edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin...

28
Edward de Bono Six Thinking Hats Dalam Refleksi Kecerdasan Interpersonal Relationship Pemimpin Kristen Dolfy Mikel Palit, MA. Abstract There are many circumstances that experienced poor leadership interpersonal relations between the leaders that led giving rise to internal conflict or even are split due to a misinterpretation of perceptions or differences in the way different viewpoints considered sluggish by today's Christian leaders. Christian leadership will always meet with a difference of opinion, definitely the leader will be required to have the ability to be able to make decisions and run according to the vision of existing organizations. In the middle of the differences that exist within the organization, there needs to be a leader role primarily in terms of interpersonal intelligence leader and the led. The author would like to offer a conception of Edward de Bono thinking associated with interpersonal intelligence as a reflection. The author sees interpersonal intelligence in Christian leaders can be connected with the theory of Six thinking hats Edward de Bono that described through an analogy of six hats that have different colors in which each color describes the way a person thinks and can be reflected with a different lens to be applied in cloak of Christian leadership. Keywords: Edward de Bono, six thinking hats, interpersonal intelligence, the Christian leader. Abstrak Ada banyak keadaan kepemimpinan yang mengalami miskin relasi interpersonal antara pemimpin dengan yang dipimpin sehingga menimbulkan konflik internal atau bahkan malah perpecahan karena salah tafsir persepsi atau perbedaan cara pandang yang berbeda yang lamban dipikirkan oleh para pemimpin Kristen saat ini. Kepemimpinan Kristen pasti akan selalu bertemu dengan perbedaan pendapat, pemimpin pasti akan diminta untuk memiliki

Upload: dolfy-palit

Post on 15-Aug-2015

54 views

Category:

Leadership & Management


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

Edward de Bono Six Thinking Hats Dalam Refleksi Kecerdasan Interpersonal Relationship Pemimpin Kristen

Dolfy Mikel Palit, MA.

Abstract

There are many circumstances that experienced poor leadership interpersonal relations between the leaders that led giving rise to internal conflict or even are split due to a misinterpretation of perceptions or differences in the way different viewpoints considered sluggish by today's Christian leaders. Christian leadership will always meet with a difference of opinion, definitely the leader will be required to have the ability to be able to make decisions and run according to the vision of existing organizations. In the middle of the differences that exist within the organization, there needs to be a leader role primarily in terms of interpersonal intelligence leader and the led. The author would like to offer a conception of Edward de Bono thinking associated with interpersonal intelligence as a reflection. The author sees interpersonal intelligence in Christian leaders can be connected with the theory of Six thinking hats Edward de Bono that described through an analogy of six hats that have different colors in which each color describes the way a person thinks and can be reflected with a different lens to be applied in cloak of Christian leadership.

Keywords: Edward de Bono, six thinking hats, interpersonal intelligence, the Christian leader.

Abstrak

Ada banyak keadaan kepemimpinan yang mengalami miskin relasi interpersonal antara pemimpin dengan yang dipimpin sehingga menimbulkan konflik internal atau bahkan malah perpecahan karena salah tafsir persepsi atau perbedaan cara pandang yang berbeda yang lamban dipikirkan oleh para pemimpin Kristen saat ini. Kepemimpinan Kristen pasti akan selalu bertemu dengan perbedaan pendapat, pemimpin pasti akan diminta untuk memiliki kemampuan untuk dapat mengambil keputusan dan menjalankan organisasi sesuai visi yang ada. Di tengah perbedaan yang ada dalam organisasi maka peran pemimpin perlu ada terutama dalam hal kecerdasan interpersonal sang pemimpin dan orang yang dipimpin. Penulis ingin menawarkan suatu konsepsi berpikir dari Edward de Bono dikaitkan dengan kecerdasan interpersonal sebagai suatu bahan refleksi. Penulis melihat kecerdasan interpersonal pemimpin Kristen dapat dihubungkan dengan teori pemikiran Six thinking hats Edward de Bono yang dipaparkan melalui sebuah analogi enam buah topi yang memiliki warna yang berbeda dimana masing-masing warna menggambarkan cara berpikir seseorang dan dapat direfleksikan dengan kacamata yang berbeda untuk bisa dipakaikan dalam jubah kepemimpinan Kristen.

Kata kunci: Edward de Bono, six thinking hats, kecerdasan interpersonal, pemimpin Kristen.

Page 2: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

2

Menjadi seorang pemimpin bukan hal yang gampang. John Maxwell dalam pengantar bukunya menyatakan menjadi seorang pemimpin yang lebih baik memberikan keuntungan, tetapi perlu usaha besar. Kepemimpinan meminta banyak dari seseorang. Ini menuntut dan rumit, yang dimaksud adalah :

“Kepemimpinan adalah kesediaan untuk mengambil resiko.Kepemimpinan adalah hasrat untuk membuat perbedaaan dengan orang lain.Kepemimpinan adalah tidak puas dengan realitas yang ada.Kepemimpinan adalah menerima tanggung jawab sementara orang lain membuat dalih.Kepemimpinan adalah melihat peluang di dalam suatu situasi sementara orang lain melihat keterbatasan.Kepemimpinan adalah kesiapan untuk menonjol di tengah kerumunan.Kepemimpinan adalah pikiran yang terbuka dan hati yang terbuka.Kepemimpinan adalah kemampuan untuk menenggelamkan ego anda demi apa yang terbaik.Kepemimpinan adalah membangkitkan di dalam diri orang lain kapasitas untuk bermimpi.Kepemimpinan adalah menginspirasikan orang lain dengan visi tentang apa yang dapat mereka sumbangkan.Kepemimpinan adalah kekuatan seseorang mengendalikan kekuatan banyak orang. Kepemimpinan adalah hati anda yang berbicara dengan hati orang lain.Kepemimpinan adalah perpaduan hati, kepala dan jiwa.Kepemimpinan adalah kapasitas untuk peduli, dan dalam memperdulikan, untuk membebaskan ide, energi, dan kapasitas orang lain.Kepemimpinan adalah impian yang terwujud.Kepemimpinan terutama adalah keberanian”.1

Dengan berbagai gambaran tuntutan seorang pemimpin seperti digambarkan Maxwell ini ada bagian yang menarik dan perlu untuk para pemimpin pikirkan khususnya mengenai hubungan interpersonal, seorang pemimpin tidak dapat dielakkan dengan orang yang dia pimpin. Ada beberapa tuntutan yang jelas digambarkan di atas seperti: pikiran yang terbuka dan hati yang terbuka, kemampuan untuk menenggelamkan ego anda demi apa yang terbaik, membangkitkan di dalam diri orang lain kapasitas untuk bermimpi, menginspirasikan orang lain dengan visi tentang apa yang dapat mereka sumbangkan, hati anda yang berbicara dengan hati orang lain, perduli dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan interpersonal seperti ini harus dikembangkan agar adanya hubungan timbal balik yang baik antara pemimpin dan yang dipimpin.Melihat hal ini penulis merasa perlu untuk mengangkat suatu refleksi dari Six thinking hats Edward de Bono yang merupakan teori tentang kemampuan berpikir seseorang dikaitkan dengan interpersonal skill/social skill dalam suatu refleksi bagi seorang pemimpin Kristen.

Siapa Edward de Bono ?

