farter acne vulgaris
DESCRIPTION
definisi, etiologi, klasifikasi jerawatTRANSCRIPT
BAB I
LATAR BELAKANG
Acne vulgaris merupakan gangguan inflamasi kronis pada unit pilosebasea yang
ditandai dengan adanya mikrokomedo. Acne vulgaris atau yang biasa disebut jerawat
merupakan gangguan kulit yang paling umum di Amerika Serikat yang terjadi pada 40 sampai
50 juta orang baik pada laki-laki maupun perempuan. Umumnya penyakit ini menyerang
sekitar 80% dari populasi berusia 12 sampai 25 tahun. Acne vulgaris merupakan penyakit
yang disebabkan oleh banyak faktor. Secara umum penyebabnya adalah produksi sebum yang
berlebih, hiperkeratinisasi folikel rambut, stres oksidatif, dan pelepasan mediator inflamasi.
Acne vulgaris sering terjadi pada usia remaja, meskipun demikian, acne vulgaris dapat
bertahan bertahun-tahun hingga usia dewasa. Jerawat dapat menyebabkan masalah psikologis
pada penderitanya (West et al., 2005; Batubara, Mitsunaga, and Ohashi, 2009).
Acne vulgaris juga dapat disebabkan oleh bakteri. Propionibacterium acnes, bakteri
gram positif anaerob yang normalnya hidup pada kulit berperan penting pada fase inflamasi
jerawat. Propionibacterium acnes mensekresi beberapa produk yang membantu
perkembangan inflamasi, antara lain lipase, protease, hyaluronidase, dan faktor kemotaksis.
Lipase memecah trigliserida pada sebasea membentuk asam lemak bebas yang akan
menginduksi inlamasi berat (Batubara, Mitsunaga, and Ohashi, 2009).
Tujuan terapi acne vulgaris untuk mencegah pembentukan lesi baru, menyembuhkan
lesi yang sudah ada dan meminimalisir luka. Selain itu, tujuan terapi acne vulgaris adalah
untuk meringankan nyeri dan ketidaknyamanan serta mencegah terbentuknya luka dan
jaringan parut. Secara psikologis, acne vulgaris memberi dampak stres, frustasi, malu dan
bahkan depresi pada penderitanya. Oleh karena itu terapi farmakologi dan edukasi pasien
secara fisik dan psikis sangat diperlukan (Goeser, 2008).
Pemilihan terapi pada pasien pengidap acne vulgaris berbeda-beda bergantung pada
kondisi yang dialami pasien. Hal ini menyebabkan pentingnya mengetahui etiologi,
patofisiologi, serta gejala klinis yang dialami oleh pasien sehingga dapat dilakukan terapi
yang efektif dan efisien sesuai dengan kondisi pasien dan dapat diperoleh hasil pengobatan
yang optimal.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jerawat
Acne vulgaris merupakan sebuah gangguan yang umumnya terjadi karena inflamasi
kronis dari bagian pilosebaceus yang umumnya diawali dengan terbentuknya mikrokomedo.
Lokalisasi dari acne vulgaris berada pada daerah wajah, terutama pada remaja yang berimbas
signifikan pada keadaan diri remaja tersebut. Meskipun bersifat merupakan self-limiting,
tetapi acne vulgaris dapat bertahan selama bertahun-tahun dan dapat mengakibatkan luka
pada kulit dan pembentukan jaringan parut. Acne vulgaris dapat dihubungkan dengan
kecemtasan, depresi, dan kondisi psikologis lainnya. Secara klinis tidak mudah meneliti acne
vulgaris sebagai dampak kondisi emosional. Praktisi kesehatan perlu memberikan edukasi
kepada pasien mengenai penyebab dan pengobatan acne vulgaris (West et al., 2005).
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Perkembangan acne vulgaris berhubungan dengan peningkatan produksi sebum,
keratinisasi yang abnormal dalam kanal pilosebaseous (hiperkornifikasi), kolonisasi bakterial,
dan inflamasi. Diet (kecuali individu tertentu), kurangnya kebersihan dan aktivitas seksual
tidak berkontribusi terhadap keparahan acne vulgaris. Keadaan premenstruasi umumnya
dapat memperburuk acne vulgaris. Kosmetik dengan dasar minyak, minyak rambut dan
pelembab juga dapat memicu terjadinya acne vulgaris. Selain itu, kondisi panas dan lembab
yang merangsang pengeluaran keringat juga dapat memperparah acne vulgaris (Kimble et al.,
2009).
2.3 Patofisiologi
Acne vulgaris merupakan penyakit yang terjadi pada unit pilosebaseus yang
mengandung folikel rambut dan kelenjar sebaseus. Ketika terjadi penyumbatan pada unit
pilosebaseus maka terjadilah komedo yang merupakan awal dari lesi acne. Acne terjadi ketika
hormone androgen meningkat (terutama pada masa pubertas) yang menyebabkan peningkatan
ukuran kelenjar sebaseus sehingga produksi sebum menjadi sangat tinggi. Kelebihan sebum
menyebabkan folikel tersumbat yang akhirnya menjadi acne. Selain disebabkan karena
meningkatnya produksi sebum, acne juga disebabkan karena terjadi hiperkeratinisasi dan
meningkatnya peluruhan sel. Akumulasi dari sumbatan sel pada folikel rambut dan sumbatan
pada aliran sebum menyebabkan terjadinya lesi acne yaitu komedo terbuka (blackhead). Pada
saat Propionibacterium acnes (P. acnes) berpoliferasi kemudian bercampur dengan sebum
2
serta keratinosit sehingga menyebabkan terjadinya respon inflamasi dan membentuk komedo
tertutup (whitehead). Lesi jerawat yang lebih parah berupa pustula, papula dan nodula terjadi
disertai peradangan dan pembentukan jaringan parut apabila tidak mendapatkan terapi yang
adekuat (West et al., 2005).
