama 15 menit
Dicuci bersih
Tepung ubi jalar terfermentasi
Analisa Rendemen
Digiling
Analisa Awal:
- Analisa pH - Analisa kadar air - Analisa kadar pati
Ditimbang sebanyak 320 gram
32
a
Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ubi Jalar Terfermentasi
(Modifikasi Irawati, 2011)
Tepung ubi jalar
terfermentasi ukuran
80 mesh
Diayak dengan ayakan 80 mesh
Tepung ubi jalar terfermentasi
ukuran non 80 mesh
Digiling
Diayak 80 mesh
Tepung ubi jalar terfermentasi
ukuran non 80 mesh
Digiling
Diayak 80 mesh
Sisa Tepung ubi jalar terfermentasi
Analisa Akhir :
- Analisa kadar air - Analisa kadar pati - Analisa pH - Analisa rendemen - Analisa Viskositas
Panas & Dingin - Analisa Densitas
kamba - Analisa warna - Analisa sifat
mikroskopis granula pati
- Uji organoleptik aroma dan warna
33
Gambar 3.2 Diagram Alir Pembuatan Tepung Ubi Jalar Kontrol
(Modifikasi Irawati, 2011)
Bahan baku ubi jalar
dari setiap varietas
DIkupas dan dicuci bersih
Diiris tipis dengan ketebalan 1-2 mm
Dikeringkan menggunakan pengering cabinet, suhu 50 0C selama 12 jam
Chips Ubi Jalar Kering Analisa Rendemen
Digiling
Diayak dengan ayakan 80 mesh
Analisa Awal:
- Analisa pH - Analisa kadar air - Analisa kadar pati
Ditimbang sebanyak 320 gram
Tepung ubi jalar
ukuran 80 mesh
Tepung ubi jalar ukuran non 80 mesh
Digiling
Diayak 80 mesh
Tepung ubi jalar ukuran non 80 mesh
Digiling
Diayak 80 mesh
Sisa Tepung Tepung Ubi Jalar
Analisa Akhir :
- Analisa kadar air - Analisa kadar pati - Analisa pH - Analisa rendemen - Analisa Viskositas
Panas & Dingin - Analisa Densitas
kamba - Analisa warna - Analisa sifat
mikroskopis granula pati
- Uji organoleptik aroma dan warna
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan pada pembuatan tepung ubi jalar
terfermentasi dalam penelitian ini adalah ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki, ubi
jalar oranye varietas Kuningan Merah, dan ubi jalar putih varietas Kuningan
Putih. Bahan baku ini diperoleh dari desa Sukoanyar kecamatan Pakis
kabupaten Malang. Bahan baku yang digunakan merupakan bahan baku segar
yang baru di panen, sehingga diperlukan beberapa analisa untuk mengetahui
karakteristiknya sebelum digunakan sebagai bahan baku pada pembuatan
tepung ubi jalar terfermentasi. Parameter bahan baku ubi jalar yang dianalisa
meliputi pH, kadar air, kadar pati dan warna. Hasil analisa bahan baku dapat
dilihat pada 4.1
Tabel 4.1 Data Analisa Bahan Baku
Parameter
Varietas Ubi Jalar
Ayamurasaki (ungu)
Kuningan Merah
Kuningan Putih
Hasil Analisa
pH Kadar air Kadar pati Warna : Kecerahan (L*) Kemerahan (a*) Kekuningan (b*)
5,79 74,62% 16,37% 43,1 17,63 -1,9
6,12 69% 23,55% 70,77 20,77 28,8
6,05 71% 22,78% 81,17 2,5 36,87
Literatur
pH Kadar air Kadar pati Warna : Kecerahan (L*) Kemerahan (a*) Kekuningan (b*)
- 70,46% ** 12,64% ** 34,43 * 16,17 * 7,97 *
- 79,28% ** 15,18% ** - - -
6,21 **** 65% *** 31,04% **** 67,5 **** 19,3 **** 12,7 ****
Sumber : * : Sulistiyati (2007) ** : Dewi (2007) *** : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2012) **** : Agustawa (2012)
Dari Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa hasil analisa kadar air pada varietas
Ayamurasaki (ungu) sebesar 74,6%, sedangkan kadar air hasil penelitian yang
dilakukan Sulistyati (2007) sebesar 66,65%. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Nakashima (1999) terhadap ubi ungu Jepang (Ayamurasaki) menghasilkan kadar
air berkisar antara 51-81 %.
35
Pada varietas Kuningan Merah memiliki kadar air sebesar 69%.
Sedangkan hasil penelitian lain menurut Dewi (2007) kadar air pada ubi jalar
yang memiliki daging umbi oranye adalah 79,28%. Perbedaan ini disebabkan
karena bahan baku yang digunakan dalam penelitian dan bahan baku dari
literatur memiliki umur panen, lokasi penanaman, perlakuan penanaman dan
umur penyimpanan pasca panen yang berbeda.
Pada varietas Kuningan Putih memiliki kadar air sebesar 71 %. Pada
penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2012)
diketahui bahwa kadar air pada ubi jalar putih sebesar 65 %. Perbedaan ini
disebabkan karena varietas ubi yang di gunakan berbeda. Karena pada
penelitian dari literatur tersebut menggunakan ubi jalar varietas Sukuh,
sedangkan pada penelitian ini digunakan ubi jalar putih varietas Kuningan Putih.
Kedua ubi jalar memiliki kesamaan pada warna putih pada daging umbinya
Menurut Wolfe (1992) perbedaan kadar air pada bahan baku ubi jalar
segar ini dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti lokasi tanam, iklim, tipe
tanah, serta gangguan hama dan penyakit. Dan menurut Antarlina dan Utomo
(1999) keragaman bahan baku (umbi ubi jalar) sangat tinggi sehingga masing-
masing jenis dapat menghasilkan mutu tepung yang berbeda-beda. Dari segi
bahan baku ini yang dapat mempengaruhi mutu tepung ubi jalar adalah : umur
tanaman, ukuran umbi, bentuk umbi, bahan kering umbi dan warna umbi.
Hasil analisa kadar pati pada varietas Ayamurasaki (ungu) sebesar 16,37
%. Sedangkan menurut Dewi (2007) kadar pati pada ubi jalar ungu varietas
Ayamurasaki adalah 12,64%. Perbedaan ini disebabkan karena umur panen
yang berbeda dan waktu penyimpanan ubi jalar pasca panen yang berbeda.
Pada varietas Kuningan Merah memiliki kadar pati sebesar 16,37 %.
Sedangkan hasil penelitian lain menurut Dewi (2007) kadar pati pada ubi jalar
yang memiliki daging umbi oranye adalah 15,18 %. Perbedaan ini dikarenakan
lokasi penanaman, perlakuan penanaman dan umur penyimpanan pasca panen
yang berbeda.
Pada varietas Kuningan Putih memiliki kadar pati sebesar 22,78%.
Sedangkan pada penelitian Agustawa (2012) kadar pati pada ubi jalar putih
adalah 31,04 %. Perbedaan ini disebabkan karena varietas ubi yang digunakan
berbeda. Pada penelitian Agustawa (2012) digunakan ubi jalar putih varietas
Sukuh.
36
Menurut Woolfe (1992), perbedaan kadar pati pada bahan baku ubi jalar
disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan seperti: lokasi tanam, musim panen,
lama waktu musim tanam dan pupuk. Menurut Antarlina dan Utomo (1999)
kandungan pati didalam bahan baku akan dipengaruhi oleh umur tanaman dan
lama penyimpanan setelah panen. Semakin lama proses penyimpanan maka
kandungan pati semakin rendah.
Hasil analisa warna varietas Ayamurasaki (ungu) pada Tabel 4.1
menunjukkan tingkat kecerahan (L*) 43,1, tingkat kemerahan (a*) 17,63 dan
tingkat kekuningan (b*) -1,9, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sulistyati (2007) menunjukkan tingkat kecerahan (L*) 34,43, tingkat kemerahan
(a*) 16,17 dan tingkat kekuningan (b*) 7,97. Perbedaan warna dipengaruhi oleh
komponen bioaktif yang terkandung dalam ubi jalar ungu. Menurut (Sulistyati,
2007), tingkat kecerahan (L*) berhubungan dengan kapasitas warna ungu pada
umbi. Semakin ungu warna daging umbi, maka tingkat kecerahannya akan
semakin rendah. Tingkat kemerahan (a*) sebanding dengan kapasitas warna
ungu pada umbi. Semakin ungu warna daging umbi, maka tingkat kemerahan
akan semakin tinggi. Sedangkan tingkat kekuningan (b*) berbanding terbalik
dengan intensitas warna ungu umbi. Semakin kecil tingkat kekuningan maka
akan mendekati warna biru.
Hasil analisa warna varietas Kuningan Merah pada Tabel 4.2
menunjukkan tingkat kecerahan (L*) 70,77 tingkat kemerahan (a*) 20,77 dan
tingkat kekuningan (b*) 28,8. Warna kulit dari varietas Kuningan Merah yang
diteliti adalah oranye dan memiliki warna daging umbi oranye (kuning
kemerahan). Dalam industri pengolahan saos tomat dan saos cabe pada
umumnya menggunakan bahan baku dengan warna daging umbi berwarna
kuning /oranye. Dengan alasan itulah maka digunakan ubi jalar oranye varietas
Kuningan Merah dalam penelitian ini.
Pada varietas Kuningan Putih menunjukkan tingkat kecerahan (L*) 81,17
tingkat kemerahan (a*) 2,5 dan tingkat kekuningan (b*) 36,87. Sedangkan pada
penelitian Agustawa (2012) menunjukkan tingkat kecerahan (L*) 67,5, tingkat
kemerahan (a*) 19,3 dan tingkat kekuningan (b*) 12,7. Perbedaan warna ini
disebabkan karena bahan baku yang digunakan berbeda, dimana pada
penelitian ini digunakan bahan baku ubi jalar putih varietas Kuningan Putih dan
pada penelitian Agustawa (2007) digunakan ubi jalar putih varietas Sukuh. Pada
warna daging umbinya, ubi jalar varietas sukuh memiliki warna yang lebih putih
37
dari pada varietas Kuningan Putih yang daging umbinya berwana putih ke
kuningan. Hal ini dapat dilihat pada tingkat kekuningan (b*) pada ubi jalar putih
varietas Kuningan putih lebih tinggi dari pada tingkat kekuningan (b*) pada ubi
jalar putih varietas Sukuh. Menurut Marzempi (2012) waktu pemanenan ubi jalar
berpengaruh terhadap hasil, komposisi kimia, dan kandungan serat ubi.
4.2 Karakteristik Tepung Ubi Jalar Terfermentasi
Pada penelitian ini, tepung ubi jalar fermentasi diperoleh dari hasil
fermentasi chips ubi jalar dengan perlakuan lama fermentasi 12 jam, 24 jam dan
36 jam. Varietas ubi jalar yang digunakan dalam penelitian ini yaitu ubi jalar ungu
varietas Ayamurasaki, ubi jalar oranye varietas Kuningan Merah, dan ubi jalar
putih varietas Kuningan Putih. Analisa yang dilakukan pada tepung ubi jalar
fermentasi meliputi pH, kadar air, kadar pati, viskositas panas dan dingin, warna,
rendemen chips, rendemen tepung, Indeks Penyerapan Air (IPA), dan Indeks
Kelarutan Air (IKA)
4.2.1 Kadar Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati
terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 2008). Kadar
pati merupakan salah satu kriteria mutu untuk tepung. Hasil penelitian
menunjukkan rerata kadar pati tepung ubi jalar sebelum fermentasi berkisar
antara 75,52 - 85,11%. Sedangkan setelah proses fermentasi kadar pati tepung
ubi jalar berkisar antara 67,66 – 83,76%. Pengaruh perlakuan varietas ubi jalar
menurut lama fermentasi terhadap kadar pati tepung ubi jalar terfermentasi dapat
dilihat pada Gambar 4.1
38
Gambar 4.1 Pengaruh Perlakuan Varietas Ubi Jalar terhadap Kadar Pati Tepung
Ubi Jalar Terfermentasi Berdasarkan Lama Fermentasi
Dari Gambar 4.1 dapat diketahui bahwa semakin lama fermentasi kadar
pati tepung ubi jalar terfermentasi semakin menurun. Kadar pati pada varietas
Kuningan Merah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kadar pati pada
varietas Kuningan putih dan varietas Ayamurasaki (ungu).
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 2) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar pati,
begitu pula perlakuan lama fermentasi juga berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap
kadar pati tepung ubi jalar terfermentasi. Hasil uji BNT 5% dari rerata kadar pati
akibat perlakuan varietas ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2. Rerata Kadar Pati Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar Kadar Pati (%) BNT 5%
Ayamurasaki (ungu) 72,234 a Kuningan Merah 80,948 b 2,90 Kuningan Putih 78,658 b
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa rerata kadar pati pada
varietas Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Merah dan varietas Kuningan
Putih berbeda nyata. Perbedaan ini disebabkan karena komposisi kimia pada
masing-masing varietas berbeda. Hasil analisa pati pada bahan baku ubi jalar
menunjukkan bahwa kadar pati pada varietas Kuningan Merah sebesar 23,55 %,
Kuningan Putih sebesar 22,78% dan Ayamurasaki (ungu) sebesar 16,37%. Data
kadar pati pada bahan baku ini sesuai dengan hasil kadar pati pada tepung ubi
39
jalar terfermentasi bahwa kadar pati tertinggi terdapat pada varietas Kuningan
Merah sebesar 80,948% sedangkan kadar pati terendah terdapat pada
Ayamurasaki (ungu) sebesar 72,234%. Menurut Antarlina dan Utomo (1999)
kandungan pati didalam bahan baku akan dipengaruhi oleh umur tanaman dan
lama penyimpanan setelah panen. Umur optimal ubi jalar tercapai apabila
kandungan patinya maksimum dan kandungan seratnya rendah. Pada
pembuatan tepung ubi jalar apabila dikehendaki kandungan patinya maksimum,
maka ubi jalar hasil panen sebaiknya segera diolah dan tidak dilakukan
penyimpanan. Namun demikian, toleransi penyimpanan setelah panen dapat
dilakukan hingga maksimum tujuh hari karena penyimpanan yang semakin lama
dapat menurunkan kandungan patinya. Menurut Marzempi (2012), panen ubi
jalar dapat dilakukan bila ubi sudah tua. Waktu panen berpengaruh terhadap
hasil komoditas, komposisi kimia, dan kandungan serat ubi. Secara umum, umur
panen optimum varietas/klon ubi jalar pada penanaman musim kering berkisar
120-130 hari setelah tanam. Menurut Bradbury dan Anderson (1988) besarnya
kadar bahan kering tergantung pada varietas/klon, lingkungan (radiasi sinar
matahari, suhu, pemupukan, kelembapan tanah) dan umur tanaman.
Hasil uji BNT 5% dari rerata kadar pati akibat perlakuan lama fermentasi
dapat dilihat pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Rerata Kadar Pati pada Berbagai Kelompok Perlakuan Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar Lama Fermentasi (jam) Kadar Pati (%) BNT 5%
Ayamurasaki (ungu)
12 76,11 b
5,03 24 72,94 b
36 67,66 a
Kuningan Merah
12 83,67 b
5,03 24 81,61 ab
36 77,56 a
Kuningan Putih
12 82,52 b
5,03 24 78,56 ab
36 74,90 a
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda pada satu blok Tabel menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Dari Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi berbeda
nyata terhadap kadar pati. Pada fermentasi 12 jam memiliki kadar pati lebih tinggi
dibandingkan dengan lama fermentasi 24 jam dan 36 jam. Semakin lama
fermentasi, maka kadar pati pada tepung ubi jalar terfermentasi semakin
menurun. Hal ini disebabkan karena pada proses fermentasi terjadi pemecahan
40
pati oleh aktivitas mikroorganisme menjadi gula-gula sederhana. Menurut
Oktavian (2010) selama fermentasi terdapat aktivitas mikroba yang
menyebabkan terjadinya degradasi pati disertai dengan pembentukan gula-gula
sederhana yang digunakan untuk energi dalam pertumbuhan dan aktivitasnya,
degradasi pati tersebut menyebabkan turunnya kadar pati. Hal tersebut juga
didukung oleh Maria (2002) yang menyebutkan bahwa, kadar pati mengalami
penurunan sejalan dengan meningkatnya lama fermentasi, karena kemampuan
mikroba amilolitik dalam pemecahan pati semakin besar. Selain itu penurunan
kadar pati juga dapat disebabkan karena proses pengolahan. Menurut
Anindyasari (2012) penyebab lain penurunan kadar pati adalah pada saat proses
pengolahan tepung yang bisa menghilangkan pati, seperti perendaman dalam air
pada saat umbi di cuci atau pada saat chips di fermentasi. Hal ini menyebabkan
sebagian pati mengendap dalam air dan tidak ikut dalam proses penepungan.