Edward Charles Francis Publius de Bono lahir di Malta pada 19 Mei 1933. De Bono kemudian memperoleh gelar medis dari University of Malta. Profesor de Bono belajar di St Edward College, Malta dan kemudian menjadi Rhodes Scholar di Christ Church, Oxford, di Inggris di mana ia memperoleh gelar MA dalam bidang psikologi dan fisiologi. Dia juga mewakili Oxford dalam olahraga polo dan mencetak dua rekor kano. Dia juga memiliki gelar

1 John C. Maxwell, Leadership Gold, pelajaran yang saya peroleh dari memimpin seumur hidup, Immanuel, Jakarta:2010, xii-xiii.

Page 3: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

3

Ph.D dan D.Phil dalam kedokteran dari Trinity College, Cambridge, sebuah DDES (Doctor of Design) dari Royal Melbourne Institute of Technology, dan LLD dari University of Dundee.2 Dari gambaran umum tentang siapa Edward de Bono ini dapat kita lihat bahwa dia adalah seorang akademisi yang memiliki perhatian penuh untuk pengembangan manusia seutuhnya. Edward de Bono merupakan penulis buku yang sangat konsern untuk memikirkan dan mencurahkan penelitiannya tentang cara berpikir manusia, dengan hasil tulisannya banyak membantu berbagai institusi di banyak negara untuk membantu pengembangan sumber daya manusia baik untuk perusahaan, institusi pendidikan dan bahkan lembaga pemerintahan. Kontribusinya dalam pengembangan sistem berpikir manusia membuatnya dikenal oleh banyak kalangan sebagai akademisi yang pemikirannya diadopsi oleh berbagai sekolah untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah.

Apa itu six thingking hats ?

Sebelum lebih dalam kita membicarakan tentang six thingking hats, perlu kita mengerti pengertian berpikir menurut Edward de Bono adalah proses mengoperasikan kemampuan yang mana intelegensia bertindak atas pengalaman, dan ia menemukan bahwa persepsi dan pemikiran memiliki hubungan krusial yang mana jarang dan kurang dieksplorasi. Umat manusia adalah aktif, memiliki sistem pengorganisasian diri. Mereka mengatur informasi yang masuk dalam bentuk pola yang memungkinkan tugas yang kompleks seperti menyeberangi sebuah jalan dan mengenal teman untuk menjadi lebih sederhana. 3 Dengan demikian dapat kita mengerti bahwa pemikiran manusia itu sebenarnya masih kurang dieksplorasi dan ditingkatkan, dibutuhkan kemampuan untuk terus berkembang sehingga setiap manusia dapat terus dan terus mengembangkan cara berpikirnya sehingga makin maksimal.

Six thinking hats adalah sebuah metode yang memungkinkan manusia untuk dapat berpikir lebih kaya dan akan lebih komprehensif dalam menyikapi hidup mereka. Teori ini dimunculkan oleh Edward de Bono dengan asumsi bahwa manusia punya pola dalam berpikir, dan pengetahuan akan cara berpikir ini sangat diperlukan dalam melakukan aktivitas keseharian. Dengan pola yang dijelaskan dalam six thinking hats nanti maka manusia dapat mengeksplorasi pemikirannya dengan lebih mendalam sehingga dapat berpikir dengan lebih baik.

Siapa Yang memerlukan Metode ini?4

Metode six thinking hats ini perlu diketahui oleh setiap orang yang ingin:

1. Memfasilitasi pertemuan dan menampakkan agenda tersembunyi sehingga mencapai tujuan tanpa terjadinya konflik.

2 Bandingkan http://en.wikipedia.org/wiki/Edward_de_Bono, diakses 25 Maret 2014.

3 Marcia Heiman, Joshua Slomianko (ed), Thinking Skills Instruction: Concept and Techniques in Edward de Bono:The direct teaching of thinking as a skill, National Education Association of the United States, 1987, 217.

4 Bandingkan penjelasan dalam http://irfc.wordpress.com/2011/01/06/cara-berpikir-edward-de-bono/, diakses 29 Maret 2014.

Page 4: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

4

2. Sebuah cara untuk memastikan bahwa semua sisi diungkapkan dari sebuah isu yang ditangani.

3. Sebuah alat yang bekerja dengan baik dalam budaya yang berbeda di seluruh dunia, memampukan kita agar kemampuan berpikir dapat diasah sehingga dapat berpikir jernih, obyektif, sistematis dan kreatif.

Dengan adanya penjelasan di atas maka sebagian besar penjelasan ini mengarahkan kita untuk melihat bahwa six thinking hats ini sangat diperlukan setiap orang terutama bagi seorang pemimpin karena area kerja yang dijelaskan di atas sebagian besar berada dalam area kepemimpinan yang memiliki intensitas relasi dengan banyak orang atau dalam kaitan dengan interpersonal relationship.

Six thinking hats dapat digunakan saat seorang pemimpin yang ingin:

1. Memfasilitasi pertemuan.

2. Persiapan diskusi.

3. Continuous process improvement.

4. New products / new designs.

5. Penyelesaian konflik.

6. Pengambilan keputusan etis.

7. Problem Solving.

8. Customer focus groups /interviews.

9. Leadership development.

10. Presentasi.

11. Virtual meetings.

12. Kegiatan berpikir untuk  sendiri.Melihat kegunaan-kegunaan di atas maka memang diperlukan pemahaman yang baik dari seorang pemimpin untuk dapat mengerti dan mengaplikasikan cara berpikir six thinking hats ini dalam setiap lini kepemimpinannya sebab ada banyak permasalahan yang muncul dalam suatu kepemimpinan dikarenakan kurang mampunya pemimpin memahami cara berpikir orang yang dipimpin.

Hasil dari cara berpikir menggunakan metoda six thingking hats adalah:

1. Dapat mengarahkan kekuatan dari berpikir yang dapat fokus pada penyelesaian atau pendekatan memahami suatu masalah.

2. Dapat membantu kita menghemat waktu dalam menyelesaikan suatu permasalahan/pemikiran sehingga misalnya dalam diskusi kita tidak perlu berputar-putar melainkan pemimpin dapat cepat mengerti jalan pemikiran orang yang mengikuti rapat sehingga pemimpin dapat mengambil sikap atau keputusan yang tepat dan cepat.

Page 5: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

5

3. Dapat menghilangkan ego dalam mengambil keputusan, ini terkadang sering muncul dalam masalah kepemimpinan dimana keputusan-keputusan yang diambil banyak dipengaruhi oleh ego atau faktor ikatan emosional yang tinggi sehingga keputusan yang diambil tidak bisa objektif.

4. Kita akan lebih dimampukan untuk dapat melakukan sesuatu hal dalam satu waktu hingga tuntas dikarenakan selalu ada solusi atau jalan keluar yang bisa diambil dengan memahami cara berpikir dari orang-orang yang ada dalam pembicaraan tersebut.

Secara sederhana kita dapat melihat ilustrasi di bawah ini tentang six thingking hats5:

Topi putih6:

Orang yang menggunakan cara berpikir topi putih biasanya mereka merupakan orang-orang yang selalu mencari informasi yang dibutuhkan dengan detail, mengumpulkan fakta-fakta yang lengkap. Menggunakan topi putih memungkinkan anda menyajikan informasi secara alamiah dan dengan cara yang lebih objektif.