Gambar 1. Patofisiologi acne vulgaris (West et al., 2005)
2.3 Tanda dan Gejala Klinis
Lesi acne vulgaris secara khas terjadi pada wajah, punggung, dada atas, dan area bahu.
Tingkat keparahan acne vulgaris dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat
tergantung dari tipe dan keparahan lesi yang ditimbulkan. Umumnya diagnosis dari acne
vulgaris ditegakkan dengan ditemukannya campuran gejala berupa lesi pada jerawat (seperti
komedo, pustula, papula, dan kist) pada wajah, punggung, atau dada. Meskipun tidak ada
definisi yang tepat untuk acne vulgaris, para ahli sering mendiagnosis penyakit ini dari
keberadaan komedo sebanyak 5 sampai 10.
Lesi yang terlihat dapat digolongkan menjadi 2 jenis yaitu lesi meradang dan lesi yang
tidak meradang. Lesi-lesi yang tidak meradang biasa disebut dengan komedo. Komedo
terbuka atau “blackhead” terdiri dari sebum, keratinosit, dan mikroorganisme membentuk
sumbatan hitam dan cokelat pada muara folikel yang melebar (pori). Warna yang terbentuk
merupakan akumulasi melanin. Komedo tertutup atau “whitehead” merupakan sumbatan yang
terjadi pada folikel rambut dibawah perukaan kulit. Komedo tertutup biasanya terlihat sebagai
benjolan kecil berwarna putih dengan diameter sekitar 1-2 mm. Lesi inflamasi terdiri dari
papula, pustula, dan nodula. Papula berbentuk padat dengan diameter kurang dari 0,5 cm.
Pustula merupakan gelembung berisi nanah dengan diameter kurang dari 0,5 cm. Nodula
adalah lesi dengan ukuran 0,5 baik lebar maupun kedalamannya. Kist merupakan nodula yang
berisi materi berupa cairan atau semipadat (West et al., 2005).
3
Tabel 1. Tingkat Keparahan Acne dan Tipe Lesi yang Biasa Terjadi (West et al., 2005).
Keparahan acne
Predominant LesionsFrekuensi Tipe Lesi
Komedo Tertutup
Komedo Terbuka
Papula Pustula NodulaJaringan
Parut
RinganTidak ada peradangan (komedo tertutup atau terbuka)
Beberapa Beberapa Mungkin MungkinTidak ada
Tidak ada
SedangPeradangan papulaa dan postula dengan beberapa lesi tidak meradang
Beberapa Beberapa Banyak Banyak Sedikit Mungkin
BeratPeradangan lesi dan jaringan parut dengan beberapa lesi tidak meradang
Beberapa Beberapa Luas Luas Luas Luas
Berdasarkan teknik menghitung, tingkat keparahan acne dibedakan menjadi 3, sebagai berikut
a. Acne ringan, yang dikarakterisasi dengan adanya predominan komedo (kurang dari
20), atau kurang dari 15 papula, atau total komedo/papula kurang dari 30, tidak
terdapat nodula.
b. Acne sedang, dikarakterisasi dengan adanya komedo (20-100), papula dan pustulae
(sekitar 15-50 lesi).Total lesi (komedo, papula, pustula) terhitung sekitar 30-125.
Nodula kemungkinan ada.
c. Acne berat dikarekterisasikan secara umum dengan kehadiran nodula dan kist. Juga
terdapat komedo >100, papula dan pustula >50 atau total jumlah lesi lebih besar dari
125 (Davis et al., 2006).
Berdasarkan Comprehensive Acne Severity Scalle (CASS), tingkat keparahan acne dibedakan
menjadi 5. CASS grade ini digunakan dalam praktis klinik.
Tabel 2. Comprehensive Acne Severity Scalle (CASS) (CPG, 2012)
Grade Deskripsi
Bersih 0Tidak ada lesi yang terlihat. Sangat jarang komedo dan papula tersebar
Hampir bersih 1Sangat sukar terlihat dari jarak 2,5 m. beberapa komedo tersebar, sedikit papula kecil dan sangat sedikit pustulae
Ringan 2Mudah dikenali; kurang dari setengah area yang terlibat. Banyak komedo, papula, dan pustulae
Sedang 3Lebig dari setenga area terlibat. Banyak komedo, papula, dan pustulae
Berat 4Seluruh area terlibat. Tertutup oleh komedo, banyak pustula dan papula, sedikit nodula dan kist
Sangat berat 5Acne dengan inflamasi tinggi menutupi area dengan kehadiran nodula dan kist
4
Pemeriksaan dilakukan pada jarak 2,5 meter untuk acne pada wajah, dada, dan punggung.
Meskipun para ahli klinis mungkin merasa diagnosis acne vulgaris sangat akurat, sejumlah
kelaianan perlu dipertimbangkan dalam diagnosis berbeda.
2.4 Penatalaksanaan Terapi
2.4.1 Terapi Non-farmakologi
Menggosok kulit dengan scrub abrasif atau mencuci wajah terlalu berlebihan tidak
selalu membuka atau membersihkan pori-pori. Pemasukan folikular lebih dalam dipengaruhi
oleh penggosokan pada epidermal superficial, dimana dapat menyebabkan iritasi kulit.
Pembersihan kulit dengan sabun dan air akan mempengaruhi sebum dan bakteri pada
permukaan kulit dan pengaruhnya sangat kecil terhadap folikel. Pembersihan ini memiliki
peran yang kecil dalam pengobatan acne. Untuk menghindari iritasi dan kekeringan selama
terapi acne disarankan untuk menggunakan agen pembersih yang lembut dan tidak
menyebabkan kulit kering (West et al., 2005).
