hukum adat

31
Hukum adat Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang , India , dan Tiongkok . Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Hukum adat di Indonesia Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Hukum Adat mengenai tata negara 2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan). 3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana). Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia. Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia). Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan (gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali. Wilayah hukum adat di Indonesia Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).

Upload: mahendra-wisnu

Post on 02-Jul-2015

896 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hukum adat

Hukum adatHukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-

negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak

tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena

peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan

menyesuaikan diri dan elastis.

Hukum adat di Indonesia

Dari 19 daerah lingkungan hukum (rechtskring) di Indonesia, sistem hukum adat dibagi dalam tiga kelompok,

yaitu:

1. Hukum Adat mengenai tata negara

2. Hukum Adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan).

3. Hukum Adat mengenai delik (hukum pidana).

Istilah Hukum Adat pertama kali diperkenalkan secara ilmiah oleh Prof. Dr. C Snouck Hurgronje, Kemudian

pada tahun 1893, Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers" menyebutkan

istilah hukum adat sebagai "adat recht" (bahasa Belanda) yaitu untuk memberi nama pada satu sistem

pengendalian sosial (social control) yang hidup dalam Masyarakat Indonesia.

Istilah ini kemudian dikembangkan secara ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven yang dikenal sebagai pakar

Hukum Adat di Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia).

Pendapat lain terkait bentuk dari hukum adat, selain hukum tidak tertulis, ada juga hukum tertulis. Hukum

tertulis ini secara lebih detil terdiri dari hukum ada yang tercatat (beschreven), seperti yang dituliskan oleh para

penulis sarjana hukum yang cukup terkenal di Indonesia, dan hukum adat yang didokumentasikan

(gedocumenteerch) seperti dokumentasi awig-awig di Bali.

Wilayah hukum adat di Indonesia

Menurut hukum adat, wilayah yang dikenal sebagai Indonesia sekarang ini dapat dibagi menjadi beberapa

lingkungan atau lingkaran adat (Adatrechtkringen).

Seorang pakar Belanda, Cornelis van Vollenhoven adalah yang pertama mencanangkan gagasan seperti ini.

Menurutnya daerah di Nusantara menurut hukum adat bisa dibagi menjadi 23 lingkungan adat berikut:

1. Aceh

2. Gayo  dan Batak

Page 2: Hukum adat

3. Nias  dan sekitarnya

4. Minangkabau

5. Mentawai

6. Sumatra Selatan

7. Enggano

8. Melayu

9. Bangka dan Belitung

10. Kalimantan  (Dayak)

11. Sangihe-Talaud

12. Gorontalo

13. Toraja

14. Sulawesi Selatan  (Bugis/Makassar)

15. Maluku Utara

16. Maluku  Ambon

17. Maluku Tenggara

18. Papua

19. Nusa Tenggara  dan Timor

20. Bali  dan Lombok

21. Jawa  dan Madura (Jawa Pesisiran)

22. Jawa  Mataraman

23. Jawa Barat  (Sunda)

Penegak hukum adat

Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya

dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

Aneka Hukum Adat

Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh

1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi

agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.

2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.

3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.

Pengakuan Adat oleh Hukum Formal

Page 3: Hukum adat

Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan

salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam

kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat

mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu

membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam

penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada

penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004.

dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan

putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada

tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan

operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak

yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.

Kebijaksanaan tersebut meliputi :

1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)

2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum

adat (Pasal 2 dan 5).

3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)

Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum

barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan

hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.

Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau

peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa

contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam

kepemilikan tanah.

Page 4: Hukum adat

Masyarakat Hukum Adat

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Terkait dengan hal itu, Jimly Asshiddiqie

dalam buku Menuju Negara Hukum yang Demokratis menyatakan bahwa salah satu bentuk

pengakuan terhadap masyarakat hukum adat sebagai subyek hukum adalah ditentukannya

masyarakat hukum adat sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pengkajian

undang-undang terhadap UUD 1945. Namun, konsep masyarakat hukum adat adalah

konsep yang masih terlalu umum, yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Lebih lanjut pengaturan mengenai masyarakat hukum adat ditemui dalam Pasal 51 ayat (1)

huruf b UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) yang merumuskan salah

satu kategori pemohon adalah : “Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.

Artinya, menurut Jimly Asshidiqqie, untuk dapat menjadi pemohon pengujian undang-

undang (UU), kelompok masyarakat adat itu haruslah (i) termasuk ke dalam pengertian

kesatuan masyarakat hukum adat; (ii) kesatuan masyarakat hukum adat itu sendiri masih

hidup; (iii) perkembangan kesatuan masyarakat hukum adat dimaksud sesuai dengan

perkembangan masyarakat; (iv) sesuai pula dengan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia; dan (v) diatur dalam UU. Tentu perlu diperjelas pula kelompok masyarakat yang

manakah atau yang bagaimanakah yang dapat disebut sebagai kesatuan masyarakat

hukum adat dan mana yang bukan.

Jimly kemudian berpendapat bahwa harus pula dibedakan dengan jelas antara kesatuan

masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat itu sendiri. Masyarakat adalah

kumpulan individu yang hidup dalam lingkungan pergaulan bersama sebagai suatu

community atau society, sedangkan kesatuan masyarakat menunjuk kepada pengertian

masyarakat organik, yang tersusun dalam kerangka kehidupan berorganisasi dengan saling

mengikatkan diri untuk kepentingan mencapai tujuan bersama. Dengan kata lain, kesatuan

masyarakat hukum adat sebagai unit organisasi masyarakat hukum adat itu haruslah

Page 5: Hukum adat

dibedakan dari masyarakat hukum adatnya sendiri sebagai isi dari kesatuan organisasinya

itu.

MK dalam pertimbangan putusan perkara 31/PUU-V/2007 tertanggal 18 Juni 2008 yang

kemudian diikuti putusan perkara 6/PUU-VI/2008 tertanggal 18 Juni 2000 berpendapat

bahwa menurut kenyataannya, kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia dapat

dibedakan atas kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat (i) teritorial, (ii) genealogis,

(iii) fungsional.

Ikatan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis ditentukan berdasarkan

kriteria hubungan keturunan darah, sedangkan ikatan masyarakat hukum adat yang

bersifat fungsional didasarkan atas fungsi-fungsi tertentu yang menyangkut kepentingan

bersama yang mempersatukan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan tidak

tergantung kepada hubungan darah ataupun wilayah, seperti Subak di Bali. Sementara itu,

kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial bertumpu kepada wilayah

tertentu di mana anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan hidup

secara turun temurun dan melahirkan hak ulayat yang meliputi hak atas pemanfaatan

tanah, air, hutan dan sebagainya.

Karena Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati

kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang

masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat & prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”, maka MK menentukan kriteria

atau tolok ukur terpenuhinya ketentuan UUD 1945, yaitu bahwa kesatuan masyarakat

hukum adat tersebut : 1. Masih hidup; 2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; 3.

Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan 4. Ada pengaturan

berdasarkan undang-undang.

Lebih lanjut menurut MK, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan

secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis,

maupun yang bersifat fungsional setidak-tidaknya mengandung unsur-unsur (i) adanya

masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling); (ii) adanya

pranata pemerintahan adat; (iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan

(iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat

Page 6: Hukum adat

yang bersifat teritorial juga terdapat unsur (v) adanya wilayah tertentu.

