draft kolokium sendi

23
1 UJI EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL KELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme) TERHADAP KADAR SGOT DAN SGPT TIKUS JANTAN GALUR WISTAR YANG DIINDUKSI PARASETAMOL ABSTRAK Oleh Junaedi Sendiko 25131081 (Program Studi S1 Farmasi) Latar Belakang : Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) merupakan salah satu tanaman Indonesia yang dapat digunakan sebagai obat herbal. Keladi tikus diketahui memiliki khasiat sebagai hepatoprotektif. Tujuan : Menentukan dosis efektif ekstrak keladi tikus terhadap kerusakan hati tikus yang diinduksi parasetamol. Metode : Keladi tikus dimaserasi dengan pelarut etanol 96%, ekstrak yang didapat digunakan untuk uji farmakologi pada tikus yang diinduksi kerusakan hati. Parameter pengujian berupa kadar SGOT, SGPT dan histopatologi hati. Penelitian dievaluasi secara statistik menggunakan analsis variansi (ANOVA). Hasil Penelitian : Ekstrak etanol keladi tikus memberikan pengaruh pada penurunan kadar SGOT dan SGPT. Rata-rata kadar SGOT pada dosis I, II, III masing-masing (12,1±1,4 U/I), (9,7±1,1 U/I) dan (9,1±1,4 U/I) berbeda bermakna terhadap kontrol positif (p<0,050). Kadar SGPT pada dosis I, II, III masing-masing (3,1±0,2 U/I), (2,1±0,1 U/I) dan (1,6±0,1 U/I) berbeda bermakna terhadap kontrol positif (p<0,050). Dosis efektif pemberian ekstrak etanol keladi tikus tikus adalah dosis 400 mg/kg bb. Kesimpulan : Pemberian ekstrak etanol keladi tikus dapat mencegah kerusakan hati yang diinduksi parasetamol dengan dosis uji efektif 400 mg/kg bb. Kata Kunci : Hepatoprotektor, Parasetamol, Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme)

Upload: ahmad-junaedi-sendiko-s-farm-apt

Post on 10-Jul-2016

89 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Laporan kemajuan penelitian

TRANSCRIPT

Page 1: Draft Kolokium SENDI

1

UJI EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOLKELADI TIKUS (Typhonium flagelliforme) TERHADAP

KADAR SGOT DAN SGPT TIKUS JANTAN GALUR WISTARYANG DIINDUKSI PARASETAMOL

ABSTRAK

OlehJunaedi Sendiko

25131081(Program Studi S1 Farmasi)

Latar Belakang : Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) merupakan salah satu

tanaman Indonesia yang dapat digunakan sebagai obat herbal. Keladi tikus

diketahui memiliki khasiat sebagai hepatoprotektif. Tujuan : Menentukan dosis

efektif ekstrak keladi tikus terhadap kerusakan hati tikus yang diinduksi

parasetamol. Metode : Keladi tikus dimaserasi dengan pelarut etanol 96%,

ekstrak yang didapat digunakan untuk uji farmakologi pada tikus yang diinduksi

kerusakan hati. Parameter pengujian berupa kadar SGOT, SGPT dan histopatologi

hati. Penelitian dievaluasi secara statistik menggunakan analsis variansi

(ANOVA). Hasil Penelitian : Ekstrak etanol keladi tikus memberikan pengaruh

pada penurunan kadar SGOT dan SGPT. Rata-rata kadar SGOT pada dosis I, II,

III masing-masing (12,1±1,4 U/I), (9,7±1,1 U/I) dan (9,1±1,4 U/I) berbeda

bermakna terhadap kontrol positif (p<0,050). Kadar SGPT pada dosis I, II, III

masing-masing (3,1±0,2 U/I), (2,1±0,1 U/I) dan (1,6±0,1 U/I) berbeda bermakna

terhadap kontrol positif (p<0,050). Dosis efektif pemberian ekstrak etanol keladi

tikus tikus adalah dosis 400 mg/kg bb. Kesimpulan : Pemberian ekstrak etanol

keladi tikus dapat mencegah kerusakan hati yang diinduksi parasetamol dengan

dosis uji efektif 400 mg/kg bb.

Kata Kunci : Hepatoprotektor, Parasetamol, Keladi Tikus (Typhonium

flagelliforme)

Page 2: Draft Kolokium SENDI

2

PENDAHULUAN

Prevalensi kerusakan hati di dunia menunjukkan jumlah yang serius untuk

diwaspadai. Ditingkat daerah kecil pun, dalam hal ini Kabupaten Kutai Timur,

Provinsi Kalimantan Timur. Kerusakan hati dapat disebabkan oleh infeksi

maupun aktifitas senyawa kimia yang masuk kedalam tubuh dengan berbagai

mekanisme. Kerusakan hati yang diawali dengan meningkatnya steatosis dan

fibrosis pada hati yang dalam kondisi kronis dapat menyebabkan kematian.

Salah satu mekanisme patogenesis kerusakan hati adalah degradasi membran

hepatosit yang dikarenakan oleh peroksidasi lemak (Kandalintseva et al, 2002).

Berkembangnya penyakit hati karena gejalanya tidak diketahui sejak dini,

sehingga penyakit ini semakin parah dan baru diketahui setelah mencapai stadium

lanjut, akibatnya penderita mengalami sirosis hati. Sedangkan pada penderita yang

bisa dideteksi pada stadium awal, dapat disembuhkan melalui pembedahan.

Sebagian besar penyakit hati di sebabkan oleh adanya virus, radikal bebas dan

mengosumsi obat-obatan yang tidak tepat dan diluar pengawasan ahli medis.

Obat-obat tersebut diantaranya ialah parasetamol dengan dosis tingggi.

Parasetamol telah banyak digunakan sebagai obat antipiretik dan analgesik yang

dipandang sebagai obat yang relatif aman khususnya hati. Namun peneliti lain

menyatakan pada dosis yang tinggi, parasetamol dapat menimbulkan gangguan

pada hati. Adapun indikator adanya gangguan hati dapat diketahui melalui

pemeriksaan laboratorium yang diantaranya terihat dari nilai hasil kadar serum

glutamate-piruvat transaminase (SGPT) dan serum glutamate-oksaloasetat

transaminase (SGOT).