2.4.2 Terapi Farmakologi
Gambar 2. Algoritme pengobatan acne vulgaris (West et al., 2005)
a. Agen Topikal (First-Line Terapi)
1. Benzoyl peroxide
Peradangan acne superfisial biasanya diobati dengan benzoyl peroxide, suatu agen
antibakteri nonantibiotik yang memiliki aktivitas bakteriostatik sampai bakterisidal terhadap
P.acnes. Pada kulit, BPO akan terurai oleh sistein, membebaskan radikal oksigen bebas yang
akan mengoksidasi protein bakteri. BPO meningkatkan pengelupasan sel epitel,
mengendurkan struktur dari penyumbatan folikel dan juga memiliki aktivitas komedolitik.
Keuntungan menggunakan BPO ini bahwa tidak menyebabkan resisten dari P.acnes. BPO 5
tersedia dalam sabun, lotion, krim, pembersih, dan gel dengan konsentrasi 2,5-10%. Efek
samping yang diberikan yaitu kekeringan, iritasi, dan alergi kontak dermatitis. Untuk
memperkecil resiko iritasi mula penggunaan obat biasanya dengan dosis minimum (2,5%) dan
ditingkatkan (5% hingga 10%) atau peningkatan frekuensi pemakaian (West et al., 2005).
2. Tretinoin
Tretinoin (retinoid, topikal asam vitamin A) adalah agen komedolitik yang dapat
meningkatkan pergantian sel di dinding folikel dan mengurangi kekompakan sel,
menyebabkan ekstruksi komedo dan penghambatan pembentukan komedo baru. Tretinoin
juga dapat mengurangi jumlah lapisan sel dalam stratum korneum dari sekitar 14 sampai 5.
Tretinoin tersedia dalam bentuk solutio 0,05%, gel 0,01% dan 0,025%, serta dalam
bentuk krim 0,025%, 0,05%, dan 0,1%. Efek samping yang dapat terjadi yaitu iritasi kulit,
eritema, pengelupasan, alergi kontak dermatitis (jarang), dan meningkatkan kepekaan
terhadap paparan sinar matahari, angin, dingin, dan penyebab iritasi lainnya (Dipiro, et al.,
2008). Untuk mengatasi jerawat yang ringan terapi yang direkomendasikan adalah krim
0,025% pada kulit sensitif dan tidak berminyak. Untuk jerawat tingkat sedang digunakan gel
0,01% pada kulit yang mudah teritasi dan berminyak, dan gel 0,025% untuk kulit tidak
sensitif dan berminyak (West et al., 2005).
3. Adapalene
Adapalene merupakan retinoid generasi ketiga dengan fungsi sebagai komedolitik,
keratolitik, dan antiinflamasi. Sedaan ini tersedia dalam bentuk gel 0,1%, krim, larutan
alkoholik, pledgets, dan gel 0,3%. Adapalene diindikasikan untuk jerawat kelas ringan dengan
penggunaan yang bersamaan bersama tretinoin 0,025% (West et al., 2005).
4. Tazarotene
Tazarotene (Tazorac) merupakan asetilenik retinoid yang dikonversi menjadi bentuk
aktifnya, asam tazarotenik setelah diaplikasikan secara topikal. Tazarotene memiliki ikatan
selektif terhadap RARs dan dapat merubah ekspresi gen yang berperan dalam proliferasi sel,
diferensasi sel, serta inflamasi. Tarazarotene digunakan pada acne ringan hingga sedang
dengan aktivitas komedolitik, keratolitik, dan antiinflamasi. Produk tersedia di pasaran
dengan konsentrasi 0,05% dan 0,1% baik berupa gel atau krim (West et al., 2005).
5. Eritromisin
Eritromisin topikal 1% hingga 4% dengan atau tanpa zink efektif untuk mengatasi
inflamasi pada acne. Produk yang dikombinasikan dengan zink dapat meningkatkan penetrasi
eritromisin pada unit pilosebaseus. Adanya P. Acnes yang resistan eritromisin dapat diatasi
dengan menggunakan kombinasi bersama BPO. Topikal eritromisin berguna dalam mereduksi
jumlah asam lemak bebas pada sebum. Eritromisin diformulasi dalam bentuk gel, lotion,
6
solituo, dan disposable pad. Biasanya sediaan topikal digunakan dua kali sehari (West et al.,
2005).
6. Klindamisin
Klindamisin topikal dapat menghambat P. acnes dan menghasilkan efek komedolitik
yang sama kuat dengan efek antiinflamasinya. Kombinasi dengan BPO dapat meningkatkan
efikasinya. Meskipun jarang, namun diare dan pseudomembrabnous colitis dapat terjadi
karena penggunaan obat ini (West et al., 2005).
7. Azelaic Acid
Azelaic acid memiliki aktivitas antibakteri, antiinflamasi dan komedolitik yang
digunakan pada keadaan acne ringan hingga sedang yang tidak toleransi terhadap BPO.
Azelaic acid tersedia dalam sediaan krim 20% yang diaplikasikan dua kali sehari (West et al.,
2005).
b. Agen Topikal ( Second-Line Terapi)
1. Isotretinoin
Isotretinoin tidak secara signifikan mempengaruhi sekresi sebum bila digunakan
secara topikal. Keefektifan isotretinoid hampir sama dengan semua sediaan topikal retinoid
namun dapat menyebabkan iritasi kulit ringan (West et al., 2005).