MK juga berpendapat bahwa kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat apabila kesatuan

masyarakat hukum adat tersebut :

1. Keberadaannya telah diakui berdasarkan undang-undang yang berlaku sebagai

pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini,

baik undang-undang yang bersifat umum maupun bersifat sektoral, seperti bidang agraria,

kehutanan, perikanan, dan lain-lain maupun dalam peraturan daerah;

2. Substansi hak-hak tradisional tersebut diakui dan dihormati oleh warga kesatuan

masyarakat yang bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta tidak

bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.

MK kemudian menyatakan bahwa suatu kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia apabila

kesatuan masyarakat hukum adat tersebut tidak mengganggu eksistensi Negara Kesatuan

Republik Indonesia sebagai sebuah kesatuan politik dan kesatuan hukum, yaitu

keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan.

Page 7: Hukum adat

Makna di Balik Tradisi Dalam Pesta Pernikahan

Jakarta - Rata-rata pernikahan yang digelar di Indonesia menyelipkan upacara adat, seperti berebut daging ayam dan menginjak telur. Sebenarnya apa maksud dari adat atau tradisi tersebut? Adakah hubungannya dengan kehidupan pernikahan nantinya?

Berikut ini arti di balik beberapa tradisi yang kerap dilakukan dalam pesta-pesta pernikahan di Indonesia:

Merpati

Dalam rangkaian tata cara sabda nikah pada prosesi pernikahan adat Sunda, yang dilakukan saat hari-H, terdapat acara Melepas Merpati (Ngaleupaskeun Japati). Dalam prosesi ini, ibu kedua mempelai berjalan keluar sambil masing-masing membawa burung merpati. Ibu mempelai wanita membawa merpati betina, sementara ibu mempelai pria membawa merpati jantan, kemudian dilepaskan terbang di halaman. Tradisi ini melambangkan bahwa peran orang tua sudah berakhir hari itu karena kedua anak mereka telah mandiri dan memiliki keluarga sendiri.

Pintu

Dalam rangkaian tata cara sabda nikah pada prosesi pernikahan adat Sunda, yang dilakukan saat hari-H, terdapat acara Buka Pintu. Dalam pernikahan adat Minahasa, dikenal dengan upacara Toki Pintu (maso minta).

Sebelum memasuki rumah keluarga pengantin wanita, pengantin pria harus mengetuk pintu tiga kali. Upacara ini memiliki makna penting khususnya dalam kehidupan bertetangga. Sebelum bergaul dengan tetangga, kita tentu harus membuka pintu terlebih dahulu agar diterima sebagai bagian dari lingkungan kita.

Sapu Lidi

Dalam prosesi pernikahan adat Sunda yang dilakukan satu hari sebelum hari-H, terdapat acara Dikeprak (dipukul pelan-pelan) dengan sapu lidi, yang menjadi bagian dari upacara Ngeuyeuk Seureuh. Makna yang terkandung di dalamnya adalah agar kedua mempelai saling memupuk kasih sayang dan giat bekerja.

Selain itu, dalam prosesi pernikahan adat Sunda yang dilakukan saat hari-H, ada juga acara Membakar Harupat (lidi). Harupat (Lidi) adalah lambang sifat lelaki yang keras. Sikap pemarah lelaki yang digambarkan dengan nyala lidi. Api amarah lelaki itu menjadi padam ketika disiram dengan air kelembutan seorang wanita. 

Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa sifat-sifat pemarah dan tak terpuji (getas harupateun) bagi lelaki yang akan menjadi tiang dan kepala rumah tangga itu harus segera dihilangkan sebelum memasuki bahtera rumah tangga.

Uang Logam

Dalam puncak dari serangkaian acara prosesi pernikahan adat Jawa Solo, yang menjadi bagian dari upacara Panggih terdapat acara Kacar-kucur. Dilaksanakan setelah upacara ijab, di mana kedua mempelai telah dianggap sah menjadi suami istri. Saat acara tersebut, mempelai pria mengucurkan penghasilan kepada mempelai wanita berupa uang receh beserta kelengkapannya. Makna yang

Page 8: Hukum adat

terkandung di dalamnya adalah mempelai pria bertanggung jawab memberi nafkah pada keluarga.

Selain itu ada juga Sawer atau Nyawer. Asal kata nyawer adalah awer dan ibarat seember benda cair yang biasa di-uwar-awer (ditebar-tebar). Dulu hanya dilakukan terhadap salah satu pengantin saja, tapi sekarang dilakukan kepada kedua mempelai di luar kediaman mempelai wanita. Dan yang disawerkan adalah campuran beras, uang logam, kunyit, dan permen. Makna yang lebih dalam dari ritual ini adalah menebar nasihat kepada kedua mempelai sebelum memasuki bahtera rumah tangga.

Ayam

Adanya ayam pada semua upacara adat pernikahan biasanya bukan ayam hidup atau ayam mentah tapi sudah dimasak. Dalam prosesi pernikahan adat Minangkabau, tradisi yang dilakukan usai akad nikah terdapat acara Mangaruak Nasi Kuniang. Di mana kedua mempelai berebut mengambil daging ayam yang tersembunyi di dalam nasi kuning. Makna yang terkandung di dalamnya adalah hubungan kerjasama antara suami istri harus saling menahan diri dan harus saling melengkapi.

Sedangkan dalam prosesi pernikahan adat Sunda yang dilakukan saat hari-H, terdapat acara Huap Lingklung atau Huap Deudeuh (kasih sayang). Diawali dengan kedua mempelai disuapi oleh kedua orang tuanya masing-masing. Kemudian kedua mempelai saling menyuapi. Acara Huap Lingklung diakhiri dengan saling menarik (pabetot-betot) bakakak ayam (ayam utuh yang dibakar).

Makna yang lebih dalam dari Huap Lingklung adalah sebagai tanda kasih sayang. Sedangkan makna yang terkandung dalam pabetot-betot bakakak ayam adalah sebagai simbol rezeki, siapa yang mendapatkan potongan ayam terbesar konon yang akan membawa rejeki lebih banyak. Dan setelah itu ayam dimakan bersama, maknanya adalah rezeki yang diperoleh harus dinikmati bersama.

Telur & Kendi

Dalam puncak dari serangkaian acara prosesi pernikahan adat Jawa Solo, yang menjadi bagian dari upacara panggih terdapat acara Ngidak Endhog. Dilaksanakan setelah upacara ijab, di mana kedua mempelai telah dianggap sah menjadi suami istri. Saat acara tersebut, pengantin pria menginjak telur ayam kemudian dibersihkan atau dicuci kakinya oleh pengantin wanita dengan kendi. Makna yang terkandung di dalamnya adalah sebagai simbol seksual kedua mempelai sudah pecah pamornya.

Sedangkan dalam proses pernikahan Adat Sunda, tradisi itu dinamai Nincak Endog. Prosesinya sama dengan Ngidak Endhog di atas. Makna yang terkandung adalah sebagai simbol keturunan. Telur adalah lambang segala awal kehidupan dan simbol kesuburan. Bila dalam acara tersebut telur yang diinjak pecah, maka pengantin akan segera  mendapatkan keturunan. Sementara mencuci kaki melambangkan penyucian diri dari segala hal negatif.

Page 9: Hukum adat

Warga Adat Dayak Demo Lagi di Bundaran HI, Protes Thamrin Tamagola  

Jakarta - Masyarakat Adat Dayak menggelar demo lagi di Bundara Hotel Indonesia (HI). Mereka memprotes pernyataan sosiolog Universitas Indonesia (UI) Thamrin Amal Tamagola yang dinilai menghina adat mereka.