Pertanyaan yang biasa dipakai orang yang memakai topi putih adalah apa informasi yang kita punya? apa informasi yang hilang? apa informasi yang dapat kita dapatkan? bagaimana kita bisa mendapatkan informasi?

5Paul Foreman, http://www.mindmapinspiration.com/wp-content/uploads/2009/06/six-thinking-hats-mindmap.jpg. diakses 25 Maret 2014.

6 Bandingkan, Paul Foreman, Edward de Bono’s 6 Thinking Hat Handout, (at www.inspiration.moonfruit.com, 2006) TK3 Reader e-book.

Page 6: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

6

Ketika anda menggunakan topi putih maka fokus anda pada informasi, apa yang tersedia, apa yang dibutuhkan, dan bagaimana itu didapatkan. Pengajuan, opini, kepercayaan dan argumen lain harus diletakkan di luar.

Cara berpikir ini memang mengkondisikan seseorang untuk berpikir kepada fakta yang dilihatnya di lapangan, lebih mengarahkan seseorang untuk melihat dan menilai apa yang ada di depan. Biasanya orang yang hanya menggunakan cara berpikir topi putih akan lebih pasif dan bahkan bisa terkesan pesimistis dan tidak akan memunculkan ide atau solusi baru akan apa yang dilihat/dihadapi.

Topi kuning

Orang yang cara berpikirnya menggunakan topi kuning adalah orang yang memiliki tingkat optimisme yang tinggi dan memiliki aspek positif. Dengan menggunakan topi kuning memampukan anda untuk dapat melihat keuntungan, kemungkinan dan bagaimana sesuatu dapat dilakukan dengan lebih baik.

Pertanyaan yang sering ditanyakan oleh orang yang menggunakan cara berpikir topi kuning adalah: Apa yang menjadi keuntungan dari pilihan ini? Mengapa pengajuan ini ada? Apa yang menjadi aset positif dari design ini ? Bagaimana kita membuatnya berhasil?

Dengan menggunakan topi kuning mengarahkan pencariannya kepada hal-hal yang positif. Asumsi yang ada dalam pemikirannya keuntungan tidak selalu datang cepat, kita harus mencarinya. Setiap pemikiran positif dan optimis layak mendapatkan topi kuning.

Topi hitam

Orang yang menggunakan pemikiran topi hitam akan lebih banyak “menghakimi” atau berpraduga tinggi, berhati-hati dan mengevaluasi dalam segala sesuatu baik yang dipikirkan atau yang dihadapinya.

Menggunakan topi hitam membuat anda memikirkan pengajuan anda secara kritis dan logis. Topi hitam digunakan untuk merefleksikan mengapa suatu usulan tidak cocok sesuai fakta, pengalaman yang ada atau sistem yang digunakan, ketika menggunakan topi hitam maka anda akan memikirkan biaya (pengajuan ini terlalu mahal), peraturan (saya pikir aturannya tidak akan membolehkannya), design (designnya kelihatan bagus tetapi tidak praktis), materials (material akan berarti perawatan membutuhkan perawatan yang tinggi), isu keamanan. Kesalahan bisa menjadi kehancuran, jadi topi hitam akan sangat mempertimbangkan nilai dalam keputusan yang diambil.

Ini merupakan topi yang paling sering dan sangat berguna. Namun demikian sangat mudah dalam penyalahgunaan topi ini. Berhati-hati karena terlalu cepat menggunakan topi hitam dalam penyelesaian masalah dapat mudah negatif.

Topi merah

Page 7: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

7

Orang yang menggunakan cara berpikir topi merah berpikir dengan menggunakan intuisi, perasaan, dan emosi dalam mengambil keputusan. Biasanya, perasaan dan intuisi hanya dapat diperkenankan melalui diskusi jika itu didukung oleh logika.

Asumsi orang yang menggunakan topi merah ini yakni biasanya, perasaan itu asli tetapi logika tidak. Dengan memakai topi merah memungkinkan kita memajukan perasaan dan intuisi tanpa perlu penilaian, penjelasan atau permintaan maaf. Menggunakan topi merah, membuat anda mengekspresikan apa yang dirasakan tentang proyek, contoh: Perasaan saya ini tidak akan berhasil, saya tidak suka cara ini dilakukan, pengajuan ini sangat mengerikan, intuisi saya mengatakan bahwa harga akan turun segera. Topi merah mengijinkan perasaan masuk pada diskusi tanpa berpura-pura menjadi yang lain. Sangat berharga mendapatkan perasaan keluar dan terbuka.

Topi hijau

Orang yang menggunakan cara berpikir topi hijau akan berbicara soal berkreasi dengan ide yang baru dan cara baru melihat sesuatu, mereka akan berpikir kreatif, penambahan alternatif, mengedepankan kemungkinan dan hipotesa, pengajuan yang menarik, pendekatan yang baru, pengaruh dan perubahan.

Topi hijau membuat waktu dan ruang dimungkinkan untuk fokus pada pemikiran kreatif walaupun tidak ada ide kreatif, topi hijau bertanya untuk hasrat kreatif. Terkadang pemikiran topi hijau menjadi susah karena melawan kebiasaan kita soal penilaian, menghakimi dan mengkritisi. Tipe pertanyaan yang muncul dari pengguna topi hijau biasanya: apakah ada ide yang lain? apakah ada tambahan alternatif? dapatkah kita melakukan ini dengan cara yang berbeda? mungkin ada penjelasan yang lain?

Topi biru

Orang yang menggunakan topi biru biasanya akan mengontrol pemikiran, topi biru melambangkan kontrol pemikiran yang baik. Ini untuk mengorganisir dan mengontrol proses berpikir supaya bisa lebih produktif. Topi biru berbicara tentang berpikir soal pikiran. Menggunakan topi biru, anda dapat melihat tidak pada subjek itu sendiri tetapi tentang “pemikiran” subjek itu. Menetapkan agenda untuk berpikir menyarankan langkah selanjutnya dalam berpikir. Saya menyarankan kita mencoba pemikiran topi hijau untuk mendapatkan ide yang baru. Menanyakan kesimpulan, ringkasan dan keputusan dapatkah kami mendapatkan ringkasan dari pemikiran anda ?

Dengan six thinking hats memungkinkan manusia memahami/mengerti orang lain ketika mereka berpendapat atau menyampikan sesuatu. Dengan teori ini akan mempermudah proses komunikasi dan relasi sosial dengan siapa saja. Keenam cara berpikir ini dengan analogi topi sesuai warna masing-masing mempermudah kita untuk memahami seseorang, menggunakan topi dengan warna tertentu menggambarkan bagaimana seseorang meresponi sesuatu. Tidak ada yang paling benar dengan cara berpikir enam topi ini. Masing-masing topi biasanya kita gunakan sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu. Kemampuan mengganti topi itu yang dibutuhkan sehingga kita tidak menyelesaikan pemikiran atau masalah hanya dengan satu atau dua cara (hanya menggunakan topi hitam dan merah misalnya). Kemampuan manusia memahami orang lain berdasarkan perkataan, ekspresi wajah dan bahasa tubuh seseorang

Page 8: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

8

akan membantu kita memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan siapa saja. Dengan mengerti perkataan, ekspresi dan bahasa tubuh seseorang memungkinkan kita mengerti apa yang sebenarnya dipikirkan oleh seseorang atau dengan kata lain kita memahami cara berpikir seseorang sehingga kita dapat menghindari konflik yang tidak perlu hanya oleh karena kurangnya pemahaman interpersonal relationship dan pemahaman cara berpikir seseorang.

