harold d laswell

Upload: habibah-zuhroh

Post on 17-Jul-2015

2.779 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Kamis, 29 maret 2012 indah_hestiSelasa, 13 Januari 2009TEORI HAROLD LASWELLSalah satu tokoh penting dalam sejarah awal ilmu komunikasi di Amerika adalah Harold Lasswell. Diktum Lasswell akan selalu diingat oleh mereka yang pernah sedikit belajar ilmu politik atau ilmu komunikasi karena sesungguhnya Harold Lasswell adalah ilmuwan politik-; Who says what, to whom, to which channel and with what effect. Inilah diktum yang akan selalu diingat sebagai suatu model teori komunikasi yang linier, yang ia temukan dari hasil pengamatan dan praktek yang ia lakukan sepanjang masa perang dunia pertama dan kedua. Pada tahun 1926, Harold Lasswell menulis disertasinya yang berjudul Propaganda Technique in the World War yang menyebutkan sejumlah program propaganda yang bervariasi mulai dari konsep sebagai strategi komunikasi politik, psikologi audiens, dan manipulasi symbol yang diambil dari teknis propaganda yang dilakukan oleh Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika. Sebenarnya kata propaganda sendiri merupakan istilah yang netral. Kata yang berasal dari bahasa Latin to sow yang secara etymology berarti: menyebarluaskan atau mengusulkan suatu ide (to disseminate or propagate an idea). Namun dalam perkembangannya kata ini berubah dan mengandung konotasi negatif yaitu pesan propaganda dianggap tidak jujur, manipulatif, dan juga mencuci otak . Pada perkembangan awal ilmu komunikasi, propaganda menjadi topik yang paling penting dibahas pada masa itu, namun anehnya setelah tahun 1940-an, analisis propaganda ini menghilang dari khasanah ilmu-ilmu social di Amerika. Sebagai penggantinya muncullah istilah seperti komunikasi massa (mass communication) atau penelitian komunikasi (communication research), menggantikan istilah propaganda atau opini publik untuk menjelaskan pekerjaan peneliti komunikasi.

Lasswell sendiri memberikan definisi atas propaganda sebagai manajemen dari tingkah laku kolektif dengan cara memanipulasi sejumlah symbol signifikan. Untuknya definisi ini tidak mengandung nilai baik atau buruk, dan penilaiannya sangat bergantung pada sudut pandang orang yang menggunakannya. Sementara itu ahli lain (Petty & Cacioppo 1981) menyebut propaganda sebagai usaha untuk mengubah pandangan orang lain sesuai yang diinginkan seseorang atau juga dengan merusak pandangan yang bertentangan dengannya. Dalam pengertian ilmu komunikasi, baik propaganda maupun persuasi adalah kegiatan komunikasi yang memiliki tujuan tertentu (intentional communication), dimana si sumber menghendaki ada perilaku yang berubah dari orang lain untuk kepentingan si sumber, tapi belum tentu menguntungkan kepada orang yang dipengaruhi tersebut. Jadi propaganda lebih menunjuk pada kegiatan komunikasi yang satu arah, sementara persuasi lebih merupakan kegiatan komunikasi interpersonal (antar individu), dan untuk itu mengandalkan adanya tatap muka berhadap-hadapan secara langsung. Dengan demikian sebenarnya propaganda adalah persuasi yang dilakukan secara massal. Lasswell juga terlibat dalam proyek perang dunia II dengan melakukan analisa isi terhadap pesan-pesan propaganda yang dilakukan oleh pihak sekutu. Dengan analisa tersebut Lasswell bermaksud hendak meningkatkan kemampuan dan metodologi propaganda yang dilakukan pada masa itu. Dengan kata lain, Lasswell tak cuma menganalisa propaganda tapi ia juga menciptakan propaganda lain, menghasilkan para murid yang ahli propaganda untuk membantu pemerintah Amerika dalam mengembangkan propaganda dan program intelejen dari pemerintah. Untuk memahami pengertian komunikasi sehingga dapat dilaksanakan secara efektif, maka kita dapat mengutip model komunikasi dari Harold Lasswell dalam karyanya The Structure And Function Of Communication In Society menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan proses komunikasi adalah menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect (Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Efek Apa).