Perlindungan terhadap hepatotoksisitas oleh suatu zat atau bahan uji dinilai

berdasarkan kemampuannya untuk mempengaruhi berbagai parameter antara lain

menekan peningkatan aktivitas enzim-enzim aminotransferase. Sel-sel hati

mengandung enzim-enzim transferase dalam jumlah yang besar, yaitu glutamate

oksaloasetat dan glutamate-piruvat transaminase. Bila sel-sel hati rusak enzim-

enzime ini keluar dari sel-sel hati sehingga kadarnya meningkat dalam darah.

Page 3: Draft Kolokium SENDI

3

Pada semua jenis kerusakan hati, baik oleh racun maupun virus akan terjadi

peningkatan SGOT, SGPT dan bilirubin. (Syahruddin, 2007).

Keladi tikus (Typhonium flagelliforme) merupakan tanaman obat yang

bermanfaat dalam mengobati penyakit kanker (Syahid, 2007). Di Indonesia

tanaman ini tergolong pendatang baru dalam khasanah pengobatan herbal

(Sudewo, 2004). Upaya pencarian zat hepatoprotektor banyak dilakukan terhadap

bahan alam, maka dari itu dilakukan penelitian keladi tikus (Typhonium

flagelliforme) yang merupakan salah satu tumbuhan tropis Indonesia. Ekstrak

etanol daun keladi tikus di duga berkhasiat sebagai antihepatotoksik.

Rumusan Masalah

a. Apakah ekstrak Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme) dapat menurunkan

peningkatan aktivitas enzim SGOT dan SGPT ?

b. Berapakah dosis efektif Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme) yang dapat

memberikan efek pada penurunan enzim SGOT dan SGPT ?

c. Golongan apakah yang terkandung didalam tanaman Keladi Tikus

(Typhonium flagelliforme) ?

Tujuan Penelitian

a. Menentukan efek penurunan aktivitas enzim SGOT dan SGPT setelah di

induksi parasetamol.

b. Menetapkan dosis efektif ekstrak etanol keladi tikus terhadap penurunan

aktivitas enzim SGOT dan SGPT.

c. Menetapkan karakteristik awal dari tanaman Keladi Tikus

(Typhonium flagelliforme).

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber media informasi tentang

khasiat keladi tikus yang dapat dimanfaatkan dalam pengobatan penyakkit hati

sehingga dapat diaplikasikan sebagai alternatif terapi penyembuhan gangguan

pada hati dan sebagai referensi ilmiah bagi penelitian selanjutnya.

Page 4: Draft Kolokium SENDI

4

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan peneitian eksperimental laboratorik. Peneliti

mengadakan perlakuan terhadap sampel yang telah ditentukan yaitu berupa hewan

coba dilaboratorium. Hewan uji berupa tikus jantan galur wistar berusia

1,5-2 bulan dengan berat badan ± 200 gram. Tikus dibagi dalam 6 kelompok

perlakuan dengan masing-masing kelompok sebanyak 5 ekor tikus. Penelitian ini

dilakukan di Laboratorium Farmakologi Sekolah Tinggi Farmasi.

Pengambilan Bahan Dan Determinasi Sampel Keladi Tikus

Simplisia Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme) diperoleh dari budidaya

tanaman Bina Argo Mandiri, Yogyakarta dan dideterminasi di Laboratorium

Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjajaran.

Pembutan Simplisia Keladi Tikus

Pembutan simplisia pertama-tama dilakukan pencucian simplisia, sortasi basah,

pengeringan, sortasi kering dan terakhir penghalusan simplisia.

Uji Karakteristik Simplisia Keladi Tikus

1. Spesifik :

a. Identifikasi senyawa alkaloid

b. Identifikasi senyawa flavonoid

c. Identifikasi senyawa saponin

d. Identifikasi kuinon

e. Identifikasi tanin

f. Identifikasi senyawa steroid/triterpenoid

2. Nonspesifik :

a. Penetapan kadar abu

b. Penetapan kadar air

c. Penetapan kadar sari

Page 5: Draft Kolokium SENDI

5

Rancangan Penelitian Hepatoprotektor

Tabel 1. Rancangan penelitian ini ditunjukan pada tabel dibawah ini :

Kelompok Perlakuan

Kontrol negatif Tikus diberi CMC 0.5%

Kontrol positifTikus diberi parasetamol 2,5 g/kg bb dalam suspensi CMC0,5%

Uji 1Tikus diberi ekstrak etanol keladi tikus dalam CMC dosis200 mg/kg bb + parasetamol 2,5 g/kg bb

Uji 2Tikus diberi ekstrak etanol keladi tikus dalam CMC dosis300 mg/kg bb + parasetamol 2,5 g/kg bb

Uji 3Tikus diberi ekstrak etanol keladi tikus dalam CMC dosis400 mg/kg bb + parasetamol 2,5 g/kg bb

PembandingTikus diberi sediaan obat yang mengandung Cylimarin70 mg/kg bb dalam suspensi CMC 0,5%

Pemeriksaan Hepar Tikus

1. Makroskopis

a. Indeks organ hepar

b. Warna hepar

2. Mikroskopis (Histopatologi Hepar)

Page 6: Draft Kolokium SENDI

6

PERCOBAAN

Alat

Alat-gelas laboratorium, kandang, sarung tangan, timbangan tikus, timbangan

analitik, mikropipet, tabung eppendrof, tabung venoject, mikropipet, seperangkat

alat microlab 300, alat sentrifuge, spuit, sonde untuk pemberian oral dan alat-alat

bedah.

Bahan

Zat atau bahan uji, yaitu simplisia keladi tikus, aquadest, etanol 96%, parasetamol,

makanan hewan uji, Carboxy methyl cellullose 0,5% (CMC), Formalin, reagen

kit untuk penentuan SGOT dan SGPT.

Tahapan Penelitian I

1. Pembutan Ekstrak Etanol 96% Keladi Tikus

Sebanyak 2000 gram simplisia kering keladi tikus dibersihkan dari pengotor dan

kemudian dihaluskan dengan menggunkan blender. Serbuk yang terbentuk

dimaserasi menggunakan etanol 96% dalam bejana tertutup menggunakan orbital

shaker sampai tersari sempurna, selanjutnya disaring. Filtrat diuapkan

menggunakan rotary evaporator pada suhu 40ºC selanjutnya filtrat yang tersisa

diuapkan menggunakan cawan penguap diatas water bath suhu 50 ºC hingga

didapatkan ekstrak kental (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008).