Pada varietas Ayamurasaki, Kuningan Merah dan Kuningan Putih
semakin lama fermentasi memiliki tingkat penurunan kadar pati yang berbeda-
beda. Hal ini dipengaruhi oleh aktivitas mikroba yang berperan pada saat proses
fermentasi alami tidak terkontrol, sehingga proses degradasi pati menjadi gula-
gula sederhana sebagai energi juga tidak dapat terkontrol. Menurut Wood (1998)
kekurangan dari fermentasi alami adalah kualitas produk yang dihasilkan
seringkali tidak sama dikarenakan fermentasi yang terjadi tidak terkontrol
sehingga produk yang dihasilkan pun akan sangat tergantung pada
kondisi lingkungan dan substrat yang digunakan.
4.2.2 Kadar Air
Kadar air merupakan banyaknya air dalam suatu bahan pangan yang
dinyatakan dalam persen. Adanya kandungan air dalam suatu bahan akan
mempengaruhi karakteristik bahan pangan itu sendiri. Pada tepung, kadar air
yang tinggi akan menyebabkan daya simpan tepung yang singkat. Menurut
ketentuan SNI (2009) kadar air untuk produk tepung atau pati maksimal 13%.
Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar air tepung ubi jalar sebelum
fermentasi berkisar antara 8,41 - 9,7%. Sedangkan setelah proses fermentasi
kadar air tepung ubi jalar berkisar antara 3,57 – 11,39%. Hasil penelitian ini
memenuhi syarat kelayakan produk sesuai dengan ketentuan SNI. Pengaruh
perlakuan varietas ubi jalar menurut lama fermentasi terhadap kadar air tepung
ubi jalar terfermentasi dapat dilihat pada Gambar 4.2
41
Gambar 4.2 Pengaruh Perlakuan Varietas Ubi Jalar terhadap Kadar Air Tepung
Ubi Jalar Terfermentasi Berdasarkan Lama Fermentasi
Dari Gambar 4.2 dapat diketahui bahwa semakin lama fermentasi kadar
air tepung ubi jalar terfermentasi semakin menurun. Kadar air pada varietas
Ayamurasaki (ungu) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan varietas
Kuningan Putih dan varietas Kuningan Merah.
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 3) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar air,
begitu pula perlakuan lama fermentasi juga berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap
kadar air tepung ubi jalar terfermentasi. Hasil uji BNT 5% dari rerata kadar air
akibat perlakuan varietas ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4.4
Tabel 4.4. Rerata Kadar Air Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar Kadar Air (%) BNT 5%
Ayamurasaki (ungu) 8,98 c Kuningan Merah 5,11 a 0,95 Kuningan Putih 6,26 b
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa rerata kadar air pada
varietas Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Merah dan varietas Kuningan
Putih berbeda nyata. Perbedaan ini disebabkan karena komposisi kimia pada
masing-masing varietas berbeda. Hasil analisa kadar air pada bahan baku ubi
jalar menunjukkan bahwa kadar air pada varietas Kuningan Merah sebesar 69%,
Kuningan Putih sebesar 71% dan Ayamurasaki (ungu) sebesar 74,6%. Data
42
kadar air pada bahan baku ini sesuai dengan hasil kadar air pada tepung ubi jalar
terfermentasi bahwa kadar air tertinggi terdapat pada varietas Ayamurasaki
(ungu) 8,98%, sedangkan kadar air terendah terdapat pada Kuningan Merah
sebesar 5,11%. Menurut Antarlina dan Utomo (1999) keragaman bahan baku
(umbi ubi jalar) sangat tinggi sehingga masing-masing jenis dapat menghasilkan
mutu tepung yang berbeda-beda. Dari segi bahan baku ini yang dapat
mempengaruhi mutu tepung ubi jalar adalah : umur tanaman, ukuran umbi,
bentuk umbi, bahan kering umbi dan warna umbi.
Hasil uji BNT 5% dari rerata kadar air akibat perlakuan lama fermentasi
dapat dilihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5. Rerata Kadar Air pada Berbagai Kelompok Perlakuan Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar Lama Fermentasi
(jam) Kadar Air
(%) BNT 5%
Ayamurasaki (ungu)
12 11.39 c
1,64 24 8.59 b
36 6,94 a
Kuningan Merah
12 6,85 b
1,64 24 4,90 a
36 3,57 a
Kuningan Putih
12 7,57 b
1,64 24 6,18 ab
36 5,04 a
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda pada satu blok Tabel menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Dari Tabel 4.5 dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi
berpengaruh nyata terhadap kadar air. Pada fermentasi 12 jam memiliki kadar air
tertinggi dibandingkan dengan lama fermentasi 24 jam dan 36 jam. Semakin
lama fermentasi, maka kadar air pada tepung ubi jalar terfermentasi semakin
menurun. Pada saat fermentasi terjadi degradasi pati oleh mikroorganisme yang
menyebabkan turunnya kemampuan bahan dalam mempertahankan air, karena
kehilangan gugus hidroksil yang berperan dalam menyerap air. Menurut Giraund
dkk. (1994), gugus hidroksil pada granula pati merupakan faktor utama dalam
mempengaruhi kemampuan mempertahankan air. Pada bahan berpati, gugus
hidroksil ini mempunyai kemampuan yang besar untuk mempertahankan air
karena struktur gugus hidroksil yang mudah dimasuki air.
Menurut Agustawa (2012) pada proses fermentasi, semakin lama waktu
fermentasi maka aktivitas enzim dalam mendegradasi pati dalam bahan semakin
43
meningkat. Sehingga semakin banyak jumlah air terikat yang terbebaskan,
akibatnya tekstur bahan menjadi lunak dan berpori. Keadaan ini dapat
menyebabkan penguapan air selama proses pengeringan, dengan demikian
kadar air akan semakin menurun dalam jangka pengeringan yang sama. Menurut
Meyer (1996), penurunan kadar air disebabkan karena penguapan air terikat,
sebelum fermentasi sebagian molekul air membentuk hidrat dengan molekul-
molekul lain yang mengandung atom oksigen, nitrogen, karbohidrat, protein,
garam-garam, dan senyawa organik lainya sehingga sukar diuapkan, namun
selama proses fermentasi berlangsung enzim-enzim yang dihasilkan oleh
mikroba akan memecah karbohidrat dan senyawa-senyawa tersebut, sehingga
air yang terikat berubah menjadi air bebas.
4.2.3 Rendemen
Analisa rendemen dilakukan untuk mengetahui jumlah yang dihasilkan
dari berat awal bahan baku. Pada penelitian ini dilakukan analisa rendemen pada
chips kering, dan tepung. Analisa rendemen chips kering diperoleh dari berat
chips kering dibagi dengan berat chips ubi jalar segar. Begitu pula dengan nilai
rendemen tepung, nilai rendemen tepung diperoleh dari berat tepung dibagi
dengan berat chips ubi jalar segar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rendemen chips kering ubi jalar sebelum fermentasi berkisar antara 33,06 -
36,38%, sedangkan setelah fermentasi berkisar antara 29,25 - 37,07%. Pada
tepung ubi jalar sebelum fermentasi berkisar antara 27,8 – 32,2%, sedangkan
setelah fermentasi berkisar antara 23,34 - 33,13%.
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 4) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap rendemen
chips kering dan rendemen tepung. Begitu pula pada perlakuan lama fermentasi,
rendemen chips kering dan rendemen tepung memiliki pengaruh nyata (α=0,05).
Hasil uji BNT 5% dari rerata rendemen chips kering dan tepung akibat perlakuan
varietas ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4.6
44
Tabel 4.6. Rerata Rendemen Chips Kering dan Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar Rendemen (%)
Chips kering Tepung
Ayamurasaki (ungu) 30,51 a 25,88 a
Kuningan Merah 34,53 c 31,44 c
Kuningan Putih 32,70 b 28,69 b
BNT 5 % 1,12 1,04
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Berdasarkan Tabel 4.6 dapat diketahui bahwa rerata rendemen chips
kering dan tepung pada varietas Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Merah
dan varietas Kuningan putih berbeda nyata.
Rendemen chips kering dan tepung tertinggi terdapat pada varietas
Kuningan Merah sedangkan rendemen terendah tedapat pada perlakuan jenis
ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki . Perbedaan ini disebabkan karena kadar air
pada bahan baku varietas Ayamurasaki (ungu) cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas Kuningan Merah dan varietas Kuningan Putih.
Kadar air bahan baku yang tinggi memberikan kadar bahan kering yang rendah.
Selama pengeringan banyak air yang menguap sehingga mempengaruhi
randemen menjadi lebih rendah. Menurut Antarlina dan Utomo (1999) besarnya
rendemen tepung yang dihasilkan dapat diketahui dari kadar bahan keringnya.
Semakin tinggi kadar bahan kering ubi jalar maka semakin tinggi pula rendemen
tepung yang dihasilkan. Besarnya kadar bahan kering tergantung pada
varietas/klon, lingkungan (radiasi sinar matahari, suhu, pemupukan, dan
kelembapan tanah) dan umur tanaman (Bradbury dan Holloway, 1988).
Nilai rendemen tepung pada masing-masing varietas lebih rendah
dibandingkan dengan nilai rendemen chips kering. Hal ini disebabkan karena
selama pengolahan chips kering menjadi tepung terdapat hasil samping berupa
ampas tepung yang sulit untuk dihancurkan seperti tepung berukuran 80 mess
lainnya. Pada ampas tepung diduga mengandung serat kasar yang sulit untuk
didegradasi oleh mikroba selama proses fermentasi, sehingga semakin tinggi
kadar serat kasar kemungkinan dapat menghasilkan nilai rendemen ampas
tepung yang lebih besar. Pada varietas Ayamurasaki memiliki hasil ampas
tepung yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Kuningan
Putih dan varietas Kuningan Merah, diduga pada varietas Ayamurasaki memiliki
45
serat kasar yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Kuningan
putih dan varietas Kuningan Merah. Menurut Dewi (2007) kandungan serat kasar
pada ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna ungu sebesar 3%, pada
daging umbi yang berwarna putih 2,5%, dan pada daging umbi berwarna oranye
0,84%.
Hasil uji BNT 5% dari rerata nilai rendemen chips kering dan rendemen
tepung akibat perlakuan lama fermentasi dapat dilihat pada Tabel 4.7
Tabel 4.7. Rerata Rendemen Chips Kering dan Tepung pada Berbagai Kelompok Perlakuan Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar Lama Fermentasi
(jam)
Rendemen (%)
Chips Kering Tepung
Ayamurasaki (ungu)
12 32,69 c 28,37 c
24 30,57 b 25,94 b
36 28,25 a 23,34 a
Kuningan Merah
12 37,07 c 33,64 c
24 34,00 b 31,37 b
36 32,51 a 29,31 a
Kuningan Putih
12 35,37 c 31,90 c
24 32,53 b 29,21 b
36 30,18 a 24,98 a
BNT 5% 1,94 1,673
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda pada satu blok Tabel menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Dari Tabel 4.7 dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi berbeda
nyata terhadap rendemen chips kering dan rendemen tepung. Nilai rendemen
tepung ubi jalar berkorelasi positif dengan nilai rendemen chips kering ubi jalar.
Semakin tinggi berat rendemen tepung maka berat rendemen chips kering juga
semakin tinggi. Pada lama fermentasi 12 jam memiliki nilai rendemen chips
kering dan rendemen tepung tertinggi dibandingkan pada lama fermentasi 24 jam
dan 36 jam. Semakin lama fermentasi maka nilai rendemen chips kering dan
rendemen tepung ubi jalar terfermentasi semakin rendah. Hal ini disebabkan
karena semakin lama fermentasi semakin banyak pati yang dihidrolisis oleh
mikroba menjadi gula-gula sederhana sehingga nilai rendemen menurun.
Menurut Oktavian (2010) selama fermentasi terdapat aktivitas mikroba yang
46
menyebabkan terjadinya degradasi pati disertai dengan pembentukan gula-gula
sederhana yang digunakan untuk energi dalam pertumbuhan dan aktivitasnya,
degradasi pati tersebut menyebabkan turunnya kadar pati. Menurut Antarlina dan
Utomo (1999) besarnya rendemen tepung yang dihasilkan dapat diketahui dari
kadar bahan keringnya. Semakin tinggi kadar bahan kering ubi jalar maka
semakin tinggi pula rendemen tepung yang dihasilkan.
Perbedaan nilai rendemen juga dapat dipengaruhi oleh kadar air dalam
bahan. Pada tepung mengandung air, pati dan beberapa komponen lain.
Semakin tinggi kadar air maka rendemen semakin meningkat. Pada Tabel 4.7
semakin lama fermentasi rendemen semakin menurun, hal ini dipengaruhi oleh
kadar air tepung yang semakin lama fermentasi juga semakin menurun.
Penurunan ini disebabkan karena pada saat fermentasi terjadi degradasi pati
oleh aktivitas mikroba sehingga semakin banyak jumlah air terikat yang
terbebaskan, dan menyebabkan tekstur bahan menjadi lunak dan berpori.
Keadaan ini menyebabkan penguapan air selama proses pengeringan.
Rendemen chips kering dan rendemen tepung memiliki hubungan dengan
kadar pati tepung ubi jalar terfermentasi. Semakin tinggi kadar pati maka
semakin tinggi nilai rendemen chips kering dan rendemen tepung. Korelasi
antara kadar pati dan rendemen dapat dilihat pada Gambar 4.3. dan 4.4
Gambar 4.3 Grafik Korelasi Kadar Pati Terhadap Randemen Chips Kering Ubi
Jalar Terfermentasi
Gambar 4.3 menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) sebesar
0,9152 dengan mengikuti persamaan linier y = 0,5082x – 6,6959. Persamaan
tersebut memberi makna bahwa setiap peningkatan kadar pati x%, rendemen
47
chips kering akan mengalami kenaikan sebesar 0,51 kali dikurangi 6,7 dengan
koefisien determinasi 0,9152 yang berarti meningkatnya nilai rendemen chips
kering 92% dipengaruhi oleh kadar pati dan menunjukkan adanya korelasi positif
antara kadar pati dengan nilai rendemen chips kering, sehingga semakin tinggi
kadar pati maka nilai rendemen chips kering juga semakin meningkat.
Gambar 4.4 Grafik Korelasi Kadar Pati Terhadap Randemen Tepung Ubi Jalar
Terfermentasi
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2) sebesar 0,928
dengan mengikuti persamaan linier y = 0,6445x – 21,131. Persamaan tersebut
memberi makna bahwa setiap peningkatan kadar pati x%, rendemen tepung
akan mengalami kenaikan sebesar 0,64 kali dikurangi 21,131 dengan koefisien
determinasi 0,928 yang berarti meningkatnya nilai rendemen tepung 93%
dipengaruhi oleh kadar pati dan menunjukkan adanya korelasi positif antara
kadar pati dengan nilai rendemen tepung, sehingga semakin tinggi kadar pati
maka nilai rendemen tepung juga semakin meningkat.
Menurut Antarlina dan Utomo (1999) besarnya rendemen tepung yang
dihasilkan dapat diketahui dari kadar bahan keringnya. Semakin tinggi kadar
bahan kering ubi jalar maka semakin tinggi pula rendemen tepung yang
dihasilkan.