Apa itu kecerdasan interpersonal relationship

Manusia sebagai makhluk sosial memerlukan orang lain untuk dapat berinteraksi dan mengembangkan kualitas hidup agar lebih baik. Manusia harus bersosialisasi dengan orang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan.7 Untuk dapat hidup bersosial dengan baik maka diperlukan social skill sehingga akan membantu kita dalam bersosialisasi dengan sesama kita. Skill atau kecerdasan adalah kemampuan yang dimiliki oleh manusia karena ada unsur usaha dan kebiasaan yang terus membuat seseorang mempunyai kemampuan yang lebih baik.

Namun dalam proses interaksi antar sesama pasti akan ditemukan yang namanya perbedaan dalam melihat dan menanggapi segala sesuatu, ini terjadi karena ada perbedaan motif, tujuan, nilai, kebutuhan, dorongan dan keyakinan yang dimiliki. Selain itu ada juga faktor penting yang menentukan perbedaan respon yakni intelegensi, hal ini mengakibatkan mengapa intelegensi menjadi salah satu faktor keberhasilan dalam suatu pekerjaan.8

Berbicara soal kecerdasan/integensia manusia ada beberapa teori yang muncul salah satunya seperti yang di kemukakan oleh seorang psikolog Dr. Howard Gardner beliau seorang tokoh yang mengembangkan tentang teori kecerdasan ganda. Gardner pada tahun 1993 mengemukakan bahwa kecerdasan seseorang meliputi unsur-unsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis9.

Kecerdasan interpersonal/social skill10 atau bisa dikatakan juga sebagai kecerdasan sosial, diartikan sebagai kemampuan dan keterampilan seseorang dalam menciptakan relasi, membangun relasi dan mempertahankan relasi sosialnya sehingga kedua belah pihak berada dalam situasi menang-menang atau menguntungkan. Inteligensi interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intense, motivasi, watak, temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara, isyarat/bahasa tubuh dari

7Jahenos Saragih, Berteologi melalui komunikasi, suatu refleksi teologis Kristiani, Suara Gereja Kristiani yang Esa peduli bangsa, Jakarta:2009, 113.

8Fuad Nashoti (Ed), Psikologi Kepemimpinan, Pustaka Fahima, Yogyakarta: 2009, 166.

9Haryanto, Pengertian kecerdasan interpersonal menurut para ahli, Oktober 2010, http://belajarpsikologi.com/pengertian-kecerdasan-interpersonal-menurut-para-ahli/ diakses 26 Maret 2014.

10Secara teori, orang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang tinggi ditandai dengan sensitivitas mereka kepada orang lain 'suasana hati, perasaan, temperamen dan motivasi, dan kemampuan mereka untuk bekerja sama untuk bekerja sebagai bagian dari kelompok. Menurut Gardner mereka dengan kecerdasan ini berkomunikasi secara efektif dan berempati dengan mudah dengan orang lain, dan mungkin baik pemimpin atau pengikut. Mereka biasanya belajar paling baik dengan bekerja sama dengan orang lain dan sering menikmati diskusi dan perdebatan. http://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_multiple_intelligences diakses 26 Maret 2014.

Page 9: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

9

orang lain juga masuk dalam inteligensi ini. Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk berhubungan dengan orang-orang disekitar kita, kecerdasan ini adalah kemampuan kita untuk memahami dan memperkirakan perasaan, temperamen, suasana hati, maksud dan keinginan orang lain dan menanggapinya secara layak. Kecerdasan sosial merujuk pada spektrum yang merentang dari secara instan merasa keadaan batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya.11

Setelah Gardener meneliti tentang kecerdasan interpersonal ini ada pengembangan yang dilakukan oleh Salovey dan Stenberg yang berusaha menemukan “apa yang dibutuhkan manusia untuk meraih sukses dalam kehidupannya” dan dalam hasil penelitiannya kembali muncul pemahaman betapa pentingnya kecerdasan antar pribadi yang mana mencakup lima wilayah utama yakni: 1)Mengenali emosi diri, ini adalah kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar dari kecerdasan emosi; 2)Mengelola emosi, menanggapi perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat; 3)Memotivasi diri, dapat menyalurkan emosi kearah tujuan yang produktif; 4)Mengenali emosi orang lain, empati, maupun menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain; 5)Membina hubungan, keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan pribadi. Dari pengembangan penelitian ini memperlihatkan bahwa seseorang semakin lama akan semakin baik dalam kecerdasan emosinya atau mengarah kepada kedewasaan. Orang-orang dengan kecerdasan di atas akan mampu mebawa dirinya dengan baik dalam setiap situasi karena dapat mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan, toleransi yang tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah, lebih bertanggung jawab, lebih mampu memusatkan perhatian kepada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian dan lebih menguasai diri.12

Menurut Eileen Kennedy-Moore ada tiga proses yang mendasari keterampilan sosial yakni: melihat, berpikir, dan melakukan. Melihat melibatkan menyadari isyarat-isyarat sosial dan konteks situasional, serta memantau perilaku dan reaksi orang lain. Berpikir memerlukan keakuratan menafsirkan niat orang lain dan mengetahui strategi konstruktif untuk memunculkan tanggapan yang diinginkan dari orang lain. Melakukan berarti mampu berinteraksi dalam cara yang tepat.13

Menurut Martin Hoffman terdapat empat periode dalam perkembangan untuk memiliki sense of other/keterampilan sosial yakni:

1. Fase awal antara diri sendiri dan orang lain.

2. Awal pengenalan (masa bayi) atas eksisitensi dan kehadiran orang lain.

3. Perkembangan (dari masa bayi kepada masa kanak-kanak) rasa bahwa orang lain memiliki wilayah internal, pemikiran-pemikiran, perasaan yang berbeda satu dengan yang lain.

11Penjelasan, Tirzar Rahmawan dalam kecerdasan interpersonal, Desember 2009, http://tizarrahmawan.wordpress.com/2009/12/10/kecerdasan-interpersonal/, diakses 26 Maret 2014.

12 Fuad Nashoti (Ed), Psikologi Kepemimpinan...167, 173.

13 Bandingkan http://en.wikipedia.org/wiki/Social_skills, diakses 26 Maret 2014.

Page 10: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

10

4. Perkembangan (masa dewasa) atas kewaspadaan bahwa orang lain mempunyai situasi personal dan sejarah hidup di wilayah internal mereka masing-masing.14

Empat tahap perkembangan seseorang bisa memiliki sense of others ini sangat penting, jika tahap perkembangan tidak berjalan dengan baik maka seseorang akan menghadapi permasalahan soal sense of others. Proses perkembangan ini harus berjalan berkelanjutan sampai dengan tahap keempat sehingga seseorang akan semakin mengerti akan orang lain atau bisa dikatakan memiliki interpersonal skill, mengapa demikian ? hal ini dikarenakan ketika seseorang beranjak dewasa maka tingkat pergaulannya atau kehidupan sosialnya makin luas, jikalau dia tidak mampu memahami dan memperlakukan seseorang berdasarkan kondisi yang dialami oleh orang tersebut maka akan terjadi konflik atau kemungkinan terburuk dia tidak dapat bersosialisasi, ditolak bahkan terasingkan oleh sikapnya sehingga tidak diterima dan mungkin menjadi trouble maker yang bisa saja tidak disadarinya.