2. Skrining Fitokimia

Penapisan fitokimia dilakukan untuk mendeteksi kandungan bioaktif atau

kandungan yang berguna untuk pengobatan terhadap tanaman keladi tikus,

meliputi pemeriksaan alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, kuinon, dan

steroid/triterpenoid.

a. Identifikasi Golongan Alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 500 mg lalu dibasakan dengan 1 mL

amonia pekat dan digerus dengan 5 mL kloroform setelah itu disaring. Filtrat

kemudian dikocok dengan 1 mL asam klorida 2 N, diambil lapisan organik dan

Page 7: Draft Kolokium SENDI

7

ditambahkan satu tetes pereaksi meyer. Apabila terbentuk endapan putih sampai

kuning menandakan adanya alkaloid.

b. Identifikasi Golongan Flavanoid

Sejumlah 2 gram serbuk simplisia dan 0,2 gram ekstrak masing-masing

ditambahkan 100 mL air panas, dididihkan selama 5 menit, disaring dengan kertas

saring hingga diperoleh filtrat yang kemudian digunakan sebagai larutan

percobaan. Kedalam 5 mL larutan percobaan (dalam tabung reaksi) ditambahkan

serbuk atau lempeng magnesium secukupnya, 1 mL asam klorida pekat dan 5 mL

amil alkohol, di kocok kuat dan dibiarkan memisah. Terbentuknya warna pada

lapisan amil alkohol menunjukan adanya senyawa golongan flavanoid.

c. Identifikasi Golongan Saponin

Sebanyak 10 mL larutan percobaan yang diperoleh dari identifikasi golongan

flavanoid dimasukan kedalam tabung reaksi dan dikocok selama 10 menit. Secara

vertikal, kemudian dibiarkan selama 10 menit. Terbentuknya busa yang stabil

dalam tabung reaksi, menunjukan adanya golongan saponin, bila ditambahkan

satu tetes asam klorida encer busa tetap stabil.

d. Identifikasi Senyawa Kuinon

Sejumlah larutan percobaan dari dilarutkan dalam air panas dan ditambahkan

beberapa tetes larutan natrium hidroksida 1 N jika terbentuk warna merah

menunjukan adanya kuinon.

e. Identifikasi Golongan Tanin

Sejumlah simplisia dilarutkan dalam air panas dan dibagi dalam tiga tabung

reaksi, kedalam bagian pertama ditambahkan besi (III) klorida. Timbulnya warna

hijau violet atau hitam menunjukan adanya tannin. Kedalam tabung kedua

ditambahkan larutan glatin terbentuknya endapan putih menunjukan adanya

tannin. Kedalam tabung ketiga ditambahkan pereaksi steasny kemudian

dipanaskan dalam penangas air. Terbentuknya endapan disaring, filtrate

dijenuhkan dengan natrium asetat dan ditambahkan beberapa tetes larutan besi

(III) klorida, terbentuknya warna biru tinta menunjukan adanya tannin galat.

Page 8: Draft Kolokium SENDI

8

f. Identifikasi Golongan Steroid dan Triterpenoid

Sejumlah 1 gram simplisia dan 0,1 gram ekstrak masing-masing dimaserasi

dengan 20 mL eter selama dua jam (dalam wadah tertutup rapat), kemudian

disaring dan diambil filtratnya. Sebanyak 5 mL dari filtrat tersebut diuapkan

dalam cawan penguap hingga diperoleh residu. Kedalam residu ditambahkan dua

tetes asam asetat anhidrat dan satu tetes asam sulfat pekat (pereaksi Libermen-

Burchard). Terbentuknya warna hijau atau merah menunjukan adanya senyawa

golongan steroid atau triterpenoid.

3. Standarisasi Simplisia

a. Penetapan Kadar Abu Total

Timbang seksama 2 sampai 3 g bahan uji yang telah dihaluskan dan masukkan ke

dalam krus silikat yang telah dipijar dan ditara, pijarkan perlahan-lahan hingga

arang habis Farmakope Herbal, dinginkan dan timbang (Depkes RI, 2008).

Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, aduk,

saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan kertas saring beserta sisa

penyaringan dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan dan

pijarkan hingga bobot tetap. Kadar abu total dihitung terhadap berat bahan uji,

dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI, 2008).

b. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Didihkan abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dengan 25 mL asam

klorida encer LP selama 5 menit. Kumpulkan bagian yang tidak larut dalam asam,

saring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, pijarkan dalam krus

hingga bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap

berat bahan uji, dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI, 2008).

c. Penetapan Kadar Air

Dilakukan dengan cara destilasi, dimasukkan sejumlah zat yang ditimbang

seksama yang diperkirakan mengandung 2 mL–4 mL air ke dalam labu kering.

Zat yang menyebabkan gejolak mendadak, tambahkan pasir kering yang telah

Page 9: Draft Kolokium SENDI

9

dicuci secukupnya hingga mencukupi dasar labu atau sejumlah tabung kapiler

panjang lebih kurang 100 nm yang salah satu ujungnya ditutup.

Masukkan 200 mL toluen ke dalam labu, hubungkan alat. Tuangkan toluen ke

dalam tabung penerima melalui alat pendingin, panaskan labu secara hati-hati

selama 15 menit. Setelah toluen mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang

2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling. Naikkan kecepatan penyulingan

hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, cuci bagian dalam dengan

pendingin dan toluen, labu dibersihkan dengan sikat. Lanjutkan penyulingan

selama 5 menit. Biarkan tabung penerima sampai dingin. Jika ada tetes air yang

melekat pada pendingin tabung penerima, gosok dengan karet yang diikatkan pada

sebuah kawat tembaga dan basahi dengan toluen hingga tetesan air turun. Setelah

itu dalam toluen memisah sempurna, baca volume air. Hitung kadar air dalam %

(Depkes RI, 2008).

d. Penetapan Kadar Sari Larut Air

Timbang seksama lebih kurang 5 g sampel yang telah dikeringkan di udara.

Masukkan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100 mL air jenuh kloroform,

kocok berkali-kali selama 6 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring, uapkan

20 mL filtrat hingga kering dalam cawan dangkal beralas datar yang telah

dipanaskan 105˚ hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut air (Depkes

RI, 2008).

e. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol

Timbang seksama lebih kurang 5 g sampel yang telah dikeringkan di udara.