4.2.4 Sifat Mikroskopis Granula Pati
Analisa mikroskopis bentuk granula pati dilakukan untuk mengetahui
bentuk granula secara mikroskopis pada sampel. Greenwood (1979) melaporkan
48
bahwa umumnya granula pati mempunyai sifat birefringence dan memperlihatkan
pola maltase cross dibawah mikroskop polarisasi. Namun, pada umumnya
granula pati tidak terdapat dalam kedaan murni karena adanya zat antara,
misalnya protein dan lemak. Granula pati sedikitnya memiliki 3 komponen, yaitu
amilosa, amilopektin dan bahan antara. Bahan antara tersebut terdapat 5-10%.
Menurut Winarno (2008) sifat birefringence sendiri ialah sifat granula pati yang
dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop polarisasi
membentuk lapisan berwarna hitam putih.
Pengamatan granula pati menggunakan mikroskop cahaya dengan
perbesaran 1000x. Sampel dibuat preparatnya kemudian diambil Gambarnya.
Pengamatan mikroskopis ini bertujuan untuk mengetahui bentuk granula pati
pada tepung ubi jalar kontrol (tanpa fermentasi) dan tepung ubi jalar
terfermentasi. Hasil pengamatan bentuk granula pati secara mikroskopis pada
masing-masing varietas ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 4.5, 4.6 dan 4.7
49
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4.5. Granula Pati Tepung Ubi Jalar Ungu Varietas Ayamurasaki (ungu)
(a) Kontrol (Tanpa Fermentasi); (b) Fermentasi 12 jam; (c) Fermentasi 24 jam;
(d) Fermentasi 36 jam (perbesaran 1000x)
50
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4.6. Granula Pati Tepung Ubi Jalar Putih Varietas Kuningan Putih
(a) Kontrol (Tanpa Fermentasi); (b) Fermentasi 12 jam; (c) Fermentasi 24 jam;
(d) Fermentasi 36 jam (perbesaran 1000x)
51
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4.7. Granula Pati Tepung Ubi Jalar Oranye Varietas Kuningan Merah
(a) Kontrol (Tanpa Fermentasi); (b) Fermentasi 12 jam; (c) Fermentasi 24 jam;
(d) Fermentasi 36 jam (perbesaran 1000x)
Pada Gambar 4.5, 4.6 dan 4.7 dapat diketahui bahwa hasil analisa
mikroskopis granula pati pada varietas Ayamurasaki (ungu), Kuningan Merah
dan Kuningan Putih memiliki bentuk yang bulat, lonjong dan bulat tidak
beraturan. Ukuran granula pati pada masing-masing perlakuan juga tidak
seragam. Semakin lama fermentasi, semakin banyak granula yang mengalami
pembengkakan. Hal ini disebabkan karena selama proses fermentasi semakin
lama proses perendaman chips ubi jalar, semakin banyak air yang diserap oleh
granula pati sehingga granula pati mengalami pembengkakan. Menurut Honestin
(2007) granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi bagian amorphous pada
52
granula pati dapat menyerap air sampai 30% tanpa merusak struktur misel. Bila
pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air
dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas. Pengembangan granula dalam air makin cepat
pada granula yang rusak, baik oleh kerusakan fisik, kimia maupun enzimatis.
Menurut Osman (1972) dalam Honestin (2007) kerusakan tersebut
menyebabkan pecahnya ikatan intermolekul pada daerah kristal. Dan menurut
Greenwood (1979) Ikatan hidrogen dalam ikatan intermolekul ini berfungsi untuk
mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang
bebas akan menyerap molekul air sehingga selanjutnya terjadi pembengkakan
pati.
Sifat birefriengence ialah sifat granula pati yang dapat merefleksikan
cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop polarisasi membentuk lapisan
berwarna hitam putih (Winarno, 2008). Pada Gambar 4.5, 4.6 dan 4.7
menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi semakin banyak sifat
birefriengence yang hilang. Hal ini dapat dilihat melalui warna gelap pada sisi luar
granula pati yang mulai hilang. Hilangnya sifat birefriengence ini diduga
disebabkan karena banyaknya air yang masuk ke dalam granula pati sehingga
pati membengkak dan sifat birefriengence mulai hilang.
Menurut Hawa (2008) perubahan bentuk granula disebabkan oleh
aktivitas enzim sellulolitik yang mulai intensif dalam mendegradasi sellulosa
dinding sel, sehingga dinding sel rusak dan granula pati mengalami liberasi.
Akibat adanya aktivitas enzim amilolitik, granula yang terliberasi tersebut
kemudian dihidrolisis sebagian pada permukaan granula, akibatnya granula pati
berlubang. Hal ini memungkinkan terjadinya liberasi pati dari dalam granula yang
dapat mengakibatkan perubahan pada sifat fisikokimia tepung yang dihasilkan.
Pada fermentasi 36 jam, granula pati yang berlubang semakin banyak, sehingga
bentuknya terlihat bulat tidak beraturan. Ukurannya tidak lagi sebesar granula
pati pada waktu fermentasi sebelumnya. Selain granula pati yang membengkak
akibat proses perendaman dengan air selama fermentasi, terdapat granula pati
yang berukuran lebih kecil. Hal ini disebabkan karena enzim amilolitik telah
menghidrolisis pati yang ada pada granula sehingga rantai polimer pati menjadi
lebih pendek dan berukuran lebih kecil. Enzim sellulolitik juga praktis telah
mendegradasi sebagian besar sellulosa sehingga akhirnya granula memisah
satu sama lain.
53
4.2.5 Viskositas Panas dan Dingin
Analisa viskositas panas dan dingin dilakukan untuk mengetahui
viskositas dari tepung ubi jalar fermentasi saat di larutkan dengan air dan
dipanaskan pada suhu 80+5oC, sehingga terjadi gelatinisasi pati. Analisa
viskositas dingin dilakukan setelah adonan tepung ubi jalar terfermentasi
didiamkan 30 menit setelah di panaskan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
kestabilan tepung ubi jalar fermentasi setelah didinginkan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa nilai viskositas panas tepung ubi jalar sebelum fermentasi
berkisar antara 690 – 810 cp dan viskositas dingin berkisar antara 440 – 1200 cp.
Sedangkan setelah proses fermentasi nilai viskositas panas tepung ubi jalar
berkisar antara 410 – 11203,3 cp dan viskositas dingin berkisar antara 600 –
37030 cp. Pengaruh perlakuan varietas ubi jalar menurut lama fermentasi
terhadap nilai viskositas panas tepung ubi jalar terfermentasi dapat dilihat pada
Gambar 4.8
Gambar 4.8 Pengaruh Perlakuan Varietas Ubi Jalar terhadap Nilai Viskositas
Panas Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Berdasarkan Lama
Fermentasi
Dari Gambar 4.8 dapat diketahui bahwa semakin lama fermentasi nilai
viskositas panas tepung ubi jalar fermentasi semakin meningkat. Nilai viskositas
panas pada varietas Kuningan Merah cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas Kuningan Putih dan Ayamurasaki (ungu).
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap viskositas
panas, begitu pula perlakuan lama fermentasi juga berpengaruh nyata (α=0,05)
terhadap viskositas panas tepung ubi jalar terfermentasi. Hasil uji BNT 5% dari
54
rerata viskositas panas akibat perlakuan varietas ubi jalar dapat dilihat pada
Tabel 4.8
Tabel 4.8. Rerata Viskositas Panas Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar Viskositas Panas (cp) BNT 5%
Ayamurasaki (ungu) 1048,89 a Kuningan Merah 4703,33 c 248,14 Kuningan Putih 1544,44 b
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Berdasarkan Tabel 4.8 dapat diketahui bahwa rerata viskositas panas
pada varietas Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Merah dan varietas
Kuningan Putih berbeda nyata. Pada varietas Kuningan Merah memiliki nilai
viskositas tertinggi sebesar 4703,33 cp, sedangkan pada varietas Kuningan Putih
sebesar 1544,44 cp dan pada Ayamurasaki (ungu) sebesar 1048,89 cp.
Perbedaan ini disebabkan karena kandungan pati pada masing-masing varietas
ubi berbeda-beda. Pada varietas Kuningan Merah kandungan pati lebih besar
dibandingkan dengan varietas Kuningan Putih dan varietas Ayamurasaki (ungu).
Kandungan pati pada varietas Kuningan Merah sebesar 80,95%, varietas
Kuningan Putih sebesar 78,66% dan varietas Ayamurasaki (ungu) sebesar
72,23%. Hasil analisa kadar pati sesuai dengan hasil analisa viskositas panas
bahwa semakin tinggi kadar pati maka semakin tinggi viskositas yang dihasilkan.
Menurut Pomeranz (1991) apabila granula pati dipanaskan hingga suhu
gelatinisasinya, granula akan membentuk pasta pati yang kental. Pasta Pati
bukan berupa larutan melainkan berupa granula pati bengkak tak terlarut yang
memiliki sifat seperti partikel gel elastis. Besarnya viskositas tergantung pada
jenis dan konsentrasi pati. Semakin tinggi konsentrasi pati maka semakin tinggi
viskositas yang dihasilkan.
Hasil uji BNT 5% dari rerata viskositas panas akibat perlakuan lama
fermentasi dapat dilihat pada Tabel 4.9
55
Tabel 4.9. Rerata Viskositas Panas pada Berbagai Kelompok Perlakuan Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar Lama
Fermentasi (jam)
Viskositas Panas (cp)
BNT 5%
Ayamurasaki (ungu)
12 410 a 429,79
24 1120 b
36 1616,67 c
Kuningan Merah
12 1053,33 a
429,79 24 1853,33 b
36 11203,3 c
Kuningan Putih
12 926.67 a 429,79
24 1603,33 b
36 2103,33 c
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda pada satu blok Tabel menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Dari Tabel 4.9 dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi berbeda
nyata terhadap viskositas panas. Pada fermentasi 36 jam memiliki nilai viskositas
panas tertinggi dibandingkan dengan lama fermentasi 12 jam dan 24 jam.
Semakin lama fermentasi maka viskositas tepung ubi jalar terfermentasi akan
semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena semakin lama perendaman chips
ubi jalar maka semakin banyak granula pati yang mengalami pembengkakan
karena granula pati dapat menyerap air. Pembengkakan granula pati
menyebabkan pati lebih mudah untuk tergelatinisasi sehingga dapat
meningkatkan nilai viskositas. Menurut Anindyasari (2012) mekanisme
pembengkakan granula disebabkan karena granula amilosa dan amilopektin
secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan hidrogen yang kurang
kokoh. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif
atom O dari gugus hidroksil yang lain. Bila suhu suspensi naik, ikatan hidrogen
akan semakin lemah, sedangkan energi kinetik molekul-molekul air menjadi
meningkat dan memperlemah ikatan hidrogen antar molekul air. Menurut
Moningka (1996) dalam Anindyasari (2012), viskositas pasta panas berhubungan
dengan kestabilan pati. Selama pemanasan, viskositas panas meningkat dan
menunjukkan kemudahan pati yang dimasak untuk mengalami gelatinisasi.
Menurut Winarno (2008) peningkatan viskositas pasta disebabkan air yang
awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspense
dipanaskan kini sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat
bergerak bebas lagi.
Pada varietas Kuningan Merah dengan lama fermentasi 36 jam memiliki
nilai viskositas tertinggi dibandingkan dengan varietas Ayamurasaki (ungu) dan
56
varietas Kuningan Putih. Hal ini diduga karena pada varietas Kuningan Merah
memiliki kadar pati yang cenderung lebih banyak dibandingkan dengan varietas
Kuningan Putih dan varietas Ayamurasaki. Diduga kandungan pati yang lebih
tinggi dengan lama fermentasi yang lebih lama menyebabkan semakin banyak
granula pati yang mengalami pembengkakan akibat proses perendaman selama
fermentasi, sehingga granula pati lebih muda untuk tergelatinisasi karena proses
pemanasan dan mengakibatkan nilai viskositas menjadi lebih tinggi. Disisi lain
hal ini diduga dipengaruhi oleh suhu pemanasan yang melebihi suhu gelatinisasi
dari pati varietas Kuningan Merah. Hal ini mengakibatkan granula pati tidak dapat
kembali pada granula semula sehingga lebih mudah menyerap air dan lebih
kental. Menurut Liu (2006) granula pati alami bersifat tidak larut dalam air, namun
dapat menjadi larut dalam air bila suspensi pati dipanaskan di atas suhu
gelatinisasinya. Bila pati disuspensikan dalam air yang berlebih dan dipanaskan
pada suhu dan waktu tertentu, maka granula pati secara berangsur-angsur
mengalami perubahan yang bersifat ireversibel, artinya tidak dapat kembali pada
kondisi granula semula. Gelatinisasi pati ditandai dengan terjadinya
pengembangan (swelling) granula pati, peluruhan (melting) dari bagian kristalit,
hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekentalan dan peningkatan kelarutan
pati.
Analisa viskositas dingin dilakukan untuk mengetahui kestabilan tepung
ubi jalar fermentasi setelah didinginkan. Pengaruh perlakuan varietas ubi jalar
menurut lama fermentasi terhadap nilai viskositas dingin tepung ubi jalar
terfermentasi dapat dilihat pada Gambar 4.9
57
Gambar 4.9 Pengaruh Perlakuan Varietas Ubi Jalar terhadap Nilai Viskositas
Dingin Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Berdasarkan Lama
Fermentasi
Dari Gambar 4.9 dapat diketahui bahwa semakin lama fermentasi nilai
viskositas dingin tepung ubi jalar fermentasi semakin meningkat. Nilai viskositas
panas pada varietas Kuningan Merah cenderung lebih tinggi dibandingkan
dengan varietas Kuningan Putih dan Ayamurasaki (ungu).
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap viskositas
dingin, begitu juga dengan perlakuan lama fermentasi juga berpengaruh nyata
(α=0,05) terhadap viskositas dingin tepung ubi jalar terfermentasi. Hasil uji BNT
5% dari rerata viskositas dingin akibat perlakuan varietas ubi jalar dapat dilihat
pada Tabel 4.10
Tabel 4.10. Rerata Viskositas Dingin Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar Viskositas Dingin (cp) BNT 5%
Ayamurasaki (ungu) 1277,78 a 396,41 Kuningan Merah 13732,22 c
Kuningan Putih 2037,78 b
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Berdasarkan Tabel 4.10 dapat diketahui bahwa rerata viskositas dingin
pada varietas Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Merah dan varietas
Kuningan Putih berbeda nyata. Pada varietas Kuningan Merah memiliki nilai
viskositas dingin sebesar 13732,22 cp, varietas Kuningan Putih sebesar 2037,78
58
cp dan varietas Ayamurasaki (ungu) sebesar 1277,78 cp. Hasil analisa viskositas
dingin ini sesuai dengan urutan nilai viskositas panas. Nilai viskositas dingin
tertinggi terdapat pada varietas Kuningan Merah sedangkan viskositas terendah
terdapat pada varietas Ayamurasaki (ungu). Perbedaan nilai viskositas dingin
pada masing-masing varietas disebabkan karena kandungan pati yang berbeda.
Semakin tinggi kandungan pati maka nilai viskositas semakin tinggi.
Hasil uji BNT 5% dari rerata nilai viskositas dingin akibat perlakuan lama
fermentasi dapat dilihat pada Tabel 4.11
Tabel 4.11. Rerata Viskositas Dingin pada Berbagai Kelompok Perlakuan
Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar Lama Fermentasi
(jam) Viskositas Dingin (cp)
BNT 5%
Ayamurasaki (ungu)
12 600 a
650,54 24 1323,33 b
36 1910 c
Kuningan Merah
12 1703,33 a
650,54 24 2463,33 b
36 37030 c
Kuningan Putih
12 1290 a
650,54 24 2006,67 b
36 2816,67 c
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda pada satu blok Tabel menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Pada Tabel 4.11 dapat diketahui bahwa hasil analisa viskositas dingin
hampir sama dengan hasil analisa viskositas panas yaitu semakin lama
fermentasi nilai viskositas semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin
lama fermentasi semakin banyak granula pati yang mengalami pembengkakan
akibat dari proses perendaman selama proses fermentasi. Granula pati yang
membengkak selama proses penepungan menyebabkan pati lebih mudah untuk
tergelatinisasi. Hasil analisa menunjukkan bahwa pada varietas Kuningan Merah
dengan perlakuan lama fermentasi 36 jam memiliki nilai viskositas dingin yang
lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Kuningan Putih dan Ayamurasaki.
