farter acne vulgaris

32
BAB I LATAR BELAKANG Acne vulgaris merupakan gangguan inflamasi kronis pada unit pilosebasea yang ditandai dengan adanya mikrokomedo. Acne vulgaris atau yang biasa disebut jerawat merupakan gangguan kulit yang paling umum di Amerika Serikat yang terjadi pada 40 sampai 50 juta orang baik pada laki-laki maupun perempuan. Umumnya penyakit ini menyerang sekitar 80% dari populasi berusia 12 sampai 25 tahun. Acne vulgaris merupakan penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum penyebabnya adalah produksi sebum yang berlebih, hiperkeratinisasi folikel rambut, stres oksidatif, dan pelepasan mediator inflamasi. Acne vulgaris sering terjadi pada usia remaja, meskipun demikian, acne vulgaris dapat bertahan bertahun-tahun hingga usia dewasa. Jerawat dapat menyebabkan masalah psikologis pada penderitanya (West et al., 2005; Batubara, Mitsunaga, and Ohashi, 2009). Acne vulgaris juga dapat disebabkan oleh bakteri. Propionibacterium acnes, bakteri gram positif anaerob yang normalnya hidup pada kulit berperan penting pada fase inflamasi jerawat. Propionibacterium acnes mensekresi beberapa produk yang membantu perkembangan inflamasi, antara lain lipase, protease, hyaluronidase, dan faktor kemotaksis. Lipase memecah trigliserida pada sebasea membentuk asam lemak bebas yang akan menginduksi inlamasi berat (Batubara, Mitsunaga, and Ohashi, 2009). Tujuan terapi acne vulgaris untuk mencegah pembentukan lesi baru, menyembuhkan lesi yang sudah ada dan meminimalisir luka. Selain itu, tujuan terapi acne vulgaris adalah untuk meringankan 1

Upload: wieq-luphy

Post on 01-Dec-2015

411 views

Category:

Documents


19 download

DESCRIPTION

definisi, etiologi, klasifikasi jerawat

TRANSCRIPT

BAB I

LATAR BELAKANG

Acne vulgaris merupakan gangguan inflamasi kronis pada unit pilosebasea yang

ditandai dengan adanya mikrokomedo. Acne vulgaris atau yang biasa disebut jerawat

merupakan gangguan kulit yang paling umum di Amerika Serikat yang terjadi pada 40 sampai

50 juta orang baik pada laki-laki maupun perempuan. Umumnya penyakit ini menyerang

sekitar 80% dari populasi berusia 12 sampai 25 tahun. Acne vulgaris merupakan penyakit

yang disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum penyebabnya adalah produksi sebum yang

berlebih, hiperkeratinisasi folikel rambut, stres oksidatif, dan pelepasan mediator inflamasi.

Acne vulgaris sering terjadi pada usia remaja, meskipun demikian, acne vulgaris dapat

bertahan bertahun-tahun hingga usia dewasa. Jerawat dapat menyebabkan masalah psikologis

pada penderitanya (West et al., 2005; Batubara, Mitsunaga, and Ohashi, 2009).

Acne vulgaris juga dapat disebabkan oleh bakteri. Propionibacterium acnes, bakteri

gram positif anaerob yang normalnya hidup pada kulit berperan penting pada fase inflamasi

jerawat. Propionibacterium acnes mensekresi beberapa produk yang membantu

perkembangan inflamasi, antara lain lipase, protease, hyaluronidase, dan faktor kemotaksis.

Lipase memecah trigliserida pada sebasea membentuk asam lemak bebas yang akan

menginduksi inlamasi berat (Batubara, Mitsunaga, and Ohashi, 2009).

Tujuan terapi acne vulgaris untuk mencegah pembentukan lesi baru, menyembuhkan

lesi yang sudah ada dan meminimalisir luka. Selain itu, tujuan terapi acne vulgaris adalah

untuk meringankan nyeri dan ketidaknyamanan serta mencegah terbentuknya luka dan

jaringan parut. Secara psikologis, acne vulgaris memberi dampak stres, frustasi, malu dan

bahkan depresi pada penderitanya. Oleh karena itu terapi farmakologi dan edukasi pasien

secara fisik dan psikis sangat diperlukan (Goeser, 2008).

Pemilihan terapi pada pasien pengidap acne vulgaris berbeda-beda bergantung pada

kondisi yang dialami pasien. Hal ini menyebabkan pentingnya mengetahui etiologi,

patofisiologi, serta gejala klinis yang dialami oleh pasien sehingga dapat dilakukan terapi

yang efektif dan efisien sesuai dengan kondisi pasien dan dapat diperoleh hasil pengobatan

yang optimal.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jerawat

Acne vulgaris merupakan sebuah gangguan yang umumnya terjadi karena inflamasi

kronis dari bagian pilosebaceus yang umumnya diawali dengan terbentuknya mikrokomedo.

Lokalisasi dari acne vulgaris berada pada daerah wajah, terutama pada remaja yang berimbas

signifikan pada keadaan diri remaja tersebut. Meskipun bersifat merupakan self-limiting,

tetapi acne vulgaris dapat bertahan selama bertahun-tahun dan dapat mengakibatkan luka

pada kulit dan pembentukan jaringan parut. Acne vulgaris dapat dihubungkan dengan

kecemtasan, depresi, dan kondisi psikologis lainnya. Secara klinis tidak mudah meneliti acne

vulgaris sebagai dampak kondisi emosional. Praktisi kesehatan perlu memberikan edukasi

kepada pasien mengenai penyebab dan pengobatan acne vulgaris (West et al., 2005).

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Perkembangan acne vulgaris berhubungan dengan peningkatan produksi sebum,

keratinisasi yang abnormal dalam kanal pilosebaseous (hiperkornifikasi), kolonisasi bakterial,

dan inflamasi. Diet (kecuali individu tertentu), kurangnya kebersihan dan aktivitas seksual

tidak berkontribusi terhadap keparahan acne vulgaris. Keadaan premenstruasi umumnya

dapat memperburuk acne vulgaris. Kosmetik dengan dasar minyak, minyak rambut dan

pelembab juga dapat memicu terjadinya acne vulgaris. Selain itu, kondisi panas dan lembab

yang merangsang pengeluaran keringat juga dapat memperparah acne vulgaris (Kimble et al.,

2009).