Masukkan ke dalam labu bersumbat, tambahkan 100 mL etanol P, kocok berkali-

kali selama 6 jam pertama, biarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk

menghindarkan penguapan etanol, uapkan 20 mL filtrat hingga kering dalam

cawan dangkal beralas datar yang telah dipanaskan 105˚ dan ditara, panaskan sisa

pada suhu 105˚ hingga bobot tetap. Hitung kadar dalam % sari larut etanol

(Depkes RI, 2008).

Page 10: Draft Kolokium SENDI

10

4. Adaptasi Hewan Uji

Tikus putih jantan diadaptasikan selama satu minggu terlebih dahulu agar terbiasa

dengan lingkungan percobaan. Makanan dan minuman diberikan setiap hari.

Sebanyak 30 ekor tikus dengan berat 150-200 gram dikelompokkan menjadi

6 kelompok secara acak dan dijaga agar tidak terjadi penurunan berat badan.

Tahap Penelitian II

1. Pembutan Suspensi Ekstrak Etanol Keladi Tikus

Sediaan uji dibuat dalam bentuk suspensi menggunakan CMC 0,5% dalam 3

varian dosis yaitu 200, 300 dan 400 mg/kg bb.

2. Pengujian Aktivitas Ekstrak Etanol Keladi Tikus

Tikus dikelompokkan menjadi enam kelompok secara random, dan masing-

masing kelompok terdiri dari lima tikus dengan diberikan perlakuan yang

berbeda-beda. kelompok kontrol negatif hanya diberi CMC 0,5%, kelompok

kontrol positif diberi CMC 0,5% selama 7 hari berturut-turut pada hari ke 8 diberi

parasetamol 2,5 g/kg bb, kelompok pembanding di beri Cursil® 70 mg/kg bb

selama 7 hari berturut-turut pada hari ke 8 diberi parasetamol 2,5 g/kg bb,

kelompok larutan uji diberi ekstrak keladi tikus masing-masing dosis

200 mg/kg bb, 300 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb selama 7 hari berturut-turut dan

pada hari ke 8 diberi parasetamol 2,5 g/kg bb keseluruh perlakuan diberikan

secara peroral.

3. Pengambilan Serum Tikus

Pengambilan darah dengan cara pemotongan ekor tikus menggunakan gunting.

Darah yang tertampung pada tabung venoject disentrifuge dengan kecepatan

3000 rpm selama 15 menit. Serum yang terpisah dimbil dan dimasukkan dalam

tabung lainnya yang bersih, kering dan ditutup. Jika serum tidak langsung

diperiksa, maka harus disimpan pada lemari es suhu 2ºC-8ºC selama maksimal 4

hari, karena jika lebih dari 4 hari akan mengalami degradasi aktivitas sebesar 10%

(Rafika, et al., 2005).

Page 11: Draft Kolokium SENDI

11

4. Pengukuran Kadar SGOT dan SGPT

Pengukuran kadar SGOT dan SGPT dilakukan dengan menggunaka alat microlab

300. Dengan cara mempipet 1000 µL reagen 1 ke tabung ependrof kecil,

selanjutnya ditambahkan serum darah sebanyak 200 µL di inkubasi selama

5 menit dan yang terakhir ditambahkan 250 µL reagen 2 didiamkan selama

1 menit. Setelah itu campuran plasma dan reagen dimasukan pada alat hisap

microlab yang sebelumnya telah deprogram untuk pemeriksaan SGOT dan SGPT.

Pengukuran dilakukan pada setiap jeda 1 menit secara triplo, dibaca hasil yang

tertera pada layar (U/L) (Dialab, 2006).

5. Histopatologi Hepar

Histopatologi hepar tikus dilakukan pada hari ke sembilan sehari setalah

pengambilan serum tikus. Adapun alur proses histologi ialah sebagai berikut :

a) Pertama-tama setelah pembedahan organ hepar disimpan dalam larutan

buffer formalin 10% selama ± 24 jam, selanjutnya dicuci dengan alkohol

selama 2 jam, dan dilanjutkan dengan pencucian secara bertingkat dengan

alkohol yaitu dengan alkohol 70%, 80%, 90% dan 95% (masing-masing

selama 2 jam), etanol absolute (2 kali), xylol (2 kali), masing-masing selama

30 menit. Selanjutnya, adalah proses infiltrasi yaitu dengan menambahkan

paraffin sebanyak 3 kali selama 30 menit.

b) Tahap pemotongan dengan mikrotom, Cutter dipanaskan dan ditempelkan

pada dasar blok sehingga paraffin sedikit meleleh. Holder dijepitkan pada

mikrotom putar dan ditata sejajar denga mata pisau mikrotom. Pengirisan

atau penyayatan diawali dengan mengatur ketebalan irisan. Untuk hepar

dipotong dengan ukuran 3 µm, kemudian pita hasil irisan diambil dengan

menggunakan kuas dan dimasukan air dingin untuk membuka lipatan lalu

dimasukan air hangat dan dilakukan pemilihan irisan yang terbaik. Irisan

yang terpilih diambil dengan gelas obyek yang sudah di coating kemudian

dikeringkan diatas hot plate.

c) Tahap diparafisasi, yaitu preparat dimasukan dalam xylol sebanyak 3 kali 5

menit.

Page 12: Draft Kolokium SENDI

12

d) Tahap rehidrasi, preparat dimasukan dalam larutan etanol bertingkat mulai

etanol absolute (2 kali), etanol 95%, 90%, 80% dan 70% masing-masing 5

menit, kemuadian preparat direndam dalam aquadest selama 10 menit.

e) Tahap pewarnaan, preparat ditetesi dengan Hematoxylin selama 3 menit atau

sampai didapatkan hasil warna yang terbaik. Selanjutnya dicuci dengan air

mengalir selama 30 menit dan dibilas dengan aquadest selama 5 menit.

Setelah itu preparat dimasukan dalam pewarna eosin alkohol selama 30

menit dan dibilas dengan aquadest selama 5 menit.

f) Tahap dehidrasi, preparat direndam dalam etanol bertingkat 80%, 90%, 95%

dan etanol absolute (2 kali) masing-masing selama 5 menit.

g) Tahap clearing, dalam larutan xylol 2 kali selama 5 menit, kemudian

dikeringkan, dan selanjutnya preparat diamati dibawah mikroskop.

6. Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Penyiapan Bahan

Penelitian ini diawali dengan pengumpulan sampel keladi tikus dari budidaya

tanaman Bina Argo Mandiri, Yogyakarta. Kemudian dilakukan determinasi guna

memastikan tanaman yang akan diteliti merupakan tanaman yang dimaksud.