Berdasarkan paradigma Laswell di atas, maka komunikasi berarti proses penyampaian pesan dari seorang komunikator kepada seorang komunikan melaui media komunikasi tertentu untuk menghasilkan efek tertentu. Dewasa ini sangat beragam jenis media komunikasi yang beredar di

masyarakat,

yang

dapat

dipergunakan

dalam

kegiatan

berkomunikasi.

Teori-teori komunikasi massa yang berelasi dengan hasil kebudayaan (theories of cultural outcomes) banyak tumbuh dan berkembang dalam kajian komunikasi massa yang ada di Amerika Serikat. Secara garis besar teori-teori yang ada di ranah ini dibagi menjadi dua bagian yaitu yang berfokus pada hasil-hasil kebudayaan umum dan yang berfokus pada pengaruh terhadap inidividu. Untuk mengawalinya, kita akan masuk dari dari kajian mengenai model dan fungsi komunikasi massa yang dikemukakan oleh Harold Laswell.

Selama ini teori media berkonsentrasi pada bagaimana media bekerja dan pengaruh media terhadap khalayak. Dasar dari perspektif ini adalah pendekatan fungsionalis yang memfokuskan pada sistem komunikasi massa, cara kerja sistem komunikasi massa, dan apa yang dilakukan oleh komunikasi massa.

Salah seorang teoritisi yang mengungkapkan teori yang paling terkenal dan paling awal dalam kajian ini adalah Harold Lasswell. Dalam sebuah artikel klasik yang ditulisnya pada tahun 1948 yang berjudul The Structure and Function of Communication in Society, Lasswell menyajikan suatu model komunikasi yang berbentuk sederhana. Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang baru belajar ilmu komunikasi. Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokkan elemen-elemen mendasar dari komunikasi ke dalam lima elemen yang tidak bisa dihilangkan salah satunya (Laswell dalam Littlejohn, 1996:334). Model yang dikembangkan oleh Laswell ini sangat populer di kalangan ilmuan komunikasi, dan kebanyakan mahasiswa komunikasi ketika pertama kali belajar ilmu komunikasi, akan diperkenalkan dengan model di atas.

Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa adalah identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa. Pertama adalah kemampuan kemampuan media massa memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat, yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa

dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission. Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi keempat yaitu entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen.

Model Lasswell telah menjadi model komunikasi massa yang melegenda dalam kajian teori komunikasi massa. Maksudnya model Laswell telah banyak digunakan sebagai kerangka analisis dalam kajian komunikasi massa. Karakteristik model Laswell adalah kemampuannya mencatat bagian-bagian yang membentuk sistem komunikasi massa dan serempak pula dapat menggambarkan hasil-hasil yang hendak dicapai oleh komunikasi massa melalui ketiga fungsi yang telah dijelaskan di atas. Sejak awal buku ini, banyak fungsi dari komunikasi massa yang telah singgung. Agar lebih jelas kita akan melihat pada beberapa di antara fungsi komunikasi massa secara lebih mendalam melalui berbagai teori dalam pembahasan berikut. Kita mengawalinya dari bagian tentang teori mengenai difusi informasi dan pengaruh.

Diposkan oleh indah_hesti di 23:42 3 komentar:

Hitam Putih mengatakan... Thank's ya Mbak untuk infonya, help me a lot!! Saya numpang copy ya... 19 Maret 2009 20:46 DATU mengatakan... mba/ibu indah blog-nya saya kutip ke blog saya ga apa-apa kan...? klo ga apa-apa trims buanyyak ya..?

18 Juni 2009 11:34 tjeng ing mengatakan... mak indah hesti. ringkas dan mudah di mengerti .sy juga mau numpang copy ya.. thanks 13 Agustus 2011 07:18 Poskan Komentar Posting Lama Beranda Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

2009 (1) o Januari (1) TEORI HAROLD LASWELL 2008 (2)

Mengenai Sayaindah_hesti Lihat profil lengkapku.