2. Keratolitik Agen
Asam salisilat, sulfur, dan resorsinol selain sebagai agen keratolitik juga mempunyai
aktivitas antibakteri yang rendah. Produk keratolitik pada konsentrasi yang diperbolehkan
memiliki potensi iritasi kulit yang lebih rendah daripada BPO dan tretinoin. Agen keratolitik
memiliki beberapa kerugian diantaranya timbul bau yang dihasilkan oleh hidrogen sulfida
pada reaksi sulfur dengan kulit, timbul kecoklatan karena penggunaan resorsinol, dan
terjadinya salicylism karena penggunaan asam salisilat yang berulang dan terlalu lebar pada
kulit yang terlalu permeabel (keadaan inflamasi atau luka) (West et al., 2005).
3. Chemical Peeling
Chemical peeling dapat digunakan pada pasien acne untuk mereduksi adanya bekas
luka superfisial dan hiperpigmentasi. Substansi yang tersedia untuk chemical peeling
diantaranya yaitu : asam α-hidroksi (asam glikolik), asam salisilat, and asam trikloroasetik.
Asam salisilat merupakan bahan larut lemak dan dapat menembus folikel sebum lebih cepat
daripada asam α-hidroksi yang larut air (West et al., 2005).
4. Dapson
Dapson topikal memiliki aktivitas antibakteri dan antiinflamasi. Dapson topikal gel
0,5% direkomendasikan oleh FDA sebagai treatment pada pasien acne diatas 12 tahun (West
et al., 2005)
7
c. Agen Sistemik (First-Line therapy-severe nodulaar/ conglobata)
1. Isotretinoin
Sebagai retinoid oral, isotretinoin merupakan agen sebosupresive paling efektif yang
mempengaruhi seluruh faktor etiologi yang mempengaruhi inflamasi pada acne, termasuk
menginduksi terjadinya atropi kelenjar sebaseus dengan penurunan produksi sebum dan
perubahan komposisi dari sebum, menginhibisi pertumbuhan P. acnes dalam folikel,
menginhibisi inflamasi, dan mengubah susunan kerantinasi dalam folikel (memperkecil
ukuran dan meningkatkan diferensiasi). Oleh karena itu isotretinoin merupakan pengobatan
pilihan pada acne nodulaositik parah, pasien dengan acne scarring, pasien dengan acne
kronik, dan pada pasien acne yang mengalami gangguan psikologi yang parah. Terdapat
beberapa efek samping akibat penggunaan isotretinoin secara oral tergantung jumlah,
frekuensi dan dosis yang digunakan. Dosis isotretinoin yang dianjurkan yaitu pada rentang 0,5
higga 1 mg/kg per hari dalam 2 dosis terbagi (West et al., 2005).
d. Systemic Agent (First-Line Therapy-Moderate Papulaar Pustulaar/Nodulaar)
1. Antibiotik Makrolida
Antibiotik makrolida (eritromisin, azitromisin, dan klindamisin) menunjukkan efek
antiinflamasi pada pasien acne. Eritromisin dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan
antibiotik sistemik tetapi tidak dapat mentoleransi tetrasiklin, atau pada pasien dengan bakteri
yang resisten terhadap antibiotik tetrasiklin. Dosis lazim yang digunakan 1 g/hari dengan
makanan untuk meminimalkan intoleransi gastrointestinal. Kombinasi dengan zink dapat
meningkatkan penetrasi eritromisin menuju unit pilosebaseus. Kombinasi dengan BPO dapat
mengurasi resiko resisten terhadap P. acnes. Azitromisin yang merupakan turunan dari
eritromisin aman untuk digunakan dan efektif untuk pengobatan pasien dengan acne inflamasi
yang sedang hingga parah. Dengan waktu paruhnya yang mencapai 68 jam, obat ini dapat
digunakan tiga kali dalam seminggu. Walaupun klindamisin efektif dalam pengobatan acne,
namun obat ini jarang digunakan pada pengobatan dalam jangka waktu yang panjang karena
dapat menyebabkan colitis pseudomembraous (West et al., 2005).
2. Tetrasiklin
Tetrasiklin efektif dalam mereduksi P. acne. Dengan adanya efek antibakteri,
antibiotik ini dapat mengurangi jumlah keratin dalam folikel sebaseus dan dengan aktivitas
antiinflamasi dapat menghambat kemotaksis, fagositosis, dan aktivasi komplemen. Selain itu
tetrasiklin juga memiliki afinitas pada sel inflamasi dan sel bakteri, menghasilkan konsentrasi
obat yang lebih tinggi pada daerah yang mengalami inflamasi (West et al., 2005).
8
Penggunaan tetrasiklin dapat menyebabkan efek samping pada saluran
gastrointestinal, hepatotoksik, kecenderungan terjadinya superinfeksi (vaginal candidiasis).
Tetrasiklin tidak boleh digunakan pada anak-anak usia < 10 tahun atau pada wanita hamil
karena dapat menyebabkan perubahan warna gigi (anak-anak) dan terhambatnya pertumbuhan
kerangka pada fetus dan anak. Dapat terjadi interaksi obat antara tetrasiklin dengan makanan
yang mengandung susu. Penggunaan umum tetrasiklin yaitu 1 gr perhari (500 mg dua kali
sehari), diberikan satu jam sebelum makan, setelah 1 atau 2 bulan saat telah terlihat
perbaikaan lesi inflamasi maka dosis dapat diturunkan menjadi 500 mg perhari selama 1
hingga 2 bulan selanjutnya (West et al., 2005).
Doxysiklin biasa digunakan dalam treatment acne sedang hingga parah. Obat ini lebih
efektif bila dibandingkan dengan tetrasiklin dan memiliki resiko resisten yang lebih rendah.