Hasil ini hampir sama dengan nilai viskositas panas dimana varietas Kuningan
Merah dengan lama fermentasi 36 jam memiliki hasil yang paling tinggi. Hal ini
diduga karena pada varietas Kuningan Merah dengan lama fermentasi 36 jam
granula pati banyak yang mengalami pembengkakan akibat terisi oleh air. Pada
kondisi tersebut diduga amilosa dapat keluar dari granula dan larut pada media
pendispersi sehingga saat didinginkan amilosa dapat membentuk gel dan
membuat nilai viskositas dingin menjadi lebih tinggi.
59
Nilai viskositas dingin pada tepung ubi jalar terfermentasi lebih tinggi
dibandingkan dengan viskositas panas. Hal ini disebabkan karena adanya proses
pemanasan dapat memutuskan ikatan hidrogen yang menghubungkan antara
amilosa dan amilopektin pada pati, sehingga menyebabkan granula pati
membengkak akibat terisi oleh air. Pada granula pati yang membengkak ini
mengakibatkan sebagian amilosa dari pati keluar dari granula dan terlarut
dengan air sehingga dapat membentuk gel. Menurut Pomeranz (1991)
pembentukan gel merupakan salah satu bukti kemampuan molekul linier pati
terlarut untuk berasosiasi. Apabila larutan pati encer dibiarkan beberapa lama
maka akan terbentuk endapan, sedangkan bila larutan pati memiliki konsentrasi
tinggi maka akan terbentuk gel. Gel ini terbentuk setelah terjadi ikatan hidrogen
antara grup hidroksil rantai linier yang berdekatan. Menurut Remsen dan Clark
(1978) dalam Honestin (2007) pada granula pati yang membengkak, volume
pengembangan mencapai 20-30 kalinya. Granula pati yang membengkak
menyebabkan amilosa keluar dari granula, akibatnya granula pecah sehingga
terbentuk struktur gel koloidal.
Menurut Winarno (1995) dalam Honestin (2007) menjelaskan bila pasta
pati didinginkan, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk mencegah
kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk berikatan kembali satu sama lain
serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir granula. Dengan
demikian terjadi semacam jaring-jaring yang membentuk mikrokristal dan
mengendap.
4.2.6 Indeks Penyerapan Air dan Indeks Kelarutan Air
Indeks Penyerapan Air (IPA) mengGambarkan kemampuan tepung dalam
mengikat air dibawah kondisi ketersediaan air yang terbatas. Sifat ini sangat
penting untuk produk tepung dalam aplikasinya terhadap persiapan pembuatan
produk. Indeks Kelarutan Air (IKA) mengGambarkan jumlah partikel produk yang
dapat larut dalam air. Nilai IKA dan IPA sangat penting diketahui untuk
menentukan jenis produk-produk tertentu yang memerlukan pertimbangan nilai
IKA dan IPA. Misalnya, makanan bayi, makanan bubuk, cake mixer, danpuding.
Produk-produk tersebut memerlukan daya penyerapan dan daya kelarutan air
yang tinggi.
60
4.2.6.1 Indeks Penyerapan Air (IPA)
Daya serap air menunjukkan kemampuan tepung dalam menyerap air.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks penyerapan air pada tepung ubi
jalar sebelum fermentasi berkisar antara 1.224 – 1.491 g/g. Sedangkan setelah
proses fermentasi nilai indeks penyerapan air berkisar antara 1.57 – 2.15 g/g.
Pengaruh perlakuan varietas ubi jalar menurut lama fermentasi terhadap indeks
penyerapan air tepung ubi jalar terfermentasi dapat dilihat pada Gambar 4.10
Gambar 4.10 Pengaruh Perlakuan Varietas Ubi Jalar terhadap Indeks
Penyerapan Air (IPA) Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Berdasarkan
Lama Fermentasi
Dari Gambar 4.10 dapat diketahui bahwa semakin lama fermentasi nilai
indeks penyerapan air tepung ubi jalar terfermentasi semakin meningkat. Nilai
Indeks Penyerapan Air (IPA) pada varietas Kuningan Merah cenderung lebih
tinggi dibandingkan dengan varietas Kuningan Putih dan Ayamurasaki (ungu).
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 6) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar tidak berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap indeks
penyerapan air , sedangkan perlakuan lama fermentasi berpengaruh nyata
(α=0,05) terhadap indeks penyerapan air tepung ubi jalar terfermentasi. Hasil uji
BNT 5% dari rerata indeks penyerapan air akibat perlakuan varietas ubi jalar
dapat dilihat pada Tabel 4.12
61
Tabel 4.12. Rerata Indeks Penyerapan Air (IPA) Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar Indeks Penyerapan Air
(g/g)
Ayamurasaki (ungu) 1,69 Kuningan Merah 1,79 Kuningan Putih 1,76
Berdasarkan Tabel 4.12 dapat diketahui bahwa rerata nilai indeks
penyerapan air pada varietas Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Merah dan
varietas Kuningan putih tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena nilai
indeks penyerapan air pada masing-masing varietas memiliki perbedaan yang
relatif kecil, sehingga kemungkinan untuk berbeda nyata sangat kecil. Semakin
tinggi kadar pati, diduga kadar amilosa pati juga semakin tinggi sehingga indeks
penyerapan air tepung ubi jalar fermentasi semakin besar. Menurut Anindyasari
(2012) Semakin tinggi nilai amilosa akan semakin tinggi pula penyerapan air
bahan. Hal ini didukung pula dengan pernyataan Susanto (1994) yang
menyatakan bahwa ada suatu korelasi yang kuat antara kadar amilosa dengan
kemampuan bahan dalam menyerap air.
Hasil uji BNT 5% dari rerata indeks penyerapan air akibat perlakuan lama
fermentasi dapat dilihat pada Tabel 4.13
Tabel 4.13. Rerata Indeks Penyerapan Air (IPA) pada Berbagai Kelompok Perlakuan Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar Lama
Fermentasi (jam)
Indeks Penyerapan Air
(g/g) BNT 5%
Ayamurasaki (ungu)
12 1,45 a
0,29 24 1,67 ab
36 1,95 b
Kuningan Merah
12 1,63 a
0,29 24 1,79 ab
36 1,96 b
Kuningan Putih
12 1,63 a
0,29 24 1,67 a
36 1,98 b
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda pada satu blok Tabel menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Dari Tabel 4.13 dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi
berbeda nyata terhadap Indeks Penyerapan Air (IPA). Pada lama fermentasi 36
jam memiliki nilai indeks penyerapan air tertinggi dibandingkan dengan lama
fermentasi 12 jam dan 24 jam. Semakin lama fermentasi maka nilai indeks
62
penyerapan air tepung ubi jalar terfermentasi semakin besar. Hal ini disebabkan
karena selama proses perendaman chips ubi jalar pada proses fermentasi
menyebabkan granula pati mengalami pembengkakan. Granula pati dapat
menyerap air saat direndam. Pada granula yang membengkak lebih mudah
mengalami proses gelatinisasi. Menurut Gujska dan Khan (1991), IPA
dipengaruhi oleh adanya denaturasi protein, gelatinisasi pati, dan pembengkakan
serat kasar yang terjadi selama pengolahan menjadi tepung. IPA tergantung
pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari
makromolekul yaitu pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin banyak
pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan produk
menyerap air (Gomez dan Aguilera, 1983).
4.2.6.2 Indeks Kelarutan Air (IKA)
Indeks Kelarutan Air (IKA) menunjukkan banyaknya jumlah partikel bahan
yang dapat larut dalam air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks kelarutan
air pada tepung ubi jalar sebelum fermentasi berkisar antara 0.0134 – 0.0156
g/ml. Sedangkan setelah proses fermentasi nilai indeks kelarutan air berkisar
antara 0,00967 – 0,03174 g/ml. Pengaruh perlakuan varietas ubi jalar menurut
lama fermentasi terhadap nilai tepung ubi jalar terfermentasi dapat dilihat pada
Gambar 4.11
Gambar 4.11 Pengaruh Perlakuan Varietas Ubi Jalar terhadap Indeks Kelarutan
Air (IKA) Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Berdasarkan Lama
Fermentasi
Dari Gambar 4.11 dapat diketahui bahwa semakin lama fermentasi,
indeks kelarutan air tepung ubi jalar terfermentasi semakin meningkat. Nilai
63
Indeks Kelarutan Air (IKA) pada varietas Kuningan Merah cenderung lebih tinggi
dibandingkan dengan varietas Kuningan Putih dan Ayamurasaki (ungu).
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 6) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar tidak berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap indeks
kelarutan air, sedangkan perlakuan lama fermentasi berpengaruh nyata (α=0,05)
terhadap indeks kelarutan air tepung ubi jalar terfermentasi. Hasil uji BNT 5%
dari rerata indeks kelarutan air akibat perlakuan varietas ubi jalar dapat dilihat
pada Tabel 4.14
Tabel 4.14. Rerata Indeks Kelarutan Air (IKA) Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar Indeks Kelarutan Air (g/ml)
Ayamurasaki (ungu) 0,018 Kuningan Merah 0,020 Kuningan Putih 0,019
Berdasarkan Tabel 4.14 dapat diketahui bahwa rerata indeks kelarutan air
pada varietas Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Merah dan varietas
Kuningan putih tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena nilai indeks
kelarutan air pada masing-masing ubi jalar memiliki perbedaan yang relatif kecil,
sehingga kemungkinan untuk berbeda nyata sangat kecil. Nilai IKA pada varietas
Kuningan Merah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Kuningan
Putih dan varietas Ayamurasaki (ungu). Diduga perbedaan ini disebabkan karena
kandungan pati pada varietas Kuningan Merah lebih tinggi, sehingga amilosa pati
semakin tinggi. Semakin tinggi amilosa, kemudahan pati untuk melarut semakin
besar, sehingga nilai IKA juga semakin meningkat.
Hasil uji BNT 5% dari rerata indeks kelarutan air akibat perlakuan lama
fermentasi dapat dilihat pada Tabel 4.15
64
Tabel 4.15. Rerata Indeks Kelarutan Air (IKA) pada Berbagai Kelompok Perlakuan Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar Lama Fermentasi
(jam) Indeks Kelarutan
Air (g/ml) BNT 5%
Ayamurasaki (ungu)
12 0,010 a
0,005 24 0,016 b
36 0,028 c
Kuningan Merah
12 0,011 a
0,005 24 0,017 b
36 0,032 c
Kuningan Putih
12 0,011 a
0,005 24 0,019 b
36 0,028 c
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda pada satu blok Tabel menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Dari Tabel 4.15 dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi
berbeda nyata terhadap Indeks Kelarutan Air (IKA). Pada lama fermentasi 36 jam
memiliki nilai indeks kelarutan air tertinggi dibandingkan dengan lama fermentasi
12 jam dan 24 jam. Semakin lama fermentasi maka nilai indeks kelarutan air
tepung ubi jalar terfermentasi semakin besar. Hal ini diduga disebabkan karena
pada saat fermentasi terjadi degradasi pati oleh aktivitas mikroba menjadi gula-
gula sederhana sehingga gula sederhana ini lebih mudah berinteraksi dengan
air.
Nilai indeks kelarutan air tertinggi pada Tabel 4.15 adalah pada tepung
ubi jalar oranye varietas Kuningan Merah dengan lama fermentasi 36 jam. Hal ini
disebabkan karena selama perendaman chips ubi jalar pada proses fermentasi
menyebabkan granula pati membengkak, karena granula pati dapat menyerap
air. Menurut Honestin dan Syamsir (2009) peningkatan nilai IPA biasanya diikuti
dengan peningkatan IKA. Hal ini karena granula pati lebih mudah mengikat air
dan juga mudah melepaskan amilosanya kedalam media pendispersinya.
4.2.7 pH
Perlakuan fermentasi pada chips ubi jalar dapat merubah karakteristik
kimia pada produk tepung ubi jalar fermentasi, salah satunya adalah pH. Selama
proses fermentasi pH tepung ubi jalar terfermentasi mengalami penurunan. PH
tepung ubi jalar sebelum fermentasi berkisar antara 5,73 – 6,16. Sedangkan
setelah proses fermentasi pH tepung ubi jalar berkisar antara 4.84 – 6.15.
Pengaruh perlakuan varietas ubi jalar menurut lama fermentasi terhadap pH
tepung ubi jalar terfermentasi dapat dilihat pada Gambar 4.12
65
Gambar 4.12 Pengaruh Perlakuan Jenis Ubi Varietas Jalar terhadap pH Tepung
Ubi Jalar Terfermentasi Berdasarkan Lama Fermentasi
Dari Gambar 4.12 dapat diketahui bahwa semakin lama fermentasi nilai
pH tepung ubi jalar terfermentasi semakin menurun. Nilai pH pada varietas
Kuningan Merah cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Kuningan
Putih dan varietas Ayamurasaki (ungu).
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 7) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai pH, begitu
pula perlakuan lama fermentasi juga berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap nilai
pH tepung ubi jalar terfermentasi. Hasil uji BNT 5% dari rerata nilai pH akibat
perlakuan varietas ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4.16
Tabel 4.16. Rerata Nilai pH Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar pH BNT 5%
Ayamurasaki (ungu) 5,31 a Kuningan Merah 5,78 b 0,30 Kuningan Putih 5,65 b
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Berdasarkan Tabel 4.16 dapat diketahui bahwa rerata nilai pH pada
varietas Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Putih dan varietas Kuningan
Merah berbeda nyata. Nilai pH tertinggi terdapat pada varietas Kuningan Merah
sedangkan nilai pH terendah terdapat pada varietas Ayamurasaki (ungu).
Perbedaan nilai pH pada masing-masing varietas ini disebabkan karena setiap
varietas ubi jalar memiliki sifat fisik dan kimia yang berbeda. Nilai pH bahan baku
pada masing-masing varietas berbeda-beda, sehingga nilai pH bahan baku ini
dapat mempengaruhi nilai pH tepung ubi jalar terfermentasi. Menurut Antarlina
66
dan Utomo (1999), salah satu faktor yang mempengaruhi tepung ubi jalar adalah
bahan baku ubi jalar. Keragaman bahan baku ubi jalar sangat tinggi, sehingga
masing-masing jenis dapat menghasilkan mutu tepung ubi jalar yang berbeda.
Dari segi bahan baku ini yang dapat mempengaruhi mutu tepung ubi jalar adalah
umur tanaman, umur umbi, bentuk umbi, bahan kering umbi, dan warna umbi.
Menurut Moorthy (2002) sifat fisik dan kimia pati seperti bentuk dan ukuran
granula, kandungan amilosa, pH dan komponen non pati sangat dipengaruhi
oleh faktor genetik, kondisi tempat tumbuh dan umur tanaman.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai pH adalah kandungan gula
reduksi. Semakin tinggi gula reduksi maka nilai pH semakin asam, karena gula-
gula sederhana mudah dihidrolisis oleh mikroba terutama bakteri asam laktat
(BAL) menjadi asam-asam organik. Menurut Dewi (2007) kandungan gula
reduksi pada ubi jalar dengan daging umbi berwarna ungu adalah 0,3%, pada
daging umbi berwarna putih adalah 0,32% dan pada daging umbi berwarna
oranye adalah 1,69%. Hasil analisa gula reduksi pada masing-masing jenis ubi
jalar tersebut kurang sesuai dengan hasil pH tepung ubi jalar terfermentasi pada
masing-masing varietas. Hal ini diduga disebabkan karena selama proses
fermentasi alami mikroba yang berperan kurang terkontrol, tergantung dari
substrat dan lingkungan sekitarnya. Pada ubi jalar varietas Ayamurasaki dengan
kadar gula reduksi 0,3% dan nilai pH yang cenderung lebih rendah dibandingkan
varietas Kuningan Putih dan varietas Kuningan Merah, diduga mikroba yang
berperan dalam menghidrolisis pati menjadi gula-gula sederhana dan dihirolisis
menjadi asam-asam organik lebih banyak dibandingkan dengan peran mikroba
selama fermentasi pada varietas Kuningan Putih dan Kuningan Merah.