Sekitar 200 orang warga adat Dayak menggelar aksinya di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Rabu (12/1/2011), di seberang Grand Indonesia Shopping Town.

Mereka mengenakan pakaian hitam dan ikat kepala merah. Sekitar 10 orang di antaranya, mengenakan pakaian tradisional Dayak dengan ikat kepala. Mereka menarikan tari-tarian Dayak kreasi yang diiringi dengan alat musik tabuh, drum dan kendang.

Mereka membawa poster-poster yang bertuliskan, 'Kami masih virgin, bukan pekerja seks. Kami haram untuk berzinah sebelum menikah' dan 'Kami bukan seperti Ariel'. Juga ada spanduk ukuran 1x5 meter, bertuliskan 'Borneo menuntut Thamrin Amal Tamagola Dihukum Adat', 'Masyarakat Adat Bukan Masyarakat Asusila'.

"Cabut profesor gila, masa profesor Indonesia menghina bangsa sendiri menjadi pemecah belah bangsa. Profesornya hanya untuk menghina orang. Kita minta Pak SBY dan Guru Besar UI mencabut gelar profesornya," teriak sang orator Drs Cornelis, MH, Ketua Dewan Adat Dayak.

Demo ini tidak mengganggu lalu lintas dari Jalan Jenderal Sudirman ke arah Jalan MH Thamrin, karena massa berdemo di tengah bundaran. Sekitar 10 polisi bersiaga di Bundaran HI.

Massa menutut Thamrin mempertanggungjawabkan perbuatanya secara pribadi di depan hukum dan di depan hukum adat dayak untuk menghindari konflik horisontal.

Saat bersaksi di sidang Ariel pada Kamis 2 Desember 2010, Thamrin menyebut hasil penelitiannya bahwa di kalangan masyarakat Dayak yang menganggap bersenggama tanpa diikat perkawinan sebagai hal biasa. Thamrin telah meminta maaf atas keberatan warga Dayak

Page 10: Hukum adat

Kentalnya Adat dan Kepercayaan Masyarakat Kep. Tanimbar1

MALUKU -

Adat yang masih kental  memang menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Tanimbar, memasuki setiap sendi-sendi kehidupan. Adat di kepulauan Tanimbar dinamakan duan-lolat. Atau dalam arti harfiah, dapat dipahami sebagai hubungan antara tuan (duan) dan hambanya (lolat).            Adat duan-lolat ini mengatur hubungan sosial dan menjelaskan aturan dalam betingkah laku dalam kehudupan sehari-hari dari menyelesaikan masalah, pembagian harta warisan, sampai megatasi kejahatan. Dalam duan-lolat, setiap orang yang mewakili sisi perempuan dalam hubungan perkawinan atau hubungan keturunan, maka akan menjadi duan atau tuan terhadap orang yang mewakili sisi laki-laki. Misalnya seorang adik dari kakak perempuan yang menikahi seorang pria,maka akan menjadi tuan terhadap suami kakak dan seluruh keluarga suami kakaknya tersebut.  Kewajiban setiap duan terhadap lolat adalah untuk melindungi dan mengayomi. Namun di saat yang bersamaan, lolat harus mengormati dan menuruti aturan atau permintaan duannya. Hal ini membuat posisi perempuan di dalam masyarakat Tanimbar berada di posisi yang tinggi sebagai simbol pemberi hehidupan. Jadi, dalam adat masyarakat Tanimbar, siapapun akan bersyukur apabila memiliki anak perempuan. Tak hanya adat saja yang kental di tangah-tengah masyarkat Tanimbar, kepercayaan yang mereka anutpun sangat terasa dan bisa kita lihat dari bangunan – bangunan peninggalannya. Masyarakat Tanimbar mayoritas memeluk agama Khatolik. Setiap mantra yang diucap dalam upacara atau ritual adat selalu diakhiri dengan doa agama Katholik. Di bukit tertinggi di saumlaki, dimana kita dapat melihat hampir seluruh pulau Yamdena, terdapat goa maria dan patung Kristus Raja. Biasanya masyarakat melakukan prosesi setiap hari-hari besar keagamaan di tempat ini. 

Kepulauan Tanimbar, yang merupakan salah satu kepulauan terluar Indonesia, menyimpan banyak adat istiadat dan peninggalan budaya yang sangat tinggi nilainya. Daerah ini membutuhkan perhatian lebih agar kekayaan yang ada di dalamnya dapat digunakan bagi kesejahteraan masyarakatnya. Tidak bisa dipungkiri, akses yang terbatas dan jarak yang jauh  dari pusat pemerintahan menjadi hambatan bagi negeri duan-lolat ini untuk memaksimalkan potensinya.

1 http://travel.detik.com/read/2010/12/09/090156/1512784/1025/kentalnya-adat-dan-kepercayaan-masyarakat-kep-tanimbar

Page 11: Hukum adat

Upacara Kasada di Bromo2

Bromo mempunyai pesona alam yang sangat luar biasa, tidak akan pernah habis kekaguman kita oleh

pemandangan alam yang indah. Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Brahma atau seorang

dewa yang utama, gunung bromo ini merupakan gunung yang masih aktif dan objek pariwisata yang sangat terkenal

diwilayah jawa Timur. Gunung bromo mempunyai ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut.

Padang Savana di alam pegunungan yang sangat sejuk, kita dapat melihat rerumputan kering dan padang pasir

yang sangat luas. Yang sangat menarik dan indah pada saat matahari terbit yang kita lihat dari Puncak Gunung di

Pananjakan, karena kabut yang menyelimuti bawah gunung bromo membuat panorama indah dan mistik. Untuk

mencapai gunung pananjakan kita dapat menyewa mobil hardtop yang banyak terdapat di penginapan. Atau jika

anda ingin menikmati pemandangan secara alami dan sehat anda dapat melewati jalan setapak menunuju jalan

penanjakan. Tetapi sangat disarankan anda menyewa guide yang sudah sangat terbiasa akan jalan dan medan di

Bromo.

Selain itu juga Suku Tengger memiliki daya tarik yang luar biasa karena mereka sangat berpegang teguh pada adat

istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Pada tahun 1990 suku tengger tercatat berjumlah 50 ribu

yang tinggal dilereng gunung Semeru dan disekitar kaldera. Mereka sangat dihormati oleh penduduk sekitar karena

mereka sangat memegang teguh budaya mereka dengan hidup jujur dan tidak iri hati. Konon Suku tengger adalah

keturunan Roro Anteng(putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (putera brahmana). Bahasa daerah yang mereka

gunakan sehari hari adalah bahasa jawa kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan Bahasa

jawa yang dipakai umumnya karena mempunyai tingkatan bahasa.

Sejak Jaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi – abdi

kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama hindu, Setahun sekali masyarakat tengger

mengadakan upacara yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi disebuah pura yang berada dibawah kaki gunung

bromo. Dan setelah itu dilanjutkan kepuncak gunung bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari

setiap bulan purnama dibulan kasodo menurut penanggalan jawa.

2 http://aci.detik.com/read/2010/08/27/083032/1429067/952/upacara-kasada-di-bromo

Page 12: Hukum adat

Tempat untuk mengadakan upacara kasada adalah Pura Luhur Poten Gunung Bromo, tidak seperti pemeluk hindu

pada umumnya yang memiliki candi candi sebagai tempat ibadah. Namun poten merupakan sebidang tanah dil ahan

pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara kasada. 