Determinasi dilakukan di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi

FMIPA Universitas Padjajaran dan diperoleh informasi bahwa benar tanaman uji

yang digunakan merupakan tanaman keladi tikus (Typhonium flagelliforme).

B. Pengolahan Bahan

Simplisia keladi tikus yang diperoleh dilakukan sortasi kering agar terhindar dari

pengotor-pengotor organik seperti tanah, kemudian dihaluskan menggunakan

blender agar lebih mudah dalam proses selanjutnya.

C. Ekstraksi

Simplisia keladi tikus ditimbang sebanyak 2 kg diekstraksi dengan cara dingin

yaitu maserasi. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol 96%

dalam bejana tertutup selama 3 kali masing-masing 24 jam. Maserasi digunakan

karena merupakan cara sederhana untuk menarik senyawa yang tidak tahan panas

Page 13: Draft Kolokium SENDI

13

maupun senyawa yang tahan panas dan untuk menarik senyawa yang belum

diketahui. Menurut farmakope, pelarut etanol merupakan pelarut pilihan untuk

memperoleh ekstrak yang masih digunakan secara luas dalam formulasi sediaan

farmasi.

Hasil maserasi kemudian dipekatkan dengan menggunakan alat rotary evaporator

400C. Selanjutnya filtrat yang tersisa diuapkan menggunakan cawan penguap

didalam water bath suhu 500C hingga diperoleh ekstrak kental kemudian ekstrak

kental yang diperoleh ditimbang. Ekstrak kental keladi tikus diperoleh sebesar

49,70 gram. Hasil perhitungan rendemen dari ekstrak keladi tikus adalah :

Hasil rendemen ekstrak ialah :

Nama Simplisia Berat Ekstrak Berat Simplisia Rendemen

Keladi tikus 49.70 gram 2000 gram 2.48 %

D. Skrining Fitokimia Dan Standarisasi Ekstrak

Skrining fitokimia ini digunakan untuk mengetahui golongan-golongan senyawa

metabolit sekunder yang terkandung dalam tanaman keladi tikus. Metabolit

sekunder yang diuji yaitu golongan senyawa alkaloid, flavanoid, tanin, saponin,

kuinon dan steroid/triterpenoid.

Hasil skrining menunjukan bahwa tanaman keladi tikus mengandung senyawa

sebagai berikut :

Tabel 2. Hasil Skrining Fitokimia Simplisia Keladi Tikus

No. Golongan senyawa Tanaman keladi tikus

1 Alkaloid +

2 Flavanoid +

3 Saponin +

4 Kuinon +

5 Tanin +

6 Steroid/Triterpenoid +

Keterangan : (+) = Terdeteksi golongan senyawa yang diuji( -) = Tidak terdeteksi senyawa yang diuji

Page 14: Draft Kolokium SENDI

14

Hasil Standarisasi simplisia menunjukan bahwa tanaman keladi tikus memiliki

karekteristik sebagai berikut :

Tabel 3. Hasil Standarisasi Simplisia Keladi Tikus

E. Hasil Pengujian Hepatoprotektor

Sebelum memulai pengujian hepatoprotektif hewan uji terlebih dahulu

diadaptasikan selama tujuh hari agar nantinya terbiasa dengan lingkungan sekitar.

Selama pengadaptasian, berat badan dan aktivitas fisik setiap tikus terus

diperhatikan. Berat badan tikus rata-rata meningkat tiap hari dan adapula beberapa

tikus yang tidak mengalami penaikan berat badan, hal ini mungkin karena

persaingan hidup tikus dalam kelompoknya.

Pada hari kedelapan tikus mulai dilakukan pengujian dengan memberikan

suspensi ekstrak keladi tikus melalui rute peroral. Pengujian ini dilakukan selama

tujuh hari secara berturut-turut dalam setiap harinya. Pada hari kedelapan tikus

diberi parasetamol dengan dosis tinggi yakni 2,5 gram/kg bb melalui rute yang

sama.

Untuk keseluruhan kelompok dilakukan pengambilan darah setelah lebih kurang

24 jam pemberian parasetamol. Pengambilan darah dilakukan melalui ekor tikus,

peneliti menemukan darah yang mengalami hemolisa yang ditandai dengan

plasma yang berwarna merah. Hemolisa darah diperkirakan karena teknik

pengambilan darah yang salah seperti dilakukan penekanan ekor tikus yang

berulang-ulang agar darah dapat terperas dari ekor. Hal ini membuat sampel darah

tidak layak untuk diukur dan dilakukan pengambilan darah tersebut harus diulang.

Karakterisasi Kadar (%)

Kadar Abu Total 7,64

Kadar Abu Tidak larut asam 1,97

Kadar Air 5

Kadar Sari Larut Air 64,88

Kadar Sari Larut Etanol 88,09

Page 15: Draft Kolokium SENDI

15

Data yang diperoleh dari hasil pengujian kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus

yang diinduksi dengan parasetamol dan pemberian ekstrak etanol keladi tikus

(Thyponium flagelliforme) dengan 3 dosis dihitung menggunakan analisis variansi

(ANOVA) dengan taraf signifikan (p<0,05). Untuk mengetahui ada tidaknya

perbedaan pada tiap perlakuan serta dosis yang efektif maka dapat dilihat pada

tabel berikut :

Tabel 4. Hasil perhitungan dan rata-rata pengukuran kadar SGOT dan SGPT pada

hewan uji

No. KelompokRata-rata Aktivitas

SGOT (U/l)Rata-rata Aktivitas

SGPT (U/l)

1 Kontrol negatif 8,14 ± 0,4 1,3 ± 0,2

2 Kontrol positif(Parasetamol 2,5 g/kg bb)

13,1 ± 1,2# 6,6 ± 0,3#

3 Pembanding(Cursil® 70 mg/kg bb)

8,3 ± 0,1* 1,2 ± 0,2*

4 Dosis I 200 mg/kg bb 12,1 ± 1,4 3,1 ± 0,2*

5 Dosis II 300 mg/kg bb 9,7 ± 1,1* 2,1 ± 0,1*

6 Dosis III 400 mg/kg bb 9,1 ± 1,4* 1,6 ± 0,1*

Keterangan :(#) : Kontrol positif berbeda bermakna dengan kontrol negatif(*) : Menandakan kelompok uji dibandingkan dengan kelompok kontrol positifterdapat perbedaan yang signifikan (P< 0.05)