Komunikasi MassaMonday, June 27, 2005Teori Hasil Kebudayaan

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si (Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, e-mail/friendster di [email protected]) Teori-teori komunikasi massa yang berelasi dengan hasil kebudayaan (theories of cultural outcomes) banyak tumbuh dan berkembang dalam kajian komunikasi massa yang ada di Amerika Serikat. Secara garis besar teori-teori yang ada di ranah ini dibagi menjadi dua bagian yaitu yang berfokus pada hasil-hasil kebudayaan umum dan yang berfokus pada pengaruh terhadap inidividu. Untuk mengawalinya, kita akan masuk dari dari kajian mengenai model dan fungsi komunikasi massa yang dikemukakan oleh Harold Laswell. Selama ini teori media berkonsentrasi pada bagaimana media bekerja dan pengaruh media terhadap khalayak. Dasar dari perspektif ini adalah pendekatan fungsionalis yang memfokuskan pada sistem komunikasi massa, cara kerja sistem komunikasi massa, dan apa yang dilakukan oleh komunikasi massa. Salah seorang teoritisi yang mengungkapkan teori yang paling terkenal dan paling awal dalam kajian ini adalah Harold Lasswell. Dalam sebuah artikel klasik yang ditulisnya pada tahun 1948 yang berjudul The Structure and Function of Communication in Society, Lasswell menyajikan suatu model komunikasi yang berbentuk sederhana. Model ini sering diajarkan kepada mahasiswa yang baru belajar ilmu komunikasi. Menurut Lasswell komunikasi dapat didefinisikan sebagai : Siapa (who) Bicara apa (says what) Pada saluran mana (in which channel) Kepada siapa (to whom) Dengan pengaruh apa (with what effect) Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokkan elemen-elemen mendasar dari komunikasi ke dalam lima elemen yang tidak bisa dihilangkan salah satunya (Laswell dalam Littlejohn, 1996:334). Model yang dikembangkan oleh Laswell ini sangat populer di kalangan ilmuan komunikasi, dan kebanyakan mahasiswa komunikasi ketika pertama kali belajar ilmu komunikasi, akan diperkenalkan dengan model di atas. Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa adalah identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa. Pertama adalah kemampuan kemampuan media massa memberikan informasi yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi

masyarakat, yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga adalah fungsi media massa dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28-29). Dalam perkembangannya, Charles Wright menambahkan fungsi keempat yaitu entertainment, di mana komunikasi massa dipercaya dapat memberi pemenuhan hiburan bagi para konsumen dengan dikontrol oleh para produsen (Shoemaker dan Resse, 1991 : 28). Model Lasswell telah menjadi model komunikasi massa yang melegenda dalam kajian teori komunikasi massa. Maksudnya model Laswell telah banyak digunakan sebagai kerangka analisis dalam kajian komunikasi massa. Karakteristik model Laswell adalah kemampuannya mencatat bagian-bagian yang membentuk sistem komunikasi massa dan serempak pula dapat menggambarkan hasil-hasil yang hendak dicapai oleh komunikasi massa melalui ketiga fungsi yang telah dijelaskan di atas. Sejak awal buku ini, banyak fungsi dari komunikasi massa yang telah singgung. Agar lebih jelas kita akan melihat pada beberapa di antara fungsi komunikasi massa secara lebih mendalam melalui berbagai teori dalam pembahasan berikut. Kita mengawalinya dari bagian tentang teori mengenai difusi informasi dan pengaruh. Difusi Informasi dan Pengaruh Riset yang melahirkan teori difusi dan pengaruh dilakukan pada tahun 1940 oleh Paul Lazarsfeld terhadap masyarakat kota New York. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lazarsfeld menunjukan bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh komunikasi massa dipengaruhi juga oleh faktor lain yaitu oleh komunikasi antar personal. Lazarsfeld menamainya sebagai two-step flow hipotesis. Teori ini masih mempunyai pengaruh yang sangat besar mengenai studi komunikasi massa, terutama terhadap studi mengenai khalayak. Pada studi awalnya Lazarsfeld menemukan bahwa informasi dan pengaruh dari media massa disebarluaskan oleh para penentu opini kepada khalayak luas, setelah mereka menerima informasi dari media, sehingga isi pesan media tidak serta merta tersebar dan apalagi menjadi opini publik di dalam khalayak luas. Teori two-step flow terangkum dalam karya Elihu Katz dan Paul Lazarsfeld Personal Influence. Mereka berdua menyatakan bahwa individu tertentu yang disebut sebagai penentu opini (opinion leader) menerima informasi dari media dan menyalurkannya kepada teman mereka. Penentu opini adalah dalam semua kelompok : pekerjaan, sosial, masyarakat dan lainnya. Individual ini sulit dibedakan dari anggota kelompok lain karena kepemimpinan opini bukan merupakan pemberian namun merupakan peran yang diambil oleh beberapa individu dalam keadaan tertentu. Kepemimpinan pendapat berubah dari waktu ke waktu dari isu ke isu. Penentu opini dalam pandangan mereka dapat terdiri dari dua bentuk yaitu penentu opini yang hanya memiliki pengaruh pada satu topik saja, atau monomorhism, dan mereka yang berpengaruh pada bermacam topik atau polymorhism. Monomorphism menjadi lebih dominan ketika sistem komunikasi yang berlaku sifatnya menjadi lebih modern. Seorang kepala desa tentu memiliki pengaruh terhadap beragam topik, sedangkan seorang sarjana pertanian akan memiliki pengarh terhadap isu yang berkaitan dengan pertanian, seperti penyakit tanaman, hama tanaman, cara pemupukan yang benar dan sebagainya.

Riset lanjutan yang dikerjakan oleh Lazarsfeld telah memperlihatkan bahwa penyebaran ide adalah bukan merupakan proses dua langkah yang sederhana. Suatu model multi-langkah (multistep flow) sekarang lebih banyak diterima secara umum. Model ini serupa dengan model hipotesis dua-langkah (two step flow), tapi memberi lebih banyak kemungkinan daripada hipotesis dua langkah. Penelitian yang telah dilakukan telah memperlihatkan bahwa jumlah yang terbesar dari penyaluran antara media dan penerima terakhir adalah suatu variabel. Dalam adopsi inovasi ini, misalnya, individu tertentu akan mendengar tentangnya langsung dari sumber media, sedangkan lainnya mungkin akan berkurang banyak tahapan. Teori difusi yang paling terkemuka dikemukakan oleh Everett Rogers dan para koleganya. Rogers menyajikan deksripsi yang menarik mengenai mengenai penyebaran dengan proses perubahan sosial, di mana terdiri dari penemuan, difusi (atau komunikasi), dan konsekwensikonsekwensi. Perubahan seperti di atas dapat terjadi secara internal dari dalam kelompok atau secara eksternal melalui kontak dengan agen-agen perubahan dari dunia luar. Kontak mungkin terjadi secara spontan atau dari ketidaksengajaan, atau hasil dari rencana bagian dari agen-agen luar dalam waktu yang bervariasi, bisa pendek, namun seringkali memakan waktu lama. Dalam difusi inovasi ini, satu ide mungkin memerlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat tersebar. Rogers menyatakan bahwa pada realisasinya, satu tujuan dari penelitian difusi adalah untuk menemukan sarana guna memperpendek keterlambatan ini. Setelah terselenggara, suatu inovasi akan mempunyai konsekuensi konsekuensi mungkin mereka berfungsi atau tidak, langsung atau tidak langsung, nyata atau laten (Rogers dalam Littlejohn, 1996 : 336). Opini Publik dan Gelombang Kebisuan (Public Opinion and the Spiral of Silence) Ketika Susilo Bambang Yudhoyono meletakan jabatan di penghujung kekuasaan Presiden Megawati, media massa ramai-ramai memberitakan mengenai peristiwa tersebut. Banyak media massa yang juga mengekspos perseteruan Susilo Bambang Yudhoyono dan Taufik Kiemas, suami presiden. Media menggambarkan Susilo Bambang Yodhoyono sebagai orang teraniaya, dan timbulah opini publik yang menyudutkan Megawati. Opini ini semakin meluas karena media massa mem-blow up secara besar-besaran. Suara pendukung Megawati yang membela kebijakannya semakin lama semakin tenggelam karena porsi yang diberikan media massa kepada mereka juga semakin mengecil. Dari realitas di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa memiliki banyak hubungan dengan pembentukan opini publik. Wacana mengenai opini publik telah menjadi pertimbangan yang besar dalam pengambilan keputusan politik yang diambil oleh para elit politik. Teori yang dikemukakan oleh Elisabeth Noelle-Newman mengenai gelombang kebisuan merupakan pengembangan dari teori mengenai opini publik dengan melanjutkan analisis yang mampu menunjukan bagaimana komunikasi antar personal dan media bekerja bersama-sama dalam membangun opini publik. Asumsi dasar yang dikemukakan oleh Noelle-Newman adalah bahwa orang-orang pada umumnya secara alamiah memiliki rasa takut terkucil. Dan dalam pengungkapan opini, mereka berusaha menyatu dengan mengikuti opini mayoritas atau konsensus. Sumber konsensus utama adalah media massa, dan akibatnya para jurnalis yang mungkin memiliki pengaruh cukup besar untuk melakukan penetapan mengenai apa yang dipandang sebagai iklim opini yang berlaku pada saat tertentu dalam isu tertentu atau yang lebih luas.