Asal usul upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu “Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari kerajaan

Majapahit, permaisuri dikaruniai anak perempuan yang bernama Roro Anteng. Setelah beranjak dewasa sang Putri

jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari Kasta Brahmana yang bernama Joko Seger. Pada saat Kerajaan

Majapahit mengalami kemerosotan dan semakin berkibarnya perkembangan Islam di P Jawa. Beberapa orang

kepercayaan kerajaan dan sebagian keluarganya memutuskan pergi kewilayah timur. Dan sebagian besar ke

kawasan pegunungan tengger, termasuk Roro Anteng dan Joko Seger. Setelah mereka menjadi penguasa diwilayah

ini, mereka sangat sedih karena belum dikaruniai seorang anak. Berbagai macam cara mereka coba, sampai pada

akhirnya mereka kepuncak Gunung Bromo untuk bersemedi. Akhirnya permintaan mereka dikabulkan dengan

munculnya suara gaib, dengan syarat anak bungsu mereka setelah lahir harus dikorbankan kekawah gunung bromo.

Setelah mereka dikaruniai 25 orang anak, tiba saatnya mereka harus mengorbankan si bungsu. Tetapi mereka tidak

tega melakukannya, karena hati nurani orang tua yang tidak tega membunuh anaknya. Akhirnya sang dewa marah

dan menjilat anak bungsu tersebut masuk kekawah gunung, timbul suara dari si bungsu agar orang tua mereka hidup

tenang beserta saudara-saudaranya. Dan tiap tahun untuk melakukan sesaji yang dibuang ke gunung

bromo. Sampai sekarang adat istiadat ini dilakukan secara turun menurun.

Untuk dapat melihat upacara kasada bromo lebih baik kita datang sebelum tengah malam, karena ramainya

persiapan para dukun. Hari hari upacara kasada bromo, banyak penduduk sekitar yang berdatangan. Baik

mengendarai sepeda motor atau kendaraan pribadi lainnya. Sehingga mengakibatkan jalanan kebawah menuju kaki

gunung sangat macet. Dan bisa membuat Mobil dari gerbang tidak bisa turun kebawah. Jalan lain kebawah yaitu

anda berjalan dengan rombongan rombongan penduduk yang menuju pura. Karena jika sendiri dipastikan akan

tersesat, karena kabut yang sangat tebal dan pandangan sangat terganggu.

Selain itu Upacara Kasada bromo juga dilakukan untuk mengangkat seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Agar

mereka dapat diangkat oleh para tetua adat, mereka harus bisa mengamalkan dan menghafal mantera mantera.

Beberapa hari sebelum Upacara Kasada bromo dimulai, mereka mengerjakan sesaji sesaji yang nantinya akan

dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo. Pada malam ke 14 bulan Kasada Masyarakat tengger berbondong bondong

dengan membawa ongkek yang berisi sesajo dari berbagai macam hasil pertanian dan ternak. Lalu mereka

membawanya ke Pura dan sambil menunggu Dukun sepuh yang dihormati datang mereka kembali menghafal dan

melafalkan mantera, tepat tengah malam diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat dipoten lautan pasir

gunung bromo. Bagi masyarakat Tengger, peranan Dukun adalah sangat penting. Karena mereka bertugas

memimpin acara – acara ritual, perkawinan dll. Sebelum lulus mereka diwajibkan lulus ujian dengan cara menghafal

dan lancar dalam membaca mantra mantra.

Page 13: Hukum adat

Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Danmereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.

Page 14: Hukum adat

Beruntunglah Bagi Anda Yang Bukan Orang Manado...  

Jangan terburu mengambil kesimpulan buruk jika mendengar kalimat itu meluncur dari bibir pelancong atau pemandu perjalanan saat Anda berkunjung ke Manado atau wilayah lainnya di Sulawesi Utara. Di antara sejumlah pesona yang ada di kawasan paling utara Indonesia itu, jangan pula dilewatkan untuk mencatat lima B yang hanya ada di daerah tersebut.

Lima B yang selalu didengungkan setiba di Manado adalah lima hal yang menurut pemandu wisata setidaknya wajib diketahui bagi wisatawan yang berkunjung ke Sulawesi Utara. Kelimanya adalah Bunaken, Bitung, Bukit Kasih, bubur Manado, dan bibir Manado.

Taman Laut Bunaken memang telah mendunia, Pelabuhan Bitung adalah pelabuhan terbesar di Indonesia wilayah timur, Bukit Kasih adalah simbol kerukunan warga Sulawesi Utara, bubur Manado adalah bubur dengan cita-rasa khas setempat, sedangkan bibir Manado adalah penggambaran orang untuk memuji kecantikan perempuan Manado.

"Saya katakan semula bahwa lima B itu memang wajib diketahui jika berkunjung ke Manado. Tidak semua harus dikunjungi, terutama B yang kelima (bibir Manado -red). Bisa berbahaya nanti," ujar Deissy Solang, pemandu wisata yang bertugas memandu kami selama berada di daerah Sulawesi Utara.

Untuk rata-rata orang Indonesia, perempuan-perempuan Manado memang terbilang memiliki paras wajah dan postur tubuh yang cantik. Maklum, letaknya yang berhadapan langsung dengan Samudera Pasific memungkinan terjadinya perkawinan silang berbagai yang membuahkan warga Sulawesi Utara saat ini. Konon, penduduk asli Manado berasal dari ras Mongolia yang kemudian kawin-mawin dengan bangsa Jepang dan Portugis.

"Perkawinan silang berbagai bangsa itulah yang menghasilkan perempuan-perempuan cantik Manado. Tapi beruntunglah bagi yang bukan orang Manado, karena masih berkesempatan menikahi perempuan cantik Manado. Sesama orang Manado dilarang menikah, karena ada semboyan Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara)," lanjut Deissy.

Tapi buru-buru Deissy meralatnya. Semboyan yang amat terkenal itu bukan untuk mengatur perkawinan, melainkan menjadi pegangan dasar hidup rukun bersama di bumi nyiur melambai tersebut. Sebab perpaduan berbagai bangsa yang kawin-mawin di Sulut, juga diikuti dengan masuknya berbagai pengaruh kebudayaan, adat-istiadat dan juga keyakinan.

Keberagaman yang tumbuh di kawasan itu memang mencerminkan kehidupan inklusif. Kelompok minoritas bisa dengan aman menjalani kehidupan berdampingan dengan kelompok mayoritas yang bersedia merengkuh. Dari kondisi ini memang beruntunglah bagi yang bukan orang Manado, karena bisa belajar melihat keberagaman terpadu dengan apiknya di satu tempat tak seberapa luas di Manado.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Utara, Fredrik Rotinsulu, mengatakan warganya memegang semboyan itu tak hanya berhenti pada kata-kata sehingga bisa hidup rukun. Suku Manado dan Minahasa yang paling dominan, mampu merangkul waga dari suku-suku lain yang tinggal di daerah itu. Penganut Kristen Protestan yang mayoritas mampu memberi kesejukan bagi penganut keyakinan lain untuk tetap tenang dalam melaksanakan peribadatannya.