Dari data diatas (tabel 4) menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna

antara kelompok kontrol positif jika dibandingkan dengan kontrol negatif hal ini

menunjukan bahwa proses penginduksian telah berhasil. menunjukan perbedaan

yang bermakna antara kelompok pembanding dengan keompok kontrol positif

maka validasi metode dan prosedur telah diakukan dengan baik dan terjadi

perbedaan yang nyata terhadap penurunan kadar SGOT dan SGPT pada tikus

yang diinduksi parasetamol. Kontrol positif berbeda nyata dengan dosis 1, dosis 2

dan dosis 3. Kontrol negatif (tikus normal) berbeda nyata dengan dosis 1 dan

dosis 2, tetapi tidak berbeda nyata dengan dosis 3. Jadi, dosis ekstrak etanol keladi

Page 16: Draft Kolokium SENDI

16

tikus (Typhonium flagelliforme) yang efektif untuk menurunkan kadar SGOT dan

SGPT pada hepar tikus yang diinduksi parasetamol adalah dosis 400 mg/kg bb.

Dari hasil statistik dapat diketahui bahwa nilai signifikan ialah < taraf signifikan

(P=0,05). Hipotesis (H0) ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa pemberian perlakuan ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme)

dapat mempengaruhi kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus yang diinduksi

parasetamol.

Keterangan :KN : Kontrol normal, KP : Kontrol Positif, P : Pembanding, D1 : Dosis Uji 1 200mg/kg bb, DII : Dosis uji II 300 mg/kg bb dan DIII : Dosis Uji III 400 mg/kg bb.

Gambar 1. Grafik nilai rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuanpemberian ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).

Pengukuran kadar enzim mikrosomal hati pada dasarnya ialah pemeriksaan untuk

mengetahui perubahan koenzim NADH melalui perubahan panjang gelombang.

Pada penelitian ini kadar meningkat karena pada hati terpapar radikal bebas yakni

parasetamol dengan dosis tinggi sehingga kadar enzim meningkat dari rentang

normal, maka dari itu perlunya antioksidan guna menangkal radikal bebas, dalam

hal ini ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).

0

2

4

6

8

10

12

14

KN

8,14±0,4

13,1±1,2

1,3±0,2Kena

ikan

Kad

ar U

/I

Rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuan

16

tikus (Typhonium flagelliforme) yang efektif untuk menurunkan kadar SGOT dan

SGPT pada hepar tikus yang diinduksi parasetamol adalah dosis 400 mg/kg bb.

Dari hasil statistik dapat diketahui bahwa nilai signifikan ialah < taraf signifikan

(P=0,05). Hipotesis (H0) ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa pemberian perlakuan ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme)

dapat mempengaruhi kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus yang diinduksi

parasetamol.

Keterangan :KN : Kontrol normal, KP : Kontrol Positif, P : Pembanding, D1 : Dosis Uji 1 200mg/kg bb, DII : Dosis uji II 300 mg/kg bb dan DIII : Dosis Uji III 400 mg/kg bb.

Gambar 1. Grafik nilai rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuanpemberian ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).

Pengukuran kadar enzim mikrosomal hati pada dasarnya ialah pemeriksaan untuk

mengetahui perubahan koenzim NADH melalui perubahan panjang gelombang.

Pada penelitian ini kadar meningkat karena pada hati terpapar radikal bebas yakni

parasetamol dengan dosis tinggi sehingga kadar enzim meningkat dari rentang

normal, maka dari itu perlunya antioksidan guna menangkal radikal bebas, dalam

hal ini ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).

KP P DI DII DIII

13,1±1,2

8,3±0,1

12,1±1,4

9,7±1,1 9,1±1,4

1,3±0,2

6,6±0,3

1,2±0,23,1±0,2

2,1±0,1

Perlakuan

Rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuan

16

tikus (Typhonium flagelliforme) yang efektif untuk menurunkan kadar SGOT dan

SGPT pada hepar tikus yang diinduksi parasetamol adalah dosis 400 mg/kg bb.

Dari hasil statistik dapat diketahui bahwa nilai signifikan ialah < taraf signifikan

(P=0,05). Hipotesis (H0) ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa pemberian perlakuan ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme)

dapat mempengaruhi kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus yang diinduksi

parasetamol.

Keterangan :KN : Kontrol normal, KP : Kontrol Positif, P : Pembanding, D1 : Dosis Uji 1 200mg/kg bb, DII : Dosis uji II 300 mg/kg bb dan DIII : Dosis Uji III 400 mg/kg bb.

Gambar 1. Grafik nilai rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuanpemberian ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).

Pengukuran kadar enzim mikrosomal hati pada dasarnya ialah pemeriksaan untuk

mengetahui perubahan koenzim NADH melalui perubahan panjang gelombang.

Pada penelitian ini kadar meningkat karena pada hati terpapar radikal bebas yakni

parasetamol dengan dosis tinggi sehingga kadar enzim meningkat dari rentang

normal, maka dari itu perlunya antioksidan guna menangkal radikal bebas, dalam

hal ini ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme).

DIII

9,1±1,4

1,6±0,1

Rata-rata kadar SGOT dan SGPT pada berbagai perlakuan

SGOT

SGPT

Page 17: Draft Kolokium SENDI

17

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa Ekstrak keladi tikus memiliki senyawa

flavonoid yang bersifat antioksidan (Syahid, 2007). Mekanisme kerja flavonoid

adalah menangkap radikal bebas (Sunarni dkk, 2007) meyatakan bahwa aktivitas

antioksidan dari senyawa alamiah yang berasal dari tanaman disebabkan adanya

gugus hidroksi pada struktur molekulnya. Flavonoid dengan gugus hidroksi bebas

mempunyai aktivitas penangkap radikal bebas dan adanya gugus hidroksi lebih

dari satu terutama pada cincin B akan meningkatkan aktivitas antioksidannya.

Selain itu pula kandungan senyawa saponin dalam tanaman ini mempunyai

manfaat mempengaruhi collagen (perbaikan jaringan) (Prabowo, 2002) dan pula

senyawa triterpenoid (Jie liu dkk, 2006) dapat sebagai hepatoprotektor.