Untuk lebih memperjelas masalah ini maka kita akan melihat dimensi dari kecerdasan sosial seperti yang diutarakan oleh Aan Muzayanah dan Novita Dian berdasarkan teori Gardner yaitu: 1. Social sensitivity atau sensitivitas sosial yaitu kemampuan untuk merasakan dan mengamati reaksi-reaksi atau perubahan orang lain yang ditunjukkan baik secara verbal maupun non-verbal. 2. Social insight yaitu kemampuan untuk memahami dan mencari pemecahan masalah yang efektif dalam suatu interaksi sosial, sehingga masalah-masalah tersebut tidak menghambat apalagi menghancurkan relasi sosial. 3. Social communication atau penguasaan keterampilan komunikasi sosial merupakan kemampuan individu untuk menggunakan proses komunikasi verbal dan non-verbal dalam menjalin dan membangun hubungan interpersonal yang sehat. Kecerdasan interpersonal ini merupakan kecerdasan terkristal yang lebih bersifat (crystallized intelligence) yang diperoleh dari proses pembelajaran dan pengalaman hidup.15 Terkait dengan proses komunikasi non-verbal maka terdapat hubungan yang erat dengan kemampuan menafsirkan hubungan interpersonal lewat bahasa tubuh/body language, dimensi dari bahasa tubuh seperti dimensi diam, dimana seseorang tidak mengeluarkan kata/tanpa kata, dimensi waktu seumpamanya keterlambatan atau datang awal, dimensi jarak dimana seseorang duduk dan berbicara dalam sebuah pertemuan, selain itu ada istilah paralanguage yang meliputi kualitas suara (jelas, gugup, lantang, tinggi, keras), dimensi suara tanpa kata seperti “ah”, “uhm”, “wow”, dll, dimensi tertawa, dimensi menguap, dimensi menggoyangkan kaki atau tangan,16 memang masih ada banyak dimensi yang bisa dipakai untuk alat ukur komunikasi non-verbal.

Ketiga dimensi di atas saling berkaitan dan saling melengkapi satu dengan yang lain dan tidak dapat berdiri sendiri. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa proses kemampuan interpersonal ini tidak didapatkan dalam waktu sehari atau melalui pelatihan-pelatihan saja, seperti pendapat Gardner dan diperkuat oleh teori Martin Hoffman di atas kita dapat melihat bahwa kecerdasan interpersonal ini sangat diperlukan dan harus dimaksimalkan sejak kecil 14 William Damon, Social and Personality Development, W.W. Norton & Company, Inc. New York;1983, 126-127.

15 Aan Muzayanah dan Novita Dian, Hubungan antara kecerdasan interpersonal dengan kepuasan kerja karyawan (guru), Jurnal Soul, Vol. 1, No. 2, September 2008:38

16 Makmuri Muchlas, Perilaku organisasi, Program Pendidikan Pasca Sarjana Magister Rumah Sakit UGM: Yogyakarta:1996, 46-48.

Page 11: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

11

dan harus melalui fase yang tepat sehingga menghasilkan pemimpin dewasa yang memiliki kecerdasan sosial yang baik.

Kepemimpinan Kristen

Berbicara soal pemimpin dan kepemimpinan Kristen maka kita akan bertemu dengan banyak pendapat atau pemikiran, berikut beberapa gambaran pendapat seperti:

Agus Lay mengatakan pemimpin ialah seorang yang mengetahui tujuannya dengan jelas (dan mempunyai keyakinan pribadi tentang tujuan itu), serta mampu mempengaruhi, menggerakkan dan mengarahkan orang-orang lain untuk mencapai tujuan tersebut, secara efektif.17

Eka Darmaputra mengatakan kepemimpinan manusia itu menurut Kejadian 1:26, adalah sekaligus merupakan hakikat, mandat dan berkat Allah. Dengan demikian konsekuensinya manusia harus menjalankan kepemimpinan dengan syukur, hormat dan khidmat. Jangan menodainya dengan tindakan-tindakan serampangan dan tidak ilahi! Sebab, bila itu yang dilakukannya, maka yang dihadapinya tak kurang adalah Allah sendiri. Dengan demikian pemimpin dapat disimpulkan adalah seorang yang diberikan kepercayaan oleh Allah untuk memimpin maka harus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan penuh rasa tanggung jawab dan hormat.18

John Maxwell mengatakan selama akhir 1970-an, saya mencurahkan diri pada pelatihan dan pembinaan calon pemimpin. Yang menyenangkan, saya mendapatkan bahwa pemimpin dapat dikembangkan.19

Dapat dilihat bahwa pemimpin adalah orang yang memiliki tujuan yang jelas, mampu mempengaruhi dan menggerakan orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan selain itu dalam kaitan dengan pemimpin Kristen maka ia (sang pemimpin) dapat melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan kualitas yang terbaik karena ini menggambarkan kualitas hidupnya sebagai orang Kristen.

Terlepas dengan definisi di atas maka terdapat satu pertanyaan penting yakni apakah pemimpin itu dilahirkan atau dijadikan (dibentuk menjadi) pemimpin ?

Menjawab hal ini maka menurut pendapat Pdt.DR.Petrus Octavianus mengutip teori yang dikemukakan oleh Drs.Agus Lay untuk dapat menjawab pertanyaan di atas yakni:

1. Teori genetis (heriditas), teori ini menyatakan bahwa leaders are born and not made mengapa? karena para penganut teori ini percaya bahwa seseorang menjadi pemimpin itu karena memang ia dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan. Kebanyakan orang akan melihat bahwa dia akan menjadi pemimpin berdasarkan kharisma yang dipancarkan/dimiliki. Teori ini bersifat deterministis.

17 Petrus Octavianus, Manajemen dan Kepemimpinan menurut Wahyu Allah, YPPII-Batu; 2007, 55.

18 Bandingkan Eka Darmaputra, Pemimpin yang memimpin, Kairos-Yogyakarta:2011, 26.

19 John C. Maxwell, Leaders gold, pelajaran yang saya peroleh dari memimpin seumur hidup.Immanuel Publishing House, Jakarta:2010,vii.

Page 12: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

12

2. Teori sosial (bertentangan dengan teori genetis), teori ini menyatakan bahwa leaders are made not born dengan demikian mereka yang percaya teori ini menyatakan bahwa setiap orang dapat memimpin kalau dia memperoleh pendidikan dan pengalaman serta mempunyai kesempatan yang cukup untuk memimpin.

3. Teori ekologis, teori ini menyatakan seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik, kalau memang ia memiliki bakat-bakat yang bersifat genetis, tetapi bakat-bakat ini hanyalah suatu potensi yang perlu dikembangkan lebih lanjut melalui pendidikan, pengalaman dan kesempatan.