2.3 Patofisiologi

Acne vulgaris merupakan penyakit yang terjadi pada unit pilosebaseus yang

mengandung folikel rambut dan kelenjar sebaseus. Ketika terjadi penyumbatan pada unit

pilosebaseus maka terjadilah komedo yang merupakan awal dari lesi acne. Acne terjadi ketika

hormone androgen meningkat (terutama pada masa pubertas) yang menyebabkan peningkatan

ukuran kelenjar sebaseus sehingga produksi sebum menjadi sangat tinggi. Kelebihan sebum

menyebabkan folikel tersumbat yang akhirnya menjadi acne. Selain disebabkan karena

meningkatnya produksi sebum, acne juga disebabkan karena terjadi hiperkeratinisasi dan

meningkatnya peluruhan sel. Akumulasi dari sumbatan sel pada folikel rambut dan sumbatan

pada aliran sebum menyebabkan terjadinya lesi acne yaitu komedo terbuka (blackhead). Pada

saat Propionibacterium acnes (P. acnes) berpoliferasi kemudian bercampur dengan sebum

2

serta keratinosit sehingga menyebabkan terjadinya respon inflamasi dan membentuk komedo

tertutup (whitehead). Lesi jerawat yang lebih parah berupa pustula, papula dan nodula terjadi

disertai peradangan dan pembentukan jaringan parut apabila tidak mendapatkan terapi yang

adekuat (West et al., 2005).

Gambar 1. Patofisiologi acne vulgaris (West et al., 2005)

2.3 Tanda dan Gejala Klinis

Lesi acne vulgaris secara khas terjadi pada wajah, punggung, dada atas, dan area bahu.

Tingkat keparahan acne vulgaris dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat

tergantung dari tipe dan keparahan lesi yang ditimbulkan. Umumnya diagnosis dari acne

vulgaris ditegakkan dengan ditemukannya campuran gejala berupa lesi pada jerawat (seperti

komedo, pustula, papula, dan kist) pada wajah, punggung, atau dada. Meskipun tidak ada

definisi yang tepat untuk acne vulgaris, para ahli sering mendiagnosis penyakit ini dari

keberadaan komedo sebanyak 5 sampai 10.

Lesi yang terlihat dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu lesi meradang dan lesi yang

tidak meradang. Lesi-lesi yang tidak meradang biasa disebut dengan komedo. Komedo

terbuka atau “blackhead” terdiri dari sebum, keratinosit, dan mikroorganisme membentuk

sumbatan hitam dan cokelat pada muara folikel yang melebar (pori). Warna yang terbentuk

merupakan akumulasi melanin. Komedo tertutup atau “whitehead” merupakan sumbatan yang

terjadi pada folikel rambut dibawah perukaan kulit. Komedo tertutup biasanya terlihat sebagai

benjolan kecil berwarna putih dengan diameter sekitar 1-2 mm. Lesi inflamasi terdiri dari

papula, pustula, dan nodula. Papula berbentuk padat dengan diameter kurang dari 0,5 cm.

Pustula merupakan gelembung berisi nanah dengan diameter kurang dari 0,5 cm. Nodula

adalah lesi dengan ukuran 0,5 baik lebar maupun kedalamannya. Kist merupakan nodula yang

berisi materi berupa cairan atau semipadat (West et al., 2005).

3

Tabel 1. Tingkat Keparahan Acne dan Tipe Lesi yang Biasa Terjadi (West et al., 2005).

Keparahan acne

Predominant LesionsFrekuensi Tipe Lesi

Komedo Tertutup

Komedo Terbuka

Papula Pustula NodulaJaringan

Parut

RinganTidak ada peradangan (komedo tertutup atau terbuka)

Beberapa Beberapa Mungkin MungkinTidak ada

Tidak ada

SedangPeradangan papulaa dan postula dengan beberapa lesi tidak meradang

Beberapa Beberapa Banyak Banyak Sedikit Mungkin

BeratPeradangan lesi dan jaringan parut dengan beberapa lesi tidak meradang

Beberapa Beberapa Luas Luas Luas Luas

Berdasarkan teknik menghitung, tingkat keparahan acne dibedakan menjadi 3, sebagai berikut

a. Acne ringan, yang dikarakterisasi dengan adanya predominan komedo (kurang dari

20), atau kurang dari 15 papula, atau total komedo/papula kurang dari 30, tidak

terdapat nodula.

b. Acne sedang, dikarakterisasi dengan adanya komedo (20-100), papula dan pustulae

(sekitar 15-50 lesi).Total lesi (komedo, papula, pustula) terhitung sekitar 30-125.

Nodula kemungkinan ada.

c. Acne berat dikarekterisasikan secara umum dengan kehadiran nodula dan kist. Juga

terdapat komedo >100, papula dan pustula >50 atau total jumlah lesi lebih besar dari

125 (Davis et al., 2006).

Berdasarkan Comprehensive Acne Severity Scalle (CASS), tingkat keparahan acne dibedakan

menjadi 5. CASS grade ini digunakan dalam praktis klinik.

Tabel 2. Comprehensive Acne Severity Scalle (CASS) (CPG, 2012)

Grade Deskripsi

Bersih 0Tidak ada lesi yang terlihat. Sangat jarang komedo dan papula tersebar

Hampir bersih 1Sangat sukar terlihat dari jarak 2,5 m. beberapa komedo tersebar, sedikit papula kecil dan sangat sedikit pustulae

Ringan 2Mudah dikenali; kurang dari setengah area yang terlibat. Banyak komedo, papula, dan pustulae

Sedang 3Lebig dari setenga area terlibat. Banyak komedo, papula, dan pustulae

Berat 4Seluruh area terlibat. Tertutup oleh komedo, banyak pustula dan papula, sedikit nodula dan kist

Sangat berat 5Acne dengan inflamasi tinggi menutupi area dengan kehadiran nodula dan kist

4

Pemeriksaan dilakukan pada jarak 2,5 meter untuk acne pada wajah, dada, dan punggung.