"Selain itu, ada petuah bijak dari Dr Sam Ratulangi, pahlawan nasional dari Sulawesi Utara ini. Petuah beliau itu berbunyi, sitou timou tumou tou yang artinya manusia hidup untuk menghidupkan manusia lainnya. Kedua nasehat itu terus diabadikan di benak masing-masing kami untuk dilaksanakan dalam realitas kehidupan," ujar Rotinsulu.

Secara geografis letak Sulawesi Utara memang cukup riskan 'tertular' konflik. Daerah itu berbatasan langsung dengan Poso, Maluku, Maluku Utara, dan Mindanao Selatan (Filipina). Keempat kawasan itu pernah mencatat

Page 15: Hukum adat

sejarah yang kurang menyenangkan terkait konflik berlatar keagaman.

Namun kesadaran semua bersaudara dan menghidupi orang lain itulah, lanjut Rotinsulu, yang mampu membentengi Sulut hingga sekarang. Dia menyontohkan, setiap perayaan Natal, seluruh umat kristiani bisa dengan tenang beribadah karena gereja dan kawasan hunian dijaga pemuda non-kristiani. Demikian juga sebaliknya, jika umat muslim merayakan Idul Fitri, para pemuda non-muslim yang bertugas mengamankan. Begitu pula jika umat beragama lainnya merayakan hari raya.

Keberagaman yang terjaga dengan baik itupun diabadikan dalam sebuah monumen besar bernama Bukit Kasih, di Desa Kanonang, Kecamatan Kawangkoan, Minahasa Induk. Lokasinya berjarak sekitar 50 km dari Manado. Lokasinya tak jauh dari kawah belerang di kaki Gunung Soputan.

Di Kawasan itu didirikan sebuah tugu cukup tinggi dan besar dengan lima sisi yang masing-masing sisi terdapat tulisan dari kutipan lima kitab suci agama. Kutipan yang dipilih, kesemuanya mencerminkan ajakan kerukunan dan saling menyayangi semua manusia. Di puncak tugu tergambar bola dunia serta burung merpati menggigit ranting zaitun yang selama ini memang disepakati sebagai simbol kemanusiaan dan perdamaian.

Menurut cerita masyarakat setempat, wilayah dipercaya sebagai tempat meninggalnya nenek moyang orang Minahasa, yakni Toar dan Lumimuut. Gambaran wajah keduanya pun dipahat di tebing batu di salah satu lembah bukit, wajah keduanya menghadap pada lima rumah ibadah. Untuk sampai ke lokasi tersebut, pengunjung harus terlebih dulu menapaki 2435 anak tangga. Tak jelas benar, apa makna angka tersebut bagi sebuah perjalanan menuju kerukunan dan perdamaian.

"Menurut cerita, tata letak Toar dan Lumimuut menghadap lima tempat ibadah itu dimaksudkan untuk lebih memudahkan bagi pengunjung, terutama orang Minahasa sendiri, dalam menarik kesimpulan bahwa semua orang bersaudara dan berasal dari satu nenek-moyang yang sama," ujar Deissy.

"Di Bukit Kasih inilah benih-benih kasih sayang sebagai manusia selalu ditebar dan ditanam. Di tempat ini pula, para pemuka berbagai agama juga selalu mengadakan pertemuan untuk mencari solusi bersama jika di tengah msayarakat ditemukan benih-benih persoalan bernuansa agama," lanjutnya.

Beruntunglah orang Manado yang mampu memadukan perbedaan sebagai kekuatan. Tapi bagi Anda yang bukan orang Manado, seharusnya mampu memaknai kalimat dari pemandu wisata tadi; beruntung (pulalah) bagi Anda yang bukan orang Manado, karena Anda masih berkesempatan untuk belajar kerukunan dan kebersamaan hidup kepada mereka.

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/06/10/150621/1375667/10/beruntunglah-bagi-anda-yang-bukan-orang-manado

Page 16: Hukum adat

Menariknya Upacara Perkawinan Suku Using

Ada yang menarik dari upacara adat perkawinan Suku Using di Banyuwangi. Nama dari upacara adat ini dinamakan Perang Bangkat. Upacara sarat makna dari filosofi perkawinan, sebelum kedua mempelai resmi menjadi pasangan suami istri.

Dinamakan Perang Bangkat, lantaran prosesi yang penuh petuah ini selama berlangsung layaknya sebuah perang. Namun bukan perang fisik. Melainkan perang argumentasi yang dikemas dengan sebuah drama antara pihak mempelai laki-laki (Raja) dan pihak mempelai wanita (Ratu).

Sekali terlihat kedua belah pihak yang dipisahkan selembar kain itu mengadu pusaka masing-masing. Pusaka diambil dari perbekalan, syarat yang diminta pihak Ratu. Misalnya, ayam, sendok sayur (bahasa usingnya irus.red), bantal guling yang dibungkus dan diikat menjadi satu dengan tikar.

Serta sebutir telur ayam kampung, 1 buah kelapa, setandan pisang. Selain itu seperangkat alat menginang atau disebut juga wanci kinangan. Beras kuning dan beberapa syarat lainnya. Uniknya, dari adu pusaka itu menjadi sebuah pertanda rumah tangga calon pengantin.

Jadi untuk meminang Ratu. Raja yang diwakili oleh salah seorang dari dua tetua adat yang memimpin upacara kuno ini. Harus menunjukkan sebagai pria yang bertanggung jawab untuk memikat hati pihak si ratu.

Serta dapat membuktikan pria yang bijak dengan menunjukkan kemampuan untuk menerjemahkan arti yang terkandung dalam satu persatu, dari tiap perbekalan syarat yang ditetapkan.

"Semua bekal itu memili makna atau petuah bijak yang harus diperhatikan secara seksama sebagai modal dalam mengarungi hidup berumah tangga," jelas Sanawi (65), pemangkut adat using setempat saat ditemui seusai memimpin upacara Perang Bangkat bersama rekannya sesama pemangku adat Using, Sapuan, Kamis (28/1/2009).

Bagi suku Using, perang Bangkat ini wajib dilakukan jika calon mempelai merupakan anak sulung berjodoh dengan anak sulung. Dan anak bungsu berjodoh dengan anak bungsu. Serta anak bungsu berjodoh dengan anak sulung, demikian sebaliknya.

Rangkaian acara adat kuno tersebut seperti yang berlangsung di rumah salah seorang warga di Dusun Gombol Desa Benelan Kidul Kecamatan Singojuruh.

Sementara sepasang calon pengantin, Siti Nurul Aini (19), perempuan setempat. Dan Suhairi (36), laki-laki asal Desa Kraksan, Probolinggo, tengah menjalani upacara kuno suku Using ini. Mereka merupakan anak sulung di keluarga masing-masing.

Namun Perang Bangkat itu hanya sebatas formalitas belaka sebelum penghulu dari Kantor Urusan Agama menikahkan calon pengantin secara resmi. Meski begitu Suku Using Banyuwangi sangat menjunjung nilai luhur yang terkandung dari upacara tersebut.

Namun yang paling ditunggu oleh warga yang menyaksikan dan mengikuti tradisi ini. Saat beras kuning bercampur uang koin dilempar diakhir acara. Tanpa dikomando warga langsung memperebutkannya.

Terutama bagi mereka yang belum memiliki jodoh. sebab uang-uang koin itu dipercaya dapat menjadi lantaran bertemu dengan jodoh masing-masing. Percaya atau tidak, tak perlu dipersoalkan. Sebab inilah salah satu kearifan tradisonal dari suku yang masih lestari di Negeri tercinta ini.