Noelle-Newman sebenarnya adalah peneliti politik Jerman. Ia mengadakan observasi dalam pemilihan umum yang memperlihatkan adanya beberapa pandangan nampaknya lebih berjalan baik daripada pandangan yang lainnya. Kadang-kadang sebagian publik lebih memilih untuk diam saja atau membisu mengenai opini yang ada dalam pikiran mereka daripada memperbincangkannya. Jika opini umum dari media massa semakin tersebar dan meluas di masyarakat, maka semakin senyap suara perseorangan yang berlawanan dengan pendapat umum yang lebih dominan. Noelle-Newmann kemudian menyebut proses ini sebagai gelombang kebisuan. Penelitian yang dilakukannya berkaitan dengan kondisi di Jerman di tahun 1960 sampai dengan 1970-an, di mana Partai Demokrasi Sosial berkuasa pada saat itu. Kekuasaan partai ini tidak lepas dari peran media massa yang cenderung kekiri-kirian di masa itu, sejalan dengan ideologi Partai Demokrasi Sosial. Peran media massa yang seperti ini mampu menciptakan gelombang kebisuan di dalam khalayak yang tidak menyukai Partai Demokrasi Sosial. Yang tersisa hanyalah suara publik yang mendukung kebijakan Partai Sosial Demokrat (McQuail, 1996 : 252). Cultivation Analysis Program penelitian teoritis lain yang berhubungan dengan hasil sosiokultural komunikasi massa dilakukan George Garbner dan teman-temannya. Peneliti ini percaya bahwa karena televisi adalah pengalaman bersama dari semua orang, dan mempunyai pengaruh memberikan jalan bersama dalam memandang dunia. Televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita. Dramanya, iklannya, beritanya, dan acara lain membawa dunia yang relatif koheren dari kesan umum dan mengirimkan pesan ke setiap rumah. Televisi mengolah dari awal kelahiran predisposisi yang sama dan pilihan yang biasa diperoleh dari sumber primer lainnya. Hambatan sejarah yang turun temurun yaitu melek huruf dan mobilitas teratasi dengan keberadaan televisi. Televisi telah menjadi sumber umum utama dari sosialisasi dan informasi sehari-hari (kebanyakan dalam bentuk hiburan) dari populasi heterogen yang lainnya. Pola berulang dari pesan-pesan dan kesan yang diproduksi massal dari televisi membentuk arus utama dari lingkungan simbolis umum. Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation (kultivasi), karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogen dalam kebudayaan. Teori kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Gerbner, dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi lingkungan simbolik kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail, 1996 : 254). Ada beberapa tahap riset yang dilakukan untuk meneliti mengenai agresi sebagai efek komunikasi massa. Di Amerika Serikat semenjak tahun 1950-an telah ada usaha untuk dilakukan untuk meneliti hubungan antara adegan kekerasan yang ditonton oleh khalayak dengan perilaku agresi. Riset yang dilakuakn ini mayoritas lahir disebabkan oleh karena ada kecemasan akibat semakin meningkatnya proporsi adegan kekerasan dalam televisi. Sebagai bukti tingginya tayangan kekerasan di televisi diperlihatkan dengan hasil riset analisis isi yang dilakukan George Gerbner di tahun 1978 yang menunjukan 80 sampai dengan 90 persen adegan yang ada dalam program televisi di Amerika Serikat berisi adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 234).