Meskipun para ahli klinis mungkin merasa diagnosis acne vulgaris sangat akurat, sejumlah

kelaianan perlu dipertimbangkan dalam diagnosis berbeda.

2.4 Penatalaksanaan Terapi

2.4.1 Terapi Non-farmakologi

Menggosok kulit dengan scrub abrasif atau mencuci wajah terlalu berlebihan tidak

selalu membuka atau membersihkan pori-pori. Pemasukan folikular lebih dalam dipengaruhi

oleh penggosokan pada epidermal superficial, dimana dapat menyebabkan iritasi kulit.

Pembersihan kulit dengan sabun dan air akan mempengaruhi sebum dan bakteri pada

permukaan kulit dan pengaruhnya sangat kecil terhadap folikel. Pembersihan ini memiliki

peran yang kecil dalam pengobatan acne. Untuk menghindari iritasi dan kekeringan selama

terapi acne disarankan untuk menggunakan agen pembersih yang lembut dan tidak

menyebabkan kulit kering (West et al., 2005).

2.4.2 Terapi Farmakologi

Gambar 2. Algoritme pengobatan acne vulgaris (West et al., 2005)

a. Agen Topikal (First-Line Terapi)

1. Benzoyl peroxide

Peradangan acne superfisial biasanya diobati dengan benzoyl peroxide, suatu agen

antibakteri nonantibiotik yang memiliki aktivitas bakteriostatik sampai bakterisidal terhadap

P.acnes. Pada kulit, BPO akan terurai oleh sistein, membebaskan radikal oksigen bebas yang

akan mengoksidasi protein bakteri. BPO meningkatkan pengelupasan sel epitel,

mengendurkan struktur dari penyumbatan folikel dan juga memiliki aktivitas komedolitik.

Keuntungan menggunakan BPO ini bahwa tidak menyebabkan resisten dari P.acnes. BPO 5

tersedia dalam sabun, lotion, krim, pembersih, dan gel dengan konsentrasi 2,5-10%. Efek

samping yang diberikan yaitu kekeringan, iritasi, dan alergi kontak dermatitis. Untuk

memperkecil resiko iritasi mula penggunaan obat biasanya dengan dosis minimum (2,5%) dan

ditingkatkan (5% hingga 10%) atau peningkatan frekuensi pemakaian (West et al., 2005).

2. Tretinoin

Tretinoin (retinoid, topikal asam vitamin A) adalah agen komedolitik yang dapat

meningkatkan pergantian sel di dinding folikel dan mengurangi kekompakan sel,

menyebabkan ekstruksi komedo dan penghambatan pembentukan komedo baru. Tretinoin

juga dapat mengurangi jumlah lapisan sel dalam stratum korneum dari sekitar 14 sampai 5.

Tretinoin tersedia dalam bentuk solutio 0,05%, gel 0,01% dan 0,025%, serta dalam

bentuk krim 0,025%, 0,05%, dan 0,1%. Efek samping yang dapat terjadi yaitu iritasi kulit,

eritema, pengelupasan, alergi kontak dermatitis (jarang), dan meningkatkan kepekaan

terhadap paparan sinar matahari, angin, dingin, dan penyebab iritasi lainnya (Dipiro, et al.,

2008). Untuk mengatasi jerawat yang ringan terapi yang direkomendasikan adalah krim

0,025% pada kulit sensitif dan tidak berminyak. Untuk jerawat tingkat sedang digunakan gel

0,01% pada kulit yang mudah teritasi dan berminyak, dan gel 0,025% untuk kulit tidak

sensitif dan berminyak (West et al., 2005).

3. Adapalene

Adapalene merupakan retinoid generasi ketiga dengan fungsi sebagai komedolitik,

keratolitik, dan antiinflamasi. Sedaan ini tersedia dalam bentuk gel 0,1%, krim, larutan

alkoholik, pledgets, dan gel 0,3%. Adapalene diindikasikan untuk jerawat kelas ringan dengan

penggunaan yang bersamaan bersama tretinoin 0,025% (West et al., 2005).

4. Tazarotene

Tazarotene (Tazorac) merupakan asetilenik retinoid yang dikonversi menjadi bentuk

aktifnya, asam tazarotenik setelah diaplikasikan secara topikal. Tazarotene memiliki ikatan

selektif terhadap RARs dan dapat merubah ekspresi gen yang berperan dalam proliferasi sel,

diferensasi sel, serta inflamasi. Tarazarotene digunakan pada acne ringan hingga sedang

dengan aktivitas komedolitik, keratolitik, dan antiinflamasi. Produk tersedia di pasaran

dengan konsentrasi 0,05% dan 0,1% baik berupa gel atau krim (West et al., 2005).

5. Eritromisin

Eritromisin topikal 1% hingga 4% dengan atau tanpa zink efektif untuk mengatasi

inflamasi pada acne. Produk yang dikombinasikan dengan zink dapat meningkatkan penetrasi

eritromisin pada unit pilosebaseus. Adanya P. Acnes yang resistan eritromisin dapat diatasi

dengan menggunakan kombinasi bersama BPO. Topikal eritromisin berguna dalam mereduksi

jumlah asam lemak bebas pada sebum. Eritromisin diformulasi dalam bentuk gel, lotion,

6

solituo, dan disposable pad. Biasanya sediaan topikal digunakan dua kali sehari (West et al.,

2005).

6. Klindamisin

Klindamisin topikal dapat menghambat P. acnes dan menghasilkan efek komedolitik

yang sama kuat dengan efek antiinflamasinya. Kombinasi dengan BPO dapat meningkatkan

efikasinya. Meskipun jarang, namun diare dan pseudomembrabnous colitis dapat terjadi

karena penggunaan obat ini (West et al., 2005).