Dosis lazim yang digunakan 100 atau 200 mg perhari dan setelah terjadi peningkatan kondisi
dapat diberikan dosis maintenance sebesar 50 mg/hari, dapat diberikan bersamaan dengan
makanan meskipun lebih efektif bila diberikan 30 menit sebelum makan (West et al., 2005).
e. Systemic Agents: Second-Line Therapy
1. Kotrimoksazol (trimetoprim-sulfametoksazole)
Kotrimoksazole (trimetoprim-sulfametoksazole) atau trimetoprim tunggal digunakan
pada pasien yang tidak toleran terhadap eritromisin dan tetrasiklin atau pada kasus bila terjadi
resistensi pada kedua antibiotik tersebut. Dosis lazim yang biasa digunakan yaitu 800 mg
sulfametoxazole dan 160 mg trimetoprim dua kali sehari (West et al., 2005).
2. Terapi Hormonal
Terapi hormonal digunakan untuk mengobati acne pada wanita dengan kadar serum
androgen yang normal atau meningkat. Terapi ini juga dibutuhkan pada wanita dengan
seborrhea parah, terjadinya androgenic alopecia, seborrhea/acne/hirsutism/alopecia
syndrome, dan pada kondisi ovarian atau adrenal hiperandrogenism. Terapi hormonal
dikontraindikasikan pada wanita yang menginginkan kehamilan karena resiko terjadinya
malformasi organ seksual pada perkembangan fetus. Baik cyproterone dan spironolakton
harus digunakan untuk mengobati acne pada wanita karena dapat menyebabkan sifat
feminisasi pada lelaki.
Agen sistemik lainnya yaitu cyproterone acetat, chlormadinone acetat, spironolakton,
drospirenone, flutamide, sstrogen, kontrasepsi oral, agonis gonadotropin releasing hormon,
kortikosteroid dan dapson (West et al, 2005).
9
BAB III
STUDI KASUS DAN ANALISIS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : AV
Ruang :
Umur : 15 tahun
Tanggal MRS :
Tanggal KRS :
Diagnosa : Jerawat
II. SUBYEKTIF
Keluhan Utama : Wajah dan punggung berjerawat
Keluhan
Tambahan
: -
III. OBYEKTIF
Riwayat penyakit terdahulu : -
Riwayat pengobatan : -
IV. ASSESMENT
4.1 Terapi Pasien
Benzolac
R/ Erymed 2%
AZA 20 cr
m.f.l.a. cream
s.u.e day cream
R/ Klindamisin 300 mg No XX
S 4.d.d.1 caps
10
4.2 Problem medik dan DRP pasien
PROBLEM MEDIK
SUBYEKTIF DAN OBYEKTIF
TERAPI DRP
Jerawat yang tidak sembuh
S : wajah dan punggung berjerawatO : jerawat (kombinasi komedonal dan inflamasi) berat
Benzolac dan pembersih wajah
Tidak tepat indikasi
(Sweetman, 2009).Benzolac
kontraindikasi dengan Pembersih wajah yang mengandung alcohol, sulfur, asam salisilat (BPOM, 2008).
Erymed 2% (Eritromisin 2%)AZA 20 (azelaic acid 20%)Klindamisin 300 mg No XXS 4.d.d.1 caps
Pemilihan obat untuk pasien kurang tepat (Sweetman, 2009).
Klindamisin yang frekuensi penggunaan tidak tepat.
Antibiotik oral dan topikal tidak boleh digunakan bersama (Sweetman, 2009).
4.3 Pertimbangan pengatasan DRP
1. Menghentikan penggunaan benzolac dan menggantinya dengan obat acne katagori
sedang atau berat.
2. Perlu menghentikan produk pembersih wajah yang mengandung alkohol, asam
salisilat dan sulfur.
3. Perlu konsultasi dengan dokter mengenai penggantian obat yaitu ® Erymed dengan
retinoid topikal yang akan diberikan kepada pasien.
4. Perlu konsultasi dengan dokter mengenai frekuensi penggunaan obat yang akan
diberikan kepada pasien yaitu klindamisin.
5. Perlu konsultasi kepada dokter untuk menggunakan satu jenis antibiotik (oral atau
topikal) yaitu eritromisin atau klindamisin.
11
V. PLAN
5.1 Care plan
Pasien direkomendasikan untuk menghentikan pemakaian Benzolac dan pembersih
wajah serta melakukan terapi non-farmakologi dan farmakologi setelah apoteker berkonsultasi
dengan dokter.
5.2 Implementasi care plan
1. Rekomendasikan untuk menghentikan penggunaan benzolac (benzoil peroksida 2,5%-
5%) karena kurang tepat sehingga penggunaan benzoil peroksida harus dihentikan dan
diganti dengan obat acne yang termasuk dalam katagori sedang hingga berat.
2. Perlu konsultasi dengan dokter mengenai penggantian obat yaitu ®Erymed 2%
menjadi topikal retinoid sesuai dengan alogaritme penyakit.
3. KIE :
1. Komunikasikan kepada pasien bahwa antibiotik oral yaitu klindamisin dikonsumsi
maksimal 8-12 minggu. Jika terjadi diare maka penggunaan klindamisisn harus
dihentikan. Jika selama 6-8 minggu antibiotik yang digunakan tidak memberikan
efek terapi disarankan untuk pergi ke dokter untuk terapi lebih lanjut. Selama
pengobatan, antibiotik yang diberikan harus diminum hingga habis.
Menginformasikan pada pasien agar meminum antibiotik ini sebelum makan.
2. Komunikasikan kepada pasien untuk menggunakan ®AZA setiap dua kali sehari
pada pagi dan sore hari. Penggunaan ®AZA pada pagi hari harus disertai dengan
penggunaan sunscreen agar tidak menimbulkan noda pada wajah. Untuk
penggunaan topikal retinoid hanya digunakan pada malam hari saja dengan
mengoleskan tipis-tipis pada acne setelah kulit dikeringkan selama 30 menit untuk
mencegah terjadinya iritasi. Jika antibiotik sudah habis maka lanjutkan pengobatan
dengan menggunakan retinoid topikal untuk pemeliharaan acne.