Hasil uji BNT 5% dari rerata nilai pH akibat perlakuan lama fermentasi
dapat dilihat pada Tabel 4.17
67
Tabel 4.17. Rerata Nilai pH pada Berbagai Kelompok Perlakuan Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar Lama
Fermentasi (jam)
pH BNT 5%
Ayamurasaki (ungu)
12 5,72 b 0,53
24 5,37 b
36 4,84 a
Kuningan Merah
12 6,15 b 0,53
24 5,99 b
36 5,20 a
Kuningan Putih
12 6,13 b 0,53
24 5,99 b
36 4,84 a
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda pada satu blok menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Dari Tabel 4.17 dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi
berbeda nyata terhadap nilai pH. Pada fermentasi 12 jam memiliki nilai pH
tertinggi dibandingkan dengan lama fermentasi 24 dan 36 jam. Semakin lama
fermentasi, maka nilai pH pada tepung ubi jalar terfermentasi akan semakin
menurun. Hal ini disebabkan karena pada proses fermentasi terjadi metabolism
dari aktivitas mikroorganisme yang menghasilkan asam-asam organik. Menurut
Subagio (2006), bakteri asam laktat (BAL) adalah mikroba yang mendominasi
selama proses fermentasi. Mikroba yang tumbuh akan menghasilkan enzim
pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel pati, sehingga
terjadi liberasi granula pati. Proses liberasi ini akan menyebabkan perubahan
karakteristik dari pati yang dihasilkan. Selanjutnya, granula pati tersebut oleh
mikroba akan dihidrolisis menghasilkan monosakarida yang digunakan sebagai
bahan baku untuk menghasilkan asam-asam organik, terutama asam laktat. Hal
inilah yang diduga menyebabkan nilai pH menjadi lebih asam, sehingga semakin
lama fermentasi maka semakin rendah nilai pH tepung ubi jalar terfermentasi
yang dihasilkan.
4.2.8 Warna
Warna merupakan salah satu parameter fisik yang penting dalam sebuah
produk pangan. Hal ini dikarenakan seseorang umumnya akan menetapkan
pilihan awal terhadap suatu produk berdasarkan kenampakan visual dari produk
tersebut. Menurut fennema (1993), warna adalah atribut kualitas yang paling
penting bersama-sama dengan tekstur dan rasa. Warna merupakan salah satu
profil visual yang menjadi kesan pertama konsumen dalam menilai bahan
68
makanan. Analisa warna dilakukan dengan menggunakan colour reader yang
didasarkan pada tiga parameter yaitu nilai L* yang menunjukkan tingkat
kecerahan, nilai a* yang menunjukkan warna kromatik campuran merah dengan
hijau, dan nilai b* yang menunjukkan warna kromatik campuran kuning dengan
biru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecerahan tepung ubi jalar
sebelum fermentasi berkisar antara 61,73 – 88,37. Sedangkan setelah
fermentasi berkisar antara 64,21 – 88,04. Pada tingkat kemerahan tepung ubi
jalar sebelum fermentasi berkisar antara -1,23 – 11,63. Sedangkan setelah
fermentasi berkisar antara -1,63 -12,12. Jika pada tingkat kekuningan sebelum
fermentasi berkisar antara 2,43 – 20,57. Sedangkan setelah fermentasi berkisar
2,11 – 18,37.
Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 8) didapatkan hasil bahwa
perlakuan varietas ubi jalar berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap tingkat
kecerahan (L*), tingkat kemerahan (a*) dan tingkat kekuningan (b*). Sedangkan
pada perlakuan lama fermentasi tidak berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap
tingkat kecerahan (L*), tingkat kemerahan (a*) dan tingkat kekuningan (b*). Hasil
uji BNT 5% dari rerata tingkat kecerahan (L*), tingkat kemerahan (a*) dan tingkat
kekuningan (b*) akibat perlakuan varietas ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4.18
Tabel 4.18. Rerata Tingkat Kecerahan Tepung Ubi Jalar Terfermentasi Akibat Perlakuan Varietas Ubi Jalar
Varietas Ubi Jalar Tingkat
Kecerahan (L*)
Tingkat Kemerahan
(a*)
Tingkat Kekuningan
(b*)
Ayamurasaki (ungu) 65,33 a 11,05 a 2,93 a
Kuningan Merah 83,34 b 6,25 c 14,83 c
Kuningan Putih 86,65 c -1,14 b 21,47 b
BNT 5% 2,78 1,88 1,69
Keterangan : Nilai rerata yang didampingi oleh huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata (α=0,05)
Berdasarkan Tabel 4.18 dapat diketahui bahwa rerata tingkat kecerahan
(L*), tingkat kemerahan (a*) dan tingkat kekuningan (b*) pada varietas
Ayamurasaki (ungu), varietas Kuningan Merah dan varietas Kuningan putih
berbeda nyata. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing varietas ubi jalar
memiliki kandungan pigmen yang berbeda-beda sehingga warna (L* , a* dan b*)
yang dihasilkan berbeda. Pada varietas Ayamurasaki (ungu) memiliki pigmen
antosianin yang berwarna ungu. Sedangkan pada varietas Kuningan Merah dan
69
varietas Kuningan Putih memiliki pigmen karotenoid. Menurut Winarno (2008),
karotenoid merupakan kelompok pigmen yang terdapat didalam beberapa jenis
buah berwarna kuning, oranye dan merah (pepaya, mangga, wortel, dan ubi
jalar) dan kacang-kacangan yang berwarna kuning dan merah.
Tingkat kecerahan (L*) tertinggi pada Tabel 4.18 adalah pada varietas
Kuningan Putih, sedangkan tingkat kecerahan terendah terdapat pada varietas
Ayamurasaki (ungu). Hal ini disebabkan karena pada varietas Ayamurasaki
(ungu) memiliki pigmen ungu yang cenderung berwarna lebih gelap dibandingkan
dengan pigmen oranye pada varietas Kuningan Merah dan pigmen kuning pada
varietas Kuningan Putih.
Tingkat kemerahan (a*) tertinggi terdapat pada varietas Ayamurasaki
(ungu) sedangkan tingkat kemerahan terendah terdapat pada varietas Kuningan
Putih. Hal ini disebabkan karena pada varietas Ayamurasaki (ungu) warna ungu
tepung semakin mendekati pada warna merah, sehingga nilai (a*) lebih besar.
Sedangkan pada varietas Kuningan Putih memiliki nilai (a*) sebesar -0,15.
Tingkat kemerahan menunjukkan warna kromatik campuran merah dengan hijau.
Hasil -0,15 membuktikan bahwa nilai (a*) mendekati warna hijau, sehingga nilai
(a*) lebih kecil.
Tingkat kekuningan (b*) menunjukkan campuran warna kromatik kuning
dengan biru, sehingga semakin rendah nilai (b*) menunjukkan bahwa warna
tersebut semakin mendekati warna biru. Tingkat kekuningan (b*) tertinggi
terdapat pada varietas Kuningan Merah. Sedangkan tingkat kekuningan (b*)
terendah adalah pada ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki (ungu). Hal ini
menunjukkan bahwa warna tepung varietas Kuningan Merah semakin mendekati
warna kuning, sedangkan pada varietas Ayamurasaki (ungu) warna ungu tepung
semakin mendekati warna biru.
Hasil uji BNT 5% dari tingkat kecerahan (L*), tingkat kemerahan (a*) dan
tingkat kekuningan (b*) akibat perlakuan lama fermentasi dapat dilihat pada
Tabel 4.19
70
Tabel 4.19. Rerata Tingkat Kecerahan (L*), Tingkat Kemerahan (a*) dan Tingkat Kekuningan (b*) pada Berbagai Kelompok Perlakuan Menurut Waktu Fermentasi
Varietas Ubi Jalar
Lama Fermentasi
(jam)
Tingkat Kecerahan
(L*)
Tingkat Kemerahan
(a*)
Tingkat Kekuningan
(b*)
Ayamurasaki
(ungu)
12 64,21 12,12 2,11
24 65,42 10,72 2,39
36 66,37 10,30 3,98
Kuningan
Merah
12 82,74 8,45 23,14
24 82,21 7,15 21,48
36 86,07 3,13 19,8
Kuningan Putih
12 85,87 -0,93 16,27
24 86,05 -0,86 15,43
36 88,04 -1,63 12,78
Dari Tabel 4.19 dapat diketahui bahwa perlakuan lama fermentasi tidak
berbeda nyata terhadap tingkat kecerahan (L*), tingkat kemerahan (a*) dan
tingkat kekuningan (b*) tepung ubi jalar terfermentasi. Hal ini disebabkan karena
selisih perbedaan data yang relatif kecil sehingga kemungkinan untuk berbeda
nyata juga semakin kecil.
Pada lama fermentasi 36 jam memiliki tingkat kecerahan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan lama fermentasi 12 jam dan 24 jam. Hal ini disebabkan
karena semakin lama fermentasi semakin banyak komponen penimbul warna
seperti pigmen yang terbuang. Menurut Agustawa (2012) pada proses fermentasi
yang semakin lama, enzim proteolitik yang dihasilkan akan mempunyai aktivitas
yang semakin tinggi dalam mendegradasi senyawa penimbul warna dan protein
saat fermentasi. Menurut Sobawale (2007) dalam Agustawa (2012), proses
fermentasi dapat menghilangkan kadar protein ubi yang dapat menyebabkan
warna kecoklatan saat pengeringan atau pemanasan. Fermentasi juga
mengakibatkan terlambatnya reaksi pencoklatan non enzimatis (maillard).
Fardiaz (1992) dalam Agustawa (2012) menyatakan bahwa, reaksi pencoklatan
non enzimatis dapat terjadi bila gula pereduksi bereaksi dengan senyawa-
senyawa yang mempunyai gugus NH2 (protein, asam amino, peptida dan
ammonium). Reaksi maillard akan terjadi apabila bahan pangan dipanaskan atau
didehidrasi.
71
Pada varietas Ayamurasaki (ungu), pigmen alami antosianin yang
direndam selama waktu tertentu pada saat fermentasi larut dengan air. Menurut
Galyano (2005) Antosianin merupakan glikosida dari polyhidroxyl yang larut
dalam air serta merupakan derivat polymetoksil dari 2-phenylbenzopyrylium atau
garam flavilium. Hilangnya antosianin selama fermentasi ini dapat mempengaruhi
tingkat kecerahan dan tingka kemerahan tepung. Semakin lama fermentasi
tingkat kecerahan akan semakin meningkat sehingga tingkat kemerahan (a*)
semakin menurun. Tingkat kekuningan (b*) pada ubi jalar ungu juga semakin
meningkat dengan semakin lama fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin lama fermentasi semakin banyak pigmen antosianin yang hilang
sehingga warna ungu tepung semakin pudar.
Bila pada varietas Kuningan Merah dan varietas Kuningan Putih
mengandung pigmen karotenoid. Pigmen ini dapat rusak pada kondisi media
yang asam. Pada tepung ubi jalar terfermentasi, semakin lama fermentasi nilai
pH semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama fermentasi
kondisi tepung ubi jalar terfermentasi semakin asam sehingga semakin banyak
pigmen karotenoid yang rusak dan ikut luruh dalam medium fermentasi. Menurut
Ottaway (1999) kestabilan karotenoid sama dengan vitamin A, yang mana
sensitif terhadap oksigen, cahaya dan media asam. Hilangnya karotenoid ini
dapat mempengaruhi tingkat kecerahan dari tepung ubi jalar
terfermentasi,sehingga semakin lama fermentasi tingkat kecerahan semakin
meningkat. Begitu juga dengan tingkat kemerahan (a*) dan tingkat kekuningan
(b*) pada varietas Kuningan Merah semakin lama fermentasi nilai (a*) dan nilai
(b*) tepung ubi jalar oranye semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin lama fermentasi semakin banyak pigmen karotenoid yang hilang.
Namun berbeda dengan tingkat kemerahan (a*) pada varietas Kuningan Putih,
semakin lama fermentasi nilai a* semakin meningkat. Hasil ini menunjukkan
bahwa warna tepung ubi jalar putih lebih mendekati warna merah. Tetapi pada
nilai b* mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya lama fermentasi.
Hal ini disebabkan karena semakin lama fermentasi semakin banyak pigmen
kuning karotenoid yang larut sehingga warna kuning tepung semakin pudar.
4.3 Uji Organoleptik
Uji organoleptik pada tepung ubi jalar terfermentasi bertujuan untuk
mengetahui penilaian panelis terhadap parameter fisik tepung. Uji organoleptic
dilakukan dengan menggunakan metode uji kesukaan (Hedonic Scale Scoring),
72
yaitu salah satu uji penerimaan. Pada uji organoleptik ini, 20 panelis tidak terlatih
diminta untuk mengungkapkan tanggapannya terhadap produk tepung ubi jalar
terfermentasi. Tingkat kesukaan ini disebut skala hedonik yang dalam
pengujiannya menggunakan skala (1-7) dari sangat menyukai sampai sangat
tidak menyukai.
Skala hedonik yang digunakan ditransformasikan menjadi skala numerik
dengan angka mulai dari angka terendah hingga angka tertinggi, sangat
menyukai sampai dengansangat tidak menyukai. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui adanya perbedaan tingkat kesukaan antar perlakuan yang ada. Hasil
pengamatan tersebut meliputi aroma dan warna.
4.3.1 Uji Organoleptik Aroma
Pengujian aroma pada organoleptik bertujuan untuk mengetahui aroma
produk tepung ubi jalar terfermentasi menurut panelis dan tingkat kesukaan
aroma panelis terhadap produk. Rerata kesukaan panelis terhadap aroma tepung
ubi jalar terfermentasi berdasarkan lama fermentasi dalam varietas ubi jalar
berkisar antara 3.00 - 5.40 (Lampiran 11), yang berarti bahwa tingkat kesukaan
panelis berkisar antara agak suka hingga agak tidak suka terhadap aroma
produk tepung ubi jalar terfermentasi. Gambar 4.13 menunjukkan pengaruh
perlakuan jenis ubi jalar menurut lama fermentasi terhadap terhadap tingkat
kesukaan panelis pada parameter aroma.
Gambar 4.13 Pengaruh Perlakuan Varietas Ubi Jalar Terhadap Tingkat
Kesukaan Panelis Pada Parameter Aroma Berdasarkan Lama
Fermentasi
Gambar 4.13 menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis terhadap aroma
tepung ubi jalar terfermentasi, dimana skor kesukaan panelis tertinggi diperoleh
73
dari perlakuan lama fermentasi 36 jam dari varietas Kuningan Putih, yaitu
sebesar 5,40 (agak tidak suka), sedangkan skor kesukaan panelis terendah
diperoleh pada perlakuan lama fermentasi 12 jam dari varietas Ayamurasaki
(ungu), yaitu sebesar 3,00 (agak suka).
Hasil analisis ragam (Lampiran 11), menunjukkan bahwa perlakuan
varietas ubi jalar tidak berpengaruh nyata (α=0,05) pada aroma tepung ubi jalar
terfermentasi, sedangkan perlakuan lama fermentasi dalam varietas ubi jalar
juga tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap aroma tepung ubi jalar
terfermentasi.
Aroma dari tepung ubi jalar terfermentasi cenderung beraroma asam khas
fermentasi. Semakin lama fermentasi maka aroma asam khas fermentasi
semakin kuat. Hal ini disebabkan karena semakin banyak aktivitas
mikroorganisme dalam bermetabolit menghasilkan asam-asam organik. Apabila
tepung ubi jalar terfermentasi ini diaplikasikan pada produk pangan, diharapkan
bau langu yang ada pada ubi jalar dapat tertutupi dengan bau asam-asam
organik, sehingga tidak banyak mengubah flavor asli dari produk yang dihasilkan.