7. Azelaic Acid

Azelaic acid memiliki aktivitas antibakteri, antiinflamasi dan komedolitik yang

digunakan pada keadaan acne ringan hingga sedang yang tidak toleransi terhadap BPO.

Azelaic acid tersedia dalam sediaan krim 20% yang diaplikasikan dua kali sehari (West et al.,

2005).

b. Agen Topikal ( Second-Line Terapi)

1. Isotretinoin

Isotretinoin tidak secara signifikan mempengaruhi sekresi sebum bila digunakan

secara topikal. Keefektifan isotretinoid hampir sama dengan semua sediaan topikal retinoid

namun dapat menyebabkan iritasi kulit ringan (West et al., 2005).

2. Keratolitik Agen

Asam salisilat, sulfur, dan resorsinol selain sebagai agen keratolitik juga mempunyai

aktivitas antibakteri yang rendah. Produk keratolitik pada konsentrasi yang diperbolehkan

memiliki potensi iritasi kulit yang lebih rendah daripada BPO dan tretinoin. Agen keratolitik

memiliki beberapa kerugian diantaranya timbul bau yang dihasilkan oleh hidrogen sulfida

pada reaksi sulfur dengan kulit, timbul kecoklatan karena penggunaan resorsinol, dan

terjadinya salicylism karena penggunaan asam salisilat yang berulang dan terlalu lebar pada

kulit yang terlalu permeabel (keadaan inflamasi atau luka) (West et al., 2005).

3. Chemical Peeling

Chemical peeling dapat digunakan pada pasien acne untuk mereduksi adanya bekas

luka superfisial dan hiperpigmentasi. Substansi yang tersedia untuk chemical peeling

diantaranya yaitu : asam α-hidroksi (asam glikolik), asam salisilat, and asam trikloroasetik.

Asam salisilat merupakan bahan larut lemak dan dapat menembus folikel sebum lebih cepat

daripada asam α-hidroksi yang larut air (West et al., 2005).

4. Dapson

Dapson topikal memiliki aktivitas antibakteri dan antiinflamasi. Dapson topikal gel

0,5% direkomendasikan oleh FDA sebagai treatment pada pasien acne diatas 12 tahun (West

et al., 2005)

7

c. Agen Sistemik (First-Line therapy-severe nodulaar/ conglobata)

1. Isotretinoin

Sebagai retinoid oral, isotretinoin merupakan agen sebosupresive paling efektif yang

mempengaruhi seluruh faktor etiologi yang mempengaruhi inflamasi pada acne, termasuk

menginduksi terjadinya atropi kelenjar sebaseus dengan penurunan produksi sebum dan

perubahan komposisi dari sebum, menginhibisi pertumbuhan P. acnes dalam folikel,

menginhibisi inflamasi, dan mengubah susunan kerantinasi dalam folikel (memperkecil

ukuran dan meningkatkan diferensiasi). Oleh karena itu isotretinoin merupakan pengobatan

pilihan pada acne nodulaositik parah, pasien dengan acne scarring, pasien dengan acne

kronik, dan pada pasien acne yang mengalami gangguan psikologi yang parah. Terdapat

beberapa efek samping akibat penggunaan isotretinoin secara oral tergantung jumlah,

frekuensi dan dosis yang digunakan. Dosis isotretinoin yang dianjurkan yaitu pada rentang 0,5

higga 1 mg/kg per hari dalam 2 dosis terbagi (West et al., 2005).

d. Systemic Agent (First-Line Therapy-Moderate Papulaar Pustulaar/Nodulaar)

1. Antibiotik Makrolida

Antibiotik makrolida (eritromisin, azitromisin, dan klindamisin) menunjukkan efek

antiinflamasi pada pasien acne. Eritromisin dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan

antibiotik sistemik tetapi tidak dapat mentoleransi tetrasiklin, atau pada pasien dengan bakteri

yang resisten terhadap antibiotik tetrasiklin. Dosis lazim yang digunakan 1 g/hari dengan

makanan untuk meminimalkan intoleransi gastrointestinal. Kombinasi dengan zink dapat

meningkatkan penetrasi eritromisin menuju unit pilosebaseus. Kombinasi dengan BPO dapat

mengurasi resiko resisten terhadap P. acnes. Azitromisin yang merupakan turunan dari

eritromisin aman untuk digunakan dan efektif untuk pengobatan pasien dengan acne inflamasi

yang sedang hingga parah. Dengan waktu paruhnya yang mencapai 68 jam, obat ini dapat

digunakan tiga kali dalam seminggu. Walaupun klindamisin efektif dalam pengobatan acne,

namun obat ini jarang digunakan pada pengobatan dalam jangka waktu yang panjang karena

dapat menyebabkan colitis pseudomembraous (West et al., 2005).

2. Tetrasiklin

Tetrasiklin efektif dalam mereduksi P. acne. Dengan adanya efek antibakteri,

antibiotik ini dapat mengurangi jumlah keratin dalam folikel sebaseus dan dengan aktivitas

antiinflamasi dapat menghambat kemotaksis, fagositosis, dan aktivasi komplemen. Selain itu

tetrasiklin juga memiliki afinitas pada sel inflamasi dan sel bakteri, menghasilkan konsentrasi

obat yang lebih tinggi pada daerah yang mengalami inflamasi (West et al., 2005).

8

Penggunaan tetrasiklin dapat menyebabkan efek samping pada saluran

gastrointestinal, hepatotoksik, kecenderungan terjadinya superinfeksi (vaginal candidiasis).