Page 18: Hukum adat

Festival Pesta Rakyat Bau Nyale 2011

Acara puncak cc tahun ini akan dilaksanakan pada tanggal 22-23 Februari 2011. Kegiatan pesta adat yang dilaksanakan sekali dalam satu tahun ini akan dimeriahkan dengan kegiatan hiburan dan lomba-lomba. Jenis lomba yang akan diadakan, antara lain : lomba Bekayaq, Berbalas Pantun, Begambus, Cilokaq, Peresean, dan Lomba Perahu Dayung. Pada malam puncak, tanggal 23 Februari 2011 akan dimeriahkan dengan hiburan rakyat, berupa Wayang Kulit, Penginang Robek, Drama Tradisional, Musik Band, dan pementasan teater Kisah Puteri Nyale. Acara puncak Bau Nyale ini tidak hanya akan dihadiri oleh masyarakat umum, namun Panitia juga mengundang pejabat pemerintah untuk hadir dan ikut serta dalam pesta rakyat tersebut. Lokasi pesta rakyat ini, akan dipusatkan di Pantai Kaliantan, desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur.

Pesta tahunan ini biasanya dihadiri ribuan pengunjung segala usia yang tumpah ruah merayakan acara ini. Pada tahun lalu saja, diperkirakan belasan ribu pengunjung hadir memeriahkan acara sekali setahun ini. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lombok Timur telah menetapkan acara ini menjadi acara tahunan (Annual Event) dan telah memasukkannya dalam Calender of Events 2011. Kepala Dinas Budpar Lombok Timur, H. Gufranuddin, mengatakan bahwa event tahunan Bau Nyale merupakan event yang paling banyak pengunjungnya disamping event-event budaya lainnya di daerah ini. "Upacara Bau Nyale di Lombok Timur ini sudah sangat mengakar di kalangan masyarakat kita dan telah dilaksanakan secara turun temurun sebagai pesta adat tahunan", katanya. "Karena itu, upacara ini perlu mendapat dukungan dari Pemerintah baik Kabupaten, Provinsi maupun Pusat; karena berpotensi sebagai asset budaya yang memiliki nilai jual bagi pariwisata. Pesta Rakyat Bau Nyale tahun ini juga sebagai upaya Pemkab Lombok Timur untuk mendukung dan mensukseskan program Visit Lombok Sumbawa 2012", tambahnya.

Sesungguhnya pesta rakyat Bau Nyale di Pantai Kaliantan Lombok Timur ini jauh lebih ramai dari tempat-tempat lainnya, karena sudah menjadi tradisi masyarakat selatan sejak zaman dulu. Tanpa adanya unsur Pemerintah yang mengkoordinir acara inipun, masyarakat setempat akan tetap datang ke lokasi ini untuk menangkap cacing laut yang disebut nyale ini.

Sumber : www.indonesia.travel

Page 19: Hukum adat

Orang Jawa di Suriname dalam Foto

Sejarah orang-orang Suriname keturunan Jawa relatif kurang dikenal. Untuk mengisi kekosongan referensi itu, Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis di Jakarta menggelar pameran foto "Orang Jawa di Suriname" hasil bidikan kamera fotografer Matt Soemopawiro.

Pameran digelar hingga 18 Februari 2011. Lewat serangkaian karya fotografinya, Matt  menyuguhkan cerita-cerita orang Jawa di Suriname, Indonesia dan di Negeri Belanda.  Foto-foto itu mengungkapkan identitas dan budaya mereka.

Berbagai tradisi dipotret, seperti mitoni (ritual pada masa kehamilan 7 bulan yang pertama kali) dan penikahan adat Jawa hingga kendurenan alias pesta makan-makan ala Jawa.

Di mata Matt, berbagai tradisi ritual itu merupakan "momen-momen unik" yang "hanya hadir satu kali saja", sehingga perlu diabadikan. Lahir di Suriname dan pindah ke Belanda pada 1975, Matt menekuni studi fotografiselama 3 tahun di Amsterdamse Academie, yang melahirkannya sebagai seorang fotografer budaya.

Di tengah masa pameran, diluncurkan buku 'Stille Passanten' (Orang-orang yang Lalu dalam Diam) karya Yvette Kopijn dan Hariette Mingoen, yang juga mengungkapkan sejarah orang-orang Jawa di Suriname.

Sumber : http://www.detikhot.com/read/2011/02/05/091638/1560598/1059/orang-jawa-di-suriname-dalam-foto

Page 20: Hukum adat

Pesta Kesenian Rakyat Buleleng Dongkrak Pariwisata Bali Utara  

Pemerintah Kabupaten Buleleng akan menggelar Pesta Kesenian Rakyat Buleleng (PKRB) di Kabupaten Buleleng. Event yang didukung Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ini untuk memajukan pariwisata di kawasan Bali Utara.

"Pesta Rakyat Buleleng merupakan pesta rakyat dari berbagai atraksi kesenian daerah dan konser musik yang mewakili kalangan generasi muda dan generasi era tahun 70-an," kata Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri, Ditjen Pemasaran Kemenbudpar, Drs M Faried dalam jumpa pres di Hotel Adhi Jaya, Jl Kartika Plaza, Kuta, Selasa (29/3/2011).

Faried mengatakan pesta kesenian tersebut untuk menyeimbangkan pengembangan sektor pariwisata di Bali Utara dan Bali Selatan. Kemenbudpar melakukan terobosan menggelar event pariwisata, seni dan budaya bertajuk "Pesta Rakyat Buleleng".

Faried, menjelaskan event ini untuk mempromosikan daerah tujuan wisata Singaraja yang memiliki potensi wisata yang tak kalah dengan Bali Selatan. Pesta kesenian akan berlangsung selama tiga hari, pada 31 Maret-2 April 2011.

Faried, mengharapkan langkah-langkah ini dapat mendukung upaya promosi pariwisata nusantara yang dilakukan di daerah dan meningkatkan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. Program ini juga untuk mempromosikan slogan 'Wonderful Indonesia' dan slogan 'Kenali Negerimu Cintai Negerimu'.

Pariwisata Bali terpusat di Selatan, padahal pontensi pariwisata di utara seperti Singaraja tidak kalah menarik dan uniknya. Terdapat beberapa atraksi wisata yang menarik, yaitu sapi Gerumbungan, lumba–lumba di Pantai Lovina, serta kehidupan seni budaya dan adat istiadat yang tetap lestari.

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/03/29/191329/1604102/10/pesta-kesenian-rakyat-buleleng-dongkrak-pariwisata-bali-utara

Page 21: Hukum adat

Thamrin Amal Tamagola Jalani Sidang Adat Dayak  

Sosiolog UI Thamrin Amal Tamagola menjalani sidang adat terkait kesaksiannya saat sidang Ariel Paterpan di Betang Tingang Nganderang, Jalan Mayjen DI Panjaitan, Kalimantan Tengah. Thamrin mengakui kekhilafannya.

Sidang adat yang dipimpin ketua majelis hakim Lewis KDR dengan 6 hakim anggota ini diselenggarakan di Betang Tingang Nganderang, Jalan Mayjen DI Panjaitan, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Sabtu (22/1/2011) sejak pukul 10.00 WIB. Sidang digelar secara terbuka dan dihadiri seribuan orang.

Kepala Humas dan Protokol Pemprov Kalimantan Tengah, Kardinal, mengatakan Thamrin menghadiri sidang dengan didampingi sang istri dan keluarganya. Thamrin mengenakan kemeja warna coklat bermotif kotak-kotak kecil.