Menurut Lina (2008) dalam Wulandari (2011) menyebutkan bahwa mikroba yang
menghasilkan asam-asam organik, maka asam-asam itu akan terimbibisi dalam
bahan, dan ketika bahan tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan
citarasa khas yang dapat menutupi aroma dan citarasa ubi jalar yang cenderung
tidak menyenangkan konsumen.
4.3.2 Uji Organoleptik Warna
Pengujian warna secara organoleptik bertujuan untuk mengetahui tingkat
kecerahan tepung ubi jalar terfermentasi menurut panelis. Warna adalah sebuah
daya tarik tersendiri bagi produk makanan sehingga sangat penting untuk
menentukan penerimaan produk oleh konsumen. Rerata kesukaan panelis
terhadap warna tepung ubi jalar terfermentasi berdasarkan lama fermentasi
dalam varietas ubi jalar berkisar antara 2,15 – 4,70 (Lampiran 12). yang berarti
bahwa tingkat kesukaan panelis berkisar antara agak suka hingga agak tidak
suka terhadap warna produk tepung ubi jalar terfermentasi. Gambar 4.14
menunjukkan pengaruh perlakuan jenis ubi jalar menurut lama fermentasi
terhadap terhadap tingkat kesukaan panelis pada parameter warna.
74
Gambar 4.14 Pengaruh Perlakuan Varietas Ubi Jalar Terhadap Tingkat
Kesukaan Panelis Pada Parameter Warna Berdasarkan Lama
Fermentasi
Gambar 4.14 menunjukkan bahwa skor kesukaan panelis terhadap wrna
tepung ubi jalar terfermentasi, dimana skor kesukaan panelis tertinggi diperoleh
dari perlakuan lama fermentasi 36 jam dari varietas Ayamurasaki (ungu), yaitu
sebesar 4,70 (agak tidak suka), sedangkan skor kesukaan panelis terendah
diperoleh pada perlakuan lama fermentasi 36 jam dari varietas Kuningan Putih,
yaitu sebesar 2,15 (suka).
Hasil analisis ragam (Lampiran 12), menunjukkan bahwa perlakuan
varietas ubi jalar tidak berpengaruh nyata (α=0,05) pada warna tepung ubi jalar
terfermentasi, sedangkan perlakuan lama fermentasi dalam varietas ubi jalar
juga tidak memberikan pengaruh nyata (α=0,05) terhadap warna tepung ubi jalar
terfermentasi.
Warna tepung ubi jalar terfermentasi semakin cerah seiring dengan lama
waktu fermentasi. Pada varietas Ayamurasaki (ungu), semakin lama fermentasi
warna ungu tepung semakin pudar. Hal ini disebabkan karena semakin selama
proses fermentasi, semakin banyak komponen dalam bahan termasuk pigmen
antosianin yang terdegradasi sehingga pigmen ungu antosianin banyak yang
hilang karena ikut luruh dalam medium fermentasi. Begitu juga pada varietas
Kuningan Merah,semakin lama fermentasi warna oranye tepung semakin pudar.
Hilangnya warna oranye ini disebabkan karena selama proses fermentasi
terdapat aktivitas mikroba yang menghasilkan asam, sehingga karoten menjadi
rusak dan ikut luruh dalam medium fermentasi. Hal ini dapat dilihat pada Tabel
4.17 data analisa pH tepung ubi jalar terfermentasi yang menunjukkan bahwa
75
semakin lama fermentasi nilai pH semakin asam. Menurut Ottaway (1999)
kestabilan karotenoid sama dengan vitamin A, yang mana sensitif terhadap
oksigen, cahaya dan media asam. Semakin lama fermentasi semakin banyak
pigmen oranye karotenoid yang hilang, sehingga dapat mempengaruhi warna
tepung ubi jalar yang di hasilkan. Jika pada varietas Kuningan Putih perlakuan
fermentasi menyebabkan warna kuning tepung semakin hilang seiring dengan
lama fermentasi. Hal ini menyebabkan warna tepung menjadi lebih putih
sehingga dapat menyerupai warna dari tepung terigu. Pada saat fermentasi
terjadi degradasi komponen dalam bahan termasuk pigmen kuning karotenoid,
sehingga semakin lama fermentasi semakin banyak pigmen kuning karotenoid
yang hilang, akibatnya warna tepung menjadi lebih putih. Menurut Akbar (2009)
selama proses fermentasi terjadi penghilangan komponen penimbul warna,
seperti pigmen karotenoid dan protein yang dapat menyebabkan warna coklat
ketika pemanasan. Dampaknya adalah warna tepung yang dihasilkan lebih putih
jika dibandingkan dengan warna tepung tanpa fermentasi. Selain itu, proses ini
akan menghasilkan tepung yang secara karakteristik dan kualitas hampir
menyerupai tepung dari terigu.
Pengujian warna pada organoleptik sangat penting, karena pada
umumnya konsumen akan menilai suatu produk berdasarkan penampakan
fisiknya, yaitu salah satunya warna. Menurut Winarno (2008), menyatakan bahwa
uji warna lebih banyak melibatkan indera penglihatan dan merupakan salah satu
indikator juga untuk menentukan apakah suatu bahan pangan diterima atau tidak
oleh masyarakat konsumen, karena makanan yang berkualitas (rasanya enak,
bergizi dan bertekstur baik) belum tentu akan disukai oleh konsumen bilamana
bahan pangan tersebut memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau
menyimpang dari warna aslinya.
4.4 Tepung Perlakuan Terbaik
Penentuan perlakuan terbaik dari tepung ubi jalar terfermentasi
ditentukan berdasarkan metode multiple attribute (Zeleny, 1982).. Pengamatan
dan analisa yang dilakukan pada tepung fermentasi perlakuan terbaik antara lain
analisa bulk density (densitas kamba), kadar air, kadar pati, viskositas panas dan
dingin, indeks penyerapan air (IPA), indeks kelarutan air (IKA), dan rendemen.
Nilai yang sesuai harapan yaitu merupakan nilai minimal atau maksimal dari
setiap parameter. Berdasarkan metode multiple atribut tepung perlakuan terbaik
pada masing-masing varietas Ayamurasaki, Kuningan Merah dan Kuningan Putih
76
terdapat pada tepung dengan perlakuan lama fermentasi 36 jam. Perlakuan
terbaik pada tepung ubi jalar terfermentasi dibandingkan dengan tepung ubi jalar
kontrol tanpa fermentasi. Data analisa tepung ubi jalar kontrol tanpa fermentasi
dan perlakuan terbaik disajikan pada Tabel 4.20, 4.21 dan 4.22
Tabel 4.20. Data Hasil Analisa Tepung Ubi Jalar Kontrol dan Tepung Ubi Jalar
Perlakuan Terbaik Pada Jenis Ubi Jalar Ungu Varietas Ayamurasaki
Parameter Tepung Ubi Jalar
Kontrol (tanpa fermentasi)
Tepung Ubi Jalar Perlakuan Terbaik (fermentasi 36 jam)
Kadar Air (%) 9,7 6,94
Kadar Pati (%) 75,52 67,66
Rendemen
- Chips Kering (%)
- Tepung (%)
33,06
27,8
28,25
23,34
Viskositas
- Viskositas Panas (cp)
- Viskositas Dingin (cp)
810
1200
1616,67
1910
Indeks Peyerapan Air (IPA)
(g/g) 1,491 1,95
Indeks Kelarutan Air (IKA)
(g/ml) 0,0156 0,028
Densitas Kamba (g/ml) 0,64 0,68
Tabel 4.21. Data Hasil Analisa Tepung Ubi Jalar Kontrol dan Tepung Ubi Jalar
Perlakuan Terbaik Pada Jenis Ubi Jalar Oranye Varietas Kuningan Merah
Parameter Tepung Ubi Jalar
Kontrol (tanpa fermentasi)
Tepung Ubi Jalar Perlakuan Terbaik (fermentasi 36 jam)
Kadar Air (%) 8,41 3,57
Kadar Pati (%) 85,11 77,56
Rendemen
- Chips Kering (%)
- Tepung (%)
36,38
32,2
32,51
29,31
Viskositas
- Viskositas Panas (cp)
- Viskositas Dingin (cp)
460
440
11203,33
37030
Indeks Peyerapan Air (IPA)
(g/g) 1,352 1,96
Indeks Kelarutan Air (IKA)
(g/ml) 0,0134 0,032
Densitas Kamba (gr/ml) 0,69 0,71
77
Tabel 4.22. Data Hasil Analisa Tepung Ubi Jalar Kontrol dan Tepung Ubi Jalar
Perlakuan Terbaik Pada Jenis Ubi Jalar Putih Varietas Kuningan Putih
Parameter Tepung Ubi Jalar
Kontrol (tanpa fermentasi)
Tepung Ubi Jalar Perlakuan Terbaik (fermentasi 36 jam)
Kadar Air (%) 9,36 5,04
Kadar Pati (%) 82,83 74,89
Rendemen
- Chips Kering (%)
- Tepung (%)
35,29
30,57
30,18
24,98
Viskositas
- Viskositas Panas (cp)
- Viskositas Dingin (cp)
690
970
2103,33
2816,67
Indeks Peyerapan Air (IPA)
(g/g) 1,224 1,98
Indeks Kelarutan Air (IKA)
(g/ml) 0,0149 0,028
Densitas Kamba (gr/ml) 0,71 0.72
Dari Tabel 4.22, 4.23 dan 4.24 dapat diketahui bahwa kadar air tepung
perlakuan terbaik pada masing-masing varietas ubi jalar mengalami penurunan.
Nilai kadar air tepung ubi jalar tanpa fermentasi lebih besar dibandingkan dengan
tepung ubi jalar terfermentasi. Hal ini dsebabkkan karena pada saat fermentasi
terjadi degradasi pati oleh mikroorganisme yang menyebabkan turunnya
kemampuan bahan dalam mempertahankan air, karena kehilangan gugus
hidroksil yang berperan dalam menyerap air. Menurut Giraund dkk. (1994),
gugus hidroksil pada granula pati merupakan faktor utama dalam mempengaruhi
kemampuan mempertahankan air. Pada bahan berpati, gugus hidroksil ini
mempunyai kemampuan yang besar untuk mempertahankan air karena struktur
gugus hidroksil yang mudah dimasuki air.
Kadar pati tepung perlakuan terbaik pada masing-masing varietas ubi
jalar lebih rendah dibandingkan dengan kadar pati tepung ubi jalar kontrol (tanpa
fermentasi). Hal ini disebabkan karena pada proses fermentasi terjadi
pemecahan pati oleh aktivitas mikroorganisme menjadi gula-gula sederhana.
Menurut Oktavian (2010) selama fermentasi terdapat aktivitas mikroba yang
menyebabkan terjadinya degradasi pati disertai dengan pembentukan gula-gula
sederhana yang digunakan untuk energi dalam pertumbuhan dan aktivitasnya,
degradasi pati tersebut menyebabkan turunnya kadar pati. Hal tersebut juga
didukung oleh Maria (2002) yang menyebutkan bahwa, kadar pati mengalami
78
penurunan sejalan dengan meningkatnya lama fermentasi, karena kemampuan
mikroba amilolitik dalam pemecahan pati semakin besar. Selain itu penurunan
kadar pati juga dapat disebabkan karena proses pengolahan. Menurut
Anindyasari (2012) penyebab lain penurunan kadar pati adalah pada saat proses
pengolahan tepung yang bisa menghilangkan pati, seperti perendaman dalam air
pada saat umbi di cuci atau pada saat chips di fermentasi. Hal ini menyebabkan
sebagian pati mengendap dalam air dan tidak ikut dalam proses penepungan.
Hasil randemen menunjukkan bahwa randemen tepung perlakuan terbaik
pada masing-masing varietas ubi jalar lebih kecil dibandingkan dengan tepung
ubi jalar kontrol (tanpa fermentasi). Hal ini disebabkan karena selama fermentasi
terdapat pati yang dihidrolisis oleh mikroba menjadi gula-gula sederhana
sehingga nilai rendemen menurun. Menurut Oktavian (2010) selama fermentasi
terdapat aktivitas mikroba yang menyebabkan terjadinya degradasi pati disertai
dengan pembentukan gula-gula sederhana yang digunakan untuk energi dalam
pertumbuhan dan aktivitasnya, degradasi pati tersebut menyebabkan turunnya
kadar pati. Menurut Antarlina dan Utomo (1999) besarnya rendemen tepung
yang dihasilkan dapat diketahui dari kadar bahan keringnya. Semakin tinggi
kadar bahan kering ubi jalar maka semakin tinggi pula rendemen tepung yang
dihasilkan. Perbedaan nilai rendemen juga dapat dipengaruhi oleh kadar air
dalam bahan. Pada tepung mengandung air, pati dan beberapa komponen lain.
Kadar air pada tepung fermentasi lebih kecil dibandingkan tepung kontrol tanpa
fermentasi, sehingga dapat mempengaruhi nilai randemen tepung menjadi lebih
kecil.
Nilai viskositas panas dan dingin tepung perlakuan terbeik pada masing-
masing jenis ubi jalar lebih tinggi dibandingkan dengan nilai viskositas panas dan
dingin pada tepung kontrol (tanpa fermentasi). Hal ini disebabkan karena pada
saat fermentasi terjadi degradasi dinding sel pati oleh aktivitas mikroorganisme
sehingga sebagian dari dinding sel pati mengalami kerusakan. Kerusakan ini
menyebabkan dinding sel granula pati berlubang, sehingga air lebih mudah
masuk dalam granula dan mengakibatkan granula mengalami pembengkakan.
Pembengkakan granula pati dapat meningkatkan nilai viskositas.
Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA) tepung
perlakuan terbaik pada masing-masing varietas ubi jalar lebih tinggi jika
dibandingkan dengan tepung ubi jalar kontrol (tanpa fermentasi). Hal ini
disebabkan karena pada saat fermentasi terjadi degradasi pati oleh aktivitas
79
mikroorganisme yang menyebabkan dinding sel granula pati mengalami
kerusakan. Kerusakan dinding sel granula pati menyebabkan granula pati
berlubang, sehingga air lebih mudah masuk dalam granula akibatnya granula
mengalami pembengkakan. Pada granula yang membengkak lebih mudah
mengalami proses gelatinisasi. Menurut Gujska dan Khan (1991), IPA
dipengaruhi oleh adanya denaturasi protein, gelatinisasi pati, dan pembengkakan
serat kasar yang terjadi selama pengolahan menjadi tepung. IPA tergantung
pada ketersediaan grup hidrofilik dan kapasitas pembentukan gel dari
makromolekul yaitu pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi. Semakin banyak
pati yang tergelatinisasi dan terdekstrinasi, semakin besar kemampuan produk
menyerap air (Gomez dan Aguilera, 1983). Dan menurut Honestin (2009)
peningkatan nilai IPA biasanya diikuti dengan peningkatan IKA. Hal ini karena
granula pati lebih mudah mengikat air dan juga mudah melepaskan amilosanya
kedalam media pendispersinya.
Analisa densitas kamba dilakukan untuk mengetahui tingkat kerapatan
tepung dalam menempati ruang. Densitas kamba tepung perlakuan terbaik pada
masing-masing varietas ubi jalar dengan tepung ubi jalar kontrol (tanpa
fermentasi) hampir sama. Densitas kamba tepung perlakuan terbaik pada
masing-masing varietas ubi masih dapat diterima karena masih berkisar antara
0,3 – 0,8 g/ml. Menurut Wirakartakusumah dkk (1992) dalam Harnani (2009)
Densitas kamba dari berbagai produk bubuk umumnya berkisarantara 0.30-0.80
g/ml.
80
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan varietas ubi jalar
berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar pati, kadar air, rendemen chips
kering, rendemen tepung, viskositas panas, viskositas dingin, pH, tingkat
kecerahan (L*), tingkat kemerahan (a*) dan tingkat kekuningan (b*). Perlakuan
lama fermentasi berpengaruh nyata (α=0,05) terhadap kadar pati, kadar air,
rendemen chips kering, rendemen tepung, viskositas panas, viskositas dingin,
Indeks Penyerapan Air (IPA), Indeks Kelarutan Air (IKA), dan pH.