Tetrasiklin tidak boleh digunakan pada anak-anak usia < 10 tahun atau pada wanita hamil

karena dapat menyebabkan perubahan warna gigi (anak-anak) dan terhambatnya pertumbuhan

kerangka pada fetus dan anak. Dapat terjadi interaksi obat antara tetrasiklin dengan makanan

yang mengandung susu. Penggunaan umum tetrasiklin yaitu 1 gr perhari (500 mg dua kali

sehari), diberikan satu jam sebelum makan, setelah 1 atau 2 bulan saat telah terlihat

perbaikaan lesi inflamasi maka dosis dapat diturunkan menjadi 500 mg perhari selama 1

hingga 2 bulan selanjutnya (West et al., 2005).

Doxysiklin biasa digunakan dalam treatment acne sedang hingga parah. Obat ini lebih

efektif bila dibandingkan dengan tetrasiklin dan memiliki resiko resisten yang lebih rendah.

Dosis lazim yang digunakan 100 atau 200 mg perhari dan setelah terjadi peningkatan kondisi

dapat diberikan dosis maintenance sebesar 50 mg/hari, dapat diberikan bersamaan dengan

makanan meskipun lebih efektif bila diberikan 30 menit sebelum makan (West et al., 2005).

e. Systemic Agents: Second-Line Therapy

1. Kotrimoksazol (trimetoprim-sulfametoksazole)

Kotrimoksazole (trimetoprim-sulfametoksazole) atau trimetoprim tunggal digunakan

pada pasien yang tidak toleran terhadap eritromisin dan tetrasiklin atau pada kasus bila terjadi

resistensi pada kedua antibiotik tersebut. Dosis lazim yang biasa digunakan yaitu 800 mg

sulfametoxazole dan 160 mg trimetoprim dua kali sehari (West et al., 2005).

2. Terapi Hormonal

Terapi hormonal digunakan untuk mengobati acne pada wanita dengan kadar serum

androgen yang normal atau meningkat. Terapi ini juga dibutuhkan pada wanita dengan

seborrhea parah, terjadinya androgenic alopecia, seborrhea/acne/hirsutism/alopecia

syndrome, dan pada kondisi ovarian atau adrenal hiperandrogenism. Terapi hormonal

dikontraindikasikan pada wanita yang menginginkan kehamilan karena resiko terjadinya

malformasi organ seksual pada perkembangan fetus. Baik cyproterone dan spironolakton

harus digunakan untuk mengobati acne pada wanita karena dapat menyebabkan sifat

feminisasi pada lelaki.

Agen sistemik lainnya yaitu cyproterone acetat, chlormadinone acetat, spironolakton,

drospirenone, flutamide, sstrogen, kontrasepsi oral, agonis gonadotropin releasing hormon,

kortikosteroid dan dapson (West et al, 2005).

9

BAB III

STUDI KASUS DAN ANALISIS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama Pasien : AV

Ruang :

Umur : 15 tahun

Tanggal MRS :

Tanggal KRS :

Diagnosa : Jerawat

II. SUBYEKTIF

Keluhan Utama : Wajah dan punggung berjerawat

Keluhan

Tambahan

: -

III. OBYEKTIF

Riwayat penyakit terdahulu : -

Riwayat pengobatan : -

IV. ASSESMENT

4.1 Terapi Pasien

Benzolac

R/ Erymed 2%

AZA 20 cr

m.f.l.a. cream

s.u.e day cream

R/ Klindamisin 300 mg No XX

S 4.d.d.1 caps

10

4.2 Problem medik dan DRP pasien

PROBLEM MEDIK

SUBYEKTIF DAN OBYEKTIF

TERAPI DRP

Jerawat yang tidak sembuh

S : wajah dan punggung berjerawatO : jerawat (kombinasi komedonal dan inflamasi) berat

Benzolac dan pembersih wajah

Tidak tepat indikasi

(Sweetman, 2009).Benzolac

kontraindikasi dengan Pembersih wajah yang mengandung alcohol, sulfur, asam salisilat (BPOM, 2008).

Erymed 2% (Eritromisin 2%)AZA 20 (azelaic acid 20%)Klindamisin 300 mg No XXS 4.d.d.1 caps

Pemilihan obat untuk pasien kurang tepat (Sweetman, 2009).

Klindamisin yang frekuensi penggunaan tidak tepat.

Antibiotik oral dan topikal tidak boleh digunakan bersama (Sweetman, 2009).

4.3 Pertimbangan pengatasan DRP

1. Menghentikan penggunaan benzolac dan menggantinya dengan obat acne katagori

sedang atau berat.

2. Perlu menghentikan produk pembersih wajah yang mengandung alkohol, asam

salisilat dan sulfur.

3. Perlu konsultasi dengan dokter mengenai penggantian obat yaitu ® Erymed dengan

retinoid topikal yang akan diberikan kepada pasien.

4. Perlu konsultasi dengan dokter mengenai frekuensi penggunaan obat yang akan

diberikan kepada pasien yaitu klindamisin.

5. Perlu konsultasi kepada dokter untuk menggunakan satu jenis antibiotik (oral atau

topikal) yaitu eritromisin atau klindamisin.

11

V. PLAN

5.1 Care plan

Pasien direkomendasikan untuk menghentikan pemakaian Benzolac dan pembersih

wajah serta melakukan terapi non-farmakologi dan farmakologi setelah apoteker berkonsultasi

dengan dokter.

5.2 Implementasi care plan

1. Rekomendasikan untuk menghentikan penggunaan benzolac (benzoil peroksida 2,5%-

5%) karena kurang tepat sehingga penggunaan benzoil peroksida harus dihentikan dan

diganti dengan obat acne yang termasuk dalam katagori sedang hingga berat.

2. Perlu konsultasi dengan dokter mengenai penggantian obat yaitu ®Erymed 2%

menjadi topikal retinoid sesuai dengan alogaritme penyakit.

3. KIE :

1. Komunikasikan kepada pasien bahwa antibiotik oral yaitu klindamisin dikonsumsi

maksimal 8-12 minggu. Jika terjadi diare maka penggunaan klindamisisn harus

dihentikan. Jika selama 6-8 minggu antibiotik yang digunakan tidak memberikan

efek terapi disarankan untuk pergi ke dokter untuk terapi lebih lanjut. Selama

pengobatan, antibiotik yang diberikan harus diminum hingga habis.