Pada penelitian kadar didapat nilai yang lebih rendah dari literatur yakni

18-45 U/I, perbedaan ini terjadi kemungkinan berhubungan dengan metode yang

digunakan. Untuk memperoleh kadar enzim pada literatur, sampel diambil dari

tikus yang teranestesi oleh anestesi inhalasi. Sedangkan pada penelitian yang

dilakukan, sampel diambil dari ekor tikus dalam keadaan hidup. Hal ini yang

dapat menyebabkan kada SGOT dan SGPT dibawah nilai normal. Hal ini

didukung dengan penelitian (Collin et al. 1997) yang menyatakan bahwa eter

dapat menaikan level enzim SGOT dan SGPT tikus walaupun tidak terlihat

abnormalitas pada histologi jaringan hati atau organ lainnya. Dibawah ini akan

diperlihatkan gambaran kerusakan hati secara makroskopis dan mikroskopis yang

disebabkan oleh pemberian parasetamol dosis hepatoksik yaitu sebesar

2,5 gram/kg bb.

Tabel 5. Hasil rata-rata perhitungan indeks organ hepar tikus pada semua

perlakuan

KelompokBerat (gram) Indeks Organ Hepar

(%)Tikus HatiKontrol negatif (Normal) 177 6,5 3,67Kontrol positif(Parasetamol 2,5 g/kg bb)

214,5 12 5,59

Pembanding (Cursil 70 mg/kg bb) 186 7 3,76Dosis I Ekstrak 200 mg/kg bb 208 11 5,29Dosis II Ekstrak 300 mg/kg bb 195,5 9 4,60Dosis III Ekstrak 400 mg/kg bb 198,5 8 4,03

Page 18: Draft Kolokium SENDI

18

Tabel 6. Kerusakan hepar tikus secara makroskopik pada semua perlakuan

Kelompok Warna

Kontrol negatif (Normal) Merah terang

Kontrol positif (Parasetamol 2,5 g/kg bb) Merah gelap

Pembanding (Cursil® 70 mg/kg bb) Merah terang

Dosis I Ekstrak 200 mg/kg bb Merah gelap

Dosis II Ekstrak 300 mg/kg bb Merah gelap

Dosis III Ekstrak 400 mg/kg bb Merah tua

Pada kedua tabel diatas (Tabel 5 dan 7) terlihat jelas bahwa hepar tikus yang

mengalami kerusakan akan memiliki indeks berat organ yang besar, tekstur hati

yang kasar dan adanyanya perlemakan hati yang dalam waktu lama dapat

mengakibatkan gangguan sampai berupa kematian sel yang disebut nekrosis.

Secara teoritis proses kerusakan sel hati dimulai dari proses degenerasi. Sel yang

mengalami degenerasi akan mengalami pembengkakan. Hal ini dikarenakan

parasetamol menyebabkan masuknya cairan ekstraseluler ke intraseluler dalam

jumlah yang banyak. Keadaan ini dapat terjadi apabila membran sel yang

merupakan komponen sel yang terpenting terganggu permeabilitasnya sehingga

memudahkan masuknya molekul air dari ekstraseluler ke intraseluler secara

berlebihan. Diduga bila terjadi akumulasi air yang cukup banyak didalam sel hati,

maka sel akan membengkak (Damjonov, 2000, Devlin,2002).

Pengamatan hepar tikus secara mikroskopis dan makroskopis sebagai berikut :

(a1) (a2)

Page 19: Draft Kolokium SENDI

19

(b1) (b2)

(c1) (c2)

Gambar 2. Hasil pengamatan preparat histologi hepar tikus dengan mikroskop.(a1&a2). Hati normal, (b1&b2). Hati yang mengalami kerusakan akibat paparanparasetamol dosis hepatoksik dan, (c1&c2). Hati yang mengalami perbaikansetelah diberi ekstrak keladi tikus dosis 400 mg/kg bb.

Dari ketiga kategori gambar hepar tikus diatas dapat diketahui bahwa pemberian

parasetamol dalam dosis toksis tidak dapat menyebabkan kerusakan hati berupa

terjadinya nekrosis pada vena sentralis dan peradangan yang berupa steatosis

(degenerasi melemak) disertai fibrosis hati, namun hanya dapat meningkatkan

kadar pada enzim SGOT dan SGPT. Hal ini dapat terjadi dikarenakan karena

waktu yang sedikit pada proses induksinya. Proses kerusakan hati yang serius

dapat terjadi jika paparan parasetamol pada dosis toksik berlangsung secara terus

menerus dalam jangka waktu yang lama. Jadi pada penelitian ini belum

mengalami kerusakan hepar tikus yang bermakna, yang dapat terlihat pada organ

hati baik secara makroskopis maupun mikroskopis.

Page 20: Draft Kolokium SENDI

20

7. Kesimpulan Dan Saran

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

Tanaman keldi tikus (Typhonium flagelliforme) terdeteksi positif memiliki

senyawa alkaloid, flavanoid, saponin, kuinon, tannin dan

steroid/triterpenoid.

Pemberian dosis dan lama pemberian ekstrak etanol keladi tikus

(Typhonium flagelliforme) memberikan pengaruh terhadap kadar

transaminase (SGOT dan SGPT) pada hepar tikus.

Dosis yang efektif menurunkan kadar SGOT dan SGPT pada hepar tikus

adalah dosis 400 mg/kg bb.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan saran sebagai berikut :

Parameter pemeriksaan dalam serum perlu ditambahkan dengan mengukur

kadar enzim lainnya selain SGOT dan SGPT.

Ekstrak etanol keladi tikus (Typhonium flagelliforme) dapat

diformulasikan menjadi sediaan obat sebagai alternatif upaya pencegahan

pada penyakit hepar

Page 21: Draft Kolokium SENDI

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim,2009. Keladi Tikus. CCRC Farmasi UGM. Tanggal akses 26Desember 2014. www.ugm.ac.id/ccrc

2. Akbar, Nurul. 2004. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Gaya Baru.

3. Basoeki, S., 1988, Anatomi dan Fisiologi Manusia. Departemen Pendidikandan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Jakarta, 20-25.