Ketiga teori ini memiliki kebenaran yang relatif karena syarat manusiawi ditentukan oleh kita manusia untuk bisa mengkategorikan siapa dan apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin Kristen. Yang dapat kita pahami terlepas dari ketiga teori ini adalah setiap pemimpin menjadi pemimpin karena ia bertemu dengan kesempatan yang memang sudah disiapkan baginya oleh Sang pengatur kesempatan. Dengan demikian kemampuan bakat, pengetahuan dan pengalaman ditambah dengan kesempatan yang diberikan membuat seseorang menjadi pemimpin yang nanti bisa menoreh sejarah (apapun hasilnya nanti), kesempatan adalah waktunya Tuhan, jikalau pemimpin kehilangan kesempatan berarti ia kehilangan sejarah dalam periode kepemimpinannya dan kehilangan buah kekekalan dalam periode kehidupannya.20

Benarlah bahwa seorang pemimpin (apapun teori yang anda pegang) selayaknya mengerti keberadaan dirinya, memahami apa yang harus dikerjakan karena dalam masa hidupnya ada kesempatan yang Tuhan berikan baginya untuk dapat menoreh sejarah yang baik dan bisa memuliakan Tuhan karena melakukan pekerjaannya dengan baik.

Namun, menurut John Maxwell ada beberapa kondisi/masalah yang muncul dalam lingkungan kepemimpinan saat ini seperti:

Munculnya ide seorang pemimpin untuk selalu “menjaga jarak”, gaya kepemimpinan seperti ini biasanya diberlakukan oleh orang yang sedikit “kuno dan otoriter” dimana seorang pemimpin tidak boleh terlalu dekat dengan orang yang mereka pimpin. Cara berpikir demikian sangatlah tidak tepat karena ini adalah pedang bermata dua, kita memang bisa menjaga jarak bahkan mengarahkan kepada “kewibawaan” tetapi perlu diingat bahwa sebagai seorang pemimpin tetap membutuhkan seseorang untuk membantu kita dan ini bisa dilakukan jikalau kita punya hubungan yang baik dengan orang yang kita pimpin. Ketika kita bisa menjaga jarak dengan bawahan maka tidak ada yang dapat menyakiti kita namun ini akan berbanding lurus dimana tidak ada yang akan memberi bantuan.

Setelah itu ada kondisi berikut yang sering muncul yakni seorang pemimpin merasa kesepian di tengah/di atas puncak kepemimpinannya. Seorang yang melakukan kepemimpinan yang benar maka dia harus tidak merasa kesepian di tengah kepemimpinannya, mengapa karena seorang pemimpin tidak mungkin berada di puncak kepemimpinannya tanpa ada orang yang membantunya dengan demikian pasti harus ada orang yang membawa anda dan bersama anda dalam puncak kepemimpinan. Maka memang perlu diperhatikan esensi kepemimpinan dimana menurut John Maxwell pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang memimpin dirinya sendiri dalam hal ini adalah menjalankan kredibilitasnya sebagai seorang pemimpin berupa konsisten untuk inisiatif yakni pemimpin

20 Bandingkan, Petrus Octavianus, Manajemen...57-58.

Page 13: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

13

harus bangkit untuk naik, pengorbanan yakni pemimpin harus melepas untuk naik dan kematangan yakni pemimpin harus dewasa untuk naik dan ini akan berakhir dengan dia menolong orang mencapai sukses pribadi seperti yang dia lakukan sebelumnya.21

Masih dengan analisa Maxwell soal kepemimpinan, menurutnya ada pemimpin yang tidak peduli dan mengasihi orang yang dia pimpin. Perspektif orang yang dipimpin itu tidak peduli seberapa banyak anda tahu masalah/kondisi mereka, yang mereka perlu adalah seberapa banyak anda peduli terhadap mereka. Mengapa? Karena antara pemimpin yang tidak perduli dengan orang yang dipimpin adalah pemimpin yang memanipulasi bawahannya dan ini tidak boleh dilakukan oleh seorang pemimpin. Dengan demikian pemimpin perlu mengasihi dan peduli dalam bentuk tindakan nyata.22

Berikutnya pemimpin lebih keras kepada orang lain ketimbang kepada diri sendiri. Mengapa ini terjadi? Kebanyakan pemimpin menggunakan dua perangkat kriteria yang sama sekali berbeda untuk menilai diri sendiri versus orang lain. Yang digunakan untuk orang lain menilai menurut “perbuatan” mereka, namun kita menilai diri sendiri menurut “niat” kita. Dalam realita kepemimpinan Kristen saat ini hal ini terkadang sering terjadi dimana seorang pemimpin memberikan penilaian kepada bawahannya dan menyimpulkan mereka banyak melakukan kesalahan karena “perbuatan-perbuatan” yang telah dilakukan, namun demikian mereka sebagai pemimpin tidak mau mengoreksi diri atau tidak mau disalahkan sehingga walaupun “perbuatan” mereka juga salah tetapi mereka melindungi diri mereka dengan menilai apa yang mereka lakukan berdasarkan “niat” walaupun “perbuatan” mereka salah, alasan yang digunakan mereka yang mau mendidik atau mengajarkan suatu prinsip hidup, yang ada ini hanya suatu keironisan yang sangat tidak adil. 23

Salah penilaian dari pemimpin terhadap yang dipimpin membuat segala sesuatu menjadi “kacau”, hal ini di tegaskan Maxwell dengan menggunakan analogi pemimpin yang mengirim bebek ke sekolah elang. Mengapa ini menjadi hal yang sangat penting! Banyak pemimpin berpikir bahwa dengan kepimpinan yang diterapkan mereka dapat mengubah “bebek” menjadi “elang”, para pemimpin itu berpikir apa bila bekerja keras dan mengajarkan hal yang benar maka dapat mengubah bebek menjadi elang, ini suatu kesalahan besar yang tidak akan pernah berhasil mengapa ? Karena pemimpin yang mengirimkan bebek ke sekolah elang akan membuat bebek frustasi. Point penting dari bagian ini adalah seorang pemimpin harus dapat menempatkan orang di tempat yang tepat supaya mereka dapat sukses. Tidak ada yang salah dengan menjadi bebek atau elang karena masing-masing memiliki kekuatan dan kekurangan. Jika pemimpin mengirimkan bebek ke sekolah elang akan membuat elang frustasi. Hanya orang yang memiliki standar hidup yang hampir sama yang dapat bekerja mengikuti ritme sesamanya maka jangan harapkan bebek dapat terbang solo menukik tajam dan elang terbang bersamaan dengan bebek karena mereka tetap berbeda walaupun sama-sama bisa terbang. Pemimpin dituntut untuk dapat jeli menempat seseorang yang memiliki kualifikasi atau “roh” yang hampir sama dalam gaya bekerja agar tidak membuat elang frustasi karena kita memaksakan bebek menjadi elang. Jika pemimpin mengirimkan bebek ke sekolah elang maka sang pemimpin akan frustasi. Terkadang ketika orang yang kita pimpin tidak memenuhi standart kita maka itu akan membuat kita/para

21 Bandingkan, John Maxwell, Leaders gold...4-5.

22 Bandingkan, John Maxwell, Leaders gold...9.

23 Bandingkan, John Maxwell, Leaders gold...15-16.

Page 14: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

14

pemimpin frustasi. Pemimpin biasanya mempunyai potensi dan cara “terbang” yang kadang tidak dimengerti oleh orang yang dipimpin, mereka tidak akan dapat menyesuaikan ritme gerak pemimpin jikalau mereka tidak berada dalam zona kekuatan mereka atau dengan kata lain dalam area terbaik mereka. Hal ini membuat perlu kejelian para pemimpin untuk menempatkan orang di tempat yang tepat sesuai dengan kekuatan mereka sehingga kita/para pemimpin dapat berharap banyak dengan standart dan kinerja yang dimiliki oleh orang yang kita pimpin karena kita mengerti apakah mereka elang atau bebek, jangan berharap bebek mengerjakan pekerjaan elang atau sebaliknya.24

Refleksi six thinking hats dengan kecerdasan interpersonal seorang pemimpin Kristen.