Dalam sidang, kata Kardinal. tim penuntut pelanggar adat yang diketuai Lukas Tingkes dan beranggotakan 6 orang ini menuntut Thamrin meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak atas kesaksiannya yang menyebut hasil penelitiannya bahwa di kalangan masyarakat Dayak yang menganggap bersanggama tanpa diikat perkawinan sebagai hal biasa. 

Thamrin harus mencabut kesaksiannya yang disampaikan di sidang terdakwa Ariel pada Kamis 2 Desember 2010. Ia juga harus memusnahkan penelitiannya tersebut. 

"Kita intinya rekonsiliasi. Pak Thamrin juga nanti harus memberikan benda-benda adat seperti garantung untuk memulihkan nama baik orang yang dicemarkannya dan menanggung biaya sidang adat berupa biaya pesta perdamaian. Nominalnya belum dihitung," papar Kardinal.

Menurut dia, Thamrin mengakui kekhilafannya. "Kehadiran Pak Thamrin, kita hargai. Di dalam sidang, dia mengakui kekhilafannya dan bersedia mematuhi keputusan majelis sidang adat yang mendasarkan pada tim penuntut pelanggar adat," papar Kardinal.

Sidang tersebut sempat diskor 10 menit untuk memberikan waktu kepada hakim rembukan dan kembali ke ruang sidang menyampaikan hasil putusan. Sidang hingga kini masih berlangsung.

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/01/22/120901/1552195/10/thamrin-amal-tamagola-jalani-sidang-adat-dayak

Page 22: Hukum adat

Budayawan Batak: Tak Mudah Beri Marga dan Gelar ke Seseorang  

Di dalam adat batak, tidak mudah untuk memberikan seseorang sebuah gelar. Sebelum mendapat gelar, orang tersebut haruslah mendapat marga terlebih dahulu. 

"Bukan hal yang mudah bagi seseorang untuk mendapatkan gelar, sebelum pemberian gelar seharusnya diberi marga terlebih dahulu," ujar budayawan Batak, Mangatas Pasaribu, saat berbincang dengandetikcom, Kamis (20/1/2011).

Mangatas menjelaskan, pemberian marga adat batak merupakan sesuatu yang besar, sakral, dan biasanya bakal diadakan pesta. "Ada pesta yang besar dan ada yang kecil, tergantung orangnya," lanjut Mangatas.

Sebelum pemberian marga, seharusnya sudah ada orangtua yang nantinya akan mengangkat orang itu sebagai anaknya. Setelah itu, keluarga dalam satu keturunan harus duduk bersama untuk menyetujui pemberian marga ini.

"Harus dibicarakan, dia akan jadi anak ke berapa, barulah digelar pesta," papar Mangatas.

Setelah mendapat marga, orang tersebut baru bisa mendapat gelar atau penghargaan. Namun yang harus diperhitungkan adalah sejauh mana sumbangsih orang tersebut terhadap marga atau budaya batak.

Setelah mendapat gelar pun, ada konsekuensi yang harus dilakukan. Jika ada pesta, orang ini harus menghadirinya. Dia harus siap menghadirinya, mewakili marga yang sudah didapat.

"Dan proses ini adalah sesuatu yang sangat terhormat di adat batak," tandasnya.

Saat mengunjungi Sumatera Utara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapatkan gelar Patuan Sorimulia Raja. Pihak istana membantah jika presiden saat itu juga diberi marga.

Sebelumnya diberitakan bila SBY mendapat gelar kehormatan dari Lembaga Adat Batak Angkola. Selain dapat gelar kehormatan, SBY juga mendapat 'nama tambahan' Siregar. Sedangkan Ibu Ani Yudhoyono mendapat Pohan.

Tambahan nama baru itu dijelaskan dalam rilis yang diterima wartawan dari panitia melalui Biro Pers Istana. Penganugerahan gelar itu dilakukan di Museum Batak, Desa Pagar Batu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba Samosir, Sumut.

Dituliskan dalam rilis itu, 'Gelar kehormatan SBY, Dr H Susilo Bambang Yudhoyono Siregar, gelar Patuan Sorimulia Raja'. Patuan artinya, gelar kehormatan tertinggi Batak Mandailing, dalam bahasa Indonesia artinya Paduka Tuan. Sori artinya memberikan kemakmuran, keteladanan dan kenyamanan. Mulia artinya dihormati atau dimuliakan. Raja artinya pimpinan dalam acara adat.

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/01/20/100103/1550351/10/budayawan-batak-tak-mudah-beri-marga-dan-gelar-ke-seseorang

Page 23: Hukum adat

Kau Mati, Aku Potong JariOleh: Sukma Kurniawan

Sebuah lukisan karya Nancy, di lobby Hotel Baliem Pilamo. Bercerita tentang upacara potong jari pada Suku Dani.

Foto selengkapnya

Page 24: Hukum adat

PAPUA - Saat wanita lain sedang sibuk mengangkuti batu panas dengan sebuah bilah kayu yang yang dibelah, nousa (ibu tua) itu tampak diam saja. Dia sebetulnya sangat ingin ambil bagian dalam acara pesta ini, tapi sudah tidak mungkin lagi baginya untuk mengangkat banyak hal. Tangannya cacat, hampir seluruh jemarinya hilang. Jika saja tidak disisakan seiris jempol di kedua tangannya, maka bisa jadi banyak orang yang mengira itu bukanlah sepasang tangan manusia. 

Jari jemari nousa yang kesepian itu adalah sebuah sejarah panjang yang bercerita tentang kehilangan. Tentang orang-orang tersayang yang pergi, menyisakan sang nousa sendiri. 

Cacat tangan itu memang sesuatu yang disengaja. Disebut ikipalin (adat potong jari), jika ada seseorang yang kau sayangi mati, maka potonglah jarimu satu dua biji. Itu melambangkan sebuah duka yang mendalam. Rasa sakitnya ditinggal pergi ibaratnya sampai ujung jari. Daripada sakit terus menerus, maka lebih baik dihilangkan saja, dipotong dengan kapak batu yang tidak terlalu tajam, namun bisa membuat ujung jari remuk remas jika dihunjamkan.

Saya tidak bisa membayangkan sakitnya. Jika pada abad pertengahan, di Eropa orang sudah mengembangkan guillotine (alat penggal kepala) untuk meminimalisir rasa sakit. Maka itulah hebatnya Suku Dani, yang hingga hari ini tidak memiliki evolusi berarti untuk sekedar alat potong jari.

Darah yang mengucur dari ujung jari yang terpotong dibebat dengan daun yang sebelumnya sudah diolesi dengan ramuan tradisional. Menghilangkan rasa nyeri juga risiko terinfeksi dan borok jika dibiarkan terbuka.

Sebuah lukisan realis di lobby hotel Baliem Pilamo mengandaikan proses ini dengan sangat menarik. Lukisan kisah penciptaan dalam Bibel yang terkenal digambar ulang. Tampak dua tangan milik Adam dan Tuhan yang bersatu, seperti lambing connecting people milik Nokia. Hanya saja telunjuk Adam hilang terpotong dan diperban dengan daun dan kulit rotan. Ini adalah mop, lelucon khas Papua. 