3. Jika acne tidak sembuh maka disarankan untuk pergi ke dokter.
4. Menghentikan penggunaan pembersih wajah yang mengandung alkohol, asam
salisilat dan sulfur karena dapat menyebabkan kulit kering dan iritasi.
5. Perlu dilakukan terapi non-farmakologi yaitu dengan membersihkan wajah dengan
air dan sabun serta gunakan pembersih wajah yang lembut, tidak membuat kulit
kering, tidak mengandung sulfur, asam salisilat dan alkohol
12
5.3 Monitoring
Efektivitas Terapi
1. Kondisi klinik : Monitoring efektivitas terapi dapat dilakukan dengan melihat
kondisi jerawat sudah membaik atau tidak.
2. Tanda-tanda vital : -
3. Laboratorium : -
Efek samping
1. Kondisi klinik : terjadinya iritasi kulit.
2. Tanda – tanda vital : untuk klindamisin tekanan darah, diare,
3. Laboratorium : untuk klindamisin perlu dilakukan tes fungsi ginjal (klirens ginjal)
VI. PEMBAHASAN
Pasien AV yang berumur 15 tahun menderita jerawat (kombinasi komedonal dan
inflamasi) dan diresepkan obat ®Erymed 2% yang mengandung Eritromisin 2%, ®AZA 20
yang mengandung Azelaic acid 20%, dan klindamisin 4 x 300 mg sehari. Sebelumnya pasien
menggunakan benzolac yang mengandung benzoil peroksida 2,5-5% dan pembersih wajah
untuk kulit berjerawat. Dalam kasus ini penggunaan ®Benzolac tidak memberikan efek
terhadap jerawat yang diderita sehingga diperlukan jenis terapi acne lainnya yang disesuaikan
dengan diagnosa dokter yaitu jerawat (kombinasi komedonal dan inflamasi). Hal ini mungkin
karena karena penggunaan benzolac bersamaan dengan pembersih wajah (mengandung
alcohol, sulfur atau asam salisilat) yang digunakan oleh pasien sehingga kulit pasien
mengalami iritasi dan penggunaan pembersih wajah ini harus dihentikan.
Berdasarkan diagnose dokter, pasien AV dengan kondisi jerawat pasien digolongkan
ke dalam jerawat yang parah. Tatalaksana terapi untuk jerawat yang parah adalah dengan
menggunakan isotretinoin oral, dengan alternatif terapi berupa antibiotik oral dikombinasi
dengan retinoid topikal serta BPO, selain itu untuk wanita terdapat alternatif antiandrogen oral
ditambah retinoid topikal serta antimikrobakterial, sedangkan alternatif terakhir adalah
dengan mengunakan retinoid topikal tunggal atau dikombinasi dengan BPO.
Pasien telah menggunakan obat yang kandunnya berupa BPO tetapi tidak mengalami
perbaikan terhadap jerawatnya. Obat lain yang dapat digunakan apabila BPO tidak efektif
adalah dengan azelaic acid. Dokter memberi terapi berupa antibiotik oral yaitu klindamisin,
serta sediaan topikal berupa kombinasi ®Erymed 2 % (Eritromisin) dan ®AZA (azelaic acid)
hal ini tidak sesuai dengan logaritme tatalaksana terapi pada literatur. Berdasarkan literatur
13
(Dipiro et al, 2005; Sweetman, 2009; Lacy et al, 2006) Erymed yang bahan aktifnya berupa
eritromisin merupakan pilihan terapi untuk jerawat tingkat ringan dan sedang. Namun, pada
kasus ini Eritromisin kurang efektif digunakan secara topikal dan dapat memberikan efek
yang antagonis jika diberikan bersama klindamisin serta penggunaan antibiotik oral dan
topikal tidak boleh digunakan secara bersamaan. Penggunaan klindamisin dalam resep inipun
perlu dikonsulasikan lagi dengan dokter. Dokter meresepkan klindamisin 300 mg 4 kali sehari
sedangkan pada literatur dosis klindamisin yang perbolehkan untuk pengobatan acne berkisar
150-450 mg setiap 6-8 jam (Lacy et al., 2006).
®AZA 20 yang mengandung azelaic acid memiliki potensi yang lebih kecil
dibandingkan BPO sehingga perlu dikombinasi dengan antibiotik agar dapat meningkatkan
efek antiinflamasi dan antimikroba. Berdasarkan logaritme terapi acne vulgaris untuk
mengatasi acne klasifikasi berat adalah isotretinoin oral. Namun, isotretinoin oral tidak
dianjurkan untuk pasien dengan usia subur, kecuali jika disertai dengan kontrasepsi yang
efektif dan hanya dapat digunakan bila mendapat instruksi dari dokter kulit. Wanita yang
menggunakan isotretinoin oral harus dilindungi dengan program pencegah kehamilan. Oleh
karena itu dipilih obat alternatif lain yaitu retinoid topikal, azelaic acid dan klindamisin oral.
Dalam hal ini apoteker harus mengkonsultasikan penggantian eritromisin topikal dengan
retinoid topikal kepada dokter. Selain faktor kombinasi antibiotik, penggantian eritromisin
dengan retinoid topikal dilakukan berdasarkan tingkat keparahan jerawat.
14
BAB IV
KESIMPULAN
1. Acne yang diderita pasien tergolong dalam katagori acne berat.
2. Jenis obat yang digunakan untuk pengobatan acne berat adalah dengan menggunakan
isotretinoin oral, dengan alternatif terapi berupa antibiotik oral dikombinasi dengan
retinoid topikal serta BPO, selain itu untuk wanita terdapat alternatif antiandrogen oral
ditambah retinoid topikal serta antimikrobakterial, sedangkan untuk pemeliharaan adalah
dengan mengunakan retinoid topikal tunggal atau dikombinasi dengan BPO
3. Terdapat penggunaan obat yang tidak sesuai yaitu kombinasi antara dua jenis antibiotik
secara topikal dan oral.