Tepung ubi jalar terfermentasi terbaik dari ketiga varietas adalah varietas
Kuningan Putih dan lama fermentasi terbaik dari ketiga perlakuan adalah 36 jam.
Tepung perlakuan terbaik pada masing-masing varietas Ayamurasaki, Kuningan
Merah dan Kuningan Putih adalah tepung dengan lama fermentasi 36 jam. Nilai
perlakuan terbaik pada varietas Ayamurasaki (ungu) yaitu kadar air 56,94%,
kadar pati 67,66%, rendemen chips kering 28,25%, rendemen tepung 23,34%,
viskositas panas 1616,67 cp, viskositas dingin 1910 cp, Indeks Penyerapan Air
(IPA) 1,95 g/g, Indeks Kelarutan Air (IKA) 0,028 g/ml, dan densitas kamba 0,68
g/ml. Pada varietas Kuningan Merah nilai terbaik yaitu kadar air 3,57%, kadar
pati 77,56%, rendemen chips kering 32,51%, rendemen tepung 29,31%,
viskositas panas 11203,33 cp, viskositas dingin 37030 cp, Indeks Penyerapan Air
(IPA) 1,96 g/g, Indeks Kelarutan Air (IKA) 0,032 g/ml, dan densitas kamba 0,71
g/ml. Sedangkan nilai terbaik pada varietas Kuningan Putih yaitu kadar air
5,04%, kadar pati 74,89%, rendemen chips kering 30,18%, rendemen tepung
24,98%, viskositas panas 2103,33 cp, viskositas dingin 2816,67 cp, Indeks
Penyerapan Air (IPA) 1,98 g/g, Indeks Kelarutan Air (IKA) 0,028 g/ml, dan
densitas kamba 0,72 g/ml. Tepung ubi jalar terfermentasi terbaik yang dihasilkan
mempunyai karakteristik yang lebih baik dari pada tepung ubi jalar kontrol (tanpa
fermentasi).
5.2 Saran
1. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai data antar ulangan memiliki
rentan yang cukup jauh. Hal ini diduga karena pada fermentasi alami
aktivitas mikroba yang berperan selama proses fermentasi tidak terkontrol,
sehingga diperlukan adanya penelitian lanjutan mengenai jenis mikroba dan
total mikroba yang berperan dalam proses fermentasi tepung ubi jalar untuk
81
mengetahui tingkat keamanan tepung ubi jalar fermentasi apabila
diaplikasikan pada produk yang berbahan dasar tepung.
2. Nilai viskositas dari tepung ubi jalar terfermentasi menunjukkan hasil yang
cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai aplikasi
tepung ubi jalar terfermentasi dalam pembuatan berbagai produk yang
berbahan dasar tepung.
82
DAFTAR PUSTAKA
Achi, O.K and N.S. Akomas., 2006. Comparative Assessment of Fermentation
Techniques in The Processing of Fufu, A Traditional Fermented
Cassava Product. Pakistan Journal of Nutrition 5 (3) : 224-229.
Adams, M.R., and Nout, M. J. R., 2001. Fermentation and Food Safety. Aspen
Publisher. Gaithersburg, Maryland.
Agustawa, R. 2012. Modifikasi Pati Ubi Jalar Putih (Ipomoea Batatas L)
Varietas Sukuh Dengan Proses Fermentasi dan Metode Heat
Moisture Treatment (HMT) Terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia
Pati. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Agustyanto, P. 2004. Pengolahan Ubi jalar Menjadi Tepung.
http://www.leisa.info/ FrilZ/sourcc//acthloh.php?()_i(l 67142A.aJU211 &a_
seqO. Tanggal Akses 16 Desember 2012.
Akbar, Mochammad. 2009. Sekilas Tentang MOCAF. http://mocaf-
indonesia.com. Tanggal akses 25 September 2009
Andayani, D.W. 2007. Kandungan Antosianin, Total Fenol dan Aktivitat
Antioksidan Beberapa Klon Ubijalar Ungu (Ipomoea batatas). Skripsi
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian.
Universitas Brawijaya. Malang.
Anderson.1958. Chemical of Sweet Potato Flour. Cereal Chem. Vol. 50 (2).
Anindyasari, Y. 2012. Pengaruh Lama Fermentasi Dengan Ragi Roti
Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Tepung Kimpul. Skripsi
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian.
Universitas Brawijaya. Malang.
Anonymousa, 2002. Ubi Jalar. http://shvoong.com. Tanggal Akses 16 Desember
2012.
83
Anonymousa, 2009. Ubi Jalar Orange. http://www.spatindonesia.or.id
/spat/?prm=bd. Tanggal Akses 16 Desember 2012
Anonymousa, 2011. Khasiat Ubi Jalar. http://bengkeltip.wordpress.com/2011
/12/22/khasiat-ubi-jalar/. Tanggal Akses 16 Desember 2012
Anonymousa, 2012. O’Henry Sweet Potatoes. http://www.saura
pride.com/products.htm. Tanggal Akses 16 Desember 2012.
Anonymousa. 2005. Ayamurasaki. http://www.jrt.gr.jp/sminie/panf/
ayamuras.html . Tanggal Akses 16 Desember 2012.
Anonymousb. 2011. Proteases in Enzyme Therapy. www.enzimessential.com/
proteases-in-enzym-therapy.html. Tanggal akses 16 Desember 2012.
Antarlina S.S. dan Utomo, J.S. 1999. Proses Pembuatan dan Penggunaan
Tepung Ubi Jalar untuk Produk Pangan. Lokakarya Nasional dalam
A. A. Rahmianna, Heriyanto, dan A. Winarto (ed). Pemberdayaan
Tepung Ubi Jalar sebagai Substitusi Terigu dan Potensi Kacang-
kacangan untuk Pengayaan Kualitas Pangan. Edisi Khusus Balitkabi
No. 15 hal.30-44. 1999.Balitkabi. Malang.
Antarlina, S. S. dan Utomo, J. S., 1997. Proses Pembuatan dan Penggunaan
Tepung Ubi Jalar untuk Produk Pangan. Dalam Edisi Khusus Balitkabi
15-1999.
Anton, Apriyantono. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
AOAC, 1970. Official Method and Analysis of The Association oh The
Official Analytical Chemists. 11th. Edition. Washington D.C.
AOAC, 1984. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical
Chemists, Washington D.C.
Aripnur. 2010. Ubi Jalar Ungu. http://www.banjar-jabar.go.id. Tanggal Akses 16
Desember 2012.
Astawan, M. 2008. Brem. http://cybermed.cbn.net. Tanggal Akses 16 Desember
2012.
84
Badan Pusat Stalistik Indonesia. 2005. Statistik Indonesia. 2004. Badan Pusat
Statistik, Jakarta., Indonesia. 604 p.
Badan Pusat Stalistik Indonesia. 2009. Rancangan Rencana Strategis
Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Kementerian Pertanian 2009.
http://setjen.deptan.go.id/admin/download/rancangan%20renstra%20dept
an%202010-2014%20lengkap.pdf . Tanggal Akses 16 Desember 2012..
Badan Standarisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia 3549:2009.
DSN. Jakarta.
Bradbury, J. H. and W. D. Holloway. 1988. Chemestry of Tropical Root.
Significance for nutrition and agriculture in the Pacific. ACIAR. Canberra.
Cordell. K. 2005. Sweet Potatoes - Nature's Health Food.
http://www.nesweetpotatoes.com/ nutrition.htm. Tanggal Akses 16
Desember 2012.
Damardjati, D.S. dan S. Widowati. 1993. Pembinaan Sistem Agroindustri
Tepung Kasava Pola Usaha Tani Inti Plasma Kabupaten Ponorogo.
Lapor an Penelitian Kerjasama Balittan. Sukamandi dengan PT. Petro
Aneka Usaha, Sukamandi
Dewi. E. 2007. Sludi Analisis β -karoten, Kadar Fenol dan Aktivitas
Antioksidan Beberapa Klon Ubijalar Kuning dan Orange. Skripsi
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Universitas Brawijaya. Malang.
Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. 2002. Prospek dan Peluang
Agribisnis Ubi Jalar. Direktorat jendral Bina Produksi Tanaman Pangan
Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Jakarta.
Fardiaz, 1987. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor
FAOSTAT. 2004. Major Food and Agricultural Commodities and Producers.
http:// fao.org/es/ess/country.jsp?lang=EN&country=101. Tanggal Akses
16 Desember 2012.
Fellows, P. 2000. Food Processing Technology 2nd Edition. CRC Press. New
York
85
Fennema, O. R. 1976. Principles Of Food Science. Food Chemistry part I.
Departemen of Food Science, University of Winconsin-Madison. Marcell
Dekker Inc., New York.
Fennema. 1993. Food Chemistry, In R. Owen (eds.), Carbohydrates (pp 167-
196). New York: Marcel Dekker.
Forgaty, M. 1983. Microbial Enzymes and Biotechnology. Appl. Sci. Publ.,
London.
Galyano, F. 2005. The Chemistry of Anthocyanins.
http://www.foodsciencecentral.com. Tanggal Akses 16 Desember 2012.
Ginting, E. Antarlina, S.S. Utomo, J.S. dan Ratnaningsih. 2006. Teknologi
Pascapanen Ubi Jalar Mendukung Diversifikasi Pangan dan
Pengembangan Agroindustri. http://balitkabi.litbang.deptan.go.id/ima
ges/PDF/BP/bp 11%20erlianan.pdf. Tanggal akses 16 Desember 2012.
Gomez, M.H. dan J.M. Aguilera. 1983. Changes in The Starch Fraction During
Extrusion Cooking of Corn. Journal Food Science Vol 48, 378-381.
Greenwood, C. T. 1979. Starch and Glycogen. Di dalam W. Pigmen dan D.
Horton (eds). The Carbohydrate Chemistry and Biochemistry.
Academic Press. London
Gujska, E., dan K. Khan. 1991. Feed Moisture Effects on Functional
Properties, Trypsin Inhibitor and Hemmagglutinating Activies of
Extruded Bean High Starch Fractions. Journal Food Science 56:443-
447.
Harnani, S. 2009. Studi Karakteristik Fisikokimia dan Kapasitas Antioksidan
Tepung Tempe Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) Sweet).
Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Harnowo, D., S.S. Antarlina, dan H. Mahagyosuko. 1994. Pengolahan Ubi Jalar
Guna Mendukung Diversifikasi Pangan dan Agroindustri. Dalam
Winarto, A., Y. Widodo, S.S. Antarlina, H. Pudjosantosa, Dan
Sumarno (Eds.). Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan
86
Pascapanen Ubi Jalar Mendukung Agroindustri. Balittan Malang. hlm.
145-157.
Hartoyo, T., 2004. Olahan dari Ubi Jalar, Trubus Agrisarana, Surabaya.
Hartz, H dan R. D. Schmertz. 1972. Organic Chemistry : A Short Course.
Michigan University, Michigan.
Haryani, S., 2008. Produksi Bioetanol dari Sirup Glukosa Ubi Jalar (Ipomoea
batatas L.) Menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Hawa, T. A. 2008. Perubahan Karakteristik Fisikokimia Mocal (Modified
Cassava Flour) Selama Fermentasi. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember.
Hidayat, 2008. Enzim Amilase. http//:www.ptp2007.wordpress.com. Tanggal 16
Desember 2012.
Howard, L.A., A.D. Wong, A.K. Perry, and B.P. Klein. 1999. β-Carotene and
Ascorbic Acid Retention in Fresh and Processed Vegetables.
Sensory And Nutritive Qualities Of Food. Journal Of Food Science.
Honestin, T. 2007. Karakteristik Sifat Fisikokimia Tepung Ubi Jalar (Ipomoea
batatas). Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Honestin, T. dan Syamsir, E. 2009. Karakteristik Fisiko-Kimia Tepung Ubi
Jalar (Ipomoea batatas) Varietas Sukuh Dengan Variasi Proses
Penepungan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Bogor
Hongmin, L., G. Xiaodiang and M. Daifu. 1996. Orange-Fksh Sweetpotato, a
Potential Source for Carotene Production. In Eafemio, T.R and Vilma
R.A (eds). Selected Research Papers. Asian Sweetpotato and Potato
Research Development Manila. 2: 126-130
Hubeis, M. 1985. Penuntun Praktikum Pengawasan Mutu Jurusan Teknologi
Pangan dan Gizi. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor
87
Irawati, N. 2011. Pengaruh Fermentasi Bakteri Asam Laktat (BAL) dengan
Metode Dry Mix Culture (Kultur Campuran Kering) terhadap Tepung
Ubi Kayu Terfermentasi. Skripsi Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang.
Jayani, R. S., Saxena, S, and Gupta, R. 2005. Review Microbial Pectinolytic
enzymes: A review Department of Biotechnology, Himachal Pradesh
University, Summer Hill, Shimla 148005, India. Process Biochemistry 40
(2005) 2931–2944.
Kadarisman, D. 1985. Pengaruh Penambahan Kapur, Jumlah Air Ekstraksi
dan Lama Pengendapan terhadap Rendemen dan Mutu Tepung Pati
Ubi Jalar. Tesis . Pascasarjana IPB.
Kays, S. J. and S. E. Kays. 1998. Sweetpotato Che m bin in Relation to
Health. In D. R. LaBonte, M. Yam&shita and H. Mochida (Eda).
Proceedings of International Workshop on Sweetpotato System
toward the 21th Century. Miyakonojo, Japan. December 9-10 1997.
Kyushu national Agriculture Experiment Station. P. 231-272
Kmiecik. W., G. Jaworska. Z. and Lisiewska. 2000. Effect of Saeruoc. L-
AkoHmc Acid and Pectin on The Quality of Frozen Strawberries.
Electronic Journal of Polish Agricultural Universities Food Science and
Technology Volume 3. Issue 2.
Kurnia, S. I. 1992. Pengaruh Penambahan Kultur Bakteri dan Lama
Fermentasi Terhadap Mutu Pikel Jahe. Skripsi Fakultas Teknologi
Pertanian. Institute Pertanian Bogor. Bogor
Kustono. T. 2000. Pengaruh Pengecilan Ukuran dan Waktu Pengukusan
terhadap Sifat Fisikokimia dan Organoleptik Ubijalar (ipomota
batatas L. Lam) Instan. Skripsi Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya, Malang
Liu, H., Yu,L., Xie, F. and Chen, L., 2006. Gelatinization Of Corn Starch With
Differrent Amylase Or Amiopectin Content. Carbohydrate Polymare
65.
Lohachoompol, V., G. Srzednicki, and J. Craske. 2004. The Change of Total
Anthocyanins in Blueberries and Their Antioxidant Effect After
Drying and Freezing. J Biomed Biotechnol. 5: 248-252.
88
Madan, M, Dhillon S and Singh R. 2002. Production Of Alkaline Protease By
A UV Mutant Of Bacillus Polymyxa. Ind. J. Microbiol. 42, 155-159.
Maria. 2002. Pati Termodifikasi. http://atikaluthfiyyah.blogspot.com/2010/10/
pati-termodifikasi-pada-sup-krim.html. Tanggal akses 18 April 2013.
Marzempi. 2012. Penentuan Umur Panen Optimum Ubi Jalar.
http://pustaka2.ristek.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/212586T
anggal Akses 16 Desember 2012.
Meyer, L. H. 1978. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation. New
York.
Meyer, L. H. 1996. Food Chemistry. The AVI Pulb.,Co.,Inc., Wesrport
Connection
Misgiyarta dan Widowati. 2002. Seleksi dan karakterisasi bakteri asam laktat
(BAL) indigenus 374. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan
Bioteknologi Tanaman. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya
Genetik Pertanian Bogor, Bogor.
Muljono, J. E. G. Sa’id., dan A. A Darwis. 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit
Rajawali Press, Jakarta.
Muljono, J., E. G. Sa’id., dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Pusat Antar
Universitas Bioteknologi IPB, Bogor.