Berdasarkan penjelasan di atas maka penulis ingin memberikan refleksi sebagai bahan pembelajaran bersama. Penulis menemukan bahwa teori Edward de Bono dalam six thinking hats ini perlu dipahami oleh setiap pemimpin Kristen terkait dengan kemampuan atau kecerdasan sosial yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin Kristen.

Ketika memimpin maka pemimpin akan menghadapi banyak pendapat, luapan emosi, kritikan, penilaian, ide-ide kreatif yang akan disampaikan oleh orang yang dipimpin. Ada kemungkinan besar akan terjadi konflik internal atau kondisi like and dislike dalam suatu pekerjaan jikalu pemimpin tidak memiliki kecerdasan interpersonal dan pemahaman berpikir yang tepat. Asumsi ini dapat dilihat dalam kehidupan keseharian dimana bisa terjadi kesalah pahaman dan berakibat fatal dalam suatu organisasi jikalau kemampuan berpikir yang tepat dan pemahaman interpersonal ini tidak dimiliki pemimpin.

Seperti masalah kepemimpinan yang dijabarkan di atas, penulis bisa melihat fenomena masalah kepemimpinan ini muncul bisa karena kurang pahamnya pemimpin akan cara berpikir orang yang dipimpinnya/kesalahan respon dan kurangnya kemampuan dalam menjalin relasi sosial dengan orang yang dipimpin.

Contoh seperti pemimpin yang menjaga jarak, ini menjadi masalah terutama di era kepemimpinan yang membutuhkan transparansi dan demokrasi dalam kepemimpinan, ketika pemimpin berpikir dengan menjaga jarak akan menumbuhkan kewibawaan dengan orang yang dipimpin maka di saat ini adalah keputusan yang kurang tepat. Mengapa pemimpin menjaga jarak? bisa saja karena cara berpikir pemimpin menggunakan konsep topi hitam yang sifatnya “menghakimi” atau mengkritisi suatu hubungan seperti untuk apa saya harus dekat dengan bawahan ? apa keuntungan yang saya dapatkan dari hubungan ini? Jangan-jangan nanti bawahan saya akan tidak menghargai dan menghormati saya ? atau malah menggunakan topi merah dengan penilaian yang emosional karena ada perasaan like and dislike sebelumnya, karena pernah dikritik oleh bawahan sehingga merasa tersinggung, ide pemimpin yang tidak diterima, perbedaan pendapat yang mengakibatkan pemimpin merasa tidak dihargai yang mempengaruhi suasana hati sehingga hubungan interpersonal.

24 Bandingkan, John Maxwell, Leaders gold...102-111.

Page 15: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

15

Masalah pemimpin yang merasa kesepian di tengah kepemimpinannya juga merupakan masalah konsep berpikir dan kemampuan menjalin dan menjaga relasi, terkadang pemimpin merasa seorang diri dalam mengerjakan kepemimpinannya dikarenakan sang pemimpin tidak dapat menjalin relasi yang baik dengan orang yang dipimpin, ada pemimpin yang merasa sanggup melakukan segala sesuatu sendiri sehingga tidak mau melibatkan/menerima pertolongan orang lain dalam mengerjakan sesuatu ia terbiasa sendiri/single fighter. Ini terjadi karena kurangnya kemampuan pemimpin untuk menerima ide-ide kreatif (topi hijau) dari orang yang dipimpin karena sang pemimpin memiliki banyak pertimbangan yang terkesan pesimistis dan bahkan banyak kalkulasi dan terlalu berhati-hati sampai akhirnya lamban mengambil keputusan (topi hitam) atau pun sebaliknya hal ini bisa terjadi dimana sang pemimpin menggunakan topi hijau sedangkan orang-orang yang dipimpin menggunakan topi hitam sehingga tidak ada sikap yang diambil karena banyaknya pertimbangan yang dimiliki.

Kondisi yang lain lagi bisa seperti kurangnya pemimpin mengasihi orang yang dipimpin, hal ini bisa muncul karena kurangnya kemampuan interpersonal yang dimiliki/kurang peka dan berpikir dengan menggunakan topi putih dimana bawahan diharapkan hidup berdasarkan fakta normatif yang sudah ada saat ini. Masalah yang besar ketika pemimpin tidak memiliki keperdulian terhadap orang yang dipimpin. Saat ini banyak pemimpin yang lebih memikirkan menginvestasikan uang, harta benda atau benda mati dari pada menginvestasikan orang yang dia pimpin. Kurangnya perhatian menginvestasikan manusia/orang dipimpin merupakan suatu kesalahan fatal, SDM yang ada merupakan potensi yang luar biasa yang terkadang tidak bisa diukur dengan materi yang ada. Ini yang menjadi motor penggerak suatu organisasi atau kepemimpinan. Kurangnya kepemimpinan Kristen menginvestasikan SDM bisa saja terjadi karena kurangnya perhatian dan kemampuan memelihara realasi sosial. Banyak kepemimpinan Kristen/organisasi Kristen yang tidak memanusiakan orang-orang yang dipimpin dengan alasan pelayanan (yang harus berkorban dan hidup sederhana) sedangkan mereka pemimpin hidup dengan standart hidup yang sangat jauh dari pada orang yang dipimpin. Inkonsistensi hidup pemimpin sering muncul dimana orang yang dipimpin kita nilai berdasarkan perbuatan-perbuatan mereka sedangkan kita menilai diri kita berdasarkan niat tapi terkadang perbuatan kita yang tidak benar itu kita benarkan dengan alasan niat kita baik mau mendidik dan mengajarkan suatu prinsip hidup kepada bawahan walaupun mungkin kita dulu tidak mau diperlakukan demikian atau sekarang kita tidak melakukan apa yang kita ajarkan tersebut.

Masalah berikut yang diangkat yaitu kurangnya kemampuan pemimpin Kristen dalam menilai kemampuan atau kekuatan dan kelemahan orang yang dia pimpin. Banyak pemimpin Kristen yang tidak bisa membedakan mana yang bebek dan mana yang elang. Bebek dipaksakan dididik menjadi elang atau sebaliknya. Pemimpin salah menempatkan orang dalam suatu tugas yang dipercayakan. Kesalahan penempatan tugas akan berakibat frustasinya semua pihak yakni orang yang diberikan tugas, rekan sekerjanya dan pemimpin itu sendiri karena semuanya tidak sesuai dengan standart yang diharapakan. Mengapa ini terjadi ? ada kemungkinan kurangnya kemampuan menerima usul dan saran dari pihak lain dalam menempatkan seseorang, campurnya ikatan emosional pemimpin sehingga dalam menempatkan orang dalam suatu tugas hanya dinilai menggunakan ikatan emosianal (topi merah) atau tingkat optimisme pemimpin (topi kuning) yang tinggi bahwa orang yang dipilihnya dapat berkembang dengan baik padahal optimismenya lebih dominan pengaruh

Page 16: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

16

ikatan emosional saja yang akhirnya membuat banyak orang frustasi, ingat bebek tidak akan pernah menjadi elang ! atau sebaliknya. Berikan penilaian yang kritis (topi hitam) dan objektis (topi putih). Jikalau kita sudah terlanjur membuat kesalahan maka segeralah mengevaluasi dan mencari solusi yang terbaik (topi biru).