4. Perlu dilakukan konsultasi obat kepada dokter sebelum pemberiaan obat kepada pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Irmanida, Tohru Mitsunaga and Hideo Ohashi. 2009. Screening antiacne potency of
Indonesian medicinal plants: antibacterial, lipase inhibition, and antioxidant
activities. Journal of Wood Science, Vol. 55, No. 3. 230-235.
CPG. 2012. Management of Acne. (serial online). (Cited: 2012 Sept, 22). Available from :
www.acadmed.org.my.
Davis et al. 2006. Health Care Guideline : Acne Management. (serial online). (Cited : 2012
Sept, 22). Available from : www.icsi.org.
Greene, R.J. and N.D.Harris. 2008. Pathology and Therapeutics for Pharmacists A basis for
clinical pharmacy practice Third Edition. London: Pharmaceutical Press.
Kimble et al. 2009. Acne, dalam Applied Therapeutics: The Clinical Use of Drugs 9th Edition.
Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins, hal. 391-412.
Lacy,C.F., L.L. Armstrong, M.P. Goldman and L.L.Lance. 2006. Drug Information
Handbook AComprehensive Resource for All Clinicians and Healthcare Professionals
14 Edition. United State : Lexi-Comp.
Sweetman, S.C., 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth edition.
London: Pharmaceutical Press.
West, D.P., West, L.E., Musumeci, M. L. and Micali, G. 2005. Acne Vulgaris. In : DiPiro,
J.T., Talbert, R. I., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B. G. and Posey, I. M. editors.
15
Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach. Sixth Edition. New York: McGraw-
Hill
Lampiran Data Obat yang Digunakan
1. Klindamisin
Katagori farmakologi : antibiotik
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap klindamisin dan komponen dalam
sediaan, kolitis pseudomembran, kolitis ulseratif, enteritis
regional.
Interaksi obat :
- Konsentrasi puncak mungkin tertunda dengan adanya
makanan.
- Pemberian bersamaan dengan tubocurarine dan
pancuronium dapat meningkatkan efek dari klindamisin
yaitu dengan meningkatkan durasi blokade neuromuskuler
Mekanisme : menghambat sintesis protein dengan mencegah terbentuknya
ikatan peptida melalui ikatan reversible pada subunit ribosom
50s.
ADR : Sistemik:>10% Gastrointestinal : Diare, nyeri abdomen; 1-
10% : Cardiovaskular : Hipotensi; Dermatologis : Urtikaria,
ruam, sindrom Steven Johnson; Local: tromboplebitis, abses
pada daerah injeksi IM; Lain-lain: pertumbuhan yang cepat
dari jamur, hipersensitivitas, Granulositopeni, neutropeni,
poliartritis, disfungsi ginjal, trombositopenia.
(Lacy et al, 2006)
Dosis : 1-2 x 150 mg sehari (Davis et al, 2006)
2. Eritromisin
Katagori farmakologi : antibiotik
Kontraindikasi : hipersensetif terhadap eritromisin dan komponen dalam
sediaan, penyakit hati, penggunaan bersama derivate ergot,
pimozide, cisaprid.
Interaksi obat :
16
- Penggunaan eritromisin dapat meningkatkan keganasan
aritmia jika digunakan bersama cisaprid, gatifloksasin,
moksifloksasin, pimosid, sparfloksasin, tloridasin.
Penggunaan alkaloid ergot bersamaan dengan eritromisin
dikontraindikasikan. Eritromisin merupakan inhibitor
CYP3A4 sedang dan dapat meningkatkan efek dari
benzodiasepin, Calcium Chanal Blocker, siklosporin,
mirtazapin,nateglinid, nefazodon, quinidin, slidenafil,
takrolimus, ventafasin dan substrat CYP3A4 lainnya. Efek
eritromisin meningkat jika dikombinasi dengan agen
antijamur golongan Azole, klaritromisin, diklofenak,
imatinib, isoniasid, nefazodon, nicardipin, propofol,
protease inhibitor, quinidin, telitromisin, verapamil, dan
penghambat CYP3A4 lainnya.
- Eritromisin dapat menurunkan kadar serum dari zafirlukas.
Eritromisin dapat berefek berlawanan dengan klindamisin
dan linkomisin. Kadar/ efek dari eritromisin dapat
diturunkan oleh aminoglutetimimid, karbamasepin,
mafsilin,, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamsin, dan
penginduksi CYP3A4 lainnya.
- Alcohol : alcohol dapat menurunkan absorpsi dari
eritromisin atau meningkatkan efek alcohol.
- Makanan : absorpsi obat (eritromisin) dapat ditingkatkan
dengan adanya makanan, tingkat serum eritromisin dapat
diubah jika dikonsumsi bersama makanan.
Mekanisme : menghambat jalur sintesis protein yang tergantung RNA pada
tahap elongasi; berikatan dengan subunit ribosom 50s
sehingga transpeptidasi terhalangi
ADR : Sistemik: Kardivaskular : aritmia ventrikel, takikardi
ventrikel; CNS : Sakit kepala (8%), nyeri (2%), demam;
Dermatitis : Rash (3%), pruritus (1%); Gastrointestinal: Nyeri
abdominal (8%), keram, mual (8%), diare (7%), muntah
(3%), pancreatitis; Hemologi : Eusinofilia (1%); Hepatik:
meningkatkan tes fungsi hati, jaundice kolestatik; Respiratori:
17
Dispepsia (1%), batuk (3%); Lain-lain: Reaksi
hipersensitivitas, reaksi alergi.