Menginformasikan pada pasien agar meminum antibiotik ini sebelum makan.

2. Komunikasikan kepada pasien untuk menggunakan ®AZA setiap dua kali sehari

pada pagi dan sore hari. Penggunaan ®AZA pada pagi hari harus disertai dengan

penggunaan sunscreen agar tidak menimbulkan noda pada wajah. Untuk

penggunaan topikal retinoid hanya digunakan pada malam hari saja dengan

mengoleskan tipis-tipis pada acne setelah kulit dikeringkan selama 30 menit untuk

mencegah terjadinya iritasi. Jika antibiotik sudah habis maka lanjutkan pengobatan

dengan menggunakan retinoid topikal untuk pemeliharaan acne.

3. Jika acne tidak sembuh maka disarankan untuk pergi ke dokter.

4. Menghentikan penggunaan pembersih wajah yang mengandung alkohol, asam

salisilat dan sulfur karena dapat menyebabkan kulit kering dan iritasi.

5. Perlu dilakukan terapi non-farmakologi yaitu dengan membersihkan wajah dengan

air dan sabun serta gunakan pembersih wajah yang lembut, tidak membuat kulit

kering, tidak mengandung sulfur, asam salisilat dan alkohol

12

5.3 Monitoring

Efektivitas Terapi

1. Kondisi klinik : Monitoring efektivitas terapi dapat dilakukan dengan melihat

kondisi jerawat sudah membaik atau tidak.

2. Tanda-tanda vital : -

3. Laboratorium : -

Efek samping

1. Kondisi klinik : terjadinya iritasi kulit.

2. Tanda – tanda vital : untuk klindamisin tekanan darah, diare,

3. Laboratorium : untuk klindamisin perlu dilakukan tes fungsi ginjal (klirens ginjal)

VI. PEMBAHASAN

Pasien AV yang berumur 15 tahun menderita jerawat (kombinasi komedonal dan

inflamasi) dan diresepkan obat ®Erymed 2% yang mengandung Eritromisin 2%, ®AZA 20

yang mengandung Azelaic acid 20%, dan klindamisin 4 x 300 mg sehari. Sebelumnya pasien

menggunakan benzolac yang mengandung benzoil peroksida 2,5-5% dan pembersih wajah

untuk kulit berjerawat. Dalam kasus ini penggunaan ®Benzolac tidak memberikan efek

terhadap jerawat yang diderita sehingga diperlukan jenis terapi acne lainnya yang disesuaikan

dengan diagnosa dokter yaitu jerawat (kombinasi komedonal dan inflamasi). Hal ini mungkin

karena karena penggunaan benzolac bersamaan dengan pembersih wajah (mengandung

alcohol, sulfur atau asam salisilat) yang digunakan oleh pasien sehingga kulit pasien

mengalami iritasi dan penggunaan pembersih wajah ini harus dihentikan.

Berdasarkan diagnose dokter, pasien AV dengan kondisi jerawat pasien digolongkan

ke dalam jerawat yang parah. Tatalaksana terapi untuk jerawat yang parah adalah dengan

menggunakan isotretinoin oral, dengan alternatif terapi berupa antibiotik oral dikombinasi

dengan retinoid topikal serta BPO, selain itu untuk wanita terdapat alternatif antiandrogen oral

ditambah retinoid topikal serta antimikrobakterial, sedangkan alternatif terakhir adalah

dengan mengunakan retinoid topikal tunggal atau dikombinasi dengan BPO.

Pasien telah menggunakan obat yang kandunnya berupa BPO tetapi tidak mengalami

perbaikan terhadap jerawatnya. Obat lain yang dapat digunakan apabila BPO tidak efektif

adalah dengan azelaic acid. Dokter memberi terapi berupa antibiotik oral yaitu klindamisin,

serta sediaan topikal berupa kombinasi ®Erymed 2 % (Eritromisin) dan ®AZA (azelaic acid)

hal ini tidak sesuai dengan logaritme tatalaksana terapi pada literatur. Berdasarkan literatur

13

(Dipiro et al, 2005; Sweetman, 2009; Lacy et al, 2006) Erymed yang bahan aktifnya berupa

eritromisin merupakan pilihan terapi untuk jerawat tingkat ringan dan sedang. Namun, pada

kasus ini Eritromisin kurang efektif digunakan secara topikal dan dapat memberikan efek

yang antagonis jika diberikan bersama klindamisin serta penggunaan antibiotik oral dan

topikal tidak boleh digunakan secara bersamaan. Penggunaan klindamisin dalam resep inipun

perlu dikonsulasikan lagi dengan dokter. Dokter meresepkan klindamisin 300 mg 4 kali sehari

sedangkan pada literatur dosis klindamisin yang perbolehkan untuk pengobatan acne berkisar

150-450 mg setiap 6-8 jam (Lacy et al., 2006).

®AZA 20 yang mengandung azelaic acid memiliki potensi yang lebih kecil

dibandingkan BPO sehingga perlu dikombinasi dengan antibiotik agar dapat meningkatkan

efek antiinflamasi dan antimikroba. Berdasarkan logaritme terapi acne vulgaris untuk

mengatasi acne klasifikasi berat adalah isotretinoin oral. Namun, isotretinoin oral tidak

dianjurkan untuk pasien dengan usia subur, kecuali jika disertai dengan kontrasepsi yang

efektif dan hanya dapat digunakan bila mendapat instruksi dari dokter kulit. Wanita yang

menggunakan isotretinoin oral harus dilindungi dengan program pencegah kehamilan. Oleh

karena itu dipilih obat alternatif lain yaitu retinoid topikal, azelaic acid dan klindamisin oral.

Dalam hal ini apoteker harus mengkonsultasikan penggantian eritromisin topikal dengan

retinoid topikal kepada dokter. Selain faktor kombinasi antibiotik, penggantian eritromisin

dengan retinoid topikal dilakukan berdasarkan tingkat keparahan jerawat.