Bisa dilihat penggunaan cara berpikir seperti yang dianalogikan oleh Edward de Bono ini akan mempermudah seorang pemimpin dalam mengambil sikap, dia akan mudah mengerti cara berpikir orang yang dipimpinnya sehingga dia dapat mengambil sikap yang benar dan tepat sambil terus memahami dan mengasah kemampuan interpersonalnya dalam memimpin. Faktor relasi dengan orang lain dimana ada unsur memahami kondisi orang lain dan diimbangi dengan kemampuan memahami cara berpikir manusia dengan menggunakan teori de Bono diharapkan membuat para pemimpin Kristen makin lebih maksimal lagi dalam memimpin dan dapat mereduksi konflik internal dalam organisasi Kristen.

Selain itu pemimpin yang mengerti konsep berpikir de Bono ini maka diharapkan dapat memahami cara berpikir dan sikap yang diambil oleh orang yang dipimpin misalnya:

1. Ada bawahan yang kurang kreatif, hanya menjalankan tugas sebatas yang ia tahu dan mau lakukan tanpa bertanya banyak kepada kita, jikalau menghadapi permasalahan maka dia tidak melakukan apa-apa karena kesannya dia pasrah dengan kondisi yang ada. Maka pemimpin bisa melihat kemungkinan saat itu dia sedang menggunakan cara berpikir topi putih.

2. Orang yang kita pimpin memiliki sikap optimisme yang luar biasa, berpikir positif selalu menilai segala sesuatau yang ia kerjakan berdasarkan nilai yang menguntungkan dirinya atau organisasi, pemimpin bisa melihat bahwa orang ini menggunakan cara berpikir topi kuning.

3. Orang yang kita pimpin selalu melontarkan ide-ide kreatif dengan konsep-konsep yang jelas, dia memiliki kemampuan melihat peluang dengan menyampaikan alternatif-alternatif yang bisa dilakukan, pemimpin dapat melihat bahwa orang ini menggunakan cara berpikir topi hijau.

4. Orang yang kita pimpin selalu dalam mengambil keputusan berdasarkan kondisi/suasana hati, emosional yang diutamakan yang kadang tidak masuk akal atau tidak dapat dijelaskan maka pemimpin harus mengerti bahwa orang ini menggunakan cara berpikir topi merah.

5. Orang yang kita pimpin dalam mengambil keputusan selalu mengkritisi sesuatu, membuat penilaian yang terkesan pesimis/negatif, berhati-hati dalam menentukan keputusan, segala sesuatu yang menjadi keputusan berdasarkan pertimbangan logis menurutnya yang kadang tidak peduli atau mau menerima masukan orang lain. Pemimpin harus mengerti bahwa dia sedang menggunakan topi hitam.

6. Orang yang mampu mengatur segala sesuatu dengan baik, mencari solusi dengan pemikiran yang luas, menyusun langkah-langkah yang jelas berdasarkan penelitian yang baik maka orang ini menggunakan cara berpikir topi biru.

Page 17: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

17

Dari contoh di atas maka bisa dimengerti manusia terkadang mengganti topinya sesuai dengan apa yang dia mau, keenam topi ini dapat digunakan dalam setiap kondisi, terkadang kita bisa tersinggung dan tidak mengerti jikalau kita tidak paham apa yang dimaksud oleh orang lain ketika mereka bersikap berdasarkan cara mereka berpikir ini. Manusia bisa berubah cara berpikir dan menghasilkan sikap setiap saat. Dengan pahamnya seorang pemimpin akan cara berpikir seseorang maka akan memampukan dia terus mengasah interpersonal skillnya karena dia mengetahui apa alasan atau dasar dari setiap pernyataan dan sikap yang diambil oleh orang-orang yang ada disekelilingnya dan diharapkan akan mereduksi konflik dan perpecahan dalam organisasi Kristen.

Kepustakaan

Buku dan jurnal:

Damon William, Social and Personality Development, W.W. Norton & Company, Inc. New York;1983.

Page 18: Edward de bono six thinking hats dalam refleksi kecerdasan interpersonal relationship pemimpin kristen

18

Darmaputra Eka, Pemimpin yang memimpin, Kairos-Yogyakarta:2011.

Heiman Marcia, Slomianko Joshua (ed), Thinking Skills Instruction: Concept and Techniques in Edward de Bono:The direct teaching of thinking as a skill, National Education Association of the United States, 1987.

Maxwell John C., Leadership Gold, pelajaran yang saya peroleh dari memimpin seumur hidup, Immanuel, Jakarta:2010.

Muchlas Makmuri, Perilaku organisasi, Program Pendidikan Pasca Sarjana Magister Rumah Sakit UGM: Yogyakarta:1996.

Muzayanah Aan dan Dian Novita, Hubungan antara kecerdasan interpersonal dengan kepuasan kerja karyawan (guru), Jurnal Soul, Vol. 1, No. 2, September 2008.

Nashoti Fuad (ed), Psikologi Kepemimpinan, Pustaka Fahima, Yogyakarta: 2009.

Octavianus Petrus, Manajemen dan Kepemimpinan menurut Wahyu Allah, YPPII-Batu; 2007.

Saragih Jahenos, Berteologi melalui komunikasi, suatu refleksi teologis Kristiani, Suara Gereja Kristiani yang Esa Peduli Bangsa, Jakarta:2009.

Website:

http://en.wikipedia.org/wiki/Edward_de_Bono, diakses 25 Maret 2014.

http://en.wikipedia.org/wiki/Theory_of_multiple_intelligences diakses 26 Maret 2014.

http://en.wikipedia.org/wiki/Social_skills, diakses 26 Maret 2014.

http://irfc.wordpress.com/2011/01/06/cara-berpikir-edward-de-bono/, diakses 29 Maret 2014.

Haryanto dalam Pengertian kecerdasan interpersonal menurut para ahli, Oktober 2010, http://belajarpsikologi.com/pengertian-kecerdasan-interpersonal-menurut-para-ahli/ diakses 26 Maret 2014.

Paul Foreman dalam six-thinking-hats-mindmap, http://www.mindmapinspiration.com/wp-content/uploads/2009/06/six-thinking-hats-mindmap.jpg. diakses 25 Maret 2014.

Paul Foreman, Edward de Bono’s 6 Thinking Hat Handout, (at www.inspiration.moonfruit.com, 2006) TK3 Reader e-book.

Tirzar Rahmawan dalam kecerdasan interpersonal, Desember 2009, http://tizarrahmawan.wordpress.com/2009/12/10/kecerdasan-interpersonal/, diakses 26 Maret 2014.