Menurut Baron dan Byrne terdapat tiga fase riset mengenai kultivasi. Pertama adalah fase Bobo Doll, kedua adalah fase penelitian laboratorium dan ketiga adalah fase riset lapangan (Baron dan Byrne dalam Rakhmat, 1999 : 234). Fase pertama dirintis oleh Bandura dan kawan-kawannya yang mencoba meneliti apakah anak-anak yang melihat orang dewas melakukan tindakan agresi juga akan melakukan agresi sebagaimana yang mereka lihat. Seratus anak-anak setingkat taman kanak-kanak dibagi ke dalam empat kelompok, dengan treatment yang berbeda. Satu kelompok pertama melihat seorang dewasa menyerang boneka balon Bobo Doll sambil berteriak garang, Hantam! Sikat hidungnya!. Kelompok kedua dari anak-anak tersebut melihat tindakan yang sama dalam film berwarna pada pesawat televisi. Kelompok ketiga juga melihat adegan film televisi, namun yang tidak menampilkan adegan kekerasan. kelompok terakhir, sama sekali tidak diberi akses menonton adegan kekerasan sama sekali. Setelah treatment tersebut setiap anak diberikan waktu untuk bermain selama 20 menit sembari diamati melalui kaca yang tembus pandang. Di ruangan bermain disediakan Bobo Doll dan alat-alat permainan lainnya, dan terbukti kelompok pertama dan kedua melakukan tindakan agresif, sebanayk 80 90 persen dari jumlah kelompok tersebut. Fase kedua penelitian kultivasi yang mencoba mengganti obyek perilaku agresif secara lebih realitis, yaitu bukan lagi boneka plastik melainkan manusia. Adegan kekerasan diambilkan dari film-film yang dilihat para remaja yaitu film serial televisi The Untouchtables. Liebert dan Baron, yang melakukan penelitian generasi kedua ini di tahun 1972, membagi para remaja menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama melihat film The Untouchtables yang berisi beragam adegan kekerasan, dan yang kedua melihat adegan menarik dari televisi tapi tidak dibumbui adegan kekersan sama sekali. Kemudian mereka diberi kesempatan untuk menekan tombol merah yang dikatakan dapat menyakiti remaja yang berada di ruangan lain. ternyata kelompok pertama lebih banyak dan lebih lama menekana tombol merah daripada kelompok kedua. Fase ketiga dilakukan Layens dan kawan-kawan di Belgia tahun 1975. Perilaku agresif diamati pada situasi ilmiah bukan di laboratorium dan dengan jangka waktu yang lama. kegiatan obyek yang diteliti juga tidak diganggu sama sekali. Mereka dibagi kedalam dua kelompok, di mana kelompok pertama menonton lima film berisi adegan kekerasan selama seminggu dan kelompok kedua menonton lima film tanpa adegan kekerasan. Selama seminggu itu pula perilaku mereka diamati secara intens, dan ternyata kelompok pertama lebih sering melakukan adegan kekerasan (Rakhmat, 1999 : 243 245). Agenda Setting Masyarakat yang terpelajar telah lama mengetahui bahwa media mempunyai potensi untuk membangun wacana untuk publik. Salah satu dari penulis pertama yang memformulasi ide ini adalah Walter Lippman, seorang wartawan Amerika yang memiliki reputasi tinggi. Lippmann dikenal untuk penulisan jurnalistiknya, pidatonya, dan komentar sosialnya. Lippman menyatakan pandangan bahwa respon publik tidak kepada kejadian yang sebenarnya dalam lingkungan, melainkan menggambarkan di dalam kepala, yang dia sebut sebagai pseudoenvironment (Lippman dalam Littlejohn., 1996 : 341). Fungsi agenda setting dikemukakan oleh Donald Shaw, Maxwell McCombs, dan teman-teman mereka. Menurut mereka:

Bukti-bukti yang penting telah terakumulasi bahwa editor dan penyiar memegang peran yang sangat penting dalam membentuk kenyataan sosial kita ketika mereka menjalani tugas seharihari dalam memilih dan menampilkan berita. Pengaruh media massa ini kemampuan untuk memberi pengaruh perubahan secara kognitif, untuk membentuk pemikiran mereka- telah diberi label sebagai fungsi penetapan agenda dari komunikasi massa. Di sini mungkin terletak pengaruh yang paling penting dari komunikasi massa, kemampuannya untuk secara mental mengurutkan dan mengorganisir dunia untuk kita. Sigkatnya, media massa mungkin tidak akan berhasil dalam menceritakan kepada kita apa pikiran kita, namun mereka secara besar-besaran berhasil dalam memberi tahu kita apa pikirkan (Shaw dan McCombs dalam Littlejohn, 1996 : 341). Agenda setting yang kedua adalah proses linier tiga-bagian. Pertama, prioritas dari isu yang akan dibahas dalam media, atau yang dikenal sebagai agenda media, harus ditetapkan. Kedua, agenda media dalam beberapa cara mempengaruhi atau berinteraksi dengan apa yang publik pikirkan, atau agenda publik. Akhirnya ketiga, agenda publik mempengaruhi atau berinteraksi dalam beberapa cara dengan para pembuat keputusan politik yang dianggap penting, atau agenda politik. Dalam teori yang paling sederhana dan paling langsung, kemudian, agenda media mempengaruhi agenda publik, dan agenda publik mempengaruhi agenda politik. Kejadian di sepanjang akhir kekuasan Orde Baru menjadi bukti yang nyata dari fungsi ini. Tatkala hargaharga kebutuhan pokok semakin melejit dan nilai tukar rupiah merosot, media massa ramairamai memberitakan kejadian ini. Sebagai akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu juga semakin menipis dan mengakibatkan pemerintahan jatuh. Meskipun sejumlah studi memperlihatkan bahwa media dapat secara kuat mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi agenda publik, namun ternyata masih belum jelas apakah agenda publik sendiri tidak mempengaruhi agenda media. Hubungan ini bisa jadi dikarenakan lebih sebagai salah satu dari hubungan sebab akibat timbal balik daripada hubungan sebab akibat linier (searah). Lebih jauh lagi, sepertinya kejadian aktual mempunyai pengaruh kepada keduanya, baik agenda media dan agenda publik. Setidaknya terdapat tiga macam pengaruh penetapan agenda. Pertama adalah derajat seberapa media merefleksikan agenda publik, disebut sebagai representasi. Dalam agenda representasi, publik mempengaruhi media. Kedua, adalah dipertahankannya agenda yang sama oleh publik di semua waktu, yang disebut persistence. Dalam agenda publik persisten, media mungkin memiliki pengaruh yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda publik, disebut sebagai persuasi. Pengaruh jenis yang ketiga di mana media mempengaruhi publik adalah tepat seperti yang diprediksi oleh teori agenda setting (McQuail, 2002 : 456). Ada sebuah pertanyaan mendasar yang menarik untuk dijawab, yaitu siapa yang pada mulanya mempengaruhi agenda media? posted by Fajar Junaedi @ 10:12 PM 0 Comments: Post a Comment Links to this post:

Create a Link