: Topikal: 1%-10% Dermatologis: eritema, pruritus,
kekeringan.
Dosis : Anak >12 tahun : 250-1500 mg/hari dalam 2 dosis terbagi,
terapi dapat dilanjutkan selama 4-6 minggu dengan dosis
yang lebih rendah.
(Lacy et al, 2006)
3. Azeleic Acid
Katagori farmakologi : acne
Mekanisme : menghambat pertumbuhan Propionibacterium spp. dan
mengurangi keratinisas (Sweetman, 2009)
ADR : rasa terbakar, tersengat, pruritus, kekeringan dan scaling
(Sweetman, 2009)
Dosis (topikal) Anak : >12 tahun dan dewasa : cream 20%. setelah kulit dicuci dan
kering,oleskan secara tipis dan pijat lembut ke daerah yang
sakit. Dilakukan dua kali sehari pagi dan sore. Durasi
penggunaan dapat bervariasi dan tergantung pada tingkat
keparahan jerawat tersebut. Sebagian besar pasien dengan
lesi inflamasi, perbaikan kondisi terjadi dalam 4 minggu
(Lacy et al, 2006)
4. Tretinoin
Katagori farmakologi : Derivat asam retinoid
Kontraindikasi : hipersensitif terhadap tretinoin dan berbagai komponen
dalam sediaan, kulit terbakar.
Interaksi obat :
- Pengunaan bersama sulfur, benzoil peroksida, asam
salisilat, resorsinol atau produk dengan efek pengering
yang kuat berpotensi menimbulkan efek samping apabila
digunakan bersama retinoid.
Mekanisme : menurunkan tingkat keratinisasi pada folikel sebaseus.
Menghambat pembentukkan mikrokomedo dan
menghilangkan lesi acne yang terjadi.
ADR : >10% secara dermatologi : kulit kering, eritema, pruritus.
18
: 1-10% secara dermatologi : hiperpigmentasi atau
hipopigmentasi kulit, fotosensitif.
Dosis (oral) : Anak > 12 tahun: mulai terapi dengan formulasi dengan
konsentrasi terkecil (cream 0,025%, gel mikrosphare 0,04%,
atau gel 0,01%) dan tingkatkan konsentrasi bila tidak terjadi
perbaikan. Gunakan sekali sehari pada lesi acne sebelum
tidur. Apabila gatal atau iritasi kurangi frekuensi pemakaian.
(Lacy et al, 2006)
5. Adapalene
Katagori farmakologi : untuk acne
Kontraindikasi : hipersensitivitas terhadap benzoil peroksida atau komponen
dalam sediaan
Interaksi obat : -.
Mekanisme : memodulasi diferensiasi sel, keratinisasi, dan proses
inflamasi.
ADR : > 10% : dermatologis : eritema, kekeringan, pruritus, rasa
terbakar setelah penggunaan
Dosis (oral) : Topikal : anak > 12 tahun dan dewasa : 1 kali sehari pada
waktu tidur, hasil terapi akan diperoleh setelah 8-12 minggu
treatmen.
(Lacy et al, 2006)
6. Isotretinoin
Katagori farmakologi : Derivat asam retinoid
Kontraindikasi : hipersensitif terhadap isotretinoin dan berbagai komponen
dalam sediaan, sensitive terhadap paraben, vitamin A, atau
retinoid lainnya, kehamilan
ADR : Kardiovaskular : palpitasi, takikardi, penyakit trombotik
vascular, strok, nyeri dada. CNS: Edema, lelah, sakit kepala,
insomnia, strok, depresi, emosi tidak stabil. Dermatologis:
reaksi alergi pada kulit, mulut kering, kulit kering, hidung
kering, hiperpigmentasi, hipopigmentasi, pruritus, rash,
eksim, urtikaria. Endokrin & Metabolik: trigliserida
ditingkatkan, glukosa darah meningkat, HDL ditingkatkan,
kolesterol ditingkatkan. Gastrointestinal : penurunan berat
badan, inflammatory bowel disease, pancreatitis, perdarahan
19
dan inflamasi pada gusi, colitis. Hematologis: anemia,
trombositopenia, neutropenia, agranulositosis. Hepatic:
hepatitis. Renal: vanskulitis, glomerulonefritis. Respiratori:
bronkospasme, infeksi pernapasan.
Interaksi obat :
- Toksisitas ditingkatkan :jika dikombinasi dengan
kortikosteroid dapat menyebabkan osteoporosis, dengan
phenitoin dapat menyebabkan osteomalasea, dilaporkan
terjadi tumor serebral jika dikombinasi dengan tetrasiklin.
Dapat menurunkan kleren karbamazepin. Derivate asam
retinoik dapat mengurangi efek terapi dari kontrasepsi oral.
- Alkohol : dibatasi atau dikurangi ( meningkatkan kadar
trigliserida jika konsumsi alcohol berlebihan).
- Makanan : bioavailabilitas isotretionin ditingkatkan jika
dibaerikan bersama makanan dan susu.
Mekanisme : mengurangi ukuran kelenjar sebaseus dan mengurangi
produksi sebum, regulasi proliferasi dan diferensiasi sel
(Lacy et al, 2006)
Dosis (topikal) : gel 0,05%, dioleskan tipis 1-2 kali sehari (BPOM, 2008).
7. Benzoil peroksida
Katagori farmakologi : keratolitik
Kontraindikasi : hipersensitivitas terhadap benzoil peroksida dan komponen
lain dalam sediaan.
ADR : iritasi kulit, kulit kering, mengelupas, ruam dan edema
topikal.
Dosis : anak-anak : 2,5%
Dewasa : ≤10% (Sweetman, 2009)
20