14

BAB IV

KESIMPULAN

1. Acne yang diderita pasien tergolong dalam katagori acne berat.

2. Jenis obat yang digunakan untuk pengobatan acne berat adalah dengan menggunakan

isotretinoin oral, dengan alternatif terapi berupa antibiotik oral dikombinasi dengan

retinoid topikal serta BPO, selain itu untuk wanita terdapat alternatif antiandrogen oral

ditambah retinoid topikal serta antimikrobakterial, sedangkan untuk pemeliharaan adalah

dengan mengunakan retinoid topikal tunggal atau dikombinasi dengan BPO

3. Terdapat penggunaan obat yang tidak sesuai yaitu kombinasi antara dua jenis antibiotik

secara topikal dan oral.

4. Perlu dilakukan konsultasi obat kepada dokter sebelum pemberiaan obat kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Batubara, Irmanida, Tohru Mitsunaga and Hideo Ohashi. 2009. Screening antiacne potency of

Indonesian medicinal plants: antibacterial, lipase inhibition, and antioxidant

activities. Journal of Wood Science, Vol. 55, No. 3. 230-235.

CPG. 2012. Management of Acne. (serial online). (Cited: 2012 Sept, 22). Available from :

www.acadmed.org.my.

Davis et al. 2006. Health Care Guideline : Acne Management. (serial online). (Cited : 2012

Sept, 22). Available from : www.icsi.org.

Greene, R.J. and N.D.Harris. 2008. Pathology and Therapeutics for Pharmacists A basis for

clinical pharmacy practice Third Edition. London: Pharmaceutical Press.

Kimble et al. 2009. Acne, dalam Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs 9th Edition.

Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, hal. 391-412.

Lacy,C.F., L.L. Armstrong, M.P. Goldman and L.L.Lance. 2006. Drug Information

Handbook AComprehensive Resource for All Clinicians and Healthcare Professionals

14 Edition. United State : Lexi-Comp.

Sweetman, S.C., 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth edition.

London: Pharmaceutical Press.

West, D.P., West, L.E., Musumeci, M. L. and Micali, G. 2005. Acne Vulgaris. In : DiPiro,

J.T., Talbert, R. I., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B. G. and Posey, I. M. editors.

15

Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. Sixth Edition. New York: McGraw-

Hill

Lampiran Data Obat yang Digunakan

1. Klindamisin

Katagori farmakologi : antibiotik

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap klindamisin dan komponen dalam

sediaan, kolitis pseudomembran, kolitis ulseratif, enteritis

regional.

Interaksi obat :

- Konsentrasi puncak mungkin tertunda dengan adanya

makanan.

- Pemberian bersamaan dengan tubocurarine dan

pancuronium dapat meningkatkan efek dari klindamisin

yaitu dengan meningkatkan durasi blokade neuromuskuler

Mekanisme : menghambat sintesis protein dengan mencegah terbentuknya

ikatan peptida melalui ikatan reversible pada subunit ribosom

50s.

ADR : Sistemik:>10% Gastrointestinal : Diare, nyeri abdomen; 1-

10% : Cardiovaskular : Hipotensi; Dermatologis : Urtikaria,

ruam, sindrom Steven Johnson; Local: tromboplebitis, abses

pada daerah injeksi IM; Lain-lain: pertumbuhan yang cepat

dari jamur, hipersensitivitas, Granulositopeni, neutropeni,

poliartritis, disfungsi ginjal, trombositopenia.

(Lacy et al, 2006)

Dosis : 1-2 x 150 mg sehari (Davis et al, 2006)

2. Eritromisin

Katagori farmakologi : antibiotik

Kontraindikasi : hipersensetif terhadap eritromisin dan komponen dalam

sediaan, penyakit hati, penggunaan bersama derivate ergot,

pimozide, cisaprid.

Interaksi obat :

16

- Penggunaan eritromisin dapat meningkatkan keganasan

aritmia jika digunakan bersama cisaprid, gatifloksasin,

moksifloksasin, pimosid, sparfloksasin, tloridasin.

Penggunaan alkaloid ergot bersamaan dengan eritromisin

dikontraindikasikan. Eritromisin merupakan inhibitor

CYP3A4 sedang dan dapat meningkatkan efek dari

benzodiasepin, Calcium Chanal Blocker, siklosporin,

mirtazapin,nateglinid, nefazodon, quinidin, slidenafil,

takrolimus, ventafasin dan substrat CYP3A4 lainnya. Efek

eritromisin meningkat jika dikombinasi dengan agen

antijamur golongan Azole, klaritromisin, diklofenak,

imatinib, isoniasid, nefazodon, nicardipin, propofol,

protease inhibitor, quinidin, telitromisin, verapamil, dan

penghambat CYP3A4 lainnya.

- Eritromisin dapat menurunkan kadar serum dari zafirlukas.

Eritromisin dapat berefek berlawanan dengan klindamisin

dan linkomisin. Kadar/ efek dari eritromisin dapat

diturunkan oleh aminoglutetimimid, karbamasepin,

mafsilin,, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamsin, dan

penginduksi CYP3A4 lainnya.

- Alcohol : alcohol dapat menurunkan absorpsi dari

eritromisin atau meningkatkan efek alcohol.

- Makanan : absorpsi obat (eritromisin) dapat ditingkatkan

dengan adanya makanan, tingkat serum eritromisin dapat

diubah jika dikonsumsi bersama makanan.

Mekanisme : menghambat jalur sintesis protein yang tergantung RNA pada

tahap elongasi; berikatan dengan subunit ribosom 50s

sehingga transpeptidasi terhalangi

ADR : Sistemik: Kardivaskular : aritmia ventrikel, takikardi

ventrikel; CNS : Sakit kepala (8%), nyeri (2%), demam;

Dermatitis : Rash (3%), pruritus (1%); Gastrointestinal: Nyeri

abdominal (8%), keram, mual (8%), diare (7%), muntah

(3%), pancreatitis; Hemologi : Eusinofilia (1%); Hepatik:

meningkatkan tes fungsi hati, jaundice kolestatik; Respiratori:

17

Dispepsia (1%), batuk (3%); Lain-lain: Reaksi

hipersensitivitas, reaksi alergi.