“Dua jari ini hilang karena adik saya mati dalam perang,” kata Nousa menunjuk jari manis dan kelingkingnya. “Kalau dua ini saya potong karena suami saya meninggal, saya sedih sekali,” lanjutnya memperlihatkan telunjuk dan jari tengahnya. 

Tradisi yang mengerikan ini memang sudah berjalan selama ribuan tahun. Bisa jadi suatu saat para arkeolog masa depan banyak menemukan jari jemari tanpa tangan di bawah lapisan tanah Wamena. Bukti peradaban Suku Dani pernah tinggal di atasnya. Saya pikir, dengan banyaknya jumlah perang suku yang terjadi selama ini, pasti banyak ibu dan istri yang potong jari. 

Saya bergidik, tiba-tiba teringat makanan Sup Ceker Kuah Cengkeh yang sangat enak jika dimakan malam-malam.

Tapi sebetulnya potong jari ini hanyalah satu alternatif dalam berkabung. Dalam tradisi Suku Dani, banyak cara yang bisa ditunjukkan untuk mengunggkapkan duka. Cara yang lain adalah potong telinga, lebih mengerikan bukan. 

Saya melihatnya saat trekking di Kurima, seorang jamaat gereja Hulesi terlihat tidak memiliki dua cuping telinga. Menurut pengakuannya, itu merupakan bentuk belasungkawa terhadap anaknya yang mati lebih dulu. Sebetulnya ini lebih mengerikan dari potong jari. Saya jadi bersyukur tradisi ini tidak ada di Sunda, karena Tuhan menciptakan banyak perempuan rupawan di dalamnya. 

Cara lain untuk mengutarakan kesedihan pada Suku Dani adalah dengan melumuri tubuh dengan lumpur sungai. Bang Herman menunjukkan saya seorang wanita yang mukanya penuh lumpur berwarna kuning saat upacara bakar batu,”Suaminya baru saja meninggal, Sukma,” kata Bang Herman menjelaskan.

Bagi keluarga yang sedang berduka, maka pantang untuk pergi jauh dari desa. Masa berkabung ini hanya diisi dengan mendekam diri. Seminggu dua minggu atau lebih. Minggu selanjutnya sudah bisa keluar kampung, tapi dengan tujuan yang tidak jauh. Dilakukan bertahap hingga rasa sedih hilang dan sudah bisa beraktivitas lagi dengan

Page 25: Hukum adat

normal. 

Begitulah tata cara berbela sungkawa pada Suku Dani. Maka jika aku mati, silahkan kau potong jari.

Sumber : http://travel.detik.com/read/2010/12/09/091704/1512894/1025/kau-mati-aku-potong-jari

Page 26: Hukum adat

Nyanyian Alam dari Bumi Sikerei

Aloita? Dalam bahasa Mentawai berarti apa kabar?  Hari ini (6/10), saya akan mengunjungi perkampungan dalam untuk melihat kehidupan Sikerei dari Mentawai. Sikerei merupakan sebutan bagi orang yang menjadi dukun budaya suku suku di Mentawai. Mereka tidak menyantet atau memelet, tapi sebagai orang orang yang memiliki bakat untuk mengobati penyakit dan memimpin upacara adat.

Untuk mencapai ke perkampungan terdekat (dari Muara Siberut), kami harus menyusuri Sungai Gereget selama kurang lebih 60 menit. Pohon pohon serta beberapa Lalep atau Sapo (rumah warga), menjadi pemandangan kami selama dalam perjalanan menggunakan perahu motor. Sesekali, kami juga melihat pompong (perahu tradisional) yang sedang di dayung oleh suku asli Mentawai.

Saat sampai, kami segera disambut oleh keluarga dari Totulu yang kakaknya merupakan seorang Sikerei. Tidak semua orang bisa menjadi seorang Sikerei, harus melalui pendidikan di dalam hutan selama kurang lebih satu bulan. Calon Sikerei harus menemukan guru yang bersedia mengajarkannya dan mempersiapkan diri dengan memelihara 100 ekor ayam dan babi. Dengan kata lain, memerlukan modal yang cukup besar untuk menjadi seorang Sikerei selain bakat saja.

Kami berkenalan dengan seluruh anggota keluarga, tidak semua orang dapat berbahasa Minang atau Indonesia. Tapi sebagian besar dari mereka mengerti bahasa yang kami gunakan. Kami menjelaskan maksud kedatangan kami, adalah untuk mengenal lebih jauh tentang suku pedalaman Mentawai serta melihat tarian dan nyanyian mereka yang begitu khas. Untuk menari, dibutuhkan dua orang Sikerei. Dan di rumah ini, hanya Kakak dari Totulu saja yang menjadi Sikerei, sehingga kami harus menunggu cukup lama bagi mereka untuk menjemput Sikerei yang lain.

Sementara menunggu, saya melihat lihat sekitar rumahnya. Sudah ada sentuhan modern di sini. Mereka sudah memasak dengan menggunakan kuali besi dan tidur menggunakan kelambu yang biasa digunakan di kota. Bahkan sebagaian dari mereka sudah mengenakan baju, seperti pendatang. Di bagian bawah rumah digunakan sebagai kandang babi. Sedangkan ayam, biasanya berada di atas pohon, sungguh unik. 

Akhirnya Sikerei yang kedua datang, sambil menghisap rokok yang kami bawakan, ia mempersiapkan diri untuk menari. Dalam menari dan menyanyi tidak boleh sembarangan. Bahkan untuk menarikan sebuah tarian tertentu diharuskan mengadakan upacara (memotong hewan ternak lalu makan bersama) terlebih dahulu.

Tarian pertama pun dimulai. Tarian ini dilakukan sambil bernyanyi. Lagu yang sangat harmonis dengan alam. Tarian itu menceritakan tentang burung Egu yang tidak bisa makan karena hujan. Sungguh pas dengan suasana saat itu yang kebetulan juga sedang hujan. Tariannya memang terlihat sederhana, tapi kaya akan makna. Salah satu dari cirri khas tariannya adalah gerakan kaki seperti tap dance yang membunyikan lantai kayu sehingga sinergis dengan suara gendang yang mengiringi.

Setelah selesai, mereka tidak langsung menarikan tarian kedua. Mereka berbincang bincang sejenak sambil menghabiskan rokok mereka. Di suku pedalaman, hampir semua orang merokok. Ibu – ibu, bapak – bapak bahkan anak – anak. Tidak lama, Sikerei – sikerei itu mulai malakukan tarian kedua, tentang Burung Cad – Cad yang meminum air dari bunga secara berganti gentian. Dilanjutkan tari ketiga tentang Burung Kemud yang memakan ular lalu dibagi bagikan kepada anak anaknya.

Mereka menarikan apa yang mereka lihat sehari hari di tempat mereka tinggal. Dan mereka hidup belajar langsung dari alam. Moral yang dapat diambil dari tari tarian itu bisa dilihat saat kami semua makan. Bila satu makan, yang lain juga harus makan. Dan makanan itu harus sama besar, sama banyak dan sama rasa. Bahkan dalam suatu pesta mereka makan dalam wadah yang sama. Tidak peduli kepala suku atau anak anak.

Nilai – nilai tersebut patut dicontoh dan diamalkan. Seperti mereka, kita harus selalu hidup seimbang dengan alam. Menjaganya, dan belajar darinya. Karena banyak nilai yang dapat kita petik dari alam. Seperti Sikerei yang belajar dari apa yang mereka lihat dari alam dan mengajarkannya kepada yang lain melalui tarian dan nyanyian.