4. Backer, C.A., et al Flora Of Java, 3 rd ed., Wolter-Noordhoff N.V, Groningen,Netherlands, 1968, 71-71

5. Chandrasoma, parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi. Jakarta : BukuKedokteran EGC

6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Farmakope HerbalIndonesia Edisi I. Jakarta. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan AlatKesehatan

7. Dalimartha S. 2005. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Hepatitis.Jakarta : Swadaya. Hlm. 58, 86.

8. Dialab. Liquid Reagents of GOT (AST), DIALAB Production Vertireb vonchemisch-technishen, Austria, 2006.

9. Dialab. Liquid Reagents of GPT (ALT), DIALAB Production Vertireb vonchemisch-technishen, Austria, 2006.

10. Jawi, dkk. 2007. Gambaran Histologis Hepar Serta Kadar SGOT dan SGPTDarah Mencit Yang Diberikan Alkohol Secara Akut dan Kronis. Dexamedica,No. 1, Vol. 20, 24 Januari -Maret 2007

11. Jie, Liu dkk. 2006. The Effect of 10 Triterpenoid Compound on ExperimentalLiver Injury in Mice: Universitas KansasMedical Cent.dep.pharmacologyToxicologi Therapiutic.Kansan City.

12. John S Lubel, Peter W Angus, Paul J Gow. 2003. Accidental paracetamolpoisoning. Consultant Department of Gastroenterology, Austin Health,Melbourne, VIC.

13. Kee, Joyce Lefever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium DanDiagnostik. Jakarta: EGC.

14. Lai, Choon-Sheen, Rosemal Dan N.K. Nair. 2008. Typhonium FlagelliformeInhibits Cancer Cell Growth In Vitro And Induces Apoptosis: An EvaluationBy The Bioactivity Guided Approach. Journal Of Enthopharmacology 118(2008): 14-20.

Page 22: Draft Kolokium SENDI

22

15. Mundari, Erma Wanda. 2013. Uji Aktivitas dan Uji Toksisitas pada EkstrakKental dan Kering Etanol Berbagai Konsentrasi Dari Daun Keladi Tikus(Typhonium flagelliforme Lood). Skripsi Universitas Pancasila fakultasFarmasi. Jakarta

16. Kusumawati, Diah. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Uji. Gadjah MadaPress. Yogyakarta.

17. Mudahar, H., Widowati, L., Sundari, D. (2006). Uji Aktivitas Ekstrak Etanol50% Umbi Keladi Tikus (Typhonium flagelliforme (Lood) B1) terhadap SelKanker Payudara (MCF-7 Cell Line) secara In-Vitro. Jakarta : PuslitbangBiomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan.

18. Mohan, Syam, Ahmad Busataman And Adel Sharaf. 2008. Antibacterial AndAntioxidant Activities Of Typhonium Flagelliforme (Lodd.) Blume Tuber.American Journal Of Biochemistry And Biotechnology 4 (4): 402- 407.

19. Nurlaili, Elvi. 2010. Pengaruh Ekstrak Biji Klabet (Trigonella foenum-graecum linn.) Terhadap Kadar Transaminase (GPT dan GOT) danGambaran Histologi Pada Hepar Mencit (Mus musculus) Yang TerpaparStreptozotocin. Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Sains Dan TeknologiUniversitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang

20. Heyne, K., Tumbuhan Berguna Indonesia, Hardjodarsono, dkk., ed. I,Yayasan Sarana Wana Jaya. Jakarta, 1987, 602.

21. Ochae, JJ, et al Vegetables Of The Dutch East Indies. English Edition OfIndische Groenten, Archipeldrukkerij Buitenzorg, Java, 1931, 745-746

22. Phito, M., 1993, Penapisan Farmakologi, Pengujian Fitokimia, danPengujian Klinik, Penerbit Phyto Medica, Jakarta.

23. Prabowo. 2002. Centella Anti Radang. PT Intisari Mediatama : Jakarta.

24. Price, S.A., dan Wilson L. M., 1995, Patofisiologi, Konsep Klinis Prosesproses Penyakit, alih bahasa oleh Peter Anugerah, Edisi 4, Penerbit EGC,Jakarta, 68-81.

25. Romzah, V.2005. Pengaruh Fasa Air Daun (Genarussa vulgaris, Ness)terhadap perubahan histopatologi hati, ginjal dan usus halus mencit jantanSkripsi Fakultas Farmasi. Surabaya : Universitas Airlangga.

26. Sadikin, M., dkk. 1994, Aspek Enzimatik Perlindungan Bawang PutihTerhadap Hepar Tikus yang Diberi Karbon Tetraklorida, Medika, Jakarta.

27. Setiabudy. 1999. Hepatitis Karena Obat. Bagian Farmakologi FakultasKedokteran Universitas Indonesia : Jakarta

Page 23: Draft Kolokium SENDI

23

28. Siegers, C. P., 1978, Antidotal effects of dimethylsulfoxide againstparacetamol, bromobenzene, and thioacetamide induced hepatotoxicity.Journal Pharmac. Pharmacol, 30, 375-377.

29. Sastrapradja, S, et al. Ubi-Ubian, I.BN 7, SDE 40, Proyek Sumber DayaEkonomi/LBN-LIPI Bogor, 1977, 82-83

30. Soewoto, dkk. 2001. Biokimia Eksperimen Laboratorium. Jakarta : WidyaMedika.

31. Sunarni Titik, Suwidjiyo Pramono dan Ratna Asmah. 2007. FlavonoidAntioksidan Penangkap Radikal Dari Daun Kepel (Stelechocarpus burahol(Bl.) Hook f. & Th.). Majalah Farmasi Indonesia, 18(3), 111 – 116, 2007

32. Suyono, S., dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2, Edisi 3, Balai PenerbitFKUI, Jakarta, 38-40.

33. Sudewo, Bambang. 2004. Tanaman Obat Populer Penggempur AnekaPenyakit. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta.

34. Sulaiman, dkk. 1997.Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta. CV. Sagung Seto

35. Syukur, C. 2003. Tanaman Obat Antikanker. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.3-15.

36. Syahid, Siti F. 2007. Keragaman Morfologi, Pertumbuhan, Produksi, MutuDan Fitokimia Keladi Tikus (Typonium Flagelliforme Lodd.) Blume AsalVariasi Somaklonal. Jurnal Littri 14(3): 113 – 118.

37. Yayat. 2008. Khasiat Tanaman Keladi Tikus. Http://kabarinews.com. DiaksesPada Tanggal 26 Desember 2014.

38. Tri, G. H., 1995, Uji Aktivitas Antihepatotoksik Ekstrak Herba Meniran(Phylantus niruri L) pada Tikus Putih yang Diinduksi dengan Parasetamol,Tugas Akhir Sarjana, Fakultas Farmasi UNAIR, Surabaya.