: Topikal: 1%-10% Dermatologis: eritema, pruritus,

kekeringan.

Dosis : Anak >12 tahun : 250-1500 mg/hari dalam 2 dosis terbagi,

terapi dapat dilanjutkan selama 4-6 minggu dengan dosis

yang lebih rendah.

(Lacy et al, 2006)

3. Azeleic Acid

Katagori farmakologi : acne

Mekanisme : menghambat pertumbuhan Propionibacterium spp. dan

mengurangi keratinisas (Sweetman, 2009)

ADR : rasa terbakar, tersengat, pruritus, kekeringan dan scaling

(Sweetman, 2009)

Dosis (topikal) Anak : >12 tahun dan dewasa : cream 20%. setelah kulit dicuci dan

kering,oleskan secara tipis dan pijat lembut ke daerah yang

sakit. Dilakukan dua kali sehari pagi dan sore. Durasi

penggunaan dapat bervariasi dan tergantung pada tingkat

keparahan jerawat tersebut. Sebagian besar pasien dengan

lesi inflamasi, perbaikan kondisi terjadi dalam 4 minggu

(Lacy et al, 2006)

4. Tretinoin

Katagori farmakologi : Derivat asam retinoid

Kontraindikasi : hipersensitif terhadap tretinoin dan berbagai komponen

dalam sediaan, kulit terbakar.

Interaksi obat :

- Pengunaan bersama sulfur, benzoil peroksida, asam

salisilat, resorsinol atau produk dengan efek pengering

yang kuat berpotensi menimbulkan efek samping apabila

digunakan bersama retinoid.

Mekanisme : menurunkan tingkat keratinisasi pada folikel sebaseus.

Menghambat pembentukkan mikrokomedo dan

menghilangkan lesi acne yang terjadi.

ADR : >10% secara dermatologi : kulit kering, eritema, pruritus.

18

: 1-10% secara dermatologi : hiperpigmentasi atau

hipopigmentasi kulit, fotosensitif.

Dosis (oral) : Anak > 12 tahun: mulai terapi dengan formulasi dengan

konsentrasi terkecil (cream 0,025%, gel mikrosphare 0,04%,

atau gel 0,01%) dan tingkatkan konsentrasi bila tidak terjadi

perbaikan. Gunakan sekali sehari pada lesi acne sebelum

tidur. Apabila gatal atau iritasi kurangi frekuensi pemakaian.

(Lacy et al, 2006)

5. Adapalene

Katagori farmakologi : untuk acne

Kontraindikasi : hipersensitivitas terhadap benzoil peroksida atau komponen

dalam sediaan

Interaksi obat : -.

Mekanisme : memodulasi diferensiasi sel, keratinisasi, dan proses

inflamasi.

ADR : > 10% : dermatologis : eritema, kekeringan, pruritus, rasa

terbakar setelah penggunaan

Dosis (oral) : Topikal : anak > 12 tahun dan dewasa : 1 kali sehari pada

waktu tidur, hasil terapi akan diperoleh setelah 8-12 minggu

treatmen.

(Lacy et al, 2006)

6. Isotretinoin

Katagori farmakologi : Derivat asam retinoid

Kontraindikasi : hipersensitif terhadap isotretinoin dan berbagai komponen

dalam sediaan, sensitive terhadap paraben, vitamin A, atau

retinoid lainnya, kehamilan

ADR : Kardiovaskular : palpitasi, takikardi, penyakit trombotik

vascular, strok, nyeri dada. CNS: Edema, lelah, sakit kepala,

insomnia, strok, depresi, emosi tidak stabil. Dermatologis:

reaksi alergi pada kulit, mulut kering, kulit kering, hidung

kering, hiperpigmentasi, hipopigmentasi, pruritus, rash,

eksim, urtikaria. Endokrin & Metabolik: trigliserida

ditingkatkan, glukosa darah meningkat, HDL ditingkatkan,

kolesterol ditingkatkan. Gastrointestinal : penurunan berat

badan, inflammatory bowel disease, pancreatitis, perdarahan

19

dan inflamasi pada gusi, colitis. Hematologis: anemia,

trombositopenia, neutropenia, agranulositosis. Hepatic:

hepatitis. Renal: vanskulitis, glomerulonefritis. Respiratori:

bronkospasme, infeksi pernapasan.

Interaksi obat :

- Toksisitas ditingkatkan :jika dikombinasi dengan

kortikosteroid dapat menyebabkan osteoporosis, dengan

phenitoin dapat menyebabkan osteomalasea, dilaporkan

terjadi tumor serebral jika dikombinasi dengan tetrasiklin.

Dapat menurunkan kleren karbamazepin. Derivate asam

retinoik dapat mengurangi efek terapi dari kontrasepsi oral.

- Alkohol : dibatasi atau dikurangi ( meningkatkan kadar

trigliserida jika konsumsi alcohol berlebihan).

- Makanan : bioavailabilitas isotretionin ditingkatkan jika

dibaerikan bersama makanan dan susu.

Mekanisme : mengurangi ukuran kelenjar sebaseus dan mengurangi

produksi sebum, regulasi proliferasi dan diferensiasi sel

(Lacy et al, 2006)

Dosis (topikal) : gel 0,05%, dioleskan tipis 1-2 kali sehari (BPOM, 2008).

7. Benzoil peroksida

Katagori farmakologi : keratolitik

Kontraindikasi : hipersensitivitas terhadap benzoil peroksida dan komponen

lain dalam sediaan.

ADR : iritasi kulit, kulit kering, mengelupas, ruam dan edema

topikal.

Dosis : anak-anak : 2,5%

Dewasa : ≤10% (Sweetman, 2009)

20

21