Nakashima. 1999. Ipomoea batatas. Food Science Technology Inc. Tokyo
Okaka JC and Potter NN (1979). Physicochemical and Functional Properties
of Cowpea Powders Processed to Reduce Beany Flavours. J. Food
Sci. 44: 1235 – 1240
Oktavian. 2010. Pemanfaatan Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L) Sebagai
Alternatif Pengganti Bahan Makanan Pokok. http://budikolonjono.
blogspot.com/2010/11/pemanfaatan-ubi-jalar-ipomoea-batatas.html.
Tanggal akses 18 April 2013.
Onwoene, I.C. 1978. The Tropical Tubber Crops, Yams, Cassava, Sweet
Potato and Cooyams. John Willey & Son. Chicester, New York.
89
Ottaway, P.B. 1999. The Technology of Vitamins in Food. Aspen Publisher,
Inc. Garthersburg. Marryland.
Parker, R. 2003. Introduction to Food Science. United States of America :
Delmar, Thomson Learning.
Parven, S and F. Hafiz. 2003. Fermented Cereal from Indigenous Raw
Materials. Pakistan Journal of Notrition 2 (5) : 289-291
Pomeranz, Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Academic
Press. New York. 24-27
Pramudia, H.C.N. 2007. Uji Kandungan Tepung dan Korelasinya dengan
Sifat-Sifat Morfologis pada Beberapa Klon Ubi Jalar (Ipomea batatas
(L.) Lam). Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian.
Universitas Brawijaya. Malang.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2012. Deskripsi Ubi
jalar Varietas Sukuh. http://puslittan.bogor.net/index.php?bawaan=
varietas/varietas_detail&komoditas=05029&id=Sukuh&pg=1&varietas=1.
Tanggal Akses 16 Desember 2012.
Radley, J. A. 1976. Starch Production Technology. Applied Science Publishers
Ltd, London.
Rahayu K dan Sudarmadji S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Yogyakarta: PAU
Pangan dan Gizi. Universitas Gadjah Mada.
Ranvee, S. J., Saxena, S. and Gupta, R. 2005. Review Microbial Pectinolytic
enzymes: A review Department of Biotechnology, Himachal Pradesh
University, Summer Hill, Shimla 148005, India. Process Biochemistry 40
(2005) 2931–2944.
Ray, B., 2004. Microbiology of Fermented Food Production. Fundamental
Food Microbiology Third Edition. CRC Press. Washington, D.C.
Reilly, T. E., and Goodman, A. S. 1985. Quantitative Analysis of Saltwater-
fresh Water Relationships in Groundwater Systems A Historical
Perspective. J. of Hydrology, 80, 125-160.
90
Risnawatie, N. D. 2004. Pembuatan Sari Ubi Ungu Jepang (Ipomoea batatas
var. Ayamurasaki). Kajian pH Pelarut Ekstraksi dan Lama
Fermentasi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas
Brawijaya.
Rukmana, R. 1997. Ubi Jalar: Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius.
Yogyakarta
Rubatzky, V.E. dan Yamaguchi. 1998. Sayur Dunia, Prinsip Produksi dan Gizi.
ITB-Press. Bandung.
Salminen, S. and A.V. Wright. 1993. Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker, New
York.
Salminah, M. 2005. Pembangunan Indonesia Tepung Berbahan Baku Lokal
Dalam Rangka Membangun Ketahanan Pangan Nasional.
http://www.nectar.or.id/publikasi2.htm. Tanggal Akses 16 Desember 2012.
Sandhya C, Sumantha A, Szakacs G and Pandey A. 2005. Comparative
Evaluation Of Neutral Protease Production By Aspergillus Oryzae In
Submerged And Solid-State Fermentation. Process Biochem. 40,
2689– 2694.
Safalina, K. 2007. Karakteristik Fisika-Kimia Pati Ubi Jalar dari Beberapa
Varietas Ubi Jalar (Ipomea batatas(Lamb)L). Jurusan Teknologi
Pertanian, Universitas Brawijaya. Malang.
Saraswati, S. 1981. Pengaruh Jenis Umbi, Konsentrasi Ca(OH)2
dalam Air
Pengekstrak dan Cara Pengeringan terhadap Mutu Tepung Pati Ubi
Jalar (Ipomoea batatas L.). Skripsi Fateta IPB.
Siregar, J. 2006. Ubi Jalar Sebagai Bahan Pangan Pokok Alternatif.
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghoa.msg. 071333. Tanggal
Akses 16 Desember 2012.
Smith, P.S. 1982. Starch Derivatives and their uses in foods. Di dalam: D.R.
Lineback dan G.E. Inglett (eds). Food Carbohydrate. AVI Publishing
Co.Inc., Westport, Connecticut.
91
Solikhah, F. B. 2011. Pembuatab Patilo, Kajian Lama Fermentasi dan
Proporsi Ampas : Pati Ubi Kayu Terhadap Karakteristik Fisiko, Kimia
dan Organoleptik. Skripsi Teknologi Hasil Pertanian. Universitas
Brawijaya. Malang.
Subagio. 2006. Jurnal Tanaman Penghasil Pati. http://GMO-manual-
indo,pdf.FDPART. Tanggal Akses 16 Desember 2012
Suda, I., Oki, T., Masuda, M., Kobayashi, M., Nishiba, Y. and Furuta, S. 2003.
Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes
Containing Anthocyanin and Their Utilization in Foods. Japan
Agricultural Research Quarterly. Vol 37 No.3. july 2003.
Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta
Suhartina. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-
umbian. Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Malang
Suharto. 1991. Teknologi Pengawetan Pangan. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Suismono. 2001. Teknologi Pembuatan Tepung dan Pati Ubi-ubian untuk
Menunjang Ketahanan Pangan. Majalah Pangan X (37): hal. 37-45
Puslitbang Bulog. Jakarta
Suksmadji, B. 1997. Beberapa Sifat Pati Gaplek (Thesis). Fakultas Pasca
Sarjana. UGM. Yogyakarta
Sumanti, M. 2003. Mempelajari Mekanisme Produksi Minyak Sel Tunggal
dengan Sistem Fermentasi Padat Pada Media Onggok Ampas Tahu
dengan Menggunakan Kapang Aspergillus ferreus.
http://pustaka.unpad.ac.id/wp.content/uploads/2009/05 mempelajari
mekanisme produksi minyak sel tunggal.pdf Tanggal Akses 16 Desember
2012
Suprapti, L. 2003. Studi Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Beberapa
Varietas Ubi J alar (Ipomoea batatas L.). Skripsi Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya.
Malang
92
Susanto. T dan B. Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian. Bina
llmu. Surabaya
Sutrisno dan E.E. Ananto. 1999. Peralatan Industri Tepung Ubijalar Untuk
Bahan Baku Industri Olahan. Edisi Khusus Balitkabi No. 15 hal.45-60.
Balitkabi. Malang
Syuhada, D. M., 2010. Pembuatan Tepung Ubi Kayu (Manihot esculenta
Crantz) Dengan Fermentasi Spontan. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang
Srichuwong, S. 2006. Starches From Different Plant Origins : From Structure
to Physicochemical Properties. Mie University. Japan
Teow, C.C. 2005. Antioxidant Activity and Bioactive Compound of Sweet
Potatoes. http://lib.ncsu.edu/thtfses/availahlc/cid.pdf. Tanggal Akses 16
Desember 2012.
Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu lainnya. Gramedia.
Jakarta.
Wall, J. S dan C. W. Blessin.1970. Composition of Sorgum Plant dan Grain.
Di dalam Wall, J.S. dan J.S dan W.M Ross (eds.) 1970. Sorgum
Production and utilisation. The AVI Publishing Company Inc., London.
Widowati, S. 2009. Tepung Aneka Umbi Sebuah Solusi Ketahanan Pangan.
Tabloid SinarTani: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca-
panen Pertanian.
Widowati, S,. M.G Waha dan B.A.S Santosa. 1997. Ekstraksi dan Karakterisasi
Sifat Fisikokimia dan Fungsional Pati Beberapa Varietas Talas
(Colocasia esculenta (L) Schott). Dalam Presiding Seminar Nasional
Teknologi Pangan. Multi Pangan Selina. Jakarta.
Winarno, F. G. 1986. Enzim Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Winarno F. G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
93
Winarno, F. G. dan S. Laksmi. 1973. Pigmen dalam Pengolahan Pangan.
Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Fakultas Teknologi Pangan dan
Mekanisasi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor : 22-23
Wood, J.M., 1998. Organizational behaviour an asia pacific perspective.
United States : John Wiley and sons. Inc
Woolfe, J.A. 1992. Sweet Potato An Untapped Food Resource. Cambridge
University Press. Cambridge
Wulandari, P. 2011. Pengaruh Fermentasi Bakteri Asam Laktat (Bal) Dengan
Metode Dry Mix Culture (Kultur Campuran Kering) Terhadap Tepung
Ubi Kayu Terfermentasi. Skripsi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.
Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.
Yashimoto, M.S., Okuna M., Yoshinaga O., Yamakawa M., Yamaguchi and J.
Yamada. 1999. Antimutagenicity of Sweet Potato (Ipomoea batatas)
Root. Biosci Biotechnology. Biochemistry 63:541-543.
Yoshinaga, M, Yashimoto, M.S. Okuna, O. Yamakawa, M. Yamaguchi and J.
Yamada. 1995. Antimutagenicity of Sweet Potato (Ipomoae batatas)
Root. Biosci Biotechnology. Biochemistry 63: 541 – 543
Yuwono, S.S. dan T. Susanto. 1998. Pengujian Sifat Fisik Pangan. FTP,
Unibraw, Malang
Zeleny. M. 1982. Multiple Criteria Decision Making. Mc.Graw Hill. New York
94
LAMPIRAN
Lampiran 1. Prosedur Analisa
1. Analisa Kadar Air Metode Oven Kering (AOAC, 1984)
a. Sebanyak 5 gram contoh ditimbang dalam cawan yang telah diketahui
berat tetapnya.
b. Lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 3 jam atau sampai
berat tetap.
c. Disimpan dalam desikator, setelah dingin lalu ditimbang sampai berat
konstan.
d. Perhitungan:
Kadar air (% bb) = B – C x 100%
B – A
Keterangan:
A : Berat cawan C : Berat contoh kering + cawan
B : Berat contoh + cawan bb: Berat basah
2. Analisa Kadar Pati (Sudarmadji dkk., 1997)
Direct Acid Hyrolisis Method, AOAC (1970)
a. Sampel yang berupa bahan padat yang telah dihaluskan atau bahan cair
dalam gelas piala 250 ml, ditimbang 2-5 gram, ditambahkan 50 ml
aquades dan diaduk selama 1 jam. Suspensi disaring dengan kertas
saring dan dicuci dengan aquades sampai volume filtrat 250 ml.
b. Residu pati pada kertas saring dicuci sebanyak 5 kali dengan 10 ml ether
kemudian dibiarkan sampai ether menguap.
c. Dicuci lagi dengan 150 ml alkohol, kemudian residu dari kertas saring
dipindahkan ke dalam erlenmeyer dengan pencucian 200 ml aquades
dan ditambahkan 20 ml HCl (25%)
d. Ditutup dengan pendingin balik dan dipanaskan di atas penangas air
selama 2,5 jam.
e. Setelah dingin dinetralkan dengan NaOH 45% dan diencerkan sampai
volume 500 ml, kemudian disaring. Tentukan kadar gula yang
dinyatakan dengan glukosa dari filtrat yang diperoleh.
95
f. Perhitungan:
Berat pati = berat glukosa x 0,9
3. Prosedur Pengujian Warna (L, a, b) (Yuwono dan Susanto, 1998)
a. Disiapkan sampel yang akan dianalisa.
b. Dihidupkan “color reader”.
c. Ditentukan target pembacaan L, a, b color space
d. Diukur warnanya
Keterangan: L untuk parameter kecerahan, a dan b koordinat kromatisitas,
C adalah kroma, h : sudut hue (warna).
4. Pengukuran pH dengan pH meter (Apriyanto dkk, 1989)
a. Sampel yang telah dihomogenkan diambil 20 ml ditempatkan pada
beaker glass 50 ml
b. pH meter dikalibrasi dengan menggunakan buffer pH 4 dan 7 lalu
dibersihkan dengan aquades
c. Dilakukan pengukuran pH sampel
d. Setiap kali mengukur pH yang lain, sebelumnya pH meter dibersihkan
dengan aquades terlebih dahulu.
5. Pengukuran Viskositas Panas dan Dingin
a. Ditimbang 20 gr sampel
b. Ditambahkan 180 ml aquades dan dipanaskan dalam air mendidih
selama 30 menit
c. Viskositas panas diukur selama 5 menit. Pasta diukur viskositas
dinginnya selama 5 menit setelah didinginkan 30 menit.
6. Mikroskopik (Bentuk Granula)
a. Ditimbang 0,1 gram tepung
b. Ditambahkan 1 ml aquades dan 1 tetes iodine
c. Suspensi kemudian divortex dan disentrifus selama 3 menit., kumudian
supernatannya dibuang
d. Endapan yang dihasilkan ditambah dengan 2 ml aquades, divortex dan
disentrifuse selama 3 menit
96
e. Setelah supernatan dibuang, endapannya sekali lagi ditambah dengan 2
ml aquades, divortex dan disentrifus
f. Hasil endapan terakhir diambil dengan spatula dan dioleskan pada kaca
preparat untuk dilihat dengan mikroskop pada perbesaran 1000 kali
7. Analisa Indeks Penyerapan Air (IPA) dan Indeks Kelarutan Air (IKA)
a. Diambil 1 gram tepung ubi jalar
b. Dimasukkan dalam tabung sentrifuge
c. Ditambahkan 10 ml aquades dan diaduk dengan vibrator sampai semua
bahan terdispersi secara merata
d. Disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm pada suhu ruang selama 15
menit
e. Supernatan yang diperoleh dituang secara hati-hati ke dalam wadah lain
f. Tabung sentrifuge beserta residunya dipanaskan dalam oven 50 C
selama 25 menit
g. Tabung sentrifuge ditimbang untuk menentukan berat air yang terserap
h. Dari supernatant, diambil sampel sebanyak 2 ml dan dimasukkan ke
dalam cawan timbang yang telah diketahui beratnya
i. Cawan dimasukkan ke dalam oven dan dikeringkan pada 110 C sampai
semua air menguap
j. Didinginkan dan ditimbang untuk mengetahui berat bahan kering yang
terdapat dalam supernatant
k. Dihitung dengan rumus:
IPA =
IKA =
8. Penentuan Densitas Kamba (Okaka and Potter, 1979)
a. Ditimbang 50 gram sampel tepung
b. Dimasukkan ke dalam gelas ukur 100 ml
c. Dilakukan pengetukkan (tapping) untuk mendapatkan volume konstan
d. Densitas kamba dihitung dari berat tepung (gram) dibagi dengan volume
(cm3)
97
9. Analisa Randemen
a. Analisa randemen pada chips kering ubi jalar dihitung dari berat chips
kering ubi jalar dibagi dengan berat awal chips ubi jalar segar dikali
dengan 100%.
b. Analisa randemen tepung ubi jalar dihitung dari berat tepung ubi jalar
dibagi dengan berat awal chips ubi jalar segar dikali dengan 100%.
98
Lampiran 2. Formulir Isian Untuk Uji Hedonik
Lembar Uji Organoleptik
Hari / Tanggal : ………………………..
Nama Panelis : .………………………..
Usia Panelis : ………………………...
Jenis Produk : ………………………...
Anda dimohon untuk memberikan penilaian dan sampai seberapa jauh
anda menyukai produk ini. Penilaian yang anda berikan hanya aroma dari produk
berupa aroma yang Anda sukai hingga aroma yang tidak disukai menurut Anda.
Hasil penilaian dinyatakan dalam angka dengan ketentuan sebagai berikut :
1 : Sangat Suka
2 : Suka
3 : Agak Suka
4 : Netral
5 : Agak Tidak Suka
6 : Tidak Suka
7 : Sangat Tidak Suka
Komentar Anda :
……………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………
No. Kode Sampel Aroma Warna
1 J1U1
2 J1U2
3 J1U3
4 J2U1
5 J2U2
6 J2U3
7 J3U1
8 J3U2
9 J3U3
10 Kontrol J1
11 Kontrol J2
12 Kontrol J3